2007
PENATALAKSANAAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN TANPA BEDAH
HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PANEL AHLI Dr. dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A (K) Divisi Kardiologi, IKA, FK UI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A (K), FACC, FESC Divisi Kardiologi, IKA, FK UI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dr. Anna Ulfa, Sp.JP (K) Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional RS Harapan Kita Jakarta dr. Poppy S. Roebiono, Sp.JP (K) Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional RS Harapan Kita Jakarta dr. Mahrus A. Rahman, Sp.A(K) Bagian IKA, FK UNAIR/RS Soetomo Surabaya dr. Noormanto, Sp.A(K) Bagian IKA, FK UGM/RS Sardjito Yogyakarta dr. Jusuf Rachmat, Sp.BTKV (K) Divisi Bedah Thoraks dan Kardiovaskular, Departemen Ilmu Bedah FKUI/RSCM Jakarta dr. Ratna Farida, Sp.An (K) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM Jakarta dr. M. Ali, Sp.A Bagian IKA, FK USU/RS Dr Pirngadi Medan dr. Ria Nova, Sp.A(K) Bagian IKA, FK UNSRI/RSMH Palembang UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN Prof.Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp. A (K) Ketua dr. Ratna Rosita, MPHM Anggota dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS Anggota dr. Suginarti, M. Kes Anggota dr.Diar Wahyu Indriarti, MARS Anggota dr. Titiek Resmisari Anggota dr. Aini Bachruddin Bactiar Anggota
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang paling sering ditemukan pada bayi dan anak. Kelainan ini ditemukan sekitar 8 dari tiap 1000 kelahiran hidup, dengan sepertiga diantaranya bermanifestasi sebagai kondisi kritis pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada bulan pertama kehidupan berakhir dengan kematian.1,2 Di Indonesia, dengan populasi 220 juta penduduk dan angka kelahiran hidup 2,27%, diperkirakan terdapat sekitar 40.000 penderita PJB baru tiap tahun.3 Dampak PJB terhadap angka kematian bayi dan anak cukup tinggi, oleh karena itu dibutuhkan tata laksana PJB yang sangat cepat, tepat dan spesifik. Sebelum era intervensi non-bedah berkembang, semua jenis PJB ditata laksana dengan tindakan bedah/operasi. Dengan berkembangnya teknologi melalui teknik kateterisasi dan intervensi, sebagian dari PJB dapat ditata laksana tanpa operasi.4,5 Kelebihan tindakan intervensi non-bedah dibandingkan dengan bedah adalah pasien terbebas dari komplikasi operasi, bebas dari penggunaan mesin jantung-paru, waktu penyembuhan lebih cepat, lamanya masa perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat, dan secara kosmetik lebih baik karena tidak ada jaringan parut bekas operasi di dada. Penggunaan mesin jantung-paru untuk bedah jantung terbuka berisiko menyebabkan gangguan tumbuh kembang anak di kemudian hari. Di samping itu, mengingat sumber daya dan fasilitas bedah jantung yang masih terbatas di negara berkembang, seyogyanya tata laksana PJB jenis tertentu tanpa operasi menjadi pilihan utama. Laporan dari berbagai negara menyatakan bahwa penanganan PJB tanpa bedah cukup baik dan pilihan teknologi ini dapat menjadi alternatif terapi dengan keamanan dan tingkat efikasi yang tinggi.6,7 1.2 Permasalahan Di Indonesia, dengan penduduk sekitar 220 juta dan estimasi 40.000 kasus PJB baru per tahun, hanya sekitar 2% kasus yang tertangani dengan memadai, merupakan angka terendah di antara negara regional lainnya. Fasilitas dan ketersediaan sumber daya manusia masih menjadi masalah besar karena dengan kebutuhan 440 ahli kardiologi anak, baru 20 orang
yang mampu disediakan.
Mengacu pada Standar Internasional, Indonesia seharusnya membutuhkan 46 senter kardiologi anak.
Namun, hingga kini baru ada 4 senter saja yang aktif
melakukan intervensi kardiologi anak, yaitu Pusat Jantung Nasional/RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita dan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo keduanya di Jakarta, RS Dr.Soetomo Surabaya, dan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.8 Prosedur intervensi dan kateterisasi pediatrik dilakukan oleh dokter ahli yang mempunyai kompetensi melalui pelatihan khusus mengacu pada modul yang disusun dan disahkan oleh kolegium terkait. Permasalahan lain adalah masalah biaya yaitu prosedur intervensi nonbedah yang masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tindakan operasi. Namun pada pembedahan, biaya tersebut belum mengikutsertakan biaya tidak langsung akibat masa rawat pasca-operasi yang lebih panjang, terganggunya aktivitas orangtua ditambah dengan efek psikologis pasien dan keluarganya.8 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Membuat assessment/penilaian berdasarkan kedokteran berbasis bukti (Evidencebased medicine) dalam tata laksana penyakit jantung bawaan. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Terwujudnya kajian ilmiah berdasarkan kedokteran berbasis bukti (Evidencebased medicine) tentang tatalaksana penyakit jantung bawaan tanpa bedah. 2. Terwujudnya
rekomendasi
dalam
menetapkan
kebijakan
program
berkenaan dengan tatalaksana penyakit jantung bawaan tanpa bedah.
yang
BAB II METODOLOGI PENILAIAN 2.1. Strategi Penelusuran Kepustakaan Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik: New England Journal of Medicine, Bombay Hospital Journal, Journal of Paediatric, American Journal of Medicine, Korean Journal of Medicine, European Heart Journal, Journal of the American College of Cardiology, American Heart Association, Archives of Disease in Childhood, Statistics Indonesia, Pakistan Journal of Medicine, Images in Paediatric Cardiology, Hong Kong Journal of Paediatrics dan The Journal of Invasive Cardiology, dalam 20 tahun terakhir (1989-2007). Kata kunci yang digunakan: Interventional cardiology, catheterization, transcatheter closure, Amplatzer duct occluder dan Amplatzer septal occluder. 2.2. Level of evidence dan Derajat Rekomendasi Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal) berdasarkan kaidah evidence-based medicine, kemudian ditentukan levelnya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat rekomendasinya. Level of evidence dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research. Level of evidence Ia.
Meta-analisis randomized controlled trials
Ib.
Minimal satu randomized controlled trials
IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials IIb. Studi kohort dan / atau studi kasus control IIIa. Studi cross-sectional IIIb. Seri kasus dan laporan kasus IV.
Konsensus dan pendapat ahli
Derajat Rekomendasi A. Evidence yang termasuk dalam level Ia atau Ib B. Evidence yang termasuk dalam level IIa atau IIb C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb, atau IV 2.3 Ruang Lingkup Kajian kardiologi intervensi non-bedah ini dibatasi pada penanganan 3 (tiga) penyakit jantung bawaan yang cukup tinggi prevalensinya yaitu duktus arteriosus persisten (DAP), defek septum atrium (DSA) dan defek septum ventrikel (DSV).
BAB III TATA LAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN TANPA BEDAH 3.1 Penyakit Jantung Bawaan Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang didapat sejak lahir dan sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung janin sudah lengkap, sehingga kelainan pembentukan jantung terjadi pada trimester awal kehamilan. Faktor-faktor penyebab PJB yang dianggap berpotensi di antaranya adalah infeksi virus pada ibu hamil (misalnya : campak Jerman atau rubella), obat-obatan atau jamu-jamuan, dan alkohol. Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat juga menjadi penyebab meskipun jarang, dan belum banyak diketahui. Misalnya, sindroma Down (Mongolism) yang acapkali disertai dengan berbagai macam kelainan bawaan termasuk PJB. Ibu yang merokok juga dilaporkan berbahaya bagi kehamilannya, karena berpengaruh terhadap pertumbuhan janin dalam kandungan sehingga berakibat bayi lahir prematur, cacat bawaan atau meninggal dalam kandungan.9,10 PJB merupakan kelainan bawaan yang paling sering terjadi (30% dari seluruh kelainan bawaan), dan paling sering menimbulkan kematian khususnya pada neonatus. Berdasarkan penampilan fisik, PJB secara garis besar dibagi atas dua kelompok, yakni PJB tidak biru (asianosis) dan PJB biru (sianosis). Berdasarkan kelainan anatomis, PJB secara garis besar dibagi atas 3 kelompok,yakni:9 1) Adanya penyempitan (stenosis) atau bahkan pembuntuan (obstruksi) pada bagian tertentu jantung, yakni: katup atau salah satu bagian pembuluh darah di luar jantung. Pada PJB kompleks dengan penyempitan yang berat, aliran darah ke bagian tubuh setelah area penyempitan akan sangat menurun, bahkan terhenti sama sekali pada pembuntuan total (atresia). A. Stenosis (Penyempitan) Katup Pulmonal. Terjadi kelebihan beban tekanan (pressure overload) pada jantung kanan, yang pada akhirnya mengakibatkan gagal jantung kanan. Pada kondisi ini, jantung tak mampu memompakan darah sesuai kebutuhan tubuh dan sesuai jumlah darah yang kembali ke jantung, sehingga terjadilah bendungan sistemik. Gejala klinisnya adalah: pembengkakan kelopak mata, tungkai, pembesaran hati dan penimbunan cairan di rongga perut. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain adalah pelebaran katup pulmonalis dengan kateter balon (balloon pulmonary valvuloplasty = BPV) melalui kateterisasi.
B. Stenosis (Penyempitan) Katup Aorta. Terjadi kelebihan beban tekanan pada ventrikel kiri, yang pada akhirnya mengakibatkan gagal jantung kiri. Kondisi ini ditandai oleh: sesak, batuk, kadang-kadang dahak berdarah (akibat pecahnya pembuluh darah halus yang bertekanan tinggi di paru). Penanganan yang dapat dilakukan antara lain pelebaran katup dengan kateter balon (balloon aortic valvuloplasty = BAV) melalui kateterisasi. C. Atresia Katup Pulmonal. Pada kasus ini katup pulmonal sama sekali buntu, sehingga tak ada aliran darah dari jantung ke paru. Pasien hanya dapat bertahan hidup bila duktus arteriosus tetap terbuka (yang mengalirkan darah dari aorta ke pembuluh darah paru). Biasanya pembuluh ini akan menutup pada minggu pertama kehidupan bayi, dan bila penutupan terjadi akan berakibat fatal. Untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka, diperlukan obat prostaglandin E-1. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan harus segera diikuti dengan tindakan selanjutnya membuka katup pulmonal baik secara bedah maupun non-bedah dengan membuat lubang (perforasi) pada katup yang buntu tersebut yang dilanjutkan melebarkan lubang yang terbentuk dengan kateter balon. Sedangkan atresia katup pulmonal dengan DSV harus dilanjutkan dengan tindakan bedah memasang saluran antara arteri subklavia dan arteri pulmonalis kanan atau kiri (prosedur BallockTaussig shunt) atau mempertahankan agar DAP tetap terbuka dengan memasang stent di DAP. D. Koarktasio Aorta. Pada kasus ini pembuluh darah aorta mengalami penyempitan. Bila penyempitannya berat, maka sirkulasi darah ke organ tubuh di rongga perut (ginjal, usus dll), serta tungkai bawah sangat berkurang, dan kondisi pasien memburuk. Seperti halnya pada atresia katup pulmonal, pada koartasio aorta yang berat, prostaglandin E-1 perlu diberikan untuk mempertahankan pembukaan duktus arteriosus. Untuk selanjutnya, tindakan pelebaran dapat dilakukan secara bedah atau non bedah dengan kateter balon. 2) Adanya lubang pada sekat pembatas antara kedua serambi atau bilik jantung (septum), sehingga terjadi pirau (shunt) dari satu sisi ruang jantung ke ruang sisi lainnya. Karena tekanan darah di ruang jantung sisi kiri lebih tinggi dibanding sisi kanan, maka aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran darah ke paru berlebihan/banjir (contoh: DSA = defek septum atrium/lubang di
sekat serambi , DSV = defek septum ventrikel/lubang di sekat bilik). Pirau ini juga bisa terjadi bila pembuluh darah yang menghubungkan aorta dan pembuluh pulmonal tetap terbuka (DAP= duktus arteriosus persisten). Karena darah mengalir dari sirkulasi darah bersih ke sirkulasi darah kotor, maka penampilan pasien tidak biru (asianosis). Namun beban volume yang berlebihan pada jantung kiri atau kanan akibat pirau yang besar dapat menimbulkan gagal jantung kiri maupun kanan. Tanda-tanda gagal jantung kiri adalah: debaran jantung kencang, cepat lelah, sesak napas, pada bayi sulit menyusu, pertumbuhan terganggu, sering menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dalam kondisi seperti tersebut di atas, perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi beban volume pada jantung, yakni obat diuretik (memperlancar kencing) dan obat vasodilator (pelebar pembuluh darah). A. Defek septum atrium (DSA) Lubang DSA kini dapat ditutup dengan tindakan non bedah , yakni memasang alat penyumbat yang dimasukkan melalui kateter dari pembuluh darah vena di lipat paha. Alat penyumbat tersebut antara lain adalah Amplatzer Septal Occluder (ASO). Namun pada sebagian kasus, DSA sekundum, DSA tipe sinus venosus atau DSA primum, tak dapat ditangani dengan metode ini, dan memerlukan pembedahan. B. Defek Septum Ventrikel (DSV) Pada DSV tertentu seperti DSV perimembran dan muskular, defek dapat ditutup dengan tindakan non-bedah dengan memasang alat penyumbat antara lain Amplatzer Membranous/Muscular VSD Occluder (AVO) yang dimasukkan melalui kateter dari pembuluh darah vena di lipat paha. Namun pada jenis Sub-Arterial Doubly Commited (SADC) tetap diperlukan pembedahan. C. Duktus arteriosus persisten (DAP) DAP juga dapat ditutup dengan tindakan non bedah menggunakan penyumbat Amplatzer duct occluder (ADO) atau okluder janin lain. Bila DAP sangat besar atau DAP pada neonatus atau bayi kecil dibawah 6 kg, tindakan bedah masih merupakan pilihan utama. DAP pada bayi prematur dapat dirangsang penutupannya dengan menggunakan obat anti-postaglandin seperti indometasin atau ibuprofen. 3) Pembuluh darah utama jantung keluar dari ruang jantung dalam posisi tertukar (pembuluh darah aorta keluar dari bilik kanan sedangkan pembuluh darah pulmonal/paru keluar dari bilik kiri). Kelainan ini disebut transposisi arteri
