PENENTUAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH MENGGUNAKAN ANALISIS LOCATION QUOTIENTS (LQ) (Studi kasus: Pemerintah Daerah Kota Bekasi)
Kurniawati Mulyanti
ABSTRAK Regional economic development can be considered as a plan to improve useness of public resources which is available in that regional and to improve private sector capacity on creating accountable resources value. This study purposes to examine which economic sector that can be developed to be competitive sector. Result of this study shows that industrial sector is the biggest contributor for Domestic Regional Bruto for about 46% at 2007. Using Location Quotient Analysis(LQ), Building and construction sector, trade sector, hotel and restaurant sector and transportation and communication sector have LQ’s value > 1. It means this three sectors are base sector that potential to be competitive sectors in Kota Bekasi. Keywords: Regional Economic Deveploment, Base Sector, Location Quotient Analysis (LQ)
I. PENDAHULUAN Undang–Undang (UU) No 5 tahun 1974 merupakan dasar hukum bagi semua kebijakan dan program-program mengenai pemerintah daerah. Dalam UU ini ditetapkan gagasan mengenai daerah otonom yang kemudian diartikan penetapan hak dan kewajiban daerah untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Intinya, UU tersebut mengatur hak dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai aturan yang telah ditetapkan pemerintah pusat. Dalam hal ini figur pemerintah diwakili oleh Menteri Dalam Negeri yang bertugas melaksanakan pengawasan umum terhadap jalannya pemerintahan daerah dan pengawasan kepada gubernur propinsi. Perhatian pemerintah terhadap peranan pemerintah daerah tercermin pula dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 tahun 1981 yang menetapkan kebijakan umum mengenai penggunaan bottom up planning mulai dari tingkat
100
desa yang disebut Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa sebagai lembaga yang mengkoordinasi dan mengatur pelaksanaan proyek pembangunan di tingkat desa. Dengan melihat permasalahan tersebut di atas, maka pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan agar lebih mampu berperan dalam pembangunan sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan dalam UU Otonomi Daerah. Solusi yang mungkin dilakukan tetap harus mengacu pada kesiapan untuk menghadapi era perdagangan bebas. Artinya, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan harus lebih dapat mempertebal kemandirian dalam kerangka kebijakan ekonomi makro.
II. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sektor-sektor yang berperan dalam PDRB Kota Bekasi yang mungkin menjadi sektor unggulan untuk dikembangkan demi kemajuan Kota Bekasi.
III. LANDASAN TEORI Perencanaan pembangunan ekonomi daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya–sumberdaya publik yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam
menciptakan
nilai
sumberdaya–sumberdaya
swasta
secara
bertanggungjawab. Setelah pemerintah menyadari dampak negatif dari mekanisme pasar maka pemerintah merasa perlu untuk ikut campur tangan dalam perekonomian. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah akibat-akibat buruk dari mekanisme pasar terhadap pembangunan daerah serta menjaga agar pembangunan dan hasil-hasilnya dapat dinikmati berbagai daerah yang ada. Memusatnya ekspansi ekonomi di suatu daerah disebabkan berbagai hal, misalnya situasi alamiah yang ada, letak geografis dan lain-lain. Ekspansi ekonomi suatu daerah akan mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah – daerah lain, karena tenaga kerja yang ada, modal, perdagangan akan pindah ke daerah yang melakukan ekspansi tersebut. 101
Perpindahan modal cenderung menambah ketidakmerataan. Di daerah– daerah yang sedang berkembang, permintaan barang/jasa akan mendorong naiknya investasi, yang pada gilirannya akan
meningkatkan pendapatan.
