Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016
PEMBELAJARAN QUICK ON THE DRAW UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Prahesti Tirta Safitri Pendidikan Matematika FKIP Universitas Muhammadiyah Tangerang
[email protected]
Abstrak Penelitian ini didasarkan pada permasalahan rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa. Kemampuan penalaran matematis dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan penelitian dengan menggunakan pembelajaran quick on the draw. Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran quick on the draw dan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Desain penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non-ekivalen sehingga diperoleh sampel siswa kelas VII di salah satu SMPN di Kota Tangerang sebanyak dua kelas yang menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian meliputi tes kemampuan penalaran matematis. Berdasarkan hasil analisis didapat informasi bahwa (1) Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran quick on the draw lebih baik secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Kata kunci: Kemampuan Penalaran Matematis, Pembelajaran Quick on the Draw
I. Pendahuluan Kline (Tim MKPBM, 2001) berpendapat bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri. Tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Maka dari itu, pembelajaran matematika sangatlah penting bagi kehidupan setiap manusia. Walle (2008) mengungkapkan bahwa matematika adalah ilmu tentang pola dan urutan. Definisi ini menantang pandangan popular masyarakat terhadap matematika sebagai ilmu yang didominasi oleh perhitungan dan tanpa alasan-alasan. Ilmu pengetahuan adalah proses menggambarkan sesuatu atau memberi arti tentang sesuatu. Ilmu pengetahuan berawal dengan soal pada suatu situasi. Meskipun mungkin anda tidak pernah memikirkannya, matematika adalah ilmu tentang sesuatu yang memiliki pola keteraturan dan urutan yang logis. Menemukan dan mengungkap keteraturan atau urutan ini dan kemudian memberikan arti merupakan makna dari mengerjakan matematika. Pada dasarnya setiap individu harus melakukan penalaran untuk menghasilkan keputusan yang akurat. Kesulitan mereka dalam memutuskan suatu permasalahan adalah karena kemampuan penalaran mereka yang masih lemah. Sementara Sawyer menyatakan bahwa pengetahuan yang diberikan atau ditransformasikan langsung kepada para siswa kurang meningkatkan kemampuan bernalar mereka. Sawyer menyebutnya hanya meningkatkan kemampuan untuk mengingat saja (dalam Prabawa, 2009). Dari kutipan tersebut jelas bahwa kemampuan penalaran matematis sangat dibutuhkan oleh setiap manusia karenanya selalu menjadi kebutuhan dasar untuk menyelesaikan setiap masalah yang sedang dijumpai dan kemampuan penalaran tersebut akan digunakan setiap manusia untuk mencari kemungkinan solusi dari permasalahan yang mereka hadapi. Berdasarkan hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2011 dalam matematika menempatkan siswa Indonesia pada peringkat 38 dari 63 negara dan 14 negara bagian yang disurvei (Kompas, 14 Desember 2012). Adapun aspek yang dinilai dalam matematika adalah tentang fakta, prosedur, konsep, penerapan pengetahuan, dan pemahaman konsep. Selanjutnya pada tahun 2007 TIMSS mengungkap hanya 17% (dari sampel yang diambil) anak Indonesia yang dapat menjawab soal penalaran matematis (Armiati, 2010). Kemudian berdasarkan hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) 2009 tentang matematika menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 61 dari 65 negara (OECD, 2010). Adapun aspek yang dinilai adalah kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, dan kemampuan komunikasi. Dilihat dari hasil tersebut dapat dikemukakan bahwa kemampuan siswa belum mencapai tingkat yang diharapkan. Artinya, siswa masih harus mendapat perbekalan pembelajaran yang mampu mendorong bekerjanya kemampuan penalaran mereka. Jika kemampuan penalaran mereka baik, maka siswa akan lebih baik lagi untuk memecahkan persoalan-persoalan yang diberikan. Halaman | 47
Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 Hasil penelitian Wahyudin dalam Yuniati (2010) yang menyatakan bahwa terdapat lima kelemahan siswa antara lain: (1) kurang memiliki pengetahuan materi prasyarat yang baik; (2) kurang memiliki kemampuan untuk memahami serta mengenali konsep-konsep dasar matematika (aksioma, definisi, kaidah, dan teorema) yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan; (3) kurang memiliki kemampuan dan ketelitian dalam menyimak atau mengenali sebuah persoalan atau soal-soal matematika yang berkaitan dengan pokok bahasan tertentu; (4) kurang memiliki kemampuan menyimak kembali sebuah jawaban yang diperoleh (apakah jawaban itu mungkin atau tidak); dan (5) kurang memiliki kemampuan nalar yang logis dalam menyelesaikan persoalan atau soal-soal matematika. Wahyudin juga menemukan bahwa guru matematika pada umumnya mengajar dengan metode ceramah dan ekspositori. Pembelajaran yang terjadi di berbagai kalangan sekolah juga belum bisa mengangkat kemampuan siswa dalam bernalar. Pembelajaran di kelas yang masih berpusat pada guru membuat siswa hanya menerima materi pelajaran secara informatif, akibat dari pasifnya siswa dalam kelas membuat kemampuan penalaran siswa juga sulit berkembang. Hal ini juga dipaparkan dalam video study yang menunjukkan bahwa ceramah merupakan metode yang paling banyak digunakan selama mengajar, dan guru lebih banyak berbicara dibandingkan dengan siswa (Shadiq, 2007). Kurang optimalnya kemampuan bernalar siswa dalam pembelajaran di kelas masih selalu menggunakan metode konvensional yang cenderung tidak melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa tidak termotivasi untuk mengikuti aktivitas pembelajaran. Kemampuan penalaran matematis yang diasah dalam pembelajaran quick on the draw merupakan kemampuan penalaran matematis yang dibentuk dalam aktivitas pembelajaran berkelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Herman (2007) bahwa belajar kelompok merupakan strategi yang cocok untuk meningkatkan penalaran siswa. Selain itu alasan memilih pembelajaran berkelompok adalah untuk mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, sehingga metode pembelajaran matematika di kelas perlu dikembangkan, tidak lagi bersifat teacher-centered tetapi sudah beralih ke student-centered. Ginnis (2008) menyampaikan bahwa Quick on the draw merupakan sebuah pembelajaran untuk kerja tim dan kecepatan. Pembelajaran ini juga tidak rumit untuk diaplikasikan di kelas. Tujuannya adalah menjadi kelompok pertama yang menyelesaikan satu set pertanyaan, jadi mereka tidak bersaing melawan kelompok lain, melainkan sebagai acuan melawan waktu. Kegiatan pembelajaran quick on the draw di dalamnya dapat membantu siswa untuk membiasakan diri belajar pada sumber selain guru dan sesuai dengan siswa yang memiliki karakteristik tidak dapat duduk dengan tenang pada saat belajar. Pembelajaran quick on the draw akan memberikan pengalaman mengenai berbagai macam keterampilan yang dimiliki oleh siswa. Pembelajaran quick on the draw dapat membuat peserta didik terlibat secara aktif dalam kelas karena mereka dituntut untuk menguasai konsep-konsep materi yang sedang dipelajari baik secara individu maupun berdiskusi dengan teman-teman dari kelompoknya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses yang menyebutkan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran harus dilaksanakan sebagai berikut: “Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis perserta didik” (Permendiknas, 2007). Pembelajaran quick on the draw memiliki beberapa tahap dalam proses pembelajarannya. Aktivitas penalaran akan terlihat pada tahap kedua pada saat siswa bekerja bersama kelompoknya untuk menyelesaikan beberapa permasalahan, masing-masing dari mereka dituntut untuk berpikir logis agar setiap permasalahan yang ada dapat segera teratasi secara bersama-sama. Guru juga membimbing agar siswa mampu mengasah kemampuan penalaran mereka melalui diskusi dalam pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (usia 11 tahun keatas) diharapkan siswa yang sudah masuk pada awal formal operation ini mereka sudah berpikir secara abstrak dan kompleks sehingga mampu untuk mengikuti instruksi yang disampaikan oleh guru mengenai proses pembelajaran quick on the draw dan mereka tidak akan mengalami banyak kesulitan selama proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan alasan tersebut, maka kajian yang diteliti adalah mengenai pembelajaran quick on the draw untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa sekolah menengah pertama. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran quick on the draw dan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Tinjauan Teoritis 1. Kemampuan Pemahaman Matematis Pemahaman pada intinya adalah salah satu kemmapuan tingkat tinggi dalam matematika yang dibutuhkan oleh seorang pembelajar matematika. Dalam perkembangannya pemahaman matematis tidak hanya mengukur Halaman | 48
Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 bagaimana ingatan tentang konsep matematika, lebih jauh pemahaman matematis yang baik harus dapat mengembangkan konsep pada penerapan lain. Dalam proses pembelajaran matematika, pemahaman konsep merupakan bagian yang sangat penting. Pemahaman konsep matematik merupakan landasan penting untuk berpikir dalam menyelesaikan permasalahan matematika maupun permasalahan seharihari. Menurut Schoenfeld (1992) berpikir secara matematik berarti (1) mengembangkan suatu pandangan matematik, menilai proses dari matematisasi dan abstraksi, dan memiliki kesenangan untuk menerapkannya, (2) mengembangkan kompetensi, dan menggunakannya dalam dalam pemahaman matematik. Implikasinya adalah bagaimana seharusnya pengajar merancang pembelajaran dengan baik, pembelajaran dengan karakteristik yang bagaimana sehingga mampu membantu peserta didik membangun pemahamannya secara bermakna. Bloom yang dikenal dengan dimensi kognitif Taksonomi Bloom telah lama menyampaikan istilah memahami (understanding). Ini diartikan sebagai memahami ide-ide yang telah diketahui sebelumnya, mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai sisi. Pemahaman konsep merupakan kompetensi yang ditunjukkan peserta didik dalam memahami konsep dan dalam prosedur (algoritma) secara luwes, akurat, efisien dan tepat.Adapun pemahaman konseptual manurut Kilpatrick, dkk; Hiebert, dkk; Ball (dalam Juandi, 2006:29), adalah pemahaman konsep-konsep matematika, operasi dan relasi dalam matematika. Beberapa indikator dari kompetensi ini antara lain: dapat mengidentifikasi dan menerapkan konsep secara algoritma, dapat membandingkan, membedakan, dan memberikan contoh dan contoh kontra dari suatu konsep, dapat mengintegrasikan konsep dan prinsip yang saling berhubungan. Dalam NCTM 2000 disebutkan bahwa pemahaman matematik merupakan aspek yang sangat penting dalam prinsip pembelajaran matematika. Pemahaman matematik lebih bermakna jika dibangun oleh peserta didik sendiri. Oleh karena itu kemampuan pemahaman tidak dapat diberikan dengan paksaan, artinya konsep-konsep dan logika-logika matematika diberikan oleh pengajar, dan ketika peserta didik lupa dengan algoritma atau rumus yang diberikan, maka peserta didik tidak dapat menyelesaikan persoalan-persoalan matematika. Delvin (Kurniawan, 2011) mengatakan pemahaman matematis dibagi menjadi dua yaitu pahaman matematis sebagai tujuan dan proses. Sebagai proses, pemahaman matematis