besar (TGA = transposition of the great arteries) dan ditemukan dua sirkulasi darah yang paralel. Untuk kelangsungan hidup bayi dengan PJB jenis ini diperlukan percampuran darah antara jantung kiri dan kanan, yang mana akan diperoleh melalui DAP, DSA atau DSV. Pada jenis yang tidak disertai DSV saat usia neonatus perlu diberikan obat prostaglandin E-1 untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan harus segera diikuti dengan tindakan pembuatan lubang di sekat serambi secara non bedah dengan balon. Tindakan ini disebut balloon atrial septostomy (BAS). Di samping kelainan anatomi jantung, PJB juga dapat menyangkut kelainan pada sistem konduksi jantung. Pacu jantung yang lemah atau adanya blok pada sistem konduksi jantung, berakibat denyut jantung/nadi yang pelan, sehingga tak mencukupi kebutuhan sirkulasi tubuh. Untuk itu perlu pemasangan alat pacu jantung (pacemaker) permanen. Pada anak yang sudah cukup besar pemasangan pacu jantung permanen ini dapat dilakukan tanpa bedah dengan menanam batere di bawah kulit di bahu kiri atau kanan dan memasukkan elektroda ke dalam serambi atau bilik jantung kanan melalui vena subklavia kiri atau kanan. Tetapi pada bayi masih diperlukan pembedahan dengan menempelkan elektroda epikardial di permukaan jantung dan menanam baterenya di bawah kulit di daerah subsifoid.9 3.2 Kardiologi Intervensi 3.2.1 Sejarah Selama lebih dari 10 tahun telah terjadi perkembangan yang amat drastis dan spektakuler di bidang kardiologi anak, yakni berkembangnya kateterisasi jantung terapeutik di berbagai pusat jantung anak dunia. Berbagai teknik dan alat diagnostik invasif dan non-invasif untuk mengobati PJB telah ditemukan, seperti balloon valvuloplasty, balloon atrial septostomy (BAS), stent, coil dan device closure untuk kelainan jantung duktus arteriosus persisten (DAP), defek septum atrium (DSA), dan defek septum ventrikel (DSV). Dapat dibayangkan pada masa dua dekade lalu, seorang anak penderita DAP, DSA atau DSV untuk pengobatannya tidak ada pilihan kecuali operasi, baik operasi jantung terbuka atau tertutup. Namun, saat ini sebagian besar PJB tidak memerlukan prosedur operasi lagi. Dengan prosedur seperti kateterisasi jantung biasa, suatu alat (devices) dapat dipasang untuk menutup kebocoran (defek) tersebut dengan tingkat keberhasilan yang dapat dikatakan sama dengan operasi jantung, namun dengan risiko jauh lebih ringan.8 Perkembangan kardiologi intervensi non-bedah diawali oleh Rubio-Alvarez pada tahun 1953 yang melakukan insisi katup pulmonal dengan menggunakan wire
yang diletakkan di ujung kateter. Selanjutnya pada tahun 1966, William Rashkind mengembangkan penggunaan septostomi dengan menggunakan balon pada neonatus dengan kelainan transposisi arteri besar. Setahun kemudian Porstman untuk pertama kalinya menutup duktus arteriosus persisten (DAP) dengan menggunakan Ivalon plug. Akhir-akhir ini untuk DAP yang besar banyak dipakai ADO dan untuk yang kecil dengan coil. Perkembangan yang lebih dramatis adalah pada tahun 1974 ketika King dan Mills untuk pertama kalinya berhasil melakukan teknik penutupan defek septum atrium (DSA). Pada tahun yang sama Andreas Gruentzig mengembangkan angioplasti pembuluh darah koroner yang menjadi tonggak maraknya penggunaan kardiologi intervensi non-bedah untuk terapi penyakit jantung. Saat ini bahkan terapi transkateter mampu menggeser bedah jantung terbuka bagi PJB non-kompleks. Sedangkan untuk kelainan yang lebih kompleks, bedah masih merupakan pilihan.4 Di Indonesia, kardiologi intervensi non-bedah pada anak dimulai pada tahun 1989 berupa pelebaran katup mitral dengan balon yang dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. Tahun 1998 teknik penutupan DAP dengan coil telah mulai dilakukan di RS Jantung Harapan Kita yang selanjutnya pada tahun 2002 untuk DAP yang besar ditutup dengan alat ADO dan DSA dengan alat ASO. Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM Jakarta mulai melaksanakan teknik ini pada awal tahun 2002, diikuti oleh RS Dr. Soetomo Surabaya, RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan RS M Hoesin Palembang. Dengan adanya Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) 2 Kardiologi Anak FKUI/RSCM di Jakarta yang telah diakreditasi oleh Kolegium IDAI Indonesia, perkembangan bidang intervensi ini dapat dikatakan cukup cepat dan menggembirakan.6,8 Intervensi non bedah untuk menutup DSV dimulai pertama kali di PJT RSCM pada tahun 2004 disupervisi oleh intervensionist dari Institut Jantung Negara, Malaysia. Sejak itu, 15 kasus DSV pada anak berhasil ditutup di senter ini, 3 kasus DSV di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, dan 1 kasus di RS Husada Utama, Surabaya. Prosedur-prosedur intervensi non-bedah ini cukup memberikan harapan bagi masa depan anak-anak di Indonesia penyandang PJB khususnya DAP, DSA dan DSV.8 3.2.2 Prosedur Kardiologi Intervensi Non-Bedah11 3.2.2.1 Dilatasi Prosedur ini merupakan tindakan membuka atau melebarkan katup atau pembuluh darah, seperti pada: Balloon atrial septostomy Balloon valve dilatation
Pulmonary valve dilatation critical pulmonic stenosis in the newborn Aortic valve dilatation Critical aortic stenosis in the newborn Angioplasti koarktasio aorta Mitral valve dilatation Dilation of branch pulmonary artery stenosis Dilation of systemic vein stenosis Pulmonary vein dilation
3.2.2.2 Oklusi Prosedur ini merupakan tindakan untuk menutup lubang atau pembuluh darah, seperti pada: Defek septum atrium Defek septum ventrikel Duktus arteriosus persisten
3.2.2.3 Kardiologi intervensi pediatrik pada penyakit jantung bawaan kompleks Pulmonary valve perforation in pulmonary atresia with intact IVS Intravascular stents in congenital heart disease Closure of abnormal vascular communications: embolization therapy Stenting of the PDA in duct dependent circulations Transcatheter replacement of pulmonary valve 3.2.3 PJB yang dapat ditatalaksana dengan kardiologi intervensi non-bedah Pada kajian ini pembahasan dibatasi pada tatalaksana kardiologi intervensi nonbedah pada tiga PJB yang cukup tinggi prevalensnya yaitu duktus arteriosus persisten (DAP), defek septum atrium (DSA), dan defek septum ventrikel (DSV). Ketiganya akan dibahas secara rinci satu per satu. 3.2.3.1 Duktus Arteriosus Persisten (DAP) DAP merupakan PJB non-sianotik yang relatif sering ditemukan. Secara embriologis selama dalam kehidupan intrauterin semua janin memiliki pembuluh darah ini, namun pada bayi normal pembuluh darah ini akan menutup secara spontan umumnya dalam waktu 24 jam sampai 7 hari setelah lahir.12,13 Penutupan duktus arteriosus terjadi dalam dua fase, yaitu fase pertama, terjadi konstriksi otot pada duktus tersebut beberapa jam setelah lahir dikarenakan menurunnya kadar prostaglandin dan meningkatnya kadar oksigen dalam darah
sesaat setelah lahir.12 Fase kedua, dilanjutkan dengan involusi tunika intima dan pelipatan tunika media duktus yang terjadi beberapa hari atau minggu setelah lahir sehingga terjadi penutupan anatomi duktus.12,13 Duktus arteriosus persisten (DAP) masih mungkin normal pada bayi baru lahir karena biasanya duktus arteriosus akan menutup secara spontan pada hari keempat.13 Penyebab pasti DAP hingga kini masih belum diketahui. Tidak terjadinya penutupan duktus arteriosus dapat mengakibatkan gangguan hemodinamik yang cukup signifikan karena meningkatkan beban volume di jantung kiri yang dikhawatirkan akan mengakibatkan gagal jantung. Insiden DAP merupakan 2% - 15% kasus PJB.14,15,16 Pada bayi prematur 10-70% biasanya menderita DAP akibat kadar prostaglandin yang masih tinggi dalam darah.17,18 Umumnya DAP pada bayi prematur dapat diberi terapi awal dengan obat anti-prostaglandin, namun jika gagal dan bayi dalam keadaan gagal jantung yang sulit diatasi dengan obat anti-gagal jantung, perlu tindakan bedah ligasi DAP. Obat yang biasanya digunakan untuk merangsang penutupan DAP pada bayi prematur adalah indometasin ataupun ibuprofen.17 Sebelum intervensi kardiologi non-bedah berkembang, DAP yang tidak memberi respons dengan terapi medikamentosa ditangani dengan mengikat duktus tersebut melalui sayatan di punggung kiri (dibawah ketiak kiri) tanpa menggunakan mesin pintas jantung-paru. Sekarang dengan kemajuan teknologi, DAP dapat ditutup di kamar kateterisasi tanpa operasi dengan menggunakan alat yang dimasukkan melalui kateter dari vena femoralis.19,20 Kasus DAP, dilaporkan antara 28-88% disertai kelainan jantung bawaan yang lain (PJB kompleks) ataupun kelainan bawaan non-jantung, dan 8-11% penderita DAP memiliki kelainan kromosom.21,22 DAP tidak dapat diidentifikasi saat ibu memeriksakan janinnya pada waktu ANC dengan menggunakan Ultrasonografi atau Ekokardiografi untuk fetus/janin karena pembuluh ini normal pada janin dalam kandungan. Diagnosis DAP dapat ditegakkan setelah lahir dengan bantuan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dan Doppler berwarna. DAP dapat terlihat dengan ditemukan aliran kontinyu di arteri pulmonalis. Lesi/kelainan lain di dalam jantung juga dapat terdeteksi oleh pemeriksaan ini. Dengan pemeriksaan Doppler berwarna dapat dideteksi aliran abnormal yang sangat kecil pada arteri pulmonalis, walaupun tidak terdeteksi secara klinis, yang biasanya di sebut “silent ductus”.23
24
Gambar 1. Anatomi Jantung Normal dan Duktus arteriosus persisten.
Langkah diagnostik 25 1. Anamnesis Gambaran klinis pada DAP tergantung besarnya pintasan dari kiri ke kanan. Bila ukuran defeknya kecil, umumnya asimtomatik, dan bila ukuran defek besar biasanya terdapat gejala gagal jantung kiri berupa sesak napas, sulit minum, berat badan sulit naik, ISPA berulang, ateletaksis, dan tanda gagal jantung kongestif lanjut. 2. Pemeriksaan fisik DAP kecil tidak terdapat gejala, biasanya laju nadi dan tekanan darah normal, pada auskultasi terdengar bising kontinyu di sela iga 2 -3 parasternal kiri yang menjalar ke bawah klavikula kiri. DAP sedang, gejala terlihat pada umur 2–5 bulan, yaitu : masalah minum; ISPA berulang; namun berat badan normal. DAP besar, gejalanya: takikardi dan dispnea sejak minggu pertama lahir. Sering dijumpai hiperaktifitas prekordium, thrill sistolik pada bagian kiri atas tepi sternum, dan tekanan nadi lebar dan kuat. 3. Pemeriksaan penunjang EKG: pada DAP kecil dan sedang, EKG dapat normal atau menunjukkan tanda hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hypertrophy = LVH), sedangkan pada DAP besar dapat menunjukkan tanda LVH atau hipertrofi kedua ventrikel kiri dan kanan (biventricular hypertrophy = BVH). Foto Rontgen Toraks : pada DAP kecil, foto Rontgen toraks masih normal, sedangkan pada DAP sedang sampai besar akan tampak
kardiomegali, pembesaran atrium kiri, ventrikel kiri dan aorta asendens, serta gambaran peningkatan vaskular paru (plethora). Ekokardiografi : dapat mengukur besar duktus, dimensi atrium kiri dan ventrikel kiri. Makin besar pirau, makin besar dimensi atrium kiri dan ventrikel kiri. Medikamentosa 25 1. Pada neonatus kurang bulan atau cukup bulan dapat diberi Indometasin, dosis 0,2 mg/kgBB pada hari pertama, selanjutnya 0,1 mg/kg mulai hari ke-2 sampai hari ke-7. Dosis ibuprofen adalah 10 mg/kg pada hari pertama, selanjutnya 5 mg/kg pada hari ke-2 dan ke-3. Efek obat akan optimal bila pemberian dilakukan sebelum usia 10 hari. 2. DAP sedang dan besar disertai gagal jantung, diberi diuretik, kalau perlu ditambah digitalis atau inotropik yang sesuai. Pada neonatus dan bayi dengan berat badan kurang dari 6 kg, bila gagal jantung tidak teratasi dengan medikamentosa, dianjurkan operasi ligasi. Pada bayi dengan berat badan lebih atau sama dengan 6 kg dan anak ataupun dewasa, DAP dapat ditutup dengan memasang alat transkateter. 3. Walaupun DAP kecil dan tidak memberikan keluhan, tetap harus ditutup baik secara bedah ataupun non bedah dengan memasang alat karena mudah terjadi endokarditis infektif. 4. Pada DAP yang besar dengan hipertensi pulmonal yang sudah lanjut sehingga terjadi aliran pirau dari kanan ke kiri dan sudah terjadi penyakit vaskular paru, maka DAP tidak dianjurkan ditutup. 5. Profilaksis terhadap endokarditis bakterial subakut perlu diberikan bila ada tindakan seperti cabut gigi, sirkumsisi atau tindakan bedah minor lainnya.
Algoritma Tata Laksana Duktus Arteriosus Persisten 25 DAP
Anak / Dewasa
Neonatus / Bayi
Gagal Jantung (-)
Gagal Jantung (+)
Prematur
HP (+)
LR
Cukup bulan
Medikamentosa Indometacin
HP (-)
Gagal
Gagal
L
Hiperoksia
Medikamentosa Dekongestif
Reaktif Berhasil
R
Nonreaktif
Berhasil Berat ≥ 6 kg
Menutup spontan
Operasi ligasi Transcatheter Closure
Konservatif
Alat Yang Digunakan untuk menutup DAP 1. Amplatzer ductal occluder Amplatzer duct occluder (ADO) merupakan alat yang saat ini secara luas digunakan untuk menutup DAP dan sudah mendapat rekomendasi dari Food and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat. ADO (AGA Medical Corporation, Golden Valley, MN) terbuat dari anyaman kawat nitinol dengan diameter 0,00040,0005 inci, berbentuk seperti jamur. ADO terdiri dari lempeng berbentuk cakram yang datar dan badan utama yang berbentuk silinder serta di dalamnya terdapat lapisan dakron yang terbuat dari polyester (Gambar 2). Retention disc ukurannya 4 mm lebih besar dari badan utama, strukturnya mirip dengan kerucut. Untuk memasukkan alat ke lokasi DAP di dalam jantung, diperlukan delivery system yang terdiri dari delivery sheath (sheath Mullin panjang), loading catheter, cable yang terbuat dari kawat metal dengan sistem mur di ujungnya, plastic versa untuk melepas alat dari cable. Ukuran ADO yang akan dipasang biasanya dipilih berdasarkan diameter dari pulmonary end DAP (bagian DAP yang terkecil yang membentuk bagian atas kerucutnya) pada angiografi ditambah sekurang-kurangnya 2mm lebih besar dari diameter terkecil dari ukuran tersebut. Ukuran ADO dipakai menggunakan
dua angka berdasarkan diameter aortic dan pulmonary pada alat tersebut. Ukuran standar ADO tersebut adalah 6/4, 8/6, 10/8, 12/10, 14/12, dan 16/14 mm, yaitu angka awal (pembilang) merupakan ukuran dari aortic end dan angka terakhir (penyebut) adalah ukuran dari pulmonary end pada alat yang berbentuk kerucut tersebut. Alat ini panjangnya 7 mm.26
Gambar 2. Kiri. Amplatzer Duct Occluder setelah dikeluarkan dari bungkusnya. Alat ini berbentuk kerucut dengan pulmonary end pada dasar gambar. Terdapat female end pada screw-system untuk melekatkan alat tersebut ke delivery cable pada bagian sisi pulmonary end alat tersebut. Tengah. Amplatzer Duct Occluder yang berada di antara jari operator (dokter ahli). Kanan. Terlihat bagian 27 pulmonary end dari alat tersebut.
2. Gianturco coil Terbuat dari stainlessteel dan mengandung dakron. Alat ini disimpan dalam casing. Jika alat ini keluar dari casing, akan membentuk spiral yang terdiri dari 2 sampai 5 loop. Gianturco coil, digunakan untuk menutup DAP kecil, yaitu ukurannya kurang dari 3 mm. Untuk menutup DAP, kadang-kadang diperlukan lebih dari satu coil. Ada 2 ukuran coil yang sering digunakan untuk menutup DAP adalah ukuran 5 cm X 8 mm (casing merah) dan 5 cm X 5 mm (casing biru). Harga coil relatif murah. Kekurangannya adalah tidak bisa dikontrol atau ditarik kembali setelah lepas dari casing dan mudah mengalami embolisasi (terlepas ke dalam arteri pulmonalis atau aorta).
.
Gambar 3. Gianturco coil
3. Detachable coil Coil ini terbuat dari bahan yang sama dengan Gianturco coil. Perbedaannya, pada detachable coil, alat terhubung dengan tangkai pendorong dengan sistem mur. Alat ini dapat dikontrol dan ditarik kembali sebelum dilepaskan dari tangkai pendorong.
Gambar 4. Detachable coil
4. Nit-occluder Terbuat dari stainlessteel, membentuk lingkaran kontinu dari besar ke kecil, seperti bentuk obat anti-nyamuk bakar. Alat ini tidak megandung dakron. Nit-occluder dapat digunakan untuk menutup DAP kecil-sedang (kurang dari 3,5 sampai 4 mm). Karena tidak mengandung dakron, pembentukan trombus lebih lambat dibandingkan dengan ADO dan Gianturco coil. Harga Nit-occluder lebih murah dari ADO.
Gambar 5. Nit-occluder
Prosedur pemasangan Amplatzer Duct Occluder 28 1. Pasien dibaringkan di meja kateterisasi, dan kamera X-Ray (mesin angiografi) akan digunakan selama prosedur berlangsung. 2. Seorang asisten memonitor rekaman jantung melalui EKG. Selama pemasangan EKG, elektroda-elektroda ditempatkan di permukaan kulit di atas jantung dan di tempat lain pada ekstremitas atas dan bawah. Pemasangan EKG membantu mengevaluasi antara tekanan nadi, irama jantung per menit, dan aliran impuls listrik pada otot jantung. Prosedur ini berlangsung selama 1-2 jam. 3. Pemasangan kateter ini membutuhkan anestesia umum ataupun lokal. Pada anak besar atau dewasa, pemasangan ADO dapat dilakukan dengan anestesi lokal.
Gambar 6. Tempat insisi pada pemasangan initial kateter 28 pada Amplatzer Duct Occluder
4. Akses vena atau arteri didapat dengan menggunakan abbocath nomor 22 dengan teknik Seldinger. Sheath dimasukkan masing-masing ke dalam vena dan arteri femoralis. Dokter akan memasukkan kateter melalui sheath ini untuk didorong sampai melewati DAP dan ujungnya berada di aorta desenden. Pilihan lain untuk memasukkan sheath adalah di lengan (arteri atau vena brakialis). Insisi kecil dibuat di lengan (Gambar 6). Dokter akan melakukan
pemasangan
Amplatzer
duct
occluder,
dengan
panduan
angiografi untuk melihat duktus arteriosus persisten. 5. Akan diukur tekanan dan kadar oksigen di semua serambi, bilik jantung dan pembuluh darah utama yang dapat dimasuki kateter. Kemudian berdasarkan tekanan dan kadar oksigen terebut akan dikalkulasi rasio aliran darah ke paru dan sistemik (Qp/Qs), mengukur resistensi paru. 6. Dilakukan angiografi di aorta desendens untuk memvisualisasi dan mengukur diameter DAP. 7. Ukuran Amplatzer duct occluder yang akan dipasang adalah 2 mm lebih besar dari diameter segmen terkecil DAP. 8. ADO mula-mula dipasangkan pada ujung kabel pengirim (delivery cable), kemudian dimasukkan ke dalam loader catheter dan selanjutnya ke dalam delivery sheath (atau kateter Mullin panjang). Cable didorong terus sampai piringan (disk) proksimal ADO melewati DAP dan dikeluarkan/dikembangkan di aorta desendens (Gambar 6 dan 7).
Gambar 7. DAP occluder dimasukkan melewati DAP kemudian ditarik kembali.
28
9. Delivery sheath bersama cable ditarik secara bersama-sama sampai ada tahanan, berarti badan distal ADO sudah berada tepat di dalam ampula DAP (Gambar 8)
Gambar 8. Delivery sheath bersama cable ditarik secara bersama-sama.
28
10. Bagian distal ADO dikembangkan dengan menarik delivery sheath (tanpa menarik cable), sehingga ADO mengembang sendiri di dalam DAP begitu ADO terlepas dari delivery sheath (Gambar 9). 11. Setelah diyakini posisi ADO duduk baik di dalam ampula DAP pada visualisasi angiografi aorta desendens, maka ADO dilepaskan dari delivery cable. 12. Saat tindakan di kamar kateterisasi diberikan antibiotika profilaksis injeksi intravena amoksilin 50 mg/kgBB dan saat di ruang perawatan 8 jam kemudian diberikan lagi 25 mg/kgBB.
Gambar 9. Diagram tempat ADO diletakkan
28
Setelah prosedur pemasangan Amplatzer duct occluder selesai, tekanan darah pasien diukur secara teratur dan fungsi jantung pasien dimonitor melalui EKG secara teratur. Perawat akan memeriksa Amplatzer duct occluder yang sudah dipasang dengan mengukur tekanan nadi pada tangan dan kaki. Setelah pulih dari pengaruh obat anestesi dan istirahat yang cukup, pasien harus mampu berdiri dan duduk seperti biasa. Pasien dipulangkan pada hari yang sama atau keesokan harinya dari rumah sakit. Sebelum meninggalkan rumah sakit, dilakukan pemeriksaan transthoracal echocardiography untuk memastikan posisi Amplatzer duct occluder dalam keadaan stabil dan baik. Prosedur pemasangan Amplatzer duct occluder membutuhkan waktu pemulihan yang lebih cepat dibanding pembedahan jantung. Sebelum meninggalkan rumah sakit, dokter akan memberikan petunjuk kepada pasien apa yang harus dilakukan dan obat yang dibawa pulang. Aspirin tidak perlu diberikan. Antibiotik diberikan untuk mencegah endokarditis. Pasien dianjurkan tetap memeriksakan diri ke dokter secara teratur.
Komplikasi setelah pemasangan transcatheter closure pada duktus arteriosus persisten Untuk mengevaluasi hasil prosedur dalam jangka pendek dan jangka panjang serta komplikasi pemasangan transkateter pada DAP, pada bulan Oktober 1999 dan Desember 2005, 117 pasien (34 laki-laki dan 83 perempuan) diteliti di Korea setelah pemasangan percutaneous closure pada DAP dengan diameter minimum lebih dari 3mm. Observasi dilakukan pada hari ke 1 dan bulan ke 1, 3, 6, 12 setelah penutupan
dengan transkateter. Median umur pasien yang ikut serta 11 tahun (berkisar antara 0,6-68 tahun), median berat badan adalah 30 kg (berkisar antara 6-74 kg), dan median diameter DAP adalah 4 mm (berkisar antara 3-8 mm). Penutupan dengan transkateter ini berhasil dilakukan pada 114 pasien (97,4%), dengan alat yang berbeda-beda, di antaranya ADO, Nit-Occlud coil, and Cook detachable coil. Median waktu yang dibutuhkan untuk fluoroskopi pada penutupan DAP adalah 16 menit (berkisar antara 3-40 menit), nilai median tekanan arteri pulmonalis adalah 26 mmHg (berkisar antara 13-66 mmHg), dan nilai median rasio Qp/Qs (rasio arteri pulmonalis/ aliran sistemik) adalah 1,9 (berkisar antara 1,1– 4,8). Komplikasi mayor terdapat pada 4 pasien (3,4 %). Dua orang pasien menunjukkan komplikasi yaitu hemolisis, dan endokarditis didapatkan pada 1 pasien. Komplikasi minor didapatkan pada 6 pasien.29 Di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta, sejak November 1998 sampai September 2008 telah dilakukan tindakan penutupan DAP transkateter pada 264 pasien dengan alat yang berbeda-beda.30 Detachable coils dicoba dipasang pada 30 pasien dengan median usia 7 tahun (0,9 – 24 tahun) dan diameter segmen terkecil DAP 3 mm (1.3 – 5 mm), ADO pada 218 pasien dengan median usia 5 tahun (0,6 – 41 tahun) dan diameter segmen terkecil DAP 5 mm (2 – 16 mm), serta Nittoccluder pada 13 pasien dengan median usia 6 tahun (0,6 – 14 tahun) dan diameter segmen terkecil DAP 2,7 mm (1,4 – 3,6 mm). Pemasangan coil berhasil dilakukan pada 25 pasien (83%) dimana 4 pasien diantaranya dipasang 2 buah coils. Komplikasi migrasi/embolisasi ke arteri pulmonalis kiri terjadi pada 2 (7%) pasien dan hemolisis pada 3 (12%) pasien. Penutupan komplit segera setelah pemasangan coil ditemukan pada 15 (60%) pasien, dalam 24 jam setelah pemasangan pada 7 (28%) pasien dan tetap ditemukan sisa pirau dalam observasi setelah 1 tahun pada 3 (12%) pasien. Sedangkan pada dari 216 (97%) pasien yang berhasil dipasang ADO, komplikasi embolisasi ADO ke aorta desendens terjadi pada 1 (0,4%) pasien dan ke arteri pulmonalis kanan 2 (0,8%) pasien. Penutupan komplit segera setelah pemasangan ditemukan pada 186 (84%), dalam waktu 24 jam bertambah 29 (13%) pasien dan hanya 1 (0,4%) pasien yang setelah observasi 1 tahun masih terdapat sisa pirau melalui sela-sela ADO. Pemasangan Nitt-occluder berhasil dilakukan pada 11 (85%) pasien, tidak ditemukan komplikasi dan tidak satupun ditemukan penutupan komplit segera setelah pemasangan. Penutupan komplit baru ditemukan pada 9 (82%) pasien 24 jam setelah pemasangan dan sisanya pada observasi 1 – 6 bulan setelah pemasangan. Disimpulkan bahwa penutupan DAP dengan coil harus dilakukan dengan hati-hati sedangkan ADO ternyata lebih aman dan hasilnya juga lebih baik.
Pada sebuah penelitian eksperimental, menunjukkan bahwa penutupan dengan ADO akan memperbaiki gejala dan tanda klinis gagal jantung akibat DAP, memperbaiki dimensi jantung dan ruang jantung, memperbaiki faal diastolik ventrikel kiri serta tidak dijumpai adanya gangguan faal sistolik.31 Adanya laporan tentang efek samping nikel, berawal dari ditemukannya kasus keracunan nikel pada pekerja pabrik nikel yang menghirup partikel nikel. Bahkan ditemukan kasus keracunan hingga kematian pada seseorang yang makan/minum makanan/minuman yang mengandung nikel atau yang dimasak dengan peralatan yang terbuat dari nikel. Karena ADO mengandung nikel dan titanium, maka dipertanyakan efek samping mengenai pemakaian ADO. Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Djer (Nopember 2006 - Februari 2008) terhadap 23 kasus, menunjukkan bahwa pasca penutupan DAP dengan ADO, tidak terdapat peningkatan kadar nikel darah serta tidak ditemukan gejala dan tanda toksik nikel. Komplikasi Mayor : Hemolisis
2
Endokarditis
1
Terbentuknya embolus setelah operasi
1
Kejadian total
4
(3.4%)
Komplikasi Minor : Penyempitan pada arteri pulmonalis kiri
4
Penyempitan pada aorta descenden
2
Kejadian total
6
(5.1%)
3.2.3.2 Defek septum atrium (DSA) Defek septum atrium (DSA) merupakan bentuk PJB yang juga sering ditemukan dengan insidens sekitar 7% dari seluruh PJB. DSA terjadi akibat sesuatu hal yang mempengaruhi pembentukan sekat atrium jantung yang terjadi dalam rentang waktu 8 minggu kehamilan.32 Gangguan hemodinamik yang terjadi pada DSA disebabkan oleh pirau kiri ke kanan akibat adanya defek (lubang) pada dinding atrium jantung. Akibatnya, darah dari atrium kiri yang seharusnya masuk ke ventrikel kiri, akan masuk ke atrium kanan dan akhirnya ke ventrikel kanan. Jika lubangnya cukup besar, dapat meningkatkan beban volume di jantung kanan, di samping juga meningkatkan beban volume di jantung kiri.33 Terdapat tiga jenis DSA, yaitu : DSA sekundum (50-70%), DSA primum (30%) dan DSA tipe sinus venosus (10%).34 DSA sekundum merupakan tipe DSA yang paling sering ditemukan dan dapat ditangani dengan transkateter. Tatalaksana pilihan terkini untuk DSA yang secara luas sudah
diterima di hampir seluruh negara adalah penutupan DSA transkateter menggunakan Amplatzer septal occluder (ASO) dengan angka mortalitas kurang dari 1%.35 Defek septum atrium (DSA) umumnya ringan karena tidak mengakibatkan pirau kiri ke kanan yang bermakna yang merupakan faktor risiko terjadinya penyakit vaskular
paru
(pulmonary
vascular
disease).
DSA
yang
signifikan
dapat
mengakibatkan volume overload pada jantung kanan sehingga terjadi gagal jantung kanan. Pada usia dewasa, DSA besar merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal jantung dan aritmia. Selain itu pasien dengan DSA juga memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami emboli dan trombosis vena dalam. Karena alasan-alasan tersebut DSA umumnya ditutup saat masa kanak-kanak, idealnya sebelum usia sekolah. Selain itu, seiring pertumbuhan, ukuran DSA cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan massa tubuh. Oleh karena itu, DSA pada orang dewasa lebih besar daripada DSA pada anak kecil, tetapi batas defek terkait dengan struktur lain seperti vena pulmonal dan katup mitral yang juga menjadi lebih besar. Meskipun beberapa ahli menyarankan penutupan DSA dilakukan sesegera mungkin dengan alasan bahwa beban jantung kanan akan meningkat seiring dengan pertambahan usia, lebih disarankan jika memungkinkan untuk menunggu hingga anak sedikitnya berusia 5 tahun atau memiliki berat badan lebih dari 20 kg.36 Pada defek kurang dari 3 mm yang didiagnosis sebelum usia 3 bulan, penutupan secara spontan terjadi pada hampir 100% pasien pada usia 11/2 tahun. Defek ukuran 3 sampai 8 mm menutup pada usia 11/2 tahun pada 80% pasien, dan defek lebih besar dari 8 mm jarang menutup spontan.
