PENGARUH FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TERHADAP PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
ANDI SHOFIAN EFENDI NIM: 105045201510
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya atau ,erupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ciputat, 23 Maret 2011
Andi Shofian Efendi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam mudahmudahan tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., rasul yang berjasa besar kepada kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan. Skripsi yang berjudul: “Pengaruh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Proses pengambilan Kebijakan Politik Indonesia” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Jurusan Jinayah Siyasah Program Studi Siyasah Syar’iyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Setulusnya dari hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat diselesaikan dan bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang mendalam kepada yth: 1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
2. Dr. Asmawi, M.Ag., dan Afwan Faizin, MA., Ketua dan Sekretaris Jinayah Siyasah Program Study Siyasah Syar’iyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Abdurrahman Dahlan, MA., Dosen Pembimbing, yang telah memberikan perhatian, membimbing, dan memberikan motivasi yang besar selama proses penulisan skripsi ini. 4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan penuh keikhlasan mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama masa studi. 5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka. 6. Ibunda dan Ayahanda tercinta Hj. Sumliah dan H. Sholahuddin, yang selalu penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Amiin. 7. Semua saudara penulis, yaitu ka Ridwan Kholili, Ijan Sujana, Sunardi, Tuti Ru’yati, Teti Sumiati, Aang ZA dan Ema Khumairoh yang selalu memberikan motifasi kepada penulis.
ii
8. Seluruh Dewan guru Pondok Pesantren Qotrun Nada yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan baik materil maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Strata 1 (Sarjana). 9. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi dari Jurusan Jinayah Siyasah Program Study Siyasah Syar’iyah angkatan 2005 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan bantuan dan motifasi kepada penulis dalam masa studi dan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, Budi Utomo S.H.I, Latif Amri S.H.I, Afnanul Huda S.Sy, Hendri Eka Putra, Oyok Tolisalim, S.S, S.H.I, Hendra Hidayat S.H.I dan lain-lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT., membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak. Amin.
Ciputat, 10Maret 2011 M 19 Rabiul Tsani 1432 H
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 8 D. Metode Penelitian .......................................................................... 9 E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .......................................... 11 F.
Sistematika Penulisan ............................................................... 12
BAB II KELEMBAGAAN DAN METODOLOGI FATWA MUI A. Kelembagaan Fatwa MUI ........................................................... 15 1. Sejarah, Kedudukan dan Fungsi MUI ..................................... 15 2. Posisi, Peran dan Tugas Lembaga Fatwa MUI ........................ 24 B. Metodologi Fatwa MUI ............................................................... 30 1. Ruang Lingkup Fatwa MUI .................................................... 30 2. Dasar dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI ............................. 32 3. Kekuatan hukum Fatwa MUI ................................................. 36 BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH A. Pengertian Kebijakan Pemerintah ............................................... 38 B.
Unsur-unsur Pembuat Kebijakan Pemerintah ............................. 45
C. Isi Kebijakan Pemerintah ............................................................ 46 D. Tahap-tahap dan Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengambilan Kebijakan Pemerintah ................................................................ 48
E. Teori Pengambilan dan Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Pemerintah atau kebijakan publik ............................................... 56 BAB
IV PENGARUH FATWA MUI DALAM LAHIRNYA SKB 3 MENTERI TENTANG ALIRAN AHMADIYAH DAN UU NO.21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI’AH A. Lahirnya Surat Keputusan Bersama Tentang Keberadaan Jama’ah Ahmadiyah ................................................................................. 65 B. Lahirnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah ...................................................................................... 76
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 86 B. Saran ......................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 90 LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam negeri Republik Indonesia Nomor: 3 tahun 2008, Nomor : KEP033/A/JA/6/2008, Nomo: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada pengikut, anggota dan /atau anggota pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia dan warga masyarakat .................................................................... 94 2. Hasil rapat Bakorpakem tahun 2005 ................................................................ 97 3. Hasil rapat Bakorpakem tanggal 15 Januari 2008 ............................................ 98 4. Rapat Bakorpakem 16 April 2008 .................................................................... 99
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Secara etimologi kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-Fatwa. Menurut Ibnu Mandzur kata fatwa merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna muda, baru penjelasan, penerangan. 1 Pendapat ini hampir sama dengan pendapat al-Fayumi, sebagaimana yang dikutip oleh Ma’ruf Amin, yang menyatakan bahwa al-fatwa berasala dari kata al-fata artinya pemuda yang kuat. Sehingga orang yang mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagai kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda. Sedangkan menurut al-Jurjani fatwa berasal dari al-fata atau al-futya, artinya jawaban terhadap suatu permasalahan dalam bidang hukum, sehingga fatwa dalam pengertian ini diartikan sebagai memberikan penjelasan.2 Sedangkan secara terminologi, sebagaimana yang dikatakan oleh asSyatibi fatwa dalam arti al-ifta berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti.3 Sedangkan menurut Yusuf Qardawi 1
Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shâdir, t.th.), juz XV, h. 145
2
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Paramuda Advertising, 2008), h. 19 3
Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mas’ûd al-Syâtiby, alMuwâfaqât fi Ushûli al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Rasyad al-Hadîtsah, t.th.), juz IV, h. 141
1
2
fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa baik secara perseorangan maupun kolektif. 4 Kemudian menurut Zamakhsyari (w. 538 H) seperti yang dikutip oleh Ma’ruf Amin mengatakan bahwa fatwa adalah penjelasan hukum syara tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok.5 Dari pengertian di atas, ada dua hal yang penting dan perlu digaris bawahi, pertama bahwa fatwa bersifat responsif, dimana ia merupakan jawaban hukum (legal opinion) atas pertanyaan atau permintaan fatwa ( based on demand). Kedua fatwa sebagai jawaban hukum yang tidak bersifat mengikat, dengan kata lain orang yang meminta fatwa baik perseorangan, lembaga, maupun masyarakat tidak harus mengikuti fatwa atau hukum yang diberikan kepadanya.6 Islam dalam kancah politik di Indonesia mempunyai peranan yang penting dan sejarah yang panjang. Mulai dari fase kemerdakaan sampai pada fase reformasi. Peranan Islam dilakukan secara langsung oleh para ulama, pada masa penjajahan peranan ulama sangat jelas terlihat dengan adanya perlawanan kerjaan Islam yang berdiri seperti Demak dan Banten terhadap para penjajah. Pada masa demokrasi liberal dan terpimpin, hubungan antara Islam dan pemerintah bersifat antagonisme dan saling mencurigai satu sama lain. Hubungan seperti ini terjadi karena disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di antara founding father 4
Yusuf al-Qardlâwy, al-Fatwâ bain al-Indlibâth wa al-Tasayyub, (Mesir: Dâr al-Qalam,
t.th.), h. 5 5
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 20
6
Ibid., h. 21
3
Indonesia tentang sistem dan bentuk negara yang dicita-citakan apakah berbentuk Islam atau nasionalis. 7 Tetapi, pada masa awal Orde Baru, di mana terjadinya kemunduran politik pemerintah menggagas untuk membentuk wadah ulama agar dapat mengawasi dan membatasi gerak Islam. Pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta terbentuklah sebuah organisasi tempat berkumpulnya para ulama yang kemudian diberi nama Majlis Ulama Indonesia (MUI), sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Majelis ini bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk turut serta dalam mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur yang diridhai Allah, dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi keagamaan yang bersifat independen, tidak berafiliasi kepada salah satu partai politik, mazhab, atau aliran keagamaan Islam yang ada di Indonesia.8 Dalam khittah pengabdiannya telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:9 1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya); 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti); 7
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998 ), Cet. I, h. 60 8
Azumardi Azra, Menuju MAsyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tanggapan, (Bandung: Rosdakarya, 2000), cet. I, h. 65 9
Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), h. 63
4
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah); 4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid, dan 5. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian, dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Sebagai wadah ulama MUI harus berfungsi menjembatani hubungan antara pemerintah (negara) dengan masyarakat dalam kerangka amar ma’ruf nahi munkar, dan dalam hubungan ini MUI diharapkan mampu memadukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Dalam anggaran dasar MUI disebutkan bahwa majelis ini diharapkan melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat. Pada dasarnya, umat Islam sangat mengharapkan adanya fatwa, karena fatwa mempunyai penjelasan tentang kewajiban-kewajiban agama (faraidl), batasan-batasan (hudud), serta menyatakan tentang haram atau halalnya sesuatu. Fatwa tidak hanya di pahami sebagai sebuah produk hukum yang harus di ketahui, tapi lebih jauh dari itu fatwa merupakan
5
prosedur dalam melaksanakan ajaran agama.10 Fatwa tidak boleh dikeluarkan oleh sembarangan pihak, apalagi masalah yang berhubungan dengan khalayak banyak, karena pasti akan menimbulkan kontroversi dan masalah baru. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI mempunyai daya terima yang tinggi di kalangan umat Islam Indonesia, karena dalam MUI tergabung ulama dari semua komponen umat Islam seperti Ormas Islam, Pesantren, Perguruan tinggi Islam dan lainya, dan juga di karenakan adanya kesan keanekaragaman pemahaman ajaran agama. Dalam sistem hukum Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam memberikan hukum keagamaan pada masyarakat, sekalipun fatwa itu sendiri tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi masyarakat, apalagi dalam konteks negara yang berlandaskan bukan pada hukum Islam seperti Indonesia. Dalam hal seperti ini, fatwa mempunyai peranan yang penting dalam proses pengambilan kebijakan politik atau kebijakan pemerintah dan perundangan-undangan. Meskipun dalam wacana akademis dikenal bahwa fatwa merupakan salah satu produk hukum Islam yang berupa opini legal formal dari seorang atau beberapa ahli hukum Islam yang tidak mengikat secara hukum, namun lebih bersifat normatif atau komunikatif. Tetapi sifat yang tidak mengikat tersebut dalam realitas empirik di Indonesia, seringkali dijadikan pedoman berprilaku oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa
10
Abdul Samat Musa, dkk, Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara Asean, (Negeri Sembilan: INFAD, 2006), h. 79
6
dan bernegara,11 terutama fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh MUI. Dan juga kalau kita cermati banyak materi yang diserap dalam sejumlah peraturan perundangundangan, atau peraturan pemerintah seperti narkotika, perbankan, pornografi, perwakafan, produk halal, pemotongan hewan ternak dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh bagian penelitian dan pengembangan (Litbang) Media Indonesia mengenai respon masyarakat terhadap fatwa MUI, menunjukkan bahwa respon tersebut sangat signifikan. Terutama fatwa yang berkenaan masalah keyakinan dan aliran kepercayaan. Salah satu bukti konkrit bahwa fatwa MUI menjadi acuan bertindak bagi masyarakat dan pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah kasus Ahmadiyah, penyerangan masyarakat terhadap kelompok Ahmadiyah dibeberapa tempat khususnya pada tahun 2002-2003 dan perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap aliran tersebut mengacu pada fatwa MUI Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Ahmadiyah sebagai aliran diluar Islam, sesat, menyesatkan serta bahaya bagi ketertiban Negara. 12 Kontan saja, fatwa ini memberikan pengaruh dan isu yang panas di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga menimbulkan demonstrasi dan pembubaran dari komunitas tersebut, lebih dari itu bahwa pengaruh fatwa ini sangat besar terhadap pelaku politik Indonesia di mana setelah adanya fatwa MUI kebijakan politik pemerintah seakan mengikuti isi dari fatwa, padahal kalau di 11 12
Asrorun Ni’am Sholeh dalam Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. vi
Siti Musdah Maulia, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia”, Jauhar Volume 4, No.2 Desember 2003, h. 183
7
teliti kekuatan hukum fatwa tidak bisa mengikat. Ini menggambarkan bahwa fatwa dan lembaga pembuat fatwa yang dalam hal ini MUI memiliki pengaruh terhadap pemerintahan Indonesia seperti suatu lembaga Negara ketika menetapkan keputusan atau kebijakan politik, yang padahal kalau diteliti lembaga ini bukanlah suatu lembaga Negara seperti MPR, DPR, dan dia tidak termasuk kedalam kancah trias politika seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Terlebih setelah berakhir masa pemerintahan Orde Baru yang ditandai lahirnya masa reformasi yang terjadi pada Mei 1998. Masa ini telah membawa banyak perubahan mendasar dalam kehidupan dan berbangsa Indonesia. 13 Maka fatwa MUI bagaikan sebuah dasar hukum yang diikuti oleh masyarakat bahkan juga oleh pelaku politik (pemerintah) seperti keluarnya SKB Tiga Menteri tentang ajaran Ahmadiyah. Kedudukan MUI jika diperhatikan bagaikan sebuah lembaga Negara, yang bila mengeluarkan suatu keputusan, maka masyarakat seperti mengikuti dengan sendirinya hasil fatwa tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti sejauh mana pengaruh fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah dan hukum yang menjadi perbincangan berbagai kalangan masyarakat. Kemudian penelitian ini penulis angkat dalam bentuk skripsi dengan judul: “ Pengaruh Fatwa MUI terhadap Proses pengambilan Kebijakan Pemerintah Indonesia .”
13
Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yoyakarta: UII Press, 2007), h. 42
8
B. Batasan dan Rumusan Masalah Batasan terhadap permasalahan ini berkisar pada kekuatan fatwa dan pengaruhnya dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah indonesia, setelah munculnya fatwa-fatwa yang menimbulkan gejolak politik di Indonesia. Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang di uraikan dia atas, terdapat pokok masalah yang harus di teliti dan di kaji dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan fatwa MUI dalam kehidupan masyarakat Indonesia? 2. Bagaimana proses pemgambilan kebijakan pemerintah Indonesia? 3. Bagaimana pengaruh fatwa MUI dalam proses lahirnya SKB tiga Menteri tentang Ahmadiyah dan lahirnya Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dilakukan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui peranan fatwa MUI dalam kehidupan masyarakat Indonesia. 2. Untuk mengetahui proses pemgambilan kebijakan pemerintah Indonesia. 3. Untuk mengetahui pengaruh fatwa MUI dalam proses lahirnya SKB tiga Menteri tentang Ahmadiyah dan lahirnya Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Adapun manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah:
9
1. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan wawasan dan pengetahuan khususnya bagi penulis maupun bagi ulama, peneliti dan praktisi hukum, Majelis Ulama Indonesia, Departemen Agama, serta pemerintah. 2. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan wacana pemikiran dan khasanah keilmuan serta mendorong para aparat pemerintahan dalam pengambilan kebijakan politik.
D. Metode Penelitian Metode
penelitian
adalah
cara
yang
dilakukan
penulis
dalam
mengumpulkan data penelitian. 14 Dan dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian dengan tahapan: 1. Jenis Penelitian Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Reseach), yaitu penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur, buku buku, perundang-undangan dan sumber lainnya, karena yang menjadi objek dikajiannya adalah pengaruh fatwa MUI dalam pengambilan kebijakan politik Indonesia. Di lihat dari sifatnya penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian deskriptif analisis. 2. Data Penelitian Data-data yang di jadikan bahan dalam menyusun penelitiana adalah: 14
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), cet. XI, ed. Revisi IV, h. 151
10
a). Data primer, yaitu data utama yang di jadikan acuan pembahasan, sedangkan data yang menjadi acauannya adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI, kebijakan-kebijakan politik Indonesia dan peraturan perundang-undangan b). Data sekunder, yaitu data pendukung dalam penulisan skripsi, yang terdiri dari berbagai macam literatur, buku-buku, jurnal, majalah, karya ilmiah dan kamus yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan dengan data-data kualitatif. Yakni dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang terkait serta mempunyai relevansi dengan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah Dokumentasi, yaitu bahan-bahan yang telah tersusun baik berupa buku-buku, karya ilmiah, jurnal dan lain-lain yang memiliki kaitan dengan pembahasan judul skripsi. 4. Teknik Analisis Data Metode yang di gunakan penulis dalam pembahasan masalah ini adalah deskriptif analisis, yaitu mendeskripsikan data data yang ada (primer dan sekunder) kemudian menganalisa secara komprehensif agar tampak jelas rangkaian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok masalah. Proses data di mulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber seperti buku buku, literatur dan wawancara.
11
Sedangkan teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis mengguunakan bimbingan skripsi yang berpedoman pada ”Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”.
E. Tinjauan ( Review ) Kajian Terdahulu Adapun untuk mengetahui kajian terdahulu yang telah ditulis oleh yang lainnya, maka penulis me-riview beberapa skripsi terdahulu yang pembahasannya hampir sama dengan pembahasan yang penulis angkat. Diari beberapa skripsi tersebut yang penulis temukan di antaranya: Pertama ”Hubungan Ulama dan Negara: Studi Atas Perilaku dan Politik MUI Pada Masa Orde Baru”, yang di tulis oleh Misar Sulaiman Jaya, Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin Tahun 2004. Dalam skripsi tersebut dijelaskan tentang eksisitensi MUI dalam kaitannya sebagai sebuah organisasi ulama dalam hubungannya dengan masyarakat dan pemerintah Indonesia khususnya pemerintahan Orde Baru. Mengacu pada skripsi yang di tulis diatas, penulis berpendapat bahwa pembahasan skripsi ini berbeda karena yang dibahas oleh penulis dalam skripsi ini adalah kedudukan Majelis Ulama Indonesia dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia. Sedangkan yang di bahas pada skripsi yang ditulis Misar berhubungan dengan peran daan perilaku MUI pada masa pemerintahan Orde Baru. Kedua ”Prospek Fatwa Sebagai Hukum positif di Indonesia Suatu Tinjauan Historis dan Yuridis”, sebuah disertasi yang ditulis oleh Muchtar Ali tahun 2009, yang berisi bahwa fatwa sebagai bagian hukum Islam mempunyai
12
peluang sebagai bahan perundang-undangan di Indonesia, dan akomodasi fatwa sebagai hukum positif setidaknya berbentuk transformasi legislasi, penyerapan dan adaptasi, karena dalam penyusunan legislasi itu setidaknya meliputi aspek kaidah universal dan material hukum. Mengacu pada tulisan tersebut penulis berpendapat bahwa yang dibahas dalam desertasi tersebut isi fatwa dalam legislasi hukum fatwa sedangkan dalam skripsi ini menelaah tentang pengaruh fatwa dalam kebijakan politik. Ketiga ”Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam Indonesia”, edisi dwi bahasa yang ditulis oleh M. Atho Mudzar tahun 1993, studi ini menjelaskan tentang fatwa MUI dari tingkat analisis secara metodologi dan lingkunagan sosio politik dan kebudayaan yang mengitarinya.
F. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran secara utuh dan terpadu, skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab, yakni sebagai berikut: BAB I : Sebagai sebuah karya ilmiah penelitian dimulai pada latar belakang masalah yaitu hal yang melatar belakangi permaslahan yang dibahas agar tidak melebar pemaparannya, maka masalah ini dibatasi dan dirumuskan. Bab ini juga memaparkan tujuan dan manfaat penelitian yaitu tujuan penulis meklakukan penelitian dan manfaat yang akan dicapai, selanjutnya dalam penelitian harus ada metode penelitian agar
13
dapat tersusun dan sistematis, oleh karena itu dalam bab ini penulis memaparkan metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : Agar dalam proses penulisan ini berkesinambungan maka dalam bab ini dibahas landasan konseptual dengan tujuan sebagai jalan pembuka dalam penyelesaian peroalan yang dipemasalahkan, maka dalam bab Membahas tentang kerangka teori, dalam hal ini dibahas tentang kelembagaan dan metodologi fatwa MUI yang meliputi sejarah, kedudukan dan funsgsi MUI, Posisi, peran dan tugas lembaga fatwa MUI, ruang lingkup, dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa MUI BAB III : Sebagai bahan lanjutan dalam penulisan skripsi ini, maka dibahasan dalam bab ini tinjauan umum tentang kebijakan pemerintah yang bertujuan sebagai dasar pijakan kedua dalam mengananalisa permaslahan yang dibahas, pembahsan dalam bab ini meliputi pengertian, unsur-unsur pembuat kebijakan pemerintah, isi kebijakan pemerintah, tahap-tahap dan fakator-faktor yang mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan juga dibahas teori pengambilan kebijakan pemerintah dan faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah atau kebijakan publik. BAB IV : Dalam pembahsan bab ini merupakan inti dari pembahsan masalah yang dibahas dan merupakan jawaban dari permasalah yang dibahas dalam perumusan dan pembatasan masalah, maka dalam bab ini menguraikan tentang pengaruh fatwa MUI dalam pengambilan
14
kebijakan pemerintah Indonesia yaitu dalam proses lahirnya SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah dan lahirnya Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan syari’ah. BAB V : Bab ini Merupakan bab Penutup yang memuat kesimpulan hasil dari penelitian sehingga memberikan suatu kejelasan dalam permaslah yang dibahas, yaitu kekuatan hukum fatwa dan peranannya dalam kehidupan masyarakat Indonesia serta pengaruh fatwa MUI terhadap kebijakan pemerintah Indonesia dalam proses lahirnya SKB tentang Ahmadiah dan lahirnya UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan Syari’ah serta saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak.
BAB II KELEMBAGAAN DAN METODOLOGI FATWA MUI
A. Kelembagaan Fatwa Majelis Ulama Indonesia 1. Sejarah, Kedudukan dan Fungsi MUI Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 H yang bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M1 di Jakarta sebagai hasil Musyawarah Nasional I Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 12-18 Rajab 1395 H atau bertepatan dengan tanggal 21-27 Juli 1975 di balai Sidang Jakarta. Musyawarah ini diselenggarakan oleh sebuah panitia yang diangkat oleh Menteri Agama dengan Surat Keputusan No. 28 tanggal 1 Juli 1975, yang diketuai oleh Letjen. Purn. H. Soedirman dan Tim Penasehat yang terdiri dari Prof. Dr. Hamka, K. H. Abdullah Syafe’i dan K. H. M. Syukri Ghazali. 2 MUI muncul ke pentas sejarah ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah selama tiga puluh tahun sejak kemerdekaan bangsa Indonesia sibuk dalam perjuangan politik baik di dalam negeri maupun di dalam forum internasional, sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk membangun menjadi bangsa yang maju dan berakhlak mulia.
1
Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, ( Jakarta: INIS, 1993), h. 63 2
20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1995), h. 13
15
16
Berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh adanya kesadaran kolektif pimpinan umat Islam bahwa negara Indonesia memerlukan suatu landasan kokoh bagi pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Oleh karena itu, keberadaan organosasi para ulama, zuama dan cendikiawan muslim seperti ini sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa dan bagi berkembangnya
hubungan
harmonis
antara
berbagai
potensi
untuk
kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia. Sebelum MUI resmi didirikan, telah muncul bebrapa kali pertemuan yang melibatkan para ulama dan tokoh-tokoh Islam. Pertemuan tersebut mendiskusikan gagasan akan pentingnya suatu majelis ulama yang menjalankan fungsi ijtihad kolektif dan memberikan masukan serta nasehat keagamaan kepada pemerintah dan masyarakat. Pertemuan-pertemuan itu diantaranya adalah pada tanggal 30 September 1970 Pusat Dakwah Islam menyelenggarakan sebuah konferensi untuk membentuk sebuah majelis ulama yang berfungsi memberikan fatwa.3 Kemudian pada tahun 1974 Pusat Dakwah Islam kembali menyelenggarakan konferensi untuk para da’i. Konferensi tersebut menghasilkan sustu kesimpulan bahwa pentingnya pendirian majelis ulama dan merekomendasikan para ulama di setiap tingkat provinsi untuk mendirikan sebuah majelis ulama. Selain itu, di pihak pemerintah pada tanggal 24 Mei 1975, presiden Soeharto menyatakan dengan menekankan akan pentingnya sebuah majelis 3
Atho Mudzhar, Fatwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 54
17
ulama setelah menerima kunjungan dari Dewan Masjid Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 21-27 Juli 1975 digelarlah sebuah konferensi ulama nasional, yang pesertanya terdiri dari utusan atau wakil majelis ulama daerah yang baru berdiri, pengurus pusat organisasi Islam, sejumlah ulama Independen dan empat wakil dari ABRI. Konferensi ulama nasional tersebut menghasilkan sebuah deklarasi yang ditanda tangani oleh lima puluh tiga peserta yang hadir, deklarasi tersebut menyatakan berdirinya sebuah organisasi atau kumpulan para ulama dengan sebutan Majlis Ulama Indonesia (MUI). Peristiwa berdirinya MUI tersebut kemudian diabadikan dalam bentuk penandatanganan piagam berdirinya MUI yang ditandatangni oleh 53 orang ulama yang terdiri dari 26 orang ketua Majelis Ulama tingkat Provinsi seindonesia, 10 orang ulama dari unsur organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Kepolisian, serta 13 orang ulama yang hadir sebagai pribadi. 4 Adapun kesepuluh Ormas Islam yang hadir dalam konferensi tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU)
yang
diwakili KH.
Moh.
Dahlan,
Muhamadiyah diwakili oleh Ir. H. Basit Wahid, Syarikat Islam diwakili oleh H. Syafi’i Wira kusumah, Perti diwakili oleh H. Nurhasan dan Ibnu Hajar, AlWasliyah diwakili oleh Anas Tanjung, Mathla’ul Anwar diwakili oleh KH. Saleh Su’aidi, GUPP diwakili oleh KH. S. Qudratullah, PTDI diwakili oleh H.
4
Gambaran Umum Organisasi MUI dalam Pedoman Penyelenggaraan Organisasi MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2002), h. 7
18
Sukarsono, DMI diwakili oleh K. H. Hasyim Adnan, dan Al-Ittihadiyah oleh H. Zainal Arifin Abbas.5 Pertemuan alim ulama yang melahirkan MUI tersebut ditetapkan sebagai Munas (Musyawarah Nasional) MUI Pertama. Dengan demikian, sebelum adanya MUI Pusat, terlebih dahulu di daerah-daerah telah terbentuk Majlis Ulama. Buya Hamka, tokoh yang awalnya menolak pendirian sebuah majelis, terpilih menjadi Ketua Umum MUI pertama kali yaitu untuk periode 1975-1981. Hamka memberikan dua alasan atas penerimaan jabatan ketua umum MUI. Pertama, umat Islam harus bekerja sama dengan pemerintah Soeharto, sebab pemerintah Soeharto anti-komunis. Kedua, pendirian MUI harus bisa meningkatkan hubungan antara pemerintah dan umat islam. 6 Pada awal berdirinya, MUI berfungsi sebagai penasihat, tidak membuat program-program yang praktis. MUI tidak terlibat dalam program-program praktis seperti mendirikan madrasah, rumah sakit dan kegitan-kegiatan yang mendukung ormas-ormas Islam, dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam anggaran dasar MUI, bahwa peran MUI ditetapkan sebagai pemberi fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun masyarakat muslim berkaitan dengan persoalan yang berkaitan dengan agama khususnya dan persoalan yang berkaitan yang dihadapi negara pada umumnya, MUI juga diharapkan mampu menyemangati persatuan di 5 6
20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, h. 16-17
Rusjdi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1981), h. 68
19
antara umat Islam, memediasi antara pemerintah dan ulama dan mewakili muslim dalam mengambil keputusan-keputusan antar agama. Untuk membangun komunikasi dan menjalankan peranannya, dibagunlah hubungan antara MUI Pusat dengan MUI Provinsi, antara MUI Provinsi dengan MUI Kabupten/kota, antara MUI Kabupaten/kota dengan MUI Kecamatan, secara berjenjang yang bersifat koordinatif, aspiratif, dan struktural administratif. Sedangkan untuk menjaga kerukunan umat Islam dibangunlah hubungan antara MUI dengan organisasi kemasyarakatan atau kelembagaan Islam yang bersifat konsultatif dan kemitraan. Organisasi MUI tidak memiliki stelset keanggotaan. MUI juga bukan merupakan federasi ormas-ormas kelembagaan Islam. Pada tahun 1981, Buya Hamka mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI dan digantikan oleh K. H. Syukri Ghazali yaitu seorang Kyai dari kalangan NU yang lahir pada tahun 1906. Beliau terkenal dengan keramahan dan keluasan ilmu syari’ahnya. Beliau memimpin MUI selama tiga tahun, dan meninggal pada tahun 1984 ketika masih menjabat ketua umum. Selama beliau menjabat telah dilakukan penyempurnaan pedoman dasar dan pedoman rumah tangga MUI, dan penyelenggaraan Munas Utama tentang kependudukan, kesehatan, lingkungan hidup, dan keluarga berencana yang menghasilkan fatwa tentang haramnya praktek aborsi serta vasektomi dan tubektomi. 7
7
20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, h. 27-28
20
Untuk menggantikan K. H. Syukri Ghazali, terpilihlah K. H. Hasan Basri sebagai ketua umum MUI, beliau memperoleh amanah untuk memimpin MUI hingga tahun 2000, namun pada tahun 1998 beliau meninggal dunia. Sebagai penggantinya, disepakati untuk meminta kesediaan Prof. K.H Ali Yafie memegang sebagai ketua Umum MUI yang keempat yang menjabat dari tahun1998-2000. Beliau adalah profesor dari Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta yang dikenal luas sebagai sosok ulama yang cendekia. Setelah itu hingga kini Ketua Umum MUI dijabat oleh Dr. K. H. M. A Sahal Mahfudh, seorang ahli fikih yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta8 Kelima ulama yang pernah menjabat ketua umum MUI tersebut mereka adalah ulama-ulama Indonesia yang tidak diragukan lagi kedalaman ilmunya terutama pemahaman tentang hukum Islam dan mereka juga memiliki peranan yang penting dalam membina umat Islam. Jika diperhatikan, dari kelima tokoh ulama tersebut paling tidak ada tiga kesamaan di antara mereka, yaitu; pertama, tak seorangpun dari mereka pernah mengenyam bangku kuliah di sebuah Universitas; kedua, ketiganya mendapat gelar doktor atau sederajat profesor dari sejumlah Universitas; dan ketiga, kesemuanya berasosiasi dengan organisasi kemasyarakatan Islam mayoritas, baik Muhamadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU).9
8 9
Hamam Faizin, MUI dalam Bingkai sejarah, Makalah tidak diterbitkan Ibid
21
Dalam perkembangan MUI, semenjak tahun 1990 batasan tentang lingkup dan fungsi organisasi MUI mulai mengalami perluasan. MUI secara bertahap menyelenggarakan program-program yang praktis, seperti mengirimkan para da’i ke wilayah transmigrasi, mendirikan Bank Mu’amalat Indonesia dan Badan Arbitrasi Kasus-kasus Mu’amalah, mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan kosmetika (LP-POM), yang memberikan sertifikasi halal untuk makanan baik produk dari dalam negeri maupun luar negeri. Sertifikat halal ini memberikan dampak yang besar bagi masyarakat, karena menjadi petunjuk bagi umat Islam dalam mengkonsumsi makanan atau minuman yang halal dan menghindar dari yang haram. Aktifitas kegiatan MUI dapat dilihat dari banyaknya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh komisi-komisi dan lembaga/badan yang ada dilingkungan MUI. Pembentukan komisi dan lembaga/badan MUI pusat, MUI provinsi, MUI kabupaten/kota, dan MUI kecamatan disesuaikan dengan kebutuhn, kelayakan, ketersediaan SDM, dan kemampuan pendanaannya. Dilihat dari aspek sosial kemasyarakatan, eksistensi MUI dipandang sangat penting di tengah realitas pluralitas masyarakat Islam Indonesia. Kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam alam fikiran keagamaan, organisasi sosial, dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik selain dapat merupakan kekuatan, tetapi juga sering menjelma menjadi kelemahan dan sumber pertentangan dikalangan umat Islam sendiri. Sebagai akibatnya, umat Islam terjebak dalam keeogisan kelompok yang berlebihan dan kehilangan
22
peluang untuk mengembangkan diri menjadi kelompok yang tidak hanya besar dalam jumlah tetapi juga unggul dalam kualitas. Oleh karena itu, adanya kelembagaan umat Islam yang bersifat kolektif seperti MUI, menjadi wadah silaturrahim yang merupakan suatu kebutuhan mendesak bagi persatuan, kesatuan, dan kebersamaan umat Islam. Sebagaimana tercantum dalam dokumen wawasan MUI, dalam khidamahnya, visi organisasi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaaan, dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah SWT menuju masyarakt berkualitas demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh umat. Sementara itu, ada tiga misi yang diemban MUI yakni:10 a. Menggerakan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah hasanah), sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah Islamiah, serta menjalankan syari’ah Islamiayah. b. Melaksanakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi munkar dalam mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat berkualitas dalam berbagai aspek kehidupan.
10
Wawasan Majelis Ulama Indonesia, Hasil Munas VII MUI 2005, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2005).
