PENGARUH EKSTRAK DAUN KATU (Sauropus androgynus (L.) Merr) TERHADAP JUMLAH OSTEOKLAS TULANG FEMUR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) MENOPAUSE
SKRIPSI
Oleh: NOVI AINIATUS SHOLIHAH M NIM. 11620027
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2015 i
PENGARUH EKSTRAK DAUN KATU (Sauropus androgynus (L.) Merr) TERHADAP JUMLAH OSTEOKLAS TULANG FEMUR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) MENOPAUSE
SKRIPSI
Diajukan Kepada: Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh:
NOVI AINIATUS SHOLIHAH M NIM. 11620027 / S-1
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIMMALANG 2015
ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Novi Ainiatus Sholihah M
NIM
: 11620027
Jurusan
: Biologi
Fakultas
: Sains dan Teknologi
Judul Skripsi :Pengaruh Ekstrak Daun Katu (Sauropus androgynous (L.) Merr) Terhadap Jumlah Osteoklas Tulang Femur Tikus Putih (Rattus norvegicus) Menopause
menyatakan dengan sebenarnya bahwa tugas akhir atau skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan data, tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya sendiri, kecuali dengan mencantumkan sumber cuplikan pada daftar pustaka. Data yang diambil didapatkan dari penelitian bersama. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan tugas akhir/skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Malang, 3 Juli 2015 Yang membuat pernyataan,
Novi Ainiatus Sholihah M NIM. 11620027
v
MOTTO
فإ ن مع العسريسرا إن مع العسر يسرا “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Seungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
“Keberanian terbesar adalah
kesabaran, guru terbaik adalah pengalaman” (Ali bin Abi Thalib)
(QS. Ar-Rahman: 13)
vi
LEMBAR PERSEMBAHAN
Hasil dari segala hasil, Tantangan dalam sebuah perjuangan, Bukan tentang waktu yang harus dilalui, namun bagaimana melawan asa hingga akhirnya terselesaikan “Alhamdulillah” Ibunda Roudlotul J. dan Ayahanda Miftahul H. yang selalu support dalam segala kebaikan dan doanya disetiap hari, Adik2 ku Fatihatu R, Zulfa R, Ana Lailyatul M yang menjadikan diri ini harus menjadi contoh yang baik, Ibu Retno S. yang dengan sabar menuntun, Mas Aliffani dalam semangatnya mengingatkan dan menemani selama proses, Nita, Alik, Khoir, Mb. Ayu, Emi, Anis, Afri dan teman Biologi „11 dalam keceriaan selama di UIN Maliki Malang .. Dan semua yang telah membantu terealisasinya skripsi ini, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada beliau semua.. Amiin Yaa Robbalaalamin ^_^
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan pedoman transliterasiberdasarkan keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan KebudayaanRI no.158 tahun 1987 dan no.0543 b/U/1987 yang secara garis besar dapat diuraikan sebagaiberikut: 1. Konsonan
viii
KATA PENGANTAR
ِاللهِالرَّحْمَنِالرَّحِيْـــــم ِبسْــــــــــــــم Assalamu’alaikum Wr.Wb. Syukur alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Daun Katu (Sauropus androgynous (L.) Merr) Terhadap Jumlah Osteoklas Tulang Femur Tikus Putih (Rattus norvegicus) Menopause”. Skripsi yang telah tersusun ini merupakan penelitian yang dilakukan bersama. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda rasul Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya penulis haturkan ucapan terimakasih seiring doa dan harapan jazakumullah ahsanal jaza’ kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Ucapan terimakasih inipenulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 2. Dr. drh. Hj. Bayyinatul Muchtaromah, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dan selaku dosen penguji yang telah memberikan saran terbaiknya. 3. Dr. Evika Sandi Savitri, M.P, selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 4. Dr.Retno Susilowati, M.Si,sebagai dosen pembimbing Jurusan Biologi dan dosen wali yang telah sabar memberikan bimbingan, arahan dan memberikan waktu untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat-Nya kepada beliau dan keluarga. Amin. 5. Umaiyatus yarifah, M.A, sebagai dosen pembimbing integrasi sains dan agama yang memberikan arahan serta pandangan sains dari perspektif Islam sehingga skripsiini terselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan Rahmat-Nya kepada beliau dan keluarga. Amin.
ix
6. Ibu Kholifah Holil, M. Si, sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran terbaiknya. 7. Segenap Bapak/Ibu dosen dan Laboran Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama menempuh studi. 8. Keluarga tercinta, Ayahanda Drs. Miftahul Huda, M.A, dan Ibunda Roudlotul Jannah yang selalu memberikan dukungan moril, materiil dan spiritual serta ketulusan doanya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. 9. Adik Fatihatu Rahmawati, Zulfa Rosydah Miftah dan Ana Laylatul Maghfiroh Miftah tercinta yang membangkitkan semangat dalam penyelesaian sekolah srata1 ini. 10. Seluruh teman-teman Biologi angkatan 2011 yang berjuang bersama-sama untuk mencapai kesuksesan yang diimpikan. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini baik berupa materiil maupun moril. Semoga
Allah
SWT
memberikan
balasan
atas
bantuan
dan
pemikirannya.Akhir kata, penulis berharap skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya serta menambah khasanah ilmu pengetahuan. Amin Ya Rabbal Alamin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Malang, 3 Juli 2015
Penulis
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................... HALAMAN PENGAJUAN ........................................................................ HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... HALAMAN MOTTO .................................................................................. HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. KATA PENGANTAR .................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................. DAFTAR TABEL ........................................................................................ DAFTAR GAMBAR .................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ ABSTRAK .................................................................................................... ABSTRACT .................................................................................................. خال صة..............................................................................................................
i ii iii iv v vi vii viii ix xi xiii xiv xvi xvii xviii xix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.4Hipotesis Penelitian ........................................................................... 1.5ManfaaatPenelitian ............................................................................ 1.6 Batasan Masalah ..............................................................................
1 6 7 7 7 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Menopause ....................................................................................... 2.2 Estrogen dan Fitoestrogen ................................................................ 2.2.1 Mekanisme Remodeling Tulang ................................................... 2.2.2 Mekanisme Resorbsi Tulang (Osteoklastik) ................................. 2.3 Daun Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr) .................................. 2.3.1 Biologi Tanaman Katu .................................................................. 2.3.2 Kandungan Isoflavon pada Daun Katu ......................................... 2.4 Tikus Putih (Rattus noregicus) ......................................................... 2.5 Pembuatan Hewan Model Menopause..............................................
9 16 22 23 27 27 29 30 33
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ....................................................................... 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................... 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................... 3.4 Variabel Penelitian ........................................................................... 3.5 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................... 3.5.1 Alat- alat Penelitian ....................................................................... 3.5.1.1 Alat Pemeliharaan Hewan Coba ................................................
35 35 35 36 37 37 37
xi
3.5.1.2 Alat Pembuat Makanan dan Minuman Hewan Coba ................. 3.5.1.3 Alat Pembuatan Ekstrak Daun Katu .......................................... 3.5.1.4 Alat Pemberian Ekstrak Daun Katu pada Tikus ........................ 3.5.1.5 Alat Pembuatan Preparat Jaringan ............................................. 3.5.1.6 Alat untuk Pemeriksaan Histologis Sel Osteoklas ..................... 3.5.2 Bahan-Bahan Penelitian ................................................................ 3.5.2.1 Bahan Makanan Tikus ............................................................... 3.5.2.2 Bahan Pembuatan Ekstrak Daun Katu ....................................... 3.5.2.3 Bahan Pewarnaan Hematoksilin Eosin ...................................... 3.6 Prosedur Penelitian .......................................................................... 3.6.1 Preparasi ....................................................................................... 3.6.1.1 Persiapan Hewan Coba .............................................................. 3.6.1.2 Pembuatan Esktrak Daun Katu .................................................. 3.6.1.3 Perhitungan Dosis dan Pengenceran Ekstrak Air Daun Katu .... 3.6.1.4 Pembagian Kelompok Sampel ................................................... 3.6.2 Pemberian Perlakuan .................................................................... 3.6.2.1 Pembuatan Tikus Ovariektomi .................................................. 3.6.2.1.1 Persiapan Operasi Ovariektomi pada TikusPenelitian ........... 3.6.2.1.2 Ovariektomi Tikus Penelitian ................................................. 3.6.2.1.3 Perlakuan Pasca Ovariektomi ................................................. 3.6.2.2 Perlakuan Ekstrak Air Daun Katu .............................................. 3.6.2.3 Pembuatan Preparat Histologi Osteoklas ................................... 3.6.2.3.1 Pengambilan Sediaan Tulang .................................................. 3.6.2.3.2 Pembuatan Preparat Histologis ............................................... 3.6.2.3.3 Pemeriksaan Histologi untuk Menghitung Jumlah Sel Osteoklas .................................................................................. 3.7 Analisis Data .................................................................................... BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) Terhadap Jumlah Sel Osteoklas Tulang Femur Tikus Putih (Rattus norvegicus) Menopause ............................................. 4.2 Analisis Data dan Pembahasan ....................................................... 4.2.1 Uji Normalitas dan Homogenitas Data ......................................... 4.2.2 UjiOne Way ANNOVA ................................................................ 4.2.3 Uji Korelasi Pearson .....................................................................
37 37 38 38 38 38 38 38 38 39 39 39 39 40 41 42 42 42 44 44 45 45 45 46 48 49
51 56 56 56 57
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 56 5.2 Saran ................................................................................................ 56 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 57 LAMPIRAN .................................................................................................. 62
xii
DAFTAR TABEL Tabel
2.1
Efek Estrogen Terhadap Berbagai Sel Tulang .............................................. 18
Tabel
4.1
Ringkasan Hasil Perhitungan ANOVA Tentang Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Katu (Sauropus Androgynus (L.) Merr) Terhadap Jumlah Osteoklas Tulang Femur Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Menopause………………………………………............. 51
Tabel
4.2
Ringkasan Hasil Uji BNT 5% Tentang Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Katu (Sauropus Androgynus (L.) Merr) Terhadap Jumlah Osteoklas Tulang Femur Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Menopause ................................................................................ 52
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1
Perubahan Kadar Hormon Seks Dari Kematangan Seksual Sampai Pascamenopause .................................................................. 13
Gambar 2.2
Perbedaan Struktural Tulang Normal dan Tulang yang Mengalami Osteoporosis ....................................................................... 15
Gambar 2.3
Perbedaan Secara Histologi Tulang Normal dan Tulang yang Mengalami Osteoporosis Akibat Ovariektomi pada Tikus ................................................................................. 15
Gambar 2.4
Mekanisme Umpan Balik Sekresi Hipotalamus dan Pituitary Anterior dengan Estrogen dalam Mekanisme Bone Turvorner........................................................................... 17
Gambar 2.5
Struktur Fitoestrogen Isoflavon (Kiri) Mempunyai Kemiripan dengan Struktur Estradiol (Kanan) ........................................................................................................... 20
Gambar 2.6
Waktu dan Mekanisme yang Dibutuhkan Untuk Proses Osifikasi .............................................................................................. 23
Gambar 2.7
Gambar Histologi Sel Osteoklas Potongan Longitudinal Dengan Pewarnaan HE Perbesaran 1000x .............................................................................................................. 24
Gambar 2.8
Proses Remodeling Tulang............................................................................. 27
Gambar 2.9
Tanaman Katu (Kiri) dan Daun Katu (Kanan) ............................................... 28
Gambar 2.10 Morfologi Tikus Putih (Rattus norvegicus) .................................................. 32 Gambar 4.1
Grafik Rata-rata Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Katu (Sauropus Androgynus (L.) Merr) Terhadap Jumlah Osteoklas Tulang Femur Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Menopause…………………………………. 53
Gambar 4.2
Perbedaan Hasil Pengamatan Preparat Histologi Sel Osteoklas Tulang Femur pada Semua Perlakuan …. …… 55
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Kerangka Konsep Penelitian ...................................................... 62 Lampiran 2 Perhitungan BNT (Beda Nyata Terkecil) Jumlah Sel Osteoklas 63 Lampiran 3 Uji Standar Deviasi ..................................................................... 64 Lampiran 4 Uji Normalitas Data .................................................................... 67 Lampiran 5 Uji Homogenitas Data ................................................................ 67 Lampiran 6 Uji One-Way ANNOVA ............................................................ 68 Lampiran 7 Uji Duncan ................................................................................. 68 Lampiran 8 Uji Post Hock Multiple Comparison .......................................... 69 Lampiran 9 Uji Korelasi Pearson ................................................................... 70 Lampiran 10 Kegiatan Penelitian ................................................................... 72 Lampiran 11 Gambar Histologis Sel Osteoklas pada Preparat Histologis .... 74
xv
ABSTRAK Sholihah, Ainiatus Novi M. 2015.Pengaruh Ekstrak Daun Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr) Terhadap Jumlah Osteoklas pada Femur Tikus Putih (Rattus norvegicus) Menopause.Skripsi.Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.Dosen PembimbingBiologi :Dr. Retno Susilowati, M.Si., Dosen Pembimbing Agama : Umaiyatus Syarifah, M.A Kata Kunci: Daun Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr), Fitoestrogen, Osteoklas, Menopause Harapan hidup masyarakat terus meningkat setiap tahunnya.Namun ratarata wanita sudah mengalami menopause saat memasuki umur 45-55 tahun yang disertai gejala-gejala klimakterik diantaranya osteoporosis yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel osteoklas sebagai sel perombak tulang akibat menurunnya produksi hormon estrogen didalam tubuh.Gejala ini dapat dikurangi dengan pemberian terapi sulih hormone (TSH), namun pemakaian dalam jangka panjang sangat berbahaya karena menimbulkan berbagai penyakit.Hal ini dapat diganti dengan pemberian isoflavon sebagai terapi hormon alami yang salah satunya dapat diperoleh dari daun katu yang diduga isoflavon ini memiliki peran sebagai fitoestrogen.Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L.)Merr) terhadap jumlah sel osteoklas tulang femur tikus putih (Rattus norvegicus) Menopause. Metode yang digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah kontrol positif (tikus normal), kontrol negatif (tikus ovariektomi tanpa perlakuan) dan kelompok perlakuan (pemberian ekstrak daun katu dosis 45 mg/KgBB, 30 mg/KgBB dan 15 mg/KgBB). Pengambilan data diperoleh dari pengamatan preparat histologis tulang femur dengan perbesaran 400x sebanyak 20 lapang pandang pada setiap trabecular. Data dianalisa dengan menggunakan uji normalitas, homogenitas, One-Way ANOVA, dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemberian ekstrak air daun katu (Sauropus androgynous (L).Merr) berpengaruh terhadap penurunan jumlah osteoklas tulang femur tikus putih (Rattus norvegicus) menopause karena isoflavon dalam daun katu dapat bekerja sebagai fitoestrogen.
i
ABSTRACT Sholihah, Ainiatus Novi M. 2015. The Effect Extract Of Leaf Katu (Sauropus Androgynus (L.) Merr) About Quantity Osteoklast Cells Femur BoneWhite Rat (Rattus Nurvegicus) Menopouse.Skripsi. Department of Biology, Faculty of
Science and Technology of the State Islamic University of Maulana Malik Ibrahim Malang.Biology Supervisor: Dr. Retno Susilowati, M.Sc., Supervisor Religion: Umaiyatus Syarifah, MA Keywords: Leaves Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr), Phytoestrogens, Osteoclasts, Menopause Life expectancy continues to increase every year. However, the average woman has experienced menopause when entering the age of 45-55 years with climacteric symptoms including osteoporosis characterized by an increased number of osteoclasts as destroying bone cells due to declining production of estrogen in the body. These symptoms can be reduced with the administration of hormone replacement therapy (HRT), but long-term use in very dangerous because the cause of various diseases. It can be replaced with a provision of isoflavon as a natural hormone therapy, one of which can be obtained from the leaves Katu is estimate can active as phytoestrogen. The purpose of this study was to determine the effect of leaf extract Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr) to the number of osteoclasts femur rats (Rattus norvegicus) Menopause. The method used was a completely randomized design (CRD) with 5 treatment and 3 repetitions. The treatment used is a positive control (normal mice), negative control (ovariectomized mice without treatment) and the treatment group (valve leaf extract dose 45 mg / kgBW, 30 mg / kgBW and 15 mg / KgBW). Retrieval of data derived from observations of histological preparations femur with 400x magnification of 20 field of view each trabecular. Data were analyzed using normality test, homogeneity test, One-Way ANOVA if different signification, next with BNT. The results showed that the leaf extract water valve (Sauropus androgynous (L). Merr) effect on the decrease in the number of osteoclasts femur rat (Rattus norvegicus) menopause because isoflavon in leaves katu can active as phytoestrogen.
i
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Jumlah dan pertumbuhan penduduk lanjut usia dari tahun ke tahun terus meningkat. Jumlah dan pertumbuhan ini tidak terlepas dari adanya usia harapan hidup yang terus meningkat. Usia harapan hidup meningkat terjadi karena keberhasilan pembangunan yaitu kemajuan di bidang kesehatan, pendidikan, pengetahuan dan tingkat pendapatan yang semakin meningkat. Data Statistik Indonesia pada tahun 2014 menunjukkan angka harapan hidup penduduk Indonesia pada periode 2000-2005 adalah 67,2 tahun, meningkat pada periode 2006-2010 yakni 69,35 tahun. Peningkatan pada periode 2011-2015 menjadi 71,13 tahun serta pada periode 2015-2020 sebesar 72,46 tahun, kemudian diperkirakan akan meningkat menjadi 73,34 tahun pada periode 2021-2025 (Baziad, 2003). Usia menopause perempuan berkisar antara 45 – 55 tahun (rata – rata 51 tahun). Peningkatan harapan hidup perempuan di Indonesia yang mencapai 72 tahun menyebabkan hampir sepertiga hidupnya dalam masa menopause. Populasi perempuan menopause di Indonesia akan meningkat, dengan segala dampak akibat penurunan hormon estrogen berupa keluhan klimakterik dan peningkatan resiko terjadinya kekeroposan tulang atau osteoporosis (Gumelar, 2011). Osteoporosis yakni pengeroposan tulang, yaitu tulang menjadi tipis, rapuh dan keropos, serta mudah patah. Kebanyakan kasus-kasus osteoporosis dapat dikategorikan sebagai tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I disebabkan oleh
1
2
menopause (osteoporosis pascamenopause) yaitu akibat dari proses resorbsi tulang yang dilakukan oleh sel osteoklas melebihi aktivitas dari sel osteoblas yang merupakan sel yang bertugas membangun kembali struktur tulang, hal ini disebabkan produksi estrogen endogen menurun. Sebaliknya, osteoporosis tipe II berhubungan dengan umur dan disebabkan oleh kekurangan vitamin D dan absorbsi kalsium yang berlebihan di dalam tubuh (Amran, 2011). Akibat yang ditimbulkan dari adanya osteoporosis adalah patah tulang. Kejadian patah tulang di negara negara Asia dan negara maju paling banyak ditemukan adalah patah tulang femur. Jumlah kejadian patah tulang femur di dunia pada 2005 adalah 1,7 juta orang dan di Asia sebanyak 0,57 juta orang (36%). Pada tahun 2050, diperkirakan kejadian patah tulang femur di dunia per tahun sebanyak 6,26 juta orang, sedangkan kejadian di Asia sebanyak 3,25 juta orang (52%) (Department of Health and Human Services, 2011). Pilihan terbaik dan merupakan pengobatan standar untuk keluhan klimakterik dan osteoporosis adalah terapi hormonal sesuai dengan penyebabnya yakni kekurangan hormon estrogen (Amran, 2011). Baziad (2003) menyatakan bahwa meski hingga kini masih terus terjadi silang pendapat apakah terapi hormon dapat meningkatkan resiko kanker payudara, namun telah diketahui bahwa pemberian estrogen secara sintetis dapat meningkatkan kejadian kanker payudara 2,3% per tahunnya. Berdasarkan alasan tersebut maka fitoestrogen merupakan alternatif yang digunakan untuk mengatasi turunnya hormon estrogen. Fitoestrogen merupakan senyawa yang mirip dengan estrogen tetapi memiliki aktifitas yang lebih rendah dari estrogen, senyawa ini dapat
3
diidentifikasi dalam air kemih baik pada manusia maupun hewan yang menggunakannya (Proverawati, 2010). Fitoestrogen dibedakan menjadi 3 kelas yang terdiri dari isoflavon, coumestan dan lignin (Dang and Lowik, 2005). Menurut Mulyati (2006), pemberian fitoestrogen dapat mengurangi keluhan sindrom menopause. Isoflavon yang terdapat dalam fitoestrogen dapat juga disebut sebagai SERM (Selective estrogen receptor modulator) karena dapat bersifat sebagai estrogen pada jaringan tertentu seperti tulang dan bersifat sebagai antiestrogen (antagonis) pada jaringan lainnya (payudara dan uterus). Singkatnya dapat melakukan fungsi kompleks sebagai agonis atau antagonis tergantung pada jaringan, jenis, jumlah ER dan lingkungan hormon endogen (Gruber, Tschungguel, Schneeberger dan Huber, 2002). Penelitian in vitro menunjukkan bahwa fitoestrogen bisa menjadi kandidat yang ideal untuk pengobatan osteoporosis karena mampu merangsang aktivitas osteoblastik dan menghambat pembentukan osteoklas (Branca, 2003). Penemuan ERα dan ERβ dalam tulang dan fitoestrogen yang memiliki efek selektif pada tulang telah menjelaskan efek perlindungan dari fitoestrogen yang mungkin dihasilkan melalui peningkatan zat-zat pada reseptor estrogen dan terutama ERβ. Ekspresi ERβ meningkat selama proses mineralisasi tulang saat osifikasi berlangsung (Arts et al., 1997). Contoh bahan yang mengandung isoflavon dengan konsentrasi tinggi adalah kedele. Kedele merupakan biji-bijian yang mengandung isoflavon dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan biji-bijian lainnya (Mulyati, 2006). Selain bijibijian, kandungan isoflavon juga banyak ditemukan pada berbagai tumbuhan.
4
Allah SWT menumbuhkan berbagai macam tumbuh tumbuhan yang baik di atas muka bumi ini sebagaimana yang telah difirmankan di dalam Al-Qur’an surah Asy-syu’araa’ (26) ; 7 sebagai berikut :
Artinya : Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik ? (Asy-syu’araa’ : 07). Kata ( ) كريمkarȋm digunakan untuk menggambarkan segala sesuatu yang baik bagi setiap objek yang disifatinya. Dalam tafsir ini diartikan bahwa tumbuhan yang baik itu paling tidak adalah tumbuhan yang subur dan memiliki manfaat. Allah menumbuhkan berbagai tumbuhan yang baik di atas muka bumi ini (Shihab, 2002). Banyak manfaat yang dapat diambil dari tumbuhan untuk digunakan sebagai obat-obatan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia yang lebih baik. Salah satu contoh tumbuhan yang memiliki banyak manfaat adalah tumbuhan katu. Tumbuhan Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia dan beberapa negara tetangga, baik sebagai obat tradisional, sebagai sayuran atau pewarna makanan. Hasil penelitian oleh Wijono (2003) menyatakan bahwa daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) mempunyai enam kandungan senyawa flavonoid yang bermanfaat bagi tubuh yang berhasil disolasi dari daun katu ekstrak etanol 95%. Salah satu senyawa flavonoid tersebut adalah rutin, sedangkan 5 senyawa lainnya mengarah kepada golongan flavonol OH-3 tersulih, atau golongan flavon. Senyawa rutin dapat digunakan sebagai zat identitas untuk daun katu.
5
Isoflavon pada daun katu berpengaruh pada osteoblas sebagai sel penyusun tulang dan sel osteoklas sebagai sel perombak tulang. Penelitian tentang pengaruh fitoestrogen terhadap tulang sebelumnya telah dilakukan oleh Darmadi (2011) yang mengemukakan bahwa ekstrak tumbuhan yang mengandung senyawa isoflavon (dalam penelitian yang dilakukan oleh Darmadi ini menggunakan ekstrak kacang tunggak) diketahui mempunyai kandungan isoflavon genistein dan daidzein secara signifikan dapat meningkatkan jumlah osteoblas dan menurunkan jumlah osteoklas pada tikus yang mengalami perlakuan ovariektomi dengan menggunakan beberapa tingkatan dosis berbeda diantaranya dosis I (0,5 mg/KgBB), dosis II (2,5 mg/KgBB) dan dosis III (5 mg/KgBB). Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Wiyasa (2004) dan Kristyoadi (2012) yang menggunakan ekstrak tokbi (Pueraria lobata) dan ekstrak biji Kakao (Theobromin cacao L.). Arah korelasi antara dosis ekstrak biji kakao (Theobroma cacao L.) dengan jumlah sel osteoblas tikus wistar (Rattus novergicus) adalah positif, yang berarti semakin besar dosis ekstrak biji kakao maka semakin besar jumlah sel osteoblas dengan dosis tertinggi yang digunakan yaitu 500 mg/kg BB. Tulang secara kontinyu mengalami penyerapan dan pembentukan pada proses remodeling tulang. Sel yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang disebut osteoblas (osteoblast), sedangkan osteoklas (osteoclast) bertanggung jawab untuk penyerapan kalsium dan mineral tulang. Keseimbangan ini mulai terganggu dan lebih berat ke arah penyerapan tulang ketika wanita mencapai menopause dan pria mencapai usia 60 tahun (Asih, 2012).
6
Pada kejadian osteoporosis akan terjadi abnormalitas bone turnover, yaitu terjadinya proses penyerapan tulang (bone resorption) lebih banyak dari pada proses pembentukan tulang (bone formation). Peningkatan proses penyerapan tulang dibanding pembentukan tulang pada wanita pascamenopause antara lain disebabkan oleh karena defisiensi hormon estrogen, yang lebih lanjut akan merangsang keluarnya mediator-mediator prekursor yang berpengaruh terhadap lebih aktifnya sel osteoklas yang berfungsi sebagai sel penyerap tulang (Kawiyana, 2009). Fitoestrogen yang terdapat dalam kandungan daun katu diharapkan dapat memenuhi kadar estrogen yang menurun pada wanita menopause sehingga dapat mencegah meningkatnya aktivitas sel osteoklas yang menyebabkan osteoporosis. Penelitian ini diharapkan didapatkan dosis yang tepat untuk dapat kembali menyeimbangkan bone turnover dengan menghambat aktivitas osteoklas yang menjadi penyebab terjadinya osteoporosis pada wanita menopause yang dalam penelitian ini menggunakan model tikus dengan ovariektomi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh ekstrak air daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) terhadap jumlah osteoklas pada tulang femur tikus putih (Ratus norvegicus) menopause.
1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh ekstrak air daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) terhadap jumlah sel osteoklas tulang femur tikus putih (Ratus norvegicus) menopause ?
7
1.3. Tujuan Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak air daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) terhadap jumlah sel osteoklas tulang femur tikus putih (Ratus norvegicus) menopause.
1.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penelitian ini adalah ekstrak air daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dapat menurunkan jumlah sel osteoklas tulang femur tikus putih (Ratus norvegicus) menopause.
I.5 Manfaat Penelitian a. Menambah pengetahuan dalam bidang kesehatan, yakni dapat memberikan informasi bahwa daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) merupakan tanaman yang memiliki kandungan fitoestrogen yang diharapkan dalam penelitian ini dapat mengurangi keluhan osteoporosis pada wanita menopause. b. Penggunaan obat tradisional di masyarakat, sebagai bentuk dari pemanfaatan bahan alam atau back to nature. c. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang pentingnya membudidayakan tanaman daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) sebagai obat, yaitu bahan yang bernilai ekonomis.
8
1.6 Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini meliputi : 1. Tikus digunakan adalah tikus betina galur Wistar (Rattus norvegicus) yang telah diovariektomi dan normal didapatkan dari Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya umur 2 bulan dengan berat badan 160-350 gram. 2. Simplisia daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) didapatkan dari Materia Medica, Batu. Pembuatan ekstraksi daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah Malang. 3. Parameter yang diamati adalah jumlah sel osteoklas tulang femur tikus putih (Rattus norvegicus)
pada preparat histologi sebanyak 20 lapang pandang
dengan perbesaran 400x. 4. Perlakuan yang diberikan sebanyak 5 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah kontrol positif (tikus normal), kontrol negatif (tikus ovariektomi tanpa perlakuan) dan kelompok perlakuan (pemberian ekstrak air daun katu dosis 45 mg/KgBB/ekor/hari, 30 mg/KgBB/ekor/hari dan 15 mg/KgBB/ekor/hari) yang dilakukan selama 1 bulan, dosis tersebut diberikan setelah tikus pemulihan pasca ovariektomi.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Menopause Siklus reproduksi wanita akan mengalami perubahan-perubahan apabila telah memasuki masanya. Saat remaja dan dewasa, siklus reproduksi wanita ada pada masa subur karena organ-organ reproduksi seperti ovarium masih bekerja dengan baik, namun memasuki usia 45-55 tahun wanita mulai kehilangan fungsi kerja organ-organ reproduksinya yaitu saat memasuki masa menopause. Allah SWT telah menjelaskan tentang hal ini jauh sebelum dilakukannya penelitianpenelitian tentang fungsi-fungsi kerja organ reproduksi oleh para ilmuwan sekarang dalam al-Qur’an surah Ar-Ruum (30) ; 54,
Artinya : Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa (Ar-Ruum : 54) Tafsir kalimat من بعد قوة ضعفاdalam kitab tafsir Al-Qurthubi memiliki makna tua, yaitu fase setelah seseorang berada pada masa subur dan sudah kehilangan fungsi kerja organ-organ reproduksinya dengan baik. Fase ini disebut dengan masa menopause. Kata ضعفاmenurut Syaikh Imam (2009) adalah lawan kuat. Ada yang mengatakan ضعفdengan huruf dhad berharakat fathah artinya
9
10
lemah. Namun kata ضعفاdengan tambahan alif di akhir kata maksudnya adalah mengumpulkan dua bahasa atau dua pengertian yang bisa saling bergantian atau berhubungan, kata tersebut dapat memiliki arti lemah pada fisik dan juga lemah pada akal. Hal ini seperti keadaan ilmiah yang sering terjadi pada wanita yang memasuki masa menopause, secara bertahap akan mengalami kemunduran fungsi respon atau melemahnya fungsi kerja baik secara fisik dan mentalnya. Menopause menurut WHO (2005), berarti berhentinya siklus menstruasi untuk selamanya bagi wanita yang sebelumnya mengalami menstruasi setiap bulan, yang disebabkan oleh jumlah folikel yang mengalami atresia terus meningkat, sampai tidak tersedia lagi folikel dan terdapat amenorea sekurangkurangnya 12 bulan terakhir yang ditandai dengan kadar FSH > 30 mIU/ml dan kadar E2 < 30pg/ml dan bukan disebabkan oleh keadaan patologis. Kini wanita Indonesia rata-rata memasuki masa menopause pada usia 50 tahun. Faktor fisik dan psikis mempengaruhi kapan terjadinya menopause. Demikian juga dengan adanya penyakit tertentu, operasi indung telur, stres, obat-obatan dan gaya hidup merupakan contoh faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya terjadi menopause (Baziad, 2003). Wanita dengan siklus haid yang normal, estrogen terbesar adalah estradiol yang berasal dari ovarium, terdapat pula estron yang berasal dari konversi androstenedion di jaringan perifer. Memasuki masa perimenopause aktivitas folikel dalam ovarium mulai berkurang. Ketika ovarium tidak menghasilkan ovum dan berhenti memproduksi estradiol, kelenjar hipofise berusaha merangsang ovarium untuk menghasilkan estrogen, sehingga terjadi peningkatan produksi
11
FSH. Terdapat pula penurunan kadar hormon androgen seperti androstenedion dan testosteron yang sulit dideteksi pada masa perimenopause (Amran, 2011). Wanita yang memasuki masa menopause, hilangnya fungsi ovarium secara bertahap akan menurunkan kemampuannya dalam menjawab rangsangan hormonhormon hipofisis untuk menghasilkan hormon steroid. Saat dilahirkan, wanita mempunyai kurang lebih 750.000 folikel primordial. Dengan meningkatnya usia jumlah folikel tersebut akan semakin berkurang. Pada usia 40-44 tahun rata-rata jumlah folikel primordial menurun sampai 8300 buah, yang disebabkan oleh adanya proses ovulasi pada setiap siklus juga karena adanya apoptosis (proses folikel primordial yang mati dan terhenti pertumbuhannya). Apabila jumlah folikel mencapai jumlah yang kritis, maka akan terjadi gangguan sistem pengaturan hormon yang berakibat terjadinya insufisiensi korpus luteum, siklus haid anovulatorik dan pada akhirnya terjadi amenorea yang rentan terhadap osteoporosis dan penyakit jantung (Speroff et al., 2001). Ovarium pada saat menopause tidak lagi menghasilkan estradiol (E2) atau inhibin dan progesteron serta estrogen hanya dibentuk dalam jumlah kecil. Oleh karena itu, FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) tidak lagi dihambat oleh mekanisme umpan balik negatif estrogen dan progesteron yang telah menurun dan sekresi FSH dan LH menjadi meningkat ke tingkat yang tinggi. Fluktuasi FSH dan LH serta berkurangnya kadar estrogen menyebabkan munculnya tanda dan gejala menopause, antara lain rasa hangat yang menyebar dari badan ke wajah (hot flashes), gangguan tidur, keringat di malam hari,
12
perubahan urogenital, osteopenia / kepadatan tulang rendah dan lain – lain (Lubis, 2011). Kadar estrogen telah mencapai nilai yang rendah dan gejala-gejala neurovegetatif telah terhenti di masa pascamenopouse (Baziad, 2003). Gangguan sekunder karena kekurangan estrogen dalam jangka panjang dapat berupa gangguan klimakterik seperti osteoporosis atau pengeroposan tulang (Speroff et al, 2005). Keadaan ilmiah ini telah dijelaskan Allah SWT sebelumnya dalam surah Maryam (19) ; 4,
Artinya : Ia berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku (Maryam : 4) Tafsir kata وهن
dengan harakat pada ketiga hurufnya yang artinya dha’fu
(lemah). Dikatakan wahaya-yahinu-wahnan yang artinya lemah. Sedangkan kata ‘azhm (tulang) merupakan tonggaknya badan dan penyangga serta kerangkanya tubuh. Bila tulang itu lemah, maka akan lemah semua kekuatannya, karena tulang merupakan unsur yang paling kuat dalam tubuh, bila telah melemah, tidak ada lagi yang lebih lemah darinya. Disebutkan dalam bentuk tunggal, karena kata tunggal ini menunjukkan makna jenis, maksudnya bahwa jenis inilah yang merupakan penopang dan penyangga, dan bila jenis ini disebutkan telah lemah berarti itu menimpa kepada seluruh tubuh (Imam, 2009). Kerapuhan tulang atau pengeroposan tulang ini terjadi akibat defisiensi estrogen endogen di dalam tubuh
13
saat wanita sudah kehilangan fungsi ovarium sebagai penghasil utama hormon estrogen, yang artinya saat wanita tersebut memasuki masa menopause. Ayat ini menguatkan pernyataan sebelumnya yang menyatakan bahwa osteoporosis akan terjadi seiring dengan memasukinya masa menopause sebagai salah satu gangguan klimakterik dari fase menopause.
Gambar 2.1 Perubahan Kadar Hormon Seks Dari Kematangan Seksual Sampai Pascamenopause (Baziad, 2003). Osteoporosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan mikro-arsitektur jaringan tulang yang berakibat menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga tulang mudah patah (Jones, K Penninger, 2002). Hal ini berhubungan erat dengan proses remodeling tulang yaitu terjadi abnormalitas bone turnover (Kawiyana, 2009). Definisi lain, osteoporosis adalah kondisi dimana tulang menjadi tipis, rapuh, keropos dan mudah patah akibat berkurangnya massa tulang dalam waktu yang lama (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
14
Gambar 2.2 Perbedaan Struktural Tulang Normal dan Tulang yang Mengalami Osteoporosis (www.mayoclinic.com, telah diolah kembali)
Gambar 2.3 Perbedaan Secara Histologi Tulang Normal dan Tulang yang Mengalami Osteoporosis Akibat Ovariektomi pada Tikus (British Journal of Obstetric and Gynecology, 2005) Tulang secara kontinyu mengalami penyerapan dan pembentukan pada proses remodeling tulang. Hal ini berarti bahwa pembentukan tulang tidak terbatas pada fase pertumbuhan saja, akan tetapi pada kenyataannya berlangsung seumur hidup. Sel yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang disebut osteoblas (osteoblast), sedangkan osteoklas (osteoclast) bertanggung jawab untuk penyerapan tulang. Pembentukan tulang terutama terjadi pada masa pertumbuhan. Pembentukan dan penyerapan tulang berada dalam keseimbangan pada individu berusia sekitar 30 – 40 tahun. Keseimbangan ini mulai terganggu dan lebih berat ke arah penyerapan tulang ketika wanita mencapai menopause dan pria mencapai
15
usia 60 tahun. Pada osteoporosis akan terjadi abnormalitas bone turnover, yaitu terjadinya proses penyerapan tulang (bone resorption) lebih banyak dari pada proses pembentukan tulang (bone formation). Peningkatan proses penyerapan tulang dibanding pembentukan tulang pada wanita pascamenopause antara lain disebabkan oleh karena defisiensi hormon estrogen, yang lebih lanjut akan merangsang keluarnya mediator – mediator yang berpengaruh terhadap aktivitas sel osteoklas yang berfungsi sebagai sel penyerap tulang (Kawiyana, 2009). Osteoporosis dibagi 2 kelompok yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton membagi osteoporosis primer menjadi osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I, disebut juga osteoporosis pascamenopause, disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan osteoporosis. Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen juga menonjol pada osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian kalsium dan vitamin D pada osteoporosis tipe II juga tidak memberikan hasil yang adekuat. Akhirnya pada tahun 1990-an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat berperan pada timbulnya osteoporosis primer, baik pascamenopause maupun sinilis (Ariestine, 2010).
16
2.2. Estrogen dan Fitoestrogen Estrogen merupakan hormon steroid dengan 10 atom C dan dibentuk terutama dari 17-ketosteroid androstenedion. Estrogen alamiah yang terpenting adalah estradiol (E2), estron (E1) dan estriol (E3). Secara biologis, estradiol adalah yang paling aktif. Perbandingan khasiat biologis dari ketiga hormon tersebut E2 : E1 : E3 = 10 : 5 : 1. Potensi estradiol 12 kali potensi estron dan 8 kali estriol sehingga estradiol dianggap sebagai estrogen utama (Speroff et al., 2005). Selain di ovarium, estrogen juga di sintesis di adrenal, plasenta, testis, jaringan lemak dan susunan saraf pusat namun dalam jumlah yang kecil. Hal ini menyebabkan wanita mempunyai kadar estrogen yang rendah setelah menopause (Baziad, 2003). Fungsi estrogen secara umum adalah sebagai perangsang sintesis DNA melalui RNA, pembentuk utusan RNA (messenger RNA), sehingga terjadi peningkatan sintesis protein (Iswahyuni, 2011). Fungsi yang lain dari estrogen adalah merangsang pertumbuhan tulang dan membantu mempertahankan kesehatan tulang (Speroff et al., 2005). Estrogen bekerja pada pituitari anterior dan hipotalamus untuk mengatur sistem mekanisme umpan balik. Biasanya mekanisme ini bersifat negatif, oleh karena konsentrsi estrogen yang tinggi dalam waktu yang lama menyebabkan terjadi mekanisme positif untuk merangsang LH (Sherwood, 2001). Sebelum menopause dan pascamenopause, hormon estradiol memegang peranan, sedangkan sesudahnya estradiol mengalami penurunan, disisi lain estron akan meningkat (Speroff et al, 2005).
17
Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada tulang. Efek tak langsung estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorbsi kalsium di usus, modulasi 1,25 (OH)2D, eksresi kalsium di ginjal dan sekresi PTH (Ariestin, 2010). Hormon estrogen merupakan inhibitor resorbsi kalsium di dalam tulang. Turunnya hormon estrogen mengakibatkan terjadinya peningkatan absorbsi kalsium dan fosfor dalam tulang. Rendahnya kadar kalsium dalam darah akan direspon oleh hipofisa dengan cara melakukan stimulus pada kelenjar paratiroid untuk menghasilkan hormon paratiroid (PTH). Hormon paratiroid merangsang pembentukan sitokin (IL-1, IL-6 dan TNF) di dalam tulang. Sitokin mengaktivasi osteoklas untuk merangsang absorbsi kalsium dan fosfor di dalam tulang dan melepaskan ke dalam darah (Siki, 2009). Adanya penyerapan kalsium dan fosfor dari tulang akan menimbulkan suatu kondisi penurunan kepadatan tulang yang disebut osteoporosis (Sabri, 2011).
Gambar 2.4 Mekanisme Umpan Balik Sekresi Hipotalamus dan pituitary anterior dengan Estrogen dalam Mekanisme Bone Turnover (www.mayoclinic.com)
18
Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa efek, seperti tertera pada tabel 2.1. Efek-efek ini akan meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorbsi tulang oleh osteoklas. Tabel 2.1 Efek Estrogen Terhadap Berbagai Sel Tulang (Arieatin, 2010).
Kemungkinan estrogen dapat mencegah osteoporosis dengan cara sebagai berikut (Setiyohadi, 2006) : a. Estrogen menempati reseptor osteoklas yang akan mempengaruhi fungsi osteoklas dalam menurunkan kehilangan tulang b. Estrogen menurunkan kecepatan perubahan tulang normal yang menyebabkan efek positif terhadap keseimbangan kalsium c. Estrogen akan memperbaiki aborbsi kalsium dengan mengatur produksi IL-1 dan IL-6 yang merupakan bone resorbing. Estrogen juga mengatur bahanbahan yang merangsang pembentukan tulang seperti Insulin like growth factor 1 dan 2, serta growth factor beta
19
d. Estrogen merangsang sintesa kalsitonin yang dapat menghambat resorbsi tulang e. Estrogen meningkatkan reseptor vitamin D di osteoblas Menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita yang telah memasuki masa menopause memberikan dampak yang begitu besar pada terjadinya osteoporosis. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian fitroestrogen. Menurut Baziad (2003), Fitoestrogen merupakan zat yang berasal dari tumbuh – tumbuhan yang memiliki struktur kimia mirip dengan estrogen, tetapi efek estrogennya sangat lemah. Banyak dijumpai pada kedelai, kulit bengkuang, lidah buaya, kacang tunggak, sayur – sayuran, biji padian, serta rempah – rempah. Terdapat beberapa jenis seperti
Ligan
(enterolakton,
enterodiol),
Isoflavon
(genistein,
daidzein,
formononetin, equol), Coumestan (coumestrol), Lakton (zerealenon) dan Sterol (Sitosterol). Isoflavon yang merupakan salah satu jenis dari fitoestrogen yang bekerja melalui reseptor estrogen (agonis), seperti yang banyak dijumpai di susunan saraf pusat, pembuluh darah, tulang dan kulit. Isoflavon dapat juga disebut sebagai SERM (Selective estrogen receptor modulator), karena tidak memiliki efek terhadap uterus dan payudara (Baziad, 2003). Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah dengan berkaitan pada reseptor estrogen dan mencegah pengikatan estrogen alami. Namun, fitoestrogen memiliki potensi yang jauh lebih kecil (0,01 – 0,001) dari kekuatan estrogen alami (Sitasiwi, 2009). Glikosida isoflavon kedelai; genistin, daidzin dan glisitin serta aglikonnya : genistein, deidzein dan glisitein adalah fitoestrogen yang mengikat dengan afinitas yang
20
rendah terhadap ERα, tetapi cenderung untuk mempunyai afinitas tinggi pada ERβ (Sutrisno, 2006). Fitoestrogen mempunyai struktur kimia serupa dengan penilnaptalen yang menyerupai rumus bangun hormon estrogen (Gambar 2.4). Khasiat serupa estrogen ini diduga bersifat agonis atau antagonis tergantung pada faktor-faktor metabolisme, konsentrasi estrogen endogen, jenis kelamin serta keadaan menopause. Rumus bangun ini juga hampir sama dengan zat anti estrogen yaitu tamoxifen. Adanya gugus OH pada fitoestrogen, estradiol dan dietilstilbesrol merupakan salah satu persyaratan untuk aktivitas estrogenik. Reseptor estrogen mampu mengadakan ikatan dengan beberapa komponen yang mempunyai persamaan struktur dengan estrogen seperti genistein. Zat aktif lainnya dari fitoestrogen adalah lignan yang pada umumnya ditemukan pada pohon-pohonan yang tumbuh tinggi (Biben, 2012). Genistein dan deiszein adalah isoflavon, dan enterolacton adalah sebuah lignan. Dalam isoflavon, nomor dan posisi pengganti senyawa hidroksil menentukan diterimanya steric homolog dengan 17β-estradiol, oleh karena itu ikatan interaksi dari estrogen reseptor kelompok phenyl dari isoflavon dan lignan menengahi kapasitas senyawa antioksidan.
Gambar 2.5. Struktur Fitoestrogen Isoflavon (Kiri) mempunyai kemiripan dengan Struktur Estradiol (Kanan)
21
Isoflavon merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk dalam golongan flavonoid (1,2 diarilpropan). Senyawa-senyawa isoflavon dapat ditemukan dalam beberapa jenis tumbuhan (Sutrisno, 2006). Salah satunya terdapat didalam kandungan tumbuhan katu. Satu tanaman dapat mengandung lebih dari satu gugus aktif fitoestrogen yaitu isoflavon, lignan atau kaumestan. Unsur utama isoflavon adalah genistein dan daidzein yang umumnya berada dalam keadaan ikatan inaktif glukosida. Olahan tumbuhan golongan fitoestrogen ini tergantung cara atau tekniknya, dapat mengurangi atau menambah aktivitas unsur isoflavon yang ada di dalamya (Biben, 2012). Senyawa isoflavon terbukti juga mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik. Efek estrogenik ini terkait dengan unsur isoflavon yang dapat ditransformasikan menjadi equol, dimana equol ini mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen. Mengingat hormon estrogen berpengaruh pula terhadap metabolisme tulang, terutama proses kalsifikasi, maka adanya isoflavon yang bersifat estrogenik dapat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses kalsifikasi. Dengan kata lain, isoflavon dapat melindungi proses osteoporosis pada tulang sehingga tulang tetap padat dengan menjaga resorbsi kalsium dan fosfor pada tulang dan mengaktivasi osteoblas serta menginhibisi diferensiasi osteoklas yang dapat menyebabkan pengeroposan tulang (Sutrisno, 2006).
22
2.2.1 Mekanisme Remodeling Tulang Tulang tua akan selalu diganti dengan tulang baru pada unit multiseluler tulang (Bone Multicelluler Unit) dinamakan remodeling tulang. Terjadinya proses resorbsi
dan
pembentukan
tulang
dinamakan
bone
turnover.
Adanya
keseimbangan antara pembentukan dan resorbsi tulang agar tulang menjadi elastis, ringan namun kuat. Proses ini sering terjadi pada tulang dewasa yaitu pada tulang trabecular seperti vertebrae, femur proksimal, kalkaneus dan radius ultradistal. Gangguan keseimbangan tersebut membuat tulang lebih banyak diresorbsi dibandingkan dengan pembentukan tulangnya, tulang menjadi keropos dan mudah patah tulang yang disebut osteoporosis (Sim N dan Baron R, 2000). Proses resorbsi tulang memerlukan waktu 3 hari, kemudia fase Reversal (fase periode antara dengan pembentuka tulang) memerlukan waktu 14 hari dan pembentukan tulang selama 70 hari, sehingga total waktu yang diperlukan adalah 87 hari. Pada tulang dewasa normal proses pembentukan tulang hanya ditempat yang sudah terjadi resorbsi, maka proses yang terjadi ditempat remodeling ini melalui proses dasarnya yaitu Aktifasi-Resorbsi-Pembentukan (ARF=AvtivationResorbtion-Formation). Mekanisme pembentukan tulang melalui 3 tahapan, yaitu produksi, maturasi dan mineralisasi (Amran, 2011). Waktu dan mekanisme yang diperlukan untuk proses osifikasi dapat dilihat pada gambar 2.6 berikut :
23
Gambar 2.6 Waktu dan Mekanisme yang Dibutuhkan Untuk Proses Osifikasi (British Journal of Obstetric and Gynecology, 2005) Sel osteoblas memiliki reseptor estrogen α dan β (ERα dan ERβ) di dalam sitosol. Dalam diferensiasi sel osteoblas mengekspresikan reseptor β (ERβ) 10 kali lipat dari reseptor estrogen α (ERα). Subtype reseptor inilah yang melakukan pengaturan homeostasis tulang dan berperan akan terjadinya osteoporosis (Asih, 2012).
2.2.2. Mekanisme Resorbsi Tulang (Osteoklastik) Sel osteoklas adalah sel-sel yang umumnya ditemukan di permukaan tulang yang berkerut / telah berdekalsifikasi (ruffled border), terletak dalam lacuna Howship yang berfungsi meresorbsi tulang (dapat ditemukan 4-5 sel, umumnya hanya 1-2 sel). Bentuk khas sel osteoklas yaitu sel besar berinti banyak / multinuclear sampai 20 inti (Sim N dan Baron R, 2000).
24
Gambar 2.7 Gambar Histologi sel Osteoklas potongan longitudinal dengan pewarnaan HE perbesaran 1000x (A Menunjukkan Sel Osteoklas dan B menunjukkan Sel Osteoblas) (Atlas Histologi, 1996) Sel osteoklas dengan perantara integrin melekat di tulang terikat dengan peptide RGD (specific arginine-glycine-aspartic acid) membentuk rongga sebagai tempat resorbsi tulang yang disebut sealing zone. Diawali dengan mobilisasi Kristal hydroxyapatite kemudian diikuti pemecahan ikatan protein non kolagen agar terlepas ikatannya dengan kolagen. Sisa serabut-serabut kolagen dihancurkan oleh enzim lisosom, osteoklas juga mensekresi ion H+ dan Cl- untuk membuat pH yang optimal untuk aktifitas enzim lisosom tersebut. Sisa hasil resorbsi akan dilepaskan saat sealing zone terlepas (Asih, 2012). Aktifasi osteoklas meresorbsi tulang kemungkinan diatur suatu proses endokrin signal yang dikeluarkan osteoblas. Saat osteoblas aktif, osteoblas mensintesis dan mensekresi sitokin untuk mengaktifkan recruitment dan differensiasi sel osteoklas pada permukaan remodeling. Pengeluaran faktor pertumbuhan pengikat matriks melalui proses ini, fungsi tersebut menggandakan aktifitas osteoblastik menjadi osteoklastik (Amran, 2011). Osteoklas menginduksi terjadinya degradasi tulang dengan mengeluarkan produk matriks khusus tulang kedalam interstisial. Produk ini masuk ke dalam
25
sirkulasi kemudian sering disekresikan tanpa metabolisme melalui ginjal. Bagianbagian tersebut termasuk anyaman kolagen berupa asam-asam amino kecil yang menghubungkan serat-serat kolagen dan memperkuat struktur kolagen tersier. Anyaman bertambah selama tahap akhir sintesis kolagen dan sebagai bagian yang akan dihidrolisis oleh protease saat resorbsi tulang (Amran, 2011). Sitokin yang meningkatkan kerja osteoklas adalah granulocyte macrophage colony-stimulating factors (GM-CSF), macrophage colony-stimulating factors (M-CSF), tumour necrosis factor-α (TNF-α), interleukin-1 (IL-1) dan interleukin6 (IL-6). Sedangkan faktor lokal yang menurunkan kerja osteoklas adalah IL-4 dan transforming growth factor-β (TGF-β). IL-1 dan TNF merupakan sitokin yang akan meningkatkan stimulasi osteoblas untuk pertumbuhan dan pematangan osteoklas dari prekursornya di sumsum tulang. Selain itu, kedua sitokin tersebut juga akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator lain yang juga berperan untuk pematangan osteoklas, seperti IL-6, M-CSF dan GM-CSF. Pada penelitian, dapat dibuktikan bahwa estradiol dapat menghambat pelepasan TNF oleh monosit dan wanita yang telah mengalami ovariektomi menunjukkan peningkatan konsentrasi IL-1 sampai IL-6. Selain itu estrogen juga akan menghambat produksi IL-6 baik oleh osteoklas maupun sumsum tulang. Pada penelitian biopsi tulang, didapatkan bahwa kadar mRNA yang mengkoding IL-1α, IL-1β, TNF-α dan IL-6 pada wanita yang menggunakan terapi sulih hormon ternyata lebih rendah dibandingkan pada spesimen tanpa terapi sulih hormon. Penelitian lain menunjukkan bahwa konsentrasi estrogen yang normal akan menekan pelepasan IL-1 oleh monosit darah perifer (Gruber, 2002).
26
Sel-sel osteoblas dan sel-sel osteoklas daya kerjanya tergantung dari masa hidup sel itu sendiri. Kemudian sel-sel yang terprogram secara genetis untuk mengakhiri masa hidupnya sendiri disebut proses apoptosis. Apoptosis sel-sel osteoblas dan osteosit matur akan meningkat pada pemakaian glukokortikoid melalui proses penurunan osteoblastogenesis dan rendahnya aliran darah dalam mensuplai sel-sel osteoblas dalam kavitas (Amran, 2011). Hormon estrogen, androgen dan juga obat bifosfonat berfungsi sebagai antiapoptosis pada sel-sel osteoblas dan osteosit. Estrogen dan androgen serta vitamin K-3 merangsang terjadinya proses apoptosis sel-sel osteoklas (Amran, 2011). Terhadap apoptosis sel osteoklas, secara tidak langsung estrogen merangsang sel osteoblas dan sel stroma untuk memproduksi TGF-β, yang selanjutnya TGF-β ini menginduksi sel osteoklas untuk lebih cepat mengalami apoptosis. Sedangkan efek langsung dari estrogen terhadap osteoklas adalah melalui reseptor estrogen pada osteoklas yaitu menekan aktivasi c-Jun dan c-Fos, sehingga mencegah terjadinya diferensiasi sel prekursor osteoklas dan menekan aktivasi sel osteoklas dewasa (Asih, 2012).
27
Gambar 2.8 Proses Remodeling Tulang (Sumber : http://dentosca.wordpress.com./2011/08.figure2.jpg) 2.3. Daun Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) 2.3.1 Biologi Tanaman Katu Sauropus androgynus (L.) Merr. atau sinonimnya adalah Sauropus albicus B1., Sauropus indicus Wight, Sauropus sumatranus Miq. Merupakan tanaman yang dikenal dengan nama umum Katu atau nama daerahnya adalah Simani (Minangkabau), Cekop manis (Melayu), Katuk (Sunda), Katu (Jawa Tengah) dan Karekur (Madura) (Aspan, 2008). Deskripsi tanaman katu yakni habitus berupa perdu setinggi 2,5-5 m. Batang berkayu, berbentuk bulat dengan bekas daun yang tampak jelas. Batang tegak, saat masih muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna coklat kehijauan. Daun berupa daun majemuk, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing dan pangkal tumpul. Tepi daun rata, panjang daun 1,5-6 cm, lebar daun 1-3,5 cm. Daun Sauropus androgynus mempunyai pertulangan menyirip, bertangkai pendek dan berwarna hijau keputihan pada bagian atas, hijau terang pada bagian bawah.
28
Bunga majemuk, berbentuk seperti payung, berada di ketiak daun. Kelopak berbentuk bulat telur, berwarna merah-ungu. Kepala putik berjumlah tiga, berbentuk seperti ginjal. Benang sari tiga, panjang tangkai 5-10 mm. Bakal buah menumpang dan berwarna ungu. Buah buni, berbentuk bulat, beruang tiga, dengan diameter ±1,5 mm dan berwarna hijau keputih-putihan-keunguan. Setiap buah berisi tiga biji. Biji bulat, keras, berwarna putih. Akarnya berupa akar tunggang dan berwarna putih kotor (BPOM RI, 2008). Menurut Aspan (2008), klasifikasi daun katuk adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Euphorbiales
Suku
: Euphorbiaceae
Marga
: Sauropus
Jenis
: Sauropus androgynus (L.) Merr
Gambar 2.9 Tanaman Katu (Kiri) dan Daun Katu (Kanan) (Aswan, 2008).
29
Daun katuk mengandung zat-zat antinutrisi seperti tanin, saponin, alkaloid, dan flavonoid. Level tanin yang optimum perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya respon pertumbuhan yang buruk. Saponin dalam katuk dapat menurunkan permeabilitas membran sel mukosa sehingga mempengaruhi transpor aktif nutrien. Saponin mengakibatkan enzim-enzim yang terdapat dalam membran sel mukosa usus kehilangan aktivitasnya dalam membantu uptake komponen nutrien ke dalam usus. Pada kondisi tertentu flavonoid bersama dengan asam askorbat dapat memiliki aktivitas fungsional yang mendukung pertumbuhan, namun keracunan flavonoid secara farmakologis pada sisi yang lain juga dapat menurunkan penampilan ternak (Suprayogi, 2000).
2.3.2 Kandungan Isoflavon pada Daun Katu Katu banyak mengandung nutrisi yang bermanfaat yaitu protein, lemak, kalsium, fosfat, besi, steroid, flavonoid, polifenol, vitamin A, B, C (244 mg/100 mg), dan E (4.16%) yang baik bagi fungsi reproduksi. Hasil penelitian Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia menunjukkan bahwa tanaman katuk mengandung beberapa golongan senyawa kimia, antara lain alkaloid, protein, lemak, vitamin, mineral, saponin, flavonoid dan tannin. Katu mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh, serta kelompok fitosterol yang lebih banyak dibandingkan jenis sayuran lainnya sehingga dapat dijadikan sumber fitosterol yaitu sebesar 2,14% yang terdiri atas stigmasterol, sitosterol dan fukosterol (Subekti, 2007). Wijono (2003) melakukan isolasi dan identifikasi flavonoid pada daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr) hasilnya adalah enam senyawa flavonoid telah
30
berhasil diisolasi dari daun katu dari ekstrak etanol 95%. Setelah dilakukan identifikasi salah satu senyawa flavonoid tersebut adalah rutin, sedangkan 5 senyawa lainnya mengarah kepada golongan flavonol OH-3 tersulih, atau golongan flavon. Senyawa rutin dapat digunakan sebagai zat identitas untuk daun katu. Fitosterol dalam ekstrak daun katu diduga juga dapat mempengaruhi fungi reproduksi. Konsumsi fitosterol meningkatkan konsentrasi estradiol, estron dan SHBG pada serum darah. Sitosterol melalui metabolisme mampu diubah menjadi pregnolon dan dehidroepiandrosteron yang merupakan prekursor hormon-hormon steroid (Subekti, 2007). Peningkatan hormone steroid yang tinggi dalam plasma darah dapat menyebabkan umpan balik negatif terhadap sintesis dan sekresi hormon hipotalamus-hipofise sehingga akan terjadi penurunan GnRH yang menyebabkan penurunan kadar FSH-LH pula (Suprayogi, 2000).
2.4 Tikus Putih ( Rattus nurvegicus) Tikus putih adalah binatang asli Asia, India dan Eropa Barat. Tikus putih dengan nama latin Rattus norvegicus termasuk dalam keluarga rodentia, sehingga masih termasuk kerabat dengan hamster, gerbil, tupai dan makhluk pengerat lainnya. Makanan tikus putih adalah biji-bijian, akar berdaging, daun, batang dan serangga. Tikus putih sering digunakan sebagai sarana penelitian biomedis, pengujian dan pendidikan. Kaitannya dengan biomedis, tikus putih digunakan sebagai model penyakit manusia dalam hal genetika. Hal tersebut karena kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme dan bio-kimia-nya cukup
31
dekat dengan manusia (Kusumawati, 2004). Harga tikus putih untuk penelitian tentu saja jauh lebih tinggi daripada tikus untuk pakan. Karena tikus-tikus untuk penelitian biasanya memerlukan persyaratan khusus. Misalnya keseragaman galur, umur dan bobot tubuh. Cara pemeliharaannya pun juga sedikit berbeda, lebih diperhatikan masalah kebersihan dan pakannya (Jasin, 1984). Tikus putih yang dimaksud adalah seekor tikus dengan seluruh tubuh dari ujung kepala sampai ekor serba putih, sedangkan matanya berwarna merah jambu. Selain tikus putih, jenis tikus yang sering digunakan untuk penelitian adalah tikus putih besar (Rattus norvegicus). Dilihat dari struktur anatominya, tikus putih betina memiliki lima pasang kelenjar susu. Distribusi jaringan mammae menyebar, membentang dari garis tengah ventral atas panggul, dada dan leher. Paru-paru kiri terdiri dari satu lobus, sedangkan paru kanan terdiri dari empat lobus (Jasin, 1984). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), tikus putih (Rattus nurvegicus) merupakan salah satu hewan percobaan di laboratorium yang biasa disebut tikus putih. Hewan ini dapat berkembangbiak secara cepat dan jumlah yang cukup besar. Tikus termasuk hewan pengerat (rodensia) yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta anatomi dan fisiologinya terkarakterisasi dengan baik. Tikus dewasa membutuhkan makanan setiap harinya sekitar 12 g dengan berat badan antara 200-400 gram. Diantara faktor yang perlu diperhatikan dalam memberikan makanan kepada tikus yaitu kualitas bahan pangan, terutama daya cerna yang palatabilitas. Hal ini dikarenakan kualitas makanan akan berpengaruh
32
terhadap kondisi tikus secara keseluruhan. Diantaranya, kemampuan untuk tumbuh, berbiak ataupun perlakuan terhadap pengobatan. Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium jarang hidup lebih dari 3 tahun. Umumnya berat badan tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Biasanya pada umur 4 minggu, berat badan tikus liar mencapai 40-50 gram dan setelah dewasa mencapai 300 gram atau lebih, sedangkan tikus laboratorium pada umur 4 minggu, beratnya hanya 35-40 gram dan berat dewasa rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi tergantung pada galur (Smith dan Mangkoewodjojo, 1988).
Gambar 2.10 Morfologi Tikus Putih ( Rattus norvegicus) Sistem klasifikasi tikus putih menurut Jasin (1986) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Sciurognathi
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
33
2.5. Pembuatan Hewan Model Menopause Operasi Ovariektomi merupakan salah satu rangkaian dari penelitian in vivo yang menggunakan hewan uji tikus. Dalam pelaksanaanya ini perlu persiapan agar pekerjaannya lebih lancar dan perlakuan yang dilakukan tidak mengganggu kenyamanan dan meminimalkan resiko kematian hewan uji yang digunakan. Selain itu peralatan juga perlu diperhatikan agar proses operasi ovariektomi berlangsung dalam kondisi aseptis (Meiyanto, 2000). Prosedur kerja yang dilakukan untuk melakukan operasi ovariektomi berdasarkan SOP (Standart Operasional Kerja) yang telah ditetapkan oleh Fakultas Farmasi Unversitas Gajah Mada Yogyakarta. Pembuatan hewan uji model menopause dengan melakukan operasi ovariektomi atau pengangkatan indung telur pada penelitian ini diharapkan untuk mengkondisikan hewan uji dalam keadaan hipoestrogen. Keadaan hipoestrogen membuat hewan uji memiliki kadar estrogen yang sangat rendah di dalam tubuhnya. Kadar estrogen yang rendah dalam tubuh akan berdampak pada berbagai gangguan klimakterik yang salah satunya adalah osteoporosis. Hal ini telah dibuktikan dalam sebuah jurnal tentang penyakit dalam oleh Siki (2009), disebutkan bahwa ovariektomi dapat menyebabkan osteoporosis pada tikus. Pada penelitian lainnya disebutkan bahwa efek osteoporosis dari ovariektomi pada tulang berhubungan dengan menaiknya jumlah sel osteoklas yang terdapat pada tulang tikus (Kameda et al, 1997). Osteoporosis merupakan keadaan didalam tulang yang lebih didominasi oleh aktivitas sel osteoklas sebagai sel perombak tulang.
34
Pemberian ekstrak air daun katu pada hewan uji dalam penelitian ini yang diketahui mengandung berbagai senyawa isoflavon diharapkan dapat memenuhi kekurangan hormon estrogen di dalam tubuh hewan uji sehingga akan menyeimbangkan kembali bone turvorner kedalam keadaan normal.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh ekstrak daun katuk (Sauropus androgynous (L.) Merr.) terhadap jumlah osteoklast pada femur tikus putih (Rattus norvegicus) menopause ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan menggunakan 5 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah kontrol positif (tikus normal), kontrol negatif (tikus ovariektomi tanpa perlakuan) dan kelompok perlakuan (pemberian ekstrak daun katu dosis 45 mg/KgBB/ekor/hari, 30 mg/KgBB/ekor/hari dan 15 mg/KgBB/ekor/hari).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2014 – Oktober 2014 bertempat di Laboratorium Biosistem dan Fisiologi Hewan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Pembuatan ekstrak daun katuk (Sauropus androgynous (L.) Merr.) dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah Malang.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian Hewan uji yang dipakai adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jenis kelamin betina, umur 2 bulan, dengan berat badan 160-300 gram dan belum pernah bunting yang diperoleh dari Laboratorium Molekuler Fakultas MIPA Universitas
35
36
Brawijaya Malang. Hewan coba yang digunakan berjumlah 15 ekor, menggunakan 5 perlakuan dengan 3 ulangan dengan pembagian kelompok perlakuan sebagai berikut : 1. Kelompok I (Kontrol positif, tikus normal) 2. Kelompok II (Kontrol negatif, tikus ovariektomi + Aquades 1ml) 3. Kelompok III (Ovariektomi + Ekstrak air daun katuk 15 mg/kgBB) 4. Kelompok IV (Ovariektomi + Ekstrak air daun katuk 30 mg/kgBB) 5. Kelompok V (Ovariektomi + Ekstrak air daun katuk 45 mg/kgBB) Pembuatan ekstrak daun katu yang digunakan dalam penelitian ini di lakukan di Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah Malang.
3.4 Variabel Penelitian Variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Variable bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun katu dengan 3 konsentrasi berbeda yaitu 15 mg/kg BB, 30 mg/kg BB dan 45 mg/kg BB dengan menggunakan pembagian dosis berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wiyasa (2008) dan Skripsi yang dilakukan oleh Exma Mu’tatal hikmah (2014). 2. Variable terikat dalam penelitian ini adalah jumlah sel osteoklast pada tulang femur tikus. 3. Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah tikus betina wistar usia 2 bulan dengan berat 160 – 350 gram.
37
3.5 Alat dan Bahan Penelitian 3.5.1 Alat – alat Penelitian 3.5.1.1 Alat Pemeliharaan Hewan Coba Tikus wistar (Rattus norvegicus) dipelihara di kandang yang terbuat dari kotak plastik. Tutup kandang terbuat dari anyaman kawat, botol air sebagai tempat minum dan rak tempat menaruh kandang.
3.5.1.2 Alat Pembuat Makanan dan Minuman Hewan Coba Untuk mencampur makanan tikus dibutuhkan alat-alat yaitu : baskom plastik, timbangan, pembuat pelet, gelas ukur (50 ml, 100 ml dan 150 ml), timbangan analitik serta pengaduk. Untuk alat minum menggunakan botol minum tikus.
3.5.1.3 Alat Pembuatan Ekstrak Daun Katu 1. Satu set alat evaporator vakum / rotary vacuum untuk menghilangkan pelarut ekstrak. 2. Oven untuk menghilangkan pelarut ekstrak yang tersisa atau mengeringkan ekstrak. 3. Neraca analitik untuk menimbang simplisia. 4. Tabung Erlenmeyer (50 ml dan 250 ml). 5. Waterbath untuk pemanas ekstrak. 6. pH meter untuk mengukur pH.
38
3.5.1.4 Alat Pemberian Ekstrak Daun Katu pada Tikus Spuit yang ujungnya dipasang sonde yang dapat dimasukkan melalui mulut sampai ke lambung tikus dengan ukuran 3 ml dan spuit oral 2,5 ml.
3.5.1.5 Alat Pembuatan Preparat Jaringan Seperangkat alat bedah minor, mikrotom, gelas objek dan deckglass.
3.5.1.6 Alat untuk Pemeriksaan Histologi Sel Osteoklas Mikroskop Olympus Photo Slide CX3-1 untuk pengamatan histologi sel osteoklas.
3.5.2 Bahan-bahan Penelitian 3.5.2.1 Bahan Makanan Tikus Bahan makanan tikus yang digunakan adalah : kode pakan tikus BR1, aquades. 3.5.2.2 Bahan Pembuatan Ekstrak Daun Katu 1. Bubuk daun kering (simplisia) daun katu. 2. Kertas saring. 3. Pelarut aquades. 3.5.2.3 Bahan Pewarnaan Hematoksilin Eosin 1. Alkohol 30%, 50%, 70%, 80% dan abolut 96%. 2. Aquades. 3. Larutan Harris Hematoksilin. 4. Larutan Eosin.
39
3.6 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang digunakan sebagai berikut : 3.6.1 Preparasi 3.6.1.1 Persiapan Hewan Coba Hewan coba diaklimasi sejak selesei diovariektomi di dalam Laboratorium selama 1 bulan dalam kandang pada suhu kamar 20-250C sebelum perlakuan. Selama proses aklimasi tikus diberi makan pellet dan air minum PAM secara ad libitum. Setelah aklimasi, ditimbang berat badan tikus dan dilakukan pengelompokan sesuai kode kandang kelompok perlakuan dengan distribusi tikus berat badan secara acak. Tikus yang siap digunakan untuk proses penelitian adalah dengan kisaran berat badan 160 – 350 gram. Tikus yang sudah menopause berada dalam kondisi diestrus, untuk mengetahui itu dilakukan apusan vagina yang ditandai dengan adanya sel epitel berinti dan sel leukosit.
3.6.1.2 Pembuatan Ekstrak Air Daun Katuk Langkah yang dilakukan dalam pembuatan ekstrak air daun katuk sesuai dengan penelitian Prishandono (2009) yakni : 1. Penambahan air dengan perbandingan simplisia dan air 1:2 (b/v). 2. Perebusan dalam kain saring dan kertas Whatman no 42 sehingga dihasilkan filtrate dan residu (1a). 3. Residu 1a diekstraksi kembali dengan akuades dengan maserasi di atas shaker dengan kecepatan putar 250 rpm selama 6 jam. Setelah itu disaring dengan kain saring dan kertas Whatman no 42 sehingga dihasilkan filtrate dan residu (1b).
40
4. Filtrate 1a dan 1b digabung sehingga diperoleh ekstrak daun katuk yang dilarutkan dengan pelarut air. Apabila ekstrak yang dihasilkan memiliki konsentrasi yang rendah maka dilakukan pemekatan dengan menggunakan rotary evaporater. Sedangkan proses pengeringan ekstrak air daun katuk dengan hasil terbaik menurut Eka (2011) adalah dengan metode sebagai berikut : 1. Sublimasi menggunakan freeze dryer yakni dengan membekukan terlebih dahulu bahan yang akan dikeringkan. 2. Kemudian dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan tekanan rendah sehingga kandungan air yang sudah menjadi es akan langsung menjadi uap. 3. Kelebihan metode ini adalah karena menggunakan suhu yang relatif rendah maka cocok untuk hasil ekstraksi simplisia yang tidak stabil dengan suhu ruang, serta tidak akan mengubah tekstur dan kandungan yang ada dalam simplisia daun katuk.
3.6.1.3 Perhitungan Dosis dan Pengenceran Ekstrak Air Daun Katuk Berdasarkan penelitian Wiyasa (2008) tentang ekstrak tokbi yang mengandung genistein dan deidzein sebagai terapi dari osteoporosis akibat rendahnya estrogen di menopause, digunakan dosis sebesar 15 mg/kgBB, 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB. Pada penelitian ini menggunakan 3 dosis yang berbeda yaitu : Dosis I
: 15 mg/kgBB
Dosis II
: 30 mg/kgBB
Dosis III
: 45 mg/kgBB
41
Dibuat stok kebutuhan katuk sebanyak 40 ml dengan dosis tertinggi kemudian dilakukan pengenceran untuk stok pada dosis yang lebih rendah dengan rumus pengenceran : M1 x V1
=
M2 x V2
Keterangan : M1 = konsentrasi dosis yang dibuat V1 = Volume dosis yang dibuat M2 = Konsentrasi dosis stok V2 = Volume dosis stok Penentuan dosis Ekstrak Daun Katuk untuk digunakan sebagai terapi dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus : I=
Rata-rata berat badan (gram) x Dosis (mg/Kg BB) 1000 ml II = Dosis (mg / ekor) Cekokan (ml)
III =
Dosis (mg/ ml) Jumlah stok yang digunakan selama satu minggu
3.6.1.4 Pembagian Kelompok Sampel Penelitian ini menggunakan 5 perlakuan dan 3 ulangan, adapun pembagian kelompok perlakuan sebagai berikut : 1. Kelompok I (Kontrol positif, tikus normal) 2. Kelompok II (Kontrol negatif, tikus ovariektomi tanpa terapi) + Aquades 1 ml 3. Kelompok III (Ovariektomi + Ekstrak air daun katuk 15 mg/kgBB)
42
4. Kelompok IV (Ovariektomi + Ekstrak air daun katuk 30 mg/kgBB) 5. Kelompok V (Ovariektomi + Ekstrak air daun katuk 45 mg/kgBB)
3.6.2 Pemberian Perlakuan 3.6.2.1 Pembuatan Tikus Ovariektomi Operasi Ovariektomi merupakan salah satu rangkaian dari penelitian in vivo yang menggunakan hewan uji tikus. Dalam pelaksanaanya ini perlu persiapan agar pekerjaannya lebih lancar dan perlakuan yang dilakukan tidak mengganggu kenyamanan dan meminimalkan resiko kematian hewan uji yang digunakan. Selain itu peralatan juga perlu diperhatikan agar proses operasi ovariektomi berlangsung dalam kondisi aseptis (Meiyanto, 2000). Prosedur kerja yang dilakukan untuk melakukan operasi ovariektomi berdasarkan SOP (Standart Operasional Kerja) yang telah ditetapkan oleh Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada Yogyakarta adalah sebagai berikut (Meiyanto, 2000) :
3.6.2.1.1 Persiapan Operasi Ovariektomi pada Tikus Penelitian 1. Disiapkan alat pendukung pembedahan terdiri dari : Blanko untuk mencatat data, Kamera digital dan Jas Lab, Masker dan gloves. 2. Disiapkan semua peralatan dan bahan operasi di meja operasi. 3. Dilakukan desinfeksi meja operasi dengan spraying etanol 70% diseluruh meja operasi. 4. Dilapisi meja dengan Wrapping Plastik kemudian desinfeksi lagi dengan spraying etanol 70%.
43
5. Ditempatkan peralatan bedah pada satu box yang disemprot etanol 70%. 6. Peralatan bedah yang disiapkan terdiri dari : Gunting bedah (2 macam) : kecil bengkok besar. Pinset tumpul, digunakan untuk memudahkan membedah dan memegang ovarium dan objek. Papan bedah, tempat operasi dilakukan. Beaker glass, tempat etanol 70% untuk merendam jarum bedah, benang bedah dan peralatan bedah setelah digunakan. Kapas untuk membersihkan bledding. Betadine untuk menghentikan pendarahan dan mengobati luka setelah operasi dilakukan. Cat gut ukuran 4.0/6.0. Jarum bedah dengan diameter paling kecil (13 mm). 7. Ditimbang tikus, catat berat, kemudian siapkan diatas meja untuk dianestesi. 8. Disiapkan larutan anestesi pada tikus dengan campuran : acepromazine : 0,5-2,5 mg/kg BB. ketamin : 50-150 mg/kg BB. 9. Di dalam spuit disposable insulin perkiraan volume larutan 0,2 ml. 10. Dilakukan anestesi di daerah paha bagian dalam / luar secara intra muscular. Sekitar 5 menit, tikus akan tertidur (± 45 menit). Jumlah ketamine sangat mempengaruhi durasi tikus tertidur. 11. Diletakkan tikus di atas papan kayu yang sebelumnya telah terlapisi plastik lalu keempat kaki ditancapkan dengan jarum (posisi tikus telungkup).
44
3.6.2.1.2 Ovariektomi Tikus Penelitian 1. Dicukur rambut tikus diarea bedah ± seluas 4 cm2. 2. Diinsisi pada area bedah (agak menjorok ke dalam jika dipegang atau 2 cm mengikuti tulang belakang dengan jarak 1,5 cm dari tulang belakang). 3. Ditotolkan kapas pada bagian tikus yang mengalami pendarahan kapiler. 4. Dicari ovarium (berbentuk granul-granul seperti anggur dan berada di bawah kolon) kemudian potong ovarium dan sisihkan. 5. Dioleskan betadine pada luka yang terbuka. 6. Dijahit luka dalam sebanyak 1 simpul dan kulit luar sebanyak 2 simpul. 7. Ditempatkan tikus yang telah dioperasi pada kandang tunggal yang beralaskan kertas dan tisu lalu diberi makan dan botol minum. Tikus yang telah sadar akan sulit bergerak sehingga makanan dan botol minum diberi dekat dengan posisi mulut.
3.6.2.1.3 Perlakuan Pasca Ovariektomi 1. Diamati luka pada tikus secara rutin setiap hari. Jika perlu dioleskan betadine pada luka tikus. 2. Diberikan makanan dan minuman tikus secara teratur. 3. Diberikan antibiotik seperti penisilin pada luka tikus sisa operasi dengan untuk mencegah terjadinya infeksi (bila perlu). 4. Perhatikan kebersihan kandang tikus. Setelah tikus dirasa telah pulih, ganti alas tisu dengan sekam. Jika perlu ganti alas tisu setiap hari untuk menjaga kebersihan kandang selama masa pemulihan tikus.
45
3.6.2.2 Perlakuan Ekstrak Air Daun Katuk Pemberian perlakuan etanol ekstrak air daun katuk (Sauropus androgynous (L.) Merr.) adalah : 1. Diinjeksi tikus dengan spuit secara gavage / oral sesuai dengan kelompok perlakuan selama 30 hari. 2. Metode pemberian oral sesuai dengan Kusumawati (2004) yakni dilakukan dengan memakai jarum yang panjangnya sekitar 10 cm dengan ujungnya yang tajam telah dimodifikasi yaitu ditambah dengan bentukan bundar untuk kemudian dimasukkan ke dalam mulut.
3.6.2.3 Pembuatan Preparat Histologi Osteoklas 3.6.2.3.1 Pengambilan Sediaan Tulang 1. Disiapkan peralatan bedah minor, pinset, gunting, kloroform, formalin 15% dan botol-botol tertutup untuk tempat organ tikus. 2. Tikus dibius dengan cara memasukkannya pada tempat tertutup berisi kapas yang ditetesi kloroform, kemudian ditutup rapat dan ditunggu beberapa menit sampai tikus sudah terbius (tidak bergerak). 3. Tikus yang terbius diletakkan di atas alas papan dengan perut menghadap ke atas. Tikus difiksasi dengan menggunakan jarum pentul yang ditancapkan pada keempat telapak kaki. 4. Ekstremitas posterior tikus dipisahkan dari badan dengan memotong otot, ligamen dan tendon yang menghubungkan femur dan pelvis tikus di bagian proksimal femur.
46
5. Kemudian tulang femur ekstremitas posterior tikus dimasukkan ke dalam botol tertutup yang berisi formalin 15% sampai terendam seluruhnya untuk mengawetkan sel-sel sehingga struktur sel tidak berubah.
3.6.2.3.2 Pembuatan Preparat Histologi Pembuatan preparat histologi tulang femur dilakukan dengan langkah sebagai berikut : 1. Tahap Fiksasi Pada tahap ini, tulang femur difiksasi pada larutan formalin 10% selama 12-18 jam diulang sebanyak 2 kali pada larutan yang berbeda. 2. Tahap Dehidrasi Pada tahap ini, tulang femur yang telah difiksasi kemudian didehidrasi pada larutan etanol 70% selama 1 jam, kemudian dipindahkan dalam larutan etanol 80%, dilanjutkan ke dalam larutan etanol 95% sebanyak 2 kali dan dalam etanol absolut selama 1 jam dan diulang sebanyak 2 kali pada etanol absolut yang berbeda. 3. Tahap Clearing (Penjernihan) Pada tahap ini, tulang femur yang telah didehidrasi kemudian diclearing untuk menarik kadar etanol dengan menggunakan larutan xylol I selama 1 jam dan dilanjutkan ke larutan xylol II selama 1 jam. 4. Tahap Embedding Pada tahap ini, tulang femur dimasukkan ke dalam kaset dan diinfiltrasi dengan menuangkan paraffin yang dicairkan pada ssuhu 56-580C, kemudian paraffin dibiarkan mengeras dan dimasukkan ke dalam freezer selama 2 jam.
47
5. Tahap Sectioning (Pemotongan) Pada tahap ini, tulang femur yang sudah mengeras dilepaskan dari kaset dan dipasang pada mikrotom kemudian dipotong setebal 5 micron dengan pisau mikrotom. Hasil potongan dimasukkan ke dalam water bath bersuhu 400C untuk merentangkan hasil potongan, hasil potongan kemudian diambil dengan obyek glass dengan posisi tegak lurus dan dikeringkan. 6. Tahap Staining (Pewarnaan) Hail pemotongan diwarnai dengan hematoxilin eosin (Pewarnaan HE) melalui tahapan sebagai berikut : a. Preparat direndam dalam larutan xylol I selama 2 menit b. Preparat diambil dari xylol I dan direndam dalam larutan xylol II selama 2 menit c. Preparat diambil dari xylol II dan direndam dalam etanol absolut selama 1 menit d. Preparat diambil dari etanol abolut dan direndam dalam etanol 95% selama 1 menit e. Preparat diambil dari etanol 95% dan direndam dalam etanol 50% selama 30 detik f. Preparat diambil dari etanol 95% dan direndam dalam running tap water selama 5 menit g. Preparat diambil dari Running tap water dan direndam dalam mayer’s haematoksilin (Haematoksilin Kristal 1 g, aquadestilata 1000 ml, sodium
48
iodate 0,20 g, ammonium 50 g, asam sitrat 1 g, chloral hydrat 50 g) selama 15 menit h. Preparat diambil dari larutan mayer dan direndam dalam running tap water selama 2-3 menit i. Preparat diambil dari running tap water dan direndam dalam pewarna eosin 1% selama 2 menit j. Preparat diambil dari larutan eosin kemudian dimasukkan dalam etanol 95% selama 2 menit, kemudian dimasukkan ke dalam etanol absolut selama 2 menit diulang 3 kali pada etanol yang berbeda k. Preparat diambil dan direndam dalam xylol III selama 2 menit, kemudian dipindahkan dalam xylol IV selama 2 menit dan terakhir dipindahkan ke dalam xylol V selama 2 menit 7. Tahap Mounting dengan entelan dan deckglass a. Slide dibiarkan kering pada suhu ruangan b. Setelah slide kering siap untuk diamati sel osteoklas pada tulang femur dengan ciri-ciri sel besar multinuclear yang terdapat dalam trabecular, biasanya terdapat 1-2 sel pada setiap trabecular dan terletak di tempat yang berlekuk atau berdekalsifikasi, diamati di bawah mikroskop computer binokuler dengan menggunakan software acquire-vidio/digital dengan perbesaran 400x sebanyak 20 lapang pandang pada setiap preparat
3.6.2.3.3 Pemeriksaan Histologi untuk Menghitung Jumlah Sel Osteoklas Tahapan-tahapan pemeriksaannya adalah sebagai berikut :
49
1. Slide tulang hasil pewarnaan Hematoksilin Eosin diperiksa menggunakan Mikroskop Olympus Photo Slide CX3-1. 2. Menghitung jumlah sel osteoklas dengan ciri-ciri ditemukan di permukaan tulang yang telah berdekalsifikasi dan umumnya berjumlah 1-2 sel pada tiap trabecular yang berbentuk khas yaitu sel besar dengan bentuk tidak beraturan dan multinuclear sampai 20 inti di bawah Mikroskop Komputer Olympus CX31 dengan perbesaran 400x pada tiap jaringan /slide dari masing-masing tikus sebanyak 20 lapang pandang kemudian dirata-rata.
3.7 Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun katuk (Sauropus androgynous (L.) Merr.) terhadap jumlah osteoklas pada femur tikus putih (Rattus norvegicus) menopause, dilakukan analisa dengan menggunakan secara statistik dengan menggunakan program SPSS 16,0 For Windows XP dengan tingkat signifikansi 0,05 (p = 0,05) dan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05). Langkahlangkah uji hipotesis komparatif dan korelatif adalah sebagai berikut : a. Uji normalitas data : bertujuan untuk menginterprestasikan apakah suatu data memiliki sebaran normal atau tidak, karena pemilihan penyajian data dan uji hipotesis tergantung dari normal tidaknya distribusi data. Untuk penyajian data yang terdistribusi normal, maka digunakan mean dan standar deviasi sebagai pasangan ukuran pemusatan dan penyebaran. Sedangkan untuk penyajian data yang tidak terdistribusi normal, digunakan median dan minimum-maksimum sebagai pasangan ukuran pemusatan dan penyebaran. Untuk uji hipotesis, jika
50
sebaran data normal, maka digunakan uji parametrik. Sedangkan jika sebaran data tidak normal, digunakan uji non-parametrik. b. Uji homogenitas varian : bertujuan untuk menguji berlaku atau tidaknya asumsi ANOVA, yaitu data yang diperoleh dari setiap perlakuan memiliki varian yang homogen, maka analisa dapat dilanjutkan dengan uji ANOVA. c. Uji One-Way ANOVA : bertujuan untuk membandingkan nilai rata-rata dari masing-masing kelompok perlakuan dan mengetahui bahwa minimal ada dua kelompok yang berbeda signifikan. Apabila terdapat perbedaan signifikansi, maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil).
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) Terhadap Jumlah Sel Osteoklas Tulang Femur Tikus Putih (Rattus norvegicus) Menopause Berdasarkan hasil analisis dan statistik dari ANOVA tentang pengaruh ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap jumlah osteoklas tulang femur tikus putih (Rattus norvegicus) Menopause diperoleh data yang di uji dengan Uji Normalitas menghasilkan signifikansi 0,600 dimana signifikansi dari nilai tersebut 0,600 > 0,05 yang dapat disimpulkan bahwa data tersebut normal. Uji homogenitas menunjukkan hasil signifikansi 0,175 dimana 0,175 > 0,05 yang dapat disimpulkan bahwa data tersebut sama. Data pada tabel ANOVA menunjukkan bahwa Fhitung > Ftabel 0,05, hal ini menunjukkan ada pengaruh yang sangat nyata pemberian ekstrak daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap jumlah osteoklas tulang femur tikus putih (Rattus norvegicus) menopause, sebagaimana hasil tersebut tercantum pada tabel 4.1 dibawah ini : Tabel 4.1. Ringkasan Hasil Perhitungan ANOVA Tentang Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Katu (Sauropus Androgynus (L.) Merr) Terhadap Jumlah Osteoklas Tulang Femur Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Menopause SK Perlakuan JK KT F sig Perlakuan 4 14.449 3.612 58.737 0,000 Galat 10 0.615 0.062 Total 14 15.064 Keterangan : SK = Sumber Keragaman db = Derajat Bebas JK = Jumlah Kuadrat KT = Kuadrat Tengah
51
52
Tabel 4.1 menunjukkan signifikansi kurang dari 0,05 hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan jumlah sel osteoklas antar kelompok perlakuan. Untuk mengetahui tingkat perbedaan jumlah sel osteoklas terhadap beberapa konsentrasi pemberian ekstrak daun katu yang telah diberikan maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf 5% yang disajikan pada tabel 4.2 sebagai berikut : Tabel 4.2. Ringkasan Hasil Uji BNT 5% Tentang Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Katu (Sauropus Androgynus (L.) Merr) Terhadap Jumlah Osteoklas Tulang Femur Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Menopause Kelompok Perlakuan Rata-rata ± SD Notasi BNT (5%) Dosis 45 mg/KgBB (K5) Kontrol (Normal) (K1) Dosis 30 mg/KgBB (K4) Dosis 15 mg/KgBB (K3) Dosis 0 mg/KgBB (K2)
BNT
3,45 ± 0,30 3,6 ± 0,27 4,23 ± 0,07 4,77 ± 0,17 6,17 ± 0,31 0,611
a a b c d
Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom di atas menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Berdasarkan hasil uji BNT pada tabel 4.2 di atas, menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan pada masing-masing dosis. Hal ini dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh yang sama dalam penurunan jumlah sel osteoklas pada dosis 45 mg/KgBB dengan kelompok kontrol tikus normal secara statistik yang artinya keduanya memiliki potensi yang sama yaitu tidak berbeda nyata. Berbeda pada pemberian dosis 0 mg/KgBB, 15 mg/KgBB dan 30 mg/KgBB yang mempunyai notasi berbeda, artinya adalah ketiganya memiliki potensi yang berbeda nyata.
53
Rata-rata tabel jumlah sel osteoklas dapat dilihat pada grafik :
Jumlah Rata-rata Sel Oteoklas 7
jumlah sel
6 5 4 3 2 1 0 (K5)
(K1)
(K4)
(K3)
(K2)
perlakuan
Gambar 4.1. Grafik Rata-rata Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Katu (Sauropus Androgynus (L.) Merr) Terhadap Jumlah Osteoklas Tulang Femur Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Menopause Kelompok tikus normal, yang tidak diberi perlakuan ovariektomi seperti kelompok lainnya, terdapat kadar estrogen yang cukup untuk menghambat aktifitas osteoklas. Namun, pada kelompok ovariektomi yang mengalami hipoestrogen akibat tidak dapat berfungsinya organ penghasil hormon estrogen (Ovarium) mengalami peningkatan jumlah sel osteoklas yang cukup signifikan. Hal tersebut telah dijelaskan sebelumnya dalam sebuah jurnal tentang penyakit dalam oleh Siki (2009), yang menyatakan bahwa ovariektomi dapat menyebabkan osteoporosis pada tikus. Pada penelitian lainnya disebutkan bahwa efek osteoporosis dari ovariektomi pada tulang berhubungan dengan menaiknya jumlah sel osteoklas yang terdapat pada tulang tikus (Kameda et al, 1997). Hasil rata-rata jumlah sel osteoklas kelompok ovariektomi tanpa pemberian ekstrak air daun katu (x = 6,17) meningkat hingga 2 kali lebih banyak dari jumlah
54
sel osteoklas kelompok normal tanpa perlakuan apa-apa (x = 3,6) karena tidak tercukupinya hormon estrogen untuk dapat menghambat aktivitas sel osteoklas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jilka (1992) dalam sebuah jurnal science bahwa, keadaan hipoestrogen menyebabkan terjadinya peningkatan osteoklastogenesis, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah sel osteoklas dari keadaan normal. Berkurangnya hormon estrogen pada kolompok ovariektomi dapat dipenuhi dengan pemberian fitoestrogen untuk mencukupi kebutuhan kekurangan hormon estrogen. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata jumlah sel osteoklas yang mengalami penurunan setelah diberikan ekstrak daun katu pada berbagai tingkatan dosis (dosis 15 mg/KgBB menunjukkan x = 4,77, dosis 30 mg/KgBB menunjukkan x = 4,23 dan dosis 45 mg/KgBB menunjukkan x = 3,45). Dalam penelitian ini kandungan fitostrogen yang terdapat pada ekstrak air daun katu (Sauropus androgynous (L.) Merr) memiliki kandungan isoflavon yang cukup tinggi diantaranya yaitu genistein dan deidzein. Menurut Sitasiwi (2009), kandungan isoflavon yang terdapat pada fitoestrogen dapat bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor estrogen dan bekerja memenuhi kekurangan hormon estrogen. Mengingat hormon estrogen berpengaruh pula terhadap metabolisme tulang, terutama proses kalsifikasi, maka adanya isoflavon yang bersifat estrogenik dapat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses kalsifikasi pada tulang. Dengan kata lain, isoflavon dapat melindungi proses osteoporosis pada tulang sehingga tulang tetap padat dengan menjaga resorbsi kalsium dan fosfor pada tulang dengan
55
menginhibisi diferensiasi osteoklas yang dapat menyebabkan pengeroposan tulang (Sutrisno, 2006). Gambar hasil pengamatan sel osteoklas pada preparat histologi dapat diamati pada gambar 4.2 sebagai berikut : K1
K2 b
a
a
b a
d
a a a
d
b b
d
c
c
K3 a
d
a b d
c
d a d
c
d
c
b
a
b
d a
d
b
d
a
b
b
K5
a
K4
b
d
b
d
b
Keterangan Gambar : K1= Kelompok tikus normal tanpa perlakuan K2= Kelompok tikus ovariektomi dan pemberian ekstrak daun katu dosis 0 mg/KgBB K3= Kelompok tikus ovariektomi dan pemberian ekstrak daun katu dosis 15 mg/KgBB K4= Kelompok tikus ovariektomi dan pemberian ekstrak daun katu dosis 30 mg/KgBB K5= Kelompok tikus ovariektomi dan pemberian ekstrak daun katu dosis 45 mg/KgBB a= Sel osteoklas yang terdapat di dalam trabecular b = Rongga Sumsum tulang c = Matriks Tulang d = Trabecular
Gambar 4.2 Perbedaan Hasil Pengamatan Preparat Histologi Sel Osteoklas Tulang Femur pada Semua Perlakuan
52
Gambar yang didapatkan menunjukkan bahwa tikus yang mendapatkan perlakuan ovariektomi tanpa pemberian ekstrak daun katu menunjukkan peningkatan jumlah sel osteoklas hingga 2 kali lipat dari keadaan normal. Kelompok yang mendapatkan perlakuan pemberian ekstrak air daun katu menunjukkan penurunan sel osteoklas. Semakin besar dosis yang diberikan maka semakin sedikit jumlah sel osteoklas. Hal ini karena semakin tinggi tingkat dosis esktrak air daun katu yang diberikan maka akan semakin tinggi pula aktivitas fitoestrogen yang menggantikan posisi reseptor estrogen yang tidak terpenuhi akibat menurunnya hormon estrogen dan menyeimbangkan kembali pengaturan feedback hipotalamus dalam pengaturan keseimbangan bone turnover, sehingga dengan pemberian dosis yang lebih tinggi akan lebih efektif dalam mencegah terjadinya osteoporosis. Berdasarkan data-data dan grafik yang dilakukan, diketahui bahwa fitoestrogen yang terdapat pada daun katu mampu memenuhi kekurangan hormon estrogen di dalam tubuh kaitannya dengan osteoporosis, yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya jumlah sel osteoklas (sel perombak tulang) hingga mencapai keadaan normal yang homeostasis terhadap bone turnover, sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadits berikut :
Dari Abi Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda : “tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan akan menurunkan pula obat untuk penyakit tersebut” (H.R Bukhari) No 494.
53
Hadits di atas menjelaskan bahwa Allah SWT tidak akan menguji hambanya diluar batas kemampuannya, apabila Allah SWT memberikan cobaan kepada hambanya berupa sakit, maka Allah SWT juga pasti telah menurunkan obat untuk menyembuhkan penyakit itu. Obat-obat tersebut telah Allah turunkan di lingkungan sekitar kita, dan tugas kita sebagai peneliti inilah yang harus melakukan berbagai kajian untuk menemukan obat-obatan tersebut. Contoh kandungan senyawa tumbuhan-tumbuhan yang terdapat pada lingkungan kita adalah daun katu yang ternyata pada penelitian ini mampu meringankan gelaja osteoporosis yang terdapat pada wanita yang mengalami menopause karena kandungan senyawa fitoestrogen yang dimilikinya mampu memenuhi kekurangan hormon estrogen yang berkurang secara drastis pada wanita menopause yang dalam penelitian ini menggunakan hewan coba tikus betina dengan model ovariektomi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kameda et al (1997), ditemukan bahwa estrogen mempengaruhi osteoklas secara langsung melalui ekspresi mRNA reseptor estrogen α (ERα). Menurut Srivastava (2000), estrogen mampu mempengaruhi gen-gen yang ada pada osteoklas dan jalur lain di luar osteoklas dalam hal meregulasi proses formasi, proliferasi, apoptosis dan kapasitasi osteoklas untuk meresorbsi tulang yang berguna untuk menjaga struktur dan fungsi dari tulang. Peran estrogen dalam perbaikan osteoporosis yaitu dengan menghambat produksi pro-osteoklastogenic dan merangsang apoptosis dari osteoklas (Kameda et al, 1997). Menurut Oursler (2003) dalam Asih (2012), terhadap apoptosis sel
54
osteoklas, mekanisme yang terjadi yaitu secara tidak langsung estrogen merangsang sel osteoblas dan sel stroma sebagai penginduksi diferensiasi dan aktivasi sel osteoklas untuk memproduksi TGF-β sebagai faktor lokal yang menurunkan kerja osteoklas, yang selanjutnya TGF-β ini menginduksi sel osteoklas untuk lebih cepat mengalami apoptosis. Hasil akhir pada penelitian ini didapatkan korelasi yang sangat kuat (r = 0,961) dan signifikan (p = 0,000) mengenai hubungan antara peningkatan dosis ekstrak air daun katu (Sauropus androgynous (L.) Merr) dengan jumlah sel osteoklas tulang femur tikus putih (Rattus norvegicus) menopause. Hasil penelitian ini menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian, bahwa pemberian ekstrak air daun katu dapat menurunkan jumlah sel osteoklas tulang femur tikus menopause. Pada pemberian ekstrak air daun katu dengan dosis 45 mg/KgBB didapatkan penurunan jumlah sel osteoklas yang sudah cukup efektif dalam mencegah terjadinya osteoporosis sebagaimana firman Allah SWT dalam alQur’an surah al-Qamar (54) : 49,
Artinya : Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (AlQamar : 49) Hubungan kata بقدرdalam ayat di atas dengan penelitian ini menunjukkan makna takaran atau dosis. Allah SWT memang telah smenurunkan berbagai penyakit beserta obatnya yang dapat kita temukan dari tumbuhan-tumbuhan yang hidup di lingkungan kita sehari-hari, namun semua itu masih perlu penelitian lebih lanjut agar dari tanaman tersebut didapatkan dosis atau takaran yang tepat untuk
55
mengobati penyakit yang sesuai dengan kandungan yang terdapat pada tumbuhan tersebut. Dalam penelitian ini, setelah dilakukan penelitian dan uji didapatkan bahwa ekstrak tumbuhan katu dengan dosis 45 mg/KgBB mampu meringankan osteoporosis yang terdapat pada wanita yang telah mengalami menopause hingga seperti keadaan normal. Hal ini sesuai dengan hipotesa bahwa pemberian ekstrak air daun katu (Sauropus androgynous (L.) Merr) dapat bekerja untuk mencegah osteoporosis ditandai dengan menurunnya jumlah sel osteoklas pada kelompok tikus pasca ovariektomi.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan tentang pengaruh pemberian ekstrak air daun katu (Sauropus androgynous (L). Merr) terhadap jumlah osteoklas pada tulang femur tikus putih (Rattus norvegicus) menopouse dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak air daun katu (Sauropus androgynous (L). Merr) berpengaruh terhadap penurunan jumlah osteoklas tulang femur tikus putih (Rattus norvegicus) menopause karena isoflavon dalam daun katu dapat bekerja sebagai fitoestrogen. 5.2 Saran Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat mengenai khasiat fitoestrogen dari daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr) maka disarankan dilakukan penghitungan kadar estrogen dalam darah setelah pemberian ekstrak daun katu dan perlu dilakukan pengujian tentang densitas mineral tulang untuk mengetahui kepadatan tulang secara pesifik yang terjadi sebelum dan sesudah pemberian sekstrak daun katu.
56
DAFTAR PUSTAKA
AL-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang Indonesia : Toha Putra Al-Mubarakfuri, Shafiyyurahman Syaikh. 2007. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Pengesahan Hadits Berdasarkan Kitab-kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Abani dan Ulama Ahli Hadits Lainnya Disertai Pembahasan yang Rinci dan Mudah Difahami. Jilid 2. Jakarta : Maktaba Darussalam. Amran, Rizani. 2011. Penanda CTX dan N-MID Osteocalcin pada Perempuan Peri/Post Menopouse. Palembang : UNSRI Press Ariestine, Aprillia Dina. 2010. Terapi Sulih Hormon Pada Osteoporosis. Medan : FKU Sumatera Utara, Medan Arts. 1997. Differential Expression of Estrogen Receptors Alpha and Beta mRNA During Differentiation of Human Osteoclast SV-HFO cells. Endrocinol Journal. Vol :138. No :11. Page : 5067-5070 Asih, Ratna SR. 2012. Studi Antiosteoklastogenesis Ekstrak Etanol Kacang Panjang (Vigna unguiculata (L) Walp) pada Sel Raw 264 In-Vitro. Tesis. Fakultas Farmasi Studi Magister Herbal Depok. Diakses pada 28 Oktober 2014. Aspan, Ruslan. 2008. Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeureup (Tim Penyusun Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen). Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Baziad, Ali. 2003. Menopause dan Andropause. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Biben. 2012. Fitoestrogen: Khasiat terhadap Sistem Reproduksi, Non Reproduksi dan Keamanan Penggunaannya. Seminar Ilmiah Nasional Estrogen sebagai Sumber Hormon Alami, 31 Maret 2012. Bandung : Diakses tanggal 21 September 2014 Boyle, W.J., Simonet, W.S., dan Lacey, D.L. 2003. Osteoclast Differentiation and Activation. Nature. Vol : 423. Page : 337-342 BPOM RI. 2008. Taksonomi. Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeureup. Jakarta : BPOM RI Branca F. 2003. Dietary Phytoestrogens and Bone Health. Proc Nutr Soc, Vol : 62. Page : 877-887
57
58
Damak, Taufik Lc. 2013. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : Jabal Raudhotul Jannah Dang, Z.C., and Lowik, C. 2005. Dose-Dependent Effects of Phytoestrogens on Bone. Trends Endocrin Met, Volume : 16, No : 5. Halaman : 207-213 Darmadi, Ts Didiek., Nurdiana., Norahmawati, Eviana. 2011. Efek Ekstrak Kacang Tunggak Terhadap Osteoblast Dan Osteoklas Pada Tikus Dengan Ovariektomi. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol : 26, No : 3. Malang. Diakses tanggal 3 September 2014 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 1142/MENKES/SK/XII/2008 Department of Health and Human Services, U.S. 2011. MENOPAUSE. One Woman’s Story, Every Woman’s Story. A Resource for Making Healthy Choices. USA : National Institutes of Health Eka, Fendy. 2011. Tugas Teknologi Obat Herbal I. Flowchart Proses Teknologi Ekstrak Daun Katu (Sauropus androgynous (L.) Merr). Surabaya : Universitas Surabaya Farmasi Gruber, CJ., Tschungguel W, Schneeberger, C., Huber, J.C. 2002. Production and Action of Estrogen. Eng J Med 364. Page : 340-352 Gumelar, Linda Amalia Sari. 2011. Profil Perempuan Indonesia 2011. Jakarta : CV. Birru Laut Hikmah, Mu’tatal Exma. 2014. Pengaruh Ektrak Air Daun Katu (Sauropus androgynous (L.) Merr) Terhadap Berat Uterus dan Tebal Endometrium Mencit (Mus musculus L.) Premenopouse. Skripsi. Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang Iswahyuni, N. 2011. Pemberian Ekstrak Plasenta Meningkatkan Estradiol dan FSH serta Mengurangi Gejala Menopause. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar : Diakses 29 September 2014 Jasin, Maskoeri. 1984. Sistematika Hewan. Surabaya: Sinar Wijaya. Jilka, RL. 1992. Increased Osteoclast Development After Estrogen Loss : Mediation by Interleukin-6. Jurnal Science Mog. Jones, D.H., Kong, Y.Y., Penninger, J.M. 2002. Role of RANKL and RANK in Bone Loss and Arthritis. Ann Rheum Dis, 2, 1132-9 Kameda et al. 1997. Estrogen Inhibits Bone Resorption by Directly Induction Apoptosis of the Bone-Resorbing Osteoclast. Vol : 186. No : 4. Page : 489.
59
Kawiyana, S.I.K. 2009. Osteoporosis Patogenesis Diagnosis dan Penanganan Terkini. Jurnal Penyakit Dalam. Vol : 10, No : 2 Kristyoadi, Abadi Surya., Napitupulu, Onggung dan Soemantri, Bambang. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Jumlah Osteoblas Pada Tulang Tibia Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pascaovariektomi. Jurnal Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Vol : 37. No : 2. Diakses tanggal 1 September 2014. Kusumawati, Diah. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Lubis, Zoraida Sari. 2011. Hubungan Menopause dengan Terjadinya Xerostomia pada Anggota Perwiritan Nurul Ihsan Kelurahan Payaroba Kecamatan Binjai Barat. Skripsi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Medan : Diakses tanggal 2 Pebruari 2015 Maktabah Syamilah. Jawami’ul Akhbar. Jus 1, halaman : 17 Meiyanto, Edi. Cancer Chemoprevention Research Center Fakultas Farmasi UGM. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Mulyati, Sri., Triwanarto, Agus., Budiman, Basuki. 2006. Konsumsi Isoflavon Berhubungan dengan Usia Mulai Menopause. Universa Medicina OktoberDesember 2006, Vol.25 No.4. Bogor : Diakses tanggal 24 September 2014 Oursler, M.J. 2003. Direct and Indirect Effect of Estrogen on Osteoclast. J Muscul Neuron Interact. Vol : 394. No : 6. Page : 363 Prishandono, Datyo., Radiati, Eka Lilik., Rosyidi Djalal. 2009. Pengaruh Penambahan Ekstrak Picung (Pangium edule) dengan Air dan Etanol Terhadap Recovery Escheria coli dan Staphylococcus sp Serta Total Mikrobia pada Daging Sapi Giling. Jurnal Peternakan Universitas Brawijaya Malang, Halaman : 3-6. Diakses tanggal 9 April 2014 Proverawati, Atikah. 2010. Menopause dan Sindrom Premenopause. Yogyakarta : Nuha Medika Quthb, Sayyid. 2008. Tafsir fii Zhilalil Qur’an (Edisi Bahasa Indonesia, Penerjemah : As’ad Yasin, dkk). Depok : Gema Insani Ruedas L. 2008. IUCN red List of thretened species 2011. [terhubung berkala]. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/19353/0. Diakses tanggal 20 November 2014 Sabri, M. 2011. Aktivitas etanol batang sipatah-patah (Cissus quadrangular Salisb) sebagai antiosteoporosis pada tikus (Rattus norvegicus). [Thesis]. Pascasarjana IPB, Bogor
60
Setiyohadi, B. 2006. Perkembangan Terbaru dalam Penatalaksanaan Osteoporosis. Edisi 1. Jakarta : Perhimpunan Osteoporosis Indonesia. CV Infomedika, hal : 61-73 Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati Siki, K. 2009. Osteoporosis Patogenesis Diagnosis Dan Penanganan Terkini. Jurnal Penyakit Dalam, Vol 10 Nomor 2 Mei 2009 Sim N dan Baron R. 2000. Bone Cells and Their Function. In Skeletal Growth Factors. Lippincott Williams & Wilkins : 1-16 Sitasiwi, Agung Janika. 2009. Hubungan Kadar Hormon Estradiol 17-β dan Tebal Endometrium Uterus Mencit (Mus musculus L.) selama Satu Siklus Estrus. Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan Jurusan Biologi FMIPA UNDIP. Semarang : Diakses tanggal 3 Oktober 2014 Smith JB, Mankoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UI Press Somjen, D., Yoles, I. 2005. DT56a (Femarelle/Tofupill) Stimulated Bone Formation in Female Rats. British Journal of Obstetrics and Gynecology. Vol : 112. No : 7. Page : 981-985 Speroff Leon., Fritz Marc A. 2005. Menopouse and the Perimenopousal Transition. New York : Lippincott Williams & Wilkins Srivastava. 2000. Estrogen Decreases Osteoclast Formation by Down-Regulating Receptor Activator of NF –kB Ligand (RANKL)-Induced JNK Activation. Trends Endocrin Met, Volume : 7. No : 8. Subekti, Sri. 2007. Komponen Sterol dalam Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus) dan Hubungannya dengan Sistem Reproduksi Puyuh. Skripsi Ilmu Peternakan IPB. Bogor : Diakses tanggal 2 Pebruari 2015 Suprayogi A. 2000. Studies on the Biological Effects of Sauropus androgynus (L.) Merr.: Effects on Milk Production and the Possibilities of Induced Pulmonary Disorder in Lactating Sheep. ISBN:3-89712-941-8, Cuvillier Verlag Göttingen, Germany Sutrisno, Koswara. 2006. Isoflavon, Senyawa Multimanfaat Dalam Kedelai. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Wijono S., Sri Harsodjo. 2003. Isolasi dan Identifikasi Flavonoid pada Daun Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr). Makara, Sains, Vol. 7, No. 2, Agustus 2003. Jakarta : Diakses tanggal 11 September 2014
61
Wiyasa, I.W.A., Norahmawati, E dan Soehartono. 2008. Pengaruh Isoflavone Genistein dan Daidzain Ekstrak Tokbi (Pueraria lobata) Strain Kangean Terhadap Jumlah Osteoblas dan Osteoklas Rattus Norvegicus Wistar Hipoestrogenik. Jurnal Obset Ginekologi Indonesia, Vol : 32. No : 3. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya RSU Saiful Anwar Malang. Diakses pada 1 September 2014 WWW. Mayoclinic.com diakses pada 20 September 2014 (Telah diolah kembali) Zuhra, Cut Fatimah. 2008. Aktivitas Antioksidan Senyawa Flavonoid dari Daun Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr.). Jurnal Biologi Sumatera, Januari 2008, hlm. 7 – 10. Medan : Diakses tanggal 11 September 2014
Lampiran 1. Kerangka Konsep Penelitian Tikus ovariektomi
Ekstrak Daun Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.)
Defisiensi estrogen (Baziad, 2003)
Isoflavon (Genistein, Deidzein) (Suprayogi, 2000)
IL-1 (Interleukin 1) IL-6 (Interleukin 6) TNF-α (Tumor Necrosis Factor α) (Siki, 2009)
osteoklas osteoblas
Resorbsi Tulang (Siki, 2009)
Tulang Femur
Osteoporosis (Sabri, 2011)
Keterangan : = dampak/akibat = potensi ekstrak daun katu = meningkatkan aktivits/produksi = menurunkan aktivias/produksi = mekanisme penghambatan
Berikatan dengan RE (Setiyohadi, 2006)
Lampiran 2. Perhitungan BNT (Beda Nyata Terkecil) Jumlah Sel Osteoklas Kelompok Perlakuan Normal Dosis 0 mg/KgBB Dosis 15 mg/KgBB Dosis 30 mg/KgBB Dosis 45 mg/KgBB Jumlah
X=
1 3,85 5,8
Ulangan 2 3,3 6,35
3 3,65 6,35
4,75
4,95
4,25 3,61
Total
Rata-Rata
10,8 18,5
3,6 6,17
4,6
14,3
4,77
4,3
5,15
13,7
4,57
3,1
3,6
10,31
3,43
67,61
22,54
= 4,5073 =
FK=
= 304,7408
JKtotal = 3,852 + 3,32 + 3,652 + 5,82 + 6,352 + 6,352 + 4,752 + 4,952 + 4,62 + 4,252 + 4,32 + 5,152 + 3,612 + 3,12 + 3,62 – FK = 14,8225 + 10,89 + 13,3225 + 33,64 + 40,3225 + 40,3225 + 22,5625 + 24,5025 + 21,16 + 18,0625 + 18,49 + 26,5225 + 13,0321 + 9,61 + 12,96 – 304,7408 = 320,2221 – 304,7408 = 15,5113 JKperlakuan =
- FK
= =
– 304,7408 - 304,7408
= 319,12203 – 304,7408 = 14,38123 JKGalat = JKTotal – JKPerlakuan = 15,5113 – 14,38123 = 1,13007
ANOVA SK Perlakuan Galat Total
db 4 10 14
JK 14,38123 1,13007 15,5113
KT 3,5953075 0,113007
Fhitung 31,814
Fhitung > Ftabel 31,814 > 3,11
Uji BNT 5% BNT = 2,228 √ = 2,228 √ = 2,228 x 0,2744 = 0,611
Lampiran 3. Uji Standar Deviasi Standar Deviasi Perlakuan 1 Statistics data N
Valid
3
Missing
12
Std. Deviation
.27839 data
Frequency Valid
Missing Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3.30
1
6.7
33.3
33.3
3.65
1
6.7
33.3
66.7
3.85
1
6.7
33.3
100.0
Total
3
20.0
100.0
System
12
80.0
15
100.0
Standar Deviasi Perlakuan 2
F5% 3,11
Statistics data N
Valid
3
Missing
12
Std. Deviation
.31754 data
Valid
5.80
Frequency 1
Percent 6.7
Valid Percent 33.3
Cumulative Percent 33.3
6.35
2
13.3
66.7
100.0
100.0
Total Missing
System
Total
3
20.0
12
80.0
15
100.0
Uji Standar Deviasi Perlakuan 3 Statistics data N
Valid
3
Missing
12
Std. Deviation
.17559 data
Valid
4.60
Percent 6.7
Valid Percent 33.3
4.75
1
6.7
33.3
66.7
4.95
1
6.7
33.3
100.0
100.0
Total Missing
Cumulative Percent 33.3
Frequency 1
System
Total
3
20.0
12
80.0
15
100.0
Standar Deviasi Perlakuan 4 Statistics data N
Valid Missing
Std. Deviation
3 12 .07638
data
Valid
4.15
Percent 6.7
Valid Percent 33.3
4.25
1
6.7
33.3
66.7
4.30
1
6.7
33.3
100.0
100.0
Total Missing
Cumulative Percent 33.3
Frequency 1
System
Total
3
20.0
12
80.0
15
100.0
Standar Deviasi Perlakuan 5 Statistics data N
Valid
3
Missing
12
Std. Deviation
.30414 data
Frequency Valid
Missing Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
3.10
1
6.7
33.3
33.3
3.60
1
6.7
33.3
66.7
3.65
1
6.7
33.3
100.0
Total
3
20.0
100.0
System
12
80.0
15
100.0
Lampiran 4. Uji Normalitas Data One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test data N Mean Normal Parameters(a,b) Most Extreme Differences
Std. Deviation Absolute
15
perlakuan 15
4.4433
3.0000
1.03732
1.46385
.155
.153
Positive
.155
.153
Negative
-.105
-.153
Kolmogorov-Smirnov Z
.600
.592
Asymp. Sig. (2-tailed)
.864
.875
a Test distribution is Normal. b Calculated from data. * Sig > 0,05 dengan nilai sig = 0,875, sehingga H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa data variabel tersebut menyebar mengikuti sebaran normal dengan demikian dapat dilakukan pengujian dengan Anova karena syarat kenormalan data telah terpenuhi
Lampiran 5. Uji Homogenitas Data Test of Homogeneity of Variance data Levene Statistic 1.970
df1
df2 4
Sig. 10
.175
* Tabel uji homogenitas didapatkan bahwa data mempunyai varian yang sama (Sig > 0,05) dengan nilai Sig = 0,175. Maka analisis data dapat dilakukan dengan menggunakan uji One-way anov
Lampiran 6. Uji One-Way ANNOVA ANOVA
data
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 14.449
df 4
Mean Square 3.612
.615
10
.062
15.064
14
F 58.737
Sig. .000
Sig < 0,05 dengan nilai Sig = 0,000 sehingga H0 ditolak artinya ada pengaruh pemberian ekstrak air daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap jumlah osteoklas tikus putih (Rattus norvegicus) Menopouse
Lampiran 7. Uji Duncan perlakuan Duncan( a)
s
N
Subset for alpha = .05 2
3
3.4500
a
1.00
3
3.6000
a
4.00
3
3.00
3
2.00
3
5.00
Sig.
3
4
Notasi Sig
1
1
4.2333
b 4.7667
c 6.1667
.476
1.000
1.000
d
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. Apabila terletak pada kolom yang sama artinya tidak berbeda nyata dan signifikan. Sedangkan apabila terletak pada kolom yang berbeda artinya berbeda nyata dan tidak signifikan.
Lampiran 8. Uji Post Hock Multiple Comparison
(I) perlak
LSD
1.00
2.00
(J) perlak
4.00
5.00
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval
2.00 3.00
Lower Bound -2.56667(*) -1.16667(*)
Upper Bound .20248 .20248
Lower Bound .000 .000
Upper Bound -3.0178 -1.6178
Lower Bound -2.1155 -.7155
4.00
-1.0845
-.1822
-.63333(*)
.20248
.011
5.00
.15000
.20248
.476
-.3012
.6012
1.00
2.56667(*)
.20248
.000
2.1155
3.0178
3.00
1.40000(*) 1.93333(*) 2.71667(*)
.20248 .20248 .20248
.000 .000 .000
.9488 1.4822 2.2655
1.8512 2.3845 3.1678
1.00
1.16667(*)
.20248
.000
.7155
1.6178
2.00
-1.40000(*)
.20248
.000
-1.8512
-.9488
4.00
.53333(*)
.20248
.025
.0822
.9845
5.00 1.00 2.00
1.31667(*) .63333(*) -1.93333(*)
.20248 .20248 .20248
.000 .011 .000
.8655 .1822 -2.3845
1.7678 1.0845 -1.4822
3.00
-.53333(*)
.20248
.025
-.9845
-.0822
5.00
.78333(*)
.20248
.003
.3322
1.2345
1.00
-.15000
.20248
.476
-.6012
.3012
.20248 .20248 .20248
.000 .000 .003
-3.1678 -1.7678 -1.2345
-2.2655 -.8655 -.3322
4.00 5.00 3.00
Mean Difference (IJ)
2.00
-2.71667(*) -1.31667(*) -.78333(*) * The mean difference is significant at the .05 level. Dependent Variable: data 3.00 4.00
. Hasil Uji Komparasi Multiple Jumlah Sel Osteoklas pada Tulang Femur Tikus Putih K1 K2 K3 K4 K5
K1 – 0.000 0.000 0.011 0.476
K2 0.000 – 0.000 0.000 0.000
K3 0.000 0.000 – 0.025 0.000
K4 0.011 0.000 0.025 – 0.003
K5 0.476 0.000 0.000 0.003 –
Keterangan : Nilai p < 0,05 = terdapat perbedaan yang bermakna antara dua kelompok Nilai p > 0,05 = tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara dua kelompok (tidak signifikan)
Lampiran 9. Uji Korelasi Pearson Agar penafsiran dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan, kita perlu mempunyai kriteria yang menunjukkan kuat atau lemahnya korelasi. Kriterianya sebagai berikut (Sarwono, 2008) : Nilai korelasi 0 = tidak ada korelasi antara dua variabel Nilai korelasi > 0-0,25 = sangat lemah Nilai korelasi > 0,25-0,5 = cukup Nilai korelasi > 0,5-0,75 = kuat Nilai korelasi > 0,75-0,99 = sangat kuat Nilai korelasi 1 = sempurna Suatu korelasi dapat dikatan positif dan negatif. Korelasi positif menunjukkan arah yang sama hubungan antar variabel, artinya jika variabel 1 besar maka, variabel 2 akan semakin besar pula. Sebaliknya korelasi negatif menunjukkan arah yang berlawanan, artinya jika variabel 1 besar, maka variabel 2 menjadi kecil (Sarwono, 2008). Correlations data data
Pearson Correlation
perlakuan 1
Sig. (2-tailed) N perlakuan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
-.961(**) .000
12
12
-.961(**)
1
.000 12
12
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*Kekuatan korelasi = 0,961, dengan demikian terdapat korelasi yang sangat kuat antara ekstrak air daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr) terhadap jumlah osteoklas tikus putih (Rattus norvegicus) Menopouse *Arah korelasi adalah negatif sehingga semakin besar konsentrasi kombinasi, maka rendah jumlah sel osteoklas pada femur tikus putih menopouse *Sig < 0,05 dengan nilai Sig = 0,000 sehingga hubungan kedua variabel signifikan
Diagram hasil uji korelasi ekstrak daun katu dan jumlah sel osteoklas pada tiap perlakuan
Lampiran 10. Kegiatan Penelitian Gambar tikus penelitian
Gambar alat dan Bahan yang digunakan selama penelitian
Gambar pemberian ekstrak air daun katu pada tikus
Gambar alat dan bahan pengamatan preparat histologis sel osteoklas pada tulang femur tikus
Lampiran 11. Gambar histologis sel osteoklas pada preparat histologis Gambaran histologis Sel osteoklas pada tulang femur tikus normal
Gambaran histologis Sel osteoklas pada tulang femur tikus Ovariektomi dosis 0mg/kgBB
Gambaran histologis Sel osteoklas pada tulang femur tikus Ovariektomi dosis 15mg/kgBB
Gambaran histologis Sel osteoklas pada tulang femur tikus Ovariektomi dosis 30mg/kgBB
Gambaran histologis Sel osteoklas pada tulang femur tikus Ovariektomi dosis 45mg/kgBB
Keterangan : = menunjukkan letak sel osteoklas dalam trabekula