LAPORAN PENELITIAN
PEMODELAN BAWAH PERMUKAAN GUNUNG MERAPI DAN MERBABU BERDASARKAN ANALISIS DATA GRAVITASI
Oleh: Imam Suyanto
Laboratorium Geofisika, Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2011 i
KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur alhamdulillah, kami telah menyelesaikan laporan akhir penelitian ini. Laporan ini merupakan hasil penelitian terhadap data gravitasi di Gunung Merapi dan Merbabu. Penelitian ini berjudul ‘Pemodelan Bawah Permukaan Gunung Merapi dan Merbabu Berdasarkan Analisis Data Gravitasi’. Tentu masih banyak kekurangan dalam laporan ini. Untuk itu kritik dan saran membangun sangat diharpkan untuk meningkatkan kualitas penyelidikan geofisika untuk keperluan eksplorasi pertambangan. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya pekerjaan ini, kami mengucapkan terima kasih.
Yogyakarta, November 2011
Drs. Imam Suyanto, M.Si
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul
hal i
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
iii
Daftar Gambar
iv
Intisari
v
Bab I. Pendahuluan
1
I.1. Latar Belakang
1
I.2. Tujuan Penelitian
2
I.3. Lokasi Penelitian
2
Bab II. Studi Pustaka
3
Bab III. Teori Gravitasi
8
III.1. Prinsip Dasar Gravitasi
8
III.2. Reduksi Data Gravitasi
10
III.3. Efek Pasang Surut
10
III.4. Gravitasi Teoritis
11
III.5. Reduksi Free Air (Udara Bebas)
15
III.6. Model Koreksi Bouguer
17
III.7. Koreksi Medan
18
Bab IV. Metodologi Penelitian
19
IV.1. Peralatan
19
IV.2. Pengambilan Data
19
IV.3. Pengolahan Data
19
IV.4. Interpretasi
20
Bab V. Hasil Dan Pembahasan
21
V.1. Gravitasi Observasi dan Topografi
21
V.2. Anomali Udara Bebas (FA Anomaly)
23
V.3. Anomali Bouguer Sederhana (ABS) atau Simple Bouguer Anomaly (SBA)
24
V.4. Anomali Bouguer Lengkap (ABL) atau Complete Bouguer Anomaly (CBA)
26
V.5. Transformasi ABL ke Bidang Datar
27
V.6. Pemodelan 2,5D Gunung Merapi dan Merbabu
29
Bab VI. Kesimpulan dan Saran
30
VI.1. Kesimpulan
30
VI.2. Saran
30
Daftar Pustaka
31 iii
DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 1.1. Peta sebaran dan nama 129 gunungapi di Indonesia. Warna merah adalah gunungapi tipe A, warna kuning gabungan tipe B dan tipe C (www.merapi.bgl.esdm, 2001).
1
Gambar 1.2. Lokasi penelitian yang meliputi Gunung Merapi dan Merbabu.
2
Gambar 2.1. Lokasi Gunung Merapi dan Merbabu yang terletak pada batas lempeng Eurasia dan Indo Australia.
3
Gambar 2.2. Geologi regional Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut van Bemmelen, 1949. Kotak di tengah adalah daerah penelitian.
4
Gambar 2.3. Perkembangan kawah 1883 yang terisi lava yang menjadi cikal bakal dari Gunung Anyar puncak Gunung Merapi saat ini (Sket Neuman van Padang, 1931 disempurnakan).
6
Gambar 2.4. Hasil interpretasi bawah permukaan Gunung Merapi dari beberapa macam metode. Pada kedalaman 1 km terdapat kantong magma dangkal dan saluran di bawahnya yang menghubungkan dengan kantong magma yang lebih dalam (after Imam et al, 1993).
7
Gambar 3.1. Gaya gravitasi antara dua buah titik massa.
8
Gambar 3.2. Potensial di titik P berjarak r dari distribusi massa kontinyu.
9
Gambar 3.3. Bumi dan hal yang berpengaruh pada nilai gravitasi.
10
Gambar 3.4. Bidang geoid dan speroida referensi.
11
Gambar 3.5. Bumi dan parameter bentuk bumi.
12
Gambar 3.6. Koreksi udara bebas.
16
Gambar 5.1. Kontur topografi dari hasil pengamatan dengan menggunakan GPS sebanyak 418 titik yang sebarannya diperlihatkan dengan titik-titik hitam.
21
Gambar 5.2. Kontor Gobs dari hasil pengamatan dengan menggunakan gravity meter LaCoste & Romberg sebanyak 418 titik yang sebarannya diperlihatkan dengan titik-titik hitam.
22
Gambar 5.3. Anomali udara bebas (FA Anomaly) Gunung Merapi dan Merbabu. Warna biru bernilai rendah dan warna merah bernilai tinggi.
23
Gambar 5.4. Anomali Bouguer Sederhana (ABS) dengan menggunakan densitas Bouguer 2,25 gr/cc, dan sebaran titik amat (warna hitam).
25
Gambar 5.5. Anomali Bouguer Lengkap (ABL) dengan menggunakan densitas Bouguer 2,25 gr/cc, dan sebaran titik amat (warna hitam).
26
Gambar 5.6. Anomali Bouguer Lengkap (ABL) di bidang datar hasil dari transformasi ekuivalen titik massa Damney. Kedalaman bidang ekuivalen adalah 1500 meter di bawah msl, sedangkan bidang datar adalah 3300 meter di atas msl. Garis hitam adalah profil yang akan dibuat model bawah permukaannya.
28
Gambar 5.7. Model bawah permukaan ayatan utara-selatan hasil analisis data anomali gravitasi
29
iv
PEMODELAN BAWAH PERMUKAAN GUNUNG MERAPI DAN MERBABU BERDASARKAN ANALISIS DATA GRAVITASI Oleh: Imam Suyanto
INTISARI
Telah dilakukan analisis terhadap data medan gravitasi di gunung Merapi dan Merbabu. Maksud dari penelitian ini adalah memetakan anomali Bouguer di Gunung Merapi dan Merbabu, dan sekitarnya, dan bertujuan untuk membuat model bawah permukaan kedua gunung tersebut. Pengambilan data dilakukan di 418 titik amat, yang tersebar di sekeliling kedua gunung sampai ke puncak kedua gunung tersebut. Gravitymeter yang digunakan adalah LaCoste & Romberg type G. Penentuan posisi menggunakan 2 buah GPS type Geodetik Trimble 4600 LS, yang berfungsi sebagai base dan rover. Sebaran titik dibuat dengan spasi 2 sampai 3 km di kaki gunung dan semakin rapat untuk area yang semakin dekat dengan puncak gunung. Pengolahan data dimulai dengan konversi data dari skala pembacaan ke milligal, reduksi data tinggi alat dan pasang surut, serta koreksi drift karena kelelahan alat. Dengan menggunakan titik ikat di BPPTK, diperoleh nilai gravitasi observasi (Gobs) titik amat. Gobs direduksi dengan nilai gravitasi teoritis, reduksi udara bebas, reduksi bouguer, dan reduksi medan, sehingga diperoleh Anomali Bouguer Lengkap (ABL). Nilai densitas Bouguer yang digunakan adalah 2,15 gr/cc. ABL yang berada di topografi kemudian ditransformasi ke bidang datar dengan metode ekuivalen titik massa Damney dengan ketinggian 3300 meter. Dari peta ABL di bidang datar, dibuat sayatan utaraselatan yang melewati puncak gunung Merbabu dan Merapi untuk membuat model bawah permukaan. Hasil pemodelan menunjukkan ada 5 lapisan, yaitu lapisan paling atas dengan denistas, 2,15 gr/cc, kedua dengan densitas 2,40 gr/cc, ketiga dengan densitas 2,6 gr/cc, keempat dengan densitas 2,8 gr/cc, dan kelima yang paling dalam dengan densitas 3,00 gr/cc. Sistem vulkanik gunung Merbabu dengan satu kantong magma pada kedalaman 5 km dengan densitas 2,75 gr/cc. Untuk gunung Merapi dengan 2 kantong magma, kantong magma dangkal pada kedalaman 0,5 km dan kantong magma dalam dengan kedalaman 3,5 km, masing-masing dengan densitas 2,70 gr/cc.
