60 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
PENERAPAN IKTIKAD BAIK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEREK DI LUAR PENGADILAN Oleh: Sunarya 5 Guru DPK di SMP Dharma Putra Tangerang
Abstract The author chose this issue background that, brand as one of the intellectual property, which serves as identification or distinguishing from other brands. Becouse of the important and high value of a brand for the owners, so it trigger as brand counterfeiting. Counterfeiting causes of dispute between the owner of the registered trademark and brand counterfeiters. Effort of dispute resolution more through the courts, that take a long time and huge costs, and produce a final decision that the seats the parties is a party wins and the loser. Very little dispute of brand resolved through non-litigation, which takes more quickly, cheaply and final decision,as desired by the parties of the dispute. From this background, the problem of research limited on how to settings a good faith in the laws, How to practice of the application of good faith in the disputes of brand resolution and any barriers and boost the application of good faith in disputes of brands resolution. This study uses research methods Juridical - Empirical, and the pressure on the juridical - normative, and qualitative analysis of the primary legal materials and secondary legal materials, which are collected through literature and through interviews. From the analysis of the legal material, authors obtain answers, that of the seven cases studied the solution tends to have not based on the good faith, five cases completed up to the judicial review level in the Supreme Court and two cases are resolved by negotiations to reach a peace outside the court. Keywords: Brand, Trademark Registration, good faith, disputes, outside the court Dispute Resolution, Alternative Dispute Resolution, Arbitration.
5
Sunarya, SH. S.Pd. MH adalah guru DPK di SMP Dharma Putra Tangerang. Email:
[email protected]
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 61
I.
PENDAHULUAN Merek sebenarnya telah lama dikenal oleh manusia, yaitu sejak manusia mulai memproduksi berbagai barang dan jasa, dimana merek digunakan sebagai tanda pembeda antara produk yang dihasilkan oleh seseorang atau badan hukum dengan produk yang dihasilkan oleh orang atau badan hukum lain. Dewasa ini dunia perdagangan dan industri maju dengan pesat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dibanyak negara. Ekspansi dan perluasan perusahaan dan industri banyak dilakukan oleh para pengusaha, dengan mencari dan menggarap lahan bisnis baru guna memenuhi tuntutan pasar yang semakin meningkat. Perkembangan ini memang dapat memberikan dampak yang positif, tidak saja bagi pengusaha namun juga bagi pemerintah dalam hal menaikkan pendapatan dari sektor pajak. Namun demikian, pada setiap perubahan dampak negatif dapat selalu terjadi, terlebih dalam dunia perdagangan yang tidak saja berskala nasional namun berskala internasional. Dampak negatif tersebut timbul ketika persaingan usaha tidak terelakan diantara para pengusaha. Pengusaha tentu saja menginginkan agar barang produksinya menjadi paling laku di pasaran. Persaingan usaha dapat terjadi atau dapat dilakukan dengan benar, namun persaingan usaha dapat dilakukan dengan melanggar peraturan perundang – undangan yang berlaku. Yaitu dengan cara curang, menggunakan jalan pintas dan dapat merugikan orang atau perusahaan lain. Menurut OK Saidin dalam persaingan usaha, peniruan, penjiplakan atau pembubuhan merek lain untuk barang hasil produksinya termasuk dalam
62 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
persaingan curang yaitu Persaingan yang dilakukan dengan cara yang tidak mengindahkan aturan hukum, norma sopan santun, norma sosial lain dalam lalu lintas perdagangan dan disebut juga persaingan tidak jujur yaitu peristiwa di mana seseorang untuk menarik para langganan orang lain kepada perusahaan dirinya sendiri atau demi perluasan penjualan omzet perusahaannya, menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran di dalam perdagangan. Tentu saja bagi perusahaan yang merasa dirugikan dapat melakukan gugatan atas perbuatan melawan hukum tersebut, maka terjadilah sengketa merek. Sengketa di bidang merek dapat diselesaikan di dalam pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di dalam pengadilan dilakukan di Pengadilan Niaga melalui pengajuan gugatan pembatalan merek terdaftar dan gugatan atas pelanggaran merek terdaftar. Apabila terjadi tindak pidana pelanggaran merek maka dapat diajukan tuntutan pidana merek pada Pengadilan Negeri. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan melalui arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. Perusahaan dapat memilih penyelesaian mana yang akan digunakan, apakah jalur litigasi yaitu melalui pengadilan atau jalur non litigasi yaitu melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa. Masing – masing jalur tentu saja memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun didalam penelitian ini, penulis akan memfokuskan pembahasan kepada penyelesaian sengketa merek berdasarkan Undang – undang no 15 tahun 2001 tentang Merek dan Undang – undang no 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 63
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang penerapan itikad baik dalam penyelesaian sengketa merek, penulis melakukan penelitian terhadap beberapa kasus sengketa merek antara lain kasus antara PT. Krakatau Steel dengan PT. Tobu Steel, yang memperkarakan merek KS-TI untuk barang baja tulangan beton dan dapat diselesaikan melalui penyelesaian non litigasi yaitu Alternatif Penyelesaian Sengketa dan kasus antara Forever 21 Inc. Dengan Hendro Wiyogo, yang dapat diselesaikan melalui kesepakatan damai diluar pengadilan. Secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil (Frans Hendra Winarta: p1-2). Namun selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (Rachmadi Usman.: p 8). Maka kembali kepada prinsip bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi adalah sebagai sarana akhir jika penyelesaian melalui jalur non litigasi tidak membuahkan hasil. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi (diluar pengadilan) memberikan keputusan yang final dan prosesnya cepat serta biaya murah. dan sebagaimana telah diatur dalam undang – undang no 30 tahun 1999 pasal 6, bahwa penyelesaian di luar pengadilan melalui alternatif
64 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
penyelesaian sengketa harus didasarkan kepada itikad baik (Widnyana, I Made: p18). Dari latar belakang di atas, maka yang mennjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan itikad baik di dalam praktek penyelesaian sengketa merek di luar pengadilan. Untuk itu secara khusus akan dibagi: 1) Bagaimanakah itikad baik itu diatur didalam peraturan perundang – undangan di Indonesia? 2) Bagaimana praktek penerapan itikad baik dalam penyelesaian sengketa merek? dan 3) Apa sajakah hambatan dan dorongan penerapan itikad baik dalam menyelesaikan sengketa?
