2
3
4
PENDIDIKAN IPS SEBAGAI DISIPLIN ILMU TERINTEGRASI BERPARADIGMA PLURAL Mohammad Imam Farisi Jurusan Pendidikan IPS, FKIP-Universitas Terbuka e-mail
[email protected]. Abstract: Conceptually, Social Studies were used in three meanings, namely as an integrated discipline or field of study/research related to civic education; integrated educational program, and 'official label' subjects at university and school in various countries in the world . This paper examines the evolution of social studies paradigms as an integrated discipline, and epistemological foundations in the series of "contestation and consensus" among experts. Paradigms of social studies can be analyses in terms of purposes, methods, content of education, and exemplars copies of each paradigm, and how their contribution to civic education. Kata-kata kunci: pendidikan IPS, disiplin ilmu terintegrasi, pradigma plural. 1 PENDAHULUAN Dalam diskursus akademik yang berkembang di kalangan komunitas PIPS khususnya di Indonesia, salah satu aspek mendasar yang hingga kini tampaknya belum seluruhnya tuntas dan mencapai “komitmen bersama” berkaitan dengan isu dan masalah epistemologi PIPS sebagai disiplin ilmu. Isu dan masalah epistemologi PIPS sebagai disiplin ilmu sesungguhnya sudah muncul dan menjadi fokus perhatian di antaranya oleh para pakar PIPS semenjak seminar nasional tentang Civic Education 1972 di Tawangmangu hingga dalam forum-forum pertemuan tahunan HISPIPSI semenjak tahun 1990—2001. Hanya saja, isu dan masalah epistemologis yang kerap muncul masih sebatas pada persoalan “pengertian” atau “definisi” tentang PIPS. Di dalam dokumen Garis-garis Besar Bahan Diskusi pertemuan I HISPIPSI misalnya dinyatakan bahwa “persoalan akademik pertama yang perlu dijadikan agenda pembahasan adalah pengertian PIPS. Dengan memiliki pengertian yang "resmi" tentang PIPS, maka masyarakat ilmiah Pendidikan IPS akan berkembang serta dapat berkomunikasi dengan kelompok masyarakat ilmiah lainnya (Somantri, 2001). Namun demikian, diskusi akademik tentang sebuah disiplin ilmu, tidak hanya terkait dengan penegasan sebuah definisi atau pengertian, melainkan tentang apakah dasar penetapan bahwa sebuah
ilmu dikatakan sebagai disiplin ilmu (scientific discipline). Melalui kajian terhadap sejarah perkembangan disiplin ilmu kealaman, Kuhn (2001) menegaskan bahwa sebuah cabang keilmuan dapat dikatakan sebagai “disiplin ilmu” jika sudah memiliki “paradigma”. Makalah ini mengkaji dan mendiskusikan tentang paradigmaparadigma PIPS sebagai disiplin ilmu terintegrasi. Tulisan diawali dengan kajian tentang unsur-unsur substantif disiplin ilmu dan evolusinya dari mono-disiplin hingga integrasi-disiplin; pengertian paradigma dan unsur-unsur pembentuknya; dua posisi epistemologis tentang paradigma; status PIPS sebagai disiplin ilmu terintegrasi, beberapa eksemplar penting PIPS sebagai disiplin ilmu terintegrasi; dan paradigmaparadigma PIPS sebagai disiplin ilmu berparadigma plural. DISIPLIN ILMU Secara etimologis, disiplin ilmu (scientific discipline) atau ”disiplin akademik” (academic discipline) berasal dari kata “disciplina”, sebuah istilah yang digunakan untuk menyusun pengetahuan untuk tujuan pendidikan di sekolah dan universitas (Stichweh, 2001; Craig, 2003). Sejalan dengan perkembangan selanjutnya, disiplin ilmu kemudian didefinisikan sebagai cabang ilmu pengetahuan atau bidang kajian (field of study, research or inquiry) yang dipelajari,
1
diteliti, dan dipraktikkan oleh ilmuwan atau calon ilmuwan pada jenjang kolese atau universitas berdasarkan kerangka kerja ilmiah (Åström, 2006). Berdasarkan pengertian tersebut, sebuah disiplin ilmu memiliki sejumlah unsur yang harus dipenuhi, yaitu: (1) a body of knowledge, tubuh/struktur pengetahuan, pemikiran—fakta, konsep, generalisasi, dan teori tentang dunia, fenomena atau realitas; (2) fields of study or research, yaitu matriks disipliner yang menjadi wilayah dan objek studi/kajian disiplin; (3) a community of scholars, yang terdiri dari para ilmuwan, pakar, profesional, atau akademisi yang berhimpun di unit-unit akademik, organisasi-organisasi profesi, dan sejenisnya; (4) a specific method of approach—metode, proses atau prosedur ilmiah, paradigma—di dalam menetapkan, menyusun, menguji, mengembangkan, dan menggunakan atau mempraktikkan tubuh/struktur pengetahuan; (5) a system of orderly behavior, kebiasaan-kebiasaan atau tradisi atau kultur keilmuan tertentu yang dipatuhi atau ditaati oleh setiap anggota kumunitas ilmiah di dalam melakukan praktik-praktik dan ikhtiarikhtiar keilmuan; (6) an academic infrastructure, institusi-institusi dan publikasi-publikasi ilmiah yang dikelola oleh organisasi-organisasi, badan-badan, dan/atau departemen-departemen akademik (cf. Åström, 2006; Craig, 2003; Beane, 1995; Dufty, 1986). Dari keenam unsur disiplin ilmu tersebut, a community of scholars— ilmuwan atau profesional—lah yang sangat sentral perannya di dalam perkembangan disiplin ilmu. Komunitas ilmiah atau profesional merupakan “infrastruktur akademik” yang berwenang memilih, menetapkan, menyusun, menguji, mengembangkan, dan menggunakan atau mempraktikkan tubuh/struktur pengetahuan sebuah disiplin ilmu. Sekalipun antara epistemologi genetik (genetic epistemology) dan epistemologi sosial (social epistemology) berbeda pandangan tentang bagaimana cara-cara tubuh/struktur pengetahuan suatu disiplin ilmu dibangun, namun diantara keduanya terdapat “asymptote” bahwa penentu akhir
2
signifikansi ilmiahnya terletak pada ‘komitmen akademik” di antara komunitas ilmiah. Menurut para ahli (Gibbons et al., 1994; Capel, 1989), “Mode 1” merupakan evolusi paling awal dari disiplin ilmu yang terjadi pada abad ke-18—19, ketika para ilmuwan mulai melakukan ikhtiar penelitian dengan hasil yang masih beragam dan pengorganisasian yang bersifat lintas disiplin. Perkembangan penting terjadi pada akhir PD-II, ketika disiplin ilmu memasuki periode “Mode 2”, dimana ilmuwan masing-masing disiplin mulai mengembangkan disiplin-disiplin ilmu baru, merumuskan masalah-masalah keilmuannya, melakukan distribusi kekuasaan untuk menentukan standarstandar kompetensi dan bermakna dalam bidang keilmuannya. Fase awal Mode 2, merupakan tahapan dimana setiap disiplin ilmu mengembangkan spesialisasi dan fragmentasi bidang keilmuannya masingmasing (specialism), dengan memproduksi konsep-konsep, bahasabahasa ilmiah yang hanya bisa dimengerti di kalangan komunitas ilmiah masingmasing disiplin. Fase ini merupakan periode pembentukan disiplin ilmu sebagai “mono-disiplin” (mono-disciplinary), dimana masalah, realitas dan/atau enigma-enigma keilmuan hanya dipahami secara terkotak-kotak berdasarkan konsep dan cara pandang dari disiplin ilmu itu sendiri (Scott, 2012; Beane, 1995). Dalam perkembangan selanjutnya, mono-disiplin telah memunculkan kekhawatiran di kalangan ilmuwan akan terjadinya sikap spesialisasi, partikularisasi, parsialisasi, atau fragmentasi bidang kajian secara berlebihan. Jika sikap ini terus berkembang, dapat menghilangkan keutuhan pengalaman, sifat manusiawi, nilai-nilai esensial realitas, serta terjebak pada hal-hal “teknis” semata (Henry, 1952), menciptakan “disciplinary silos or domains” atau "silos or stovepipes-like thinking” dalam komunikasi antar-ilmuwan (Koskinen, 2011; Kragt, Robson & Macleod, 2011). Van Bueren dan Priemus (2002) mengingatkan para ilmuwan, bahwa masalah yang dihadapi disiplin-disiplin ilmu sangatlah kompleks dan
