Penerapan Technical Barrier to Trade melalui Pelabelan (Hang Tag) Identitas Budaya pada Produk Batik Siti Zulaekah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan Email:
[email protected] Abstract This article aim to offer new idea about the new formulation of Indonesian batik safeguarding through the implementation of technical barrier to trade (TBT). Such labelling of culutural identity within hang tag in International trading mechanism. As we know, the implementation of TBT just limited food safety, health and environment. Countries that implemented it’s mechanism outside those description still limited. In order to answer those problem above, this research used doctrinal method with the qualitative design with participatory observation and focus group discussion in searching the primary data. In accordance with technical of data collecting, secondary data is collected by literature review, especially for legal data is done by identifying all regulation related with batik safeguarding. Data analized used three steps. First, data reduction. Second, data display. Third data verification. The result of this research showed that Indonesian government has implemented technical barrier to trade through policy batikmark “BATIK INDONESIA” that statuted by Indonesian ministry of industrial act. No. 74/M-IND/PER/9/2007. Eventhough, this effort above has been constrained by the batik craftmen, because of ineficient registration coct for labelling batikmark “BATIK INDONESIA”. Keywords : Technical barrier to trade, hang tag, cultural labelling, batikmark “BATIK INDONESIA” Abstrak Artikel ini bertujuan menawarkan ide/gagasan baru tentang formulasi perlindungan melalui penerapan hambatan teknis perdagangan (technical barrier to trade/TBT) berupa pelabelan identitas budaya (hang tag) dalam mekanisme perdagangan internasional pada produk batik. Sebagaimana diketahui, perlindungan dalam bentuk hambatan non tarif (non tariff barrier) khususnya TBT yang menyangkut pelabelan produk yang Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian skim Hibah Bersaing dengan judul :”Strategi Perlindungan Batik Indonesia Pasca Pengukuhan Batik sebagai Budaya Takbenda Dunia (Intangible Culture Heritage)” dibiayai DP2M DIKTI Tahun Anggaran 2014
184
185
Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, Desember 2014
berlaku selama ini sepanjang pengetahuan peneliti baru sebatas alasan keamanan pangan, kesehatan, dan lingkungan. Negara-negara yang menerapkan hambatan dalam pelabelan di luar kategori tersebut pun masih sangat terbatas. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan Hukum Normatif dengan desain penelitian kualitatif. Penelitian menggunakan teknik participatory observation dan focus group discussion sebagai metode pengumpulan data primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui telaah kepustakaan dan inventarisasi peraturan perundang-undangan untuk data yang berupa bahan hukum. Agar data (terutama data primer) yang diperoleh teruji keabsahannya, penelitian ini memanfaatkan metode trianggulasi yang menyatu dan tidak terpisahkan dari kegiatan pengumpulan data primer tersebut. Analisis data menggunakan model Miles dan Huberman yang pada prinsipnya meliputi 3 (tiga) tahapan yakni reduksi data, display data, dan verifikasi atau penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menerapkan hambatan non tarif dalam bentuk TBT pada produk batik melalui Peraturan Menteri Perindustrian tentang batikmark “batik INDONESIA”. Meski demikian, pelabelan tersebut masih membutuhkan rincian lagi dalam bentuk pelabelan identitas budaya sehingga maksud pelestarian batik sebagaimana diamanatkan Unesco pada Pemerintah Indonesia diharapkan menjadi terwujud. Keywords : Non Tariff Barrier, Technical Barrier to Trade, Hang Tag, Pelabelan Identitas Budaya Pendahuluan
kan pengakuan. Di antara matabu-
Batik Indonesia merupakan wari-
daya tersebut, batik merupakan mata
san luhur budaya masyarakat Indo-
budaya yang paling tradable (berpo-
nesia yang mendapatkan pengakuan
tensi komoditas), baik dalam pasar
Unesco pada tanggal 2 Oktober 2009
lokal, nasional maupun internasio-
melalui pengesahan budaya takbenda
nal. Selaras dengan fakta empirik
dunia (intangible culture heritage).
tersebut, Unesco mengharapkan agar
Disamping
produk-produk
batik benar-benar beredar dalam
budaya Indonesia juga mendapat
pasar internasional. Sementara itu
perhatian UNESCO dan hingga
disisi lain, berdasarkan data (UNES-
tahun 2014 ini antara lain keris,
CO, tahun 2009) di seluruh dunia ini
angklung, anyaman papua, tarian
setidaknya terdapat 15 negara yang
saman dan sistem irigasi pertanian
memiliki tradisi proses rintang war-
Sabak di Bali turut juga mendapat-
na. Proses tersebut di Indonesia di-
batik,
186
Siti Zulaeka: Penerapan Technical Barrier
sempurnakan dengan penggunaan
A.Ball dan Wendel H.McCulloch
malam dan kemudian dinamakan
(2000)
sebagai batik sebagaimana diakomo-
atau restriksi atau hambatan dalam
dir dalam Peraturan Menteri Perin-
perdagangan/bisnis Internasional da-
dustrian Nomor 74 tahun 2007
lam praktek bermula pada alasan
tentang batikmark” batik INDONE-
pertahanan nasional. Industri-indus-
SIA”. Banyaknya negara yang me-
tri tertentu memerlukan proteksi dari
miliki tradisi proses rintang warna
impor karena vital bagi pertahanan
tersebut membawa konsekuensi ke-
nasional dan harus tetap diberlaku-
mungkinan peredaran batik dari
kan meskipun terdapat kerugian
negara lain ke Indonesia dan seba-
secara komparatif berkenaan dengan
liknya beredarnya batik Indonesia ke
para pesaing luar negeri. Adapun
negara lain.
alasan-alasan lain suatu negara mela-
mendeskripsikan
proteksi
Atas keadaan tersebut, Indonesia
kukan restriksi adalah karena untuk
sebagai anggota WTO dituntut untuk
melindungi industri yang baru tum-
menyelenggarakan pasar yang adil
buh (infant industry). Alasannya,
artinya memberikan perlindungan
dalam jangka panjang, industri itu
pada batik dalam negeri sekaligus
akan memiliki keunggulan kompara-
bersikap tidak melakukan hal yang
tif,
merugikan bagi batik negara lain
yang baru tumbuh tersebut memerlu-
yang mungkin dipasarkan di Indone-
kan proteksi terhadap impor sampai
sia. Huala Adolf (2004), mengung-
angkatan kerja terlatih, teknik-teknik
kapkan bahwa pada prinsipnya ter-
produksi dikuasai dan industri ini
kait dengan mekanisme perdagangan
sampai mencapai skala ekonomi.
