PEMBUATAN ARANG AKTIF SECARA LANGSUNG DARI KULIT Acacia mangium Wild DENGAN AKTIVASI FISIKA DAN APLIKASINYA SEBAGAI ADSORBEN
NAILUL FAUZIAH
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Pembuatan Arang Aktif Secara Langsung Dari Kulit Acacia mangium Wild Dengan Aktivasi Fisika Dan Aplikasinya Sebagai Adsorben
Nama
: Nailul Fauziah
NRP
: E24104018
Departemen
: Hasil Hutan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Ir. Rita Kartika Sari, M.Si
Dr. Gustan Pari, M.Si, APU
NIP. 132.133.963
NIP. 710.005.078
Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131.578.788
Tanggal Pengesahan:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 10 Agustus 1986, anak bungsu dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Hambali Subing dan Ibu Mahbubah Tuzakkiyah. Pendidikan SD ditempuh penulis di SD Negeri I Tulang Bawang Tengah pada tahun 1995 sampai tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikan menengah pada tahun 2000 di SLTP Negeri I Tulang Bawang Tengah dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 pula penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri I Tumijajar dan menyelesaikannya pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Sarjana Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus DKM Al Hurriyah, DKM Ibaadurrahmaan, dan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN). Penulis telah mengikuti Praktek Umum Pengenalan Hutan di KPH Ngawi Jawa Timur, KPH Banyumas Barat dan KPH Banyumas Timur, Jawa Tengah pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang selama dua bulan di industri furniture PT Pratama Jaya, Semarang Jawa Tengah. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjanan kehutanan, penulis melakukan kegiatan penelitian dengan judul Pembuatan Arang Aktif Secara Langsung Dari Kulit Acacia mangium Wild Dengan Aktivasi Fisika Dan Aplikasinya Sebagai Adsorben, di bawah bimbingan Ibu Ir.Rita Kartikasari, Msi, dan Bapak Dr. Gustan Pari Msi, APU.
PEMBUATAN ARANG AKTIF SECARA LANGSUNG DARI KULIT Acacia mangium Wild DENGAN AKTIVASI FISIKA DAN APLIKASINYA SEBAGAI ADSORBEN
NAILUL FAUZIAH E24104018
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta menyusun karya ilmiah yang berjudul “Pembuatan Arang Aktif Secara Langsung Dari Kulit Acacia mangium Wild Dengan Aktivasi Fisika Dan Aplikasinya Sebagai Adsorben”. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Arang aktif merupakan senyawa karbon amorf yang salah satu manfaatnya adalah sebagai adsorben. Kualitas arang aktif ditentukan oleh proses pengarangan dan aktivasi terutama suhu optimum karbonisasi. Sifat fisika dan kimia arang aktif yang meliputi kadar air, kadar zat menguap, kadar abu, dan kadar karbon terikat digunakan untuk menduga kualitas arang aktif tersebut. Kualitas arang aktif sebagai adsorben dapat diketahui melalui pengukuran derajat kristalinitas dan daya serap terhadap senyawa kimia yang berbeda tingkat kepolarannya seperti yodium, kloroform, dan benzena. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang membahas pengaruh suhu optimum karbonisasi terhadap kualitas arang aktif sebagai adsorben yang dibuat dari kulit akasia dengan aktivasi secara fisika. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya tulis ini. Penulis juga menyadari karya ini masih jauh dari dari sempurna. Segala kritik dan saran penulis terima dengan senang hati. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Januari 2009
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillahhirobbil alaamiin, segala puji hanya bagi ALLAH SWT, Rabb semesta alam, atas segala nikmat yang hadir dalam setiap episode kehidupan, dan atas izin – NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai syarat kelulusan menjadi sarjana kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini : 1. Ibu Ir. Rita Kartikasari , Msi dan Bapak Dr. Gustan Pari, M.Si APU selaku dosen pembimbing, atas bimbingan, saran, ketulusan, dan motivasi tanpa henti, yang menjadi pelajaran sangat berharga bagi penulis untuk menjadi manusia berdedikasi. 2. Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Arum S. Wulandari, M.Si selaku penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji dan nasehatnya kepada penulis. 3. Ayah dan ibu, serta seluruh keluarga tercinta atas segala cinta, ketulusan, do’a, dan motivasi yang tiada pernah surut mencipta seberkas cahaya dalam mengarungi lautan ilmuNYA. 4. Seluruh dosen dan staf pegawai Fakultas Kehutanan terutama bagian Kimia Hasil Hutan yang telah memberikan ilmu yang tidak terkira kepada penulis. 5. Sahabat terbaik dan teristimewa Dewangga, Tuti, Meita, Ariyanto, serta teman – teman seperjuangan di bagian Kimia Hasil Hutan, Patria, Adi, Rendra, Edo, Novi, Hanif, Farikha, Sandi, dan Ali. Kebersamaan dalam canda tawa dan duka bersama kalian adalah hal yang tetap tertoreh abadi di hati ini. 6. Seluruh sahabat angkatan 2004 di Fakultas Kehutanan umumnya dan sahabat di Program Studi Teknologi Hasil Hutan khususnya. Memiliki sahabat seperti kalian adalah harta yang tidak dapat tergantikan di sepanjang kehidupan, semoga persaudaraan kita tetap abadi. 7. Keluarga besar DKM Ibaadurrahmaan, atas segala do’a dan indahnya persaudaraan selama ini. 8. Seluruh pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu – persatu.
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ................................................................. i UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................ ii DAFTAR ISI ............................................................................... iii DAFTAR TABEL ....................................................................... v DAFTAR GAMBAR .................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................... vii BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................... 1 1.2 Tujuan ....................................................................... 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Acacia mangium Wild ........................................................... 4 2.2 Arang dan Arang Aktif 2.2.1 Arang................................................................................... .. 5 2.2.2 Arang aktif......................................................................... ... 8 2.3 Daya serap arang aktif ........................................................... 10 BAB III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................ 11 3.2 Bahan dan Alat Penelitian ...................................................... 11 3.3 Metode Penelitian .................................................................. 11 3.3.1 Persiapan sample ................................................................ 11 3.3.2 Pengarangan ....................................................................... 11 3.3.3 Pembuatan arang aktif ........................................................ 12 3.3.4 Pengujian kualitas arang dan arang aktif ............................. 12 3.3.4.1 Pengujian sifat fisika ........................................................ 12 a. Penetapan kadar air .................................................................. 12 3.3.4.2 Pengujian sifat kimia ....................................................... 12 b. Penetapan kadar zat menguap .................................................. 12 c. Penetapan kadar abu ................................................................ 13 d. Penetapan kadar karbon terikat ................................................ 13 3.3.4.3 Daya serap arang aktif ..................................................... 13 a. Daya serap terhadap yodium .................................................... 13 b. Daya serap terhadap kloroform dan benzena ............................ 14 3.3.5 Derajat kristalinitas arang dan arang aktif ........................... 14 3.3.6 Rancangan percobaan ......................................................... 14 3.3.7 Analisis data ................................................................. 15 3.3.8 Diagram alir proses penelitian ....................................... 16 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisika dan Kimia Arang Kulit Akasia ............................ 18
iii
4.1.1 Kadar air ........................................................................ 18 4.1.2 Kadar zat Menguap ........................................................ 20 4.1.3 Kadar abu ...................................................................... 21 4.1.4 Kadar karbon terikat ...................................................... 23 4.1.5 Derajat kristalinitas arang............................................... 25 4.2 Sifat Fisika dan Kimia Arang Aktif Kulit Akasia Dan Arang Aktif Komersial ..................................................................... 26 4.2.1 Kadar air ....................................................................... 26 4.2.2 Kadar zat menguap ....................................................... 27 4.2.3 Kadar abu ..................................................................... 27 4.2.4 Kadar karbon terikat ..................................................... 28 4.2.5 Derajat kristalinitas arang aktif kulit akasia dan arang aktif komersial ..................................................... 28 4.3 Daya Serap Arang Aktif Kulit Akasia dan Arang Aktif Komersial .............................................................................. 29 4.3.1 Daya serap terhadap yodium ......................................... 29 4.3.1 Daya serap terhadap benzena ........................................ 30 4.3.1 Daya serap terhadap kloroform ..................................... 30 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ........................................................................... 31 5.2 Saran ..................................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 32 LAMPIRAN ........................................................................................... 34
iv
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Persyaratan Kualitas Arang Aktif Menurut (SNI) 06 – 3730 – 199 ..... 10 2. Sifat Fisika dan Kimia Arang Kulit Akasia .......................................... 18 3. Sifat Fisika dan Kimia Arang Aktif Kulit Akasia serta Arang Aktif Komersial ........................................................................................... 26 4. Daya Serap Arang Aktif Kulit Akasia dan Arang Aktif Komersial ...... 29
v
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1. Diagram Alir Proses Pembuatan dan Pengujian Arang Kulit Akasia.......16 2 Diagram Alir Proses Pembuatan dan Pengujian Arang Aktif Kulit akasia................................................................................................17 3. Histogram Nilai Kadar Air Arang Kulit Akasia........................................19 4. Histogram Nilai Kadar Zat Menguap Arang Kulit Akasia........................20 5. Histogram Nilai Kadar Abu.......................................................................22 6. Histogram Kadar Karbon Terikat Arang Kulit Akasia..............................16
vi
