Pendekatan Sosiologis dan Teologis Resensi Buku “Aneka Pendekatan Studi Agama” ____ Peter Conolly (ed.) Oleh: Hasrul (NIM: 21150340000010) ____ Mahasiswa Pasca UIN Syarif Hidayatullah A. Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis dalam studi agama memiliki fokus perhatian pada interkasi agama dan masyarakat. Dasar perspektifnya adalah concern-nya pada struktur sosial, kontruksi pengalaman manusia, dan kebudayaan termasuk agama. Oleh karena itu, para sosiolog memandang agama sebagai salah satu bentuk konstruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hierarki kenyakinan-kenyakinan, dan prilaku religious, menurut sosiolog adalah untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi sybjek dari kekuatan lain yang lebih ehbat dalam dunia sosial. Sosilog juga mencurahkan perhatiannya pada studi kolektivitas religius sebagai mikrokosmos masyarkat, di mana proses dan pola sosial dapat diamati dengan jelas karena karakter komunitas keagamaan yang tertutup atau terbatas seperti biara dan sekte-sekte tertentu. Sosiolog mendekati prilaku keagamaan dengan mengajukan pertanyaan “apakah Tuhan ada”? Disamping menggunakan juga beberapa bentuk pertanyaan lainnya, seperti model kenyakinan dan rituak keagamaan apa yang terus bertahan dalam lingkungan kehidupan tertentu dan mengapa? Apakah kaitan antara lingkungan personal atau konteks sosial tertentu dengan kenyakinan mengenai Tuhan? Apakah pengaru penjelasan keagamaan mengenai penderitaan terhadap upaya-upaya sosial untuk memperbaiki penderitaan itu? Pendekatan sosiologis tidak mengkaji “ada” transenden yang melampaui dunia empiris tetapi lebih concern pada proses imanen dimana transendensi dieujudkan dalam prilaku manusia. Sehingga, kritik terhadap studi agama yang berspektif sosiologis menyatkan bahwa fokus sosiologi terhadap imanennsi dengan mengesampingkan transendensi, atau digunakannya ateisme metodologis. Walaupun demikian, studi sosiologis terhadap agama tidak hanya memberi perhatian pada depedensi kenyakinan dan komunitas keagamaan terhadap kekuatan dan proses sosial, melainkan juga kekuatan penggerak organisasi dan doktrin keagamaan dalam dunia sosial, termasuk pada bentuk dan karakteristik yang khas, baik dalam masyarakat primitive maupun modern. Sejak kelahiranya, sosiologi concern dengan studi agama, meskipun perhatian sosiologi terhadap agama menguat dan melemah. Karya-karya founding father sosiolog, termasuk Comte, Durkheim, Marz, dan Weber, sering mengacu pada wacana-wacana teologis atau studi pertengahan abad XX, sosiolog-sosiolog baik di Eropa maupun Amerika Utara, melihat bahwa agama memiliki signifikansi marginal dalam dunia sosial, dan sosiolog agama begerak dalam garis tepi studi sosiologis. Perkembangannnya yang semakit pesat di masa postmodernitas nampak signifikan. Konsekuensinya, studi sosiologis terhadap agama mulai keluar dari garis tepi disiplinnya dan memanifestasikan tumbuhnya minat pada mainstream sosiologis yang memfokuskan perhatiannya di sekitar persoalan ekologi dan perwujudan, gerakan sosila dan protes sosial, globalisasi, nasionalisme dan postmodernitas. 1
Auguste Comte dan Henri-Simon umumnya dianggap sebagai pendiri sosiologi. Bagi Comte sosiologi mengikuti jejak ilmu alam. Observasi empiris terhadap masyarkat manusia akan memunculkan kajian rasional dan positivistik mengenai kehidupan sosial yang akan memberikan prinsip-prinsip pengorganisasian bagi ilmu kemasyarakatan. Di dalam masyarakat pramodern, konsepsi teologis tentang “ada ketuhanan” (divine being) yang diintrepretasikan ke dalam keteraturan kosmos dan alam termasuk asal usul dan sejarah suku, memberikan dasar untuk memahami hierarki sosial dan aturan moral. Adapun di dalam masyarakat modern, sosiologi menggantikan teologi sebagai sumber prinsip-prinsip dan nilai-nilai penuntun kehidupan sosial manusia. Bentuk positivistik konsepsi sosiologi Comte membawa konsekuensi hilangnya agama dan teologi sebagai model prilaku dan kenyakinan dalam masyarakat modern. Fokus sosiologi agama Durkheim adalah fungsi yang dimainkan agama dalam menjembatani ketegangan dalam menghasilkan solidaritas sosial, menjaga kelangsungan masyarakat ketika diharapkan pada tantangan yang mengancam kelangsungan hidupnya, baik dari suku lain, orang-orang yang menyimpang atau pemberontak dari dalam suku itu sendiri, maupun dari bencana alam. Agama menyatukan anggota suatu masyarakat melalui deskripsi simbolik umum mengenai kedudukan mereka dalam kosmis, sejarah, dan tujuan mereka dalam keteraturan segala sesuatu. Agama juga mensakralkan kekuatan atau hubungan-hubungan yang terbangun dalam suku. Oleh karena itu, agama merupakan sumber kekuatan sosial dan moral, mengikat anggita masyarakat ke dalam