membutuhkan keputusan yang juga kompleks dari berbagai stakeholder dan sudut pandang. Darden (1977) juga mengingatkan ilmuwan agar menentang kecenderungan sikap penyederhaan berlebihan (oversimplification), dan menegaskan perlunya pengembangan sebuah “teori sintetik” (synthetic theory). Sebuah teori tipe baru bersifat “multibidang” yang berbeda dari teori “antarbidang” yang hanya menyediakan kaitankaitan antara bidang-bidang yang ada. Di dalam kehidupan nyata, ketika ilmuwan dihadapkan pada situasi bermasalah dan penuh teka-teki, ketidakpastian, tak ada satupun cara sistematik yang mampu mengenal dan menerjemahkannya kecuali kerjasama dan kordinasi antar-disiplin yang melampaui batas-batas domain suatu bidang disiplin ilmu (Bammer, 2008). Karena itu, Beane (1995) menegaskan, "we stopped to ask which part is science, which part mathematics, which part art, and so on”; dan “experts from various disciplines must be able to communicate and share knowledge effectively” (Mayer et al., 2005: 405). Model pertama integrasi antar disiplin ilmu adalah “multi-disiplin” (multidiscipline atau pluri-discipline). Di dalam model ini, suatu masalah didekati, dikaji dan dijelaskan menggunakan konsep dan pendekatan dari masing-masing disiplin ilmu secara terpisah sesuai dengan fokus kajian masing-masing, tanpa ada koordinasi, tanpa kesadaran penuh terhadap arti pentingnya interdependensi, dan tanpa kesatuan tujuan (Scott, 2012; Spinradr, 2011; Golding, 2009; Winder, 2003). Model kedua adalah “inter-disiplin” (inter-discipline). Di dalam model ini batasbatas disiplin ilmu masih tetap dijaga, namun antar-disiplin ilmu sudah mulai bersikap imbang, akomodatif, terintegrasi dan terkoordinasi melalui penetapan tema-tema atau topik-topik umum sebagai “core problem” dan “established areas of expertise” yang disepakati bersama (Scott, 2012; Kumar, 2012; Mansilla & Duraising, 2007; Winder, 2003; Burwitz et al., 1994; Bondi, 1988). Model ketiga adalah “lintas disiplin (cross-discipline). Di dalam model ini, ilmuwan suatu disiplin ilmu menggunakan konsep, pendekatan, sumber, dan atau perspektif dari beberapa
disiplin ilmu lain untuk memperoleh penjelasan atau pengertian yang lebih komprehensif atas masalah yang dihadapi, tanpa perlu kerjasama, koordinasi atau integrasi disiplin (Wikipedia, 2013a; Rousseau, 1998; Hulme & Toye, 2005). Model keempat integrasi antardisiplin ilmu adalah “transdisiplin” (trans-discipline, transdisciplinarity). Di dalam model ini, integrasi keilmuan terjadi secara penuh dengan cara saling memanfaatkan konsep atau metode yang memiliki kaitan substantif dengan masalah yang dikaji secara lebih terbuka tanpa dibatasi oleh bingkai demarkasi disiplin ilmu masingmasing Wikipedia, 2013b; Nicolescu, 2002; The ATLAS, 2013; Cohen, 2009; Winder, 2003; Tamayo, 2000). Model terakhir adalah ”disiplin terpadu” (integrated discipline). Di dalam model ini tidak ada lagi persoalan tentang batasbatas disiplin ilmu. Setiap disiplin ilmu yang berintegrasi menggunakan pola pemikiran berbasis sistem (a systemsbased thinking) yang bertumpu pada arti penting ”keterhubungan” pemikiran antardisiplin untuk memperoleh pengertian yang lebih baik atas masalah dunia nyata (Bammer, 2005; 2008; Bammer, 2005; 2008; Tress, Tress & Fry, 2005). Keterpaduan atau integralitas disiplin ilmu ini didasarkan pada asumsi-asumsi epistemologis tentang hakikat realitas (essence of the reality) sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari bagianbagian yang saling terpisah [fisikal, biologis, sosial, dll] (Ritzer, 1975, 1992; Capra, 2000; Johnson, 2002). PARADIGMA Konsep paradigma mulai populer digunakan dalam diskusi epistemologi ketika Thomas S. Kuhn menggunakannya dalam kajian sejarah revolusi keilmuan melalui tulisannya yang monumental “The Structure of Scientific Revolutions” (1965). Kuhn menggunakan konsep paradigma dalam empat makna, yaitu: paradigma simbolik atau generalisasi simbolik; paradigma metafisis; nilai-nilai, dan eksemplar. Dari keempat makna tersebut, makna paradigma sebagai eksemplar yang paling umum digunakan. Paradigma sebagai “eksemplar” menurut Kuhn (2001;
3
cf. Morgan, 2007; Ritzer, 1975) contohcontoh bersama tentang pemecahan masalah nyata yang dilakukan oleh para pemraktik ilmu, dan pemecahan masalah teknis yang ditemukan oleh para ilmuwan dan profesional seperti terdapat di dalam kepustakaan ilmiah berkala (mis. jurnal). Eksemplar atau contoh-contoh bersama ini memberikan sebuah kesepakatan atau komitmen kolektif di tingkat komunitas tentang konsep dan prosedur ilmiah ketika mendekati, memecahkan, dan menjelaskan realitas atau pokok-pokok persoalan keilmuan. Dalam konsep Kuhn, eksemplar inilah yang dipandang sebagai paradigma yang memiliki komitmen terluas dibandingkan dengan jenis-jenis paradigma sebelumnya. Paradigma menjadi model pemecahan masalah konkrit yang dibangun atas dasar komitmen-komitmen profesional, konsensus atau kesepakatan ilmiah bersama dari komunitas ilmiah. Sebagai sebuah konsensus, paradigma mengikat komitmen-komitmen profesional setiap anggota komunitas ilmiah. ”menolak paradigma tanpa sekaligus menggantinya dengan paradigma lain berarti menolak ilmu itu sendiri” (Kuhn, 2000:79). Oleh karena itu, paradigma menurut Kuhn, memiliki peran sentral dalam proses dan perkembangan setiap disiplin ilmu, yaitu sebagai: (1) hukum (legislatif) atau definisi, yang menyimbolkan atau melambangkan pendekatan, pemecahan, dan penjelasan atas realitas atau enigma-enigma yang dihadapi dalam suatu pola yang logis; (2) pembangun kepercayaan-kepercayaan atau keyakinan-keyakinan kepada model tertentu, yang memungkinkan dan membolehkan para ilmuwan dan profesional membuat dan menggunakan bentuk analogi-analogi dan metaforametafora yang dikehendaki tentang realitas dan enigma-enigma yang dihadapi; (3) memberikan batas-batas nilai signifikansi tentang apa dan bagaimana sebuah ikhtiar dan karya keilmuan diakui sah atau signifikan secara keilmuan; (4) menjadi contoh bersama tentang pemecahan masalah nyata. Dalam konsep Kuhn, eksemplar inilah yang dipandang sebagai paradigma yang memiliki komitmen terluas dibandingkan dengan
4
jenis-jenis paradigma sebelumnya; (5) menetapkan bidang kajian atau matriks disipliner disiplin ilmu. Mengingat sentralitas peran paradigma dalam keseluruhan proses dan hasil keilmuan, maka analisis Kuhn (2000) dan sejumlah studi dalam berbagai bidang disiplin ilmu yang ditinjau Shwed dan Bearman (2010) membenarkan bahwa pengakuan atas sebuah paradigma niscaya berada di dalam rangkaian kontestasi dan konsensus komunitas ilmuwan, walaupun dengan tingkat yang berbeda pada setiap disiplin ilmu (alam, sosial, dll.). Studi Shwed dan Bearman (2010) telah menyediakan kepada kita sebuah referensi dan kajian luas tentang tingkat kontestasi dan konsensus ilmiah. Melalui analisis empiris kuantitatif-kualitatif tingkat kontestasi/konsensus komunitas ilmiah, kedua peneliti mengajukan tiga tipologi struktur “temporal” formasi kontestasi/konsensus ilmiah atas paradigma, yaitu: (1) spiral, yaitu konsensus ilmiah dicapai ketika pertanyaan atau masalah substantif yang telah terjawab, dan selanjutnya ditinjau kembali pada tingkat yang lebih tinggi untuk mencapai konsensus yang lebih tinggi; (2) siklikal (cyclical), yaitu konsensus ilmiah dicapai atas pertanyaan serupa yang ditinjau kembali, tanpa penyelesaian yang stabil dan kontestasi terus berlanjut; dan (3) datar (flat), yaitu konsensus ilmiah dicapai tanpa adanya kontestasi yang nyata. Menurut model ini, tesis Kuhn termasuk ke dalam model kontestasi dan konsensus siklikal, “thus a new reigning paradigm is born and the stage is set for the cycle to repeat itself” (Kuhn, 2000; Ritzer, 1975:156). KOMITMEN ATAS PARADIGMA: DUA POSISI EPISTEMOLOGIS Karena perbedaan tingkat dan formasi kontestasi/konsensus ilmiah atas paradigma baik model Kuhn atau Shwed dan Bearman itu pula, maka setiap disiplin ilmu memiliki perbedaan komitmen atas paradigma. Pertama, disiplin ilmu yang berkomitmen atas paradigma tunggal (single paradigm); dan kedua, disiplin ilmu yang berkomitmen atas paradigma plural (plural atau multiple paradigm). Kedua model komitmen atas paradigma ini
