1
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah pencemaran lingkungan oleh logam berat cukup membahayakan
kehidupan. Salah satu logam berbahaya yang menjadi bahan pencemar tersebut adalah Timbal (Pb). Timbal merupakan logam berat yang banyak digunakan dalam bidang industri. Pb berbahaya bagi lingkungan karena sifatnya sangat beracun,
mempunyai
sifat
bioakumulatif
dalam
tubuh
organisme
jika
keberadaannya melampaui ambang batas dan terkontaminasi dalam kurun waktu yang lama. Sumber pencemaran dapat terjadi melalui air, udara dan tanah. Pencemaran melalui udara disebabkan karena semakin banyaknya penggunaan kendaraan yang memakai bahan bakar bensin. Pencemaran Pb melalui air antara lain adalah dari hasil limbah industri, limbah rumah tangga yang dibuang sembarangan. Pencemaran Pb melalui tanah menyebabkan Pb meningkat di permukaan tanah dari sumber luar terutama dari pembuangan gas kendaraan bermotor, industri peleburan logam dan limbah cair. Air yang tercemar Pb apabila dikonsumsi akan diabsorbsi melalui usus halus kemudian dialirkan melalui darah untuk didistribusikan ke seluruh organ dalam tubuh seperti ginjal, hati, syaraf, tulang dan gigi. Pb yang masuk dalam tubuh kira-kira 90% akan diedarkan ke dalam sirkulasi darah menuju eritrosit, albumin darah, dan α-globulin (Bartik, 1981). Proses selanjutnya, Pb yang masuk ke dalam darah akan disebarkan ke dalam jaringan keras seperti tulang, dan akan menyebabkan kerja enzim pembentuk heme akan terganggu, sehingga proses pematangan sel darah merah dalam sumsum tulang pun akan terhambat oleh
2
keberadaan Pb. Pencemaran logam berat tersebut harus diminimalisir. Salah satu zat yang dapat mengikat logam berat yaitu kitosan. Kitosan merupakan biopolimer yang banyak digunakan di berbagai industri kimia, sebagai koagulan dalam pengolahan limbah air, bahan pelembab, pelapis benih yang akan ditanam, pelarut lemak, dan pengawet makanan. Kitosan mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang (Mekawati dkk., 2000). Penelitian kitosan sebagai adsorben telah banyak dilakukan dan semuanya menunjukkan karakteristik sifat pada: (1) kemampuannya yang cukup tinggi dalam mengikat ion logam, (2) kemungkinan pengambilan kembali yang relative mudah terhadap ion logam yang terikat kitosan dengan menggunakan pelarut tertentu, dan kitosan ini dapat digunakan sebagai adsorben atau penyerap yang dapat menyerap logam-logam berat, seperti Zn, Cd, Cu, Pb, Mg dan Fe (Knoor, 1982). Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas yang sering dipakai sebagai ternak percobaan dalam penelitian, karena puyuh memiliki siklus hidup yang relatif singkat dan sangat efektif dalam pemeliharaannya. Pemeliharaan ternak puyuh ini juga tidak membutuhkan lahan yang luas. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kitosan ini sangat bermanfaat untuk mengikat logam berat, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Pemberian Kitosan terhadap Kadar Besi (Fe) pada Darah dan Tulang Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) Fase Grower yang Terpapar Pb.
3
1.2
Identifikasi Masalah 1. Bagaimana pengaruh pemberian kitosan terhadap kadar Fe pada darah dan tulang puyuh yang terpapar Pb. 2. Pada konsentrasi berapa ppm kitosan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap kadar Fe pada darah dan tulang puyuh yang terpapar Pb.
1.3
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh pemberian kitosan terhadap kadar Fe pada darah dan tulang puyuh yang terpapar Pb. 2. Mengetahui konsentrasi ppm kitosan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap kadar Fe pada darah dan tulang puyuh yang terpapar Pb.