II.
KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teori Jeremy Bentham (1748-1832), seorang penganut utilitarian . Utilitarianisme adalah suatu teori dari segi etika normatif yang menyatakan bahwa suatu tindakan yang patut adalah yang memaksimalkan penggunaan (utility), biasanya didefinisikan sebagai memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. "Utilitarianisme" berasal dari kata Latin utilis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory). Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna,
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 65
berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dari prinsip ini, tersusunlah teori tujuan perbuatan. Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Adapun maksimalnya adalah dengan memperbesar kegunaan, manfaat, dan keuntungan yang dihasilkan oleh perbuatan yang akan dilakukan. Perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan kebahagiaan daripada penderitaan, manfaat daripada kesiasiaan, keuntungan daripada kerugian, bagi sebagian besar orang. Dengan demikian, perbuatan manusia baik secara etis dan membawa dampak sebaikbaiknya bagi diri sendiri dan orang lain. Dengan pemikiran tersebut ia yang menggunakan pendekatan tersebut ke dalam kawasan hukum, yaitu sebagai berikut: 1. Bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendahrendahnya penderitaan; 2. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Dalam Hak Kekayaan Intelektual, Teori ini memperkenalkan pembatasan terhadap invensi yang dipatenkan oleh pihak lain selain pemegang hak. Negara harus
mengadopsi
beberapa
kebijakan
yang
dapat
memaksimalkan
kebahagiaan anggota masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut hukum paten
66 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
diarahkan sebagai sebuah insentif terhadap ciptaan, pengungkapan dan penyebaran teknologi maju yang dimiliki inventor kepada masyarakat luas.
2.2. TINJAUAN PUSTAKA 2.2.1. Hak Kekayaan Intelektual Hak Kekayaan Intelektual yang dalam bahasa inggris Intellectual Property Right adalah Hak Kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio yang menalar, dan hasil kerjanya itu berupa benda imateriil (tidak berwujud) seperti lagu dengan alunan nada, adalah hasil kerja otak. Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektual. Orang yang mampu mengoptimalkan kerja otaknya, mampu berpikir rasional, dan logis, orang – orang yang demikian termasuk dalam golongan kaum intelektual. Sehingga setiap hasil karya orang yang terkait dengan hasil kerja otak disebut dengan kekayaan intelektual, dan hak nya menempel kepada orang yang menghasilkan kerja otak tersebut (Saidin, OK: p10). Tidak semua orang mampu untuk memperkerjakan otak secara maksimal. Oleh karena itu tidak semua orang dapat menghasilkan Hak Kekayaan Inteletual. Maka Hak Kekayaan Intelektual itu bersifat eksklusif, hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak tersebut. Sehingga sebagai konsekuensi dari sifat Hak Kekayaan Inteletual yang eksklusif tersebut, maka setiap orang yang dapat melahirkan Hak Kekayaan Intelektual berhak untuk mendapat
perlindungan
hukum
dan
Pemerintah
wajib
memberikan
perlindungan hukum, dengan menerbitkan peraturan dan perundang undangan
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 67
terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual. Hak Kekayaan Intelektual juga diartikan sebagai hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau suatu proses yang berguna untuk manusia. 2.2.2. Merek Pada mulanya, istilah merek atau brand dalam Bahasa Inggris diambil dari kata brand (bahasa Old Norse) yang mengandung makna “to burn”, sementara dalam komunitas Skotlandia kuno, istilah merek bermakna “keep your hands off”. Hal ini mengacu pada praktik pengidentifikasian ternak pada zaman dahulu, yang sejatinya telah dimulai sejak tahun 2000 SM. Ini tercermin pula dalam salah satu definisi merek yang termuat dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English edisi tahun 2000: “tanda yang dibuat dengan logam panas, khususnya pada hewan ternak untuk menunjukkan siapa pemiliknya.” Dengan demikian, pada mulanya merek dipakai sebagai semacam pernyataan kepemilikan dan properti, yang hingga kini masih dipraktikkan dalam berbagai konteks, misalnya peternakan, industri balap kuda, karya seni (seperti dalam seni lukis dan seni rupa), dan bahkan bisnis (Casavera: p3). Sehingga merek dapat dikatakan sebagai hasil pemikiran manusia dengan kecerdasannya sehingga dapat menemukan atau menghasilkan sesuatu yang merupakan kekayaan intelektual. Oleh karena itu, merek sebagai hasil karya, karsa dan cipta seseorang atau badan tersebut sebagai bagian dari Hak seseorang atau badan yang disebut dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). 2
2
Nisa Ayu Spica, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Jasa Terkenal, Studi Kasus Waroeng Podjok dengan Warung Pojok, (jakarta, Tesis, UI, 2011) hal. 1.
68 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
Berkaitan dengan perlindungan merek, pemerintah Indonesia sebenarnya telah membutikan keingian yang kuat yaitu dengan menerbitkan Undang – undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek sebagai penyempurnaan terhadap undang – undang nomor 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan. Dengan mengundangkan undang – undang no 15 tahun 2001 tentang merek ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki keinginan yang kuat untuk memberikan perlindungan yang maksimal kepada pemilik hak atas merek yang beritikad baik, bahwa yang berhak atas merek adalah seseorang yang mendaftarkannya di Indonesia tetapi dengan itikad baik, jika pendaftaran dilakukan dengan itikad buruk, maka tidak dapat diberikan perlindungan (Sutrisno: p69), sehingga diharapkan dapat menekan sekecil – kecilnya kasus – kasus persaingan curang dalam dunia perdagangan terutama masalah merek tersebut. Merek memiliki fungsi : a.
Sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama – sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya.
b.
Sebagai alat promosi, sehingga dalam mempromosikan barang produksinya hanya dengan menyebut mereknya. Promosi (means of trade promotion) dan reklame bagi produsen atau pengusaha-pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa yang bersangkutan.
c.
Menunjukan asal barang / jasa yang dihasilkan.
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 69
d.
