TESIS
PEMBERIAN KREDIT BANK DENGAN JAMINAN HAK GUNA BANGUNAN YANG JANGKA WAKTUNYA TELAH BERAKHIR SEDANGKAN PERJANJIAN KREDITNYA BELUM BERAKHIR
I GEDE ETHA PRIANJAYA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
PEMBERIAN KREDIT BANK DENGAN JAMINAN HAK GUNA BANGUNAN YANG JANGKA WAKTUNYA TELAH BERAKHIR SEDANGKAN PERJANJIAN KREDITNYA BELUM BERAKHIR
I GEDE ETHA PRIANJAYA NIM. 1292461001
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
PEMBERIAN KREDIT BANK DENGAN JAMINAN HAK GUNA BANGUNAN YANG JANGKA WAKTUNYA TELAH BERAKHIR SEDANGKAN PERJANJIAN KREDITNYA BELUM BERAKHIR
Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GEDE ETHA PRIANJAYA NIM. 1292461001
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal : 17 Nopember 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 3896/UN14.4/HK/2014 Tanggal 15 Oktober 2014
Ketua
: Prof. Dr. Ibrahim R., SH.,MH
Anggota
: 1. Dr. I Ketut Westra, SH.,MH 2. Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH 3. Dr. Ni Nyoman Sukeni, SH.,Msi 4. Dr. I Made Sarjana, SH.,MH
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: I Gede Etha Prianjaya
NIM
: 1292461001
Program Studi Judul Tesis
:
Magister Kenotariatan : Pemberian Kredit Bank Dengan Jaminan Hak Guna Bangunan
Yang
Jangka
Waktunya
Telah
Berakhir
Sedangkan Perjanjian Kreditnya Belum Berakhir.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 16 September 2014 Yang membuat pernyataan
( I Gede Etha Prianjaya )
v
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “PEMBERIAN KREDIT BANK DENGAN JAMINAN HAK GUNA BANGUNAN
YANG
JANGKA
WAKTUNYA
TELAH
BERAKHIR
SEDANGKAN PERJANJIAN KREDITNYA BELUM BERAKHIR.” Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing pertama saya yaitu Prof. Dr. Ibrahim. R. SH.,MH dan Bapak Dr. I Ketut Westra, SH.,MH sebagai pembimbing kedua saya yang telah dengan sabar memberikan dukungan, bimbingan dan juga saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD., KEMD. Rektor Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S.(K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, dan kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, vii vi
SH.,MH, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak/Ibu Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu kepada penulis, kepada Bapak/Ibu staff administrasi Program Studi Kenotariatan Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama perkuliahan dan penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada para penguji yaitu Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH, Ibu Dr. Ni Nyoman Sukeni, SH.,M.Si dan Bapak Dr. I Made Sarjana. SH.,MH. yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis demi penyelesaian tesis ini. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta, Bapak I Wayan Sudiana, Ibu Ni Nyoman Mariani, Istri Luh Putu Rina Laksmita Putri, SH. Bapak I Wayan Suweta. SE.,MM dan Ibu Dharma Dwi Indah Fajarwati. SH beserta Bagus Kevin dan Kiyara Pradnya untuk doa, dukungan, semangat dan nasehat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Kepada sahabat-sahabat tercinta yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu terima kasih untuk semangat dan dukungannya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Notaris/PPAT I Nyoman Mustika, SH.,M.Hum beserta staff pegawai atas ilmu dan permaklumannya selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga kepada temanteman tercinta Eka Rachmat Wahyudi.SH, I Gusti Agung Oka Diatmika.SH, vii
Andika Prayojana. SH, Gde Rahadi Wiguna, SH, Satugus Susanto, SH, Rico Puryatma, SH, Arya Yadnya, SH, Luh Wike Saptia Dewi, SH, Ida Ayu Wulan Rismaysnthi, SH, Yudhi Karisma, SH, Wayan Suyadnya.SH serta teman-teman seperjuangan Angkatan IV Mandiri Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas dukungan dan kebersamaannya selama ini. Sebagai akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan dalam bidang Kenotariatan, serta berguna bagi masyarakat.
Denpasar, 16 September 2014
Penulis
vii viii
ABSTRAK PEMBERIAN KREDIT BANK DENGAN JAMINAN HAK GUNA BANGUNAN YANG JANGKA WAKTUNYA TELAH BERAKHIR SEDANGKAN PERJANJIAN KREDITNYA BELUM BERAKHIR Penelitian yang berjudul pemberian kredit bank dengan jaminan hak guna bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian kreditnya belum berakhir di PT. Bank Rakyat Indonesia,Tbk kantor cabang Denpasar Gajah Mada dilatar belakangi oleh adanya suatu peraturan bank mengenai pemberian kredit serta jaminan berupa hak guna bangunan yang dilekatkan sebagai jaminan dari kredit tersebut yang sudah berakhir. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung suatu resiko, sehingga dalam pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk megurangi resiko tersebut jaminan kredit merupakan faktor penting yang diperhatikan oleh bank. Berakhirnya hak guna bangunan yang sedang dijadikan jaminan kredit dengan dibebani hak tanggungan tentu saja akan mempunyai akibat hukum terhadap eksistensi dari hak tanggungan itu sendiri. Dalam penelitian ini dibahas permasalahan mengenai bagaimana kedudukan jaminan hak guna bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian kreditnya belum berakhir serta upaya apakah yang dilakukan oleh pihak bank terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir sedangkan jaminan hak tanggungan sudah berakhir. Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum empiris karena terjadinya kesenjangan antara aturan yang mengatur dengan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara dan teknik studi dokumen. Teknik analisa data digunakan teknik deskriptif analitis, dikaitkan dengan teori-teori relevan kemudian disimpulkan untuk menjawab permasalahan. Hasil penelitian terhadap permasalahan bahwa kedudukan jaminan hak guna bangunan yang jangka waktunya telah berakhir dan kreditnya belum berakhir adalah terjadi hapusnya hak guna bangunan sebagai hak atas tanah yang masih dalam jaminan kredit. Upaya yang dilakukan oleh pihak bank terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir adalah upaya pelaksanaan pengikatan surat kuasa membebankan hak tanggungan selama masih proses perpanjangan jangka waktu terhadap hak guna bangunan yang dilakukan di Kantor Bandan Pertanahan Nasional. Kata Kunci : Pemberian Kredit, Jaminan, Hak Guna Bangunan.
xix
ABSTRACT BANK LENDING WITH THE GUARANTEE OF BUILDING RIGHTS OF WHICH THE TERM HAS ENDED WHILE THE AGREEMENT CREDIT HAS NOT ENDED The study, entitled lending bank to guarantee the building rights the time period has expired while the loan agreement has not ended in PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk branches Denpasar Gajah Mada background by the bank of a regulation concerning the provision of credit and collateral Rights Utilize Building attached as collateral of the loan that is over. Loans granted by banks to contain a risk, so that the implementation of banks should pay attention to the principles of healthy credit. Reduces the risk of collateral for credit is an important factor to be taken by the bank. Expiration Rights Utilize Building being used as loan collateral with encumbered encumbrance of course will have legal consequences of the existence of a security interest itself. In this study addressed the problem of how to guarantee the position of building rights on which the period expires while the credit agreement does not expire and efforts made by the bank to the credit agreement that has not ended, while the guarantee of mortgage has ended. This type of research used in this thesis is empirical legal research because there is a gap between the governing rules and the problems that occur in the community. Data collection techniques employed are interviews and document study techniques. For data analysis, descriptive analytical techniques are used, associated with the relevant theories and then summed to address the problems. The results of the study based on the problems that the position of the guarantee of building rights whose term has ended but the credit has not expired leads to the abolishment of building rights as land rights which still serve as credit guarantees. Efforts made by the bank to the credit agreement which has not ended are efforts to implement the binding power of attorney imposing liability rights during the extension process of building rights done in the office of the National Land Body. Keywords: Lending, Guarantee, Building Rights.
x
RINGKASAN Tesis ini menganalisis mengenai pemberian kredit bank dengan jaminan hak guna bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian kreditnya belum berakhir. Bab I tesis ini menguraikan latar belakang masalah mengenai pemberian kredit dengan jaminan hak guna bangunan. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung suatu resiko, sehingga dalam pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk megurangi resiko tersebut jaminan kredit merupakan faktor penting yang diperhatikan oleh bank. Hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan seperti misalnya hak guna bangunan yang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sebagai salah satu hak atas tanah yang oleh undang-undang memiliki jangka waktu penguasaan suatu saat pasti akan berakhir jangka waktunya. Berakhirnya hak guna bangunan yang sedang dijadikan jaminan kredit dengan dibebani hak tanggungan tentu saja akan mempunyai akibat hukum terhadap eksistensi dari hak tanggungan itu sendiri. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritik dan metode penelitian. Bab II, menguraikan tentang tinjauan umum. Tinjauan umum dijabarkan menjadi 6 (enam) sub bab antara lain tinjauan umum tentang bank, tinjauan umum tentang PPAT, tinjauan umum tentang perjanjian kredit, tinjauan umum tentang jaminan kredit, tinjauan umum tentang hak tanggungan dan tinjauan umum tentang surat kuasa membebankan hak tanggungan. Pertama, pada tinjauan umum tentang bank, dibahas mengenai pengertian bank, jenis-jenis bank, sumber dana bank. Kedua, pada tinjauan umum tentang PPAT dibahas mengenai Pengertian dan dasar hukum PPAT, pengangkatan dan pemberhentian PPAT, kewenangan dan larangan PPAT. Ketiga, pada tinjauan umum tentang perjanjian kredit, dibahas mengenai pengertian perjanjian kredit, dasar hukum perjanjian kredit, jenis-jenis kredit, upaya penyelesaian kredit bermasalah. Keempat, pada tinjauan umum tentang jaminan kredit, dibahas mengenai pengertian jaminan, jenis-jenis jaminan kredit, fungsi jaminan kredit, jenis-jenis pengikatan barang jaminan. Kelima, pada tinjauan umum tentang hak tanggungan, dibahas mengenai pengertian hak tanggungan, objek hak tanggungan, proses hak tanggungan, berakhirnya hak tanggugan. Keenam, pada tinjauan umum tentang SKMHT, dibahas mengenai pengertian SKMHT dan tujuan SKMHT. Bab III, merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah yang pertama, dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab yaitu pertama membahas mengenai proses terjadinya hak guna bangunan. Kedua membahas mengenai kedudukan jaminan hak guna bangunan dalam perjanjian kredit yang jangka waktunya telah berakhir. Ketiga mengenai kedudukan PPAT dalam proses hak tanggungan pada jaminan kredit. Jaminan hak guna bangunan mempunyai batas penguasaan dan harus sesuai dengan perjanjian kredit ataupun jangka waktu kredit. Hak guna bangunan yang sudah berakhir oleh karena jangka waktunya penguasaan sudah habis maka ketika hak guna bangunan yang dijadikan jaminan dan sudah dibebani hak tanggungan akan ikut berakhir ketika jangka hak guna bangunan sudah xii xi
berakhir. Oleh karena itu dengan hapusnya hak tanggungan dengan hapusnya hak guna bangunan tersebut. Bab IV, merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah kedua yang dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab yaitu pertama membahas mengenai jaminan hak atas tanah sebagai objek hak tanggungan. Kedua membahas mengenai surat kuasa membebankan hak tanggungan sebagai dasar pemberian hak tanggungan dan ketiga membahas mengenai upaya bank terhadap perjanjian kredit dengan jangka waktu jaminan yang sudah berakhir. Upaya pihak bank ketika berlangsungnya perpanjangan jangka waktu jaminan yang menjadi jaminan kredit adalah melakukan perikatan surat kuasa membebankan hak tanggungan oleh karena proses hak guna bangunan masih dalam proses perpanjangan jangka waktu yang dikenal dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tangguan (SKMHT). Setelah selesainya perpanjangan jangka waktu terhadap jaminan tersebut maka akan dilakukan suatu proses pemasangan hak tanggungan kembali oleh pihak bank yang didasari oleh Surat Kuasa Membebankan Hak Taggungan (SKMHT) tersebut. Bab V merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang simpulan dan saran dari penulis. Penulis menyimpulkan bahwa hak guna bangunan yang sudah berakhir oleh karena jangka waktunya penguasaan sudah habis maka ketika hak guna bangunan yang dijadikan jaminan dan sudah dibebani hak tanggungan akan ikut berakhir ketika jangka hak guna bangunan sudah berakhir. Sehingga dengan hapusnya hak tanggungan dengan hapusnya hak guna bangunan tersebut dan upaya pihak bank ketika berlangsungnya perpanjangan jangka waktu jaminan yang menjadi jaminan kredit adalah melakukan perikatan kuasa membebankan hak tanggungan oleh karena proses hak guna bangunan masih dalam proses perpanjangan jangka waktu yang dikenal dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tangguan (SKMHT). Saran yang dapat diberikan adalah dalam pemberi kredit agar berhati-hati dalam memberikan kredit dan menerima jaminan dengan hak guna bangunan yang jangka waktu haknya berakhir sebelum kreditnya jatuh tempo, sebab bila hak atas tanahnya hapus maka hak tanggungannya akan ikut hapus dan dalam rangka terjadinya suatu proses perpanjangan jangka waktu hak guna bangunan sebagai jaminan kredit, upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak bank terhadap jaminan hak guna bangunan tersebut agar tidak merugikan dari kepentingan dari pihak debitur.
xii
DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN SAMPUL DALAM ----------------------------------------------------------------------
i
PRASYARAT GELAR -----------------------------------------------------------------
ii
LEMBAR PENGESAHAN ------------------------------------------------------------
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI --------------------------------------------------
iv
PENYATAAN BEBAS PLAGIAT ---------------------------------------------------
v
UCAPAN TERIMAKASIH ------------------------------------------------------------
vi
ABSTRAK --------------------------------------------------------------------------------
ix
ABSTRACT --------------------------------------------------------------------------------
x
RINGKASAN ----------------------------------------------------------------------------
xi
DAFTAR ISI -----------------------------------------------------------------------------
xiii
DAFTAR LAMPIRAN -----------------------------------------------------------------
xvii
BAB I PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------
1
1.1
Latar Belakang Masalah --------------------------------------------
1
1.2
Rumusan Masalah ---------------------------------------------------
15
1.3
Tujuan Penelitian ----------------------------------------------------
15
1.3.1
Tujuan Umum -----------------------------------------------
15
1.3.2
Tujuan Khusus ----------------------------------------------
16
Manfaat Penelitian ---------------------------------------------------
16
1.4.1
Manfaat Teoritis --------------------------------------------
16
1.4.2
Manfaat Praktis ---------------------------------------------
17
Landasan Teoritik ---------------------------------------------------
17
1.4
1.5
xiii
1.6
Metode Penelitian ---------------------------------------------------
26
1.6.1
Jenis Penelitian----------------------------------------------
26
1.6.2
Sifat Penelitian ----------------------------------------------
27
1.6.3
Sumber Data-------------------------------------------------
27
1.6.4
Teknik Pengumpulan Data --------------------------------
30
1.6.5
Lokasi Penelitian -------------------------------------------
31
1.6.6
Teknik Analisa Data ---------------------------------------
31
BAB II TINJAUAN TENTANG BANK, PPAT, PERJANJIAN KREDIT DAN HAK TANGGUNGAN ---------------------------------
33
2.1
Bank -------------------------------------------------------------------
33
2.1.1
Pengertian Bank --------------------------------------------
33
2.1.2
Jenis-Jenis Bank --------------------------------------------
34
2.1.3
Sumber Dana Bank -----------------------------------------
44
2.2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ----------------------------
45
2.2.1
Pengertian PPAT dan Dasar Hukum PPAT ------------
45
2.2.2
Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT ---------------
46
2.2.3
Kewenangan, Kewajiban dan Larangan PPAT---------
48
2.3. Kredit Dan Perjanjian Kredit --------------------------------------
50
2.3.1
Pengertian Kredit -------------------------------------------
50
2.3.2
Pengertian Perjanjian Kredit ------------------------------
55
2.3.3
Dasar Hukum dan Sahnya Perjanjian Kredit -----------
56
2.3.4
Jenis-Jenis Kredit -------------------------------------------
59
2.3.5
Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah ----------------
61
xiv xiii
2.4. Jaminan Kredit -------------------------------------------------------
63
2.4.1
Pengertian Jaminan -----------------------------------------
63
2.4.2
Jenis-Jenis Jaminan Kredit --------------------------------
67
2.4.3
Fungsi Jaminan Kredit -------------------------------------
70
2.4.4
Jenis-Jenis Pengikatan Barang Jaminan Kredit --------
72
2.5. Hak Tanggungan -----------------------------------------------------
73
2.5.1
Pengertian Hak Tanggungan ------------------------------
73
2.5.2
Subjek dan Objek Hak Tanggungan ---------------------
76
2.5.3
Proses Pembebanan Hak Tanggungan -------------------
86
2.5.4
Berakhirnya Hak Tanggungan ----------------------------
89
2.6. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) -----
90
2.6.1
Pengertian SKMHT ----------------------------------------
90
2.6.2
Tujuan SKMHT---------------------------------------------
93
KEDUDUKAN JAMINAN HAK GUNA BANGUNAN DALAM PERJANJIAN KREDIT ------------------------------------
94
3.1 Proses Terjadinya Hak Guna Bangunan --------------------------
94
3.2 Kedudukan Jaminan Hak Guna Bangunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Jangka Waktunya Telah Berakhir ----
100
3.3 Kedudukan PPAT Dalam Proses Hak Tanggungan Pada Jaminan Kredit --------------------------------------------------------
105
BAB IV UPAYAHUKUM BANK TERHADAP PERJANJIAN KREDIT YANG BELUM BERAKHIR DENGAN JAMINAN KREDIT YANG SUDAH BERAKHIR --------------------------------------------
112
BAB III
4.1
Jaminan Hak Atas Tanah Sebagai Objek Hak Tanggungan --
112
4.2
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Dasar DasarPemberian Hak Tanggungan --------------------------------
119
xv xiii
4.3
Upaya Bank Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jangka Waktu Jaminan Yang Sudah Berakhir ---------------------------
130
PENUTUP ------------------------------------------------------------------
138
5.1
Simpulan --------------------------------------------------------------
138
5.2
Saran ------------------------------------------------------------------
139
DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------
140
BAB V
xiii xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
: Akta Perjanjian Kredit
Lampiran II
: Akta Perjanjian Konversidan Suplesi Kredit
Lampiran III
: Sertifikat Hak Tanggungan Peringkat I
Lampiran IV
: Sertifikat Hak Tanggungan Peringkat II
Lampiran V
: Sertifikat Tanda Bukti Hak (SHGB)
Lampiran VI
: Surat Roya
Lampiran VII
: Surat Keterangan Rekomendasi Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah Kota Denpasar.
Lampiran VIII
: Surat Keterangan Rekomendasi Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah Provinsi Bali.
xvii xiii
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pertumbuhan
ekonomi
merupakan
perkembangan
kegiatan
dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat menjadi meningkat. Pertumbuhan ekonomi dan perkembanganya tidak terlepas dari peran serta sektor perbankan. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peran penting didalam perekonomian disuatu negara. Perkembangan perbankan yang sangat pesat yang diikuti globalisasi khususnya di bidang perbankan membawa pengaruh besar terhadap industri perbankan baik di dalam jumlah-jumlah bank. Peningkatan volume seperti ini, bank yang melakukan pengelolaan terhadap dana masyarakat ataupun terhadap masyarakat yang memerlukan suatu dana, oleh karena itu sesuai fungsi dari lembaga perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat, serta jenis produk-produk yang dihasilkan dan yang diberikan oleh bank menjadi suatu kepentingan atapun suatu kenyamanan yang dinikmati masyarakat di negara tersebut. Berkembangnya produk-produk yang ditawarkan jasa perbankan yang paling banyak diasumsikan sebagai produk yang membantu suatu usaha didalam memberikan modal yaitu pemberian kredit bank, dimana hal ini merupakan salah
1
2 satu fungsi bank yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi.1 UndangUndang No. 7 Tahun 1992 dan perubahanya Undang-Undang 10 Tahun 1998 tentang Perbankan memberikan suatu pengertian mengenai kredit itu sendiri. Pasal 1 angka 11 menegaskan bahwa : Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga. Menurut O.P Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang.2 Ekonomi modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit bersifat koperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kerdit atau antara debitur dan kreditur, mereka menarik keuntungan dan saling menanggung resiko. Singkatnya kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan, resiko dan pertukaran ekonomi dimasa-masa mendatang. Pemberian kredit bank yang tercantum dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 dan perubahanya Undang-Undang 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 6 huruf b mengenai pemberian kredit oleh bank terhadap debiturnya ataupun calon peminjam dana agar suatu proses tersebut terlaksana dengan baik, maka langkahlangkah yang paling utama harus dilakukan adalah melakukan analisis terhadap permohonan yang diajukan oleh debitur. Pentingnya hal tersebut untuk melakukan 1
Suyatno Tomas, 1991, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.18. 2 O.P Simorangkir, 1988, Seluk Beluk Bank Komersial, Cetakan Kelima, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, hal.91.
3 suatu analisis terhadap resiko kemungkinan terjadinya kredit macet. Untuk itu diperlukan suatu analisis terhadap permohonan kredit dan pada umumnya digunakan kriteria 5C atau “The Five C” yaitu : a. Character ( Sifat ) Para analisis kredit pada umumnya mencoba melihat dari data pemohon kredit yang telah disediakan oleh bank, bila dirasakan perlu diadakan wawancara terhadap calon debitur. b. Capacity (Kemampuan) Bank mencoba menganalisis apakah permohonan dana yang diajukan rasional atau tidak dengan kemampuan yang ada pada debitur sendiri. Bank disini melihat sumber pendapatan dari pemohon dikaitkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. c. Capital ( Modal ) Hal ini cukup penting bagi bank, khususnya untuk kredit yang cukup besar apakah dengan modal yang ada memungkinkan pengembalian kredit yang diberikan. Untuk itu perlu dikaji ulang potensi dari modal yang ada. d. Collateral ( Jaminan ) Apakah jaminan yang diberikan oleh debitur sebanding dengan kredit yang diminta. Pentingnya hal ini agar bila debitur tidak mampu melunasi kreditnya jaminan dapat di jual sehingga dapat menutupi ataupun melunasi sisa hutang yang dimiliki oleh debitur terhadap kreditur selaku pihak bank.
4 e. Condition of economy ( Kondisi Ekonomi ) Situasi dan ekonomi apakah calon debitur memungkinkan untuk mendapat kredit dari kreditur. 3 Melihat kriteria 5C atau “The Five C” yang salah satunya adalah collateral (jaminan/agunan) yang harus selalu disediakan oleh debitur ataupun penjamin terhadap hutang yang dibuat debitur. Jaminan ataupun agunan ini dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa : Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah/debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung suatu resiko, sehingga dalam pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk megurangi resiko tersebut jaminan pemberian kredit dalam pasal tersebut di atas, keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, merupakan faktor penting yang diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur. Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit maka berdasarkan unsur-unsur tersebut agunan dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Apabila dilirik dari 3
Ni Nyoman Juwita Arsawati, 2005, Bahan Pembelajaran Hukum Perbankan, Denpasar, hal. 121.
5 ketentuan Pasal 1311 KUHPerdata yang menyatakan, ”Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”Pasal 1132 KUHPerdata menegaskan bahwa : Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kredit yang diberikan oleh bank sebagai salah suatu lembaga keuangan, sudah semestinya wajib dapat memberikan suatu perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta para pihak yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu wadah lembaga jaminan hukum bagi semua pihak yang berkepentingan dalam kaitanya dengan pemberian kredit.4 Pada dasarnya jenisjenis jaminan kredit terdiri dari jaminan perorangan (Personal Guarantee) adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan seseorang pihak ketiga guna pemenuhan kewajiban pihak debitur kepada kreditur dan jaminan kebendaan yang menurut sifatnya jaminan kebendaan ini terbagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan dengan benda berwujud (material) dan jaminan dengan benda yang tak berwujud (immaterial). Adapun jenis-jenis hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai jaminan kredit yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
4
Nindyo Pramono, 1999, Hukum Perbankan 1, LaksBang Pressindo, Jogjakarta, hal. 3.
6 Hak Pakai, Hak Sewa dan hak- hak lainya yang ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.5 Peraturan yang berlaku terhadap jaminan yang menjadi jaminan utang pada dasarnya terdiri dari jaminan perorangan yang menyatakan kesanggupan yang diberikan seseorang pihak ketiga guna menjamin terpenuhinya kewajiban debitur dan jaminan kebendaan yang terbagi menjadi 2 yaitu jaminan dengan benda berwujud (material) serta jaminan dengan benda yang tak berwujud (immaterial). Jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur dan ataupun penjamin pihak ketiga lainnya kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibanya dalam suatu perikatan. Jaminan dengan benda berwujud (material) harus mempunyai suatu aturan yang mengatur mengenai jaminan itu sendiri agar kewajiban dalam suatu perikatan jaminan mempunyai hak eksekutorial terhadap jaminan tersebut dan sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960, Hipotik dan Creditverband sebagai lembaga jaminan atas tanah dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah. Berlakunya Undang-undang hak tanggungan, maka tidak saja menuntaskan atau terciptanya unifikasi hukum tanah nasional, tetapi benar-benar makin memperkuat terwujudnya tujuan undang-undang pokok agraria yaitu memberi perlindungan hukum kepada masyarakat dan jaminan 5
Hasanuddin Rahman, 1995, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Cetakan Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 182.
7 kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah termasuk hak jaminan atas tanah yang dijadikan jaminan kredit pada bank.6 Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain. Jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulukan dari para kreditur-kreditur lainnya (Pasal 1 angka 1 UUHT).7 Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, hak-hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik menurut Pasal 20 UUPA adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dan memberi kewenangan untuk menggunakannya bagi segala macam keperluan selama waktu yang tidak terbatas, sepanjang tidak ada larangan khusus untuk itu. Hak Guna Usaha menurut Pasal 28 UUPA adalah hak untuk mengusahakan tanah negara selama jangka waktu terbatas, guna perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan. Hak Guna Bangunan menurut Pasal 35 UUPA adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah negara atau milik orang lain, selama jangka waktu yang terbatas. Hak Pakai menurut Pasal 41 UUPA adalah “nama kumpulan“ dari hakhak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah negara atau tanah
6
Kancil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, 1997, Pokok-Pokok Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 45. 7 Ibid, hal. 51.
8 milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam surat keputusan pemberian haknya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah, yang bukan gadai tanah, perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan ataupun penggunaan tanah yang lain, hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan yang tercantum dalam Pasal 4 UUPA dan Bangunan Rumah Susun menurut Pasal 27 UUPA yang berdiri diatas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara. Hak atas tanah yang diberikan untuk waktu yang terbatas seperti misalnya hak guna bangunan yang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sebagai salah satu hak atas tanah yang oleh undang-undang ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan, suatu saat pasti akan berakhir jangka waktunya. Waktu hak guna bangunan paling lama 30 tahun, atas permintaan pemegang hak dan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun dan apabila jangka waktu hak tersebut dan perpanjangannya berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan hak guna bangunan di atas tanah yang sama dan dicatat pada buku tanah di Kantor Pertanahan. Berakhirnya hak guna bangunan tersebut, apalagi sedang dijadikan jaminan kredit dengan dibebani hak tanggungan tentu saja akan mempunyai akibat hukum terhadap
eksistensi
dari
hak
tanggungan
itu
sendiri,
oleh
karena
9 bersadarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 27 Oktober 1970 nomor 10/241/10 hapusnya hipotik (Hak Tanggungan) hapusnya hak atas tanah yang dibebani itu dan tanahnya kembali kekuasaan negara. Ketentuan hapusnya hak tanggungan juga diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d tentang Undang-Undang Hak Tanggungan dimana penyebab dari hapusnya hak tanggungan disebabkan hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Selain itu dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Guna Bangunan disebutkan bahwa hak guna bangunan dapat hapus karena berakhirnya jangka waktunya. Dengan hapusnya hak atas tanah itu, maka demi hukum hak tanggungan yang membebaninya juga ikut hapus. Prakteknya pada lembaga perbankan di dalam pemberian kredit yang jaminannya dengan hak guna bangunan akan menimbulkan persoalan mengingat hak guna bangunan mempunyai jangka waktu berakhir, apabila hak guna bangunan yang dijadikan jaminan atas pemberian kredit sudah berakhir sedangkan jangka waktu perjanjian kredit belum berakhir. Hal ini akan berdampak terhadap kedudukan hak guna bangunan sebagai jaminan kredit yang sudah berakhir jangka waktunya dan juga terhadap upaya-upaya yang dilakukan pihak bank (kreditur) terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir. Terdapat suatu kasus pada PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk., kantor cabang Denpasar Gajah Mada yang terjadi adalah jaminan yang berupa hak guna bangunan berakhir jangka waktunya namun hutangnya belum lunas. Selain itu dalam praktek timbul suatu persoalan mengenai kedudukan jaminan
10 yang jangka waktunya sudah berakhir sedangkan kreditnya belum lunas, yang menyebabkan kredit tersebut tidak mempunyai jaminan untuk fasilitas kredit yang telah diberikan oleh kreditur. Berdasarkan latar belakang di atas menarik untuk diteliti dan diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “PEMBERIAN BANGUNAN
KREDIT YANG
BANK JANGKA
DENGAN
JAMINAN
WAKTUNYA
TELAH
HAK
GUNA
BERAKHIR
SEDANGKAN PERJANJIAN KREDITNYA BELUM BERAKHIR”. Pemberian Hak Tanggungan pada jaminan kredit merupakan hal yang menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, dimana debitur selaku peminjam memberikan suatu kepastian hukum berupa jaminan atas kredit yang diterimanya dari kreditur selaku pemberi pinjaman. Banyak jaminan yang bisa dijadikan jaminan kredit begitu pula banyak masalah juga yang timbul terhadap jaminan tersebut, seperti suatu malasah yang uraikan di atas dimana jaminan yang berupa hak guna bangunan yang telah berakhir sedangkan jangka waktu kredit yang belum jatuh tempo merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji dan dijadikan obyek penelitian. Untuk membuktikan bahwa tulisan ini original atau asli maka dibawah ini disajikan maupun dipaparkan beberapa karya tulis yang ada kaitanya dengan penggunaan hak guna bangunan sebagai jaminan kredit pada bank. 1. Tesis dengan judul : “Peran Notaris PPAT Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan di BPR BKK TIRTOMOYO, Kabupaten Wonogiri” oleh Wisnu Seno Kartiko, Sarjana Hukum, Universitas Sebelas Maret, Tahun 2010, dengan metode penelitian yang
11 digunakan adalah metode yuridis empiris, dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimana mekanisme perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang menggunakan Notaris PPAT di BPR BKK Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri ? 2) Bagaimana peran Notaris PPAT dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di BPR BKK Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri ? Kesimpulan dari tesis tersebut adalah : a. Mekanisme pemberian kredit di Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Kredit Kecamatan Tirtomoyo dilakukan melalui 5 tahap yaitu: Tahap Permohonan kredit, analisis kredit, keputusan kredit, tahap pembuatan perjanjian kredit dan Tahap Pengikatan Kredit dengan jaminan Kredit, Proses perjanjian kredit dimulai sejak diterimanya permohonan nasabah kepada pihak bank sampai dengan pencairan kredit kepada nasabah. b. Peran notaris dalam sistem pemberian kredit yang dilakukan pihak perbankan adalah untuk memberi kepastian hukum bagi para pihak yang mengadakan perjanjian kredit, Selain itu peran Notaris PPAT juga sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan pengecekan terhadap barang jaminan yang berupa Hak Tanggungan untuk memastikan apakah barang jaminan tersebut sah di mata hukum atau tidak atau untuk menghindari jika ada kemungkinan dalam barang
12 jaminan Hak Tanggungan yang di jadikan jaminan tersebut masih ada sengketa hukum atau kasus hukum. 2. Tesis dengan judul : “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Obyeknya Terkena Luapan Lumpur Lapindo” oleh Nur Amaliah Anie, Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan Universitas Diponogoro, Tahun 2008, dengan metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis empiris dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimanakah perlindungan kreditur terhadap debitur yang tanah dan bangunannya dijadikan sebagai jaminan kredit yang diikat dengan hak tanggungan yang terkena lumpur lapindo? 2) Apakah kendala-kendala yang dihadapi kreditur dalam penyelesaian kredit terhadap utang debitur yang obyek jaminannya musnah terkena lumpur lapindo? Kesimpulan dari tesis tersebut adalah : a. Perlindungan kreditur sebagaimana yang dilakukan oleh bank-bank terhadap debitur yang tanah dan bangunannya dijadikan sebagai jaminan kredit yang diikat dengan hak tanggungan yang terkena lumpur lapindo yaitu dengan tindakan berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 yaitu dengan melakukan Penjadwalan Kembali (rescheduling) terhadap Perjanjian Kredit (PK)nya.
13 b. Kendala-kendala yang dihadapi bank-bank sebagai kreditur dalam penyelesaian kredit terhadap utang debitur yang obyek jaminannya musnah terkena lumpur lapindo diantaranya yaitu: a) Pengurusan proses penyelesaian misalnya antara bank sebagai pihak kreditur dengan pihak PT. Lapindo Brantas Inc mengenai penunjukan notaris yang menangani penyelesaian kasus tersebut mengalami perbedaan. b) Adanya akibat tidak langsung yaitu dampak yang timbul dari area diluar 5 kecamatan yang disebutkan sebagai yang terkena dampak, meminta agar bisa pembayaran angsuran disamakan dengan debitor yang menjadi korban luapan lapindo secara langsung yang telah mendapat perlakukan khusus berdasarkan pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006. 3. Tesis dengan judul : “Kekuatan Mengikat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Utang Piutang” oleh Swastiastu Lestari, Sarjana Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, tahun 2011, dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Normatif, dengan rumusan masalah adalah sebagai berikut : 1) Bagaimanakah kekuatan mengikat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan?
14 2) Bagaimana tanggung jawab Notaris/PPAT terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang merugikan kreditur dalam Perjanjian Kredit? Kesimpulan dari tesis tersebut adalah a. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan merupakan surat kuasa khusus dimana surat kuasa termasuk dalam perjanjian atau perikatan. Suatu perjanjian yang dibuat dengan memperhatikan mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dapat dikatakan telah sah. Demikian juga halnya dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibuat oleh para pihak dengan memenuhi syarat-syarat yang tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah sah menurut hukum. b. Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik. Mengenai kewenangan disini berdasarkan bentuk akta yang diatur dalam undang-undang, yang berarti bentuk akta secara formil. Oleh karena itu tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibuatnya hanya sebatas tanggung jawab formil saja, sedangkan mengenai isi akta yang dibuatnya merupakan kemauan dan kehendak para penghadap dan notaris tidak bertanggung jawab apapun terhadap isi akta yang dibuatnya. Tesis-tesis yang dipaparkan diatas tersebut sudah tentu berbeda penulisannya dengan tesis ini dimana dalam penelitian ini menekankan pada jaminan berupa hak guna bangunan yang dimana jangka waktu dari hak guna
15 bangunan tersebut yang dijadikan jaminan sudah berakhir sedangkan kreditnya belum lunas, sehingga tesis ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a.
Bagaimana kedudukan jaminan hak guna bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian kreditnya belum berakhir?
b.
Upaya apakah yang dilakukan oleh pihak bank terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir sedangkan jaminan hak tanggungan sudah berakhir?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini agar memiliki suatu maksud yang jelas, dan mencapai target yang diinginkan maka tujuannya dapat digolongkan menjadi dua yaitu : 1.3.1 Tujuan Umum Secara gambaran umum penelitian atas suatu permasalahan di atas dalam kerangka pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai suatu proses). Dengan paradigma ini, ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing. Oleh karena itu secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan aspek ilmu hukum umunya dan khususnya tentang hukum jaminan beserta hukum perbankan.
16 1.3.2 Tujuan Khusus Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum seperti yang diuraikan tersebut di atas juga terdapat tujuan khusus. Adapun tujuan khusus tersebut yang ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu : a. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisa kedudukan jaminan hak guna bangunan yang jangka waktunya telah berakhir kreditnya belum berakhir; b. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisa upaya yang dilakukan pihak bank terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir dengan jaminan hak tanggungan yang sudah berakhir. 1.4 Manfaat Penelitian Suatu penelitian yang dilakukan diharapkan mendapatkan suatu manfaat dari penelitian tersebut baik manfaat teoritis maupun secara praktis bagi pengembangan suatu ilmu pengetahuan. 1.4.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain yakni : a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran-pemikiran khususnya dalam penemuan asas-asas, konsep-konsep, dan teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan ini. b. Untuk menambah kazanah ilmu pengetahuan hukum umumnya, khususnya hukum jaminan mengenai jaminan berupa hak guna bangunan yang keberadaanya sangat dibutuhkan dalam lembaga perbankan.
17 1.4.2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : a. Memberikan informasi bagi lembaga perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 beserta perubahanya UndangUndang 10 Tahun 1998 tentang Perbankan terutama mengenai jaminanjaminan berupa hak guna bangunan yang dijadikan jaminan kredit serta suatu perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit di bidang perbankan. b. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi terhadap perbankan dan masyarakat
yang
memerlukan
sehingga
diharapkan
berguna
sebagai
sumbangan pemikiran dan pemecahan suatu masalah hukum bagi masyarakat khususnya mengenai hak guna bangunan yang dijadikan jaminan kredit. 1.5. Landasan Teoritik Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.8 Teori menurut Maria S.W. Sumardjono adalah Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang
8
hal. 19.
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,
18 digambarkan oleh suatu variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variable tersebut.9 Menurut Snellbecker teori adalah sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.10 Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butirbutir pendapat, teori tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui. Oleh karena itu dalam suatu penelitian semakin banyak teori-teori, konsep dan asas yang berhasil di identifikasi dan dikemukakan untuk mendukung penelitian yang sedang dikerjakan maka semakin tinggi derajat kebenaran yang bisa dicapai. Setiap penelitian selalu harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang sangat erat antara teori dengan kegiatan pengolahan data, analisa serta konstruksi data. Dalam menganalisa data penulisan ini akan digunakan teori perjanjian, teori kepastian hukum dan teori tanggung jawab hukum.
9
Feedjit, 2011, “ Tugasku : Pengertian Teori Dalam Ilmu Hukum ”, http://kandanghukum.blogspot.com. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2014. 10 Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 140.
19 a.
Teori Perjanjian Perjanjian umumnya dibuat dengan tujuan yang beraneka ragam, salah satu
tujuannya adalah didalam melaksanakan suatu kegiatan perbankan mengenai perjanjian kredit. Pemberian kredit di bank antara debitur dan kreditur merupakan dasar kepercayaan dari kreditur sehingga tertuang pada suatu perjanjian. Perjanjian memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum.11 Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum tentang harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana salah satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut dari pelaksanaan janji tersebut.12 Menurut O.W Holmes bahwa “The duty on keep contract in common law means a production that you must pay damages if you do not keep it, if you commit a tort, you are liable to pay compensatory”13 (kewajiban untuk menjaga suatu perjanjian dalam hukum masyarakat diartikan sebagai prediksi bahwa kamu harus membayar kerusakan-kerusakan akan tetapi kalau kamu tidak menjaganya, apabila kamu komit dengan gugatan tersebut maka kamu bertanggung jawab untuk membayar kompensasi tersebut).
11
I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal. 28. 12 Wirjono Prodjodikoro, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Cetakan VIII, Sumur, Bandung, hal. 11 13 M.P Golding, 1966, The Nature Of Law Readings In Legal Philosophy, Colombia University, Random Huose, New York, hal. 180.
20 Mengenai kapan suatu perjanjian terjadi antara para pihak dalam hukum kontrak mengenal beberapa teori antara lain : a) Teori Penawaran dan Penerimaan Pada prinsipnya suatu kesepakatan baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penawaran tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut. b) Teori Kehendak (Wilstheorie) Menurut teori kehendak perjanjian itu terjadi apabila ada penyesuaian kehendak
antara
kehendak
dan
pertanyaan.
Apabila
terjadi
ketidakwajaran, hendaklah yang menyebabkan terjadinya perjanjian. c) Teori Pernyataan Menurut teori ini kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui oleh pihak lain dan kehendak merupakan yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah penyataan, jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan, perjanjian tetap terjadi. d) Teori Kepercayaan Menurut teori ini hanya pernyataan yang menyebabkan kepercayaan yang dapat menimbulkan kepercayaan. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki. e) Teori Pengiriman Menurut teori pengiriman kesepakatan penawaran terjadi jika pihak yang mendapatkan penawaran menerima atau mengirimkan telegram.
21 f)
Teori Pengetahuan Teori ini berpendapat bahwa perjanjian ada jika salah bahwa perjanjian ada jika salah satu pihak menawarkan itu dan mengetahui adanya penerimaan akan tetapi penerimaan itu belum tidak diketahui secara langsung.14 Teori ini dikemukakan dengan suatu tujuan untuk membahas dan
menganalisa masalah terhadap perjanjian kredit yang mempunyai kekuatan mengikat
dari
suatu
perjanjian.
Membahas
perjanjian
kredit
didalam
permasalahan ini teori yang digunakan adalah teori kehendak (Wilstheorie) dimana perjanjian itu terjadi apabila ada penyesuaian kehendak antara pihak yang membuat suatu perjanjian kredit yang dikehendaki oleh para pihak sudah terpenuhi didalamnya. Perjanjian ini akan bersifat sebagai alat pembuktian yang kuat jika terjadinya suatu masalah terhadap para pihak yang membuat suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat, jika debitur menerimanya maka ia setuju dengan isi dari perjanjian tersebut. Seperti dinyatakan oleh R. Subekti dalam bukunya Law in Indonesia bahwa “The debtor has done something what is in contravention of the contract, it is obvious that he is in default. Also when in the contract is fixed a time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed this time limit, it is clear that the debtor is in default”15 (debitur yang telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kontrak itu dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila didalam kontrak ditentukan batas waktu pemenuhan 14
Salim, H.S 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 166-168. 15 .R. Subekti, 1982, Law In Indonesia, Center For Strategic And International, And Studies, third edition, Jakarta, hal. 55.
22 kewajiban, akan tetapi debitur tidak mengindahkan limit waktu itu, itu jelas debitur dinyatakan bersalah). Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian pengikatan jaminan untuk memberikan jaminan terhadap kreditur yang memberikan pinjaman kepada debitur. Jaminan yang diberikan berupa hak guna bangunan yang mempunyai jangka waktu yang sudah berakhir maka perjanjian kredit akan menjadi perjanjian pokok yang akan berakhir ketika hutangnya telah lunas. b.
Teori Tanggung Jawab Hukum Tanggung jawab menurut pengertian hukum adalah kewajiban memikul
pertanggungan jawab dan kerugian yang diderita bila dituntut baik dalam hukum maupun dalam administrasi. Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa ”Seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”. Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa ”Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan (Negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan (Culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan".16
16
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Tentang Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal. 61.
23 Menurut kamus hukum ada 2 (dua) istilah pertanggungjawaban yaitu liability (the state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggungjawab yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkannya. Titik sentral setiap pembahasan mengenai tanggung jawab pada umunya adalah tentang prinsip tanggung jawab (liability principle) yang diterapkan, penggunaan suatu prinsip tanggung jawab tertentu bergantung kepada suatu keadaan tertentu setidaknya ada 3 (tiga) prinsip atau teori mengenai tanggung jawab ialah : 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault principle) bahwa perbuatan apapun yang dilakukan seseorang, bila merugikan orang lain, akan menyebabkan dia dipersalahkan telah melanggar hukum. 2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of liability principle) bahwa tanggung jawab berdasarkan pada presumption (praduga) berarti tanggung jawab tersebut dapat dihindari bila dapat membuktikan bahwa pihaknya tidak bersalah (absence of fault).
24 3. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, absolute atau strict liability principle) bahwa tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan atau tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan.17 Tujuan dari teori tanggung jawab hukum ini digunakan untuk menganalisa tanggung jawab debitur sebagai pihak peminjam bertanggung jawab terhadap suatu perjanjian kredit yang dibuat. Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, tidak dipenuhinya suatu perikatan oleh salah satu pihak yang dapat menyebabkan wanprestasi dan penyelesaianya didasarkan pada hukum perjanjian (the law of contract). Penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat, terdapat perbedaan yang essensial antara tuntutan ganti rugi yang didasarkan pada pelanggaran melanggar hukum. Apabila tuntutan ganti rugi didasarkan pada wanprestasi maka terlebih dahulu antara para penggugat dan tergugat telah terikat dalam suatu kontrak (perjanjian) dengan demikian pihak ketiga yang berada diluar perjanjian yang bukan sebagai para pihak dalam perjanjian, tidak dapat menuntut berdasarkan alasan wanprestasi. c.
Teori Kepastian Hukum Menjawab rumusan permasalahan yang ada, kerangka teori yang digunakan
sebagai pisau alat analisis dalam penulisan ini adalah salah satunya teori kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
17
E. Saefullah Wiradipradja, 1989, Tanggung Jawab Pengengkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, hal. 19.
25 yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.18 Sistem hukum di Indonesia dalam suatu bentuk berupa aturan perundangundangan terikat pada suatu hirarki perundang-undangan yang lebih tinggi. Terdapat hubunganya dangan hubungan-hubungan hukum menurut Achmad Ali ada 3 jenis sudut pandang yaitu : 1. Suatu pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis empiris yaitu dimana hukum bertitik beratkan pada segi kepastian hukumnya. 2. Sudut pandang filsafat hukum yaitu tujuan hukum dititik beratkan pada segi keadilan. 3. Sudut pandang sosiologi hukum yaitu tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya. 19 Teori kepastian hukum ini
digunakan untuk membahas permasalahan
mengenai upaya yang dilakukan oleh bank, terhadap kepastian hukum yang di dapat oleh pihak bank dari upaya yang dilakukan. Menurut teori kepastian hukum ini dikemukakan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap 18
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal. 158. 19 Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hal..72.
