i
PEMODELAN PERILAKU KEMBANG TIGA DIMENSI TANAH LEMPUNG EKSPANSIF MENGGUNAKAN OEDOMETER MODIFIKASI
oleh : Agus Tugas Sudjianto
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pekerjaan teknik sipil tidak lepas dengan aspek yang paling penting yaitu tanah. Sejumlah masalah dengan bangunan teknik sipil yang sering dijumpai di lapangan adalah akibat dari sifat-sifat teknis tanah yang buruk, yang ditandai dengan kadar air tanah yang tinggi, komprebilitas yang besar dan daya dukung yang rendah. Sebagian dari jenis tanah yang memiliki sifat buruk tersebut adalah tanah yang mudah mengalami kembang susut besar. Beberapa jenis tanah yang memiliki potensi kembang susut besar adalah tanah yang dapat mengalami perubahan volume secara signifikan seiring dengan perubahan kadar airnya. Tanah jenis ini merupakan tanah lempung yang banyak mengandung mineral-mineral dengan potensi kembang (swelling potential) tinggi. Tanah dengan kondisi seperti ini sering disebut sebagai tanah lempung ekspansif (Hardiyatmo, 2006).
Tanah lempung ekspansif dapat ditemukan
dibanyak tempat di dunia seperti dikutip dalam Chen (1975), yaitu Argentina, Arab Saudi, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Australia, Canada, Cina, Ethiopia, Ghana, India, Indonesia, Iran, Israel, Kenya, Meksiko, Maroko, Myanmar, Yordania, Sudan, Ethiopia, Spanyol, Turki dan Venezuela. Tanah lempung ekspansif ini memiliki potensi kembang - susut yang tinggi apabila terjadi perubahan kadar air. Sifat kembang - susut ini berhubungan langsung dengan kadar mineral lempung khususnya mineral montmorillonite dan illite. Bila kadar mineral lempung naik, maka luas permukaan naik, dan batas cair serta indeks plastisitas akan naik, sehingga potensi kembang - susut akan naik (Muhunthan, 1991). Fenomena kembang - susut yang tinggi tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan. Jones & Holtz (1973) melaporkan, di Amerika Serikat, kerugian yang diakibatkan oleh masalah tanah ekspansif ternyata melebihi bencana alam lainya, termasuk kerugian yang diakibatkan oleh gempa bumi dan angin tornado. Menurut data dari Federal Emergency Agency (FEMA) tahun 1982, kerugian akibat tanah ekspansif pada tahun 1970 mencapai $ 798.100.000 ( Nelson dan Miller, 1992). Gourley dkk (1993) menyatakan, setiap
1
2
tahun kerusakan gedung, struktur bangunan dan jalan yang diakibatkan oleh tanah ekspansif diprediksi sekitar $150.000.000 di UK, sekitar $100.000.000 di USA, dan bahkan mencapai milyaran Dollar di seluruh dunia. Di Indonesia, ditinjau dari kejadian tanahnya, masalah tanah lempung ekspansif hampir terdapat di seluruh Indonesia, mulai dari Sumatra Utara sampai ke Papua. Jumlah kerugiannya belum dilaporkan, tetapi dari penelitian dan survey yang telah lakukan oleh pihak Bina Marga dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan Departemen Pekerjaaan Umum tahun 1992, banyak kerusakan yang terjadi pada beberapa ruas jalan di Pulau Jawa disebabkan oleh masalah tanah lempung ekspansif (Mochtar, 2000); misalnya seperti pada ruas jalan Soko, Kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa Timur yang merupakan jalur utama menghubungkan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kerusakan jalan pada ruas jalan Soko, Ngawi tersebut paling dominan akibat terjadinya kembang – susut pada tanah dasarnya yang mengandung tanah lempung ekspansif dengan potensi kembang sangat tinggi (Sudjianto, 2007). Proses kembang tanah lempung ekspansif dipengaruhi oleh faktor lingkungan, di antaranya faktor perbedaan iklim, curah hujan, sistem drainasi dan fluktuasi muka air tanah. Myers (2005) menyebutkan bahwa perubahan kadar air pada tanah lempung ekspansif, akan menyebabkan perubahan volume. Pengurangan kadar air menyebabkan lempung menyusut dan sebaliknya bila kadar air bertambah lempung mengembang. Yong dan Warketin (1975) menyatakan proses mengembang merupakan proses yang lebih komplek dibandingkan dengan penyusutan. Untuk memprediksi sifat kembang - susut tanah lempung ekspansif dapat dilakukan uji kembang di laboratorium, analisis kimia dan mineralogi, korelasi dengan klasifikasi dan sifat indeks tanah. Thomas (1998) menyatakan, untuk identifikasi kembang susut tanah lempung ekspansif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : identifikasi tidak langsung dan identifikasi langsung. Noormalasari dan Susanto (2000) menyatakan, ada tiga metode untuk identifikasi kembang susut tanah lempung ekspansif, yaitu : metode pengukuran tidak langsung, metode pengukuran langsung dan identifikasi mineralogi. Metode pengukuran tidak
3
langsung melibatkan klasifikasi dan sifat fisis tanah untuk memperediksi kembang susut. Metode pengukuran langsung dengan mengadakan uji sebenarnya terhadap kembang,
termasuk
didalamnya
identifikasi
secara
mineralogi.
Metode
pengukuran langsung maupun tidak langsung dapat digabungkan menjadi suatu metode kombinasi (Snethen, dkk., 1975). Selama ini uji kembang dilakukan dengan cara yang bervariasi karena belum ada prosedur yang standar, sehingga hasil pengujian menjadi berbeda dan tidak dapat dibandingkan (Hardiyatmo, 2002). Uji kembang di laboratorium, dilakukan pada ring yang terkekang arah lateral, sehingga tidak ada deformasi kembang arah horisontal, dengan demikian kembang diasumsikan terjadi hanya pada arah vertikal saja. Kondisi ini agak berbeda dengan banyak kejadian di lapangan, tanah yang mengembang adalah tanah yang sudah menyusut sebelumnya. Pada tanah yang telah menyusut tersebut menjadi retak – retak akibat penyusutan 3 dimensi. Sewaktu mengembang, tanah tersebut kembali mengembang bebas ke segala arah dari posisi semula. Model kembang vertikal tentunya tidak akan cocok, bila permukaan tanah lempung ekspansif miring atau tanah lempung berada di belakang dinding penahan tanah, atau di tepi dinding suatu terowongan. Pada kasus – kasus tersebut, kembang arah horisontal sangat menonjol mengakibatkan gerakan dinding (Coduto,1994). Dari uraian tersebut di atas, masalah-masalah yang akan dicari suatu Penyelesaian dalam bentuk penelitian ini dapat disampaikan sebagai berikut ini. a. Kajian perilaku kembang tanah lempung ekspansif di Indonesia selama ini masih ke arah vertikal, padahal kembang tanah lempung ekspansif di lapangan terjadi pada arah vertikal dan horisontal serta volumetrik. Untuk itu perlunya di kembangkan model perilaku kembang tanah lempung ekspansif pada arah vertikal, horisontal dan volumetrik. b. Di negara tropis seperti Indonesia, selalu terjadi perubahan kadar air tanah akibat siklus pembasahan dan pengeringan oleh iklim. Hal ini akan mempengaruhi perilaku kembang tanah lempung ekspansif, sehingga perlu di kaji, bagaimana pengaruh perubahan kadar air yang juga merupakan pengaruh
4
perubahan suction terhadap perilaku kembang arah vertikal, horisontal dan volumetrik. c. Tanah lempung ekspansif di suatu lokasi satu dengan lokasi lainya mempunyai perbedaan batas cair, batas plastis dan aktivitas yang berbeda. Hal ini tentunya menyebabkan perilaku kembang menjadi bervariasi, sehingga perlunya diketahui bagaimana pengaruh variasi batas cair, batas plastis dan aktifitas tanah lempung ekspansif terhadap perilaku kembang arah vertikal, horisontal dan volumetrik. d. Salah satu alternatif untuk mengurangi dampak terjadinya kembang tanah ekspansif adalah dengan memberikan beban yang cukup besar pada permukaan tanah untuk melawan kembang yang terjadi, sehingga perlu dilakukan analisis variasi surcharge yang dapat meminimalisir terjadinya kembang pada tanah lempung ekspansif. e. Kerusakan bangunan ringan dan jalan raya pada tanah ekspansif tidak hanya disebabkan oleh kembang vertikal saja, tetapi juga diakibatkan oleh kembang horisontal dan volumetrik, sehingga perlu diketahui tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh kembang horisontal dan kembang volumetrik dengan membandingan besarnya kembang vertikal dengan kembang horisontal dan kembang vertikal dan kembang volumetrik. f. Belum ada korelasi empiris yang umum tentang bagaimana perubahan volume tanah dipengaruhi oleh variasi indeks plastisitas dan aktivitas tanah; serta oleh variasi surcharg. Perlu di upayakan untuk terbentuknya korelasi empiris tersebut. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan antara lain : a. dalam bidang perilaku kembang, membuat model perilaku kembang tiga dimensi tanah lempung ekspansif dengan klasifikasi CH pada variasi kadar air (w), derajat kejenuhan (Sr), indeks plastisitas (IP), aktivitas (A) dan suction (s) dengan uji kembang bebas,
5
b. dalam metode stabilisasi kembang dengan surcharge, mencari besarnya beban surcharge yang dapat memperkecil atau menghentikan kembang vertikal, kembang horisontal dan kembang volumetrik
tanah lempung ekspansif
klasifikasi CH, c. dalam metode memprediksi kembang tanah lempung ekspansif, mencari rasio kembang vertikal dan kembang horisontal dan rasio kembang vertikal dan kembang volumetrik serta kembang yang paling besar merusak struktur bangunan, d. dalam melengkapi hubungan empiris prediksi kembang tanah ekspansif, mencari hubungan empiris perilaku kembang baik arah vertikal, horisontal dan volumetrik dengan parameter - parameter derajat kejenuhan (Sr), indeks plastisitas (IP), aktivitas (A) dan rasio surcharge (Rσ’v) yang berlaku secara umum untuk tanah lempung ekspansif dengan klasifikasi CH, e. membuat alat uji kembang vertikal – horisontal di laboratorium dengan memodifikasi alat oedometer hingga dapat digunakan untuk mengukur kembang arah vertikal dan horisontal khusus untuk penelitian ini, yang dapat digunakan untuk penelitian lanjutan dalam bidang yang sama. 1.3 Manfaat Penelitian ini memperoleh manfaat antara lain : a. mendapatkan model perilaku kembang vertikal, kembang horisontal dan kembang volumetrik pada variasi kadar air (w), derajat kejenuhan (Sr), indeks plastisitas (IP), aktivitas (A) dan matric suction (ua – uw) yang berlaku secara umum untuk tanah lempung ekspansif dengan klasifikasi CH, b. memperoleh informasi tentang stabilisasi tanah lempung ekspansif dengan klasifikasi CH akibat kembang vertikal, kembang horisontal dan kembang volumetrik dengan metode surcharge, sebagai salah satu alternatif dalam penanganan permasalahan tanah lempung ekspansif, c. memberikan sumbangan pada pengembangan ilmu geoteknik, khususnya pada perilaku kembang tiga dimensi tanah lempung ekspansif yang selama ini
6
belum begitu banyak penelitian dan referensi yang berkaitan dengan kembang tiga dimensi tanah lempung ekspansif, d. memberikan informasi kepada masyarakat, bahwa kembang tanah lempung ekspansif terjadi secara volumetrik (tiga dimensi) dan dapat diketahui besarnya kembang volumetrik dari rasio kembang vertikal dan kembang volumetrik, e. hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan untuk memprediksi kembang vertikal, kembang horisontal dan kembang volumetrik tanah lempung ekspansif dengan klasifikasi CH khususnya di Indonesia yang sampai saat ini fenomena kembang tanah lempung ekspansif lebih banyak terfokus pada arah vertikal.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Lempung Ekspansif Lempung ekspansif memiliki sifat yang khas yakni kandungan mineral ekspansif mempunyai kapasitas pertukaran ion yang tinggi, mengakibatkan lempung ekspansif memiliki potensi kembang susut tinggi, apabila terjadi perubahan kadar air. Pada peningkatan kadar air, tanah ekspansif akan mengembang disertai dengan peningkatan tekanan air pori dan timbulnya tekanan kembang.
Bila kadar air berkurang sampai batas susutnya, akan terjadi
penyusutan. Sifat kembang susut yang demikian bisa menimbulkan kerusakan pada bangunan (Hardiyatmo, 2006). Tanah lempung ekspansif yang terdapat diseluruh dunia, pada umumnya berada pada kondisi tidak jenuh selama musim kering, sedangkan kandungan mineral lempung yang tinggi mengakibat perubahan volume yang besar, jika tanah mengalami pembasahan. Banyak bangunan yang didirikan di atas tanah lempung ekspansif mengalami kerusakan akibat perubahan volume. Beberapa contoh masalah praktis geoteknik akibat pengaruh kondisi jenuh sebagian seperti pada Gambar 2.1. Sebagai contoh, struktur badan jalan raya, fondasi bangunan dan stabilitas lereng yang dibangun di atas muka air tanah akan terjadi perubahan
7
volume akibat kembang dan suction tanah lempung ekspansif
ketika hujan
terjadi. E v a p o tra n s p ira tio n
P re c ip ita tio n
R e d u c tio n o f so il h u m id ity
N a tu ral slo p e
U N S A T U R A T E D S O IL G ro u n d w a te r ta b le
B a c k fill R oadw ay
S p re a d fo o tin g fo u n d a tio n
R e ta in in g w a ll
S A T U R A T E D S O IL
Gambar 2.1 Contoh masalah praktis geoteknik pengaruh kondisi jenuh sebagian (Rifa’i, 2002). Victorine, dkk. (1997) menyatakan bahwa jarang terjadi perubahan volume pada bagian terdalam tanah ekspansif. Perubahan volume yang umum terjadi berada beberapa meter di bagian atas deposit tanah. Beberapa meter di bagian atas ini lebih mungkin terpengaruh oleh perubahan kadar air akibat perubahan iklim pertimbangan dalam desain fondasi bangunan. Kadar air, w (%) Bervariasi akibat Iklim
Kedalaman zona aktif
Kedalaman tanah, z
Gambar 2.2 Kedalaman zona aktif (Victorine, dkk., 1997).
