Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Kakao di Kabupaten Blitar, Jawa Timur Diany Faila Sophia Hartatri1) 1)
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118
Penanganan pascapanen merupakan salah satu faktor penting yang menentukan mutu biji kakao. Namun demikian, penanganan pascapanen termasuk pengolahan biji kakao yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Blitar umumnya masih perlu ditingkatkan untuk menghasilkan mutu biji yang berkualitas tinggi. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya pengawasan dan pengendalian proses pengolahan pascapanen yang baik untuk meningkatkan mutu dan harga kakao di tingkat petani.
K
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Blitar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Jawa Timur, pada tahun 2010 Kabupaten Blitar memiliki perkebunan kakao yang terluas ke empat di Jawa Timur setelah Kabupaten Madiun, Pacitan dan Trenggalek1), yaitu seluas 2.544 ha.
Luas (ha)
abupaten Blitar merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang berhasil memanfaatkan strategi pembangunan berbasis sektor pertanian dengan mengandalkan pemberdayaan alam dan kelembagaan pedesaan. Sektor pertanian telah memberi kontribusi yang besar
Luas areal kakao (ha) di Jawa Timur1) 27 | 2 | Juni 2015
37 <<
Warta
PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA
Secara umum, kondisi lahan di Kabupaten Blitar sesuai untuk penanaman kakao sehingga kakao berpeluang dikembangkan lebih luas di wilayah Kabupaten Blitar.
Kondisi lahan kakao di Kabupaten Blitar2) Anasir Elevasi, m dpl. Topografi Kemiringan, % Drainase Erosi Batu permukaan Warna tanah Jeluk, cm Tekstur Struktur Konsistensi Vegetasi Pertumbuhan vegetasi
Keterangan 105–446 Datar-bergelombang 0–20 Baik Tidak ada Tidak ada Hitam keabuan >150 Pasiran-Liat Remah - bergumpal Gembur-Teguh Kopi, melinjo, dll. Subur
Produksi dan kualitas kakao dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah sistem budidaya dan proses penanganan pascapanen. Dalam kegiatan usahatani kakao, petani di Blitar umumnya masih menerapkan sistem budidaya tradisional, yaitu menggunakan sumber benih lokal (asalan), minimum dalam hal pemberian input produksi dan pengelolaan budidaya, terutama pemangkasan dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Ketiga aspek tersebut padahal yang berperan penting dalam menentukan produktivitas tanaman dan mutu biji kakao. Terbatasnya akses petani dalam hal informasi teknologi budidaya kakao di Kabupaten Blitar menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan petani dalam budidaya kakao. Sekitar 40% petani di daerah penghasil kakao belum memiliki akses terhadap peningkatan pengetahuan dan teknologi budidaya kakao maupun informasi pasar. Kegiatan penyuluhan dan pelatihan baik secara formal maupun informal oleh Pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya, seperti pelaku bisnis, lembaga swadaya masyarakat (LSM) masih sangat terbatas. Di sam ping itu, rendahnya tingkat pendidikan petani juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
Warta
rendahnya keterampilan petani dalam budidaya dan pengolahan kakao. Di Indonesia, masyarakat di pedesaan umumnya memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan masyarakat yang berada di daerah perkotaan. Di Blitar, lebih dari 50% petani kakao memiliki tingkat pendidikan hanya tingkat sekolah dasar (SD). Hal ini kemungkinan disebabkan persepsi umum masyarakat pedesaan yang menganggap bahwa memenuhi kebutuhan primer, terutama pangan lebih penting dibandingkan kebutuhan pendidikan.
PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA
Buah kakao hasil panen petani
Penanganan pascapanen Rendahnya akses p etani terhadap p enyuluhan selain m em p eng aruhi p raktik b udidaya tanaman kakao, jug a kegiatan pengolahan biji kakao. Sebagian besar petani di Blitar belum melakukan pengolahan biji kakao sesuai standar yaitu fermentasi selama 5–6 hari; pengeringan biji hingga kadar air 7,5%; dan pemisahan biji kakao dari komponen lain (sortasi). Fermentasi menjadi faktor penentu mutu biji kakao, terutama kualitas citarasa. Melalui proses fermentasi yang baik dan benar akan diperoleh aroma cokelat yang baik. Namun, petani di Blitar 27 | 2 | Juni 2015
>> 38
umumnya tidak melakukan proses fermentasi biji kakao secara sempurna; fermentasi biji hanya dilakukan selama 1–2 hari saja yang umumnya menggunakan kotak kayu, keranjang bambu ditutupi daun pisang atau menggunakan karung plastik, dan di samping itu juga tidak dilakukan pembalikan biji kakao selama proses fermentasi. Kurang optimalnya pelaksanaan fermentasi tersebut menyebabkan mutu biji kakao di Blitar masih relatif rendah. Demikian pula ditinjau dari aspek pengeringan biji kakao, petani melakukan pengeringan biji kakao secara alami dengan menjemur biji di bawah sinar matahari. Berdasarkan hasil survey dan pengamatan di lapangan, tidak ditemukan petani di Blitar yang melakukan pengeringan biji menggunakan mesin pengering. Penjemuran biji kakao umumnya dilakukan di atas lantai semen atau dengan menggunakan alas plastik atau terpal. Cara pengeringan tersebut sebenarnya sudah cukup baik, namun pelaksanaan pengeringan hanya dilakukan selama 2–3 hari sehingga kandungan kadar air biji kakao masih relatif tinggi, sekitar 10–15%. Dampak pelaksanaan pengeringan ini menyebabkan harga biji kakao yang diterima petani di Blitar masih rendah.
Pemasaran biji kakao Dalam kegiatan pemasaran biji kakao, sebagian besar petani di Blitar tidak melakukan sortasi untuk memisahkan biji kakao bermutu baik (bernas dan tidak berjamur) dengan biji kakao bermutu rendah (biji kepeng, biji pecah dan biji berjamur) serta komponen lain (sampah). Pemasaran biji kakao tanpa fermentasi, berkadar air tinggi dan tanpa sortasi (unsorted) tersebut umumnya selain dipengaruhi oleh terbatasnya informasi mengenai mutu biji kakao yang diinginkan oleh konsumen juga dipengaruhi oleh adanya kebutuhan keluarga petani yang memerlukan perputaran uang secara cepat. Bahkan, tidak sedikit petani yang melakukan penjualan biji kakao dalam volume yang sangat kecil (1-5 kg) hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses petani terhadap pelayanan kredit baik di lembaga keuangan, bank komersial maupun lembaga kredit lainnya, seperti koperasi dan kelompok tani. 27 | 2 | Juni 2015
39 <<
Sistem pemasaran kakao di tingkat petani di Kabupaten Blitar umumnya dilakukan secara individu karena belum ada kelompok tani yang melakukan pengolahan dan pemasaran kakao bersama. Seperti kebanyakan kegiatan pemasaran kakao tingkat petani di daerah penghasil kakao lainnya, rantai pemasaran biji kakao relatif panjang dan kompleks karena melibatkan banyak pelaku bisnis. Di Indonesia, biji kakao umumnya berpindah tangan setidaknya tiga sampai empat kali sebelum diterima oleh konsumen. Petani kakao di Blitar umumnya menjual biji kakao kepada pengumpul tingkat desa dalam bentuk biji setengah kering (semi-dried) dengan kadar air sekitar 10–15%. Harga biji umumnya ditentukan secara sepihak oleh pengumpul berdasarkan mutu fisik biji yaitu kadar air, ukuran biji, jumlah biji berjamur dan kebersihan biji kakao. Rendahnya mutu biji kakao dan rendahnya volume pemasaran biji kakao menyebabkan rendahnya posisi tawar petani dalam penentuan harga biji kakao. Sebagian pengumpul tingkat desa memberikan fasilitas kredit kepada petani dengan harapan pedagang akan mendapatkan lebih banyak biji kakao dari petani tersebut. Berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa ketua kelompok tani juga melakukan pembelian biji kakao yang selanjutnya dijual kepada pedagang pengumpul tingkat desa.
Petani kakao di Blitar masih memasarkan biji kakao secara individu
Warta
PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA
Di Kabupaten Blitar, terdapat salah satu gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang memiliki unit usaha pembelian biji kakao, yaitu Gapoktan Guyub Santoso. Unit usaha pembelian biji kakao Gapoktan tersebut telah melakukan pembelian kakao hampir di seluruh wilayah kabupaten di Jawa Timur, bahkan sampai di wilayah Kabupaten Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta. Selanjutnya, Gapoktan Guyub Santoso menjual biji kakao hasil pembeliannya tersebut kepada perusahaan pengolahan kakao, seperti PT Bumi Tangerang dan juga kepada eksportir lokal dan multinasional.