Internasional, General Agreement on
Apabila sasaran-sasaran tersebut ter-
Tarrif and Trade (GATT) hanya
penuhi, proteksi impor tidak diperlu-
memperkenalkan tindakan proteksi
kan lagi. Tanpa proteksi, sebuah
terhadap industri domestik melalui
perusahaan tidak akan mampu ber-
tarif (menaikkan tingkat tarif bea
tahan hidup karena impor biaya
masuk) dan tidak melalui upaya-
rendah dari para pesaing asing yang
upaya perdagangan lainnya (non
lebih dewasa akan menjual barang-
tarrif commercial measures). Donald
barang yang lebih murah daripada
tetapi
perusahaan-perusahaan
187
Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, Desember 2014
mereka di pasar lokalnya. Proteksi
batan dalam perdagangan produk
ini dimaksudkan hanya bersifat
sejenis dari negara lain.
sementara, akan tetapi kenyataannya
Dalam praktek perdagangan serta
sebuah perusahaan akan jarang me-
berdasarkan kesepakatan beberapa
ngakui telah dewasa dan tidak lagi
negara, diberlakukan technical bar-
memerlukan bantuan. Di samping
rier to tariff (TBT) yang merupakan
alasan sebagaimana disebutkan di
bagian dari NTB. Beberapa bentuk
atas, restriksi juga dimaksudkan
TBT yang lazim diberlakukan dalam
untuk
kerja
perdagangan internasional adalah
domestik dari tenaga asing yang
dalam rangka pencegahan penyeba-
lebih murah dengan cara memban-
ran hama, penyakit, jaminan keama-
dingkan tingkat upah per jam tenaga
nan pangan, obat-obatan, hasil perta-
asing yang lebih murah dengan yang
nian dan alasan keamanan lainnya.
dibayar di negaranya.
Hambatan tersebut secara teknis di-
melindungi
tenaga
Hambatan tersebut tidak hanya dibatasi sebagai hambatan dalam
antaranya dilakukan melalui pelabelan produk.
bentuk tarif (tariff barrier) saja, akan
Beberapa penelitian sebelumnya
tetapi juga hambatan non tarif (non
serta telaah kritis para ahli terkait
tariff barrier). Bentuk halangan
hambatan no tarif untuk produk
dalam perdagangan yang menjadi
meliputi : penelitian dengan telaah
diskursus
anggota
kepustakaan data sekunder yang
WTO adalah hambatan NTB karena
dilakukan, pelabelan produk tektsil
sangat rawan untuk dijadikan dalih
dan pakaian baru sebatas analisis
melindungi produk dalam negerinya
data sekunder seperti yang dilakukan
dengan cara-cara curang. Meskipun
oleh Aswicahyono tentang produk
demikian, sebagai organisasi perda-
Indonesia yang berpotensi beredar di
gangan dunia, World Trade Organi-
negara-negara Asean yang menca-
sation (WTO) telah mengantisipasi
kup tekstil, pakaian, dan kulit. Di
kemungkinan terjadinya hal tersebut
luar sebagaimana disebutkan di atas,
dengan membolehkan negara anggo-
baru diterapkan secara sangat terba-
ta untuk melindungi produk dalam
tas yakni pelabelan pada tekstil, pa-
negerinya dengan menerapkan ham-
kaian, travel. Pemerintah Indonesia
negara-negara
188
Siti Zulaeka: Penerapan Technical Barrier
melalui Peraturan Menteri Perindus-
takannya. Sedangkan terhadap kebi-
trian Republik Indonesia Nomor
jakan Pemerintah Pekalongan ten-
74/M-IND/PER/9/2007 sebenarnya
tang pelabelan citybranding sepan-
sudah menerapkan hambatan teknis
jang pengetahuan peneliti belum
dalam perdagangan batik dalam
dilakukan penelitian yang menda-
bentuk kewajiban pelabelan Batik-
lam. Merujuk pada hal tersebut ,
mark “batik INDONESIA”.
menurut peneliti masih banyak hal
Ketentuan tersebut mewajibkan
mendasar terkait hambatan teknis
agar batik yang akan diperdagangkan
yang diterapkan yang menimbulkan
baik dalam pasar nasional maupun
pertanyaan bagi peneliti. Bagaima-
pasar Internasional harus mencan-
nakah bentuk hambatan teknis perda-
tumkan label emas (gold) untuk batik
gangan yang tepat untuk batik yang
tulis, putih untuk batik cap serta
telah mendapatkan pengakuan seba-
perak (silver) untuk batik kombinasi
gai warisan budaya sekaligus sebagai
tulis dan cap. Pada tingkat lokal,
produk komoditas tersebut.