Sebaliknya di daerah-daerah yang kurang berkembang, permintaan akan investasi rendah karena pendapatan masyarakat yang rendah. Semua perubahan untuk daerah-daerah yang dirugikan yang timbul karena adanya ekspansi ekonomi dari suatu daerah disebut backwash effects oleh Myrdal. Sedangkan daerah – daerah yang mendapatkan pengaruh yang menguntungkan disebut spread effects. Pembangunan terhadap industri daerah baru dipopulerkan setelah perang Dunia Ke II oleh Perroux, Myrdal dan Hirschman. Teori Perroux menyatakan bahwa pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah pada waktu yang sama. Pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang disebut Pusat pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Menurut Perroux bahwa ditinjau dari aspek lokasinya, pembangunan ekonomi daerah tidak merata dan cenderung terjadi aglomerasi (pemusatan) pada pusat – pusat pertumbuhan. Pada gilirannya pusat – pusat pertumbuhan tersebut akan mempengaruhi daerah – daerah yang lambat perkembangannya. Sesuai dengan pendapat Myrdal, Hirschman yang dikutip oleh Mudrajat K (2000) juga mengemukakan bahwa jika suatu daerah mengalami perkembangan, maka perkembangan itu akan membawa pengaruh atau imbas ke daerah lain. Menurut Hirschman, daerah di suatu negara dapat dibedakan menjadi daerah kaya dan miskin. Jika perbedaan antara kedua daerah tersebut semakin menyempit berarti terjadi imbas yang baik karena terjadi proses penetesan ke bawah (trickling down effects). Sedangkan jika perbedaan antara kedua daerah tersebut semakin jauh berarti terjadi proses pengkutuban (polarization effects) Akibat-akibat yang kurang menguntungkan bagi daerah-daerah miskin adalah: 1. Daerah–daerah tersebut akan mengalami kesulitan dalam membangun sektor industrinya dan dalam memperluas kesempatan kerja. 2. Daerah-daerah miskin tersebut akan sulit merubah struktur ekonominya yang tradisional, sehingga senantiasa bias ke arah perta, sedang untuk
102
membangun sektor industri dihadapi banyak kesulitan, seperti kurangnya pengusaha yang kreatif dan kurangnya tenaga terampil. 3. Karena sempintnya kesempatan kerja di daerah miskin tersebut maka akan terjadi perpindahan tenaga kerja ke daerah maju, terutama tenaga kerja yang masih muda, yang berjiwa dinamis, dan yang mempunyai pendidikan yang lebih baik sehingga yang tetap tinggal di daerah miskin hanya tenaga kerja yang produktivitasnya rendah. Dipihak lain daerah maju lama-lama juga akan mengalami kesulitan juga karena : 1. Karena daerah tersebut harus menampung penduduk dari daerah miskin sehingga lama – lama menjadi daerah padat. 2. Daerah – daerah ini akan mengalami masalah sosial. Berdasarkan teori basis ekonomi seperti yang dikutip oleh Lincolyn Arsyad(1999: hal 116) bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri – industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation). Strategi ini menekankan arti pentingnya bantuan kepada dunia usaha yang mempunyai pasar secara nasional maupun internasional. Menurut North (1964) yang dikutip oleh Lincoyn Arsyad bahwa sektor ekspor berperanan penting dalam pembangunan daerah, karena sektor tersebut dapat memberikan kontribusi yang penting kepada perekonomian daerah yaitu: ekspor akan secara langsung meningkatkan pendapatan faktor-faktor produksi dan pendapatan daerah. Perkembangan ekspor akan menciptakan permintaan terhadap produksi industri lokal yaitu industri yang produknya dipakai untuk melayani pasar di daerah.
IV. METODE Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dan alat analisis. Sumberdata yang dipergunakan adalah data
103
sekunder yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik di tingkat daerah, maupun propinsi serta data dari Badan perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi. Teknik analisis dalam penelitian menggunakan analisis Location Quotient untuk mengetahui sektor basis di Kota Bekasi. Location Quotients merupakan suatu teknik yang digunakan untuk membantu dalam menentukan kapasitas ekspor perekonomian daerah dan derajat self sufficiency suatu sektor. Teknik analisis ini membagi kegiatan ekonomi suatu daerah menjadi 2 golongan , yaitu: 1.
Kegiatan industri yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di luar daerah yang bersangkutan. Industri seperti ini dinamakan industry basic
2.
Kegiatan ekonomi atau industri yang melayani pasar di daerah tersebut, jenis ini dinamakan industry non basic atau industri lokal. Dasar pemikiran teori ini adalah economic base yang intinya bahwa
karena industry basic menghasilkan barang dan jasa untuk pasar di daerah maupun di luar daerah yang bersangkutan, maka penjualan keluar daerah akan menghasilkan pendapatan bagi daerah tersebut. Terjadinya arus pendapatan dari luar daerah ini menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi dan investasi di daerah tersebut dan pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja baru. Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya menaikkan permintaan akan industry basic, tetapi juga menaikkan permintaan akan industry non basic (lokal). Kenaikan permintaan ini akan mendorong kenaikan investasi pada industri yang bersangkutan sehingga investasi modal dalam sektor industri lokal merupakan investasi yang didorong sebagai akibat dari kenaikan industry basic. Oleh karena itu industry basic-lah yang patut dikembangkan di suatu daerah. Tugas pertama
yang harus dilakukan adalah menggolongkan setiap
industri apakah termasuk industry basic atau non basic. Untuk itu dipakai Location Quotient (LQ) yaitu usaha mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan dalam perekonomian daerah itu dengan peranan kegiatan atau industri sejenis dalam perekonomian regional atau nasional. Kriteria penggolongan dapat berdasarkan :
104
a.
aspek kesempatan kerja yakni berapa jumlah tenaga kerja yang diserap
b.
usaha menaikkan pendapatan daerah berarti ukurannya berapa besarnya kenaikan pendapatan daerah.
Rumus LQ sebagai berikut:
vi vi v LQ t x V Vi vt Vt Vt
vi adalah pendapatan dari industri di suatu daerah vt adalah pendapatan total daerah tersebut Vi adalah pendapatan dari industri sejenis secara regional/nasional Vt adalah pendapatan regional /nasional Apabila LQ lebih besar dari satu berarti daerah tersebut dapat mengekspor hasil industri tekstil ke daerah lain. Jika LQ sebesar 3/2 maka 1/3 hasil diekspor sisanya dikonsumsi sendiri.
V. ANALISIS DATA Salah satu indikator untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah adalah dengan melihat Produk Domestik Regional Brutto (PDRB) daerah tersebut. Kinerja perekonomian Kota Bekasi tahun 2007 menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu mencapai 6,44 persen lebih tinggi dibandingkan tahun 2006 dengan nilai 6,07 persen. Laju pertumbuhan Kota Bekasi ini memberikan kontribusi yang cukup besar untuk laju pertumbuhan ekonomi propinsi. Artinya laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi per Sektoral masih lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan ekonomi di propinsi Jawa Barat ntuk tahun yang sama.
105
Pada tahun 2007 laju pertumbuhan ekonomi tertinggi untuk Kota Bekasi dicapai oleh sektor keuangan, persewaan dan perusahaan
dengan laju
pertumbuhan ekonomi mencapai 15,58 persen. Diikuti oleh laju pertumbuhan ekonomi dari sektor bangunan/konstruksi yang mencapai 11,97 persen. Hal ini didongkrak adanya pembangunan mall–mal baru dikota Bekasi. Peringkat ketiga dalam prestasi ekonomi yang dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi adalah sektor listrik, gas dan air bersih yang tumbuh sebesar 9,17 persen. Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi dari sektor industry pengolahan juga tumbuh cukup tinggi dengan 7 persen. Pertumbuhan ekonomi yang paling rendah dialami oleh sektor pengangkutan dan komunikasi yakni sebesar 2,54 persen. Tahun 2007 PDRB Kota Bekasi yang dihitung menurut harga berlaku mencapai RP.25.419,18 milyar naik sebesar 13,60 persen dibandingkan tahun 2006 dengan nilai Rp.22.376,41 milyar. Demikian pula PDRB yang menggunakan perhitungan atas dasar harga konstan menunjukkan peningkatan dari tahun 2006 ke tahun 2007 yakni dari Rp.12.453,01 milyar naik menjadi 13.255,15 milyar pada tahun 2007. Jika dikelompokkan semua sektor ekonomi menjadi 3 sektor yaitu sektor primer, sekunder dan tersier dapat dilihat besaran nilai tambah dari ketiga sektor tersebut. Pengelompokan dari Sembilan sektor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Sektor primer terdiri dari sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian 2. Sektor sekunder terdiri dari: sektor industry pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor bangunan/konstruksi.
106
3. Sektor tersier terdiri dari: sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor jasa – jasa lainnya. Menurut harga berlaku total nilai tambah dari sektor sekunder pada tahun 2007 mencapai Rp.13.579,07 milyar atau meningkat 14,65 persen dibandingkan tahun sebelumnya dengan penyumbang terbesar dari sektor industry yakni sebesar 14,88 persen. Penyumbang terkecil dari ketiga sektor ini pada tahun 2007 adalah sektor primer yakni sebesar Rp 214,96 milyar. Namun demikian nilainya dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat dimaklumi, karena kondisi geografis Kota Bekasi yang tidak banyak memberikan ruang bagi sektor pertanian sehingga sektor pertanian bukan merupakan core business dari Kota Bekasi. Sumbangan nilai tambah dari sektor tersier juga menunjukkan peningkatan pada tahun 2007 dibandingkan tahun 2006 yakni sebesar Rp.11,625,16 milyar pada tahun 2007 dari Rp10.340,16 milyar pada tahun 2006. Yang berarti ada peningkatan sebesar 12,43 persen. (Tabel 1.) Komposisi yang sama ditunjukkan juga oleh PDRB menurut Harga Konstan kelompok sektor sekunder mempunyai nilai tambah terbesar, diikuti oleh kelompok tersier dan yang mempunyai andil terendah adalah kelompok sektor primer. Kelompok sektor sekunder mempunyai nilai tambah sebesar Rp.7.066,38 milyar pada tahun 2007 sedangkan kelompok tersier sebasar Rp.6.059,34 milyar. Kelompok sektor primer sebesarRp.129,43 milyar. (Tabel 2.)
107
Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bekasi Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2007 (Juta Rupiah) Lapangan Usaha
2004
2005
2006
2007
I. Primer
139.44,00
175.624,94
192.767,89
214.956,77
a. Pertanian
139.411,00
175.624,94
192.767,89
214.956,77
8.418.780,28
10.299.669,07 11.843.482,77 13.579.066,75
7.306.285,10
8.972.716,97
10.241.541,23 11.765.711,35
684.437,88
781.350,38
876.762,33
498.622,88
642.514,22
820.591,16
936.593,07
7.062.002,71
8.751.037,27
10.340.164,27 11.625.161,30
a. Perdagangan
4.264.480,61
5.416.447,99
6.403.494,04
7.261.830,13
b. Pengangkutan
1.415.738,75
1.591.070,35
1.822.012,97
1.933.126,55
c. Lembaga
475.088,16
626.676,72
772.704,55
939.876,90
906.695,64
1.116.842,05
1.341.952,71
1.490.327,71
b. Pertambangan II.
.Sekunder
a. Industri
b. Listrik gas dan 613.872,10 air c. bangunan III.
Tersier
Keuangan d. Jasa - jasa PDRB
15.620.224,44 19.226.331,12 22.376.414,93 25.419.184,82
Jika dilihat sebarapa besar peranan dari masing – masing sektor dalam PDRB Kota Bekasi, maka terlihat bahwa sumbangan sektor Industri Pengolahan menduduki peringkat pertama yakni sebesar 46,29%. Peringkat berikutnya yang menjadi penyumbang terbesar kedua setelah industri adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yakni sebesar 28,56%. Peringkat ketiga dan seterusnya berturut-turut sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 7,6%, sektor Bank
108
dan Lembaga keuangan lainnya sebesar 3,69%, sektor bangunan dan konstruksi sebesar 3,6% sedangkan sektor pertanian menduduki hanya menyumbang sebesar 0,8% kepada PDRB Tabel 2. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bekasi Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2004-2007 (Juta Rupiah) Lapangan Usaha
2004
2005
2006
2007
I. Primer
123.709,30
126.235,06
123.367,34
129.426,75
a. Pertanian
123.709,30
126.235,06
123.367,34
129.426,75
5.972.647,57
6.284.188,25
6.757.246,37
7.066.385.83
5.202.919,41
5.478.623,00
5.712.583,24
6.112.459,47
398.020,25
428.944,01
468.274,18
388.215,00
407.545,00
433.719,12
485.652,18
5.016.162,52
5.329.522,50
5.754.399,25
6.059.341,63
a. Perdagangan
3.054.082,44
3.239.088,80
3.509.562,84
3.689.782,45
b. Pengangkutan
854.614,27
927.067,17
978.649,00
1.003.499,61
c. Lembaga
384.707,67
403.358,84
453.245,74
525.067,64
722.758,17
760.008,11
812.941,67
840.991,93
b. Pertambangan II.
.Sekunder
a. Industri
b. Listrik gas dan 381.513,16 air c. bangunan III.
Tersier
Keuangan d. Jasa - jasa PDRB
11.112.519,42 11.739.945,23 12.453.012,95 13.255.153,53
Jika dikaitkan dengan letak Kota Bekasi yang merupakan Kotamadya dengan kepala pemerintahan seorang Walikota dan terletak diantara Jakarta dan kabupaten Bekasi, maka tidak mengherankan jika yang berperan besar dalam pembangunan ekonomi adalah sektor industri dan jasa pendukung industri.
109
Sedangkan sektor pertanian menduduki peringkat terakhir karena luas lahan Pertanian di Kota Bekasi yang makin menyempit seiring dengan semakin berkembangnya Jakarta sehingga Kota Bekasi yang menjadi daerah penyangga ibukota menerima limpahan penduduk dari Jakarta. Dampak selanjutnya adalah makin meluasnya wilayah perumahan di Kota Bekasi dan semakin menyempitnya lahan pertanian sehingga peran sektor ini semakin kecil dalam PDRB Kota Bekasi. Secara lengkap disajikan pada Tabel 3 dan 4. Tabel 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bekasi dan Propinsi Jawa Barat, Menurut lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2007 (jutaan rupiah) Lapangan Usaha 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik , Gas dan Air Bersih 5. Bangunan/Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan komunikasi 8. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 9. Jasa-Jasa Total PDRB Kota Bekasi Sumber : data diolah
Kota Bekasi 214.956,77
Persentase 0.845648
11.765.711,35
0 46.28674
876.762,33 936.593,07
3.449215 3.684591
7.261.830,13
28.5683
1.933.126,55
7.60499
939.876,90 1.490.327,71 25.419.184,81
3.69751 5.863004
526220225
Indentifikasi sektor basis ekonomi dapat didekati dengan Location Quotion (LQ). Nilai LQ > 1 berarti sektor basis, jika nilai LQ < 1 menunjukkan sektor non basis. Berdasarkan pendekatan LQ ini. Nilai LQ selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.
110
Tabel 4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bekasi dan Propinsi Jawa Barat, Menurut lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2007 (jutaan rupiah) Lapangan Usaha 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik , Gas dan Air Bersih 5. Bangunan/Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan komunikasi 8. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 9. Jasa-Jasa Total PDRB Kota Bekasi Sumber : Data Diolah
Kota Bekasi 214.956,77
Jawa Barat 62.894.902 12.621.307
11.765.711,35 876.762,33 936.593,07
236.628.972 15.414.038 15.906.659 100.691.124
7.261.830,13 30.787.316 1.933.126,55 15.248.880 939.876,90 1.490.327,71 25.419.184,81
36.027.027 526.220.225
Peta kekuatan ekonomi berdasarkan pendekatan ekonomi basis, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. menunjukkan bahwa Kota Bekasi
memiliki penggerak utama perekonomian dalam sektor 1) Industri Pengolahan, 2) Listrik, Gas dan air bersih 3) Bangunan dan konstruksi 4) Perdagangan, Hotel dan Restoran.5)Pengangkutan dan komunikasi.6) bank dan Lembaga keuangan lainnya. Jika dikelompokkan dalam kategori 3 sektor, maka sektor-sektor di Kota Bekasi yang mempunyai nilai LQ lebih besar 1 ternyata termasuk dalam kategori sektor jasa dan sektor industri. Hal ini sependapat dengan pernyataan bahwa hampir 50% PDRB Kota Bekasi dihasilkan oleh sektor industri dan jasa pendukungnya. Dengan demikian
dalam upaya pembangunan kota Bekasi
sebaiknya mempertimbangkan hal ini Jika dikaitkan antara peranan sektor ekonomi dalam PDRB dengan nilai LQ dari masing-masing sektor, memang ada 6 sektor yang mempunyai kemungkinan untuk dijadikan sektor unggulan. Namun demikian dalam penelitian ini belum mengkaji dari aspek penyerapan tenaga kerja atau aspek – aspek lain yang
perlu
dijadikan
dasar
pertimbangan
111
untuk
menentukan
strategi
pembangunan yang berbasiskan ekspor base. Pembangunan ekonomi daerh yang dilakukan oleh pemerintah daerah akan berdampak positif atau dikatakan berhasil salah satu indikatornya adalah besarnya kesempatan kerja yang diciptakan atau penurunan angka pengangguran. Sehingga dalam prakteknya penentuan sektor basis
dalam
upaya
menentukan
strateg
pembangunan
sangat
perlu
mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kesempatan kerja bagi masyarakat. Karena masyarakatlah sebenarnya pelaku ekonomi pembangunan dan sumberdaya yang menjadi bagian dari proses pembangunan. Dan kinerja pemerintah dalam mengelola perekonomian daerah juga diukur dari penurunan angka pengangguran.