8
2.2 Mineral dan Struktur Kristal Tanah Lempung Ekspansif Lempung merupakan partikel crystalline yang kecil yang tergabung dalam kelompok kecil mineral. Mineral lempung merupakan salah satu dari jenis mineral yang ada di alam. Di alam ada sekitar 24 jenis mineral utama dan masing-masing mineral utama terbagi dalam sub mineral yang berjumlah 517 mineral (Perera, 1997). Mineral lempung tersebut terdiri dari silikon, aluminium atau magnesium, oksigen dan hidrogen. Bebarapa tanah lempung juga memiliki sodium potasium atau kalsium. Komposisi kimia tersebut sangat rumit, tetapi semua itu dapat dirangkum ke dalam hydrous aluminosilicates. Pada lembar silika, unit dasarnya adalah silika tetrahedron, seperti pada Gambar 2.3. Gambar ini disebut tetrahedron sebab mempunyai empat sisi. Di dalam unit ini atom silikon terikat pada 4 atom oksigen. Masing-masing tetrahedron terbagi 3 dengan 4 oksien untuk membentuk suatu lembaran struktur heksagonal.
Gambar 2.3 Struktur dari silika tetrahedral. (a) tetrahedral tunggal, dan (b) susunan lembaran tetrahedral pada jaringan heksagonal (Mitchell, 1992).
Gambar 2.4 Struktur dari almunium atau magnesium oktahedral. (a) oktahedron tunggal, dan (b) susunan lembar oktahedral pada jaringan heksagonal (Mitchell, 1992).
9
Pada lembar almunium atau magnesium, unit dasarnya adalah oktahedron (terdiri dari 8 sisi) seperti pada Gambar 2.4. Unit ini terbentuk oleh atom almunium atau atom magnesium dan ion hidroksil (OH-). Atom almunium terikat pada 6 ion hidroksil. Semua lembaran di atas dapat disajikan secara skematik pada Gambar 2.5. Lembaran ini merupakan kombinasi dari berbagai variasi pembentukan struktur lempung. Lembar ini membagi atom oksigen untuk membentuk suatu lapisan ikatan kimia. Beberapa lempung memiliki lapisan yang terdiri dari 2 lembar (satu tetrahedral dan satu oktahedral), masing-masing lapisan terdiri dari 3 lembar (satu oktahedral yang menyisip antara dua lapisan tetrahedral).
Gambar 2.5 Bentuk skematis lembaran (Mitchell, 1992). C. Pengaruh air pada tanah lempung Air biasanya tidak banyak mempengaruhi kelakuan tanah berbutir kasar. Sebagai contoh, kuat geser tanah pasir mendekati sama pada kondisi kering ataupun jenuh air. Tetapi, jika air berada pada tanah berbutir halus khususnya tanah lempung, air sangat mempengaruhi perilaku tanah lempung.
Luas
permukaan spesifik tanah lempung akan menjadi besar jika ada air, dan variasi kadar air akan mempengaruhi plastisitas tanah lempung. Partikel-partikel lempung pada umumnya mempunyai muatan negatif pada permukaanya. Hal ini disebabkan keberadaan gugus OH pada tepi kristal, hidrogen dan hidroksil tersebut terurai dan permukaan lempung menjadi bermuatan negatif yang berasal dari ion oksigen. Untuk mengimbagi muatan negatif tersebut, partikel lempung akan menarik ion muatan positif, melalui
10
pertukaran kation. Kation-kation dapat disusun dalam urutan kekuatan daya tarik menariknya, sebagai berikut ini : Al3+> Ca2+> Mg2+> NH4+> K+> H+> Na+> Li+. Das (2008) menyatakan bahwa muatan negatif pada tanah lempung sering diimbangi dengan kation bermuatan positif seperti Ca2+, Mg2+, Na+, dan Ka+, dengan gaya tarik-menarik elektrostatik. Jika air masuk kedalam lempung, maka kation-kation dan sejumlah kecil anion akan berenang di antara partikel-partikel tersebut, seolah-olah membentuk suatu lapisan ganda terdifusi seperti terlihat pada Gambar 2.6a. Konsentrasi kation akan berkurang, jika jaraknya dari permukaan partikel makin jauh (Gambar 2.6b).
Gambar 2.6 Lapisan ganda terdifusi (Das, 2008). Molekul air yang merupakan molekul dipolar, tertarik oleh permukaan partikel lempung yang bermuatan negatif dan oleh adanya kation-kation dalam lapisan ganda. Kation-kation tersebut menempel di permukaan partikel yang bermuatan negatif seperti pada Gambar 2.7 berikut ini.
Gambar 2.7 Molekul air dipolar pada lapisan ganda (Das, 2008).
11
Molekul air (H2O) membentuk kutub-kutub (polar). Hal ini karena atomatom hidrogen pada molekul air tidak tersusun secara simetris di sekeliling atom oksigen, melainkan membentuk sudut 105o seperti pada Gambar 2.8a. Akibatnya molekul-molekul air berkelakuan seperti batang-batang kecil yang mempunyai muatan positif di satu sisi dan muatan negatif di sisi lain, sehingga molekul air menjadi dipolar (berkutub dua) seperti pada Gambar 2.8b (Das, 2008).
Gambar 2. 8 Sifat dipolar air (Das, 2008). D. Prinsip Dasar Sifat Kembang - Susut Tanah Ekpansif D.1 Mekanisme menyusut Penyusutan di lapangan seperti terlihat pada Gambar 2.9, badan jalan menjadi rusak akibat kembang – susut yang terjadi pada tanah dasar. Penyusutan terjadi pada musim kemarau dengan terjadinya evaporasi air pori. Kembang susut tersebut terjadi berulang akibat siklus musim kemarau ke musim penghujan , sehingga kerusakan badan jalan menjadi semakin parah.
Gambar 2.9 Mekanisme kerusakan jalan akibat kembang susut tanah dasar (Myers, 2005).
12
D.2 Mekanisme kembang Proses kembang disebabkan oleh pergerakan air ke daerah interlayer Partikel-partikel lempung memiliki permukaan yang bermuatan negatif. Kation menyerap ke dalam permukaan ini. Kation adalah interlayer, yang merupakan lapisan ganda pada permukaan lempung. Lapisan ganda ini dapat menarik air secara elektrik kemudian berada di sekitar partikel lempung yang dikenal sebagai lapisan air ganda seperti pada Gambar 2.10. Pengaruh dari lapisan air ganda ini adalah ketika partikel berdekatan, maka lapisan air ganda setiap partikel mulai saling tumpang tindih, menyebabkan dua partikel lempung saling tolak menolak. Pengaruh tolak menolak yang lain adalah menyebabkan kembang pada tanah lempung.
Gambar 2.10 Osmosis pada lapisan ganda tanah lempung ekspansif (Mitchell, 1992). Pengaruh dari lapisan air ganda ini adalah ketika partikel berdekatan, maka lapisan air ganda setiap partikel mulai saling tumpang tindih, menyebabkan dua partikel lempung saling tolak menolak. Pengaruh tolak menolak yang lain adalah menyebabkan kembang pada tanah lempung. Mekanisme kembang pada tanah ekspansif di lapangan terjadi pada tiga dimensi atau yang dikenal dengan kembang volumetrik. Taboada (2003) menyatakan ketika tanah dalam keadaan kering menjadi basah, tanah akan mengalami kembang volumetrik (Gambar 2.11a). Pada tahap selanjutnya, akibat pembasahan atau meningkatnya kadar air dalam tanah lempung, maka kembang volumetrik tanah lempung hanya satu dimensi, menyebabkan naiknya permukaan tanah lempung (Gambar 2.11b).
13
Y
z
Y
X
(a)
(b)
Gambar 2.11 Skema diagram kembang tanah (a) 3 – D, (b) 1 – D (Taboada, 2003). III. METODE PENELITIAN A. Bahan A.1 Tanah Lempung Ekspansif Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan contoh tanah lempung ekspansif yang diambil dari Kecamatan Soko, Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur. Pengambilan sampel dilakukan dalam kondisi undisturbed dan disturbed. Sampel undisturbed diambil dengan menggunakan tabung sampel, untuk sampel disturbed, diambil dengan cangkul dan sekop dimasukan ke dalam kantong yang sudah disiapkan. Sampel tanah diambil pada kedalaman 0,50 – 1,00 m dari permukaan tanah (Gambar 3.1).
Gambar 3.1 Lokasi pengambilan sampel tanah di Soko (Kabupaten Ngawi).
14
A.2 Bentonite Tanah lempung ekspansif di lapangan memiliki potensi kembang (swelling potential) yang berbeda – beda. Parameter yang dapat digunakan untuk membedakan potensi kembang tanah ekspansif adalah sifat fisis dan batas konsistensi tanah. Untuk membuat variasi sifat fisis dan batas konsistensi tanah lempung Soko (Ngawi) dicampur dengan bentonite. Bentonite yang digunakan dalam penelitian ini adalah Na – bentonite, seperti pada Gambar 3.2 berikut ini.
Gambar 3.2 Material Na – bentonite. A.3 Air Air untuk uji pendahuluan digunakan air dari Laboratorium Mekanika JTSL Fakultas Teknik UGM, sedangkan untuk pembuatan sampel dan uji utama menggunakan aquades. B. Alat Dalam penelitian ini, semua pengujian dilaksanakan di Lab. Mekanika Tanah JTSL FT UGM. Adapun peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut. B.1 Alat uji properties tanah a. Satu alat uji kadar air tanah ASTM D2216-71. b. Satu set alat uji gravitas khusus ASTM D854-02. c. Satu set alat uji saringan standar ASTM D421-85 dan hidrometer ASTM D220-63. d. Satu set alat uji batas konsistensi ASTM D 4318-00, D427-98. e. Satu set alat pemadat standar ASTM D698-00a. f. Satu set alat Oedometer dengan standard pengujian berdasarkan ASTM D4546-96 (metode B) untuk uji kembang.
15
g. Alat-alat Bantu, terdiri dari : oven, timbangan dengan ketelitian 0,01, desikator, thermometer, stop watch. B.2Alat uji kalibrasi gypsum block Pada uji swelling verikal horisontal, sampel tanah dalam kondisi kering. Untuk mengukur perubahan kadar air pada saat penjenuhan digunakan gypsum block, agar mendapatkan hubungan antara kadar air tanah dengan gipsum block, maka dilakukan kalibrasi, adapun materi dan peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut ini. a. Gypsum block yang sudah standar dan dijual secara umum buatan Delmorst, USA. Gypsum block ini dijadikan standar untuk kalibrasi gypsum block modifikasi (Gambar 3.3).
2,86 cm
2,25 cm
Gambar 3.3 Gypsum block buatan Delmorst. b. Material gipsum kualitas A merk “super gips”, untuk membuat gypsum block dengan dimensi diamter = 1,50 cm dan tinggi = 1,00 cm, yang digunakan untuk mengukur kadar air dalam uji swelling vertikal dan horisontal. c.
Kabel kawat TFTX2F tahan panas sampai dengan suhu 105oC 300/500 v.
d. Gypsum block modifikasi dengan dimensi diameter 1,50 cm dan tinggi 1,00 cm (Gambar 3.4).
1,0 cm 1,5 cm
Gambar 3.4 Gypsum block modifikasi. e. Multy meter digital dengan ketelitian 10.000 kOhm. f.
Alat-alat bantu untuk mencetak gypsum block, antara lain : mangkok, pisau, gelas ukur dan pipa PVC ½’’.
16
B.3 Alat uji suction Alat yang digunakan dalam uji suction adalah sebagai berikut ini. a. Kertas saring (filter paper) bebas debu tipe H yaitu Whatman No. 42. b. Specimen container (kotak sampel) yang mempunyai volume 120 -240 ml terbuat dari bahan besi/gelas yang bebas karat beserta tutup yang rapat. c. Filter paper container (kotak kertas saring), sebagai tempat kertas saring setelah mencapai suatu keseimbangan, terdiri dari : 1) alumunium container (kotak almunium) dengan tutup sebagai hot tare, 2) palstic bag (kotak plastik) dengan tutup sebagai cold tare. d. Insulated chest (kotak pengisolasi), kotak yang cukup mengisolasi kotak sampel
dari
bahan
polystyrene
atau
material
lain
yang
mampu
mempertahankan temperatur di dalam kotak 1oC. e. Oven pengering dengan kapasitas temperatur 110 ±5oC. f. Timbagan digital dengan kapasitas minimum 20 gram ketelitian 0,0001 gram. B.4 Alat uji kembang vertikal dan horisontal Pada penelitian ini dikembangkan alat kembang modifikasi untuk mengukur kembang arah vertikal dan horisontal. Skematik alat kembang modifikasi seperti pada Gambar 3.5. Peralatan yang digunakan untuk penelitian kembang vertikal dan horisontal adalah alat konsolidasi (konsolidometer) yang dimodifikasi.
Gambar 3.5 (a) Skematik alat uji kembang vertikal tanah lempung ekspansif, (b) Detail pemasangan strain gauge.