Pemerintah Kota Pekalongan mener-
Penelitian ini bertujuan untuk
bitkan Peraturan Walikota tahun
mendeskripsikan
2014 tentang kewajiban pelabelan
hambatan teknis dalam perdagangan
citybranding kota Pekalongan pada
Internasional, baik hambatan dalam
setiap produk batik buatan warga
bentuk tarrif barrier (TB) maupun
Pekalongan.
non tarrif barrier (NTB) serta me-
bentuk-bentuk
Meskipun Pemerintah sudah
nawarkan gagasan/wacana baru ten-
berupaya memberikan perlindungan
tang perlindungan batik Indonesia
melalui mekanisme tersebut, namun,
melalui pelabelan (hang tag) identi-
berdasarkan temuan penelitian tahun
tas budaya pada produk batik dalam
2013 (Siti Nurhayati, dkk), ketentuan
perdagangan Internasional.
batikmark justru membebani/me-
Hasil penelitian ini diharapkan
nimbulkan resistensi bagi para peng-
dapat dijadikan salah satu bahan
rajin dan produsen batik. Hal terse-
pertimbangan
but dikarenakan alasan inefisiensi
mengambil kebijakan perlindungan
karena pembebanan biaya pendaf-
produk batik dalam negeri melalui
taran untuk setiap motif yang dicip-
penerapan hambatan teknis dalam
Pemerintah
dalam
189
Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, Desember 2014
perdagangan batik saat menghadapi
longan, pelaku eksportir batik, peda-
masuknya produk yang sama dari
gang kerajinan dan batik asal Austra-
negara lain. Untuk semua pihak yang
lia, ahli fashion (AS) serta presiden
memiliki
Craft untuk Asia Tenggara.
minat
dalam
bidang
Hukum Perdagangan Internasional
Untuk menjamin keabsahan data
dan keilmuan terkait, hasil penelitian
yang diperoleh, peneliti menggu-
ini dapat memperluas khasanah
nakan teknik triangulasi sumber
tentang perkembangan bentuk ham-
yang dilaksanakan secara langsung
batan teknis diluar yang selama ini
dan bersamaan dengan kegiatan
dipraktikkan
pengumpulan data primer. Analisis
dalam
perdagangan
internasional.
data menggunakan model Miles dan Huberman yang pada prinsipnya
Metode Penelitian
dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahap
Penelitian ini merupakan peneli-
yakni reduksi atau pemilahan data
tian hukum normatif dengan desain
yang diperlukan untuk menjawab
penelitan kualitatif dengan ranca-
permasalahan
ngan participatory observation. Tim
membuat pemaknaan terhadap data
peneliti terlibat secara aktif dalam
yang diperoleh, display/penampilan
langsung dalam kelompok subyek/
data secara deskriptis serta verifi-
informan/partisipan. Teknik peng-
kasi/penarikan kesimpulan.
penelitian
dengan
umpulan data primer melalui wawancara kelompok terarah/Focus Group Discussion (FGD) serta pengumpulan
data
sekunder
Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan,
dengan
para pengrajin/produsen, importir,
menggunakan metode penelaahan
serta serta eksportir batik baik pada
pustaka tentang hambatan-hambatan
tingkat lokal, nasional maupun inter-
dalam
internasional
nasional menghendaki agar batik
melalui kegiatan identifikasi peratu-
Indonesia yang telah mendapatkan
ran Internasional maupun peraturan
pengakuan UNESCO sebagai bu-
perundang-undangan di Indonesia.
daya takbenda dunia harus menda-
Subyek dalam penelitian ini menca-
patkan perlindungan yang memadai
kup para pengrajin batik dari Peka-
negara
perdagangan
penghasil
batik.
Bentuk
190
Siti Zulaeka: Penerapan Technical Barrier
perlindungan tersebut antara lain
jamin keberlangsungan warisan tak-
melalui pembatasan syarat-syarat
benda yang mencakup langkah iden-
yang ketat atas impor batik dari
tifikasi, dokumentasi, penelitian, pe-
negara lain. Syarat tersebut berkaitan
lestarian, proteksi, promosi, penga-
dengan identitas budaya atas produk
yaan atau pengembangan, edukasi,
dengan tujuan agar ketika produk
pemindahan pengetahuan baik mela-
sampai ke tangan pembeli maka
lui pendidikan formal maupun infor-
mereka tidak hanya menilai batik
mal.
sekedar produk produk fisik semata
Sebagai produk dan identitas
tetapi juga makna atau nilai yang
budaya, beberapa daerah yang me-
terkandung didalamnya. Identitas
miliki sentra batik telah mengimple-
tersebut antara lain mencakup ide/
mentasikan
makna motif batik, siapa pembuat-
dengan pendekatan edukasi dengan
nya, kapan dibuatnya serta dimana
cara mengintegrasikan pengetahuan
tempat pembuatannya.
dan keterampilan membatik dalam
prinsip
perlindungan
Secara yuridis, konsep perlindu-
kurikulum terutama pada pendidikan
ngan (safeguarding) menurut article
dasar. Adopsi batik dalam kurikulum
2 ayat (3) Konvensi perlindungan
tersebut telah dilaksanakan di Solo,
budaya takbenda diartikan sebagai:
Yogyakarta, dan Pekalongan. Di
’…safeguarding
means
measures
samping kebijakan tersebut, ma-
aimed at ensuring the viability of the
sing-masing
intangible heritage including the
mengeluarkan kebijakan bahwa pada
identification, documentation, re-
hari-hari tertentu, Pegawai Negeri
search,
protection,
Sipil (PNS), siswa sekolah mulai dari
promotion, enhancement, transmis-
TK, SD, SMP, hingga SMA wajib
sion, particulary through formal and
mengenakan pakaian batik dengan
non formal education, as well as the
motif khusus daerah. Kebijakan ini
various aspects of such heritage”.
berimplikasi pada dikenalnya dan
preservation,
pemerintah
daerah
Fokus utama dari safeguarding
terlestarikannya motif-motif tradi-
(perlindungan dalam arti luas) diarti-
sional oleh masyarakat khususnya
kan sebagai langkah-langkah atau
PNS dan murid sekolah.