sesungguhnya merefleksikan komunitas ilmuwan itu sendiri sebagai “epistemic communities” (Haas, 1992), sebuah komunitas yang memiliki otoritas di dalam memilih dan menetapkan paradigma, dan secara eksistensial dibangun untuk mendukung “kompetisi” (paradigma tunggal) dan “kerjasama” (paradigma plural), “scientific communities are structured to support competition as well as cooperation” (Konfeld & Hewitt, 1981;7). Disiplin ilmu berparadigma tunggal adalah disiplin-disiplin ilmu yang hanya menerima dan menggunakan paradigma dominan (dominant paradigm) sebagai satu-satunya paradigma yang disepakati dan digunakan oleh komunitas ilmuwan di dalam memecahkan atau menjawab masalah-masalah atau enigmaenigma di dalam disiplin ilmunya. Paradigma dominan adalah paradigma unggul yang berhasil memenangi kontestasi dan berhasil memperoleh konsensus tertinggi di kalangan komunitas ilmuwan karena dianggap “paling baik” dalam hal “accuracy, scope, simplicity, fruitfulness” dibandingkan kontestan paradigma lainnya (Kuhn, 2000). Karenanya, menurut posisi ini, walaupun suatu disiplin ilmu hanya memiliki paradigma tunggal, namun diyakini mampu menyediakan justifikasi untuk keberagaman metode, mampu menjabarkan, menguji, dan memberikan alternatif penyajian. Paradigma tunggal juga dipandang mampu mengintegrasikan temuan-temuan penelitian dan mendinginkan konflik yang terjadi di dalam komunitas disiplin ilmu karena perbedaan fundamental di dalam asumsi-asumsi epistemologis jika lebih dari satu paradigma (Hall, 2012). Penerimaan atas paradigma tunggal ini didasarkan pada epistemologis bahwa paradigma bersifat “incommensurable”. Bahwa satu paradigma tidak dapat dibandingkan dengan paradigma yang lain, baik karena tidak adanya hubungan logis antar-teori fundamental di dalam suatu disiplin ilmu karena variansi istilah semantik yang digunakan oleh teori yang berkompetisi (Feyerabend) atau karena macetnya komunikasi antar-pendukung
paradigma akibat perbedaan antara individu dan komunitas ilmuwan dalam persepsi, metodologi, dan semantik yang digunakan (Kuhn) (Shankey, 2008; Bird, 2008). Karenanya, menurut paham paradigma tunggal, tidak mungkin ada dua atau lebih paradigma dapat hidup berdampingan dan digunakan secara bersamaan sebagai unit pengukuran dengan derajat akurasi yang sebanding di dalam satu disiplin ilmu (Kuhn, 2000: 121). Di dalam sejarah fisika, misalnya, Paradigma Newtonian tidak dapat disebandingkan dengan paradigma Cartesian dan Aristotelian, demikian pula hanya di dalam kimia, paradigma Lavoisier tidak dapat disebandingkan dengan paradigma Priestley (cf. Caamaño, 2009; Hoyningen-Huene, 2008; SEP, 2013; Kuhn 2000). Ketika sebuah paradigma disiplin ilmu telah diterima oleh komunitas ilmiah, paradigma itulah yang harus mereka gunakan, tak bisa diganti atau diubah, “menolak satu paradigma tanpa menggantikannya dengan paradigma lain adalah menolak ilmu itu sendiri” (Kuhn 2000; 79). Tanpa paradigma pengganti tidak ada lagi ukuran atau standar umum (common measure or standard) yang menjadi acuan bersama para ilmuwan di dalam melakukan ikhtiar keilmuan, “mereka akan bekerja sendirisendiri, dengan cara berbeda-beda” (h. 79). Disiplin ilmu berparadigma plural (plural atau multiple paradigms) adalah disiplin-disiplin ilmu yang menerima dan menggunakan lebih dari satu paradigma sebagai ”pandangan dunia” (a world view), ”posisi epistemologis” (epistemological stance); atau ”komitmen bersama” komunitas disiplin ilmu (shared commitment) atas berbagai masalah atau enigma di dalam disiplin ilmunya. Walaupun ada komunitas disiplin ilmu yang memiliki keyakinan epistemologis bahwa satu paradigma bisa memberikan jawaban atas kompleksitas masalah dan enigma-enigma keilmuan yang dihadapi (Hall, 2012), namun, bagi proponen paradigma plural, bagaimanapun sebuah paradigma tunggal belum cukup menyediakan dasar yang kuat untuk itu, seperti yang terjadi pada disiplin-disiplin ilmu sosial dengan
5
kompleksitas masalah yang dihadapi dan tingkat kontestasi yang sangat tinggi (Kuhn, 2000). Karenanya, Ritzer (1975) mengklaim bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma plural/majemuk (sociology is a multiple paradigm science), yaitu paradigma konflik, fungsionalisme-struktural, dan interaksi-simbolis (cf. Hafner, 1998; Dunn, 2010). Penerimaan atas paradigma plural merupakan evolusi kedua dalam sejarah sosiologi, setelah sebelumnya para sosiolog menerima ”teori tindakan” (theory of action) dari Talcott Parsons sebagai paradigma tunggal (single paradigm), dan menjadikannya sebagai istilah sentral di dalam teori sistem sosiologi pada periode 1940an dan 1950an. Demikian pula Capra (2001) dalam kajian disiplin ilmu budaya (antropologi) ketika menganalisis fenomena terjadinya ”titik balik peradaban”. Kompleksitas dan saling-silang-kait realitas dan masalah yang menjadi bidang kajian disiplin-disiplin ilmu merupakan asumsi-asumsi epistemologis yang mendasari komitmen komunitas ilmiah berbagai disiplin ilmu atas paradigma plural. Menurut Ritzer (1975) dan Capra (2001), realitas pada dasarnya tersusun secara bertingkat tetapi terpadu dari hasil interrelasi dua dasar secara kontinum sosial, yaitu “makroskopis-mikroskopis” (dilihat dari ukuran besar-kecilnya fenomena) dan “objektif-subjektif” (dilihat dari ada tidaknya secara nyata). Untuk melihat secara utuh konstruksi realitas sosial tersebut, tidak perlu dan selalu sebuah paradigma ‘baru sama sekali’ menggantikan kedudukan yang kini telah ada, melainkan dengan memilih dari paradigma yang ada tadi sesuai dengan jenis persoalan yang sedang dipertanyakan dan dikaji. Dengan asumsi epistemologis seperti itu, maka di dalam paradigma plural tidak perlu ada persaingan atau konflik antar-paradigma di dalam memberikan pemahaman, pemecahan, dan penjelasan atas masalah yang dihadapi. Masing-masing paradigma dipilih dan digunakan sesuai dengan ”tingkat kesesuaian atau kecocokannya” dengan jenis dan tingkatan masalah yang dihadapi, dan komunitas ilmuwan dari
6
masing-masing paradigma berikhtiar secara ”berbarengan” (concurrent) dan saling berkomunikasi untuk menjelaskan kompleksitas masalah yang dihadapi. Salah satu karakteristik menonjol dari komunitas ilmuwan adalah sebagai sebuah sistem yang memiliki paralelitas tinggi (highly parallel systems) (Konfeld & Hewitt, 1981). Dewasa ini, komitmen atas penerimaan dan penggunaan paradigma majemuk/plural kini telah menjadi fenomena dan kecenderungan umum di dalam perkembangan berbagai disiplin ilmu. Disiplin ilmu kognitif misalnya, menegaskan bahwa arsitektur sistem intelegensi manusia tidak bisa hanya didasarkan pada pendekatan ˝hipotesisdeduktif˝ (hypothetico-deductive approach) yang didasarkan pada sistem pemikiran logika formal, melainkan juga membutuhkan induksi, abduksi, dan analogi, dan metafora (Majumdar & Sowa, 2009). Hasil penelitian Gardner (1983) tentang “multiple intelgences” merupakan bukti empirik atas hal ini. Disiplin ilmu psikologi sebagai disiplin ilmu yang sangat tua dan identik dengan penggunaan model paradigma tunggal “experimental psychology” atau "mental paradigm” (tradisional) juga sudah menggunakan paradigma plural dalam kajian-kajian ilmiahnya, dengan memadukan paradigma tradisional dengan paradigma “interpretative social psychology” (moderen), dan paradigma ‘social constructionist psychology’, ‘critical psychology’, ‘discursive psychology’ atau bahkan dengan paradigma ‘postmodern psychology’ (posmoderen) (Rogers, 2010). Mungkin, Cronbach (Reschly & Ysseldyke, 1997)-lah yang pertama kali menegaskan perlunya “merger” dua paradigma di dalam psikologi, yaitu antara “korelasional” dan “eksperimental” tahun 1957, karena menurutnya akan menghasilkan keuntungan yang maksimal bagi konsumen. Disiplin ilmu pendidikan juga telah berevolusi dari paradigma tunggal “analytic-empirical-positivist-quantitative” ke paradigma plural “electic-mixed methods-pragmatic” (Reeves, 1996).