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pengetahuan ilmiah yang bermanfaat bagi dunia peternakan maupun instansi yang terkait. Khususnya untuk peternak dan peneliti yang diharapkan dapat mengetahui pengaruh pemberian kitosan terhadap kadar Fe dalam darah dan tulang pada puyuh (Coturnix-coturnix japonica) yang telah terpapar logam berat Pb. 1.5
Kerangka Pemikiran Timbal (Pb) merupakan senyawa logam berat yang dapat memberikan
dampak yang negatif bagi kehidupan manusia apabila berada dalam ambang batas yang tinggi. Keberadaan senyawa Pb ini semakin bertambah karena semakin meningkatnya penggunaan kendaraan atau alat transportasi yang menggunakan
4
bensin. Bensin memiliki bahan Pb organik yang berbahaya dalam tubuh seperti senyawa TEL dan MTBE (Ika dkk,. 2012). Setiap liter bensin dalam angka oktan 87 dan 98 mengandung 0,70 gram senyawa Pb Tetraetil dan 0,84 gram Tetrametil Pb, sehingga setiap satu liter bensin yang dibakar jika dikonversi akan mengemisikan 0,56 gram Pb yang dibuang ke udara (Gusnita, 2012). Pencemaran Pb dapat juga terjadi melalui tanah oleh kegiatan industri peleburan logam dan limbah cair yang mencemari kandungan tanah. Pencemaran melalui air dapat terjadi dari sisa-sisa pembuangan limbah industri kimia dan limbah rumah tangga. Pencemaran dalam air lebih mudah terjadi karena air mengandung zat anorganik dan zat organik yang dapat mengabsorpsi Pb. Air merupakan kebutuhan hidup pokok bagi makhluk hidup yang harus terpenuhi. Secara umum fungsi dari air adalah sebagai pelarut universal dalam tubuh. Air yang telah tercemar oleh Pb apabila dikonsumsi maka akan mengakibatkan hal yang buruk bagi kehidupan. Puyuh yang mengonsumsi air yang terpapar Pb akan mengakibatkan penyerapan di usus akan terhambat karena Pb dapat mendenaturasi protein. Pb yang masuk dalam tubuh tersebut dialirkan melalui darah, selanjutnya darah akan mengedarkannya keseluruh organ dan pada jaringan lunak seperti hati, ginjal, daging dan jaringan keras seperti gigi, tulang rawan, dan sebagainya (Linder, 1992). Pb yang disuplementasikan sebanyak 10 ppm diberikan pada unggas dalam waktu panjang tidak memberikan pengaruh buruk, sedangkan pemberian sebanyak 100 ppm akan meningkatkan kerja kadar Pb dalam jaringan (Piliang, 2000). Pb yang masuk dalam darah akan berikatan dengan Fe dalam darah dan akan menghambat enzim-enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin. Pb mengganggu penggunaan Fe untuk sintesis hemoglobin dalam mitokondria, tetapi
5
tidak mengganggu dalam pengambilan Fe dalam sitoplasma, sehingga akan terjadi akumulasi Fe dalam mitokondria dan mengakibatkan kerusakan sel. Gejala defisiensi Fe akan mengakibatkan meningkatnya daya toksis Pb dalam jaringan yang mengakibatkan anemia. Pb Asetat yang terdapat dalam air minum puyuh akan diakumulasikan ke jaringan keras seperti tulang. Salah satu mikromolekul yang penting di dalam tulang yaitu Fe. Hubungannya dengan toksisitas Pb, yaitu Pb akan menghambat sebagian besar enzim yang berperan dalam biosintesa heme, yang mengakibatkan pemendekan masa hidup dari sirkulasi eritrosit dalam sumsum tulang (Kurniawan, 2008). Diantara enzim yang terlibat dalam heme, enzim δ-aminolevulinik acid dehydrogenase (δ-ALAD) dan ferrochelatase termasuk enzim yang paling rentan terhadap efek penghambatan Pb (Goldstein dan Kipen 1994). Semakin tinggi absorpsi Pb, maka semakin turun absorpsi Fe dan akhirnya kerja dari Fe sendiri akan digantikan oleh Pb. Dampak dari pencemaran Pb ini harus diminimalisir. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meminimalisir Pb adalah dengan pemberian kitosan, yang diharapkan dapat mengikat Pb yang masuk ke dalam tubuh. Kitosan merupakan makromolekul dapat diperoleh dari proses deasetilasi kitin yang tersedia melimpah pada cangkang kepiting, kulit udang yang memiliki polimer rantai panjang glukosamin (Knoor, 1982). Kitosan dapat dihasilkan dari proses hidrolisis kitin yang menggunakan basa kuat. Saat ini terdapat lebih dari 200 aplikasi dari kitin dan kitosan di industri makanan, pemrosesan makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, dan lingkungan (Balley dan Ollis 1977). Manfaat lain dari kitosan adalah kemampuannya dalam mengikat logam berat. Keberadaan gugus amida dalam kitin dan gugus amina dalam kitosan telah
6
menjadikan kitin dan kitosan sebagai adsorben yang mampu mengikat logam berat (Kumar, 2000). Pemberian kitosan bertujuan untuk mengikat logam berat yang sengaja diberikan dalam air minum puyuh. Pemberian ini tentunya dengan dosis yang telah diperhitungkan agar dapat memberikan dampak yang nyata dengan berbagai konsentrasi yang diharapkan. Pengaruh kitosan mengikat logam berat telah dilakukan oleh Nurul dkk., (2014), yang melaporkan bahwa kitosan dari cangkang kepiting mampu menyerap Pb hingga 97,04 %. Penelitian mengenai pengaruh peningkatan daya cerna oleh kitosan telah dilakukan oleh Huang dkk. (2005), yang melaporkan bahwa suplemen diet dengan kitosan hingga level 150 mg/kg yang dicobakan pada ayam broiler dapat meningkatkan efisiensi daya cerna, sehingga Pb yang menghambat dapat diikat oleh kitosan. Berdasarkan informasi di atas maka ditarik hipotesis bahwa pemberian kitosan sebanyak 150 ppm dapat menyerap Pb secara maksimal dan memberikan pengaruh terbaik terhadap respon kadar Fe pada darah dan tulang puyuh (Coturnix-coturnix japonica). 1.6
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi pemeliharaan telah dilakukan di Kandang Percobaan Laboratorium
Ternak Unggas. Pembedahan sampel dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Fisiologi Ternak Universitas Padjadjaran dan analisis pengujian sampel darah dan tulang puyuh telah dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Waktu pengamatan dan pemberian perlakuan telah dilaksanakan pada bulan Maret hingga April 2016.