PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang mempunyai hutan tropis terluas di dunia dan menduduki peringkat pertama di Asia Pasifik. Luas hutan hujan tropis Indonesia diperkirakan seluas 1,148,400-an kilometer persegi yang mempunyai kekayaan hayati yang begitu besar, mulai dari tambang, flora dan faunanya. Khusus dari hasil hutannya, hutan tropis Indonesia mempunyai kurang lebih 400 spesies dipterocarp yang merupakan jenis kayu komersial paling berharga di Asia Tenggara (http://www.mediaindonesia.com, 10 November 2010). Kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya terjadi pada hutan produksi tetapi juga telah terjadi pada hutan lindung. Padahal, hutan lindung memiliki fungsi yang spesifik terutama berkaitan dengan ketersediaan air. Air merupakan sumber kehidupan yang sangat penting terhadap keberlanjutan kehidupan bagi semua mahluk hidup. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang menjelaskan bahwa hutan lindung merupakan kawasan hutan karena keadaan sifat alamnya diperuntukkanguna pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah (Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan). Melihat potensi yang begitu besar dari hasil hutan Indonesia, tidak salah apabila pemerintah menjadikan sektor kehutanan menjadi salah satu sumber devisa negara yang utama untuk menunjang pertumbuhan ekonomi bangsa. Tetapi dalam prakteknya, dorongan untuk melakukan pertumbuhan ekonomi secara signifikan dengan memanfaatkan potensi hutan tidak diimbangi dengan upaya pemeliharaan lingkungan yang berkelanjutan. Terjadilah eksploitasi besar-besaran
Universitas Sumatera Utara
terhadap potensi hutan Indonesia. Hutan lindung/konservasi yang sewajarnya menjadi kawasan konservasi dan pemeliharaan lingkungan-pun tidak bisa menghindar dari arogansi investor-investor modal yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya (http://www.mediaindonesia.com, 10 November 2010). Di antara hingar bingar penentuan pemenang Pemilu Presiden, bangsa ini mendengar adanya selentingan adanya poltik uang untuk menggolkan Perpu Pertambangan di Hutan Lindung. Koran Tempo (5 Oktober 2004) memberitakan bahwa Menteri Kehutanan pun masih enggan berkomentar mengenai masalah sensitif ini. Beberapa ornop lingkungan yang menggabungkan dirinya dalam berbagi koalisi meminta peninjauan ulang atau bahkan pencabutan Perpu itu segera. Sementara, sejumlah rekan akademisi menanggapi dengan gurauan pahit bahwa sesungguhnya kalau dasar permintaan peninjauan ulang dan pencabutan adalah dugaan politik uang, maka sesungguhnya hampir seluruh peraturan yang dihasilkan oleh DPR periode lalu harus mendapat perlakuan yang sama. Dari sudut pandang konservasi, jelas bahwa penambangan di hutan lindung sangatlah mengandung risiko tinggi. Namun, sebagaimana yang dikemukakan oleh Adrian Phillips, Wakil Direktur UICN, spektrum permasalahan pertambangan di hutan lindung sesungguhnya lebih rumit dari yang kebanyakan diketahui orang. (http://www.korantempo.com, 18 January 2011). Istilah tambang rakyat secara resmi terdapat pada Pasal 2 huruf n, UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam pasal ini disebutkan bahwa pertambangan rakyat adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan a, b dan c yang dilakukan oleh rakyat
Universitas Sumatera Utara
setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri. Sementara itu untuk kata masyarakat lokal cendrung disandingkan dengan masyarakat adat dalam membedakan dua kelompok masyarakat yang tinggal dalam satu daerah. Masyarakat adat lebih dicirikan oleh aturan-aturan adat yang diwarisi secara turun temurun dengan rentang waktu yang sulit diukur. Sedangkan masyarakat lokal cendrung menggunakan ketentuan-ketentuan yang waktu pembuatannya lebih diketahui, sesuai dengan waktu kedatangan mereka kedaerah tersebut. Selain itu masyarakat lokal cendrung lebih plural dan beragam, jika dibandingkan dengan masyarakat adat (Undang-undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan). Sebagai dampaknya, terjadi kerusakan lingkungan dan penurunan mutu ekosistem hutan. Tidak