Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi
PENGARUH FASILITATOR TERHADAP SIKAP APOTEKER UNTUK MENGIMPLEMENTASIKAN PHARMACEUTICAL CARE THE INFLUENCE OF FACILITATORS TOWARD PHARMACIST ATTITUDE FOR IMPLEMENTING PHARMACEUTICAL CARE M. Rifqi Rokhman, Kanthi Noorani Utami, Nurul Adila Dianastuti Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Meskipun banyak apoteker telah menerima konsep pharmaceutical care, namun implementasi pada farmasi komunitas terbukti lebih lambat dari yang diharapkan sehingga diperlukan fasilitator sebagai faktor yang dapat mempercepat sekaligus mengatasi hambatan dalam implementasi pharmaceutical care. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fasilitator terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care pada farmasi komunitas di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian termasuk penelitian asosiatif dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan jumlah responden sebanyak 110 apoteker. Fasilitator yang diteliti yaitu peningkatan hubungan profesional apoteker dengan dokter, kemampuan klinis apoteker, peran organisasi profesi, remunerasi, permintaan pasien, institusi pendidikan, dan individu apoteker. Data dianalisis menggunakan uji statistik regresi linier berganda dengan bantuan software SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 variabel yaitu peran organisasi profesi (p=0,000), institusi pendidikan (p=0,005), dan individu apoteker (p=0,001) secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care. Dua fasilitator yaitu peran organisasi profesi dan institusi pendidikan merupakan fasilitator pada tingkat organisasi. Hal ini mengindikasikan implementasi pharmaceutical care sebaiknya dilakukan tidak hanya dengan pendekatan individu namun juga dengan pendekatan level organisasi. Model mampu menjelaskan sikap apoteker sebesar 63,6%. Kata kunci: implementasi, pharmaceutical care, farmasi komunitas, fasilitator ABSTRACT Although many pharmacists have accepted the pharmaceutical care concept, but its implementation on community pharmacy is slower than expected, therefore facilitators are needed to accelerate the implementation and overcoming the existing obstacles. This study aimed to determine the effect of facilitators toward the pharmacist attitudes for implementing pharmaceutical care in community pharmacy. The study was associative research and conducted in the Yogyakarta Province using questionnaires. Sampling method was used purposive sampling. There were 110 pharmacists as respondents. Facilitators were professional relationship among doctors and pharmacists, clinical capabilities of pharmacists, the role of pharmacist association, remuneration for new pharmacist services, patient demand, educational institutions, and pharmacists as individual. Data were analyzed with multiple linear regressions using SPSS software. The results showed that three variables namely the role of pharmacist association (p = 0.000), educational institutions (p = 0.005), and individual pharmacists (p = 0.001) partially positive and significant effect on the attitudes of pharmacists to implement pharmaceutical care. Two facilitators, the role of professional organizations and educational institutions, are facilitators at the organizational level. This indicates that the implementation of pharmaceutical care should be approached not only with in individual but also in the organization level. The model was able to explain 63.6% of pharmacists attitude. Keywords: implementation, pharmaceutical care, community pharmacy, facilitator
PENDAHULUAN Konsep pharmaceutical care berawal tahun 1990 di Amerika Serikat dimana Hepler dan Strand (1990) mendefinisikannya sebagai penyediaan terapi obat yang bertujuan untuk mencapai hasil tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. Pharmaceutical care dianggap sebagai model untuk pelayanan apoteker di masa mendatang. Tidak ada masa depan bagi apoteker dari sebatas kegiatan dispensing karena kegiatan dispensing dapat dan akan diambil alih oleh mesin atau teknisi terlatih (van Mill dkk., 2004). Oleh karena itu, konsep pharmaceutical care juga berkembang pada farmasi komunitas (Farris dkk., 2005).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa diterapkannya pharmaceutical care pada farmasi komunitas menunjukkan banyak manfaat seperti memperbaiki hasil klinis terapi obat, mencegah terjadinya drug related problem (DRP), dan menekan biaya pengobatan (Hepler dan Strand, 1990). Menteri Kesehatan membuat Keputusan Nomor 1027 tahun 2004 sebagai standar pelayanan kefarmasian di apotek atau farmasi komunitas dan pedoman praktik apoteker dalam menjalankan tugas profesi (Depkes, 2004). Farmasi komunitas merupakan bagian penting dari praktik kefarmasian karena 175
Volume 3 Nomor 3 – September 2013
apoteker paling banyak melakukan praktik kefarmasian pada farmasi komunitas. Di Kanada 70% apoteker yang terdaftar bekerja pada farmasi komunitas, di Amerika menurut Bureau of Health Professionals tahun 2001, 61,5% berpraktik di farmasi komunitas (Tindall dan Millonig, 2003), sedangkan di Indonesia sekitar 43,33% apoteker bekerja di farmasi komunitas (FIP, 2006). Namun demikian, implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas merupakan hal yang komplek (Hoop dkk., 2005) dan terbukti lebih lambat dari yang diharapkan, meskipun banyak apoteker telah setuju dengan pandangan pharmaceutical care sebagai masa depan profesi apoteker (Gastelurrutia dkk., 2005; Dunlop dan Shaw, 2002). Penelitian pada apoteker farmasi komunitas di Surabaya menunjukkan 70% menyadari pentingnya diterapkan pharmaceutical care dalam praktik sehari-hari namun masih terhambat oleh kurangnya pemahaman apoteker terhadap konsep pharmaceutical care (Wibowo, 2008). Banyak penelitian sekarang mengarah kepada fasilitator implementasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas (Gastelurrutia dkk., 2005). Fasilitator adalah setiap faktor yang dapat membantu untuk mengatasi hambatan dan atau mempercepat diseminasi pharmaceutical care pada farmasi komunitas (Gastelurrutia dkk., 2005). Pemahaman terhadap pengaruh fasilitator secara mendalam diharapkan dapat mempercepat implementasi pharmaceutical care. Oleh karena itu, penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh fasilitator terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasi pharmaceutical care di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. METODE Penelitian merupakan penelitian asosiatif. Data penelitian diperoleh langsung dari responden menggunakan alat bantu kuesioner dengan skala Likert 6 skala. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Populasi adalah apoteker yang berada di seluruh propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kriteria inklusi responden berupa apoteker pengelola apotek atau apoteker pendamping yang bekerja pada farmasi 176
komunitas dan apotek tempat bekerja bukan merupakan apotek waralaba atau apotek jaringan. Jumlah sampel apoteker yang digunakan sebagai sampel adalah 101 sampel dari 5 kabupaten yang ada di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Data dianalisa menggunakan analisa regresi linear berganda dengan bantuan program SPSS. Kuesioner terdiri dari 2 bagian, bagian pertama berupa pertanyaan mengenai karakteristik responden, sedangkan bagian kedua mengenai fasilitator dan sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care. Fasilitator berupa 7 variabel yaitu hubungan profesional apoteker dengan dokter, kemampuan klinis apoteker, peran organisasi profesi, remunerasi, permintaan pasien, institusi pendidikan, individu apoteker, dan sikap apoteker. Fasilitator didapat dari penelitian Rokhman dkk. (2012), Gastelurrutia dkk. (2009), Roberts dkk. (2008), Dunlop dan Shaw (2002), dan Bradley dkk. (2007). Kuesioner diuji validitas menggunakan korelasi Product Moment Pearson dan reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach pada 30 responden sebelum digunakan untuk penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden meliputi jenis kelamin, usia apoteker, apakah apoteker pengelola apotek (APA) merupakan pemilik apoteker, lama melakukan praktik kefarmasian, posisi apoteker, dan bekerja di tempat lain atau tidak sebagaimana terlihat pada tabel I. Penggunaan model regresi untuk pengujian hipotesis harus sesuai dengan asumsi uji normalitas, uji multikolinearitas, dan uji heterokedastisitas agar memberikan model regresi yang Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Hasil analisa menunjukkan data terdistribusi normal (nilai Kolmogorof-Smirnov sebesar 0,147), tidak terjadi multikolinearitas (keseluruhan variabel mempunyai nilai VIF lebih kecil dari 5), dan tidak terdapat heteroskedastisitas (nilai signifikansi variabel independen lebih dari 0,05). Oleh karena itu, dapat dilakukan pengujian regresi linear berganda. Data pada penelitian ini tidak termasuk pada data runtut waktu sehingga tidak diperlukan uji asumsi klasik autokorelasi .