diartikan sebagai suatu proses pengamatan kognisi secara tidak langsungdalam upaya menyerap pengertian dari konsep/teori yang akan dipahami, kemudian kemampuan pemahaman ditunjukkan ketika menerapkan konsep/teoriyang dipahami pada keadaan atau situasi yang baru. Sedangkan pemahaman konsep sebagai tujuan diartikan sebagai suatu kemmapuan memahami konsep, membedakan sejumlah konsep yang saling terpisah, serta mampu melakukan perhitungan secara bermakna pada situasi-situasi atau masalah yang lebih luas dan masaah yang baru. Ruseffendi (2006: 221) menyatakan bahwa ada tiga macam pemahaman yaitu: (1) Pengubahan (translation) dalam matematika misalnya mampu mengubah kalimat ke dalam simbol dan sebaliknya; (2). Pemberian arti (interpretation) misalnya mampu mengartikan suatu kesamaan; (3). Ekstrapolasi (extrapolations) misalnya mampu memperkirakan suatu kecenderungan dari diagram. Anderson et al (2001) memberikan definisi tentang pemahaman, yaitu mencakup tujuh jenis yaitu: 1. Interpreting (menginterpretasikan) terjadi ketika siswa mampu mengkonversi informasi dari satu representasi ke representasi yang lain. Interpretasi meliputi konversi kata-kata ke dalam kata-kata, gambar ke dalam kata-kata. Nama lainnya adalah translating, paraphrasing, representing, clarifying. Contohnya siswa mampu mengubah soal cerita kedalam bentuk simbol matematika. 2. Exemplifying (memberikan contoh), pemberian contoh terjadi ketika siswa mampu memberikan contoh spesifik atau contoh dari konsep umum atau prinsip. Exemplifying meliputi menemukan ciri-ciri dari konsep umum atau prinsip (misalnya segitiga samasisi harus mempunyai tiga sisi yang sama panjang), dan menggunakan ciri-ciri tersebut untuk memilih atau mengkonstruk contoh lebih spesifik. Nama lainnya adalah ilustrating dan instantiating. 3. Classifying (mengklasifikasi) terjadi ketika siswa mengenal bahwa sesuatu (contoh atau kejadian tertentu) termasuk kategori tertentu (misal konsep atau prinsip). Mengklasifikasi meliputi penemuan ciri-ciri atau pola-pola yang relevan, yang cocok dengan contoh spesifik dan konsep atau prinsip. Nama lainnya categorizing dan subsuming. Misalnya mampu menentukan nama dari tiga buah segitiga yang disajikan adalah segitiga sama sisi. 4. Summarizing (merangkum) terjadi ketika siswa mampu mengusulkan pernyataan tunggal yang merepresentasikan penyajian informasi atau rangkuman dari tema umum. Merangkum meliputi konstruksi Halaman | 49
Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 suatu representasi informasi, membuat suatu rangkuman, seperti menentukan tema atau topic utama. Nama lainnya adalah generalizing dan abstracting. 5. Inferring (menyimpulkan) meliputi penemuan pola dalam rangkaian contoh-contoh atau kejadian-kejadian. Menyimpulkan terjadi ketika siswa mampu meringkas konsep atau prinsip yang terdiri atas suatu rangkaian contoh-contoh atau kejadian-kejadian melalui pengkodean ciri-ciri yang relevan dari masing-masing kejadian. Nama lainnya adalah extrapolating, interpolating, predicting, dan concluding. Menemukan pola bilangan, misalnya bagaimana pola yang terbentuk dari suatu deret bilangan. 6. Comparing (membandingkan) terjadi ketika siswa menemukan persamaan dan perbedaan antara dua atau lebih objek/benda, peristiwa, masalah, atau situasi. Nama lainnya adalah contrasting, matching, dan mapping. Misalnya membandingkan bahwa dua buah masalah dalam matematika bisa diselesaikan dengan konsep yang sama . 7. Explaining (menjelaskan) terjadi ketika siswa mampu membangun dan menggunakan model sebab akibat dari suatu sistem. Model dapat diturunkan dari teori formal, atau bisa didasarkan pada riset atau pengalaman. Penjelasan yang lengkap meliputi mengkontruksi model sebab akibat, termasuk setiap bagian utama dalam sistem atau setiap peristiwa utama dalam rangkaian, dan menggunakan model untuk menentukan perubahan dalam satu bagian sistem atau hubungan dalam rangkaian yang mempengaruhi perubahan dalam bagian lain. Nama lainnya constructing a model. Skem (Sumarmo, 2010) membedakan dua jenis pemahaman yaitu pemahaman instrumental dan relasional. Pemahaman instrumental yaitu suatu pemahaman membedakan sejumlah konsep sebagai pemahaman konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dengan perhitungan sederhana. Pemahaman relasional, yaitu dapat mengaitkan sesuatu konsep/istilah dengan konsep/istilah lainnya yang secara benar dan dapat melakukan perhitungan pada masalah yang lebih luas. Beberapa ahli memberikan definisi mengenai pemahaman (Sumarmo, 2010) antara lain yaitu: 1. Polya membedakan empat jenis pemahaman yaitu a. Pemahaman mekanis yang meliputi mampu mengingat dan menerapkan suatu secara rutin atau melakukan perhitungan sederhana. b. Pemahaman induktif yaitu dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa sesuatu itu berlaku untuk kasus yang serupa. c. Pemahaman rasional yaitu dapat membuktikan kebenaran rumus dan teorema. d. Pemahaman intuitif mencakup dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu, sebelum menganalisa secara analitik. Pemahaman matematis dalam penelitian ini menggunakan definisi dari Skem. Adapun indikator setiap jenis pemahaman mengikuti indikator yang diberikan oleh Skem. 2. Jenis Kelamin Secara fisik (normalnya) manusia diciptakan menjadi dua jenis kelamin, perempuan dan laki-laki. Kondisi fisik, kemampuan kognitif, kelemahan, sikap, dan intuisi terhadap suatu permasalahan berbeda. Masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan tersendiri. Berdasarkan kajian teori atau hasil penelitian sebelumnya mengatakan seperti itu. Witelson (dalam Hatip, 2008) menemukan bahwa otak perempuan secara keseluruhan lebih kecil daripada otak laki-laki. Lobus parital bawah pada laki-laki lebih besar daripada perempuan sehingga penguasaan terhadap pengenalan ruang dimensi tiga laki-laki lebih unggul. Ukuran dan bentuk otak yang berbeda, secara otomatis membedakan perempuan dan laki-laki dalam cara dan gaya berpikir, termasuk kemampuan- kemampuan khusus keduanya. Implikasi perbedaan struktur tersebut terjadi pada cara dan gaya melakukan sesuatu. Lelaki dan perempuan cenderung menunjukkan perbedaan dalam beberapa hal, meliputi emosi, tingkah laku seksual, proses berbahasa, kemampuan spasial dan problem- problem matematis. Kartono (2006) menyatakan bahwa perempuan pada umumnya lebih akurat dan lebih mendetail dalam memperhatikan sesuatu dibandingkan laki- laki. Dagun (1992 ) berpendapat bahwa anak perempuan memiliki skor yang lebih tinggi di bidang tertentu dibandingkan anak laki-laki. Kemampuan verbal perempuan lebih baik dibandingkan laki-laki, meskipun kemampuan spasialnya rendah. Selanjutnya menurut Dagun, pada usia 11 tahun keatas, anak laki-laki memiliki kemampuan matematika yang jauh lebih baik dibandingkan anak perempuan. Hasil penelitian Subarinah (2013) pada salah satu sekolah menyatakan bahwa siswa laki-laki lebih unggul dibanding siswa perempuan. Siswa laki-laki mempunyai kemampuan pengamatan kongkrit dan abstrak, analisis, Halaman | 50
Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 sintesis, membuat pola rumit, membuat konjektur generalisasi, dan mengujinya pada jawaban yang diinginkanya. Sedangkan perempuan hanya mempunyai kemampuan pengamatan kongkrit, analisis sederhana, dan membuat pola sederhana, dan enggan mencoba perhitungan-perhitungan yang rumit. Meskipun hasil penelitian ini dilakukan pada siswa bukan mahasiswa, namun ada kajian yang menyatakan perbedaan itu akan belanjut hingga mereka dewasa. Dengan kata lain ketika menginjak usia remaja atau menjadi mahasiswa bisa terjadi perbedaan kemampuan matematis antara mahasiswa perempuan dan laki-laki. Jenis kelamin dalam penelitian ini yaitu laki-laki dan perempuan. Adapun perbedaan yang dikaji adalah mencakup kemampuan kognitif dalam matematika. II. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian ini bermaksud untuk mendeskripsikan profil pemahaman matematis mahasiswa matematika ditinjau dari jenis kelamin. Menggambarkan kecenderungan kemampuan pemahaman matematis berdasarkan jenis kelamin. Adapun subjek penelitiannya adalah mahasiswa pendidikan matematika yang diambil berdasarkan ketentuan tertentu. Atau menurut Sugiyono (2011) Purposive Sampling adalah pengambilangn sampel berdasarkan pertimbangan kondisi-kondisi tertentu. Adapun pertimbangannya adalah, mahasiswa subjek penelitian terdiri atas perempuan dan laki-laki. Mempunyai hasil belajar matematika yang heterogen. Tidak mungkin membuat kelas baru dalam penelitian ini, karena akan mengganggu perkuliahan. Instrumen yang digunakan dalam penilaian ini adalah tes kemampuan pemahaman matematis. Terdiri dari 5 soal berbentuk uraian. Tes ini akan dilakukan validasi ahli dan uji instrumen untuk mendapatkan instrument yang valid. Dari instrumen yang valid akan didapat data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Jika ditemukan hal yang aneh dalam lembar jawaban siswa pada tes kemampuan pemahaman matematis, maka peneliti akan melakukan wawancara kepada subejek penelitian tersebut. Adapun teknik pengolahan data dilakukan secara deskriptif. Menghitung rerata untuk setiap skor kemampuan pemahaman matematis. Menghitung rerata untuk setiap indikator kemampuan pemahaman matematis mahasiswa laki-laki dan perempuan. Kemudian secara deskriptif menyimpulkan hasil penelitian. III. Hasil dan Pembahasan III.1 Hasil Penelitian Setelah 30 mahasiswa dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, maka dihitung rerata untuk setiap skornya. Rerata ini menggambarkan skor pemahaman matematis secara keseluruhan untuk mahasiswa laki-laki dan perempuan. Untuk lebih jelas disajikan dalam tabel berikut. Tabel 1 Rerata Kemampuan Pemahaman Matematis Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Rerata Laki-Laki
53
Perempuan
55
Ditinjau dari rerata secara keseluruhan, antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan skor hanya 2. Ini bisa dikatakan relatif sama. Untuk mengetahui besarnya perbedaan, lebih jelas disajikan dalam diagram berikut.
Series1, 2, 55 Series1, 1, 53.125
Gambar 1 Rerata Skor Kemampuan Pemahaman Matematis ditinjau dari Jenis Kelamin Halaman | 51
Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016
Jika ditinjau berdasarkan indikator kemampuan pemahaman matematisnya, yaitu pemahaman instrumental dan relasional, ada beberapa kecenderungan antara mahasiswa laki-laki dan perempuan. Dari jawaban dan skor tes pemahaman matematis, tampak bahwa laki-laki lebih cenderung pada pemahaman relasional. Adapun rerata skor kemampuan pemahaman matematis untuk aspek relasional laki-laki adalah 74 dan aspek pemahaman instrumental adalah 52. Sedangkan pada mahasiswa perempuan, kecenderungan pada pemahaman instrumental. Adapun rerata skor kemampuan pemahaman matematis untuk aspek instrumental perempuan adalah 74 dan aspek pemahaman relasional adalah 51. Untuk melihat lebih jelas, perbedaan skor rerata pada setiap aspek pemahaman matematis antara mahasiswa laki-laki dan perempuan, disajikan dalam tabel berikut. Tabel 2 Rerata Skor Kemampuan Pemahaman pada Setiap Aspek Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Aspek Rerata Laki-Laki
Perempuan
Instrumental
52
Relasional
74
Instrumental
74
Relasional
51