17
C. Tahapan Tahapan penelitian Disertasi ini dilakukan sesuai sebagai berikut ini. C.1 Pengambilan dan persiapan benda uji Uji pendahuluan berupa uji sifat fisis, mekanis, kimia dan mineralogi menggunakan tanah asli. Uji utama menggunakan benda uji terganggu (disturbed). Benda uji dibentuk dari sampel kering dan lolos saringan No. 4, ditimbang sesuai dengan berat yang harus dicetak dengan mengacu pada hasil uji Proctor standar. Tanah kemudian diperam selama sehari (1x24 jam), kemudian dicetak menggunakan cetakan dengan diameter 7,00 cm dan tinggi 2,00 cm. Sampel dicetak dengan sistim 3 lapis dengan tiap lapis dipadatkan. Pemadatan lapisan pertama dilakukan dengan memasukan tanah 1/3 dari tinggi cetakan. Saat pemadatan lapisan kedua, sampel dilubangi sesuai ukuran gypsum block dengan alat pelubang dengan diameter 1,50 cm dan tinggi 1,00 cm. Selanjutnya dipadatkan lapisan ketiga sampai tidak ada lagi rongga pada cetakan. Kemudian sampel dikeringkan dengan diangin-anginkan sampai tanah menyusut hingga sampel berukuran diameter 6,35 cm dan tinggi 1,70 cm dengan kadar air ±10 % (Gambar 3.6). Pembuatan benda uji tanah campuran, dilakukan terlebih dahulu pencampuran tanah lempung Soko (tanah asli) dengan Na – Bentonite, menggunakan perbandingan berat kering, seperti pada Tabel 3.1 berikut ini. Tabel 3.1 Komposisi Campuran Material Tanah Soko Na - bentonit
Perbandingan Berat (gram) Canpuran I Canpuran II Canpuran III 61,06 54,27 47,49 6,78 13,57 20,35
Gambar 3.6 Pengeringan dan pemeraman benda uji.
18
C.2 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan terdiri dari uji sifat fisis dan mekanis, kimia dan mineral tanah asli. Uji sifat fisis tanah lempung, meliputi : uji kadar air, gravitasi khusus, analisis ukuran butir dan batas konsistensi tanah. Uji sifat mekanis yakni uji pemadatan standar, uji kembang dan uji konsolidasi. Uji kimia tanah untuk mengetahui susunana kimia tanah dan uji mineral tanah untuk mengetahui kandungan mineral tanah. Pada uji pendahuluan juga dilakukan kalibrasi peralatan yang digunakan dalam uji utama, diantaranya : kalibrasi gypsum block modifikasi terhadap tanah lempung dan modulus (E) membran untuk ring oedometer. C.3 Penelitian utama Penelitian utama terdiri dari : uji kembang vertikal dan horisontal serta volumetrik dengan variasi kadar air (w), derajat kejenuhan (Sr), variasi beban (σv), variasi indeks plastisitas (IP), aktivitas (A) dan matric suction (s) tanah. D. Prosedur uji Seluruh rangkain kegiatan penelitian ini terangkum dalam diagram alir penelitian seperti pada Gambar 3.7 berikut ini.
Gambar 3.7 Diagram alir penelitian.
19
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan terhadap tanah lempung Soko (Ngawi) dan tanah campuran dimaksudkan untuk mendapatkan suatu informasi mengenai sifat fisis, unsur kimia dan mineral tanah yang diuji. Hasil uji seperti pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 berikut ini. Tabel 4.1 Hasil uji properties tanah Soko, Ngawi (Jawa Timur)
Properties Analisa Ukuran Butiran Batas Konsistensi
Specific gravity (Gs) Kadar air (0%) Aktivitas (A) Klasifikasi Tanah
Lolos No. 200 (%) Lolos < 0.002 mm (%) Lolos < 0.05 mm (%) Batas Cair (%) Batas Plastis (%) Indeks Plastisitas (%) Batas Susut (%)
Sistem Unified Sistem AASHTO
Tanah Soko, Ngawi (Jawa Timur) 94,13 30,00 47,50 101,09 29,77 71,32 10,74 2,62 63,27 2,38 CH A-7-5
Tabel 4.2 Hasil uji properties tanah campuran
Properties
Analisa Ukuran Butiran Batas Konsistensi
Lolos No. 200 (%) Lolos <. 0.002 mm (%) Lolos <. 0.05 mm (%) Batas Cair (%) Batas Plastis (%) Indeks Plastisitas (%) Batas Susut (%) Specific gravity (Gs) Kadar air (%) Aktivitas (A) Klasifikasi Sistem Unified Tanah Sistem AASHTO
Soko 90% + Bentonite 10% 94,53 32,12 48,12 119,75 31,92 87,83 13,49 2,34 17,00 19,30 CH A-7-5
Soko 80% + Bentonite 20% 94,87 36,38 54,20 136,66 36,21 100,44 16,24 2,56 50,81 2,76 CH A-7-5
Soko 70% + Bentonite 30% 95,13 40,93 68,68 164,03 41,25 122,80 18,98 2,53 46,77 3,00 CH A-7-5
20
4.2 Hasil uji kimia dan mineral tanah lempung ekspansif Uji kimia dan mineral dilakukan untuk mengetahui susunan kimia dan kandungan mineral tanah lempung Soko (Ngawi) dan tanah campuran. Uji mineral dilakukan dengan difraksi sinar-X. Hasil uji seperti terlihat pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4 berikut ini. Tabel 4.3 Hasil analisis kimia tanah lempung Soko (Ngawi) dan tanah campuran No
Komposisi Kimia
Tanah Soko (Ngawi)
Soko 90% + Bentonite 10%
Soko 80% + Bentonite 20%
Soko 70% + Bentonite 30%
1.
SiO2
54,59
48,52
50,34
50.45
2.
Al2O3
17,37
18,03
18,26
18.31
3.
Fe2O3
4,53
8,04
7,83
7.57
4
TiO2
0,20
0,20
0,20
0,20
5.
CaO
2,98
0,99
1,02
1.08
6.
MgO
3,00
1,31
1,33
1.48
7.
Na2O
0,88
0,90
1,15
1.33
8.
K2O
0,45
0,26
0,26
0.26
Tabel 4.4 Kandungan mineral tanah Soko (Ngawi) dan tanah campuran No
Komposisi Mineral
Tanah Soko (Ngawi)
Soko 80% + Bentonite 20% 50,48
Soko 70% + Bentonite 30%
49,74
Soko 90% + Bentonite 10% 50,11
1.
Montmorilonite
2.
Halloysite
45,10
16,03
16,67
17,90
3.
Feldspar
4,63
6,80
6,63
6,47
4.
Alpha Quartz
0,27
13,03
12,89
12,10
5.
Cristobalite
0,26
14,03
13,33
12,59
50,94
4.3 Uji pemadatan standar Hasil uji pemadatan standar tanah Soko, Ngawi seperti pada Gambar 4.1, dan diperoleh nilai berat kering maksimum (γd maks) 12,60 kN/m3 dan kadar air optimum (wopt) 32,00 %. Hasil uji pemadatan standar ini digunakan untuk dasar
21
dalam mendesain benda uji matric suction dan uji kembang vertikal dan horisontal.