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Tabel I. Karakteristik Responden Berdasarkan Identitas Apoteker No 1
Kategori Jenis kelamin
2
Usia
3
APA merupakan pemilik sarana apotek
Jumlah Laki- laki Perempuan
4
101
91,82
71
64,55
31 – 40 tahun
33
30,00
41 – 50 tahun
3
2,73
3
2,73
Ya
70
63,64
Tidak
40
36,36
< 1 tahun
25
22,73
1-5 tahun
60
54,55
6-10 tahun
20
18,18
11-20 tahun
3
2,73
21-30 tahun
1
0,91
> 30 tahun 5 6
Posisi apoteker Bekerja di tempat lain
8,18
20 – 30 tahun
>50 tahun
Lama melakukan praktik kefarmasian
Persentase (%) 9
1
0,91
APA
65
59,09
Aping
45
40,91
Ya
21
19,09
89
80,91
Tidak Keterangan: APA = Apoteker pengelola apotek Aping = Apoteker pendamping
Tabel II. Hasil Uji Regresi Berganda Pengaruh Keseluruhan Fasilitator terhadap Sikap Apoteker Koefisien Regresi
Nilai Signifikansi Uji t
Konstanta
1,995
0,511
Hubungan profesional apoteker dengan dokter
-0,099
0,164
Kemampuan klinis apoteker
0,048
0,749
Peran organisasi profesi
0,339
0,000*
Remunerasi layanan baru
0,053
0,379
Permintaan pasien
0,193
0,052
Institusi pendidikan
0,323
0,005*
Individu apoteker
0,172
0,001*
Variabel
R
R2
Nilai Signifikansi Uji F
0,798
0,636
0,000*
Keterangan: * = pengaruh signifikan (nilai p<0,05)
Tabel II memperlihatkan bahwa keseluruhan fasilitator secara simultan berpengaruh signifikan terhadap sikap apoteker yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi uji F sebesar 0,000 (p<0,05). Terdapat 3 fasilitator (berdasarkan uji t) yang berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care yaitu peningkatan peran organisasi profesi, institusi pendidikan, dan individu apoteker (Tabel II).
Responden setuju pentingnya peran dari organisasi profesi yaitu Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dalam menerapkan pharmaceutical care, seperti perlunya memfasilitasi apoteker yang akan melakukan pharmaceutical care, aktif mempromosikan layanan pharmaceutical care kepada masyarakat, memberikan panduan dan asistensi yang jelas bagi apoteker, serta menjadi penggerak dalam penerapan pharmaceutical care. Penelitian sejalan dengan penelitian Roberts dkk. (2008) yaitu 177
Volume 3 Nomor 3 – September 2013
pentingnya peran organisasi profesi dalam memainkan peran kunci untuk memberikan dukungan kepada apoteker. Rokhman dkk (2012) menjelaskan bahwa Dinas Kesehatan daerah tertentu melarang apoteker memiliki dan menggunakan alat kesehatan sfigmomanometer untuk mengukur tekanan darah pasien, meskipun hanya digunakan untuk memantau tekanan darah pasien bukan untuk diagnosa pasien hipertensi. Hal ini merupakan hambatan berkenaan dengan kurang jelasnya kewenangan apoteker. Pada sisi lain, apoteker sendiri merasa masih kesulitan bagaimana menyampaikan hasil pengukuran tanpa menimbulkan kesan melakukan diagnosa. Oleh karena itu, pelaksanaan pharmaceutical care yang kompleks maka dukungan eksternal peran organisasi profesi perlu dipertimbangkan (Roberts dkk., 2006). Penerapan pharmaceutical care pada farmasi komunitas memerlukan dukungan tidak hanya dengan aspek pelayanan klinis, tetapi juga pada proses implementasi dalam hal pengaturan tujuan bersama atau mengubah tata letak apotek dan alur kerja, program pendampingan yang memungkinkan apoteker untuk mendapatkan bantuan dari apoteker lain dan semua itu harus didukung oleh para pembuat kebijakan dan organisasi profesi. Responden apoteker setuju bahwa pendidikan profesi harus memberikan lebih banyak pengalaman praktik, lebih banyak memberikan studi kasus nyata dan perbaikan kurikulum dengan memperbanyak informasi dan pelatihan dalam berkomunikasi. Selain itu, penyesuaian pelatihan kerja di lapangan agar calon apoteker dapat menyesuaikan diri dengan praktik kefarmasian yang berlaku sekarang ini, tidak hanya sekedar teori (Roberts dkk., 2003). Institusi pendidikan juga memainkan peran penting dalam hal menjembatani atau menghubungkan komunikasi yang baik antara apoteker dan dokter pada saat masih dalam proses pendidikan seperti yang sekarang sedang di kembangkan di beberapa negara Eropa (van Mil dkk., 2006) seperti dengan diterapkannya interprofessional education. Hubungan apoteker dengan dokter juga merupakan masalah yang utama di berbagai negara, perbaikan komunikasi dapat terjalin dengan dikembangkannya mahasiswa kedokteran dan 178
mahasiswa farmasi untuk dapat bekerja bersama-sama (van Mil dkk., 2006). Individu apoteker juga berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap sikap apoteker. Mayoritas jawaban reponden tidak menyukai perubahan dalam rutinitas atau kebiasaan dan kurangnya rasa percaya diri dalam menerapkan pharmaceutical care. Individu sebagai unit pengadopsi mempunyai perbedaan kecepatan dalam menerima sebuah inovasi baru termasuk pharmaceutical care sebagai inovasi dalam praktek kefarmasian. Rogers (2003) mengemukakan bahwa dalam sistem sosial terdapat individu yang cepat mengadopsi suatu inovasi dan individu lain yang lambat mengadopsi suatu inovasi. Semakin tinggi tingkat innovativeness seseorang maka semakin cepat orang tersebut mengadopsi suatu inovasi. Tanpa keinginan perubahan yang dimulai dari diri apoteker sendiri, tidak akan dapat membuat pasien atau tenaga kesehatan lain melihat dan menyadari perubahan dalam praktik kefarmasian (Gastelurrutia dkk., 2004). Golongan adopter awal menyukai ide-ide baru tanpa perlu persuasi yang berlebihan sehingga sudah cukup membuat mereka mau mengadopsi sebuah inovasi berbeda dengan orang-orang dari golongan adopter akhir, mereka cenderung melihat atau berkaca pada orangorang disekitar mereka yang sudah menggunakan inovasi tersebut dan apabila berhasil mereka baru mau mengikutinya. Oleh karena itu, untuk mendukung implementasi pharmaceutical care, perlu dilakukan identifikasi dan pengelompokan apoteker berdasarkan tingkat adopsinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada fasilitator tunggal sebagai penentu kesuksesan untuk merubah sikap apoteker mengimplementasikan pharmaceutical care. Hal ini sesuai dengan hasil yang dikemukakan Roberts dkk. (2008) bahwa kesuksesan perubahan praktik kefarmasian melibatkan banyak faktor dan tidak ada fasilitator tertentu yang merupakan fasilitator tunggal. Sebagai contoh, meskipun remunerasi diidentifikasi sebagai fasilitator utama dalam implementasi pharmaceutical care di Australia, namun pemberian remunerasi saja kepada apoteker tanpa adanya fasilitator yang lain tidak cukup
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi
untuk membuat apoteker mengimplementasikan pharmaceutical care. Dua dari tiga fasilitator dengan nilai koefisien regresi tertinggi yaitu peran organisasi profesi dan institusi pendidikan merupakan fasilitator pada pendekatan level organisasi. Peran organisasi profesi merupakan variabel dengan koefisien regresi tertinggi. Hasil penelitian sejalan dengan temuan dari Roberts dkk. (2003) dan Gastelurrutia dkk. (2009) bahwa pendekatan implementasi pharmaceutical care harus menggunakan pendekatan organisasi. Perubahan sering terhambat bukan karena individu yang selalu menolak perubahan, namun karena tidak adanya struktur atau mekanisme yang bisa membawa mereka bersama-sama dengan cara yang tepat untuk membuat perubahan terjadi (Roberts dkk., 2006). Pendekatan behavioural theory yaitu pemahaman bahwa pemberian pelatihan, edukasi maupun peningkatan ketrampilan pada apoteker secara langsung akan membuat apoteker melaksanakan pharmaceutical care, namun demikian pendekatan behavioural theory ternyata masih belum cukup untuk memberi penjelasan yang baik mengenai penerapan pharmaceutical care karena adanya barier yang lebih besar yaitu pada tingkat organisasi (Roberts dkk., 2003). Pronk dkk. (2001) menyebutkan bahwa proses perubahan pada organisasi akan menjadi inovasi dan membawa perubahan dalam praktik keseharian apoteker. Analisis determinasi (R2) sebesar 0,636 atau 63,6% (Tabel II). Hal tersebut menunjukkan bahwa variasi keseluruhan fasilitator dapat DAFTAR PUSTAKA Bradley, F., Elvey, R., Ashcroft, D., Noyce, P., 2007, Commissioning and Delivery of Services from Community Pharmacy: a National Study, Academy for the Study and Development of the Pharmacy Workforce, University of Manchester, Manchester. Depkes, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, 1-8, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
menjelaskan 63,6% variasi dari sikap apoteker, sedangkan sisanya sebesar 36,4% dipengaruhi oleh fasilitator lain yang tidak termasuk dalam penelitian. Fasilitator lain tersebut dapat berupa perlunya dukungan dari pemilik sarana apotek (Hopp dkk., 2005), perlunya asistensi atau dukungan dari pihak luar (Roberts dkk., 2008), perubahan lay out apotek (Pronk dkk., 2001; Roberts dkk., 2008) seperti perlunya ruangan khusus untuk konseling, dan perlunya penambahan jumlah sumber daya manusia di apotek (Roberts dkk., 2008). Nilai signifikansi uji F sebesar 0,000 (p<0,05) menunjukkan secara simultan keseluruhan fasilitator berpengaruh terhadap sikap apoteker. Hal ini menunjukkan bahwa model penelitian dapat digeneralisasikan kepada populasi yaitu apoteker seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 variabel yaitu peran organisasi profesi (p=0,000), institusi pendidikan (p=0,005), dan individu apoteker (p=0,001) secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap apoteker untuk mengimplementasikan pharmaceutical care. Dua fasilitator yaitu peran organisasi profesi dan institusi pendidikan merupakan fasilitator pada tingkat organisasi, hal ini mengindikasikan implementasi pharmaceutical care sebaiknya dilakukan tidak hanya dengan pendekatan individual namun juga dengan pendekatan level organisasi. Model mampu menjelaskan sikap apoteker sebesar 63,6%.
Dunlop, J.A., dan Shaw, 2002, Community Pharmacists ’Perspectives on Pharmaceutical Care Implementation in New Zealand’, Pharmacy World and Science, 24 (6), 224-230. Farris, K.B., Fernandez-Llimoz, F., dan Benrimoj, S.I., 2005, Pharmaceutical Care in Community Pharmacies: Practice and Research from Around the World, The Annals of Pharmacotherapy, 39 (9), 15391541.
179
Volume 3 Nomor 3 – September 2013
FIP. Global Pharmacy Workforce and Migration Report: A Call for Action. Visão Gráfica: Portugal. 2006. Gastelurrutia, M.A., Fernandez-Llimos, F., Garcia-Delgado, P., Gastelurrutia, P., Faus, M.J., Benrimoj, S.I., 2005, Barriers and Facilitators to the Dissemination and Implementation of Cognitive Services in Spanish Community Pharmacies, Sequimiento Farmacoterapeutico, 3 (2), 65-77. Gastelurrutia, M.A., Benrimoj, S.I., Catrillon, C.C., de Amazua, M.J.S., FernandezLlimoz, F., dan Faus, M.J., 2009, Facilitators for Practice Change in Spanish Community Pharmacy, Pharmacy World and Science, 31 (1), 32-39. Hepler, C.D., dan Strand, L.M., 1990, Opportunities and Responsibilities in Pharmaceutical Care, American Journal of Hospital Pharmacy, 47 (3), 533-543. Hopp, T.R., Sørensen, E.W., Herborg, H., dan Roberts, A.S., 2005, Implementation of Cognitive Services (CPS) in Professionally Active Pharmacies, International Journal of Pharmacy Practice, 13, 21-31. Pronk, M.C.M., Blom, A.Th.G., Jonkers, R., Burg, A.Van., 2001., The Diffusion Process of Patient Education in Dutch Community Pharmacy: an exploration, Elsevier Science Ireland, Vol. 42, 115-121. Roberts, A.S., Benrimoj, S.I., Chen, T.F., Williams, K.A., dan Aslani, P., 2008, Practice Change in Community Pharmacy: Quantification of Facilitators, The Annals of Pharmacotherapy, 42, 861868. Roberts, A.S., Hopp, T., Sørensen, E.W., Benrimoj, S.I., Chen T.F., Herborg, H., Williams, K., dan Aslani, P., 2003, Understanding Practice Change in Community Pharmacy: A Qualitative Research Instrument Based on Organisational Theory, Pharmacy World and Science, Vol. 25 (5), 227-234. Roberts, A.S., Benrimoj, S.I., Chen, T.F., Williams, K.A., Aslani, P., 2006, Implementing Cognitive Services in Community Pharmacy: A Review of 180
Models and Frameworks for Change, International Journal of Pharmacy Practice, Vol. 14, 105-113. Rogers, E., 2003, Diffusion of Innovations, Fourth Edition, 204-251, Free Press, New York. Rokhman, M.R., Utami, K.N., Dianastuti, N.A., 2012, Barier, Fasilitator, dan Pemodelan Sikap Apoteker untuk Mengimplementasikan Pharmaceutical Care pada Farmasi Komunitas Daerah Istimewa Yogyakarta, Laporan Program Hibah Penelitian Madya, 7-20, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tindall, W.N., dan Millonig, M.K., 2003, Pharmaceutical care: Insight From Community Pharmacist, CRC Press, New York. van Mil, J.W.F., Schulz, M., dan Tromp, T.F., 2004. Pharmaceutical Care, European Developments in Conception, Teaching, and Research: A Review, Pharmacy World and Science, 26 (6), 303-311. van Mil, J.W.F., dan Schulz, M., 2006, A Review of Pharmaceutical Care in Community Pharmacy in Europe, Harvard Health Policy Review, 7 (1), 155-168. Wibowo, 2008, Pharmaceutical care: The Perceptions of Community Pharmacists in Surabaya-Indonesia (A Pilot Study), Centre for Medicines Information & Pharmaceutical Care (CMIPC) University of Surabaya, 1-7.