23
c. Mengembangkan
ukhuwah
Isamiyah
dan
kebersamaan
dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana yang tercantum dalam khidmahnya yaitu membangun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, MUI berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam baik diminta maupun tidak. Sebagai lembaga pemberi fatwa, MUI mengakomodasi dan menyalurkan aspiraasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran faham dan pemikiran serta organisasi keagamaannya. Secara operasional, saat ini komisi yang ada dilingkungan MUI pusat meliputi : (1) Komisi Fatwa, (2) Komisi ukhuwah Islamiyah, (3) Komisi dakwah dan pengembangan masyarakt Islam, (4) Komisi Pendidikan dan Pembinaan Seni Budaya Islam (5) Komisi penkajian dan penelitian, (6) komisi Hukum dan Perundang-undangan, (7) Komisi Pemberdayaan ekonomi Umat, (8) Komisi Pemberdayaan Perempuan, Remaja
dan Keluarga, (9)
Komisi Informatika dan Media Massa, (10) komisi Kerukunan Umat Beragama, dan (11) Hubungan Luar Negeri. Pasca rezim orde baru (reformasi) MUI mempunyai wajah baru, jika selama orde baru MUI cenderung dinilai sebagai lembaga
ulama yang
berperan menjustifikasi agenda-agenda politik rezim (status quo), maka pada masa reformasi MUI banyak menuai kritikan sebagai institusi Islam yang sikap dan suaranya cenderung mencerminkan proses radikalisasi Islam yang
24
menjadi salah satu fenomena keoslaman Indonesia.11 Menurut Ahmad Zainul Hamdi fenomena ini terlihat dalam warna fatwa-fatwa MUI masa reformasi, ini bisa dilihat dari bebrapa fatwa MUI yang dikeluarkan pada Juli 2005, antara lain, fatwa pemikiran Islam Liberal, Pluralisme, Pernikahan beda agama (antar agama), Do’a bersama yang dipimpin oleh non-muslim, serta fatwa tentang larangan Ahmadiyah karena dianggap sekte sesat.12 2. Posisi, Peran dan Tugas Lembaga Fatwa MUI Sebagaimana telah disebutkan pada bab I bahwa secara etimologis kata fatwa berasal dari bahasa Arab. Dalam kamus Lisân al-‘Arab karangan Ibnu Mandzur disebutkan bahwa kata fatwa merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna muda, baru penjelasan, penerangan.13 AlFayumi, sebagaimana yang dikutip oleh Ma’ruf Amin, meneyebutkan bahwa alfatwa berasala dari kata al-fata artinya pemuda yang kuat. Sehingga orang yang mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagai kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda. Sedangkan menurut al-Jurjani fatwa berasal dari al-fata atau al-futya,
11
Ahmad Zainul Hamdi, Radikalisasi Islam Melalui Institusi Semi-Negara : Studi kasus atas Peran MUI pasca Soeharto, dalam jurnal Istiqro, Volume 06, Nomor01,2007 ( Jakarta: DIKTIS, DEPAG, 2007) h.87 12 Ibid 13 Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shâdir, t.th.), juz XV, h. 145
25
artinya jawaban terhadap suatu permasalahan dalam bidang hukum, sehingga fatwa dalam pengertian ini diartikan sebagai memberikan penjelasan. 14 Kata fatwa juga berarti memberi penjelasan (al-ibânah), dikatakan aftahu fi al-amr mempunyai arti memberikan penjelasan kepadanya atau memberikan jawaban atas persoalan yang diajukan. 15 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. al-Nisa ayat 127 sebagai berikut:
(١٢٧ :٤/` )ﺳﻮرة اﻟﻨﺴﺂءgù N6Gÿ !# @% ( ä$¡Y9# û 7RqGÿG¡r Artinya: “Dan mereka minta fatwa kepadamutentang para wanita. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka”. (QS. Al-Nisa/4: 127). Dari uraian di atas, diketahui bahwa asal kata fatwa berasal dari kata alfatâ, yaitu seorang pemuda yang kuat. Seorang dikatakan sebagai mufti adalah orang yang mempunyai kekuatan dalam memberikaan bayan (penjelasan) dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagaimana kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda. Kata mufti juga dapat difahami sebagai orang yang berpengetahuan luas dalam memberikan penjabaran tentang hukum. Kata fatwa juga sudah diserap menjadi bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa fatwa berarti jawaban (keputusan,
14
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Paramuda Advertising, 2008), h. 19 15
Amir Sa’id Ash-Shiddieqy, Mabâhits fî Ahkâm al-Fatwa, (Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 1995), h. 31
26
pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah. Juga diartikan sebagai nasehat orang alim; pelajaran baik; dan petuah. 16 Sedangkan secara terminologis fatwa adalah menerangkan hukum dari suatu persoalan sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafi), baik perseorangan maupun kolektif, baik dikenal maupun tidak dikenal. 17 Fatwa berarti ketentuan yang berisi jawaban dari mufti tentang hukum syariah kepada pihak yang meminta fatwa. Sementara, dalam definisi komisi Fatwa MUI, disebutkan bahwa fatwa merupakan penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai permasalahan yang dihadapi atau dinyatakan oleh masyarakat serta merupakan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya.18 Tindakan memberikan fatwa disebut dengan ifta’, yaitu suatu pekerjaan memberi nasehat atau fatwah. Orang yang mengeluarkan fatwa disebut dengan mufti, sedangkan orang yang meminta fatwa disebut dengan mustafti. Dengan demikian, dalam terminologi fikih, fatwa didefinisikan sebagai keteranganketerangan tentang hukum syara’yang tidak mengikat untuk diikuti. Dengan demikian, fatwa menemukan urgensitasnya karena ia memuat penjelasan dan bimbingan hukum mengenai berbagai hal, mulai dari masalah ibadah, mu’malah (sosial, politik maupun ekonomi) hingga masalah-masalah 16
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas - Balai Pustaka, 2002), edisi ketiga, Cet. VII, h. 314 17
Yusuf al-Qardlâwy, al-Fatwâ bain al-Indlibâth wa al-Tasayyub, (Mesir: Dâr al-Qalam,
t.th.), h. 5 18
Pengantar Komisi Fatwa MUI dalam Hasil Munas VII Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2005)
27
aktual dan kontemporer, yang muncul seiring dengan perkembanagan peradaban manusia. Dalam konteks tata perundangan nasional, fatwa MUI memang tidak menjadi bagian dalam sistem hukum dan perundang-undangan di indonesia, bahkan dalam struktur kelembagaan negara juga tidak dikenal apa yang disebut dengan mufti ataupun lembaga fatwa. Selain itu, hakekat dasar fatwa sesungguhnya berfungsi sebagai sebuah pendapat hukum (legal opinion) yang daya ikatnya berbeda dengan putusan hukum (qadlâ) seperti ketetapan atau putusan hakim. Namun kenyataan yang terjadi, fatwa bagi sebagian besar umat Islam Indonesia tidak hanya dipahami sebagai pendapat hukum yang tidak mengikat, tapi lebih jauh dari itu fatwa ulama sudah menjadi acuan dan pedoman pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, fatwa MUI juga menjadi rujukan dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wahiduddin Adams, dalam penelitian disertasinya beliau mencatat sebanyak 12 fatwa dalam rentan waktu 1975-1997 telah diserap dalam bentuk Undang-Undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, maupun keputusan Dirjen. 19 MUI sebagai wadah pengkhidmatan ulama kepada umat Islam di Indonesia, mempunyai beberapa fungsi dan tugas yang harus diemban. Salah 19
Wahiduddin Adams, Pola Penyerapan fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan 1975-1997, (Jakarta: Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2002), Disertasi.
28
satu fungsi dan tugas tersebut adalah memberi fatwa keagamaan di Indonesia. Fatwa sangat dibutuhkan oleh umat islam yang tidak mempunyai kemampuan untuk menggali hokum langsung dari sumber sumbernya, karena fatwa memuat penjelasan tentang kewajiban-kewajiban agama (Faraidl), batasan-batasan (hudud), serta menyatakan tentnag haram atau halalnya sesuatu.20 Dengan demikian betapa penting peran ulama dalam memberikan fatwa pada umat, bahkan ulama merupakan pewaris para nabi sebagaimana sabda NabiSAW: ٢١
(اَﻟْﻌُﻠَﻤَﺂءُ وَرَﺛَﺔُ اْﻷَﻧْﺒِﻴَﺂء )رواﻩ أﺑﻮ داود
Artinya: “Ulama adalah yang mewarisi para nabi”. (HR. Abi Dawud ) Ini berarti bahwa tugas para ulama (MUI) adalah meneruskan tugas yang dulu dilakukan oleh para nabi. Dalam hal ini tugas para ulama adalah mengajak masyarakat untuk melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang tidak baik atau yang biasa disebut amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT., dalam surat Ali-Imran/3: 104):
4 3YJ9# `ã bqgZr $rèRQ$/ brB'r :# <) bqã pB& N3YB `3F9r (١٠٤ :٣/ )ﺳﻮرة آل ﻋﻤﺮانcqs=ÿJ9# Nd 7´»9r&r Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S: Ali Imran/3: 104). 20
Ma’ruf Amin, Fatwa dalm Sistem Hukum Islam, h. 21 Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Dawud al-Sijistani al-Azadi, Sunan Abi Dawud, ( T,tp: Dar al-fikr, t.th) juz II, h.341 hadits Nomor 3641 21
29
Oleh karena itu, posisi yang strategis inilah maka fatwa-fatwa MUI yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia mempunyai daya serap yang tinggi dibanding dengan fatwa yang dikeluarkan oleh orams Islam. Keberadaan komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dipandang sangat penting, karena komisi ini diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang senantiasa muncul dan semakin kompleks, yang dihadapi umat Islam Indonesia. Tugas yang diemban komisi fatwa yakni memberikan fatwa (ifta’) yang bukan pekerjaan mudah karena mengandung resiko yang berat yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Tujuaan memberi fatwa adalah menjelaskan hukum Allah kepada masyarakat yang akan menjadi pedoman dan mengamalkannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hampir dalam semua kitab Ushul al-Fiqh membahas masalah ifta’ dan menetapkan sejumlah adab (kode etik) dan persyaratan yang sangat ketat dan berat bagi seorang yang akan menjadi mufti. Di antara prinsip dan persyaratan tersebut adalah bahwa mufti (orang atau lembaga yang memberikan fatwa) harus mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut dalil-dalilnya. Tidak dibenarkan berfatwa hanya berdasarkan keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan-dugaan yang tidak ada dasarnya pada dalil. Fatwa harus dikeluarkan oleh orang atau lembaga yang mempunyai kompetensi, karena fatwa yang dikeluarkan secara sembarangan akan melahirkan tindakan tahakkum (perbuatan membuat-buat hukum) dan tasyarru’ (membuat-buat
30
syari’at baru), kedua hal tersebut dilarang sebagai mana firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 116:
?ã #rIÿG9 P#m #»dr @»=m #»d >39# N6GY¡9& #Á? $J9 #q9q)? wr (١١٦ :١٦/ )ﺳﻮرة اﻟﻨﺤﻞbqs=ÿ w >39# !# ?ã brIÿ ûï%!# b) 4 >39# !# Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengadaadakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS Al-Nah/16l : 116). B. Metodologi Fatwa MUI 1. Ruang Lingkup Fatwa MUI Pada hakekatnya, wilayah fatwa MUI adalah wilayah di mana dimungkinkan dilakukan ijtihad, yang telah diintrodusir oleh ahli Ushul fiqh. Secara garis besar hukum Islam itu ada yang sudah diketahui secara jelas dan tidak lagi memerlukan penafsiran (qath’i al-Dalâlah) dan ada pula yang baru diketahui melalui ijtihad (Qath’i al-Zhann). Dalam mendefinisikan ijtihad para ahli ushul fiqh berbeda pendapat, diantaranya ijtihad didefinisikan: ٢٢
ﺷَﺮْﻋِﻲﱟ ٍﲝُِﻜْﻢ َﺤْﺼِﻴْﻞِ ﻇَﻦﱟ َاﻟﻮُﺳْﻊ اﻟﻔَﻘِﻴْﻪِ ﻟِﺘ ُإِﺳْ ﺘِﻘْﺮَاع
Artinya: “(Ijtihad adalah) pencurahan segenap kemampuan secara maksimal yang dilakukan seorang ahli fiqh (faqiih) untuk mendapatkan pengetahuan tingkat zhann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i (hukum Islam)”.
22
Muhammad Ibn Ahmad al-Mahallî, Syarh ‘alâ Matn Jam’i al-Jawâmi’, (Mesir: Musthafâ al-Bâbi al-Halabi), Juz II h. 379
31
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa tujuan dari ijtihad adalah untuk menggali dan mengetahui hukum Islam yang berstatus zhanni, dengan kata lain bahwa ijtihad itu hanya berlaku dalam masalah yang secara ekplisit belum ada dalam nash al-Qur’an dan hadist, serta masalah-masalah yang ada dalam kedua sumber tersebut, tetapi termasuk dalam kategori zhanni baik tsubut ataupun dilalahnya, juga dalam kasus yang belum ada ijma ulama. Jika pada masa lampau keberadaan dan peran para mujtahid didambakan umat Islam, tentunya pada masa sekarang keberadaan, peran dan kreatifitasnya sangat diharapkan. Sebagaimana para mujtahid pada masa lalu mampu menyelesaikan permasalahan yang muncul pada masanya, maka mujtahid pada masa sekarang dituntut harus mampu menyelesaikan masalahmasalah kontemporer, terutama setelah adanya perubahan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, menurut Abu Zahrah, ruang lingkup fatwa lebih khusus dari ijtihad, karena muncul baik ada pertanyaan ataupun tidak. Sementara fatwa secara umum muncul apabila ada peristiwa atau pertanyaan dari mustafti (orang atau lembaga yang meminta fatwa).23 Berdasarkan Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI, dalam bab VI disebutkan bahwa kewenangan dan wilayah fatwa MUI adalah masalahmasalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fiqh) dan
23
Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 401
32
masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.24 2. Dasar Penetapan dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI Dalam menetapkan fatwa harus mengikuti tata cara dan prosedur tertentu yang telah disepakati oleh para ulama, termasuk dalam hal penggunaan dasar yang menjadi landasan hukum dalam penetapan fakta. Penetapan fatwa yang tidak mengindahkan tata cara dan prosedur yang ada merupakan salah satu bentuk tahkkum (membuat-buat hukum) dan menyalahi esensi fatwa yang merupakan penjelasan hukum syara’ terhadap suatu masalah, yang harus ditetapkan berdasarkan dalil-dalil keagamaan (adillah syar’iyyah). Dalam hal ini para ulama mengelompokkan sumber atau dalil syara’ yang dapat dijadikan dasar penetapan fatwa menjadi dua kelompok, yakni: dalil-dalil hukum yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan dasar penetapan fatwa (adillah al-ahkam al-mutafaq ‘alaih) dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa (adillah al-ahkam al-mukhtalaf fiha). Para ulama juga telah menjelaskanapa saja dalil-dalil hukum yang disepakati untuk dijadikan dasar penetapan fatwa yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sebagaimana para ulama juga telah menyebutkan dalil-dalil 24
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h. 7
33
hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa, yakni: alIstihsan, al-Istishlah, Maslahah al-mursalah, Sadd al-Dzari’ah, Madzhab Shahabah dan sebagainya. 25 Dasar yang menjadi justifikasi para ulama dalam menetapkan klasifikasi pertama yang menyatakan bahwa al-Qur’an, alSunnah, Ijma dan Qiyas merupakan dalil-dalil hukum yang disepakati untuk menjadi dasar penetapan fatwa adalah firman Allah SWT:
b*ù ( O3ZB D{#
25
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 55
34
ﻛﻴﻒ ﺗﻘﻀﻲ ﻳﺎ ﻣﻌﺎذ إذا ﻋﺮض ﻟﻚ ﻗﻀﺎء ؟ ﻗﺎل أﻗﻀﻲ ﺑﻜﺘﺎ ب: ﻓﻘﺎل ﻟﻪ اﻟﺮﺳﻮل ﻓﺈن ﱂ ﲡﺪ ﰲ ﻛﺘﺎب اﷲ ؟ ﻗﺎل ﻓﺒﺴﻨﺔ اﷲ ﻗﺎل ﻓﺈن ﱂ ﲡﺪ ؟ ﻗﺎل أﺟﺘﻬﺪ: ﻗﺎل. اﷲ ﺑﺮأﻳﻲ – أي ﻻ أﻗﺼﺮ ﰲ اﻹﺟﺘﻬﺎد – ﻓﻀﺮب رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺻﺪرﻩ وﻗﺎل اﳊﻤﺪ ﷲ اﻟﺬي وﻓﻖ رﺳﻮل رﺳﻮل اﷲ ﳌﺎ ﻳﺮﺿﻰ اﷲ ورﺳﻮ ﻟﻪ ٢٦
Artinya: ”Rasulullah SAW bertanya kepada Mua’adz bin Jabal: “Bagaimana engkau menghukumi sesuatu jika dihadapkan pada persoalan hukum wahai Mu’adz?”. Mu’adz menjawab: “Saya menghukuminya berdasarkan kitab Allah”. “Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan (hukum) di dalam kitab Allah?”, tanya Rasulullah. Mu’adz menjawab: “Berdasarkan sunnah Rasulullah”. “Jika tidak mendapatkannya?”, lanjut Rasulullah, “Saya berijtihad dengan akalku”. Kemudian Rasulullah memukul pundak Mu’adz sambil mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada delegasi Rasulullah atas ridha Allah dan Rasulnya. (HR. Ahmad). Meskipun demikian, para ulama memberikan catatan bahwa AlQur’an, Sunnah, dan Ijma’ dipandang sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dalam menetapkan hukum syari’ah, sehingga tidak membutuhkan sumber hukum lainnya dalam menetapkan suatu fatwa. Sedangkan Qiyas tidak demikian, karena dalam menetapkan hukum dengan menggunakan Qiyas tetap membutuhkan landasah hukum yang ada dalam al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’, serta memerlukan adanya ‘illat yang ada pada hukum asal. Dengan demikian dalil qiyas sifatnya tidak independen dengan dalil yang bersifat naqli, terikat dengan ashl yang terdapat dalam nash al-Qur’an dan Sunnah.