PENDIDIKAN IPS: DISIPLIN ILMU TERINTEGRASI Dalam berbagai literatur, ada banyak nomenklatur yang digunakan merujuk pada Pendidikan IPS (PIPS) yang digunakan dalam tiga makna: (1) disiplin ilmu terintegrasi (an integrated scientific discipline) atau bidang kajian/penelitian (a field of study or research); (2) program pendidikan terintegrasi (integrated social studies, integrated social sciences education); dan (3) ‘label resmi’ mata pelajaran di dalam kurikulum persekolahan di Indonesia (SD—SMA), Amerika (K-1—K-12), Australia (P1-P10), dan jenjang universitas. Evolusi awal pemikiran PIPS diawali munculnya gagasan “pedagogi sosial” (sozial pädagogik) di Jerman pada tahun 1840an, sebagai disiplin ilmu yang mengkaji teori dan praktik pendidikan secara holistik dengan memanfaatkan teori-teori dan konsep-konsep dari berbagai disiplin ilmu terkait seperti: sosiologi, psikologi, pendidikan, filsafat, kedokteran, dan kerja sosial. Tujuannya adalah menemukan alternatif “pendidikan kemasyarakatan” (community education) yang lebih fleksibel, demokratis, dengan memaksimalisasi fungsi pendidikan bagi peningkatan kesejahteraan individu dan kelompok muda, khususnya bagi “masyarakat yang terpinggirkan” (Smith , 2012; Smith & Doyle, 2012; Hämäläinen, 2012). Gagasan pedagogi sosial ini kemudian menyebar ke Amerika Utara dan Inggris. Di Amerika gagasan ini diwujudkan dalam bentuk pendidikan sosial (socialized education and social education). Tahun 1880an, ketika Amerika mendirikan “American public schools” secara besar-besaran, gagasan tersebut dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum persekolahan dengan nama “Social Education” dan “Social Studies” (Saxe, 1991). Di Inggris, pedagogi sosial ini menjadi gagasan pokok bagi pengembangan pendidikan sosial bagi para pekerja muda pada tahun 19601970an sejalan dengan meningkatkan tuntutan profesionalisasi dan sekularisasi, dan akhirnya menjadi bagian dari kurikulum sekolah, yaitu PSHE (personal,
social and health education) sejak 2000 (Smith & Doyle, 2012). Pendidikan IPS (PIPS) mulai dikembangkan menjadi disiplin ilmu, bidang kajian ilmiah atau sebagai cabang disiplin ilmu pendidikan di tingkat universitas terjadi tahun 1913-1916, setelah terbentuknya organisasi pofesional ilmuwan PIPS yang pertama “Committee on Social Studies/CSS”. Melalui komisi ini secara serius mulai dilakukan konseptualisasi PIPS dan menetapkan spesialisasi bidang kajiannya sebagai pendidikan kewarganegaraan (Saxe, 1991; Lybarger, 1991; Stanley, 1985). Para pakar yang banyak berjasa dan berpengaruh terhadap perkembangan PIPS sebagai bidang kajian ilmiah di tingkat universitas adalah para “Old Master” dan “founder of the social studies” seperti: Parker, Johnson, Tyron, Jones, Dewey, Dunn, Burch, Barnard, Evans, Patterson, Howe, Kaestle, Robinson, Kingsley, Mace, Snedden, Barr, Shermis, dan Barth. Diantara mereka, Harold Rugg dinyatakan sebagai “the oldest Old Master”. Mereka pula yang telah berupaya keras mengkaji, mencermati, dan melakukan refleksi berbagai karya-karya monumental para pandega PIPS maupun yang tertuang di dalam dokumendokomen historis dari komisi 1913 dan 1916, untuk merumuskan gagasan, obsesi, komitmen besarnya tentang pengembangan PIPS (Saxe, 1991; Lybarger, 1991). Sejak awal konseptualisasinya, PIPS telah ditegaskan sebagai bidang kajian khusus yang terintegrasi dengan memanfaatkan disiplin-disiplin ilmu sosial dan humaniora untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia (CSS, dalam Saxe, 1991). PIPS adalah cabang disiplin ilmu pendidikan yang mengkaji tentang teori, metode, dan praktik keilmuan pendidikan ilmu-ilmu sosial dan humaniora secara terintegrasi. Sebagai disiplin terintegrasi, PIPS dikaji dan dikembangkan di tingkat universitas di berbagai dunia untuk mendidik para guruprofesional pada satuan SD, sedangkan bagi para guru-profesional pada satuan SMP dan SMA atau sederajat menggunakan model PIPS-terpisah, meliputi konsentrasi/spesialisasi bidang
7
kajian disiplin-disiplin ilmu sosial (Kemendikbud, 2012; Farisi & Suparto, 2007). Namun demikian, sejarah juga mencatat bahwa untuk mencapai konsensus akademik di antara pakar PIPS tentang “definisi” PIPS melewati sejarah yang sangat panjang selama 40an tahun (1930—1970an). Selama itu PIPS didera oleh berbagai kesalahpahaman dan debat berkepanjangan, pekat oleh konflik dan kontestasi definisi, tumpang-tindih fungsi, dan kerancuan filsafat yang hampir menyeretnya ke arah ketidakpastian, keraguan, perpecahan yang tak berkesudahan, dan kemajuan yang “tertunda” (Barr, Barth, & Shermis, 1978: 35-46). Masing-masing kelompok pakar cenderung bersikap “tautologis” dengan pijakan epistemologis masing-masing (Winataputra, 2001). Perdebatan tesebut telah berimplikasi lebih jauh sulitnya membangun konsensus tentang hakikat atau karakteristik (hubungan antar-disiplin ilmu dalam PIPS), model kurikulum dan pembelajaran, lingkup kajian, dan dimensidimensi kewarganegaraan sebagai tujuan akhir PIPS (Lybarger, 1991; Zarrillo, 2008; Barr, Barth, & Shermis, 1977; 1978). Bahkan, di dalam sidang perdana NCSS— organisasi profesional pakar PIPS—tahun 1921 pun debat-definisi PIPS memasuki rawa-rawa kebingungan refleksi keruh perjuangan intelektual yang kunjung usai di tengah gejolak sosial, politik, dan ekonomi (Longstreet, 1985). Karenanya, Saxe (1991) berkesimpulan, bahwa PIPS sesungguhnya bukan lahir dan bangkit dari kesadaran kesejawatan atau kolegialisme di internal komunitas PIPS, melainkan dari intrik-intrik, pertentangan, persaingan internal kalangan komunitas PIPS” (h. ix). Tahun 1980an merupakan periode penting dimulainya upaya-upaya untuk mencapai konsensus akademik tentang “definisi” PIPS. Pada periode itu, berbagai dialog profesional dan publik mulai banyak diselenggarakan, buku-buku dan artikelartikel tentang PIPS mulai memasukkan isu, perspektif, atau dimensi baru (termasuk konstruktivisme), komisi-komisi reformasi kurikulum PIPS dibentuk, asosiasi-asosiasi peneliti senior atau pusat-pusat penelitian dan pengembangan
8
PIPS pun mulai mencari bantuan dana untuk kepentingan penelitian (Armento, 1991). Konsensus tentang “definisi” PIPS tercapai tahun 1994 ketika NCSS merumuskan bahwa “social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence” (NCSS, 1994, 2010: 3), dan menegaskan bahwa keterpaduan merupakan karakteristik dan esensi dari “kekuatan” PIPS, “social studies is powerful when they are meaningful, integrative, valuebased, challenging, and active.” (NCSS, 1994:213). Rumusan definisi IPS dari NCSS tersebut sama dengan definisi yang dibuat oleh Barr dkk. (1978:18). Konsensus atas rumusan “definisi” PIPS terintegrasi dari CSS/NCSS tersebut dapat dipandang sebagai “asymptote” yang mampu menengahi berbagai kesalahpahaman dan debat berkepanjangan yang terjadi selama ini, sekaligus merefleksikan perubahan hakikat pengetahuan, didukung oleh pendekatan baru yang lebih terintegrasi untuk memecahkan isu-isu penting bagi kemanusian. Di satu sisi, PIPS- integratif memungkinkan siswa memahami arti penting masing-masing disiplin ilmu dan perspektif spesifiknya di dalam memahami topik-topik, isu-isu, dan masalah-masalah yang dikaji. Di sisi lain, juga memungkinkan siswa mengenal bahwa topik-topik, isu-isu, dan masalah-masalah tersebut mampu melintasi batas-batas setiap disiplin dan membutuhkan kekuatan integrasi di dalam dan lintas-disiplin (NCSS, 1994: 3). Menurut Popkewitz & Maurice (1991), integrasi dan sinergitas kajiankajian ke-PIPS—an lebih mampu merefleksikan realitas dinamis PIPS di dalam mengembangkan program-program pendidikan. Sejalan dengan karakter integratif PIPS, keduanya mengajukan “epistemologi sosial” sebagai model penelitian dalam PIPS. Hartoonian (1992:162) juga menegaskan, bahwa komitmen ke arah PIPS integratif tersebut didasarkan pada pijakan epistemologi bahwa “kehidupan ini sesungguhnya merupakan sebuah keterpaduan yang utuh. Karena itu, manakala PIPS tidak dikonstruksi berdasarkan kebenaran ini, niscaya akan menghadapkan anak muda
(siswa) pada situasi krisis”. “Social studies is about life. It is naturally integrated subject” (Lindquist, 1995:16). Epistemologi sosial sebagai model penelitian dalam PIPS dijelaskan oleh Popkewitz & Maurice (1991) sebagai suatu pandangan yang di dalamnya berisikan asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan kesadaran multi-dimensional serta saling berjalinan membentuk teori tentang PIPS, yang didasarkan pada asumsi-asumsi tentang berbagai pandangan tentang pengetahuan yang saling silang-kait dan berkelanjutan terus direkonstruksi melalui interaksi antara para epistemolog dengan sejawat, paraktisi, pengembang, serta audiensnya. Di satu sisi, teori PIPS merupakan pernyataan-pernyataan tentang PIPS yang diperoleh dari hasil kajian yang menjabarkan, menginterpretasikan, serta menjelaskan berbagai fenomena ke-IPS-an (jatidiri, visi, misi, tujuan, hingga fenomena praktis di sekolah) yang diorganisasi dalam bentuk pernyataan-pernyataan perseptual dan aktual pendidikan (pembelajaran) secara multi-dimensional; baik dari dimensi behavioral, fenomenal, ataupun dimensi kritikal/marxian. Di sisi lain, teori PIPS memiliki dimensi lain, yaitu dimensi sosial yang di dalamnya mencakup asumsiasumsi filosofis dan konteks sosialhistorikal di mana konstruksi teori epistemologi tersebut dibentuk. Teori-teori digunakan sebagai basis dalam melakukan penelitian tentang PIPS, serta disesuaikan dengan aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang telah dikonstruksi secara sosial dan historikal. Sedangkan formasi-formasi sosial lah yang membentuk teori dan arah penafsiran dari para teoretisi. PARADIGMA-PARADIGMA DALAM PIPS Seperti dinyatakan sebelumnya, evolusi PIPS sebagai bidang kajian ilmu pekat dengan kontestasi dan konflik yang ”seakan” tak pernah berkesudahan. Namun demikian, para pakar bersepakat dalam satu hal, bahwa PIPS perlu dikonstruksi sebagai pendidikan kewarganegaraan (social studies is citizenship education). Seperti ditegaskan Zevin (1992), bahwa apapun pendapat
para pakar PIPS tentang paradigmaparadigma tadi, pada prinsipnya semua paradigma tadi berpijak dari pokok persoalan yang sama, yaitu tentang dimensi-dimensi kewarganegaraan. Sejarah kelahiran dan perkembangan social studies pada dasarnya adalah sejarah kelahiran dan perkembangan paradigma kewarganegaraan. Paradigma yang memandang bahwa peran kritis PIPS adalah mendidik para generasi muda menjadi warga negara yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsanya dalam segala aspeknya. Berdasarkan kajian tujuan, metode, dan konten PIPS, dapat diidentifikasi adanya lima paradigma yang menjadi eksemplar, model, teori, metode atau instumen kajian PIPS sebagai pendidikan kewarganegaraan. Kelima paradigma tersebut adalah: (1) pengembangan pribadi siswa; (2) ilmu-ilmu sosial; dan (3) reflektif-inkuiri; (4) transmisi kewarganegaraan; dan (5) partisipasi sosial-politik (Barr dkk., 1977, 1978; Brubaker, Simon, Williams, 1977; Stopsky & Lee, 1994; Martorella, 1985). Paradigma Transmisi Kewarganegaraan Paradigma ini memandang bahwa “social studies taught as citizenship transmission”, dan sebagai paradigma tertua /pertama di dalam pemikiran PIPS. Paradigma ini memandang bahwa tujuan PIPS adalah membina dan mengembangkan generasi muda yang loyal (loyal believers), yang dapat mewarisi, melestarikan, dan melanjutkan khasanah asumsi, nilai, kepercayaan, sikap, harapan, dan fakta tentang masyarakat dan kebudayaan yang bernilai “tinggi atau ideal” dan “self-evident truths”. Metode yang digunakan adalah paduan antara deskripsi, persuasi, dan/atau indoktrinasi; dan isi pendidikan adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sejarah dan kebudayaan tinggi masa lampau (Barr dkk., 1977). Sejumlah eksemplar penting dari paradigma ini adalah: (1) model kurikulum PIPS interdisipliner yang direkomendasikan oleh the Committee of Ten on Secondary School Studies” (1893); (2) model kurikulum bermuatan empat
9
kajian nilai-nilai historis kebudayaan tinggi dan ideal yang terdapat di dalam sejarah Yunani, Romawi, sejarah politik Amerika, dan Eropa yang direkomendasikan oleh the Committee of Seven of the American Historical Association (CSAHA) (1899); model kurikulum the Committee on Social Studies of the National Commission on the Reorganization of Secondary Education (1916) melengkapi model kurikulum CSAHA dengan menambahkan kajian pendidikan kewarganegaraan (civic), dan problema demokrasi (Saxe, 1991; Masialas & Cox, 1966). Paradigma Ilmu-ilmu Sosial Paradigma ini memandang bahwa “social studies taught as social sciences”, yang menegaskan bahwa ilmu-ilmu sosial adalah ”the hearth of discipline” (Wesley & Wronski, 1958:3), “the core of the curriculum” (NCSS, 1935). Tujuan PIPS adalah membina dan mengembangkan generasi muda yang mampu menguasai konsep-konsep, proses-proses, masalahmasalah, keragaman aturan-aturan keilmuan pada setiap disiplin ilmu sosial, serta penguasaan terhadap langkahlangkah metode ilmu-ilmu sosial ”through the eyes of social scientists” (Barr dkk., 1977:63). Metode yang digunakan adalah teknik yang lazim yang digunakan di dalam ilmu-ilmu sosial seperti: pengumpulan data, inkuiri, statistik, verifikasi, dan sejenisnya. Isi pendidikan terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dipandang penting dan nyata dari setiap disiplin ilmu sosial yang sudah disederhanakan (simplified, reduced) sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan siswa (Zevin, 1992; Barr dkk., 1977; Wesley & Wronski, 1958). Menurut Longstreet (1985) paradigma ini terkait erat dengan kebangkitan gerakan ilmu-ilmu sosial baru (the new social sciences) tahun 1880-1890an. Menurut paradigma ini, PIPS hakikatnya merupakan “penyederhanaan ilmu-ilmu sosial untuk tujuan-tujuan pendidikan“ (Barr, dkk., 1977). PIPS adalah “an offspring of the social sciences” (Welton & Malan, 1988), hasil adaptasi pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial sehingga bisa sesuai dengan tujuan pembelajaran (Somantri, 2001), atau
10
“bagian dari ilmu-ilmu sosial” (Wahab, A.A., 1986). Paradigma ini juga menjadi “academic position” Himpunan Sarjana Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia (HISPIPSI)—sekarang diubah menjadi Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) (Somantri, 2001). Menurut penganut paradigma ini, evolusi historis-epistemologis, perkembangan kurikulum dan profesionalisme PIPS menunjukkan bahwa PIPS pada dasarnya merupakan penyesuaian secara ilmiah terhadap kebutuhan anak dan masyarakat, dan bentuk penerimaan ilmuilmu sosial sebagai “a mainline subject” PIPS (Lybarger, 1991). Karenanya, menurut paradigma ini, PIPS perlu difokuskan pada upaya mendidik dan membentuk anak menjadi “a greater discipline man”, manusia yang cerdas, intelektual, dan siap membangun masyarakat “positif atau nyata” di atas fondasi “ilmu pengetahuan”, melalui penguasaan struktur disiplin ilmu yang memuat konsep, generalisasi, dan keragaman aturan-aturan keilmuan pada setiap disiplin ilmu sosial, serta metode ilmiah. Sejumlah eksemplar penting dari paradigma ini adalah: (1) karya Rolla M. Tyron “The Social Sciences as School Subjects” (1934); NCSS “Social Sciences as the Core of the Curriculum” (1935); dan Edgar Bruce Wesley “Teaching the Social Studies” (1937) yang memberikan dasardasar teoretik tentang signifikansi konsepkonsep esensial ilmu-ilmu sosial sebagai dasar penyusunan kurikulum sekolah. (2) model kurikulum tematik ”Expanding Communities of Men” dari Paul R. Hanna yang cakupan dan sekuensinya dikembangkan berdasarkan sembilan aktivitas dasar manusia dalam konteks kehidupan masyarakat dari yang ”terdekat” (keluarga) hingga ”terjauh” (komunitas global) dari kehidupan siswa sebagai unit-unit kajian bagi penguasaan generalisasi, konsep, dan fakta ilmu-ilmu sosial (Hanna, 1963, 1965; Parry, 1990). Eksemplar lainnya adalah: (3) model kurikulum “Man: A Course of Study” (MACOS) yang dikembangkan oleh Jerome S. Bruner dan Peter Down yang diorganisasi berdasarkan tiga pertanyaan: What is human about human beings? How
did they get that way? How can they made more so? Ketiga pertanyaan tersebut dikaji dari konsep-konsep esensial ilmuilmu sosial (Skeel, 1995:65). (4) Model kurikulum berikutnya adalah ”Man in Action Series” dari Presno & Presno (1966) menyediakan model kurikulum interdisipliner yang diorganisasi ke dalam 11 konsep tindakan serial manusia yang bersumber dan dikembangkan dari disiplin ilmu-ilmu sosial. Kesebelas konsep tindakan tersebut diklasifikasi menjadi tiga tingkatan: tingkatan A difokuskan pada diri siswa sebagai makhluk individual (people and their actions); tingkatan B difokuskan pada diri siswa sebagai makhluk sosial (people and their social actions); dan tingkatan C difokuskan pada bagaimana siswa bertindak sesuai dengan peranperan sosialnya sebagai makhluk sosial (people and their actions in social roles). (5) teori dan model “spiral curriculum” dari Hilda Taba (1962; 1967) yang menyediakan model kurikulum yang diorganisasi berdasarkan 11 konsep dasar ilmu-ilmu sosial sebagai “alat analisis” pada seluruh topik/unit kajian kurikulum PIPS. Kesebelas konsep dasar tersebut adalah sebab-akibat; konflik/pertentangan; kerjasama; perubahan budaya; perbedaan/keragaman; saling ketergantungan; modifikasi; kekuasaan; kontrol sosial; tradisi; dan nilai-nilai (Banks & Ambrose, 1985:41). secara berjenjang dari konten, konsep, sikap, keterampilan “sederhana” ke “kompleks” sebagai unit-unit kajian untuk meningkatkan dan memperkuat penguasaan pengetahuan (gagasan, topik, konsep, tema), keterampilan, dan pengalihan belajar. Paradigma Inkuiri-Reflektif Paradigma ini memandang bahwa “social studies taught as reflective inquiry” yang bertujuan membina dan mengembangkan generasi muda yang mampu menganalisis, berpikir kritisreflektif, dan membuat keputusan yang tepat dalam konteks sosial-politik atas dasar masalah-masalah, isu-isu “inward to perceived feelings and values and private outlooks. It is both a social and a personal problem” (Barr, dkk., 1977:66). Tujuan untuk mewujudkan kompetensi
kewarganegaraan menurut NCSS (2010) harus memungkinkan generasi muda mampu mengaplikasikan proses-proses inkuiri, mengembangkan keterampilan mengumpulkan dan menganalisis data, bekerja sama, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah. Membantu siswa menjadi “good problem solvers and wise decision makers” merupakan kunci utama PIPS (Lindquist, 1995:1). Metode yang digunakan adalah strategi dan teknik yang mendorong siswa mampu mengajukan pertanyaan penting dan menemukan jawaban yang memuaskan. Isi pendidikan memuat pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dipilih sendiri oleh siswa dari berbagai informasi yang diterima dan/atau yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat; termasuk “process of knowing and valuing” (Zevin, 1992) Sejumlah eksemplar penting dari paradigma ini adalah: (1) karya Maurice Hunt dan Lawrence Metcalf, “Teaching High School Social Studies: Problems in Reflective Thinking and Social Understanding” (1955) yang menawarkan sebuah visi baru tentang konten atau isi PIPS. Menurut mereka isi pendidikan perlu memuat data yang berfungsi dan mendukung aktivitas berpikir reflektif atau proses berpikir, seperti isu-isu di dalam “closed areas” pada kajian ekonomi; hubungan antar ras dan kelompok etnik; klas sosial; seks, pacaran, dan perkawinan; agama dan moralitas; dan nasionalisme, patriotisme, dan institusiinstitusi kenegaraan. (2) karya Shirley Engle “Decision Making: The Heart of Social Science Instruction” (1960) yang mengusulkan perlunya pendekatan reflektif dalam PIPS untuk memaksimalisasi kesempatan siswa membuat keputusan yang masuk akal dan cerdas terhadap apa yang mereka anggap bermakna, sesuai dengan keyakinannya, ide dan prinsip yang diterima, dan tindakan yang layak diikuti (Stanley, 1985). (3) karya Massialas dan Cox, “Inquiry in Social Studies” (1966) yang menyediakan landasan teori, model dan strategi inkuiri di dalam IPS di dalam merumuskan tujuan, pengembangan kurikulum, metode pembelajaran, bidang kognitif dan afektif, penggunaan buku dan bahan-bahan belajar; evaluasi, penelitian;
11
dan penyiapan guru. (4) National Curriculum Standards for Social Studies NCSS (2010) yang dikembangkan secara terintegrasi berdasarkan pendekatan pemecahan masalah, isu-isu kontroversial. Paradigma Pengembangan Pribadi Siswa Paradigma ini memandang bahwa “social studies taught as student-oriented” yang bertujuan membina, membangun, dan mengembangkan kepercayaan-diri, kesadaran berbangsa, dan kesadaran etnik generasi muda sebagai warga negara (Zevin, 1992); dan memfasilitasi mereka mengembangkan secara berkelanjutan dimensi kognitif, fisik, afektif, dan moralitasnya (Lindquist, 1995) melalui pembentukan identitas-diri, dan pemantapan persepsi-diri secara psikologis pada diri siswa. PIPS membantu generasi muda yang memiliki karakteristik: “knowing”, mengerti tentang dunia dan bagaimana ia berfungsi; “doing”, aktif mengelola sumber-sumber yang ada bagi kehidupannya dan bagi dunia; dan “caring”, peka dan peduli terhadap nilai, konflik nilai, dan mampu menempatkan diri pada posisi orang lain (perspective taking) (Schuncke, 1988). Metode diarahkan pada pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap individu-individu yang dapat memahamkan mereka atas eksistensi dirinya dan dalam hubungannya dengan kehidupan sosial bagi terwujudnya “komunitas kewarganegaraan” (community civics). Isi pendidikan memuat pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan siswa. Sejumlah eksemplar penting dari paradigma ini adalah: (1) karya Henry Johnson “Teaching of History in Elementary and Secondary School” tahun 1915; (2) laporan “immediate reception” dari CSS “The Social Studies in Secondary Education” (Dunn, dalam Lybarger, 1991); dan (3) karya Harold Rugg “Needed Changes in the Communittee Procedure on Reconstructing the Social Studies” tahun 1921. Karya-karya tersebut memberikan eksemplar “socio-civics-humanistic based epistemology” bagi IPS, sebuah
12
epistemologi yang ditegakkan di atas komitmen kuat pada arti penting PIPS untuk memenuhi secara langsung dan segera kebutuhan komunitas-komunitas individu sebagai upaya untuk mengembangkan mereka menjadi manusia terbaik, warga negara yang baik, anggota masyarakat yang konstruktif. Paradigma partisipasi sosial-politik Paradigma ini memandang bahwa “social studies taught as sociopolitical involvement or informed social criticism” yang bertujuan membina dan mengembangkan generasi muda yang manusiawi, rasional, dan mampu berpartisipasi aktif merumuskan kebijakan dan keputusan terkait berbagai isu, masalah, dilema di dalam realitas kehidupan sosial-politik (Sunal & Haas, 1993; Maxim, 1997; NCSS, 1979). PIPS adalah “being a foundation of social participation” (Schuncke, 1988:26), dengan memberikan kepada anak-anak muda pengetahuan yang sahih, agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam berbagai peristiwa sosial secara efektif fan bertanggung jawab, berkemanusiaan, rasional, dan aktif-partisipatif di dunia yang semakin kompleks (Armento, 1991; Sunal & Haas, 1993). Metode yang digunakan adalah aktivitas pembelajaran yang dapat mendorong siswa berpartisipasi-aktif dalam perencanaan, analisis, dan pembuatann pertimbangan atau keputusan sosial, seperti: bermain peran, kerja komite/kelompok, projek individu dan kelompok, karyawisata (Masialas & Cox, 1966). Isi pendidikan adalah topik-topik khusus yang diangkat dari masalahmasalah persisten dan kontemporer dalam kehidupan masyarakat seperti: ekologi, konflik nilai, ras, kelompok etnis, pendidikan konsumen, pendidikan karir, dan kesadaran-mendunia (worldmindedness), keadilan sosial, kebebasan berbicara dan berserikat, perdamaian dunia, dll. (Zevin, 1992; Schuncke, 1988; Manson et al., 1971). Sejumlah eksemplar penting dari paradigma ini adalah: (1) karya Arthur W. Dunn “Community Civics and Rural Life” (1920) dan “Community Civics for City Schools” (1921) yang memberikan konsep
baru PIPS sebagai pendidikan yang berorientasi pada partisipasi siswa dalam proses demokrasi. (2) Model kurikulum NCSS, “Revision of the NCSS Curriculum Guidelines” (1979) yang memuat model kurikulum PIPS berorientasi pada partisipasi sebagai warga negara demokratis; (3) Model kurikulum Superka & Hawke (1980; 1982), “the expanding environment” yang berpusat pada tujuh peran sosial siswa (social role model) sebagai warga negara, pekerja, konsumen, anggota keluarga, teman, anggota kelompok sosial, dan sebagai pribadi. (4) karya Banks (1984), “Teaching Strategies for Ethnic Studies” yang menyajikan tentang konsep, tujuan, model kurikulum dan pembelajaran etnik dan evaluasinya dalam PIPS. (5) karya Banks (1985) menyajikan strategi dan modelmodel pembelajaran IPS berbasis inkuiri, nilai, dan pengambilan keputusan. PENUTUP PIPS adalah sebuah disiplin ilmu terintegrasi yang menganut paradigma plural, dengan lima paradigma, yaitu: pengembangan pribadi siswa, ilmu-ilmu sosial, reflektif-inkuiri, transmisi kewarganegaraan, dan partisipasi sosialpolitik. Setiap paradigma menjadi eksemplar, model, teori, metode atau instumen kajian PIPS sebagai pendidikan kewarganegaraan. Setiap paradigma dapat dikaji dari tiga unsur pokoknya, yaitu tujuan, metode, dan isi. Masing-masing dari kelima paradigma PIPS tersebut telah menghasilkan sejumlah eksemplar (model, teori, metode atau instumen kajian) tentang dimensi-dimensi PIPS sebagai pendidikan kewarganegaraan. Sejumlah eksemplar penting dan menonjol dari masing-masing paradigma mengintegrasikan dimensi-dimensi pendidikan, sosial, budaya, psikologi, dan teknologi dalam berbagai bidang kajian dan pengembangannya dapat ditemukan pada pengembangan model-model pembelajaran dan kurikulum. Eksemplar dari masing-masing paradigma PIPS juga tidak bersifat artifisial, arbitrer dan idiosinkratis, serta didasarkan pada kesatuan tematik.
REFERENSI Armento, B.J. (1991). Changing conceptions of research on teaching of social studies. Dalam J.P. Shaver (Ed.). Handbook of research on social studies teaching and learning, h. 185-196. New York: McMillan Publishing Company. Åström, F. (2006). The social and intellectual development of library and information science. Doctoral Dissertation in Library and Information Science at the Faculty of Social Sciences, Umeå University. Bammer, G. (2008). The case for a new discipline of integration and implementation sciences (i2s). Integration Insights, 6, 1-5. Bammer, G. 2005. Integration and Implementation Sciences: building a new specialization. Ecology and Society, 10(2): 6. Banks, J.A. & Ambrose A.C. Jr, (1985). Teaching Strategies for the Social Studies. New York: Longman, Inc. Banks, J.A. & Ambrose, A.C. Jr, (1985). Teaching Strategies for the Social Studies. New York: Longman, Inc. Banks, J.A. (1984). Teaching Strategies for Ethnic Studies. 3rd eds. Masschussetts: Allyn & Bacon, Inc. Barr, Barth, & Shermis. (1977). Defining the Social Studies. Virginia: National Council for the Social Studies. Barr, Barth, & Shermis. (1978). The Nature of the Social Studies. Palm Spring CA: ETC Publications. Beane, J.A. (1995). Curriculum integration and the disciplines of knowledge. The Phi Delta Kappan, 76(8), 616622. Bird, A. (2008). Incommensurability naturalized, dalam L. Soler, H. Sankey and P. Hoyningen-Huene (eds.), Rethinking Scientific Change and Theory Comparison, Berlin: Springer, pp. 21–39. Brubaker, D.L., Simon, L.H., & Williams, J.W. (1977). A conceptual framework for social studies curriculum and instruction. Social Studies Education, 41: 201-205 Burwitz, L., Moore, P. M. and Wilkinson, D. M. (1994). Future Directions for
13
Performance-Related Research. An Interdisciplinary Approach. Journal of Sport Sciences, 12, 93-109. Capel, H. (1989). The history of science and the history of the scientific disciplines. Goals and branching of a research program in the history of geography. Geo Critica, Año XIV, Número: 84. Diunduh 28 Maret 2013 dari http://www.ub.edu/geocrit/geo84.ht m. Capra, F. (2000). Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. M. Thoyibi (pen). Yogyakarta: Bentang Budaya. Cohen, E.B. (2009). A Philosophy of Informing Science. Informing Science: the International Journal of an Emerging Transdiscipline, 12, 115. Contemporary Issues in Technology and Teacher Education, 6(2), 271-274. Craig, R.T. (2008). Communication in the conversation of disciplines. Russian Journal of Communication, 1(1), 723. Darden, L., & Maull, N. (1977). Interfield theories. Philosophy of Science, 44, 43-64. Dufty, D.G. (1970). Teaching About Society: Problems and Possibilities. Adelaide: Rigby Limited. Dunn, R. (2010). The Three Sociological Paradigms/Perspectives. Diunduh 29 Maret 2013 dari http://cnx.org/content/m33962/latest/ . Farisi, M.I., & Suparto, A. (2007). Cabangcabang Disiplin Ilmu Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press. Gibbons, M. et al (1994). The new production of scientific knowledge: The dynamics of science and research in contemporary society. London: Sage. Golding, C. (2009). Integrating the disciplines: Successful interdisciplinary subjects. Australia: Centre for the Study of Higher Education, The University of Melbourne. Haas, P.M. (1992). Introduction: epistemic communities and international policy
14
coordination. International Organization, 46(1), 1-35. Hafner, P. (1998). Theories and paradigms in sociology. Philosophy and Sociology, 1(5), 455 – 464. Hall, R. (2012). Mixed Methods: In Search of a Paradigm. Proceedings of the 1st Annual PSU Phuket International Conference 2012 Multidisciplinary Studies on Sustainable Development. January 10-12, 2013 at Prince of Songkla University, Phuket, Thailand. Diunduh 29 Maret 2013 dari http://auamii.com/proceedings_phuk et_2012/hall.pdf. Hämäläinen, J. (2012). Social pedagogical eyes in the midst of diverse understandings, conceptualisations and activities. The International Journal of Social Pedagogy, 1(1), 316. Hanna, P.R. (1963). Curriculum and instruction: A proposal concerning the NEA’s future role in these areas. NEA Journal (January): 52–54. Hanna, P.R. (1965). Design for a Social Studies Program. Focus on the Social Studies. Washington, DC: National Education Association, Department of Elementary School Principals. Hartoonian, M. (1992). The socialstudies and project 2061: An opportunity for harmony. The Social Studies, 83(4), 160-163. Henry, N.B. (1952). The Fifty-First Yearbook of the National Society for the Study of Education (Part 1: General education). Chicago: The National Society for the Study of Education. Hoyningen-Huene, P. (1990). Thomas Kuhn and the Chemical Revolution”, Foundations of Chemistry, 10: 101– 115. Hulme, D., & Toye, J. (2005). The case for cross-disciplinary social science research on poverty, inequality and well-being. Diunduh 26 Maret 2013 dari http://economics.ouls.ox.ac.uk/1408 1/1/gprg-wps-001.pdf Jarolimek, J. (1989). In Search of a Scope and Sequence for Social Studies:
Report of the National Council for the Social Studies Task Force on Scope and Sequence. Social Education, 53(6), 376-387. Jordan, T. (1989). Integrating Scientific Disciplines. Issues in integrative studies, 7, 95-104. Kemendikbud. (2012). Koding rumpun, sub rumpun dan bidang ilmu. Jakarta: Ditjen Dikti. Konfeld, W.A., & Hewitt, C. (1981). The scientific community metaphor. IEE Transactions on Systems, Man, and Cybernetics, 11(1), 24-33. Koskinen, J. (2011). Break of disciplinary silos. Diunduh 26 Maret 2013 dari http://servicedesign.tv/blogs/show/6 36/0/24517/Break_of_disciplinary_si los Kragt, M.E., Robson, B.J., & Macleod, J.A. (2011). How integrative modelling can break down disciplinary silos. Working Paper 1121, School of Agricultural and Resource Economics, University of Western Australia, Crawley, Australia. Kuhn. T.S. (2001). The Structure of Scientific Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Keilmuan. Alih Bahasa Tjun Surjaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Kumar, A. (2012).Interdisciplinary Research: A new A pproach to solve Management Problems. Diunduh 22 Maret 2013 dari http://nmims.edu/wpcontent/uploads/2012/p3/MPSTME/I nterdisciplinary_ Research_in_Management%20Abhay%20Kumar.pdf). Lindquist, T. (1995). Seeing the Whole Through Social Studies. Portsmouth, NH: Heinemann. Longstreet, W.S. & Shane, H.G. (1993). Curriculum for A New Millenium. Boston: Allyn & Bacon. Lybarger, M.B (1991). The historiography of social studies: Retrospect, circumspect, and prospect, dalam J.P. Shaver (Ed). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 315.