26 bank selaku pemberi kredit ketika terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh debitur, maka dari itu diperlukan suatu kepastian hukum berupa peraturanperaturan yang melindungi terhadap kinerja bank dalam menyalurkan dananya. Membahas masalah tersebut perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak dimana dalam perjanjian para pihak selain memenuhi kewajibanya masing-masing juga harus mendapatkan kepastian hukum. Fungsi dari teori dalam penulisan tesis ini adalah memberikan arah/petunjuk serta menjelaskan gejala-gejala yang diamati. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan kepada ilmu hukum positif yang berlaku, yaitu tentang hukum perjanjian dan lahirnya perjanjian yang ditetapkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, dengan asas hukum kebebasan berkontrak yang menjadi dasar bagi lahirnya perjanjian antara penerjemah dan penerbit, yang dengan perjanjian penerbitan tersebut telah timbul hubungan hukum yaitu adanya hak dan kewajiban yang melahirkan aturan hukum untuk membuktikan tanggung jawab hukum bagi para pihak. 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris karena mendekati masalah dari peraturan yang berlaku dan kenyataan yang terjadi pada PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk., kantor cabang Denpasar Gajah Mada, ditemukan suatu masalah-masalah yang terjadi di masyarakat (das sein) dengan aturan yang mengaturnya (das solen) yang dikaji untuk kepuasan didalam akademik. Peraturan yang mengatur tentang jaminan kredit berupa
27 sertifikat hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan dan dibebani hak tanggungan demikian yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dan apabila jangka waktu hak guna bangunan sudah berakhir begitu juga hapusnya hak tanggungan yang melekat pada hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut. Prakteknya dilapangan terdapat suatu kasus di PT. Bank Rakyat Indonesia (PERSERO) Tbk., kantor cabang Denpasar Gajah Mada, yang memberikan fasilitas kredit kepada debitur selaku peminjam dan lembaga pembiayaan tersebut menerima hak guna bangunan yang menjadi jaminan atas kredit yang diberikanya. Akan tetapi, jangka waktu dari obyek jaminan tersebut sudah berakhir setelah proses dibebani hak tanggungan. Dilihat dari aturanya apabila obyek jaminan sudah berakhir apa yang melekat pada hak atas tanah tersebut akan musnah. Kedudukan bank di sini selaku lembaga pembiayaan tidak mempunyai kekuatan hukum atas jaminan dari kredit yang disalurkanya tersebut. 1.6.2. Sifat Penelitian Penelitian tesis ini bersifat deskriptif karena ingin menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, gejala, keadaan, atau kelompok tertentu, tentang kenyataan yang terjadi pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., kantor cabang Gajah Mada Denpasar. Kenyataan tersebut mengenai pemberian kredit bank dengan jaminan hak guna bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian kreditnya belum berakhir.
28 1.6.3. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian hukum ini bersumber dari 2 (dua) sumber yaitu : a. Data lapangan/primer (field research) merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau sumber asal dari lapangan dalam hal ini adalah pada bank data tersebut diperoleh dilokasi penelitian dari para responden yaitu orang atau kelompok masyarakat maupun lembaga perbankan yang terkait terhadap kasus yang diteliti. Responden merupakan orang atau masyarakat yang terkait secara langsung dengan masalah yang diteliti dan informan yang diperoleh dengan melalui wawancara langsung. b. Data kepustakaan (library research) yang diperoleh dari buku-buku, dokumendokumen resmi hasil-hasil penelitian yang berwujud sebagai laporan merupakan data yang tingkatanya kedua bukan yang utama.20 Pengumpulan data sekunder ini terdiri dari bahan-bahan hukum yaitu : a) Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan, maupun peraturan-peraturan lainya yang ada kaitanya dengan permasalahan tersebut, antara lain : - Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 nomor 104, Tambahan Lembar Negara Nomor 2043).
20
H.Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 25.
29 - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 beserta perubahanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan peraturan pelaksanaannya (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3473). - Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632). - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52). - Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan Dan Sertifikat Hak Tanggungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996). b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan suatu penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku teks hukum (legal text book), Jurnal hukum, karya tulis hukum yang memuat pandangan ahli hukum baik dalam bentuk buku maupun yang termuat dalam media masa, yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
30 c) Bahan hukum tertier adalah data yang memberikan petunjuk serta penjelasan yang menunjang data primer dan data sekunder. seperti kamus hukum, ensiklopedia hukum. Dalam penelitian ini dibahas juga bahan-bahan hukum yang diperoleh dari media internet yang berkembang dengan pesat dewasa ini seperti definisidefinisi hukum. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah suatu kegiatan merapikan data dari hasil pengumpulan data dilapangan sehingga siap dipakai untuk dianalisa.21 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Teknik Wawancara Untuk mengumpulkan data lapangan yaitu data primer dengan cara mengadakan wawancara langsung kepada informan dan pihak-pihak terkait dengan penulisan tesis ini misalnya Notaris/PPAT yang mengetahui dalam kasus ini dan Pejabat Bank yang terkait kasus dalam penelitian ini yang berada di Kota Denpasar. 2. Teknik Studi Dokumen Untuk mengumpulkan data kepustakaan digunakan teknik membaca, mencatat dari buku literatur yang ada kaitanya dengan masalah. Teknik pengumpulan data sekunder dengan teknik studi dokumen adalah dari bahan hukum primer yaitu dari peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum sekunder kepustakaan yang berkaitan dengan hak guna bangunan yang menjadi 21
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 72.
31 jaminan kredit pada bank serta bahan hukum tersier yaitu dari semua buku dan bahan dari internet. Semua bahan yang relevan digunakan untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengenai pemberian kredit bank dengan jaminan hak guna bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian kreditnya belum berakhir. 1.6.5. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk,. kantor cabang Gajah Mada Denpasar. Adapun yang menjadi pertimbangan adalah terdapat bank yang memberikan fasilitas kredit dengan jaminan hak guna bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian kreditnya belum berakhir. 1.6.7 Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini dengan melakukan kegiatan merapikan data dari hasil pengumpulan data lapangan sehingga siap dipakai untuk dianalisa. Setelah semua data terkumpul baik data lapangan maupun kepustakaan kemudian di klasifikasikan secara kualitatif sesuai dengan masalah data tersebut dianalisa dengan teori-teori relevan kemudian di simpulkan untuk menjawab permasalahan, akhirnya data tersebut disajikan secara deskriftif analitis. Teknik analisa data yang dilakukan dengan cara merapikan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara terhadap Notaris dan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) beserta Bank yang terkait dalam kasus penelitian ini. Setelah semua data yang berkaitan dengan penelitian ini dikumpulkan, kemudian dilakukan abstraksi dan rekonstruksi terhadap data tersebut, selanjutnya disusun
32 secara sistematis,22 sehingga akan diperoleh gambaran yang komprehensif mengenai cara penyelesaian permasalahan yang dibahas. Dalam menganalisis data penelitian ini, dipergunakan metode analisis kualitatif, yang artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan pemahaman dan interpretasi data. Data dianalisis menggunakan teori yang sangat berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan disajikan dalam bentuk kalimat yang rapi dan teratur beserta logis dalam pembahasannya.
22
hal. 13.
Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, Rajagrafindo, Jakarta,
33 BAB II TINJAUAN TENTANG BANK, PPAT, PERJANJIAN KREDIT DAN HAK TANGGUNGAN 2.1. Bank 2.1.1. Pengertian Bank Kata bank berasal dari bahasa Italia banca berarti tempat penukaran uang. Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote. Ketentuan yang memberikan pengertian dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, menyatakan bahwa : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank bukanlah suatu hal yang asing bagi masyarakat di negara maju. Masyarakat di negara maju sangat membutuhkan keberadaan bank. Bank dianggap sebagai suatu lembaga keuangan yang aman dalam melakukan berbagai macam aktivitas keuangan. Aktivitas keuangan yang sering dilakukan masyarakat adalah antara lain aktivitas penyimpanan dana, investasi, pengiriman uang dari suatu tempat ketempat lain atau dari suatu daerah ke daerah lain dengan cepat dan aman, serta aktifitas keuangan lainnya. Bank juga merupakan salah satu lembaga yang
mempunyai
peran
penting
33
dalam
mendorong
pertumbuhan
34 perekonomian suatu negara, bahkan pertumbuhan bank di suatu negara dipakai sebagai ukuran pertumbuhan perekonomian negara tersebut.23 Bank lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Oleh karena itu, dalam melakukan kegiatan usahanya sehari-hari bank harus mempunyai dana agar dapat memberikan kredit kepada masyarakat. Dana tersebut dapat diperoleh dari pemilik bank (pemegang saham), pemerintah, bank Indonesia, pihak-pihak di luar negeri, maupun masyarakat dalam negeri. Dana dari pemilik bank berupa setoran modal yang dilakukan pada saat pendirian bank. Pengertian bank menurut G.M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Poitic, bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit, baik dengan alat pembayaran sendiri, dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, dengan jalan mengedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral.24 2.1.2. Jenis-Jenis Bank Melihat pertumbuhan bank yang semakin berkembang, terdapatlah berbagai jenis-jenis bank yang ada untuk melakanakan suatu kegiatan perbankan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jenis-jenis bank tersebut dapat dibedakan sesuai dengan fungsi, kepemilikan, status, penetapan harga, dan tingkatanya sendiri. 23
Ismail, 2010, Menejemen Perbankan: Dari Teori Menuju Aplikasi, Kencana, Jakarta, hal. 01. 24 Kuncoro, 2002, “Pengertian Bank dan jenis-jenis bank”, http://pandusamamaya.wordpress.com. Diakses pada tanggal 30 Juni 2014.
35 2.1.2.1. Bank yang ditinjau dari segi fungsinya. Bank dibedakan dari segi fungsinya dapat dibagi atas bank sentral, bank umum dan bank perkreditan rakyat, yang akan diuraikan sebagai berikut : a) Bank Sentral Bank sentral adalah sebagai bank yang berfungsi pengatur dari bank-bank yang ada dalam suatu negara. Bank sentral hanya terdapat hanya satu di setiap negara dan hanya mempunyai kantor di setiap suatu propinsi. Dimana bank sentral yang ada di Indonesia adalah bank Indonesia. Terdapat suatu pengertian dan dasar hukum mengenai bank sentral yaitu dalam Undang-Undang nomor 23 Tahun 1999 beserta perubahanya Undang-Undang nomor 3 tahun 2004 tentang bank sentral adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai-nilai rupiah. Bank Indonesia merupakan suatu lembaga negara yang independen di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, dan bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undangundang ini. Menjaga stabilitas nilai rupiah ini sangat penting untuk mendukung perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat, maka tugas bank Indonesia sangat penting didalam menjaga nilai rupiah dan menjaga kegiatan suatu bank yang ada dalam naungan bank Indonesia. Berdasarkan kententuan UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 beserta perubahanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, terdapat tugas bank Indonesia sebagai bank sentral adalah sebagai berikut yaitu :
36 1) Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter Dalam rangka menetapkan beserta melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia sebagai bank sentral ini berwenang : a) Menetapkan sasaran moneter dengan memerhatikan sasaran laju inflasi; b) Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing b. Penetapan tingkat diskonto c. Penetapan cadangan wajib minimun d. Pengaturan kredit atau pembiayaan Mengenai dalam pengendalian moneter dapat dilaksanakan
juga
berdasarkan prinsip syariah. Pelaksanaan ketentuan tersebut ditetapkan peraturan bank Indonesia sebagai dasar hukum mengenai pengendalian moneter tersebut. 2) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran Dalam rangka menjaga kegiatan bank dalam sistem mengatur dan menjaga kelancaran pembayaran, bank Indonesia sebagai bank sentral berwenang : a) Melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, b) Mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya.
37 Pelaksanaan dalam
kewenangan tersebut di atas ditetapkan dengan
peraturan bank Indonesia sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan kewenangan tersebut oleh bank. 3) Mengatur dan mengawasi bank Dalam rangka melaksanakan suatu tugas mengatur dan mengawasi bank, bank Indonesia selaku bank sentral menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan bank Indonesia. Bank yang tidak melaksanakan kegiatan yang tidak sesuai dengan aturan-aturan bank Indonesia maka disini bank Indonesia wajib memberikan suatu peringatan dan memberi sanksi terhadap lembaga tersebut.25 b) Bank Umum Peraturan bank Indonesia nomor 8/3/PBI/2006 beserta perubahanya Nomor 9/7/PBI/2007 tentang perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan pembukaan kantor bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum konvensional memberikan suatu pengertian mengenai bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Jasa yang diberikan oleh bank
umum 25
bersifat
umum,
artinya
dapat
memberikan
seluruh
jasa
Santosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, hal. 77-78.
38 perbankan yang ada. Bank umum sering disebut bank komersial (commercial bank). Dinyatakan juga dalam membantu kelancaran operasional bank umum dapat membuka kantor cabang, baik di dalam negeri maupun diluar negeri setelah mendapatkan ijin dari Direksi Bank Indonesia.26 Fungsi maupun tugas dari bank umum dalam perekonomian sangat penting dan strategis untuk meningkatkan lembaga perbankan di suatu negara. Bank umum sangat penting dalam hal menopang kekuatan dan kelancaran sistem pembayaran dan efektivitas kebijakan moneter. Umumnya fungsi bank umum adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam berbagai bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Penerapan serta fungsi bank umum menunjukkan pentingnya keberadaan bank umum dalam perekonomian modern, adapun suatu fungsi dari bank umum adalah : a. Meyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien dalam kegiatan ekonomi; b. Menciptakan uang; c. Menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat; d. Menawarkan jasa-jasa keuangan lainnya; e. Menyalurkan kredit; f. Bank umum harus mampu menarik dana masyarakat sebanyak mungkin. Kemampuan menarik dana masyarakat ini merupakan persoalan tersendiri
26
H. Malayu S.P Hasibuan, 2001, Dasar-Dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 38.
39 karena selalu berhadapan dengan biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka penarikan dana tersebut. Bank umum di dalam melaksanakan suatu kegiatannya tersebut mempunyai suatu tugas yaitu : a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan; b. Memberikan kredit; c. Menerbitkan surat pengakuan utang; d. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan nasabah maupun untuk kepentingan bank itu sendiri; e. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan atau dengan pihak ketiga; f. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga; dan g. Melakukan penempatan dana dari nasabah ke nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek. c) Bank Perkreditan Rakyat Bank Perkreditan Rakyat adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha bank perkreditan rakyat. Bank perkreditan rakyat dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 10 tahun 1998 mengenai fungsinya bank perkreditan rakyat menyatakan bahwa :
40 1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 2. Memberikan kredit. 3. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. 4. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. SBI adalah sertifikat yang ditawarkan Bank Indonesia kepada BPR apabila BPR mengalami over likuiditas. Status bank perkreditan rakyat dapat diberikan kepada Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), serta lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 serta perubahanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai dasar hukumnya dengan memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana halnya pendirian Bank Umum, maka dalam pendirian Bank Perkreditan Rakyat diperlukan adanya izin prinsip dan izin usaha dari Pemimpin Bank Indonesia.27 Ketentuan tersebut diberlakukan oleh karena mengingat bahwa lembagalembaga tersebut telah berkembang dari lingkungan masyarakat Indonesia, serta masih diperlukan oleh masyarakat, maksud keberadaan suatu lembaga dimaksud dapat diakui. Undang-undang perbankan
yang memberikan kejelasan status
lembaga-lembaga dimaksud untuk menjamin kesatuan dan keseragaman dalam 27
Chatamarrasjid, Ais, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, hal. 35.
41 pembinaan dan pengawasan, maka persyaratan-persyaratan dan tata cara pemberian status lembaga-lembaga dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah yang mengaturnya. 2.1.2.2. Jenis bank ditinjau dari segi kepemilikannya. Bank Milik Pemerintah, Bank Swasta Nasional, Bank Milik Koperasi, Bank Asing dan Bank Campuran, sebagai berikut : a.
Bank Milik Pemerintah Bank yang dimiliki pemerintah atau yang biasanya sering dikenal dengan
bank pemerintah merupakan bank yang kepemilikannya berada dibawah pemerintah. Bank pemerintah ini didirikan oleh pemerintah dan pada awalnya saham yang terdapat pada bank tersebut adalah milik pemerintah. Dalam akta pediriannya yang tertuang jelas bahwa pemilik bank tersebut adalah pemerintah yang biasanya diwakili oleh Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara), bank pemerintah dibagi menjadi 2 yaitu bank pemerintah pusat dan bank pemerintah daerah. b.
Bank Swasta Nasional Bank swasta nasional merupakan bank yang didirikan oleh pihak swasta
baik individu, maupun lembaga, sehingga seluruh keuntungan yang didapatkan akan dinikmati oleh swasta tersebut sedangkan apabila mendapat kerugian maka yang bertanggung jawab adalah pihak swasta juga. Contohnya adalah seperti BCA (Bank Central Asia), Bank Permata, Bank Muamalat Indonesia, Bank Danamon, dan Bank Maspion.
42 c.
Bank Milik Koperasi Bank yang didirikan oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi dan
pemilik seluruh dari modalnya itu sendiri menjadi milik koperasi tersebut, di Indonesia terdapat bank yang didirikan oleh koperasi itu sendiri ataupun bank yang menjadi milik koperasi adalah Bank Bukopin. d.
Bank Asing Bank asing merupakan bank yang didirikan oleh pemerintah asing maupun
swasta asing, yang dalam kegiatanya berkantor di wilayah negara indonesia. Bank asing yang ada di Indonesia merupakan cabang-cabang dari bank tersebut yaang berkantor pusat di luar negeri. Seperti beberapa contoh bank kepemilikan asing yang berada di indonesia adalah Citibank, ABN Amro Bank, Standart Chartered Bank, HSBC dan Chase Manhattan Bank. e.
Bank Campuran Bank campuran merupakan suatu bank yang dimiliki oleh swasta asing
dan nasional, meskipun pemilik dari bank campuran adalah warga negara asing atau perusahaan asing dan warga negara indonesia atau perusahaan dalam negeri, akan tetapi kepemilian saham mayoritas dimiliki oleh swasta nasional. 2.1.2.3. Jenis Bank ditinjau dari segi statusnya Bank yang dibedakan dari segi statusnya dapat dibagi atas Bank Devisa, dan Bank Non Devisa yang diuraikan sebagai berikut : a. Bank Devisa Bank devisa merupakan bank yang dapat melakukan suatu aktivitas transaksi keluar negeri dan transaksi yang berhubungan dengan mata uang asing
43 secara keseluruhan, contoh dari bank devisa ini adalah Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Central Asia, Bank Permata, Bank Tabungan Negara, Bank Internasional Indonesia. b. Bank Nondevisa Bank Nondevisa merupakan bank yang belum mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan bank seperti bank devisa. Transaksi yang dilakukan oleh suatu bank nondevisa masih sangat terbatas pada transaksi dalam negeri dan/atau mata uang rupiah saja. 2.1.2.4. Jenis Bank Ditinjau dari Cara Penentuan Harga. Bank yang ditinjau dari segi cara penentuan harga dapat dibagi atas Bank Konvensional dan Bank Syariah. a. Bank Konvensional Bank konvensional merupakan bank yang dalam penentuan harga menggunakan bunga sebagai balas jasa. Balas jasa yang diterima oleh bank konvensional atas penyaluran dana kepada masyarakat, maupun balas jasa yang dibayar oleh bank kepada masyarakat atas penghimpunan dana, sehingga bank konvensional akan membebankan fee kepada para nasabahnya. Contoh bank konvensional adalah Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Mandiri, Bank Permata. b. Bank Syariah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah menyatakan bahwa segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses
44 dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank syariah adalah bank yang menjalankan prinsip usahanya berdasarkan prinsip syariah yang menurut jenisnya terdiri dari bank umum syariah dan beberapa bank syariah antara lain, Syariah Mandiri, Muamalat Indonesia, BNI Syariah, Permata Syariah, BRI Syariah. 2.1.3 Sumber Dana Bank Bank perlu memperoleh sumber dana yang cukup untuk mendukung aktivitas operasional bank dalam penyaluran dana. Sumber dana bank merupakan dana yang dimiliki oleh bank, baik yang berasal dari dana sendiri maupun pinjaman dan pihak ketiga. Dana bank adalah semua utang dan modal yang tercatat pada neraca bank sisi pasiva yang dapat digunakan sebagai modal operasional bank dalam rangka kegiatan penyaluran/penempatan dana.28 Dana yang digunakan untuk melakukan operasional bank digolongkan menjadi 3 macam yaitu sebagai berikut : a. Sumber dana dari bank sendiri. b. Sumber dana yang berasal dari masyarakat. c. Sumber dana yang berasal dari lembaga keuangan baik berbentuk bank maupun lembaga pembiayaan, adalah : a) Sumber dana dari bank sendiri Sumber dana ini berasal dari para pemegang saham sebagai modal tetap. Dana yang dihimpun dari para pemegang saham yaitu dapat berupa modal disetor, cadangan modal, dan sisa laba dari keuntungan yang diperoleh setiap tahunnya. 28
Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, 2002, Menejemen Perbankan Teori dan Aplikasi, BPFE, Yogyakarta, hal. 39.
45 b) Sumber dana yang berasal dari masyarakat Sumber dana ini berasal dari simpanan giro, simpanan deposito, tabungan, dana yang mengendap sebagai akibat pembukaan L/C, dana jaminan bank garansi, pengiriman uang nasabah yang belum diambil. c) Sumber dana yang berasal dari lembaga keuangan baik berbentuk bank maupun lembaga pembiayaan. Dana ini biasanya berupa pinjaman baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pinjaman ini misalkan : KLBI, Call Money, Pinjaman antar bank, penerimaan dana luar negeri dan valuta asing, fasilitas diskonto, SPBU, Obligasi dan sebagainya. 2.2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) 2.2.1 Pengertian PPAT dan Dasar Hukum Jabatan PPAT Peraturan perundang-undangan mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan peraturan mengenai Notaris adalah merupakan “Pejabat umum” yang diberikan kewenangan membuat suatu “akta otentik” tertentu. Disisi lain yang membedakan keduanya tersebut adalah suatu landasan hukum berpijak yang mengatur keduanya. PPAT yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960, Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahun 2006, sedangkan Notaris itu sendiri diatur dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 serta perubahannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Perbedaan tersebut terlihat jelas lembaga hukum yang bertanggung jawab untuk mengangkat dan memberhentikan, tugas dan kewenangannya dalam rangka pembuatan akta-akta
46 otentik tertentu serta sistem pembinaan dan pengawasan terhadap tugas-tugas serta profesi yang diembanya. Pejabat Pembuat Akta Tanah menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1960, Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahun 2006 terdapat beberapa jenis PPAT sementara dan PPAT khusus. PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, dan PPAT Khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu. 2.2.2 Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT Peraturan
jabatan
PPAT
yang menjelaskan
ada dua
klasifikasi
pemberhentian dari jabatan PPAT yaitu diberhentikan dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak dengan hormat. Tercantum dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998 jo. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 tahun 2006 yang menyatakan bahwa : Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya yaitu karena : a. Permintaan sendiri ; b. Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan menteri atau pejabat yang ditunjuk ; c. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT ; d. Diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI.
47
Sedangkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diberhentikan dengan dengan tidak dengan hormat dari jabatannya yaitu karena : a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; b. Dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima ) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 5 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998, tentang pengangkatan PPAT yang dinyatakan bahwa : a) PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri; b) PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu; c) Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPA atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembutan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus. Jabatan selaku Camat atau Kepala Desa disuatu daerah tertentu untuk melayani suatu pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT sebagai sehingga bisa dianggkat sebagai PPAT Sementara. Oleh karena itu rumusan tersebut diatas dapat dipahami bahwa PPAT yang berhak menjabat sebagai PPAT, dan dapat dipahami bahwa : a. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. b. Untuk suatu wilayah belum dipenuhi formasi pengangkatan PPAT dapat ditunjuk Camat sebagai PPAT sementara, malahan jika ada suatu desa yang jauh sekali letaknya dan jauh dari PPAT yang terdapat di kabupaten/kota dapat ditujunjuk Kepala desa sebagai PPAT sementara. Dengan ketentuan ini maka Camat tidak otomatis diangkat sebagai PPAT
48 Sementara (dapat terbukti dari surat pengangkatannya dan telah disumpah sebagai PPAT). c. PPAT Khusus ini bertugas untuk melaksanakan perbuatan hukum atas Hak Guna Usaha (HGU), terutama dalam hal mutasi. d. Pengangkatan, Pemberhentian dan daerah kerja PPAT ditentukan dalam Pasal 6 PP No.37 Tahun 1998. 2.2.3 Kewenangan, Kewajiban dan Larangan PPAT a. Kewenangan PPAT Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam perundang-undangan pertanahan, demikian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan diuraikan secara jelas dalam Pasal 2 sampai 6 Peraturan KBPN No. 1 tahun 2006 yang merupakan penjelasan dari Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998 dan tindak lanjut dari ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, Peraturan Menteri Negara / KBPN No. 3 tahun 1997, mengenai tugas pokok dan kewenangan PPAT dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan tugas pembuatan akta (otentik) sebagai salah satu bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu oleh pemilik tanah yang sah mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dijadikan dasar bagi pendaftaran, perubahan data, pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu sendiri atas kehendak pemilik tanah di daerah kerjanya PPAT itu sendiri yang diatur dan ditentukan oleh pemerintah yakni kabupaten atau kota satu wilayah dengan wilayah kerja Kantor Pertanahan. Sementara itu untuk PPAT sementara yaitu Camat adalah wilayah jabatan camat saat menjabat apabila jabatan camat
49 tersebut sudah berakhir maka PPAT sementara tersebut akan berakhir pula ketika jabatan tersebut sudah berakhir. Dalam rangka pembuatan suatu akta otentik atas perbuatan hukum tertentu, ada 8 jenis akta PPAT yang menjadi alat bukti dan dasar perubahan data pendaftaran tanah (Pasal 95 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN (Permenag/KBPN) No. 3 tahun 1997 jo. Pasal 2 ayat (2), Per KBPN No. 1 tahun 2006) adalah: a) Akta Jual beli ; b) Akta tukar menukar ; c) Akta Hibah ; d) Akta Pemasukan ke dalam perusahaan ( inbreng) ; e) Akta pembagian bersama ; f)
Akta pemberian hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah hak milik ;
g) Akta pemberian hak tanggungan, dan ; h) Akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. (lihat Pasal 2 ayat (2)).29 b. Kewajiban dan Larangan PPAT Melaksanakan suatu tugas dan kewajiban selaku PPAT dalam pembuatan akta otentik atas 8 jenis perbuatan-perbuatan hukum yang merupakan bagian dari pada kegiatan pendaftaran tanah oleh PPAT. Ketentuan dalam Pasal 54 Peraturan KBPN No. 1 tahun 2006 ini menentukan kewajiban yang harus dilakukan PPAT pada saat pembuatan akta yang wajib harus dipenuhi oleh PPAT itu sendiri. Sebelum pembuatan akta yaitu atas 8 jenis akta dan perbuatan hukum 29
A. P. Parlindungan, 2009, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 174.
50 tersebut, PPAT berkewajiban melakukan pengecekan/pemeriksaan keabsahan sertifikat yang akan dijadikan suatu objek dalam akta dan catatan lain pada Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan letak objek sertifikat itu sendiri dan menjelaskan maksud dan tujuannya. Dalam pembuatan akta tersebut tidak diperkenankan memuat kata-kata yang sesuai atau menurut keterangan para pihak kecuali didukung oleh data formil oleh karena format baku atas akta-akta tersebut sudah ditentukan oleh peraturanperaturan yang mengaturnya sehingga hanya melengkapi secara riil dari identitas para pihak itu sendiri, sehingga apabila pembuatan akta yang tidak didasari oleh data formil disini PPAT berwenang untuk menolak di dalam pembuatan akta yang diinginkan itu sendiri. Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disebut PPAT tidak diperbolehkan untuk membuat akta atas 8 jenis perbuatan hukum yang dimaksud atas sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat, sebelum dilakukan pengukuran oleh Kantor Pertanahan setempat dan diberikan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB) karena pembuatan akta, PPAT wajib mencantumkan NIB atau nomor hak atas tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan riil di lapangan. 2.3. Kredit dan Perjanjian Kredit 2.3.1. Pengertian Kredit Pengertian kredit perbankan di Indonesia telah dirumuskan dalam UndangUndang No. 7 Tahun 1992 beserta perubahanya Undang-Undang 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa kriteria adalah penyediaan
51 uang/tagihan
yang
dapat
dipersamakan
dengan
itu
berdasarkan
persetujuan/kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melaksanakan dengan jumlah bunga sebagai imbalan.30 Pengertian Kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji, pembayaran akan dilaksanakan pada jangka waktu yang telah disepakati.31 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 beserta perubahanya Undang-Undang 10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”. Untuk membedakan kredit menurut faktor-faktor dan unsur-unsur yang ada dalam pengertian kredit, maka perbedaan kredit dapat dibedakan atas dasar : a. Sifat penggunaan kredit Kredit yang dibedakan atas sifat penggunaan kredit kredit Konsumtif dan Kredit Produktif adalah sebagai berikut : 1. Kredit Konsumtif adalah kredit yang digunakan untuk keperluan konsumsi atau uang akan habis terpakai untuk memenuhi kebutuhannya. 2.
Kredit Produktif adalah kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha, baik usaha-usaha produksi, perdagangan maupun investasi.
30
Hasanuddin Rahman, op.cit, hal. 105. Wijanarto, 1993, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Grafiti, Jakarta, hal. 76. 31
52 b. Keperluan kredit Kredit yang dibedakan dari keperluan dapat dibagi atas Kredit Produksi, Kredit Perdagangan, Kredit Investasi adalah sebagai berikut : 1. Kredit produksi / ekploitasi Kredit produksi ini dibutuhkan oleh suatu perusahaan agar untuk menunjang produksi baik dalam kuantitatif yaitu bagaimana jumlah hasil dari produksi perusahaan tersebut maupun peningkatan kuantitas atau suatu mutu hasil produksi usaha tersebut. 2. Kredit Perdagangan Kredit perdagangan ini dibutuhkan untuk keperluan suatu perdagangan yang dilakukan perorangan atau badan usaha untuk menunjang modal usahannya, berarti peningkatan utility of place saru suatu barang oleh, bagi industri pun barang-barang yang diperdagangkan juga sangat diperlukan. 3. Kredit Investasi Kredit investasi yang disalurkan oleh lembaga keuangan kepada para pengusaha yang sudah memenuhi syarat penerima kredit investasi, agar suatu para pengusaha tersebut bisa menambah modalnya dalam keperluan perbaikan ataupun penambahan barang modal ataupun fasilitas-fasilitas yang berhubungan dengan usahannya. Contohnya dalam pembangunan pabrik dan menambah alat-alat pabrik tersebut agar memperlancar usaha.
53 c. Kredit menurut cara pemakaian Berbagai macam kredit yang diberikan oleh bank dapat digunakan berbagai macam keperluan, seperti yang disebutkan sebagai berikut : 1. Kredit rekening Koran bebas Debitur menerima seluruh kreditnya dalam bentuk rekening koran kepadanya diberikan blangko cheque dan rekening koran pinjamannya diisi menurut besarnya kredit yang diberikan, sehingga debitur bebas melakukan penarikan selama kredit berjalan dan selama itu pula kredit yang diberikan. 2. Kredit rekening Koran terbatas Sistem ini adanya perbatasan tertentu bagi nasabah dalam melakukan penarikan uang rekeningnya, seperti pemberian kredit dengan uang giral dan perubahannya menjadi uang chartal dilakukan berangsurangsur. 3. Kredit rekening Koran aflopend Penarikan kredit dilakukan dalam arti maksimum kredit pada waktu penarikan pertamalah sepenuhnya dipergunakan oleh nasabah. 4. Revolving credit Sistem penarikan kredit sama dengan cara rekening Koran bebas dengan masa penggunaan satu tahun, akan tetapi cara pemakaiannya berbeda.
54 5. Term Loans Dalam sistem ini penggunaan dan pemakaian kredit sangat fleksibel artinya nasabah bebas menggunakan uang kredit untuk keperluan apa saja dan bank tidak mau tentang hal itu. d. Kredit menurut Jaminan Kredit ini pada umumnya ada dua yaitu Unsecured Loans (kredit tanpa jaminan) sering juga disebut kredit blangko dan Secured Loans. Jenis inilah yang digunakan oleh kebanyakan bank di Indonesia yaitu memberikan kredit jaminan. Jaminan kredit dapat berupa tanah, rumah, pabrik dan atau mesinmesin pabrik, perusahaan serta surat berharga.32 2.3.1.1. Jangka Waktu Kredit Perbedaan-Perbedaan jangka waktu kredit menurut peraturan Bank Indonesia adalah sebagai berikut : a. Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang berjangka waktu selama-lamanya satu tahun. Jadi pemakaiannya tidak melebihi satu tahun. b. Kredit jangka menengah, yaitu kredit yang jangka waktunya antara satu sampai tiga tahun. c. Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang jangka waktunya lebih dari tiga tahun. 2.3.1.2. Tujuan Kredit Tujuan kredit mencakup scope yang luas. Fungsi pokok yang saling berkaitan dari kredit adalah sebagai berikut : 32
Sutan Remi Sjahdeini, 1993, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit dan Penyelesaian Kredit, Makalah, Jakarta, hal. 145.
55 a. Profitability: Proftability ini bertujuan untuk memperoleh hasil dari kredit berupa keuntungan yang diteguk dari pemungutan bunga. b. Safety: Safety adalah keamanan dari prestasi atau fasilitas yang diberikan harus benar-benar terjamin sehingga profitability dapat benar-benar tercapai tanpa hambatan yang berarti. 33 2.3.2. Pengertian Perjanjian Kredit Perikataan kredit telah lazim digunakan pada praktik perbankan dalam pemberian fasilitas yang berkaitan dengan pinjaman.34 Suatu kata mengenai kredit yang berasal dari bahasa latin credere yang artinya adalah kepercayaan. Pengertian kredit dalam masyarakat sering disamakan dengan pinjaman yaitu artinya apabila seseorang tersebut mendapatkan kredit berarti mendapat suatu pinjaman dari seseorang atau bank. Kredit dengan demikian dapat diartikan sebagai setiap perjanjian suatu jasa (prestasi) dan adanya suatu balas jasa (kontra prestasi) di masa yang akan datang bagi para pihak. Unsur kepercayaan dalam pemberian kredit tidak terbatas pada penerima kredit, akan tetapi terjaganya kepercayaan akan kejujuran dan kemampuan dalam mengembalikan pinjaman itu tepat pada waktunya. Seseorang atau perusahaan yang akan memperoleh kredit harus mempunyai kredibilitas, atau kelayakan seseorang untuk memperoleh kredit. Lima syarat yang harus dipenuhi bagi calon debitur adalah biasa dikenal dengan istilah 5C, yaitu sebagai berikut :
33
Ibid, hal. 147. Johannes Ibrahim, 2010, Kartu Kredit-Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 7. 34
56 a. Character, yaitu sifat atau watak pribadi debitur untuk memperoleh kredit, misalnya kejujuran, sikap motivasi usaha, dan lain sebagainya. b. Capital, adalah kemampuan modal yang dimiliki dalam rangka untuk memenuhi kewajiban tepat pada waktunya, terutama dalam hal likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan soliditasnya. c. Capacity, adalah kemampuan debitur untuk melaksanakan kegiatan usaha atau menggunakan dana/kredit dan mengembalikannya. d. Collateral,
adalah
jaminan
yang
harus
disediakan
sebagai
pertanggungjawaban bila debitur tidak dapat melunasi utangnya. e. Condition of economic, adalah keadaan ekonomi suatu Negara secara keseluruhan yang memengaruhi kebijakan pemerintah di bidang moneter, khususnya berhubungan dengan kredit perbankan. 2.3.3. Dasar Hukum dan Sahnya Perjanjian Kredit Suatu Kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan sebab apapun yang halal.35 Pengertian perjanjian menurut Bryan A. Garner dalam bukunya Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa “Agreement in which the law requires not only the consent of the parties but also a manifestation of the agreement in some particular form in default of which the agreement” (Perjanjian di mana hukum tidak hanya menuntut persetujuan para pihak, tetapi juga merupakan manifestasi
35
Suharnoko,2004, Hukum Perjanjian ; Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, hal. 1.
57 dari
perjanjian
dalam
beberapa
bentuk
tertentu
dalam
standar
yang
perjanjiannya).36 Setiap pemberian kredit dan kredit yang telah disepakati oleh pemberi kredit (kreditur) dan penerima kredit (debitur) maka dari itu para pihak tersebut yang wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian sebagaimana diketahui termasuk dalam perjanjian kredit. Perjanjian itu sendiri yang sudah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata sehingga perjanjian kredit itu sendiri yang berakar pada suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang sudah diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Bahwa di dalam pembuatan perjanjian kredit tersebut para pihak harus sudah memenuhi syarat-syarat dari sahnya suatu perjanjian yang dapat dilihat dan dipahami tentang syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : a. Para pihak telah sepakat untuk membuat perjanjian; b. Para pihaknya cakap untuk membuat perjanjian; c. Ada hal tertentu yang diperjanjikan; d. Dan perjanjian tersebut didasarkan pada sebab yang halal. Perjanjian kredit yang mempunyai fungsi penting baik fungsi tersebut bagi kreditur maupun debitur adalah sebagai berikut : a. Berfungsi sebagai perjanjian pokok; b. Berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan hak antara kreditur dan debitur; 36
Bryan A. Garner, 2000, Black’s Law Dictionary abridged seventh edition, West Group, United States of America, hal 54.
58 c. Berfungsi sebagai alat monitoring kredit. Bentuk dari suatu akta yang dibuat untuk perjanjian kredit dalam prakteknya adalah mempunyai 2 bentuk antara lain : a. Bentuk Perjanjian Kredit dalam akta otentik (diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata) adalah Akta otentik mempunyai yang kekuatan pembuktian yang sempurna artinya akta otentik tersebut dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan dari para pihak itu sendiri. b. Bentuk Perjanjian Kredit dalam akta yang di buat dibawah tangan. Akta dibawah tangan atau onderhands acte adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantaraan seseorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian, misalnya perjanjian jual beli atau perjanjian sewa-menyewa.37 Pasal 1874 KUHPerdata bahwa akta bawah tangan yang mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatanganinya. Akta bawah tangan sehingga tidak mudah dibantah maka diperlukan suatu legalisasi oleh Notaris yang berakibat akta bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik. Berakhirnya suatu perjanjian kredit yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tersebut mengacu pada Pasal 1381 KUHPerdata dan berbagai praktek hukum lainnya yang timbul dalam hal pengakhiran perjanjian kredit tersebut. 37
Soeroso, 2010, Perjanjian Di Bawah Tangan, Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8.
59 Dalam berakhirnya suatu perjanjian kredit yang telah disepakati oleh para pihak bisa berakhir pula, maka oleh karena itu pengakhiran suatu perjanjian tersebut bisa melalui : a. Pembayaran; b. Subrograsi (Pasal 1400 KUHPerdata); penggantuan hak-hak kreditur oleh pihak ketiga yang membayar utang; c. Pembaruan utang/novasi (pasal 1413 KUHPerdata); d. Perjumpaang utang/kompensasi (pasal 1425 KUHPerdata). 2.3.4. Jenis-Jenis Kredit Katagorisasi kredit menyebabkan kredit itu memiliki beberapa posisinya masing-masing dengan kegunaan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut menyebabkan public (Masyarakat) bisa memutuskan mana kredit yang akan dipilihnya sesuai dengan suatu kebutuhan yang digunakannya.38 Jenis-jenis kredit yang masih berlaku sampai dengan saat ini di antaranya adalah kredit likuiditas Bank Indonesia (BLBI), peranan kredit dalam perekonomian dan kredit yang tidak ditunjang oleh kredit likuiditas dari Bank Indonesia. a. Kredit likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank-bank dalam rangka menunjang pembiayaan usaha suatu bidang yang sudah ditentukan, di antaranya ialah: 1) Kredit Usaha Tani (KUT); 2) Kredit kepada Koperasi Unit Desa (KUD); 3) Kredit kepada Bulog untuk pengadaan pangan dan gula; 38
Irham Fahmi, 2008, Analisis Kredit dan Fraud, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Alumni, Bandung, hal. 8.
60 4) Kredit investasi yang diberikan oleh bank-bank pembangunan dan LKBB. b. Peranan Kredit dalam perekonomian adalah kredit mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian karena dapat membantu seseorang atau badan usaha yang sedang mengalami kesulitan keuangan untuk mengembangkan usahanya. Dengan adanya kredit yang diberikan, diharapkan akan dapat memajukan kegiatan ekonomi serta meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peranan kredit dalam perekonomian antara lain adalah sebagai berikut : 1) Meningkatkan produksi atau produktivitas; 2) Meningkatkan daya guna barang; 3) Memajukan perkembangan dunia keuangan; 4) Memperlancar pemasaran barang; 5) Mempermudah pembayaran di dalam maupun di luar negeri atau sebagai alat hubungan internasional; 6) Memajukan lalu lintas peredaran uang; 7) Membuka lapangan kerja baru; 8) Sebagai salah satu alat untuk menjaga kestabilan ekonomi. c. Kredit yang tidak ditunjang oleh kredit likuiditas dari Bank Indonesia, di antaranya adalah: 1. Kredit Usaha Kecil (KUK); 2.
Kredit ekspor;
3. Kredit kepada kontraktor nasional;
61 4. Kredit produksi, impor dan penyaluran pupuk, serta obat hama untuk bimas; 5. Kredit investasi kecil (kredit modal kerja permanen); 6. Kredit investasi (kredit modal kerja sampai dengan Rp 75.000.000,-); 7. Kredit kepada guru; 8. Kredit mahasiswa Indonesia; 9. Kredit asrama mahasiswa. 2.3.5. Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah Tidak ada satu pun bank di dunia ini yang tidak memiliki kredit bermasalah, karena tidak mungkin dari semua kredit yang disalurkan semuanya lancar. Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh bank untuk menghindari dan menyelamatkan terhadap kredit macet tersebut ataupun kredit bermasalah ini antara lain dengan suatu cara : 1. Rescheduling Merupakan upaya yang dilakukan bank untuk menangani kredit bermasalah dengan membuat penjadwalan kembali. Adapun beberapa alternatif rescheduling yang dapat diberikan antara lain : a. Perpanjangan jangka waktu kredit b. Jadwal angsuran bulanan diubah menjadi triwulanan. c. Memperkecil angsuran pokok dengan jangka waktu akan lebih lama. 2. Reconditioning Merupakan upaya bank yang dalam menyelamatkan kredit dengan mengubah seluruh atau sebagian perjanjian yang telah oleh bank dengan
62 nasabah. Adapun bebrapa alternatif reconditioning yang dapat diberikan antara lain : a. Penurunan suku bunga b. Pembebasan sebagian atau seluruh bunga yang terkuak, sehingga nasabah pada periode berikutnya hanya membayar pokoknya pinjaman beserta bunga berjalan. c. Kapitalisasi bunga yaitu bunga yang terkuak dijadikan satu dengan pokok pinjaman. d. Penundaan pembayaran bunga, yaitu pembayaran kredit oleh nasabah dibebankan sebagai pembayaran pokok pinjaman sampai dengan jangka waktu tertentu. 3. Restructuring Merupakan upaya yang dilakukan oleh bank dalam menyelamatkan kredit bermasalah dengan cara mengubah strukur pembiayaan yang mendasari pemberian kredit. Adapun beberapa alternatif yang dilakukan oleh bank dalam restructurisasi antara lain : a. Bank dapat memberikan tambahan kredit. b. Tambahan dana yang diperoleh tersebut berasal dari modal debitur. c. Kombinasi antara bank dan nasabah. 4. Kombinasi Upaya penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan dengan cara kombinasi yaitu antara lain :
63 a. Upaya yang dilakukan menggabungkan antara reschedulling dan restructuring. b. Upaya
yang
dilakukan
dengan
cara
menggabungkan
antara
memperpanjang jangka waktu dan meringankan bunga (Reschedulling dan Reconditioning) c. Upaya yang dilakukan penambahan kredit diikuti dengan keringanan bunga atau pembebasan tunggakan bunga. (Restructuring dan Reconditioning). d. Upaya yang dilakukan menggabungkan ketiga cara tersebut melalui (Restructuring, Reschedulling dan Reconditioning). 5. Eksekusi Eksekusi merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan oleh bank untuk menyelamatkan kredit bermasalah tersebut. Eksekusi merupakan penjualan terhadap angunan yang dijadikan jaminan kredit oleh debitur itu sendiri ataupun penjamin atas utang-utang yang telah dibuat oleh debitur. 2.4. Jaminan Kredit. 2.4.1. Pengertian Jaminan Penjaminan kredit pada dasarnya adalah suatu kegiatan pemberian jaminan kepada kreditor atas kredit atau pembiayaan yang disalurkan akibat tidak dipenuhinya syarat angunan yang ditetapkan pihak kreditor.39 Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, 39
Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia Dewi, 2007, Penjaminan Kredit, Alumni, Bandung, hal. 13.
64 disamping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Sehingga dalam kesimpulanya bahwa pengertian jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda.40 Jaminan menurut Hadisoeprepto Hartono yakni sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.41 Pengertian jaminan yang juga dikemukakan oleh M. Bahsan yaitu jaminan adalah segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu hutang piutang dalam masyarakat.42 Jaminan sangat penting kedudukannya didalam pemberian suatu kredit terhadap debitur atapun calon peminjam dana pada suatu bank, sehingga didalam pemberian kredit tersebut tidak terlepas untuk memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat termasuk resiko yang harus dihadapi atas pengembalian kredit. Oleh karena itu jaminan disini memberikan keyakinan terhadap kreditur karena jaminan merupakan suatu unsur di dalam jaminan kredit atas kemampuan debitur untuk mengembalikan utangnya. Hukum Perdata materiil mengenal dan mengatur tentang lembaga-lembaga jaminan utang. Lembaga-lembaga jaminan ini memang disediakan untuk dapat dijadikan jaminan oleh setiap calon debitur ketika dalam hal debitur memperoleh 40
Mariam Darus Badrulzaman, 1987, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia, Alumni, Bandung, hal. 227-265. 41 Hadisoeprapto Hartono, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta. Hal. 70. 42 M. Bahsan, 2002, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung, Jakarta, hal. 148.
65 kredit dari kreditur. Pengertian jaminan dalam hal ini sendiri menurut Hartono Hadisoeprapto adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan berapa keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.43 Suatu perikatan berdasarkan perjanjian pinjam meminjam sebaiknya disertai dengan salah satu bentuk lembaga jaminan penyelesaian utang. KUHPerdata membedakan 2 (dua) jenis jaminan, yaitu jaminan yang bersifat perorangan dan jaminan yang bersifat kebendaan. Perikatan dengan jaminan perorangan dikenal sebagai penanggungan (borgthocht), pemberian jaminan kebendaan kepada seorang kreditur tertentu, memberikan suatu kedudukan (privelege) istimewa bagi kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya. Fungsi jaminan seperti ini adalah memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan bila mana debitur tidak melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan.44 Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa semua kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari semua menjadi jaminan atas segala hutangnya, sehingga jika debitur tidak memenuhi kewajibannya atau ingkar janji maka semua kekayaan debitur dapat disita dan dilelang, dari hasil tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan besar kecilnya piutang para kreditur. Perikatan dengan jaminan kebendaan dapat diadakan melalui pemakaian lembaga jaminan seperti gadai, hipotik, hak
43
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Indonesia,Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 192. 44 Ibid,hal. 193.
66 tanggungan ataupun fidusia.45 Pemberian jaminan dalam suatu perikatan seperti pemberian kredit perbankan yaitu untuk memberikan kepastian kepada kreditur bahwa debitur akan dapat melunasi kewajibannya dari hasil penjualan barang jaminan di mana kewajiban tersebut harus dapat dinilai dengan uang. Adanya pemberian jaminan untuk suatu perjanjian harus diperjanjikan terlebih dahulu secara tegas, oleh karena memberikan suatu barang sebagai jaminan berarti melepaskan sebagian dari kekuasaan barang tersebut. Mengacu pada jenis pinjaman yang terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan, maka agunan dapat dikelompokkan sebagai jaminan kebendaan. Adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, terhadap peraturan mengenai pengikatan agunan telah mengalami perubahan yang signifikan. Jaminan yang dimaksud dalam pemberian kredit perbankan yaitu keyakinan pihak kreditur (bank) atas kesanggupan pihak debitur untuk melunasi hutang kreditnya sesuai dengan yang diperjanjikan, dan untuk memperoleh jaminan dalam setiap pemberian atau pelepasan kredit, maka bank melakukan penilaian secara seksama terhadap watak, modal, kemampuan agunan dan prospek usaha debitur (The Five of Credit Analysis), sehingga kreditur memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kredit yang diberikan.
45
Hadisoeprapto Hartono, op.cit. hal. 134.
67 2.4.2. Jenis-Jenis Jaminan Kredit Pada dasarnya jenis-jenis jaminan untuk mendapatkan atapun memperoleh suatu kredit yang sangat bermacam-macam yang dapat dijadikan jaminan. Sehingga dapat dibedakan suatu jaminan yaitu : 1. Jaminan perorangan; 2. Jaminan kebendaan. 2.4.3.1. Jaminan Perorangan Hak jaminan perorangan yang timbul dari perjanjian jaminan antara kreditur (bank) dan pihak ketiga. Perjanjian jaminan perorangan ini pihak ketiga bertindak sebagai penjamin dalam pemenuhan kewajiban debitur, berarti perjanjian jaminan perorangan merupakan janji atau kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur apabila debitur ingkar janji yaitu wanprestasi. Pasal 1820 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatnya”. Jaminan perorangan ini tidak adanya suatu benda yang diikat sebagai jaminan didalam perikatan sehingga tidak jelas untuk jaminan apa dan yang mana milik pihak ketiga yang dijadikan jaminan apabila debitur wanprestasi atau ingkar janji dengan demikian para kreditur pemegang hak jaminan perorangan hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren saja. Terjadinya kepailitan pada debitur maupun penjamin (pihak ketiga), berlaku ketentuan jaminan secara umum yang tertera dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: ”Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang
68 sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”.46 Personal Guarantee (Jaminan Perorangan) adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seseorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur, apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi). Bahkan pada saat ini bukan jaminan perorangan saja melainkan pula sudah sering dikenal dengan istilah corporate guarantee, yang dimaksud
corporate guarantee
yaitu
penanggungan yang diberikan oleh badan hukum. Dapat terlihat bahwa penanggungan atau jaminan perorangan dapat diberikan baik oleh orang perorangan atau oleh badan hukum. Dalam hal penanggungan tersebut diberikan oleh perorangan, maka disebut dengan personal guarantee (jaminan perorangan). Jaminan penanggungan tergolong pada jaminan yang bersifat perorangan, yaitu adanya orang pihak ketiga (badan hukum) yang menjamin memenuhi perutangan manakala debitur wanprestasi. Pada jaminan yang bersifat perorangan demikian, pemenuhan prestasi hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu, yaitu si debitur atau penanggungnya. Uraian tersebut dapatlah suatu unsur-unsur dalam suatu penanggungan hutang yaitu : a) Adanya hubungan hutang piutang (antara si berhutang dan si berpiutang); b) Disepakatinya persetujuan penanggungan hutang dengan masuknya pihak ketiga (penanggung) dalam hubungan hukum tersebut di atas ;
46
Abdullah, Frieda Husni. 2002, Hukum Kebendaan Perdata, Jilid 1.Ind.Hill-Co, Jakarta, hal. 70.
69 c) Masuknya pihak ketiga dinyatakan dalam suatu persetujuan yang berisi kesanggupan penanggung untuk memenuhi perikatan debitur jika ia melakukan wanprestasi. 2.4.3.2. Jaminan Kebendaan. Pasal 499 KUHPerdata menyebutkan, menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh Hak Milik.47 Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak (absolute) atas suatu benda tertentu yang menjadi obyek jaminan suatu hutang, yang suatu waktu dapat diuangkan bagi pelunasan hutang debitur ingkar janji. Kekayaan itu sendiri dapat berupa kekayaan milik debitur dengan kekayaan orang ketiga lainya. Penyendiriaan atas benda objek jaminan dalam perjanjian jaminan kebendaan adalah untuk kepentingan dan keuntungan kreditur tertentu yang telah memintanya, sehingga memberikan hak atau kedudukan istimewa kepada kreditur tersebut. Kreditur tersebut mempunyai suatu kedudukan sebagai kreditur preferen yang didahulukan dari kreditur lainnya dalam pengambilan pelunasan piutangnya dari benda objek jaminan bahkan dalam kepailitan debitur ia mempunyai kedudukan sebagai kreditur separatis. Jaminan kebendaan adalah jeminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun hak kebandaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian dari harta kekayaan, baik dari debitur maupun pihak ketiga, guna menjamin kewajibankewajiban debitur kepada kreditur apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi). Jaminan kebendaan menurut sifatnya dibedakan menjadi 2 (dua) 47
hal. 73.
Sentosa Sembiring, 2008, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung,
70 yaitu jaminan dengan benda berwujud (materiel) dan jaminan dengan benda tidak berwujud (immateriel). Menurut Martin Dixon memberikan pengertian mengenai tanah sebagai “Land is both the physical asset which the owner may enjoy in or over it”48 (tanah baik aset fisik yang dimiliki dapat menikmati diatasnya), sehingga tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi sedangkan hak atas tanah merupakan hak atas sebagaian tertentu permukaan bumi yang terbatas. Pasal 4 UndangUndang No.4 tahun 1996 tanggal 9 April 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang berkaitan Dengan Tanah, Tanah yang dapat dijadikan jaminan adalah: a. Tanah Hak Milik; b. Tanah Hak Guna Usaha (HGU); c. Tanah Hak Guna Bangunan (HGB); d. Tanah Hak Pakai atas tanah Negara. 2.4.3. Fungsi Jaminan Kredit. Hukum jaminan memiliki kaitan yang erat dengan bidang hukum benda dan perbankan.49 Fungsi dari jaminan kredit dalam dunia perbankan mempunyai suatu arti yang sangat besar. Kewajiban debitor untuk menyerahkan jaminannya terhadap hutang oleh pihak peminjam dalam rangka memberikan suatu pinjaman uang sangat erat berkaitan dengan kesepakatan di antara pihak-pihak yang melakukan 48
pinjam-meminjam
uang
yang
sudah
disepakati
di
dalam
Martin Dixon, 2004, Principles of Land Law, Cavendish Publishing Limited, London, hal. 24. 49 H. Tan Kamelo, 2006, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, hal. 1.
71 suatu kontrak yaitu perjanjian kredit. Pada dasarnya pihak pemberi pinjaman yaitu kreditor memberikan syarat adanya suatu jaminan hutang yang diterima oleh debitor itu sendiri. Keharusan dalam penyerahan jaminan tersebut sering pula terdapat pada aturan-aturan dan syarat-syarat oleh peraturan intern pihak pemberi jaminan atau oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi Jaminan secara yuridis adalah kepastian hukum pelunasan hutang di dalam perjanjian hutang-piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian, dengan mengadakan perjanjian penjaminan melalui lembagalembaga jaminan yang dikenal dalam hukum Indonesia. Fungsi jaminan itu sendiri dapat pula disimpulkan gambaran secara umum seperti : 1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang jaminan (agunan) tersebut, bilamana nasabah melakukan cidera janji yaitu tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. 2. Menjamin agar nasabah berperan serta di dalam transaksi untuk membiayai
usaha
atau
proyeknya
sehingga
kemungkinan
untuk
meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya. 3. Memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi perjanjian kredit, khususnya mengenai pembayaran kembali (pelunasan) sesuai
72 dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.50 Hukum jaminan yang diatur dalam buku ke II KUHPerdata yang tercantum tentang benda, hak kebendaan, warisan, tentang piutang yang diistimewakan, gadai dan hipotik. Benda dan hak kebendaan merupakan asas dari buku ke II KUHPerdata. Waris yang dimasukan kedalam buku ke II KUHPerdata oleh karena pengaruh dari hukum Romawi. Piutang yang diistimewakan mempunyai hubungan yang erat mengenai gadai dan hipotik. Buku KUHPerdata memliki sistem yang tertutup dimana artinya adalah hak-hak kebendaan diluar dari buku ke II tidak diperkenankan dan para pihak yang membuat perjanjian tidak bebas dalam memperjanjikan hak kebendaan yang baru. 2.4.4. Jenis-Jenis Pengikatan Barang Jaminan Kredit Kepentingan suatu lembaga perbankan dalam hal menjamin suatu pengembalian kredit yang telah disalurkan tersebut maka terhadap jaminan yang diserahkan oleh debiturnya harus dilakukan pengiktan terhadap barang jaminan tersebut. Mengenai pengikatanya oleh Bank Indonesia berdasarkan Surat Edaranya (SE-BI) nomor 4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972 yang menyebutkan bahwa untuk benda-benda bergerak dipakai lembaga jaminan fidusia dan atau gadai, dan untuk benda-benda tidak bergerak dipakai lembaga jaminan Hak Tanggungan.
50
Kemudian dalam Surat Edaranya (SE-BI) nomor
Thomas Suyatno, 2012, “Fungsi Jaminan http://www.psychologymania.com/2012/12/fungsi-jaminan-kredit.html. pada tanggal 17 Juli 2014.
Kredit” Diakses
73 23/6/UKU
tanggal 28 Pebruari 1991 yang menyebutkan bahwa pengikatan
jaminan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan perundang-undangan ini berarti hukum positif Indonesia termasuk tentunya peraturan perundang-undangan yanag merupakan peninggalan kolonial yang dasar hukumnya adalah Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.51 Demikian halnya UUHT merupakan suatu dasar hukum yang mengatur lembaga hak jaminan atas tanah, yaitu hak tanggungan sebagai pelaksana dari Pasal 51 UUPA. Sebagai tindak lanjut UUHT yang berturut-turut lahir suatu ketentuan peraturan yang mengatur Hak Tanggungan.52 2.5. Hak Tanggungan 2.5.1. Pengertian Hak Tanggungan Hak Tanggungan dalam Bahasa Indonesia yang mengenai tanggungan dapat diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sehingga jaminan tersebut artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996 disebutkan bahwa hak tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut tidak dengan benda-benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainya. 51
H.R. Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 243. 52 Rachmadi Usman, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 316.
74 Terhadap lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan memberikan suatu harapan kepastian hukum mengenai pengikatan jaminan dengan tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang pengaturannya selama ini menggunakan ketentuanketentuan Hypotheek dalam KUHPerdata. Hak Tanggungan yang sudah diatur dalam UUHT dasarnya memberikan suatu pengertian mengenai hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Kenyataanya seringkali terdapat suatu benda-benda yang berupa bangunan, tanaman serta hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan oleh penjamin. Hukum Tanah Nasional pada dasarnya adalah hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan yaitu Horizontal, yang memberikan penjelasan bahwa dalam setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Penerapan asas tersebut tidak mutlak melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Atas dasar itu pula UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan hak tanggungan yang meliputi bendabenda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang menyebeutkan bahwa hak tanggungan yang sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat wajib harus mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
75 1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference), hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 angka 1; apabila debitur cidera janji (wanprestasi), maka kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditur yang lain. 2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 UUHT, sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek hak tanggungan telah berpindah tangan dan mejadi milik pihak lain, namun kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitur cidera janji (wanprestasi). 3. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), maka kreditur tidak perlu menempuh acara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya yang
tidak
sedikit.
Kreditur
pemegang
hak
tanggungan
dapat
menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum. Selain melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6, eksekusi obyek hak tanggungan juga dapat dilakukan dengan cara “parate executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 158 RBg bahkan dalam hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan.
76 2.5.2. Subjek dan Obyek Hak Tanggungan Objek hak tanggungan yang dapat dibebani hak tanggungan untuk di jadikan jaminan memiliki beberapa jenis yaitu : 2.5.2.1. Hak Milik (HM) Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 adalah negara hukum (konstitusional) yang memberikan jaminan dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara, antara lain hak warga negara untuk mendapatkan, mempunyai, dan menikmati hak milik.53 Perkataan Hak Milik berasal dari bahasa Arab al haqq dan al milk. Secara etimologis al haqq artinya milik, ketetapan dan kepastian, seperti yang terdapat dalam Al Qur’an Surah Yasmin ayat 7, artinya “sesungguhnya telah pasti berlaku ketentuan allah terhadap kebanyakan mereka karena mereka tidak beriman”, Al Milk diartikan sebagai penguasaan terhadap sesuatu tertentu sesuatu yang dimiliki.54 Pengertian mengenai hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960, sehingga bahwa semua hak tanah mempunyai fungsi sosial untuk dikuasani. Sifat-sifat terhadap hak milik yang membedakannya dengan hak-hak atas tanah lainnya adalah hak yang terkuat dan terpenuh atas tanah tersebut, maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dipunyai orang maka hak miliklah yang paling kuat dan yang
53
Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftaranya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1. 54 Aslan Noor, 2006, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Manju, Jakarta, hal. 39.
77 paling penuh terhadap penguasaan tanah tersebut. Pengaturan yang mengatur mengenai hak milik tersebut tercantum di dalam Pasal 20 sampai 27 UUPA. Berdasarkan UUPA dalam peralihan hak milik tersebut dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, sehingga dalam peralihan tersebut pihak yang dapat memiliki adalah yang tentunya ditentukan oleh peraturan yang berlaku. Subjek hak milik yang dapat memegang atau memiliki hak milik atas tanah adalah sebagai berikut : a) Warga Negara Indonesia ; b) Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syaratsyaratnya ditetapkan oleh pemerintah; c) Orang-orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUPA mengenai hapusnya hak milik dapat berlaku apabila : a) Tanahnya jatuh kepada negara ; - karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18; - karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; - karena ditelantarkan; - karena ketentuan Pasal ayat (3) dan 26 ayat (2). b) Tanahnya musnah.
78 2.5.2.2. Hak Guna Usaha (HGU) Peraturan mengenai hak guna usaha terdapat pada Pasal 28 sampai Pasal 34 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 2 sampai Pasal 18. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha yang merupakan hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri untuk digunakan sebagai perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan hak guna usaha dapat juga beralih dan dialihkan kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Terhadap peralihanya Hak Guna Usaha tersebut dapat beralih karena karena disebabkan dengan hal-hal sebagai berikut yaitu : a) Jual beli; b) Tukar menukar; c) Penyertaan dalam modal; d) Hibah; e) Pewarisan. Subjek pemegang hak guna usaha yang diatur dalam undang-undang adalah sebagai berikut yaitu : a) Warga Negara Indonesia;
79 b) Badan
Hukum
yang
didirikan
menurut
hukum
Indonesia
dan
berkedudukan di Indonesia (Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria).55 Terjadinya hak guna usaha oleh karena penetapan Pemerintah. Hak guna usaha yang termasuk syarat-syarat pemberiannya, yang demikian juga dalam setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dibuktikan dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak guna usaha juga dapat dijadikan jaminan utang pada lembaga-lembaga pembiayaan dengan dibebani hak tanggungan. Terdapat mengenai suatu tanah yang dapat diberikan hak guna usaha adalah : a) Tanah negara; b) Tanah negara yang merupakan kawasan hutan, setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan; c) Tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak Guna Usaha yang diberikan dengan suatu keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu yang paling lama adalah 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka 55
Soedharyo Soimin, 2004, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 24.
80 mengenai jangka waktu hak guna bangunan diperpanjang olehnya yang tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a, yaitu : “Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 tahun dengan suatu cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus yaitu selama 60 tahun lamanya dan dapat diperbarui selama 35 tahun”. Adapun sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya hak guna usaha tersebut hapus adalah karena : a) Jangka waktunya berakhir; b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d) Dicabut untuk kepentingan umum; e) Ditelantarkan; f) Tanahnya musnah; g) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun 1960. 2.5.2.3. Hak Guna Bangunan (HGB) Pengaturan mengenai HGB terdapat dalam Pasal 35 sampai Pasal 40 UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Pasal 19 sampai Pasal 38. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Tidak termasuk mengenai tanah pertanian, oleh karena itu dapat diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun tanah milik seseorang. Peralihan hak guna bangunan juga dapat beralih kepada pihak lain. Terjadinya peralihan terhadap hak guna bangunan dapat terjadi karena :
81 a) Jual beli; b) Tukar menukar; c) Penyertaan dalam modal; d) Hibah; e) Pewarisan. Subjek Hak guna bangunan yang ditentukan oleh peraturan-peraturan yang mengatur tentang hak guna bangunan adalah : a) Warga Negara Indonesia, b) Badan
Hukum
yang
didirikan
menurut
hukum
Indonesia
dan
berkedudukan di Indonesia. Hak guna bangunan tersebut dapat timbul dikarenakan oleh sebab-sebab sebagai berikut yaitu : a. Mengenai tanah yang dikuasai oleh Negara; karena penetapan Pemerintah; b. Mengenai tanah milik; karena perjanjian otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. Hak guna bangunan dan termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian juga dalam setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus wajib didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Pembuktian dengan penerbitan sertifikat oleh Kantor Pertanahan setempat (Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997), Hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Tanah-
82 tanah yang dapat diberikan hak dengan hak guna bangunan adalah tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Hak guna bangunan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun beserta dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu HGB diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf b “Hak guna bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbarui selama 30 tahun”. Hak guna bangunan dapat berakhir yang disebabkan oleh beberapa sebab faktor-faktor sebagai berikut yaitu : a. Jangka waktunya berakhir; b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. Dicabut untuk kepentingan umum; e. Ditelantarkan; f. Tanahnya musnah; g. Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) Undang Nomor 5 Tahun 1960. 2.5.2.3. Hak Pakai (HP) Pengaturan mengenai Hak Pakai terdapat dalam Pasal 41 sampai Pasal 43 UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Pasal 39 sampai Pasal 59. Mengenai hak pakai hasil atau hak untuk memungut hasil ini dapat ditemukan dalam Bab kesepuluh Buku Kedua KUH Perdata, yaitu dari Pasal 756 sampai
83 dengan Pasal 817 KUHPerdata. Pasal ini mengatur mengenai pengertian sifat dan cara memperoleh hak pakai hasil, hak-hak pemakai hasil kewajiban-kewajiban pemakai hasil dan bagaimana hak pakai hasil berakhir.56 Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang
dan
kewajiban
yang
ditentukan
dalam
keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan No. 5 Tahun 1960. Hak Pakai diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu bagi pengmakainya. Hak Pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma, yaitu dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai dengan syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Mengenai peralihan hak pakai yaitu berdasarkan : a. Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang; b. Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
56
hal. 336.
Rachmadi Usman, 2011, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta,
84 Subjek hak pakai yang ditentukan oleh peraturan-peraturan adalah sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; e. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; f. Badan-badan keagamaan dan sosial; g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional; h. Terjadinya hak pakai karena pemberian oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah. Hak Pakai atas tanah Negara dan/atau atas tanah hak pengelolaan yang wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Pakai yang diberikan sertifikat hak atas tanah oleh Kantor Pertanahan setempat (Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Tanah yang dapat diberikan hak pakai adalah Tanah negara, Tanah hak pengelolaan dan Tanah hak milik. Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. Berlakunya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka Jangka Waktu Hak Pakai
85 diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf c “Hak pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun”. 2.5.2.4. Hak Atas Satuan Rumah Susun Ketentuan tentang rumah susun sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 diartikan bahwa rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.57 Ketentuan tersebut mengatur hal baru karena sebelum adanya UURS, objek utama dari hak jaminan adalah tanah. Keadaan tertentu yang mengkehendaki para pihak, hak jaminan yang dibebankan atas suatu bidang tanah dapat meliputi juga bangunan yang ada di atasnya. Obyek pokok hak jaminan yang dibebankan bukan tanahnya, melainkan bangunan rumah susunnya. Pasal 12 UURS juga memuat ketentuan yang penting bagi mengenai hukum jaminan Indonesia, bahwa hak anggungan dapat juga dibebankan atas tanah dimana rumah susun itu dibangun beserta rumah susun yang akan dibangun, sebagai jaminan kredit yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksaan pembangunan rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah susun tersebut.
57
Adrean Sutedi, 2010, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 154.
86 Keistimewaan pada lembaga ini adalah bahwa bangunan yang pada saat hak tanggungan dibebankan belum ada dapat ikut terbebani hak tanggungan, bahwa yang sudah ada juga dapat ikut terbebani. Tetapi semuanya itu dapat diperjanjikan secara tegas dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan, karena tidak terjadi dengan sendirinya seperti dalam hukum yang menggunakan asas pendekatan (accessie) Hak milik atas satuan rumah susun juga dapat dijadikan jaminan kredit pada lembaga pembiayaan. Ditegaskan kembali dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 yang menyatakan, bahwa hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan jika tanahnya hak milik atau hak guna bangunan, atau Fidusia jika tanahnya Hak Pakai atas tanah negara. Ketentuan tersebut dapat dibaca bahwa yang menjadi obyek pokok jaminan hak tanggungan bukan tanahnya melainkan hak milik atas satuan rumah susunnya, sehingga Hak Tanggungan atau Fidusia yang dibebankan meliputi selain satuan rumah susun yang bersangkutan, juga bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sebesar bagian pemilik hak milik atas satuan rumah susun yang dijaminkan. 2.5.3. Proses Pembebanan Hak Tanggungan Sesuai dengan sifat Accecoir dari hak tanggungan tersebut untuk proses pembebanan
hak
tanggungan
yang
didahului
dengan
perjanjian
yang
menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Sebagaimana tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa pemberian hak tanggungan didahului dengan
87 janji untuk memberikan hak tanggungan sebagaimana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan. Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT dalam pemberian Hak Tanggungan wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan dan dua orang saksi dari Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT itu sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik (Penjelasan Umum angka 7 UUHT). Objek hak tanggungan yang berupa hak atas tanah yakni berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan karena hak atas tanah tersebut belum bersertifikat, pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Hak atas tanah yang lama disini adalah hak yang kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi yaitu konversinya belum selesai dilaksanakan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.58 Undang-undang yang menetapkan isi akta yang sifatnya wajib untuk sahnya akta pemberian hak tanggungan (APHT). Apabila tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang wajib disebut dalam APHT maka mengakibatkan akta
58
Bambang Setijoprodjo, 1996, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 58-59.
88 yang bersangkutan menjadi batal demi hukum, hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT sehingga dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan bahwa : a. Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan; b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Apabila domisili pilihan itu tidak dicantumkan dalam APHT maka kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih; c. Penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan; d. Nilai tanggungan; e. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan, yakni meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan, atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai pemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanah. Menurut Pasal 13 UUHT, hak tanggungan yang wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan dimana letak objek hak tanggungan tersebut selambatlambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT dan segera PPAT berkewajiban untuk mengirimkan APHT yang bersangkutan dan berkas lainnya yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan untuk penerbitan sertifikat hak tanggungan untuk objek yang dijadikan jaminan tersebut. Sertifikat hak tanggungan memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sertifikat Hak Tanggungan yang diberi irah-irah dengan membubuhkan pada sampulnya kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT). Pencantuman irah-irah tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan, maka untuk itu dapat dipergunakan Lembaga Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan 258 Rbg.
89 2.5.4. Berakhirnya Hak Tanggungan Hapusnya hak tanggungan diatur dalam
Pasal 18 sampai dengan 19
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Adapun yang dimaksud dengan hapusnya hak tanggungan adalah tidak berlakunya lagi hak tanggungan. Pasal 18 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan Penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.59 Oleh karena itu suatu sebab berakhirnya atau hapusnya hak tanggungan, dengan cara yang dapat diuraikan sebagai berikut adalah : a. Dilunasinya hutang atau dipenuhinya prestasi secara suka rela oleh debitur. Disini tidak terjadi cedera janji atau sengketa. b. Debitur tidak memenuhi tepat pada waktu, yang berakibat debitur akan ditegur oleh kreditur untuk memenuhi prestasinya. Teguran ini tidak jarang disambut dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur dengan suka rela. Sehingga dengan demikian utang debitur lunas dan perjanjian utang piutang berakhir. c. Debitur cedera janji. Dengan adanya cedera janji tersebut, maka kreditur dapat mengadakan parate eksekusi dengan menjual lelang barang yang dijaminkan tanpa melibatkan pengadilan. Utang dilunasi dari
59
Rachmadi Usman, op.cit, hal. 483.
hasil
90 penjualan barang tersebut. dengan demikian, perjanjian utang piutang berakhir. d. Debitur cedera janji, maka kreditur dapat mengajukan sertifikat Hak Tanggungan ke pengadilan untuk dieksekusikan berdasarkan Pasal 224 HIR yang diikuti pelelanngan umum. Dilunasi utang dari hasil penjualan lelang, maka perjanjian utang piutang berakhir, dan disini tidak terjadi gugatan. e. Debitur cedera janji dan tetap tidak mau memenuhi prestasi maka debitur digugat oleh kreditur, yanng kemudian diikuti oleh putusan pengadilan yang memenangkan kreditur (kalau terbukti). Putusan tersebut dapat dieksekusi secara suka rela seperti yang terjadi pada cara yang kedua dengan dipenuhinya prestasi oleh debitur tanpa pelelangan umum dan dengan demikian perjanjian utang piutang berakhir. f. Debitur
tidak
mau
melaksanakan
putusan
penngadilan
yang
mengalahkannya dan menghukum melunasi utangnya maka putusan pengadilan dieksekusi secara paksa dengan pelelangan umum yang hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur, dan mengakibatkan perjanjian utang piutang berakhir. 2.6. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) 2.6.1. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah surat kuasa yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan kepada kreditur sebagai penerima hak tanggungan yang untuk membebankan hak tanggungan pada objek
91 hak tanggungan. SKMHT itu sendiri merupakan surat kuasa khusus yang memberikan kuasa kepada kreditur selaku penerima kuasa untuk membebankan hak tanggungan pada nantinya akan dilanjutkan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang disebut APHT dan surat kuasa ini wajib dibuat dengan suatu akta Notaris atau akta PPAT. Diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah untuk mengganti hipotik dan Credietverband, tentunya undang-undang hak tanggungan ini diposisikan lebih baik dari pada saat berlakunya hipotik dan Credietverband dalam arti bahwa UUHT mempunyai kepastian hukum pada eksekusi atas objek hak tanggungan.60 Ketentuan yang mengatur tentang SKMHT tersebut diatur dalam Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang penetapan batas waktu SKMHT, untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/DIR/1993 tentang Kredit Usaha Kecil yang kemudian dicabut dan diganti dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/55/LEP/DIR tanggal 8 Agustus 1998. dalam Surat Keputusan tersebut dinyatakan bahwa: “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.
60
Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hal. 308.
92 Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah menegaskan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT.61 Lebih lanjutnya lagi yang ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) bahwa “kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali kuasa tersebut telah dilaksanakan atau telah abis jangka waktunya”. Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan hanya diperkenankan dalam keadaan khusus yang terkandung dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) yaitu sebagai berikut : a. Apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri dihadapan PPAT untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan. b. SKMHT harus dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh Notaris atau PPAT. Substansi SKMHT dibatasi, yaitu hanya membuat perbuatan hukum membebankan hak tanggungan, tetapi tidak membuat hak untuk menggantikan penerima kuasa melalui pengalihan dan memuat nama serta identitas kreditur, debitur, jumlah utang dan juga objek hak tanggungan. Seperti hal yang diuraikan diatas untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa dan demi tercapainya kepastian hukum SKMHT yang dibatasi jangka waktu berlakunya. Pasal 15 ayat (3) Undang-undang hak tanggungan menentukan bahwa terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar SKMHT wajib segera diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam jangka 61
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 31.
93 waktu yang ditentukan adalah 1 bulan. Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal SKMHT yang diberikan untuk menjamin suatu kredit seperti kredit program, kredit usaha kecil, kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kredit yang sejenisnya. Peraturan yang mengatur mengenai SKMHT yang jangka waktunya ditentukan untuk kredit sejenis terdapat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria BPN. No 4 Tahun 1996 tersebut menentukan bahwa SKMHT untuk menjamin suatu perjanjian utang piutang berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan. 2.6.2. Tujuan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Tujuan
utama
dari
SKMHT
sendiri
adalah
semata-mata
untuk
membebankan hak tanggungan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan pembebannan hak tanggungan. Ditegaskan dalam Pasal 1795 KUHPerdata Jo. Pasal 15 ayat (1) Sub a Undang-Undang Hak Tanggungan yang berbunyi
“hanya
mengenai
suatu
kepentingan
tertentu”.
Surat
Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat di subtitusikan seperti kuasa-kuasa yang dibuat lainya, dalam ketentuan ini Pasal 15 ayat (1) Sub b dan harus menyebutkan dengan jelas objek hak tanggunganya, jumlah hutangnya, dan namanama identitas debitur, apabila pemberi hak tanggungan bukan debitur sendiri. Surat kuasa membebankan hak tanggungan yang dibuat dalam bentuk kuasa mutlak, dalam arti bahwa tidak berakhir dengan sebab apapun kecuali kuasa itu telah dilaksankan atau selesai masa berlakunya.
94 BAB III KEDUDUKAN JAMINAN HAK GUNA BANGUNAN DALAM PERJANJIAN KREDIT 3.1. Proses Terjadinya Hak Guna Bangunan. Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan (HGB) yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c dalam UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna bangunan yang diatur dengan peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang dimaksudkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, secara khusus diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 38. Pengertian hak guna bangunan yang tercantum dalam ketentuan Pasal 35 UUPA yang menyebutkan bahwa “Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”. Diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Ketentuan Pasal 37 UUPA yang menegaskan bahwa : Hak Guna Bangunan terjadi : a. Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara: karena penetapan Pemerintah ; b. Mengenai tanah hak milik : karena perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. Adapun dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1996 yang menegaskan bahwa “Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan, atau tanah Hak Milik”. Terjadinya 94
95 hak guna bangunan yang berdasarkan asal mula terbitnya hak guna bangunan tersebut berasal dari beberapa jenis atau peruntukan mengenai tanah-tanah yang dapat dibebani hak guna bangunan sehingga dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara. Hak guna bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 4, Pasal 9, dan Pasal 14 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999, yang diubah oleh Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 11 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011. Prosedur terjadinya HGB ini diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 48 Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999. Hak Guna Bangunan terjadi sejak keputusan pemberian HGB tersebut di daftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertifikat (Pasal 22 dan Pasal 23 PP No. 40 Tahun 1996). Jangka waktu yang bisa diperoleh hak guna bangunan atas tanah negara adalah untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 tahun. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemegang hak dalam melakukan perpanjangan atapun pembaharuan hak guna bangunan adalah : 1. Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut. 2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
96 3. Pemegang hak masih memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak. 4. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang bersangkutan. b) Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan suatu keputusan pemberian hak atas usul pemegang hak pengelolaan, yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 4 Permen Agraria/Kepala BPN nomor 3 Tahun 1999, yang diubah oleh Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011. Oleh karena itu suatu prosedur terjadinya hak guna Bangunan ini diatur dalam Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999. Hak guna bangunan ini terjadi yang sejak keputusan pemberian HGB tersebut didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah. Sebagai tanda bukti hak dari HGB tersebut yang diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (Pasal 22 dan Pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996). Hak Guna Bangunan atas tanah hak pengelolaan yang mempunyai jangka waktu pertama kali adalah 30 tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun, dan dapat diperbaharui kembali dengan jangka waktu yang ditentukan yaitu selama 20 tahun. Pembaharuan ataupun perpanjangan jangka waktu hak guna bangunan ini diatas permohonan pemegang hak guna banguanan setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak pengelolaan. Pembaharuan serta perpanjangan hak guna bangunan untuk jangka waktu hak guna bangunan yang
97 diperpanjang serta wajib dicatatkan di buku tanah pada kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. c) Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan pemberian oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta PPAT ini wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah (Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996). Bentuk dari akta PPAT ini dimuat dalam lampiran Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997. Jangka waktu hak guna bangunan ini selama 30 tahun dan tidak adanya perpanjangan jangka waktu. Namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang hak guna bangunan dapat diperbaharui dengan pemberian hak guna bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Jaminan perpanjangan atau pembaharuan hak guna bangunan, untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan hak guna bangunan dapat dilakukan sekaligus dengan uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan hak guna bangunan. Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan hak guna bangunan dan perincian uang pemasukan dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Bangunan (Pasal 28 PP No. 40 Tahun 1996).62
62
Urip Santosa, 2012, Hukum Agraria : Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, hal. 110-112.
98 Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., kantor cabang Denpasar Gajah Mada yang menerima jaminan hak guna bangunan sebagai jaminan kredit. Hak guna bangunan yang dijadikan jaminan adalah hak guna bangunan murni atau berdasarkan tanah negara, asal dari hak guna bangunan dilakukanya permohonan hak oleh badan hukum yang berupa perseroan terbatas agar dapat bisa menguasai tanah tersebut sehingga terbitnya sertifikat penguasaan berupa hak guna bangunan. Hak guna bangunan yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga lainnya seperti perorangan melalui dasar jual beli menyebabkan terjadinya beberapa kali proses peralihan dengan suatu akta secara resmi dihadapan PPAT dan didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional daerah wilayah objek hak guna bangunan tersebut dan tidak mengesampingkan dari jangka waktu yang berlaku dari pada objek jual beli hak atas tanah yang berupa hak guna bangunan sehingga peralihan hak guna bangunan secara resmi bisa beralih berdasarkan jual beli.
99 Tabel 3.1 Proses Permohonan Hak Atas Tanah.
Pemohon Menyiapkan Berkas Dari Desa dan BPN
Klasifikasi Ke Penyanding
Klasifikasi Ke Desa
Klasifikasi Ke Kepala Lingkungan
Klasifikasi Kecamatan
Klasifikasi Ke Saksi
Daftar BPN Badan Pertanahan Nasional Keluar Kartu Kuning (Dasar Pendaftaran Hak) Proses Sidang Tidak Ada Masalah
Ada Masalah
Pengumuman
Tidak Bisa Diproses Untuk Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah
Terbit Sertifikat Hak Atas Tanah
Sumber : Kantor Badan Pertanahan Kota Denpasar. Berdasarkan uraian tabel tersebut di atas bahwa dalam proses permohonan hak atas tanah dengan beberapa tahapan-tahapan yang diuraikan tersebut di atas dengan demikian menjamin hak atas tanah sudah didaftarkan maka diterbitkan sertifikat yang merupakan tanda bukti hak atas tanah itu sendiri yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut
100 ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Sertifikat tanah atau sertifikat hak atas tanah atau juga disebut sertifikat hak terdiri dari salinan buku tanah atau surat ukur yang dijilid dalam 1 (satu) sampul yang memuat : a) Data Fisik: letak, batas-batas, luas, keterangan fisik tanah dan beban yang ada di atas tanah; b) Data Yuridis: Jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan) dan siapa pemegang hak. 3.2. Kedudukan Jaminan Hak Guna Bangunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Jangka Waktunya Telah Berakhir. Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1999 dalam penerapan
5C (character,
capacity,
capital,
collateral,
condition
of
economy) demikian sangat penting bagi bank untuk menyalurkan suatu dana yang disebut pemberian kredit. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1999 yang menegaskan bahwa : “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan, Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Ketentuan seperti halnya tersebut yang kemudian diperkuat lagi perihal pentingnya penerapan prinsip 5C dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) bahwa “untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, Bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitor”.
101 Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran hutang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Tanah pada umumnya, mudah dijual dan harganya terus meningkat mempunyai tanda bukti hak yang sulit digelapkan dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberiakan hak istimewa kepada kreditor.63 Beberapa jenis hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan kredit yang pertama-tama harus dilihat adalah jenis hak atas tanah tersebut, mengingat begitu banyak jenis-jenis hak atas tanah yang ada di negara ini. Mengenai jenis-jenis hak tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Pentingnya mengetahui hak-hak atas tanah tersebut yang akan dijadikan jaminan kredit agar dapat dinilai dengan benar serta dapat mengantisipasi resikoresiko yang mungkin timbul dikemudian hari apabila terjadi masalah terhadap kredit maupun jaminan terhadap kredit yang telah diberikan. Jjenis-jenis hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan kredit antara lain adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan dan hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dalam undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Mengenai hak guna bangunan yang dijadikan objek jaminan kredit pada bank akan mempunyai resiko yang besar terhadap kredit tersebut oleh karena hak guna bangunan yang mempunyai jangka waktu terhadap penguasaan hak atas tanah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada PT. Bank Rakyat 63
Effendi Perangin, 1991, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 21.
102 Indonesia,Tbk., kantor cabang Denpasar Gajah Mada, yang menyalurkan kreditnya kepada debitur dan penjamin memberikan suatu tanah hak guna bangunan terhadap jaminan kredit yang diterimanya. Menurut Bapak I Ketut Suryadnya, dalam jabatanya selaku Supervisor Administrasi Kredit PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., Denpasar Gajah Mada, yang menyatakan setiap pemberian kredit dalam prakteknya agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan kredit yang sehat maka calon debitur harus memenuhi beberapa ketentuan dari bank yang salah satunya adalah jaminan. Jaminan yang berupa tanah sangat disukai pada lembaga perbankan oleh karena menurutnya bahwa tanah merupakan barang jaminan yang paling menjanjikan ketika debitur cidera janji, oleh karena itu pemasangan hak tanggungan sebagai wadah untuk dasar hukum dalam melakukan lelang terhadap jaminan debitur. Sehingga peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang menjadi rekanan pihak bank untuk proses pembebanan hak tanggungan pada kantor Badan Pertanahan Nasional di wilayah tempat jaminan tersebut sangat diperlukan. (wawancara tanggal 29 Agustus 2014). Hasil penelitian yang dilakukan terdapat beberapa jaminan kredit yang diterima oleh PT. Bank Rakyat Indonesia,Tbk., seperti yang diketahui dan dijelaskan hak guna bangunan yang dapat dijadikan objek jaminan kredit tersebut untuk kepentingan dan kepastian hukum yang diperoleh pihak bank adalah dengan membebani hak tanggungan pada jaminan hak guna bangunan tersebut, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 bahwa “Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
103 tanggungan”. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang terdapat ciri-ciri sebagai berikut : a. Memberikan kedudukan diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya. b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu berada. c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Hak guna bangunan yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan milik sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun serta dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak guna bangunan yang mempunyai jangka waktu akan menimbulkan suatu permalasahan ketika dijadikan jaminan terhadap suatu kredit. Sebab-sebab yang dapat menghilangkan/hapusnya hak atas tanah yang berupa hak guna bangunan terdapat pada Pasal 34 UUPA adalah sebagai berikut : a. Jangka waktunya telah berakhir. b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena sesuatu syarat tidak terpenuhi. c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir. d. Dicabut untuk kepentingan umum. e. Ditelantarkan. f. Tanahnya musnah.
104 g. Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2). Hak guna bangunan dengan jangka waktu sudah berakhir yang dijadikan jaminan kredit dari hasil penelitian pada PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk., Kantor Cabang Denpasar Gajah Mada akan mempunyai suatu dampak pada perjanjian kredit yang dibuat, karena hak guna bangunan yang mempunyai batas penguasaan dan harus disesuaikan pada perjanjian kredit ataupun jangka waktu kredit. Hak guna bangunan yang sudah berakhir oleh karena jangka waktunya sudah habis maka ketika hak guna bangunan yang dijadikan jaminan dan sudah dibebani hak tanggungan akan ikut berakhir, seperti ternyata dalam Pasal 33 ayat (2) UUHT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapusnya hak tanggungan dengan hapusnya hak guna bangunan. Hapusnya Hak Tanggungan membuat piutang kreditur tidak lagi mempunyai jaminan secara khusus berdasarkan kedudukan istimewa kreditur, melainkan hanya dijamin berdasarkan jaminan umum yang terkandung dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Keadaan seperti ini dapat merugikan kreditur selaku pihak bank dalam hal ketika debitur tersebut wanprestasi. Dalam hal berakhirnya ataupun hapusnya hak guna bangunan maka kredit yang diberikan dengan jaminan hak guna bangunan akan tidak memiliki jaminan dalam hal ini kedudukan pihak bank adalah sebagai kreditur konkurent. Kreditur konkuren adalah kreditur yang tidak mempunyai hak pengambilan pelunasan terlebih dahulu daripada kreditur lain dan kreditur konkuren itu piutangnya tidak dijamin dengan suatu hak kebendaan tertentu.
105 3.3 Kedudukan PPAT Dalam Proses Pembebanan Hak Tanggungan pada Jaminan Kredit. Dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus sesuai dengan keadaaan bidang tanah yang bersangkutan baik yang menyangkut data fisik maupun data yuridis tanah. Pencatatan data yuridis ini khususnya pencatatan perubahan data yang sudah tercatat sebelumnya maka peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sangatlah penting. Menurut Bapak I Nyoman Mustika, selaku Notaris/PPAT wilayah Kota Denpasar yang memberikan suatu arahan-arahan mengenai tugas PPAT dan hubunganya dengan akta pertanahan. Menurutnya PPAT adalah sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta dalam peralihan hak atas tanah, akta pembebanan serta surat kuasa pembebanan hak tanggungan, dan juga bertugas membantu Kepala Kantor Pertanahan Nasional dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta tertentu sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan atau bangunan yang akan dijadikan dasar bagi bukti pendaftaran tanah. (wawancara tanggal 26 Agustus 2014). Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA. Mengingat pentingnya fungsi PPAT perlu kiranya diadakan peraturan tersendiri yang
106 mengatur tentang PPAT sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, demikian juga setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dikatakan PPAT adalah “Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun”. Mengenai akta otentik untuk pembebanan hak tanggungan yaitu akta pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh PPAT dengan suatu tujuan untuk pembebanan hak tanggungan pada jaminan. Sesuai dengan sifat Accecoir dari hak tanggungan, Maka pembebanan hak tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa “Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagaimana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan”. Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT yang menyatakan bahwa “Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pemberian hak tanggungan yang wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan dan dua orang saksi. APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut
107 merupakan akta otentik (Penjelasan umum angka 7 UUHT). Terhadap objek hak tanggungan yang terdiri lebih dari satu bidang tanah dan diantaranya ada yang letaknya diluar daerah kerjanya, untuk pembuatan pemberian APHT yang bersangkutan PPAT memerlukan ijin dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi. Ketentuan bahwa setiap bidang-bidang tanah tersebut harus terletak dalam satu daerah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota (Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1961 dan Pasal 3 Keputusan Direktur Jenderal Agraria No. SK. 67/DDA/1968).64 Selanjutnya undang-undang menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya APHT. Ketentuan yang tidak mencantumkannya secara lengkap hal-hal yang wajib disebut dalam APHT maka mengakibatkan akta yang bersangkutan menjadi batal demi hukum. Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT adalah sebagai berikut: 1. Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan; 2. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Apabila domisili pilihan itu tidak dicantumkan dalam APHT maka kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih; 3. Penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan; 4. Nilai tanggungan; 5. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan, yakni meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan, atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai pemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanah.
64
Bambang Setijoprodjo, 1996, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 58-59.
108 Adapun janji-janji yang disebutkan dalam APHT sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ayat (2), antara lain: 1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/ atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; 2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; 3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji; 4. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang; 5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji; 6. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan; 7. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; 8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan dari haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum; 9. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan; 10. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan; 11. Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan tetap berada di tangan kreditur sampai seluruh kewajiban debitur dipenuhi sebagaimana mestinya.
109 Adapun janji yang dilarang untuk dilakukan, yaitu janji yang disebutkan dalam Pasal 12 UUHT, yaitu “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum”. Dilarang memberikan perjanjian pemberian kewenangan kepada debitur untuk memiliki objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji. Ketentuan tersebut diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitur dan pemberi hak tanggungan lainnya, terutama jika nilai objek hak tanggungan melebihi besarnya hutang yang dijamin. Oleh karena itu pemegang hak tanggungan dilarang untuk serta merta menjadi pemilik objek hak tanggungan jika debitur cidera janji. Pendaftaran hak tanggungan yang tercantum sepenuhnya dalam Pasal 13 UUHT, wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT. PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan berkas lainnya yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pengiriman oleh PPAT berarti akta dan berkas lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. PPAT wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman dengan memperhatikan kondisi di daerah dan fasilitas yang ada, serta selalu berpedoman pada tujuannya untuk didaftarkannya hak tanggungan itu secepat mungkin. Berkas lain yang dimaksud di sini adalah meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek hak tanggungan, dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/ atau surat-surat keterangan mengenai objek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan ketentuan tersebut
110 karena jabatannya. Sanksi atas pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan PPAT. Pendaftaran hak tanggungan dilakukan pada Kantor Pertanahan atas dasar data di dalam APHT serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah hak tanggungan. Bentuk dan isi buku tanah hak tanggungan telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1997.65 Dibuatnya buku tanah tersebut, hak tanggungan lahir dan kreditur menjadi kreditur pemegang hak tanggungan, dengan kedudukan mendahului dari krediturkreditur lain. Menurut Pasal 13 ayat (4) UUHT bahwa : Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Ketentuan demikian tanggal pembuatan buku tanah hak tanggungan adalah hari ke-7 setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran hak tanggungan. Pembuatan buku tanah jatuh pada hari ke-7 pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian tanggal buku tanah itu dimaksudkan agar pembuatan buku tanah hak tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum.
65
J. Satrio, 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 143.
111 Hak atas tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat terlebih dahulu sebelum dilakukan pendaftaran hak tanggungan. Waktu hari ketujuh yang ditetapkan sebagai tanggal buku tanah hak tanggungan tersebut dalam hal yang demikian, dihitung sejak selesainya pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sertifikat hak tanggungan diberi irah-irah dengan membubuhkan pada sampulnya kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT). Pencantuman irah-irah tersebut pada sertifikat hak tanggungan, maka untuk itu dapat dipergunakan Lembaga Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan 258 Rbg.
112 BAB IV UPAYA HUKUM BANK TERHADAP PERJANJIAN KREDIT YANG BELUM BERAKHIR DENGAN JAMINAN KREDIT YANG SUDAH BERAKHIR
4.1 Jaminan Hak Atas Tanah Sebagai Objek Hak Tanggungan. Menurut Paul Stepen Latimer, “Land means the solid parts of the earth’s surface and includes houses, farms, and bush. Land is permanent and it cannot be hidden or moved. It can be improved or degraded but cannot be destroyed. Land is the opposite of sea, water and air”.66 (Tanah adalah bagian padat dari permukaan bumi dan termasuk rumah, peternakan, dan semak. Tanah bersifat permanen dan tidak dapat disembunyikan atau dipindahkan. Hal ini dapat ditingkatkan atau diturunkan tetapi tidak dapat dihancurkan. Tanah adalah kebalikan dari laut, air dan udara). Menurut ketentuan yang terkandung di dalam UUPA mengenai hak atas tanah yang dapat dijadikan suatu jaminan utang pada lembaga perbankan atau lembaga keuangan lainnya dengan dibebani hak tanggungan adalah Hak Milik, HGU dan HGB, demikian yang terkandung menurut Pasal 25, 33, dan 39 UUPA. Hak Milik demikian pula yang sudah diwakafkan, dan tanah-tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadahan dan keperluan suci lainnya, walaupun didaftar, karena menurut sifat hak atas tanah tersebut dan tujuannya yang tidak
66
Paul Stepen Latimer, 2001, Australian Bussiness Law, CCH Australia Limited, Australia, hal. 70. 112
113 dapat dipindahtangankan, maka tidak dapat dibebani hak tanggungan (Penjelasan Umum UUHT). Maka obyek-obyek hak tanggungan adalah : a) Hak Milik; b) Hak Guna Usaha; c) Hak Guna Bangunan; d) Hak
Pakai
atas
tanah
Negara
yang
menurut
sifatnya
dapat
dipindahtangankan; e) Hak Pakai atas Hak Milik. Asas perlekatan yang dianut oleh BW berbeda halnya dengan hak tanggungan yang menganut asas pemisahan horizontal. UUHT bisa dikatakan menganut asas pemisahan horizontal karena hak tanggungan adalah derifatif dari hukum agraria yang berlandaskan suatu hukum adat. Diketahui dalam hukum tanah yang berdasarkan hukum adat itu sendiri yang menganut asas pemisahan horizontal, sedangkan asas perlekatan yang terdapat dalam BW yang terkandung dalam Pasal 1165 BW yang menyatakan bahwa “Setiap hipotik meliputi juga segala apa yang menjadi satu dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan”. Seperti hal yang tercantum dalam ketentuan pasal tersebut terhadap tanah tanpa wajib diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pemiliknya segala benda yang ada kaitannya dengan tanah yang akan baru timbul dikemudian hari demi hukum terbebani pula dengan hipotik yang telah dibebani terhadap hak atas tanah tersebut. Pengertian mengenai hipotik juga terkandung didalam Pasal 1165 BW yang memberikan suatu penjelasan mengenai hipotik meliputi juga segala
114 perbaikan dikemudian hari dari benda yang dibebani hipotik tersebut. Hukum adat nasional yang didasarkan pada hukum adat yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Segala benda yang melekat pada tanah merupakan satu kesatuan dengan tanah yang sudah dibebani dengan hak tanggungan sehingga dengan sendirinya terbebani pula dengan hak tanggungan sebagai hak yang mlekat pada hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut yang penjelasannya terdapat dalam UUHT yang berkaitan dengan bangunan, tanaman dan hasil karya tetap merupakan suatu kesatuan dengan tanah yang sudah dibebani dengan hak tanggungan. Atas dasar dari sifat hukum adat itu sendiri, dalam UUHT terkait dengan asas pemisahan horizontal UUHT yang menyatakan bahwa pembebanan hak tanggungan atas tanah, memungkinkan meliputi segala benda-benda yang terkandung didalamnya seperti yang dimaksud tersebut. Prakteknya hal tersebut bisa dibenarkan sepanjang benda-benda yang melekat tersebut merupakan adalah satu kesatuan dengan tanah serta ikut dengan untuk dijadikan jaminan, hal tersebut dengan tegas dinyatakan didalam Pasal 4 ayat (4) UUHT. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUHT menyebutkan bahwa : Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebananya dengan tegas dinyatakan didalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan. Penjelasan dalam Pasal 4 ayat (5) UUHT, terkait dengan pemberian hak tanggungan atas benda-benda berkaitan dengan hak atas tanah bisa dilakukan oleh kuasa pemegang haknya, dalam pemberian kuasa tersebut wajib dilakukan
115 oleh para pihak yang tertuang dalam suatu akta otentik. Dalam UUHT tidak memakai istilah mengenai “Bangunan yang berada diatas tanah tersebut” akan tetapi dengan istilah “Bangunan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut” dimaksudkan supaya apa yang dibebani oleh hak tanggungan itu sendiri juga termasuk bangunan-bangunan yang ada dibawah permukaan tanah itu sendiri yang pada saat dikemudian hari adanya banyak dilakukan perubahan-perubahan terhadap tanah tersebut. Penjelasan dalam Pasal 4 ayat (4) UUHT mengenai basement, adalah lantai yang berada dibawah tanah dari gedung-gedung yang berada diatasnya. Ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) UUHT, adalah adanya suatu ketentuan-ketentuan yang wajib selalu diperhatikan terkait sahnya hak tanggungan itu sendiri agar Hak Tanggungannya dapat berikut bangunan tanaman dan hasil karya diatas tanah itu. Syarat-syarat tersebut yang tercantum adalah sebagai berikut : a) Bangunan, tanaman, dan hasil karya harus merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut; b) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut merupakan milik pemegang hak atas tanah, agar hak tanggungan yang dibebankan atas hak atas tanah tersebut terbebankan pula pada bangunan, tanaman dan hasil karya di atas tanah itu, haruslah pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam APHT yang bersangkutan; c) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, haruslah pembebanan hak tanggungan atas benda-benda tersebut dilakukan dengan adanya penandatanganan serta
116 pada APHT yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik. Terkait dengan hak guna bangunan yang memiliki batas jangka waktu penguasaan dan dapat pula dijadikan jaminan kredit dan dibebani hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA. Terdapat didalam Pasal 50 ayat (2) UUPA, mengenai HGB diatur dengan peraturan perundangan yang mengaturnya dan berkaitan dengan hak atas tanah itu sendiri. Peraturan terkait yang dimaksud yakni PP No. 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Ketentuan Pasal 19 sampai dengan Pasal 38 yang mengatur tentang subyek dari hak guna bangunan sedangkan didalam Pasal 37 UUPA menyatakan bahwa : Hak guna bangunan terjadi : a) mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara : karena penetapan Pemerintah; b) mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. Sedangkan dalam Pasal 21 PP No. 40/1996 yang menegaskan bahwa “Tanah yang dapat diberikan dengan HGB adalah tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut HPL) dan tanah Hak Milik”. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 29 PP No. 40/1996 mengatur tentang jangka waktu HGB sesuai dengan asal tanahnya, seperti yang akan dijelaskan sebagai berikut :
117 a) HGB atas tanah Negara. HGB ini jangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. b) HGB atas tanah HPL. HGB ini jangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. c) HGB atas tanah Hak Milik. HGB ini jangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan jangka waktu, namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HGB dapat diperbarui dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUHT, yang dapat menjadi selaku obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah yang telah terdaftar sehingga dikemudian hari bisa dipindahtangankan malalui jual beli, disamping hal tersebut dalam Pasal 4 ayat (3) UUHT juga dimungkinkan untuk pemberian hak tanggungan dapat pula untuk menjadikan jaminan terhadap bangunan, tanaman, dan hasil karya yang terkandung dalam hak guna bangunan yang menjadi satu kesatuan dengan tanah tersebut. Oleh karena itu merupakan konsekuensi atas dianutnya oleh UUHT terhadap asas pemisahan horizontal sebagaimana telah diuraikan tersebut diatas. Terhadap pemilik tanah dan pemilik bangunan (dan/atau tanaman dan/atau hasil karya) bisa tentu sama dan juga tidak memungkiri untuk bisa pula berbeda, jika pemilik tanah adalah debitur ataupun pihak ketiga pemberi
118 dari hak tanggungan, maka benda-benda yang terkait dengan tanah tersebut bisa menjadi milik debitur ataupun pihak ketiga pemberi hak tanggungan. 67 Terjadi penghapusan terhadap benda-benda yang berkaitan dengan hak atas tanah seperti bangunan yang berdiri diatas tanah tersebut seperti halnya hak guna bangunan tentunya ada kaitannya dengan jangka waktu hak atas tanah dimana bangunan yang berdiri diatas tanah tersebut. Ketentuan yang menyatakan apabila hak atas tanah tersebut hapus HGB yang melekat pada tanah tersebut yang jangka waktunya telah berakhir yang akan mengakibatkan tanah tersebut menjadi tanah negara maka bangunan tersebut ikut pula menjadi kekuasaan negara. Ketentuan Pasal 37 PP No. 40/1996 menyetakan bahwa : a) Apabila HGB atas tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, maka bekas pemegang HGB wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak hapusnya HGB; b) Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan, maka bekas pemegang HGB diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden; c) Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas biaya bekas pemegang HGB; d) Jika bekas pemegang HGB lalai dalam memenuhi kewajibannya, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas HGB itu dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang HGB; Sedangkan dalam ketentuan Pasal 38 PP No. 40/1996 yang menyatakan dengan tegas bahwa “Apabila HGB atas tanah HPL atau atas tanah Hak Milik hapus, maka bekas pemegang HGB wajib menyerahkan tanahnya kepada
67
Hermina, 2007, Praktek Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan di Kota Samarinda, Tesis, Universitas Diponogoro Semarang, hal. 20.
119 pemegang HPL atau pemegang Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian pemberian HGB atas tanah Hak Milik”. Mengingat terhadap konsekuensi tersebut diatas maka oleh karena itu diharapkan, kreditur pemegang hak tanggungan yang mana hak atas tanah yang diagunkan adalah HGB yang turut pula meliputi bangunan dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut lebih berhati-hati dan memperhatikan jangka waktu HGB tersebut, karena bilamana HGB yang merupakan hak atas tanah yang mempunyai jangka waktu yang terbatas menjadi hapus maka akan sangat merugikan kreditur pemegang hak tanggungan karena disamping hak atas tanah (dalam hal ini HGB) menjadi hapus, bangunan dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut turut pula hapus. Keadaan seperti ini tentunya sangat dihindari oleh kreditur, sebab hak tanggungan merupakan jaminan kebendaan yang berfungsi sebagai sarana pengaman terhadap penyaluran dana oleh kreditur kepada debitur. 4.2. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Dasar Pemberian Hak Tanggungan. Sebelum berlakunya UUHT, penggunaan surat kuasa dalam membebankan hipotek (SKMH) seringkali dipergunakan untuk menunda pembebanan hipotek atas persil jaminan. Banyak kreditur yang memegang SKMH yang hanya akan dilaksanakannya apabila adanya gejala debitur tersebut wanprestasi. Walapun resiko belum dibebankanya hipotek itu ditanggung sepenuhnya oleh kreditur (pemegang jaminan), sebab jaminan yang demikian itu tidak memberikan hak separatist dan kedudukan yang diutamankan kepada pemegang jaminan.
120 Pada asasnya pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan dan dihindari sendiri oleh pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan APHT dihadapan PPAT. Bilamana hal tersebut benar-benar diperlukan yaitu karena suatu sebab tidak dapat sendiri dihadapan PPAT, maka diperkenakan menggunakan surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT). Keadaan seperti itu pemberi hak tanggungan dapat menunjuk pemegang hak tanggungan atau pihak lainya sebagai kuasanya untuk mewakilinya dalam pemberian hak tanggungan. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan tersebut dituangkan dalam SKMHT. SKMHT ini merupakan surat kuasa khusus yang ditujukan kepada pemegang hak tanggungan atau pihak lain untuk mewakili dari pemberi hak tanggungan untuk hadir dihadapan PPAT untuk melakukan pembebanan hak tanggungan, berhubung pemberi hak tanggungan tidak dapat datang menghadap sendiri untuk melakukan tindakan pembebanan hak tanggungan di hadapan PPAT. 4.2.1. Persyaratan SKMHT dibuat secara Otentik Ketentuan dalam Pasal 1171 ayat (2) KUHPerdata yang menentukan bahwa “Pemberian kuasa untuk memberikan hipotek harus dibuat dengan akta otentik” (dalam arti kata akta notariil) maka kausa untuk membebankan hak tanggungan juga harus dibuat dengan suatu akta otentik yang pembuatanya yang menurut ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata suatu akta otentik apabila dapat memenuhi 3 persyaratan utama yaitu : a. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum ; b. Dibuat dalam bentuk yang ditentuka oleh undang-undang;
121 c. Pejabat umum yang oleh siapa pembuatan akta ditangani, harus memiliki kewenangan untuk itu di tempat dimana akta dibuat. Syarat-syarat tersebut bersifat komulatif. Oleh karena itu suatu akta yang dibuat tanpa memenuhi salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak dapat diakui sebagai akta otentik akta tersebut akan otomatis masuk dalam katagori akta bawah tangan.68 Mengenai bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dapat dilihat dalam rumusan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa “SKMHT harus dibuat dalam bentuk akta Notaris atau akat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)”. SKMHT yang tidak dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT tidaklah berlaku sebagai SKMHT. Selanjutnya mengenai ketentuan materiil yang harus dianut dalam SKMHT juga dapat ditemukan dalam ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT antara lain bahwa : Surat Kuasa membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Tidak membuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membenakan Hak Tanggungan. b. Tidak membuat kuasa substitusi. c. Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. Syarat otentik untuk akta kuasa membebankan hak tanggungan kiranya sama dengan kuasa membebankan hipotek didasarkan atas prinsip pemberian perlindungan kepada pemberi hak tanggungan terhadap tindakan yang gegabah,
68
Paulus J. Soepratignja, 2012, Teknik Pembuatan Akta Kontrak Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal. 19.
122 karena tindakan memberikan kuasa membebankan hak tanggungan biasa membawa konsikuensi yang besar sekali, yaitu ujung-ujungnya bisa kehilangan hak atas tanah tersebut. Kewajibkan suatu surat kuasa dengan akta otentik maka sebelum ditandatanganinya akta tersebut maka ia akan mendapat penjelasan dan pemahaman tentang akta yang akan ditandatanganni tersebut oleh pejabat umum. Kewenangan PPAT dalam membuat akta kuasa membebankan hak tanggungan didasarkan pada kedudukan PPAT sebagai pejabat umum sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 angka 4 UUHT dan berdasarkan angka 7 Penejelasan Umum UUHT yang antara lain menyatakan : Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku PPAT adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lainya dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan sebagai bukti dilakukanya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. Dalam kedudukanya sebagai yang disebutkan di atas, maka akta-akta yang dibuat PPAT merupakan akta autentik. Pembuatan SKMHT selain kepada Notaris, ditugasnkan juga kepada PPAT yang keberadaanya sampai wilayah kecamatan, dalam rangka memudahkan pemberian pelayanan kepada pihak-pihak yang memerlukan. Dalam rangka memenuhi asas spesialitas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c UUHT, maka dalam SKMHT juga dipersyaratkan atau diwajibkan mencantumkan secara jelas unsur-unsur pokok-pokok dalam pembebanan hak tanggungan. Menurut penjelasanya, hal ini sangat diperlukan untuk kepentingan perlindungan hak tanggungan. Ketentuan ini menentukan bahwa SKMHT mencantumkan secara jelas hal-hal sebagai berikut : a. Objek Hak Tanggungan; b. Jumlah Utang sesuai dengan yang diperjanjikan;
123 c. Nama serta identitas kreditor; d. Nama serta identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan. 4.2.2. Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Suatu kuasa bisa dibatasi jangka waktunya, bukan merupakan hal yang aneh mengingat berdasarkan kebebasan berkontrak orang boleh memperjanjikan apa saja, asal tidak bertentangan dengan hukum yang bersifat memaksa, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan. Namum dalam hal ini pembatasanya tentunya justru dari undang-undang dan bisa kita duga bahwa pembatasan waktu yang dimaksud agar hak tanggungan benar-benar dilaksanakan pemasanganya dan tidak dibiarkan tetap dengan bentuk kuasa. Suatu perkataan lainya hak tanggungan pada asasnya
wajib
untuk
dipasang
(dilaksanakan
pembebanan
Hak
Tanggungannya). Kuasa untuk membebankan hak tanggungan akan berakhir karena jangka waktu penggunaan SKMHT juga telah abis. Mengenai jangka waktu penggunaan SKMHT ini lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) UndangUndang Hak Tanggungan. Penggunaan SKMHT pada prinsipnya diberikan jangka waktu adalah selama 1 bulan bila jaminan yang diberikan tersebut berupa tanah/persil yang sudah terdaftar, jika persil/tanah tersebut belum terdaftar maka SKMHT berlaku untuk jangka waktu sampai dengan 3 bulan. Ketentuan lainya yang juga mengatur mengenai jangka waktu dari SKMHT yang memberikan jangka waktu sesuai dengan ketentuan kredit-kredit tertentu seperti yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (5) bahwa : “Ketentuan
124 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal surat kuasa memberikan hak tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundan-undangan yang berlaku”. Surat kuasa membebankan hak tanggungan yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenisjenis kredit usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993 tersebut dibawah ini berlaku sampai saat berakhirnya masa berlaku perjanjian pokok yang bersangkutan adalah antara lain : 2.
1. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang menjamin meliputi: a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa; b. Kredit Usaha Tani; c. Kredit Kepada Koperasi Primer untuk anggotanya. 2. Kredit Pemilikan Rumah yang diberikan untuk pengadaan perumahan, yaitu: a. Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah unit, rumah sederhana atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 M2 (dua ratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70M2 (tujuh puluh meter persegi); b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan kapling siap bangun (KSB) dengan luas tanah 54 M2 (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 M2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya;
125 c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana dimaksud huruf a dan b. 3. Kredit produktif lainya yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafond kredit tidak lebih Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) antara lain : a. Kredit Umum Pedesaan (BRI); b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh bank pemerintah). Jangka waktu berlakunya SKMHT perlu diperhatikan terhadap pemegang hak tanggungan, karena akan menimbulkan resiko terhadap tidak dapatnya SKMHT ditindaklanjuti menjadi hak tanggungan. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan bank selaku penerima hak tanggungan tidak dapat melakukan eksekusi terhadap agunan yang diserahkan oleh debitur ketika debitur wanprestasi. 4.2.3. Pendaftaran Pemberian Hak Tanggungan. Sehubungan dengan pendaftaran hak tanggungan atas tanah, yang merupakan salah satu bentuk pandaftaran tanah perlu diketahui bahwa sebelum berlakuanya Undang-Undang Pokok Agraria, sistem pendaftaran tanah yang diberlakukan adalah registration of dead, dengan registration of dead dimaksudkan bahwa yang didaftarkan adalah akta yang memuat perbuatan hukun yang melahirkan hak atas tanah, termasuk di dalamnya eigendom Hak Milik sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Sistem pendaftaran tanah yang demikian jelas menyulitkan, dan memakan waktu yang lama dan banyak manakala seseorang bermaksud untuk mencari kejelasanHak Milik atas benda tidak bergerak, termasuk ada tidaknya beban-
126 beban yang diletakkan di atasnya. Menciptakan suatu sistem pendaftaran tanah, yang selanjutnya disebut dengan registration of titles, dalam system registration of titles ini, setiap penciptaan hak baru, peralihan hak, termasuk pembebanannya harus dapat dibuktikan dengan suatu akta. Akta tersebut tidaklah didaftar, melainkan haknya yang dilahirkan dari akta tersebut yang didaftarkan. Oleh karena itu akta hanyalah dipergunakan sebagai sumber data untuk memperoleh kejelasan mengeani terjadinya suatu hak, peralihan hak atau pembebanan hak. Sehubungan dengan registration of title ini, sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan merupakan alat bukti sempurna bagi adanya hak atas tanah, perubahan atau adanya pembebanan hak atas tanah tersebut, serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapa juga kecuali jika terbukti telah terjadi pemalsuan. Ketentuan seperti ini menganut stelsel positif. Selain stelse positfl dianut dalam registrartion of title ini, juga dikenal stelsel negative. Dalam stelsel positif, pemegang sertifikat hak atas tanah dilindungi, dalam stelsel negative, masih dimungkinkan proses pembuktian lain, selain dengan sertifikat hak atas tanah. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria tersebut, secara umum dapat dikatakn bahwa “Pendaftaran dilakukan dengan tujuan untuk memberikan alat bukti yang kuat”. Hal ini menunjukkan pada kita semua bahwa dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang dianut dalam sistem pendaftaran yang dengan registration of title stelsel negative yang mengandung unsur positif. Proses pemberian hak tanggungan yang mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak tanggungan dari debitur kepada kreditur
127 sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan hak tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur yang bersangkutan (kreditur preferen) daripada kreditur-kreditur lain (kreditur konkurent) (lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan) bahwa “Pemberian Hak Tanggungan adalah sebagai jaminan pelunasan hutang debitor kepada kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan”. Pemberian hak tanggungan harus dan hanya dapat diberikan melaui Akta Pembebanan Hak Tanggungan, yang dapat dilakukan : 1. Secara langsung oleh yang berwenang untuk memberikan Hak Tanggungan, berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Hak Tanggungan. 2. Secara tidak langsung untuk melakukan dalam bentuk pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Untuk ini harus memenuhi ketentuan pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional No.4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kreditkredit tertentu. Kewajiban pendafaftaran hak tanggungan dapat ditemukan rumusannya dalam Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang menyatakan bahwa : 1. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Perrtanahan 2. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkat lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
128 3. Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah atas tanh yang menjai objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. 4. Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersankutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. 5. Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Persyaratan Pendaftaran Hak Tanggungan yang mesti di penuhi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan. Persyaratan pendaftaran hak tanggungan mengenai kelengkapan surat-surat dan dokumen sesuai dengan status tanah yang akan dibebani hak tanggungan adalah sebagai berikut : 1. Tanah sudah bersertipikat atas nama pemberi hak tanggungan : a) Surat pengantar dari PPAT yang bersangkutan; b) Asli Sertipikat Hak Atas Tanah; c) Asli akta pemberian Hak Tanggungan; d) Pelunasan biaya pendaftaran Hak Tanggungan; e) Bukti dipenuhinya persyaratan administrasi yang didasarkan pada minimal peraturan tertulis tingkat Menteri atau disetujui Menteri. 2. Tanah yang sudah bersertipikat sudah ada akta peralihan haknya dan belum terdaftar ke atas nama pemberi Hak Tanggungan : a) Surat pengantar dari PPAT yang bersangkutan; b) Asli Sertipikat Hak Atas Tanah;
129 c) Asli bukti terjadinya peristiwa/perbuatan hukum beralihnya hak atas tanah ke atas nama pemberi hak tanggungan misalnya surat Keterangan Waris, akta Pembagian Harta Waris atau pemindahan hak atas tanah; d) Asli akta pemberian Hak Tanggungan; e) Bukti
dipenuhinya
persyaratan
teknis/administrasi
misalnya
apabila diperlukan untuk memenuhi PMA. Nomor 14 Tahun 1961, SK.50/dda/1970, biaya pendaftaran peralihan hak atas tanah, biaya pendaftaran Hak Tanggungan dan syarat administrasi lain sesuai ketentuan yang berlaku, dimaksud 1e. 3. Sebagian tanah yang sudah bersertipikat, adapun persyaratan yang perlu dipergunakan dalam pemisahan adalah : a) Surat pengantar dari PPAT yang bersangkutan. b) Asli akta pemberian Hak Tanggungan. c) Sertipikat atas nama pemberi Hak Tanggungan. d) Bukti
dipenuhinya
persyaratan
teknis/administrasi
misalnya
apabila diperlukan untuk memenuhi PMA. Nomor 14 Tahun 1961, SK.50/dda/1970, biaya pendaftaran peralihan hak atas tanah, biaya pendaftaran Hak Tanggungan dan syarat administrasi lain sesuai ketentuan yang berlaku, dimaksud 1e. 4. Tanah bekas milik adat belum bersertipikat (melalui penegasan hak/konversi) : a) Surat pengantar dari PPAT yang bersangkutan.
130 b) Asli akta pemberian Hak Tanggungan. c) Surat-surat bukti hak/jenis hak dimaksud: -
Pasal II Ketentuan Konversi UUPA.
-
Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961.
-
PMPA Nomor 2 Tahun 1962
-
Permeneg/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1995.
-
Pasal 10 ayat (3) beserta penjelasannya Undang-Undang Hak Tanggungan.
d) Gambar situasi/Surat Ukur bidang tanah dimaksud. e) Hasil pengumuman dimaksud Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 selama 2 (dua) bulan, tanpa sanggahan, terhadap hasil penyelidikan riwayat tanah dengan alatalat pembuktian dimaksud pada c dan d. f) Bukti
dipenuhinya
persyaratan
teknis/administrasi
misalnya
apabila diperlukan untuk memenuhi PMA. Nomor 14 Tahun 1961, SK.50/dda/1970, biaya pendaftaran peralihan hak atas tanah, biaya pendaftaran Hak Tanggungan dan syarat administrasi lain sesuai ketentuan yang berlaku, dimaksud 1e.
4.3. Upaya Bank Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jangka Waktu Jaminan Yang Sudah Berakhir. Perjanjian kredit merupakan perjanjian secara khusus baik oleh bank selaku kreditur maupun nasabah selaku debitur, maksudnya perjanjian kredit merupakan perjanjian obligatoir. Pada asasnya janji menimbulkan perikatan.
131 Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan, sekalipun buku III BW mengatur tentang perikatan, tetapi tidak ada satu pasal pun yang menguraikan apa yang dinamakan perikatan secara khusus. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu. Oleh karena itu akibat yang dibuat ketika suatu perjanjian menentukan bahwa suatu perjanjian, yang dibuat sesuai dengan undang-undang terhadap para pihak, berlaku seolah-olah perjanjian itu adalah undang-undang.69 Ketentuan Pasal 1233 BW menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian baik karena undang-undang”. Ketentuan tersebut dipertegas oleh rumusan ketentuan Pasal 1313 BW, yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih” dengan demikian jelaslah perjanjian melahirkan perikatan. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 1233 BW yang merumuskan bahwa BW hendak menyatakan diluar perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan, berarti perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian.
69
Tan Thong Kie, 2011, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 411.
132 Perjanjian kredit merupakan perjanjian secara khusus baik oleh bank selaku kreditur maupun nasabah selaku debitur, maksudnya perjanjian kreditur merupakan perjanjian obligatoir lazimnya selalu dilengkapi dengan perjanjian kebendaan, kedudukan bank selaku kreditur akan lebih unggul dari kreditur yang lain, karena pelunasan pinjaman yang telah disalurkan, harus lebih didahulukan dari pembayaran lainnya. Pola semacam ini jelas dapat mengamankan dana pinjaman yang telah disalurkan oleh pihak bank, karena dapat diharapkan kembali utuh beserta bunganya, dan sejalan pula dengan prinsip kehati-hatian yang dianut dunia perbankan sebagai landasan hidupnya. Perbankan yang sebagai lembaga keuangan yang berfungsi penyedia suatu dana dan pemberi jasa di bidang keuangan dalam prakteknya sering berhadapan dengan kredit bermasalah (kredit macet), sehingga kinerja perbankan tidak selalu berjalan dengan lancar dan sesuai yang dikehendakinya. Beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas yang disebabkan adanya suatu gangguan dalam perputaran uang (cash flow) sehingga bank tersebut harus diawasi bahkan ditutup oleh Bank Indonesia selaku bank sentral. Bank Indonesia sebagai pelaksana fungsi the Lender of the Last Resort (LoLR) melalui pemberian berupa fasilitas kredit kepada bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek dan yang dijamin dengan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan namun di dalam praktek bank tidak selalu berhasil menyelesaikan kredit yang macet atau bermasalah tersebut. Posisi bank yang sebagai kreditur tidak selamanya memberikan keuntungan dalam rangka pelunasan piutangnya disebabkan oleh berbagai
133 kendala-kendala yang terjadi. Posisi bank bisa sebagai kreditur separatis, kreditur preferen atau kreditur konkurent bergantung pada kasus dan posisi yang diduduki berhadapan dengan kreditur lainnya. Perikatan antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur bisa diikat dengan perikatan hak tanggungan (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996), Hak Fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999), Gadai, Hipotik (KUHPerdata Pasal 1133) dan bentuk perikatan lainnya. Perikatan antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur tidak selalu dipasang dengan hak tanggungan, tetapi perikatan tersebut sering menggunakan cara lain sesuai dengan kesepakatan kreditur dan debitur. Sehingga jaminan yang diberikan kepada bank bisa berupa dokumen pengiriman barang, penerimaan barang atau atas dasar pemeriksaan terhadap stok barang yang ada di perusahaan, atau barang yang sedang diproduksi oleh perusahaan. Perikatan yang terakhir ini apabila ada permasalahan gagal bayar oleh debitur menyebabkan posisi kreditur tidak terjamin disebabkan kreditur bukan merupakan kreditur preferen atau kreditur separatis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk., Kantor Cabang Denpasar Gajah Mada, yang menerima jaminan kredit berupa hak guna bangunan yang jangka waktunya telah berakhir sedangkan perjanjian kredit yang menjadi perjanjian pokoknya belum berakhir. Terhadap jaminan hak guna bangunan jangka waktu sudah berakhir yang sedang dalam proses perpanjangan jangka waktu hak atas tanah yang berupa hak guna Bangunan tersebut demikian tercantum dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA yang
134 berbunyi “Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunanya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun”. Perpanjangan jangka waktu yang dilakukan terhadap hak guna bangunan tersebut yang sudah dibebani hak tanggungan akan mempengaruhi terhadap eksistensi hak tanggungan sebagai hak eksekutorial, oleh karena dalam proses perpanjangan jangka waktu hak guna bangunan hak tanggungan yang melekat pada objek jaminan akan hapus. Hapusnya hak tanggungan dalam jaminan hak guna banggunan yang masih dalam proses perpanjangan jangka waktu akan mengikibatkan pihak bank selaku kreditur tidak mempunyai suatu jaminan kebendaan terhadap kredit yang telah disalurkan tersebut. Kedudukan bank selaku kreditur yang tidak mempunyai jaminan adalah selaku kreditur konkurent yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata bahwa “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan” dan Pasal 1132 KUHPerdata yakni : Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbanganya itu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kreditur konkurent adalah kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lainnya secara proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari hasil penjualan harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Istilah yang digunakan dalam bahasa Inggris
135 untuk kreditur konkurent adalah unsecured creditor. Kreditur ini memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitur, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutangnya kepada kreditur pemegang hak jaminan dan para kreditur dengan hak istimewa. Menurut Bapak Gde Winata, yang menjabat selaku Pimpinan Cabang PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., Denpasar Gajah Mada, memberikan penjelasan mengenai keistimewaan jaminan berupa tanah yang menjadi jaminan kredit akan memberikan tambahan terhadap keyakinan bank mengenai kewajiban debitur. Maka dari itu hak guna bangunan yang dijadikan obyek jaminan kredit ketika jangka waktunya sudah berakhir akan berpengaruh terhadap perjanjian kredit yang belum berakhir. Perpanjangan jangka waktu yang harus dilakukan pemilik obyek jaminan menjadi hal yang paling utama untuk memberikan perpanjangan jangka waktu terhadap hak guna bangunan tersebut. (wawancara tanggal 1 September 2014). Berdasarkan hal tersebut yang menjadi upaya pihak bank ketika berlangsungnya perpanjangan jangka waktu jaminan yang menjadi jaminan kredit pada bank perseroan terbatas PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk., kantor cabang Gajah Mada Denpasar adalah melakukan perikatan kuasa membebankan hak tanggungan oleh karena proses hak guna bangunan masih dalam proses perpanjangan jangka waktu yang dikenal dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tangguan (SKMHT). Setelah selesainya perpanjangan jangka waktu terhadap jaminan tersebut maka akan dilakukan suatu proses pemasangan hak tanggungan
136 kembali oleh pihak bank yang didasari oleh Surat Kuasa Membebankan Hak Taggungan (SKMHT) tersebut. Setidaknya SKMHT dapat memberikan suatu jembatan perlindungan selama proses perpanjangan waktu hak guna bangunan terhadap bank sebagai kreditur dengan kondisi jaminan berupa hak guna bangunan yang sudah berakhir, akan tetapi menurut peraturan yang berlaku SKMHT dapat pula berlaku sampai batas waktu dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit tertentu yang ditentukan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan
Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan. Menurut Bapak Wayan Setia Darmawan, selaku Notaris/PPAT di Kota Denpasar, dalam pengikatan berdasarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk jaminan yang berupa hak guna bangunan terlebih dahulu harus melakukan pengecekan terhadap objek jaminan sehingga bukti objek yang berupa sertifikat sesuai dengan data-data yang ada di Kantor Pertanahan. Dalam halnya apabila hak guna bangunan yang sudah dibebankan hak tanggungan ketika akan diperoses untuk perpanjangan jangka waktu maka harus dan wajib dilakukan untuk pembersihan atau peroyaan terhadap hak tanggungan tersebut, apabila proses dari perpanjangan sudah selesai akan kembali dibebani hak tanggungan untuk mengcover atau menjamin dari kredit yang diterima. Disinilah fungsi dari SKMHT selain untuk dasar pembuatan hak tanggungan juga sebagai jembatan untuk dasar hukum dan kepastian hukum yang diterima oleh pemegang jaminan ketika hak tanggungan yang melakat pada objek jaminan hapus karena proses
137 perpanjangan jangka waktu yang bukan karena pelunasan hutang. Terkait dengan hal tersebut diatas maka para pihak ataupun pihak bank dan debitur ataupun penjamin harus memberikan suatu persetujuan ketika terjadinya permasalahanpermasalahan mengenai kaitannya dengan perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak karena perjanjian merupakan suatu undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. (wawancara tanggal 30 Agustus 2014).
138 BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan. Berdasarkan pembahasan atas permasalahan tesis ini maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut antara lain : 1. Kedudukan kreditur dalam hal jaminan berupa hak guna bangunan yang sudah berakhir menjadi kreditur konkurent. Pemegang hak tanggungan didalam pemberian kredit bank dengan jaminan hak guna bangunan yang mempunyai batas penguasaan dan harus sesuai dengan perjanjian kredit ataupun jangka waktu kredit. Hak guna bangunan yang sudah berakhir oleh karena jangka waktunya penguasaan sudah habis maka ketika hak guna bangunan yang dijadikan jaminan dan sudah dibebani hak tanggungan akan ikut berakhir ketika jangka hak guna bangunan sudah berakhir. Oleh karena itu hapusnya hak tanggungan dengan hapusnya hak guna bangunan tersebut. 2. Upaya pihak bank ketika berlangsungnya perpanjangan jangka waktu jaminan yang menjadi jaminan kredit adalah melakukan perikatan kuasa membebankan hak tanggungan oleh karena proses hak guna bangunan masih dalam proses perpanjangan jangka waktu yang dikenal dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tangguan (SKMHT). Setelah selesainya perpanjangan jangka waktu terhadap jaminan tersebut maka dilakukan suatu proses pemasangan hak tanggungan kembali oleh pihak bank yang didasari oleh Surat Kuasa Membebankan Hak Taggungan (SKMHT) tersebut.
138
139 5.2. Saran-saran Setelah mengadakan suatu penelitian dan mengamati masalah yang timbul dalam Pemberian Kredit Bank Dengan Jaminan Hak Guna Bangunan Yang Jangka Waktunya Telah Berakhir Sedangkan Perjanjian Kreditnya Belum Berakhir yang terjadi di perseroan terbatas PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., kantor cabang Gajah Mada Denpasar, maka ingin memberikan saran-saran sebagai berikut : 1. Kepada bank pemberi kredit agar berhati-hati dalam memberikan kredit dan menerima jaminan berupa hak guna bangunan yang jangka waktu haknya berakhir sebelum kreditnya jatuh tempo, sebab bila hak atas tanahnya hapus maka hak tanggungannya akan ikut hapus. Agar bank selaku kreditur memperhatikan jaminan-jaminan yang dipakai jaminan oleh calon debitur dalam hal jaminan tersebut berupa hak guna bangunan. 2. Kepada debitur ataupun pemilik jaminan dalam rangka terjadinya suatu proses perpanjangan jangka waktu hak guna bangunan sebagai jaminan kredit, agar selalu memperhatikan jaminan yang diberikan dan upaya perpanjangan jangka waktu yang dilakukan oleh pihak bank terhadap jaminan hak guna bangunan tersebut agar tidak merugikan kepentingan dari pihak debitur. Oleh karena itu hak-hak antara kreditur dan debitur tidak ada yang dirugikan. Terhadap prosedur permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitur sehingga sesuai dengan analisa permohonan kredit sebagai syarat utama bank dalam memberikan kredit kepada pihak debitur.
1 DAFTAR PUSTAKA 1. Buku-buku : Adjie, Habib, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Arsawati, Ni Nyoman Juwita, 2005, Bahan Pembelajaran Hukum Perbankan, Denpasar. Artadi, I Ketut, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar. Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor. Ashshofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Tentang Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. Badrulzaman, Mariam Darus, 1987, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fidusia, Alumni, Bandung. Bahsan, M., 2002, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung, Jakarta. Bambang, Setijoprodjo, 1996, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Chatamarrasjid, Ais, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta. Daeng, Naja H.R., 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Dixon, Martin 2004, Principles of Land Law, Cavendish Publishing Limited, London. Fahmi, Irham, 2008, Analisis Kredit dan Fraud, Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Alumni, Bandung. Frieda, Husni Abdullah,. 2002, Hukum Kebendaan Perdata, Jilid 1.Ind.Hill-Co, Jakarta. 140
2 141 Garner, Bryan A., 2000, Black’s Law Dictionary abridged seventh edition, West Group, United States of America. Golding, M.P, 1966, The Nature Of Law Readings In Legal Philosophy, Colombia University, Random Huose, New York. Hartono, Hadisoeprapto, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta. Hasibuan, H. Malayu S.P, 2001, Dasar-Dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta. Ibrahim, Johannes, 2010, Kartu Kredit-Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, PT. Refika Aditama, Bandung. Ismail, 2010, Menejemen Perbankan: Dari Teori Menuju Aplikasi, Kencana, Jakarta. Johan, Nasution, Bahder, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung. Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, 1997, Pokok-Pokok Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Kie, Tan Thong, 2011, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Kuncoro, Mudrajad dan Suhardjono, 2002, Menejemen Perbankan Teori dan Aplikasi, BPFE, Yogyakarta. Latimer, Paul, Stepen, 2001, Australian Bussiness Law, CCH Australia Limited, Australia. Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta. Muljadi, Kartini -Gunawan Widjaja, 2005, Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta. Noor, Aslan, 2006, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Manju, Jakarta. Parlindungan, A. P., 2009, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Perangin, Effendi, 1991, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali Pers, Jakarta.
142 3 Poesoko, Herowati, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), LaksBang Pressindo, Yogyakarta. Pramono, Nindyo, 1999, Hukum Perbankan 1 , LaksBang Pressindo, Yogyakarta. Prodjodikoro, Wirjono, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Cetakan VIII, Sumur, Bandung. Rahman, Hasanuddin, 1995, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Cetakan Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung. Salim, H.S, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta Santosa, Urip, 2012, Hukum Agraria : Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta Tomas, Suyatno, 1991, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Satrio, J, 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sembiring, Santosa, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung. Setijoprodjo, Bambang, 1996, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sjahdeini, Sutan Remi, 1993, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit dan Penyelesaian Kredit, Makalah, Jakarta. Simorangkir, O.P, 1988, Seluk Beluk Bank Komersial, Cetakan Kelima, Aksara Persada Indonesia, Jakarta. Soimin, Soedharyo, 2004, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta. Soeroso, 2010, Perjanjian Di Bawah Tangan, Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Soepratignja, Paulus J. 2012, Teknik Pembuatan Akta Kontrak Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta Subekti, R, 1982, Law In Indonesia, Center For Strategic And International, And Studies, third edition, Jakarta.
1434 Sugono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, rajagrafindo, Jakarta. Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian ; Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftaranya, Sinar Grafika, Jakarta. , 2010, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Sinar Grafika, Jakarta. Tan, Kamelo, H., 2006, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung. Tutik, Titik Triwulan, 2006, Pengantar Hukum Perdata Indonesia,Prestasi Pustaka, Jakarta. Usman, Rachmadi, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta. , 2011, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta. Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Wijanarto, 1993, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Grafiti, Jakarta. Wiradipradja, E. Saefullah, 1989, Tanggung Jawab Pengengkut Dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Liberty, Yogyakarta. Yasabari, Nasroen dan Dewi Nina Kurnia, 2007, Penjaminan Kredit, Alumni, Bandung. 2. Internet : Feedjit, 2011, “Teori Dalam Ilmu Hukum”, http://kandanghukum.blogspot.com. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2014. Suyatno, Thomas, 2012, “Fungsi Jaminan Kredit” http://www.psychologymania.com/2012/12/fungsi-jaminan-kredit.html. Diakses pada tanggal 17 Juli 2014. Kuncoro, 2002, “Pengertian Bank dan jenis-jenis bank ”, http://pandusamamaya.wordpress.com. Diakses pada tanggal 30 Juni 2014. 3. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
1445 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembar Negara Nomor 2043). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 beserta perubahannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan peraturan pelaksanaanya, (Lembaran Negara Tahun 1992 nomor 31, Tambahan Lembaran Negara nomor 3473). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembar Negara nomor 3632). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Kredit-Kredit Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan Dan Sertifikat Hak Tanggungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996).