tindakan yang bertujuan untuk men-
Pada sisi yang lain, batik telah
191
Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, Desember 2014
berkembang menjadi industri budaya
perdagangan yang bersifat non tarif
dan menjadi komoditas yang tidak
dalam praktik dan perjanjian ber-
hanya diperdagangkan dalam pasar
bagai negara mengalami perkemba-
dalam negeri tetapi juga sudah me-
ngan yang kemudian disebut sebagai
nembus pasar luar negeri. Bersandar
hambatan teknis perdagangan (tech-
pada bentuk-bentuk perlindungan
nical barrier to trade/TBT).
sebagaimana disebutkan dalam kon-
Secara spesifik, hambataan teknis
vensi tersebut, dalam setiap negara
perdagangan diatur dalam Agree-
yang produknya sudah masuk ko-
ment on Technical Barrier to Trade
moditas Internasional maka negara
yang pada pokoknya mengatur 2
yang bersangkutan diberi keluasaan
(dua ) hal yakni regulasi teknis (tech-
untuk memproteksi produk dalam
nical regulation) dan standar/acuan
negerinya dengan tetap memperhati-
baku termasuk pengemasan, penem-
kan kaidah-kaidah dalam perdaga-
patan merek, persyaratan pelabelan,
ngan Internasional.
persyaratan
Berkaitan dengan hal tersebut,
karakteristik
produk,
inspeksi, dan prosedur.
menurut article 2 ayat (3) adalah pro-
Donald A.Ball dan Wendel H.
teksi yang menurut kaidah Hukum
McCulloch (2000), restriksi dikate-
Perdagangan
(lalu-
gorikan menjadi 2 (dua) jenis yakni
lintas perdagangan Internasional)
restriksi dalam bentuk tarif dan res-
diakomodir dalam bentuk hambatan,
triksi/hambatan dalam bentuk non
baik dalam bentuk tarif (tarrif bar-
tarif.
rier) maupun non tarif (non tariff
bentuk tarif meliputi bea impor (ad
barrier) yang diberlakukan terhadap
valorem, spesifik, majemuk, dan pa-
negara lain. Hambatan tersebut men-
jak variabel). Sedangkan restriksi
cakup Anti Dumping Duties (ADD),
dalam bentuk non tarif meliputi ham-
Contervailing Duties (CDD), dan
batan non tarif kuantitatif dan non
Safeguard Measures, Quota, Volun-
kuantitatif. Hambatan non tarif kuan-
tary Eksport Retraint, Eksport Subsi-
titatif mencakup kuota tingkat tarif,
dy, import ban, import lisencing, go-
global, diskriminatif, pembatasan
vernment procurement, dan domestic
ekspor sukarela, dan peraturan tertib
contents. Hambatan-hambatan dalam
pemasaran. Hambatan non tarif non
Internasional
Hambatan-hambatan
dalam
192
Siti Zulaeka: Penerapan Technical Barrier
kuantitatif meliputi partisipasi Peme-
meliputi klasifikasi tarif, persyaratan
rintah langsung dalam perdagangan,
dokumentasi, dan evaluasi produk.
prosedur kepabeanan dan adminis-
Standar-standar meliputi kesehatan,
tratif lainnya serta standar-standar.
keselamatan dan kualitas produk,
Partisipasi Pemerintah langsung be-
kemasan dan pemberian label, serta
rupa subsidi, membeli di dalam ne-
metode pengetesan produk. Bentuk-
geri, lisensi impor, manipulasi kurs,
bentuk hambatan dalam perdagangan
dan kandungan lokal. Prosedur kepa-
terangkum dalam tabel berikut :
beanan dan administratif lainnya Tabel : Bentuk restriksi atau hambatan dalam perdagangan Internasional menurut Donald A.
Ball dan Wendel McCullloch.
NO Jenis Restriksi/Hambatan dalam Perdagangan Internasional Hambatan-hambatan Tarif 1 Bea Impor
Hambatan-hambatan non Tarif Kuantitatif
- Ad valorem
- Kuota tingkat tarif
- Spesifik
- Global
- Majemuk
- Diskriminatif
- Pajak Variabel
- Pembatasan ekspor sukarela - Peraturan tertib pemasaran
2 Harga Resmi
Nonkuantitatif a. Partisipasi Pemerintah langsung dalam perdagangan - Subsidi - Membeli di dalam negeri - Lisensi impor - Manipulasi kurs - Kandungan lokal b. Prosedur kepabeanan dan administratif lainnya - Klasifikasi tarif - Persyaratan dokumentasi - Evaluasi produk
193
Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, Desember 2014
NO Jenis Restriksi/Hambatan dalam Perdagangan Internasional Hambatan-hambatan Tarif
Hambatan-hambatan non Tarif c. Standar-standar - Kesehatan, keselamatan, dan kualitas produk - Kemasan dan pemberian label - Metode pengetesan produk
Haryo
Aswicahyono
(2008)
syaratan kinerja dan batasan untuk
membagi hambatan perdagangan ke
mendiversifikasikan usaha, dan ben-
dalam 3 (tiga) bentuk yakni border
tuk hambatan pada tenaga kerja
measures, beyond the border mea-
berupa pajak atas tenaga kerja asing.
sures, serta across border measures.
Implementasi across border mea-
Implementasi border measures men-
sures mencakup bentuk hambatan
cakup bentuk hambatan pada barang
pada barang berupa standar tertentu
meliputi tarif, kuota, dan hambatan
atas produk, bentuk hambatan pada
non tarif, bentuk hambatan jasa meli-
jasa berupa regulasi tertentu, bentuk
puti registrasi dan ijin serta batasan
hambatan pada modal berupa pema-
jumlah tenaga kerja asing, bentuk
jakan ganda dan pajak ditahan atas
hambatan pada modal berupa pem-
pendapatan perusahaan asing, se-
batasan sektor tertentu yang dibuka
dangkan bentuk hambatan pada
bagi investasi asing dan pembatasan
tenaga kerja berupa standar kompe-
saham pihak asing, bentuk hambatan
tensi tertentu.
tenaga kerja adalah seleksi tertentu.
