PENERAPAN FORMULASI SKEDUL SUHU DAN KELEMBABAN MENURUT TERAZAWA PADA PENGERINGAN KAYU MERANTI MERAH BERSORTIMEN RAAMHOUT Implementation of Terazawa’s Drying Schedule Formulation on Drying Process of Raamhout Sortiment Red Meranti Wood Yustinus Suranto1 dan Eko Teguh Prasetyo2 1)
Dosen Bagian Teknologi Hasil Hutan; email:
[email protected] 2) Alumus Bagian Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta ABSTRACT
Red meranti (Shorea spp) is one wood used as a raw material for building construction industry in the purpose for international markets. Processing of wood, especially in drying process, it has been done in modern dry kiln, but not yet accommodate the specific character of the timber and its specific dimension. This study aimed to compare the effect of the application of two kind of drying schedules, namely a drying schedule formulated according to Terazawa method and the drying schedule owned by wood industry, to the drying characteristic of Raamhout sortiment of red meranti wood. Red meranti logs comes from Buru island as many as 150 m3 was sawn tangentially to get Raamhout sortiment measuring 48 mm cm thick, 140 mm cm width and 4000 mm cm length. These sortiment were divided randomly and equally into two groups. The first group was dried in conventional dryers with the implementation of drying schedule owned by wood industry located in Makassar. The second group was dried in same dryers with the implementation drying schedule formulated according to the Terazawa method. Study on physical properties of wood, namely moisture content and specific gravity of wood were performed according to British Standards. Drying schedule formulation was done according to the Terazawa method. Both of these studies were done in the Wood Drying and Preservation Laboratory, Faculty of Forestry GMU. Study on drying process was carried out on 21 samples from each group. Observation parameters are drying speed, final moisture content, shrinkage and the defect intensities. The study on drying process was done in wood industry located at Makassar. The data were analyzed by One Way Test. The results showed that the initial moisture content was 51.71% and wood density was 0.61. Schedule drying owned by wood industry has temperature of 48.90 up to 82.2 oC and relative humidity of 80 up to 26%, while the drying schedule formulated by terazawa method has temperature of 47 up to 80oC and relative humidity of 90 up to 39% and coded as T4D2. The parameters determining the character of drying elaborated based on industrial drying schedule and Terazawa’s drying schedule subsequently were: the drying rate of 12.06 and 13.88% hour-1, the thick’s shrinkage of 4.34 and 4.24%, the width’s shrinkage of 3.54 and 3.25%, and the amount of tip crack of 1.81 and 1.00. Compared to industry’s drying schedule, Terazawa’s drying schedule produces drying process with a higher rate of drying, shorter duration of drying, smaller on thick and width shrinkages as well as the amount of tip crack. Clearly, that the Terazawa’s drying process was better than the industry’s drying process. Key words: Terazawa, drying schedule, red meranti, Raamhout sawn timber.
I.
PENDAHULUAN
Kayu meranti merah merupakan satu kayu kelompok kelas Dipterocarpaceae dari 260 jenis kayu unggulan digunakan sebagai bahan baku industri perkayuan penghasil bahan bangunan untuk perdagangan internasional (Anonimus, 2011). Kayu jenis ini dihasilkan dari hutan tropika Indonesia (Whitmore, 1975), khususnya dari Sumatera, Kalimantan dan Maluku (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Kayu meranti merah dihasilkan dari 22 spesies pohon, antara lain Shorea acuminata dan S. uliginosa. Berdasarkan berat jenisnya, kayu meranti merah dikelompokkan menjadi dua, yaitu meranti merah ringan yang berat jenisnya kurang dari 0,60 dan meranti merah berat yang berat jenisnya minimum 0,60. Sampai dengan kadar air 12%, penyusutan radial berkisar 2,0–3,5% dan tangensial 6,0-7,0% (Martawijaya dkk., 1981). Hutan hujan tropika di Indonesia, khususnya di P Sumatra, P. Kalimantan dan P. Sulawesi mengalami degradasi yang serius (Anonim, 2011a). Degradasi kondisi hutan di tiga pulau itu mengakibatkan pengurangan kemampuannya untuk menyediakan kayu meranti merah bagi industri perkayuan nasional, sehingga sebuah unit industri perkayuan yang berlokasi di Makassar juga mengalami kesulitan pengadaan Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar | 171
