PEMODELAN BALITA GIZI BURUK DI KABUPATEN NGAWI DENGAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION Latifah Ayunin1 dan Sutikno2 1
Mahasiswa Jurusan Statistika, ITS, Surabaya Dosen Pembimbing, Jurusan Statistika, ITS, Surabaya
[email protected];
[email protected] 2
Abstrak Status gizi balita merupakan salah satu indikator kesehatan yang paling sensitif untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat di suatu negara. Faktor penyebab masalah gizi dapat berbeda antar wilayah atau antar kelompok masyarakat sehingga dalam penelitian ini digunakan metode Geographically Weighted Regression (GWR) untuk mendapatkan faktor penyebab gizi buruk di tiap kecamatan di Kabupaten Ngawi. GWR merupakan metode statistika yang digunakan untuk menganalisis heterogenitas spasial. Heterogenitas spasial merujuk pada variasi yang terdapat di setiap lokasi. Aspek spasial penting untuk dikaji pada kejadian gizi buruk karena adanya keragaman karakteristik antar wilayah, selain itu faktor geografis merupakan salah satu penyebab kesenjangan status gizi antar wilayah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola persebaran kejadian gizi buruk di Kabupaten Ngawi menunjukkan pola menyebar sehingga diindikasikan bahwa terdapat variasi secara spasial. Model GWR menghasilkan R2 lebih besar daripada model OLS (ordinary least square), yaitu 96,79%, dan sum squares error (SSE) yang lebih kecil, yaitu 0,5784. Faktor geografis nyata berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk di Kabupaten Ngawi sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gizi buruk berbeda-beda antar kecamatan. Kata kunci: Geographically Weighted Regression, Gizi Buruk, Heterogenitas Spasial, OLS.
gizi buruk, termasuk ke dalam kelompok menengah dengan 4,80 persen balita digolongkan gizi buruk. Jawa Timur termasuk ke dalam empat provinsi yang selama 5 tahun berturut-turut (2005-2009) berada pada kategori 10 provinsi dengan kasus balita gizi buruk tertinggi (Siswono, 2010). Tingkat balita gizi buruk di tiap kabupaten/kota di Jawa Timur sangat beragam. Kabupaten Ngawi merupakan salah satu daerah dengan tingkat balita menderita gizi buruk cukup tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi, pada tahun 2008 dari jumlah balita ditimbang di Ngawi sebanyak 37.322 terdapat 262 balita menderita gizi buruk. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada tahun 2007 yaitu sebanyak 257 balita menderita gizi buruk. Kabupaten Ngawi merupakan salah satu dari sepuluh daerah yang menjadi sasaran monitoring dan evaluasi penanganan gizi buruk atau kekurangan gizi pada balita di Provinsi Jawa Timur. Hal ini dikarenakan sepuluh daerah tersebut termasuk dalam daerah merah atau daerah yang termasuk dalam kategori gizi buruk berdasarkan data yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim (Anonim, 2011). Masalah gizi memiliki dimensi yang luas, tidak hanya merupakan masalah kesehatan tetapi juga meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, pola asuh, pendidikan dan lingkungan. Pendekatan penanggulangan masalah gizi harus melibatkan berbagai sektor yang terkait dan upaya perbaikan gizi pada balita dapat
1.
PENDAHULUAN Status gizi masyarakat merupakan salah satu indikator kesehatan yang paling sensitif untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat di suatu negara. Status gizi masyarakat sering digambarkan dengan tingkat masalah gizi pada kelompok balita. Persoalan gizi pada kelompok balita masih menjadi masalah serius bagi sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia. Balita digolongkan gizi kurang atau gizi buruk berisiko memiliki masa depan suram karena dampak jangka panjang dari kurangnya gizi mereka. Kekurangan gizi dapat berakibat pada menurunnya tingkat kecerdasan anak-anak. Menurunnya kualitas manusia usia muda berarti hilangnya sebagian besar potensi pandai yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan bangsa. Secara umum prevalensi gizi buruk di Indonesia pada tahun 2008 adalah 5,4 persen dan gizi kurang 13,0 persen atau 18,4 persen untuk gizi buruk dan kurang (Depkes RI, 2009). Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2015 sebesar 20 persen dan target MDGs (Millenium Development Goals) untuk Indonesia sebesar 18,5 persen maka secara nasional target-target tersebut sudah terlampaui. Walaupun target nasional tercapai, namun pencapaian tersebut belum merata di setiap provinsi. Di antara provinsi di Indonesia pada tahun 2007, posisi Jawa Timur jika dilihat dari tingkat status 1
dilakukan dengan mengkaji lebih dalam faktor yang mempengaruhi gizi buruk pada balita. Faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi dapat berbeda antar wilayah ataupun antar kelompok masyarakat, bahkan dapat berbeda antar kelompok usia balita (Lestrina, 2009). Faktor geografis merupakan salah satu penyebab kesenjangan status gizi antar wilayah. Faktor geografis berpengaruh pada mobilitas penduduk dan akses masyarakat terhadap pangan, pelayanan gizi dan kesehatan primer maupun rujukan. Penelitian tentang gizi buruk telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya Andarwati (2007), Paramita (2008), Hayati (2009), dan Riskiyanti (2010). Andarwati (2007) meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita pada keluarga petani di Kabupaten Wonosobo. Penelitian tersebut mengkaji hubungan secara parsial antara variabel respon dengan tiap variabel prediktor dengan menggunakan uji Chi-square. Paramita (2008) melakukan klasifikasi terhadap status gizi balita di Kabupaten Nganjuk. Metode yang digunakan adalah bagging regresi logistik ordinal. Hayati (2009) melakukan pengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Timur berdasarkan status gizi buruk balita. Riskiyanti (2010) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan di Provinsi Jawa Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah analisis regresi multivariat. Di Indonesia penelitian mengenai balita gizi buruk sudah banyak dilakukan, namun penelitian yang mengkaji tentang balita gizi buruk dan faktor-faktor yang mempengaruhi dengan mempertimbangkan aspek spasial masih terbatas. Aspek spasial penting untuk dikaji karena adanya keragaman karakteristik antar wilayah. Keragaman karakteristik antar kecamatan di Ngawi menentukan kualitas kesehatan pada wilayah tersebut. Sehingga cukup beralasan apabila faktor yang signifikan terhadap variabel respon, yang dalam penelitian ini adalah balita gizi buruk di Ngawi, tentu akan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu metode permodelan statistik dengan memperhitungkan aspek spasial. Dengan menggunakan metode Geographically Weighted Regression (GWR) diharapkan mampu menghasilkan model balita gizi buruk yang spesifik di tiap wilayah sehingga semakin informatif dan aplikatif. Beberapa penelitian yang menggunakan GWR mempunyai kinerja cukup baik, seperti penelitian yang dilakukan oleh Propastin, Kappas dan Stefan (2007) dan Arumsari dan Sutikno (2010). Propastin et al. (2007) meneliti tentang hubungan spasial antara NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan dua faktor iklim, yaitu curah hujan dan suhu. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa model GWR memiliki kinerja lebih baik dibandingkan model ordinary least square (OLS) dengan pertimbangan adanya variasi spasial. Arumsari dan Sutikno (2010)
meneliti tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada kejadian diare di Kabupaten Tuban. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa model GWPR memiliki nilai R-square terbesar dan AICc terkecil dibandingkan model regresi OLS dan poisson. Penelitian ini membahas mengenai gambaran kejadian balita gizi buruk dan faktor-faktor yang mempengaruhi melalui peta tematik serta menyusun model regresi untuk mendapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian balita gizi buruk untuk tiap kecamatan di Kabupaten Ngawi. 2.
MODEL REGRESI Analisis regresi merupakan suatu analisis yang digunakan untuk membuat model atau pola hubungan antara variabel prediktor dan variabel respon. Model persamaan regresi tersebut dapat dituliskan dalam persamaan matematis sebagai berikut (Fotheringham, Brunsdon, dan Charlton, 2002). =
+
+
; = 1, 2, . . , ;
= 1,2, … ,
(1)
Model regresi klasik biasanya didefinisikan untuk model regresi linier berganda dengan metode estimasi parameter ordinary least square (OLS). Metode OLS digunakan dengan tujuan untuk meminimumkan sisaan (error). Dalam melakukan analisis regresi harus memenuhi beberapa asumsi tertentu terhadap residual, yaitu independen, identik dan berdistribusi normal N(0,σ2). Anselin (1988) menjelaskan bahwa karakteristik data spasial yaitu memiliki sifat error yang saling berkorelasi (dependensi spasial) dan atau heterogenitas spasial. Dependensi spasial menunjukkan bahwa pengamatan di suatu lokasi bergantung pada pengamatan di lokasi lain yang letaknya berdekatan. Pengukuran dependensi spasial dapat menggunakan Moran’s I. Pengujian dependensi spasial menggunakan hipotesis sebagai berikut. H0 : λ = 0 (tidak ada dependensi dalam error) H1 : λ ≠ 0 (ada dependensi dalam error) H0 ditolak jika |ZI| > Zα/2, dimana nilai ZI didapat melalui =
− ()
(2)
()
dengan = ( / )[
]/ ′
E(I) = (n/s) tr(MW)/(n – k) ( )=
( / ) [ (
’) + ( – E( )
) +( (
))
Dimana e merupakan vektor residual model regresi OLS, W merupakan matriks penimbang spasial, s merupakan jumlah seluruh elemen dari matriks penimbang spasial dan M = (I – X(X’X)-1X’). Heterogenitas spasial merujuk pada variasi yang terdapat di setiap lokasi. Terjadinya heterogenitas spasial dapat disebabkan oleh kondisi unit-unit spasial di dalam suatu wilayah penelitian yang pada dasarnya 2
tidaklah homogen. Heterogenitas data secara spasial dapat diuji dengan menggunakan statistik uji BreuschPagan (BP) yang mempunyai hipotesis sebagai berikut. H0 : σ12 = σ22 = … = σn2 = σ2 H1 : minimal ada satu σi2 ≠ σ2 Nilai uji BP adalah BP = (1/2)fTZ(ZTZ)-1ZTf (3) dengan elemen vektor f adalah =
Dimana = ( − ) + ( − ) adalah jarak euclidean antara pengamatan pada titik ke-i dan ke-j, b merupakan bandwidth. Bandwidth dapat dianalogikan sebagai radius dari suatu lingkaran, sehingga sebuah titik yang berada di dalam radius lingkaran masih dianggap memiliki pengaruh. Di dalam pembentukan sebuah model GWR, bandwidth berperan sangat penting karena akan berpengaruh pada ketepatan model terhadap data, yaitu mengatur varians dan bias dari model. Nilai bandwidth yang sangat kecil akan menyebabkan varians menjadi semakin besar. Sebaliknya nilai bandwidth yang besar dapat menimbulkan bias yang semakin besar. Pemilihan bandwidth yang optimal dapat menggunakan kriteria Cross Validation (CV) sebagai berikut.
−1
dimana ei merupakan least square residual untuk observasi ke-i dan Z merupakan matriks berukuran n x (p+1) yang berisi vektor yang sudah dinormalstandarkan (z) untuk setiap observasi. Tolak H0 bila BP > χ2 (p). Geographically Weighted Regression (GWR) adalah metode statistika yang digunakan untuk menganalisis heterogenitas spasial. Model GWR merupakan pengembangan dari model regresi global pada persamaan (1). Model ini merupakan model regresi linier lokal yang menghasilkan penaksir parameter model yang bersifat lokal untuk setiap titik atau lokasi dimana data tersebut dikumpulkan. Model GWR dapat ditulis dalam persamaan sebagai berikut (Fotheringham et al., 2002). =
( ,
)+
( ,
)
+
; = 1, 2, … ,
CV =
)=(
( ,
) )
( , )
(4)
∗
⁄
( )]
(7)
(
=
(
)/[ ⁄ ] )/ − − 1
(8)
dimana SSE (H0) merupakan SSE untuk regresi global dan SSE (H1) merupakan SSE untuk model GWR. Jika hipotesis null (H0) adalah benar berdasarkan data yang diberikan, maka nilai SSE (H0) akan sama dengan nilai SSE (H1). Akibatnya ukuran SSE (H1)/SSE (H0) akan mendekati satu, sebaliknya jika H0 tidak benar maka nilainya cenderung mengecil (Leung et. al., 2000 dalam Sugiyanto, 2008). Pengujian parameter model dilakukan dengan menguji parameter secara parsial. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui parameter mana saja yang signifikan mempengaruhi variabel responnya. Bentuk hipotesisnya adalah sebagai berikut. H0 : βk(ui,vi) = 0 H1 : βk(ui,vi) ≠ 0 ; k = 1,2, …, p Statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
(5)
dimana merupakan estimasi dari β dan W(ui,vi) adalah matrik diagonal pembobot yang elemen diagonalnya menunjukkan pembobot yang bervariasi dari setiap prediksi parameter pada lokasi i. Salah satu bobot fungsi kernel yang digunakan adalah fungsi Gaussian sebagai berikut. = exp − 1⁄2
−
( ) merupakan nilai penaksir yi dengan Dimana pengamatan pada lokasi (ui,vi) dihilangkan dari proses penaksiran. Nilai bandwidth yang optimal ditunjukkan dengan skor CV minimum. Dalam mengkaji prosedur pengujian model GWR dilakukan pengujian untuk mendeteksi apakah model GWR dapat menjelaskan model lebih baik dibandingkan dengan model OLS atau tidak. Bentuk hipotesis dari pengujian ini adalah sebagai berikut. H0 : βk(ui,vi) = βk, k = 1,2,…,p H1 : paling sedikit ada satu βk(ui,vi) ≠ βk Statistik uji yang digunakan yaitu
Dimana yi merupakan nilai observasi variabel respon ke-i, xik adalah nilai observasi variabel prediktor k pada pengamatan ke-i, ui,vi merupakan titik koordinat (bujur, lintang) lokasi i, β0(ui,vi) adalah nilai intercept model regresi GWR, βk(ui,vi) adalah koefisien regresi dan ε adalah random error dengan asumsi independen, identik dan berdistribusi normal N(0, σ2). Berbeda dengan regresi global yang nilai parameter modelnya konstan, maka parameter model GWR berbeda-beda pada setiap lokasi. Data observasi yang berdekatan dengan titik ke-i mempunyai ( , ) pengaruh yang besar pada estimasi dibandingkan data yang berada jauh dari titik ke-i. Model GWR mengukur hubungan model pada semua titik ke-i. Koefisien GWR diprediksi secara independen pada setiap lokasi dengan menggunakan metode weighted least squares (WLS), yaitu dengan memberikan pembobot yang berbeda untuk setiap lokasi (Charlton dan Fotheringham, 2009). Estimasi parameter model GWR untuk setiap lokasinya adalah ( ,
[
=
( ,
)
(9)
Dimana gkk adalah elemen diagonal ke-k dari matrik GGT dengan G = (XTW(ui,vi)X)-1 XTW(ui,vi). T akan mengikuti distribusi t dengan derajat bebas [ ⁄ ]. Jika diberikan taraf signifikansi sebesar α, maka keputusan diambil dengan menolak H0 jika nilai | |> .
(6)
;
3
prediktor adalah rasio jumlah sarana kesehatan dengan jumlah balita (X1), persentase bayi mendapat ASI eksklusif (X2), persentase balita mendapat vitamin A (X3), persentase rumah tangga yang dapat mengakses air bersih (X4), persentase bayi BBLR (X5), dan persentase rumah tangga miskin (X6). Tahapan analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk menjawab tujuan pertama dilakukan dengan mendeskripsikan variabel kejadian gizi buruk dan variabel-variabel prediktor yang meliputi rasio jumlah sarana kesehatan dengan jumlah balita, persentase bayi mendapat ASI eksklusif, persentase balita mendapat vitamin A, akses air bersih, bayi BBLR, dan persentase rumah tangga miskin dengan menggunakan peta tematik. 2. Untuk menjawab tujuan kedua dilakukan dengan menyusun model regresi. a. Mengidentifikasi pola hubungan antara variabel kejadian gizi buruk dan masing-masing variabel prediktor rasio jumlah sarana kesehatan dengan jumlah balita, persentase bayi mendapat ASI eksklusif, persentase balita mendapat vitamin A, akses air bersih, bayi BBLR, dan persentase rumah tangga miskin, dengan menggunakan scatterplot dan analisis korelasi. b. Memodelkan kejadian balita gizi buruk dan variabel prediktornya dengan regresi OLS. c. Menguji asumsi residual IIDN (0,σ2) pada model regresi OLS. d. Memodelkan kejadian balita gizi buruk dan variabel prediktornya dengan regresi spasial melalui pendekatan titik. i) Menentukan nilai bandwidth optimum berdasarkan kriteria Cross Validation (CV). Perhitungan CV dilakukan hingga mendapatkan nilai CV minimum. ii) Menentukan matriks pembobot dengan menggunakan fungsi kernel Gaussian. iii) Menaksir parameter model GWR dengan menggunakan bandwidth optimum. e. Membandingkan hasil yang didapat antara pemodelan dengan regresi OLS dan GWR dengan menggunakan kriteria R2 dan sum squares error (SSE). f. Melakukan uji kesesuaian model untuk melihat apakah faktor geografi berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk. g. Melakukan uji signifikansi parameter secara parsial untuk mendapatkan variabel yang signifikan pada tiap kecamatan.
3.
DEFINISI GIZI BURUK Gizi buruk merupakan bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan energi dan protein menahun pada balita. Kekurangan Energi Protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan seharihari dan atau gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2002). Keadaan gizi buruk pada masa bayi dan balita memiliki tanda-tanda klinis kwashiorkor, marasmus, dan kwashiorkor-marasmik. Penentukan klasifikasi status gizi yang digunakan di Indonesia adalah merujuk pada WHO-NCHS (National Centre for Health Statistics, USA). Klasifikasi status gizi masyarakat menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI tahun 1999 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun 1999 Kategori Cut of Point* >120% median BB/U baku WHO-NCHS, Gizi lebih 1983 80% - 120% median BB/U baku WHOGizi baik NCHS, 1983 70% - 79,9% median BB/U baku WHOGizi sedang NCHS, 1983 60% - 69,9% median BB/U baku WHOGizi kurang NCHS, 1983 <60% median BB/U baku WHO-NCHS, Gizi buruk 1983 * Laki-laki dan perempuan sama
Unicef dan Johnson (1992) dalam Supariasa et al. (2002) menyajikan model interalasi tumbuh kembang anak dengan melihat penyebab dasar, sebab tidak langsung dan sebab langsung. Sebab langsung adalah kecukupan makanan dan keadaan kesehatan. Penyebab tidak langsung meliputi ketahanan makanan keluarga, asuhan bagi ibu dan anak, serta pemanfaatan layanan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Sedangkan faktorfaktor yang mempengaruhi status balita gizi buruk secara tidak langsung menurut Hayati (2009) antara lain tingkat pendidikan ibu, kondisi tempat tinggal, ketersediaan pangan, ketersediaan air bersih, sanitasi lingkungan, pelayanan gizi dan penyuluhan perilaku sehat. 4.
METODOLOGI PENELITIAN Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi dan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur. Data ini mencakup data balita gizi buruk dan faktor-faktor yang mempengaruhi status balita gizi buruk tahun 2009 di 19 kecamatan di Kabupaten Ngawi. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel respon dan variabel prediktor. Variabel respon adalah kejadian gizi buruk. Variabel
5.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data Dinkes Kabupaten Ngawi tahun 2009, jumlah balita gizi buruk sebanyak 389 anak, dengan keragaman antar kecamatan adalah 0,31 persen. Persentase kejadian gizi buruk tertinggi terjadi di Pangkur (2,42 persen), sedangkan terendah yaitu di
4
persen), sedangkan terendah terjadi di Kecamatan Geneng, yaitu sebesar 6,88 persen dengan tingkat keragaman antar kecamatan sebesar 53,39 persen. Pola hubungan antar variabel dapat diidentifikasi melalui scatterplot seperti disajikan pada Gambar 2 sebagai berikut.
