Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
PENERAPAN TEKNIK SILVIKULTUR DALAM MENDUKUNG UPAYA PELESTARIAN EBONI (Diospyros rumphii Bakh.) DI SULAWESI UTARA Julianus Kinho
1,2)
1)
1)
, Jafred Halawane dan Yermias Kafiar
1)
Balai Penelitian Kehutanan Manado Jln. Raya Adipura Kima Atas Mapanget, Manado Tlp. (0431) 3666683; 2) Program Pascasarjana Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Sulawesi merupakan salah satu pulau besar yang penting di Indonesia dalam konteks biodiversitas karena secara biogeografi terletak di kawasan Wallaceae. Kawasan ini merupakan kawasan peralihan ekologi (ekoton) antara benua Asia dan Australia yang memiliki keunikan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang spesifik dan khas. Struktur dan komposisi biota di pulau ini berkembang sangat unik, meskipun jumlah jenisnya relatif sedikit dibandingkan pulau-pulau di sebelah barat Indonesia (Asiatis) dan sebelah timur Indonesia (Australis). Jumlah jenis tumbuhan tinggi di Sulawesi diperkirakan sekitar 5000 spesies, termasuk 2100 tumbuhan berkayu, 26 spesies diantaranya dari genus Diospyros. Laju kerusakan hutan tropis di Indonesia dilaporkan terus meningkat dari tahun ke tahun akibat deforestasi, fragmentasi dan kebakaran yang tentunya menjadi ancaman kelestarian biodiversitas. Sulawesi Utara juga tidak luput dari ancaman kelestarian biodiversitas seperti beberapa pulau lain di Indonesia, oleh karena itu diperlukan langkah preventif dan upaya-upaya untuk menjaga kelestarian biodiversitas di daerah ini. Salah satu spesies tumbuhan berkayu yang penting dan mendesak untuk dilestarikan di Sulawesi Utara adalah eboni (Diospyros rumphii Bakh.) karena spesies ini merupakan salah satu jenis kayu komersial yang memiliki nilai jual tinggi, sementara proses regenerasi alami di habitat aslinya relatif lambat mengingat jenis ini termasuk low growing spesies dan dari segi kebutuhan cahaya (light demanding) termasuk jenis semitoleran sehingga membutuhkan penanganan yang ekstra untuk mengoptimalkan pertumbuhannya diluar habitat asli (eksitu). Penerapan teknik silvikultur yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman konservasi eksitu dalam rangka pelestarian eboni (D. rumphii) di Sulawesi Utara. Penggunaan mulsa organik dan pengaturan naungan pada masa awal pertumbuhan dilapangan merupakan beberapa teknik silvikultur yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan eboni (D. rumphii) diluar habitat aslinya. Kata kunci : eboni, mulsa, naungan, pelestarian, silvikultur, Sulawesi PENDAHULUAN Sulawesi merupakan salah satu pulau besar yang penting di Indonesia dalam konteks biodiversitas karena secara biogeografi terletak di kawasan Wallaceae. Kawasan ini merupakan kawasan peralihan ekologi (ekoton) antara benua Asia dan Australia yang memiliki keunikan tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang spesifik dan khas (Mittermeier et al., 1999). Kondisi biogeografi pulau Sulawesi yang spesifik merupakan akibat proses pembentukkan pulau ini sejak zaman purba (Whitemore et al., 1989; Mittermeier et al., 1999). Menurut Kinnaird (1997), kawasan ini memiliki sejarah geologi yang komplek, meliputi pergeseran lempeng bumi, pembenturan antar lempeng bumi, pergolakkan dalam perut bumi dan kegiatan gunung api yang memuntahkan isi perut bumi hingga menjadikan bentuk pulau Sulawesi menjadi unik dan tidak beraturan seperti saat ini. Pembentukkan pulau Sulawesi dimulai sekitar lebih dari 200 juta tahun yang lalu, ketika benua besar purba Gondwana (sebelumnya Pangea) terpecah-pecah karena pergerakan lempeng bumi dibawahnya. Diantara pecahan-pecahan benua tersebut ada sebagian yang bergabung kembali membentuk pulau-pulau baru. Salah satu penggabungan yang penting secara biogeografi adalah pertemuan sebagian benua Asia dan Australia yang memungkinkan perpindahan dan pencampuran flora dan fauna yang sedang berevolusi (Kinnaird, 1997). Struktur dan komposisi biota di pulau ini berkembang sangat unik, meskipun jumlah jenisnya relatif sedikit dibandingkan pulau-pulau di sebelah barat Indonesia (Asiatis) dan sebelah timur Indonesia (Australis). Data dan informasi keanekaragaman jenis tumbuhan di Sulawesi masih sangat terbatas, dibandingkan pulau-pulau 59
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
utama lainnya di Indonesia. Jumlah spesimen tumbuhan (herbarium) yang telah dikoleksi dari pulau 2 Sulawesi masih sangat sedikit kira-kira 23 spesimen per 100 km , sedangkan di pulau Jawa tercatat 2 hampir 1000 specimen per 100 km (Whitten et al., 1987). Steenis (1950) dalam Keβler et al., (2002) mencatat sebanyak 32.500 specimen tumbuhan telah dikoleksi dari pulau Sulawesi, tetapi jumlah tersebut masih merupakan perkiraan kasar karena pada saat itu belum dibuat pangkalan data (database). Jumlah jenis tumbuhan tinggi di Sulawesi diperkirakan sekitar 5000 spesies, termasuk 2100 tumbuhan berkayu, 26 spesies diantaranya dari genus Diospyros (Whitten et al., 1987; Whitemore et al., 1989; Keβler et al., 2002). Laju kerusakan hutan tropis di Indonesia dilaporkan terus meningkat dari tahun ke tahun akibat deforestasi, fragmentasi dan kebakaran yang tentunya menjadi ancaman kelestarian biodiversitas. Sulawesi Utara juga tidak luput dari ancaman kelestarian biodiversitas seperti beberapa pulau lain di Indonesia, oleh karena itu diperlukan langkah preventif dan upaya-upaya perlindungan untuk menjaga kelestarian biodiversitas di daerah ini. Salah satu spesies tumbuhan berkayu yang penting dan mendesak untuk dilestarikan di Sulawesi Utara adalah eboni (Diospyros rumphii Bakh.) karena spesies ini merupakan salah satu jenis kayu komersial yang memiliki nilai jual tinggi, sementara proses regenerasi alami di habitat aslinya relatif lambat mengingat jenis ini termasuk low growing spesies. Dari segi kebutuhan cahaya (light demanding), eboni (D. rumphii) termasuk jenis semitoleran sehingga membutuhkan penanganan yang ekstra untuk mengoptimalkan pertumbuhannya diluar habitat asli (eksitu). Penerapan teknik silvikultur yang tepat sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman konservasi eksitu dalam rangka pelestarian eboni (D. rumphii) di Sulawesi Utara. Penggunaan mulsa organik dan pengaturan naungan pada masa awal pertumbuhan dilapangan merupakan beberapa teknik silvikultur yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan eboni (D. rumphii) diluar habitat aslinya. DUKUNGAN SILVIKULTUR DALAM KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI Keanekaragaman hayati (biodiversity) meliputi tiga aspek penting yang saling terkait yaitu keanekaragaman genetik, keanekaragaman jenis dan keanekaragaman ekosistem. Anekaragam jenis hayati umumnya hidup dalam kondisi lingkungan tertentu, hasil interaksi antara faktor biotik dan abiotik disekitarnya. Hubungan timbal balik antara jenis-jenis hayati dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologi atau ekosistem. Terdapat beragam tipe ekosistem misalnya ekosistem pantai, ekosistem hutan dataran rendah, ekosistem hutan pegunungan dan ekosistem alpin yang memberi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia sehingga harus dikelola secara arif dan bijaksana. Salah satu aspek dalam pengelolaan tersebut yaitu dengan melakukan konservasi. Konservasi dapat diartikan sebagai usaha perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan terhadap sumberdaya alam sehingga dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi kehidupan manusia saat ini dan generasi yang akan datang. Menurut IUCN (1980), konservasi mencakup aspek positif yaitu perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, restorasi dan penguatan lingkungan alam. Pengertian tersebut menekankan bahwa konservasi tidak bertentangan dengan pemanfaatan aneka ragam varietas, jenis dan ekosistem untuk kepentingan manusia secara maksimal selama pemanfaatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan. Dalam prakteknya, seringkali masih dijumpai pemahaman yang keliru tentang konservasi, yaitu seolah-olah konservasi melarang secara total untuk memanfaatkan sumberdaya alam, sehingga masyarakat khususnya penduduk lokal yang bermukim di sekitar kawasan konservasi dilarang keras untuk memanfaatkan sumberdaya alam disekitarnya, seakan masyarakat secara paksa dipisahkan dengan lingkungannya, padahal mereka secara turun-temurun telah mendiami daerah tersebut. Tujuan utama konservasi berdasarkan “Strategi Konservasi Sedunia” (World Conservation Strategy), meliputi tiga aspek dasar yaitu: (1) memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan, (2) mempertahankan keanekaragaman genetik dan (3) menjamin pemanfaatan jenis (species) dan ekosistem secara berkelanjutan (IUCN, 1980). Dari tujuan konservasi tersebut diketahui bahwa manusia dapat memanfaatkan sumberdaya alam disekitarnya, sepanjang pemanfaatan tersebut dilakukan secara lestari. Pemanfaatan sumberdaya alam yang lestari, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya hutan tidak terlepas dari dukungan silvikultur dengan penerapan teknik atau tindakan silvikultur yang sesuai dengan karakteristik species dan lingkungan tempat hidupnya (site). Dalam merancang tindakan silvikultur, ahli silvikultur mempertimbangkan atribut ekologi, ekonomi, sosial dan administrasi serta manfaat yang ingin dicapai agar hutan berfungsi secara lestari dan optimal (Soekotjo, 2009). Silvikultur juga seringkali dikenal sebagai ekologi terapan. Menurut Nyland (2002), Silvikultur mengintegrasikan konsep ekologi dan 60