Majumdar, A.K., & Sowa, J.F. (2009). Two Paradigms Are Better Than One, And Multiple Paradigms Are Even Better. Proceedings of ICCS 2009, edited by S. Rudolph, F. Dau, and S.O. Kuznetsov, LNAI 5662, Springer, pp. 32–47. Diunduh 29 Maret 2013 dari www.jfsowa.com/pubs/paradigm.pdf . Mansilla, B., & Duraising. (2007). Boix Mansilla, V., & Duraising, E. (2007). Targeted Assessment of Students’ Interdisciplinary Work: An Empirically Grounded Framework Proposal. Journal of Higher Education, 78(2), 215-237. Manson, G. et al. (1971). Social studies curriculum guidelines. Washington DC: NCSS. Martorella, P.H. (1985). Elementary Social Studies: Developing Reflective, Competent, and Concerned Citizens. Boston: Little, Brown. Massialas, B.G., & Cox, C.B. (1966). Inquiry in social studies. NY: McGraw-Hill, Inc. Maxim, G.W. (1997). Social studies and the elementary school child, (3rd ed). Columbus, Ohio: Merrill Publishing Co. Mayer, I. S., van Bueren, E. M., Bots, P. W. G., van der Voort, H. & Seijdel, R. (2005). Collaborative decision making for sustainable urban renewal projects: A simulation – gaming approach. Environment and Planning B: Planning and Design, 32 (3), 403-423. Morgan, D. L. (2007). Paradigms lost and pragmatism regained. Methodological implications of combining qualitative and quantitative methods. Journal of Mixed Methods Research, 1, 48 – 76. NCSS. (1935). Social Sciences as the Core of the Curriculum. Washington: NCSS. NCSS. (1979). Revision of the NCSS Social Studies Curriculum Guidelines. Social Education 43:261–278. NCSS. (1994). Expectations of Excellence: Curriculum Standards
15
for Social Studies. Washington: NCSS. NCSS. (2010). National Curriculum Standards for Social Studies: A Framework for Teaching, Learning, and Assessment. Silver Spring, MD: NCSS. NCSS. (1979). Revision of the NCSS curriculum guidelines. Social Education, 43(4), 262. Nicolescu, B. (2002). Transdisciplinaritypast, present and future. Diunduh 26 Maret 2013 dari http://www.movingworldviews.net/D ownloads/Papers/Nicolescu.pdf. Parry, L. (1990). Paul R. Hanna and the expanding communities of social reality: An alternative perspective. Australasian Journal of American Studies, 9(2), 47-56. Popkewitz, T.S. & Maurice, H.St. (1991). Social studies education and theory: Science, knowledge, and history. Dalam J.P. Shaver (Ed.). Handbook of research on social studies teaching and learning. H. 27-40. New York: Macmillan Publishing Company. Presno, V. & Presno, C. (1966). Man in Action Series. California: Educational Book Division PrenticeHall, Englewood Cliffs. Reeves, T. (1996). Educational paradigms. IT-FORUM Listserv. Diunduh 29 Maret 2013 dari http://www.education.edu.au/archive s/CP/REFS/reeves_paradigm.htm. Reschly, D.J., & Ysseldyke, J.E. (1997). School Psychology Paradigm Shift. Washington, DC: National Association of School Psychologists. Ritzer, G. (1975). Sociology: A multiple paradigm science. The American Sociologist, 10(3), 156-167. Rogers, W.S. (2010). The New Paradigm in Psychology. Diunduh 29 Maret 2013 dari http://www.kvsbk.sav.sk/10rokov/rog ers.htm. Rousseau, D.M., Sitkin, S.B., Burt, R.S., & Camerer, C. (1998). Introduction to special topic forum. Not so different after all: A cross-discipline view of trust. Academy of Management Review. 23(3), 393-404.
16
Sankey, H. (2008). Semantic Incommensurability and Scientific Realism. Diunduh 31 Maret 2013 dari http://philsciarchive.pitt.edu/3717/1/Incommensu rability_talk.pdf. Saxe, D.W. (1991). Social studies in schools: A history of the early years. New York: State University of New York. Schuncke, G.M. (1988). Elementary Social Studies: Knowing, Doing, Caring, New York, Toronto: Macmillan Publishing Company & Collier Macmillan Publishers. Scott, B. (2012). An Investigation Into Different Disciplinary Approaches. Diunduh 22 Maret, 2013 dari http://thesportsscienceundergrad.wo rdpress.com/2012/10/23/investigatio ... Shwed, U. & Bearman, P.S. (2010). The Temporal Structure of Scientific Consensus Formation. American Sociological Review. 75(6), 817840. Skeel, D.J. (1995). Elementary Social Studies: Challenges for Tomorrow’s World. Orlando, Florida: Harcourt Brace & Company. Smith, M.K. (2012). Social pedagogy. Diunduh 7 April 2013, dari http://www.infed.org/biblio/bsocped.htm. Smith, M.K., & Doyle, M.E. (2012). Social education, group work and professionalization. Diunduh 5 April 2013, dari http://www.infed.org/christianyouthw ork/cyw3.htm. Somantri, N. (2001). Menggagas pembaharuan pendidikan ips. Dedi Supriadi & Rohmat Mulyana (ed). Bandung: PPS-FPIPS UPI dan PT. Remadja Rosda Karya. Spinradr, R. (2011, January 31). Mono- to multi- to inter- to trans-disciplinary. http://blogs.oregonstate.edu/researc hupdate/2011/01/31/mono-to-multito-inter-to-trans-disciplinary/ March 22, 2013). Stanford Encyclopedia of Philosophy (SEP). (2013). The Incommensurability of Scientific
Theories. Diunduh 29 Maret 2013 dari http://plato.stanford.edu/entries/inco mmensurability/. Stanley, W.B. (Ed.). (1985). Review of Research in Social Studies Education: 1976-1983. Washington DC: NCSS. 1-8. Stichweh, R. (2001). Scientific Disciplines, History of. IN: Smelser, N. J. & Baltes, P.B. (Eds.). International Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences. Oxford: Elsevier Science (pp. 13727-13731). Stopsky, F. & Lee, S.S. (1994). Social Studies in a Global Society. Columbia: Delmar Publ. Inc. Sunal, C.S & Haas, M.E. (1993). Social Studies and the Elemenary/Middle School Student. Orlando: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Sunal, C.S. & Haas, M.E. (1993). Social Studies and the Elementary/Middle School Student. Fort Worth: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers. Superka, D.P., & Hawke, S.D. (1982). Social roles: A focus for social studies in the 1980s. in I. Morrisett (ed), Social Studies in the 1980s, h. 119-130. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development. Superka, D.P., & Hawke, S.D., & Morrisett, I. (1982). The concept and future status of the social studies. Social Education, 44 (may), 363369. Taba, H. (1962). Curriculum development: theory and practice . New York, NY: Harcourt, Brace & World. Taba, H. (1967). Teacher’s Handbook for Elementary Social Studies. Palo Alto, CA: Addison-Wesley. Tamayo, L.A.M. (2000). Transdiscipline: In the search for new forms of theatrical expression. A Thesis submitted to the school of graduate studies. Canada: the University of Lethbridge. Diunduh 26 Maret dari https://www.uleth.ca/dspace/bitstrea m/handle/10133/268/MR17409.pdf;j sessionid=0985C39470E0DC4D35 D3C636F9B44B5F?sequence=3
The
ATLAS. (2013). Transdiscipline. Diunduh 26 Maret 2013 dari http://www.theatlas.org/. Tress, B., Tress, G., & Fry, G. (2005). Defining concepts and the process of knowledge production in integrative research. Van Beuren, E. M. & Priemus, H. (2002). Institutional barriers to sustainable construction. Environment and Planning B: Planning and Design, 29 (1), 75-86. Wahab, A.A. (1986). Materi pokok metodologi pendidikan IPS. Jakarta: Depdikbud. Welton, D.A. & Mallan, J.T. (1987). Children and Their World: Strategies foe Teaching Social Studies. Boston: Houghton Mifflin Company. Wesley, E.B. & Wronski, S.P. (1958). Teaching social studies in high schools. Boston: D.C. Health. Wikipedia. (2013a). Trading Zones. Diunduh 26 Maret 2013 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Trading_ zones. Wikipedia. (2013b). Transdisciplinarity. Diunduh 26 Maret 2013 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Transdis ciplinarity. Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana sistemik pendidikan demokrasi (suatu kajian konseptual dalam konteks pendidikan ips). Disertasi, Bandung: PPS-UPI. Winder, N. (2003). Successes and problems when conducting interdisciplinary or transdisciplinary (= integrative) research. In: Tress, G., Tress, B., van der Valk, A. & Fry, G. (Eds.). Interdisciplinary and transdisciplinary landscape studies: Potential and limitations. Wageningen: Delta Series 2, pp. 7490. Zarillo, J.J. (2008). Definitions of social studies. Diunduh 9 April 2013 dari www.education.com/reference/articl e/definitions-social-studies/ Zevin, J. (1992). Social Studies for the Twenty-First Century. New York & London: Longman.
17