26
Ahmad bin Hambal Abŭ ‘Abdullah al-Syaibânî, Musnad bin Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurtubah, t.th.), Juz 5, h. 242 hadis nomor 22153
35
Untuk melakukan tugas ijtihadnya, MUI mempunyai tata cara dalam penetapan fatwa yang tertuang dalam prosedur penetapan fatwa pada 1986, yang pada tahun 1997 diganti menjadi “Pedoman Tata Cara Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia”, dan kemudian disempurnakan dengan judul “ Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI” tahun 2001. Lalu pedoman ini disempurnakan kembali pada forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa seIndonesia I pada tahun 2003. Secara operasional, dalam pedoman penetapan fatwa MUI disebutkan ada beberapa hal yang menjadi dasar dan metode penetapan fatwa MUI, yaitu dalam Bab II tentang Dasar Umum dan Sifat Fatwa disebutkan bahwa:27 1. Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur’an, sunnah (hadits), Ijma’, dan Qiyas serta dalil lain yang mu’tabar. 2. Aktifitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga fatwa yang dinamakan Komisi Fatwa. 3. Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif dan antisipatif. Kemudian dalam Bab III disebutkan tentang Metode Penetapan Fatwa yaitu sebagai berikut:28 1. Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat para imam madzhab dan ulama yang mu’tabar tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara seksama berikut dalil-dalilnya. 2. Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan sebagaimana adanya. 3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka: a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat ulama-ulama madzhab melalui metode al-jam’u wa al-Taufiq; dan 27 28
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, h. 5 Ibid
36
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah dengan menggunakan kitab-kitab Ushul Fiqh Muqaran. 4. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan madzhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif) melalui metode bayani, ta’lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi), istishlahi, dan sad al-Zdari’ah. 5. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan maqashid al-syari’ah. 3. Kekuatan Hukum Fatwa Telah dijelaskan bahwa yang difatwakan atau materi fatwa itu adalah hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad. Dalam hal ini mufti sama kedudukannya dengan hakim, yaitu menyampaikan hukum kepada umat. Fatwa disampaikan mufti dengan ucapannya setelah menerima pertanyaan dari umat. Sedangkan qadhi atau hakim menyampaikan hukum melalui putusan hukum atau dalam proses persidangan setelah perkaranya disampaikan oleh umat (orang yang mengajukan perkara). Keduanya merupakan hasil ijtihad. 29 Namun, secara umum perbedaan antara fatwa dan qadlâ atau putusan hakim antara lain bahwa putusan hakim bersifat mengikat bagi seseorang untuk patuh menjalankan ketentuan yang telah diputuskan sesuai dengan syari’at Islam. Sedangkan fatwa lebih bersifat informatif (ikhbâr) tentang ketentuan Allah yang menuntut bagi orang Islam untuk melaksanakan atau hanya sekedar kebolehan. Dengan demikian, bahwa kekuatan hukum fatwa
29
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Ciputat: Logos, 2005), jilid 2, cet. III, h. 433
37
tidak mengikat dan tidak mempunayai sanksi resmi bagi orang yang tidak menjalankannya, ini merupakan salah satu karakter atau ciri khas fatwa, yaitu tidak mengikat.30 Muchtar Ali mengutip pendapat ahli ushul fiqh al-Hattab pengarang kitab Mawâhib Syarh Mukhtasar Khalîl mengatakan bahwa ifta atau fatwa yaitu penerapan hukum syara’ bukan secara wajib untuk diikuti, sejalan dengan pendapat ini Muhammad bin ali bin al-Marhum Hussayn penulis kitab Tahzîb al-Furûq wa al-Qawâ’îd al-Sunniyah fî al-Asrâr alFiqhiyah menjelaskan bahwa fatwa bermaksud semata mata menerangkan mengenai hukum hukum Allah pada kewajiban dan keharusan. 31 Ali Hasballah dalam kitabnya Usûl al-Tsyri’ al-Islâm mengatakan bahwa pandangan ulama dalam bentuk fatwa tidak mengikat, karena dua alasan yaitu: satu, berupaya untuk beristinbat hukum dan yang tidak mampu untuk berbuat demikian, alasan lain adalah telah menjadi adat sejak dulu orang-orang awam pergi ke ulama untuk bertanya hukum, dan menjadi kewajiban ulama untuk menjawab pertanyaan itu. Namun tidak menjadi tanggung jawab meraka untuk melaksanakan fatwa ulama tersebut sehingga merasa yakin dan puas hati dengan ulama tersebut. Ulama itupun tidak boleh memaksa meraka menerima dan melaksanakan fatwa tersebut. 32
30
Al-Nawawi, al-Majmû’ah, (Kairo: al-’Ashimah, t.th), h. 75
31
Muchtar Ali, Prospek Fatwa Sebagai Hukum Posistif Indonesia (Suatu Tinjauan Historis dan Yuridis), Tesis Pasca Sarjana UIN Jakarta 2009, h. 208 32
Ali Hasaballah, Usûl al-Tasyri’ al-Islâmi, (Mesir: Dâr al-Ma’arif, 1959), h. 55
38
BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH
A. Pengertian Kebijakan Pemerintah Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kebijakan pemerintah, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian kebijakan dan pemerintah. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kebijakan dartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (pemerintahan, organisasi). 1 Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintah, bukan saja dalam arti government, dalam arti hanya menyangkut aparatur Negara, melainkan pula governace yang menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, maupun masyarakat madani (civil society). Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihanpilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, masyarakat atau warga Negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, idiologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu Negara. Sedangkan pemerintah adalah “pengurus harian” negara, yaitu keseluruhan dari pada jabatan-jabatan (pejabat-pejabat) di dalam suatu negara yang 1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 149
38
39
mempunyai tugas dan wewenang politik negara dan pemerintahan.2 Pemerintah ialah semua lembaga yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan negara, pembuatan peraturan, penerapan peraturan dan menegakkan peraturan (keputusan politik). Salah satu ciri khas pemerintah ialah kewenangannya membuat dan melaksanakan kebijakan umum. Dalam hal ini, pemerintah merupakan mekanisme penetapan aturan-aturan berperilaku bagi anggota masyarakat, yang semuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan masyarakat-negara. 3 Dengan demikian, dalam arti luas pemerintah mencakup semua badan-badan negara, 4 yakni lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kebijakan pemerintah merupakan wahana dari suatu pemerintah untuk secara rasional menguasai dan mengemudikan aktivitas-aktivitas sosial. Kegiatan-kegiatan dari kebijakan pemerintahan berwujud dalam kegiatan mengatur dan mengarahkan masyarakat, antara
lain
dengan
melalui
pembuatan
peraturan
perundang-undangan,
perencanaan, aneka intervensi oleh pemerintah terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan lain-lain kegiatan yang sifatnya fundamental. 5
2
S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), cet. X, h. 11 3
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999), cet. IV, h. 11 4
M. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. IV, h. 112 5
Johannes Rudolf Gerzon Djopari, Kebijakan Pemerintah, Artikel diakses dari http:// pustaka.t.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=66:ipem4538kebijakanpemerintah&Itemid=74&catid=29:fisip, pada tanggal 3 April 2011
40
Kebijakan pemerintah erat kaitannya dengan kehidupan politik negara, oleh karena itu kebijakan pemerintah biasanya disebut juga dengan keputusan politik atau kebijakan politik. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kebijakan politik, perlu kiranya dijelaskan tentang pengertian politik terlebih dahulu. Kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat peribadi atau perbuatan. Secara leksikal, asal kata tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”, politic kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat
dan sebagainya)
mengenai
pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. 6 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia politik diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain, kebijakan cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah). 7 Menurut Miriam Budiardjo, politik adalah 6
Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet. II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34 7
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indoesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, edisi ke-III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 886
41
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.8 Selanjutnya sebagai suatu sistem Munawir Sadzali menerangkan, bahwa poltik adalah suatu konsepsi yang berisikan ketentuan-ketentuan siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya. 9 Istilah politik di dalam literatur Arab dikenal dengan istilah siyâsah yang berarti cerdik atau bijaksana.10 Siyâsah berasal dari kata sâsa-yasûsu-siyâsatan, yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Dalam kamus al-Muhîth dikatakan: sustu al-ra’iyyata siyâsatan: amartuhâ wa nahaituhâ (saya mengatur rakyat dengan mengunakan politik: ketika saya memerintah dan melarangnya).11 Politik atau siyâsah mempunyai makna mengatur urusan umat, baik secara dalam maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh negara (pemerintah) maupun umat (rakyat), negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat atau rakyat mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam 8
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XXVII, (Jakatra: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 8 9
Munawir Syazali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta:UI Press, 1990), h. 41
10
Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005),
cet. I, h. 111 11
Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, (Bairut: Dâr al-Fikir, 1995), h. 496
42
melakukan tugasnya. 12 Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, membicarakan politik pada akhirnya adalah membicarakan negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai sebuah lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan negara, tujuan negara, bentuk negara dan hakekat negara. 13 Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. 14 Ramlan Surbakti mengemukakan bahwa salah satu ciri khas dari politik adalah adanya keputusan yang keluar dari proses politik yang bersifat mengikat (otoritatif) dan dimaksudkan untuk kebaikan bersama masyarakat umum. 15 Kemudian Leo Agustino menjelaskan bahwa pengambilan keputusan politik merupakan suatu hal yang inheren dalam kegiatan politik. Setiap kali kepala pemerintahan menyelesaikan rapatnya, atau kepala daerah melakukan koordinasi, atau bahkan setelah para anggota parlemen melakukan pertemuan paripurna, ataupun apa kegiatan politik dilakukan, selalu saja ada hal-hal yang harus ditetapkan melalui keputusan politik. Entah itu berkenaan dengan penyelesaian 12
Abdul Qadim Zallum, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abu Faiz, cet. II, (Bangil: Al-Izzah, 2004), h. 11 13
Abdul Rasyid, Ilmu Politik Islam, (Bandung:Pustaka, 2001), cet. I, h. 26-28
14
Moh. Mufid, Politik dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. I,
h. 9 15
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 190.
43
konflik, penetapan keputusan pemerintah, pemberian subsidi bagi rakyat miskin, ataupun persoalan-persoalan lainnya keputusan politik menjadi hal yang utama. 16 Dengan demikian, keputusan politik ialah keputusan yang mengikat dan menyangkut atau mempengaruhi masyarakat umum. 17 Hal-hal yang menyangkut atau mempengaruhi masyarakat umum biasanya diurus dan diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Oleh karena itu, keputusan politik dapat pula dipahami sebagai pilihan terbaik dari berbagai alternative mengenai urusanurusan yang menjadi kewenangan pemerintah. Karena isi dari kebijakan pemerintah atau kebijakan politik sangat berkaitan dengan masyarakat umum atau rakyat, biasanya istilah kebijakan pemerintah atau keputusan / kebijakan politik, disebut juga dengan istilah kebijakan publik (publik policy). Banyak sekali definisi kebijakan publik atau kebijakan politik. Sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas, kebijakan publik sering diartikan sebagai ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan’. 18 Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa yang disebut sebagai publik policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati 16
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan MemahamiIlmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 157 17 18
Ramlan Surbakti, Ibid.
Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Soaial, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 6
44
dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi. 19 Leo Agustino menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Karena itu, karakteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan politik tersebut dirumuskan oleh ‘otoritas’ dalam sistem politik, yaitu ‘para senior’, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat dan sebagainya. 20 Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa mereka-mereka yang berotoritas dalam sistem politik dalam rangka memformulasiakan kebijakan publik itu adalah orang-orang yang terlibat dalam urusan politik sehari-hari dan mempunyai tanggung jawab dalam suatu masalah tertentu di mana pada suatu titik mereka diminta untuk mengambil keputusan dikemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu.21 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah atau kebijakan publik merupakan: (1) keputusan atau aksi bersama yang dibuat oleh pemilik wewenang (pemerintah); (2) berorientasi pada kepentingan publik dengan dipertimbangkan secara matang terlebih dahulu baik buruknya dampak yang ditimbulkan; dan (3) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 19
Nugroho R., Pengertian Kebijakan Publik, makalah diakses dari http://abdiprojo. blogspot. com/ 2010/04/pengertian-kebijakan-publik.html, pada tanggal 24 Februari 2011 20
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, h. 167
21
Ibid.
45
B. Unsur-unsur Pembuat Kebijakan Ramlan surbakti menyebutkan bahwa dalam proses membuat kebijakan pemerintah (kebijakan politik/kebijakan publik) terdapat unsur-unsur yang harus diperhatikan, yaitu jumlah orang yang ikut mengambil keputusan, peraturan pembuatan keputusan atau formula pengambilan keputusan, dan informasi.22 Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa yang yang membuat keputusan dapat satu orang, dua orang atau lebih bahkan jutaan orang. Misalnya presiden dapat mengambil keputusan atau membuat kebijakan publik sendiri tanpa melibatkan penasihatnya, wakil rakyat atau pimpinan partai politik biasanya membuat keputusan secara kolektif. Makin banyak orang yang ikut serta dalam proses pembuatan keputusan atau kebijakan politik, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan.23 Yang dimaksud dengan peraturan pembuat keputusan ialah ketentuan yang mengatur jumlah (persentase) orang yang harus memberikan persetujuan terhadap suatu alternatif keputusan agar dapat diterima dan disahkan sebagai keputusan. Peraturan ini biasanya dirumuskan dalam konstitusi ataupun undangundang, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga bagi organisasi politik dan kemasyarakatan. Sedangkan formula pengambilan keputusan pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu mufakat (semua orang harus memberikan persetujuan) dan suara terbanyak. Informasi sangat diperlukan dalam proses pembuatan 22
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 191
23
Ibid.
46
keputusan yaitu dalam proses pembuatan keputusan terjadi diskusi, perdebatan, tawar-menawar dan kompromi, maka informasi yang akurat dan dalam jumlah yang memadai akan mempengaruhi isi keputusan yang diambil. 24
C. Isi Kebijakan Politik Menurut Ramlan Surbakti, isi kebijakan pemerintah atau kebijakan politik mencakup tiga hal yaitu penyerapan sumber-sumber material dan manusia dari masyarakat atau biasa disebut kebijakan ekstraktif, distribusi dan alokasi sumbersumber kepada masyarakat disebut dengan kebijakan distributif dan pengaturan perilaku anggota masyarakat yang disebut dengan kebijakan regulatif.25 Sedangkan menurut Theodore Lowi sebagaimana yang dikutip oleh Ramlan Surbakti bahwa pada dasarnya secara umum isi kebijakan publik atau kebijakan pemerintah dapat dikategorikan dalam tipe-tipe kebijakan publik itu sendiri, setidaknya terdapat empat tipe kebijakan umum yaitu:26 1. Kebijakan Regulatif Kebijakan ini terjadi apabila kebijakan mengandung paksaan dan akan diterapkan secara langsung terhadap individu. Biasanya kebijakan regulatif dibuat untuk mencegah agar individu tidak melakukan suatu tindakan yang tidak diperbolehkan, seperti undang-undang hukum pidana, undang-undang 24
Ibid.
25
Ibid., h. 12-13
26
Ibid., h. 193-194
47
anti monopoli dan kompetisi yang tidak sehat, dan berbagai ketentuan yang menyangkut keselamatan umum. Selain itu, kebijakan regulatif dibuat untuk memaksa agar individu melakukan suatu tindakan hingga kepentingan umum tidak terganggu seperti berbagai bentuk perizinan dalam menggunakan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. 2. Kebijakan Redistributif Yaitu kebijakan yang ditandai dengan adanya paksaan secara langsung kepada warga negara tetapi penerapannya melalui lingkungan. Hasil penerapan undang-undang pajak pendapatan, pajak kekayaan, dan iuran listrik, yang digunakan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum, seperti jalan, jembatan, sekolah dan rumah sakit merupakan kebijakan redistributif. 27 3. Kebijakan Distributif Kebijakan distributif ditandai dengan pengenaan paksaan secara tidak langsung (kemungkinan pengenaan paksaan fisik sangat jauh), tetapi kebijakan itu diterapkan secara langsung terhadap individu. Individu dapat menarik manfaat dari kebijakan itu, walaupun tidak dikenakan paksaan kepada individu untuk menggunakannya. Dalam pengertian yang lebih konkret, kebijakan distributif berarti penggunaan anggaran belanja negara atau daerah untuk memberikan manfaat secara langsung kepada individu, seperti pendidikan dasar yang bebas biaya, subsidi kepada sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, subsidi energi bahan bakar minyak, subsidi sarana produksi 27
Ibid.
48
pertanian, pelayanan kesehatan, fasilitas jalan raya dan pemberian hak paten kepada individu yang berhasil menemukan sesuatu yang baru. 28 4. Kebijakan Konstituen Kebijakan ini ditandai dengan kemungkinan pengenaan paksaan fisik yang sangat jauh dan penerapan kebijakan itu secara tidak langsung melalui lingkungan. Kebijakan konstituen mencakup dua hal yaitu urusan keamanan nasional dan lauar neger, dan berbagai dinas pelayanan administrasi.
D. Tahap-tahap dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Pemerintah Tahap adalah seperangkat kegiatan yang melahirkan suatu produk yang dapat diidentifikasikan yang memiliki awal dan akhir. Setiap tahap terdiri atas sejumlah kegiatan yang menghasilkan suatu produk, dan setiap produk mempengaruhi tahap selanjutnya sampai pada tahap akhir. Menurut S. P. Siagian, bahwa proses pengambilan keputusan publik atau kebijakan pemerintah berkisar pada tujuh langkah pemecahan masalah yaitu: 1. Mengidentifikasikan masalah dan membuat definisinya; 2. Mengumpulkan dan mengelola data sehingga tersedia informasi yang mutakhir, lengkap, dapat dipercaya dan tersimpan dengan baik sehingga mudah untuk ditelusuri kembali apabila diperlukan; 3. Mengidentifikasikan berbagai alternatif yang mungkin ditempuh; 4. Menganalisa dan mengkaji setiap alternatif yang telah diidentifikasi untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya; 5. Menjatuhkan pilihan pada satu alternatif yang tampaknya terbaik dalam arti mendatangkan manfaat paling besar, sesuai dengan asas maksimasi, atau mengakibatkan kerugian yang paling kecil sesuai dengan asas minimisasi; 6. Melaksanakan keputusan yang diambil; dan 28
Ibid.
49
7. Menilai apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan harapan dan rencana atau tidak.29 Sedangkan Ramlan
Surbakti
menyebutkan
bahwa
dalam
proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan politik atau kebijakan pemerintah dibagi dalam empat tahap, yaitu:30 1. Politisasi suatu permasalahan (penyusunan agenda) Politisasi suatu permasalahan yang dihadapi masyarakat dapat dilakukan oleh pemerintah atau kalangan masyarkat seperti individu atau kelompok. Apabila upaya ini berasal dari masyarkat maka ia akan berwujud imbauan atau tuntutan agar pemerintah menaruh perhatian yang seksama terhadap permasalahan yang menjadi kepentingan itu. Apabila ia berasal dari pemerintah akan berwujud pernyataan tentang tekad pemerintah untuk menangani permasalahan tertentu. Dalam tahap ini, jenis permasalahan tidak hanya ditangani dan diputuskan, tetapi juga didefinisikan permasalahannya, ini disebabkan karena suatu permasalahan dapat ditinjau dari berbagai segi yang dipilih, yang tidak berisi pernyataan kehendak saja, tetapi juga mobilisasi dukungan masyarakat.31 2. Perumusan dan pengesahan tujuan dan program Dalam tahap ini apabila kesepakatan yang dicapai dengan kompromi, maka tujuan dan program itu dirumuskan secara umum dan abstrak. Makin 29
S. P. Siagian, Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990), cet. II, h. 23 30
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 197
31
Ibid.
50
kongkret dan spesifik suatu tujuan dan program maka makin sukar dicapai kesepakatan, tetapi sebaliknya apabila kesepakatan yang dicapai dengan suara bulat maka tujuan dan programa kan dirumuskan secara kongkrit dan spesifik. Faktor yang mempengaruhi spesifik tidaknya kebijakan adalah waktu yang tersedia untuk merumuskannya, apabila komisi atau panitia khusus DPR yang hanya diberi waktu yang terbatas padahal kebijakan yang dirumuskan bersifat strategis dan snagat kompleks, maka kebijakan yang dihasilkan cenderung bersifat umum dan abstrak.32 3. Pelaksanaan program. Apabila tujuan dan program-program kebijakan dirumuskan dan disahkan sebagai keputusan politik, maka tahap selanjutnya adalah pelaksanaan kebijakan tersebut. Dalam tahap ini mencakup sejumlah kegiatan yaitu: Pertama menyediakan sumberdaya (anggaran, personal dan sarana), bagi pelaksana kebijakan. Kedua melakukan interprestasi dan penjabaran kebijakan dalam bentuk peraturan pelaksana dan petunjuk pelaksana. Ketiga menyusun rencana sejumlah langkah kegiatan pelaksanaan menurut waktu, tempat, situasi, dan anggaran. Keempat pengorganisasian secara rutin atas personil, anggaran, dan sara materil lainnya. Kelima memberikan manfaat kepada dan/atau pengenaan beban dan pengaturan perilaku terhadap individu, dan masyarakat.33 32
Ibid., h. 198
33
Ibid., h. 198-199
51
4. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan program. Pemantauan atas setiap kegiatan pelaksanaan kebijakan bertujuan untuk memerbaiki secepat mungkin setiap kekeliruan yang terjadi dalam pelaksanaan sehingga tujuan kebijakan dapat dicapai. Dalam evaluasi kebijakan diarahkan pada pelaksanaan kebijakan dan hasil pelaksanaan (manfaat dan dampaknya). Dalam tahap ini terdapat pertanyaan yang harus dijawab seperti dampak yang timbul, seberapa besar keberhasilan kebijakan itu dilaksanakan, dan mengapa demikian, agar dapat diketahui apakah tujuan kebijkan tersebut tercapai atau tidak, dan juga untuk mendapatkan masukan bagi penyusun kebijakan selanjutnya, bahkan sebagai masukan dalam pengambilan keputusan mengenai masa depan program tersebut.34 Banyak faktor yang muncul ketika berusaha untuk membuat keputusan atau kebijakan publik. Leo Agustino menyebutkan bahwa fator-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut mulai dari konsesi elit politik, lobi-lobi partai politik, tekanan sosial-politik kelompok penekan, kondisi ekonomi yang carut-marut, persyaratan prosedural (proses), tekanan waktu dan sebagainya. 35 Sedangkan Ramlan Surbakti menyebutkan bahwa secara umum terdapat empat faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan politik atau kebijakan publik, yaitu:36 34
Ibid, h. 199
35
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, h. 160
36
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 194
52
1. Faktor lingkungan Pengertian lingkungan dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu pertama; lingkungan umum di luar pemerintah dalam arti pola-pola yang melibatkan faktor sosial, ekonomi, politik, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai. Kedua; lingkungan di dalam pemerintahan dalam arti struktural seperti karakteristik birokrastis, dan personil berbagai departemen dan karakteristik berbagai komisi dan para anggota dalam badan perwakilan rakyat. Ketiga; lingkungan khusus dari kebijakan tertentu. Suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kebijakan yang dibuat sebelumnya. 2. Persepsi pembuat kebijakan mengenai lingkungan Persepsi pembuat kebijakan yang akurat maupun yang tidak akurat atas lingkungan-lingkungan tersebut di atas, termasuk atas berbagai peristiwa dan kecenderungan yang terjadi di dalam pemerintahan maupun diluar pemerintah, juga ikut mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat karena elit politik akan bertindak atas persepsi sendiri. 37 3. Aktivitas pemerintah perihal kebijakan Aktivitas pemerintah yang menyangkut kebijakan meliputi dua hal, yaitu pertama; sejumlah aktivitas dan proses yang menghasilkan suatu rumusan kebijakan (pernyataan mengenai tujuan yang hendak dicapai) yang menyangkut interen pemerintah maupun yang menyangkut masyarakat umum. Kedua; pelaksanaan kebijakan yang mencakup upaya-upaya penyediaan 37
Ibid.
53
sumber daya bagi pelaksana kebijakan, pembuat peraturan, pengorganisasian pelaksanaan dan memberikan pelayanan dan kemanfaatan. 38 4. Aktivitas masyarakat perihal kebijakan Aktivitas masyarakat perihal kebijakan juga sangat mempengaruhi dalam proses pembuatan kebijakan, yaitu mencakup dua hal: pertama; berhubungan dengan pemanfaatan kebijakan oleh masyarakat dalam arti siapa yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan siapa saja yang memetik manfaat dari kebijakan. Kedua; hasil program atau kebijkan dalam arti apa dampak kebijakan terhadap masyarakat. Selain keempat faktor tersebut, Ramlan Surbakti juga menyebutkan bahwa ada bebrapa faktor lain yang mempengaruhi corak dan arah kebijakan umum yaitu ideologi dan konstitusi, latar belakang pribadi pembuat keputusan, informasi yang tersedia, golongan pendukung pembuat keputusan dan keputusan yang telah ada.39 Selain itu, James Anderson sebagaimana yang dikutip oleh Leo Agustino mengutarakan pendapatnya bahwa terdapat lima kategori yang dapat dijadikan kriteria dalam menunjukkan faktor-faktor yang melatar belakangi aktor dalam membuat atau mengambil keputusan, yaitu:40 a. Political values, nilai-nilai atau standar-standar politik. Pembuat keputusan dapat mengevaluasi alternatif kebijakan untuk kepentingan partai politiknya atau kelompoknya, maka hal ini menggambar38
Ibid., h. 195
39
Ibid. h. 195
40
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, h. 163
54
kan bagaimana nilai-nilai politik dapat merangsek masuk dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pengambil keputusan. Dalam konteks ini keputusan diambil berdasarkan pada kalkulasi keuntungan politik di mana kebijakan dipandang sebagai alat yang menguntungkan atau alat untuk mencapai tujuan partai politik atau kelompok kepentingannya. Melalui cara pandang ini maka keputusan yang dibuat akan diartikan sebagai upaya untuk memperoleh keuntungan bagi, misalnya: organisasi guru, aliansi petani, kelompok pergerakan pemuda atau partai politik yang ada. b. Organization values, nilai-nilai atau standar-standar organisasi Dalam faktor ini hal yang paling menonjol adalah bagaimana organisasi yang berorienstasikan konservatif berhadapan dengan organisasi yang berpandangan revolusioner akan menghasilkan argumentasi-argumentasinya yang berbeda dalam penetapan keputusan karena pembuat keputusan dapat dipengaruhi oleh nilai organisasional. Organisasi, seperti instansi pemerintah menggunakan banyak mekanisme stick and carrot dalam upaya untuk membujuk pegawainya agar dapat menerima dan bertindak berdasarkan nilainilai yang ditentukan organisasi. Sedangkan keputusan individu diarahkan melalui pertimbangan seperti keinginan untuk melihat organisasinya tetap hidup, untuk meningkatkan atau memperluas program dari aktivitasnya, atau untuk menjaga kekuasaan serta hak-hak istimewanya. 41
41
Ibid.
55
c. Personal values atau nilai-nilai personal Dalam konteks ini, bahwa ketidaksamaan akan mengakibatkan prilaku yang berbeda dalam pengambilan keputusan, karena personal values menjadi logika berfikir dalam memahami penetapan atau pengambilan keputusan. Misalnya, urgensi untuk melindungi atau mempromosikan keadaan fisik atau keuangan seseorang yang baik, reputasi, atau posisi histori seseorang dapat juga dijadikan sebagai kriteria keputusan. d. Policy values, nilai-nilai atau standar-standar kebijakan yang berwarna kepentingan publik. Pembuat keputusan dapat bertindak dengan baik berdasarkan persepsi mereka mengenai kepentingan publik atau kepercayaan kepada kebijakan publik yang secara moral benar. Seorang anggota legislatif yang memberikan suara dalam hak-hak sipil dapat bertindak dengan baik karena dia percaya tindakannya secara moral benar, yang sesuai dengan tujuan kebijakan publik yang diinginkan, meskipun suaranya dapat membawa risiko politik baginya. 42 e. Idiological values, nilai-nilai atau standar-standar idiologi Dalam konteks ini sekumpulan kepercayaan dan nilai-nilai yang berhubungan secara logis yang memberikan gambaran secara sederhana mengenai dunia dan cara bertindak sebagai petunjuk bagi seorang untuk berprilaku, karena nilai-nilai atau standar-standar idiologis menjadi faktor penting dalam pembentukan kebijakan. Misalnya, nasionalisme merupakan 42
Ibid., h. 164
56
nilai-nilai atau standar-standar idiologis yang menjadi fator prnting dalam pembentukan kebijakan dalam dan luar negeri. 43
E. Teori Pengambilan Kebijakan Pemerintah atau Kebijakan Publik Dalam proses pembuatan keputusan atau kebijakan, sering dibingungkan mengenai siapa yang berhak membuat keputusan, karena belum tentu orang yang menduduki suatu jabatan berfungsi untuk mengeluarkan keputusan. Para sarjana ilmu politik mengemukakan tiga elit politik yang membuat keputusan politik yaitu elit formal, orang yang berpengaruh, dan penguasa.44 Elit formal adalah elit politik yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat keputusan politik, yang dalam konteks pemerintahan Indonesia adalah DPR, MPR, Presiden dan para Mentrinya. Sedangkan orang yang berpengaruh adalah orang-orang yang karena memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti kekayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, senjata dan masa terorganisasi yang mampu mempengaruhi elit formal sehingga yang terakhir ini membuat keputusan sesuai dengan kehendak orang yang berpengaruh. Selanjutnya penguasa adalah orang yang secara nyata membuat keputusan, elit formal atau orang berpengaruh dapat menjadi penguasa.45
43
Ibid.
44
John Ellswarth dan Arthur Stahnke, Politics and political System: An Introduction to Political Science, (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1976), h. 44 45
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 202
57
Putusan politik adalah salah satu bentuk kebijakan dari lembaga politik. Dalam Ilmu Tata Negara, seperti yang dikemukakan oleh Cipto Handoyo bahwa lembaga politik biasanya dikenal atau dibagi menjadi dua, yaitu supra struktur politik (the governmental poltical sphere) yang merupakan suasan kehidupan politik di tingkat pemerintahan, artinya hal-hal yang tersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga negara yang ada serta hubungann kekuasaan satu dengan lainnya, dan infra struktur politik (the socio political sphere) yaitu suatu kehidupan politik di tingkat masyarakat, dalam arti hal-hal yang bersangkutan dengan kegiatan politik ditingkat masyarakat yang memberikan pengaruh terhadap tugas-tugas dari lembaga-lembaga negara dalam suasana pemerintahan. 46 Yang termasuk dalam supra struktur politik dalam kontek sistem pemerintahan Indonesia adalah pada tingkat pusat MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, BPK, MA, MK, serta ditingkat daerah DPRD Tk I, II dan Gubernur serta Walikota atau Bupati. Sedangkan yang termasuk dalam infra struktur politik adalah partai politik, golongasn penekan (presure group), golongan kepentingan (interest group), tokoh politik (political figure), dan media komunikasi politik (media political comunication). Lebih lanjut Cipto Handoyo menjelaskan bahwa dalam sistem pemerintahan yang demokratis, dua struktur politik (supra struktur politik dan infra supra struktur politik) tersebut saling berinteraksi satu dengan lainnya. Infra struktur politik memberikan masukan yang berupa dukungan maupun tuntutan kepada 46
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara dan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, (Yoyakarta: Universitas Atmajaya, 2003), h. 177-180
58
supra struktur politik, khususnya dalam rangka mengambil suatu keputusan politik menyangkut kepentingan umum. Sebaliknya supra struktur politik akan mengolah berbagai aspirasi masyarakat tersebut menjadi suatu keputusan politik yang mempunyai nilai-nilai siosiologis, yang kemudian oleh infra struktur politik dijadikan bahan untuk dikaji ulang. 47 Dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah atau keputusan politik, hal utama yang harus dibutuhkan adalah beberapa pedoman, beberapa kriteria relevan, untuk memperjelas dalam menarik kesimpulan serta untuk menghindari penyimpangan tujuan ketika hendak menghasilkan keputusan politik yang berdampak pada warga masyarakat. Leo Agustino menyebutkan bahwa secara sederhana dan teoritikal terdapat tiga teori pengambilan keputusan, yaitu:48 1. Teori Rasional Komprehensif (The Rational-Comprehensive Theory) Teori pengambilan keputusan yang paling dikenal dan mungkin pula yang banyak diterima oleh kalangan luas ialah teori rasional komprehensif. Unsur-unsur utama dari teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Pembuat keputusan dihadapkan pada.suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain. b. Tujuan-tujuan, nilai-nilai, atau sasaran yang mempedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya. 47
Ibid.
48
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, h. 159-162
59
c. Berbagai altenatif untuk memecahkan masalah diteliti secara saksama. d. Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditmbulkan oleh setiap altenatif yang dipilih diteliti. e. Setiap alternatif dan masing-masing akibat yang menyertainya, dapat diperbandingkan dengan alternatif-altenatif lainnya. f. Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-akibatnya yang dapat memaksimasi tercapainya tujuan, nilai/sasaran yang telah digariskan. 2. Teori Inkremental (The Incramental Theory) Teori inkramental atau teori perevisian dibuat sebagai upaya untuk menyederhanakan teori keputusan yang mengabaikan banyak masalah dari teori rasional-komprehensif. Charles Lindblom (1977) mengatakan bahwa teori incremental menunjukan bahwa keputusan merupakan hasil dari proses “memberi dan menerima”, di antara persetujuan bersama beberapa stakeholders dalam proses pengambilan keputusan.49 Teori ini dapat dirunut sebagai berikut: 1. Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis empiris dari tindakan yang diperlukan untuk mencapainya lebih bersifat saling menjalin dari pada terpisah-pisah satu dengan lainnya. 2. Pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang berhubungan dengan permasalahnnya, dan hal ini akan dibedakan hnaya yang bersifat menambah dari kebijakan yang ada. 49
Ibid., h. 161
60
3. Untuk masing masing alternatif hanya akibat (konsekuensi) yang penting yang akan dievaluasi. 4. Permasalahan yang dihadapi pembuat keputusan secara kontinyu didefinisikan kembali. 5. Tidak ada keputusan tunggal atau pemecahan yang benar untuk suatu masalah. 6. Pembuatan
keputusan
yang
bersifat
penambahan
sesungguhnya
merupakan perbaikan dan lebih sesuai untuk saat ini, lebih menunjukan ketidaksempurnaan sosial yang konkrit daripada peningkatan sosial dimasa mendatang. 50 3. Teori Pengamatan Terpadu (Mixed-Scanning Theory) Teori ini dikemukakan oleh Amitai Etzioni sebagai penyempurna dari teori sebelumya yaitu teori incrementalisme, setelah beliau mengemukakan beberapa kelemahan dari teori incrementalisme karena dalam teori ini memperhitungkan baik keputusan fundamental (teori rasional komprehensif) maupun incremental. Dalam teori mixed-scanning pengambil keputusan dimungkinkan menggunakan baik teori rasional-komprehensif maupun terori incremetalisme
dalam
keadaan
yang
berbeda.