Gambar 10. Defek Septum Atrium (DSA)
Langkah diagnostik25 1. Anamnesis
24
Sebagian besar anak yang mengalami DSA tidak menimbulkan gejala klinis dan tampak sehat. Pada umumnya gejala baru timbul pada usia dekade 2 dan 3 dimana sudah terjadi peningkatan tekanan vaskular paru sehingga PJB jenis ini kadang baru terdiagnosa pada usia dewasa. Namun, jika DSA-nya cukup besar, sebagian besar darah akan masuk ke jantung bagian kanan, lalu ke atrium kanan, ventrikel kanan, dan kemudian ke paru sehingga terjadi gagal jantung kanan. Beberapa gejala yang mungkin timbul adalah: anak mudah lelah, lemas, berkeringat, pernapasan menjadi cepat, napas pendekpendek, pertumbuhannya akan terganggu. Gejala ini dapat menyerupai gangguan medis lain atau masalah jantung lainnya sehingga sering tidak terdiagnosis.32 2. Pada pemeriksaan fisis didapatkan: Anak tampak kurus, berat badan kurang dari persentil ke-10 Pada auskultasi, bunyi jantung 2 (S2) terpisah lebar yang menetap pada saat inspirasi maupun ekspirasi disertai bising ejeksi sistolik di daerah pulmonal. Pada pirau dari kiri ke kanan besar dapat terdengar bising middiastolik pada tepi kiri sternum bagian bawah.34 3. Pemeriksaan penunjang Elektrokardiografi : deviasi sumbu QRS ke kanan (+ 90º sampai 180º), hipertrofi ventrikel kanan, blok cabang berkas kanan (RBBB) dengan pola rsR’ pada V1. Foto Rontgen toraks: kardiomegali dengan pembesaran atrium kanan dan ventrikel kanan. Arteri pulmonalis tampak menonjol disertai tanda peningkatan vaskular paru. Ekokardiografi dapat menentukan lokasi dan besarnya defek, dimensi atrium kanan, ventrikel kanan dan dilatasi arteri pulmonalis. Dengan Doppler berwarna dapat dilihat aliran/pirau.
Algoritma Tata Laksana Defek Septum Atrium34 DSA Sekundum
Pirau kecil
Pirau Besar
Observasi
Anak/Dewasa
Bayi
HP(+)
HP(-) Evaluasi pada Umur 5-8 th
Gagal Jantung (-)
Gagal Jantung (+) PVD(+)
PVD(-) Medikamentosa Kateterisasi
Hiperoksia FR < 2
FR ≥ 2
Berhasil
Gagal Reaktif
Berat ≥ 10 kg Konservatif
Operasi
Transcatheter Closure
Nonreaktif
Konservatif
Sampai 5 tahun yang lalu, semua DSA hanya dapat ditangani dengan operasi/ bedah jantung terbuka. Operasi penutupan DSA, baik dengan jahitan langsung ataupun tidak langsung menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40 tahun, pertama kali dilakukan tahun 1953 oleh dr. Gibbson di Amerika Serikat, menyusul ditemukannya mesin pintasan jantung-paru (cardio-pulmonary bypass) setahun sebelumnya.37 Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang tepat (tidak terlambat) memberikan hasil yang baik, dengan risiko minimal (angka kematian operasi 0-1%, angka kesakitan rendah). Murphy JG, et.al melaporkan survival (ketahanan hidup) pasca-operasi mencapai 98% dalam pemantauan 27 tahun setelah tindakan bedah, pada penderita yang menjalani operasi di usia kurang dari 11 tahun. Semakin tua usia saat dioperasi maka angka ketahanan hidupnya akan semakin menurun, berkaitan dengan sudah terjadinya komplikasi seperti peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru.38,39,40,41 Namun demikian, tindakan operasi tetap memerlukan masa pemulihan dan perawatan di rumah sakit yang cukup lama, dengan trauma bedah (luka operasi) dan trauma psikis serta relatif kurang nyaman bagi penderita maupun keluarganya. Hal ini memacu para ilmuwan untuk menemukan alternatif baru penutupan DSA dengan tindakan intervensi non-
bedah (tanpa operasi), dalam hal ini, alat yang pernah diteliti antara lain Straflex device, Helex device dan yang terakhir Amplatzer septal occluder. Beberapa alat tersebut sebelumnya telah menjalani percobaan klinis, di bawah ini akan dibahas satu per satu berdasarkan urutan alfabet seperti di bawah ini. Amplatzer septal occluder (ASO). ASO merupakan alat dengan cakram ganda yang dapat mengembang sendiri (self expandable), terbuat dari kawat nitinol berdiameter 0,004-0,0075 inci yang teranyam kuat menjadi dua cakram dengan pinggang penghubung 3-4 mm. Di dalamnya terdapat lapisan dakron terbuat dari benang polyester yang dapat merangsang trombosis sehingga lubang/hubungan antara atrium kiri dan kanan akan tertutup sempurna. Diameter pusat lempeng berkisar dari 4-40 mm dengan tebal 1-2 mm. Lempeng atrium kanan dan kiri adalah 12-16 mm dan lebih besar 810 mm dari pusat lempeng. Tergantung pada ASO yang akan digunakan, ASO dimasukkan ke dalam delivery sheath yang berukuran 6-12 French dengan menggunakan delivery cable yang terhubung ke pusat lempeng atrium kanan ASO dengan sistem mur mikro. Tindakan pemasangan ASO telah mendapat persetujuan dari American Food and Drug Administration (FDA) pada bulan Desember 2001. Di Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan pada tahun 2002. Di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita selama periode September 2002 – September 2008 telah dilakukan pemasangan ASO pada 177 pasien DSA, terdiri dari 46 pasien laki-laki dan 131 perempuan, usia antara 2 – 59 tahun. Implantasi ASO berhasil dilakukan pada 154 (87%) pasien. Komplikasi embolisasi terjadi pada 7 (6%) pasien, 3 di antaranya berhasil dikeluarkan dengan kateter pengait sedangkan sisanya diambil saat dilakukan operasi penutupan DSA. Tidak ditemukan kematian pada prosedur ini.42 Di PJT RSCM sejak tahun 2002, telah dilakukan penutupan DSA pada 76 kasus. Pasien terdiri dari 53 perempuan dan 23 laki-laki dengan berat badan berkisar antara 8 sampai 75 kg, dengan rata-rata 20 kg. Angka kematian juga dilaporkan nol. Tindakan ini juga sudah dilakukan di RS Dr. Soetomo Surabaya.
Gambar 11. Penutupan DSA dengan pemasangan ASO (Courtessy of dr. Poppy S. Roebiono, SpJP(K))
Gambar 12. Amplatzer septal occluder
Intervensi non-bedah pada DSA menunjukkan hasil yang baik, angka kesakitan peri-prosedural yang minimal, dapat mengurangi kejadian aritmia atrium dan dapat digunakan pada DSA berdiameter sampai dengan 34 mm. Keuntungan lain adalah risiko infeksi pasca-tindakan yang minimal dan masa pemulihanperawatan di rumah sakit yang lebih singkat, trauma bedah minimal serta secara subyektif dirasakan lebih nyaman bagi penderita dan keluarga karena tidak memerlukan tindakan bedah jantung terbuka.43 Kendala yang masih muncul adalah besarnya biaya yang diperlukan karena harga alat ASO yang relatif mahal, dan belum adanya jaminan pembiayaan kesehatan yang memadai di negara kita. Vida VL, et.al melaporkan bahwa biaya pemasangan ASO di negara berkembang masih lebih tinggi dibandingkan dengan biaya penutupan DSA dengan tindakan bedah konvensional.44
Kriteria pasien DSA yang akan dilakukan pemasangan ASO, antara lain :45 1. DSA sekundum 2. Diameter kurang atau sama dengan 34 mm 3. Flow ratio lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat tanda-tanda beban volume pada ventrikel kanan 4. Mempunyai rim posterior minimal 5 mm dari vena pulmonalis kanan 5. Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang memerlukan intervensi bedah 6. Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri 7. Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary Artery Resistance Index = PARI) kurang dari 7 - 8 Wood Unit 8. Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih dari 30%. Atrial septal defect occlusion (ASDOS).46 Satu lagi alat yang sedang menunggu persetujuan FDA untuk menjalani percobaan IDE (Investigational Device Exemption) adalah atrial septal defect occlusion (ASDOS). Alat berbentuk payung ganda ini terbuat dari nitinol dan poliuretan. Agar dapat dimasukkan, diperlukan akses arteri dan vena secara bersama-sama. Alat ini telah digunakan secara klinis, dan hasilnya pada fase awal cukup menjanjikan.
Gambar 13. Atrial septal defect occlusion
Button Device.46 Pada tahun 1990, Sideris et al melaporkan penggunaan alat baru ”button device” untuk penutupan DSA. Alat ini memiliki tiga komponen: occluder, counteroccluder, dan loading wire. Occluder-nya adalah busa poliurethane berbentuk bujur sangkar yang ditopang oleh dua diagonal, kawat berselubung teflon dengan diameter 0,018 inci. Kawat berbentuk X jika sedang tidak terlipat, dan bila terlipat ketika dalam posisi masuk letaknya akan hampir sejajar. Laporan mengenai keberhasilan alat ini masih terbatas. Selain itu alat ini belum menjalani percobaan klinis dari IDE dan juga belum mendapat persetujuan dari FDA.
Gambar 14. Button device
Guardian angel/angel wings.46 Untuk mengatasi keterbatasan Clamshell dan Button Device, Das et al mengembangkan alat angel wings, yakni lempeng ganda yang saling terhubung di tengah, terbuat dari bahan seperti dakron dan nitinol yang sangat elastis. Alat yang baru, yakni Guardian angel, bentuknya hampir seluruhnya bulat. Setelah dimasukkan, alat ini akan tetap melekat pada delivery catheter melalui tethers. Hal ini memungkinkan alat untuk mengembang bebas dan dianggap sesuai dengan posisi anatominya. Setelah melalui tahap ini, alat dapat dipasang dengan gerakan yang berlawanan secara perlahan dan dapat diangkat atau diatur posisinya. Jika posisinya telah sesuai, alat dapat dilepaskan. Diharapkan alat ini akan segera menjalani percobaan klinis di Amerika Serikat.
Gambar 15. Guardian Angel
Helex septal occluder.46 Alat ini terdiri dari dua cakram yang dilapisi oleh membran politetrafluoroetilen (e-PTFE). Cakramnya dipertahankan dalam bentuk bulat oleh kawat nitinol dengan diameter 0,012 inci. Alat ini telah dicoba pada hewan dengan hasil yang begitu baik. Penelitian pada skala internasional dimulai sejak tahun 2000 dan hasilnya sudah dipresentasikan di dalam pertemuan-pertemuan. Angka keberhasilan menutup total sebesar 94% setelah satu bulan. Percobaan klinis telah dimulai di Amerika Serikat pada tahun 2001.
Gambar 16. Helex septal cccluder
Starflex/Bard clamshell/cardioseal.46 Bard clamshell (USCI, Billerica, Massachusetts) septal occluder device, yang diperkenalkan oleh Lock et al., merupakan modifikasi dari double umbrella device yang dipergunakan pada DAP oleh Rashkind dan juga merupakan pendahulu beberapa alat yang sekarang sedang menjalani percobaan klinis. Alat ini memiliki dua bujur sangkar ganda berbentuk payung poliester yang saling berhadapan dan ditopang oleh empat lengan yang meluas dari tengah ke samping. Alat ini telah digunakan oleh sekitar 800 pasien dan menunjukkan hasil yang baik. Namun, pada penggunaannya terdapat komplikasi berupa patah pada lengan alat yang cukup signifikan sehingga menyebabkan residual shunts, embolisasi lanjut atau pembentukan massa fibrotik kecil di dinding atrium kiri pada 1-2% kasus. Oleh karena itu, alat ini ditarik dari peredaran. Alat baru yang dinamakan Cardioseal di desain ulang untuk menurunkan komplikasi di atas. Kerangka yang menyusunnya terdiri atas MP35N logam campuran yang secara radial menyebar ke 4 lengan penopangnya, dengan 2 engsel pada masing-masing lengan untuk mengurangi kelemahan pada logam. Pada percobaan klinis, insidens patah lengan dan residual shunts berkurang, tetapi tidak dapat dihilangkan. Modifikasi alat yang lebih baru yang diberi nama Starflex mulai dikenalkan. Alat ini mampu menutup DSA hingga diameter 25 mm. Saat ini, Starflex sedang menjalani percobaan di beberapa senter.
Gambar 17. Starflex
Transcatheter patch closure.46 Pada tahun 1999 Sideris et al., menjabarkan berbagai modalitas untuk menutup DSA tanpa memakai kawat ataupun jahitan. Balon yang sudah dimodifikasi digunakan untuk memasukkan bahan patch yang dapat menyerap melewati DSA. Balon kemudian mengembang untuk mempertahankan patch dalam posisi melewati DSA selama beberapa waktu untuk memungkinkan fiksasi patch di pinggir (rim) DSA. Lamanya bergantung pada bahan patch yang dapat terserap. Patch dikaitkan ke jahitan yang dapat diangkat yang difiksasi di daerah paha. Tingkat stabilitas patch dapat dilihat melalui pemeriksaan transesophageal echocardiogram; jika stabil, jahitan dapat dilepas. Jika tidak stabil, patch dapat dilepaskan kembali dan diganti dengan patch lain dan difiksasi dalam waktu yang lebih lama. Teknik ini belum dicoba pada banyak pasien dan belum dipakai di Amerika Serikat.