v
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang mempunyai 129 gunungapi aktif (14 % dari jumlah gunungapi di dunia, gambar 1) berkepentingan untuk mengembangkan tradisi keilmuan yang secara khusus mempelajari perilaku gunungapi. Salah satu gunungapi yang sangat aktif di Indonesia adalah gunung Merapi. Bahaya yang ditimbulkan oleh gunung Merapi sangat tinggi, mengingat tingkat aktivitasnya dan padatnya penduduk di sekitar gunung Merapi serta banyaknya aset nasional yang ada, yang berupa cagar budaya, sarana transportasi, pertanian, peternakan dan sarana pendidikan. Untuk itu diperlukan penelitian yang mampu untuk meminimalkan akibat yang ditimbulkan oleh bencana gunung Merapi.
Gambar 1.1. Peta sebaran dan nama 129 gunungapi di Indonesia. Warna merah adalah gunungapi tipe A, warna kuning gabungan tipe B dan tipe C (www.merapi.bgl.esdm, 2011).
Upaya memahami perilaku gunung Merapi salah satunya adalah dengan melakukan penelitian terhadap struktur yang ada di bawah permukaan Gunung Merapi. Struktur di bawah permukaan ini memainkan peranan penting terhadap proses-proses yang terjadi di dalamnya. Dengan mengetahui bentuk-bentuk atau struktur yang ada di Gunung Merapi, maka interpretasi proses yang mungkin terjadi berkaitan dengan aktivitas Gunung Merapi dapat semakin dipahami dengan baik. Penelitian ini dilakukan 1
untuk menyelidiki bentuk-bentuk struktur bawah permukaan, terutama sistem vulkanik Gunung Merapi dan Gunung Merbabu sebagai pembanding. I.2. Tujuan Penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan model bawah permukaan Gunung Merapi dan Merbabu berdasarkan analisis anomali Bouguer. Model bawah permukaan tersebut akan diinterpretasi sebagai sistem vulkanik yang membetuk proses dinamis dari Gunung Merapi.
I.3. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada area seluas kurang lebih 40 km2 x 40 km2, dengan batas 7,37012776 LS s/d 7,59070387 LS dan 110,36290780 BT s/d 110,50945470 BT (lihat gambar 1.2). Daerah penelitian melingkupi Gunung Merapi dan Merbabu dengan batas sebelah Utara adalah Kab. Semarang, sebelah Timur adalah Kab Boyolali dan Kab. Sukoharjo, sebelah selatan adalah Kodya Yogyakarta dan Kab. Klaten, dan sebelah barat adalah Kab. Dan Kodya Magelang.
Gambar 1.2. Lokasi penelitian yang meliputi Gunung Merapi dan Merbabu.
2
BAB II STUDI PUSTAKA Gunung Merapi terletak di bagian tengah dari Propinsi Jawa tengah dan berbatasan dengan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunung Merapi merupakan gunungapi yang paling aktif di busur gunungapi Paparan Sunda. Gunung Merapi terletak pada busur magmatik yang dibentuk oleh gerakan lempeng Indo-Australia dan menabrak lempeng Eurasia (gambar 2.1). Data umum Gunung Merapi adalah sebagai berikut: Nama
: Gunung Merapi
Lokasi
: Koordinat Geografi: 7°32,5'LS dan 110°26,5' BT. Secara administratif terletak di Kab. Sleman, DI. Yogyakarta, Kab. Magelang, Boyolali, Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
Ketinggian
: 2968 m dml (tahun 2001).
Tipe
: Gunungapi tipe strato dengan kubah lava.
Gambar 2.1. Lokasi Gunung Merapi dan Merbabu yang terletak pada batas antara lempeng Eurasia dan Indo Australia.
Menurut van Bemmelen, 1949, Gunung Merapi terletak pada perpotongan 2 buah patahan, yaitu patahan yang mengarah utara-selatan, yang ditunjukkan adanya pelurusan Gunung Ungaran, Telomoyo, Merbabu dan Merapi, dan patahan yang 3
mengarah timur barat, yang ditunjukkan adanya pelurusan Gunung Lawu, Merapi, dan Sumbing. Aktivitas Gunung Merapi dimulai pada masa Plistosen Atas (1,5 juta tahun lalu). Aktivitas bermula pada Gunung Ungaran pada masa Plestosen Bawah (2,5 juta tahun lalu) s/d masa Plestosen Tengah (2,0 juta tahun lalu), dan bergeser ke Gunung Suropati, Telomoyo dan Merbabu pada masa Plestosen Tengah s/d Plestosen Atas.
Gambar 2.2. Geologi regional Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut van Bemmelen, 1949. Kotak di tengah adalah daerah penelitian.
Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dibentuk di atas sedimen plastis laut dan merupakan gunungapi andesitik (Arsadi et. al., 1995). Secara geologi Gunung Merapi terdiri dari hasil Merapi Tua dan Merapi Muda. Produk Merapi Tua terjadi sebelum erupsi katastrofik tahun 1006 dan mendominasi lereng utara, timur dan tenggara Gunung Merapi. Sedang produk Merapi Muda berlangsung sesudah itu sampai dengan saat ini, dan mendominasi terutama lereng baratdaya. Berdasarkan karakterisasi dari endapan vulkanik tersebut, Newhall dkk, 2000, membagi endapan letusan Merapi menjadi 3 jenis, yaitu Endapan Proto Merapi, Endapan Merapi Tua, dan Endapan Merapi Muda. Endapan Proto Merapi diperkirakan 4
berumur Pleistosen dan ditemukan di Bukit Turgo dan Plawangan (sisi selatan Merapi). Endapan Merapi Tua teridiri dari lava yang dikenal dengan Lava Batulawang, berselingan dengan endapan piroklastik yang berumur 9630 ± 60 BP, dapat dijumpai di Srumbung dan Cepogo. Proses pembentukan Merapi Tua berakhir dengan pelengseran endapan debris vulkanik dalam tahun 0 Masehi. Merapi Muda berlangsung sejak 1883 sampai sekarang. Apabila merekontruksi kejadian letusan dan kelurusan pusat-pusat letusan selama kurun waktu 1786 – 2001, maka urutan pola pergeseran pusat letusan di kawasan puncak Merapi dapat dikelompokan dalam tiga periode letusan berdasarkan pola pergeseran pusat letusan, masing-masing periode 1786-1823, periode 1832 – 1872, dan periode 1883 – 2001. Secara garis besar pergeseran titik letusan tersebut dimulai dari sisi baratlaut pindah ke timur kemudian ke selatan dan kini kembali menempati sisi barat – baradaya. Akibat rajinnya meletus dan pusatnya selalu berpindah-pindah tempat serta setiap akhir dari satu siklus letusan hampir selalu menghasilkan kubah, maka topografi puncak Gunung Merapi selalu berubah wajah. Sesungguhnya tidak didapati kawah di puncak Merapi saat ini. Yang disebutsebut sebagai Kawah Woro dan Kawah Gendol sesungguhnya adalah lapangan solfatara yang sangat aktif bersuhu antara 5000 C di Lapangan Woro dan 7000 C di Lapangan Gendol. Dalam tahun 1883 terdapat kawah sedalam 100 m dan secara bertahap terisi lava dan kemudian membentuk kubah dan dikenal dengan Gunung Anyar atau Kubah Timur yang menjadi puncak Gunung Merapi sekarang. Perkembangan kawah yang kemudian berkembang sebagai kawah sekarang ini dapat dilihat pada gambar 2.3. Puncak Gunung Merapi adalah kesetimbangan antara pembentukan dan penghancuran kubah. Pada prinsipnya kubah lava yang tidak dihancurkan adalah bagian dari kawah. Pada umumnya kubah baru yang terbentuk akan tumbuh disamping atau tidak jauh atau tepat pada posisi kubah sebelumnya (Kubah 2001 tumbuh tepat di puncak Kubah 1998). Belum pernah terjadi lava menerobos dari arah yang berbalikan dari sebelumnya, misalnya kubah aktif tumbuh di sisi barat, maka belum pernah terjadi kubah baru tumbuh di sisi timur. Informasi tersebut sangat penting dalam mitigasi dan prediksi aktivitas Gunung Merapi berikutnya. Penelitian geofisika terhadap Gunung Merapi sudah cukup banyak dilakukan., yang secara garis besar dibagi menjadi 2, yaitu : penelitian terhadap kondisi dinamis dan terhadap kondisi statis atau bentuk stuktur bawah permukaan Gunung Merapi. Penelitian kondisi dinamis dilakukan sebagian besar dengan metode seismik. Kirbani 5
(1990) menunjukkan bahwa pada dinamika fluida magma di Gunung Merapi mempunyai beberapa macam pola, yaitu : minopol, dipol dan quadrupol. Di dalam pipa saluran dan kantong magma, magma dimungkinkan mempunyai viskositas yang rendah, sedangkan pada permukaan viskositas magma yang tinggi ditunjukkan dalam bentuk kubah lava (Kirbani., 1990; Fadeli, 1990). Keberadaan kantong magma di Gunung Merapi juga menunjukkan hal yang menarik, yaitu ditemukan adanya 2 kantong magma. Kantong magma dangkal ditemukan pada kedalaman sekirtar 1 km dengan volume 0,6 km3 (Kirbani et al, 1988), sedangkan dari pipa penghubung dengan panjang sekitar 1,4 s/d 1,8 km (Imam, 1993), maka kantong magma dalam terletak pada kedalaman sekitar 3,5 s/d 4 km (gambar 2.4)
Gambar 2.3. Perkembangan Kawah 1883 yang terisi lava yang menjadi cikal-bakal dari Gunung Anyar puncak Gunung Merapi saat ini. (Sket Neuman van Padang, 1931 disempurnakan)
6
Keberadaan kantong magma dalam ini kemungkinan dapat dihubungkan dengan hasil penyelidikan dengan metode lain. Struktur bawah permukaan yang diselidiki dengan metode geomagnetik dan gravitasi, menunjukkan adanya anomali benda dengan densitas lebih besar dan suseptibiltas lebih rendah dari batuan sekelilingnya di bawah Gunung Merapi pada kedalaman sekitar 3 km (Gunawan, 1985; Wahyudi, 1986; Aziz, 1986). Dari hasil interpretasi data geomagnet di daerah Gunung Merbabu didapatkan sumber anomali magnetik antara Gunung Merbabu yang lebih dalam (Situmorang, 1989). Hal ini dapat digunakan untuk alasan adanya perbedaan aktivitas antara kedua gunung tersebut. Penelitian dengan AMT (Audio Magneto Tellurik) menunjukkan adanya daerah-daerah dengan harga tahanan jenis yang rendah yang dapat dihubungkan dengan keberadaan kantong magma di Gunung Merapi (Budi E.N, 1991).
Gambar 2.4. Hasil interpretasi bawah permukaan Gunung Merapi dari beberapa macam metode. Pada kedalaman 1 km terdapat kantong magma dangkal dan saluran di bawahnya yang menghubungkan dengan kantong magma yang lebih dalam (after Imam et al, 1993).
7
BAB III TEORI GRAVITASI III.1. Prinsip Dasar Gravitasi Hukum gravitasi yang ditemukan oleh Newton (1685) merupakan prinsip dasar dari metode gravitasi yang berkembang hingga saat ini. Newton menjelaskan (gambar 3.1) bahwa dua buah masa m1 dan m2 yang terpisah sejauh r dari masing masing pusat massanya akan memiliki gaya tarik-menarik sebanding dengan perkalian nilai massa m1 dengan m2 dan berbanding terbalik dengan nilai kuadrat jaraknya. Gaya tersebut dijabarkan dengan y
r
m1
r1
m2
r2 x
Gambar 3.1. Gaya gravitasi antara dua buah titik massa.
m1 (r1 )m2 (r2 ) F (r1 ) G 2 r1 r2
r1 r2 r1 r2
(3.1)
dengan G adalah konstanta gravitasi yang besarnya adalah 6,672 x 10-11 N m2/kg2. Jika persamaan (3.1) menyatakan gaya tarik yang dialami partikel m2 akibat partikel m1 maka tanda negatif menyatakan bahwa gaya tarik tersebut memiliki arah yang
berlawanan dengan r yang mempunyai arah dari partikel m1 menuju m2. Gaya persatuan massa yang mempunyai jarak r dari m1 disebut medan gravitasi dari partikel m1 yang besarnya :
m1 (r1 ) E (r1 ) G 2 r
r r
(3.2)
dimana r r1 r2 Karena medan ini bersifat konservatif, maka medan gravitasi bisa dinyatakan sebagai
gradien dari suatu fungsi potensial skalar U (r1 ) sebagai berikut : 8
E (r1 ) U (r1 )
dimana U (r1 ) G
(3.3)
m1 yang merupakan potensial gravitasi dari massa m1. r
Karena itu potensial disuatu titik pada ruang bersifat penjumlahan, sedang potensial gravitasi dari suatu distribusi massa yang kontinyu di suatu titik p diluar distribusi massa tersebut (gambar 3.2) merupakan suatu bentuk integral.
Gambar 3.2. Potensial di titik P berjarak r dari distribusi massa kontinyu.
Jika massa yang terdistribusi kontinyu tersebut mempunyai rapat massa (r0) di dalam volume V, maka potensial di suatu titik P diluar V adalah :
(r )d 3 r Gdm U p (r ) G 0 0 v r r v r r0 0
dimana : r r0
(3.4)
r 2 r02 2rr0 cos
Jika integral volume diambil untuk seluruh bumi, kita dapatkan potensial gravitasi bumi di ruang bebas, sedang medan gravitasinya kita dapatkan dengan menurunkan potensial tadi. Jika P berada dipermukaan bumi, medan gravitasi pada titik P adalah :
U p (r ) (r0 )(Z 0 Z )d 3r0 g z (r ) G 2 2 2 Z v ( X X 0 ) (Y Y0 ) ( Z Z 0 )
3 2
(3.5)
Medan gravitasi G disebut juga percepatan gravitasi atau percepatan jatuh bebas. Satuan g dalam CGS adalah gal, dimana 1 gal = 1 cm/s2. Percepatan medan gravitasi bumi bervariasi di permukaan bumi, dan harganya bergantung pada (a) distribusi massa di bawah permukaan, sebagaimana ditunjukkan oleh fungsi densitas
9
( r 0 ) dan (b) bentuk bumi yang sebenarnya, sebagaimana ditunjukkan oleh batas integral.
III.2. Reduksi Data Gravitasi Nilai pengukuran gravitasi dipermukaan bumi tergantung dari distribusi massa yang ada didalam bumi dan bentuk bumi itu sendiri. Sedangkan faktor yang mempengaruhinya adalah gaya sentrifugal akibat rotasi bumi dan pengaruh pasang surut karena posisi bulan dan matahari (gambar 3.3). Anomali gravitasi adalah nilai gravitasi yang ditimbulkan oleh perbedaan nilai kontras densitas di bawah permukaan bumi. Untuk memperoleh anomali gravitasi dibawah titik pengukuran gravitasi maka diperlukan beberapa koreksi yaitu koreksi pasang surut, g teoritis, koreksi udara bebas (freeair) dan koreksi topografi.
Rotasi bumi
Gambar 3.3. Bumi dan hal yang berpengaruh pada nilai gravitasi.
III.3. Efek Pasang Surut Pasang surut bulan dan matahari memberikan pengaruh yang cukup signifikan ke perubahan nilai gravitasi di bumi. Gabungan dari kedua pasang surut tersebut dapat mempengaruhi nilai gravitasi hingga 0,3 mgal yaitu duapertiga dari pengaruh bulan dan sepertiga dari matahari. Nilai perubahan tersebut tergantung dari lokasi, tanggal pengukuran
dan
waktu
pengukuran.
Pengaruh
pasang
surut
(tidal)
dapat
dikalkulasikan secara akurat melalui persamaan
g ps
3GrM m 2 Dm
3
(cos 2 m 13 )
3GrM s 2 Ds
3
(cos 2 s 13 )
(3.6)
dengan r
= jari-jari bumi
Mm
= massa bulan 10
Dm
= jarak bulan dari bumi
Mm
= massa matahari
Dm
= jarak matahari dari bumi
α
= sudut geosentris Sudut geosentris adalah parameter yang bergantung dari posisi lintang dan
waktu saat pengukuran dilakukan. Puncak dari pengaruh pasang surut terjadi 2 kali dalam sehari sedang untuk periode yang lama terjadi 14 hari sekali akibat dari bulan dan 6 bulan sekali akibat pengaruh matahari.
III.4. Gravitasi Teoritis Bumi memiliki bidang ekuipotensial gravitasi yang disebut dengan geoid. Geoid memiliki permukaan yang cenderung mengikuti permukaan air laut dan bentuk dari bidang ekuipotensial tersebut bergantung dari distribusi massa yang ada dibawah permukaan, sebagai contoh ketika berada di deretan pegunungan bidang ekuipotensial berbentuk cembung dan berubah cekung ketika berada di lembah. Karena bumi memiliki distribusi massa yang kompleks, muka bidang potensial menjadi tidak rata, maka untuk memudahkan dibuatlah suatu bentuk bumi speroidal dengan densitas seragam yang dinamakan speroidal referensi. Perbedaan ketinggian antara bidang speroidal referensi dengan geoid dapat mencapai 50m (gambar 3.4).
geoid Speroida referensi
Gambar 3.4. bidang Geoid dan Speroida Refferensi.
Bentuk dari speroidal referensi tersebut ditentukan oleh dua buah parameter yaitu radius di ekuator a dan radius di kutub c (gambar 3.5), pengaruh kedua parameter tersebut kemudian dijabarkan sebagai parameter flattening.
f
ac a
11
besar parameter flattening yang dimiliki bumi adalah sebesar 1/298,257 yang berarti bahwa bentuk bumi menyerupai speroida, oleh karena itu persamaan gravitasi dapat diturunkan melalui persamaan yang lebih sederhana. Gaya gravitasi bumi dipengaruhi oleh bumi itu sendiri yaitu massa dan bentuk bumi dan gaya sentrifugal yang disebabkan oleh rotasi bumi. Potensial total speroida adalah jumlahan potensial gravitasi Ug dengan potensial rotasi Ur .
c r λ
a
Gambar 3.5. bumi dan parameter bentuk bumi.
U Ug Ur
(3.7)
dengan
1 U r 2 r 2 cos 2 2
(3.8)
ω adalah kecepatan sudut rotasi bumi dan λ adalah posisi lintang. Potensial gravitasi Ug harmonik dan unik di luar speroida dan dapat ditentukan melalui nilai potensial di permukaan speroida. Parameter yang digunakan untuk menentukan potensial speroida adalah f, a, massa total dari bumi dan ω.