Mixed-scanning
juga
memperhitungkan kemampuan pembuat keputusan yang berbeda. Karena semakin tinggi kemampuan pembuat keputusan dalam memberikan kekuasaan untuk melaksanakan keputusannya, maka semakin banyak scanning yang 50
Ibid.
61
secara realistis diikutsertakan. Oleh karena itu mixed-scanning teori dapat dikatakan sebagi pendekatan ”kompromi” yang menggunakan kombinasi dari rasionalisme dan incrementalisme. 51 Sedangkan S. P. Siagian menyebutkan ada empat model atau teknik pengambilan keputusan publik yaitu:52 1. Model optimasi, sasaran yang ingin dicapai dengan model optimasi ialah bahwa dengan mempertimbangkan keterbatasan yang ada, organisasi berusaha memperoleh hasil terbaik yang paling mungkin dicapai. Hasil terbaik itu dapat beraneka ragam bentuknya seperti keuntungan bagi statu organisasi niaga, peningkatan penjualan, meningkatnya semangat verja para karyawan dan lainlain. Sikap pengambil keputusan, norma-norma serta kebijaksanaan organisasi berperan penting dalam menentukan kriteria apa yang diamksud dengan hasil terbaik yang mungkin dicapai itu. 2. Model satisficing, ide pokok dari model ini ialah bahwa usaha ditujukan pada apa yang mungkin dilakukan “sekarang dan di sini” dan bukan pada sesuatu yang mungkin optimal tetapi tidak realitas dan oleh karenanya tidak tercapai. Model satisficing pada intinya sama dengan teori inkremental yang telah disebutkan di atas, yaitu suatu tindakan dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan alternatif terendah (minimal) dengan maksud bahwa usaha dipusatkan pada pengurangan dampak negatif suatu 51
Ibid.
52
Siagian, Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan, h. 53
62
situasi problematik dan tidak untuk menghilangkan situasi problematik tersebut.53 3. Model mixed scanning, scanning berarti usa mencari, mengumpulkan, memperoses, menilai dan menimbang-nimbang informasi dalam kaitannya dengan menjatuhkan pilihan tertantu. Model mixed scanning berart setiap kali seorang pengambil keputusan menghadapi dilema dalam memilih suatu langkah tertentu, suatu keputusan pendahuluan harus dibuat tentang sampai sejauh mana berbagai sarana dan prasarana organisasi akan digunakan untuk mencari dan menilai berbagai fungís dan kegiatan yang akan dilaksanakan.54 4. Model heuristic, pada hakikatnya model ini berarti bahwa faktor-faktor internal yang terdapat dalam diri seseorang pengambil keputusan lebih berpengaruh daripada faktor-faktor eksternal. Dengan kata lain, seorang pengambil keputusan lebih mendasarkan keputusannya pada konsep-konsep yang dimilikinya, berdasarkan persepsi sendiri tentang situasi problematik yang dihadapi. 55
53
Ibid.
54
Ibid., h. 61
55
Ibid., h. 62
BAB IV PENGARUH FATWA MUI DALAM LAHIRNYA SKB 3 MENTERI TENTANG ALIRAN AHMADIYAH DAN UU NO.21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI’AH
Sejak berdirinya pada tahun 1975 sampai tahun 2010 MUI telah mengeluarkan lebih dari 80 buah fatwa. Tanggal 26 Juli 2010, MUI genap berusia 35 tahun. Dalam kurun waktu 35 tahun tersebut, banyak hal yang telah dilakukan baik yang berkaitan
dengan
nasihat
dan
fatwa
mengenai
masalah
keagamaan
dan
kemasyarakatan maupun yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas umat dalam bidang dakwah, ukhuwah, tarbiyah, ekonomi dan kesejahteraan. Demikian pula fatwa-fatwa di bidang ilmu pengetahuan. 1 Dalam buku Himpunan Fatwa MUI yang diterbitkan tahun 2010, dapat diketahui bahwa isi fatwa itu dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori; pertama, tentang aqidah dan aliran keagamaan; kedua, tentang masalah ibadah; ketiga, tentang masalah sosial budaya; serta keempat, tentang Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika dan Ilmu pengetahuan dan Teknologi.2 MUI terus berupaya meningkatkan fungsi dan peranannya dalam upaya meningkatkan kualitas umat di berbagai bidang kehidupan sesuai dengan tuntutan zaman dan seirama dengan semakin lajunya derap pembangunan. Meskipun fatwa 1
Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2010), h. v
2
Ibid., h. xi
63
64
MUI tidak mengikat secara hukum, namun seringkali dijadikan rujukan berperilaku oleh masyarakat dan pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Jika diperhatikan, hal tersebut mengindikasikan bahwa antara agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Bahkan adakalanya perjuangan politik membutuh-kan dukungan agama, sebagaimana kedudukan agama di suatu Negara dan Daerah secara publik akan menguat dengan adanya dukungan politik dalam berbagai bentuk. Politik dan agama jika menyatu secara signifikan bagaikan dua sisi yang berbeda dari satu mata uang yang sama yang memberikan nilai dan harga (two sides of the same coin).3 Indonesia dengan menempatkan ideologi Pancasila sebagai Dasar Negara untuk hidup bermasyarakat, urusan agama memang diatur oleh negara, kebebasan beragama dalam koridor kesatuan dan per-satuan masyarakat. Mengingat sensitifitas agama sangat tinggi, maka persoalan agama bisa sebagai pemicu dan pemacu konflik antar dan inter umat beragama. Oleh karenanya, di Indonesia terdapat Departemen Agama yang memiliki fungsi “polisionil” melalui kebijakan kenegaraan. Pentingnya urusan agama ini kemudian dilembagakan secara resmi dan kedudukannya diatur terpusat dan salah satu fungsi kepemerintahan yang tidak dilimpahkan kepada Daerah. Otonomi Daerah tidak menerima desentralisasi fungsi urusan agama, oleh karenanya tidak ada Badan atau Dinas Agama yang ada adalah Kantor Wilayah Departemen Agama di Provinsi
3
Syamsul Bahrum, Fatwa MUI Bukan Penetrasi Agama dalam Politik Praktis, artikel diakses dari http://google.com.syamsulbahrum.web.id/?p=1416 pada tanggal 01 Maret 2011
65
dan Kantor Departemen Agama di Kabupaten dan Kota. Pada dasarnya negara ikut mengatur secara administratif operasional dan kebijakan kepemerintahan dalam keagamaan. Namun pada hakekatnya, urusan “inti dan isi keagamaan” justru berada pada MUI yang dengan kekuatan “fatwa”nya menyentuh sisi kepemerintahan, dimensi pembangunan dan kondisi kemasyarakatan. Banyak sekali fatwa MUI yang ditujukan untuk menjawab suatu persoalan sosial, namun terkadang ada juga fatwa menimbulkan keraguan dan kontroversi di kalangan umat Islam sendiri. Misalnya ada beberapa fatwa MUI yang menimbulkan polemik di masyarakat, seperti dikeluarkannya fatwa tentang menggunakan hak pilih dalam pemilu 1999, fatwa halalnya pembudidayaan kodok, fatwa sesatnya Ahmadiah dan lain-lain. Terkadang dengan dikeluarkannya suatu fatwa oleh MUI tidak hanya menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat, bahkan dengan dikeluarkannya fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiah oleh sebagian kalangan disinyalir menjadi faktor pemicu tindak kekerasan dan anarkis terhadap jamaah Ahmadiah di berbagai tempat di Indonesia. 4
A. Lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tentang Keberadaan Jama’ah Ahmadiyah Ahmadiyah adalah Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di sebuah desa kecil yang bernama Qadian, 4
Uli Parulian Sihombing, dkk., Menggugat Bakor Pakem: Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: ILRC, 2008), cet. I, h. 67
66
Punjab, India. Penyebaran Ahmadiyah di Indonesia bermula dari kedatangan Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad ke Jogjakarta pada Maret 1924 untuk menghadiri Kongres Ke-13 Muhammadiyah. Mereka dipersilakan berbicara dalam kesempatan tersebut. Beberapa pemikiran Ahmadiyah menarik perhatian banyak orang, terutama yang berkaitan dengan isu kedatangan Mesias atau AlMasih. 5 Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terdaftar sebagai badan hukum berdasarkan Penetapan Menteri Kehakiman RI Nomor: JA.5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 yang dimuat dalam Tambahan Berita Negara Nomor: 26 tanggal 31 Maret 1953. JAI juga terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan di Departemen Dalam Negeri dengan Nomor: 75/D.I/VI/2003 tanggal 5 Juni 2003.6 Dalam perkembangannya kehadiran JAI mendapat penolakan dari umat Islam, karena ajaran JAI dianggap berbeda dengan pokok-pokok ajaran agama Islam. MUI sendiri pada tahun 1980 pernah mengeluarkan fatwa sesat kepada Ahmadiyah. Kemudian pada tahun 2005 MUI menegaskan kembali melalui fatwa terbarunya yang juga menyatakan bahwa ahmadiyah itu sesat dan menyesatkan. Menyusul kemudian fatwa yang sama juga dikeluarkan oleh MUI didaerah, seperti MUI Aceh, MUI Sumatera Utara, MUI Riau. Dan beberapa organisasi Islam seperti PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah dan lain-lain. Bahkan beberapa pemerintah daerah melalui Tim Pakemnya masingmasing telah melakukan pelarangan terhadap ajaran Ahmadiyah seperti di 5
Dawam Rahardjo, islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850
6
Uli Parulian Sihombing, dkk., Menggugat Bakor Pakem, h. 66-67
67
Subang, Meulaboh, Lombok Timur, Sindereng Rapang, Kerinci, Tarakan, dan Sumatera Utara. Menyikapi
permasalahan
Ahmadiyah,
pemerintah
pusat
melalui
Departemen Agama bersama-sama dengan Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri, Mabes Polri dan beberapa tokoh agama telah melakukan dialog dengan Pengurus Besar Jemaah Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) sejak tanggal 7 September 2007 sampai dengan 14 Januari 2008. Pertemuan tersebut menghasilkan 12 butir penjelasan PB JAI tentang pokok-pokok keyakinan dan kemasyarakatan warga JAI yang antara lain:7 1). Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW yaitu, Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadar Rasulullah. Artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah. 2). Sejak semula kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (Nabi Penutup). 3). Diantara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban mubasyirat, pendiri dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. 4). Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus dibaca oleh setiap calon anggota Jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah. 5). Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa : a). Tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. b). Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran islami yang kami pedomani. 7
Sosialisasi SKB No. Kep-033/A/JA/6/2008, (Jakarta: Tim Sosialisasi Departemen Agama, Kejaksaan Agung, dan Departemen Dalam Negeri, 2008), diakses dari
[email protected], pada tanggal 01 Maret 2011
68
6). Buku Tadzkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada tahun 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908). 7). Kami Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan. 8). Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah. 9). Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh Jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun. 10). Kami warga Jemaat Ahmadiyah sebagai muslim selalu melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara-perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 11). Kami warga Jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahmi dan bekerjasama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam & masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakatan untuk kemajuan islam, bangsa & negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 12). Dengan penjelasan ini, kami Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam rangka memantau pelaksanaan 12 butir Penjelasan PB JAI di lapangan, Menteri Agama telah membentuk Tim Pemantau dan Evaluasi yang beranggotakan unsur-unsur dari Departemen Agama, Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri, dan POLRI. Pemantauan dan evaluasi dilapangan dilakukan selama tiga bulan di 55 titik komunitas JAI, yang terdapat di 33 kabupaten/kota. Dari hasil pemantauan dan evaluasi di lapangan Tim menyimpulkan bahwa warga JAI belum sepenuhnya melaksanakan 12 butir penjelasan PB JAI. Beberapa butir yang tidak sesuai antara penjelasan dengan kenyataan dilapangan adalah:8
8
Ibid.
69
1). Tetap meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW. 2). Tetap meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, Masih Mau’ud, dan Imam Mahdi. 3). Tetap meyakini isi buku Tadzkirah tentang kewahyuan dan kebenarannya, termasuk klaim tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad di dalamnya. 4). Tetap menafsirkan Al-Quran sesuai dengan Buku Tadzkirah. 5). Tetap tidak bersedia bermakmum dalam shalat kepada orang islam non-JAI karena dianggap kufur (ingkar) kepada kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang berarti JAI mengkafirkan Muslim non-JAI secara perbuatan. Dengan demikian, berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi dilapangan tersebut, warga JAI masih dianggap menganut penafsiran keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, bahkan secara sistematis terus berupaya mengusahakan dukungan umum untuk melakukan kegiatan dan penafsiran keagamaan yang menyimpang melalui buku, dan pengiriman mubaligh-mubalighnya kedaerah-daerah. Disamping itu, mereka juga menyatakan tidak akan merubah dan tidak ada keinginan untuk merubah kegiatan dan penafsiran keagamaan yang menyimpang tersebut, dan tidak perlu ada perubahan apapun sebagaimana disampaikan melalui surat dari PB JAI kepada Departemen Agama tanggal 21 Februari 2008 Nomor: 911/Amir/II/2008 dan keterangan Pimpinan PB JAI pada pertemuan dengan kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama tanggal 10 Maret 2008, di Departemen Agama. 9 Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi tersebut, Rapat Tim Pakem pada tanggal 16 April 2008 merencanakan untuk mengeluarkan Surat Keputusan 9
Uli Parulian Sihombing, dkk., Menggugat Bakor Pakem, h. 66-67
70
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri agar warga JAI diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Dan puncaknya pada tanggal 9 Juni 2008, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor: 03 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat, yang berisi: 1). Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. 2). Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI, sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. 3). Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dalam SKB ini dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangan termasuk terhadap organisasi dan badan hukumnya. 4). Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI. 5). Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dalam SKB ini dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 6). Memerintahkan kepada aparat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan keputusan bersama ini.
71
Dengan melihat kepada isi dari kebijakan pemerintah yang berupa SKB tersebut, maka SKB tersebut merupakan suatu kebijakan regulatif yaitu suatu kebijakan yang mengandung paksaan dan diterapkan secara langsung terhadap individu dan memaksa agar individu melakukan suatu tindakan hingga kepentingan umum tidak terganggu.10 Yang intinya SKB tersebut memberikan peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. SKB tersebut merupakan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah sebagai alternatif untuk mengatasi konflik yang terjadi di masyarakat. Sebelum dikeluarkannya SKB tersebut, banyak sekali terjadi konflik dan bentrokan antara masayarakat dan JA, bahkan terjadi penyerangan oleh sebagian masyarakat Islam terhadap komunitas dan tempat ibadah JA. Di antara konflik dan bentrokan tersebut misalnya yang pernah terjadi di Ciampea (Bogor), di Desa Manis Lor (Kuningan), di Parakansalak (Sukabumi), bentrok juga pernah terjadi di Parung (Bogor), di Lombok dan di Makassar.11
10
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999), cet. IV, h. 193 11
Tempo Interaktif, 28 April 2008, diakses dari .http://www.p2d.org/index.php/kon/3215-mei-2008/161-sejarah-ahmadiyah-dan-konfliknya.html, pada tanggal 01 Maret 2011
72
Sedangkan konflik yang terjadi stelah dikeluarkannya SKB yaitu terjadinya bentrokan antara anggota JA dan warga di Kampung Pendeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten pada hari Ahad pagi 6 Februari 2011, yang mengakibatkan delapan orang menjadi korban, tiga di antaranya meninggal dunia.12 Konflik yang terjadi baik berupa bentrokan maupun penyerangan terhadap JA tersebut terjadi karena sebagian umat Islam menganggap bahwa JA bukan hanya sesat dan menyesatkan, tetapi juga telah menodai agama Islam. Banyak terjadinya konflik dan bentrokan antara JA masyarakat, maka negara dalam hal ini pemerintah mempunyai kewajiban untuk mengambil suatu tindakan untuk mengatasi konflik dan melindungi warga negaranya. Karena salah satu fungsi dan tugas negara adalah melaksanakan penertiban dan melindungi warga negaranya. 13 Negara bukan hanya melindungi dan memberikan kebebasan, tetapi juga memberikan dorongan dan bantuan untuk para pemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk memajukan agamanya dan kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta mengusahakan terbinanya ketentraman, hidup rukun diantara sesama umat demi kokohnya kesatuan dan persatuan bangsa serta kerjasama dalam membangun masyarakat.14
12
Kompas, edisi 12 Februari 2011
13
Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. IV, h. 224 18
Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 111.