Gambar 4.1 Kurva uji pemadatan standar tanah Soko, Ngawi. 4.4 Uji kalibrasi gypsum block modifikasi Uji swelling vertikal dan horisontal dilakukan berdasarkan perubahan kadar air. Pengukuran perubahan kadar air dilakukan dengan gypsum block. Gypsum block yang telah dijual di pasaran dan telah terkalibrasi serta telah banyak digunakan untuk pengukuran kadar air di bidang pertanian dan geoteknik, salah satunya adalah buatan Delmorst (Campbell Scientific Canada Corp). Hasil perbandingan kalibrasi gypsum block modifikasi dan gypsum block buatan Delmorstseperti pada Gambar 4.2. Selanjutnya hasil kalibrasi tersebut digambarkan dalam bentuk skala logaritma seperti pada Gambar 4.3. 2500 Gipsum Blok Modifikasi Gipsum Blok Delmorst
Hambatan (kOhm)
2000
1500
1000
500
0 0
20
40
60
80
100
120
Kadar air tanah lempung (%)
Gambar 4.2 Kalibrasi gypsum block Delmorst dan modifikasi.
22
10000 Gipsum Blok Modifikasi
Hambatan (kOhm)
Gipsum Blok Delmorst 1000
100
10
1 0
20
40
60
80
100
120
Kadar air tanah lempung (%)
Gambar 4.3 Kalibrasi gypsum block Delmorst dan modifikasi (skala logaritma). 4.5 Modifikasi alat oedometer Pengukuran kembang vertikal dan horisontal dilakukan dengan alat Oedometer yang dimodifikasi. Ada 2 bagian alat oedometer yang dimodifikasi, yaitu : ring oedometer dan sistem pembacaan hasil uji (sistem akuisi data), seperti pada Gambar 4.4 berikut ini.
LVDT
Sistem Akuisi d
Dial Gauge Ring Oedometer
Strain Indikator P- 3500 M
Multimeter Digital
Gambar 4.4 Bagian alat oedometer yang dimodifikasi.
23
4.5.1 Modifikasi ring oedometer Modifikasi ring oedometer terdiri dari komponen-komponen lain yang berada di dalam ring Oedometer, diantaranya : ring sampel, blok tekanan dan batu pori atas. Komponen-komponen yang dimodifikasi tersebut seperti pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Spesifikasi, bentuk, dimensi, dan berat bagian-bagian ring oedometer modifikasi Jenis dan bahan alat Ring Oedometer modifikasi, almunium cor diameter dalam diameter luar tinggi
Bentuk
Dimensi, mm
Berat, gr
105,5 121,5 67,0
8723
Ring sampel, membran lateks diameter dalam diameter luar tinggi
63,5 69,5 17,0
4,82
Blok tekanan, almunium cor diameter tinggi
60,0 12,0
80,0
Batu pori atas , almunium cor diameter Tinggi
62,18 5,64
39,50
4.5.2 Sistem akuisisi data Sistem pengukuran pada uji kembang vertikal dan horisontal ada 4 komponen, mulai dari sensor, penguat arus, pemroses data dan out-put seperti pada Gambar 4.6 berikut ini.
24
Gambar 4.6 Sistem akuisi data. 4.6 Uji Utama Uji utama mencakup bebarapa uji antara lain : uji kembang vertikal, uji kembang vertikal dan horisontal serta uji suction. 4.6.1 Hasil uji kembang vertikal Uji kembang vertikal dilaksanakan berdasarkan metode Seed (1962), yaitu uji kembang di bawah tekanan 6,9 kPa, pada sampel tanah yang dibebani secara terkekang arah lateral. Uji ini dilakukan dengan standar ASTM D4546-96 (Standart Tes Methods for One-Dimensional Swell or Setltement Potential of Cohesive Soils). Uji ini dilakukan sebagai uji pendahuluan dalam melihat perilaku kembang vertikal dan kembang horisontal, hasil uji seperti pada Gambar 4.7. 120
Regangan, ε (%)
100
80
60
40
20
0 0
1
10
100
1000
10000
100000
Waktu, menit (Log) Tanah Soko (Ngawi)
Tanah Soko 90% + Bentonit 10%
Tanah Soko 70% + Bentonit 30%
Na-Bentonit
Tanah Soko 80% + Bentonit 20%
Gambar 4.7 Hubungan antara waktu terhadap regangan pada kembang tanah iiiiiiiiiiiiiii Soko dan tanah campuran dengan metode Seed, dkk. (1962).
25
4.6.2 Hasil uji kembang vertikal dan horisontal Hasil uji kembang vertikal dan horisontal tanah Soko (Ngawi) dan tanah campuran pada perubahan kadar air dinyatakan dalam grafik hubungan antara kadar air dengan kembang vertikal, kembang horisontal dan kembang volumetrik. Hasil uji tersebut seperti pada Gambar 4.8 – Gambar 4.10 berikut ini 30
Kembang Vertikal, Sz (%)
25
20
15
10 Tanah Soko (Ngawi) Tanah Soko 90 % + Bentonite 10 %
5
Tanah Soko 80 % + Bentonite 20 % Tanah Soko 70 % + Bentonite 30 %
0 0
20
40
60
80
100
Kadar Air, w (% )
Gambar 4.8 Hubungan kadar air dengan kembang vertikal tanah Soko dan tanah campuran.
Kembang Horisontal, Sx (%)
15
10
5 Tanah Soko (Ngawi) Tanah Soko 90 % + Bentonite 10 % Tanah Soko 80 % + Bentonite 20 % Tanah Soko 70 % + Bentonite 30 %
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kadar Air, w (%)
Gambar 4.9 Hubungan kadar air dengan kembang horisontal tanah Soko dan tanah campuran.
26
Kembang Volumetrik, Sv (%)
70 60 50 40 30 20
Tanah Soko (Ngawi) Tanah Soko 90 % + Bentonite 10 %
10
Tanah Soko 80 % + Bentonite 20 % Tanah Soko 70 % + Bentonite 30 %
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kadar Air, w (%)
Gambar 4.10 Hubungan kadar air dengan kembang volumetrik tanah Soko dan tanah campuran. 4.6.3 Hasil uji kembang vertikal dan horisontal dengan variasi surcharge Uji kembang vertikal dan horisontal pada sampel remolded diterapkan variasi penambahan beban (surcharge) dengan penerapan tekanan sebesar 10 kPa, 20 kPa, 30 kPa dan 40 kPa. Hasil uji kembang vertikal dan horisontal tanah Soko (Ngawi) dan tanah campuran dengan variasi penambahan beban (surcharge) dinyatakan dalam hubungan antara kadar air (w) terhadap regangan vertikal dan horisontal ( S Z dan S X ) serta regangan volumetrik ( SV ) seperti pada Gambar 4.11 – Gambar 4.13 berikut ini. 30
Kembang vertikal, S z (%)
Tanah Soko (Ngawi) Tanah Soko 90 % + Bentonite 10 %
25
Tanah Soko 80 % + Bentonite 20 % Tanah Soko 70 % + Bentonite 30 %
20 15 10 5 0 0
10
20
30
40
50
Surcharge , σv (kPa)
Gambar 4.11 Hubungan penambahan beban dengan kembang vertikal tanah Soko dan tanah campuran.