Sebagai jaminan atas mutu barang yang diproduksinya.yaitu sebagai jaminan nilai atau kualitas dari barang dan jasa yang bersangkutan. Hal ini tidak hanya berguna bagi produsen pemilik merek tersebut, tetapi juga memberikan perlindungan dan jaminan mutu barang kepada konsumen. 3
Jenis Merek Undang – undang no 15 tahun 2001 tentang Merek telah mengatur jenis – jenis merek menjadi Merek Dagang dan Merek Jasa sebagaimana telah dirumuskan pada pasal 1 Ayat (2) dan ayat (3). Pasal 1 ayat (2) merumuskan pengertian merek dagang. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama – sama atau badan hukum untuk membedakan barang – barang sejenis lainnya.Pasal 1 ayat (3) merumuskan pengeretian merek jasa. Merek Jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atai beberapa orang secara bersama – sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa – jasa sejenis lainnya. Syarat Merek Terdapat persyaratan yang secara mutlak harus dimiliki oleh setiap orang atau badan hukum yang akan menggunakan suatu tanda atau gambar atau tulisan yang akan digunakan sebagai merek, supaya tanda,gambar,tulisan tersebut dapat diterima sebagai merek dagang atau cap dagang. Syarat tersebut adalah bahwa tanda/gambar/tulisan tersebut harus memiliki daya pembeda yang cukup, dalam arti harus sedemikian rupa sehingga memiliki kekuatan yang dapat membedakan barang
3
Direktur Jendral HKI, 2006, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta, hal. 36
70 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
hasil produksi suatu perusahaan atau jasa dari produksi seseorang dengan barang atau jasa yang diproduksi oleh orang lain. Cara memperoleh Hak atas Merek Cara memperoleh hak atas merek sesuai dengan kaidah hukum di Indonesia terdapat 2 macam sistem yang dianut dalam pendaftaran merek yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif (atributif). Undang-undang merek No 15 tahun 2001 dalam sistem pendaftaran yang menganut sistem konstitutif sama dengan undang-undang sebelumnya yaitu undang undang no 19 tahun 1992 dan undang -undang nomor 14 tahun 1997, ini adalah perubahan yang mendasar dalam undang undang merek di Indonesia yang semula menganut sistem deklaratif yang telah diatur dengan undangundang no 21 tahun 1961. 4 III.Pengertian Itikad Baik Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata itikad diartikan sebagai maksud yang baik. Secara gramatikal saja, tanpa ditambah dengan kata – kata “baik”, kata “itikad” itu sendiri telah memiliki arti maksud yang baik. Maksud yang baik mengandung keteguhan jiwa bagi pelakunya untuk mengedepankan kemauan berbuat jujur, layak tanpa ada niat untuk melakukan perbuatan jahat. Sehingga kata itikad, terlebih ditambahkan kata baik dibelakangnya, memiliki arti yang sangat dalam, jika dikaitkan dengan kemauan, niat, hati seseorang yang hendak melakukan sebuah perbuatan hukum. Itikad baik merupakan ruh dalam memahami, melahirkan dan melaksanakan suatu perbuatan. 5 Didalam hukum, itikad baik diharapkan dapat menjadi landasan bagi setiap orang didalam melakukan perbuatan hukum, baik untuk 4
Miru Ahmadi, op.cit. hal. 2 Kolopaking, Anita DA., Asas Itikad Baik Dalam Penyelesian Sengketa Kontrak Melalui arbitrase, (Bandung, PT. Alumni, 2013) hal.vii.
5
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 71
melakukan suatu perjanjian, membuka atau memulai sebuah usaha, mendaftarkan hak atas kekayaan intlektual sampai kepada perbuatan untuk menyelesaikan sengketa. Dalam Black Law Dictionery, Itikad baik diartikan sebagai Kejujuran dalam keyakinan atau tujuan, tidak adanya niat menipu atau mencari keuntungan, ketaatan standar komersial yang wajar, adil dalam perdagangan tertentu atau kesetiaan kepada tugas seseorang atau kewajiban. 6 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata mempergunakan istilah itikad baik kedalam dua pengertian.Pengertian itikad baik yang pertama adalah dalam arti subyektif, didalam bahasa Indonesia, itikad baik dalam arti subyektif disebut kejujuran.Pengertian itikad baik dalam arti subyektif atau kejujuran terdapat dalam pasal
530
KUH Perdata
yang mengatur
mengenai
kedudukan
berkuasa
(bezit).Pengertian itikad baik dalam arti subyektif meruakan sikap batin suatu keadaan jiwa. Dalam hal ini itikad baik (kejujuran) dimaknai sebagai keinginan dalam hati sanubari pihak yang memegang atau menguasai barang pada waktu ia mulai menguasai barang itu bahwa syarat – syarat yang telah diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang tersebut telah dipenuhi, sehingga kejujuran dapat dikatakan bersifat statis. 7
6
Black Law Dictionery, good faith, n. (18c) A state of mind consisting in (1) honesty in belief or purpose, (2) faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of reaonable commercial standards of fair in dealing in given trade or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek unconscionable advantage. 7 Jenie, Siti Ismijati, Itikad Baik, Perkembangan Dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum Di Indonesia, (Yogyakarta, UGM, makalah 2007) hal 7
72 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
Itikad baik dalam arti kejujuran ini juga diatur didalam pasal 1386 KUH Perdata dalam pasal tersebut menentukan bahwa, “pembayaran yang dengan itikad baik dilakukan kepada seseorang yang memegang surat piutangnya adalah sah”. Pengertian
itikad
baik
yang
kedua
adalah
itikad
baik
dalam
arti
obyektif.Didalam bahasa Indonesia pengertian itikad baik dalam arti obyektif disebut pula dengan istilah kepatutan.Itikad baik dalam arti obyektif dirumuskan didalam ayat (3) pasal 1338 KUH Perdata yaitu : “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dalam arti kepatutan itu dipergunakan juga di dalam pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang undang. 8 Asas itikad baik tidak saja berlaku di dalam hukum perikatan atau hukum perdata saja tetapi berlaku pula di dalam bidang hukum lainnya misalnya hukum bisnis, hukum pajak, dan juga hukum agraria, yang merupakan hukum publik. Standar Itikad Baik Dalam Pendaftaran Merek Tidak terdapat standar yang jelas untuk mengukur penerapan itikad baik. Demikian pula penerapan standar itikad baik dalam pendaftaran merek. Namun, jika mengacu kepada pasal 530, pasal 1338, dan pasal 1339 KUH Perdata, terdapat 2 standar yang dapat digunakan dalam penerapan itikad baik. Itikad baik dalam arti subjektif.
8
Subekti, Pokok – Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Internusa, 1993) hal. 138.
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 73
Iktikad baik dalam arti subyektif mengacu kepada pasal 530 KUH Perdata, terkait dengan Bezit, maka itikad baik diartikan suatu keadaan jiwa atau sikap batin seseorang sejak awal pada waktu menguasai suatu barang sunguh – sungguh tidak mengetahui adanya cacat serta telah memenuhi segala persyaratan untuk menguasai atau memiliki suatu barang. Itikad baik dalam arti objektif Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, mengatur asas itikad baik dalam hal yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Pasal tersebut berbunyi “persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. 9 Dan Pasal 1339 KUH Perdata, menggunakan itikad baik dalam arti kepatutan, “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang – undang”. Itikad baik antara pasal 1338 dan pasal 1339 sebenarnya sama, yaitu itikad baik dalam arti obyektif, yaitu kepatutan atas kejujuran jiwa manusia yang terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dalam melaksanakan perjanjian. 10 Itikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Pasal 6 ayat (1) Undang- undang nomor 30 tahun 1999 menegaskan bahwa, Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Yang maksud itikad baik dalam pasal ini adalah bahwa dalam penyelesaian sengketa itikad baik 9
Soimin, Soedharyo, op. Cit. Hal. 332 Subekti, Op. Cit., hal. 140
10
74 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
merupakan salah satu prinsip yang dapat mencegah timbulnya sengketa lebih lanjut, sehingga hubungan baik para pihak dapat tetap terjaga. Itikad baik juga menjadi persyaratan yang harus dimaksukkan ke dalam klausul penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 11
Itikad baik dalam pasal ini dimaksudkan agar para pihak dengan kesungguhan dan niat didalam hatinya, memilih penyelesaian sengketa melalui perdamaian dan menutup rapat – rapat penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yang tentu saja harus diimbangi dengan sikap mental serta komunikasi yang baik sehingga tercipta suasana yang ramah dan penuh kekeluargaan. IV. Pengertian Sengketa Istilah sengketa berasal dari terjemahan bahasa inggris yaitu dispute sedangkan dalam bahasa belanda disebut dengan istilah geeding atau process. 12 Sementara itu penggunaan istilah sengketa itu sendiri belum ada kesatuan pandangan dari para ahli, ada ahli yang menggunakan istilah sengketa dan ada juga yang menggunakan istilah konflik kedua istilah itu seringkali digunakan oleh para ahli. Richard L. Abel melihat sengketa dari aspek ketidak cocokan atau ketidak sesuaian antara pihak tentang sesuatu yang bernilai sesuatu yang bernilai dimaknakan sebagai sesuatu yang mempunyai harga atau berharga uang.sehingga
11
Widnyana, I. Made, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, (Jakarta, Fikahati Aneska, 2014), hal. 292 12 Kolopaking, Anita DA., Asas Itikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak, (Jakarta, Alumni, 2013) hal. 8
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 75
Richard L.Abel mengartikan sengketa adalah pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak konsisten (inconsistent claim) terhadap sesuatu yang bernilai. 13 Sementara Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin melihat sengketa dari perbedaan kepentingan atau tidak dicapainya kesepakatan para pihak diartikan dengan perbedaan kepentingan adalah berlainanya keperluan atau kebutuhan dari masing masing pihak misalnya A sebagai salah satu ahli waris menginginkan bahwa rumah warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dijual sementara B tidak bisa, tidak menginginkan rumah itu dijual karena mengandung nilai nilai sejarah bagi keluarga. 14 Laura Nader dan Harry Jr mengartikan sengketa adalah keadaan bahwa sengketa tersebut dinyatakan dimuka atau dengan melibatkan pihak ketiga.Selanjutnya ia mengemukakan istilah pra sengketa dan sengketa alasan kita adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang Sengketa itu sendiri adalah keadaan ketika para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut. 15 Apapun yang menjadi pengertian sengketa jika dikaitkan dengan hati nurani manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, bahwa manusia selalu menginginkan perdamaian, tetapi kenyataannya dalam kehidupan sengketa kian terus terjadi.Hal ini karena adanya keinginan dan hal hal yang mengganggu kenyamanan seseorang sehingga tanpa disadari keinginan atau terganggunya kenyamanan seseorang itulah yang memicu terjadinya sengketa. Karena itu sengketa dapat
13
Ibid. Hal. 8 Kolopaking, Anita DA. Op.cit. hal. 9 15 Ibid. Hal. 9 14
76 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
dikatakan sebagai sesuatu yang membuat timbulnya ketidak nyamanan, tidak tercapainya keinginan yang diharapkan oleh seseorang tersebut. 16
Penyelesaian Sengketa Merek UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek telah memberikan ketentuan – ketentuan tentang penyelesian sengketa dibidang merek, upaya penyelesaian sengketa di bidangmerek dapat ditempuh melalui penyelesaian sengketa melalui jalurlitigasi, yaitu penyelesaian melalui lembaga pengadilan dan juga dapat ditempuh upaya penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi yaitu penyelesaian sengketa diluar pengadilan, seperti melalui alternatif penyelesaian sengketa ataupun arbitrase.
V. METODE PENELITIAN 5.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis – empiris, yaitu penelitian yang menggunakan peraturan perundang – undangan dengan tekanan pada yuridis normatif sebagai objek kajian, meliputi ketentuan – ketentuan perundang – undangan, serta penerapannya pada peristiwa hukum. Peraturan perundang – undangan dan peristiwa hukum yang dimaksud adalah yang terkait dengan penerapan itikad baik dalam penyelesaian sengketa merek. 17 Tipe penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif analitis ini berupa penggambaran terhadap pengaturan asas itikad 16
Ibid. hal. 10 Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (Lampung, Citra Aditya Bakti, 2004) hal. 201.
17
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 77
baik didalam peraturan perundang – undangan, kasus – kasus sengketa merek yang dapat diselesaikan di pengadilan serta faktor – faktor yang mendorong pelaksanaan itikad baik dalam penyelesaian sengketa merek sehingga mencapai perdamaian.
5.2. Sumber Data Sumber data yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian ini menggunakan sumber data primer dan data skunder. Sumber data terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang – undangan dan dokumen hukum. Bahan hukum skunder terdiri dari buku – buku hukum dan tulisan – tulisan hukum lainnya. Sedangkan data lainnya diperoleh dari hasil wawancara dengan Ka. Subdit. Pelayanan Hukum dan Ka. Subdit. Pemeriksaan Merek. Direktorat Merek, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Republik Indonesia
5.3. Teknik Pengumpulan Data Menyangkut pengumpulan data dilaksanakan dengan memilih bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian yang diajukan dengan prosedur sebagai berikut: Terhadap bahan hukum primer, sekunder dan tertier prosedur pengumpulannya dilakukan dengan menempatkan dalam kategorisasi sumber hukum dan kualifikasi hukum seperti bahan hukum menyangkut pengertian dan pengaturan asas itikad baik didalam peraturan perundang – undangan,
78 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
pengaturan pendaftan Hak atas Merek, mekanisme penyelesaian sengketa merek baik melalui litigasi maupun non litigasi. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan beberapa tahap yaitu pertama, menetapkan kriteria identifikasi untuk mengadakan seleksi norma hukum, kedua, melakukan koleksi norma – norma hukum, dan ketiga, mengorganisir norma – norma hukum ke dalam suatu sistem yang komprehensif. 18 Teknik untuk mengkaji dan mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tertier tersebut dengan menggunakan studi dokumenter. Studi dokumenter merupakan studi yang mengkaji tentang berbagai dokumen – dokumen, baik yang berkaitan dengan peraturan perundang – undangan maupun dokumen – dokumen yang telah ada. 19
5.4. Analisis Data Penelitian yang bersifat deskriptif analitis ini berupa penggambaran terhadap pengaturan asas itikad baik didalam peraturan perundang – undangan, praktek penerapan itikad baik dalam penyelesian sengketa merek, serta faktor – faktor yang menghambat dan yang mendorong penerapan itikad baik dalam penyelesaian sengketa merek sehingga mencapai perdamaian. Dari keseluruhan data yang diperoleh, baik bahan hukum primer, bahan hukum skunder maupun bahan hukum tertier, di analisis secara kualitatif dan diberikan penggambaran
18
Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta, Granit, 2004), hal. 92. HS. Salim dan Nurbani, ES, Penerapan Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2013, hal 19. 19
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 79
terkait dengan penerapan asas itikad baik didalam penyelesaian sengketa merek.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Pengaturan Itikad Baik dalam Peraturan dan Perundang – undangan di Indonesia. Itikad baik, merupakan salah satu asas hukum yang berlaku di Indonesia. Asas itikad baik disebut sebagai asas hukum khusus, karena pada awalnya hanya berlaku dalam hukum perdata saja, namun sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia, asas itikad baik tidak hanya berlaku dalam hukum perdata, namun pada bidang hukum lainnya, yang tentu saja diperlukan penyesuaian dalam penerapannya. 6.1.1. Pengaturan itikad baik dalam Undang – Undang nomor 15 tahun 2001 tentang Merek. Pasal 4 Undang – undang No 15 tahun 2001 tentang Merek telah menjelaskan “Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik”. Pasal 68 ayat (1) memperkuat maksud pasal 4, undang – undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek, dengan menegaskan bahwa, terhadap pendaftaran merek yang didaftarkan oleh pemohon yang beritikad tidak baik, maka pihak yang berkepentingan atau yang dirugikan dapat mengajukan gugatan pembatalan merek, dengan mengajukan permohonan ke Direktorat Jendral HKI, dan gugatan di ajukan melalui pengadilan Niaga.
80 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
6.1.2. Pengaturan itikad baik dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 530 KUH Perdata mengatur itikad baik dalam kaitannya dengan bezit yaitu kedudukan menguasai atau menikmati suatu barang yang ada dalam kekuasaan seseorang secara pribadi atau dengan perantara orang lain, seakan – akan barang itu miliknya sendiri. Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, mengatur asas itikad baik dalam hal yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Pasal tersebut berbunyi “persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Pasal 1339 KUH Perdata, menggunakan itikad baik dalam arti kepatutan, “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang – undang”. Itikad baik anatra pasal 1338 dan pasal 1339 sebenarnya sama, yaitu itikad baik dalam arti obyektif, yaitu kepatutan atas kejujuran jiwa manusia yang terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dalam melaksanakan perjanjian. 6.1.3. Pengaturan itikad baik dalam Undang – undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 6 ayat (1) Undang- undang nomor 30 tahun 1999 menegaskan bahwa, Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 81
6.1.4. Pengaturan itikad baik dalam Undang – undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal Pasal 71 Undang – Undang no 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal menegaskan bahwa Tidak satu Pihak pun dapat menjual Efek dalam Penawaran Umum, kecuali pembeli atau pemesan menyatakan dalam formulir pemesanan Efek bahwa pembeli atau pemesan telah menerima atau memperoleh kesempatan untuk membaca Prospektus berkenaan dengan Efek yang bersangkutan sebelum atau pada saat pemesanan dilakukan. 6.1.5. Pengaturan itikad baik dalam Undang – undang nomor 6 tahun 1983, dan perubahannya Undang – undang nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan Pasal 28 ayat (3) Undang – undang no 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undangundang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 menegaskan bahwa Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. 6.1.6. Pengaturan Itikad baik dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Pasal 24 ayat (2), Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, menyebutkan “Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat – alat pembuktian sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) pembekuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik
82 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
tentang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun / lebih secara berturut – turut oleh pemohon pendaftar dan pendahulu – pendahulunya dengan syarat: 20 a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah tersebut diperkuat oleh kesaksian orang – orang yang dapat dipercaya. b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
6.2. Praktek Penerapan Itikad Baik Dalam Penyelesiaan sengketa merek. Sesuai dengan kerangka pemikiran yang telah diuraikan pada halaman 9, dari 6 kasus sengketa merek yang di kaji, seluruhnya diselesaikan melalui Pengadilan Niaga, 5 kasus sengketa merek selesai pada tingkat Peninjauan Kembali, dan satu kasus sengketa merek masih berlanjut. Lima kasus sengketa merek yang dapat diselesaikan sampai dengan tingkat Peninjauan Kembali sebagai berikut: 1. AQUA melawan INDOQUA 21 Perkara gugatan antara Pt. Aqua Golden Mississippi Tbk, pemilik merek AQUA (Penggugat) melawan H.M. Mansyur Syaerozi pemilik merek INDOQUA (Tergugat), telah diputus terkahir dengan putusan Mahkamah Agung no 04 PK/N/HaKI/2004 tanggal 4 November 2001, dengan putusan menyatakan gugatan PT. Aqua Golden Mississippi Tbk tidak dapat diterima, 20 21
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, hal. 6. Mahkamah Agung, Putusan no 04 PK/N/HaKI/2004, tanggal 4 November 2001
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 83
H.M. Mansyur Syaerozi menjadi pihak yang menang dan PT. Aqua Golden Mississippi menjadi pihak yang kalah. 2. HOLLAND BAKERY melawan BAKERI HOLAN 22 Perkara gugatan antara PT. Mustika Citrarasa pemilik merek HOLLAND BAKERY melawan Drs. F.X.Y. Kiatanto S. Pemilik merek BAKERI HOLAN dan HOLLAND, telah diputus terakhir dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Maret 2004, nomor 010 PK/N/HaKI/2003. PT. Mustika Citrarasa menjadi pihak yang menang, dan F.X.Y. Kiatanto S. Menjadi pihak yang kalah. 3. 100 melawan GAGA 100 23 Sengketa antara Drs. Harry Sanusi pemilik merek 100 dan lukisan 100 melawan PT. Jakarana Tama pemilik merek GAGA 100 dan GAGA MIE 100. pada tingkat penijauan kembali PT. Jakarana Tama menjadi pihak yang menang sedangkan Drs. Harry Sanusi menjadi pihak yang kalah. 4. TOP 1 melawan MEGATOP 24 Kasus sengketa merek antara PT. Topindo Atlas Asia melawan PT. Lumasindo Perkasa ini, telah diputus terakhir dengan putusan Mahkamah Agung no. 014 PK/N/HaKI/2003 tanggal 6 Januari 2004. PT. Topindo Atlas Asia menjadi pihak yang menang dan PT. Lumasindo Perkasa menjadi pihak yang kalah. 5. Djajadi Djaja melawan PT. Indofood Sukses Makmur untuk merek – merek INDOMIE, CHIKI dan merek lainnya. 25 22
Mahkamah Agung, Putusan nomor 010 PK/N/HaKI/2003, tanggal 2 Maret 2004 Mahkamah Agung RI., Putusan no. 08 PK/N/HaKI/2004, 10 Npember 2004 24 Mahkamah Agung, Putusan no. 014 PK/N/HaKI/2003, tanggal 6 Januari 2004. 23
84 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
Perkara sengketa antara Djajadi Djaja pemilik awal merek – merek INDOMIE, CHIKI dan merek lainnya melawan PT. Indofood Sukses Makmur, pemilik merek – merek dimaksud berdasarkan akte jual beli saham no. 106 tanggal 20 Juli 1984 di hadapan notaris Julian Nimrod Siregar, SH. Dan pada tingkat Peninjauan Kembali, permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Djajadi Djaja, ditolak oleh Hakim peninjauan kembali Mahkamah Agung, pada tanggal 5 September 2005, dengan nomor 293 PK/Pdt./2003. PT. Indofood Sukses Makmur menjadi pihak yang menang dan Djajadi Djaja menjadi pihak yang kalah.
4.3. Hambatan penerapan itikad baik dalam penyelesaian sengketa merek. Dari uraian contoh kasus sengketa merek tersebut di atas, jelas bahwa seluruh kasus sengketa merek yang dijadikan contoh dalam penelitian ini pada awalnya diselesaikan melalui pengadilan niaga dan hanya dua kasus yang kemudian bersepakat melakukan perdamaian. Terdapat beberapa hambatan penerapan itikad baik dalam penyelesaian sengketa merek yaitu: 4.3.1. Hambatan yuridis. Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dapat dilakukan melalui Konsultasi, Konsiliasi, Negosiasi, Mediasi, dan Penilaian Ahli, mendapatkan porsi pembahasan yang sangat sedikit di dalam Undang – Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, hanya 2 pasal yaitu pasal 1 angka 10 dan pasal 6.
25
Mahkamah Agung, Putusan nomor 293 PK/Pdt./2003, tanggal 5 September 2005,
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 85
4.3.2. Hambatan budaya hukum Sampai saat ini masyarakat pada umumnya berpandangan bahwa sengketa hanya dapat diselesaikan melalui jalur Pengadilan, bahkan kalangan profesional hukumpun berpandangan yang sama, yaitu hanya terpaku memilih jalur litigasi dan melupakan jalur non litigasi dalam memberikan nasehat hukum kepada kliennya. 26 4.3.3. Hambatan psikologis Kurangnya kebesaran jiwa bagi peniru atau pemalsu merek terdaftar, ketika mendapat peringatan atau somasi oleh pemilik merek terdaftar, dengan tetap mempertahankan untuk terus menggunakan merek tersebut dalam usahanya. Sehingga gugatan kepada Pengadilan Niaga tidak dapat dihindarkan. Hal inilah yang menghambat penerapan itikad baik dalam upaya pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 4.3.4. Hambatan Edukasi Belum seluruh Perguruan Tinggi Hukum menawarkan mata pelajaran Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai mata kuliah wajib di dalam kurikulumnya, sehingga tidak seluruh mahasiswa dapat mendalaminya. Keadaan ini tentu saja memberikan dampak terhadap lambannya penggunaan jalur non litigasi sebagai alternatif terhadap penyelesaian sengketa. Dengan memasukkan Alternatif Penyelesian Sengketa ke dalam kurikulum sebagai mata kuliah wajib, maka mahasiswa lulusan fakultas hukum di masa yang akan
26
Widnyana, I Made, Alternatif Penyelesaian Snegketa dan Arbitrase, (Jakarta, Fikahati Aneska, 2014) hal. 45.
86 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
datang akan memiliki pengetahuan yang luas dalam ilmu hukum maupun ketrampilan dibindang litigasi dan non litigasi. 27
4.4. Faktor yang mendorong dilaksanakannya itikad baik dalam penyelesaian sengketa merek. 4.4.1. Faktor Psikologis. Bahwa para pihak telah menyatakan di dalam Akta Perjanjaian Perdamaian, sama – sama menginginkan penyelesaian perselisihan secara damai dan kekeluargaan. Secara Psikologis terdapat keikhlasan para pihak untuk segera mengakhiri perselisihan dengan melepaskan segala tuntutan dikemudian hari. 4.4.2. Faktor Ekonomi Di dalam pasal 1 ayat (1) Akta Perjanjian Perdamaian, sengketa antara PT. Tobu Indonesia Steel dan PT. Krakatau Steel, sebagaimana tinjauan di atas, tertulis bahwa para pihak menyatakan telah sama – sama mengalami kerugian. 4.4.3. Faktor Hukum Proses penyelesaian sengketa, sering kali menimbulkan sengketa – sengketa lainnya, yang masih terkait dengan persengketaan utamanya. Sebagaimana proses penyelesaian sengketa antara PT. Tobu Indonesia steel dengan PT. Krakatau Steel, sengketa utamanya adalah sengketa di bidang merek, yang di proses peradilannya melalui Pengadilan Niaga, pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
27
Widnyana, I Made, op. Cit. Hal. 25
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 87
Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa seluruh kasus sengketa merek yang diuji, penyelesaiannya dilakukan melalui litigasi di pengadilan yang menempatkan para pihak menjadi pihak kalah dan pihak yang menang. Walaupun pada akhirnya terdapat dua kasus yang dapat diselesaikan melalui perdamaian di luar pengadilan, namun masih lebih banyak sengketa merek yang diselesaikan melaluli pengadilan, hal ini belum memenuhi harapan dibuatnya peraturan perundang – undangan yang telah mencantumkan itikad baik di dalam pasal – pasalnya, sebagaimana diuraikan pada awal bab ini, bahwa itikad baik dapat menjadi dasar dalam melakukan perbuatan hukum dan penyelesaian sengketa, terlebih jika didasarkan kepada teori utilitarian, bahwa menurut teori Utilitarian tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan dan memberikan manfaat paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.3. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan tentang penerapan iktikad baik dalam penyelesaian sengketa merek di luar pengadilan, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Iktikad baik sebagai landasan untuk menyelesaikan sengketa merek melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur di dalam beberapa perundang – undangan di Indonesia yaitu UU No 15 Tahun 2001 tentang Merek pasal 4 dan pasal 68 ayat (1), KUH Perdata pasal 530, pasal 1338 ayat (3), dan pasal 1339,
88 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), UU No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal pasal 71, UU No 6 tahun 1983, dan perubahannya Undang – undang nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan pasal 28 ayat (3), hal ini menunjukkan bahwa iktikad baik telah menjadi asas hukum yang bersifat umum. Namun demikian walaupun iktikad baik telah diatur di dalam peraturan dan perundang – undangan tersebut di atas, pengertian dan sifat iktikad baik belum secara jelas dicantumkan di dalam peraturan dan perundang – undangan tersebut. 2.
Iktikad baik belum menjadi ruh bagi masyarakat baik dalam melakukan pendaftaran merek maupun dalam melakukan proses penyelesaian sengketa merek hal ini menunjuk kepada kasus – kasus sengketa merek yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, kecenderungan masyarakat di Indonesia dalam menyelesaikan sengketa merek lebih banyak melalui jalur pengadilan, yang mana proses ini sebenarnya bersifat memutus perkara saja, sehingga mendudukan para pihak menjadi pihak menang dan pihak yang kalah. Perdamaian yang dilakukan oleh PT. Krakatau Steel dan PT. Tobu Indonesia Steel, merupakan proses penyelesaian sengketa merek pertama yang melibatkan Ditjen. HKI, terjadi di Indonesia, yang patut di jadikan sebagai contoh bagi masyarakat di Indonesia bahwa berlandaskan iktikad baik sengketa merek yang terjadi dapat diselesaikan melalui perdamaian. Selesai dalam arti mengakhiri perselisihan dengan melepaskan segala tuntutan dikemudian hari,
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 89
dan mengembalikan hubungan, baik hubungan sosial dan hubunganhukum menjadi seperti semula. 3.
Faktor – faktor yang menghambat terhadap penerapan itikad baik dalam penyelesaian sengketa merek adalah Faktor Yuridis, Faktor Budaya Hukum, Faktor Edukasi dan Faktor Psikologis, yang berdampak langsung terhadap penerapak itikad baik dalam penyelesaian sengketa merek.
4.
Faktor – faktor yang mendorong dilakukannya penyelesaian sengketa merek berlandaskan iktikad baik menuju perdamaian adalah Faktor Psikologi, Faktor Ekonomi dan Faktor Hukum. Ketiga faktor tersebut yang mendorong antara pihak PT. Krakatau Steel dan PT. Tobu Indonesia Steel untuk sepakat melakukan perdamaian, mengakhiri perselisihan dengan melepaskan segala tuntutan dikemudian hari dalam bentuk apapun.
5.2. Saran 1.
Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama-sama. sehingga itikad baik menjadi landasan bagi setiap individu dalam melakukan setiap perbuatan hukum, termasuk di dalam menyelesaikan setiap sengketa, lebih mendahulukan penyelesaian diluar pengadilan, dan jalur pengadilan menjadi jalan terakhir penyelesaian sengketa.
2.
Melihat banyaknya kasus sengketa merek yang terjadi menunjukkan bahwa Iktikad baik belum dapat menjadi ruh baik di dalam pendaftaran merek
90 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
maupun di dalam penyelesaian sengketa bagi masyarakat. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara menyeluruh dan terus menerus, bahwa penerapan iktikad baik perlu diterapkan sejak melakukan pendaftaran merek sampai dengan penyelesaian sengketa dan penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan yaitu arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah penyelesaian sengketa yang murah, cepat dan final. 3.