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1 . Hasil Analisis Sidik Ragam Sifat fisika dan Kimia Arang Kulit akasia .. 35 1.1 Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Air Arang Kulit Akasia......................................................................... 35 1.2 Hasil Analisis Sidik Rgam Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Zat Menguap Arang Kulit Akasia ......................................................... 35 1.3 Hasil Analisis Sidik Rgam Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Abu Arang Kulit Akasia......................................................................... 35 1.3 Hasil Analisis Sidik Rgam Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Karbon Terikat Arang Kulit Akasia............................................................ 36 2 . Hasil Uji Lanjut Duncan........................................................................ 36 2.1 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar Air Arang Kulit Akasia ................. 36 2.2 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar Zat Menguap Arang Kulit Akasia......................................................................... 37 2.3 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar Abu Arang Kulit Akasia ................ 37 2.4 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar Karbon Terikat Arang Kulit Akasia......................................................................... 38 3 . Identifikasi Pola Struktur Kristalit Arang Kulit Acacia Mangium Pada Berbagai Suhu .............................................................................. 38 3.1 Difraktogram Kontrol ..................................................................... 38 3.2 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 200 ºC ...................... 39 3.3 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 300 ºC ...................... 39 3.4 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 400 ºC ...................... 40 3.5 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 500 ºC ...................... 40 3.6 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 600 ºC ...................... 41 3.7 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 700 ºC ...................... 41 3.8 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 800 ºC ...................... 42 3.9 Difraktogram Arang Aktif Kulit Akasia .......................................... 42 3.10 Difraktogram Arang Aktif komersial ............................................ 43
vii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pembuatan Arang Aktif Secara Langsung Dari Kulit Acacia mangium Wild Dengan Aktivasi Secara Fisika Dan Aplikasinya Sebagai Adsorben adalah benar – benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisis pembimbing dan belum pernah digunakan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009 Nailul Fauziah E24104018
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya nyata yang telah dilakukan untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan dan memenuhi kebutuhan industri kehutanan akan kayu adalah dengan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan berbagai jenis tanaman cepat tumbuh dan berkualitas baik. Salah satu jenis tanaman HTI yang banyak ditanam dan berhasil dikembangkan dibandingkan jenis lainnya adalah Acacia mangium Wild. Hal ini karena kayu akasia yang dipakai sebagai bahan baku utama dalam industri pulp, kertas, dan Medium Density Fiber (MDF) termasuk ke dalam jenis tanaman cepat tumbuh dengan riap rata – rata sebesar 25 – 30 m /ha/th (Stahl 1993). Hingga saat ini bagian dari kayu akasia yang belum termanfaatkan secara optimal dan dianggap sebagai limbah dalam industri – industri tersebut yaitu bagian kulit. Diperkirakan terdapat 1.665.150 m3 limbah kulit akasia dengan rendemen kulit antara 12 – 17% (Pari et al. 2000). Data lain mengungkapkan bahwa dari 1 m3 kayu akasia bisa diperoleh 0,14 ton kulit kayu dengan kadar air 50% (Santoso 2005). Sebagai contoh potensi limbah kulit kayu akasia di industri MDF PT Sumalindo Lestari Jaya Kalimantan Timur mencapai 2.000 – 3.000 m3 per bulan dan hanya 20 % yang dimanfaatkan untuk konsumsi boiler, selebihnya belum termanfaatkan (Kholik et al. 2005). Sedangkan di PT Musi Hutan Persada (MHP) terdapat 15,18 ton limbah kulit kayu A. mangium yang belum dimanfaatkan. Selama ini kulit kayu akasia hanya digunakan sebagai sumber energi untuk memanaskan boiler dan perekat tanin (Pari et al. 2006 ). Limbah kulit kayu yang belum dimanfaatkan tersebut sangat potensial untuk diolah lebih lanjut menjadi produk arang yang mudah dan murah didapatkan oleh masyarakat guna memenuhi kebutuhan energi mereka. Selanjutnya, langkah yang lebih baik yaitu dapat dilakukan konversi produk arang menjadi arang aktif dengan manfaat lebih luas. Kualitas arang yang dihasilkan ditentukan terutama oleh kandungan lignin dalam bahan baku yang dapat dikonversi menjadi atom karbon (Pari 2004). Menurut Fengel (1983) struktur lignin kayu dan lignin kulit memiliki kemiripan meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam nisbah komponen – komponen, sehingga diduga kulit kayu
2
akasia juga dapat digunakan sebagai bahan baku arang dan arang aktif. Saaat ini diperkirakan konsumsi arang aktif dunia mencapai 300.000 ton/th (Anonim 2008). Disamping itu, kebutuhan Indonesia akan arang aktif untuk bidang industri masih relatif tinggi untuk keperluan berbagai bidang keperlun berbagai bidang industri seperti industri makanan, farmasi, air minum, dan lain – lain. Pada tahun 2000, impor arang aktif tercatat sebesar 2.7770.573 kg berasal dari negara Jepang, Hongkong, Korea, Taiwan, Cina, Singapura, dan Malaysia (Anonim 2000). Peningkatan ekspor arang aktif dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu 6,1% dengan jumlah ekspor saat ini sebesar 11.553 ton ke Yunani, Timur Tengah, dan negara – negara Eropa lainnya (Anonim 2008). Berdasarkan hal tersebut pembuatan arang aktif dari limbah kulit akasia merupakan langkah tepat dalam pengembangan potensi limbah kulit akasia. Salah satu pemanfaatan arang aktif limbah kulit akasia yaitu sebagai subtitusi bahan penyerap (adsorben) komersial yang telah diperjualbelikan. Arang aktif yang dimanfaatkan sebagai penyerap ini kemudian dapat diaplikasikan salah satunya dalam penjernihan air yang tercemar oleh limbah industri kimia, pertambangan, dan pertanian. Selama ini pembuatan arang aktif dilakukan dengan cara membuat arang terlebih dahulu baru kemudian diaktivasi menjadi arang aktif dengan cara kimia maupun fisika (Pari et al. 2006). Namun cara tersebut dinilai kurang afektif karena membutuhkan tahapan dan waktu yang cukup lama. Untuk mempersingkat proses tersebut maka arang aktif tidak dihasilkan dari aktivasi produk arang, namun arang aktif dibuat secara langsung dari bahan baku dengan suhu aktivasi yang optimum. Seperti halnya pada penelitian Pari et al (1996) yang mengkonversi secara langsung bahan baku kayu sengon menjadi arang aktif dengan kualitas memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI). Oleh karena itu, pembuatan arang aktif secara langsung dari kulit akasia juga dapat dilakukan sebagai langkah tepat untuk meningkatkan pengembangan potensi limbah kulit akasia secara efektif. Kualitas produk arang dapat dilihat dari nilai kadar air, kadar abu, kadar zat menguap, kadar karbon terikat, dan nilai kalor. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas arang yaitu suhu karbonisasi yang digunakan. Informasi ilmiah mengenai suhu yang optimum untuk menghasilkan produk arang dengan
3
kualitas memenuhi standar sangat diperlukan terutama sebagai acuan dalam pembuatan arang aktif. Selain itu arang aktif yang akan dimanfaatkan sebagai penyerap dalam penjernihan air perlu dilihat derajat kristalinitas dan besarnya daya serap arang aktif tersebut terhadap gas atau cairan. Hal ini dilakukan sebagai upaya peningkatan kualitas arang aktif tersebut. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan : 1. Mengetahui suhu optimum karbonisasi untuk menghasilkan arang yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk arang aktif. Suhu optimum ini akan digunakan sebagai suhu pembuatan arang aktif secara langsung dari kulit akasia. 2. Mengetahui sifat fisika dan kimia arang aktif kulit akasia dan kemampuannya sebagai adsorben.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Acacia mangium Wild Di dunia Internasional Acacia mangium dikenal dengan nama brown salwood, black wattle, dan hickory wattle. Sedangkan di Indonesia dikenal dengan nama tongke hutan, mange hutan dan nak, dan di Malaysia disebut mangium (Lemmens et al. 1995). Pohon akasia tumbuh secara alami di Indonesia, yaitu di kepulauan Seram, Aru, dan Irian Jaya. Di Indonesia tanaman A. mangium dikenal dengan nama perdagangan kayu akasia (Mandang dan Pandit 1997). Tanaman ini tumbuh dengan baik di daerah yang mempunyai musim kemarau yang basah, pada tempat subur atau kurang subur. Pohon akasia juga memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap variasi kondisi tempat tumbuh, namun lebih menyukai daerah yang tinggi dan kering (Lemmens et al. 2002). Lawrence (1951) menerangkan sistematika tanaman akasia adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Rosales
Famili
: Leguminosae
Sub Famili
: Mimosoidae
Genus
: Acacia
Species
: Acacia mangium Wild
Saat ini di Indonesia kayu akasia merupakan bahan baku utama dalam industri pulp, kertas, dan MDF, dan bahan bukan kayu yang tidak digunakan serta tersisa yaitu kulit kayu. Jamaludin (2008) menyatakan bahwa pemanfaatan kayu akasia hingga saat ini lebih bervariasi baik untuk kayu serat, kayu pertukangan, maupun kayu energi seperti untuk arang. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menunjang perluasan pemanfaatan kayu akasia dalam bentuk kayu utuh, partikel, serat, dan turunan kayu seperti kulit kayu. Kandungan lignin yang tinggi terdapat dalam bagian batang yang paling rendah, paling tinggi, paling dalam, cabang kayu lunak, juga dalam kulit kayu (Fengel dan Wegener 1995). Kulit kayu
5
akasia memiliki potensi sebagai bahan baku alternatif dalam pembuatan arang dan arang aktif (Pari et al. 2000). 2.2 Arang dan Arang Aktif 2.2.1 Arang Arang merupakan residu hitam berbentuk
padatan berpori yang
mengandung 85-95% karbon, dihasilkan dengan menghilangkan kandungan air dan komponen volatile dari bahan-bahan yang mengandung karbon melalui pemanasan pada suhu tinggi (Tryana dan Sarma 2003 Anonim 2008). Komarayati (2007) mendefinisikan bahwa arang adalah residu berwarna hitam hasil pembakaran pada keadaan tanpa oksigen yang mengandung karbon yang berbentuk padat dan berpori, seperti kayu atau bahan biomaterial lainnya. Sebagian pori – pori masih tetap tertutup dengan hidrokarbon, ter dan senyawa organik lain. Komponennya terdiri dari karbon terikat ( fixed carbon), abu, air, nitrogen dan sulfur. Arang merupakan produk setengah jadi dalam pembuatan arang aktif dan kualitas arang aktif yang dihasilkan di antaranya dipengaruhi oleh kesempurnaan proses pengarangan. Pengarangan merupakan salah satu dari proses termokimia yang dapat mengkonversi biomassa menjadi arang (Worasuwannark et al. 2004). Proses pengarangan salah satunya dipengaruhi oleh suhu yang akhirnya akan menentukan kualitas arang yang dihasilkan. Banyaknya arang yang dihasilkan ditentukan oleh komposisi awal biomassa yaitu semakin banyak kandungan zat menguap maka semakin sedikit arang yang dihasilkan karena banyak bagian yang terlepas ke udara (Kementrian BUMN 2008) Proses pengarangan ada 4 tahap (Sudrajat dan Salim 1994 ), yaitu : 1. Pada suhu 100 – 120 °C terjadi penguapan air dan sampai suhu 270°C mulai terjadi penguapan selulosa. Destilat yang dihasilkan mengandung asam organik dan sedikit metanol. 2. Pada suhu 270 - 310 °C reaksi eksotermik berlangsung, terjadi penguraian selulosa secara intensif menjadi larutan pirolignat, gas, kayu, dan sedikit ter. Asam pirolignat merupakan asam organik dengan titik didih rendah seperti asam cuka dan metanol, sedangkan gas kayu terdiri atas CO dan CO2.
6
3. Pada suhu 310 – 510 °C terjadi penguraian lignin, dihasilkan lebih banyak ter, sedangkan larutan pirolignat menurun, dan produksi gas CO 2 menurun, sedangkan gas CO, CH4, dan H2 meningkat. 4. Pada suhu 500 – 1000 °C merupakan tahap pemurnian arang atau peningkatan kadar karbon. Nugraha (2005) menyatakan bahwa pirolisis ialah salah satu proses pengarangan yang mendekomposisi material organik tanpa mengandung oksigen. Apabila ada oksigen pada saat proses pirolisis maka akan ada reaksi dengan material lain yang pada akhirnya akan menghasilkan abu. Pada proses pirolisis terhadap kayu, lignin terdegradasi sebagai akibat kenaikan suhu sehingga dihasilkan senyawa-senyawa karakteristik sesuai dengan jenis kayu. Proses pirolisis berlangsung dalam dua tahapan yaitu pirolisis primer dan pirolisis sekunder. Pirolisis primer terdiri dari proses cepat yang terjadi pada suhu 50 – 300 °C, dan proses lambat pada suhu 300 – 400 °C. Proses pirolisis primer cepat menghasilkan arang, berbagai gas, dan H2O. Sedangkan proses lambat menghasilkan arang, H2O, CO, dan CO2. Pirolisis sekunder merupakan proses pirolisis yang berlangsung pada suhu lebih dari 600°C dan terjadi pada gas – gas hasil, serta menghasilkan CO, H2, dan hidrokarbon (Pari 2004). Penilaian kualitas arang dilakukan berdasarkan : 1. Ukuran, meliputi : batangan, halus, atau pecah. 2. Sifat fisik meliputi, warna, bunyi, nyala, kekerasan, kerapuhan, nilai kalor, dan berat jenis. 3. Analisis arang, meliputi : kadar air, kadar abu, karbon sisa, dan zat mudah menguap. 4. Suhu maksimum pengarangan dan kemurnian arang. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas arang adalah cara dan proses pengolahan (Djatmiko et al. 1981). Menurut Hendra dan Darmawan (2000) penetapan kualitas arang umumnya dilakukan terhadap kombinasi sifat kimia dan fisika yaitu: 1. Sifat Fisika berupa kadar air Kadar air merupakan kandungan air dalam arang dengan kondisi kering udara. Pada saat arang keluar dari tungku pengarangan, kadar air yang terkandung
7
sangat kecil, biasanya kurang dari 1%. Proses penyerapan air dari udara sangat cepat, sehingga dalam waktu singkat kadar air mencapai kadar air keseimbangan dengan udara sekitarnya. Arang yang berkualitas baik yang dipasarkan adalah arang yang mempunyai kadar air 5-10 %. 2. Sifat Kimia, antara lain : a.
Kadar abu Kadar abu merupakan jumlah sisa dari akhir proses pembakaran. Residu
tersebut berupa zat-zat mineral yang tidak hilang selama proses pembakaran. Salah satu unsur utama abu adalah silika dan pengaruhnya kurang baik terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Kadar abu setiap arang berbeda-beda tergantung jenis kayu, letak kayu dalam pohon, dan kandungan kulit kayu. Arang yang baik mempunyai kadar abu sekitar 3%. Semakin rendah kadar abu maka akan semakin baik briket arang tersebut. b.
Kadar zat menguap Zat mudah menguap adalah zat selain air, yaitu karbon terikat dan abu
yang terdapat di dalam arang, yang terdiri atas cairan dan sisa ter yang tidak habis dalam proses karbonisasi. Kadar zat mudah menguap ini tergantung pada proses pengarangan dan temperatur yang diberikan. Apabila proses karbonisasi lama dan temperatur karbonisasi ditingkatkan akan semakin menurunkan persentase kadar zat menguapnya. c.
Kadar karbon terikat Kadar karbon terikat adalah fraksi C dalam arang. Kadar karbon terikat
dipengaruhi oleh kadar zat mudah menguap dan kadar abu. Semakin besar kadar zat menguap dan kadar abu maka akan menurunkan kadar karbon terikat. Kadar karbon terikat dalam arang kayu berkisar 50-95 %. Arang kayu yang berkulitas baik yang mempunyai kadar karbon terikat antara 70-80 %. d. Nilai kalor bakar Nilai kalor bakar adalah nilai panas yang ditimbulkan oleh arang akibat adanya reaksi pembakaran pada volum tetap. Arang dengan nilai kalor bakar yang tinggi sangat disukai, baik untuk keperluan rumah tangga ataupun industri. Menurut Smisek dan Cerny (1970) dalam Pari et al. (2006), Arang yang berkualitas harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
8
1. Mempunyai kandungan arang (fixed carbon) diatas 75% 2. Cukup keras ditandai dengan tidak mudah dan hancur 3. Kadar abunya tidak lebih dari 5% 4. Kadar zat menguapnya tidak lebih dari 15% 5. Kadar airnya tidak lebih dari 15% 6. Tidak tercemar oleh unsur-unsur yang membahayakan atau kotoran lainnya. Penggunaan arang tidak hanya terbatas sebagai bahan bakar, tetapi juga dalam berbagai industri. Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa arang banyak digunakan untuk metalurgi, pemurnian logam, sintetis kimia dan berbagai tujuan lain. Manfaat arang menurut Kholik et al. (2006) antara lain : 1. Keperluan rumah tangga dan bahan bakar khusus seperti binatu, tungku pembakar, pengeringan daging, ikan, tembakau, pengecoran logam, peleburan timah dan logam, peleburan timah dan timbal. 2. Keperluan metalurgi seperti industri aluminium, plat baja, penyepuhan, kobalt, tembaga, nikel, besi kasar, serbuk besi, baja, molybdenium, campuran logam khusus, cetakan pengecoran dan pertambangan. 3. Dalam industri kimia, arang banyak digunakan untuk karbon aktif, karbon monoksida, elektroda gelas, campuran resin, obat – obatan, makanan ternak, karet, serbuk hitam, karbon bisulfida, katalisator, pupuk, perekat, magnesium, plastik, dan bahan penyerap dalam silinder. 2.2.2 Arang aktif Arang aktif merupakan senyawa karbon amorf, yang dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Selain bahan baku, proses aktivasi juga merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan arang aktif. Proses aktivasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul – molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifilt, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah luas dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi. Metode aktivasi yang umum digunakan dalam pembuatan arang aktif adalah :
9
1. Aktivasi kimia yaitu proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan pemakaian bahan – bahan kimia. 2.
Aktivasi fisika yaitu proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan panas, uap, dan CO2 Luas permukaan arang aktif berkisar antara 300-3500 m2/g dan ini
berhubungan dengan struktur pori internal yang menyebabkan arang aktif mempunyai sifat sebagai adsorben. Arang aktif dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau sifat adsorpsinya selektif, tergantung pada besar atau volume pori-pori dan luas permukaan (Tryana dan Sarma 2003). Dengan semakin luasnya permukaan arang aktif maka daya adsorpsinya juga semakin meningkat (Baker et al. 1997). Menurut Solovyov et al. (2002), arang aktif berbentuk amorf, dan sebagian besar kandungannya terdiri dari unsur karbon. Karbon ini terdiri dari pelat - pelat datar yang atom karbonnya terikat secara kovalen dalam suatu kisi heksagonal yang mirip dengan grafit. Pelat – pelat ini terkumpul satu sama lain membentuk kristal dengan susunan tidak beraturan dan jarak antar pelatnya acak. Menurut Tryana dan Sarma (2003), berdasarkan penggunaannya arang aktif terbagi menjadi dua tipe yaitu arang aktif sebagai pemucat dan arang aktif sebagai penyerap uap. Karena hal tersebut maka karbon aktif banyak digunakan oleh kalangan industri dan hampir 60% produksi arang aktif di dunia dimanfaatkan oleh industri gula, pembersihan minyak dan lemak, industri kimia dan farmasi. Arang aktif komersial sebagian besar dimanfaatkan sebagai bahan penyerap (adsorben) dalam berbagai aplikasi seperti digunakan pada pembersihan tumpahan minyak, penyaring air minum, penyaring udara, dan perbaikan tanah. Selain itu arang aktif komersial juga telah digunakan sebagai penyaring kotoran organik dalam industri minuman keras, dan sebagai penyerap racun di dalam tubuh
manusia.