Gambar 18. Transcatheter patch closure
Secara anatomi, DSA primum dan DSA tipe sinus venosus dengan anomali drainase vena pulmonalis tidak cocok untuk penutupan dengan transkateter. Untungnya, sebagian besar DSA sekundum dapat ditutup dengan Amplatzer septal occluder (ASO). DSA yang paling ideal untuk dilakukan penutupan dengan transkateter menggunakan ASO adalah bila diameter lubangnya kurang dari 20 mm
dan memiliki batas yang tegas terhadap katup mitral, dasar aorta dan orifisium vena cava serta sinus koronarius agar mampu menunjang pinggang atrium.36 Prosedur Penutupan DSA Transkateter Penutupan DSA transkateter pada anak dan orang dewasa dilakukan dengan anestesia
umum
menggunakan
transesophageal
echocardiography
(TEE)
intraprosedural sebagai penuntun di laboratorium kateterisasi. Sebagai alternatif TEE adalah penggunaan intracardiac echocardiography yang memiliki keuntungan tidak memerlukan anestesia umum selain memberikan gambaran lebih superior dan terutama daerah infero-posterior. Namun demikian, karena pemakaian probe intrakardiak bersifat disposable, biayanya menjadi lebih mahal. Pendekatan yang dilakukan selalu melalui vena femoralis dan jarang sekali ditemukan kesulitan dalam melewati DSA dengan berbagai tipe kateter. Prosedur angiografi atrium kiri tidak rutin dilakukan karena berdasarkan pengalaman hanya menambahkan sedikit gambaran detail anatomi yang diberikan oleh TEE intraprosedural.36
Peran transesophageal echocardiography (TEE) TEE merupakan pemeriksaan yang penting dan dengan pemeriksaan ini memungkinkan dilakukan penilaian yang menyeluruh dan akurat pada morfologi DSA tanpa mengganggu sterilitas lapangan operasi atau mengganggu fluoroskopi. Tepi septum dapat divisualisasi dengan jelas dan jarak dari tepi defek ke vena pulmonal kanan, vena kava inferior dan superior, sinus koronaria serta katup mitral dapat dengan mudah diukur. Variasi septum atrium seperti fenestrasi dan aneurisma yang mungkin tidak terlihat dengan pemeriksaan transthoracic
echocardiography
terutama
pada
pasien
dewasa
dapat
diidentifikasi dengan baik oleh TEE. Fenestrasi di septum atrium menyulitkan prosedur jika pengukuran dilakukan secara kurang hati-hati karena dilakukan melalui defek yang lebih kecil. Jadi jika terdapat fenestrasi, masuknya guide wire, balon pengukur serta delivery sheet harus dilakukan melalui defek mayor. Setelah alat dimasukkan, pemeriksaan TEE digunakan untuk menilai posisi alat, hubungannya dengan daerah sekitar dan stabilitasnya. Sisa pirau (residual shunts) juga paling baik diperlihatkan melalui TEE. Sisa pirau yang terjadi setelah penutupan harus diperiksa dengan colour Doppler echocardiograhy dan berikut ini adalah pengklasifikasiannya : - trivial
: diameter kurang dari 1 mm
- kecil
: diameter 1-2 mm
- sedang : diameter 3-4 mm - besar
: diameter lebih dari 4 mm.43
Agar alat yang dimasukkan dapat optimal, secara rutin pemasukan alat dilakukan
dibawah
anestesia
umum
dengan
penuntun
transesophageal
echocardiography. Penilaian menyeluruh mengenai defek, tepi sekitar dan struktur jantung yang tersisa dilakukan sebelum kateter dimasukkan. Kateterisasi jantung kiri dan kanan secara rutin dilakukan dan kemudian dilakukan penilaian derajat aliran pirau kiri ke kanan. Heparin diberikan secara rutin kepada semua pasien. Angiografi dilakukan pada vena pulmonal kanan atas pada posisi hepatoklavikular untuk menilai letak dan ukuran defek. Pengukuran defek dengan balon untuk memperoleh diameter DSA saat teregang dilakukan dengan menggunakan balon pengukur yang ditiup sampai terlihat pinggang dan tidak terlihat pirau lagi pada TEE. Ukuran ASO yang dipilih adalah hasil pengukuran diameter defek saat teregang ditambah 2 – 4 mm. Diberikan terapi antibiotik profilaksis injeksi intravena amoksilin (50 mg/kgBB) menjelang penutupan serta 8 dan 16 jam setelah penutupan. Di senter lain, semua pasien diberikan asam asetilsalisilat (ASA) 5mg/kg sebelum prosedur dilakukan. Selain rekomendasi untuk terapi profilaksis endokarditis infektif, diberikan ASA selama enam bulan setelah pemasangan alat.47 Hal lain yang juga penting adalah memilih ukuran ASO yang sesuai dengan ukuran defek. Ukuran ASO yang terlalu besar menyebabkan penonjolan yang hebat (mushrooming)
pada diskus yang mengalami retensi ke dalam
atrium. Ukuran alat yang terlalu kecil dapat menyebabkan pintasan yang menetap atau bahkan embolisasi.48 Komplikasi Jenis dan tingkat komplikasi berbeda-beda pada masing-masing alat. Komplikasi mayor meliputi semua kejadian yang menyebabkan hal berikut ini: (1) kematian; (2) dekompensasi hemodinamik yang mengancam nyawa sehingga memerlukan terapi segera; (3) memerlukan intervensi bedah; dan (4) menimbulkan lesi fungsional atau anatomik yang bersifat permanen dan signifikan akibat tindakan kateterisasi. Sedangkan komplikasi minor didefinisikan sebagai kejadian sementara dan dapat diatasi dengan terapi spesifik. Berikut ini tabel yang memperlihatkan tingkat dan jenis komplikasi pada masing-masing alat yang dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Tabel 1. Komplikasi yang dilaporkan oleh beberapa peneliti. Reference Device
Total # of Major Device Surgery CV PM PE Other Patients Complications Embolization
Walsh et al. (4)
Sideris
33
1
ASO
39
1
1
0
1
1
0
Sievert et al. (5)
ASDOS 154
11
2
11
0
Carminati et al. (6)
CS
79
3
3
2
0
SF
38
1
1
1
0
Berger et al. (7)
ASO
61
1
1
1
0
Chan et al. (8)
ASO
100
0
Waight et al. (9)
ASO
77
3
2
0
Hijazi et al. (10)
ASO
18
1
1
0
1
5
0
2 infectious endocarditis, 2 thrombus formation
1 transient ST elevation, 1 transient AB block, 1 presumed deep vein thrombosis, 1 presumed TIA 1
AB = atrioventricular block; ASO = Amplatzer septal occluder; CS = CardioSEAL; CV = electrical cardioversion; PE = pericardial effusion; PM = pacemaker; SF = STARFlex; TIA = transient ischemic attack.
Penelitian yang dilakukan oleh Massimo Chessa et al. pada tahun 1996-2001 menemukan insidens komplikasi sebanyak 8,6 %. Malposisi/embolisasi merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan yakni sebesar 3,5 %. Aritmia merupakan komplikasi tersering kedua (2,6%). Komplikasi lain adalah pembentukan trombus di diskus atrium kiri yang terjadi segera setelah prosedur dilakukan. Untuk menghindari komplikasi ini kebijakan yang dilakukan adalah memberikan anti-agregasi trombosit oral yang diberikan 1 hari sebelum prosedur. Komplikasi lainnya (diseksi vena iliaka kanan, hematoma pada lipat paha, perdarahan retrofaring) berkaitan dengan kesalahan manajemen selama prosedur.49
Analisis perbandingan pembedahan dengan kardiologi intervensi non-bedah
Faktor Prosedur Perbandingan aspek prosedur pada semua pasien diperlihatkan pada Tabel 2. Anak yang mengalami penutupan dengan transkateter menjalani anestesia yang lebih singkat, lama rawat inap yang lebih singkat, tidak memerlukan perawatan di ICU, pemakaian analgesia yang lebih singkat dan nyeri pasca tindakan yang lebih ringan daripada pasien yang mengalami pembedahan. Enam anak yang berada dalam kelompok operasi memerlukan transfusi darah untuk bypass kardiopulmonal primer. Produk-produk darah jarang diperlukan oleh pasien yang menjalani penutupan dengan transkateter. Tabel. 2 Karakteristik pasien yang menjalani pembedahan dengan transkateter. Device closure
Surgical closure
p Value
Number
43
19
Anaesthetic time (min)
92 (70– 115)
170 (147– 180)
<0.01
ICU stay (hours)
0
20 (18– 21)
–
Hospital stay (hours)
29 (28– 30)
88 (78– 112)
<0.01
Post-procedure pain score
1.2 (0.4– 3.0)
4.9 (3.1– 7.7)
<0.001
Analgesia after 48 hours
0/43
13/19 (68%)
<0.001
ICU, intensive care unit.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Zhong-Dong DU et al., pada tahun 1998-2000 dengan metode non-RCT disimpulkan bahwa angka keberhasilan dengan prosedur transkateter adalah 95,7% dan dengan pembedahan 100%. Komplikasi yang ditimbulkan pada penggunaan transkateter sebesar 7,2% dan pada pembedahan 24%. Pada kedua prosedur angka mortalitas sebesar 0%. Lamanya rawat inap pada pemakaian transkatter 1,0 (SB 0,3) hari, sedangkan pada pembedahan 3,4 (SB 1,2) hari.
Secara statistik angkanya tidak jauh
berbeda antara penggunaan transkateter dengan pembedahan. Faktor yang
penting bagi penutupan dengan
transkateter adalah pada pemilihan pasien.
Penutupan DSA melalui transkateter dengan menggunakan ASO merupakan metode yang aman dan efektif dibandingkan dengan pembedahan.10 Selain itu, pada studi yang dilakukan oleh Fischer G, et al pada tahun 1997-1998, dilaporkan bahwa angka keberhasilan penutupan DSA dengan ASO adalah sebesar 83%.48 Pada penelitian yang dilakukan oleh Ross Hasseling et al., melaporkan keluaran yang sukses berkaitan dengan perbaikan DSA dengan operasi pada anak-anak. Selama pemantauan 21-33 tahun tidak ditemukan episode gagal jantung, stroke, hipertensi pulmonal, dan kematian kardiovaskular. Terdapat sedikit kekhawatiran berkaitan dengan aritmia yang terjadi setelah perbaikan dan dilatasi atrium kanan, tetapi hal ini tidak menyebabkan morbiditas yang signifikan. Penutupan dengan transkateter merupakan metode yang aman dan efektif serta berkaitan dengan berkurangnya morbiditas, lama rawat yang lebih singkat dan biaya yang lebih sedikit. Namun pemantauan jangka panjangnya belum diketahui.50
Waktu pemulihan Pada penelitian yang dilakukan oleh Thomson et al., rata-rata pasien yang mengalami transkateter dirawat selama satu hari (kisaran 1-2 hari) dan untuk yang mengalami pembedahan enam hari (kisaran 4-20 hari). Pasien dapat kembali ke aktivitas normal rata-rata setelah dua minggu pada kelompok Amplatzer dan pada pembedahan rata-rata 5,5 minggu.
Efektifitas Pemeriksaan echocardiography yang dilakukan 3 bulan setelah prosedur memperlihatkan bahwa terdapat sedikit residual shunts pada pasien yang mengalami transkateter (angka penutupan yang sempurna 91 %). Pada kelompok pasien yang mengalami pembedahan tidak ada residual shunts.
Kenyamanan Orangtua yang anaknya mengalami pembedahan mengkhawatirkan mengenai prosedur yang invasif, efek bypass kardiopulmonal, dan jaringan parut yang ditimbulkan. Sedangkan orangtua yang anaknya menjalani tindakan transkateter mengkhawatirkan kemungkinan lepasnya alat serta keamanan alat dalam jangka panjang.
Biaya keluarga Ayah yang anaknya menjalani penutupan melalui pembedahan rata-rata mengambil cuti empat hari kerja, sementara pada anak yang menjalani
penutupan dengan transkateter hanya mengambil cuti satu hari kerja. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah hari yang ditinggalkan pada ibu.
Biaya Rumah Sakit Gambar 17 menunjukkan rata-rata biaya rumah sakit yang disederhanakan antara penutupan dengan pembedahan dengan transkateter. Biaya tindakan (ruang operasi+anestesi+alat) lebih rendah pada yang dilakukan pembedahan daripada dengan transkateter. Namun demikian, kebutuhan untuk perawatan intensif dan perawatan inap yang lebih lama menyebabkan biaya perawat, petugas laboratorium, dan farmasi menjadi lebih besar, dan secara total di Australia menyebabkan biaya pembedahan menjadi sedikit lebih besar (Aus $12969 vs. $11845).51 Di Inggris, biaya rata-rata adalah £ 5375 untuk kelompok Amplatzer dan pada kelompok pembedahan £ 5412. Perbedaan biaya terutama adalah untuk penyediaan alat (rata-rata Amplatzer £ 2974 vs. pembedahan £ 408) dan lama perawatan inap (rata-rata Amplatzer £ 300 v pembedahan £ 2410).52
Gambar 17. Perbandingan biaya penutupan DSA. Meliputi biaya ruang operasi, laboratorium, anestesi, and Amplatzer septal occluder.
Protokol untuk pemantauan lanjut Semua pasien menjalani pemeriksaan klinis, elektrokardiografi, foto Rontgen dada 2 proyeksi, serta pemeriksaan ekokardiografi transtorakal sebelum pulang dari rumah sakit. Prosedur yang sama dilakukan setiap 1, 6 dan 12 bulan setelah implantasi. Aspirin dosis 5 mg/kg BB yang diberikan setiap hari direkomendasikan selama 6 bulan setelah implantasi.49 Di negara maju, tindakan dengan transkateter
telah mengungguli tindakan dengan pembedahan. Namun di negara berkembang, masalah biaya masih menjadi kendala berkembangnya teknologi transkateter. 3.2.3.3 Defek Septum Ventrikel (DSV) Defek septum ventrikel (DSV) merupakan salah satu bentuk PJB yang paling sering ditemukan ditandai adanya defek atau lubang pada sekat/dinding yang memisahkan ventrikel kiri dan kanan.53 DSV merupakan 30% dari PJB yang ditemukan.54 Meskipun defek yang kecil dapat menutup sendiri secara spontan, defek yang lebih besar biasanya menyebabkan gagal jantung kiri dan hipertensi pulmonalis.55,56 Hasil pembedahan DSV tipe muskular apikal biasanya kurang optimal karena kesulitan dalam melihat lokasi dan besar defek, di samping juga memberikan gejala sisa, dan disfungsi ventrikel kiri.57 Porstmann dkk. melaporkan penutupan transkateter yang pertama dilakukan pada DAP tahun 1967, berbagai macam teknik intervensi telah dilakukan untuk menutup defek
intra-kardiak seperti DSA,58,59,60 foramen ovale persisten,61
fenestrated fontan62, dan defek lain yang berhasil ditutup. DSV merupakan salah satu defek yang dapat ditutup dengan sebuah alat sejak 10 tahun yang lalu, namun penggunaannya secara luas terbatas dari alat penutup DSV sebelumnya, karena beberapa sebab yang di antaranya adalah penggunaan kateter delivery yang berdiameter besar, ketidakmampuan mereposisi dan tingginya rasio residual shunt. Hal ini disebabkan alat tersebut belum benar-benar dibuat untuk menutup DSV.63,64,65,66 Pada saat ini, dengan adanya penemuan alat baru dan teknik penutupan yang lebih baik, penutupan pada DSV memiliki angka keberhasilan yang semakin membaik.67,68,69
Gambar 19. Alat yang digunakan untuk penutupan transkateter pada DSV. A, Rashkind 70 Double Umbrella; B, Sideris Bottoned Device; C dan D, Clamshell Device.
Berdasarkan data yang tersedia, lebih dari 150 pasien dengan DSV dilakukan penutupan transkateter dengan menggunakan Rashkind double umbrella,71,72 The Bard clamshell,67The Button device,68The Amplatzer septal occluder, Amplatzer duct occluder or Amplatzer muscular VSD Occluder73,74 atau The Gianturco coils.75
DSV sering ditemukan sebagai defek tersendiri (20%) atau dapat merupakan bagian dari PJB kompleks; seperti tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar. DSV merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada kelainan kromosom. Gangguan hemodinamik yang terjadi pada DSV disebabkan akibat pirau kiri ke kanan melalui defek (lubang) pada sekat/dinding ventrikel.76 Secara anatomis DSV diklasifikasikan sesuai dengan letak defeknya, yaitu : 1) DSV perimembran, 2) muskular dan 3) sub-arterial doubly committed.76 Berdasarkan fisiologi, klasifikasi DSV adalah sebagai berikut: 1) DSV defek kecil dengan resistensi vaskular paru normal, 2) DSV defek sedang dengan resistensi vaskular paru bervariasi, 3) DSV defek besar dengan peningkatan resistensi vaskular paru ringan sampai sedang, 4) DSV besar dengan resistensi vaskular paru tinggi. Sebelum kardiologi intervensi non-bedah berkembang, sebagian besar DSV ditata laksana dengan pembedahan, namun risikonya lebih tinggi karena harus menggunakan mesin pintasan jantung-paru. Komplikasi yang dapat terjadi sama dengan pada penutupan DSA, ditambah dengan kemungkinan terjadinya blok atrioventrikular total, kerusakan katup aorta, atau sumbatan pada aliran alur keluar ventrikel kiri.76
Gambar 20. Defek Septum Ventrikel.
24
Langkah Diagnostik76 A. Anamnesis 1. DSV kecil umumnya menimbulkan gejala yang ringan, atau tanpa gejala (asimtomatik). Umumnya pasien dirujuk karena ditemukannya bising jantung (murmur) secara kebetulan. Anak tampak sehat. Pada auskultasi S1 dan S2 normal, teraba thrill, bising pansistolik derajat IV/6 dengan punktum maksimum di interkostal 3-4 pada garis parasternal kiri.