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
ekonomi pada perlakuan yang sesuai untuk memenuhi tujuan pengelolaan hutan. Oldeman (1990), mendeskripsikan silvikultur sebagai ilmu pengetahuan kehutanan yang dirancang untuk mengendalikan proses yang terjadi di dalam ekosistem hutan sedemikian rupa sehingga urutan perkembangan ekosistem hutan mencapai peluang tertinggi untuk kelangsungan hidup dari ekosistem hutan yang bersangkutan. Dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, terdapat banyak metode dan alat yang tersedia. Secara umum metode dan alat tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1) Konservasi Insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi species, variasi genetik dan habitat dalam ekosistem alaminya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti; Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Hutan Lindung, Sempadan Sungai, Kawasan Plasma Nutfah dan Kawasan Bergambut. Dalam prakteknya, pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwaliar dan strategi perlindungan sumberdaya diluar kawasan lindung. 2) Konservasi eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi species tumbuhan, satwa dan mikroorganisme serta variasi genetik diluar habitat atau ekosistem aslinya. 3) Restorasi dan Rehabilitasi, melputi metode baik insitu maupun eksitu untuk membangun kembali species, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis. Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi species asli, sedangkan rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya Daerah Aliran Sungai tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan species asli. 4) Penggelolaan lansekap terpadu, meliputi alat dan strategi untuk menyatukan unsur perlindungan, pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek penggelolaan. 5) Formulasi kebijakan dan kelembagaan, meliputi metode yang membatasi penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; pengaturan kepemilikan lahan yang mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta dan masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati.
PENERAPAN TEKNIK SILVIKULTUR DALAM PELESTARIAN EBONI (Diospyros rumphii Bakh.) DI SULAWESI UTARA Eboni adalah spesies yang paling terkenal dari formasi hutan dataran rendah di Sulawesi, yang konsentrasi penyebaran tempat tumbuh alaminya terdapat di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara (Steup, 1931 dalam Whitten et al., 1987). Verhoef (1938) melaporkan bahwa pada hutan-hutan alam di wilayah Onggak-Dumoga di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, banyak dijumpai pohon eboni (D. celebica) dengan jumlah individu pohon sebanyak 50 batang/ha. Pada waktu itu diperkirakan kayu eboni (D. celebica) yang dieksploitasi dan diekspor dari Sulawesi Utara sebanyak 1000 ton setiap tahun ke Jepang (Riswan, 2002). Stok tegakan eboni (D. celebica) di Sulawesi Utara (20%), Sulawesi Tengah (65%) dan Sulawesi Selatan (15%) (Sunaryo, 2002). Pohon eboni (D. celebica) yang menghasilkan kayu hitam bergaris yang terkenal di pasaran dunia dengan sebutan “coromandel” atau eboni makasar, terutama dihasilkan dari Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara (Nurkin et al., 2002). Beberapa catatan sejarah dan fakta tersebut dengan sangat jelas menyatakan bahwa Sulawesi Utara merupakan salah satu daerah penyumbang ekspor kayu eboni (D. celebica) dari Sulawesi ke manca negara khususnya Jepang dan Eropa sejak tahun 1918, namun sayangnya tidak ada bukti otentik mengenai keberadaan kayu eboni (D. celebica) baik berupa spesimen herbarium maupun contoh asal kayu (Xylaria). Kayu eboni (D. celebica dan D. rumphii) memiliki kemiripan yang sangat dekat secara morfologis baik pada saat kecil (semai) maupun pada saat dewasa (pohon), sehingga kuat dugaan bahwa kayu eboni (D. celebica) yang banyak dipanen pada masa lalu dari sekitar wilayah Onggak Dumoga di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara (Verhoef, 1938) yang dimaksud adalah kayu eboni (D. rumphii) yang diregister dalam data perdagangan sebagai kayu eboni (D. celebica). Pemanenan yang berlebihan terhadap kayu eboni di Sulawesi Utara pada masa lalu yang tidak seimbang dengan kemampuan regenerasi alaminya telah menyebabkan kelangkaan yang mengarah pada ancaman kepunahan spesies dan keragaman genetik. Berbagai upaya tengah dilakukan dalam rangka pelestarian eboni (D. rumphii) di Sulawesi Utara. Salah satu upaya diantaranya yaitu dengan melakukan konservasi eksitu di Arboretum Balai 61