Selain membeli biji kakao langsung dari petani, Gapoktan Guyub Santoso juga membeli biji kakao dari pengumpul. Seperti halnya dengan pengumpul tingkat desa, Gapoktan Guyub Santoso juga menentukan harga berdasarkan mutu fisik biji kakao (kadar air, jumlah biji berjamur dan kadar sampah). Selanjutnya, Gapoktan Guyub Santoso melakukan pengeringan ulang biji kakao hingga mencapai kadar air 7,5% dan sortasi sebelum biji kakao dikirim kepada pembeli sehingga harga jual biji kakao yang diterima oleh Gapoktan Guyub Santoso lebih tinggi.
Pengumpulan biji kakao hasil pembelian Gapoktan Guyub Santoso siap dijual ke pembeli
Outlet Kampung Coklat
Warta
PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA
27 | 2 | Juni 2015
>> 40
Selain memasarkan biji kakao kering, Gapoktan Guyub Santoso juga memproduksi produk akhir, seperti permen, kue kering dan es krim cokelat. Produk-produk akhir tersebut dipasarkan di outlet Gapoktan Guyub Santoso yang bernama Kampung Coklat. Namun, akibat masih terbatasnya mesin pengolahan dan kemampuan untuk memproduksi produk setengah jadi (intermediate products) seperti bubuk, pasta dan lemak, maka Kampung Coklat juga mendapatkan suplai produk-produk setengah jadi tersebut dari perusahaan pengolahan di Surabaya. Meskipun demikian, Guyub Santoso mampu meningkatkan nilai tambah atas produk yang dihasilkan sehingga keuntungan yang diperoleh Gapoktan Guyub Santoso dari pemasaran permen cokelat, kue dan produk hilir lainnya relatif tinggi. Bahkan, saat ini Kampung Coklat merupakan salah satu tujuan wisata yang banyak diminati oleh masyarakat di sekitar Kabupaten Blitar. Meskipun produk-produknya hanya ditujukan untuk pasar lokal namun manfaat keberadaan Kampung Coklat tersebut telah meningkatkan ekonomi anggota kelompok tani dan juga masyarakat sekitar. Dengan demikian, model industri skala mikro, kecil dan menengah (UMKM) di masyarakat seperti yang dilakukan oleh Gapoktan Guyub Santoso ini dapat dijadikan model untuk penerapan di daerah lain. Walaupun demikian, pengembangan agro industri skala UMKM tersebut harus didukung dengan adanya program pengembangan keterampilan manajemen karena dalam pengelolaan suatu agribisnis, pola manajemen yang baik akan sangat menentukan keberlanjutan agribisnis yang dibangun oleh petani/kelompok tani.
27 | 2 | Juni 2015
41 <<
Penutup Studi kasus usahatani kakao di wilayah Kabupaten Blitar mendapatkan hasil bahwa mutu produk kakao masih relatif rendah dan rantai pemasaran yang relatif panjang disebabkan masih terbatasnya akses petani terhadap informasi pasar dan teknologi budidaya. Oleh karena itu perlu fasilitasi upaya peningkatan mutu dan memperpendek rantar pasar agar petani mendapatkan harga kakao secara maksimal. Salah satu solusinya adalah pengolahan dan pemasaran bersama pada tingkat kelompok tani atau gabungan kelompok tani agar dapat terjadi transaksi langsung antara petani dengan industri atau eksportir. Peran serta pihak pemerintah daerah, LSM, pelaku bisnis, lembaga penelitian diharapkan dapat memfasilitasi kesenjangan yang masih terjadi baik di sektor hulu, hilir hingga pemasaran sehingga kakao akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap perekonomian masyarakat di Blitar. Daftar Pustaka 1)
Dinas Perkebunan Jawa Timur (2010). Luas areal dan produksi perkebunan rakyat menurut Kabupaten Jatim. http://www.disbun.jatimprov.go.id/publikasi. php. Diunduh pada 03 Juni 2015.
2)
Dinas Perkebunan Jawa Timur (2014). Laporan identifikasi penanganan peningkatan nilai tambah komoditi kakao di Provinsi Jawa Timur.
**0**
Warta
PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA