PEMBELAJARAN SENI UNTUK MEMBERDAYAKAN ANAK JALANAN DI SANGGAR ALANG-ALANG SURABAYA Imam Zaini ( Penulis seorang magister pendidikan seni, dosen Seni Rupa Universitas Negeri Surabaya)
Abstrak Membiarkan anak jalanan sebagai bagian dari komunitas anak rawan yang bekerja, dalam rentang waktu yang cukup panjang di jalanan dengan kondisi lingkungan yang keras, tanpa perlindungan memadai, sesungguhnya adalah melanggar hak-hak dasar anak. Padahal sebenarnya mereka juga perlu bermain, belajar dan harus sekolah. Untuk mengeliminasi dan menangani anak jalanan, bukanlah pekerjaan yang mudah. Pendekatan sosial dan ekonomi saja tidak cukup, tetapi juga perlu memperhatikan persoalan budaya mereka. Perlu mengubah pola pikir, sikap mental dan nilai-nilai yang dianut dalam budaya mereka. Perubahan tersebut salah satunya bisa melalui pembelajaran seni. Kelebihan seni yang unik dan menarik, mempermudah anak jalanan untuk ikut dan bergabung belajar di sanggar Alang-alang. Sanggar Alang-alang telah berhasil menangani anak jalanan dengan pendekatan kesenian. Berbagai jenis seni diajarkan, yakni seni musik, seni tari, seni rupa, seni drama/teater, dan seni kerajinan. Strategi pembelajaran seni menekankan pada aspek keterampilan, kecakapan hidup (life skill) dan pendekatan kontekstual. Kontekstual dengan materi, tujuan, sasaran, hasil, pelatih, sumber, lingkungan, waktu, dan metode. Pembelajaran seni di sana dimanfaatkan sebagai media transformasi budaya (pembudayaan) melalui nilai-nilai estetika, etika dan agama. Seni dapat difungsikan untuk memberdayakan anak jalanan, baik secara pribadi, sosial, dan ekonomi. Pembelajaran seni di sanggar Alang-alang ibarat pisau bermata dua. Mata pisau yang satu untuk membedah persoalan budaya anak jalanan, sedangkan mata pisau yang lain untuk memberdayakan anak jalanan. Kata kunci : anak jalanan, pemberdayaan, pembelajaran seni.
Pendahuluan Anak jalanan adalah bagian dari komunitas anak rawan yang terpaksa hidup dan mencari nafkah di jalanan. Aktivitas mereka macam-macam, ada yang mengamen, mengasong, menjual koran, menyemir sepatu, memulung, makelar, mengemis, dan sebagainya. Umumnya mereka mudah dijumpai di kota-kota besar Indonesia, tidak terkecuali di kota Surabaya. Komunitas mereka dengan mudah dijumpai di tempat-tempat fasilitas umum seperti terminal bus/angkutan kota, pasar, stasiun kereta api, perempatan jalan, emperan toko, dan sebagainya. Membiarkan mereka bekerja, dalam rentang waktu yang cukup panjang di jalanan dengan kondisi lingkungan yang keras, tanpa perlindungan memadai, sesungguhnya adalah melanggar hakhak dasar anak. Pemenuhan hak-hak mereka sebagai anak, yang seharusnya dapat tumbuh kembang
secara wajar dan terjamin seringkali dirampas, dieksploitasi, dan acapkali diperlakukan kasar. Padahal sebenarnya mereka juga perlu bermain, belajar dan harus sekolah. Untuk mengeliminasi dan menangani kelangsungan masa depan anak jalanan, harus diakui bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Pendekatan sosial dan ekonomi saja tidak cukup, tetapi juga perlu memperhatikan persoalan budaya mereka. Mereka menganggap bahwa mengamen, mengasong, memulung dan sebagainya adalah bekerja. Secara emik, memang benar, aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh anak jalanan adalah sama dengan bekerja. Tetapi secara etik, pekerjaan mereka kurang layak, apalagi dilakukan oleh anak-anak. Komunitas mereka sering dilecehkan, tereliminasi, teralienasi dan tersubordinasi. Anak-anak masih perlu mendapat perlindungan dan perhatian khususnya dari orang tua. Anak ‘bekerja’ di jalanan adalah melanggar hak-hak anak, seperti hak memperoleh pendidikan. Dengan demikian perlu ada program aksi yang dapat mengubah pola pikir, sikap mental dan nilai-nilai yang dianut dalam budaya mereka. Perubahan tersebut salah satunya dapat dilakukan lewat pendidikan, baik formal maupun nonformal, sehingga mereka dapat lebih berdaya dan berbudaya. Sanggar Alang-alang adalah salah satu pendidikan nonformal alternatif yang peduli dan concern menangani nasib anak jalanan. Tidak semuanya dan selamanya anak jalanan itu jorok, kumuh, kumal, kasar, dan sering membuat onar, susah diatur serta berbagai stigma negatif yang disandangnya. Mereka merupakan generasi penerus yang perlu mendapat perhatian kita, terutama pendidik. Stigma negatif anak jalanan tersebut berusaha diubah oleh fihak sanggar Alang-alang melalui pembelajaran seni. Bagi sanggar tidak penting dari mana asalnya, siapa orang tuanya dan apa pekerjaannya. Yang terpenting adalah mereka mau bergabung dan belajar bersama-sama di sanggar Alang-alang. Pemberdayaan anak-anak jalanan di sanggar Alang-alang Surabaya melalui pendidikan seni menarik untuk diteliti. Masalah penelitian ialah (1) bagaimanakah gambaran umum mengenai sanggar Alang-alang di Surabaya, (2) bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran seni bagi anak jalanan di sanggar Alang-alang Surabaya, dan (3) mengapa sanggar Alang-alang memilih kesenian sebagai upaya alternatif untuk memberdayakan anak jalanan. Tujuan penelitian ialah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan sanggar Alang-alang di Surabaya sebagai lembaga pendidikan nonformal, pelaksanaan pembelajaran seni bagi anak jalanan di sanggar tersebut, dan alasan sanggar Alang-alang memilih kesenian sebagai upaya alternatif untuk memberdayakan anak jalanan.
Kajian Teori Pemberdayaan Menurut Stewart (1994:3) pemberdayaan adalah suatu usaha untuk memberi semangat, memberi motivasi tertentu agar dapat berkembang secara maksimal sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Sedangkan menurut Kindervatter (1979:150), pemberdayaan adalah upaya penyadaran dan peningkatan daya-daya pada diri seseorang atau kelompok untuk memahami dan mengontrol dimensi-dimensi kekuatan yang dimiliki (religi, fisik, psikis, sosial, ekonomi, politik dan budaya) untuk peningkatan kedudukan mereka di dalam masyarakat. Terkait dengan pemberdayaan anak jalanan di sanggar Alang-alang adalah suatu upaya untuk mengangkat potensi, prestasi dan prestise anak jalanan, sehingga dapat meningkatkan daya tawar mereka, agar tidak teralienasi, marginal serta bisa diterima oleh masyarakat layaknya manusia pada umumnya. Kesan yang muncul selama ini adalah anak jalanan cenderung minder, kurang percaya diri, teralienasi oleh masyarakat umum. Pemberdayaan di sini mengandung arti bahwa anak jalanan bukan obyek tetapi subyek yang dapat diangkat dan diberdayakan potensinya, sehingga mereka dapat hidup mandiri tanpa merepotkan dan mengganggu orang lain. Peran dan fungsi seni yang diajarkan di sanggar Alang-alang diharapkan dapat mengubah pola pikir, sikap mental dan perilaku negatif anak jalanan ke arah yang lebih baik dan berdaya guna. Menurut Ishaq (2000:19), anak jalanan perlu diberdayakan lewat pendidikan agar mereka (1) merasa bahwa dirinya adalah sebagaimana halnya anak lain, (2) melakukan berbagai hal konstruktif yang oleh masyarakat awam tidak bisa dilakukan. Untuk itulah perlu pendidikan alternatif agar mereka dapat diterima oleh lingkungan dan mayarakat sekitar. Pemerintah sendiri melalui Undang Undang nomor 20 tahun 2003, telah memprogramkan wajib belajar 9 tahun bagi anak usia SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan yang sederajat tanpa perkecualian. Artinya anak-anak Indonesia tanpa mengenal strata dan status sosial tertentu wajib belajar sampai lulus pendidikan dasar (SD-SMP dan sederajat). Mereka dapat belajar di mana saja dan kapan saja, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, termasuk anak jalanan. Anak Jalanan
Yang dimaksud anak jalanan adalah anak berusia di bawah 18 tahun (Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa), yang berada di jalan untuk bekerja mencari nafkah. Pekerjaan mereka bermacam-macam, antara lain menyemir sepatu, mengamen, mengemis, mengasong, mengais, memulung, menjoki, menjual koran, mengelap mobil, memberi layanan seksual, dan sebagainya (Depsos 2000:25). Ada yang menyebut bahwa anak jalanan adalah arek kere, anak gelandangan, atau kadang ada yang menyebut secara eufimistik sebagai anak mandiri (usulan Rano Karno tatkala menjabat Duta Besar UNICEF). Aktivitas anak jalanan yang terdata di Surabaya (Suyanto 2003:56) adalah pengamen terdapat 1.254 anak (54%) dari total anak yang terdata (2.310 anak). Disusul pedagang asongan 565 anak, pengemis 176 anak, buruh pasar 71 anak, kernet 70 anak, penyemir sepatu 48 anak, pekerja seks 24, calo 19 anak, dan sebagainya (Suyanto 2003:57). Gaya hidup anak jalanan selain dipandang liar, juga dinilai sangat membahayakan. Hati siapa yang tidak miris, ketika menyaksikan anak-anak masih di bawah umur yang mestinya masih sekolah, tumbuh menjadi anak yang santun taat beribadah dan sebagainya, ternyata mengembangkan berbagai perilaku yang membahayakan, baik dirinya sendiri maupun orang lain. Minum-minuman keras hingga mabuk, tidak sekali dua kali dilakukan. Studi pendataan anak jalanan menemukan bahwa 30,9 % anak jalanan di Surabaya, mengaku terlibat dalam kebiasaan minum-minuman keras (Suyanto 2003:76). Bahkan perilaku menyimpang yang populer di kalangan anak jalanan adalah ngelem (Irwanto 1999:75). Ngelem secara harfiah berarti menghisap lem. Ada beberapa jenis lem yang biasa digunakan, yaitu Aica-Aibon, Uhu dan sejenisnya, cat dan pembersih kuku (aceton), zat yang mudah menguap, seperti thinner, ether, spiritus, benzene dan sebagainya adalah zat-zat yang biasa digunakan oleh mereka, karena harganya relatif terjangkau.
Teori Pola Kebudayaan Teori pola kebudayaan (pattern of culture) menurut Ruth F. Benedict (dalam Danandjaja 1988:41) menyebutkan bahwa di dalam setiap kebudayaan ada aneka ragam tipe temperamen yang ditentukan oleh faktor keturunan dan faktor kebutuhan yang timbul secara berulang-ulang. Namun setiap kebudayaan hanya membolehkan sejumlah temperamen tersebut untuk berkembang. Temperamen yang berkembang ini adalah yang cocok dengan konfigurasi dominan. Mayoritas orang dalam masyarakat akan mengikuti dan berbuat sesuai dengan tipe dominan. Hal ini yang disebut dengan kepribadian normal, yakni kepribadian yang dianut oleh mayoritas anggota masyarakat. Namun
di samping itu ada sejumlah kelompok minoritas dalam masyarakat yang tidak dapat dimasukkan dalam tipe kepribadian dominan ini, karena tipe temperamen mereka terlalu menyimpang. Golongan minoritas ini disebut sebagai kelompok penyimpang (deviant) atau abnormal. Kelompok ini jumlahnya kecil, tetapi mereka memiliki kepercayaan, pranata, norma dan gaya hidup tersendiri yang didukung oleh anggota kelompoknya. Dari sisi etik anak jalanan termasuk dalam kelompok berperilaku menyimpang atau abnormal. Kelompok tersebut memiliki nilai-nilai, kepercayaan, norma-norma, pranata dan gaya hidup yang didukung oleh komunitasnya. Karakteristik yang berada dalam komunitas kelompok ini menarik untuk diteliti. Biasanya orang di luar kelompoknya agak mengalami kesulitan untuk menembus memasuki wilayah komunitas mereka. Komunitas mereka cenderung tertutup dan penuh curiga, bila ada orang di luar kelompok yang menghampirinya. Diperlukan pendekatan dan strategi yang cocok untuk menjangkau mereka (anak jalanan), agar bisa sadar dan kembali ke jalan yang normal.
Pendidikan Nonformal Pendidikan nonformal atau pendidikan luar sekolah ditandai dengan keketatan dan keseragaman rendah, bentuk dan isi program bervariasi, tujuan pendidikan tidak seragam, persyaratan masuk peserta didik tidak ketat, pengelolaan oleh lembaga masyarakat, perorangan, mengutamakan aplikasi, struktur program fleksibel, pengendalian dilaksanakan oleh pelaksana dan peserta didik (Sudjana 1991:10). Pendidikan baik formal maupun nonformal merupakan proses pemanusiaan manusia, yang di dalamnya terjadi proses membudayaan dan memberadabkan manusia (Dimyati 2006:192). Agar supaya terbentuk manusia yang berbudaya dan beradab, maka diperlukan transformasi kebudayaan dan peradaban (lihat gambar 1). Sanggar Alang-alang merupakan salah satu contoh pendidikan nonformal yang menangani anak jalanan melalui pendekatan seni.
MASUKAN
TRANSFORMASI
KELUARAN
UMPAN BALIK
Gambar 1 Pendidikan sebagai proses transformasi budaya (Dimyati 2006:192)
Masukan dalam proses pendidikan ini adalah anak jalanan dengan berbagai karakteristik dan keunikannya. Dengan mengetahui dan memahami background dan karakteristik anak jalanan (outreach/penjangkauan), akan memudahkan dalam menentukan program proses pembudayaan dan pemberdayaan anak jalanan yang menjadi masukan. Transformasi dalam proses pendidikan nonformal ini adalah melalui proses pembelajaran seni. Transformasi adalah mengubah stigma anak jalanan tersebut di atas supaya menjadi lebih baik dan hidup normatif seperti layaknya manusia pada umumnya. Selain itu unsur-unsur/komponen yang ada dalam Sanggar Alang-alang ikut menentukan keberhasilan proses transformasi. Komponen itu adalah tutor, materi, strategi/pendekatan, sarana dan prasarana, pendanaan dan sebagainya. Keluaran dalam proses transformasi ini adalah anak jalanan yang telah mengubah pola pikir dan mentalnya menjadi semakin berbudaya dan beradab sesuai dengan norma-norma yang berlaku, sehingga mereka lebih berdaya, berguna, dihargai dan diperhatikan oleh masyarakat sekitar. Untuk mengetahui apakah anak jalanan keluaran dari sanggar ini sudah sesuai atau belum harus memperhatikan visi dan misi yang telah dibuat dan ditetapkan oleh sanggar Alang-alang. Umpan balik adalah segala informasi yang diperoleh selama proses pembelajaran seni berlangsung, sebagai bahan pertimbangan dan evaluasi demi perbaikan dari masukan sampai proses transformasi.
Pembelajaran Seni Pengertian pembelajaran seni menurut Soehardjo (2005:149) adalah rambu-rambu yang dirancang untuk mencapai target tertentu, berupa hasil yang harus dicapai. Rambu-rambu tersebut berupa perangkat tujuan pembelajaran dan sejumlah bahan pelajaran seni. Masing-masing difungsikan sebagai komponen dari suatu proses pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran seni adalah suatu proses usaha yang dilakukan untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman seni seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya untuk mencapai tujuan tertentu. Pada program pembelajaran seni selalu didasari oleh konsep pendidikan yang mengarahkan hasil belajar yang akan dicapai. Menurut Eisner (1972:159) ada 2 konsep pendidikan seni yaitu pendekatan kontekstual dan esensial. Pendekatan esensial yaitu pembelajaran seni yang menekankan pada kemampuan berkesenian dan menghasilkan karya seni. Pendekatan kontekstual merupakan hasil dampak ikutan dari kemampuan berkesenian di atas. Dampak tersebut berupa kesadaran rasa, percaya diri dan kecerdasan imajinasi. Kesadaran rasa termasuk rasa estetik, kemanusiaan,
lingkungan, kebangsaan, dan jati diri. Dalam pembelajaran seni dengan pendekatan kontekstual, seni difungsikan sebagai sarana untuk pendidikan. Seni sebagai media pendidikan ini telah lama diulas oleh Herbert Read sebagai education through art, atau pemfungsian seni menurut Soehardjo (2005:3). Pakar pendidikan seni Ross (dalam Soehardjo 2005:158) mengatakan, bahwa inti pendidikan seni adalah impuls estetik. Dominasi kajian rasa ini menunjukkan bahwa karakteristik hasil pembelajaran seni tidak dimiliki oleh mata pelajaran yang lain.
Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif, dengan fokus kepada anak jalanan yang mengikuti pembelajaran seni pada program BAB (Bimbingan Anak Berbakat) di sanggar Alang-alang Surabaya, yang dilaksanakan sejak 1 Nopember 2006 sampai dengan 31 Mei 2007. Setting penelitian utamanya dilaksanakan di sanggar Alang-alangyang beralamatkan Jl. Waringin No. 24 Surabaya, dan di berbagai tempat saat anak jalanan tersebut menyelenggarakan aktivitas berkesenian. Teknik pengumpulan data dengan cara observasi berpartisipasi (partisipant observation), wawancara mendalam, dan analisis dokumen. Sumber data diperoleh melalui berbagai informan yang terkait dengan permasalahan, arsip dan dokumen sanggar, tempat/peristiwa kegiatan belajar serta lingkungan sanggar. Pengecekan keabsahan data (validitas data) melalui trianggulasi data dan diskusi teman sejawat (peer group discussion). Analisis data dilakukan dengan cara reduksi data, penyajian data, dan verifikasi atau penarikan kesimpulan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Gambaran Umum Sanggar Alang-alang Secara fisik, bangunan sanggar Alang-alang cukup sederhana. Terletak di tengah-tengah komunitas tempat tinggal anak jalanan yang dekat dengan terminal Joyoboyo. Sanggar Alang-alang memiliki beberapa program yang cukup menarik untuk membantu memperhatikan nasib kaum miskin kota, utamanya anak jalanan dan keluarganya. Yakni ada program BAB (Bimbingan Anak Berbakat), membina anak jalanan yang memiliki bakat di bidang seni. Program BAS (Bimbingan Anak Sekolah), membantu dan memfasilitasi anak jalanan yang masih sekolah, agar tetap bisa belajar sampai tuntas (SD, SMP, SMA). Program BAN (Bimbingan Anak Negeri), memberi sekolah alternatif bagi anak
jalanan yang diselenggarakan pada malam hari. Program BAP (Bimbingan Anak Perawan), sekolah bagi pembantu rumah tangga anak/wanita melalui mobile school. Program KF (Keaksaraan Fungsional) memberi materi pembelajaran kepada orang tua (ibu) anak jalanan agar tidak buta aksara. Program Boxing (Tinju) memberi pelatihan kepada anak jalanan yang memiliki potensi di bidang olah raga tinju. Selanjutnya penelitian ini hanya difokuskan pada program BAB (Bimbingan Anak Berbakat) saja. Peserta (anak jalanan) yang belajar pada program BAB tersebut adalah anak usia 3 – 5 tahun (Pendidikan Anak Usia Dini – masa pra TK dan TK); anak usia 6- 12 tahun (Pendidikan Anak Usia Sekolah – masa sekolah SD); dan anak usia 13 – 18 tahun (Pendidikan Anak Usia Remaja – masa sekolah SMP dan SMA). Program BAB adalah sebuah program yang dirancang untuk membelajarkan anak jalanan di bidang seni. Berbagai jenis bidang seni diajarkan di sanggar ini, yakni seni musik, seni tari, seni rupa, seni drama/teater dan seni kerajinan/keterampilan. Berbagai jenis bidang seni yang diajarkan, membuat anak jalanan menjadi senang dan tertarik mendalami seni, mengingat background anak jalanan umumya adalah pengamen. Terbukti berbagai prestasi di bidang seni dapat diperoleh baik di tingkat lokal, regional, dan nasional. Setiap tahun selalu ada beberapa kejuaraan/prestasi yang diraih, mulai sanggar tersebut berdiri sampai sekarang. Dengan berbagai prestasi yang diperoleh, memudahkan sanggar Alang-alang memperoleh bantuan dari berbagai fihak, baik perorangan, lembaga swasta maupun dari lembaga pemerintah. Bantuan dana dan fasilitas tidak hanya dari dalam negeri saja, tetapi juga berasal dari luar negeri. Di antaranya dari Amerika (Save the Children), Hongkong (HSBC Bank), Korea Selatan (Samsung), dan sebagainya. Bantuan dan kerjasama dengan pemerintah antara lain dengan Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan sebagainya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga berperan besar dalam menunjang kontinyuitas program sanggar Alang-alang. Selain itu juga banyak pribadi-pribadi yang cukup peduli terhadap nasib warga miskin kota. Hal tersebut dapat dibuktikan dari berbagai sumbangan yang berasal dari orang-orang yang sukses finansial secara rutin diberikan kepada sanggar setiap bulannya, terutama pada bulan puasa. Sadar bahwa peran orang tua sangat besar dalam menerjunkan anaknya untuk mencari nafkah di jalanan, maka sanggar ini juga memberi materi pelatihan dan pembelajaran kepada orang tua anak jalanan, terutama ibunya. Karena peran ibu adalah yang pertama dan utama dalam membentuk
karakter kepribadian anak di lingkungan keluarga. Kelas Keaksaraan Fungsional (KF) yang memberi pengertian dan pemahaman kepada ibu-ibu anak jalanan agar tidak menerjunkan anaknya ‘bekerja’ di jalanan, semakin banyak peminat. Dengan jumlah ruang kelas yang dimiliki, sanggar membatasi jumlah pendaftar, sehingga banyak yang ditolak dan harus antre untuk bisa diterima di klas KF tersebut pada tahun berikutnya. Dengan adanya klas KF, diharapkan akan bisa mengurangi jumlah anak yang mencari nafkah di jalanan. Pembelajaran Seni di Sanggar Alang-alang Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa di sanggar Alang-alang mengajarkan berbagai macam bidang seni, yakni seni musik, seni rupa, seni tari, seni teater/drama dan seni kerajinan/keterampilan. Setelah peneliti mengamati secara seksama selama 7 bulan, strategi pembelajaran seni yang dilaksanakan di sanggar Alang-alang menggunakan dua pendekatan sekaligus. Pertama, pembelajaran seni yang menekankan pada aspek kemampuan berkesenian untuk menghasilkan karya seni. Kedua, pembelajaran seni digunakan sebagai media/alat untuk mengubah nilai-nilai, pola pikir, perilaku anak jalanan agar lebih normatif dan berbudaya. Berikut ini dipaparkan tentang pembelajaran seni yang menekankan pada kemampuan berkesenian. Pada pembelajaran seni musik, biasanya pelatih melibatkan semua peserta baik kelompok belajar PAUS (Pendidikan Anak Usia Sekolah) maupun PAUR (Pendidikan Anak Usia Remaja). Pelatih memilih anak yang menguasai bermain alat musik tertentu seperti gitar, keyboard, angklung, bongo, drum dan sebagainya. Sisanya berperan sebagai vokal. Lagu-lagu yang dipelajari adalah lagu-lagu dari kelompok grup band yang sedang trend di masyarakat (Ungu, Raja, Samson, Seila on Seven, Kangen Band, dsb). Pembelajaran dianggap selesai bila mereka telah menguasai permainan musik baik instrumen maupun vokal. Umumnya anak-anak tidak mengalami kesulitan yang berarti karena umumnya mereka banyak yang berasal dari pengamen jalanan. Sebagai hasil dari pembelajaran seni musik di sanggar Alang-alang, sampai saat ini telah terbentuk 4 grup band, yakni Lasido Band, Alangalang Band, O la la Band dan Oktavia Band. Grup-grup band tersebut sering pentas di berbagai lokasi dan acara. Pada pembelajaran seni tari, biasanya pelatih mengelompokkan anak yang belajar pada kelompok PAUS dan PAUR. Jenis tarian yang diajarkan adalah tari daerah dan tari permainan. Strategi pembelajarannya pelatih memberi contoh cara menari yang baik dan benar, baru diikuti oleh peserta. Bila peserta sudah menguasai secara wiraga, wirama dan wirasa maka pembelajaran seni tari tertentu
dianggap telah selesai. Keberhasilan pembelajaran seni tari dapat dibuktikan dengan terbentuknya berbagai grup tari, yakni tari Incling, tari Black Dit Dot, tari Dongklak, dan Laksamana di Laut. Dalam bidang seni rupa, strategi pembelajarannya adalah pada awalnya pelatih/tutor selalu bercerita tentang sesuatu kejadian yang ada di sekelilingnya. Bisa diperoleh dari kehidupan anak jalanan, berita aktual dari media massa, dan sebagainya. Setelah pelatih/tutor selesai bercerita, baru anak-anak diminta untuk menggambar/melukis sesuai dengan kreasi dan imajinasinya. Peralatan gambar biasanya disediakan oleh sanggar, baik kertas gambar maupun pewarna. Setelah anak-anak selesai menggambar dilanjutkan dengan apresiasi karya. Prestasi individual pernah diraih oleh peserta sanggar dari berbagai event lomba seni rupa. Strategi pembelajaran seni teater hampir sama dengan pembelajaran seni tari. Yakni peserta diminta untuk menirukan gerak mimik berdasarkan skenario yang dilakonkan. Naskah drama biasanya dibuat sendiri oleh pelatih yang sekaligus sebagai pengelola sanggar. Naskah cerita diambilkan dari berbagai kejadian yang sering melanda kehidupan anak jalanan. Pembelajaran teater berhasil bila peserta dapat melakonkan drama sesuai dengan skenario yang telah dibuat oleh sutradara. Di sanggar ini telah terbentuk 2 grup drama yakni ‘Trafficking’ dan ‘Joko Berek’. Bidang seni kerajinan/keterampilan materi pembelajarannya diarahkan ke life-skill. Keterampilan/kerajinan yang dipelajari dipilih untuk menunjang kehidupan anak jalanan terjun ke masyarakat. Peserta pembelajaran ini hanya dikhususkan pada kelompok PAUR (remaja) yang setelah mereka berumur di atas 18 tahun harus keluar dari sanggar. Ada kelompok menjahit, meronce, menyulam, membuat sapu, dan sebagainya. Sering fihak sanggar memberi bahan keterampilan untuk dikerjakan di rumah, bila telah jadi, hasilnya langsung dibeli oleh sanggar. Selanjutnya sanggar akan memasarkannya kepada konsumen. Pembelajaran seni digunakan sebagai media/alat untuk mengubah nilai-nilai, pola pikir, perilaku, dsb. agar lebih normatif dan berbudaya. Pada aspek ini, setiap kali diselenggarakan pembelajaran seni (seni rupa, tari, musik, teater, keterampilan/kerajinan), selalu diselipkan nilai-nilai etika, estetika, dan agama. Pada awal sebelum pembelajaran dimulai, setiap anak bila bertemu pelatih, selalu mengucapkan salam ‘assalaamu ‘alaikum warohmatullaahi wabarokatuh’ yang diikuti dengan berjabat tangan dan mencium tangan pelatih/tutor. Hal tersebut dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai etika dan agama kepada setiap peserta. Mereka harus menghargai guru/pelatih dan orang tua.
Terkait dengan etika, stigma negatif anak jalanan selama ini adalah mereka itu berperilaku keras, kasar, tidak tahu sopan santun, kurang menghargai orang tua/guru, bicara jorok dan sebagainya, diubah melalui seni agar menjadi anak yang santun, baik dan normatif. Sementara terkait dengan estetika, umumnya penampilan anak jalanan dipandang kotor, kumuh, jarang mandi, jarang sikat gigi, rambut jarang disisir, rambut jarang dikeramasi dan sebagainya. Cara mengubahnya, setiap anak jalanan yang masuk dan mengikuti pembelajaran seni di sanggar, mereka harus mandi terlebih dahulu, harus sikat gigi, berpakaian bersih, rambut disisir rapi dan sebagainya. Dalam bidang agama, kehidupan anak jalanan cenderung berperilaku bebas, sehingga banyak melanggar norma agama. Misalnya suka mencuri, berbohong, senang mabuk-mabukan/minuman keras, narkoba, berjudi, seks bebas dan sebagainya. Pelatih biasanya menyinggung tentang hukum halal-haram, boleh dan tidak boleh, menurut hukum agama yang diselipkan di antara materi pembelajaran seni. Untuk lebih memantapkan materi agama ditambah pada hari lain oleh tutor yang menguasai bidang agama. Dengan demikian pembelajaran seni di sanggar Alang-alang memiliki posisi amat penting dalam rangka mengupayakan proses perubahan/transformasi budaya (Dimyati 2006:192), baik itu perubahan sikap mental, perilaku, pola pikir dan sebagainya yang dianut anak jalanan, ke arah terbentuknya nilai-nilai budaya baru yang lebih normatif dan bisa diterima oleh masyarakat umum. Di sini pembelajaran seni difungsikan sebagai media pendidikan, seperti yang telah diuraikan di depan (pendidikan etika, estetika, agama). Hal ini bisa dilihat dari kondisi awal anak jalanan dan hasilnya setelah mereka melewati proses transformasi (pembelajaran seni) di sanggar Alang-alang Surabaya. Perubahan pola pikir, sikap mental, nilai-nilai, yang dianut anak jalanan berperilaku ’menyimpang’/deviant dapat diarahkan (melalui pembelajaran seni) ke pembentukan karakter dan nilainilai kepribadian anak yang lebih normatif serta berbudaya. Dalam konteks ini, pendidikan nonformal yang diselenggarakan di sanggar Alang-alang, telah dapat digunakan sebagai sarana transformasi budaya dalam mengemban perubahan pola pikir, sikap dan perilaku yang baru, sesuai dengan aturan tata-tertib sanggar dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Aturan dan tata-tertib yang dibuat oleh pihak sanggar mengacu ke arah nilai-nilai estetika, etika, dan agama yang harus di taati oleh setiap anak jalanan yang belajar di sanggar Alang-alang.
Kesenian sebagai Alternatif untuk Memberdayakan Anak Jalanan
Seni bersifat universal, multilingual, multidimensional, dan multikultural. Dengan demikian pembelajaran seni di sanggar Alang-alang dapat difungsikan sebagai pemberdayaan anak jalanan, baik pemberdayaan pribadi, sosial dan ekonomi. Dengan mengikuti pembelajaran seni di sanggar Alang-alang, peserta akan menambah wawasan dan keterampilan berkesenian pribadi masing-masing anak jalanan. Mereka bisa berlatih seni sesuai dengan bakat dan minatnya, sementara fihak sanggar menyediakan fasilitas yang diperlukan. Apabila anak jalanan memiliki potensi untuk mendalami memainkan alat musik tertentu, tidak segansegan fihak sanggar mengursuskan mereka ke lembaga kursus musik profesioanal. Banyak pribadipribadi anak jalanan yang mahir memainkan alat musik tertentu berkat bantuan fasilitas dari sanggar. Berbagai prestasi anak jalanan yang pernah diraih, baik individu maupun kelompok, menunjukkan bahwa masing-masing pribadi memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Pemberdayaan kemampuan masing-masing anak di bidang seni, dapat dilihat dari berbagai bentuk karya seni yang dihasilkan. Munculnya berbagai karya seni merupakan cerminan dari hasil proses pembelajaran seni yang pernah mereka ikuti di sanggar tersebut, sehingga masing-masing anak menjadi lebih berdaya, tidak minder, tidak terpinggirkan dan terealinasi. Dengan berbagai prestasi seni yang pernah diraih oleh anak jalanan di sanggar, secara pribadi posisinya akan lebih berdaya. Anak jalanan yang belajar seni di sanggar mulai diperhitungkan dan disegani oleh anak-anak lain di luar sanggar. Kemampuannya di bidang seni telah dapat mengangkat dan memperdayakan pribadi masing-masing anak jalanan. Adanya berbagai event lomba dan undangan pentas, membuktikan bahwa karya-karya seni mereka diperlukan oleh masyarakat. Sedikit demi sedikit citra negatif anak jalanan dapat dihilangkan. Status mereka secara sosial mulai terangkat dan diperhitungkan. Mereka tidak lagi dipinggirkan, tetapi ditarik oleh orang-orang yang memiliki strata sosial mapan untuk menampilkan karya-karya seninya. Mereka membentuk grup band bukan untuk mengais rezeki di jalanan, tetapi untuk mengangkat dan memberdayakan mereka. Anak jalanan tidak lagi dipandang sebelah mata, tetapi sudah mulai diperhitungkan oleh masyarakat. Mereka telah naik status dari komunitas anak pinggiran menjadi anak yang memiliki status, potensi, dan talenta yang patut diperhitungkan. Dalam mengikuti pembelajaran seni di sanggar Alang-alang, anak jalanan juga memperhitungkan prospek keuntungan ekonomi ke depan. Mereka mau belajar seni di sanggar juga memiliki motivasi, selain dapat menambah ilmu juga dapat menambah penghasilan. Hal ini tidak hanya berlaku bagi anak tetapi juga bagi pengelola sanggar.
Dalam mengikuti pembelajaran seni, anak akan mempertimbangkan peran dan fungsi seni dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi mereka sehari-hari. Mereka juga berfikir bahwa materi seni yang dipelajari di sanggar, nantinya dapat digunakan untuk mencari/mendapatkan uang. Untuk itu fihak sanggar memberi pembagian rezeki kepada anak-anak yang telah berhasil mementaskan karya seni tertentu dan mendapatkan honorarium. Diperlukan open management, ada perjanjian yang jelas antara pemain (anak jalanan) dan fihak sanggar. Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada pengelola sanggar Alang-alang, di bidang seni musik misalnya, bila pendapatan dari hasil pentas itu kecil (sekitar 1 juta rupiah/pentas), maka 60 % untuk pemain, sedangkan 40 % untuk sanggar. Sedangkan bila honorarium pentas besar (3 juta rupiah ke atas setiap pentas), maka bagi hasilnya untuk pemain 30 % dan disimpan di sanggar 70 %. Dengan demikian pembelajaran seni yang diselenggarakan di Sanggar Alang-alang (SAA) tersebut ibarat pisau bermata dua untuk membedah persoalan anak jalanan. Mata pisau pertama untuk pembudayaan bagi anak jalanan dan mata pisau kedua untuk pemberdayaan anak jalanan (lihat gambar 2).
Stigma negative anak jalanan
Pembudayaan -Etika -Estetika -Agama
S E N I
Pemberdayaan -Pribadi -Ekonomi -Sosial
SS A A A A
Gambar 2 Pembelajaran Seni di Sanggar Alang-alang, ibarat pisau bermata dua
Penutup Simpulan Sanggar Alang-alang adalah salah satu bentuk pendidikan nonformal, yang menangani pendidikan alternatif bagi anak jalanan di sekitar terminal Joyoboyo Surabaya, dengan frame kesenian. Seni memiliki karakteristik yang unik dan menarik. Kelebihan seni tersebut dimanfaatkan oleh fihak Sanggar Alang-alang untuk menarik dan merekrut anak jalanan sebagai peserta belajar. Dengan menyelenggarakan program Bimbingan Anak Berbakat (BAB) di bidang seni, telah banyak prestasi dan prestise yang diraih, sehingga menarik fihak donatur baik dari dalam maupun luar negeri, untuk memberi bantuan Sanggar Alang-alang. Sanggar Alang-alang merupakan ’oasis’ di tengah-tengah komunitas kehidupan anak jalanan yang marginal, tersubordinasi, tereliminasi, dan teralienasi. Pelaksanaan pembelajaran seni di Sanggar Alang-alang menekankan aspek keterampilan (psikomotor) dan kecakapan hidup (life-skill). Semua anak jalanan (usia 6 – 18 tahun) ikut belajar dan bergabung dalam pembelajaran seni. Berbagai jenis bidang seni diajarkan baik seni musik, seni tari, seni rupa, seni teater/drama dan seni kerajinan/keterampilan. Di dalam setiap pembelajaran bidang seni terjadi proses transformasi (perubahan) budaya, melalui nilai-nilai etika, estetika dan agama. Strategi pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual. Kontekstual dengan anak/sasaran, materi, hasil, pelatih/tutor, sumber, lingkungan, waktu, metode, dan tujuan. Evaluasinya menekankan pada penilaian kinerja, tidak ada nilai formatif, sumatif, raport, ijazah, dan sejenisnya. Sanggar Alang-alang memilih bidang kesenian sebagai upaya untuk memberdayakan anak jalanan dikarenakan seni bersifat universal, multilingual dan multikultural. Kesenian dapat diterima oleh semua orang kapan saja, di mana saja, baik orang kaya maupun miskin, laki-laki maupun perempuan, orang tua maupun anak, tidak terkecuali anak jalanan. Selain itu kesenian dapat difungsikan sebagai alat/sarana untuk memberdayakan anak jalanan, baik pemberdayaan pribadi, sosial dan ekonomi. Dengan demikian pembelajaran seni di Sanggar Alang-alang ibarat pisau bermata dua. Mata pisau yang satu untuk membedah persoalan budaya anak jalanan agar lebih baik. Perubahan pola pikir, sikap mental, perilaku, nilai-nilai yang dianut anak jalanan, supaya lebih normatif dan berbudaya. Sedangkan mata pisau yang lain untuk memberdayakan anak jalanan, melalui aktualisasi potensi diri, meningkatkan pendapatan dan mengangkat status sosial mereka lewat seni. Di dalam proses pembelajaran seni telah terjadi transformasi budaya, untuk memberdayakan anak jalanan.
Penanganan anak jalanan, tidak cukup hanya dilihat dari aspek sosial dan ekonomi semata, melainkan juga perlu memperhatikan aspek budaya. Kesenian sebagai salah satu unsur budaya, memiliki peran dan fungsi penting sebagai sarana/alat untuk membudayakan dan memberdayakan anak jalanan, melalui pembelajaran seni. Pemberian pengalaman estetik berkesenian, memiliki andil besar dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak jalanan, sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Saran-saran Model pembelajaran seni seperti di Sanggar Alang-alang, sebagai upaya untuk memberdayakan dan mengeliminasi jumlah anak jalanan, patut dipertimbangkan untuk ditrapkan di daerah lain, terutama di kota-kota besar Indonesia yang karakteristiknya sama. Perlu dukungan dari berbagai fihak, terutama pemerintah. Bantuan dana, sarana dan prasarana diperlukan untuk memperlancar kegiatan sanggar, mengingat sampai saat ini sanggar Alang-alang masih banyak didukung oleh bantuan dana terutama dari LSM/NGO luar negeri.
Daftar Pustaka
Danandjaya, J. 1988. Antropologi Psikologi, Teori, Metode dan Sejarah Perkembangannya. Jakarta: Rajawali. Depsos. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan. Surabaya. Dimyati & Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003. Jakarta: Cemerlang. Eisner, E.W. 1972. The Educating Artistic Vision. New York: The Macmillan Company. Farid, M. 1999. Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia: Analisis Situasi. Jakarta : Unicep dan PKPM Unika Atmajaya. Irwanto, dkk. 1995. Pekerja Anak di Tiga Kota Besa : Jakarta, Surabaya, Medan. Jakarta: Unicef dan Pusat Penelitian Unika Atmajaya. Irwanto, dkk.. 1999. Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia. Jakarta: PKPM Unika Atmajaya. Irwanto, dkk.. 2003. Pekerja Anak dan Anak Jalanan. Jakarta: Kerjasama Akatiga dengan UNICEP. Ishaq. 2000. Pengembangan Model Program Pendidikan Taruna Mandiri. Bandung: UPI. Joesoef, S. 1998. Memahami Konsep Pendidikan Luar Sekolah. Surabaya : Upres IKIP Surabaya. Kindervater, S. 1979. Nasional Education as An Empowering Process. Massachuseets: Cent. for Inter. Educational University of Massachuseets. Moleong, L. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Rohidi, T. Ri. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin. Bandung: Nuansa Cendekia. Sudjana.1991. Pendidikan Luar Sekolah: Wawasan Sejarah Perkembangan Falsafah dan Teori Pendukung Azas. Bandung: Nusantara Press. Sudjana. 1992. Pengantar Manajemen Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara Press.
Sudjana. 1993. Strategi Pembelajaran dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara Press. . Sudjana. 2004. Pendidikan Nonformal (Nonformal Education), Filsafat dan Teori Pendukung. Bandung: Falah Production. Suyanto, B. 2003. Anak Jalanan di Kota Surabaya: Isu Prioritas dan Program Penanganannya. Surabaya: Kerja Sama LP Unair dengan Dinsos Kota Surabaya Soehardjo. 2005. Pendidikan Seni, dari Konsep sampai Program. Malang: Kajian Seni dan Desain Univ. Negeri Malang. Stewart, A.M. 1994. Empowering People. Singapore: Institut of Management.