Hambatan pertama diatasi dengan
Implementasi beyond the border
pembukaan akses pasar, yang kedua
measures mencakup bentuk ham-
diatasi dengan National Treatment
batan pada barang berupa tender oleh
yaitu peraturan yang mesyaratkan
Pemerintah dan pemberlakuan pajak
bahwa suatu barang atau faktor
yang berbeda, bentuk hambatan pada
produksi harus menerima perlakuan
jasa berupa batasan lokasi dan/atau
yang sama seperti produk domestik
jumlah kantor cabang, bentuk ham-
dalam hal pajak dan berbagai pera-
batan pada modal berbentuk per-
turan lainnya. Hambatan yang ketiga
194
Siti Zulaeka: Penerapan Technical Barrier
diatasi dengan harmonisasi standar
hambatan sekaligus, yakni hambatan
yang lebih dikenal dengan Harmony
dalam bentuk border cross measures
System Code (HS Code) dan peratu-
dan hambatan dalam bentuk across
ran antarnegara karena untuk meme-
border measures.
nuhi standar ini seringkali produsen asing mengalami kesulitan.
Penerapan 2 (dua) hambatan dalam perdagangan tersebut seba-
Pada ketiga bentuk hambatan
gaimana mengacu pendapat Aswi-
dalam perdagangan Internasional ter-
cahyono, menurut peneliti meng-
sebut bisa ditarik kesimpulan bahwa
aburkan kepastian bentuk hambatan
terdapat persinggungan antara 2
dalam
(dua) hambatan yakni border cross
disebutkan dalam persetujuan WTO
yang memuat hambatan atas perda-
serta kebanyakan pendapat ahli yang
gangan barang dalam bentuk non
lain. Hal tersebut disebabkan karena
tarrif barrier (hambatan non tarif
bentuk hambatan sebagaimana ter-
dan salah satu bentuknya adalah
muat dalam across border measures
hambatan teknis dalam perdagangan)
pada hakikatnya merupakan ham-
dan across border measures yang
batan teknis perdagangan/Technical
memuat
perdagangan
Barrier to Trade (TBT) yang me-
barang berupa standar tertentu atas
rupakan salah jenis hambatan non
produk.
tarrief/Non Tarrief Barrier (NTB).
hambatan
Berdasarkan pengaturan dalam
perdagangan
sebagaimana
Penerapan TBT terbanyak menu-
agreement on technical barrier to
rut
trade maupun kajian beberapa litera-
(2008) ada pada standar dan regulasi
tur, penerapan standar tertentu atas
karena keduanya berperan penting
produk barang, termasuk pendapat
dalam menjaga kualitas, keamanan,
Donald A. Ball dan Wendel McCull-
kesesuaian teknis, dan proses pro-
och, merupakan salah satu bentuk
duksi. Selaras dengan pendapat Har-
hambatan non tarrief. Berdasarkan
yo, negara-negara anggota diperke-
klasifikasi hambatan perdagangan
nankan
yang dilakukan oleh Haryo Aswica-
menjamin kualitas ekspornya, atau
hyono maka batik yang dikategori-
untuk perlindungan atas kehidupan
kan sebagai barang terkena 2 (dua)
manusia, hewan, tanaman atau kese-
catatan
Haryo Aswicahyono
tindakan-tindakan
untuk
195
Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, Desember 2014
hatan atau lingkungan atau untuk
sendiri
pencegahan serta praktik curang.
tekstil dalam annex (lampiran) 1
Terkait dengan kewajiban pelabelan
agreement on textile and clothing
produk, dalam praktik perdagangan
yang dilengkapi dengan Harmonized
didominasi oleh alasan keamanan
Commodity Description and Coding
pangan, produk pertanian, pencega-
System (HS Nomenclature). Padahal
han hama, alasan kesehatan maupun
dalam mekanisme produksi batik,
karena alasan lingkungan dan sama
tekstil hanyalah salah satu media
sekali tidak menyebut produk hasil
pembuatan batik. Pengaturan WTO
budaya manusia.
tentang pelabelan produk sebenarnya
memasukkan
pengaturan
Berdasarkan data di WTO, pela-
sangat lentur/luwes. Hal tersebut
belan di luar produk-produk tersebut
terbukti dari perhatian utama dalam
baru
produk
Agrement on Technical Barrier to
tekstil, pakaian serta travel serta baru
Trade hakikatnya adalah dalam
dipraktikkan oleh negara anggota
bentuk regulasi teknis dan standar
secara terbatas. Banyak pihak yang
yang diatur oleh negara anggota dan
mengidentikkan batik sebagai bagian
diberlakukan terhadap negara lain
dari tekstil sehingga pelabelan terha-
yang memiliki kerjasama perdaga-
dapnya cukup terwakili oleh tekstil.
ngan dengan negara yang bersangku-
Bidang produk kerajinan tradisional
tan. Donald A.Ball mengklasifikan-
yang dicatatkan di GATT adalah
nya sebagai bentuk campur tangan
tekstil. Lia Amalia ( 2007) mencatat
langsung pemerintah dalam bidang
10 tahun sejak tahun 2004, perjanji-
perdagangan. Kajian lain terkait hal
an tekstil sangat menentukan. Nega-
tersebut, meskipun mengkaji sisi
ra-negara maju secara bertahap harus
persaingan usaha, tentang potensi
menghapuskan sistem diskriminatif
produk Indonesia yang dipasarkan di
yang melanggar GATT dan diterap-
negara-negara ASEAN antara lain
kan terhadap negara-negara berkem-
Malaysia, Singapura, Thailand, Fili-
bang seperti MFA (Multifibre Agree-
pina, serta negara lain yakni Austra-
ment). Proses penghapusan ini dike-
lia dan Selandia Baru mencakup
nal pula sebagai proses pengintegra-
makanan, minuman, dan tembakau,
sian tekstil ke dalam GATT. GATT
tekstil, pakaian, dan kulit, elektronik
diberlakukan
pada
196
Siti Zulaeka: Penerapan Technical Barrier
dan peralatan listrik serta kayu dan
dengan warna putih yang diberlaku-
produk kayu. Potensi tekstil pakaian
kan terhadap batik untuk ekspor.