Ug
GM GMa 2 J (3 sin 2 1) 3 r 2r
(2.9)
dengan
J
2f m 1.082626 x10 3 3
m adalah rasio gaya sentrifugal dengan gaya gravitasi di equator
m
2a GM
a2 12
m
2a3 GM
3.46775 x 10 3
dengan mensubtitusikan persamaan (3.8) dan (3.9) kedalam persamaan (3.7) maka potensial total speroida adalah
U Ug Ur
U
GM GMa 2 J 1 (3 sin 2 1) 2 r 2 cos 2 3 r 2 2r
(3.10)
sehingga gravitasi total yang berarah normal terhadap bidang speroida di bidang dan luar speroida adalah
g0 g0
U r
GM 3 GMa 2 J (3 sin 2 1) 2 r cos 2 2 4 2 r r
(3.11)
untuk menyederhanakan persamaan (3.11) maka r di rubah kedalam parameter a dan λ yaitu
r a(1 f sin 2 ) karena f bernilai kecil, dapat dilakukan ekspansi deret binomial untuk 1/r2
1 1 2 (1 2 f sin 2 ) 2 r a subtitusi ke persamaan (3.11) dan dengan mengandaikan r = a pada suku ketiga karena memiliki
nilai yang jauh lebih kecil daripada suku pertama sehingga
persamaan tersebut menjadi
g0
GM 3 GM (1 2 f sin 2 ) J (3 sin 2 1) 2 a(1 sin 2 ) 2 2 a2 a
g0
GM a2
3 9 2 1 2 J m 2 f 2 J m sin
(3.12)
untuk posisi di equator persamaan (3.12) menjadi
ge
GM 3 1 J m 2 a 2
(3.13)
dan dengan mensubtitusikan kembali ke persamaan (3.12)
g 0 g e (1 f | sin 2 )
(3.14)
dengan
f|
2 f 92 J m 1 32 J m 13
Dari penyelesaian nilai gravitasi diatas pada orde deret binomial yang lebih tinggi dapat diperoleh persamaan yang lebih akurat yang kemudian dapat digunakan untuk menghitung nilai g theoritis di tiap posisi lintang yaitu
g 0 g e (1 sin 2 sin 2 2 )
(3.15)
α dan β adalah nilai yang diperoleh dari parameter M, f, ω dan a . Karena berkembangnya pengetahuan mengenai parameter parameter tersebut begitu pula dengan speroida referensi, terdapat beberapa formula gravitasi teoritis international yang dimunculkan oleh International Association of Geodesy (IAG) dan International Union of Geodesy and Geophysics (IUGG) dari awal perkembangannya hingga beberapa puluh tahun belakangan ini yaitu
International Gravity Formula 1930
g 0 9,78049 (1 0,0052884 sin 2 0,0000059 sin 2 2 )
Geodetic Reference System 1967
g 0 9,78031846 (1 0,0053024 sin 2 0,0000058 sin 2 2 )
World Geodetic System 1984
g 0 9,7803267714
(1 0,00193185138639 sin 2 ) (1 0,00669437999013 sin 2 )
Penelaahan tentang konsep reduksi data gravitasi lebih mudah dipahami dengan cara menelaah terlebih dahulu arti anomali medan gravitasi. Secara matematis dapat didefinisikan bahwa anomali medan gravitasi di topografi atau di posisi (x,y,z) merupakan selisih dari medan gravitasi observasi di topografi terhadap medan gravitasi teoritis di topografi. Medan gravitasi teoritis yaitu medan yang diakibatkan oleh faktor-faktor non-geologi dan harganya dihitung berdasarkan rumusan-rumusan yang dijabarkan secara teoritis. Nilai Medan ini
dipengaruhi oleh letak lintang,
ketinggian, dan massa topografi di sekitar titik tersebut. Secara matematis, Anomali medan gravitasi di topografi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut : g(x,y,z) = gobs (x,y,z) – gTeoritis (x,y,z)
(3.16)
dengan g (x,y,z) merupakan anomali medan gravitasi di topografi, dan gobs(x,y,z) adalah medan gravitasi observasi di topografi yang sudah dikoreksikan terhadap koreksi pasang-surut, koreksi tinggi alat dan koreksi drift. Sedangkan gTeoritis ( x, y, z ) merupakan medan gravitasi teoritis di topografi. Medan gravitasi teoritis yang ditentukan lebih awal adalah medan gravitasi normal yang terletak pada bidang datum (pada ketinggian z = 0) sebagai titik referensi 14
geodesi. Rumusan medan gravitasi normal pada bidang datum ini telah ditetapkan oleh The International Association of geodesy (IAG) yang diberi nama Geodetic Reference System 1980 (GRS80) sebagai fungsi lintang (Joenil Kahar, 1990) yaitu : g() = 978032,700 (1 + 0,0053024 sin2 - 0,0000058 sni22) (mgal)
(3.17)
dengan adalah garis lintang. Dari persamaan (3.17) terlihat bahwa semakin tinggi letak lintangnya maka semakin besar percepatan gravitasinya. Jadi medan gravitasi bumi cenderung bertambah besar ke arah kutub.
III.5. Reduksi Free Air (Udara Bebas) Jika persamaan (3.17) sebagai medan gravitasi teoritis disubtitusikan ke persamaan (3.16) maka anomali medan gravitasi di topografi yang dihasilkannya belum dapat didefinisikan secara fisis. Hal ini disebabkan karena medan gravitasi nomal, g(), masih berada pada bidang datum (z = 0) sedangkan medan gravitasi observasinya, gobs (x,y,z), berada pada topografi. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan suatu teknik untuk membawa medan gravitasi normal yang berada pada bidang datum itu ke permukaan topografi, sehingga medan gravitasi normal dan medan gravitasi observasi sama-sama berada pada topografi. Teknik yang digunakan untuk mengatasinya yaitu dengan melakukan koreksi udara-bebas (free-air correction), yang besarnya adalah H g/r, dimana H adalah ketinggian di atas permukaan bumi. Untuk menghitungnya dapat menggunakan formula McCullagh (Grant and West, 1965) untuk potensial gravitasi pada sembarang titik di luar spheroida dengan eksentrisitas kecil dan berputar dg laju sudut :
U (r )
GM G 1 3 (C A)(1 3sin 2 ) 2 r 2 cos 2 r 2r 2
(3.18)
dimana C dan A adalah momen inersia axial dan equatorial dari bumi, sedangkan M adalah massa bumi, serta . Dengan mendeferensialkan persamaan (3.18) terhadap r untuk r = Re, akan diperoleh:
g 2U G 1 9G(c A) 1 2 2 5 [2MRe2 3(C A)] 2 9[ ] cos 2 r r 2 Re 2 Re5 2
(3.19)
Dengan memasukkan harga-harga astronomi untuk C, A, M dan Re, akan diperoleh:
g 0.9406 0.0007 cos 2 r
gu/ft
(3.20)
dimana gu adalah gravity unit dan 1 gu = 0.1 mgal.
15
Dengan memasukkan harga lintang satuan diubah dalam mgal/meter, harga pendekatan yang cukup baik adalah: gf.a. - 0,308765 h miligal/m
(3.21)
dengan h merupakan ketinggian stasiun dari datum. Persamaan (3.21) di atas disebut sebagai koreksi udara-bebas karena hanya memperhitungkan elevasi antara permukaan topografi (titik-titik observasi) dengan reference spheroid dengan mengabaikan massa. Dengan melibatkan reduksi free air sebagaimana di atas, maka g teoritis di permukaan topografi dapat dituliskan sebagai : gTeoritis (x,y,z) = g() + gf.a
(3.22)
Dengan koreksi udara-bebas ini maka diperoleh anomali medan gravitasi udara-bebas di topografi yang diformulasikan dalam persamaan berikut g(x,y,z)f.a. = gobs (x,y,z) – gTeoritis (x,y,z)
(3.23)
h
Gambar 3.6. Koreksi udara bebas.
Pada penghitungan anomali medan gravitasi udara-bebas (gambar 3.6), massa yang terletak antara datum dan permukaan topografi tidak diperhitungkan, padahal massa ini sangat mempengaruhi harga anomali medan gravitasi. Maka persamaan (3.20) akan lebih sempurna jika massa ini turut diperhitungkan. Grand and West, 1965, mendefinisikan bahwa massa yang terletak antara permukaan topografi dan bidang datum dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : a) Bagian massa yang terletak antara bidang Bouguer dengan bidang datum dimana efek dari massa ini disebut efek Bouguer. Anomali yang dihasilkan setelah dilakukan koreksi Bouguer terhadap anomali udara-bebas disebut anomali medan gravitasi Bouguer sederhana.
16
b) Bagian massa yang berada di atas bidang Bouguer dan bagian massa yang hilang di bawah bidang Bouguer. Efek dari massa ini disebut efek medan (terrain effect). Anomali yang dihasilkan setelah dilakukan koreksi medan terhadap anomali Bouguer sederhana disebut anomali medan gravitasi Bouguer lengkap. Secara matematis, anomali medan gravitasi Bouguer sederhana di topografi,
g B.L. ( x, y, z ) , dinyatakan oleh persamaan berikut : g B.S . ( x, y, z ) = gobs (x,y,z) – gTeoritis (x,y,z) . + gB
(3.24)
Sedangkan anomali medan gravitasi Bouguer lengkap di topografi adalah :
g B.L. ( x, y, z ) = gobs (x,y,z) – gTeoritis (x,y,z) . + gB - gT dengan gB
(3.25)
merupakan koreksi Bouguer dan gT adalah koreksi medan (terrain
correction). Anomali medan gravitasi Bouguer lengkap merefleksikan adanya variasivariasi densitas dalam kerak. Dengan dilakukannya koreksi Bouger tidak menghilangkan anomali massa yang terdapat di atas datum karena densitas massa yang digunakan dalam perhitungan koreksi Bouguer adalah densitas rata-rata dengan menganggap massa topografi bersifat homogen. Seperti halnya koreksi udara-bebas, dengan dilakukan koreksi Bouguer tidak berarti secara fisis memindahkan titik-titik amat ke ref spheroid, dan tidak menimbulkan diskontinyuitas densitas dari massa-massa yang berada di atas dan di bawah reference spheroid.
III.6. Model Koreksi Bouguer Model pendekatan terhadap koreksi Bouguer telah mengalami perkembangan dan pembaharuan. Model yang pertama dikenal adalah model slab horizontal tak hingga dengan ketebalan h relatif dari datum ke titik amat (stasiun). Besarnya koreksi Bouguer untuk model slab horizontal tak hingga adalah gB = 2 Gh
(3.26)
dengan adalah densitas massa Bouguer (massa topografi) dan h adalah ketinggian stasiun dari datum. Jika daerah penelitianya sangat luas, dari model ini akan terdapat banyak massa kosong yang turut menyumbang dalam penghitungan koreksi Bouguer. Di samping itu, secara geometris model ini kurang dapat dipertanggungjawabkan karena bentuk permukaan bumi tidak datar. Meskipun demikian, untuk daerah penelitian yang sempit (tidak luas) dan undulasinya kecil model ini masih signifikan digunakan karena makin sempit daerahnya maka secara geometris makin rendah derajat kelengkungannya atau makin mendekati bentuk datar. 17
III.7. Koreksi Medan Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat bagian massa yang berada di atas bidang Bouguer dan bagian massa yang hilang di bawah bidang Bouguer yang pada kenyataannya merepresentasikan keberadaan bukit dan lembah. Efek dari massa ini disebut efek medan (terrain effect). Adanya lembah akan mengurangi nilai medan gravitasi di titik pengamatan, demikian pula dengan adanya bukit mengakibatkan berkurangnya medan gravitasi di titik pengamatan. Massa bukit mengakibatkan terdapatnya komponen gaya ke atas yang berlawanan arah dengan komponen gaya gravitasi. Jadi adanya lembah dan bukit di sekitar titik pengamatan akan mengurangi besarnya medan gravitasi sebenarnya di titik tersebut, sehingga koreksi medan yang diperhitungkan selalu berharga positif. Pada penghitungan koreksi medan menggunakan metode yang diusulkan oleh Kane (1962). Metode ini didesain untuk menyeleksi data ketinggian disekitar stasiun gravitasi dimana koreksi medan akan dicari. Pada model ini dibuat grid dengan stasiun gravitasi sebagai pusatnya dan daerah perhitungan dibagi atas dua zona yaitu zona eksternal dan zona internal. Dengan menggunakan metode tersebut akan lebih efisien dalam perhitungan koreksi medan.
18
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN IV.1. Peralatan Peralatan utama yang digunakan untuk survey terdiri dari:
1 buah gravitymeter merk LaCoste&Romberg tipe G-1118.
2 buah GPS Trimble Tipe Geodetik
1 buah GPS Garmin 76-csx. Disamping perlatan utama, untuk kegiatan survey ini juga digunakan peralatan
pendukung untuk keperluan survey mapping. IV.2. Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan pada titik-titik yang memungkinkan pengambilan data, yaitu di sepanjang jalan beraspal, maupun pada lokasi-lokasi yang masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Distribusi titik diusahakan cukup menyebar di setiap sisi lerang gunung Merapi sampai ke puncak. Pengambilan data dilakukan secara bersama-sama antara data gravitasi dan data posisi. Pembacaan gravitymeter untuk tiap titik amat dilakukan sebanyak 3 kali pembacaan. Untuk penentuan posisi, dilakukan perekaman data dengan GPS selama minimal 15 menit untuk tiap titik amat. Jumlah data yang diukur adalah 418 titik amat, dengan sebagian besar berada pada area gunung Merapi. IV.3. Pengolahan Data Untuk pengolahan data gravitasi, secara umum dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: a. Pengolahan Awal -
Konversi ke mgal
-
Koreksi feedback (bila ada)
-
Koreksi Pasang Surut
-
Koreksi Drift
Hasil: Nilai G observasi (Gobs) b. Pengolahan Dasar -
Reduksi G normal
-
Reduksi Free Air
-
Reduksi Atmosfer
-
Reduksi Bouguer (densitas = 2,15 gr/cc)
-
Reduksi Medan 19
Hasil: Nilai Anomali Bouguer Lengkap (ABL) c. Pengolahan Lanjut -
Kontinuasi
-
Vertikal Derivatif
-
Horizontal Derivatif
-
Filtering
Analisis terhadap hasil pengolahan lanjut dilakukan secara kualitatif. d. Pemodelan dan Interpretasi -
Pemodelan tiap lintasan
-
Interpretasi
IV.4. Interpretasi. Untuk mendapatkan hasil akhir dari analisis data gravitasi, maka interpretasi dilakukan dengan membuat model bawah permukaan pada lintasan yang telah ditentukan. Pemodelan dilakukan pada ABL yang telah dibawa ke bidang datar. Pengolahan dengan pemisahan anomali lokal-regional tidak dilakukan karena ABL di bidang datar telah cukup baik untuk dimodelkan. Dengan demikian model yang dibuat nantinya akan mempertimbangkan anomali regional yang dikurangkan langsung saat membuat model bawah permukaan. Selain itu pemodelan juga mempertimbangkan keberadaan kantong magma di gunung Merbabu dan gunung Merapi. Pengolahan data sampai dengan sampai dengan ABS dilakukan dengan Excell, sedangkan penggambaran anomali dan pembuatan model bawah permukaan dilakukan dengan menggunakan software Geosoft.
20
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN V.1. Gravitasi Observasi dan Topografi. Dari data yang diukur di lapangan, dilakukan pengolahan untuk data topografi dan pengolahan awal data gravitasi sehingga didapat nilai gravitasi observasi (Gobs). Kontur topografi diperlihatkan pada gambar 5.1. Sedangkan kontur Gobs diperlihatkan pada gambar 5.2. Nilai topografi berkisar antara 140 s/d 3100 meter, sedangkan nilai Gobs berkisar antara 977728 s/d 978215 mgal.
Gambar 5.1. Kontur topografi dari hasil pengamatan dengan menggunakan GPS sebanyak 418 titik yang sebarannya diperlihatkan dengan titik-titik hitam.
21
Gambar 5.2. Kontur Gobs dari hasil pengamatan dengan menggunakan gravitymeter LaCoste & Romberg sebanyak 418 titik yang sebarannya diperlihatkan dengan titik-titik hitam.
Dengan memperhatikan gambar 5.1 dan 5.2, maka terlihat jelas adanya korelasi antara data gravitasi dan topografi. Secara teoritis, semakin tinggi topografi maka semakin rendah nilai gravitasinya. Hal ini terbukti bila membandingkan kedua gambar tersebut. Pada topografi yang tinggi, yaitu di puncak-puncak gunung Merapi dan Merbabu, Gobs akan bernilai paling rendah. Dan sebaliknya pada tempat-tempat yang bertopografi rendah, Gobs bernilai tinggi.
22
V.2. Anomali Udara Bebas (FA Anomaly). Gravitasi Observasi adalah nilai medan gravitasi pada suatu tempat. Besar nilai ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain yang paling utama adalah bentuk bumi yang ellips atau yang sering disebut dengan bentuk bumi teoritis. Bentuk bumi tersebut akan menghasilkan nilai gravitasi teoritis, yang disebut dengan Gnormal. Selain itu nilai Gobs juga dipengaruhi oleh ketinggian titik amat karena topografi.
Gambar 5.3. Anomali Udara Bebas (FA Anomaly) Gunung Merapi dan Merbabu. Warna biru bernilai rendah dan warna merah bernilai tinggi.
23
Dalam eksplorasi gravitasi yang bertujuan untuk melihat kondisi bawah permukaan berdasarkan variasi nilai gravitasi, kedua faktor di atas harus dihilangkan. Untuk itu dilakukan reduksi dengan menggunakan rumus gravitasi teoritis dan reduksi udara bebas. Hasil reduksi kedua faktor disebut Anomali Udara Bebas atau Free Air Anomaly (FAA). Pada penelitian ini, FAA dapat dilihat pada gambar 5.3. Dari gambar 5.3, nilai FAA berkisar antara 61 s/d 200 mgal, dan masih memprilhatkan pola yang berkebalikan dengan Gobs, yang artinya mempunyai pola yang yang sama dengan topografi. Hal ini memperlihatkan bahwa, walaupun sudah direduksi efek ketinggian titik amat (reduksi udara bebas), tetapi masih terjadi adanya korelasi yang positif antara topografi dan FAA. V.3. Anomali Bouguer Sederhana (ABS) atau Simple Bouguer Anomaly (SBA). Reduksi udara bebas yang menghasilkan Anomali Udara Bebas masih memperlihatkan koelasi dengan topografi. Hal ini disebabkan reduksi udara bebas hanya memperhitungkan ketinggian titik amat tanpa menghilangkan pengaruh adanya massa antara titik amat dengan datum yang digunakan (dalam ini spheroida referensi). Untuk menghilangkan pengaruh massa tersebut dilakukan reduksi Bouguer. Sebelum melakukan reduksi Bouguer, maka perlu ditentukan terlebih dahulu densitas yang akan digunakan dalam perhitungan reduksi tersebut. Densitas ini disebut dengan densitas Bouguer. Untuk menentukan densitas Bouguer dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang sering digunakan dalam eksplorasi gravitasi adalah metode Nettleton. Metode ini menganalisis korelasi antara ABS (pada densitas tertentu) dengan ketinggian titik amat. Densitas yang digunakan adalah saat ABS memperlihatkan tidak ada korelasi dengan ketinggian titik amat. Pada prakteknya metode Nettleton dapat dilakukan secara visual maupun analitis. Secara visual yaitu dengan menggunakan profil ABS bersama-sama dengan ketinggian titik amat. Dengan menvariasi densitasnya, maka akan diperoleh variasi ABS, dan dicari yang tidak berkorelasi dengan profil ketinggian titik amat. Cara ini kadang melibatkan subyetivitas pengamat. Cara yang kedua adalah secara analitis, yaitu dengan perhitungan korelasi antara ABS dan ketinggian titik amat semua data di area survey. Denga variasi densitas Bouguer, maka akan diperoleh variasi nilai korelasi. Dari nilai-nilai itu dipilih nilai korelasi nol, yang berarti tidak berkorelasi, untuk menentukan densitasnya. Dalam penelitian ini digunakan cara analitis, dan didapat nilai densitas 2,15 gram/cc untuk densitas Bouguer. Gambar 5.4. memperlihatkan ABS dengan menggukan densitas Bouguer 2,15 gram/cc. 24
Gambar 5.4. Anomali Bouguer Sederhana (ABS) dengan menggunakan densitas Bouguer 2,15 gram/cc, dan sebaran titik amat (warna hitam).
Dari gambar 5.4 terlihat bahwa ABS bernilai antara 10 s/d 110 mgal, dan mempunyai pola yang sudah berbeda dengan Gob, FAA, dan topografi. Secara umum nilai ABS semakin rendah ke arah utara. Bagian selatan mempunyai nilai yang tinggi, dan berangsur-angsur turun saat semakin ke utara. Kemungkinan penyebabnya 25
adalah zona subduksi yang semakin dalam saat semakin ke utara. Namun demkian anomali negatif juga terlihat di puncak-puncak gunung Merapi dan Merbabu, dan di sebelah timur puncak gunung Merbabu.
V.4. Anomali Bouguer Lengkap (ABL) atau Complete Bouguer Anomaly (CBA). Reduksi Bouguer menggunakan slab tak hingga, artinya massa antara titik amat dengan datum yang diperhitungkan tidak memperhatikan topografi di sekitar titik amat. Dengan demikian adanya bukit (kelebihan massa) dan lembah (defisit massa) diandaikan tidak ada. Untuk melengkapi reduksi Bouguer yang memperhitungkan bukit dan lembah, maka perlu dilakukan reduksi medan (terrain reduction). Hasil dari reduksi medan, maka anomali yang dihasilkan adalah Anomali Bouguer Lengkap (ABL) atau Complete Bouguer Anomaly (CBA), dapat dilihat pada gambar 5.5. Dari gambar 5.5 terlihat bahwa ABL bernilai antara 12 s/d 110 mgal, dan mempunyai pola yang sudah berbeda dengan ABS, terutama daerah tubuh gunung Merapi dan Merbabu sampai ke puncaknya. Pada puncak-puncak gunung nilai ABL relatif positif, yang memperlihatkan adanya kelebihan massa, atau massa dengan densitas yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa pada tubuh gunung Merapi dan Merbabu masih terdapat magma yang mempunyai densitas lebih besar dibandingkan dengan batuan di sekitarnya. Bagian lainnya masih terlihat sama, yaitu bagian selatan mempunyai nilai yang tinggi, dan berangsur-angsur turun saat semakin ke utara. Penyebabnya adalah zona subduksi yang lempengnya menunjam semakin dalam ke arah utara.
V.5. Transformasi ABL ke Bidang Data. ABL yang dihasilkan dari reduksi medan, sebagaimana anomali-anomali sebelumnya tidak mengubah posisi titik amat. Itu berarti titik amat masih berada di topografi. Untuk memudahkan dalam peroses kontinuasi dan pemodelan, maka diperlukan distribusi titik yang terletak di bidang datar (atau topografi sama). Untuk itu ABL yang berada di topografi perlu ditransformasikan ke suatu bidang datar. Metode transformasi yang digunakan diadopsi dari metode Damney, yang sering disebut dengan metode Ekuivalen Titik Massa. Metode Damney Ekuivalen Titik Massa, dilakukan dengan membuat bidang ekuivalen yang berisi titik-titik massa pada kedalaman tertentu. Penentuan kedalaman dibatasi pada kedalaman 2,5 s/d 6 kali spasi titik amat, terhadap ketinggian rata-rata titik amat. Pada penelitian ini, bidang ekuivalen terletak pada kedalaman 1500 meter di bawah msl. 26
Gambar 5.5. Anomali Bouguer Lengkap (ABL) dengan menggunakan densitas Bouguer 2,15 gram/cc, dan sebaran titik amat (warna hitam).
Proses berikutnya adalah menentukan ketinggian bidang datar, yang secara sederhana ditetapkan sesuai dengan ketinggian maksimum titik amat. Pada penelitian ini bidang datar yang digunakan adalah 3300 meter, sesuai dengan ketinggian puncak gunung Merbabu, yang merupakan ketinggian maksimum titik amat. Hasil transformasi ke bidang datar dapat dilihat pada gambar 5.6. 27
Gambar 5.6 memperlihatkan pola yang lebih sederhana dibandingkan anomalianomali lainnya. Keberadaan gunung Merapi dan Merbabu tergambar sangat jelas pada anomali tersebut, yaitu mempunyai nilai maksimum. Pola anomali menurun ke arah utara tidak lagi terlihat, yang artinya ABL di bidang datar tidak lagi dipengaruhi oleh keberadaan struktur regional, yaitu zona subduksi sebagaimana pada ABS dan ABL di topografi.
Gambar 5.6. Anomali Bouguer Lengkap (ABL) di bidang datar hasil dari transformasi ekuivalen titik massa Damney. Kedalaman bidang ekuivalen adalah 1500 meter di bawah msl, sedangkan bidang datar adalah 3300 meter di atas msl. Garis hitam adalah profil yang akan dibuat model bawah permukaannya.
28
Untuk mendapatkan model bawah permukaan, maka dibuat sayatan yang diperlihatkan garis hitam pada gambar 5.6. Sayatan dibuat melintang utara-selatan dengan melewati puncak-puncak gunung Merbabu dan Merapi, serta area dengan anomali minimum. Hal ini dimaksudkan untuk mendapat gambaran perbandingan keberadaan kantong magma di tubuh gunung Merapi dan Merbabu. V.6. Pemodelan 2,5D Gunung Merapi dan Merbabu. Pembuatan model bawah permukaan dilakukan dengan menggunakan sofware Geosoft. Model menggunakan asumsi 2,5D, yaitu model 2D dengan panjang strike terbatas. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 5.7.
Gambar 5.7. Model bawah permukaan sayatan utara-selatan hasil analisis data anomali gravitasi.
Model bawah permukaan di bawah gunung Merapi dan Merbabu, terdiri dari 5 perlapisan batuan, yaitu: -
Paling atas dengan densitas 2,15 gr/cc adalah piroklastik hasil aktivitas gunung Merapi dan Merbabu, dengan ketebalan berkisar puluhan sampai ratusan meter. Ketebalan lapisan di sebelah utara gunung Merbabu lebih tipis bila dibandingkan dengan di sebelah selatan gunung Merapi. - Di bawahnya terdapat lapisan dengan densitas 2,40 gr/cc. Pola perlapisannya mempunyai kesamaan dengan lapisan di atasnya, sehingga lapisan ini diinterpretasi sebagai lapisan produk aktivitas gunung Merapi dan Merbabu, tetapi lebih tua. 29
- Di bawah kedua lapisan tersebut terdapat batuan dengan densitas 2,60 gr/cc. Di dalam batuan tersebut, terdapat kantong magma di bawah puncak gunung Merapi dan Merbabu. - Di bawahnya terdapat lapisan ke empat, batuan dengan densitas 2,80 gr/cc. Batuan inilah yang akan menjadi basement bagi batuan yang lain. Bidang batas lapisan batuan ini terletak pada kedalaman 5 km s/d 8 km di bawah msl. Bidang batas ini bervariasi dan menebal di bagian tengah, terutama di bawah gunung Merbabu. - Yang paling bawah adalah lapisan batuan dengan densitas 3,00 gr/cc, terletak pada kedalaman 11 km di bawah msl. Selain kelima lapisan batuan tersebut, terdapat model kantong magma di bawah gunung Merbabu dan Merapi. Kantong magma gunung Merbabu mempunyai kedalaman 4,5 km di bawah puncak dengan densitas 2,75 gr/cc. Sedangkan di bawah Merapi terdapat 2 kantong magma, dengan kantong magma atas pada kedalaman 500 meter di bawah puncak, dan kantong magma bawah pada kedalaman 3,2 km di bawah puncak. Densitas kantong magma di bawah Merapi adalah 2,70 gr/cc. Densitas batuan kantong magma di bawah gunung Merbabu lebih besar dibandingkan dengan kantong magma di bawah gunung Merapi. Demikian juga dengan kedalaman kantong magma. Kedua hal ini dapat menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa gunung Merbabu lebih diam dibandingkan dengan gunung Merapi, walaupun kedua gunung terletak berdekatan.
30
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1. Kesimpulan. Dari hasil analisis data, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Terdapat lima perlapisan batuan dengan densitas yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Lapisan pertama mempunyai densitas 2,15 gr/cc, kedua dengan densitas 2,40 gr/cc, ketiga dengan densitas 2,60, keempat dengan densitas 2,80 gr/cc, dan paling dalam dengan densitas 3,00 gr/cc. 2. Terdapat 2 kantong magma di bawah gunung Merapi, sementara hanya 1 kantong magma di bawah gunung Merbabu. 3. Kedalaman kantong magma gunung Merbabu terletak lebih dalam dibandingkan dengan kedalaman kantong magma gunung Merapi. 4. Densitas kantong magma gunung Merbabu lebih besar dibandingkan dengan densitas kantong magma gunung Merapi.
VI.2. Saran. Untuk memperbaiki hasil yang telah didapatkan, maka disarankan beberapa hal, antara lain: 1. Pemodelan dilakukan tidak hanya pada satu sayatan saja, tetapi dengan membuat beberapa sayatan yang lain, sehingga hasil akhir dari pemodelan adalah model 3D. 2. Dilakukan analisis dengan beberapa metode lainnya, misalkan SVD (Second Vertical Derivative), FHD (First Horizontal Derivative), yang umumnya digunakan untuk memperjelas adanya struktur-struktur geologi.
31
DAFTAR PUSTAKA Arsadi, E.M., Suparka, S. and Nishimura, S., 1995, Subsurface structure of Merapi inferred form magnetikotelluric, gravimetric and magnetikic surveys, Paper presented at Merapi Decade Volcano International Workshop, October 5-9, Yogyakarta, Indonesia. Talwani, M., Worzel, J.L., and Landisman, M., 1965, Geophysics, vol.64, page. 49-59. Van Bemmelen, R.W., 1949, The geologi of Indonesia, v.IA, General Geologi, Government publisher, The Hague. www.merapi.bgl.esdm, 2011, diunduh 20 April 2011.
32