Tabel 6. Location Quotient (LQ) Kota Bekasi tahun 2006 Lapangan Usaha 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik , Gas dan Air Bersih 5. Bangunan/Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 9. Jasa-Jasa Sumber : Data Diolah
Dalam
penerapan
proses
LQ 0,0707525 0 1,0293337 1,2578835 9,450897 1.4930035 1,2998534 1,2759655 0,8563657
pembangunan
ekonomi
daerah
perlu
mempertimbangkan sbb: a.
aspek kesempatan kerja yakni berapa jumlah tenaga kerja yang diserap
b.
usaha menaikkan pendapatan daerah berarti ukurannya berapa besarnya kenaikan pendapatan daerah.
112
VI. SIMPULAN DAN SARAN 4.1. Simpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Sumbangan terbesar dari sektor – sektor ekonomi di kota Bekasi yang dilihat dari Produk Domestik Bruto, didominasi oleh sektor industri yakni 46%, disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Jika dilihat dari letak geografis Kota Bekasi yang merupakan daerah penyangga Ibukota Jakarta dan merupakan daerah transit dari sumatera ke pulau Jawa dan sebaliknya maka sektor yang mungki berkembang adalah tiga sektor tersbut. 2. Jika dilihat dari nilai LQ maka sektor bangunan, konstruksi menduduki peringkat tertinggi sebagai sektor yang mempunyai daya saing atau sebagai sektor basis (LQ = 9,45), diikuti oleh sektor
perdagangan, hotel, dan
restoran(LQ=1,49) serta sektor pengangkutan dan komunikasi (LQ = 1,29). Jika jika dilihat dari klasifikasi sektor, sektor – sektor yang memiliki nilai LQ lebih dari 1 merupakan sektor industry dan sektor jasa. Oleh karena itu dalam rangka
perencanaan
pembangunan
daerah
kota
Bekasi
sebaiknya
mempertimbangkan keunggulan dari sektor – sektor tersebut.
4.2. Saran 1. Dengan memperhatikan peranan sektor dalam PDRB serta besarnya nilai LQ memang cocok untuk Kota Bekasi mengembangkan sektor industry dan perdagangan, hotel dan restoran namun demikian dalam penerapannya perlu juga mempertimbangkan peluang kerja yang tercipta sebagai dampak positif dari adanya pembangunan ekonomi daerah tersebut. 2. Perlu ada kerjasama dan komitmen bersama antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah sesuai dengan kesepakatan dan aturan dan dilandasi rasa saling percaya diantara pelaku ekonomi pembangunan daerah Kota Bekasi.
113
DAFTAR PUSTAKA Iswardono dan Sunaryadi, 2001, Kinerja Pemasaran Usaha Kecil di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Akuntansi & Manajemen, Edisi Agustus . Lincolin Arsyad, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, BPFE, Yogyakarta --------------------, Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) Kota Bekasi Tahun 2008, Badan Perencanaan Pembangunan daerah Kota Bekasi. Mudrajat Kuncoro, 2000. Ekonomi Pembangunan, UPP AMP YKPN, Yogyakarta Mac Andrews, Colin dkk, 2000, Hubungan Pusat – Daerah Dalam Pembangunan, Rajawali Press, Jakarta. Nugroho, Riant, 2003, Reinventing Pembangunan, Elex Media Komputindo, Jakarta Jan Tinbergen, 1987, Rencana Pembangunan, UI Press, Jakarta. Suparmoko, 1987, Metode Penelitian Praktis, BPFE, Yogyakarta. Todaro, Michael P, 1986, Development Planning, Oxford University Press. -----------------------, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Jawa Barat tahun 2006-2007, 2008, Badan Perencana Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat. Joko Susanto, Analisis location Quotient(LQ) Dalam rangka Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Kabupaten Sleman, Jurnal akuntansi dan Manajemen STIE YKPN Yogyakarta, Edisi Agustus 2002.
114