27
14
Kembang Horisontal, Sx (%)
Tanah Soko (Ngawi) Tanah Soko 90 % + Bentonite 10 %
12
Tanah Soko 80 % + Bentonite 20 %
10
Tanah Soko 70 % + Bentonite 30 %
8 6 4 2 0 0
10
20
30
40
50
Surcharge , σv (kPa)
Gambar 4.12 Hubungan penambahan beban dengan kembang horisontal tanah Soko dan tanah campuran.
Kembang Volumetrik, Sv (%)
70
Tanah Soko (Ngawi) Tanah Soko 90 % + Bentonite 10 %
60
Tanah Soko 80 % + Bentonite 20 % Tanah Soko 70 % + Bentonite 30 %
50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
Surcharge , σv (kPa)
Gambar 4.13 Hubungan penambahan beban dengan kembang volumetrik tanah Soko dan tanah campuran. 4.6.4 Hasil uji matric suction (s) Uji kembang vertikal dan horisontal yang dilakukan pada benda uji tanah ekspansif dengan kadar air awal (wi): 10 % (kondisi kering) dilakukan pembasahan, sehingga pada uji kembang tersebut benda uji mengalami kondisi tidak jenuh menuju jenuh, sehingga pada uji kembang tersebut terjadi fenomena suction. Untuk mengukur nilai suction dilakukan uji matric suction. Prosedur
28
uji suction tanah mengacu pada standar ASTM D 5298-2003. Hasil uji seperti pada Gambar 4.14 dan Gambar 4.15. 1000000 Tanah Soko (Ngawi) Tanah Soko 90% + Bentonit 10% Tanah Soko 80% + Bentonit 20%
2
matric suction, s (kN/m )
100000
Tanah Soko 70% + Bentonit 30%
10000
1000
100
10
1 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kadar Air, w (% )
Gambar 4.14 Kurva kadar air tanah dengan matric suction tanah asli dan tanah campuran. 1000000 Tanah Soko (Ngawi) Tanah Soko 90% + Bentonite 10% Tabah Soko 80% + Bentonte 20% Tanah Soko 70% + Bentonite 30%
2
matric suction , s (kN/m )
100000
10000
1000
100
10
1 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Derajat Kejenuhan, Sr (%)
Gambar 4.15 Kurva derajat kejenuhan dengan matric suction tanah asli dan tanah campuran. 4.6.5 Penurunan hubungan empiris kembang Hasil pemodelan perilaku kembang vertikal, kembang horisontal dan kembang volumetrik tanah lempung Soko (Ngawi) dan tanah campuran dapat diturunkan dalam hubungan empiris. Hubungan empiris ini meliputi hubungan kembang maksimum (Smaks ) dengan indeks plastisitas (IP), aktivitas (A) dan rasio penambahan beban (ratio surcharge) dan hubungan kembang (S) dengan derajat kejenuhan (Sr).
29
4.6.5.1 Penurunan hubungan kembang maksimum dengan IP, A dan Rσ’v Hasil hubungan kembang maksimum (S maks ) keluaranya setelah di hitung menggunakan program multi varian adalah sebagai berikut ini. Szmaks = 0,367 IP - 0,035 A - 0,938 Rσv………..………...……..… ...... (4.1) Sxmaks = 0,258 IP + 0,028 A - 0,953 Rσv ……….………..… …….….. .(4.2) Svmaks = 0,289 IP + 0,005 A - 0,947 Rσv………………..………......… .(4.3) dengan Szmaks : kembang vertikal maksimum (%), Sxmaks : kembang horisontal maksimum (%), Svmaks : kembang volumetrik maksimum (%), IP
: indeks plastisitas tanah (%),
A
: aktivitas tanah (%), ’
Rσv : rasio surcharge (%). 4.6.5.2 Penurunan hubungan empiris kembang dengan Sr Hasil pembuatan hubungan perilaku kembang vertikal (Sz), kembang horisontal (Sx) dan kembang volumetrik (Sv) terhadap derajat kejenuhan (Sr) hasil keluaranya setelah di hitung menggunakan program multi varian adalah sebagai berikut ini. Log Sz = Log 0,017 + 1,591 Log Sr ; atau Sz = 0,017 Sr1,591..…......
(4.4)
Log Sx = Log 0,002 + 1,895 Log Sr ; atau Sx 0,002 Sr1,895................... .....(4.5) Log Sv = Log 0,012 + 1,839 Log Sr ; atau Sv = 0,012 Sr1,839 ……
….(4.6)
Secara umum Persamaan 4.1 – Persamaan 4.6, untuk mendapatkan pengaruh dari 4 parameter penelitian yaitu : indeks plastisitas (IP), aktivitas (A), rasio surcharge (Rσv) dan derajat kejenuhan (Sr.) harus digabung menjadi satu, hasil keluaranya setelah di hitung menggunakan program multi varian adalah sebagai berikut ini. Sz = 0,746 IP - 0,427 A - 3,971 Rσv + 4,555 Log Sr
................ ......
(4.7)
Sx = 0,373 IP + 0,023 A - 4,339 Rσv + 4.824 Log Sr ………. ….
(4.8)
Sv = 0,622 IP - 0,250 A - 4,256 Rσv + 4,770 Log Sr...................
(4.9)
..
30
V. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini. 1. Model perilaku kembang bebas tanah lempung ekspansif klasifikasi CH dengan indeks plastisitas (IP) 71,32%, aktivitas (A) 2,38 dan kandungan motmorillonite 49,74% memiliki potensi kembang yang sangat tinggi. Seluruh hasil uji memperlihatkan bahwa kembang vertikal (Sz)), horisontal (Sx) dan volumetrik (Sv) semakin besar, apabila kadar air (w), derajat kejenuhan (Sr), indeks plastisitas (IP), aktivitas (A) semakin besar. Kembang vertikal (Sz)), horisontal (Sx) dan volumetrik (Sv) akan semakin kecil, jika
suction (s)
semakin besar. 2. Stabilisasi kembang tanah lempung ekspansif sangat dipengaruhi oleh besarnya beban surcharge yang diterapkan, semakin besar beban yang diterapkan, semakin besar tekanan luar yang melawan tekanan kembang, sehingga kembang vertikal (Sz), kembang horisontal (Sx) dan kembang volumetrik (Sv) yang terjadi semakin kecil, dan kembang yang terjadi akan berhenti pada penerapan beban surcharge sebesar 46,9 kPa. 3. Besarnya kembang vertikal (1D) tanah Soko (Ngawi) dan tanah campuran lebih besar dari kembang horisontal (2D), rasio kembang vertikal dengan kembang horisontal (Sx) adalah 2,37. Besarnya kembang volumetrik (3D) lebih besar dari kembang vertikal (1D), rasio kembang volumetrik (3D) dengan kembang vertikal (1D) adalah 2,04, oleh karena itu penelitian untuk kembang volumetrik (3D) harus lebih diperhatikan dari pada kembang vertikal (1D) dan kembang horisontal (2D), karena kembang volumetrik (3D) mempunyai potensi merusak struktur yang lebih besar. 4. Melengkapi hubungan empiris prediksi kembang dengan metode tidak langsung untuk memprediksi besarnya kembang vertikal (Sz), kembang horisontal (Sx) dan kembang volumetrik (Sv), telah dibuat hubungan perilaku kembang vertikal (Sz)), kembang horisontal (Sx) dan kembang volumetrik (Sv) dengan variasi derajat kejenuhan (Sr), variasi indeks plastisitas (IP), variasi
31
aktivitas (A) dan rasio penambahan beban (Rσv’), hubungan perilaku kembang hasil pembuatan dengan program multi varian adalah sebagai berikut ini. Kembang vertikal (Sz) = 0,746 IP - 0,427 A - 3,971 Rσv + 4,555 Log Sr, Kembang horisontal (Sx) = 0,373 IP + 0,023 A - 4,339 Rσv + 4,824 Log Sr, Kembang volumetrik (Sv) = 0,622 IP - 0,250 A - 4,256 Rσv + 4,770 Log Sr. 5. Dalam uji kembang vertikal – horisontal di laboratorium perlu dibuat alat khusus. Untuk itu dalam penelitian ini, alat oedometer telah dimodifikasi pada beberapa bagian khususnya ring sampel, sehingga alat oedometer modifikasi ini dapat digunakan untuk mengukur kembang vertikal dan kembang horisontal.