UU No 15 tahun 2001 tentang Merek, UU no 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Peraturan perundang – undangan lainnya, walaupun telah mencantumkan klausul tentang iktikad baik di dalam pasal – pasalnya namun belum mencantumkan pengertian dan sifat iktikad baik itu sendiri. Pemerintah perlu melakukan pengaturan lebih lanjut tentang iktikad baik di dalam peraturan dan undang – undang tersebut, mengingat itikad baik menjadi syarat yang utama dan terpenting dalam pendaftaran sebuah merek.
4.
Seluruh Hakim yang menyidangkan perkara perdata agar dengan sungguh – sungguh mengusahakan perdamaian bagi para pihak, sampai dengan dintunjuknya Hakim yang bertindak sebagai fasilitator atau mediator dengan tugas membantu para pihak baik dari segi waktu, tempat dan mengumpulkan data dan argumentasi para pihak dalam rangka menuju kearah perdamaian yang diputuskan sendiri oleh para pihak, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
5.
Seringnya Direktorat Merek. Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, menjadi tergugat II dalam setiap perkara sengketa merek, maka sebaiknya Ditjen HKI lebih teliti dan lebih mendalam dalam melakukan pemeriksaan
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 91
terhadap
setiap pendaftaran merek yang diajukan. Dan juga tidak hanya
terbatas pada merek-merek di Indonesia saja, tetapi juga terhadap merek – merek terkenal luar negeri yang mungkin belum terdaftar di Indonesia. Hal ini untuk menghindari terjadinya sengketa merek dikemudian hari. 6.
Seluruh Perguruan Tinggi memasukkan mata pelajaran Alternatif Penyelesaian Sengketa menjadi mata kuiah wajib dalam kuriulumnya, agar setiap mahasiswa dapat lebih memahami dan mendalami materi Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan solusi penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang cepat, murah dan final, serta kemudian mensosialisasikannya kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Idrus. Bentuk – Bentuk Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Alternatif Dispute Resolution), Yamba, Mataram, 2013. Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2010. Aryani, Esti. Pelanggaran Hak Atas Merek Dan Mekanisme Penyelesaiannya Di Indonesi, Jurnal, Universitas Indonesia, Jakarta. Casavera, 15 Kasus Sengketa Merek Di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009. Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris) Darmodiharjo, Darji. Pokok – Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta 1999. Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perkembangannya Dalam Era Globalisasi, Bappenas, Jakarta. Fachrial, Tinjauan Yuridis Penerapan Prinsip Itikad Baik Dalam Sengketa Merek (Studi Kasus di Pengadilan Niaga Medan), Tesis, Sekolah Pascasarjana, universitas Sumatera Utara, Medan, 2006.
92 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
Gautama, Sudargo. Segi – Segi Hukum Hak Milik Intelektual, PT. Eresco, Bandung, 1990 Haq, Miftahul, Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian SengketaPembatalan Pendaftaran Merek BerdasarkanUndang – Undang No 15 tahun 2001 tentang Merek (Studi Kasus Pada putusan – putusan Pengadilan Niaga jakarta Pusat, Tesis, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2007. H. Ahmad Kamil dan M. Fauzan. Kaidah-kaidah hukum Yurisprudensi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. HS, Salim, Penerapan Teori Hukum pada Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2011. HS, Salim, Buku Kedua Penerapan Teori Hukum pada Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2014. Jamillah, Fitrotin, Stategi Penyelesaian Sengketa Bisnis, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2014. Jeti, Siti Ismijani, Iktikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum D Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2007. Kaloay, NRS, Fungsi Pendaftaran Merek Sebagai Upaya Menjamin Kepastian Hukum Bagi Pemegang Hak Eksklusif Atas Merek, Jurnal Vol. XIX, No. 2, Universitas Sam Ratulangi, Menado, Januari - Maret 2011. Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 Pengesahan Paris Convention For The Protection Of Industrial Property Dan Convention Establishing The World Intellectual Property Organization. Kolopaking, Anita DA, Asas Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Melalui Arbitrase, Almuni, Bandung, 2013. Mahaeni DK, MRR Tiyas, Pengadilan Niaga sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Merek, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 11 No. 2, Politeknik Negeri Semarang, Agustus 201. Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Lampung, 2004.
Penerapan Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Di Luar Pengadilan 93
Munandar Haris dan Sally Sitanggang. HaKI-Hak Kekayaan Intelektual. Penerbit Erlangga. Jakarta, 2008. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1993 Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1993 tentang Kelas Barang Atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek. Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1995 tentang Komisi Banding Merek. Priamsari, Putri Ayu RR, Penerapan Itikad Baik Sebagai Alasan Pembatalan Merek Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (di Tingkat Peninjauan Kembali), Universitas Diponegoro, Semarang, 2010. Putusan Pengadilan Tinggi Banten No. 57/PDT/2011/PT. BTN. Banding PT. Tobu Indonesia Steel melawan Direktorat Jendral HKI tergugat 1 dan PT. Krakatau Steel (Persero) tergugat 2. Putusan Mahkamah Agung No. 311/K/Pdt/2012, Kasasi Direktorat Jendral HKI dan PT. Karakatau Stell (Persero) pemohon 1 dan 2 melawan PT. Tobu Indonesia Steel. The Hague Agreement Concerning the International Deposit of industrial Design (London Act) Saidin, OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights, Rajawali Pers, Jakarta, 2004. Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta,1986. Supramono, Gatot, Menyelesaiakan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, Rinea Cipta, Jakarta, 2008. Sudargo Gautama. Hak Milik Intelektual dan Perjanjian Internasional, TRIPs, ATT, Putaran Uruguay (1994). PT. Citra Aditya Bakti. Bandung, 2001. Sutrisno dan Fauzul Uli W. Perlindungan Hukum Terhadap Pemilik Merek Terdaftar Di Indonesia (Tinjauan Yuridis UU. No. 15 tahun 2001), Liga Hukum Vol. 2, No. 1, FH. UPNV, Jawa Timur, Januari, 2010. Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights/TRIPS-WTO
94 PELITA Edisi XV Volume I Januari – Juni 2015
Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang Merek. Undang – Undang no 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Oorganisasi Perdagangan Dunia) Widnyana, I Made, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, Fikahati Aneska, Jakarta, 2014.