Dalam
perkembangannya
arang
aktif
komersial
telah
dimanfaatkan sebagai pengontrol kemurnian buah – buahan dan sayur yang dikonsumsi manusia, serta mampu menyerap emisi (Anonim 2008). Kualitas arang aktif dinilai berdasarkan persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06 – 3730-1995 pada Tabel 1.
10
Tabel 1 Persyaratan Arang Aktif Standar Nasional Indonesia (SNI) 06 – 37301995 Jenis Persyaratan Kadar Air Kadar Abu Kadar Zat Menguap Kadar Karbon Terikat Daya Serap Terhadap Yodium Daya Serap Terhadap Benzena
Parameter Maksimum 15 % Maksimum 10 % Maksimum 25 % Minimum 65 % Minimum 750 mg/g Minimum 25 %
Sumber : Anonim 1995 2.2.3 Daya serap arang aktif Daya serap adalah peristiwa terjadinya perubahan kepekatan dari molekul, ion atau atom antar permukaan dalam dua fasa (Pari et al. 2000). Hal ini terjadi bila dua fasa saling bertemu, sehingga di antara kedua fasa tersebut terbentuk daerah antar muka yang sifatnya berbeda dengan fasa ruah kedua fasa tersebut. Pada kondisi tertentu atom, ion atau molekul dalam daerah ini mengalami ketidakseimbangan gaya sehingga mampu menarik molekul lain sampai keseimbangan gaya tercapai. Zat yang terserap biasanya terkonsentrasi pada permukaan. Bahan yang yang terserap dinamakan adsorbat (adsorbate), biasanya berupa cairan atau gas, sedangkan yang menyerap disebut adsorben (adsorbent).
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan November 2008 di Laboratorium kimia dan energi Pusat Penelitian Hasil Hutan Bogor (Puslitbang). 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1 Bahan Bahan baku yang digunakan adalah limbah kulit kayu akasia yang berasal dari tegakan Acacia mangium berumur 7 tahun, diperoleh dari PT Musi Hutan Persada (MHP) Palembang. Bahan kimia yang digunakan yaitu thio, yodium, kloroform, benzena, dan arang aktif komersial yang telah dipasarkan (norit) sebagai pembanding arang aktif. 3.2.2 Alat Alat yang digunakan adalah tungku yang dilengkapi dengan pemanas listrik dan termokopel, tanur, oven, cawan penghalus, penyaring serbuk, wadah plastik, timbangan, cawan porselin, cawan Petri, desikator, penyerap kloroform, penyerap benzena, dan x – ray difractometer (XRD). 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan sampel Limbah kulit kayu akasia dikeringudarakan terlebih dahulu. Setelah mencapai kadar air ± 12 %, limbah tersebut diarangkan. 3.3.2 Pengarangan Pengarangan dilakukan dengan cara pirolisis. Pirolisis dilakukan dalam tungku baja tahan karat selama 5 jam pada suhu 200oC, 300oC, 400 oC, 500oC, 700oC, dan 800°C. Pada setiap tingkat suhu digunakan sebanyak 270 g kulit akasia.
12
3.3.3 Pembuatan arang aktif Pembuatan arang aktif dilakukan di dalam retor arang yang terbuat dari baja tahan karat dengan alat pemanas listrik pada suhu optimum. Tungku dipanaskan dengan jalan mengalirkan arus listrik, kenaikan suhu diatur dengan cara mengatur termokopel sampai dicapai suhu yang diinginkan. Jika telah mencapai suhu tersebut dilakukan aktivasi dengan mengalirkan uap H2O selama 90 menit dengan suhu uap 800 °C serta tekanan sebesar 1000 atm. 3.3.4 Pengujian kualitas arang dan arang aktif Pengujian sifat arang dan arang aktif dilakukan untuk mengetahui sifat fisis dan sifat kimianya, sehingga dapat diketahui mutu dan kualitas arang tersebut. 3.3.4.1 Pengujian sifat fisika a. Penetapan kadar air Prosedur penetapan kadar air mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 06–3730-1995 tentang syarat mutu dan pengujian arang aktif. Contoh uji arang sebanyak 1 g dikeringkan dalam oven pada suhu (103±2) oC sampai beratnya konstan. Kemudian dimasukkan ke dalam desikator sampai bobotnya tetap dan ditentukan kadar airnya dalam persen (%). Kadar air arang dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar air (%)
=
BeratContohAwal( g ) BeratKeringTanur( g ) x 100% BeratKeringTanur
3.3.4.2 Pengujian sifat kimia b. Penetapan kadar zat menguap Prosedur penetapan Kadar Zat Menguap mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 06–3730-1995 tentang syarat mutu dan pengujian arang aktif. Cawan porselin yang berisi contoh dari penentuan kadar air, ditutup dan diikat dengan kawat nichrome. Cawan dimasukkan kedalam tanur listrik pada suhu 950 o
C selama 6 menit. Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu pemanasan
pendahuluan pada bagian datar selama 2 menit dan pada pangkal tanur selama 3 menit. Setelah penguapan selesai cawan dimasukkan kedalam desikator sampai
13
beratnya konstan dan selanjutnya ditimbang. Kadar zat menguap arang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar Zat Menguap (%) =
SelisihBeratContoh( g ) x 100% BeratKeringTanur( g )
c. Penetapan kadar abu Prosedur penetapan Kadar Abu mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 06–3730-1995 tentang syarat mutu dan pengujian arang aktif. Cawan yang sudah berisi contoh yang kadar air dan kadar zat menguapnya sudah ditetapkan, digunakan untuk mengukur kadar abu. Caranya cawan tersebut diletakkan dalam tanur, perlahan-lahan dipanaskan mulai dari suhu kamar sampai 600 oC selama 6 jam. Selanjutnya didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan, kemudian ditimbang bobotnya. Kadar abu arang dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar Abu (%) =
BeratAbu( g ) x 100% BeratKeringTanur( g )
d. Penetapan kadar karbon terikat Prosedur penetapan Kadar Karbon Terikat mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 06–3730-1995 tentang syarat mutu dan pengujian arang aktif. Karbon terikat adalah fraksi karbon yang terikat di dalam ruang selain fraksi air, zat menguap dan abu. Pengukuran kadar karbon terikat dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar Karbon Terikat (%) = 100%-( Kadar Zat Menguap + Kadar Abu)% 3.3.4.3 Daya serap arang aktif a. Daya serap terhadap yodium Prosedur penetapan daya serap arang aktif terhadap yodium mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 06 – 3730-1995 tentang syarat mutu da pengujian arang aktif. Contoh uji arang aktif dan arang aktif komersial (norit) yang telah kering oven ditimbang sebanyak ± 0,25 g dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Kemudian contoh uji tersebut diberi larutan yodium 25 ml, diaduk dengan menggunakan stirer selama ± 15 menit. Larutan yang telah diaduk kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring, dan hasilnya dipipet 10 ml
14
untuk titrasi menggunakan larutan thio. Titrasi dilakukan hingga larutan contoh uji berubah warna menjadi bening. Besarnya daya serap arang aktif terhadap yodium dihitung dengan rumus: Daya serap terhadap yodium (mg/g) = 10 – Molaritas Thio (0.1) x ml Thio untuk titrasi x 12.693 x 2.5 Molaritas Yodium (0.1002) 0.254 b. Daya serap terhadap kloroform dan benzena Penetapan daya serap arang aktif terhadap kloroform dan benzena mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 06 – 3730-1995 tentang syarat mutu dan pengujian arang aktif. Cawan Petri yang telah kering oven ditimbang bobotnya, kemudian contoh uji arang aktif dan arang aktif komersial (norit) yang juga telah diletakkan diatas cawan Petri yang masih berada di atas neraca timbangan. Contoh uji tersebut diratakan hingga menutupi semua permukaan cawan Petri dan dicatat bobotnya. Selanjutnya dimasukkan ke dalam alat penyerap benzena dan kloroform, dibiarkan selama ±24 jam, dan ditimbang bobot akhirnya. Daya serap terhadap kloroform dan benzena dihitung dengan rumus berikut ini : Daya serap kloroform / benzena (%) = Berat contoh awal (g) – Berat Kering Tanur (g)
x 100 %
Berat Kering Tanur (g) 3.3.5 Derajat kristalinitas arang dan arang aktif Penetapan derajat kristalinitas arang dan arang aktif bertujuan untuk mengetahui persentase struktur arang yang berfungsi sebagai penyerap. Penetapan derajat kristalinitas tersebut mengacu pada petunjuk teknis penggunaan X-Ray Difractometer (Iguchi 1997, Jimenez et al. 1999, Kercher 2003). Untuk mengukur derajat kristalin, jarak antar lapisan, tinggi dan lebar lapisan antar aromatik serta jumlah aromatik digunakan difraksi sinar x (XRD) (Shimadzu, XDDI) dengan sumber radiasi tembaga. 3.3.6 Rancangan percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan suhu karbonisasi yang berbeda terdiri dari:
15
S0
= Kontrol (Bahan mentah yang tidak dikarbonisasi)
S1
= Karbonisasi pada suhu 200 °C
S2
= Karbonisasi pada suhu 300 °C
S3
= Karbonisasi pada suhu 400 °C
S4
= Karbonisasi pada suhu 500 °C
S5
= Karbonisasi pada suhu 600 °C
S6
= Karbonisasi pada suhu 700 °C
S7
= Karbonisasi pada suhu 800 °C
Setiap kombinasi perlakuan menggunakan 270 g kulit akasia dengan jumlah ulangan sebanyak 3 kali sehingga yang dibutuhkan sebanyak 810 g kulit akasia. Model rancangan yang digunakan adalah (Mattjik 2002) : Yij = µ + αi + εij Yijk = Nilai respon dari ulangan ke- j dan perlakuan ke- i µ
= Nilai rata-rata umum respon (keseluruhan)
αi
= Tambahan respon (terhadap rata-rata umum) dari perlakuan ke- i
εijk
= Simpangan / sisaan acak dari ulangan ke- j dalam perlakuan ke- i
3.3.7 Analisis data Analisis data hasil pengamatan dilakukan dengan menggunakan program SPSS 13 dan Minitab 15. Sidik ragam dengan Uji F terhadap variabel yang diamati dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan, dengan hipotesis sebagai berikut : H0 = Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas arang dan arang aktif H1 = Perlakuan berpengaruh nyata terhadap kualitas arang dan arang aktif Kriteria pengambilan keputusan untuk kriteria yang diuji adalah : F hitung < F tabel : terima H0 F hitung > F tabel : tolak H0 Data-data untuk persentase dikonfersi ke arc % √x untuk keperluan sidik ragam .