73
Banyak kalangan yang menuntut pemerintah agar segera mengambil tindakan tegas untuk mengatasi hal tersebut. Ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Fron Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia dan MUI menuntut agar pemerintah mengambil kebijakan politik yaitu membubarkan JA dengan mengeluarkan SKB bahkan ada yang mengusulkan agar melalui Keputusan Presiden. Selain itu ada juga sebagian kalangan terutama mereka para pegiat HAM yang menuntut pemerintah agar melindungi JA karena mereka mempunyai hak untuk berkeyakinan dan kebebasan beragama, selain itu mereka juga menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas dan mengadili pelaku kekerasan terhadap warga JA secara hukum. Dengan melihat keadaan seperti itu, akhirnya pemerintah melakukan tindakan melalui Kejaksaan Agung, tepatnya Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang bertugas mengawasi aliran kepercayaan yang ada di tengah masyarakat. Jika kejaksaan akan mengeluarkan larangan terhadap aliran kepercayaan yang dinilai sesat, tidak bisa dilakukan tanpa melalui prosedur yang sudah ditetapkan lewat Bakor Pakem tadi. Bakor Pakem sendiri bukan hanya berisi unsur kejaksaan. Di dalamnya juga ada unsur Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, dan organisasi keagamaan seperti MUI.15 Untuk mengeluarkan sebuah larangan, masing-masing instansi yang tergabung dalam Bakor Pakem harus menyampaikan rekomendasinya. Bila antar 15
“Jaksa Agung: Harus Prosedural”, Duta Masyarakat, 22 Desember 2007.
74
departemen sudah memberikan rekomendasi secara komprehensif bahwa ajaran atau aliran tertentu meresahkan, artinya prosedur ini sudah dilakukan dan disampaikan rekomendasi untuk melarang, baru Jaksa Agung akan menandatangani keputusan pelarangan itu.16 Dalam menangani kasus Jamaah Ahmadiah, akhirnya hasil rapat Bakor Pakem pada tanggal 16 April 2008 merekomendasikan agar warga JAI diperintahkan dan diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya di dalam suatu keputusan bersama yaitu Surat keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dan apabila perintah dan peringatan tersebut tidak diindahkan, maka Bakor Pakem merekomendasikan untuk membubarkan organisasi JAI dengan segala kegiatan dan ajarannya. 17 Dengan melihat latar belakang dan proses dikeluarkannya kebijakan politik pemerintah yang berupa SKB tiga menteri tersebut, banyak sekali unsurunsur yang terlibat, dan dapat dikatakan melibatkan dua struktur politik yaitu supra struktur politik (the governmental poltical sphere) yang merupakan suasan kehidupan politik di tingkat pemerintahan, artinya hal-hal yang tersangkut paut dengan kehidupan lembaga-lembaga negara yang ada serta hubungan kekuasaan satu dengan lainnya, dan infra struktur politik (the socio political sphere) yaitu suatu kehidupan politik di tingkat masyarakat, dalam arti hal-hal yang bersangkutan dengan kegiatan politik ditingkat masyarakat yang memberikan 16
Ibid.
17
Lihat hasil rapat Bakor Pakem tanggal 16 April 2008 dalam lampiran.
75
pengaruh terhadap tugas-tugas dari lembaga-lembaga negara dalam suasana pemerintahan. 18 Jiaka diteliti lebih jauh lagi, bahwa MUI yang dapat dikategorikan kepada kelompok atau unsur infra politik, terlihat sangat berpengaruh dalam proses dikeluarkannya SKB tiga menteri tersebut. Hal ini karena kriteria untuk menentukan sebuah aliran kepercayaan melakukan penyimpangan adalah patokannya dari MUI. MUI-lah yang menilai apakah aliran keagamaan tersebut (Ahmadiyah) menyimpang dari ajaran resmi atau tidak, yang mana penyimpangan tersebut dapat dikategorikan membahayakan bagi masyarakat dan negara.19 Sedangkan yang berhak untuk menghentikan dan membubarkan aktivitas aliran yang dinilai menyimpang dan membahaya-kan masyarakat dan negara tersebut adalah negara yaitu melalui Kejaksaan Agung, Kementrian Agama dan Menteri Dalam Negeri. Salah satu Tahapan yang harus di lalui sebelum tindakan pemberian himbauan atau peringatan keras dan bahkan pembubaran adalah harus adanya rekomendasi dari badan organisasi keagamaan seperti MUI kepada Kejaksaan sebagai kordinator dari Tim Pakem bahwa aliran kepercayaan tersebut menyimpang dari ajaran yang semestinya.20
Jelaslah bahwa, fatwa MUI sangat berpengaruh terhadap kebijakan politik pemerintah dalam mengatasi kasus JAI dengan dikeluarkannya SKB tiga menteri 18
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara dan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, (Yoyakarta: Universitas Atmajaya, 2003), h. 177-180 19
Fachrizal Afandi, PAKEM: Salah Satu Upaya Negara dalam Melindungi Agama, dalam Al-Qānūn, Vol. 12, No. 2, Desember 2009, h. 505 20
Ibid, h. 506
76
tersebut. Berkenaan dengan pengaruh Fatwa MUI dalam kebijakan politik pemerintah dalam menangani kasus-kasus aliran yang menyimpang, hasil penelitian Uli Parulian Sihombing dkk., dari lembaga The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), menyebutkan bahwa pola kerja Tim Pakem baik di pusat dan daerah dalam mengambil keputusan terhadap aliran kepercayaan tergambar sebagai berikut:21 a). Pola kerja pertama, menjadikan fatwa MUI sebagai referensi untuk memutuskan penilain terhadap aliran kepercayaan, yang kemudian diputus secara musyawarah. Kemudian ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung untuk melarang aliran kepercayaan tersebut dengan menggunakan logika hukum yang dibangun oleh pasal 30 ayat (3) UU Kejaksaan No.16/2004, seperti dalam kasus Al Qiyadah Al Islamiyah. Di mana alasan ketertiban dan ketentraman umum dan keresahan terhadap masyarakat digunakan sebagai argumen untuk pelarangan itu; b). Pola kerja kedua, menjadikan fatwa MUI atau laporan hasil pemantauan anggota Tim Pakem sebagai referensi untuk memutuskan penilaian terhadap aliran kepercayaan, yang kemudian diputus secara musyawarah oleh anggota Tim Pakem. Rekomendasi itu ditindaklanjuti oleh SKB 3 Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, dengan menggunakan logika pasal 2 ayat UU No.1/PNPS/1965. Seperti dalam kasus SKB 3 Menteri untuk Ahmadiyah; c). Pola kerja ketiga, Tim Pakem mengeluarkan langsung SK pelarangan terhadap aliran kepercayaan yang dianggap membahayakan masyarakat, seperti kasus pelarangan Aliran Perjalanan oleh Tim Pakem pusat dan beberapa daerah di Jawa Barat. B. Lahirnya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah Sejarah perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia mencerminkan dinamika aspirasi dan keinginan dari masyarakat Indonesia sendiri untuk memiliki sebuah alternatif sistem perbankan menerapkan sistem bagi hasil yang 21
Uli Parulian Sihombing, dkk., Menggugat Bakor Pakem, h. 59
77
menguntungkan bagi nasabah dan bank. Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).22 Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18-20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Dalam lokakarya tentang bunga bank di Puncak Bogor tersebut diambil kesimpulan oleh para ulama pada waktu itu bahwa sementara belum ada bank Islam maka bunga bank masih dibolehkan atas dasar karena darurat. KH. Hasan
22
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2005), cet. IX, h. 25.
78
Basri pada waktu itu menyatakan bahwa ada dua pandangan dalam Islam mengenai bunga bank. Pandangan pertama, menyatakan bahwa bunga bank adalah haram karena mengandung unsur tambahan pembayaran (ziyadah) dan tanpa resiko (muqobil). Tambahan pembayaran itu diisyaratkan dalam perjanjian dan dapat menimbulkan pemerasan. Pendapat kedua, menghalalkan bunga bank karena adanya unsur suka rela antara dua pihak, tidak ada pemerasan dan mempunyai fungsi untuk kepentingan umum. Namun demikian pada lokakarya tersebut keras dituntut adanya bank Islam. 23 Atas usul dari MUI dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) serta tokoh-tokoh Islam lainnya dibentuk bank syariah yang pertama pada tahun 1991 dengan nama Bank Muamalat Indonesia (BMI). Bank tersebut mulai beroperasi tahun 1992. 24 Pada tahun 1992 setelah berdirinya BMI lahir undangundang perbankan tahun 1992 yang mencanangkan kebijakan dual banking system yang selanjutnya diperkuat dengan dan diperjelas dengan Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang Amandemen Undang-undang perbankan No.7 tahun 1992 tersebut. Dengan Undang-undang No.10 tahun 1998 tersebut perbankan syariah berkembang dengan pesat dengan terbentuknya Bank Umum Syariah (BUS), Kantor Cabang Syariah (KCS), Unit Usaha Syariah (UUS), BPRS, BMT dan sebagainya. 23
Amidhan, Pengarus Utamaan Perbankan Syariah Menghadapi era Global, Makalah disampaikan pada silaturrahim dan seminar ASBISINDO dengan tema Tantangan Perbankan Syariah Menghadapi Era Global pada tanggal 25 Oktober 2007 bertempat di JCC Jakarta. 24
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, Ibid.
79
Karena produk-produk dari bank syari’ah bersumber dari syari’at Islam, maka seluruh kegiatan yang dilakukan oleh bank syari’ah tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Oleh sebab itu, ada kewajiban untuk membentuk suatu Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) bagi bank bersang-kutan.25 Kemudian karena adanya kebutuhan yang nyata terutama dikhawatirkan adanya perbedaan fatwa yang dikeluarkan oleh DPS di masing-masing LKS/bank syariah maka pada 10 Februari 1999 dibentuklah Dewan Syariah Nasional (DSN) dengan catatan bahwa Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan kepanjangan tangan dari DSN yang berada di internal bank-bank syariah yang bertugas dan berfungsi pengawasan dan penjaminan prinsip syariah. DSN Merupakan lembaga struktural MUI yang fungsi utama Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah mengawasi produk-produk syariah agar sesuai dengan syariat Islam. Dewan ini bukan saja mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga lain seperti Reksadana, Modal Ventora, dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan DSN membuat garis panduan produk syariah yaitu sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi pedoman DPS pada lembaga-lembaga keuangan syariah sebagai dasar pengembangan produk-produknya. Fungsi lain dari DSN adalah meneliti dan membuat fatwa terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah yang diajukan oleh manajemen setelah rekomendasi DPS pada lembaga yang bersangkutan. 25
Munir Fuadi, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), cet. II, h. 171
80
Dalam perkembangan regulasi syariah setelah menanti sekian lama dari Bank Indonesia maka pada 16 Desember 2003 MUI memfatwakan bahwa bunga bank adalah haram karena termasuk dalam kategori riba dan riba hukumnya adalah haram. Menanggapi munculnya fatwa MUI tentang bunga bank tersebut PBNU dan PP Muhammadiyah menilai bahwa fatwa MUI yang mengharamkan bentuk bunga seperti bunga bank dan asuransi adalah keputusan yang tergesagesa. Menurut Masdar F Mas’udi fatwa MUI tersebut bersifat pendapat hukum (legal opinion) yang tidak memaksa dan tidak mengikat.26 Menanggapi pro dan kontra yang mengiringi munculnya fatwa MUI tentang bunga bank termasuk kategori riba, Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin pada waktu itu meminta pada masyarakat tidak terlalu resah sehubungan dengan dikeluarkannya fatwa MUI tersebut. Pasalnya fatwa tersebut bersifat fleksibel dan tidak mengikat sehingga masyarakat tidak harus menarik dananya dari bank-bank konvensional. 27 Pada waktu itu MUI hanya mengantisipasi agar tidak terjadi rush pada penarikan dana nasabah di bank-bank konvensional. Namun MUI tetap bulat pendapatnya bahwa bunga bank termasuk kategori riba dan riba adalah haram hukumnya. Oleh karena itu MUI terus mensosialisasikan fatwanya selama dua tahun (2005-2006) dengan mencanangkan Gerakan Ekonomi Syariah (GES). Setelah sekian lama menunggu, rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR hari Selasa, 17 Juni 2008 26
Amidhan, Pengarus Utamaan Perbankan Syariah Menghadapi era Global, Ibid.
27
Ibid.
81
setelah 6 tahun berproses yang disetujui oleh 9 fraksi dari 10 fraksi yang ada di DPR, 1 fraksi yang menolak adalah Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS). Ini berarti, kini perbankan syariah memiliki payung hukum yang diharapkan semakin menguatkan eksistensi perbankan syariah di Indonesia. 28 Dengan lahirnya Undang-Undang perbankan Syari’ah ini tentunya akan semakin meningkatkan dukungan pemerintah yang lebih nyata dalam memajukan perbankan syariah. Dari uraian di atas tentang sejarah perkembangan regulasi perbankan syari’ah di Indonesia, dapat diketahui bahwa begitu besar peranan MUI dalam pertumbuhan dan berkembangnya bank-bank syari’ah di Indonesia. Fatwa MUI tentang keharaman bunga bank, bagaimanapun akan tetap berpengaruh terhadap pertumbuhan perbankan syari’ah. Pasca fatwa MUI tersebut, terjadi shifting dana masyarakat dari bank konvensional ke bank syari’ah secara signifikan yang meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Menurut data Bank Indonesia, dalam waktu satu bulan pasca fatwa MUI, dana pihak ketiga yang masuk ke perbankan syari’ah hampir Rp 1 trilyun. Fatwa ini semakin mendapat dukungan dari para sarjana ekonomi Islam. 29 Selain fatwa MUI dijadikan acuan atau rujukan dalam pembentukan regulasi perbankan syari’ah, MUI juga merupakan salah satu penggagas sekaligus pendidri bank syari’ah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991. 28
Irwan, Dampak Lahirnya Undang-Undang Perbankan Syariah Terhadap Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia, artikel diakses dari http://irwanpena.blogspot.com/2008/06/dampak-lahirnya-undang-undang-perbankan.html, pada tanggal 01 Maret 2011 29
Amidhan, Pengarus Utamaan Perbankan Syariah Menghadapi era Global, Ibid.
82
Undang-undang tentang perbankan syari’ah lahir sebagai bentuk apresiasi dan akomodasi pemerintah terhadap nilai-nilai yang hidup di masyarakat (living law),30 dalam hal ini adalah nilai-nilai ekonomi Islam. Dengan disyahkannya UU perbankan syari’ah tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai ekonomi Islam ikut mempengaruhi kebijakan politik Indonesia yaitu kebijakan politik ekonomi nasional. Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau sub sistem dari sistem hukum. Oleh karena itu, bila membahas politik peraturan perundangundangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membehas mengenai politik hukum Istilah politik hukum Indonesia sering digunakan sebagai pengganti dari istilah-istilah pembangunan hukum, hukum dan pembangunan, pembinaan hukum, pembaharuan hukum, perkembangan hukum, perubahan hukum dan tata hu-kum nasional. 31 Ada beberapa definisi tentang politik hukum, yaitu pertama diartikan sebagai pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, sebagai pelaksana ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lemba-ga dan pembinaan para penegak hukum.32 Dari kedua pengertian tersebut terlihat bahwa politik hukum mencakup proses pembuatan dan 30
Syaugi Mubarak, Regulasi perbankan Syari’ah Pasca Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah (Kajian Politik Hukum), dalam majalah Risalah Hukum Fakultas Hukum UNMUL, Edisi Desember 2008, vol. 4 no. 2, h. 88 31
Burhanuddin, Politik Hukum di Indonesia, diktat Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005, h. 1 32
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. III, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), h. 9
83
pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (body politic). Corak pembentukan hukum sangat dipengaruhi oleh tingkat perkem-bangan masyarakat, yaitu kenyataan sosial kemasayarakatan yang ada. Karena itu pendekatan dalam pembentukan hukum disesuaikan dengan kondisi pragmatik masyarakat yang ada, baik karena tingkat ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi33 serta kepercayaan agama masyarakat Indonesia. Pada negara yang mayoritas masyarakatnya menganut standar nilai-nilai tertentu maka pembentukan hukum pun memperhatikan nilai-nilai dan keyakinan yang hidup ditengah-tengah masyarakat itu. Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki keyakinan atas nilai-nilai tertentu yang bersumber dari ajaran agama maupun budaya yang ada, maka syari’at Islam sebagai ajaran dan nilai yang diyakini kebenaran dan daya berlakunya bagi ummat Islam ternyata menjadi faktor yang berpengaruh dan menentukan bagi politik hukum nasional. Hal ini dapat dilihat pada berbagai perundang-undangan yang memberlakukan syari’at Islam (fiqh) baik yang 33
Abdul Ghani Abdullah dan Ismail Hasani menyebutkan bahwa aspek-aspek yang dapat mempengaruhi perubahan suatu hukum atau perundang-undangan antara lain aspek politik, aspek sosial budaya, aspek perubahan ekonomi, aspek internasional dan aspek teknologi. Diktat mata kuliah Ilmu Perundang-undangan, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, 2007, h. 81
84
diintrodusir dalam undang-undang yang berlaku umum bagi seluruh warga negara maupun yang berlaku secara khusus bagi ummat Islam dan bahkan berlaku secara khusus di daerah tertentu (misalnya Nanggroe Aceh Darussalam). Dalam upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional, hukum Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar paling tidak dari segi jiwanya, ini terbukti dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang diadopsi dari hukum Islam. Ini menunjukkan adanya kesadaran umat Islam yang meyakini bahwa Islam bukan hanya sekedar agama ritual saja, tetapi juga mempunyai aturan hukum untuk kehidupan umatnya di dunia. Salah satu kontribusi hukum Islam dalam pembangunan politik hukum nasional berkaitan dengan tulisan ini adalah lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Berhasilnya perjuangan politik umat Islam dalam hal melegal formalkan hukum ekonomi syari’ah dalam bentuk keputusan politik yaitu UU perbankan syari’ah tentunya tidak terlepas dari besarnya peranan MUI dalam mengupayakan hal tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa fatwa MUI baik itu tentang haramnya riba dan fatwa-fatwa tentang ekonomi sayri’ah lainnya ikut mempengaruhi lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah. Tersebut. Bahkan tidak hanya disitu, peranan MUI dalam dunia perbankan syari’ah masih terus berlanjut yaitu memiliki peran pokok dalam menjalankan dan memfungsikan DSN dan DPS sesuai dengan SOP dari kedua lembaga tersebut. DSN mengeluarkan fatwa-fatwa syariah sesuai dengan perkembangan produkproduk yang dikeluarkan oleh bank-bank syariah. Sedangkan DPS merupakan
85
pelaksana dari fatwa-fatwa DSN dan mengawasi pelaksanaan prinsip syariah di dalam internal masing-masing bank syariah.34 Tentu saja tugas dan fungsi tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan undang-undang perbankan syariah dan peraturan BI yang merupakan regulasi dari teknis banknya.