bahan baku. Ketika industri kayu ini diminta untuk menyediakan kayu meranti merah dengan spesifikasi sortimen raamhout yang memiliki dimensi tebal 48 mm, lebar 140 mm dan panjang 4000 mm dalam kondisi kering oven, industri tersebut membeli kayu meranti merah berupa balak yang berasal dari hutan di P. Buru. Dalam rangka menyediakan kayu meranti merah, industri kayu menggergaji balak kayu secara blambangan menjadi sortimen raamhout. Kayu ini dikeringkan di dalam tanur pengeringan konvensional yang dimilikinya sampai kadar air maksimal 12%. Di dalam proses pengeringannya, industri ini menerapkan skedul suhu dan kelembaban yang dimilikinya. Pengamatan terhadap proses pengeringannya menghasilkan dua realitas mengenai karakter pengeringan kayu. Pertama, pengeringan berlangsung sangat lama dan kadar air akhir tidak seragam. Kedua, kayu kering banyak mengalami cacat pengeringan. Pengeringan demikian merupakan karakter yang tidak berkualitas. Pengeringan kayu dinyatakan berkualitas bila (1) pengeringan berlangsung dengan durasi pendek, (2) kadar air akhir adalah seragam (3) penyusutan kayu relatif rendah, (4) kayu kering terbebas dari berbagai cacat pengeringan kayu (Gorisek and Straze, 2007). Mengingat bahwa pengeringan kayu dilaksanakan di dalam tanur pengering konvensional yang baru dan standar, maka karakter pengeringan kayu pada industri ini patut diduga disebabkan oleh penerapan skedul suhu dan kelembaban yang tidak tepat, yakni skedul suhu dan kelembaban itu tidak bersesuaian dengan karakter kayu yang dikeringkan. Dugaan ini didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa skedul suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas proses pengeringan kayu (Rasmussen, 1961) Penelitian ini dilakukan untuk mencapai dua tujuan. Pertama, menyusun skedul suhu dan kelembaban berdasarkan metode Terazawa bagi pengeringan kayu meranti merah bersortimen raamhout yang berasal dari P. Buru. Kedua, memperbandingkan kualitas proses pengeringan kayu antara pengeringan yang dilakukan berdasarkan skedul suhu dan kelembaban yang milik oleh industri dan pengeringan yang dilakukan berdasarkan skedul suhu dan kelembaban yang disusun menurut metode Terazawa. II. METODE PENELITIAN Bahan penelitian berupa kayu gelondong (balak) meranti merah yang didatangkan dari P. Buru dengan jumlah total 150 m3 oleh industri kayu di Makassar. Balak tersebut digergaji secara belambangan dengan menggunakan gergaji pita, sehingga diperoleh dua macam kayu gergajian, satu diantaranya adalah sortimen raamhout yang memiliki dimensi tebal 48 mm, lebar 140 mm dan panjang 4000 mm. Tiga buah sortimen raamhout yang sepenuhnya terdiri atas kayu teras dipilih secara random. Tiga sortimen ini difungsikan sebagai sampel untuk merumuskan skedul suhu dan kelembaban berdasarkan metode terazawa. Sortimen-sortimen raamhout yang lain dipilah menjadi dua kelompok yang bervolume sama. Kelompok pertama dikeringkan di dalam tanur pengering konvensional yang dioperasikan berdasarkan skedul suhu dan kelembaban milik industri. Kelompok kedua dikeringkan di dalam tanur pengering yang sama yang dioperasikan menurut skedul suhu dan kelembaban yang dirumuskan berdasarkan metode terazawa. Masing-masing sortimen raamhout terpilih secara random itu kemudian digergaji secara longitudinal pada setiap panjang 500 mm, sehingga diperoleh 8 potongan masing-masing berukuran panjang 500 mm, lebar 140 mm dan tebal 48 mm. Dua potongan yang berasal dari kedua ujung balak, yakni potongan pada bagian pangkal dan bagian ujung, dibuang untuk menghindarkan pengaruh perbedaan kadar air yang disebabkan oleh penguapan air melalui bagian ujung. Dengan demikian, diperoleh enam potongan sortimen dari masing-masing sample. Ke-6 potongan sortimen yang terakhir ini dibungkus plastik secara rapat. Aktivitas yang sama juga diterapkan kepada sampel kedua dan ketiga. Dengan demikian, terdapat tiga bungkusan kayu dan diangkut dari Makkasar menuju ke Laboratorium Pengeringan dan Pengawetan Kayu, Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Di dalam Laboratorium ini, bungkusan sampel pertama itu dibuka. Satu potong kayu dipilih secara random di antara 6 potongan yang ada, dan satu potongan terpilih inilah yang akan dijadikan obyek penelitian. Aktivitas yang dilakukan terhadap bungkusan sampel pertama juga diberlakukan terhadap bungkusan sampel kedua dan ketiga. Penelitian dilakukan terhadap sifat fisis dan sifat pengeringannya. Peralatan yang digunakan dalam penelitian imeliputi gergaji lingkar dan mesin pengetam. Selain itu, digunakan kaliper, oven bermerk Memmert, desikator, Timbangan digital analitis bermerk O’Hauss serta tanur pengering konvensional berkapasitas 75 m3 buatan Aluna Engineering.
172 | Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar
Untuk mendapatkan contoh uji bagi masing-masing aspek pada pengujian sifat fisika dan penentuan skedul suhu dan kelembaban, maka sebuah potongan terpilih sepanjang 500 mm kemudian dipotong-potong lagi menjadi tujuh potongan. Masing-masing potongan secara berurutan memiliki panjang (1) 110 mm, (2) 20 mm, (3) 20 mm, (4) 200 mm, (5) 20 mm, (6) 20 mm dan (7) 110 mm. Dua potongan masing-masing sepanjang 110 mm pada kedua bagian ujung ini, yakni potongan (1) dan (7), dibuang untuk menghindarkan pengaruh perbedaan kadar air yang disebabkan oleh penguapan air melalui bagian ujung. Dua buah potongan masing-masing sepanjang 20 mm, yakni potongan (2) dan (6), merupakan bagian yang digunakan untuk membuat contoh uji bagi pengukuran kadar air awal. Dua buah potongan berikutnya yang masingmasing sepanjang 20 mm, yakni potongan (3) dan (5), merupakan bagian yang digunakan untuk membuat contoh uji bagi pengukuran berat jenis. Sebuah potongan berukuran panjang 200 mm, yakni potongan ke-4, difungsikan sebagai bahan untuk membuat contoh uji pada pengujian pengeringan secara cepat dalam rangka merumuskan skedul pengeringan menurut terazawa. Potongan ke-4 ini diserut pada kedua permukaannya, digergaji secara longitudinal, sehingga mendapatkan contoh uji berukuran tebal 48 mm, lebar 140 mm dan panjang 200 mm. Setelah dipotong dan menjadi contoh uji, setiap contoh uji itu segera ditimbang. Pengujian Sifat Fisika Kayu Penentuan sifat fisika berupa kadar air, berat jenis dan penyusutan pada sampel-sampel itu dilakukan dari kondisinya yang basah menuju ke kondisi kering tanur. Penentuan sifat-sifat fisika kayu ini dilakukan berdasarkan metoda British Standard (BS) nomor 373 tahun 1957 dengan sedikit modifikasi. Pengujian Pengeringan secara Cepat dan Penyusunan Skedul Suhu dan Kelambaban Pengujian pengeringan secara cepat merupakan metoda empiris yang digunakan untuk menentukan skedul suhu dan kelembaban. Metode ini digunakan sebagai titik awal bagi penyusunan skedul suhu dan kelembaban dasar yang aktual dan tepat bagi kayu gergajian yang berasal dari spesies yang manapun (Terazawa, 1965). Prosedur bagi penerapan metoda Terazawa untuk menetapkan skedul suhu dan kelembaban terdiri atas beberapa langkah sebagai berikut: 1. Sampel berukuran tebal 48 mm, lebar 140 mm dan panjang 200 mm yang berasal dari potongan nomor 4, diletakkan di dalam oven bertenaga listrik yang diatur pada kondisi suhu 103 + 2oC. 2. Sampel ditimbang dan pemunculan serta perkembangan retak permukaan dan retak ujung diamati secara periodis setiap 2 jam selama proses pengeringannya sampai sampel itu mencapai kadar air yang konstan pada tingkat 1 persen. 3. Pada akhir proses pengeringan, sampel itu dihitung dan diukur jumlah retak permukaan dan retak ujung (sebagai Cacat 1), juga cacat deformasi (sebagai Cacat 2). Sampel ini kemudian dipotong tepat pada bagian tengah dalam arah longitudinalnya untuk mengetahui dan mengukur retak-dalam atau honeycomb (sebagai Cacat 3). Penetapan tingkat kerusakan bagi masing-masing jenis cacat ini didasarkan pada jumlah dan ukuran cacat yang terjadi pada permukaan kayu dalam kondisi kering mutlak. 4. Tingkat cacat kemudian ditentukan dan diperingkat berdasarkan sekala nilai yang berkisar antara 1 sampai dengan 8 bagi cacat retak permukaan dan ujung (cacat 1) dan juga bagi cacat deformasi (cacat 2), dan antara 1 sampai dengan 6 bagi cacat retak-dalam (cacat 3). Penentuan itu didasarkan pada tabel yang ditetapkan oleh Terguson pada tahun 1951 (Terazawa, 1965). Nilai pada pemeringkatan ini diartikan bahwa semakin rendah nilainya, maka semakin rendah (sedikit) pula cacat yang terjadi, atau sebaliknya, semakin tinggi nilai pada peringkat ini, maka semakin tinggi (banyak) pula cacat yang terjadi. 5. Berdasarkan pada dua hal, yaitu hasil pemeringkatan di atas dan tabel termometer suhu bola kering (TSBK) dan tabel depresi suhu bola basah (DSBB) sebagaimana disajikan pada manual Forest Product Laboratory (Rasmussen, 1961), ditentukanlah suhu minimum dan maksimum termometer suhu bola kering serta depresi suhu bola basah bagi kayu-gergajian dari spesies tertentu. Kedua hal itu, yaitu suhu minimum dan suhu maksimum serta depresi suhu bola basah, pada gilirannnya dijadikan dasar yang berguna untuk menyusun skedul suhu dan kelembaban yang sesuai bagi kayu meranti merah. Komparasi Karakteristik Pengeringan Kayu di dalam Tanur Komparasi karakteristik pengeringan kayu dimaksudkan untuk membandingkan antara karakter kayu yang dihasilkan dari proses pengeringan di dalam tanur pengering yang dilaksanakan berdasarkan skedul
Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar | 173
suhu dan kelembaban Terazawa dan yang dilaksanakan berdasarkan skedul suhu dan kelembaban milik Industri. Karakter pengeringan dilihat dari beberapa parameter, yaitu (1) laju pengeringan, (2) kadar air akhir, (3) penyusutan, (4) cacat deformasi, (5) cacat retak-permukaan, (6) cacat retak-dalam. Skedul suhu dan kelembaban Terazawa merupakan skedul yang dihasilkan dari penelitian ini, sedangkan skedul suhu dan kelembaban industri diperoleh dari industri. . III. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisika Kayu Sifaf fisika sampel kayu meranti merah disajikan di dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1. Sifat fisika kayu meranti merah Sampel 1 2 3 Rata-rata
Kadar air (%) 53,10 49,53 52,49 51,71
Berat Jenis 0,61 0,61 0,60 0,61
Tabel 1 memperlihatkan hasil sebagai berikut. Nilai kadar air rata-rata adalah 51,71 %. Nilai berat jenis rata-rata adalah 0,61. Berdasarkan nilai kadar airnya, kayu ini dapat dinyatakan masih dalam kondisi basah, tetapi bukan dalam kondisi segar. Berdasarkan berat jenisnya, kayu ini tergolong dalam kayu meranti merah berat, karena berat jenisnya lebih dari 0,60. Pengujian Pengeringan secara Cepat Hasil penelitian mengenai pengeringan secara cepat disajikan sebagai berikut: Status dan klasifikasi cacat Jenis dan peringkat cacat pada sampel pengujian pengeringan, baik berupa retak - pecah - terbelah ujung, deformasi dan retak-dalam disajika pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Intensitas cacat pengeringan dan peringkatnya Retak awal (retak-pecahDeformasi terbelah ujung-permukaan) Sampel Jumlah Peringkat Dimensi (mm) Peringkat Terbelah 1 7 0,76 4 1 Pecah 4 Retak >10 7 0,85 5 2 Pecah 3 Retak 8 7 0,73 4 3 Pecah 6 Rata-rata 7 0,78 4,33
Retak-dalam Jumlah utama 2
Peringkat 3
utama 1, minor 5 minor 8
4 4 3,67
Berdasarkan keberadaan cacat tersebut, maka sampel pengujian pengeringan diklasifikasikan sebagai peringkat 7 dalam hal retak awal, peringkat 4,33 (5) dalam hal deformasi dan peringkat 3,67 (4) dalam hal retak-dalam. Penetapan suhu awal, depresi suhu bola basah dan suhu akhir Berdasarkan hasil pengklasifikasian di atas, dapat ditentukan suhu minimum, suhu maksimum dan depresi suhu bola basah pada awal dan akhir proses pengeringan. Penentuan dilakukan mengikuti acuan dibuat Terazawa (1965) sebagaimana tersaji pada Tabel 3 berikut.
174 | Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar
Tabel 3. Hubungan antara jenis cacat dan suhu awal, depresi dan suhu akhir Tingkat cacat Variasi cacat Kondisi pengeringan (oC) 1 2 3 4 5 Retak awal Suhu awal 70 65 60 55 53 Depresi suhu bola basah 6,5 5,5 4,3 3,6 3,0 Suhu akhir 95 90 85 83 82 Deformasi Suhu awal 70 66 58 54 50 Depresi suhu bola basah 6,5 6,0 4,7 4,0 3,6 Suhu akhir 93 88 83 80 77 Retak-dalam Suhu awal 70 55 50 49 48 Depresi suhu bola basah 6,5 4,5 3,8 3,3 3,0 Suhu akhir 95 83 77 73 71
6 50 2,3 81 49 3,3 75 45 2,5 70
7 47 2,0 80 48 2,8 73 -
8 45 1,8 79 47 2,5 70 -
Berdasarkan Tabel 3 di atas, dengan retak awal yang tergolong kelas 7, maka suhu awal dan depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 47oC dan 2,0oC serta 80oC. Berdasarkan deformasi yang tergolong kelas 5, maka suhu awal dan depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 50 oC dan 3,6oC serta 77oC. Berdasarkan retak-dalam yang tergolong kelas 4, maka suhu awal dan depresi suhu bola basah serta suhu akhir secara berurutan adalah 49oC dan 3,3oC serta 73oC. Dengan memperbandingkan kelompok angka pada masing-masing peringkat itu, maka aspek cacat retak-awal merupakan angka yang paling aman karena kondisi pengeringan yang paling ringan. Dengan alasan itu, aspek cacat retak-awal dipilih sebagai penentu. Oleh karena itu, maka suhu awal 47 oC dan depresi suhu bola basah 2,0oC serta suhu akhir 80oC dipilih sebagai kondisi proses pengeringan. Penentuan kadar air pada setiap langkah proses pengeringan. Nilai kadar air awal rata-rata sampel adalah 51,71%. Berdasarkan klasifikasi kadar air pada Tabel 4 (Terazawa, 1965), kadar air awal 51,71% berkonsekuensi terpilihnya kolom B sebagai penyusun skedul suhu dan kelembaban, dengan langkah penurunan adalah: 50-35; 35-32; 32-29; 29-26; 26-23; 23-20; 20-18; 1816; 16-14; 14-12; dan < 12%. Tabel 4. Klasifikasi kadar air dan langkah perubahannya Klasifikasi kadar air berdasarkan kadar air awal (%) Langkah A B C D E F G 1 40-30 50-35 60-40 80-50 100-60 120-68 140-75 2 30-28 35-32 40-35 50-43 60-47 68-55 75-60 3 28-26 32-29 35-31 43-36 47-40 55-45 60-45 4 26-24 29-26 31-27 36-30 40-34 45-38 45-38 5 24-22 26-23 27-24 30-25 34-29 38-32 38-32 6 22-20 23-20 24-21 25-21 29-24 32-27 32-27 7 20-18 20-18 21-18 21-18 24-20 27-22 27-22 8 18-16 18-16 18-16 18-16 20-16 22-18 22-18 9 16-14 16-14 16-14 16-14 16-14 18-14 18-14 10 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 14-12 11 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12 < 12
H I 170-90 220-110 90-70 110-80 70-55 80-65 55-45 65-50 45-35 50-40 35-27 40-32 27-22 32-25 22-18 25-20 18-14 20-15 14-12 15-12 < 12 < 12
Penentuan depresi suhu bola basah Berdasarkan tebalnya sebesar 4,8 cm, maka kayu tergolong papan tebal, sehingga dipilih Bagan D diantara bagan A, B dan C. Bagan A diperuntukkan bagi kayu daun berkerapatan sedang yang berupa papan tipis, Bagan B bagi kayu daun berkerapatan tinggi berupa papan tipis, dan Bagan C diperuntukkan bagi kayu jarum, sedangkan Bagan D bagi kayu daun berupa papan tebal (Terazawa, 1965). Menurut Terazawa (1965), Bagan D sebagai acuan memilih depresi suhu bola basah disajikan pada Tabel 5 berikut.
Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar | 175
Tabel 5. Klasifikasi depresi suhu bola basah dan langkah perubahannya Klasifikasi depresi duhu bola basah (oC) Langkah 1 2 3 4 5 6 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 2 2 2,5 3 3,5 4,5 5,5 3 2,5 3 3,5 4,5 6 7 4 3 3,5 4,5 6 8 9 5 3,5 4,5 6 8 10 11 6 4,5 6 8 10 12 13 7 6 8 10 12 14 16 8 8 10 13 15 17 20 9 10 12 18 20 20 20-25 10 12 15 20 20 20-25 20-25 11 15 20 20-25 20-25 20-25 25-30
7 5 6,5 8,5 11 13 16 20 25 25-30 25-30 25-30
8 7 9 11 13 16 20 25 25 25-30 25-30 25-30
Depresi suhu bola basah pada tahap awal adalah 2,0 oC, sehingga Bagan D pada kolom 2 terpilih sebagai jalur perubahan depresi. Penampilan langkah-langkah perubahan depresi suhu bola basah pada kolom 2 sebagai berikut: 2, 2,5; 3, 3,5, 4,5, 6, 8; 10; 12, 15, 20; masing-masing dalam satuan oC. Penentuan perubahan suhu selama proses pengeringan. Berdasarkan sampel pengeringan, diperoleh suhu awal pada termometer bola kering adalah 47 oC dan suhu akhir adalah 80 oC. Untuk menentukan perubahan suhu selama proses pengeringan, diperlukan klasifikasi suhu awal dan perubahannya selama pengeringan yang dibuat oleh Terazawa (1965) sebagaimana disajikan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Klasifikasi suhu awal dan langkah perubahannya. Klasifikasi suhu awal (oC) dan perubahannya selama pengeringan Perubahan kadar air (%) T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 Segar-40 35 40 45 50 55 60 65 70 80 85 40-35 35 40 45 50 55 60 65 70 85 90 35-30 35 40 45 50 58 65 70 75 90 100 30-25 35 43 48 55 63 70 75 80 95 110 25-20 38 48 53 60 68 75 80 85 100 120 20-15 40 53 58 65 70 80 85 95 110 120 15-12 45 60 65 70-80 70-80 80-90 85-90 105 120 120 < 12 55 60 65 70-80 70-80 80-90 85-90 105 120 120 Berdasarkan klasifikasi suhu pada Tabel 6 di atas, maka wilayah suhu antara suhu awal 47 oC dan akhir 80oC ini berkonsekuensi pada pemilihan kolom suhu T4 untuk mengekspresikan perubahan suhu selama proses pengeringan. Dengan sedikit modifikasi, Langkah-langkah perubahan suhu ini sebagai berikut: 47, 50, 50, 55, 60, 65, 70, 75, 80, 80. Perumusan skedul suhu dan kelembaban. Berdasarkan beberapa kriteria sebagaimana disajikan di atas, skedul suhu dan kelembaban dasar bagi kayu meranti merah yang berdimensi tebal 4,8 cm dan lebar 14 cm dapat dirumuskan dengan kode T4D2. Dibantu dengan tabel kelembaban relatif yang disajikan oleh Bollmann (1977), penampilan skedul suhu dan kelembaban T4D2 ini disajikan pada Tabel 7 berikut.
176 | Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar
Tabel 7. Skedul suhu dan kelembaban berkode T4D2 Kadar air Suhu termometer Depresi suhu termometer Langkah (%) bola kering (oC) bola basah (oC) 1 80-50 47 2 2 50-43 47 2,5 3 43-36 47 3 4 36-30 47 3,5 5 30-25 50 4,5 6 25-21 58 6 7 21-18 64 8 8 18-16 66 10 9 16-14 71 12 10 14-12 76 15 11 < 12 80 20
Suhu termometer bola basah (oC) 45 44 44 43 46 52 56 56 59 61 60
Kelemban relatif (%) 90 87 84 81 76 73 66 61 55 48 39
Pembandingan Karakteristik Pengeringan Kayu dan Analisis Hasil Pembandingan karakter pengeringan kayu dilakukan dengan mengkomparasikan hasil pengeringan skedul suhu dan kelembaban menurut Terazawa tersaji pada Tabel 7 dan skedul suhu dan kelembaban industri yang tersaji pada Tabel 8. Ada 23 parameter untuk mengamati Karakter pengeringan. Hasil pengamatana dianalisis dengan menggunakan Uji Eka Arah. Hasilnya disajikan pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 8. Skedul suhu dan kelembaban milik industri kayu Kadar air Suhu termometer Depresi suhu termometer Langkah (%) bola kering (oC) bola basah (oC) 1 > 50 48,9 3,9 2 50 – 40 48,9 5,6 3 40 – 35 48,9 8,3 4 35 – 30 48,9 13,9 5 30 – 25 54,4 22,2 6 25 – 20 60 27,8 7 20 – 15 65,6 27,8 8 < 15 82,2 27,8
Suhu termometer bola basah (oC) 45 43,3 40,6 35 32,2 32,2 37,8 54,4
Kelemban relatif (%) 80 72 61 41 22 15 19 26
Dari Tabel 9 terlihat empat fakta karakteristik peneringan sebagai berikut. Pertama, laju pengeringan pada skedul terazawa (13,88 %/jam) lebih tinggi secara sangat signifikan daripada pada skedul industri (12,06 %/jam), sehingga pengeringan dengan skedul Terazawa berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan skedul industri. Dengan demikian, pengeringan berbasis terazawa sudah tentu lebih berhemat dalam hal durasi waktu pengeringan, energi dan beaya pengeringan. Kedua, kadar air akhir pengeringan pada skedul terazawa (8,03%) lebih rendah secara signifikan daripada pada skedul industri (8,30%). Meskipun demikian, keduanya masih memenuhi kriteria baku mutu karena nilainya kurang dari ketentuan 12%. Ketiga, parameter penyusutan tebal lebih rendah secara sangat signifikan dan penyusutan arah lebar kayu lebih rendah secara signifikan pada pengeringan skedul terazawa dibandingkan pada skedul industri, sedangkan penyusutan arah panjang tidak berbeda secara nyata. Dengan demikian, volume kayu kering pengeringan skedul terazawa lebih tinggi daripada skedul industri. Keempat, semua parameter tentang tingkat kerusakan kayu akibat proses pengeringan dengan skedul Terazawa lebih rendah daripada skedul industri, baik kerusakan dalam bentuk deformasi, retak, pecah maupun terbelah. Dengan demikian, kualitas kayu kering hasil pengeringan skedul terazawa lebih tinggi daripada skedul industri. Berdasarkan keempat fakta di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengeringan dengan skedul Terazawa menghasilkan pengeringan dengan: durasi waktu yang lebih pendek, lebih hemat energi dan beaya pengeringan, penyusutan yang lebih rendah, dan intensitas cacat kayu kering yang lebih rendah pula dibandingkan dengan pengeringan dengan skedul industri. Dengan demikian, karakterisitik pengeringan kayu meranti merah yang dilakukan dengan penerapan skedul Terazawa lebih baik dibandingkan dengan penerapan skedul industri.
Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar | 177
Tabel 9. Karakteristik proses pengeringan dan hasil analisis Skedul suhu dan kelembaban No. Parameter Industri Terazawa 1 Laju pengeringan (%/jam) 12,06 13,88 2 Kadar air akhir (%) 8,30 8,03 3 Penyusutan tebal (%) 4,343 4,243 4 Penyusutan lebar (%) 3,536 3,245 5 Penyusutan panjang (%) 0,302 0,324 6 Jumlah cacat membusur 13 10 7 Besar pembusuran 0,0071 0,0041 8 Jumlah cacat memangkok 15 16 9 Besar pemangkokan 0,0111 0,00119 10 Jumlah cacat melekuk 11 9 11 Besar pelekukan 0,0013 0,0009 12 Jumlah cacat mengintan (o) 11 10 13 Besar cacat mengintan 0,86 0,67 14 Jumlah retak ujung 1,81 1,00 15 Rata-rata panjang retak ujung (mm) 26,4 13,17 16 Retak terpanjang retak ujung (mm) 30,30 14,76 17 Total panjang retak ujung (mm) 56,64 23,47 18 Jumlah retak permukaan 1,19 0,81 19 Rata-rata panjang retak permukaan (mm) 13,31 10,48 20 Retak terpanjang retak permukaan (mm) 15,73 14,13 21 Total panjang retak permukaan (mm) 26,59 23,92 22 Jumlah retak dalam 1,86 1,14 23 Rata-rata panjang retak dalam (mm) 16,82 11,14
Hasil analisis SS S SS S NS NS S NS S NS NS NS NS SS SS SS SS S S NS S S S
IV. KESIMPULAN Beberapa butir kesimpulan disjaikan sebagai berikut. Pertama, kayu meranti merah berkadar air awal 51,71 % dan berat jenis 0,61. Kedua, skedul suhu dan kelembaban berbasis Terazawa dirumuskan dengan kode T4D2, dengan wilayah suhu 47- 80oC, dan kelembaban 90 – 39%. Ketiga, laju pengeringan pada skedul terazawa (13,88 %/jam) lebih tinggi secara signifikan daripada pada skedul industri (12,06 %/jam). Keempat, penyusutan tebal (4,243%) dan lebar (3,245%) pada pengeringan skedul terazawa lebih rendah daripada skedul industri, yakni penyusutan tebal 4,343% dan lebar 3,536%. Kelima, kualitas kayu kering pengeringan Terazawa lebih tinggi daripada kualitas pengeringan skedul industri. Keenam, karakteristik pengeringan dengan skedul terazawa lebih baik daripada pengeringan dengan skedul industri. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 1957. British Standard (BS) nomor 373 Methods of Testing Small Clear Specimen of Timber, London. Anonimus, 2011. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kayu_di_Indonesia. Diunduh pada 15 September 2011. Anonimus, 2011a. Degradasi Hutan Tropis di Indonesia. http://pdf.wri.org/indoforest_chap3_id.pdf. Diunduh pada 15 September 2011. Bollmann, 1977. Manual for Technical Drying of Timber. Ludwig Bolmann Kg. Maschinenfabrik. Rielasingen. West Germany. Gorisek, Z. dan Straze A., 2007. Influence of wood Drying Technique and Process Condition on Drying Quality of Beech Wood (Fagus silvatica L). Conference on Quality Control For Competitivenes of Wood Industries. Warsaw, 15 – 17 Oktober 2010. Diunduh pada 13 Agustus 2012 dari http://www.coste53.net/downloads/Warsaw/Warsaw-presentation/COSTE53-ConferenceWarsawPresentation-Gorisek.pdf.
178 | Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar
Martawijaya, S., Kartasujana, I., Kadir, K., Suwanda A.P., 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Direktur Jenderal Kehutanan. Bogor. Rasmussen EF. 1961. Dry Kiln, Operator’s Manual. U.S. Department of Agriculture Handbook, 188. Soerianegara I dan A. Indrawan. 2005. Ekosistem Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Terazawa S. 1965. An Easy Method for the Determination of Wood Drying Schedule. Wood Industry Japan. Whitmore, T.C. 1975. Tropical Rain Forest of Far- East. Oxford Univ. Press. New York.
Seminar Nasional Mapeki XV (6-7 November 2012), Makassar | 179