2. DSV sedang dapat menimbulkan gejala yang ringan berupa takipnea dan takikardia ringan. Bayi sering mengalami kesulitan minum dan makan, dan sering mengalami ISPA. Pada pemeriksaan fisis ditemukan takipnea, retraksi interkostal atau suprasternal. Pertambahan berat badan sangat lambat. Ditemukan thrill. S1 dan S2 normal, ditemukan bising pansistolik intensitas keras di interkostal 3-4 parasternalis kiri. Bising mid-diastolik sering ditemukan di apeks. 3. DSV besar, gejala timbul setelah 3-4 minggu. Terlihat gejala dan tanda gagal jantung kiri. Bayi mengalami takikardia, takipnea, hepatomegali. Pasien tampak sesak, tidak biru, gagal tumbuh, banyak keringat dan sering mengalami ISPA berulang. Bising pansistolik akan terdengar bernada rendah dan tidak terlokalisasi. B. Pemeriksaan Penunjang76 1. Elektrokardiografi (EKG) Pada DSV kecil, gambaran EKG normal. Pada DSV besar akan ditemukan LVH atau BVH. 2. Foto Rontgen toraks Tidak spesifik. Pada defek kecil, ukuran jantung normal dengan corakan vaskular paru normal. Pada DSV sedang, terdapat kardiomegali dan peningkatan corakan vaskular paru dan tampak penonjolan segmen pulmonal. Pada DSV besar, terdapat kardiomegali, peningkatan corakan vaskular paru dan pembesaran ventrikel kanan. 3. Ekokardiografi Dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dan Doppler berwarna dapat ditentukan besar defek, arah pirau, dimensi ruang jantung dan fungsi ventrikel. 4. Kateterisasi jantung Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada DSV besar untuk menilai besarnya pirau dari kiri ke kanan (QP/QS) dan tingginya resistensi vaskular paru agar dapat ditentukan apakah masih bisa ditutup atau tidak.Saat ini kateterisasi pada DSV lebih ditujukan pada tindakan penutupan transkateter.
Medikamentosa76
1. DSV kecil tanpa gejala tidak perlu terapi. 2. Pada gagal jantung diberikan diuretik misalnya furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, vasodilator misalnya kaptopril 0,5 – 1 mg/kgBB/kali tiap 8 jam. Kalau perlu dapat ditambahkan digoksin 0,01 mg/kg/hari. Pemberian makanan berkalori tinggi dilakukan dengan frekuensi sering secara oral/enteral (melalui NGT). Anemia diperbaiki dengan preparat besi. 3. Menjaga kebersihan mulut dan pemberian antibiotik profilaksis terhadap infeksi endokarditis. 4. Penutupan
DSV
dapat
dikerjakan
dengan
intervensi
non-bedah
menggunakan Amplatzer VSD occluder atau dengan tindakan bedah. Indikasi dan waktu penutupan DSV76 Pada bayi dengan DSV defek besar yang mengalami gagal jantung serta retardasi pertumbuhan, dan kegagalan terapi medikamentosa, dilakukan operasi secepatnya sebelum terjadi penyakit vaskular paru. Indikasi penutupan DSV baik dengan cara intervensi non-bedah ataupun bedah adalah bila QP/QS lebih dari 2. Bayi atau anak dengan DSV besar dan hipertensi pulmonalis harus dilakukan kateterisasi untuk menilai tingginya resistensi vaskular paru dan responsnya terhadap pemberian oksigen 100%. Penutupan DSV cara bedah ataupun non-bedah dilakukan apabila resistensi vaskular paru dibawah 7 Wood Unit. Bila resistensi vaskular paru lebih dari 7 Wood Unit dan setelah diberikan oksigen 100% tetap lebih dari 7 Wood Unit, maka tindakan penutupan DSV tidak dianjurkan lagi.
DSV
Gagal Jantung(+)
Gagal jantung (-)
Medikamentosa
Prolap Katup Aorta
Stenos Infundi bulum
HP
Mengecil
Menutup spontan
Kath PVD(-)
Gagal
Berhasil
Kateterisasi
PVD(+)
Kateterisasi
Reaktif
FR < 2
FR ≥ 2
Nonreaktif
Evaluasi dalam 6 bulan Konservatif Transcatheter closure atau bedah 76
Algoritma tata laksana Defek Septum Ventrikel
Alat Yang Digunakan Alat yang digunakan untuk menutup DSV (Amplatzer VSD Occluder – AVO) terdiri dari Amplatzer muscular VSD occluder untuk DSV muskular, dan alat yang digunakan untuk menutup DSV perimembran adalah Amplatzer Membranous VSD Occluder. ASO juga dapat digunakan untuk menutup DSV tipe muskular jika letak defek jauh dari katup aorta. AVO untuk menutup DSV perimembran, sisi kirinya asimetrik. Pada bagian atasnya, lempeng ini berjarak 0,5 mm dari pinggangnya, dan pada bagian bawah berjarak 5 mm dari pinggang alat. AVO juga dibentuk dari nitinol (55% nikel; 45% titanium) berdiameter 0,004-0,0075 inci yang berbentuk wire mesh yang telah dijalin menjadi 2 buah lempeng pipih. Terdapat lekukan pinggang yang menyatukan kedua lempeng tersebut untuk mengatasi ketebalan septum atrium. Nitinol memiliki kemampuan menjadi super-elastik dan juga shape memory (mampu kembali kebentuk aslinya). Kemampuan tersebut membuatnya dapat dimasukkan kedalam sheath atau kateter dan langsung kembali mengembang sesuai bentuk aslinya saat dilepaskan dari sheath. Nitinol juga telah terbukti biokompatibilitasnya. Ukuran alat ini ditentukan oleh diameter pinggangnya dan tersedia dalam kisaran 4 mm – 16 mm (1 mm dapat membesar hingga 20 mm; 2 mm dapat membesar hingga 40 mm). Kedua lempeng AVO akan mengembang secara radial menjauhi pusat
pinggangnya untuk menjamin posisi menempel yang tepat. Terdapat lapisan dakron dari polyester yang terjahit kuat ke tiap lempeng dan terhubung pula dengan pinggang alat dengan tujuan meningkatkan sifat trombogenisitas alat. Untuk memasukkan AVO ke lokasi DSV, diperlukan delivery system yang agak berbeda dengan delivery system untuk ADO atau ASO. Delivery system pada AVO terdiri dari delivery sheath, delivery cable, pusher catheter, loading catheter, tutup atau valve dan plastic versa. Pusher catheter yang hanya ada pada delivery system AVO bertujuan untuk mempertahankan agar AVO tidak berputar selama prosedur, karena sisi apeks yang panjangnya 5 mm harus tetap menghadap ke apeks selama berada dalam ventrikel kiri.77
Gambar 21. Amplatzer yang digunakan untuk penutupan transkateter pada DSV. A, Amplatzer septal occluder; B, Amplatzer PDA occluder; C, Amplatzer muscular VSD occluder; D, new concentric Amplatzer VSD occluder; E and F, new eccentric Amplatzer VSD occluders.
Teknik Pemasangan Alat78 Pemasangan Ampaltzer membranous VSD Occluder pada DSV tipe perimembran
Prosedur ekokardiografi trans-torasik Prosedur ini penting untuk menentukan ukuran DSV. Ukuran DSV ditentukan pada 2 diameter atau aksis. Diameter ini diukur dengan ekokardiografi 2-dimensi, bukan dari lebar Doppler berwarna. Pada pandangan parasternal sumbu panjang diukur minor axis = a, dan pada pandangan parasternal sumbu pendek diukur major axis = b. Ukuran AVO yang akan digunakan yaitu akar dari a dikali b.
Prosedur pemasangan TEE yaitu :
1. Lokasi : mid-esofagus 4 ruang jantung (frontal), dan aksis basal sumbu pendek. 2. Catat semua kelainan yang ditemukan 3. Ukur fungsi jantung dan ukuran ruangan-ruangan jantung 4. Evaluasi bagian jantung seperti otot papilaris dan korda tendinea dari katup mitral 5. Periksa adanya regurgitasi pada katup atrioventrikular 6. Ukur besar defek pada waktu diastolik akhir Melakukan kateterisasi jantung dengan anestesi umum 1. Pertahankan waktu pembekuan darah aktif > 250 selama kateterisasi 2. Evaluasi hemodinamik termasuk oksimetri dan tekanan darah yang diukur pada vena dan arteri femoralis 3. Ukur besar defek dan jarak ke katup aorta melalui TEE dan angiografi kiri
Pertahankan arteriovenous loop agar tetap stabil 1. Memasukkan kateter Judkin Right (JR) 4F bersama dengan Terumo guide wire atau koroner wire ke dalam ventrikel kiri (Gambar 22)
Gambar 22
2. Cari DSV dan dorong Terumo wire masuk ke dalam DSV dan menyeberang ke ventrikel kanan lalu dorong masuk ke arteri pulmonalis atau masuk ke atrium kanan lalu ke vena kava superior. Setelah kateter JR masuk ke dalam ventrikel kanan, Terumo guide wire dapat juga diganti dengan soft J tipped Amplatzer noodlewire 0,035 inchi untuk kemudian di dorong ke atrium kanan untuk akhirnya ke vena kava superior atau ke arteri pulmonal (Gambar 23).
Gambar 23
3. Dorong keluar Amplatzer noodlewire di vena kava superior agar mudah disnare (Gambar 24).
Gambar 24
4. Masukkan kateter MP 2 melalui sheath yang ada di vena femoralis bersama dengan Amplatz snare masuk ke vena kava superior, alat snare dibuka dengan mendorongnya keluar dari kateter. Kemudian ujung noodlewire di snare, lalu ditarik sampai keluar dari vena femoralis. 5. Masukkan dilator ke dalam delivery sheath dan pastikan dengan terkunci dengan baik 6. Masukkan delivery sheath bersama dilator menyusuri noodlewire dari vena femoralis ke atrium kanan sampai bertemu dengan kateter JR. 7. Gerakkan sistem tersebut sebagai satu kesatuan sampai ujung dilator mencapai aorta asenden (Kissing catheter technique) (Gambar 25)
Gambar 25
8. Tarik dilator sampai sedikit di bawah ujung delivery sheath. 9. Pelan-pelan tarik kembali delivery sheath sampai ujungnya setinggi katup aorta. 10. Dorong Amplatzer noodlewire dari kateter JR sehingga terbentuk loop yang masuk ke ventrikel kiri, kemudian delivery sheath didorong sehingga ujungya masuk menyusuri loop tadi, masuk ke ventrikel kiri (Gambar 26)
Gambar 26
11. Tarik Amplatzer noodlewire keluar melalui vena atau arteri femoralis
Penempatan alat 1. Pilih alat yang sama ukuranya dengan ukuran DSV 2. Masukkan delivery cable ke dalam pusher catheter, lalu masukkan ke dalam loading catheter yang sudah dipasang katup hemostasis. 3. Pasangkan AVO pada ujung delivery cable. 4. Putar AVO ke kiri agar marker pengunci pada AVO masuk ke dalam marker yang ada pada pusher catheter. 5. Pasang plastic versa, tarik kabel kuat-kuat, lalu plastic versa dikunci. 6. Loading AVO ke dalam loading catheter dengan menarik pusher catheter. Waktu me-loading AVO, sebaiknya dilakukan di dalam garam larutan NaCl 0,9%. 7. Flush catheter dengan normal salin untuk membuang gumpalan udara di dalam AVO. 8. Masukkan loading catheter ke dalam delivery sheath, dorong pusher catheter sampai ujung distal AVO membuka di apeks ventrikel kiri. 9. Tarik delivery system secara bersaman sampai lempeng kiri menyentuh septum. 10. Buka bagian proksimal AVO dengan menarik delivery sheath tanpa menarik pusher catheter (Gambar 27)
Gambar 27
11. Periksa ulang posisi lempeng ventrikel kiri. Pita penanda sebaiknya diarahkan ke apeks ventrikel kiri 12. Gunakan ekokardiografi transesofagus untuk mengevaluasi pintasan sisa atau insufisiensi katup 13. Jalankan angiogram ventrikel kiri dan aortogram untuk melihat posisi dan mengevaluasi pintasan 14. Buka pengunci pin versa, kemudian mundurkan posisi pin versa beberapa sentimeter, lalu kunci kembali 15. Dorong pin versa agar AVO terlepas dari pusher catheter. 16. Lepaskan AVO dari delivery cable dengan memutar pin vise berlawanan arah dengan jarum jam 17. Ulangi angiografi ventrikel kiri 18. Buat angiografi di aorta asenden untuk mengevaluasi regurgitasi pada katup aorta Pemasangan Amplatzer Muscular VSD Occluder (AMVO) untuk DSV tipe muskular78 Pemasangannya menggunakan teknik kateter (pendekatan melalui sisi kanan atau kiri). Pendekatannya tergantung pada lokasi dari DSV tipe muskular. Umumnya defek pada bagian atas septum dapat dilakukan pendekatan melalui vena femoralis, sedangkan defek rendah lebih mudah ditutup dengan cara pendekatan transjugular. Teknik kateter harus dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum dan ekokardiografi transesofagus.
Tahap-tahapnya : 1. Vena femoralis kanan atau vena jugularis dan arteri femoralis kiri ditusuk dengan cara yang biasa menggunakan abbocath no 22, kemudian dilakukan pemasangan sheath. Setelah itu dimasukkan kateter dan dilakukan evaluasi hemodinamik termasuk oksimetri dan tekanan di tiap ruang jantung.
2. Defek diperlihatkan pada ekokardiografi, dan jarak defek ke apeks dan katup aorta diukur. Ukuran defek yang diukur dengan alat ekokardiografi dilaporkan sama baiknya dengan ventrikulogram kiri. 3. Kateter JR 4 F dimasukkan melalui arteri femoralis kiri, melewati katup aorta dan DSV masuk ke ventrikel kanan. 4. Ke dalam kateter tadi dimasukkan Terumo guidewire 220 cm
lalu
dimanipulasi sehingga guidewire masuk ke arteri pulmonalis. (Gambar 28).
Gambar 28
5. Dari vena femoralis kanan, kateter MP2 bersama dengan alat snare dimasukkan untuk menarik guidewire keluar dari sheath melalui vena femoralis kanan. Teknik ini membentuk arterio-venous continuous access wire (Gambar 29).
Gambar 29
6. Delivery sheath dengan dilatornya dimasukkan melewati akses vena menyusuri guidewire untuk masuk melewati DSV dan masuk ke dalam ventrikel kiri. Medium kontras disuntikkan untuk memastikan bahwa ujung sheath dalam posisi yang benar di dekat apeks ventrikel kiri. 7. AMVO dipasang pada delivery cable, kemudian di-loading ke dalam loading catheter dalam cairan garam fisiologis (NaCl 0,9%). Loading catheter dimasukkan ke dalam delivery sheath, kemudian didorong sampai ujung
distal AMVO membuka di ventrikel kiri. Delivery sheath beserta kabel ditarik sampai lempeng kiri AMVO menyentuh septum. Untuk membuka bagian proksimal AMVO, delivery sheath ditarik tanpa menarik delivery cable, sehingga AMVO membuka di dalam DSV (Gambar 30).
Gambar 30
8. Bila ekokardiografi sudah memperlihatkan alat dalam posisi yang benar, alat dilepaskan dari delivery cable. Jika tidak memuaskan, alat dapat dimasukkan kembali ke dalam sheath-nya dan dapat diganti dengan ukuran yang lebih besar atau kecil.
Gambar 31. Angiogram pada anak umur 9 bulan, dengan berat badan 8,4 kg selama penutupan dengan transkateter pada DSV tipe muskular menggunakan Amplatzerâ muscular VSD occluder, A, angiogram ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung menunjukkan 7,2 mm DSV tipe mid-muskular (panah). B, gambar a7 Fr Cook Sheath dari vena jugularis interna kanan pada DSV dengan sebuah exchange guide wire menunjukkan sebuah arterio-venous loop dari vena jugularis keluar menuju arteri femoralis. C, gambar ini menunjukkan mengantar alat tersebut (panah) keluar dari bagian distal selubung selama menarik alat dari vena jugularis. LV disc dimasukkan kedalam ventrikel kiri. D, angiogram pada ventrikel kiri selama posisi LV Disc telah diletakkan pada tempatnya. E, gambar alat yang telah dikeluarkan dari kateter (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri setelah alat dipasang dan tidak ada residual shunt.