III.2 Pembahasan Hasil penelitian ini dapat dikatakan mendukung dan membantah beberapa penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada perbedaan kognitif antara laki-laki dan perempuan dalam kemampuan matematikanya. Penelitian Hilton dan Herglund (dalam Astin, 1974) mengungkapkan perbedaan gender dalam prestasi matematika, yaitu terdapat perbedaan signifikan prestasi matematika laki-laki dan perempuan pada siswa kelas tujuh dan perbedaan ini meningkat pada kelas-kelas berikutnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan matematika antara siswa laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender juga berpengaruh pada berbedanya cara memecahkan masalah matematika antara laki-laki dan perempuan. MeyersLevy (1989) menyatakan ada perbedaan proses kognitif siswa laki-laki dan siswa perempuan dalam memecahkan masalah matematika. Singh, D.R. (dalam Fathima, 2008) menemukan bahwa kemampuan penalaran dan representasi simbol pada laki-laki dan perempuan berbeda. Adapun penelitian ini mendukung bahwa memang benar terjadi perbedaan pada kognitif mahasiswa laki-laki dan perempuan dalam matematika. Laki-laki cenderung lebih baik rerata skornya pada pemahaman relasional. Adapun pemahaman relasional mengukur beberapa hal seperti dapat mengaitkan sesuatu konsep/istilah dengan konsep/istilah lainnya yang secara benar dan dapat melakukan perhitungan pada masalah yang lebih luas. Adapun mahasiswa perempuan cenderung rerata skornya lebih baik pada pemahaman instrumental. Adapun pemahaman instrumental mengukur beberapa hal seperti pemahaman membedakan sejumlah konsep sebagai pemahaman konsep yang saling terpisah dan dapat menghafal rumus dengan perhitungan sederhana. Namun, penelitian ini menunjukkan hal bahwa secara keseluruhan rerata skor kemampuan pemahaman matematis mahasiswa laki-laki dan perempuan relatif sama. Hanya terdapat perbedaan 2 poin dan itu secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Artinya meskipun mahasiswa laki-laki lebih unggul dalam kemampuan pemahaman relasional, tetapi mahasiswa perempuan pun unggul dalam pemahaman instrumental. Sehingga secara keseluruhan rerata skor relative tidak jauh berbeda. IV. Simpulan dan Saran IV.1 Simpulan 1. Mahasiswa laki-laki lebih cenderung pada pemahaman relasional. Sedangkan pada mahasiswa perempuan, kecenderungan pada pemahaman instrumental. 2. Penelitian ini menunjukkan hal bahwa secara keseluruhan rerata skor kemampuan pemahaman matematis mahasiswa laki-laki dan perempuan relatif sama. Hanya terdapat perbedaan 2 poin dan itu secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan yang mencolok. IV. 2 Saran Halaman | 52
Jurnal Prima ISSN: 2301-9891 Vol. V, No. II, Juli 2016 1. Untuk mahasiswa pendidikan matematika agar meningkatkan kemampuan pemahaman konsep karen sangat penting bagi pembelajaran matematika. 2. Untuk peneliti lain, dapat dilanjutkan penelitian yang mengkaji mengenai jenis kelamin untuk kemampuan matematis yang lain. Daftar Pustaka Fathima, SK. (2008). Reasoning Ability of Adolescents Students. New Delhi: Discovery Publishing House Juandi, D. 2006. Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis masalah. Disertasi Pascasarjana UPI Bandung: tidak diterbitkan. National Council of Teachers of Mathematics. 2000. Principles and Standars for School Mathematics. Reston, VA: NCTM. Schoenfeld, A.H. 1992. Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition and Sense of Mathematics., Dalam Handbook of Reasearch on Mathematics Teaching and Learning (pp. 334- 370). D. A. Grouws (Ed). New York: Macmillan. Subarinah, S. (2013). Profil Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan Masalah Tipe Investigasi Matematik Ditinjau dari Perbedaan Gender. Makalah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika “Penguatan Peran Matematika dan Pendidikan Matematika untuk Indonesia yang Lebih Baik”. Uiversitas Negeri Yogjakarta. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU Serta Mahasiswa Strata Satu Melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan penelitian. Lemlit UPI: Tidak diterbitkan.
Halaman | 53