dan kulit mendekati batik dan akan
Mengacu pada penggalian data pri-
dianalisis secara mendalam.
mer yang telah dilakukan terhadap
Pendekatan perlindungan terha-
beberapa pengrajin batik di Solo,
dap tekstil adalah melalui proteksi
Imogiri, Yogyakarta, Bantul, dan
tarif dan subsidi budget seperti yang
Pekalongan, persyaratan pelabelan
diterapkan di Australia. Selandia Ba-
batik mark “BATIK INDONESIA”
ru menggunakan pendekatan penera-
ternyata mendapatkan constrain atau
pan tarif yang tinggi serta tarif spesi-
perlawanan dari para pengrajin. Ala-
fik untuk produk tekstil, pakaian dan
sannya, kewajiban tersebut justru
sepatu.
membebani para pengrajin karena
Berdasarkan hasil kajian tersebut,
adanya tambahan biaya pendaftaran
pendekatan perlindungan baru dila-
(inefisiensi) karena setiap mengelu-
kukan terhadap tekstil, pakaian dan
arkan produk baru harus langsung
sepatu didominasi dengan menggu-
disertai dengan pendaftaran. Alasan
nakan pendekatan tarif. Pendekatan
lainnya adalah bahwa setiap pengra-
perlindungan dalam bentuk TBT
jin telah memiliki merek masing-
secara khusus terhadap batik sepan-
masing. Singkatnya, perlindungan
jang pengetahuan dan upaya peneliti
yang digagas pemerintah sebenarnya
untuk mencari hasil penelitian lain
masih menjadi perdebatan dan kon-
terhadap batik belum ditemukan.
troversi di antara para pengrajin.
Meskipun demikian, secara khu-
Senada dengan kebijakan peme-
sus TBT yang yang telah diterapkan
rintah pusat, di Pekalongan terjadi
Pemerintah Indonesia dalam bentuk
fenomena yang sama dimana Wali-
kewajiban labelisasi batikmark “ba-
kota Pekalongan mengeluarkan Pera-
tik INDONESIA” baru sebatas kla-
turan Walikota Nomor 76 Tahun
sifikasi batik berdasarkan kategori
2012 tentang kewajiban pelekatan
batik tulis yang ditandai dengan
label batik mark “Batik Pekalongan”
warna emas, batik cap yang ditandai
dengan pelabelan warna yang me-
dengan warna perak, dan batik kom-
reduksi langsung dari prinsip batik-
binasi cap dan tulis yang ditandai
mark “BATIK INDONESIA” yakni
197
Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, Desember 2014
warna emas untuk batik tulis, warna
Peserta mengusulkan agar diterapkan
perak untuk batik cap, dan warna
persyaratan pelabelan identitas buda-
putih untuk batik kombinasi cap dan
ya pada produk batik yang akan
tulis. Pertanyaan mendasarnya ada-
masuk ke Indonesia maupun yang
lah bagaimana ketentuan pelabelan-
akan keluar dari Indonesia merupa-
nya apabila ekspor dilakukan atas
kan pilihan yang tepat sebagai bukti
batik yang berasal dari Pekalongan.
perhatian
Apakah perlu mencantumkan merek
maupun negara lain terhadap keper-
individu disertai merek kolektif
cayaan Unesco atas budaya takbenda
(Batik Pekalongan) dan disertai pula
yang dimiliki Indonesia. Pelabelan
dengan batikmark “BATIK INDO-
identitas tidak semata-mata hanya
NESIA”. Kontroversi tersebut masih
untuk memenuhi persyaratan teknis
terus bergulir di masyarakat.
perdagangan, tetapi lebih pada aspek
Pemerintah
Indonesia
Kebijakan pemerintah baik Peme-
filosofis tentang perdagangan berba-
rintah Pusat maupun Pemerintah
sis produk budaya itu sendiri. Me-
Daerah sebenarnya memiliki alasan
lalui pelabelan identitas budaya ini,
pembenar secara teoritis sebagaima-
batik yang sudah menjadi komoditas
na disebut dalam tabel 1 tentang
dalam perdagangan Internasional ti-
bentuk hambatan non tarif dengan
dak hanya dimaknai sebagai barang/
klasifikasi partisipasi pemerintah.
produk tetapi lebih pada pemaknaan
Meskipun demikian, partisipasi pe-
nilai yang terkandung di dalamnya,
merintah yang niat utamanya adalah
termasuk budaya dan asal-usul ma-
melindungi menjadi beban biaya
syarakat pembuatnya, dan pendi-
ekonomi tinggi bagi para pengrajin
dikan yang melekat padanya. Seba-
serta pengusaha batik.
gaimana praktik sosial di Indonesia,
Penelitian kami mencoba melaku-
motif batik dikenakan sesuai dengan
kan pengumpulan data primer de-
momen sosial misalnya pengantin,
ngan cara Focus Group Discussion
selamatan untuk bayi yang baru lahir,
yang melibatkan pengrajin batik,
selamatan untuk bayi yang baru
importir batik dari Australia, maha-
menapak tanah, acara seremonial
siswa, pengamat fashion yang ber-
tertentu, kematian dan momen sosial
langsung pada tanggal 26 Mei 2014.
