PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh: M. ZAKY AHLA FIRDAUSI NIM. 1110044100041
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI SYARIAH DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M i
ABSTRAK M. ZAKY AHLA FIRDAUSI. NIM. 1110044100041. “PENETAPAN ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)” Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H./2015 M. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui proses pengajuan Isbat Nikah bagi Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa, pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs., dan pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen penetapan isbat nikah nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. dan wawancara dengan hakim yang menetapkan permohonan tersebut. Sedangkan sumber data sekundernya adalah peraturan perundang-undangan perkawinan. Sedangkan teknik penulisannya berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa proses pengajuan isbat nikah bagi perkawinan campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa sama dengan proses pengajuan isbat nikah perkawinan biasa (perkawinan antara sesama WNI yang beragama Islam). Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 adalah bahwa permohonan isbat nikah dikabulkan demi melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Adapun alasan permohonan isbat nikah untuk perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf e KHI.
Kata kunci: Isbat Nikah, Perkawinan Campuran, Penetapan Pengadilan Agama. Pembimbing
: Hj. Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A.
Daftar Pustaka
: Tahun 1980 s.d. 2014
KATA PENGANTAR
الرحيم ّ الرمحن ّ بسم اهلل
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur kepada Rabbul Izzati, Allah SWT., yang telah menerangi, menuntun dan membukakan hati serta pikiran penulis dalam menyelesaikan setiap tahapan proses penyusunan skripsi ini. Iringan shalawat dan salam senantiasa mengalir kepangkuan manusia pilihan, Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan segenap sahabat-sahabat setianya hingga akhir zaman. Skripsi ini berjudul “Penetapan Isbat Nikah Bagi Perkawinan Campuran (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 0044/Pdt.p/2014/PA. Tgrs)”, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), dan juga sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur alhamdulillah berkat rahmat dan rida-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
i
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Bapak Arip Purkon M.A., Ketua Prodi dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Hj. Hotnidah Nasution, S.Ag., M.Ag., dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya selama membimbing penulis. 4. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M.Ag., selaku dosen penguji I dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku penguji II, yang telah memberikan saran dan masukannya kepada penulis guna kesempurnaan skripsi ini. 5. Bapak Drs. H. Ahmad Yani. M.Ag., dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis yang menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 6. Segenap Civitas Akademik Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. 7. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staff yang telah memberikan penulis fasilitas untuk menggandakan studi perpustakaan. 8. Segenap Hakim dan Staff Pengadilan Agama Tigaraksa yang memberikan data dan informasi yang penulis butuhkan.
ii
9. The Light Of My Life, Supporter tiada henti, kekuatan saat lemahku, pelipur lara saat sedihku, Ayahanda Drs. Didi Kusnadi, M.Pd., dan Ibunda tercinta Nuryati yang tidak pernah mengenal kata lelah mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya berupa bimbingan dalam menuntunku menjadi pribadi yang lebih baik. Terimakasih untuk semua waktu dan tiap doa yang selalu kau panjatkan untuk anakmu ini. Terimakasih untuk selalu menjadi yang pertama membangkitkanku, menyemangatiku, serta membuatku tetap melapangkan hatiku saat aku mulai lelah dan kehabisan semangat. Bagi ananda, tiada penghargaan paling terindah di dunia ini selain melihat Ayah dan Ibu selalu tersenyum. Doakan selalu semoga anakmu ini selalu menjadi pribadi yang baik, hamba Allah yang baik, dan menjadi anak yang membanggakan kalian. Amiin. Ana UhibbukumaFillah. 10. Kepada Adik-Adiku Nadhia Rahma Al-Azkia, M. Zahid Noor El-Adly dan Keluarga Besarku yang senantiasa ada dan berupaya membantuku dalam menempuh kuliah baik berupa semangat, canda tawa, serta waktu. Terimakasih untuk
selalu
memberikan
semangat
dan
membantu
penulis
untuk
menyelesaikan skripsi ini. 11. Big Thank’s To OPS Management Rifky (Ceper), Syahbana, Ulil Azmi, Rusdi, Arkim, Zidni, Faudzan, Fajrul, Kahfi, Ipank, Zian, Erwin, Inayah, Rena, Neneng, Arini, Khairunnisa serta sahabat-sahabat Peradilan Agama Angkatan 2010, Kawan Seperjuanganku Alif Septian, Redi, Luthfi dan sahabat S.M.S All Stars yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang menjadi teman seperjuangan sebelum maupun ketika di bangku perkuliahan.
iii
12. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) DINAMIC dan Bapak Ibu sekeluarga KKN Desa Kohod, Pakuhaji. yang selalu memberikan semangat dan do’a kepada penulis. Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi catatan pahala di sisi Allah Swt. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, Amiin. Ciputat, 11 J u n i 2015 M. 24 Sya’ban 1436 H.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................................... LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ABSTRAK ............................................................................................................. i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .....................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 9
BAB II
D. Metode Penelitian ...................................................................
11
E. Study Review Terdahulu ........................................................
15
F. Sistematika Penulisan .............................................................
16
: HAKEKAT PERKAWINAN CAMPURAN A. Pengertian Perkawinan Campuran .......................................... 17 B. Dasar Hukum Perkawinan Campuran ....................................
22
C. Prosedur Perkawinan Campuran ............................................ 25 D. Akibat Hukum Perkawinan Campuran ................................... 28 BAB III
: ISBAT NIKAH DAN PENCATATAN PERKAWINAN A. Pengertian Isbat Nikah ............................................................ 35
v
B. Dasar Hukum Isbat Nikah ....................................................... 38 C. Alasan Diperbolehkannya Permohonan Isbat Nikah .............. 41 D. Syarat-Syarat Permohonan Isbat Nikah .................................. 45 E. Isbat Nikah Perkawinan Campuran ........................................
47
F. Manfaat Pencatatan Perkawinan dan Isbat Nikah ................... 48 BAB IV
: ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN DI PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa .................... 51 B. Permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa ...
60
C. Persyaratan Permohonan Isbat Nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa .............................................. 65 D. Pertimbangan Hakim Pada Penetapan Nomor 0044/Pdt/P/2014/PA.Tgrs ........................................................ 66 E. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Dalam Perkara Isbat Nikah Perkawinan Campuran Setelah Terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1974 ....................................... 69 F. Analisis Penulis ....................................................................... 73 BAB V
:PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 86 B. Saran ......................................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 89 DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... 92
vi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Kesediaan Menjadi Dosen Pembimbing 2. Surat Permohonan Data dan Wawancara 3. Surat Balasan dari Pengadilan Agama Tigaraksa 4. Pedoman Wawancara 5. Hasil Wawancara 6. Penetapan Nomor : 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.
vii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan awal terbentuknya institusi kecil dalam keluarga. Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia, baik perorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan antara laki-laki dengan perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Pergaulan rumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram dan kasih sayang antara suami dan istri. Anak dari hasil perkawinan menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan anugerah dari Allah SWT. Perkawinan menurut pandangan
Islam
merupakan suatu ibadah,
sunnatullah, dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sunnatullah berarti menurut Qadrat dan Iradat Allah dalam penciptaan alam semesta ini, sedangkan sunnah Nabi Muhammad SAW berarti mengikuti tradisi yang dilakukan oleh Rasul yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri dan untuk umatnya.1 Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan-aturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat). Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan 1
Amir Syariffudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 2007), h. 41
1
2
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kemajuan teknologi yang pesat dan semakin canggih seperti saat ini, maka komunikasi semakin mudah untuk dilakukan. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap hubungan internasional yang melintasi wilayah antar negara. Keterbukaan Indonesia dalam aktifitas dan pergaulan internasional membawa dampak tertentu pada hubungan manusia dalam bidang kekeluargaan, khususnya perkawinan. Selain itu, manusia mempunyai rasa cinta yang universal, tidak mengenal perbedaan warna kulit, agama, golongan maupun bangsa, sehingga bukanlah hal yang mustahil bila terjadi perkawinan antar manusia yang mempunyai kewarganegaraan yang berbeda yaitu antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing (WNA). Perkawinan ini di Indonesia dikenal dengan istilah perkawinan campuran. Pengertian Perkawinan campuran didefinisikan dalam Pasal 57 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut : ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kemudian menyatakan, perkawinan campuran baru dapat dilangsungkan bilamana para pihak telah memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana ditentukan oleh
3
hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak (ayat 1). Hal mana haruslah dibuktikan dengan surat keterangan dari mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan (ayat 2). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak (ayat 3). Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang dimkasud dalam ayat (3) tersebut (ayat 4). Selain syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 60 tersebut, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memerintahkan pula supaya perkawinan campuran itu dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (pasal 61 ayat 1). Perkawinan yang selanjutnya disebut pernikahan, merupakan sebuah lembaga yang memberikan legitimasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup dan berkumpul bersama dalam sebuah keluarga. Ketenangan atau ketenteraman sebuah keluarga salah satunya ditentukan oleh syarat dan rukun yang telah ditetapkan menurut syariat Islam (bagi orang Islam). Selain itu, ada aturan lain yang mengatur bahwa pernikahan itu harus tercatat di Kantor Urusan Agama/Catatan Sipil. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.
4
Pencatatan
perkawinan
bertujuan
untuk
mewujudkan
ketertiban
perkawinan dalam masyarakat yang dibuktikan dengan akta nikah dan masingmasing suami istri mendapat salinannya. Apabila terjadi perselisihan atau pertengkaran diantara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa pencatatan dan pengawasan pegawai pencatat nikah, maka perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum. Jika perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum maka mereka yang melaksanakan perkawinan tersebut tidak dapat melakukan upaya hukum atau memperoleh haknya ketika terjadi pelanggaran atas perkawinan mereka. Keterlibatan pegawai pencatat nikah dalam suatu perkawinan adalah untuk mewujudkan tujuan hukum yaitu terwujudnya ketertiban, kepastian, dan perlindungan hukum bagi masyarakat dalam bidang perkawinan. Oleh karena itu dalam pernikahan tersebut harus diatur sedemikian rupa agar mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah. Keluarga sakinah pada dasarnya terbentuk dalam 2 dimensi : dimensi kualitas hidup dan dimensi waktu, durasi atau stabilitas.2 Untuk itulah di Indonesia dibuat UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang merupakan sumber hukum materil perkawinan. Seiring dengan perkembangan zaman UU tersebut mulai menampakkan kelemahannya. Pada dasarnya UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
2
Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), h. 17
5
merupakan sumber hukum materil dalam peradilan. Namun saat ini dalam perkara peradilan tidak sepenuhnya merujuk pada UU tersebut. Sebagai contoh dalam masalah Isbat Nikah, seperti dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 (ayat 3d) bahwa Isbat Nikah yang diajukan ke pengadilan agama terbatas ketika adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.3 Artinya jika mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 7 (ayat 3d) & UU No. 1 Tahun 1974 ketika seseorang menikah sebelum adanya UU Perkawinan tersebut (sebelum tahun 1974) maka diperkenankan untuk melakukan Isbat nikah, karena pada saat itu tidak ada aturan tentang pencatatan Nikah. Akan tetapi setelah adanya UU Perkawinan tersebut maka pihak yang menikah sirri (nikah dibawah tangan) dilarang untuk melakukan Isbat Nikah. Akan tetapi fakta yang terjadi saat ini banyak sekali perkara Isbat nikah yang masuk dalam lingkungan Peradilan Agama walaupun pernikahan sirri tersebut terjadi setelah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974. Tujuan utama disahkannya UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai upaya penertiban hukum terhadap pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan pencatatan nikah. Adanya pencatatan nikah ini, sebagai konsekuensinya masyarakat akan mendapatkan pengakuan yang sah oleh hukum terhadap pernikahan tersebut dan akan mendapatkan perlindungan hukum jika suatu saat nanti terjadi sengketa hukum terkait dengan perceraian, pembagian waris, wakaf, dan lain sebagainya. 3
Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan, Waris, Perwakafan, Impres No. 1 Th 1991 berikut penjelasan, (Surabaya: Karya Anda, 1991), h.2
6
Seperti yang telah tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974, dalam pasal 2 dijelaskan, ayat (1) berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan dalam pasal 2 ayat (2) dijelaskan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut mempunyai makna bahwa sesungguhnya setelah diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada lagi pernikahan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal tersebut juga sebagai penertiban pernikahan. Tidak dicatatkannya sebuah pernikahan akan menimbulkan dampak hukum bagi pasangan suami-istri. Namun demikian pasal 7 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama (3) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. (b) Hilangnya Akta Nikah. (c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian. (d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang No.1 Tahun 1974 dan. (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Pasal 7 ayat 3e KHI tersebut tampaknya memberikan celah hukum sehingga seorang hakim mempunyai pertimbangan khusus dalam mengabulkan Perkara Isbat nikah. Dilakukannya isbat nikah maka kedua pasangan suami isteri mempunyai beberapa manfaat, yang pertama, bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi
7
agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan
syarat-syarat
perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun
menurut
perundang-undangan. Ini dapat dihindari pelanggaran terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat hukum, seperti identitas calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.4 Sedangkan yang kedua adalah manfaat represif berkaitan dengan perkawinan yang tidak memiliki akta nikah karena lain hal, bisa mengajukan
isbat nikahnya (penetapan) kepada
pengadilan.5 Menurut sejumlah penelitian, isbat nikah merupakan salah satu sarana empuk bagi pelaku-pelaku pelanggar undang-undang perkawinan. Peluang isbat nikah ditambah dengan pengetahuan yang rendah, bahkan tidak paham dari pihak lain, menjadi pintu luang bagi pelanggar. Mengaku calon istri sudah hamil menjadi lowongan poligami lewat isbat nikah. Mengaku sudah lahir anak yang kelak tidak jelas status hukum orangtuanya menjadi alasan lagi untuk poligami lewat isbat nikah. Masih banyak modus-modus hampir sama untuk tujuan sama. Karena itu, ketegasan para penegak hukum (hakim) untuk bertindak tegas atau minimal kecerdasan untuk menyeleksi mana yang masih pantas diberi isbat nikah. Semestinya para hakim dan tokoh masyarakat seperti ustad, kiyai, muballig, meletakkan Undang-Undang Perkawinan sebagai hukum (fikih) Islam Indonesia, sehingga undang-undang inilah sebagai fikih Islam yang diberlakukan di Indonesia, sama status dan otoritasnya dengan hukum (fikih) Islam konvensional
4
Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet ke-III, h. 111-112. 5 Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, h.117
8
yang dikonsepkan para imam mazhab di zamannya. Sehingga tidak ada lagi istilah sah menurut agama tetapi belum menurut negara. Dengan ungkapan lain, undangundang itulah hukum Islam (agama) sekaligus hukum negara.6 Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh Isbat nikah tersebut yang dalam hal ini secara komprehensip penulis menuangkannya ke dalam karya Ilmiyah berjudul “ Penetapan Isbat Nikah Bagi Perkawinan Campuran (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Banyak perkara yang masuk dalam penetapan Isbat Nikah dalam Lingkungan Pengadilan Agama Tigaraksa setiap tahunnya. Akan tetapi dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada perkara Isbat Nikah dengan alasan Perkawinan Campuran Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. 2. Perumusan Masalah Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 (ayat 3d) dinyatakan bahwa isbat nikah dapat diajukan bagi mereka yang melakukan pernikahan sebelum diberlakukannya 6
Khoiruddin Nasution, “Belajar dari Kasus Syeh Puji,” http://maulhayat.blogspot.com/ 2009/03/hikmah-kasus-syekh-puji.html (diakses pada 12 April 2014)
9
UU No. 1 Tahun 1974. Pada kenyataannya masih ada penetapan pengadilan tentang isbat nikah terhadap
perkawinan yang dilaksanakan setelah
diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974, termasuk perkawinan campuran seperti yang tertuang dalam penetapan nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. Berdasarkan permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Bagaimana Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 ? b. Bagaimana proses pengajuan Isbat Nikah bagi Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa ? c. Bagaimana
Pertimbangan
Hakim
pada
Penetapan
Nomor
0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : a. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 ? b. Proses pengajuan Isbat Nikah bagi Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa ? c. Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs ?