34
Lihat Penjelasan Umum Penjelasan atas UU Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dari apa yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, kemudian penulis juga mnyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait. A. Kesimpulan Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh MUI mempunyai daya terima yang tinggi di kalangan umat Islam Indonesia, karena dalam MUI tergabung ulama dari semua komponen umat Islam seperti Ormas Islam, Pesantren, Perguruan tinggi Islam dan lainya, dan juga di karenakan adanya kesan keanekaragaman pemahaman ajaran agama. Dalam sistem hukum Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam memberikan hukum keagamaan pada masyarakat, sekalipun fatwa itu sendiri tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi masyarakat, namun fatwa mempunyai peranan yang penting dalam realitas seringkali fatwa dijadikan rujukan berperilaku oleh masyarakat dan pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.misalnya dalam proses pengambilan kebijakan politik atau kebijakan pemerintah dan perundangan-undangan.
86
87
2. Kebijakan pemerintah merupakan suatu keputusan politik atau kebijakan publik yang berwujud dalam kegiatan mengatur dan mengarahkan masyarakat, antara lain dengan melalui pembuatan peraturan perundangundangan, perencanaan, aneka intervensi oleh pemerintah terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan lain-lain kegiatan yang sifatnya fundamental. banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan politik diantaranya mulai dari konsesi elit politik, lobi-lobi partai politik, tekanan sosial-politik kelompok penekan, kondisi ekonomi, persyaratan prosedural (proses), tekanan waktu, ideologi dan konstitusi, latar belakang pribadi pembuat keputusan, informasi yang tersedia, golongan pendukung pembuat keputusan dan keputusan yang telah ada. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses pembuatan kebijakan politik dapat dikelompokkan pada lima yaitu: (1) nilai-nilai atau standar-standar politik (political value), (2) nilai-nilai atau standar-standar organisasi (organization value), (3) nilai-nilai personal (personal value), (4) nilai-nilai atau standarstandar kebijakan (policy value), dan (5) nilai-nilai atau standar-standar idiologi (idiological value). 3. Bahwa lahirnya SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah yang merupakan suatu kebijakan pemerintah indonesia tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya kebijakan tersebut. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap lahirnya SKB tersebut adalah adanya Fatwa MUI yang menyatakan bahwa JAI adalah sesat dan menyesatkan. Selain itu, lahirnya UU
88
No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah juga dipengaruhi oleh fatwa MUI yaitu fatwa tentang haramnya bunga bank. Jika melihat sejarah perkembangan regulasi perbankan syari’ah di Indonesia dapat diketahui bahwa begitu besar peranan MUI dalam pertumbuhan dan berkembangnya bank-bank syari’ah di Indonesia. Fatwa MUI dijadikan acuan atau rujukan dalam pembentukan regulasi perbankan syari’ah, MUI juga merupakan salah satu penggagas sekaligus pendidri bank syari’ah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991. Bahkan tidak hanya disitu, peranan MUI dalam dunia perbankan syari’ah masih terus berlanjut yaitu memiliki peran pokok dalam menjalankan dan memfungsikan DSN dan DPS. DSN mengeluarkan fatwa-fatwa syariah sesuai dengan perkembangan produkproduk yang dikeluarkan oleh bank-bank syariah. Sedangkan DPS merupakan pelaksana dari fatwa-fatwa DSN dan mengawasi pelaksanaan prinsip syariah di dalam internal masing-masing bank syariah.
B. Saran-saran Di akhir skripsi ini penulis menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait yaitu: 1. Dalam mengambil kebijakan sudah seharusnya pemerintah memperhatikan berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat mulai dari elit politik, lobi-lobi partai politik, tekanan soaial politik kelompok penekan, kondisi ekonomi, persyaratan prosedural (proses), tekanan waktu, idiologi dan konstitusi,
89
informasi yang tersedia, serta aspirasi masyarakat, agar jangan sampai kebijakan tersebut hanya mementingkan suatu kelompok atau golongan tertentu dan merugikan golongan yang lain. 2. Dalam mengeluarkan fatwa dilakukan oleh lembaga yang berwenang khususnya fatwa yang bisa menimbulkan gejolak politik dan harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh MUI yang dalam hal ini sebagai lembaga yang berwenang dalam pembuatan fatwa. 3. Dalam menyikapi fatwa yang menimbulkan gejolak politik hendaknya masyarakat bersikap lebih tenang dan tidak terbawa emosi yang berlebihan agar tidak menimbulkan permasalahan yang baru yang bisa merugikan pihak yang lain. 4. Hendaknya seluruh lapisan masyarakat menyadari dan mengetahui bahwa antara negara dan agama merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai hubungan yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Depertemen Agama RI, 1971 Abadi, Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz, al-Qâmûs al-Muhîth, Bairut: Dâr al-Fikir, 1995 Abdullah, Abdul Ghani dan Ismail Hasani, Ilmu Perundang-undangan, Diktat mata kuliah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta, 2007 Adams, Wahiduddin, Pola Penyerapan fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan 1975-1997, Disertasi. Jakarta: Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2002 Agustino, Leo, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan MemahamiIlmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007 al-Azadi, Sulaimân bin al-Asy’ats Abŭ Dâwŭd al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwŭd, T.tp: Dâr al-Fikr, t.th., juz II al-Mahallî, Muhammad Ibn Ahmad, Syarh ‘alâ Matn Jam’i al-Jawâmi’, Mesir: Musthafâ al-Bâbi al-Halabi, Juz II Al-Nawawi, al-Majmû’ah, Kairo: al-’Ashimah, t.th. al-Syaibânî, Ahmad bin Hambal Abŭ ‘Abdullah, Musnad bin Hambal, Kairo: Muassasah Qurtubah, t.th., Juz 5 al-Syâtiby, Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mas’ûd, alMuwâfaqât fi Ushûli al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Rasyad al-Hadîtsah, t.th., juz IV al-Qardlâwy, Yusuf, al-Fatwâ bain al-Indlibâth wa al-Tasayyub, Mesir: Dâr alQalam, t.th. Ali, Muchtar, Prospek Fatwa Sebagai Hukum Posistif Indonesia (Suatu Tinjauan Historis dan Yuridis), Tesis Pasca Sarjana UIN Jakarta 2009 Amin, Ma’ruf, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Paramuda Advertising, 2008 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2005, cet. IX Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998, cet. XI, ed. Revisi IV
90
91
Ash-Shiddieqy, Amir Sa’id, Mabâhits fî Ahkâm al-Fatwa, Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 1995 Atmosudirjo S. Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, cet. X Azra, Azumardi, Menuju MAsyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tanggapan, Bandung: Rosdakarya, 2000, cet. I Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XXVII, Jakatra: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005 Burhanuddin, Politik Hukum di Indonesia, diktat Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005 Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas - Balai Pustaka, 2002, edisi ketiga, Cet. VII Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998 , Cet. I Ellswarth, John dan Arthur Stahnke, Politics and political System: An Introduction to Political Science, Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1976 Fatah, Rohadi Abdul, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, cet. I Fuadi, Munir, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, cet. II Gambaran Umum Organisasi MUI dalam Pedoman Penyelenggaraan Organisasi MUI, Jakarta: Sekretariat MUI, 2002 Hamka, Rusjdi, Pribadi dan Martabat Prof. Dr Hamka, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1981 Handoyo, B. Hestu Cipto, Hukum Tata Negara dan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Yoyakarta: Universitas Atmajaya, 2003 Hasballah, Ali, Usûl al-Tasyri’ al-Islâm, Mesir: Dâr al-Ma’arif, 1959 Hasil Munas VII Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Sekretariat MUI, 2005 Himpunan Fatwa MUI, Jakarta: Sekretariat MUI, 2010 Huda, Ni’matul, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yoyakarta: UII Press, 2007
92
Ka’bah, Rifyal, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005, cet. I Kusnardi, Moh. dan Bintan R Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, cet. IV Mahfud, MD., Moh., Politik Hukum di Indonesia, cet. III, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006 Mandzur, Ibnu, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dar Shâdir, t.th., juz XV Mudzhar, Muhammad Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993 -----------, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998 Mufid, Moh., Politik dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004, cet. I Musa, Abdul Samat, dkk, Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara Asean, Negeri Sembilan: INFAD, 2006 Mulia, Siti Musdah, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia”, Jauhar Volume 4, No.2 Desember 2003 Prakoso, Djoko, Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 Rasyid, Abdul, Ilmu Politik Islam, Bandung:Pustaka, 2001, cet. I Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, cet. II, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995 Siagian, S. P., Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1990, cet. II, Sihombing, Uli Parulian, dkk., Menggugat Bakor Pakem: Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia, Jakarta: ILRC, 2008, cet. I Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Soaial, Bandung: Alfabeta, 2005 Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999, cet. IV Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Ciputat: Logos, 2005, jilid 2, cet. III
93
Syazali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta:UI Press, 1990 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Sekretariat MUI, 1995 Wawasan Majelis Ulama Indonesia, Hasil Munas VII MUI 2005, Jakarta: Sekretariat MUI, 2005 Zahrah, Abû, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. Zallum, Abdul Qadim, Afkaru Siyasiyah, edisi Indonesia: Pemikiran Politik Islam, diterjemahkan oleh Abu Faiz, cet. II, Bangil: Al-Izzah, 2004 Majalah, artikel dan website: Al-Qānūn, Vol. 12, No. 2, Desember 2009 Duta Masyarakat, 22 Desember 2007. Kompas, edisi 12 Februari 2011 Amidhan, Pengarus Utamaan Perbankan Syariah Menghadapi era Global, Makalah disampaikan pada silaturrahim dan seminar ASBISINDO dengan tema Tantangan Perbankan Syariah Menghadapi Era Global pada tanggal 25 Oktober 2007 bertempat di JCC Jakarta. Risalah Hukum Fakultas Hukum UNMUL, Edisi Desember 2008, Vol. 4 No. 2 Tempo Interaktif, 28 April 2008, diakses dari .http://www.p2d.org/index.php/kon/3215-mei-2008/161-sejarah-ahmadiyah-dan-konfliknya.html, pada tanggal 01 Maret 2011 Nugroho R., Pengertian Kebijakan Publik, makalah diakses dari http://abdiprojo. blogspot. com/ 2010/04/pengertian-kebijakan-publik.html, pada tanggal 24 Februari 2011 Irwan, Dampak Lahirnya Undang-Undang Perbankan Syariah Terhadap Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia, artikel diakses dari http://irwanpena.blogspot.com/-2008/06/dampak-lahirnya-undang-undangperbankan.html, pada tanggal 01 Maret 2011 Syamsul Bahrum, Fatwa MUI Bukan Penetrasi Agama dalam Politik Praktis, artikel diakses dari http://google.com.syamsulbahrum.web.id/?p=1416 pada tanggal 01 Maret 2011 Dawam Rahardjo, islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850 Sosialisasi SKB No. Kep-033/A/JA/6/2008, (Jakarta: Tim Sosialisasi Departemen Agama, Kejaksaan Agung, dan Departemen Dalam Negeri, 2008), diakses dari
[email protected], pada tanggal 01 Maret 2011
94
Lampiran 1 KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 3 Tahun 2008 NOMOR : KEP-033/A/JA/6/2008 NOMOR : 199Tahun 2008 TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTRI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, setiap orang bebas untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, dan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang; b. bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu; c. bahwa Pemerintah telah melakukan upaya persuasif melalui serangkaian kegiatan dan dialog untuk menyelesaikan permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar tidak menimbulkan keresahan dalam kehidupan beragama dan mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, dan dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah menyampaikan 12 (dua belas) butir Penjelasan pada tanggal 14 Januari 2008; d. bahwa dari hasil pemantauan terhadap 12 (dua belas) butir Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagaimana dimaksud pada huruf c, Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) menyimpulkan bahwa meskipun terdapat beberapa butir yang telah dilaksanakan namun masih terdapat beberapa butir yang belum dilaksanakan oleh penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sehingga dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat; e. bahwa warga masyarakal wajib menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama untuk menciptakan ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional; f. bahwa dengan maksud untuk, menjaga dan mernupuk ketenteraman beragama dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, serta berdasarkan pertimbangan pada huruf a,
95
Mengiagat
: 1. 2. 3.
4. 5.
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu menetapkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat; Pasal 28E, Pasal 281 ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Kitab Undang-Undang Ilukum Pidana (KUTIP) Pasal 156 dan Pasal 156a; Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
6. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; 7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005; 8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan; 10. Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 1989 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia: 11. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kernenterian Negara Republik Indonesia yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005; 12. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2005; 13. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia; 14. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM); 15. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia; 16. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri; 17. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama; Memperhatikan : 1. Hasil Rapat Tim Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 12 Mei 2005; 2. Hasil Rapat Tim Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 15 Januari 2008; 3. Hasil Rapat Tim Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 16 .April 2008;
96
MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI KEPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT KESATU
: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang rnenyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
KEDUA
: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
KETIGA
: Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
KEEMPAT : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). KELIMA
: Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
KEENAM : Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pernbinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini. KETUJUH : Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008 MENTERI AGAMA, ttd, MUHAMMAD M. BASYUNI
JAKSA AGUNG,
MENTERI DALAM NEGERI,
ttd,
ttd,
HENDARMAN SUPANDJI
H. MARDIYANTO
97
Lampiran 2 HASIL RAPAT BAKOR PAKEM TAHUN 2005 Bakor Pakem (setelah mencatat pertimbangan hukum, termasuk UU PNPS No. 1 tahun 1965 yo UU No. 5 Tahun 1969), merekomendasikan kepada Pemerintah/Presiden Republik Indonesia
agar
organisasi, kegiatan, ajaran, dan buku-buku yang berisi ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Qadiyan) dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) dilarang di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan suatu Peraturan Presiden Republik Indonesia.
98
Lampiran 3 HASIL RAPAT BAKOR PAKEM TANGGAL 15 Januari 2008 1. Bakor Pakem telah membaca dan memahami isi 12 butir Penjelasan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang disampaikan dan ditandatangani oleh PB JAI atas nama H. Abdul Basit serta diketahui dan ditandatangani oleh Instansi Pemerintah dan para tokoh Agama Islam pada tanggal 14 Januari 2008. 2. Bakor Pakem setelah membahas isi 12 butir Penjelasan PB JAI menilai perlu memberikan kesempatan kepada JAI untuk melaksanakan 12 butir Penjelasan tersebut dengan segala konsekuensinya secara konsisten & bertanggung jawab. 3. Bakor Pakem akan terus memantau dan mengevaluasi perkembangan atas pelaksanaan isi 12 butir Penjelasan PB JAI dimaksud di seluruh wilayah RI. 4. Apabila terdapat ketidaksesuaian dalam pelaksanaan 12 butir Penjelasan PB JAI maka Bakor Pakem akan mempertimbangkan penyelesaian lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5. Bakor Pakem menghimbau semua pihak untuk dapat memahami maksud dan tujuan itikad baik PB JAI sebagai bagian dari membangun kerukunan umat beragama dengan mengedepankan kebersamaan serta menghindari tindakan-tindakan anarkis dan destruktif.
99
Lampiran 4
100
101