lainnya. Harapannya, saat mengena-
198
Siti Zulaeka: Penerapan Technical Barrier
kan produk batik, pembeli tidak
nomenklatur yang berfungsi sebagai
terasing dari produk yang dipakainya
identitas sosial budaya yang otentik.
tersebut dan pembelipun memahami
Proses edifikasi diserahkan kepada
makna corak atau motif pakaian
para budayawan, seniman atau stake-
yang dikenakannya. Ketidakterasi-
holders yang menekuni kebudayaan.
ngan tersebut mendorong pembeli
Usul Aloui, terutama sekali terkait
untuk selalu memelihara batik de-
pengidentifikasian batik sangat sela-
ngan baik tidak memperlakukan se-
ras dengan pesan konvensi perlind-
perti produk barang yang lain yang
ungan budaya takbenda oleh UNES-
mengukuti
membuang
CO dimana pengidentifikasian me-
produk setelah usang. Berbanding
rupakan bagian dari upaya perlin-
terbalik dengan produk lain, semakin
dungan. Sedangkan labelling (pela-
lama batik dipakai, maka nilai
belan) dimaksudkan untuk menegas-
historisnya semakin tinggi. Pembeli
kan meskipun batik merupakan
memahami betul atas arti/makna
bagian yang tidak terpisahkan dari
motif, sejarah penciptaannya. Pen-
produk komoditas, namun esensi
jual dan pembeli tidak semata-mata
budaya tetap melekat sehingga se-
diperantarai oleh batik sebagai ko-
mua pihak yang terlibat dalam tran-
moditas tetapi mampu melakukan
saksi dengan sendirinya juga sedang
penyebaran nilai-nilai yang tidak
melakukan kontak budaya.
kebiasaan
hanya terbatas pada bangsa Indone-
Untuk menjamin kepastian hu-
sia akan tetapi telah merambah pada
kum, pelabelan identitas budaya
lingkungan dunia Internasional.
pada produk batik tersebut harus
Senyampang dengan ide pela-
dituangkan dalam produk hukum
belan atas batik, Alouis Nugroho
teknis misalnya Peraturan Menteri
(2005), salah satu cara yang arif
Perdagangan
untuk menyelamatkan batik yang
AG) Republik Indonesia. Peraturan
tidak bisa lepas dari kepentingan
ini merupakan salah satu bentuk
industri adalah melalui proses edifi-
persyaratan teknis atas persyaratan
kasi terhadap batik yakni sebuah
beredarnya produk batik, baik ke
mekanisme pengidentifikasian dan
maupun dari Indonesia dan diperke-
pelabelan terhadap batik sebagai
nankan dalam mekanisme perdaga-
(PERMENPERIND-
199
Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, Desember 2014
ngan Internasional. Analog dengan
atau untuk mencegah praktek yang
hambatan yang diberlakukan pada
merusak. Dilihat tujuannya, pertim-
produk makanan atau prouk pertani-
bangan sisi budaya pada produk
an serta produk perikanan karena
batik memang tidak mendapatkan
alasan kesehatan, keamanan maka-
pengaturan dalam persetujuan TBT.
nan untuk konsumsi manusia, alasan
Namun
keamanan lingkungan, batik yang
pendapat bahwa perlindungan mela-
merupakan salah satu komoditas
lui palabelan produk (hang tag) atas
budaya jaga harus mendapatkan
identitas budaya pada produk batik
proteksi agar kelestariannya terjaga.
memiliki dasar legalitas pada bentuk
Salah satu cara melestarikan batik, di
TBT yang berupa regulasi dan stan-
samping dari aspek ekonomi (batik
dar, khususnya persyaratan-persya-
bersifat tradabel atau sangat mudah
ratan label (labelling requirement).
untuk diperdagangkann) adalah pada
Mengacu pada tabel 1, batik bisa
aspek pemakaiannya secara rutin
mendapatkan perlindungan melalui
pada momen-momen sosial (aspek
standar dengan pelabelan juga pada
budaya) dan aspek keterterusannya
keleluasaan pemerintah untuk meng-
(sustaianability) pada generasi beri-
intervensi dalam kegiatan perdaga-
kutnya (aspek pendidikan). Mengacu
ngan melalui kebijakan meskipun hal
pada agreement on technical barrier
tersebut masih sangat jarang dilaku-
to trade WTO pada putaran Uruguay,
kan. Hal tersebut disebabkan karena
pada prinsipnya terdapat 2 (dua) hal
fokus utama perhatian para pihak
terkait hambatan yakni bentuk dan
dalam perdagangan Internasional
tujuan. Bentuk dari TBT mencakup
adalah pada alasan keselamatan,
regulasi dan standar termasuk di-
kesehatan, lingkungan, dan keaman-
dalamnya pengemasan produk, pene-
an pangan. Alasan tersebut juga
mpelan merek, persyaratan-persyara-
dikuatkan dengan partisipasi lang-
tan label, serta prosedur asesmen.
sung pemerintah dalam bidang per-
Sedangkan tujuan TBT adalah untuk
dagangan yang merupakan imple-
menjamin kualitas ekspor, mem-
mentasi dari NTB.
proteksi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan maupun tanaman
demikian,
peneliti
ber-
Menarik untuk dikaji karena salah satu
bentuk
partisipasi
tersebut
200
Siti Zulaeka: Penerapan Technical Barrier
adalah adanya kewajiban “kandu-
antarnegara. Menurut peneliti, pem-
ngan lokal”. Dalam praktik perda-
buatan peraturan antarnegara pemilik
gangan, kandungan lokal dimaknai
batik tentang kewajiban pelabelan
bahwa produk luar negeri yang akan
(hang tag) atas produk batik merupa-
dipasarkan di Indonesia harus meng-
kan pilihan yang paling tepat meng-
gunakan
lokal.