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
Penelitian Kehutanan Manado dan Hutan Penelitian Batuangus. Konservasi eksitu yang telah dilakukan diawali dengan eksplorasi materi genetik dari berbagai daerah yang diketahui merupakan habitat alaminya yang meliputi; Bitung, Pulau Talise, Kepulauan Talaud dan Bolaang Mongondow. Dalam rangka meningkatkan keberhasilan pertumbuhan tanaman konservasi eksitu eboni (D. rumphii), diperlukan penerapan teknik silvikultur yang sesuai dengan karakteristik pertumbuhannya yaitu dengan aklimatisasi di persemaian untuk meningkatkan keberhasilan hidup dan pengaturan naungan secara buatan untuk pertumbuhan awal dilapangan. Eboni (D. rumphii) merupakan jenis semi toleran yang membutuhkan naungan yang cukup pada masa awal pertumbuhan, sedangkan pada fase pertumbuhan muda (pancang dan tiang) hingga fase pertumbuhan dewasa (pohon), eboni (D. rumphii) membutuhkan cahaya yang cukup (bebas naungan). Kinho (2013), menyebutkan bahwa interaksi perlakuan mulsa organik radius 100 cm dengan ketebalan mulsa 30 cm dan naungan 75% menghasilkan pertumbuhan tanaman eboni (D. rumphii) umur 1 tahun dilapangan yang terbaik dibandingkan perlakauan lainnya, dengan tinggi tanaman 93,80 cm dan diameter 68,00 cm seperti ditunjukkan pada gambar 1.
(A (B ) ) Gambar 1. Interaksi perlakuan mulsa organik dan naungan Ket : A = Interaksi perlakuan mulsa organik dan naungan terhadap pertumbuhan tinggi B = Interaksi perlakuan mulsa organik dan naungan terhadap pertumbuhan diameter A1 = Radius mulsa 50 cm A2 = Radius mulsa 100 cm B1 = Naungan 25 % B2 = Naungan 50 % B3 = Naungan 75 % Gambar 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan awal tanaman konservasi eksitu eboni (D. rumphii) pada umur 1 tahun dilapangan dapat ditingkatkan dengan memberikan naungan yang lebih rapat (75%) dan pemberian mulsa organik dengan radius yang lebih besar (100 cm). Penerapan teknik silvikultur ini dapat meningkatkan persentase keberhasilan hidup tanaman muda eboni dilapangan sampai 98%. Naungan yang lebih rapat (75%) dapat memberikan ruang tumbuh yang lebih baik karena proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik, sedangkan naungan yang lebih ringan (25% dan 50%) diduga menyebabkan intensisas penyinaran yang berlebihan sehingga menghambat proses fotosintesis bagi tanaman muda eboni (D. rumphii) di lapangan seperti ditunjukkan pada gambar 2
Gambar 2. Perlakuan naungan dan mulsa untuk optimalisasi pertumbuhan tanaman konservasi eksitu eboni (D. rumphii) di lapangan. 62
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Seran dan Yusri (1996) bahwa anakan eboni (D. celebica) cenderung tumbuh baik pada intensitas naungan 75% dan 100%. Interakasi antara perlakuan naungan dan mulsa memberikan respon positif terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman muda eboni, sehingga diduga bahwa pada kondisi tersebut kelembaban dan temperatur udara maupun kelembaban dan temperatur tanah berada pada kondisi yang mendukung pertumbuhan tanaman muda eboni sesuai dengan karakteristik tumbuhnya yaitu semitoleran. Doubenmire (1967) menyebutkan bahwa naungan yang lebih rapat atau intensitas cahaya yang rendah menyebabkan temperatur relatif cukup rendah dan kelembaban relatif cukup tinggi sehingga tersedia air yang cukup untuk perkembangan tanaman muda. Pertumbuhan merupakan salah satu indikator penyerapan hara mineral dan fotosintesis. Menurut Kramer dan Kozlowski (1979), intensitas cahaya yang terlalu tinggi melemahkan kegiatan proses fotosintesis dan sementara itu laju respirasi meningkat. Semakin meningkatnya pertumbuhan anakan karena pengaruh naungan, menunjukkan semakin aktif proses fotosintesis. Rendahnya pertumbuhan tinggi dan diameter pada perlakuan naungan 25% diduga karena adanya kenaikan intensitas cahaya sehingga kurang mendukung proses fotosintesis karena menerima cahaya yang berlebihan yang dapat menyebabkan terjadinya proses foto-oksidasi klorofil dan menyebabkan kerusakan pada klorofil, sementara itu klorofil yang tersisa tidak mampu menyerap semua energi yang tersedia sehingga kegiatan fotosintesis menjadi semakin lemah. Sebaliknya naungan akan mempengaruhi kondisi lingkungan fisik mikro tanaman muda eboni (D. rumphii) yang mendukung pertumbuhan tinggi dan diameter batang.
PENUTUP Salah satu alternatif teknik silvikultur yang dapat diterapkan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan keberhasilan pertumbuhan tanaman konservasi eksitu eboni dalam rangka pelestarian eboni (D. rumphii) di Sulawesi Utara yaitu dengan pemberian naungan 75% secara buatan dan penggunaan mulsa organik dengan radius mulsa 100 cm, ketebalan mulsa 30 cm pada masa awal pertumbuhan dilapangan sampai umur 1 tahun setelah penanaman.
DAFTAR PUSTAKA 1. Doubenmire, R. T. 1967. Plants and Enviromental. Jhon Wiley and Sons. Inc. London. 2. Keβler, P. J. A., M. Bos, S. E. C. Sierra Daza, L. P. M. Willemse, R. Pitopang and S. R. Gradstein. 2002. Checklist of Woody Plants of Sulawesi, Indonesia. Blumea Suplement14:1-160. 3. Kinnaird, M.F. 1997. Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam. Jakarta: Yayasan Pengembangan Wallaceae. 4. Kinho, J. 2013. Pengaruh Naungan dan Aplikasi Mulsa Organik Terhadap Pertumbuhan Eboni (Diospyros rumphii Bakh.) Di Hutan Penelitian Batuangus. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur I dan Pertemuan Tahunan Masyarakat Silvikultur Indonesia. Fakultas Kehutanan Unhas, Makassar bekerjasama Masagena Press dan Masyarakat Silvikultur Indonesia. p 298-305. 5. Kramer, P. J and T. T. Koozlowski. 1979. Physiology of Woody Plants. Academic Press. New York, London. 6. IUCN. 1980. World Conservation Strategy; Living Resource Conservation For Sustainable Development. IUCN-UNEP-WWF 7. Mittermeier, R.A., Myers, N., Gil., P.R dan C.G. Mittermeier. 1999. Hotspot. Earth’s Biologycally Richest and Most Endangered Terrestrial Ecoregions. Mexico City: CEMEX, S.A. Printed in Japan by Toppan Company. 8. Nurkin, B., A. Achmad., N. P. Oka., W. Rachman., dan S. A. Paembonan. 2002. Berita Biologi. Vol. 6. No. 2. Edisi Khusus Manajemen Eboni. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor. 9. Nyland, R. D. 2002. Silviculture: Concepts and Applications. 2nd Editions. McGraw-Hill Higher Education.
63
Seminar Nasional Biodiversitas V, Surabaya 6 September 2014
10. Oldeman, R. A. A. 1990. Forests: Elements of silvology. Springer-Verlag. 11. Riswan, S. 2002. Kajian Biologi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Berita Biologi. Vol. 6. No. 2. Edisi Khusus Manajemen Eboni. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor 12. Seran, D. dan M. Yusri. 1996. Stimulasi Pertumbuhan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Melalui Pengaturan Intensitas Naungan dan Pemupukan NPK di Persemaian. Buletin Penelitian Kehutanan No.2, 32-34. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Badan Litbang Kehutanan. 13. Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 14. Sunaryo, 2002. Konservasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Berita Biologi. Vol. 6. No. 2. Edisi Khusus Manajemen Eboni. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Bogor. 15. Verhoef, L. 1938. Bijdragen tot de Kennis des Bosschen van Noord- en Midden-Celebes. Tectona 31, 7-29. 16. Whitten, A. J., M. Mustafa and G. S. Henderson. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 17. Whitemore, T. C., I. G. M. Tantra., dan U. Sutisna. 1989. Tree Flora Of Indonesia. Check List for Sulawesi. Ministry of Forestry. Agency for Forestry Research and Development. Forest Research & Develepment Centre. Bogor
64