PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI TENTANG PEMBAGIAN WARIS DI INDONESIA SYUKRI ABUBAKAR Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al-Ittihad Bima
Abstrak Pembaharuan pemahaman terhadap ajaran Islam adalah suatu hal yang sangat perlu karena ajaran Islam itu untuk semua alam dan dituntut untuk bisa menjawab segala persoalan yang timbul pada masa kapan pun dan dimana pun. Tulisan ini bertujuan mengungkapkan kembali ide kontekstualisasi ajaran Islam menurut Munawir Sjadzali. Temuan menunjukkan bahwa Munawir mengidealkan bila suatu masyarakat menghendaki ketetapan pembagian waris bagian anak laki-laki dengan bagian anak perempuan itu seimbang, dan mereka menganggap bahwa pembagian yang demikian itu adil, maka pembagian demikianlah yang dipakai. Merujuk pada teori mas}lah}ah-nya al-T}ufi> yang bertitik tolak dari konsep maqa>s}id al-tashri‟ Ia menawarkan ketentuan pembagian waris dikodifikasi menjadi sama rata yaitu bagian anak laki-laki 1:1 dengan bagian anak perempuan dengan syarat anak perempuan memiliki peran. Kata kunci: Waris, maqa>s}id al-tashri‟, maslah}ah, pemikiran, pembaharuan, Munawir Sjadzali, Indonesia Abstract Renewal understanding of Islamic doctrines is necessary because Islam should prevail for all contexts and respond to all problems wherever and whenever they emerge. This article aims to re-analyze Munawir Sadzali‟s concept of contextualization of Islam. Munawir idealizes the realization of a Muslim society that is willing to share inheritance for daughters and boys equally because this is a just and proportional inheritance allotment. He suggests that Muslim society adopts this division. Referring to al-Tufi‟s concept of maslaha as the realization of the objectives of Islamic law (maqa>s}id al-shari‘a), he offers a reformed inheritance share shceme where a boy and a daughter recive a same portion of inhertiance provided that she plays roles in the family. Keywords: inheritance, maqa>s}id al-tashri‘, maslah}a, thought, reform, Munawir Sadzali, Indonesia
130 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Syukri Abubakar, Pemikiran Munawir Sjadzali …
Pendahuluan Dalam kehidupan sehari-hari pasti muncul berbagai macam problem. Problem tersebut harus diselesaikan agar kehidupan masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib. Umat Islam dalam menyelesaikan problem merujuk pada wahyu al-Qur‘an dan Hadist Nabi. Namun ternyata tidak semua problem itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam hal seperti ini, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw., beliau menyelesaikannya dengan pemikiran dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan sahabat1, terutama sekali masalah yang berhubungan dengan bidang mu‘amalah. Sebagaimana Nabi bersabda: ―Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.‖. Isyarat ini merupakan indikasi bahwa Nabi memberi kelonggaran kepada umat Islam untuk menetapkan hukum yang tidak ada nashnya dalam al-Qur‘an dan Hadist dengan menggunakan Ijtihad dengan akal pikiran karena Islam menempatkan akal pikiran pada derajat yang tinggi. Pada masa sahabat, pelaksanaan ijtihad dimulai setelah Nabi Muhammad saw. meninggal dunia, yaitu menentukan siapa yang berhak menggantikan kedudukan Nabi sebagai pemimpin di Madinah. Setelah melalui perdebatan yang sangat alot dan hampir menimbulkan gejolak diantara mereka, maka tampillah Umra bin Khattab di depan forum dengan menunjuk Abubakar Siddiq sebagai pemimpin yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad saw. sebagai kepala Negara. Dalam bidang fiqh pun, perbedaan pendapat para sahabat semakin berkembang karena daerah kekuasaan Islam semakin luas dan problem yang muncul semakin beragam, sehingga timbullah berbagai penafsiran terhadap al-Qur‘an dan alHadist. Pada masa itu, Sahabat menentukan hukum berdasarkan tuntutan masyarakat, disamping memperhatikan jiwa ajaran yang terdapat dalam nash. Oleh sebab itu corak pembahasan fiqh pada masa itu merupakan pembahasan yang berusaha menjawab tuntutan masyarakat dan belum menyusun fatwa-fatwa fiqh secara teoritis. Sebagai contoh, sahabat Umar banyak mengeluarkan fatwa yang dianggap oleh sebagian orang banyak menyalahi nash, seperti ia tidak memotong tangan terhadap pencuri, penolakan terhadap tanah yang baru dikuasai, pemberlakuan talak tiga sekali ucap menjadi jatuhnya talak tiga dan lain-lain.2 Perbedaan pendapat para sahabat dalam bidang fiqh ini, ternyata kelak memberikan sumbangan intelektual yang amat berharga bagi dunia ijtihad sepeninggal mereka. Dengan ijtihad inilah ajaran Islam dapat berkembang dengan pesat pada jaman keemasannya. Sejarah mencatat bahwa dari abad ke delapan 1Iskandar 2Jalaludin
Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: LSIK, 1994), 1. Rahmat, Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1994), 160.
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 131
Syukri Abubakar, Pemikiran Munawir Sjadzali …
sampai tiga belas Masehi, Islam merupakan agama yang mempunyai ajaran dan kebudayaan yang tiada tara. Hal ini membuka mata orang-orang Eropa jaman kegelapan yang selanjutnya membawa mereka kepada renaissance dan kemudian ke jaman modern yang melahirkan kemajuan pesat ilmu pengetahuan. Pada abad ke 19 M, ketika bagian-bagian kebudayaan Eropa yang dihasilkan oleh jiwa ijtihad masuk ke dalam dunia Islam, para ulama jaman itu sadar bahwa untuk mengatasi kemunduran umat Islam, pintu ijtihad yang dikatakan tertutup itu harus dibuka, agar ajaran Islam itu selain mampu menghadapi perkembangan jaman dan mampu menjawab tantangan jaman, maka hokum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman terhadap Islam perlu terus menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran baru teerhadap nash syari‘ah dengan cara menggali kemungkinan-kemungkinan yang diyakini mengandung alternative yang bisa diangkat dalam menjawab persoalan baru. Melakukan pembaharuan pemahaman terhadap ajaran Islam adalah suatu hal yang sangat perlu karena ajaran Islam itu untuk semua alam. Mengingat masyarakat itu senantiasa mengalami perubahan yang dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai dalam masyarakat itu, maka ajaran Islam dituntut untuk bisa menjawab segala persoalan yang timbul pada masa kapan pun. Berawal dari pemahaman seperti yang dijelaskan di atas serta melihat realitas kehidupan masyarakat Indonesia, yang menurut Munawir Sjadzali, kurang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, maka ia melontarkan ide kontekstualisasi ajaran Islam yang menimbulkan kontroversi di kalangan cendekiawan muslim dan ulama tradisonal pada saat itu. Ide-ide tersebut berupa kedudukan wanita, kedudukan warga non-muslim, bunga bank dan mengenai perbudakan. Ia melihat bahwa pelaksanaan terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan hal-hal tersebut tidak relevan lagi, sebagai contoh ayat tentang waris bagian anak laki-laki dan anak perempuan dalam QS. An-NIsa‘: 11. Maka terhadap ayat tersebut, menurutnya, perlu diadakan pembaharuan pemahaman (pemahaman baru) sesuai dengan kebutuhan rasa keadilan dan kemaslahatan umat Islam sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat terwujud dalam kehidupan umat saat ini. Pembahasan Pembaharuan mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan upaya untuk memahami kembali sumber Islam dengan melepaskan diri dari pemahaman lama dengan maksud untuk merelevankan Islam dengan suasana baru yang ditimbulkan
132 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Syukri Abubakar, Pemikiran Munawir Sjadzali …
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern3. Maksud pembaharuan disini bukan ditujukan untuk mempertanyakan keabsahan sumber ajaran Islam, melainkan upaya mengubah pola pemikiran umat Islam agar tidak terikat secara kaku kepada pola pemahaman dan pemikiran masa lampau. Istilah pembaharuan ini sudah sering kita dengar pada era 80an yang digulirkan oleh para cendekiawan Islam pada saat itu. Sebut saja Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dan Amin Rais. Tidak ketinggalan juga yang ikut meramaikan wacana pembaharuan ini adalah Munawir Sjadzali, yang pada waktu itu sedang menjabat Menteri Agama Republik Indonesia selama dua periode (1983-1988 dan 1988-1993). Dengan bekal kemampuannya terhadap penguasaan kitab-kitab klasik, dan kecenderungannya terhadap tradisi pemikiran Islam klasik sebagai hasil dari pendidikan pesantren yang ditempuhnya di Mamba‘ul Ulum Solo, Munawir juga memiliki minat yang tinggi untuk mengaktualisasikan pemikiran Islam klasik itu dengan perkembangan dunia modern. Sebab ia sangat akrab dengan wacana intelektual Barat khususnya Amerika dan Inggris. Kemampuan ini memperkayanya untuk melakukan analisis atas gejala historis dan menghadapkannya dengan ajaran Islam dan khazanah pemikiran Islam. Kondisi umat Islam sekarang ini, menurut Munawir, sudah jauh tertinggal dari dunia Barat. Hal ini terjadi karena negara-negara Barat terus mencari perubahan dengan akal budi, yang merupakan pemberian Tuhan yang paling utama pada umat manusia. Sementara pengembangan intelektual pada dunia Islam boleh dikatakan sejak lama terhenti. Meskipun ungkapan pintu ijtihad telah tertutup sudah jarang terdengar, tetapi pemikir Islam sekarang tampaknya masih tetap belum berani untuk berpikir kritis. Akibatnya Islam yang dulu di tangan Nabi Muhammad saw. merupakan ajaran revolusioner, sekarang ini mewakili aliran terbelakang kalau tidak hendak dikatakan out of date. Dengan demikian untuk menghilangkan kesan itu, Munawir mencoba mengaktualkan ajaran Islam tersebut setelah melihat dan mendengar realitas masyarakat Islam Indonesia yang mengakui terhadap ajaran Islam yang telah ditentukan, namun di sisi lain, dalam kenyataannya mereka tidak mengamalkan ajaran itu sehingga timbul apa yang disebut oleh Munawir sebagai orang yang punya sikap ambiguitas mendua dalam beragama terutama dengan hukum Islam. Sikap mendua ini, menurutnya, terlihat jelas pada pembagian harta warisan. Sebagaimana diketahui bahwa, sampai dewasa ini di seluruh dunia Islam, termasuk 3Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), 11.
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 133
Syukri Abubakar, Pemikiran Munawir Sjadzali …
di Indonesia sistem waris yang diberlakukan baik dalam versi sunni, syi‘ah maupun negara-negara Islam yang telah mengupayakan kodifikasi hukum lewat perundangundangan masih tetap mempertahankan sistem kalkulasi 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan. Cara seperti ini didukung langsung oleh QS. an-Nisa‘: 11 yang dengan jelas menyatakan bahwa bagian anak laki-laki adalah dua kali lipat dari bagian anak perempuan.
يوصيكم اهلل ىف اوالدكم للذكر مثل حظ األنثيني ―Allah telah mensyari‟atkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan‖. Walau demikian, bagi Munawir, konsep tersebut ―tidak memberikan rasa adil‖ bagi masyarakat yang kaum perempuannya memiliki peran. Hal ini berdasarkan penelitian dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Ia selalu menerima laporan dari para hakim di berbagai daerah yang kuat keislamannya seperti di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan ditemukan tindakan masyarakat yang menyimpang terhadap ketentuan al-Qur‘an tentang pembagian 2:1. Dalam praktek di masyarakat, para ahli waris tetap meminta fatwa tentang ketetapan hukum waris sesuai dengan fara‘id Islam yang didalamnya menetapkan kalkulasi bagian anak laki-laki dan anak perempuan 2:1 tapi dalam pelaksanaannya kerapkali para ahli waris tidak melaksanakan fatwa ketetapan hakim Pengadilan Agama tersebut. Malah mereka melakukan pembagian yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum Islam yaitu 1:1 antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Cara seperti ini tidak hanya dilakukan oleh orang awam saja tapi juga dilakukan oleh tokoh-tokoh organisasi yang cukup menguasai ilmu-ilmu keislaman.4 Lebih lanjut Munawir menjelaskan tentang pengalaman pribadinya kepada ulama terkemuka dalam nasihat waris bagi tiga orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuannya. Tiga orang anak laki-lakinya telah banyak menghabiskan harta karena mereka belajar di luar negeri, sedangkan anak-anak perempuannya tidak meneruskan ke Perguruan Tinggi kecuali hanya belajar di sekolah-sekolah kejuruan dengan biaya yang jauh lebih murah. Bagi Munawir, jika ia meninggal dunia maka menurut ketentuan yang ada, anak laki-lakinya akan memperoleh bagian dua kali lipat dari bagian anak-anaknya yang perempuan, padahal anak-anak laki-lakinya telah banyak menghabiskan harta bila dibanding dengan anak-anak perempuan. Di sini keadilan terganggu, jika anak perempuan akan memperoleh bagian waris lebih kecil dari bagian anak laki-laki. Ulama terkemuka tersebut hanya memberitahukan bahwa apa yang beliau lakukan dan para ulama lainnya, telah menghibahkan harta mereka 4Munawir
Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), 88.
134 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Syukri Abubakar, Pemikiran Munawir Sjadzali …
kepada anak-anak mereka tanpa membedakan jenis kelamin dengan pembagian sama rata. Dan apabila mereka meninggal, harta mereka yang tinggal sedikit akan dibagi secara fara‘id Islam. Melihat realitas yang telah dipaparkan di atas, Munawir menawarkan bagaimana kalau ketentuan pembagian waris itu dikodifikasi menjadi sama rata yaitu bagian anak laki-laki 1:1 dengan bagian anak perempuan dengan syarat anak perempuan memiliki peran. Untuk memperkuat pendapatnya tersebut, Munawir menampilkan sejumlah ulama terkenal yang telah melakukan pemahaman secara kontekstual terhadap nash al-Qur‘an. Tunjuk misal Khalifah Umar bin Khattab membuat kebijakan dalam pembagian rampasan perang yang tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur‘an QS. al-Anfal: 41. Kebijakannya itu ditentang oleh banyak sahabat senior Nabi seperti Bilal, Abdurrahman bin Auf, dan Zubair bin Awwam, yang menuduhnya telah meninggalkan kitab Allah., namun dengan kebijakannya itu Umar mendapat dukungan dari Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Umar juga tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf sebagaimana diamanatkan oleh QS. alTaubah: 60 dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw. dengan alasan situasi dan kondisi sudah berubah dan pemberian zakat kepada mu‘allaf sudah tidak dianggap perlu lagi. Selanjutnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz –khalifah ke delapan dari Dinasti Umayyah- dalam upayanya menciptakan pemerintahan yang bersih, ia melarang pejabat negara dan karyawan untuk menerima hadiah karena pada saat itu hadiah berubah fungsi menjadi suap, Abu Yusuf al-Hanafi mengatakan bahwa bila nash terdahulu dasarnya adat dan adat itu kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum atau petunjuk yang terkandung dalam nash itu, dan Ibnu Qoyyim al-Jauziah menjelaskan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa dapat dibenarkan karena perbedaan zaman, tempat, dan adat istiadat.5 Jadi nash al-Qur‘an telah menegaskan bahwa bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Pembagian ini didasarkan pada tradisi yang berlaku pada saat itu, bahwa status laki-laki dalam keluarga adalah pemimpin, pelindung, dan penanggungjawab perempuan, sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nisa‘ (4): 34. Maka melihat realitas kehidupan zaman modern sekarang ini bahwa kaum perempuan melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh perempuan Arab zaman dahulu. Sekarang banyak kaum perempuan yang menduduki pos-pos penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi sekarang sedang gencar-gencarnya kaum perempuan menuntut persamaan hak dan persamaan derajat dengan kaum laki-laki di segala bidang. Maka dengan menggunakan teori Abu Yusuf tersebut, bahwa kaum perempuan pada saat sekarang berbeda adat kebiasaannya dengan 5Munawir
Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997),46.
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 135
Syukri Abubakar, Pemikiran Munawir Sjadzali …
kaum perempuan pada saat ayat itu diturunkan, maka menurut Munawir sangat relevan sekali apabila bagian waris anak perempuan sekarang yang memiliki peran ditingkatkan agar sama dengan bagian waris anak laki-laki. Munawir juga merujuk pada teori maslahahnya Al-T}ufi>. Jika terjadi perselisihan antara kepentingan masyarakat dengan nash dan ijma‘, maka wajib mendahulukan kepentingan masyarakat. Pandangan ini bertitik tolak dari konsep maqasidut tasyri‟ tujuan tasyri‘ yang menegaskan bahwa hukum Islam itu disyari‘atkan untuk mewujudkan dan melindungi kemaslahatan umat manusia. Sehingga para ulama merumuskan sebuah kaidah yang cukup populer yang artinya ―dimana ada kemaslahatan disanalah terdapat hukum Allah‖.6 Sehingga Munawir berpendapat bahwa bila suatu masyarakat menghendaki ketetapan pembagian waris bagian anak laki-laki dengan bagian anak perempuan itu seimbang, dan mereka menganggap bahwa pembagian yang demikian itu adil, maka pembagian demikianlah yang dipakai. Hal yang demikian ini, sekali lagi, berlaku pada masyarakat yang nota bene kaum perempuannya memegang peranan seperti kaum perempuan di Solo Jawa Tengah. Bukankah 2:1 itu Qoth‘i? Terhadap pertanyaan seperti ini, Munawir menjelaskan bahwa dalam al-Qur‘an terdapat paling sedikit empat ayat yang berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif sebagai kebutuhan biologis kaum pria di samping isteri (QS. an-Nisa‘:3, QS. al-Ma‘arij: 30, QS. al-Mukminun: 6, dan al-Ahzab: 52). Memang, Nabi dulu selalu menghimbau pemilik budak untuk berlaku lebih manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali. Tapi yang jelas, menurutnya, sampai Nabi wafat dan wahyu terakhir yang turun, Islam belum secara tuntas menghapuskan perbudakan. Kita ini hidup di abad 21, dimana umat manusia sepakat mengutuk perbudakan di segala manifestasinya sebagai musuh kemanusiaan. Sedangkan Islam masih mempertahankan status quo terhadap perbudakan. Oleh karena itu alangkah naifnya Islam yang mengagung-agungkan hak asasi manusia untuk hidup bebas dan merdeka, disisi lain masih mempertahankan perbudakan. Jadi menurut Munawir, ayat-ayat tersebut tidak sesuai dengan kondisi zaman sekarang dan harus dipahami secara kontekstual. Ada yang mengatakan bahwa tidak dihapuskannya perbudakan secara tegas oleh Nabi karena ada kemungkinan reaksi masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu, karena sekarang perbudakan tidak dibutuhkan lagi, maka ayat-ayat tersebut perlu dipahami secara kontekstual. Inilah beberapa ide pembaharuan dalam bidang hukum yang dilontarkan oleh Munawir pada saat kondisi umat Islam Indonesia masih belum berani befikir kritis terhadap apa-apa yang dianggap final oleh para ulama terdahulu. Sehingga dengan 6Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1995), 312.
136 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Syukri Abubakar, Pemikiran Munawir Sjadzali …
lontaran ide tersebut mendapat reaksi pro dan kontra di kalangan ulama dan cendekiawan muslim Indonesia pada saat itu. Sebagai contoh, Ahmad Siddiq dan Ali Darokah–Pengurus Majelis Ulama Surakarta pada waktu itu- menulis makalah singkat atas dukungannya terhadap Munawir.7 Sedangkan yang kontra yang dapat disebutkan disini adalah para ulama yang ikut membahas rancangan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang secara tegas menolak menyimpang dari ketentuan alQur‘an, karena ketentuan 2:1 itu bersifat qath‘i, jelas dan rinci. Oleh karena aturan pembagiannya sudah rinci serta nashnya jelas dan terang (shorih) berarti ketentuan pembagian tersebut tuntas. Ini sesuai dengan azas ushul fiqh bahwa ―setiap nash yang tafsil dan shorih adalah nash yang qath‟i”. Dan terhadap nash yang demikian tidak perlu atau tidak dimungkinkan lagi peluang berijtihad.8 Hal senada juga diungkapkan oleh Azhar Basyir bahwa ungkapan al-Qur‘an mengenai hukum waris sangat tandas dan tajam. QS. an-Nisa‘ ayat 7 diakhiri dengan ungkapan نصيبا مفروضاMenurut bagian yang ditetapkan” QS. an-Nisa: 11 diakhiri dengan ungkapan فريضة من هللا انّ هللا كان عليما ― حكيماIni adalah ketetapan dari Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. QS. an-Nisa‘: 12 diakhiri dengan ungkapan: وصية من هللا وهللا عليم حكيم ―Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari‘at yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun‖. Memperhatikan ketegasan alQur‘an mengenai hukum waris tersebut, menurut Azar Basyir, sepatutnya kita tanamkan keyakinan bahwa membagi harta warisan seseorang adalah menjadi hak Allah. Oleh karena manusia mukmin wajib ridha menerima ketentuan Allah sebagai bagian keimanan kita kepada Allah. Adapun penyimpangan yang terjadi di kalangan masyarakat muslim mengenai hukum waris, seharusnya tidak tegesa-gesa dinyatakan sebagai hukum waris yang bertentangan dengan rasa keadilan. Yang mungkin terjadi, mereka kurang memahami filosofi hukum waris Islam. Demikian alasan yang diajukan Azar Basir sebagaimana tercantum dalam Panji Masyarakat No. 552, 1987: 67. Senada dengan Azar Basyir, Ali Yafie berpendapat bahwa perubahan hukum melalui jalan nash terjadi pada tingkat syari‘ah (al-Qur‘an dan hadist). Berakhirnya periode tasyri‘, dengan wafatnya penerima wahyu Rasulullah saw., maka perubahan hukum melalui jalur nash, sudah berakhir.9 Namun demikian bagi golongan kontekstualis seperti Fazlur Rahman, ia mengemukakan metode memahami nash al-Qur‘an dan hadist yang terkenal dengan istilah double movement gerak ganda artinya ia tidak hanya memahami nash al-Qur‘an dan al-Hadist itu dari segi teks tapi harus dilihat sebab-sebab yang melatarbelakangi 7Ali
Darokah, Reaktualisasi Mencari Kebenaran, Panji Masyarakat No. 522, 1987. Harahap, Panji Masyarakat, No. 555, 1986: 60. 9Ali Yafie, Panji Masyarakat, No. 550, 1987: 32. 8Yahya
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 137
Syukri Abubakar, Pemikiran Munawir Sjadzali …
teks itu diturunkan. Maka, jika kita menengok sejarah masa lampau dijelaskan bahwa kaum perempuan sebelum datangnya Islam dipandang rendah oleh Bangsa Arab. Ia tidak menerima warisan namun bisa diwarisi oleh anak-anaknya. Bahkan diasumsikan perempuan itu membawa sial, tidak kuat berperang sehingga tidak heran bila anak perempuan lahir maka dibunuhnya. Kasus seperti ini pernah dialami oleh Umar bin Khattab sebelum ia masuk Islam. Oleh sebab itu Islam datang dengan mengangkat derajat kaum perempuan yang dulunya tidak mendapatkan waris, lalu mendapatkan waris dengan bagian separoh. Jadi begitulah posisi perempuan pada zaman jahiliyah yang tidak banyak memiliki peran, sedangkan dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, kaum perempuan sudah memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Dari segi struktur sosial, masyarakat Arab menganut sistem kekerabatan patrilineal (kebapakan), maka aturan memberikan bagian lebih pada laki-laki memang sesuai dan berfungsi positif dalam melestarikan kekerabatan itu. Namun masyarakat Islam tidak selamanya begitu. Pada masyarakat tertentu seperti di Sumatera Barat, sistem kekerabatan yang berlaku dan dominan adalah matrilineal (keibuan) sebagai akibatnya banyak hak dan tanggung jawab juga berada pada kaum perempuan. Dalam masyarakat modern yang cenderung memberikan kesempatan seimbang kepada laki-laki dan perempuan (sebut saja: bilateral), maka wajar saja kalau aspirasinya mengenai hak dan kewajiban juga seimbang, dalam hal ini termasuk juga dalam hak dalam waris.10 Sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab bahwa dalam redaksi ayat-ayat alQur‘an yang menggunakan bentuk plural untuk menunjuk Allah, itu ada keterlibatan selain Allah. Misalnya dalam QS. Al-An‘am: 151 yang artinya, ―Kami yang member rejeki kamu dan mereka‖, atau dalam QS. Yasin: 68 yang artinya, Siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan ia keasal kejadiannya – lemah tidak tau apaapa‖. Kedua ayat tersebut menggunakan bentuk plural (kami) mengisyaratkan bahwa manusia terlibat dan berusaha aktif guna memperoleh rejeki dan manusia juga mempunyai peran dalam memperpanjang harapan hidupnya.11 Jika ide tersebut diterima, tentunya ketika al-Qur‘an menggunakan redaksi kami dalam kontek nasikh, yakni dalam QS. Al-Baqarah: 106 dan QS. An-Nahl: 101, maka ini berarti bahwa manusia mempunyai pula keterlibatan dalam hal nasikh dan pergantian. Oleh sebab itu, pemberian pembagian yang sama antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam kondisi tertentu dapat dibenarkan dengan 10Atho‘ Mudzhar, Letak Gagasan Munawir Sjadzali dalam Konteks Reaktualisasi Hukum Islam di Dunia Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), 313. 11Quraish Shihab, Wawasan…, 323.
138 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Syukri Abubakar, Pemikiran Munawir Sjadzali …
memberikan penakwilan terhadap ayat tersebut yang sesuai dengan tujuan hukum Islam. Hal ini sesuai dengan Qa‘idah Ushul Fiqh: ―Jika teks al-Qur‟an dan hadist bertentangan dengan maslahah dan tujuan hukum maka teks itu harus dita‟wil sesuai dengan tujuan hukum.‖ Catatan Akhir Berdasarkan pembahasan di atas, maka kesimpulan dari pendapat Munawir bahwa bila suatu masyarakat menghendaki ketetapan pembagian waris bagian anak laki-laki dengan bagian anak perempuan itu seimbang, dan mereka menganggap bahwa pembagian yang demikian itu adil, maka pembagian demikianlah yang dipakai. Daftar Pustaka Ali Darokah, Reaktualisasi Mencari Kebenaran, Panji Masyarakat No. 522, 1987. Ali Yafie, Panji Masyarakat, No. 550, 1987: 32. Atho‘ Mudzhar, Letak Gagasan Munawir Sjadzali dalam Konteks Reaktualisasi Hukum Islam di Dunia Islam, Jakarta: Paramadina, 1995. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996. Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: LSIK, 1994. Jalaludin Rahmat, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1994. Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, 1995. Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 1995. Yahya Harahap, Panji Masyarakat, No. 555, 1986: 60.
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 139