DAFTAR PUSTAKA ASTM, 2003, Annual Books of ASTM Standards Section 4 Volume 04.08 Soil and Rock (I): D420-D4914. Chen, F.H., 1975, Foundation on Expansive Soils, Developments in Geotechnical Enginering, Elseveier Scientific Publication Company, New York, USA. Coduto, D.P., 1994, Foundation Design Principles and Practices, Prentice Hall International, Inc, New Jersey, USA. Dakhshanamurthy, V. and Raman, V., 1975, Review of Expansive Soils, Discusion, Journal of Geotechnical Enggineering Division, ASCE, Volume 101, , No. GT 6. Das, B.M, 2008, Advanced Soil Mechanic, Third Edition, Taylor & Francis Group, London, UK. Federal Emergency Management Agency (FEMA), 1982, Study Soil Expansive in Monte Vista, Report and Damage Expansive Soils, Colorado, USA. Gourly, C.S., Newill, D., and Schreiner, H.D., 1993, Expansive Soil, TRL”s Research Strategy, Proc. Ist Inc. Symp. Engineering Characteristics of Arid Soils, London, UK. Hardiyatmo, H.C., 2002, Mekanika Tanah I, edisi II, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia.
32
Hardiyatmo, H.C., 2006, Mekanika Tanah I, edisi IV, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia. Holtz, R.D., and Gibbs, H.J., 1956, Prediction on Swelling Potential for Compacted Clay, Journal of the Soil mechanics and Foundation devision , ASCE, Discussion, Vol 88, No.SM4. Jones, D, E., and Holtz, W, G., 1973, Expansive Soils – The Hidden Disaster, Civil Engineering, Vol 4, November 8. Merwe, D.H., 1964, The Prediction of heave from the Plasticity Index and percentage Clay Fraction of Soils, Civil engineers in south Africa, 6(6):103-107 Mitchell, J.K., 1992, Fundamentals of Soil Behavior, Second edition, Jhon Wiley & Sons, Inc., New York, USA. Mochtar, I. B., 2000, Teknologi Perbaikan Tanah dan Alternatif Perencanaan pada Tanah Bermasalah, Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS, Surabaya, Indonesia. Mochtar, I. B., 2002, Rekayasa Penangulangan Masalah Pembangunan pada Tanah-tanah Sulit, Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS, Surabaya, Indonesia. Muhunthan, B., 1991, Liquid Limit and Surface Area of Clays, Geotechniques, Vol XLI, No. 1 March 1991. Myers, D., 2005, Expansive Clays and Road Subgrade an Analysis, www.godismyjudgeok, 31 Agustus 2007. Nelson, J.D., and Miller, D.J., 1992, Expansive Soils; Problem and practice in Foundation and Pavement Engineering, John Wiley and Sons, New York, USA. Noormalasari, dan Susanto, D., 2000, Perilaku Tanah Ekspansif dan Metode Perbaikanya di Lippo Cikarang, Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Geoteknik – IV INDO – GEO 2000, pp VI – 1 – 9, Indonesian Society for Geotechnical Engineering, Jakarta, Indonesia. Perera,S,A, 1997, Mineral Identification Hand Book, SAGRIC International, Australia. Rifa’i A., 2002, Mechanical testing and Modelling of an Unsaturated Silt ith engineering Application, Ph.D Desertation , EPFL, Switzerlandz.
33
Sahu, B.K., 2000, Engineering Characteristic of Block Cotton Soils in francistown, Unsaturated Soils for Asia, Rahardjo, Toll & Leong, A.A Balkema, Rotterdam, pp 715 – 719. Sapaz, B., 2004, Lateral Versus Vertical Swell Pressure in Expansive Soils, etd.lib.metu.edu/upload/1053040/index. Seed, H.B., Woodward R.J., and Lundgren R., 1962, Prediction of Swelling Potential for Cpmpacted Clays, Journal of the Soil Mechanics and Foundation Division, ASCE, Vol.88. No. SM3. Proc. Paper 3169. Snethen, D.R., 1975, A Review of Engineering Experiences with Expansive Soils in Highway Subgrades, Report No. FHWA-RD-75-48, Federal Highway Administration Offices of Research & Development, Washington, D.C. 20590, USA. Sudjianto, A.T., 2007, Kajian Model Perilaku Swelling Pada Tanah Lempung Ekspansif Dengan Pola Dua Dimensi, Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil I, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, Indonesia. Sudjianto, A.T., Suryolelono, K.B., Rifa’i, A., and Mochtar, I.B., 2008, Behaviour Vertical and Lateral Swelling on Disturbed Highly Expansive Clay Under Water Content Variation Condition, Prosiding Seminar Internasional, Universiti Teknologi Malaysia, Malaysia. Taboada, M.A., 2003, Soil Shrinkage Characteristics in Swelling Soil, www.ictp.it/~pub_off/lectures/ins018/39taboada1, 9 November 2007. Thomas, P.J., 1998, Quantifying Properties and Variability of Expansive Soils in Selected Map Units, Dissertation submitted to the Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University in partial fulfillment of Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy, April 15, Blacksburg, Virginia, USA. Victorine, T., Zhang, Z., Fowler, D. W., dan Hudson, W.R., 1997, Basic Concepts, Current Practices, and Avalaible Resources for Forensic Investigation on Pavements, Report No. FHWA/TX-98/1731-1, Federal Highway Administration Offices of Research & Development, Washington D.C. 20590, USA. Yong, R, N., and Warketin, B, P., 1975, Introduction to Soil Behavior, The Mac Milan Co, New York, USA.