10
2. Manfaat penelitian a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai pandangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam memutuskan perkara Isbat Nikah setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974,serta dampak yang terjadi akibat pengabulan isbat nikah yang terjadi setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, dan solusi yang ditawarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan ilmu pengetahuan bagi: 1) Peneliti Penelitian ini bertujuan untuk memuaskan rasa penasaran peneliti tentang apa yang menjadi landasan hukum bagi para hakim yang mengabulkan perkara isbat nikah walaupun pernikahan tersebut terjadi setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, serta dampak yang terjadi akibat pengabulan isbat nikah yang terjadi setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974, dan solusi yang ditawarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. 2) Masyarakat Hasil penelitian ini tentunya akan sangat bermanfaat sebagai ilmu pengetahuan bagi masyarakat tentang peraturan isbat nikah yang sesuai dengan UU Perkawinan .
11
3) Lembaga Peradilan Agama Penelitian ini diharapkan sebagai informasi agar dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pemutusan Perkara Isbat Nikah.
D. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan Yuridis Normatif. Yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak. Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui semua hal tentang pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama. Hal ini tidak bisa dijelaskan dengan angka-angka, akan tetapi hal ini bisa terungkap dengan datang langsung ke Pengadilan Agama. Sehingga data yang diperoleh bisa bervariasi dan lebih lengkap. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.7 2. Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai berikut : a. Sumber primer, adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan 7
h. 6.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),
12
data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Penelitian ini, subyek penelitiannya adalah dokumen Penetapan Isbat Nikah Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. serta sumber informasi dari para hakim yang menetapkan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa. b. Sumber sekunder, adalah data-data yang berasal dari orang kedua atau bukan data yang datang langsung, namun data-data ini mendukung pembahasan dari penelitian ini. Adapun sumber data sekunder diantaranya adalah: 1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman 3) PP No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 4) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 5) kitab dan buku-buku serta catatan lainnya yang ada keterkaitannya dengan masalah isbat nikah. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu dengan
menggunakan
metode
dokumentasi
dan
metode
interview/wawancara. a. Metode Dokumentasi Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai variabel yang berupa catatan, transkip, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan,
13
notulen rapat, longer, majalah, catatan harian, agenda, dan sebagainya. Metode dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data berupa tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan di bahas dalam penelitian, serta digunakan sebagai metode penguat dari hasil metode interview atau wawancara. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang menyangkut pembahasan yang penulis kaji atau teliti. Dalam hal ini, dokumentasi yang dijadikan acuan berupa arsip atau dokumen salinan penetapan permohonan isbat nikah yang telah diputus Pengadilan Agama Tigaraksa. b. Metode Interview Yaitu usaha mengumpulkan informasi dengan menggunakan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula. Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang halhal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan.8 Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat memperoleh jawaban secara langsung, jujur, dan benar serta keterangan lengkap dari informan sehubungan dengan obyek penelitian. Sehingga dapat diperoleh informasi yang valid dengan bertanya langsung kepada informan. Dalam hal ini informan adalah para hakim yang menetapkan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa.
8
I, h. 59
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1996), cetakan-
14
4. Analisis Data Menurut Moleong, analisa data merupakan tahap terpenting dari sebuah penulisan. Sebab pada tahap ini data dapat dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah pemahaman yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang telah dirumuskan. Secara definitif, analisa data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola kategori dan suatu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh data.9 Metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.10 5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 M. 9
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),
h. 103. 10
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 163.
15
E. Study Review Terdahulu Tinjauan kajian terdahulu sudah cukup banyak studi yang dilakukan seputar hukum perkawinan di bawah tangan, baik ditinjau menurut perspektif hukum Islam maupun perundang-undangan. Namun, sepanjang yang penulis ketahui, belum ada seorangpun yang menulis Penetapan isbat nikah bagi Perkawinan Campuran (analisis penetapan pengadilan agama Tigaraksa nomor : 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.) Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada beberapa karya ilmiah yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat penulis. Biarpun obyek kajiannya sama, namun masih terdapat perbedaan yang mendasar. Misalnya: Skripsi yang berjudul “Dampak penolakan isbat nikah terhadap hak perempuan yang disusun oleh Ria Amaliyah pada tahun 2009. Skripsi ini lebih berfokus pada hak perempuan bila terjadi penolakan dalam isbat nikah. Kemudian yang kedua “Isbat nikah dalam perkawinan (analisis yuridis penetapan nomor :083/Pdt.P/2010/PA.JS.) yang ditulis oleh Indro Wibowo, Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Konsentrasi Peradilan Agama tahun 2011. Lebih fokus kepada isbat nikah dalam perkawinan yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sesuai dengan salinan putusan no: 083/Pdt.P/2010/PA.JS. Ketiga adalah: “Study putusan Isbat nikah sirri di Pengadilan Agama Cilegon (perkara no: 33/Pdt.p/2011/PA.Clg). yang disusun oleh Muhamad Muachir, Mahasiswa Program Studi al-Ahwal al-Syakhshiyyah pada tahun 2012.