Gambar 32. Angiogram Ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung pada DSV tipe midmuskular dengan diameter 6,3 mm pada anak umur 13 tahun, dengan berat badan 40 kg (DSV tipe muskular didapat) setelah pembedahan untuk memperbaiki hypertrophic cardiomyopathy diikuti dengan Operasi Kono setelah 5 tahun. Rasio Qp/Qs = 2,3 : 1 dan tekanan sistolik A.pulmonalis 55 mmHg. B, gambar arterio-venous wire loop yang masuk melalui A.femoralis menuju DSV dan keluar melalui V. Jugularis interna kanan. C, gambar Amplatzer MVSD dengan diameter 10mm yang dikeluarkan dari kateternya (selubung), dimana kateter delivery masih di posisinya. D, angiogram pada ventrikel kiri setelah lempeng ventrikel kiri diletakkan (panah) pada ventrikel kiri. E, gambar penempatan lempeng ventrikel kanan (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri untuk melihat alat sudah diletakkan pada posisinya. G, gambar setelah alat dikeluarkan dari kateternya (panah). H, angiogram pada ventrikel kiri 10 menit setelah alat pada posisinya dan minimal foaming hilang setelah beberapa hari dan tekanan A. Pulmonalis turun menjadi 38 mmHg.
Isu Sekitar Penutupan DSV Tipe Perimembran Penutupan DSV perimembran merupakan tindakan intervensi non-bedah yang relatif cukup sulit dan menantang (challenging). Hal ini disebabkan posisi DSV yang relatif sulit dijangkau, jalur kateter yang rumit dan adanya struktur penting di sekitar DSV seperti sistem konduksi, katup aorta dan katup trikuspid yang dapat rusak jika dikerjakan secara tidak hati-hati. Hingga kini salah satu kekhawatiran yang ditakutkan pada penutupan DSV perimembran adalah blok atrio-ventrikular (AV) komplit. Sebenarnya kejadian blok AV komplit pada tindakan intervensi non-bedah dan bedah hampir sama yaitu di bawah 2%. Perbedaannya, blok komplit AV pascapenutupan DSV secara bedah timbul segera sebelum pasien dipulangkan dari rumah sakit sehingga dapat segera dilakukan tindakan pemasangan pacu jantung permanen. Sebaliknya, blok komplit AV pasca-penutupan DSV dengan Amplatzer, terjadi lambat setelah pasien dipulangkan. Tindakannya adalah sama yaitu dengan pemasangan pacu jantung permanen. Dari berbagai data yang berasal dari beberapa negara di Eropa, Australia dan Asia menyatakan bahwa tindakan penutupan DSV dengan AVO cukup aman. Pengalaman melakukan penutupan DSV
pada 14 kasus di RSCM hasilnya cukup baik, dan pada pemantauan sampai dengan 4 tahun pasca-pemasangan tidak ditemukan blok AV komplit. Isu ke-2 yaitu mengenai rekomendasi FDA. Hingga saat ini, FDA belum mengeluarkan rekomendasi untuk tindakan penutupan DSV perimembran dengan AVO. Namun demikian bukti-bukti dari data yang berasal dari beberapa negara di Eropa, Australia dan Asia sudah cukup menyatakan bahwa penutupan DSV perimembran dengan AMVO cukup aman. Rekomendasi FDA sebenarnya tidak bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk memulai suatu prosedur baru, karena sistem yang digunakan FDA berlaku mundur. Penggunaan sistem baru, termasuk AVO yang sebenarnya adalah produksi Amerika sendiri belum boleh digunakan di sana, tapi di negara lain di luar Amerika mereka pakai. Nanti setelah data keamanannya dinilai cukup, baru keluar rekomendasi dari FDA. Hal ini terjadi pada pemakaian ADO pada DAP dan ASO pada DSA hingga akhirnya rekomendasi FDA keluar. Pada pertemuan terakhir bulan Mei 2008 di Jeju, Korea, tindakan penutupan DSV dengan AVO masih tetap boleh dikerjakan sambil memantau kemungkinan adanya efek samping, termasuk blok AV komplit.
BAB IV DISKUSI
Penatalaksanaan penyakit jantung bawaan (PJB) yang dapat ditata laksana dengan tindakan intervensi non-bedah adalah untuk kelainan PJB yang tidak kompleks. Sedangkan untuk kelainan yang kompleks, terapi dengan pembedahan masih merupakan pilihan. Pada kajian ini, ruang lingkup pembahasan dibatasi untuk tiga PJB yang sering ditemukan yaitu, duktus arteriosus persisten (DAP), defek septum atrium (DSA) dan defek septum ventrikel (DSV). Menurut panduan yang dibuat AGA Medical Coorperation, perusahaan yang memproduksi Amplatzer Occluder, dokter yang boleh memasang Amplatzer ini adalah dokter yang pernah mendapatkan pelatihan khusus (trained doctor). Untuk keamanan pasien (patient safety), intervensionist harus memberitahu dokter bedah jantung untuk mengantisipasi kemungkinan ada masalah atau komplikasi yang mungkin timbul berkaitan dengan tindakan intervensi non-bedah ini. Diagnosis DAP ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Pada dasarnya DAP masih normal ditemukan pada bayi baru lahir dan umumnya akan menutup secara spontan pada hari keempat.13 Oleh karena itu, pada algoritma tata laksana DAP, dapat dilihat bahwa tindakan intervensi non-bedah hanya dilakukan pada bayi yang tidak memiliki gejala gagal jantung dan setelah diberikan terapi medikamentosa menunjukkan perbaikan, kemudian pada umur >12 bulan atau berat badan >6 kg baru dilakukan tindakan intervensi. Tindakan pembedahan dilakukan bila terapi medikamentosa gagal memberikan perbaikan. Setelah prosedur intervensi non-bedah selesai dilakukan pasien dapat langsung dipulangkan pada hari yang sama atau keesokan harinya yang mana kal ini tidak mungkin dilakukan pada intervensi bedah. Selain prosedur, lama perawatan dan waktu pemulihan yang lebih singkat, risiko dan komplikasi yang lebih kecil, pada prosedur intervensi non-bedah ini juga tidak akan ditemukan luka parut bekas sayatan di dadanya. Sayangnya di Indonesia prosedur non-bedah ini relatif lebih mahal dari pada prosedur bedah. Pada kasus DSA, jenis DSA yang paling sering ditemukan adalah DSA sekundum dan pilihan terkini yang secara luas sudah diterima di hampir seluruh negara adalah penutupan dengan tindakan transkateter. Gambaran klinis DSA tergantung pada besarnya defek. Pada defek yang kecil, sebagian besar tidak menimbulkan gejala klinis dan anak tampak sehat. Keluhan baru timbul pada usia dekade ke-2 dan ke-3 setelah terjadi peningkatan tekanan vaskular paru.
DSA umumnya idealnya dianjurkan ditutup saat usia pra sekolah (3 – 4 tahun). Meskipun beberapa ahli menyarankan penutupan DSA dilakukan sesegera mungkin dengan alasan bahwa beban jantung kanan akan meningkat seiring dengan pertambahan usia, lebih disarankan jika memungkinkan untuk menunggu hingga anak sedikitnya berusia 3 – 4 tahun. Selain itu, seiring pertumbuhan ukuran DSA cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan massa tubuh. Segera setelah dilakukan prosedur penutupan DSA secara non bedah, dianjurkan
agar
elektrokardiografi,
pasien foto
tetap
Rontgen
dievaluasi toraks,
dengan
serta
pemeriksaan
pemeriksaan
klinis,
ekokardiografi
transtorasik. Prosedur yang sama dilakukan setiap 1, 6 dan 12 bulan setelah implantasi. Direkomendasikan pemberian ASA dosis 5 mg/kg BB setiap hari selama 6 bulan setelah implantasi. Seperti penutupan DAP trans kateter, penutupan DSA cara non-bedah ini lebih efektif, aman dan menguntungkan bagi pasien. Kendalanya di Indonesia adalah biaya tindakan penutupan DSA secara non-bedah dengan pemasangan ASO yang lebih mahal dibandingkan dengan prosedur bedah. DSV merupakan 30% dari PJB yang ditemukan. Meskipun defek yang kecil dapat menutup sendiri secara spontan, defek yang lebih besar biasanya menyebabkan gagal jantung kiri dan hipertensi pulmonalis. Pada saat ini, dengan adanya penemuan alat baru dan teknik penutupan yang lebih baik, penutupan pada DSV memiliki angka keberhasilan yang semakin membaik. Diagnosis pada DSV ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis pada DSV juga bergantung pada ukuran defek. Penutupan DSV perimembran merupakan tindakan intervensi yang relatif cukup sulit dan menantang (challenging). Hal ini disebabkan karena posisi DSV yang relatif sulit dijangkau, jalur kateter yang rumit dan adanya struktur penting di sekitar DSV seperti sistem konduksi, katup aorta dan katup trikuspid yang dapat rusak jika dikerjakan secara tidak hati-hati. Hingga kini salah satu kekhawatiran yang ditakutkan pada penutupan DSV perimembran adalah blok AV komplit. Sebenarnya kejadian blok AV komplit pada tindakan intervensi non-bedah dan bedah hampir sama yaitu di bawah 2%. Perbedaannya, AV blok komplit pasca-penutupan DSV secara bedah timbul segera sebelum pasien dipulangkan dari rumah sakit sehingga dapat segera dilakukan tindakan pemasangan pacu jantung permanen. Sebaliknya, AV blok komplit pasca-penutupan DSV dengan transkateter, terjadi lambat setelah pasien dipulangkan. Dari berbagai data yang berasal dari beberapa negara di Eropa, Australia dan Asia menyatakan bahwa tindakan penutupan DSV dengan transkateter cukup aman.
Tindakan penutupan DSV secara non-bedah dengan pemasangan AVO di Indonesia belum banyak dilakukan. Selain karena prosedurnya yang cukup sulit juga biaya yang cukup tinggi hampir 2 kali biaya secara bedah.
BAB V ANALISIS BIAYA
5. 1 Cost-effectiveness dari sisi medis
Faktor prosedur : Keuntungan dari prosedur penutupan dengan transkateter pada DAP, DSA, DSV adalah: penggunaan anestesia yang lebih singkat, durasi rawat inap yang lebih singkat, tidak memerlukan perawatan ICU, pemakaian analgesia yang lebih singkat dan nyeri pasca tindakan yang lebih ringan daripada pasien yang mengalami pembedahan; produk-produk darah juga jarang diperlukan.
Efektivitas Angka keberhasilan dengan prosedur transkateter adalah 95,7% dan dengan pembedahan 100%. Pemeriksaan echocardiography yang dilakukan 3 bulan setelah prosedur memperlihatkan bahwa terdapat sedikit residual shunts pada pasien yang mengalami transkateter (angka penutupan yang sempurna 91 %). Pada kelompok pasien yang mengalami pembedahan tidak ada residual shunts.
Komplikasi lebih rendah daripada bedah Komplikasi yang ditimbulkan pada penggunaan intervensi transkateter sebesar 7,2% dan pada pembedahan 24%. Pada kedua prosedur angka mortalitas sebesar 0%.
Waktu pemulihan juga singkat Rata-rata pasien yang mengalami transkateter dirawat selama satu hari (kisaran 1-2 hari) dan untuk yang mengalami pembedahan enam hari (kisaran 4-20 hari). Pasien dapat kembali ke aktivitas normal rata-rata setelah dua minggu pada kelompok transkateter dan pada pembedahan rata-rata 5,5 minggu.
Kenyamanan Orangtua
yang
anaknya
mengalami
pembedahan
mengkhawatirkan
mengenai prosedur yang invasif, efek bypass kardiopulmonal, dan jaringan parut yang ditimbulkan. Sedangkan orangtua yang anaknya menjalani tindakan transkateter mengkhawatirkan kemungkinan lepasnya alat serta keamanan alat dalam jangka panjang.
5.2 Cost-effectiveness dari sisi ekonomi Tabel Perbandingan Biaya
Terdapat perbedaan biaya antara beberapa senter, baik untuk tindakan intervensi non-bedah ataupun bedah. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan biaya antara RSCM dan RS Jantung Harapan Kita.
Jenis
Biaya Bedah
Biaya Non-Bedah
Biaya Bedah
Biaya Non-Bedah
Tindakan
(RSCM) (Rp)
RSCM (Rp)
RSJ-HK (Rp)
RSJ-HK (Rp)
Tinda
Lama
Tindak
Lama
Tindak
Lama
Tindak
Lama
kan
Perawat
an
Perawatan
an
Perawatan
an
Perawatan
an
(2 Hari)
(6 Hari)
(2 Hari)
(6 Hari) DAP
19,4 jt
1,1 jt
36,0 jt
0,4 jt
12 jt
800 rb
24,9 jt
400 rb
DSA
46,0 jt
2,0 jt
52,6 jt
1,1 jt
28,5 jt
1,2 jt
44 jt
400 rb
DSV
53,8 jt
1,8 jt
69,3 jt
1,1 jt
35 jt
1,2 jt
44 jt
400 rb
BAB VI REKOMENDASI
Pada prosedur invasif seperti pada kebanyakan tindakan di bidang kardiologi, penelitian menggunakan randomisasi (randomized control trial) tidak etis, karena menyebabkan subyek terpajan dengan prosedur-prosedur invasif. Oleh karena itu, dalam literatur sulit mendapatkan literatur dengan level of evidence Ia atau Ib, dengan demikian hampir tidak pernah mendapatkan rekomendasi A. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, direkomendasikan hal-hal berikut ini : 1. Penatalaksanaan penyakit jantung bawaan (PJB) yang dapat ditata laksana dengan tindakan intervensi non-bedah adalah untuk kelainan PJB yang tidak kompleks. Pada keadaan tersebut, tindakan intervensi merupakan terapi pilihan antara lain karena dapat terbebas dari komplikasi operasi yang ditimbulkan. [Rekomendasi B] 2. Pada PJB dengan kelainan yang kompleks, terapi dengan pembedahan masih merupakan pilihan, terapi intervensi non bedah hanya sebagai tindakan paliatif. [Rekomendasi B] 3. Tindakan pemasangan Amplatzer dilakukan oleh dokter yang mempunyai kompetensi yang telah mendapatkan pelatihan (trained doctor) khusus mengacu pada modul yang disusun dan disahkan oleh kolegium terkait. [Rekomendasi B] 4. Untuk keamanan pasien (patient safety), dokter kardiologi memberitahu dokter bedah jantung untuk mengantisipasi jika ada masalah atau komplikasi yang mungkin timbul berkaitan dengan tindakan intervensi non-bedah ini. [Rekomendasi B] 5. Biaya langsung tindakan intervensi saat ini lebih tinggi, namun mengingat keterbatasan SDM dokter bedah jantung dan fasilitasnya, tindakan intervensi non- bedah perlu mendapatkan prioritas. [Rekomendasi C]
DAFTAR PUSTAKA 1
Rosenthal G. Prevalence of congenital heart disease. In: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR. The science and practice of pediatric cardiology. 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. h. 1083-105.
2
Ho KK, Anderson KM, Kennel WB, Grossman W, Levy D. Survival after the onset of congestive heart failure in framingham heart study subjects. Circulation 1993;88:107-15.
3
Statistik Indonesia. Available in : http://www.datastatistik-indonesia.com. Last updated January 4th 2007. Cited at August 2nd 2007.