16
3.3.8 Diagram alir proses penelitian Tahapan proses penelitian dapat dilihat melalui gambar berikut ini : a. Pembuatan dan Pengujian Arang Kulit Akasia Kulit Akasia Karbonisasi Arang
Pengujian Sifat Fisika dan Kimia
Kadar Air
Kadar Zat Menguap p
Kadar Abu
Pengujian Derajat Kristalinitas
Kadar Karbon Terikat
Dibandingkan dengan SNI
Untuk mengetahui suhu optimum yang digunakan sebagai suhu karbonisasi arang aktif Gambar 1 Diagram Alir Proses Pembuatan dan Pengujian Arang Kulit Akasia.
17
b. Pembuatan dan Pengujian Arang Aktif Kulit Akasia Kulit Akasia Karbonisasi dan Aktivasi
Arang Aktif
Pengujian Sifat Fisika
Pengujian
dan Kimia
Kadar Air
Kadar Zat Menguap
Kadar Abu
Pengujian
Daya Serap
Kadar Karbon Terikat
Yodium
Derajat Kristalinitas
Kloroform
Benzena
Dibandingkan dengan SNI
Untuk mengetahui kualitas arang aktif kulit akasia yang memenuhi standar sebagai penyerap Gambar 2 Diagram Alir Proses Pembuatan dan Pengujian Arang Aktif Kulit Akasia sebagai Penyerap.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisika dan Kimia Arang Kulit Akasia Arang yang dihasilkan dari suhu karbonisasi yang berbeda memiliki sifat fisika dan kimia yang berbeda pula. Hasil pengujian sifat fisika dan kimia arang yang dihasilkan dari karbonisasi kulit akasia disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Sifat Fisika dan Kimia Arang Kulit Akasia Suhu (oC)
Kadar Air (%)
Kadar Zat Menguap (%)
Kadar Abu (%)
Kadar Karbon Terikat (%)
Kontrol 200 300 400 500 600 700 800 SNI
10,89d 3,48c 3,42c 2,33b 2,33b 2,30b 2,00b 1,13a Maksimum 15 %
75,11j 55,77i 27,92h 16,23g 7,77f 4,98e 3,80e 3,72e Maksimum 25 %
22,64m 22,43m 23,47m 17,95kl 31,59n 33,39n 19,89lm 13,93k Maksimum 10 %
2,16o 21,78p 48,59q 65,80s 60,63r 61,61rs 76,30t 82,33t Minimum 65 %
Derajat Kristalinitas (%) 39,51 37,61 41,63 41,74 44,78 50,84 47,49 45,16
Keterangan Huruf : Hasil uji lanjut Duncan Huruf yang sama
: Tidak berbeda nyata
Huruf yang berbeda : Berbeda nyata 4.1.1 Kadar air Kadar air berpengaruh besar dalam proses pengarangan dan sifat arang terutama pengaruhnya terhadap nilai kalor arang yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar air arang maka akan mengakibatkan nilai kalornya akan semakin rendah (Sudrajat dan Winarni 2002). Arang yang memiliki kualitas yang baik yaitu arang dengan nilai kalor atau panas pembakaran tinggi, sehingga tidak mengeluarkan asap pada saat pembakaran (Hendra dan Winarni 2003). Berdasarkan Tabel 2 kadar air arang yang dihasilkan berkisar antara 10,89% - 1,13%. Kadar air tertinggi dimiliki oleh bahan mentah yang tidak dipirolisis, sedangkan kadar air terendah dimiliki oleh arang yang dihasilkan pada suhu 800°C. Kadar air arang mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya suhu pirolisis yang digunakan. Hal ini disebabkan suhu yang semakin tinggi akan
19
semakin meningkatkan dehidrasi, sehingga air yang terkandung di dalam arang akan semakin banyak menguap dan kadarnya semakin rendah (Sjostrom 1995). Berkurangnya kadar air arang seiring dengan meningkatnya suhu pirolisis dapat dilihat pada gambar 3. 12 10
Kadar 8 Air (%) 6 4 2 0 0
200
300
400
500
600
700
800
Suhu (°C)
Gambar 3 Histogram Nilai Kadar Air Arang Kulit Akasia. Hasil analisis ragam (Lampiran 1.1) menunjukkan perlakuan suhu berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air arang yang dihasilkan (α 5%). Sedangkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2.1) menunjukkan arang yang dihasilkan dari perlakuan suhu 800°C memiliki nilai kadar air paling rendah dan berbeda nyata dengan kadar air arang pada suhu lainnya namun pada suhu 400ºC – 700°C respon kadar air tidak berbeda nyata dan suhu 200 – 300 °C memberikan respon kadar air yang sama. Hal ini berarti bahwa peningkatan suhu dari 0ºC mampu mengubah kadar air, namun peningkatan suhu dari 200°C hingga 300ºC tidak mengubah kadar air arang. Peningkatan suhu diatas 300°C menurunkan kadar air tetapi peningkatan suhu dari 400°C hingga 700°C tidak mempengaruhi perubahan kadar air arang. Rendahnya kadar air arang yang dihasilkan pada suhu 800°C terjadi karena dalam tahapan proses pirolisis, pada suhu diatas 700°C mulai terjadi proses pembesaran permukaan arang, sehingga dimungkinkan lebih banyak molekul air yang dilepaskan. Pada suhu 200°C dihasilkan arang dengan kadar air sebesar 3,48% yang tidak berbeda nyata dengan arang pada suhu 300°C yaitu sebesar 3,42%. Hal tersebut disebabkan karena pada suhu pirolisis 300°C juga terjadi degradasi molekul air seperti pada suhu pirolisis 200°C, namun diikuti dengan
20
degradasi selulosa lebih intensif dan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Selain itu suhu pirolisis 400°C – 700°C menghasilkan arang dengan nilai kadar air yang juga tidak berbeda nyata yaitu 2,33% - 2,00%, karena suhu 400°C -500°C merupakan proses pirolisis cepat yang mempirolisis lignin teknis menghasilkan arang, gas H2O dan uap. Sedangkan suhu pirolisis 500°C – 700°C hanya tinggal tahap pemurnian arang, sehingga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar air. Berdasarkan Tabel 2, nilai kadar air arang kulit akasia secara keseluruhan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk arang aktif (Anonim 1995), karena kurang dari 15%. 4.1.2 Kadar zat menguap Kadar zat menguap merupakan hasil dekomposisi zat – zat penyusun arang akibat proses pemanasan selama pengarangan dan bukan komponen penyusun arang (Pari 2004). Arang dengan kadar zat menguap yang tinggi akan menghasilkan asap pembakaran yang tinggi pula pada saat arang tersebut digunakan. Tabel 2 memperlihatkan nilai kadar zat menguap arang kulit akasia berkisar antara 75,11% - 3,72%. Kadar zat menguap tertinggi dimiliki bahan mentah yang tidak
di karbonisasi, sedangkan kadar zat menguap terendah
dimiliki arang yang dihasilkan pada suhu 800°C. Gambar 4 merupakan histogram hasil pengujian kadar zat menguap arang kulit akasia. 80 70 60 50 Kadar Zat 40 Menguap (%) 30 20 10 0 0
200
300
400
500
600
700
800
Suhu (°C)
Gambar 4 Histogram Kadar Zat Menguap Arang Kulit Akasia. Gambar 4 menunjukkan bahwa suhu pirolisis yang semakin tinggi menghasilkan arang dengan kadar zat menguap yang semakin rendah. Hasil perhitungan sidik ragam memperlihatkan bahwa kadar zat menguap dipengaruhi sangat nyata oleh perubahan suhu yang diberikan (Lampiran 1.2). Hasil analisis
21
lanjut Duncan (Lampiran 2.2) menunjukan suhu 200°C hingga 500°C memberikan respon kadar zat menguap yang sangat berbeda nyata. Sedangkan pada suhu 600°C – 800°C respon kadar zat menguap arang tidak berbeda nyata. Hal ini menjelaskan bahwa peningkatan suhu dari 0°C hingga 500°C dapat mengubah kadar zat menguap arang. Peningkatan suhu diatas 500°C menurunkan kadar zat menguap, namun peningkatan suhu dari 600°C hingga 800°C tidak mempengaruhi perubahan kadar zat menguap arang kulit akasia, karena diduga sebagian besar zat volatile telah dilepaskan saat karbonisasi berlangsung pada suhu 200°C – 500°C. Penurunan kadar zat menguap seiring dengan meningkatnya suhu pirolisis disebabkan ketidaksempurnaan penguraian senyawa non karbon selama proses pirolisis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hendra dan Darmawan (2000) bahwa besarnya kadar zat menguap ditentukan oleh waktu dan suhu pengarangan. Jika proses pirolisis lama dan suhunya ditingkatkan maka semakin banyak zat menguap yang terbuang, sehingga akan diperoleh kadar zat menguap yang semakin rendah. Demikian pula menurut Novicio (1998) diacu dalam Pari (2004), meningkatnya suhu karbonisasi akan menguapkan senyawa volatile yang masih tertinggal terutama ter, hal ini akan menyebabkan jumlah pori yang terbentuk bertambah banyak. Arang dengan kondisi tersebut mungkin dapat dijadikan sebagai arang aktif dengan permukaan yang tidak lagi ditutupi oleh senyawa polar sehingga memiliki kemampuan menyerap. Arang yang dihasilkan pada suhu 400°C – 800°C memiliki nilai kadar zat menguap yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (Anonim 1995) untuk arang aktif karena tidak lebih dari 25 %. 4.1.3 Kadar abu Kadar abu merupakan sisa dari pembakaran yang sudah tidak memiliki unsur karbon dan nilai kalor lagi. Nilai kadar abu menunjukkan jumlah sisa dari akhir proses pembakaran berupa zat – zat mineral yang tidak hilang selama proses pembakaran. Nilai kadar abu dari arang kulit akasia yang dikarbonisasi pada suhu berbeda dapat dilihat pada gambar 5.
22
40 35 30 25 Kadar 20 Abu (%) 15 10 5 0 0
200
300
400
500
600
700
800
Suhu (°C)
Gambar
5 Histogram Kadar Abu Arang Kulit Akasia. Gambar 5 menunjukkan bahwa kenaikan suhu tidak menyebabkan kenaikan kadar abu atau sebaliknya, tetapi menghasilkan arang dengan nilai kadar abu yang fluktuatif. Arang yang dihasilkan dari suhu 600°C mengandung kadar abu tertinggi yaitu sebesar 22,64%, sedangkan kadar abu terendah dimiliki oleh arang yang dikarbonisasi pada suhu 800°C yaitu 19,39% (Tabel 2). Analisis sidik ragam (Lampiran 1.3) menunjukkan bahwa perlakuan suhu berpengaruh sangat nyata terhadap kadar abu arang yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2.3) menunjukkan bahwa antara suhu 0 – 300 °C dengan suhu 700°C, respon kadar abu tidak berbeda nyata. Suhu 500°C hingga 600°C juga memberikan respon yang tidak berbeda nyata, dan respon pada suhu 400°C berbeda nyata dengan suhu lainnya namun tidak berbeda nyata dengan suhu 700 °C. Hasil uji juga menunjukkan arang yang dihasilkan pada suhu 800°C memiliki kadar abu paling rendah dan berbeda nyata dengan suhu lainnya namun tidak berbeda nyata dengan respon kadar abu pada suhu 400°C. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu 0°C hingga 300°C tidak mengubah kadar abu, dan peningkatan suhu menjadi 400°C menurunkan kadar abu arang. Peningkatan suhu diatas 400°C mengubah kadar abu, namun penigkatan suhu dari 500°C hingga 600 °C tidak mempengaruhi perubahan kadar abu arang. Sedangkan peningkatan suhu diatas 600°C menurunkan kadar abu arang. Menurut
Sudrajat
(1985) peningkatan kadar abu terjadi karena
terbentuknya garam – garam mineral pada saat proses pengarangan yang bila proses tersebut berlanjut akan membentuk partikel – partikel halus dari garam –
23
garam mineral tersebut. Kadar abu dipengaruhi oleh besarnya kadar silikat, semakin besar kadar silikat maka kadar abu yang dihasilkan akan semakin besar (Pari 1996). Selain itu khusus untuk arang aktif kulit akasia, kadar abu yang tinggi disebabkan karena pada dasarnya kulit akasia mengandung mineral silikat yang cukup tinggi (Sjostrom 1995). Secara keseluruhan kadar abu tersebut belum memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (Anonim 1995) untuk arang aktif karena lebih dari 10%. Besarnya kadar abu ini disebabkan terjadinya oksidasi karbon lebih lanjut terutama dari partikel yang sangat halus sehingga akan mempengaruhi arang aktif yang akan dibuat (Pari 1999). Meskipun demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa walapun kadar abunya tidak memenuhi syarat namun tetap dapat dibuat arang aktif (Komarayati et al. 1998 dan Pari 1999). Oleh karena itu perlu dilakukan pengayakan untuk abu yang menempel pada permukaan arang dan pembuatan arang aktif dilakukan dengan proses pirolisis (slow pyrolisis) (Pari et al. 2006). 4.1.4 Kadar karbon terikat Menurut Hendra dan Winarni (2003), kadar karbon terikat adalah fraksi karbon (C) yang terikat di dalam arang selain fraksi air, zat menguap dan abu. Menurut Pari (1996), tinggi rendahnya kadar karbon terikat di dalam arang dipengaruhi oleh nilai kadar abu, kadar zat menguap dan senyawa hidrokarbon yang masih menempel pada permukaan arang. Dari hasil penelitian diperoleh kadar karbon terikat yang cenderung meningkat dengan meningkatnya suhu yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sjostrom (1995) yaitu suhu yang semakin tinggi akan meningkatkan kandungan karbon karena dedehidrasi lebih sempurna dan adanya penghilangan produk-produk yang mudah menguap. Perubahan kadar karbon terikat arang kulit akasia dapat dilihat pada gambar 6.
24
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Kadar Karbon Terikat (%)
0
200 300 400 500 600 700 800 Suhu (°C)
Gambar 6 Kadar Karbon Terikat Arang Kulit Akasia. Kadar karbon terikat yang tertinggi terdapat di dalam arang yang dikarbonisasi pada suhu 800°C yaitu 82,33%, sedangkan bahan mentah yang tidak dipirolisis memiliki kadar karbon terikat terendah yaitu sebesar 2,16% (Tabel 2). Analisis sidik ragam (Lampiran 1.4) memperlihatkan pengaruh yang sangat nyata dari setiap suhu pengarangan terhadap kadar karbon terikat arang. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan pada suhu 0°C hingga 300°C respon kadar karbon terikat berbeda nyata, namun pada suhu 400 – 600 °C respon kadar karbon terikat tidak berbeda nyata. Peningkatan suhu 700 – 800 °C juga menyebabkan respon kadar karbon terikat tidak berbeda nyata. Hal ini berarti peningkatan suhu dari 0°C hingga 300°C mengubah kadar karbon terikat arang. Peningkatan suhu diatas 300 °C meningkatkan kadar karbon terikat, namun peningkatan suhu dari 400°C hingga 600°C dan peningkatan suhu dari 700°C hingga 800°C tidak mempengaruhi perubahan kadar karbon terikat arang kulit akasia. Tingginya kadar karbon tersebut menunjukkan bahwa fraksi karbon yang terikat di dalam arang semakin tinggi. Kondisi tersebut diduga mengakibatkan luas permukaan arang semakin besar dan jumlah pori arang semakin banyak sehingga diduga mempunyai kemampuan menyerap cairan atau gas. Dari keseluruhan nilai kadar karbon terikat yang telah diperoleh, hanya arang yang dihasilkan pada suhu 700°C dan 800°C saja yang memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (Anonim 1995) untuk arang aktif karena lebih dari 65%.
25
4.1.5 Derajat kristalinitas arang Penilaian kualitas arang yang akan dijadikan arang aktif sebagai penyerap tidak cukup hanya dengan mengetahui sifat fisika dan kimia arang saja. Hasil pengujian ini perlu didukung oleh informasi mengenai struktur arang yang ditunjukkan salah satunya dengan derajat kristalinitas arang. Informasi ini diperoleh melalui analisis struktur arang menggunakan sinar x. Analisis struktur arang dengan menggunakan sinar x (X ray – Diffractometer/XRD) bertujuan untuk mengetahui struktur kristalit arang, sehingga dapat diketahui pula perubahan bentuk kristalit sebagai akibat perubahan suhu karbonisasi. Tabel 2 menunjukkan derajat kristalinitas terendah terbentuk pada suhu 200°C, hal ini mungkin disebabkan serbuk kulit akasia terdekomposisi pada suhu sekitar 200°C. Peningkatan derajat kristalinitas terjadi mulai dari suhu 300°C, dan mencapai nilai maksimum pada suhu karbonisasi 600°C. Peningkatan suhu diatas 600°C justru menurunkan derajat kristalinitas arang. Hasil penelitian ini belum sesuai dengan yang dikemukakan oleh Saito dan Arima (2002) diacu dalam Pari (2004) yang menyimpulkan bahwa derajat kristalinitas arang akan meningkat dengan naiknya suhu karbonisasi. Kondisi tersebut terjadi karena kulit kayu akasia sebagian besar mengandung lignin yang struktur dasarnya bersifat amorf sehingga menyulitkan dalam pembuatan struktur arang, karena meskipun dikarbonisasi hingga suhu 800°C diduga strukturnya tetap amorf yang ditunjukkan dengan menurunnya derajat kristalinitas pada suhu 700°C dan 800°C. Hal ini juga tidak sesuai dengan hasil penelitian Ota dan Mozammel (2003) bahwa struktur arang yang ideal pada umumnya mengandung derajat kristalinitas yang relatif besar. Hasil pengujian sifat fisika dan kimia arang kulit akasia yang dikarbonisasi dari suhu 0°C hingga 800°C menunjukkan bahwa secara keseluruhan kadar air arang memenuhi syarat SNI (Anonim 1995) karena tidak lebih dari 15%, namun kadar zat menguap arang yang memenuhi parsyaratan tersebut hanya arang yang dikarbonisasi pada suhu 400°C hingga 800°C karena kurang dari 25%. Sedangkan kadar abu arang kulit akasia secara keseluruhan belum memenuhi syarat SNI (Anonim 1995) karena lebih dari 10% dan hanya kadar karbon terikat arang yang dikarbonisasi pada suhu 700 – 800 °C dengan
26
nilai lebih dari 65% dapat memenuhi persyaratan tersebut. Arang kulit akasia yang dihasilkan pada suhu 600 – 800 °C memiliki derajat kristalinitas cukup besar dengan nilai yang tidak berbeda, sehingga diperkirakan memiliki struktur arang yang cukup ideal sebagai bahan penyerap. Berdasarkan penjelasan diatas suhu 700 – 800 °C dinilai sebagai suhu optimum untuk aktivasi dalam pembuatan arang aktif yang akan digunakan sebagai bahan penyerap. 4.2 Sifat Fisika dan Kimia Arang Aktif
Kulit Akasia dan Arang Aktif
Komersial Sifat – sifat arang pada suhu 700°C dan 800°C tidak berbeda nyata, sehingga pembuatan arang aktif dilakukan dengan suhu 750°C. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Pari et al. (2008), bahwa kondisi optimum untuk membuat arang aktif dengan kualitas terbaik dihasilkan dari arang yang diaktivasi pada suhu 750°C selama 90 menit. Berikut ini hasil pengujian sifat fisika dan kimia arang aktif kulit akasia yang dibandingkan dengan arang aktif komersial yaitu arang aktif yang telah banyak dikonsumsi sebagai penyerap (adsorben). Tabel.3 Sifat Fisika dan Kimia Arang Aktif Kulit Akasia serta Arang Aktif Komersial Contoh uji Arang aktif kulit akasia Arang aktif komersial
Kadar Air Kadar Zat (%) Menguap (%) 1,37 8,05 7,09
13,51
Kadar Abu (%) 11,81 12,60
Kadar Karbon Terikat (%) 80,12 73,87
Derajat Kristalinitas(%) 66,20 27,79
4.2.1 Kadar air Berdasarkan Tabel 3 arang aktif kulit akasia memiliki kadar air lebih rendah dibandingkan dengan arang aktif komersial dan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) 06–3730-1995, karena tidak melebihi 15%. Rendahnya kadar air ini diduga karena permukaan arang aktifnya lebih sedikit mengandung gugus fungsi yang bersifat polar dibandingkan arang aktif komersial sehingga interaksi antara uap air yang bersifat polar juga sedikit (Pari et al. 2008). Rendahnya kadar air ini juga menunjukkan bahwa zat menguap dan senyawa lainnya di dalam arang aktif kulit akasia lebih mudah dikeluarkan, sehingga luas
27
permukaan arang aktif semakin besar dan pori – pori arang semakin banyak. Dari kondisi ini dapat dimungkinkan bahwa arang aktif kulit akasia memiliki kinerja sebagai penyerap yang cukup baik. 4.2.2 Kadar zat menguap Tujuan penetapan kadar zat menguap yaitu untuk mengetahui besarnya kandungan senyawa volatile di dalam arang aktif sebagai hasil dari interaksi antara karbon dengan uap air. Dari hasil pengujian kadar zat menguap arang aktif komersial lebih tinggi dibandingkan arang aktif kulit akasia, dan keduanya memenuhi persyaratan SNI karena tidak melebihi 25%. Tinggi rendahnya kadar zat menguap yang dihasilkan menunjukkan bahwa permukaan arang aktif masih ditutupi oleh senyawa non karbon sehingga mempengaruhi daya serapnya (Pari et al. 2006). Kadar zat menguap arang aktif kulit akasia yang rendah disebabkan tidak sempurnanya penguraian senyawa non karbon pada waktu proses pengarangan. Menurut Kuriyama (1961) kehadiran senyawa volatile pada arang aktif dapat mengganggu proses penyerapan karena menutupi pori arang. Rendahnya kadar zat menguap menunjukkan banyaknya zat volatile yang terdesak keluar, sehingga mengakibatkan sobekan yang menghasilkan banyak pori pada permukaan arang aktif. Dengan demikian arang aktif yang memiliki kadar zat menguap lebih rendah diduga berpotensi memiliki daya serap yang cukup baik. 4.2.3 Kadar abu Tujuan penetapan kadar abu adalah untuk mengetahui kandungan oksida logam dalam arang aktif. Baik arang aktif kulit akasia maupun arang aktif komersial memiliki kadar abu yang tidak memenuhi persyaratan SNI karena melebihi 10%. Kadar abu arang aktif komersial sebesar 12,60%, lebih tinggi dibandingkan arang aktif yaitu 11,81%. Kadar abu yang tinggi disebabkan oleh adanya proses oksidasi terutama dari partikel halus pada saat karbonisasi dan berlanjut pada saat aktivasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sudrajat (1985) bahwa tingginya kadar abu terjadi karena terbentuknya garam – garam mineral pada saat proses pengarangan yang jika proses tersebut berlanjut akan membentuk partikel – partikel halus dari garam – garam mineral tersebut. Selain itu khusus untuk arang aktif kulit akasia, kadar abu yang tinggi disebabkan karena pada
28
dasarnya kulit mangium mengandung mineral silikat yang cukup tinggi (Sjostrom 1995). Menurut Manivanna et al. (1999) kadar abu yang tinggi dapat mengurangi daya jerap arang aktif terhadap gas dan larutan, karena mineral seperti kalsium, kalium, magnesium dan natrium menyebar dalam kisi arang aktif
dan
mempengaruhi pembentukan lebar lapisan kristalit, sehingga diperkirakan kinerja arang aktif kulit akasia serta arang aktif komersial sebagai penyerap menjadi berkurang. Meskipun demikian, keduanya masih dapat digunakan sebagai penyerap dengan mengurangi kadar abunya melalui cara mencuci arang aktif dengan larutan asam klorida (HCl). 4.2.4 Kadar karbon terikat Kadar karbon arang aktif kulit akasia yang dihasilkan sebesar 80,12%, sedangkan arang aktif komersial memiliki kadar karbon yang lebih rendah yaitu 73,87%. Keduanya memiliki kadar karbon yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (Anonim 1995) karena lebih dari 65%. Besar kecilnya kadar karbon terikat yang dihasilkan, selain dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar zat menguap dan kadar abu juga dipengaruhi oleh kandungan selulosa dan lignin bahan yang dapat dikonversi menjadi atom karbon (Pari 2004). Kadar karbon yang cukup tinggi ini menunjukkan sedikitnya atom karbon yang bereaksi dengan uap air menghasilkan gas CO sehingga atom karbon tertata kembali membentuk struktur heksagonal yang cukup banyak. Kondisi ini mengindikasikan arang aktif kulit akasia dan arang aktif komersial mempunyai daya serap yang cukup tinggi. 4.2.5 Derajat kristalinitas arang aktif kulit akasia dan arang aktif komersial Berdasarkan hasil analisis menggunakan sinar x, derajat kristalinitas arang aktif komersial sebesar 27,79%, sedangkan arang aktif kulit akasia sebesar 66,20 % (Tabel 3). Perbedaan derajat kristalinitas ini disebabkan cara pembuatan arang aktif yang berbeda, arang aktif kulit akasia diaktivasi hanya menggunakan uap air sedangkan arang aktif komersial dengan menggunakan bahan – bahan kimia (Anonim 2008). Rendahnya derajat kristalinitas arang aktif komersial ini menunjukkan adanya celah antar kristalit yang lebih lebar dan pori yang terbentuk lebih besar (Pari 2004). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa arang aktif kulit
29
akasia mempunyai daya serap yang lebih rendah dibandingkan arang aktif komersial. 4.3 Daya Serap Arang Aktif Kulit Kayu Akasia dan Arang Aktif Komersial Kemungkinan arang aktif kulit akasia dapat dijadikan sebagai bahan penyerap, tidak cukup hanya diduga melalui hasil pengujian sifat kimia dan fisika arang aktif serta derajat kristalinitasnya saja. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian lanjutan yaitu pengujian daya serap arang aktif kulit akasia terhadap beberapa jenis senyawa yang dibandingkan dengan arang aktif komersial. Tabel 4 Daya Serap Arang Aktif Kulit Akasia dan Arang Aktif Komersial Jenis contoh uji
Arang aktif kulit akasia Arang aktif komersial
Daya serap terhadap yodium (mg/g) 177,35 225,29
Daya serap terhadap kloroform (%) 5,06 6,88
Daya serap terhadap benzena (%) 6,96 7,66
4.3.1 Daya serap terhadap yodium Penetapan daya serap arang aktif terhadap yodium merupakan persyaratan umum untuk menilai kualitas arang aktif. Besarnya daya serap yodium arang aktif kulit akasia tidak jauh berbeda dengan arang aktif komersial (Tabel 4). Baik arang aktif kulit akasia maupun arang aktif komersial, keduanya mempunyai daya serap yang belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (Anonim 1995) karena kurang dari 750 mg/g. Hasil pengujian daya serap yodium ini berbeda nyata dengan hasil penelitian Pari (2000) yang menyimpulkan daya serap terhadap yodium antara 667,16 – 866,23 mg/g. Hal ini disebabkan perbedaan cara pembuatan arang aktif dan suhu aktivasi yaitu cara kimia dengan suhu aktivasi 900°C. Menurut Pari et al. (2006), tinggi rendahnya daya serap arang aktif terhadap yodium menunjukkan banyaknya dimeter pori arang aktif yang berukuran 10 Ǻ. Rendahnya daya serap arang aktif ini dapat disebabkan oleh kerusakan atau erosi dinding pori karbon dan juga menggambarkan sedikitnya struktur mikropori yang terbentuk dan kurang dalam (Pari et al. 2000).
30
4.3.2 Daya serap terhadap benzena Daya serap arang aktif komersial terhadap benzena sedikit lebih tinggi dibandingkan arang aktif kulit akasia (Tabel 4). Nilai daya serap keduanya terhadap benzena kurang dari 25% sehingga belum memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (Anonim 1995). Rendahnya daya serap ini disebabkan karena proses karbonisasi yang tidak sempurna sehingga menghasilkan senyawa bersifat polar seperti fenol, aldehid, dan karboksilat yang menutupi permukaan arang. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Pari et al. (1996), yaitu hasil analisis gugus fungsi arang aktif menunjukkan masih adanya senyawaan fenol, karboksilat, dan hidroksida. 4.3.3 Daya serap terhadap kloroform Menurut Pari et al. (2006) dari besarnya daya serap arang aktif terhadap benzena mencerminkan permukaan arang aktif lebih bersifat non polar sehingga dapat digunakan untuk menyerap polutan yang bersifat non polar seperti kloroform. Oleh karena itu di dalam penelitian ini juga dilakukan pengujian daya serap arang aktif terhadap kloroform dan hasil pengujian menunjukkan arang aktif kulit akasia dan arang aktif komersial mampu menyerap kloroform sebesar 6,96% dan 7,66% (Tabel 4). Hal ini sangat berbeda dengan hasil pengujian yang dilakukan Pari et al. (2000) yaitu sebesar ± 30%. Perbedaan yang cukup signifikan tersebut disebabkan perbedaan cara pembuatan arang aktif dan suhu aktivasi yaitu dengan cara kimia dan suhu 900°C. Keseluruhan nilai daya serap arang aktif kulit akasia dan arang aktif komersial belum memenuhi standar yang ditetapkan. Meskipun demikian arang aktif komersial telah banyak dikonsumsi manusia dan terbukti memiliki banyak manfaat yaitu salah satunya sebagai bahan penyerap dalam industri obat – obatan, makanan, pertambangan, kimia, air minum dan sebagainya (Anonim 2008). Daya serap arang aktif kulit akasia yang tidak jauh berbeda dengan arang aktif komersial dalam penelitian ini menggambarkan bahwa arang aktif kulit akasia diduga mempunyai manfaat yang tidak jauh berbeda pula dengan arang aktif komersial yaitu sebagai penyerap bahan – bahan pencemar seperti yodium, kloroform, dan benzena walaupun dengan daya serap yang belum memenuhi persyaratan SNI.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pembuatan dan pengujian sifat fisika dan kimia arang aktif kulit akasia sebagai bahan penyerap dapat disimpulkan bahwa 1. Suhu optimum karbonisasi untuk menghasilkan arang dari kulit akasia yang memenuhi standar SNI arang aktif adalah 700 – 800 °C. 2. Sifat fisika dan kimia (kadar air, kadar zat menguap, kadar abu, kadar karbon terikat) arang aktif yang diproduksi dari kulit akasia dengan suhu aktivasi 750 °C memenuhi standar SNI, namun daya serap terhadap kloroform, benzena, dan yodium belum memenuhi standar SNI meskipun derajat kristalinitas arang aktif cukup tinggi. 3. Meskipun daya serap arang aktif kulit akasia belum memenuhi persyaratan SNI, namun memiliki daya serap yang relatif sama dengan daya serap arang aktif komersial sehingga kulit akasia memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku arang aktif. 5.2 Saran 1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang pembuatan arang kulit Acacia mangium pada tingkat variabel suhu yang lebih tinggi untuk melihat apakah dengan suhu yang semakin tinggi akan semakin meningkatkan kualitas arang tersebut. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan arang aktif kulit Acacia mangium sebagai bahan penyerap senyawa kimia lainnya selain yodium, kloroform, dan benzena.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pembuatan dan pengujian sifat fisika dan kimia arang aktif kulit akasia sebagai bahan penyerap dapat disimpulkan bahwa 1. Suhu optimum karbonisasi untuk menghasilkan arang dari kulit akasia yang memenuhi standar SNI arang aktif adalah 700 – 800 °C. 2. Sifat fisika dan kimia (kadar air, kadar zat menguap, kadar abu, kadar karbon terikat) arang aktif yang diproduksi dari kulit akasia dengan suhu aktivasi 750 °C memenuhi standar SNI, namun daya serap terhadap kloroform, benzena, dan yodium belum memenuhi standar SNI meskipun derajat kristalinitas arang aktif cukup tinggi. 3. Meskipun daya serap arang aktif kulit akasia belum memenuhi persyaratan SNI, namun memiliki daya serap yang relatif sama dengan daya serap arang aktif komersial sehingga kulit akasia memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku arang aktif. 5.2 Saran 1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang pembuatan arang kulit Acacia mangium pada tingkat variabel suhu yang lebih tinggi untuk melihat apakah dengan suhu yang semakin tinggi akan semakin meningkatkan kualitas arang tersebut. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan arang aktif kulit Acacia mangium sebagai bahan penyerap senyawa kimia lainnya selain yodium, kloroform, dan benzena.
35
1. Hasil Analisis Sidik Ragam Sifat Kimia dan Fisika Arang Kulit Akasia 1.1 Analisis Sidik Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Air Arang Kulit Akasia F Sumber Keragaman
DF
JK
KT
Suhu
7
197,662
28,237
Galat
16
0,896
0,056
Total
23
198,558
hitung 504,11
Sig 0,00
1.2 Analisis Sidik Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Zat Menguap Arang Kulit Akasia F Sumber Keragaman
DF
JK
KT
hitung
Sig 0,00
Suhu
7
0,245200 0,035029 38,44
Galat
16
0,014581 0,000911
Total
23
0,259781
1.3 Analisis Sidik Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Abu Arang Kulit Akasia F Sumber Keragaman
DF
JK
KT
hitung
Sig
22,71
0,00
Suhu
7
893,65
127,66
Galat
16
89,94
5,62
Total
23
983,59
36
1.4 Analisis Sidik Ragam Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Karbon Terikat Arang Kulit Akasia F Sumber Keragaman
DF
JK
Suhu
KT
7 15803.6
Galat
16
Total
23 15910.4
hitung
2257.7
106.8
338.22
6.7
2. Hasil Uji Lanjut Duncan 2.1 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar Air Arang Kulit Akasia KA a,b,c
Duncan
Subset Suhu S7 S6 S5 S4 S3 S2 S1 So Sig.
N 4 3 3 3 3 3 3 3
1 1.1907
2
3
4
2.0508 2.3379 2.3968 2.3998 3.4679 3.5518 1.000
.099
.655
10.8958 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .053. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.097. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. c. Alpha = .05.
Sig 0.00
37
2.2 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar Zat Menguap Arang Kulit Akasia KZT a,b
Duncan
Subset Suhu S7 S6 S5 S4 S3 S2 S1 S0 Sig.
N 3 3 3 3 3 3 3 3
1 3.7223 3.8006 4.9896
2
3
4
16.2381 27.9266 55.7766 .255
1.000
1.000
1.000
b. Alpha = .05.
2.3 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar Abu Arang Kulit Akasia K.Abu a,b
Duncan
Subset N 3 3 3 3 3 3 3 3
1 13.9001 17.9233
.054
2 17.9233 19.8380
.337
3
4
19.8380 22.4097 22.5041 23.3762
.111
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 5.621. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = .05.
6
7.7728
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.554. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Suhu S7 S3 S6 S1 S0 S2 S4 S5 Sig.
5
31.5487 33.2743 .386
1.000
75.1917 1.000
38
2.4 Hasil Uji Lanjut Duncan Kadar Karbon Terikat Arang Kulit Akasia KKT a,b
Duncan Suhu S0 S1 S2 S4 S5 S3 S6 S7 Sig.
N 3 3 3 3 3 3 3 3
1 2.3043
2
3
Subset 4
5
6
7
21.8137 48.6972 60.6784 61.7361
61.7361 65.8386 76.3614
1.000
1.000
1.000
.623
.070
1.000
82.3776 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 6.675. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b. Alpha = .05.
3. Identifikasi Pola Struktur Kristalit Arang Kulit Acacia mangium Pada Berbagai Suhu 3.1 Difraktogram Kontrol
39
3.2 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 200 ºC
40
3.3 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 300 ºC
3.4 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 400 ºC
41
3.5 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 500 ºC
3.6 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 600 ºC
42
3.7 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 700 ºC
3.8 Difraktogram Arang Kulit Akasia Pada Suhu 800 ºC
3.9 Difraktogram Arang Aktif Kulit Akasia
43
3.10 Difraktogram Arang Aktif Komersial
44