Kendal (0,29 persen). Berdasarkan persebarannya, persentase kejadian balita gizi buruk di Kabupaten Ngawi menyebar antar kecamatan, seperti yang disajikan pada Gambar 1. Terdapat 3 kecamatan yang memiliki persentase kejadian gizi buruk yang tergolong sangat rendah (< 0,39 persen), yaitu Jogorogo, Kendal dan Kasreman. Sementara kategori persentase kejadian balita gizi buruk tinggi terjadi di wilayah pusat Kabupaten Ngawi, Pitu dan Pangkur. Jika diperhatikan lokasi kecamatan dalam satu kelompok menunjukkan pola menyebar.
x1
x2
x3
2,5 2,0 1,5 1,0
y
0,5 0,015
0,018
0,021
0
x4
2,5
20
40
55
x5
65
75
x6
2,0 1,5 1,0 0,5 0
50
1000
4
8
10
20
30
Gambar 2. Scatterplot Antara Persentase Kejadian Balita Gizi Buruk dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat beberapa variabel prediktor yang memiliki pola hubungan positif dengan variabel respon. Variabel prediktor tersebut adalah persentase bayi diberi ASI eksklusif, persentase bayi BBLR dan persentase rumah tangga miskin. Semakin tinggi persentase bayi BBLR maka semakin tinggi pula persentase kejadian balita gizi buruk dan sebaliknya. Begitu pula untuk persentase rumah tangga tergolong miskin. Namun untuk variabel persentase bayi diberi ASI eksklusif pola tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya persentase bayi yang diberi ASI eksklusif tidak selalu akan menurunkan kejadian balita gizi buruk. Sementara variabel prediktor yang memiliki pola negatif dengan kejadian gizi buruk yaitu rasio jumlah sarana kesehatan dengan jumlah balita, persentase balita mendapat vitamin A dan persentase akses air bersih. Pola tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya rasio jumlah sarana kesehatan dibandingkan jumlah balita cenderung akan menurunkan kejadian balita gizi buruk. Begitu pula untuk persentase balita yang mendapatkan vitamin A dan rumah tangga yang dapat mengakses air bersih. Selain melalui scatterplot, hubungan antara kejadian gizi buruk dan faktor yang mempengaruhi dapat diidentifikasi melalui nilai korelasinya seperti disajikan pada Tabel 3.
Gambar 1. Persebaran Persentase Kejadian Gizi Buruk.
Deskripsi faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian balita gizi buruk di Kabupaten Ngawi selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Rataan, Minimum, maksimum dan varians Variabel Prediktor Variabel Rata-rata Min Max Varians X1 0,0195 0,016 0,023 0,000006 X2 16,24 0,00 42,62 168,87 X3 60,23 47,45 78,49 80,23 X4 49,92 4,45 89,88 563,08 X5 3,344 0,255 8,589 5,357 X6 18,42 6,88 35,31 53,39
Keragaman rasio sarana kesehatan (X1) antar kecamatan cenderung kecil yaitu 0,000006 yang menandakan bahwa keberadaan sarana kesehatan sudah cukup merata di tiap kecamatan. Rata-rata persentase bayi diberi ASI eksklusif (X2) adalah 16,24 persen di tiap kecamatan dengan persentase tertinggi bayi yang diberi ASI eksklusif yaitu sebesar 42,62 persen. Rata-rata persentase pemberian vitamin A pada balita (X3) di Kabupaten Ngawi yaitu sebesar 60,23 persen di tiap kecamatan, berarti bahwa di antara 100 balita terdapat 60 balita yang mendapat vitamin A. Kecamatan dengan persentase tertinggi rumah tangga yang dapat mengakses air bersih (X4) adalah Kecamatan Padas (89,88 persen), sedangkan terendah yaitu Kecamatan Pitu (4,45 persen). Rata-rata persentase bayi berat badan lahir rendah (BBLR) (X5) tahun 2009 yaitu 3,344 persen di tiap kecamatan, yang berarti bahwa di antara 100 bayi terdapat 3 bayi dengan status BBLR. Persentase rumah tangga miskin (X6) tertinggi terjadi di Kecamatan Mantingan (35,31
Tabel 3. Nilai Korelasi Antar Variabel Y X1 X2 X3 X4 X5 X6
5
Y 1 -0,033 0,341 -0,230 -0,425 0,142 0,071
X1 -0,033 1 -0,241 -0,342 -0,003 0,289 -0,014
X2 0,341 -0,241 1 0,090 -0,419 0,332 0,156
X3 -0,230 -0,342 0,090 1 0,047 0,158 0,207
X4 -0,425 -0,003 -0,419 0,047 1 -0,169 -0,014
X5 0,142 0,289 0,332 0,158 -0,169 1 0,070
X6 0,071 -0,014 0,156 0,207 -0,014 0,070 1
Nilai korelasi tertinggi terjadi antara variabel kejadian gizi buruk dan rumah tangga yang dapat mengakses air bersih (-0,425) dan nyata pada taraf signifikansi 10 persen. Namun demikian teridentifikasi juga hubungan antar variabel prediktor. Didapatkan variabel yang berkorelasi paling tinggi yaitu antara variabel bayi diberi ASI eksklusif dan akses terhadap air bersih sebesar -0,419. Nilai korelasi ini nyata pada taraf signifikansi 10 persen. Pengujian secara serentak model regresi OLS dilakukan dengan bentuk hipotesis sebagai berikut. H0: β1 = β2 = ... = β6 = 0 H1: minimal ada satu βk ≠ 0 Hasil pengujian secara serentak model regresi OLS didapatkan Fhitung sebesar 0,81 dan p-value yang lebih besar dari α = 10 persen, sehingga diputuskan untuk gagal tolak H0 (Tabel 4). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemodelan dengan menggunakan regresi OLS tidak menghasilkan parameter yang nyata berpengaruh pada taraf signifikansi α = 10 persen. Sumber Variasi Regresi Error Total
Tabel 4. Pengujian Model Regresi OLS Derajat Jumlah Rata-rata Fhitung Bebas Kuadrat Kuadrat 6 5,211 0,868 0,81 12 12,789 1,066 18 18,000
antara -0,9795 sampai dengan -0,05761. Nilai min dan max pada Tabel 5 menunjukkan nilai minimum dan maksimum yang didapatkan untuk parameter pada tiap kecamatan. Tabel 5. Estimasi Parameter Model GWR Nilai ( , ) Median Variabel Min Max Intercept -0,13740 0,48110 0,14950 X1 -0,97950 -0,05761 -0,36230 X2 -0,89690 0,76520 0,10410 X3 -0,62290 -0,15490 -0,39740 X4 -0,98430 0,81470 -0,28080 X5 -0,14790 0,54880 0,39930 X6 -0,11970 1,38800 0,40020 R2 96,79% SSE 0,5784
Pada variabel bayi diberi ASI eksklusif, akses terhadap air bersih, bayi BBLR dan rumah tangga miskin terdapat beberapa kecamatan yang koefisien regresinya bernilai positif, sedangkan pada kecamatan yang lain negatif. Pada variabel bayi diberi ASI eksklusif, koefisien regresi yang bernilai positif terjadi pada wilayah bagian barat laut, tengah dan selatan Kabupaten Ngawi. Kecamatan tersebut antara lain Sine, Ngrambe, Jogorogo, Kendal, Gerih, Paron, Kedunggalar, Widodaren, Mantingan dan Karanganyar. Sementara pada variabel bayi BBLR, Kecamatan Gerih merupakan kecamatan yang memiliki koefisien regresi bernilai negatif. Pengujian kesesuaian model (goodness of fit) antara OLS dan GWR dilakukan untuk melihat apakah faktor geografis berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk. Bentuk hipotesisnya adalah sebagai berikut. H0 : βk(u1,v1) = βk(u2,v2) = ... = βk(u19,v19) = βk H1 : paling sedikit ada satu βk(ui,vi) ≠ βk, k = 1,2,…,6 Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji F seperti pada persamaan (8).
p-value 0,579
Pada pengujian asumsi residual model OLS didapatkan residual yang berdistribusi normal, independen atau tidak terdapat autokorelasi, dan tidak identik atau terdapat heteroskedastisitas. Hasil ini juga dapat dikuatkan dengan hasil uji Moran’s I residual dan uji Breusch-Pagan. Diperoleh nilai Moran’s I sebesar -0,0477 dan Zhitung untuk Moran’s I sebesar 0,0622 serta nilai Breusch-Pagan sebesar 11,08. Jika diberikan taraf signifikansi α = 10 persen maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat dependensi namun terdapat heterogenitas dalam residual. Model regresi OLS memiliki kinerja yang kurang baik karena asumsi identik residual tidak terpenuhi dan mengakibatkan varians residual tidak homogen. Oleh karena itu perlu dilakukan pemodelan spasial. Langkah awal untuk membangun model GWR adalah menentukan bandwidth (b) optimum. Dengan menggunakan kriteria CV didapatkan bandwidth optimum untuk pembobot fungsi kernel fixed Gaussian sebesar b = 0,0938. Estimasi parameter model GWR diperoleh dengan memasukkan pembobot spasial dalam perhitungannya dengan menggunakan metode weighted least squares (WLS). Hasil estimasi parameter model GWR disajikan pada Tabel 5. Nilai minimum estimasi parameter X1 yang dihasilkan model GWR sebesar -0,9795 dan nilai maksimumnya -0,05761. Nilai ini menunjukkan besarnya pengaruh rasio sarana kesehatan (X1) terhadap kejadian gizi buruk di 19 kecamatan berkisar
Tabel 6. Uji Kesesuaian Model GWR SSE d.f F P-value Model GWR 0,5784 5,5 0,2358 0,051 Model OLS 12,7889 12,0
Hasil pengujian kesesuaian model pada Tabel 6 diperoleh nilai Fhitung sebesar 0,2358 dan p-value yang tidak lebih besar dari taraf signifikansi α = 10 persen, sehingga diambil keputusan untuk menolak H0. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Leung (2000) dalam Sugiyanto (2008) bahwa nilai Fhitung akan cenderung kecil jika H0 tidak benar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh spasial atau terdapat faktor geografis yang berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk di Kabupaten Ngawi. 6
Pengujian parameter model secara parsial dilakukan untuk mendapatkan faktor-faktor yang berpengaruh pada kejadian balita gizi buruk untuk tiap kecamatan. Bentuk hipotesisnya sebagai berikut: H0 : βk(ui,vi) = 0; i = 1, 2, ..., 19, k = 1, 2, ..., 6 H1 : βk(ui,vi) ≠ 0 Statistik uji yang digunakan sesuai persamaan (9). Hasil pengujian parameter secara parsial untuk tiap variabel pada tiap kecamatan menunjukkan adanya pola mengelompok antara variabel yang tidak signifikan dan variabel yang signifikan pada taraf α sebesar 10 persen. Misalnya pada variabel rasio sarana kesehatan, ditunjukkan bahwa Kabupaten Ngawi terbagi dalam dua kelompok, yaitu negatif signifikan (variabel tersebut signifikan dan koefisien regresinya bertanda negatif) dan tidak signifikan. Kecamatankecamatan yang signifikan merupakan kecamatan yang terletak di bagian timur Kabupaten Ngawi yang meliputi Kecamatan Pitu, Paron, Ngawi, Kwadungan, Pangkur, Karangjati, Padas, Kasreman dan Bringin (Gambar 3).
Variabel Signifikan Rasio sarana kesehatan Balita mendapat vitamin A Akses air bersih RT miskin Bayi diberi ASI eksklusif Balita mendapat vitamin A Akses air bersih Bayi BBLR Bayi diberi ASI eksklusif Balita mendapat vitamin A Akses air bersih RT miskin Bayi diberi ASI eksklusif Akses air bersih Bayi BBLR Balita mendapat vitamin A Akses air bersih RT miskin
Kecamatan Paron
Kendal, Kedunggalar
Gerih
Sine, Ngrambe, Jogorogo, Widodaren, Mantingan, Karanganyar Geneng
Berdasarkan variabel yang signifikan untuk tiap kecamatan terbentuk pengelompokan kecamatan yang memiliki kesamaan variabel yang berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk, yaitu sebanyak 7 kelompok, seperti yang disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3. Persebaran Variabel Rasio Sarana Kesehatan.
Terdapat 3 kecamatan yang signifikan pada semua variabel prediktor. Kecamatan tersebut yaitu Pitu, Ngawi dan Kasreman (Tabel 7). Penyebab kejadian balita gizi buruk di Kecamatan Gerih dikarenakan faktor bayi diberi ASI eksklusif, pemberian vitamin A pada balita, akses terhadap air bersih dan kemiskinan. Faktor yang mempengaruhi kejadian gizi buruk di Kecamatan Paron adalah rasio sarana kesehatan, balita mendapat vitamin A, akses air bersih dan rumah tangga miskin. Model GWR yang terbentuk untuk Kecamatan Paron yaitu = −0,287 − 0,402 − 0,281 + 0,400 .
Gambar 4. Persebaran Variabel yang Signifikan.
Kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah bagian timur Kabupaten Ngawi, yaitu Kecamatan Kwadungan, Pangkur, Karangjati, Padas dan Bringin, berada dalam satu kelompok. Hal ini berarti bahwa penyebab kejadian gizi buruk di wilayah tersebut adalah faktor sarana kesehatan, pemberian ASI eksklusif pada bayi, pemberian vitamin A pada balita, akses terhadap air bersih dan kemiskinan. Jika pada kecamatan tersebut terjadi peningkatan ibu yang memberi ASI eksklusif kepada bayinya dan para ibu juga semakin rutin untuk membawa balitanya datang posyandu baik untuk ditimbang berat badannya maupun pemberian vitamin A maka kejadian balita gizi buruk dapat diminimalisasi. Sementara wilayah bagian selatan dan barat Kabupaten Ngawi, yaitu Kecamatan Sine, Ngrambe, Jogorogo, Widodaren, Mantingan dan Karanganyar, membentuk pengelompokkan kecamatan yang signifikan pada variabel bayi diberi ASI eksklusif (X2), akses air bersih (X4) dan bayi BBLR (X5). Untuk Kecamatan Kedunggalar dan Kendal memiliki
Tabel 7. Nama Kecamatan dan Variabel Signifikan Model GWR Variabel Signifikan Kecamatan Rasio sarana kesehatan Kasreman, Ngawi, Pitu Bayi diberi ASI eksklusif Balita mendapat vitamin A Akses air bersih Bayi BBLR RT miskin Rasio sarana kesehatan Kwadungan, Pangkur, Bayi diberi ASI eksklusif Karangjati, Bringin, Padas Balita mendapat vitamin A Akses air bersih RT miskin
7
kesamaan yaitu kejadian gizi buruk disebabkan oleh faktor pemberian ASI eksklusif pada bayi, pemberian vitamin A pada balita, akses terhadap air bersih dan bayi BBLR. Upaya untuk menekan gizi buruk di tiap kecamatan di Kabupaten Ngawi tidak hanya melalui penyediaan sarana dan prasarana di sektor kesehatan, ekonomi dan ketersediaan air bersih namun juga melalui upaya peningkatan kesadaran masyarakat meliputi menimbang berat badan balitanya secara teratur, memberikan ASI eksklusif pada bayi dan mengkonsumsi suplemen gizi seperti vitamin A pada balita. Partisipasi ibu untuk mengikuti kegiatan di Posyandu perlu ditingkatkan dan adanya penyuluhanpenyuluhan mengenai gizi balita perlu sering diadakan guna meningkatkan pengetahuan gizi ibu.
Pada pemodelan gizi buruk terdapat beberapa variabel prediktor, diantaranya bayi diberi ASI eksklusif, akses terhadap air bersih, bayi BBLR dan rumah tangga miskin, yang memiliki koefisien regresi yang berlainan tanda pada tiap kecamatan. Hasil ini tidak sesuai dengan kajian secara teoritis. Oleh karena itu, perlu kajian yang lebih komprehensif berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gizi buruk di Kabupaten Ngawi. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian secara kualitatif sehingga diperoleh hasil yang lebih informatif. Selain itu untuk melihat kekonsistenan dari hasil penelitian maka untuk penelitian selanjutnya dapat digunakan metode lain dimana pada data mengandung heterogenitas spasial namun tidak terdapat dependensi spasial.
6.
7. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2011). Nina Soekarwo: PKK Aktif Perangi Gizi Buruk, http://kominfo.jatimprov.go.id/ potwatch.php?id=636, [diakses pada tanggal 26 Mei 2011]. Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics: Methods and Models. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Andarwati, D. (2007). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita Pada Keluarga Petani di Desa Purwojati Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo. Tugas Akhir, Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang, Semarang. Arumsari, N. dan Sutikno. (2010). Permodelan Kejadian Diare dengan Pendekatan Regresi Spasial. Studi Kasus: Kabupaten Tuban Jawa Timur. Seminar Nasional Pasca Sarjana X, Pasca Sarjana Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, hal. VI-31. Astutik, S., Ni Wayan S.W., dan Kurniawan, D. (_). Penggunaan Geographically Weighted Regression (GWR) Pada Data yang Mengandung Heterogenitas Spasial, http://fisika.ub.ac.id/bssub/PDF%20FILES/BSS_296_1.pdf, [diakses pada tanggal 27 Pebruari 2011]. Budiyanto, M.A.K. (2001). Dasar-dasar Ilmu Gizi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Charlton, M. dan Fotheringham, A.S. (2009). Geographically Weighted Regression. White Paper. National Centre for Geocomputation, National University of Ireland Maynooth. Depkes RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi. (2009). Profil Kesehatan Tahun 2008 Kab. Ngawi. Ngawi. Draper, N.R. dan Smith, H. (1981). Applied Regression Analysis Second Edition. New York: John Wiley &Sons, Inc.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan maka didapatkan kesimpulan bahwa pola persebaran kejadian gizi buruk di Kabupaten Ngawi menunjukkan pola menyebar sehingga diindikasikan bahwa terdapat variasi secara spasial. Persentase kejadian gizi buruk tertinggi terjadi di Kecamatan Ngawi, Pitu dan Pangkur dengan dengan rata-rata persentase kejadian sebesar 1,042 persen di tiap kecamatan. Model GWR menghasilkan R2 relatif besar, yaitu 96,79 persen, dengan SSE yang relatif kecil, yaitu 0,5784. Faktor geografis berpengaruh terhadap kejadian balita gizi buruk di Kabupaten Ngawi sehingga faktorfaktor yang mempengaruhi kejadian gizi buruk berbeda-beda antar kecamatan. Faktor yang mempengaruhi gizi buruk di tiap kecamatan di Kabupaten Ngawi antara lain sebagai berikut: - Kelompok 1 (Kecamatan Kasreman, Ngawi dan Pitu) dan kelompok 2 (Kecamatan Kwadungan, Pangkur, Karangjati, Bringin dan Padas) memiliki kesamaan faktor yang mempengaruhi paling lengkap, namun pada kelompok 2 tidak dipengaruhi oleh faktor bayi BBLR. - Kelompok 3 (Kecamatan Paron) dipengaruhi oleh faktor sarana kesehatan, pemberian vitamin A, akses air bersih dan kemiskinan. - Kelompok 4 (Kecamatan Kendal dan Kedunggalar) dipengaruhi oleh faktor ASI eksklusif, pemberian vitamin A, akses air bersih dan bayi BBLR. - Kelompok 5 (Kecamatan Gerih) dipengaruhi oleh faktor ASI eksklusif, pemberian vitamin A, akses air bersih dan kemiskinan. - Kelompok 6 (Kecamatan Sine, Ngrambe, Jogorogo, Widodaren, Mantingan dan Karanganyar) dipengaruhi oleh faktor ASI eksklusif, akses air bersih dan bayi BBLR. - Kelompok 7 (Kecamatan Geneng) dipengaruhi oleh faktor pemberian vitamin A, akses air bersih dan kemiskinan. 8
Fotheringham, A.S., Brunsdon, C., dan Charlton, M. (2002). Geographically Weighted Regression : the Analysis of Spatially Varying Relationships. Chichester : Wiley. Gujarati, D.N. (2003). Basic Econometric Fourth Edition. New York : Mc Graw Hill Companies. Hayati, M. (2009). Analisis Diskriminan Pada FaktorFaktor yang Mempengaruhi Gizi Buruk Balita di Jawa Timur. Tugas Akhir, Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Lestrina, D. (2009). Penanggulangan Gizi Buruk Di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Tesis, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan. Paramita, L. (2008). Bagging Regresi Logistik Ordinal pada Klasifikasi Status Gizi Balita (Studi Kasus Kabupaten Nganjuk). Tugas Akhir, Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Propastin, P., Kappas, M., dan Erasmi, S. (2007). Application of Geographically Weighted Regression to Investigate the Impact of Scale on
Prediction Uncertainty by Modelling Relationship between Vegetation and Climate. Spatial Data Infrastructures Research. Vol. 3, hal. 73-94. Riskiyanti, R. (2010). Analisis Regresi Multivariat Berdasarkan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Derajat Kesehatan di Provinsi Jawa Timur. Tugas Akhir, Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Siswono. (2010). Kasus Gizi Buruk: Empat Provinsi Tak Pernah Absen, http://gizi.net/2010/07/ kasus-gizi-buruk-empat-provinsi-tak-pernahabsen.htm, [diakses pada tanggal 8 Pebruari 2011]. Sugiyanto. (2008). Analisis Data Spasial Menggunakan Metode Geographically Weighted Regression (Sudi Kasus Data Kemiskinan di Propinsi Papua). Tesis Jurusan Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Supariasa, I.D.N., Bakri, B., dan Fajar, I. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
9