ingat beberapa negara di dunia ini
Dengan demikian, kandungan lokal
sama-sama memiliki batik. Pembua-
baru diterapkan terhadap produk
tan peraturan antarnegara menjadi
barang dan bukan pada sesuatu yang
pedoman bagi para negara yang
bersifat
bahan
kasat
material
mata
(intangible)
bersangkutan
dalam
melakukan
misalnya budaya dan adat istiadat.
perdagangan batik secara Internasi-
Peneliti
pemerintah
onal. Harapannya tidak ada negara
melalui Kementerian Perindustrian
yang melakukan praktik curang
dan Perdagangan dapat menafsirkan
dalam
kandungan lokal yang tidak terbatas
memiliki sikap yang sama yakni
pada produk barang.
sama-sama menjaga kelestarian batik
berpendapat,
Seirama dengan argumentasi tersebut serta didasarkan atas pertim-
perdagangan
batik
serta
masing-masing negara. Weren A. Keegan (2000) mengu-
bangan solusi dalam mensikapi ham-
tarakan
batan dalam perdagangan Interna-
perpanjangan tangan WTO adalah
sional, pendekatan penerapan ham-
persetujuan antarnegara tetapi secara
batan pada produk batik mendekati
fungsional merupakan bagian dari
bentuk hambatan yang ketiga yakni
ketertiban hukum domestik dari
across border measures. Alasannya,
setiap negara. Ia berlaku sebagai
dengan menganalogkan hambatan
suatu pertahanan yang dapat dibuat
dalam bentuk standar produk sama
sebagai referensi oleh pemerintah
dengan labelling produk, dalam hal
untuk membela diri terhadap tekanan
ini pelabelan (hang tag) atas identi-
kelompok. Dengan demikian, semua
tas budaya pada produk batik. Solusi
peserta dalam perdagangan Interna-
dalam
ini
sional harus menerapkan prinsip
terdapat 2 (dua) peluang yakni
perdagangan secara berimbang yakni
harmonisasi standar dan peraturan
melindungi kepentingan nasional
mensikapi
hambatan
bahwa
GATT
sebagai
201
Rechtidee Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, Desember 2014
dengan tidak mengabaikan bersikap
memenuhi 2 (dua) kriteria seka-
adil terhadap negara lain terutama
ligus yakni melindungi produk
untuk produk yang sejenis.
batik Indonesia dengan tetap tidak merugikan batik negara lain
Kesimpulan
yang akan dipasarkan di Indone-
Merujuk pada hasil penelitian ini
sia.
dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Berdasarkan
praktek
beberapa
Daftar Rujukan
negara, pelabelan (hang tag) iden-
Buku
titas budaya pada produk batik
Anonymus, (2012), Pendahuluan
merupakan pilihan yang tepat
Laporan WTO
sebagai bentuk penerapan halangan teknis perdagangan sepan-
Donald A. Ball dan Wendell H.Mc-
jang ditetapkan oleh negara yang
Culloch, (2000), International
bersangkutan serta didasarkan
Business, terjemahan oleh Syah-
atas perjanjian negara tersebut
rizal Noor, S.E.,M.B.A, Jakarta :
dengan negara lain yang meng-
Salemba Empat
ekspor batik dan sebaliknya. 2. Sebagai bentuk perlindungan atas
Haryo Aswicahyono, dkk, (2008)
batik maka Pemerintah Indonesia
Aspek Persaingan Usaha dalam
dalam hal ini Kementerian Perin-
Perundingan Kerjasama Ekono-
dustrian dan Perdagangan seba-
mi Bilateral
iknya merumuskan hambatan teknis dimaksud secara rinci dalam
H.S. Kartadjoemena, (2002), GATT
produk hukum dan menjadikan-
dan WTO, Sistem, Forum, dan
nya sebagai hambatan teknis bagi
Lembaga di Bidang Perdagangan
produk batik negara lain yang
Internasional, Jakarta : UIPress
akan dipasarkan di Indonesia maupun batik dari Indonsia yang
Huala Adolf, (2005), Hukum Perda-
akan dipasarkan di negara lain.
gangan Internasional, Jakarta :
Dengan demikian, hambatan tek-
PT. Rajawali Press
nis dalam perdagangan batik
Kementerian Perdagangan Republik
202
Siti Zulaeka: Penerapan Technical Barrier
Indonesia (2012), Evaluasi Ko-
media Komputindo
mitmen Penghindaran Kebijakan Proteksionis Di G20
Yayasan KADIN Indonesia, (2007), Pesona Batik, Warisan Budaya
Lia Amalia, (2007), Ekonomi Inter-
yang Mampu Menembus Ruang
nasional, Jakarta : Graha Ilmu
dan Waktu, Jakarta : Yayasan KADIN Indonesia
Nining Soesilo, (2010), Kilas Sejarah Dibalik Koleksi Batik Widaningsri Soesilo Soedarman di
Peraturan Perundang-undangan
Museum Batik Pekalongan, Ja-
The Results of the Uruguay Round of
karta : Penerbit Fakultas Ekonomi
Multilateral Trade Negotiations,
Universitas Indonesia
1994
Siti Nurhayati, dkk, (2013), Strategi
Undang-Undang Republik Indonesia
Perlindungan Batik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2000 tentang
melalui
Kebijakan
Perjanjian Internasional (Lem-
Harmony System Code Pasca
baran Negara Republik Indonesia
Pengukuhan Batik Sebagai Bu-
Tahun 2000 Nomor 185)
Formulasi
daya Takbenda Dunia (Intangible Culture
Heritage),
Penelitian
Hibah Bersaing
Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 74/ M-IND/PER/9/2007
tentang
Warren C. Keegan (1992), Global
Penggunaan Batikmark “batik
Marketing Manajemen, alih baha-
INDONESIA” pada batik buatan
sa oleh Susanto Budidharmo,
Indonesia.
Pemasaran Global, Jakarta : Elek-