4
Mullins CE. History of pediatric international catheterization: pediatric therapeutic cardiac catheterization. Pediatric Cardiol 1998; 19: 3-7.
5
Kato H. Foreword: Catheter interventional treatment for pediatric heart disease-a new therapeutic strategy. Pediatr Int 2001; 43:527-8.
6
Djer MM. Interventional Pediatric Cardiology in Indonesia, a multicenter experience. Dipresentasikan pada Konika XIII;2005 Juli 4-7; Bandung, Indonesia.
7
Andrews RE, Tulloh RMR. Interventional cardiac catheterization in congenital heart disease. Arch Dis Child 2004; 89:1168-73.
8
Putra ST. Kemajuan di bidang kardiologi intervensional. Dalam: 50 Tahun Ikatan Dokter Anak Indonesia: Untuk Mereka Kita Bekerja. Balai Penerbit IDAI; 2005. h. 105-8.
9
Heartkids Victoria Incorporated, Family Support Group. Frequently Asked Questions. Department of Cardiology, Royal Children’s Hospital Website, Melbourne, 2000.
10 American Heart Association. Family Health: Children and Heart Disease, How A Cardiologist Diagnoses Heart Defects. American Heart Association Website, USA, 2000. 11 Dalvi B. Interventional cardiology. Bombay Hospital Journal. Available at : http://www.bhj.org/journal/2006_4803_july/html/int_card_416_428.html.
Last
th
updated 27 Juli 2007. Cited at August 19 2007. 12 Ravishankar C, Nafday S, Green RS, Kamenir S, Lorber R, StacewiczSapuntzakis M, Bridges ND, Holzman IR, Gelb BD. A trial of vitamin A therapy to facilitate ductal closure in premature infants. J Pediatr, Vol. 143, pp 644-8, 2003. 13 Buyse ML. Birth Defects Encyclopedia, pp 548-549, Blackwell Scientific Publications, Cambridge, MA, 1990. 14 Becker SM, Al Halees Z, Molina C, Paterson RM. Consanguinity and congenital heart disease in Saudi Arabia. Am J Med Genet 2001;99:8-13.
15 Botto LD, Correa A, Erickson JD. Racial and temporal variations in the prevalence of heart defects. Pediatrics 2001a;107:e32. 16 Borgmann S, Luhmer I, Arslan-Kirchner M, Kallfelz HC, Schmidtke J. A search for chromosome 22q11.2 deletions in a series of 176 consecutively catheterized patients with congenital heart disease: no evidence for deletions in nonsyndromic patients. Eur J Pediatr 1999;158:958-63. 17 Van Overmeire B, Chemtob S. The pharmacology closure of the patent ductus arteriosus. Seminars in Fetal & Neonatal Medicine, Vo. 10, pp 177-184, 2005. 18 De Felice C, Mazzieri S, Pellegrino M, Del Pasqua A, Toti P, Bagnoli F, Rosati E, Latini G. Skin reflectance changes in preterm infants with patent ductus arteriosus. Early Human Development 2004:78:45-51. 19 O’Donnell C, Neutze JM, Skinner JR, Wilson NJ. Transcatheter patent ductus arteriosus occlusion: evolution of techniques and results from the 1990s. J Pediatr Child Health 2001; 37:451-6. 20 Faella HJ, Hijazi ZM. Closure of the patent ductus arteriosus with the amplatzer DAP occluder: immediate results of the international clinical trial. Cathet Cardiovasc Intervent 2000; 51:50-4. 21 Ferencz C, Loffredo CA, Correa-Villasenor A, Wilson PD, eds. Patent arterial duct. I: Genetic and Environmental Risk Factors of Major Cardiovascular Malformations: The Baltimore-Washington Infant Study 1981-1989. Armonk, NY: Fuytura Publishing Co., Inc; 1997: pp. 285-99. 22 Stoll C, Alembik Y, Dott B, Roth PM, De Geeter B. Evaluation of prenatal diagnosis of congenital heart disease. Prenat Diagn 1993;13:453-61. 23 McMillan JA, Feigin RD, DeAngelis CD, Jr. Jones MD. Patent Ductus Arteriosus. Chapter 273. Oski’s Pediatrics, Principles and Practice. Fourth Edition. Lippincott William and Wilkins. A Wolters Kluwer Business. 2006; h. 1578-82. 24 Types
of
congenital
heart
defects.
Available
at
:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/chd/ chd_types.html. Cited at August 10th 2007. 25 Duktus Arteriosus Persisten dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. 2004; h:138. 26 Boehm W, Emmel M, Sreeram N. The Amplatzer duct occluder for DAP closure : indications, technique of implantation and clinical outcome. Images Paediatr Cardiol 2007;31: 16 – 26. 27 The Amplatzer duct occluder for DAP closure: indications, technique of implantation
and
clinical
outcome.
Available
at
:
www.impaedcard.com/issue/issue31/boehmw/boehmw.htm. Last updated 2007. Cited at August 6th 2007. 28 How
Your
Doctor
Will
Implant
the
Duct
Occluder.
Available
at
:
www.amplatzer.com/products/DAP_devices/implanting_duct_occluder.html. Last updated 2007. Cited at August 5th 2007. 29 Jang GY, Son CS, Lee JY, Kim SJ. Complication after Transcatheter Closure of Patent Ductus Arteriosus. Korean Med J 2007;22: 484-90. 30 Roebiono P, Harimurti GM, Rahayoe AU, and Sakidjan I. Transcatheter closure of Patent Ductus Arteriosus. 10-year experience at the National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia. Presented at 17th ASEAN Congress of Cardiology, Hanoi, Vietnam. ASEAN Heart Journal 2008; 17, Suppl: p73 31 Djer MM. Pengaruh Penutupan Duktus Arteriosus Persisten Transkateter Menggunakan Amplatzer Duct Occluder pada kadar nikel darah dan efek toksiknya serta pola perubahan dimensi dan faal ventrikel kiri. Ringkasan Disertasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Juni 2008. 32 Anonymous.
Atrial
Septal
Defect
(ASD).
Available
in
:
www.childrens.com/cardiology/diagnoses/atrial_septal_defect.cfm. Last updated 2006. Cited at September 4th 2007. 33 Latiff HA, Alwi M, Samion H, Kandavello G. Transcatheter closure of the defects within the oval fossa using the Amplatzer septal occluder. Cardiol Young 2002; 12:224-8. 34 Defek Septum Atrium dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. 2004; h:133-4. 35 Allen HD, et al. Pediatric Therapeutic Cardiac Catheterization. AHA Scienticic Treatment. Circulation. 1998;97:609-625. 36 Harper RW, Mottram PM, McGaw DJ. Closure of secundum Atrial Septal Defects With the Amplatzer Septal Occluder Device : Techniques and Problems. Catheterization and Cardiovascular Interventions 57:508-24 (2002). 37 Swan L,Gatzoulis MA.Closure of atrial septal defects: is the debate overEur Heart J 2003;24:130-2. 38 Murphy JG, Gersh BJ, McGoon MD, Mair DD, Porter CJ, Ilstrup DM et al. Longterm outcome after surgical repair of isolated atrial septal defect: follow up at 2732 years. N Engl J Med 1990;323:1645-50. 39 Shah D, Azhar M, Oakley CM, Cleland JG, Nihoyannopoulus P. Natural history of secundum atrial septal defect in adults after medical or surgical treatment: a historical prospective study. Br Heart J 1994;71:224-7.
40 Konstantinides S, Geibel A, Olschewski M, Gornandt L, Roskamm H, Spillner G et al. A comparison of surgical and medical therapy for atrial septal defect in adults. N Engl J Med 1995;333:469-73. 41 Jemielity M, Dyszkiewicz W, Paluszkiewicz, Perek B, Buczkowski P, Ponizynski A. Do patients over 40 years of age benefit from surgical closure of atrial septal defects? Heart 2001;85:300-3. 42 Harimurti GM, Rahajoe AU, Roebiono P, and Sakidjan I. Closing secundum atrial septal defect with Amplatzer septal occlude: Six years experience at the National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia. Presented at 17th ASEAN Congress of Cardiology, Hanoi, Vietnam.ASEAN Heart Journal 2008;17, Suppl: p74-5. 43 Chan KC, Godman MJ, Walsh K, Wilson N, et al. Transcatheter closure of atrial septal defect and interatrial communications with a new self expanding nitinol double disc device ( Amplatzer septal occluder ) : multicentre UK experience. Heart 1999;82: 300-6. 44 Vida VL, Barnoya J, O?fConnel M, Leon-Wyss J, Larrazabal LA, Castaneda AR. Surgical versus percutaneous occlusion of ostium secundum atrial septal defects: results and cost-effective considerations in a low-income country. J Am Coll Cardiol 2006;47:326-31. 45 Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Standar pelayanan medik rs jantung dan pembuluh darah harapan kita. Jakarta: Pusat Jantung Nasional Harapan Kita 2003. 46 Ebeid MR. Interventional Pediatric Cardiology : Percutaneous Catheter Closure of Secundum Atrial Septal Defects: A Review. The Journal of Invasive Cardiology. Volume 14 – Issue 1 (January) – January 2002 – Pages: 25 – 31. 47 Cardoso CO, Filho RIR, Machado PR, Francois LMG, Horowitz ESK, Leite RS. Effectiveness of the Amplatzer device for Transcatheter Closure of an Ostium secundum Atrial Septal Defect. Arq Bras Cardiol 2007; 88(4) : 338-42. 48 Fischer G, Kramer HH, Stieh J, Harding P, Jung O. Transcatheter closure of secundum atrial septal defects with the new self-centering Amplatzer Septal Occluder. European Heart Journal (1999) 20, 541 –9. 49 Chessa M, Carminati M, Butera G, Bini RM, Drago M, Rosti L, et al. Early and late complications associated with transcatheter occlusion of secundum atrial septal defect. J Am Coll Cardiol, 2002; 39:1061-5. 50 Swan L, Gatzoulis MA. Closure of atrial septal defects: is the debate over? European Heart Journal (2003) 24, 130-2.
51 Hughes ML, Maskell G, Goh TH and Wilkinson JL. Prospective comparison of costs and short term health outcomes of surgical versus device closure of atrial septal defect in children. Heart 2002;88:67-70. 52 Thomson JDR, Aburawi EH, Watterson KG, Doorn CV, Gibbs JL. Surgical and transcatheter (Amplatzer) closure of atrial septal defects: a prospective comparison of result and cost. Heart 2002;87:466-9. 53 Ventricular septal defect. MedlinePlus Medical Encyclopedia. Diunduh dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/18095.htm
tanggal
10
Agustus 2007. 54 Lewis DA, Loffredo CA, Corre-Villasenor A, Wilson PD, Martin GR. Descriptive epidemiology of membranous and muscular ventricular septal defects I the Baltimore-Washington infant study. Cardiol Young 1996;6:281-90. 55 Roguin N, Du ZD, Barak M, Nasser N, Hershkowitz S, Milgram E. High prevalence of muscular ventricular septal defects in neonates. J Am Coll Cardiol 1995 15;26:1545-8. 56 Shirali GS, Smith EO, Geva T. Quantiation of echocardiographic predictors of outcome in infant with isolated ventricular septal defect. Am Heart J 1995;130:1228-35. 57 Kirklin JW, Barrat-Boyes BG, eds. Cardiac Surgery.2nd ed. New York, NY : Churchill Livingstone, 1993:749-824. 58 Rome JJ, Keane JF, Perry SB, Spevak PJ, Lock JE. Double-umbrella closure of atrial septal defects: initial clinical applications. Circulation 1990;82:751-8. 59 Rao PS, Berger F, Rey C, Haddad J, Meier B, Walsh KP, Chandar JS, Lloyd TR, de Lezo JS, Zamora R, Sideris EB. Results of transvenous occlusion of secundum atrial septal defects with the fourth generation buttoned device: comparison with first, second and third generation devices. International Buttoned Device Trial Group. J Am Coll Cardiol 2000;36(2):583-92. 60 Masura J, Gavora P, Formanek A, Hijazi ZM. Transcatheter closure of secundum atrial septal defects using the new self-centering Amplatzer septal occluder: initial human experience. Cathet Cardiovasc Diagn 1997;42:388-93. 61 Windecker S, Wahl A, Chatterjee T, Garachemani A, Eberli RF, Seiler C, Meier B. Percutaneous Closure of patent foramen ovale in patients with paradoxical embolism: long-term risk of recurrent thromboembolic events. Circulation 2000;101(8):893-8. 62 Bridges ND, Lock JE, Castaneda AR. Baffle fenestration with subsequent transcatheter closure. Circulation 1990;82:1681-5.
63 Lock JE, Block PC, McKay RG, Baim DS, Keane JF. Transcatheter closure of ventricular septal defects. Circulation 1988;78:361-8. 64 Bridges ND, Perry SB, Keane JE, et al. Preoperative transcatheter closure of congenital muscular ventricular septal defects. N Engl J Med 1991;324:1312-7. 65 O'Laughlin MP, Mullins CE. Transcatheter occlusion of ventricular septal defect. Cathet Cardiovasc Diagn 1989;17:175-9. 66 Preminger TJ, Sanders SP, van der Velde ME, Castaneda AR, Lock JE. "Intramural"
residual
interventricular
defects after
repair
of
conotruncal
malformations. Circulation 1994;89(1):236-42. 67 van der Velde ME, Sanders SP, Keane JF, Perry SB, Lock JE. Transesophageal echocardiographic guidance of transcatheter ventricular septal defect closure. J Am Coll Cardiol 1994;23:1660-5. 68 Rigby ML,
Redington AN.
Primary transcatheter
umbrella closure of
perimembranous ventricular septal defect. Br Heart J 1995;73(6):585-6. 69 Vogel M, Rigby ML, Shore D. Perforation of the right aortic valve cusp: complication of ventricular septal defect closure with a modified Rashkind umbrella. Pediatr Cardiol 1996;17(6):416-8. 70 Du ZD, Hijazi ZM. Transcatheter Closure of Ventricular Septal Defect. Diunduh dari : http://www.bcbsnc.com/services/medical-policy/pdf/ . tanggal : 1 September 2007. 71 Amin Z, Berry JM, Foker JE, et al. Intraoperative closure of muscular ventricular septal defect in a canine model and applicability of the technique in a baby. J Thorac Cardiovasc Surg 1998; 115: 1374-6. 72 Janorkar S, Goh T, Wilkinson J. Transcatheter closure of ventricular septal defects using the Rashkind device: initial experience. Catheter Cardiovasc Interv 1999;46:43-8. 73 Rodes J, Piechaud JF, Ouaknine R, Hulin S, Cohen L, Magnier S, Lecompte Y, Lefevre T. Transcatheter closure of apical ventricular muscular septal defect combined with arterial switch operation in a newborn infant. Catheter Cardiovasc Interv 2000;49:173-6. 74 Hijazi ZM, Hakim F, Al-Fadley F, et al. Transcatheter closure of single muscular ventricular septal defects using the Amplatzer Muscular VSD Occluder: Initial results and technical considerations. Cathet Cardiovasc Interv 2000;49:167-172. 75 Latiff HA, Alwi M, Kandhavel G, et al. Transcatheter closure of multiple muscular ventricular septal defects using Gianturco coils. Ann Thorac Surg 1999; 68: 14001.
76 Defek Septum Ventrikel dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I. 2004; h:132. 77 Hijazi ZM. Catheter Closure of Atrial Septal and Ventricular Septal defects Using The Amplatzer Devices. Heart, Lung and Circulation 2003; 12. pS63S72(supplement). 78 AGA Medical Corporation. Implanting the Membranous VSD Occluder. 2007.