kurang 2 juta ha SDA Indonesia hancur setiap tahunnya. Bencana terjadi hampir di setiap daerah, mulai dari banjir, tanah longsor dan penurunan kualitas tanah yang korbannya tidak lain adalah masyarakat lokal setempat. Ironisnya, masyarakat lokal yang telah memanfaatkan hasil hutan untuk menggantungkan hidupnya dan telah berlangsung selama beratus-ratus tahun tidak menerima hak mereka atas eksploitasi yang dilakukan. Masyarakat setempat yang mempunyai hak atas "hutan adat" lambat laun tersingkir dari pemanfaatan hasil hutan dan terjadi pemiskinan warga lokal. Hal itu tentunya sebuah ironi karena pemanfaatan potensi tambang tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (http://www.mediaindonesia.com, 10 November 2010). Hutan Lindung di desa Simpang Mandepo merupakan salah satu hutan lindung yang memiliki kontribusi penting bagi kehidupan masyarakat daerah
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Pengembangan hutan lindung sesuai dengan fungsi seharusnya menjadi suatu upaya yang harus difokuskan dalam peningkatan pendapatan masyarakat di daerah tersebut. Pemilihan Desa Simpang Mandepo Kecamatan Muara Sipongi dalam penelitian ini didasarkan atas masyarakat yang memiliki pendapatan yang berasal dari pemanfaatan hasil hutan non kayu serta pemanfaatan kawasan hutan lindung yang dijadikan sebagai lokasi pertambangan tradisional, yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Dengan keberadaan pertambangan maka dapat dilihat seberapa besar pengaruhnya terhadap pendapatan rumah tangga masyarakat sekitar kawasan. Berdasarkan uraian di atas, maka di perlukan suatu kajian tentang berapa besar dampak pertambangan di kawasan hutan lindung terhadap perubahan distribusi pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian mengenai “Analisis Dampak Pertambangan Emas Secara Tradisional di Kawasan Hutan Lindung Terhadap Distribusi Pendapatan Rumah Tangga” dengan studi kasus pertambangan tradisional yang berada dalam kawasan hutan lindung Desa Simpang Mandepo, Kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Perumusan masalah Desa Simpang Mandepo adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Muara Sipongi Kabupaten Mandailing Natal, yang masyarakatnya saat ini menggunakan kawasan areal hutan lindung sebagai tempat pertambangan tradisional.
Universitas Sumatera Utara
Pertambangan di hutan lindung yang selama ini dilakukan oleh masyarakat Simpang Mandepo lebih difokuskan pada hasil yang diperoleh. Padahal pertambangan juga dapat mengakibatkan perubahan terhadap perilaku masyarakat terhadap penggunaan kawasan, contohnya berubahnya pekerjaan masyarakat yang dulunya bekerja sebagai petani tetapi setelah ada pertambangan mereka meninggalkan
lahan
pertaniannya
dan
memulai
menjadi
penambang.
Pertambangan di kawasan hutan lindung tidak dapat dipisahkan dari dampak yang mungkin akan timbul, baik dampak ekologi maupun ekonomi. Berdasarkan kondisi tersebut maka muncul beberapa pertanyaan pokok yang terkait dengan masalah pertambangan di hutan lindung adalah : 1. Seberapa besar dampak pertambangan terhadap perubahan distribusi pendapatan rumah tangga akibat dilakukannya pertambangan pada areal hutan lindung. 2. Seberapa besar dampak pertambangan tradisional di kawasan hutan lindung terhadap kondisi lingkungan.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dampak pertambangan terhadap perubahan distribusi pendapatan rumah tangga akibat dilakukannya pertambangan pada areal hutan lindung. 2. Untuk mengetahui dampak pertambangan tradisional di kawasan hutan lindung terhadap kondisi lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Manfaat penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi penting bagi penentu kebijakan, khususnya masyarakat pemilik lahan dan pihak pihak terkait untuk membuat kebijakan yang lebih baik terkait dengan pembukaan pertambangan emas tradisional pada kawasan Hutan lindung. 2. Memberikan informasi akan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa Simpang Mandepo, Kecamatan Muarasipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara