Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Pembuatan Panel Beton Berbasis Perlit dan Aplikasinya sebagai Insulator Panas AYU YUSWITA SARI, PERDAMEAN SEBAYANG, DAN MULYADI Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Komplek PUSPIPTEK Tangerang, Indonesia Email :
[email protected] SATYA KUMARA RIMBANGADI Departemen Fisika – FMIPA, Universitas Lampung, Bandar Lampung, Indonesia INTISARI : Telah dibuat panel beton ringan berbasis perlit sebagai agegat ringannya. Perlit merupakan salah satu jenis gelas vulkanik yang mengembang dan berpori ketika dipanaskan, bersifat ringan dan tahan api. Aplikasi panel beton ringan berbasis perlit dapat di gunakan sebagai peredam panas yang baik, dengan ciri nilai konduktivitas termal yang rendah. Pada penelitian ini dibuat panel beton ringan perlit dengan perekat semen, disebut panel beton I, dan panel beton ringan perlit dengan perekat resin, disebut panel beton II, dengan memvariasi komposisinya. Pengujian pembuatan panel beton ini meliputi uji densitas, porositas, kekuatan tekan dan konduktivitas termal. Dari hasil penelitian di dapat nilai densitas untuk panel beton I antara 0,96 – 0,99 g/cm3 dan nilai porositas antara 23.16% - 41.13% kemudian nilai densitas untuk panel beton II adalah antara 0,78 – 0,92 g/ cm3 dan nilai porositas antara 16.86 – 43.32%. Nilai kuat tekan untuk panel beton I adalah 0,14 – 0,24 MPa, sedangkan untuk Panel beton II adalah 0,54 – 0,95 MPa. Jika dibandingkan keduanya, ternyata panel beton ringan perlit dengan perekat resin memiliki densitas lebih kecil, porositas yang juga lebih kecil namun memiliki nilai kuat tekan lebih besar jika dibandingkan dengan panel beton ringan dengan perekat semen. Komposisi terbaik pembuatan panel beton ringan adalah 80% perlit dan 20% perekat atau perbandingan 1 : 4 untuk perekat dengan perlit. Untuk hasil pengukuran konduktivitas termal panel beton II berbasis perlit dengan perekat resin melalui proses pengerasan secara alami 1 hari dan tanpa di autoclave, adalah sebesar 0,6922 W/m2 K. Nilai konduktivitas termal panel beton akan meningkat sebanding dengan nilai densitasnya, dan akan menurun dengan porositasnya. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa panel beton ringan dapat diaplikasikan sebagai bahan insulator atau peredam panas. KATA KUNCI : panel beton ringan, perlit, semen, resin, densitas, konduktivitas termal, insulator panas ABSTRACT : It has been made of lightweight concrete perlite-based as a light agegat. Pearlite is one type of volcanic glass that expands and porous when it is heated, lightweight and fire resistant. Application based lightweight concrete perlite can be used as good heat resistance, with the characteristic value of thermal conductivity are small. In this research, concrete perlite with composite cement, called concrete I, and concrete perlite with composite resin, called concrete II, by varying the composition. There are some kind of tests, density, porosity ,compressive strength and thermal conductivity. From the results, the value of density for the concrete I between 0.96 - 0.99 g/ cm3 and porosity values between 23:16% - 41.13%, and density value for concrete II is between 0.78 - 0.92 g/ cm3 and porosity values between 16.86 - 43.32%. . Compressive strength value for concrete I is 0.14 to 0.24 MPa, while for Concrete II is 0.54 0.95 MPa. For the thermal conductivity measurement of perlite-based concrete I composite resin with natural drying process of 1 day and without the autoclave, is 0.6922 W/m2 K. When compared both of them,it is known that the perlitebased lightweight concrete with composite resin has a density smaller and geater compressive strength values than perlite-based lightweight concrete with composite cement. The best composition is 80% perlite or 1:4 ratio for composites with perlite. The thermal conductivity of concrete increases with material density, and decreases with porosity. From this value can be concluded that the lightweight concrete can be used as a material insulator. KEYWORDS : lightweight concrete, perlite, cemen, resin, densiys, thermal konduktivity, heating insulator
1 PENDAHULUAN Beton adalah material yang banyak digunakan dalam konstruksi sebuah bangunan. Sedangkan panel beton adalah beton yang berbentuk lembaran, berukuran lebih panjang dari bahan bangunan lainnya, material ini terbuat dari campuran semen, pasir dan agregrat [1]. Pada umumnya karakteristik panel beton yang beredar dipasaran memiliki densitas yang sangat tinggi, sekitar > 2000 kg/m3, Penggunaan panel beton tersebut memerlukan tenaga lebih banyak bahkan membutuhkan alat berat sebagai media bantu. Karena membutuhkan media bantu, waktu yang dibutuhkan untuk pemasangan instalasi panel beton tersebut pada suatu bangunan relatif lebih lama. Dewasa ini telah dikembangkan rekayasa material penyusun panel beton sehingga dihasilkan panel beton dengan densitas yang lebih rendah akan tetapi memiliki kekuatan mekanik yang bisa diatur sesuai dengan komposisi bahan penyusunnya, inilah yang disebut panel beton ringan. Panel beton ringan adalah panel beton yang mengandung agegat ringan dan mempunyai densitas tidak lebih dari 1900 kg/m3 atau 1.9 g/cm3[3]. Manfaat dari panel beton ringan antara lain, sebagai peredam panas (thermal insulation), peredam suara, tahan api (fire retardant), memudahkan dalam pemasangan/instalasi 1
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
(karena ringan) dan memungkinkan untuk terjadinya efektivitas waktu pemasangan. Selain itu, panel beton ringan juga memiliki kelemahan antara lain nilai kuat tekan (compressive strength) yang terbatas sehingga kurang mampu untuk penggunaan sebagai pemikul beban pada bangunan. Pembuatan panel beton ringan dapat dilakukan dengan beberapa teknik, dengan membuatnya berpori (aerated concret) atau menggunakan agegat ringan sebagai pengisi agar stabil (non aerated concrete). Dalam penelitian ini dilakukan pembuatan panel beton ringan dengan menggunakan agegat ringan berupa perlit. Perlit (perlite) merupakan salah satu jenis gelas vulkanik yang mengembang dan berpori ketika dipanaskan [3]. Perlit dapat juga didefinisikan sebagai batuan gelas silikat yang mengandung sekitar 70% SiO2, dan jika dipanaskan pada suhu tertentu bisa mengembang 4 hingga 20 kali volume semula [4]. Batuan ini berwarna abu-abu kehijauan atau abu-abu kehitaman. Ketika dipanaskan warnanya akan berubah menjadi abu-abu cerah atau putih. Perlit banyak terdapat pada hasil letusan di sekitar gunung vulkanik. Ketika lava mengalir, bagian bawahnya bersentuhan dengan media air. Karena pegaruh beban yang menimpanya, lava yang tertahan mengalami proses pendinginan yang sangat cepat, proses ini disebut sebagai perlitisasi. Pada umumnya, perlit memiliki karakteristik yang berbeda-beda disetiap daerah penemuan perlit. Perbedaan tersebut disebabkan jumlah air yang terikat dan sejarah erupsinya. Namun karakteristik perlit secara umum adalah ringan dan tahan api. Oleh karena itu, perlit dapat digunakan sebagai paduan agegat dalam pembentukan panel beton ringan. Dari penelitian diharapkan dapat dihasilkan panel beton ringan berbasis perlit yang dapat digunakan sebagai peredam panas. Kemampuan panel beton ringan sebagai peredam panas yang baik adalah memiliki ciri nilai konduktivitas termal yang kecil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat panel beton ringan dengan variasi komposisi bahan penyusunnya yang memiliki nilai konduktivitas termal yang paling rendah. Sedangkan untuk bahan insulator panel beton ringan memiliki konduktivitas termal sekitar 0,6 – 1,19 W/m.K [7]. Pada penelitian sebelumnya, oleh Jauhara Cut Ali (2009), telah dilakukan pembuatan panel beton berbasis perlit dengan dua macam komposisi campuran, yaitu semen-perlit dan semen-perlit-pasir. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa panel beton ringan campuran semen-perlit, dengan proses pengerasan menggunakan autoclave memiliki densitas yang hampir sama dengan panel beton ringan serupa akan tetapi dengan proses pengerasan alami. Proses pengerasan dengan menggunakan autoclave ini bermanfaat untuk efisiensi waktu proses pembuatan panel beton ringan agar lebih cepat dibandingkan pengerasan alami yang membutuhkan waktu 28 hari. Nilai densitas yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh faktor komposisi perbandingan semen dan perlit. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak komposisi perlit maka tingkat penyerapan airnya juga meningkat. Hal ini tentu sangat berpengaruh dengan kualitas panel beton ringan yang dihasilkan. Panel beton ringan dengan tingkat penyerapan air yang tinggi buruk untuk instalasi bahan bangunan. Pada penelitian ini dibuat dua macam panel beton ringan dengan perekat semen dan resin epoksi. Diharapkan dari penelitian ini diperoleh panel beton ringan dengan waktu pembuatan yang lebih cepat, nilai densitas rendah (< 1,9 g/cm3) dan memiliki nilai konduktivitas termal yang rendah (< 1,19 W/m.K), sehingga dapat digunakan sebagai bahan insulator panas.
2. METODOLOGI Pada penelitian ini dibuat panel beton ringan dengan dua buah komposisi sampel. Komposisi yang pertama adalah campuran antara semen dengan perlit, disebut panel beton I, dengan pengerasan menggunakan autoclave dengan temperatur 121 selama 120 menit. Komposisi yang kedua adalah campuran antara resin epoksi dengan perlit, disebut panel beton II, dengan pengerasan alami selama 1 hari. Perlit dalam hal ini merupakan komponen pengisi atau lebih dikenal dengan sebutan filler. Sedangkan semen atau resin bertugas sebagai perekat atau matriks dalam pembuatan beton. Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah perlit sintesis, semen portland, air, resin, dan cetakan dari pipa paralon dengan ukuran diameter = 2 cm, dan panjang = 5 cm. Untuk panel beton I, nilai Fasa Air Semen (FAS) dibuat tetap sebesar 0,4. Nilai FAS ini merupakan perbandingan antara berat air dengan berat semen, umumnya nilai FAS dalam rentang 0,4 – 0,65. Variasi komposisi antara perekat : perlit untuk panel beton I adalah 1 : 2, 1 : 4, 1 : 6 dan 1 : 8, sedangkan untuk panel beton II adalah 1 : 2, 1 : 4, dan 1 : 6. Tahapan pembuatan benda uji, mulai dari penimbangan bahan baku sesuai dengan komposisi, pencampuran, pengadukan dan pencetakan menggunakan pipa paralon. Setelah dicetak, sampel kemudian dikeringkan agar terjadi proses penuaan (aging). Pada umumnya proses pengerasan panel beton secara alami membutuhkan waktu 28 hari, menghasilkan panel beton ringan dengan sifat mekanik sebesar 70% dari semestinya [5]. Pada penelitian ini, proses pengerasan yang dilakukan untuk panel beton I adalah menggunakan autoclave selama 120 menit, dan untuk panel beton II adalah 2
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
pengerasan alami selama 1 hari. Uji karakterisasi yang dilakukan meliputi: densitas, porositas, kekuatan tekan dan konduktivitas termal. Secara garis besar proses pembuatan sampel panel beton dapat dilihat pada diagram alir dibawah ini, Perlit dan Perekat Penimbangan Komposisi Pencampuran Pengadukan Pencetakan Panel Beton-Semen Autoclaved
Panel Beton-Resin Pengerasan alami
Gambar.1 Diagram alir preparasi sampel panel beton ringan. Pengukuran densitas (bulk density) dari masing-masing panel beton ringan yang telah dibuat, dihitung dengan persamaan:
m v
(1)
dengan,
= densitas, g/cm3 m = massa sampel kering, g v = volume sampel, cm3 Pengukuran porositas merupakan prosentase perbandingan volume kosong (rongga) dengan volume benda padatnya. Ada dua jenis porositas, yakni porositas terbuka dan porositas tertutup. Pada porositas tertutup, rongga di dalam suatu benda tidak dapat ditembus oleh air, sehingga pengukuran porositas tertutup sulit dilakukan, sedangkan porositas terbuka, mempunyai akses dengan permukaan luar meskipun rongga berada di tengah-tengah benda. Sehingga yang dihitung adalah porositas terbuka, persamaannya adalah:
P
mv m0 100% mv m A m k
(2)
dengan: P = porositas , % mv = massa jenuh setelah direndam 24 jam m0 = massa awal sampel setelah dikreringkan, g mA = massa sampel yang digantung di dalam air ,setelah sebelumnya direndam dalam air , g mK = massa kawat yang digunakan untuk menggantung sampel, g Awalnya, sampel panel beton direndam air selama 24 jam, kemudian ditimbang dengan neraca digital, untuk mencari massa basah, mv. Setelah itu dicari massa tergantung air dalam posisi rongga terisi air, dengan cara menggantungkan panel beton dalam air di atas neraca digital sehingga didapatkan mA.
3
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Untuk pengukuran kuat tekan (compressive strength), sampel berbentuk silinder diukur diameternya, minimal dilakukan tiga kali pengulangan, sehingga luas penampang dapat dihitung. Nilai kuat tekan (compressive strength) dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
kuat tekan
F A
(3)
Dengan, F = Gaya Tekan, N A = Luas Penampang, cm3 Untuk mengetahui besarnya konduktivitas termal, sampel panel beton dibuat berbentuk silinder (koin) dengan diameter sekitar 10 cm, dan tebal 1 – 1,5 cm. Benda uji diletakkan di atas pelat kuningan, ketel uap diletakkan di atas benda uji dan hubungkan dengan ketel air panas dengan menggunakan selang. Masukkan termometer T1 pada lubang ketel uap dan termometer T2 pada pelat alas kuningan. Mencatat kenaikan temperatur T1 dan T2 setiap dua menit sampai kondisi kesetimbangan (stady state) tercapai. Keadaan setimbang dinyatakan apabila kenaikan temperatur berkisar 0,1 0C selama 10 menit. Apabila T1 dan T2 sudah mencapai setimbang angkat ketel uap dan panaskan pelat alas beserta benda uji dengan alat pemanas, hingga temperatur T2 naik sekitar 10 0C. Setelah temperaturnya tercapai, matikan alat pemanas dan catat penurunan temperatur T2 setiap dua menit, sehingga selisih suhunya sekitar 20 0C. Nilai konduktivitas panas diperoleh dari persamaan berikut:
dT d dt k AT1 T2 mc
(4)
dengan, k m c d
= konduktivitas panas = massa air, g =panas jenis kuningan, kal/g oC = tebal sampel, cm
dT dt
= perubahan suhu terhadap waktu
A T1 T2
= luas permukaan kontak = Temperatur air panas pada steady state, oC = Temperatur permukaan panel beton,oC
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran densitas dan porositas untuk panel beton I, yaitu campuran antara semen-perlit dapat dilihat pada Gb. 2.a. Sementara hasil pengukuran densitas dan porositas untuk panel beton II, yaitu campuran antara resin-perlit dapat dilihat pada Gb. 2.b.
a.
b.
Gambar 2. Gafik Hubungan Densitas dan Porositas terhadap komposisi a. Panel beton I (campuran semen dan perlit), dan b. Panel beton II (campuran resin dan perlit) 4
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Dari Gb. 2.a di atas diketahui bahwa panel beton I dengan 4 variasi komposisi memiliki nilai densitas antara 0,96 – 0,98 g/cm3 dan nilai porositas antara 23,16% - 41,13%. Nilai optimum densitas panel beton I adalah sebesar 0,98 g/cm3 dan nilai optimum porositasnya adalah sebesar 23,16%. Nilai optimum ini dicapai pada saat komposisi perlit 80% atau dengan perbandingan 1 : 4. Jika komposisi material perlit melebihi 80% dalam campuran, beton yang dihasilkan akan semakin ringan namun nilai porositasnya akan lebih tinggi. Sebaliknya, jika komposisi material perlit kurang dari 80%, maka beton yang dihasilkan juga memiliki nilai densitas lebih tinggi namun nilai porositas akan lebih kecil. Nilai densitas panel beton ringan berbasis perlit dipengaruhi oleh komposisi perlit itu sendiri, karena material perlit memiliki densitas yang sangat rendah yaitu antara 0,04 – 0,17 g/cm3 [6]. Sedangkan untuk panel Beton II yang dibuat dengan 3 variasi komposisi memiliki nilai densitas antara 0,78 – 0,89 g/ cm3 dan nilai porositas antara 18,86 – 43,32% (lihat Gb.2.b). Panel beton II memiliki nilai optimum densitas sebesar 0,89 g/cm3 dan nilai optimum porositas adalah sebesar 18,86%. Nilai optimum densitas dan porositas panel beton II juga dicapai saat 80% komposisi perlit ada dalam campuran. Nilai porositas panel beton I lebih tinggi daripada panel beton II, namun nilai densitasnya juga lebih tinggi daripada panel beton II. Padahal seharusnya semakin poros suatu panel beton ringan maka densitasnya akan semakin kecil atau bernilai rendah. Hal ini disebabkan pada panel beton I memiliki kandungan air di dalam komposisinya. Air yang ada menempati ruang-ruang di dalam struktur beton, jika beton sudah mengeras dan terjadi pelepasan air dan membentuk rongga atau pori-pori. Sedangkan pada panel beton II dengan perekat resin epoksi tidak terjadi proses penguapan. Akibatnya nilai porositas panel beton I lebih tinggi daripada panel beton II, dan densitasnya lebih tinggi daripada panel beton II. Dari Gb.2 diatas dapat diambil kesimpulan bahwa komposisi optimum pembuatan panel beton ringan dicapai pada perbandingan antara matriks dan filler sebesar 1 : 4. Perbandingan tersebut merupakan titik jenuh ikatan, dimana ikatan molekul-molekul perlit yang terbentuk sangat kuat dengan adanya komposisi yang sesuai dengan semen atau resin sebagai matriks atau perekat. Jika komposisi filler, dalam hal ini perlit, ditambahkan hingga melebihi titik jenuh, jumlah perekat tentu semakin kecil, maka dapat menyebabkan ikatan- ikatan molekul perlit yang terbentuk akan lemah. Ikatan antar molekul perlit yang lemah ditunjukkan dengan nilai porositasnya yang tinggi. Semakin poros panel beton ringan tersebut, maka nilai kekuatan tekannya akan berkurang sehingga kemampuan panel beton untuk menyangga beban berat juga akan kecil. Hal ini ditunjukkan pada gafik uji tekan pada Gb.3. Pada Gb.3.a memperlihatkan nilai kuat tekan untuk panel beton I memiliki nilai antara 0,096 – 1,3 MPa, dengan nilai optimum adalah sebesar 1,3 MPa. Nilai optimum ini dicapai saat komposisi 80% perlit berada dalam campuran. Jika komposisi perlit ditambah hingga melebihi 80%, maka ikatanikatan molekul perlit akan lemah karena komposisi semen yang semakin rendah, nilai porositasnya akan meningkat sehingga menurunkan kuat tekan panel beton I. Jika komposisi perlit kurang dari 80% atau dengan perbadingan 1 : 2, kuat tekannya akan bernilai sangat rendah dibandingkan dengan komposisi yang lain. Pada panel beton, kuat tekan dipengaruhi oleh jumlah perlit yang berfungsi sebagai filler dan sekaligus sebagai penguat. Oleh karena itu komposisi jumlah perlit yang berkurang akan menyebabkan kekuatan panel beton juga menjadi rendah.
a.
b.
Gambar 3. Gafik Hubungan Porositas dan Kuat Tekan terhadap komposisi a. Panel beton I (campuran semen, perlit dan air), dan b. Panel beton II (campuran resin dan perlit
5
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Untuk panel beton II nilai kuat tekannya adalah 0,17 – 8,73 MPa, diperlihatkan pada Gb.3.b. Pada gambar tersebut juga menunjukkan perilaku yang sama dengan panel beton I. Komposisi terbaik panel beton ringan dicapai saat 20% resin digunakan sebagai matriks dan 80% perlit digunakan sebagai filler, atau pada perbandingan komposisi 1 : 4. Jika komposisi perlit kurang dari atau lebih dari 80%, maka nilai kuat tekannya akan menurun sesuai dengan grafik warna merah pada Gb.3. Jadi bisa disimpulkan bahwa komposisi panel beton ringan terbaik dicapai ketika 4/5 bagian merupakan filler dan 1/5 bagian merupakan matriks atau perekat. Jika dibandingkan densitas kedua komposisi panel beton ringan, panel beton ringan II dengan perekat resin memiliki densitas yang lebih rendah dibandingkan dengan panel beton I dengan perekat semen, lihat Gb.4. Resin yang digunakan terebut juga berfungsi untuk melindungi panel beton dari penyerapan air, karena sifat dari perlit itu sendiri yang cenderung mengikat air, sehingga tingkat penyerapan air pada panel beton ini lebih rendah daripada panel beton dengan perekat semen atau panel beton II. Hal ini tentu sangat berguna apabila digunakan dalam instalasi pembangunan rumah di lahan gambut atau rawa-rawa. Berdasarkan referensi panel beton ringan untuk aplikasi sebagai insulator memiliki persyaratan densitas sekitar 0,320 – 0,960 g/ cm3 dan densitas typical yang ekonomis adalah sekitar 0,432 g/cm3[6]. Kurva warna hijau menunjukkan densitas panel beton ringan yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya,oleh Jauhara Cut Ali (2009). Adanya perbedaan nilai densitas yang dihasilkan untuk panel beton ringan dengan campuran yang sama pada penelitian sekarang dan sebelumnya bisa disebabkan karena beberapa faktor, antara lain sumber perlit, ukuran perlit, semen yang digunakan, dan juga proses waktu pengerasan yang berbeda. Pada Gb. 4 terlihat bahwa dengan komposisi perekat yang tetap, dalam hal ini semen dan resin, nilai densitasnya semakin mengecil dengan bertambahnya jumlah komposisi perlit. Hal ini membuktikan bahwa komposisi perlit sangat menentukan terhadap nilai densitas panel beton ringan yang dihasilkan.
Gambar 4. Gafik hubungan densitas panel beton ringan terhadap variasi komposisi dari hasil penelitian dan referensi Pada Gb. 5 menunjukkan, bahwa nilai kuat tekan maksimum dicapai saat komposisi perlit pada panel beton ringan sebesar 80%. Jika nilai tersebut diperbesar, maka kuat tekan dari panel beton ringan akan mengecil. Dari referensi diketahui, bahwa nilai kuat tekan panel beton ringan pada umumnya adalah 0,62 – 3,5 Mpa [7]. Jika dibandingkan nilai kuat tekan panel beton ringan I berada di bawah nilai kuat tekan minimum panel beton ringan pada umumnya, tapi untuk komposisi 80% perlit memiliki nilai kuat tekan yang berada diantara nilai kuat tekan referensi, yaitu 1,3MPa. Sedangkan nilai kuat tekan panel beton ringan II untuk perbandingan 1 : 2 berada diatas nilai kuat tekan minimum, untuk perbandingan 1 : 4 berada diatas nilai kuat tekan maksimum, sedangkan untuk perbandingan 1 : 6 langsung turun dibawah nilai kuat tekan minimum beton pada umumnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa komposisi panel beton ringan terbaik dicapai saat 80% perlit dan 20% resin epoksi.
6
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Gambar 5. Grafik Hubungan kuat tekan panel beton ringan terhadap komposisi Berdasarkan hasil pengukuran kuat tekan terbaik dicapai saat 80% perlit dan 20% resin epoksi, maka pada kondisi tersebut dilakukan pengukuran konduktivitas termal. Pengukuran konduktivitas termal bertujuan untuk mengetahui kemampuan panel beton ringan dalam menghantarkan panas. Pengujian konduktivitas termal panel beton ringan dilakukan dengan menggunakan thermal conductivitymeter dan mengacu pada ASTM C 177 – 1997. Hasilnya diperlihatkan pada Gb.6. Kurva berwarna merah menunjukkan temperatur pada sisi benda yang bersinggungan langsung dengan penghantar panas (ketel uap), sedangkan kurva berwarna biru menunjukkan temperatur pada sisi yang berlawanan. Terdapat perbedaan temperatur pada kedua sisi, karena terjadi kenaikan temperatur tiap waktu pada kedua sisi yang bernilai tidak sama. Namun ketika mencapai titik jenuh, kenaikan temperatur keduanya relatif konstan sehingga perbedaan temperatur keduanya sekitar 60C. Perbedaan temperatur pada kedua sisi saat jenuh ini dihitung dan dimasukkan ke dalam Persamaan 4, sehingga dihasilkan nilai konduktivitas termal sebesar 0,6922 W/m2 K. Nilai konduktivitas termal panel beton akan meningkat sebanding dengan nilai densitasnya, dan akan menurun dengan porositasnya [9]. Dari referensi diketahui bahwa konduktivitas termal panel beton perlit sekitar 0,54 – 0,83 W/m2 K [8]. Dari nilai konduktivitas termal tersebut dapat disimpulkan bahwa panel beton perlit dengan perekat resin ini dapat digunakan sebagai bahan insulator panas.
Gambar 6. Grafik Hubungan Temperatur dengan waktu
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Dari pembuatan panel beton ringan berbasis perlit dengan perekat semen dan resin dapat disimpulkan bahwa: 1 2
Karakteristik panel beton ringan dipengaruhi oleh varisi komposisi dan jenis perekat yang digunakan. Nilai densitas panel beton ringan berbasis perlit dengan perekat resin (panel beton II) jauh lebih rendah daripada dengan menggunakan perekat semen (panel beton I). 7
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
3 4 5
Volume 29, Mei 2011
Nilai porositas panel beton ringan berbasis perlit dengan perekat resin (panel beton II) lebih rendah daripada dengan menggunakan perekat semen (panel beton I). Panel beton ringan berbasis perlit dengan perekat resin memiliki nilai kuat tekan lebih besar daripada menggunakan perekat semen Kondisi optimum diperoleh pada komposisi 80% perlit dan 20% resin epoksi atau 1:4, yang menghasilkan nilai konduktivitas termal : 0,6922 W/m2 K. Sehingga panel beton ringan ini sangat cocok dipergunakan sebagai insulator panas.
4.2 Saran 1. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengujian tingkat penyerapan air dari panel beton ringan perlit dengan perekat resin. 2. Perlu adanya pengujian SEM untuk mengetahui secara mikroskopis susunan ikatan antara matriks atau penguat dengan filler atau pengisi.
DAFTAR PUSTAKA [1] Ali, J C, Pembuatan Panel Beton Ringan Berbasis Perlit dan efek Komposisinya Terhadap Karakteristiknya, Medan : USU,2009. [2] Tata Cara Perhitungan Struktur Panel beton untuk Bangunan Gedung. SNI, 03xxx2002. [3] http://www.mii.org/Minerals/photoperlite.html [4] A.F.Ismayanto dan E.T Agustinus, Batuan Perlit Karangnunggal Sebagai Bahan Sintesa Atapulgit, Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 17 No. 2, 1-17, 2007. [5] http://mualim.wordpress.com/2007/07/23/teknik-pembuatan-panel beton-1/ [6] Ajax, Ontario.,CG. SpecialtyVermiculite®.IndustrialPerlite, Co. of Canada Ltd 294, L1S 3C6 BP-012 4M/10/87. (www.na.gaceconstruction.com/vermiculite/download/Perlite.pdf) [7] http://www.silbrico.com/lightwt.htm [8] http://www.perlite.org/perlite_info/guides/lightweight_insulating_concrete/general/perlite_concrete.pdf [9] A, Mortensen, Concise Encyclopedia of Composite Materials, Elsevier Ltd, Netherlands., Hal 236 2nd edition,2007.
8
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Pengaruh Variasi Ukuran Partikel 10% Carbon Black pada Pelat Bipolar PEMFC dengan Grafit EAF YUNITA SADELI DAN SUTAN DHANY P. L. TOBING Departemen Teknik Metalurgi dan Material – FT UI, Kampus UI Depok – Jawa Barat BAMBANG PRIHANDOKO Pusat Penelitian Fisika – LIPI, PUSPIPTEK, Tangsel – Banten INTISARI : Pelat bipolar merupakan komponen utama dalam Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cell (PEMFC). Pelat bipolar dibuat berbentuk komposit yang terdiri dari matriks grafit Electric Arc Furnace (EAF), carbon black sebagai filler, dan resin epoksi sebagai binder. Ukuran partikel carbon black yang digunakan adalah 44 μm dan 37 μm dengan perbandingan 100:0; 90:10; 80:20; dan 70:30. Metoda compression moulding dilakukan dalam pembuatan pelat bipolar dengan menggunakan tekanan 450 kg/cm2 selama 4 jam pada temperatur 700C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran partikel carbon black 44 μm dan 37 μm dengan perbandingan 90:10 menghasilkan pelat bipolar dengan karakteristik optimum dengan nilai konduktifitas sebesar 1,11S/cm. KATA KUNCI : PEMFC, pelat bipolar, karbon-karbon komposit, carbon black, konduktifitas ABSTRACT : Bipolar plate is a major component in the polymer electrolyte membrane fuel cell (PEMFC). A composite bipolar plates made of graphite Electric Arc Furnace (EAF) as matrix, carbon black as filler, and epoxy resin as a binder. Particle size of carbon black was 44 μm and 37 μm with a ratio of 100:0; 90:10; 80:20, and 70:30. Method of compression molding is done in the manufacture of bipolar plates by using a pressure of 450 kg/cm2 during 4 hours at a temperature of 7000 C. The results showed that the carbon black particle sizes of 44 μm and 37 μm with a ratio of 90:10 produced optimum characteristics with a conductivity of 1,11 S/cm. KEYWORDS : PEMFC, bipolar plate, composie carbont, carbon black, conductivity
1.
PENDAHULUAN
Pelat bipolar berfungsi sebagai pemisah antar single stack, pendistribusi bahan bakar, pengatur distribusi air dan panas, serta penghantar arus keluar sel [1,2]. Pelat bipolar berpengaruh terhadap 80% volum, 70% berat, dan 60% biaya dari sel tunam [3,4]. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa komponen pelat bipolar mencakup hampir sebagian besar dari total berat PEMFC.
Gambar 1. Distribusi Massa untuk Stack PEMFC[3] Dalam pengembangan materialnya, perlu diperhatikan sifat dan performa dari komponen pelat bipolar tersebut. Hal ini dikarenakan fungsi pelat ini yang sangat penting, yaitu sebagai sebagai pengumpul arus muatan listrik (electrical current), sebagai alur pemasok bahan bakar itu sendiri atau dapat dikatakan sebagai pengatur pendistribusian bahan bakar, sebagai penahan lewatnya gas secara langsung (gas barrier), serta sebagai penyalur sisa reaksi/hasil samping [5]. Oleh karena itu, pemilihan material yang tepat sebagai penyusun pelat bipolar komposit perlu diperhatikan agar penggunaan sel tunam sebagai penghasil energi 9
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
listrik dapat bernilai ekonomis dan memiliki efisiensi yang tinggi. Seperti yang disyaratkan US DOE (Department of Energy) pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Target karakteristik plat bipolar oleh US DOE (Department of Energy) [6]
Pada penelitian ini dibuat pelat bipolar dari karbon-karbon komposit, yaitu komposit berbasis grafit yang menggunakan carbon black sebagai pengisi, dan epoksi sebagai binder. Grafit yang digunakan berasal dari limbah EAF (Electric Arc Furnace) atau elektroda dapur listrik proses peleburan baja. Carbon black yang digunakan berasal dari serat alami (serabut kelapa). Pada sistem komposit, dispersi carbon black akan membentuk jaringan antar karbon dalam polimer. Jaringan ini berfungsi sebagai sirkuit elektrik sehingga dengan mudah dapat mengalirkan arus listrik. Oleh karena itu, adanya penambahan carbon black pada material komposit yang akan dibuat akan meningkatkan sifat konduktivitas listrik dari pelat bipolar. Jaringan tersebut juga mampu meningkatkan kemampuprosesan komposit dan sifat mekanisnya. Namun perlu diketahui ketika komposisi carbon black terlalu besar pada suatu matriks maka akan terbentuk pengelompokan atau aglomerasi carbon black dan jaringan tidak terbentuk dengan baik [7,8]. Resistansi total dari pelat bipolar komposit berasal dari resistansi pada jarak antar agregat (interaggregate space), Re, seperti diilustrasikan pada Gambar 2. Oleh karena itu, adanya partikel carbon black akan menjadi penghubung tambahan antar lapisan grafit, yang akan mengakibatkan nilai resistansi Re menurun [9]. Penambahan carbon black dapat meningkatkan nilai konduktivitas listrik secara efisien dengan penambahan yang minimum, karena partikel tersebut memiliki struktur yang bulat berlubang (hollow) dan bercabang, luas permukaan yang tinggi dan ukuran partikel yang kecil [9].
Gambar 2. Ilustrasi Skematik dari (a) Berbagai Hambatan Tersusun Secara Seri, (b) Partikel Carbon Black Ditempatkan di antara Lapisan Grafit untuk Mengurangi Nilai Hambatan Re [9].
2.
METODOLOGI
Pelat bipolar dibuat dari material karbon-karbon komposit dengan perbandingan komposisi dari berat total material yang digunakan adalah 80%wt. karbon yang terdiri dari campuran 90%wt. grafit EAF berukuran 44 μm dan 10%wt. carbon black, sedangkan 20%wt. lainnya terdiri dari resin epoksi dan 10
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
hardener. Ukuran partikel 10%wt. carbon black yang digunakan dalam penelitian ini divariasikan antara ukuran partikel 44 μm dan 37 μm dengan perbandingan 100:0; 90:10; 80:20; dan 70:30. Pembuatan pelat bipolar dilakukan dengan metoda compression moulding yang menggunakan tekanan 450 kg/cm2, dengan temperatur cetakan 70oC selama 4 jam. Setelah proses pembuatan pelat, dilakukan pengujian untuk mengetahui sifat yang dihasilkan. Pengujian konduktifitas dilakukan dengan menggunakan alat digital Veeco FPP 5000-four point probe test.. Prinsip kerja alat ini menggunakan 4 titik yang terdiri dari titik 1 dan 4 sebagai titik pengukur arus yang dibaca di amperemeter, sedangkan titik 2 dan 3 sebagai pengukur tegangan yang akan dibaca di voltmeter. Skema pengujian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema Uji Konduktivitas dan mesin Veeco FPP 5000 - Four Point Probe Test Pada pengujian konduktivitas listrik digunakan cakram untuk menahan posisi sampel uji serta memfokuskan arus yang ditembakkan pada titik tertentu. Cakram terbuat dari polimer berwarna hitam yang berbentuk lingkaran dengan diameter dan ketebalan tertentu. Porositas merupakan pori yang terbentuk akibat udara yang terperangkap. Pori yang terbentuk dapat mempengaruhi performa pelat bipolar. Persentase porositas yang terbentuk dapat diketahui dengan melakukan pengujian sesuai standar ASTM C20. Prinsip dari pengujian adalah melihat perbedaan berat dari sampel kering (setelah dipanaskan) dan sampel jenuh (setelah direndam).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Penyiapan Sampel Pembuatan sampel uji dilakukan sebelum pengujian untuk mengetahui karakteristik pelat bipolar. Sampel uji dibuat dalam ukuran yang menyesuaikan standar pengujian, seperti terlihat pada Gambar 4. Sampel pengujian konduktifitas dan porositas dibuat dalam ukuran 2 cm x 2 cm dan tebalnya 0,3 cm. Permukaan sampel uji dihaluskan hingga rata untuk menghilangkan retak mikro ataupun sumber konsetrasi tegangan dari bekas inisiasi retak, sehingga data hasil pengujian akan menjadi lebih akurat.
Gambar 4. Sampel uji 3.2. Hasil Uji Porositas Salah satu sifat yang harus dimiliki pelat bipolar adalah memiliki porositas yang sangat kecil. Porositas merupakan rongga yang terbentuk dalam suatu material akibat pengaruh senyawa gas yang umumnya berasal dari luar sistem (uap air dan gas) maupun dari dalam sistem (bagian komposisi bahan yang 11
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
dapat menguap) yang terbentuk selama proses pembuatan material. Persentase porositas pelat bipolar harus dibuat seminimal mungkin. Persentase porositas diharapakan kurang dari 1% sesuai dengan syarat DOE. Tabel 2 dan Gambar 5 terlihat adanya kecenderungan peningkatan porositas dengan penambahan komposisi partikel. Tabel 2. Hasil uji porositas pelat bipolar.
Dari Gambar 5 terlihat adanya kecenderungan peningkatan porositas dengan penambahan komposisi partikel carbon black 37 m. Pada sampel pertama dengan tanpa penambahan carbon black 37 μm, nilai porositas yang diperoleh sebesar 1,41%. Namun, pada sampel kedua, ketiga, dan keempat, terlihat adanya kecenderungan peningkatan porositas. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh struktur poros dari partikel carbon black tersebut. Ukuran partikel carbon black yang semakin kecil membuatnya sulit terdistribusi merata dan cenderung membentuk pengelompokan atau agglomerasi. Penambahan komposisi partikel carbon black yang semakin tinggi membuatnya menjadi tidak optimum, karena apabila carbon black dikomposisikan berlebih maka porositas meningkat akibat distribusi partikel yang tidak merata.
Gambar 5. Hasil uji porositas menurut variasi ukuran partikel Dapat disimpulkan dari hasil pengujian yang dilakukan maka tingkat porositas terendah terdapat pada sampel pertama (tanpa penambahan carbon black 37 μm) dengan tingkat porositas 1,41%, sedangkan porositas tertinggi dimiliki oleh sampel ketiga (penambahan 20% carbon black 37 μm) dengan persen porositas 1,92%. Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan komposisi partikel dengan ukuran yang semakin kecil akan menyebabkan terjadinya peningkatan kekosongan (void) pada komposit, sehingga tingkat porositas dari komposit pun akan meningkat. Nilai persentase porositas dari pengujian berada pada kisaran nilai 1,41%-1,92%. Nilai tersebut masih belum memenuhi standar nilai porositas untuk pelat bipolar. 3.3. Hasil Uji Konduktifitas Nilai konduktivitas menjadi fokus utama dalam pengembangan komponen pelat bipolar. Pelat bipolar dengan konduktivitas tinggi akan mampu mengalirkan arus listrik antar elektroda dengan baik. Sesuai dengan persyaratan yang ditunjukkan pada Tabel 1, maka sebuah pelat bipolar harus memiliki nilai konduktivitas listrik lebih dari 100 S/cm. Pengujian four point probe digunakan untuk mengukur resistivitas listrik pelat bipolar untuk dikonversi ke dalam nilai konduktivitas listrik. Pada Tabel 3 dan Gambar 6 dapat dilihat hasil pengujian konduktivitas listrik dari pelat bipolar. 12
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Tabel 3. Hasil uji porositas pelat bipolar
Gambar 6. Hasil uji konduktifitas menurut variasi ukuran partikel Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa nilai konduktifitas sampel kedua dengan variasi penambahan 10% partikel carbon black 37 µm mengalami peningkatan disbanding sampel pertama yang tanpa penambahan partikel carbon black 37 µm. Peningkatan konduktifitas ini disebabkan oleh partikel carbon black dengan ukuran yang lebih kecil, yaitu 37 µm,bertindak sebagai penghubung tambahan antar lapisan grafit. Kondisi ini dapat menurunkan resistansi dengan kata lain menaikkan konduktifitas. Namun setelah komposisi carbon black 37 µm dinaikkan menjadi 20% dan 30% terjadi penurunan nilai konduktifitas yang dihasilkan. Penyebab utama nya adalah penggumpalan atau aglumurasi partikel karbon yang secara umum cenderung beraglumurasi, sehingga distribusinya tidak merata dan bahkan dapat meningkatkan timbulnya pori seperti di Gambar 5. Jaringan antar karbon akhirnya tidak terbentuk dan menurunkan nilai konduktifitas.
4. KESIMPULAN DAN SARAN Penambahan carbon black dengan variasi ukuran partikel tidak mempengaruhi proses pembuatan pelat bipolar. Pengaruh negatif dari variasi ukuran partikel carbon black ditunjukkan dengan peningkatan nilai porositas pelat bipolar, walaupun kenaikan porositas tidak signifikan. Nilai porositas masih belum memenuhi target DOE. Pengaruh variasi ukuran partikel carbon black 44 μm dan 37 μm dengan perbandingan 90:10 memberikan nilai optimal dari konduktifitas pelat bipolar 1,11 S/cm. Penambahan carbon black dengan variasi ukuran partikel terhadap pelat bipolar masih belum optimal, dikarenakan faktor distribusi dari partikel belum merata di seluruh bagian pelat bipolar.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan kerjasama antara Pusat Penelitian Fisika LIPI dengan Departemen Teknik Metalurgi dan Material dalam bentuk kerjasama pembiayaan dan bimbingan mahasiswa sejak tahun 2009. Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan kedua belah pihak. 13
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3] [4] [5]
[6] [7] [8]
14
Andi Suhandi, Nanik Indayaningsih, Bambang Prihandoko dan Achmad Subhan, Research on PEMFC Graphite Composite Bipolar Plate Influenced by Composition of Filler and Binder, The 2007 Conference on Solid State Ionics (CSSI), Serpong 2007. Besmann, T.M., Klett, J. W., Henry, J. J., Lara, C.E., Carbon/Carbon Composite Bipolar Plate for PEM Fuel Cells. Journal of The Electrochemical Society. Metals and Ceramics Division, Oak Ridge National Laboratory,Tennessee, USA, 2001. Yuhua Wang. Thesis: Conductive Thermoplastic Composite Blends for FlowField Plates for Use in Polymer Electrolyte Membrane Fuel Cells (PEMFC). University of Waterloo, Ontario, Canada, 2006. Xianguo Li, and Imran Sabir. Review of Bipolar Plates in PEM Fuel Cells:Flow-Field Designs. Canada: University Avenue West, 2004. Suharjanto, Yoghi. Skripsi: Komposit Konduktif Polipropilen (PP)/Maleated-Anhydride-GraftedPolypropylene (PP-g-MA)/Karbon untuk Aplikasi Pelat Bipolar Polymer Electrolyte Membrane (PEM) Fuel Cells. Departemen Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009. US. Department of Energy. Fuel Cell Handbook 7th Edition. EG & G Technical Services Inc., Morgantown, West Virginia, 2004. ASM International Comittee. Casting. ASM Metals Handbook Vol. 15. 9th ed. 1988. Graphite, electrode- D406X1800MM-20-46KA, Inventory Control System Krakatau Steel, Cilegon, 2009.
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Pembuatan Beton High-Strength Berbasis Mikrosilika dari Abu Vulkanik Gunung Merapi CANDRA KURNIAWAN, PERDAMEAN SEBAYANG, DAN MULJADI Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Komplek PUSPIPTEK Tangerang, Indonesia Email :
[email protected] ANTON KUSWOYO Departemen Fisika-FMIPA, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, Indonesia INTISARI : Telah dilakukan penelitian berupa pembuatan beton high-strength berbasis mikrosilika dari abu vulkanik Gunung Merapi. Ada dua treatmen yang dilakukan, yaitu: beton-semen dan beton-polimer. Bahan baku pembuatan beton berupa semen portland, resin epoxy (cair), abu vulkanik, agregat halus dan agregat kasar. Sampel beton dicetak dengan menggunakan pipa paralon dengan diameter dalam 2,75 cm dengan panjang cetakan adalah dua kali diameternya. Betonsemen dibuat dengan kandungan 40% pasta (semen-air), aggregate 60% dan nilai FAS 0,6. Ada tiga komposisi beton,: beton normal (beton A), beton abu vulkanik 100 mesh (beton B), dan beton abu vulkanik mikro size (beton C). Beton polimer (resin epoxy) dibuat menggunakan abu vulkanik mikro size dengan perbandingan resin terhadap kompositnya 1 : 5 (beton D) dan 1 : 3 (beton E). Parameter pengujian sampel meliputi uji densitas, porositas dan mekanik (kuat tekan). Hasil karakteristik beton menunjukkan bahwa beton dengan kualitas terbaik dihasilkan oleh Beton E (rasio resinkomposit 1 : 3) dengan karakteristik densitas = 2,09 gr/cm3, porositas = 1,58 %, dan kuat tekan sebesar 850,50 kgf/cm2. Tampak bahwa penambahan abu vulkanik sebagai campuran pada beton baik yang berukuran 100 mesh maupun mikro size dapat menghasilkan beton mutu tinggi yang ringan dengan kepadatan tinggi. KATA KUNCI : beton high-strength, resin epoxy, abu vulkanik, mikrosilika, semen portland ABSTRACT : Has done research on the topic of making high-strength concrete based mikrosilika from volcanic ash of Mount Merapi. There are two treatments created, cement-concrete and polymer-concrete. The raw materials use for making this concrete is portland cement, epoxy resin (liquid), volcanic ash, fine aggregate and coarse aggregate. Concrete samples were formed using paralon pipe with a diameter of 2.75 cm and mold length is twice the diameter. Cement-concrete containing 40% pastes (cement-water) and FAS value of 0.6, has three kinds of composition: normal concrete (concrete A), volcanic ash concrete 100 mesh (concrete B),and volcanic ash concrete microstructure (concrete C). Polymer concrete (epoxy)created using micro volcanic ash with resin-concrete ratio of 1 : 5 composite (concrete D) and 1 : 3 (concrete E). Test parameters used for sample are measurement for density, porosity and mechanical (compressive strength). The results showed that the concrete characteristics of concrete with the highest quality produced by Concrete E (ratio of composite resin-1: 3) with the characteristic density gr/cm3 = 2.09, porosity = 1.58%, and compressive strength of 850.50 kgf/cm2 . It shows that the addition of volcanic ash as concrete mix in both the size of micro and 100 mesh can produce lightweight high-strength concrete with high density. KEYWORDS : high strength concrete, epoxy resin, volcanic ash, microsilica, portland cement
1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh rangkaian pegunungan berapi paling aktif di dunia. Pada akhir tahun 2010 yang lalu diperlihatkan peristiwa meletusnya gunung Merapi di Magelang, Jawa Tengah. Dalam letusan tersebut Merapi juga mengeluarkan material abu vulkanik dan awan panas. Awan panas yang terdiri atas material abu vulkanik dan gas ini memiliki temperatur 200 – 700 0C yang disebut Wedhus Gembel karena bentuknya saat meluncur turbulen mirip dengan bulu Kambing/Domba dengan laju luncur mencapai 200 km/jam dan jarak tempuh bisa mencapai 15 km dari puncak Merapi. Beton sebagai material komposit memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan bahan konstruksi lainnya. Di antaranya adalah sifatnya yang mudah dibentuk sesuai dengan konstruksi yang dibutuhkan, memiliki kekuatan yang tinggi untuk memikul beban berat dan biaya perawatannya tergolong ekonomis. Penambahan material tertentu ke dalam struktur beton secara umum dimaksudkan untuk memperoleh kualitas beton yang lebih baik, sehingga dapat dipelajari struktur dan karakteristik yang dihasilkan.
15
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Tabel 1. Karakteristik Abu Vulkanik Merapi
Abu Vulkanik sebagai material alami yang dikeluarkan dari Merapi selain dapat menutupi lahan dan mengakibatkan rusaknya sebagian besar tanaman sekitarnya, namun juga memiliki kemungkinan pemanfaatan lain yang lebih menguntungkan. Secara umum komposisi abu vulkanik terdiri atas Silika dan Kuarsa. Komposisi yang dominan pada abu vulkanik Merapi seperti yang ditunjukkan pada Tb.1 adalah silika, alumina, besi, dan kalsium [1], sehingga merupakan material yang dapat digunakan sebagai bahan campuran atau dimanfaatkan sebagai material subtitusi semen jika ditambahkan kapur (CaCO3). Ukuran (Size) partikel campuran sebagai komponen beton mempengaruhi sifat fisikanya adalah densitas, porositas dan kuat tekan. Hal ini dapat dipahami karena semakin kecil ukuran partikel campuran maka celah-celah udara (rongga) yang ada pada beton akan semakin sedikit sehingga pengecilan ukuran partikel campuran akan meningkatkan densitas dan mengecilkan nilai porositas pada beton, sehingga secara teori jika beton memiliki kepadatan yang lebih tinggi maka kuat tekannya juga akan meningkat. Kandungan Silika (SiO2) yang terdapat dalam abu vulkanik yang dihaluskan ukurannya menjadi berorde mikrometer (µm) disebut mikrosilika. Penggunaan mikrosilika dalam pembuatan beton sebagai material tambahan diharapkan dapat mampu meningkatkan kualitas beton menjadi beton mutu tinggi (high strength). Suatu beton bisa disebut sebagai beton mutu tinggi (high strength) jika memiliki kuat tekan minimal sekitar 490,3 kgf/cm2 [2]. Pada penelitian ini dibuat beberapa jenis beton dengan menggunakan bahan campuran dari abu vulkanik gunung Merapi. Beton-semen adalah beton yang menggunakan perekat semen dengan variasi ukuran partikel campuran abu gunung Merapi menggunakan ayakan 100 mesh dan ukuran mikro. Beton polimer (epoxy) menggunakan variasi komposisi resin : komposit sebesar 1 : 3 dan 1 : 5. Dari hasil pembuatan beton ini kemudian akan diuji sifat-sifat fisiknya seperti densitas, porositas dan kuat tekannya.
2. METODOLOGI Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah semen portland, agregat kasar (kerikil kecil), agregat halus (Pasir), abu vulkanik Merapi, aquades, dan resin epoxy (cair) sebagai bahan polimer. Eksperimen dilakukan dengan membuat dua jenis beton: beton-semen (semen portland + agregat + air) dan beton polimer (resin epoxy cair + agregat). Adapun tahapan preparasi mulai dari pencucian abu vulkanik Merapi dari unsur pengotor dengan menggunakan air bersih. Abu yang telah bersih kemudian dikeringkan dalam oven selama 8 jam pada suhu 100oC, kemudian disaring hingga lolos ayakan 100 mesh sehingga diperoleh abu vulkanik dengan diameter maksimal 0,15 mm. Ada dua perlakuan terhadap abu vulkanik. Pertama abu vulkanik yang diayak pada ayakan 100 mesh, dan yang kedua abu vulkanik dibuat dalam ukuran mikro. Pembuatan abu vulkanik dalam skala mikrometer dilakukan dengan menggunakan alat Planetary Ball Mill (PBM) dengan cara sampel digerus dalam PBM selama 30 jam, kemudian dianalisis ukuran partikelnya menggunakan Particle Size Analizer (PSA) sehingga didapatkan abu vulkanik dengan ukuran submikron (<10 µm). Proses pembentukan Beton-semen menggunakan campuran semen portland, air, agregat yang komposisinya adalah 40% pasta semen (campuran semen dan air) dan 60% agregat (kasar + halus). Faktor air semen (FAS) yang dibuat sebagai perbandingan semen-air adalah sebesar 0,6. Nilai FAS 0,6 diambil karena 16
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
kemudahan dalam pembuatan sampel beton-semen. Beton polimer dibuat dengan menggunakan resin epoxy (cair), agregat (kasar + halus), dan abu vulkanik mikro dengan variasi komposisi resin-komposit. Sebagai variabel kontrol dibuat beton-semen normal (tanpa tambahan abu vulkanik). Jenis beton uji yang dibuat adalah sebagai berikut : a. Beton A : pasta semen + (agregat halus + agregat kasar) b. Beton B : pasta semen + [abu vulkanik 100 mesh + (agregat halus + kasar)] c. Beton C : pasta semen + [abu vulkanik mikro + (agregat halus + kasar)] d. Beton D : resin epoxy + [abu vulkanik mikro + (agregat halus + kasar)] dengan perbandingan 1:5. e. Beton E : resin epoxy + [abu vulkanik mikro + (agregat halus + kasar)] dengan perbandingan 1:3. Dalam setiap beton sampel yang menggunakan abu vulkanik perbandingan antara abu vulkanik dan agregat adalah 1 : 1 dan sampel A – E dibuat masing-masing 5 sampel. Sampel beton dibuat dalam bentuk silinder dengan diameter rata-rata 2,75 cm menggunakan cetakan yang dibuat dari pipa paralon. Panjang pipa adalah dua kali diameternya. Pada pembuatan beton semen, beton yang sudah jadi dikeringkan dengan menggunakan autoclave selama 2 jam pada suhu 1210C. Pengeringan dengan autoclave bertujuan untuk mempercepat proses penuaan umur beton. Selanjutnya beton dimasukkan dalam oven 1000C selama 24 jam untuk menghilangkan kadar airnya. Sedangkan untuk jenis beton polimer, beton yang telah dimasukkan ke dalam cetakan kemudian dikeringkan selama 1 hari pada suhu ruangan. Tahap akhir ialah pengujian sifat fisik beton (densitas dan porositas) dan uji mekanik (kuat tekan) dengan menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM). Diagram alir pembuatan beton uji ditunjukkan pada Gb. 1 Tahapan pengujian yang dilakukan antara lain adalah pengukuran massa jenis (densitas) sampel beton. Pengukuran densitas beton ini menggunakan prinsip Archimedes untuk benda tidak beraturan menggunakan persamaan,
Beton
m0 air m0 m A mk
(1)
dengan mo adalah massa kering sampel, sedangkan mA adalah massa sampel + kawat yang ditimbang didalam air dikurangi dengan massa kawat mk. Pengujian kedua adalah pengukuran porositas dari sampel beton. Porositas (P) merupakan persentase perbandingan volume kosong (rongga) dengan volume total benda padat tersebut. Ada dua jenis porositas, yakni porosiatas terbuka (semu) dan porositas tertutup. Pada porositas tertutup, dihitung porsi rongga yang tidak dapat ditembus oleh air dan rongga terbuka yang dapat dimasuki air, sehingga pengukuran porositas tertutup sulit dilakukan, sedangkan porositas terbuka, rongga dapat dimasuki air dari luar meskipun rongga berada di tengah-tengah benda [3]. Sehingga yang biasanya diukur adalah porositas terbuka (semu) yang dinyatakan dalam persamaan,
P
mb m a 100% mb m A mk
(2)
dengan mb adalah massa basah sampel setelah direndam dalam air selama 24 jam. Pengujian ketiga adalah pengujian kuat tekan (compressive strength) dari sampel beton. Kuat tekan beton menunjukkan kualitas dari sampel beton. Pengujian kuat tekan ini menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM). Pengukuran kuat tekan beton menggunakan persamaan,
P
F A
(3)
dengan F adalah gaya tekan yang mengenai sampel dan A adalah luas permukaan sampel yang dikenai gaya sebesar F.
17
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Agregat (Halus+Kasar) Pasta Semen
Pencampuran (a)
Autoclaved
Dioven 100 0C
Cetak
Beton Uji B,C
Abu Vulkanik (100 mesh/mikro)
Karakterisasi
(a) Pengeringan (Penuaan)
Agregat (Halus+Kasar) Resin Epoxy
Pencampuran (1 : 3 ; 1 : 5 )
Abu Vulkanik (mikro)
Cetak
Beton Uji D, E
Karakterisasi
(b) Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Beton Uji yang dicampur abu vulkanik Merapi, a) Beton semen dengan campuran abu vulkanik (100 mesh & mikro), b) Beton polimer dengan abu vulkanik mikro dan variasi komposisi polimer-komposit.
Gambar 2. Sampel Beton yang dibuat terdiri atas beton-semen dan beton polimer (berwarna gelap)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pembuatan sampel beton-semen dan beton polimer ditunjukkan pada Gb.2. Beton abu-abu menunjukkan beton-semen sedangkan beton hitam (gelap) adalah beton polimer. Hasil pengukuran densitas (ρ) dan porositas (P) untuk kelima jenis beton diperlihatkan pada Gb. 3 (a,b). Dalam grafik terlihat bahwa dari kelima jenis beton yang dibuat, densitas terbesar dan terkecil berturut-turut ditunjukkan oleh beton C (semen) dan D (polimer) dengan besar masing-masing 2,47 gr/cm3 dan 2,06 gr/cm3. Beton yang dihasilkan 18
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
memiliki densitas yang sesuai dengan standar beton-semen/polimer pada umumnya. Beton-semen (Portland) secara umum memiliki densitas 1,9-2,5 g/cm3 sedangkan beton polimer (Epoxy) memiliki densitas dalam rentang 2,0-2,4 g/cm3 [4]. Hasil pengukuran porositas (P) terbesar dan terkecil berturut-turut ditunjukkan oleh beton A (normal) dan beton E (polimer) dengan nilai porositas 25,62 % dan 1,58 %. Tampak bahwa secara umum bahwa nilai densitas dan porositas dalam beton memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Densitas pada beton-semen menjadi lebih besar jika campuran partikel abu vulkanik dibuat dalam ukuran yang lebih kecil. Hal ini ditunjukkan pada Gb. 3.a pada beton A-C. Beton A sebagai beton normal tanpa campuran abu vulkanik memiliki densitas yang lebih kecil dibandingkan dengan beton B dan C yang mengandung campuran abu vulkanik. Ukuran partikel abu vulkanik yang dibuat dalam dua jenis yaitu abu vulkanik yang lolos ayakan 100 mesh (< 0,15 mm) dan abu vulkanik mikro (± 5,6 µm) cukup mempengaruhi densitas beton yang terlihat pada peningkatan densitas yang terjadi pada beton B yang menggunakan campuran abu vulkanik 100 mesh dibandingkan dengan beton C yang menggunakan abu vulkanik mikro. Penambahan abu vulkanik mikro dengan variasi komposisi resin dibandingkan dengan kompositnya juga mempengaruhi densitas yang dihasilkan pada beton D dan E. Beton D yang memiliki komposisi resin yang lebih sedikit dengan perbandingan 1 : 5 memiliki densitas yang lebih kecil dibandingkan dengan beton E dengan perbandingan resin-komposit 1 : 3. Sehingga terlihat bahwa densitas beton polimer dapat ditingkatkan jika komposisi resin yang dipakai semakin banyak.
(a)
(b)
Gambar 3 : Grafik perbandingan densitas dan porositas masing-masing beton. a) Densitas beton uji terhadap jenis beton, beton semakin berat jika ukuran campuran abu vulkanik semakin kecil (beton B-C), beton juga semakin berat jika komposisi epoxy diperbanyak (beton D-E), b) Porositas beton terhadap jenis beton, porositas semakin kecil jika ukuran campuran abu vulkanik semakin kecil (beton B-C), porositas juga berkurang dengan bertambahnya epoxy yang digunakan pada beton polimer (beton D-E). Pada Gambar 3.b ditunjukkan besar porositas yang dimiliki oleh beton uji. Porositas yang terdapat pada beton-semen memiliki persentase yang semakin kecil dengan penambahan campuran abu vulkanik ke dalam struktur betonnya. Hal ini terlihat dengan penurunan nilai porositas dari beton A (tanpa abu vulkanik) menjadi beton B yang ditambah abu vulkanik. Ukuran abu vulkanik yang ada pada campuran juga mempengaruhi karakteristik porositas tersebut. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, beton yang menggunakan campuran abu vulkanik berukuran mikro (beton C) memiliki porositas yang lebih kecil dibandingkan dengan beton yang menggunakan campuran abu vulkanik 100 mesh (beton B). Porositas pada beton polimer dipengaruhi juga oleh komposisi resin yang digunakan sebagai matriks. Beton yang menggunakan resin lebih banyak (beton E) menghasilkan porositas yang lebih kecil dibandingkan dengan beton D yang menggunakan resin lebih sedikit. Ukuran porositas yang dihasilkan dapat berdampak pada kualitas beton yang dihasilkan. Ukuran partikel abu vulkanik yang diperkecil sampai berukuran mikro memungkinkannya untuk dapat mengisi rongga antar partikel sehingga distribusi partikel dalam beton uji menjadi semakin merata dan semakin padat. Distribusi partikel yang lebih padat inilah yang dapat meningkatkan densitas beton karena jumlah partikel yang dapat mengisi struktur beton menjadi lebih banyak dan porositas yang semakin mengecil karena rongga udara dalam beton yang berukuran mikro dapat diisi dengan abu vulkanik mikro tersebut. Struktur seperti ini yang memungkinkan beton tersebut untuk memiliki porositas yang sekecil mungkin. Pada Gb. 3 (a,b) terlihat bahwa beton yang terbuat dengan matriks polimer memiliki karakteristik yang lebih padat dan lebih ringan dibandingkan dengan beton-semen. Perbedaan densitas beton polimer (D,E) ratarata sebesar 15,77 % dibandingkan beton-semen (A,B,C), sedangkan kepadatan beton polimer (D,E) lebih 19
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
besar ditunjukkan dengan nilai porositas yang lebih kecil rata-rata sebesar 89,34% terhadap beton-semen (A,B,C). Uji kedua adalah pengujian kuat tekan (Compressive Strength) beton menggunakan alat Universal Testing Machine (UTM). Nilai Uji kuat seperti yang terlihat dari pada Gb. 4. Penambahan abu vulkanik kedalam struktur beton berpengaruh juga pada kuat tekan yang dihasilkan. Pada beton-semen, penambahan abu vulkanik dapat meningkatkan kuat tekan beton terlihat pada beton B dan C dibandingkan dengan beton A (tanpa abu vulkanik). Beton A sebagai beton normal memiliki kuat tekan terkecil sebesar 36,72 kgf/cm2. Pengaruh ukuran abu vulkanik juga terlihat pada beton B dan C. Beton C yang menggunakan abu vulkanik mikro size memiliki kuat tekan yang lebih baik dibandingkan dengan beton B yang menggunakan abu vulkanik 100 mesh. Peningkatan kuat tekan ini dihasilkan karena ukuran partikel abu vulkanik yang lebih kecil dapat menghasilkan distribusi partikel yang lebih padat sehingga dapat mengurangi porositas yang terdapat dalam beton. Peningkatan kuat tekan yang cukup siknifikan dihasilkan pada beton polimer. Variasi komposisi resin yang digunakan menghasilkan kuat tekan beton yang berbeda. Beton dengan komposisi resin 1 : 3 (beton E) memiliki kuat tekan yang lebih besar dibandingkan beton D yang memiliki perbandingan resin 1 : 5.
Gambar 4. Grafik kuat tekan beton dibandingkan porositasnya. Grafik menunjukkan semakin rendah porositas sampel maka kuat tekan sampel semakin tinggi, kuat tekan tertinggi dimiliki sampel E sebesar 850,50 kgf/cm2. Resin yang digunakan sebagai matriks dalam beton polimer dapat mengikat masing-masing partikel struktur beton lebih baik jika jumlah yang digunakan lebih banyak. Penggunaan abu vulkanik mikro sebagai campuran (bahan tambah) juga berpengaruh pada peningkatan kuat tekan pada kedua jenis beton tersebut. Kandungan mikrosilika yang dicampurkan pada beton-semen maupun beton polimer membantu pengikatan yang dilakukan oleh semen dan resin. Selain itu ukuran mikro tersebut dapat berperan sebagai penambah agregat halus yang dapat mengisi rongga-rongga dalam struktur beton sehingga beton menjadi lebih keras setelah proses penuaan (hidrasi) terjadi. Berdasarkan perbandingan dari Gb. 3.b dan Gb. 4, terlihat bahwa korelasi antara porositas dan kuat tekan adalah berbanding lurus yang artinya semakin rendahnya nilai porositas dari sampel beton maka kuat tekannya juga semakin besar. Besar kuat tekan standar beton normal yaitu antara 196,1 – 490,3 kgf/cm2 [5] sedangkan untuk beton mutu tinggi memiliki kuat tekan diatas 490,3 kgf/cm2. Beton D dan E termasuk ke dalam jenis beton kualitas tinggi (High-Strength Concrete) karena memiliki kuat tekan yang melebihi 490,3 kgf/cm2. Dalam penelitian ini penggunaan Autoclave dalam proses penuaan beton-semen dengan suhu tinggi kurang baik karena penuaan beton-semen yang seharusnya membutuhkan waktu hidrasi ± 28 hari dipercepat dengan menguapkan kandungan air yang terdapat pada beton segar melalui pemanasan sehingga porositas menjadi tinggi dan mengurangi kekuatan yang dihasilkan beton tersebut. Sedangkan beton-polimer hanya membutuhkan waktu yang lebih cepat yaitu 1 hari saja untuk mendapatkan beton high strength. Beton polimer high strength dengan campuran abu vulkanik ini memiliki potensi untuk dimanfaatkan pada berbagai model konstruksi, seperti sebagai bantalan rel kereta api, pelapis pipa saluran air, dan jembatan dengan bentang panjang.
20
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
4. KESIMPULAN DAN SARAN Abu vulkanik Merapi sebagai material yang dikeluarkan saat terjadi erupsi memiliki komposisi Silika yang cukup besar yaitu sebesar 54 – 55% dan material lain seperti Alumina dan Besi. Oleh karena itu, abu vulkanik dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran dalam pembuatan bahan-bahan konstruksi seperti beton. Dalam penelitian ini telah dibuat beberapa sampel beton yang bahannya dicampur dengan abu vulkanik Merapi. Berdasarkan hasil yang didapat, maka dapat disimpulkan : 1. Abu vulkanik Merapi dapat digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan beton karena memiliki komposisi Silika (54 %) , Alumina (18 %), besi (8,5 %), CaO (8,3 %), serta komposisi material lain yang sesuai dengan material konstruksi beton sehingga dapat meningkatkan kualitas struktur beton yang dibuat. 2. Ukuran Abu vulkanik sebagai bahan campuran menentukan karakteristik beton terutama pada nilai densitas dan porositas beton uji. Semakin kecil ukuran Abu Vulkanik maka densitas dari beton semakin besar sesuai jenis sampel (beton-semen / beton polimer) dan tingkat porositas yang semakin kecil. Dalam penelitian ini karakteristik beton uji yang paling padat dihasilkan oleh beton E yang menggunakan matriks resin epoxy. 3. Beton high strength dihasilkan pada beton polimer D dan E yang memiliki kuat tekan diatas 490,3 kgf/cm2. Hasil karakteristik beton menunjukkan bahwa beton dengan kualitas terbaik dihasilkan oleh Beton E (rasio resin-komposit 1 : 3) dengan karakteristik densitas = 2,09 gr/cm2, porositas = 1,58 %, dan kuat tekan sebesar 850,50 kgf/cm2. Sebagai saran dalam penelitian ini adalah diperlukannya penelitian lanjutan mengenai karakteristik beton yang menggunakan variasi komposisi campuran abu vulkanik berukuran mikro menggunakan matriks resin epoxy sehingga didapatkan variasi terbaik untuk beton high strength yang berbasis abu vulkanik Merapi.
DAFTAR PUSTAKA [1] Sudaryo, Sutjipto, Seminar Nasional V SDM Teknologi Nuklir, Yogyakarta, 2009, hlm. 715-722. [2] T. Mulyono, Teknologi Beton (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2005). [3] A. V. Vlack, Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Logam dan Bukan Logam) Ed. 5 (Erlangga, Jakarta, 1995). [4] A. Blaga, J. J. Beaudoin, Polimer Concrete, Cana. Buil. Dige, CBD-242 (1985). [5] I Nyoman Merdana, JURNAL TEKNOLOGI, No. 2, Tahun XVIII, Juni 2004, 63- 71 ISSN 0215-1685 (2004)
21
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Rancang Bangun Sistem Radio Frequency sebagai Sumber Ion WILDAN PANJI TRESNA Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Komplek PUSPIPTEK Tangerang, Indonesia Email :
[email protected] MUHAMAD NUR Jurusan Fisika – Universitas Diponegoro
INTISARI : Radio Frekuensi telah memegang peranan penting dalam berbagai bidang teknologi, dari bidang komunikasi, pemanasan ataupun sebagai sumber ion. Pada tulisan ini akan dipaparkan mengenai peranan sistem radio frekuensi dengan daya keluaran 90 Watt yang sudah dapat di mengionisasi atom-atom Dueterium. Jika hal tersebut ditumbukkan dengan atom Tritium maka akan menghasilkan Neutron. Radiofrekuensi sebagai penguat dibuat dalam beberapa rangkaian seperti rangkaian Hartley atau Colpitts dan dibandingkan hasil keluaran dayanya yang paling maksimal. Dari percobaan diperoleh hasil keluaran frekuensi 36,12 MHz pada daya 90 Watt KATA KUNCI : radio frekuensi, daya keluaran dan sumber ion ABSTACT : Radio Frequency has played an important role in tne world of technology. That field from communication, heating system and ion source. This paper will describe the influences of radiofrequency with 90 Watt output power which is able to ionize the atom of Dueterium. If Dueterium crashed with atom of Tritium, it will be produce a Neutron. Radio Frequency as a amplifier system can be built in several circuit electronic model, like a Hartley and Colpitts System. The output of each circuits will be compared to get maximal power result. The result from the measurement is frequency 36,12MHz on 90 Watt power output. KEYWORDS : radio frequency, power output and ion source
1.
PENDAHULUAN
Osilator merupakan rangkaian elektronik yang dirancang sebagai pembangkit atau penguat sinyal gelombang sinusoidal ataupun gelombang yang bersifat harmonic. Sebuah osilator berfrekuensi tinggi dirancang untuk dapat menghasilkan frekuensi tinggi yang stabil dengan daya maksimal yang akan diaplikasikan dalam sebuah generator Neutron. Radio frequency telah banyak dimanfaatkan untuk beberapa hal, antara lain sebagai pemancar dan penerima dalam berbagai system komunikasi, selain itu osilator juga dapat digunakan sebagai sumber RF dalam rongga pantul spektrometer homodin. Osilator ini dapat menggantikan klystron niose rendah tanpa penurunan noise langsung pada spectrometer RSE. Osilator tunggal RF juga dapat digunakan pada tomografi homodin optis sebagai metode pengukuran kedudukan kuantum dari medan radiasi. Dalam sebuah gambaran sederhana mengenai generator Neutron diperlukan sebuah sistem yang mampu untuk mengionisasi atom Deuterium sebagai target lebih banyak, sehingga ketika atom-atom tersebut ditumbukkan dengan bahan lain akan menghasilkan Neutron. Sistem RF (Radio Frequency) ini merupakan komponen pendukung yang sangat menentukan besarnya energi ionisasi agar menumbuk atom-atom Dueterium dalam tabung, dan menghasilkan ion-ion Deuterium yang lebih banyak. Atom-atom deuterium ini dikaji sebagai interaksi radiasi dengan bahan, efek fotolistrik, efek hamburan Compton atau efek produksi pasangan. Untuk menghasilkan frekuensi tinggi dan stabil serta daya yang optimal agar dapat mengionisasi atom-atom target dirancang beberapa rangkaian elektronika berkaitan dengan teknologi berbasis triode yang sudah ada. salah satunya dengan menggunakan tabung trioda yang dipadukan dengan tangki LC. Pada umumnya penguat yang digunakan dalam membuat osilator bekerja pada kelas C. Generator neutron merupakan alat yang dikhususkan untuk menghasilkan neutron. Neutron dihasilkan dari reaksi-reaksi hidrogen berat, yaitu reaksi Tritium yang ditumbuk oleh Deuterium. Deskripsi reaksinya sebagai berikut : D + H2+ +
T H3
n n
+ +
He + ∆E He + ∆E
Tritium ditempatkan sebagai target yang akan ditumbuk oleh ion-ion deuterium. Sebelum menumbuk target, ion deuterium telah malewati mekanisme yang panjang. sebelum akhirnya dapat menumbuk target. Tahapan-tahapan yang dilewati oleh ion deuterium diantaranya : 22
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Ionisasi gas duetrium yang dibangkitkan oleh sistem osilator berfrekuensi tinggi radiofrequency. Keluaran dari osilaor yang berupa gelombang ektromagnetik dapat mengionisasi gas-gas duetrium dalam tabung hampa, dan menghasilkan ion-ion. Karena elektroda RF merupakan kerja bolak-balik maka proses ionisasi berlangsusng lebih cepat dan memiliki frekuensi tinggi. Tahapan selanjutnya setelah tabung terisi lebih banyak ion, maka ion-ion terpilih haruh dipisahkan dari yang lain. Pemisahan ini dilakukan dengan menarik ion-ion tersebut malalui tegangan ektraktor. ektraktor akan menarik ion positif dan tidak mengembalikannya lagi. Ion-ion akan difokuskan mnggunakan metode optis-elektronis agar berkas arah ion tidak menyebar. Tahapan terahir adalah ionion tersebut akan dipercepat dalam rangkaian akselerator agar memiliki energi yang tinggi untuk menumbuk target dan menghasilkan neutron.
Trioda memiliki tiga buah elektroda yaitu katoda (biasanya berupa flamen), grid dan plate (anoda). Katoda berada pada pusat dari trioda dan dikelilingi oleh grid yang berbentuk anyaman kawat melingkar. Antara setiap lapisan anyaman grid terdapat celah yang cukup besar yang memungkinkan mengalirnya elektron menuju plate. Sedangkan plate melingkupi katoda, grid dan juga filament. Pada trioda grid berperan dalam mengatur aliran elektron yang menuju ke plate dengan memanfaatkan perubahan kondisi tegangan yang ada padanya. Penguat kelas C merupakan penyempurnaan dari kelas penguat sebelumnya. Penguat ini dirancang dengan satu transistor. Transistor penguat kelas C bekerja aktif hanya pada fase positif saja, bahkan jika perlu cukup sempit hanya pada puncak-puncaknya saja yang dikuatkan. Sisa sinyalnya bisa direplika oleh rangkaian resonansi L dan C. Rangkaian ini juga tidak perlu dibuatkan bias, karena transistor memang sengaja dibuat bekerja pada daerah saturasi. Rangkaian L C pada rangkaian tersebut akan ber-resonansi dan ikut berperan penting dalam me-replika kembali sinyal input menjadi sinyal output dengan frekuensi yang sama. Rangkaian ini jika diberi umpan balik dan dapat menjadi rangkaian osilator RF. Penguat kelas C memiliki efisiensi yang tinggi bahkan sampai 100%, namun tingkat fidelitasnya memang lebih rendah. Tetapi sebenarnya fidelitas yang tinggi bukan menjadi tujuan dari penguat jenis ini
2. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan power suply standar, rangkaian penguat, osilator dan terget yang akan diionisasi. Pada masing-masing rangkaian akan diukur besarannya. Sehingga diperlukan multimeter, SWR meter serta frekuensi counter. DC Curent
Multimeter
Source Oscillator
VSWR meter
Target
Proses Lanjutan
Frekuensi Counter
Gambar 1. Set up rancang bangun osilator RF sebagai sumber ion Rangkaian tersebut diatas, yang digunakan dalam penelitian merupakan suatu rangkaian pembangkit RF yang dapat menghasilkan daya keluaran tinggi, yang demikian juga diperlukan konsumsi daya yang besar pula sehingga rangkaian tersebut juga disertakan catu dayanya, rangkaian catu daya tegangan tinggi yang terintegrasi langsung ke rangkaian osilatornya. Untuk rangkaian osilatornya sendiri seperti gambar dibawah ini :
23
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
RFC C1
C2 L2 C3
C4
R1 L1 R2
C5
Gambar 2. Rancangan rangkaian osilator RF berbasis Trioda
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem yang dirancang dalam penelitian ini, Osilator RF telah dapat mengionisasi gas Argon dan Neon pada sebuah tabung lampu. Dalam penerapannya ada beberapa hal yang dirasa masih kurang, seperti kemampuan Trioda menampung panas yang timbul akibat tegangan masukan yang masih rendah, selain itu Trioda yang digunakan hanya dapat bekerja pada level tegangan orde kilo volt, sehingga perlu dicoba untuk jenis Trioda yang lain. Salah satu cara mengurangi afek panas tersebut adalah dengan membari kipas pada osilator Dari beberapa percobaan yang dilakukan diperoleh daya stabil keluaran 60 Watt dan 90 Watt pada tegangan masukan 1 KV dan 1,5 KV. Perubahan nilai resistor pada masing-masing rangkaian akan mempangaruhi daya keluaran osilator, semakin besar nilai hambatan yang diberikan, maka daya keluaran dari osilator akan mengalami penurunan power. Saat rangkaian osilator dimodifikasi menjadi .
Gambar 3. Rangkaian osilator RF berbasis Trioda versi ke-2 24
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Diperoleh data sebagai berikut :
Gambar 4. Grafik penambahan tegangan terhadap daya keluaran Osilator Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa penambahan tegangan masukan akan menaikan daya keluaran sebuah osilator secara signifikan. Sedang untuk frekuensi keluarannya diukur dengan menggunakan frequency counter pada angka 36.12 MHz. Sumber tagangan ac diperlukan untuk menghidupkan filamen pada katoda. Diperlukan tegangan ac 12 volt untuk bekerja. Sumber tegangan ac ini akan menghidupkan filamen yang berakibat terjadinya elektron, elektron ini akan lepas dan membentuk awan-awan elektron pada tabung hampa. Sumber tegangan dc dari kutub positifnya akan memberi tanggapan positif pada komponen-komponen yang dilaluinnya. Hampir semua komponen dilewati oleh arus dc. Tegangan dc yang dimaksud telah dikuatkan beberapa kali oleh transformator hingga nilainya dalam orde kilo volt. Sampai pada anoda (elektroda positif), arus dc ini juga memberi pengaruh yang sama pada anoda. Anoda akan menarik awan-awan elektron yang ada dalam tabung dan mengalirkan ke rangkaian. Jalannya arus ini akan melewati kapasitor couple induktor hingga diperoleh tegangan grid yang kecil. Tegangan grid yang kecil akan masuk ke dalam tabung trioda dan membentuk osilasi yang memilki karakteristik damped (evanesens) atau teredam. Sinyal ini dikuatkan serta di umpan balik secara berulangulang hingga redaman seperti tidak tampak karena selalu terjadi osilasi ulang, dan akhirnya diperoleh arus keluaran yang besar. Sumber tegangan dc kutub negatif akan mengalir kedalam grid. Akibat dari grid yang diberi tegangan negatif adalah elektron-elektron dari filamen (katoda) tidak tertarik oleh grid yang bisa mengakibatkan cacatnya keluaran yang diinginkan. Elektron akan langsung tertarik ke Anoda yang lebih positif.
4. KESIMPULAN Dari percobaan awal rancang bangun osilator ini, dengan tegangan masukan 1 KV dengan tuning 0.25 KV diperoleh nilai frekuensi stabil yang dibaca oleh frekuensi counter sebesar 36.12MHz dengan variasi daya keluaran dari 80 Watt hingga 320 Watt. Nilai daya tersebut sangat memungkinkan untuk mengionisasi atom-atom target dalam sebuah generator neutron. Sebagai percobaan sederhananya hal tersebut telah dapat mengionisasi atom-atom pada lampu tabung berisi dominan zat Argon dan Neon hingga menyala dengan terang. Pada tahan selanjutnya perlu ditingkatkan tegangan masukannya dan merubah rangkaian hingga diperoleh hasil Neutron yang paling optimal.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis ucapkan terimakasih kepada seluruh civitas P3TM-BATAN Yogyakarta yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam proses pengukuran dan penelitian ini.
25
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
DAFTAR PUSTAKA [1]. [2]. [3]. [4]. [5]. [6].
Brophy,J.J. 1990. Basic Electronic for Scientist. New York. McGrawhill Publishing Company. Crame,P.W. 1967. Worked Examples in Basic Elektronic. Sydney : Pergamon Press. Champman,B. 1990,Glow Discharge Processed. New York Krane,K. 1992. Fisika Modern. Terjemah Hans J Wospakrik dan Sofia Nikosilihin. Jakarta : UI Press. Malvino, P.A. 1985. Prinsip-Prinsip Elektronika. Terjemah Hanapi Gunawan. Jakarta : Erlangga. Millman, Halkias. 1984. Elektronika Terpadu, Rangkaian system analog dan digital. Terjemah M Barnawi dan M.O.Tjia. Jakarta : Erlangga [7]. Wangness,R.K. 1986. Electromagnetic Field. Jhon willey and Sons. New York.
26
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Pembuatan Komposit Anoda Li4Ti5O12 dan Soda Lime Silica ACHMAD SUBHAN DAN BAMBANG PRIHANDOKO Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Komplek PUSPIPTEK Tangerang, Indonesia E-MAIL :
[email protected]
ANNE ZULFIA Departemen Teknik Metalurgi dan Material – FT UI, Kampus UI Depok – Jawa Barat INTISARI : Kandidat bahan aktif anoda baterai lithium yang sedang banyak diteliti adalah material LTO yang merupakan material keramik lithium titanate dengan kemampuan strukturnya untuk tidak mengalami perubahan bentuk selama terjadi insersi ion Li+. Bahan aktif anoda LTO dibuat dengan bahan baku produk Merck Li2CO3 dan TiO2 melalui metoda metalurgi serbuk dalam kalsinasi 7000C selama 1 jam dan kemudian variasi suhu sintering 750, 800, 850 dan 9000C selama 2 jam. Pada pembuatan komposit keramik anoda ini, bahan gelas soda lime silica 20%wt berfungsi sebagai matrik dan perekat. Campuran bahan komposit dipanaskan pada suhu 5400C selama 1 jam dan kemudian didinginkan secara cepat dengan nitrogen cair sampai sushu -1000C. Sampel yang dihasilkan diamati foto permukaannya dengan SEM – EDX dan konduktifitas dengan metoda EIS. Hasilnya menunjukkan bahwa soda lime silica berfungsi baik sebagai perekat dan konduktiftas bulk 3,27x 10-4 S/cm dan grainboundary 1,02x10-7 S/cm dari bahan aktif anoda Li4Ti5O12 yang disintering pada suhu 8500C selama 2 jam. KATA KUNCI : baterai lithium, anoda, LTO, soda lime silica, komposit, EIS ABSTRACT : Candidate anode active materials of lithium batteries that are being widely studied is the LTO which is the material of lithium titanate ceramic material with the ability to structure does not change shape during the insertion of Li + ions. LTO anode active material is made with Merck raw materials of Li2CO3 and TiO2 via powder metallurgy method in the 7000C calcined for 1 hour and then sintering with temperature variations 750, 800, 850 and 9000C for 2 hours. In the manufacture of ceramic composite anode, the soda-lime silica glass material 20 wt% serves as a matrix and glue. Composite material mixture is heated at 5400C temperature for 1 hour and then rapidly cooled with liquid nitrogen until -1000C. The resulting samples were observed by surface images SEM - EDX and conductivity with EIS method. The results showed that the soda-lime silica serves good as an adhesive or glue and composite conductivity are at bulk 3.27 x 10-4 S/cm and grainboundary 1.02 x10-7 S / cm from the anode active material Li4Ti5O12 which was sintering at 8500C for 2 hours. KEYWORDS : lithium battery, anoda, LTO, soda lime silica, komposit, EIS
1 PENDAHULUAN Anoda yang digunakan dalam baterai Lithium umumnya adalah tersusun dari grafit. Host yang dimiliki grafit adalah interkalasi satu dimensi. Namun keunggulan grafit yang memiliki kapasitas tinggi juga memiliki keterbatasan nyata, yaitu ketidakmampuan dalam kondisi high rates discharge[1]. Sehingga kondisi itu akan menimbulkan efek litiasi yang menumbuhkan dendritik pada lapisan anoda dan rentan terhadap terjadinya hubungan pendek dalam baterai serta berakibat eksplosif dari segi faktor keamanan [1]. Oleh karena itu dikembangkan material lain yang memiliki beda tegangan cukup tinggi terhadap Li/Li+ dan menjamin tidak terbentuknya fenomena litiasi pada permukaan elektroda. Salah satu kandidat yang sedang banyak diteliti adalah material LTO yang merupakan material keramik lithium titanate. Li4Ti5O12 merupakan keramik lithium-titanimum oxide, lebih dikenal dengan lihtium titanate,
memiliki struktur spinel face-centered cubic dalam space groups Fd 3 m [2]. Struktur ini dapat dilihat di Gambar 1.
Gambar 1. Kedudukan atom-atom dalam 2 subsel unit kubik dari struktur spinel Li4Ti5O12 [2]. 27
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Sifat utama dari material keramik ini adalah kemampuan strukturnya untuk tidak mengalami perubahan bentuk selama terjadi insersi ion Li+. Kingo Ariyoshi[3] melaporkan dengan pengamatan yang sangat presisi menggunakan synchrotron XRD mengukur perubahan kisi kristal yang sangat kecil, 0.002 A pada saat awal discharge dan 0.006 A penyusutan kisi pada proses discharge berikutnya. Keramik LTO dikenal dengan sebutan material zero-strain insertion [3]. Jika diamati struktur spinel ini merupakan gabungan dari struktur rock salt dan struktur ZnS[4,5]. Struktur spinel ini memiliki dua kisi yang berfungsi sebagai tempat tinggal ion-ion penyusunnya, yaitu kisi tetrahedral (A) dan kisi oktahedral (B). Kisi-kisi tersebut dibedakan oleh bilangan koordinasi oksigennya, dimana kisi A mempunyai tetangga 4 anion oksigen lainnya, sedangkan kisi B mempunyai 6 anion tetangga Oksigen. Pola susunan ion-ion LTO spinel adalah kubus pusat muka (FCC). Satu unit sel mengandung 32 anion oksigen dan kation-kation logamnya tersebar dalam dua kisi yang berbeda, yaitu 64 kisi tetrahedral dan 32 kisi oktahedral. Tetapi perlu diketahui bahwa dari 96 kisi ini hanyak 24 kisi saja yang diisi oleh ion-ion logam, yaitu 8 kisi tetrahedral dan 16 kisi oktahedral. Kisi tetrahedral ditempati oleh kation bervalensi 1 (Li+)dan kisi oktahedral ditempati oleh kation bervalensi 4 (Ti4+) maka jumlah total muatan positif adalah 8x(+1)= +8 ditambah 16x(+4)=+64, atau jumlah total muatan adalah 72. Untuk kesetimbangan diperlukan 36x(-2)= (-72) muatan negatif O2-, maka dalam satu unit cell terdapat 3 molekul Li4Ti5O12. Kehadiran ion-ion untuk menempati posisi pada dua tipe kedudukan pada kisi kristal spinel ditentukan oleh : radius ionik dari ion-ion penyusun spinel,besar ukuran kisi interstisi, suhu, dan bilangan koordinasi. Dengan keadaan ini harus dipertimbangkan besar antara radius jari-jari ion dengan kisi interstisi (tetrahedral dan oktahedral). Ion dengan valensi 1 umumnya memiliki radius lebih besar dari ionik yang bervalensi 4[6]. Kataoka et.al [7,8] telah membahas struktur kristal tunggal LTO dan perilaku difusi lithium dalam kisi kristal. Sementara, Vijayakumar et.al [9] memberikan gambaran lokal struktur Li4Ti5O12 yang lebih modern seperti di Gambar 2.
(a)
(b) Gambar 2. (a) Visualisasi stuktur kristal Li4Ti5O12
Visualisasi stuktur kristal Li4Ti5O12 memperlihatkan 3 lokasi lithium : tetrahedral 8a (putih), octahedral 16c (abu-abu) dan oktahedral 16d (hitam). Titanium dan oksigen digambarkan bola kecil abu-abu dan bola besar abu-abu. Akupansi dari lokasi-lokasi ini akan bervariasi bergantung suhu dan Li+ yang ada. (b) Gambar ini menunjukkan jarak inter-atomic antara 16d-16c (2.95A), 16c-8a (1,81 A), dan 8a-16d (3.46 A) berdasarkan struktur yang dilaporkan oleh Kataoka et.al [7,8] [9]. Gambar 2(a) menunjukkan semua kemungkinan lokasi interstisi lithium. Pada Li4Ti5O12 , lokasi oktahedral 16d secara random ditempati oleh lithium dan titanium, lokasi tetrahedral 8a hanya ditempati lithium dan lokasi 16c adalah kosong (vacant). Sepanjang insersi lithium, lithium ion berpindah dari 8a menuju lokasi 16c, sehingga berkomposisi Li4Ti5O12 , struktur rocksalt terbentuk ketika seluruh site 16c terisi dan site 8a menjadi kosong. Akibatnya jumlah lithium yang bisa berinsersi dibatasi oleh ketersediaan site 16c. Namun peneliti lain menyatakan perilaku insertion ini lebih dipengaruhi oleh ion titanium tetravalent dibandingkan ketersediaan pada lokasi tetrahedral [8]. Li4Ti5O12 memiliki sifat konduktifitas yang berubah pada suhu tinggi. Dengan perbedaan hampir orde 106 (~10-3 s/cm) pada suhu tinggi (>600 K) dibandingkan pada suhu kamar (~10-8 S/cm)[8]. Kenaikan yang 28
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
sangat tajam ini diinterpretasikan akibat pembentukan fasa disorder pada suhu tinggi, dimana lithium secara random terdistribusi pada site 8a dan 16c. Pergantian ion lithium dari site 8a menuju 16c dengan temperatur dan pembentukan keadaan disorder mempengaruhi perubahan pada intensitas infrared dan mode Raman, tetapi belum dikonfirmasi dengan penelitian lainnya [9]. Dalam komposit keramik anoda, gelas berfungsi sebagai matrik dan perekat. Gelas adalah campuran inorganik yang telah mengalami pendinginan menjadi kaku tanpa terkristalisasi (rigid condition) sehingga tidak memiliki simetri translasi dalam strukturnya. Gelas memiliki ciri khas yang ditandai adanya suhu transisi gelas (Tg). Dimana ketika suhu transisi gelas tercapai maka tidak terjadi pengaturan kembali atom seperti yang terjadi pada keadaan terkristalisasi. Pada saat itu mobilitas molekul menjadi sangat kecil dan bersifat viskos. Karena tidak memiliki simetri translasi dikatakan fasa gelas adalah amorf. Penyusun utama gelas adalah silika (SiO2) yang ditambah beberapa ion modifikasi.Selain bahan silikat juga ditambahkan oksida lain sebagai bahan pembentuk gelas. Bahan pembentuk gelas ini dapat diklasifikasikan dalam kelas, modifikasi jaringan (network modifier : Li,Na,K Rb,Cs,Ca,Sr,Ba,C,N,O,S, Mg, Po), pembentuk gelas (glass formers : Ti,Pb,Bi ), pembentuk jaringan (network formers : B,Si,P,Ge), pembentuk jaringan yang tidak sempurna (imperfect network formers : As,Se,Sn,Sb,Te ) dan struktur elemen aktif (Be,Al,Ga,In)[10]. Penambahan unsur-unsur ini gelas mempunyai berbagai komposisi kimia, bergantung pada aplikasi yang diinginkan. Pengubah jaringan yang umum digunakan adalah Cao dan Na2O. Fungsi dari ion pengubah jaringan ini adalah mengubah ion oksigen yang awalnya merupakan ion penghubung (bridging oxygen) menjadi ion oksigen bukan penghubung (non-bridging oxygen). Adanya ion oksigen bukan penghubung akan mengurangi energi aktivasi yang diperlukan sebuah atom untuk bergerak dalam gelas. Penambahan unsur juga akan mengubah viskositas gelas. Penambahan Li2O akan menurunkan viskositas gelas secara signifikan, sehingga Li2O dikatakan sebagai viscosity fluxes yang kuat [11]. Soda lime silica adalah tipe gelas komerisial dengan pembentuk utama ion Na dan Ca, misalnya bahan gelas kaca, botol dsb . Konduktifitas soda lime silica berkisar ~10-11 S/cm. Konduktifitas ini adalah konduktifitas elektronik, konduktifitas ionik bahan gelas digerakkan oleh ion sodium (Na+) yang merupakan ion modifier [12] .
2.
METODOLOGI
Proses sintesa pembuatan bahan anoda dilakukan dengan reaksi padatan antara serbuk Li2CO3 dan serbuk TiO2 (anatase) secara metalurgi serbuk menurut reaksi [13] 2Li2CO3 + 5TiO2
Li4Ti5O12 + 2CO2
(1)
Serbuk yang akan digunakan terdiri dari Li2CO3 dan TiO2. Berdasarkan persamaan reaksi kimia di atas maka untuk 250 gram Li4Ti5O12 diperlukan 80.47 gr Li2CO3 dan 217.51 gr TiO2. Kedua serbuk ini diaduk dan digerus dalam selama beberapa jam sehingga tercampur dengan baik. Kemudian dilakukan proses kalsinasi pada suhu 700oC selama 2 jam. Serbuk yang dihasilkan kemudian digerus kembali dan diayak dengan ukuran 200 mesh. Disamping itu juga dilakukan pembuatan serbuk gelas dari bahan dasar kaca jendela (sodalime silica). Sebanyak 500 gr kaca jendela dihancurkan dan ditumbuk hingga halus dengan pengayakan 200 mesh sehingga akan dihasilkan serbuk kaca yang cukup halus. Untuk setiap serbuk yang dihasikan, sebelum dilakukan pencampuran, maka serbuk disimpan dalam oven pada suhu 700C untuk menjaga agar serbuk tetap kering. Dalam penelitian ini akan dilakukan 5 variasi suhu sintering, yaitu 750,800,850,900 dan 950oC. Setiap variasi akan membutuhkan sekitar 50 gr campuran. Dari hasil kalsinasi 700 oC akan dibagi dalam 5 bagian. Sebelum dilakukan sintering, serbuk dicampur dahulu dengan metanol secukupnya (40ml). Metanol digunakan sebagai bahan dispersan sehingga diharapkan campuran lebih homogen. Serbuk hasil sintering kemudian ditumbuk kembali dan diayak dengan 400 mesh. Selanjutnya akan dibuat sampel komposit keramik ukuran 5x5 cm dengan berat 15 gr yang terdiri dari LTO sebagai filler dan sodalime silica sebagai matrik dengan perbandingan 8:2. Campuran ini digerus dengan moral hingga cukup merata, lalu ditambahkan metanol sehingga membentuk slurry yang siap untuk dicetak dalam mesin pres. Tekanan press yang diberikan adalah 70 kg/cm2. Sampel-sampel ini kemudian akan melalui proses kalsinasi kembali dan quenching dgn Nitrogen cair. Proses kalsinasi dilakukan pada suhu 540 oC yaitu suhu dibawah temperatur glass (Tg) dari sodalime silica. Proses quenching dilakukan dengan memindahkan sampel2 dengan cepat dari furnace ke dalam chamber pendinginan Nitrogen cair. Aliran Nitrogen cair dikontrol sehingga suhu dijaga kurang dari -100 oC dan ditahan selama 30 menit. Metoda EIS (Electrochemical Impedance Spectroscopy) digunakan dalam mengamati interaksi elektron maupun ion yang berpindah pada komponen sel selama reaksi elektrokimia. Pengukuran dilakukan 29
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
dengan menggunakan signal pertubasi AC yang ditumpangkan pada tegangan DC bias, sehingga kesetimbangan dari reaksi elektrokimia sel tidak terganggu. Spektrum frekuensi yang dibangkitkan akan mengidentifikasi perubahan impedansi komplek yang terkait dengan reaksi elektrokimia yang terjadi, yang menginterpretasikan gejala dinamika internal reaski elektrokimia. Skematik pengukuran dengan EIS dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengukuran signal AC pada sampel menghasilkan signal konvolusi yang membentuk dua buah signal Real dan imaginer [14]. Signal AC pertubasi yang dibangkitkan merupakan fungsi dari waktu dengan bentuk persamaannya adalah :
E (t ) EO exp ( jt )
(2)
yang mengakibatkan respon arus menjadi :
I (t ) I O exp( jt j )
(3)
sehingga impedansi komplek yang terukur adalah :
Z Z 'iZ "
E Z O exp( j ) I
(4)
dan pergeseran dapat dituliskan menjadi persamaan :
arctan(
Z" ) Z'
(5)
dengan impedansi total dihitung dari :
Z
2
Z "2 Z ' 2
(6)
Rangkaian setara suatu interface elektrokimia dapat dilihat di Gambar 4. Sebuah material padat yang isotropik, homogen dan memiliki konduktifitas ionik dapat direpresentasikan sebagai rangkaian komplek impedansi tunggal yang terdiri dari rangkaian paralel resistor dan kapasitor frekuensi tinggi ideal (RC paralel tunggal). Model ini meniadakan efek polarisasi pada elektroda dan proses relaksasi dalam kristal yang bisa menyebabkan penambahan rangkaian setara komplek menjadi multi rangkaian setara. Namun untuk kasus dimana material adalah polikristal yang memiliki karakter void dan butir yang misoriented (anisotropik) sehingga mereduksi konduktifitas dibandingkan dalam bentuk kristal tunggal. Bauerle [15] menemukan adanya fasa kedua dalam grain boundary pada material polikristal zirkonia menyebabkan penambahan konstanta waktu sekunder dalam rangkaian setara. Impedansi tambahan ini terbukti hilang ketika material menjadi sangat tinggi kemurniaanya.
30
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Gambar 4. (a)model sel randles merupakan model sederhana yang banyak dijumpai terdiri dari komponen impedansi R dan C (b) plot nilai impedansi real dan imaginer dalam bidang komplek, (c) bode plot nilai Z total dan pergeseran sudut fasa ( f ) sebagai fungsi dari log(f) [14] . Dalam material keramik, sifat transport sangat dipengaruhi oleh mikrostruktur, dan spektrum impedance memiliki informasi yang terkait erat dengan mikrostruktur. Berikut digambarkan model keramik dua fasa di Gambar 5.
Gambar 5. Model sederhana untuk keramik dua fasa, dimana butiran dipisahkan oleh fasa discontinuous grain boundary. Dimodelkan adanya butir dan batas butir yang homogen [15]. Profil EIS semicirlce yang dihasilkan adalah mempunyai kemiripan dengan model yang telah digambarkan pada Gambar 6 yang merepresentasikan analisa Rgi dan Rgb dari bentuk semicirle.
Gambar 6. Interpretasi bentuk semicirle dari grafik impedansi komplek [14]. 31
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Nilai Rg dan Rgb didapatkan dengan menentukan garis semicircle yang memotong sumbu-x. Selanjutnya nilai konduktifitas dihitung berdasarkan persamaan [31,32]:
Ri i dengan
l A
(7)
R = hambatan yang terukur [ ]
= resistivitiy [ .cm] L = dimensi tebal sampel [cm] A = luas penampang sampel [cm2] Pengujian EIS dilakukan untuk mengetahui perilaku impedansi komplek dari material keramik komposit Li4Ti5O12. Alat yang digunakan adalah LCR meter, HIOKI 3532-50 Chemical Impedance Meter. Parameter yang dapat dihasilkan adalah : impedansi ril, impedansi imaginer, pergeseran sudut fasa, dan impedansi total, dengan variasi spektrum frekuensi dalam skala logaritmik. Dengan skala dari 4 Hz-1MHz (dibagi 100 titik data). Pemilihan skala log (f) penting dilakukan untuk menghasilkan sebaran f pada frekuensi rendah.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 7 dan 8 adalah gambar foto SEM yang didapatkan dengan variasi suhu sinter pada 750,800,850,900, dan 950oC. Pengamatan pembesaran dilakukan pada 100x dan 2000x .
Gambar 7. Struktur mikro Li4Ti5O12 bervariasi suhu dengan pengamatan SEM pada perbesaran 100 x.
Gambar 8.Struktur mikro Li4Ti5O12 bervariasi suhu dengan pengamatan SEM pada perbesaran 2000 x.
32
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
Pada perbesaran 100x nampak butiran telah cukup merata dan halus. Sedangkan pada perbesaran 2000x memperlihatkan mikrostruktur dengan kenaikan suhu sinter yang dikaitkan dengan pertumbuhan butir, namun ini belum dapat dilihat dengan jelas karena keterbatasan perbesaran dari alat SEM. Untuk melihat pertumbuhan butir dan batas butir yang halus diperlukan perbesaran antara 20.000-50.000 x. Gambar 4.3 menunjukkan hasil SEM pada suhu 750oC hingga 950oC dengan perbasaran 2000x. Suhu o 850 C dan 900oC menunjukkan partikel yang lebih homogen dibandingkan dengan sampel lainnya. Pada sampel 750oC meski sudah menampakkan adanya kristalisasi namun masih terlihat adanya ketidakhomogenan. Sementara pada suhu 950oC terlihat ketidakberaturan morfologi butiran kristal yang semakin membesar, membentuk aglomerasi[49,50] yang mengakibatkan proses konsolidasi antar butir sehingga ukuran butir membesar dengan pori-pori yang semakin sedikit [16]. Untuk melihat komposisi element yang terbentuk dari Li4Ti5O12/glass dengan berbagai waktu sinter dipilih hanya salah satu variasi saja, yaitu suhu sinter 850oC untuk dilakukan uji EDX pada tiga spot yang berbeda. Tabel 1 adalah tabel yang menunjukkan perbandingan persen atomik dari tiap-tiap sampel. Tabel 1. Tabel perbandingan antara atomik persen pada tiga wilayah spot untuk komposit LTO/glass dengan suhu 850oC Spot
% Ti
%O
% Na
% Si
% Ca
1 2
35.86 29.64
61.39 67.53
1.41 1.13
1.00 1.30
0.34 0.40
3
33.02
65.64
0.84
0.50
0.00
Rata--rata
32.84
64.85
1.13
0.93
0.25
[%]
Grafik perbandingan persen atomik untuk komposit LTO/glass dengan suhu 850oC dapat dilihat pada Gambar 9. 70 60 % Ti
50
%O
40
% Na
30
% Si % Ca
20 10 0 1
2
3
Rata--rata
titik spot
Gambar 9. Perbandingan antara atomik persen pada tiga wilayah spot untuk komposit LTO/glass dengan suhu 850oC. Hasil data ini menunjukkan keberadaan element Li, Ti, O, Na, Si, Ca. Unsur pembentuk gelas dalam hal ini nampak dengan terdeteksinya Na,Si, dan Ca. Walaupun dengan presentase yang sangat kecil, namun hal ini bersesuai dengan komposisi yang terdapat pada Tabel 1. Dari Gambar 9 nampak jelas perbandingan persen atomik pada tiga lokasi hampir selalu sama, sehingga secara mikrostuktur bahan uji telah memiliki homogenitas. Element yang dominan dari ketiga titik spot adalah keberadaan elemen Ti dan O yang merupakan unsur utama dalam serbuk Li4Ti5O12. Sementara keberadaan Li tidak dapat terdeteksi oleh sinarX dari EDX dikarenakan Li merupakan unsur yang sangat ringan hampir sama dengan unsur Hidrogen yang juga tidak akan terdeteksi oleh EDX. Pengukuran konduktifitas dilakukan dengan menggunakan metoda EIS (Electrochemical Impedance Spectroscopy). Dengan melihat profil EISnya akan dapat dilihat apakah telah membentuk kurva dengan baik. Anoda yang baik akan membentuk pola busur setengah lingkaran (semicirle), dan jika dilihat pada hasil plot
33
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
grafik phase akan menunjukkan pola kurva ideal berupa huruf ’S’ terbalik. Gambar 10 adalah grafik gabungan dari bahan uji dengan variasi suhu :
Gambar 10. Spektrum impedansi AC pada suhu ruang dari LiTiO dengan variasi suhu sinter. Busur merah menunjukkan pola semicircle dari tiap sampel. Tegangan DC dipilih 4 V. Pengukuran impedansi dilakukan dengan pemberian tegangan DC bias sebesar 4V dan signal AC kecil (signal pertubation) 10 mV yang ditumpangkan pada tegangan bias tersebut. Pemberian bias DC dibawah 3V menghasilkan kurva yang kurang menampakkan pola busur setengah lingkaran. Jangkauan frekuensi diberikan antara 4 Hz - 1 MHz. Dari Gambar 10 dapat dilihat untuk suhu 750oC menampakkan ukuran busur yang besar,namun semakin menaik suhunya maka ukuran busur secara gradual semakin mengecil hingga pada 850oC. Sementara itu pada suhu 900oC dan 950oC ukuran busur membesar kembali. Ukuran busur ini sebanding dengan besar resistansi sehingga dari suhu 750oC hingga 850oC resistansinya mengalami reduksi, sementara pada suhu berikutnya yang lebih tinggi resistansi membesar. Secara umum seluruh perlakuan suhu sinter menunjukkan bentuk semicirlce yang muncul adalah tunggal. Perhitungan konduktifitas dilakukan dengan melakukan interpretasi dari ukuran busur. Dimana akan didapatkan nilai impedansi Rb ( bulk resistance) dan Rrgb (grain boundary resistance)[17,18]. Nilai Rrb menunjukkan karakteristik dari bulk material yang bersifat ohmik, sementara Rr gb menunjukkan karakteristik kualitatif dari grain boundary yang bersifat kapasitif. Karakteristik Rb selalu nampak pada data berfrekuensi tinggi, sementara Rgb teramati pada frekuensi rendah [19,20]. Tabel 2 adalah tabel hasil perhitungan konduktifitas komposit keramik LTO dengan variasi suhu. Tabel 2. Hasil pengujian impedansi dan nilai konduktifitas Suhu (oC)
t (mm)
p
l
Rgb ()
Rb
area
σ gb (S/cm)
σ b (S/cm)
750
2.56
20.15
22.6
5.30E+06
520
455.39
1.52E-08
1.54E-04
800
3.47
22.8
23.8
3.30E+06
650
542.64
2.77E-08
1.41E-04
850
3
22.3
23.5
8.00E+05
250
524.05
1.02E-07
3.27E-04
900
3.1
23.4
22.2
1.05E+06
300
519.48
8.12E-08
2.84E-04
950
2
22.3
21.6
9.00E+05
400
481.68
6.59E-08
1.48E-04
Grafik konduktifitas bulk dan grain boundary terhadap perubahan suhu diperlihatkan pada Gambar 11.
34
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 29, Mei 2011
4 E-4
9 E-8
S/cm
S/cm
1 E-7
6 E-8
2 E-4
σ gb
3 E-8
σb 0 E+0
0 E+0 750
800
850
900
950
°C
Gambar 11. Konduktifitas bulk dan grain boundary dari LiTiO dengan variasi suhu. Dari Gambar 11 menunjukkan adanya pola nilai konduktifitas yang menaik hingga suhu 850oC dan cenderung menurun pada kenaikan suhu berikutnya. Besar konduktifitas bulk tertinggi pada suhu 850oC mencapai 3.27 10-4 S.cm-1, dengan konduktifitas grainboundary mencapai 1.02 10-7 S.cm-1. Jika dikaitkan dengan proses kristalisasi, maka terjadi kecenderungan dimana dari suhu 750 hingga 850oC material telah mengalami kristalisasi yang semakin baik, namun dengan kenaikkan suhu hingga 950oC mengakibatkan struktur kristal yang makin membesar ukuran butirnya hingga terjadinya aglomerasi buutiran pada sampel 950oC. X.Xu et. al juga melaporkan pola yang hampir mirip namun untuk kasus pada material keramik untuk elektrolit padat LATP [21] . Ketika terjadi ukuran partikel yang makin membesar dari data EIS menunjukkan nilai konduktifitas yang makin mengecil. Hasil ini menguatkan hasil analisa SEM, dimana pada partikel yang belum teraglomerasi akan menghasilkan perpindahan ion yang lebih mudah dikarenakan konduktifitas yang meningkat. Sementara untuk partikel yang teraglomerasi maka ukuran partikel membesar akan mengakibatkan perpindahan ion lebih panjang yang mengakibatkan jarak panjang difusi (diffusion length)[22,23,24] bertambah sebagai akibatnya konduktifitas menurun. [25]. Jika melihat hasil nilai konduktifitas di atas ternyata memiliki orde yang hampir sama dengan yang dilaporkan Vijayakumar (2011) bahwa pada suhu kamar konduktifitas Li4Ti5O12 berkisar ~10-8 S/cm [9]. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Hasilnya menunjukkan bahwa soda lime silica berfungsi baik sebagai perekat. Soda lime silica menyelimuti butiran serbuk bahan aktif anoda Li4Ti5O12 dengan diketemukannya hampir di semua titik pengamatan elemen titanium dan silicon yang mewakili bahan masing – masing. Suhu sintering 8500C selama 2 jam dalam pembuatan bahan aktif Li4Ti5O12 menunjukkan karakter optimum pada konduktiftas, dimana konduktifitas bulk tertinggi 3,27x 10-4 S/cm dan grainboundary 1,02x10-7 S/cm.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan kerjasama antara Pusat Penelitian Fisika LIPI dengan Departemen Teknik Metalurgi dan Material FT-UI beserta Kementrian Riset dan Teknologi Indonesia dalam bentuk kerjasama pembiayaan dan bimbingan mahasiswa sejak tahun 2003. Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4]
C.Q. Feng, L.Li,Z.P.Guo, D.Q. Shi, R.Zeng, X.J Zhu, Synthesis and properties of Li-Ti-O spinel, Journal of Alloys and Compounds 478 (2009) 767-770. Kingo Ariyoshi, Ryoji Yamato, Tsutomu Ohzuku, Zero-strain insertion mechanism of Li[Li1/3Ti5/3]O4 for advanced lithium-ion (shuttlecock) batteries, Electrochimica Acta 51 (2005) 1125-1129. Lawrence H. Van Vlack, Ilmu dan teknologi bahan, Erlangga, edisi 5 1992. William D Callister, Jr, Materials Science and Engineering an Introduction, seventh edition, John Wiley and Sons,2007. 35
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
[5]
[6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15]
[16] [17] [18] [19]
[20]
[21] [22] [23] [24] [25]
36
Volume 29, Mei 2011
Karyanto Herlambang, Studi Struktur Mikro dan Densifikasi Ferit Lunak Spinel M1-xMexFe2O4 dan Garnet [Y1-xGdx]3Fe5O12 hasil proses sintering, Tugas Akhir Jurusan Teknik Pertambangan FTM-ITB, 1997. Kunimitsu Kataoka et. al, Single crystal growth and structure refinement of Li4Ti5O12, J Physics and Chemistry of Solids 69 (2008) 1454-1456. Kunimitsu Kataoka et.al, A single-crystal study of the electrochemically Li-ion intercalated spineltype Li4Ti5O12, Solid State Ionics 180 (2009) 631-635. M. Vijayakumar et.al, Lithium diffusion in Li4Ti5O12 at high temperatures, Power Sources196 (2011) 2211-2220. Arumugam Sivashanmugam et.al, Novel Li4Ti5O12 /Sn nano-composites as anode material for lithium ion batteries, Materials Research Bulletin 46 (2011) 492-500. Bambang Prihandoko,”Pemanfaatan soda lime silica dalam pembuatan komposit elektrolit baterai lithium” , Disertasi Universitas Indonesia, 2007. Celine Widjojo, Pembuatan dan karakterisasi LiFePO4/soda lime silica sebagai bahan katoda pada baterai lithium, Tugas akhir, Institut fur Gesteinhuttenkunde RWTH Aachen Germany, 2010. Evgenij Barsaukkov, J.R Macdonald, Impedance Spectroscopy Theory, Experiment, and Applications, Wiley-interscience, second edition, 2 005. Claude Gabrielli, Identification of Electrochemical processes by frequency response analysis, Solartron technical report number 004/83, 1998. Chien-Te Hsieh, Jia Yi Lin, Influence of Li addition on charge/discharge behavior of spinel lithium titanate, J. Alloys and Compounds 506 (2010) 231-236. Wu Le, Kan Su-rong, LU Shi-gang, Zhang Xiang-jun, Jin Wei-Hua, Effect of particle size and agglomeration of TiO2 on synthesis and electrochemical properties of Li4Ti5O12, Trans. Nonferrous Met. Soc. China 17 (2007) s117-s121. S.Y. Yin, L. Song, X.Y. Wang, M.F. Zhang, Y.X. Zhang, Synthesis of spinel Li4Ti5O12 anode material by a modified rheological phase reaction, Electrochimica Acta 54 (2009) 5629-5633. J. Fleig, The influence of non-ideal microstructures on the analysis of grain boundary impedances, Solid State Ionics 131 (2000) 117-127. Myounggu Park, Xiangchun Zhang, Myoungdo Chung, Gregory B. Less, Ann Marie Sastry, A review of conduction phenomena in Li-ion batteries, Power Sources 195 (2010) 7904-7929. Xiaoxiong Xu, Zhaoyin Wen, Xuelin Yang, Jingchao Zhang, Zhonghua Gu, High lithium ion conductivity glass-ceramics in Li2O-Al2O3-TiO2-P2O5 from nanoscaled glassy powders by mechanical milling, Solid State Ionics 177 (2006) 2611-2615. Xiaoxiong Xu, Zhaoyin Wen, Jianguo Wu, Xuelin Yang, Preparation and electrical properties of NASICON-type structured Li1.4Al0.4Ti1.6(PO4)3 glass-ceramics by the citric acid-assisted sol-gel method, Solid State Ionics 178 (2007) 29-34. G.X. Wang, D.H. Bradhurst, S.X. Dou, H.K. Liu, Spinel Li[Li1/3Ti5/3]O4 as an anode material for lithium ion batteries, Power Sources 83 (1999) 156-161. Gunnar A. Nikklasson, Sara Malmgren, Sara Green, Jonas Backholm, Determination of electronic structure by impedance spectroscopy, Non-Crystalline Solids 356 (2010) 705-709. Bruno Scrosati, Jurgen Garche, Lithium batteries: Status, prospects and future, Power Sources 195 (2010) 2419-2430. M. Vijayakumar, et.al, Lithium diffusion in Li4Ti5O12 at high temperatures, Power Sources 196 (2011) 2211-2220. Wei-Jun Zhang, Lithium insertion/ extraction mechanism in alloy anodes for lithium-ion batteries, Power Sources 196 (2011) 877-885.