suatu proyek sosial bersama, sekumpulan nilai, dan tujuan sosial bersama. Pandangan Durkheim tersebut memiliki pengaruh terhadap Robert Bellah dalam pemikirannya mengenai agama sipil dan nilai-nilai moral di Amerika Utara dan dalam karya Bryan Wilson yang membahas fungsi agama. Wilson menyatakan bahwa agama memiliki fungsi psikologis dan sosial yang krusial, bahkan dalam konteks masyarakat modern yang teratur secara teknis dan rasional, meliputi perwujudan makna dan tujuan hidup individual. Karl Marx seperti juga Durkheim menganggap agama sebagai produk sosial dan sebagai agen keteraturan sosial dalam masyarakat pramodern. Menurutnya, fungsi utama agama dalam menghasilkan keteraturan bukanlah salah satu pencipta komitmen terhadap suatu proyek sosial bersama melainkan lebih merupakan pembenaran atas aturan ketidakadilan dan kekerasan yang sangat jahat dari kaum feodal terhadap kaum petani, atau dari kaum kapitalis terhadap pekerja. Kaum Marxis belakangan, di antaranya yang paling terkemuka Antonio Gramsci yang melihat agama dalam suatu perspektif yang lebih interaksionis dibanding perspektif marxisme tradisional. Pandangan ini menggambarkan agama sebagai suatu sumber kultural yang dapat dimanfaatkan baik oleh kelompok revolusioner atau reformis maupun pendukung status quo. Penggagas perspektif interaksionis dalam sosiologi dan studi-studi sosial agama adalah seorang sosiolog jerman, Max Weber. Weber berpendapat bahwa agama bukan semata-mata produk sosial, atau sekedara sebagai wujud kemampuan manusia untuk menciptakan masyarakat, melainkan lebih merupakan sumber ide dan praktik yang mentransendenkan dunia sosial yang imanen dan oleh karena itu, dapat menimbulkan akibat terhadap dunia sosial dengan cara independen dan tidak dapat diramalkan. Dalam artian, agama dapat menjadi sumber keteraturan sosial dan legitimasi status quo, dan adakalanya menjadi sumber perubahan dan tantangan sosial. 2
Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong ditetapkannya serangkaian kategori-kategori sosiologis, di antaranya: 1. Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnitas; 2. Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak, dan usia; 3. Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan birokrasi; 4. Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi. Peran kategori-kategori di atas dalam studi sosiologis terhadap agama ditentukan oleh pengaruh paradigma-paradigma utama tradisi sosiologis dan oleh refleksi aras realitas empiris dari organisasi dan prilaku keagamaan. Paradigma funsionalis yang mula-mula berasal dari Durkheim dan kemudian dikembangkan oleh sosiolog Amerika Utara Talcont Parsons, secara khusus meniliki pengaruh kuat dalam sosiologi agama. Parsons memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang dapat disamakan dengan ekosistem. Bagian-bagian unsur sistem sosial memiliki fungsi esensial kuasi organik yang memberi kontribusi terhadap kesehatan dan vitalitas sistem sosial dan menjamin kelangsungan hidupnya. Selain mengenal kategori-kategori di atas, studi agama dengan pendekatan sosiologi juga menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dalam agama disandarkan pada skala besar survei terhadap kenyakinankenyakinan keagamaa, nilai-nilai etis, dan praktik berupa tindakan. Adapun pendekatan kualitatif dalam penelitian sosial terhadap agama disandarkan pada studi komunitaskomunitas atau jama’ah keagamaan dalam skala kecil dengan menggunakan metode seperti pengamatan partisipan atas wawancara mendalam (in-depth inteview). Kecenderungan para sosiolog yang selama bertahun-tahun mengabaikan signifikansi sosial agama dengan cepat mengakui berkembangnya peran agama dalam gerakan-gerakan kultural dan resistensi etis dalam masyarakat yang belum atau postmodern, di dunia yang telah maupun yang sedang berkembang. Nasib agama di dunia yang belum modern sama sekali tidak pasti, tetapi tidak diragukan bahwa ulasan-ulasan sosiologis mengenai dunia kehidupan umat beriman dan komunitas keagamaan, dan pandangan-pandangan sosiologis tentang peran ideologi dan organisasi keagamaan dalam masyarakat kontemporer, memberikan petunjuk penting tentang perjalanan agama. B. Pendekatan Teologis Pendekatan teologi juga memiliki peranan penting dalam pembahasan tentang studi dan pengajaran agama. pendekatannya memfokuskan pada sejumlah konsep, khususnya yang didasarkan pada ide theos-logos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan. Belakangan ini, muncul suatu pandangan baru tentang teologi yang menempatkan teologi dalam pandangan dunia (world view) global kontemporer saat ini dan berusaha mengonseptualisasikan kategori-kategori teologis universal guna memenuhi kebutuhan agama-agama di dunia.
3
Pendekatan teologi ini mencakup tiga prinsip, yaitu: pertama; teologi mesti berkaitan dengan Tuhan atau transendensi, apakah dilihat secara mitologis, filosofis, atau dogmatis. Kedua; meskipun memiliki banyak nuansa, doktrin tetap menjadi elemen signifikan dalam memaknai teologi. Dan ketiga; teologi sesungguhnya adalah aktivitas (secondorder activity) yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan. Gagasan teologi dalam tradisi keagamaan cenderung menitikberatkan elemen konseptual dalam agama sebagai sesuatu yang lebih sentral dibanding dengan praktik, spiritualitas, atau prilaku. Di sinilah letak perbedaan sisi kajian dengan menggunakan pendekatan teologis jika dibandingkan dengan pendekatan lain dalam studi-studi agama. Pendekatan teologis dalam studi agama setidaknya dapat ditinjau dalam empat bagian, yaitu teologi agama-agama (theology of religions), teologi-teologi agama (theologies of religion), teologi agama (theology of religion), dan teologi global agamaagama (global theology of religons). Dalam teologi-teologi agama, system dan bentuk konseptualnya mengalami perkembangan. Ia berubah menurut konteks kultural dan concern kontemporer dalam lingkaran historis yang terus berjalan. Ia juga pilih-pilih menurut kepentingan dan perbedaan prioritas dari cabang-cabang yang terdapat dalam masing-masing tradisi. Seperti, Katolik, Roma, Ortodoks, Protestan, dan Pantekostal, menafsirkan teologi agama Kristen dengan cara yang berbeda-beda. Begitupun Muslim Sunni dan Syiah mendekati persoalan Kalam dengan cara yang berbeda-beda. Termasuk umat Budha Therevada dan Mahayana terbagi menurut kitab suci dan konteks historis masing-masing. Walaupun memiliki pandangan teologi yang berbeda-beda dalam konsep pemahaman agama, aliran-aliran tersebut cenderung mencapai titik temu pada tahap spritualitas. Seperti dikemukakan oleh mazhab filsafat perennial (philosophia perennis) yang mencakup sarjana-sarjana dari berbagai komunitas kenyakinan yang berbeda-beda, seperti Sayyed Husein Naser, Huston Smith, A.K. Coomaraswamy, R. Guenon, T. Burckhardt, M. Lings, dan F. Schoun, mengemukakan tesisi bahwa agama-agama itu berbeda secara eksternal (dalam bentuk formalnya dan bukan dalam judgemental-nya) namun secara internal mencapai titik temu pada tingkat spiritualitas. Selain itu, tipe teologi dalam masing-masing tradisi memiliki perbedaan. Secara mendasar, tipe-tipe tersebut ialah tipe teologi deskriptif, historis, positivistik, tanpa mengabaikan pertimbangan nilai, tipe teologi sistematik, tipe teologi filosofis, tipe teologi dialog. Atas ragam perbedaan ini, melahirkan sikap teologis juga yang berbeda-beda. Menurut John Hick, ada tiga sikap teologis dalam tradisi ini, yaitu eksklusifisme, yaitu suatu pendapat bahwa satu-satunya posisi yang benar adalah keagamaannya sendiri. Inklusuvisme, yaitu suatu pandangan bahwa tradisi keagamaan lain juga memuat kebenaran religius namun di hari akhir akan dimasukkan ke dalam posisi yang mereka miliki. Pluralisme, yaitu pendapat bahwa tradisi-tradisi keagamaan mengejawantahkan diri dalam berbagai kosepsi mengenai yang sejati (the real) dan memberi respon terhadapnya, dari sanalah muncul jalan kultural yang berbeda-beda bagi manusia. Akhirnya dalam perkembangan mutakhir pendekatan teologi ini, mencakup dua inovasi utama: pertama, penyelidikan atas perkembangan teologis yang konvergen (mengarah pada titik temu) dalam sejarah agama masa lalu. Kedua, upaya-upaya kontemporer untuk membandingkan teologi-teologi, dan dari sinilah muncul kajian 4
mengenai teologi-teologi agama (theologies of religion) yang cenderung nampak sebagai model teologi komparatif. Frank Whaling menyebut model ini dengan universalisasi teolog dan menganggapnya sebagai perkembangan yang bermanfaat dalam teologi agama. Namun, perkembangan teologi sejauh ini tetap didasarkan pada suatu asumsi bahwa teologi bersifat khusus bagi masing-masing tradisi keagamaan. Teologi lahir dalam suatu tradisi untuk mengonseptualisasikan dan mengekspresikan pandangan-pandangan dunia dan keimanan yang direpresentasikan oleh tradisi itu. Pandangan lain dan lebih mutakhir adalah bahwa teologi agama dapat dilihat sebagai persoalan yang lebih universal. Pandanagan ini dapat terlibat dalam pencarian suatu teologi agama yang tidak di dahului oleh suatu kata sifat tertentu, tidak seperti teologi Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, dan Budha. Dia berusaha mengekspresikan realitas apa adanya, yakni sebagai teologi agama yang serba mancakup. Pencarian ini mengambil tiga bentuk dasar. Dalam studi agama, terdapat pencarian terhadap suatu fenomenologis transendensi yang tidak bersifat ontologies (mengenai realitas) namun mengakui bahwa studi agama berkaitan dengan transendensi dalam suatu pengertian fenomenologis (yakni sebagaimana yang dialami). Kedua, baik dalam studistudi keagamaan maupun dalam lingkaran teologis terdapat upaya untuk memberi substansi yang lebih dalam kepada gagasan transendensi sebagai suatu fenomena universal. Dan ketiga, baik dalam lingkaran keagamaan maupun teologis, terdapat pencarian atas suatu teologi global yang akan berbicara tentang problem-pronlem global yang saat ini dihadapi dunia. Meskipun tradisi-tradisi keagamaan tertentu sedang berusaha mengarah pada situasi global dengan caranya sendiri-sendiri, ada pemahaman yang tak kunjung padam bahwa persoalan dan peluang global terlalu luas untuk dipecahkan oleh suatu agama, Negara, atau kebudayaan. Diperlukan suatu teologi agama global guna menjalankan tuga utu secara mendetail. Teologi agama melihat urgensi mengonseptualisasikan dan memahami transendensi dalam konteks global, tidak sekedar dalam pengertian kesadaran terhadap relitas transenden semat, tetapi juga kesadaran atas transendensi di dalam alam dan manusia dan juga antara keduanya.oleh karena itu, transendensi berkaitan dengan kesadaran manusia terhadap alam, terhadap manusia, dan realitas transenden. Dengan demikian, tujuan akhir dalam pendekatan teologis dalam studi agama berpusat pada pencarian sutau etika teologis global. Teologi global saat ini cenderung tetap bersifat general bahkan pada tingkat etika sosial, mungkin terjadi ketidaksepakatan dalam masalah-masalah etis terkait dengan individu-individu seperti keluarga berencana, aborsi, dan homoseksual. Pada lapisan ini, munculllah pilihan-pilihan teologi particular. Barangkali terdapat tiga alasan utama, mengapa teologi-teologi particular akan tetap ada. Pertama, doktrin-doktrin partikular, kitab suci, simbol-simbol akan tetap penting dalam masing-masing tradisi keagamaan; Kedua, tidak ada pemahaman bahwa tradisi keagamaan particular akan tersingkirkan dengan kenyakinan bahwa apa yang dibutuhkan adalah suatu komunitas religius global yang akan meninggalkan loyalitas dan komitmen masa lampau. Ketiga; bahkan upaya mewujudkan suatu parlemen agama dunia memungkinkan timbulnya perselisihan dan perbedaan pendapat, sebagaimana terjadi dalam seluruh parlemen. 5