16
Skripsi ini berfokus kepada putusan isbat nikah yang terjadi di Pengadilan Agama Cilegon dengan alasan perkawinan tidak tercatat atau nikah sirri. F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang lebih konkrit dari penelitian ini, maka sistematika penulisannya disusun sebagai berikut: Bab I, pendahuluan, meliputi pembahsan tentang: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penulisan, study review terdahulu, dan sistematika penulisan. Bab II, hakekat perkawinan campuran, meliputi pembahasan tentang: pengertian perkawinan campuran, dasar hukum perkawinan campuran, prosedur perkawinan campuran, dan akibat hukum perkawinan campuran. Bab III, kajian teoritis tentang Isbat Nikah, meliputi pembahasan tentang: pengertian Isbat Nikah, dasar hukum Isbat Nikah, alasan diperbolehkannya permohonan Isbat Nikah, syarat-syarat permohonan Isbat Nikah, Isbat Nikah perkawinan campuran, manfaat pencatatan perkawinan dan Isbat Nikah. Bab IV, Isbat Nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa, yang didalamnya menjelaskan tentang: Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa, permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa, persyaratan
permohonan Isbat Nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa, pertimbangan hakim pada penetapan nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs, pandangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara Isbat Nikah Perkawinan Campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 dan Analisis Penulis Bab V penutup, yang didalamnya berisi tentang: kesimpulan dan saran.
17
17
BAB II HAKEKAT PERKAWINAN CAMPURAN
A. Pengertian Perkawinan Campuran Keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan permasalahan hukum antar golongan di bidang perkawinan, yaitu peraturan hukum manakah yang akan diberlakukan
terhadap
perkawinan
antara
dua
orang
yang
berbeda
kewarganegaraan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran yakni Regeling op de Gemengde Huwelijken (Stb. No. 158 Tahun 1898). Peraturan mengenai perkawinan campuran pertama kali diatur dalam Staatsblaad Tahun 1898 No.158 yang dikenal dengan nama Regeling Op De Gemengde Huwelijken (yang disingkat GHR). Artikel 1 dari Staatsblaad ini memberikan pengertian mengenai perkawinan campuran. Pengertian tersebut diterjemahkan oleh Sudargo Gautama sebagai perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda dinamakan perkawinan campuran.1 Pengertian yang demikian mengandung arti yang sangat luas, apabila ternyata hukum yang berlaku untuk orang-orang bersangkutan yang hendak
1
Sudargo Gautama, Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata Internasional Sedunia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 10
17
18
menikah di Indonesia, maka mereka dianggap telah melakukan perkawinan campuran, berarti termasuk juga orang-orang yang berbeda kewarganegaraannya.2 Pasal 1 G.H.R. menjelaskan arti perkawinan campuran adalah: “perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan”.3 Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti perkawinan campuran pada perkawinan-perkawinan antar warganegara Indonesia atau antar penduduk Indonesia dan dilaksanakan di Indonesia, asalkan pihakpihak yang melaksanakan perkawinan di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan adalah perkawinan campuran. Menurut konsepsi pasal 1 tersebut, perkawinan antara dua orang yang berkewarganegaraan asing dan bukan penduduk Indonesia yang dilaksanakan di luar Indonesia, misalnya orang Arab dan orang Inggris, merupakan perkawinan campuran dalam arti GHR. Perkawinan campuran dalam GHR tersebut termasuk pula perkawinanperkawinan yang dilaksanakan di luar negeri antara dua orang warganegara Indonesia yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan atau antara seorang warganegara Indonesia dan seorang asing. Akan tetapi, bila pihak atau pihak-pihak yang dahulu tunduk pada seluruh atau sebagian dari hukum perkawinan Betsluit Wetboek (BW), maka bagi perkawinan tersebut berlakulah ketentuan BW.4
2
Sudargo Gautama, Aneka Masalah Dalam Praktek Pembaruan Hukum Di Indonesia, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 226. 3 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 60 4 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, h. 61.
19
Pasal 2 GHR adalah pasal yang terpenting dari seluruh GHR, dan bahkan juga dalam lapangan Hukum Antar Golongan di Indonesia, karena pasal 2 itu dengan tegas menjunjung tinggi asas persamarataan penghargaan terhadap stelselstelsel hukum yang berlaku di Indonesia. Karena sebelum berlakunya ketentuan pasal 2 GHR tersebut, sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap stelsel-stelsel hukum yang berlaku di Indonesia tidaklah demikian, penguasa waktu itu menyatakan bahwa stelsel hukum Eropa mempunyai kedudukan lebih tinggi. Hal ini terbukti ketika di Indonesia hendak dimulai dengan perundang-undangan yang baru pada tahun 1848, dengan mencantumkannya ketentuan yang menyatakan bahwa seorang bukan Eropa yang hendak menikah dengan seorang Eropa harus tunduk terlebih dahulu pada Hukum Perdata Eropa.5 Mengenai asas persamarataan sebagai dimuat dalam pasal 2 GHR, walaupun menurut Wertheim hanya sama sekali benar bila sesuatu dipandang secara strict juridisch, asas ini adalah perlu untuk mencapai suatu kesatuan hukum dalam keluarga.6 Sementara itu, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan definisi di atas. Adapun pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan adalah : “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. 5
Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar BaruVanhoeve, 1980), h. 128 6 Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, h. 128
20
Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan unsur-unsur perkawinan campuran itu sebagai berikut: 1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. 2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. 3. Karena perbedaan kewarganegaraan. 4. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan bagi wanita yang melangsungkan perkawinan itu. Tetapi perbedaan hukum tersebut bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia melainkan karena unsur ketiga yaitu perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini pun bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat menyatakan bahwa salah satu kewarganegaraan itu adalah kewarganegaraan Indonesia.7 Tegasnya, perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut :8 1. Seorang pria warganegara Indonesia kawin dengan seorang wanita warga negara asing. 2. Seorang wanita warganegara Indonesia kawin dengan seorang pria warga negara asing. Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan antara seorang warga negara RI dengan seorang yang bukan warga negara RI, sehingga 7
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 103. 8 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h. 46
21
padanya termasuk perkawinan antara sesama warga negara RI yang berbeda hukum dan antara sesama bukan warga negara RI. Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai berikut : “Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur asing. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya”.9 Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam perkawinan campuran, yaitu :10 1. Perkawinan Campuran Antar Golongan (Intergentiel) Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan. Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli. 2. Perkawinan Campuran Antar Tempat (Interlocal) Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang Minang kawin dengan orang Jawa. 3. Perkawinan Campuran Antar Agama (Interreligius)
9
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997), h. 36. 10 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta, Prestasi Pustaka Publiser, 2006), h. 242.
22
Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang masingmasing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan. Misalnya orang Islam dengan orang Kristen.
B. Dasar Hukum Perkawinan Campuran Perkawinan campuran telah terjadi jauh sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun dasar hukum perkawinan campuran adalah sebagai berikut: 1. Menurut Staatblad 1896 N0. 158. Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de gemengde huwelijken", selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai berikut: Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang berlainan (Pasal 1). Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu: 11 a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warga negara dan orang asing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri. b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanita Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dan sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat. 11
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1998), h. 90
23
c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel). Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1) Golongan Eropa (2) Golongan Timur Asing (3) Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan. Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia (2) antara Eropa dan Tionghoa (3) antara Eropa dan Arab (4) antara Eropa dan Timur Asing (5) antara Indonesia dan Arab (6) antara Indonesia dan Tionghoa (7) antara Indonesia dan Timur Asing (8) antara Tionghoa dan Arab. d. Perkawinan Campuran Antar Agama Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula perkawinan campuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem hukum perkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam hal
perkawinan
mengesampingkan
hukum
dan
ketentuan
agama.
Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan banyak perkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun oleh pemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901 M. dianggap perlu untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menetapkan bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai larangan terhadap suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat 2 pada pasal 7 GHR itu
24
adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di Den Haaq pada Tahun 1900. 12 2. Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974. a. Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (pasal 57) b. Ruang Lingkup. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah hasil
Badan Legislatif Negara Republik Indonesia dalam
menciptakan Hukum Nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam hal perkawinan campuran diatur dalam pasal 57 UU Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut: "Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
13
Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran
adalah: 1) Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. 2) Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan. 3) Perkawinan karena salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
12
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), h. 61. 13 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 230
25
Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya perkawinanya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila hukum agama yang
bersangkutan
membolehkan,
maka
perkawinan
campuran
dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh pegawai pencatat nikah di KUA Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.14 Dengan demikian ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah zaman kolonial tentang perkawinan campuran tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
C. Prosedur Perkawinan Campuran Bagi Warga Negara Asing yang akan melakukan perkawinan campuran di Indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:15 1. Fotokopi paspor yang sah 14
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 231 15 LBH APIK Jakarta (http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm) diakses pada tanggal 4 April 2015 pukul 21.35.
26
2. Surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon 3. Surat Status dari catatan sipil negara pemohon 4. Pasfoto uuran 2x3 sebanyak 3 lembar 5. Kepastian kehadirin wali atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA Wanita. 6. Membayar biaya pencatatan. Bagi pihak WNI harus memenuhi mekanisme pelayanan pernikahan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan. 1. Calon pengantin datang ke kantor kepala desa/kelurahan untuk mendapatkan : a. Surat Keterangan untuk nikah (N.1) b. Surat Keterangan asal usul (N.2) c. Surat Persetujuan mempelai (N.3) d. Surat Keterangan tentang orang tua (N.4) e. Surat pemberitahuan kehendak nikah (N.7) 2. Calon Pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan : a. Imunisasi Tetanus Toxsoid 1 bagi calon pengantin wanita b. Kartu imunisasi c. Imunisasi Tetanus Toxoid II Setelah proses pada poin (1) dan (2) selesai, calon pengantin datang ke KUA kecamatan, untuk : 3. Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis (menurut model N7), apabila calon pengantin berhalangan pemberitahuan nikah dapat dilakukan oleh wali atau wakilnya
27
4. Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebagai berikut (1) Pernikahan yang dilaksanakan di balai nikah/ kantor KUA (2) Pernikahan yang dilaksanakan di luar balai nikah/ Kantor KUA. di tambah biaya bedolan sesuai ketentuan yang ditetapkan Kepala Kanwil/ Kantor Departemen Agama masingmasing daerah. 5. Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan oleh penghulu. a. Surat keterangan untuk nikah menurut N.1 b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa/ pejabat setingkat menurut model N2. c. Persetujuan kedua calon mempelai menurut model N3. d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/ pejabat setingkat menurut model N4. e. Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun menurut model N5. f. Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud angka 5 di atas diperlukan izin dari pengadilan. g. Pasfoto masing-masing 3x2 sebanyak 3 lembar. h. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun. i. Jika calon mempelai anggota TNI/ polri diperlukan surat izin dari atasannya atau kesatuannya. j. Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang.
28
k. Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/ cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-undang nomor 7 tahun 1989. l. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/ istri dibuat oleh kepala desa/ lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasar pengisian model N6 bagi janda/ duda yang akan menikah. m. Surat ganti nama bagi warganegara Indonesia keturunan. 6. Penghulu sebagai PPN memasang pengumuman kehendak nikah (menurut model NC) selama 10 hari sejak saat pendaftaran. 7. Catin wajib mengikuti kursus calon pengantin selama 1 hari. 8. Calon pengantin memperoleh sertifikat kursus calon pengantin. 9. Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu. 10. Penghulu segera menyerahkan buku nikah kepada pengantin setelah pelaksanaan akad nikah. 11. Pendaftaran kehendak nikah diajukan kepada KUA kecamatan minimal 10 hari kerja sebelum pelaksanaan pernikahan.16
D. Akibat Hukum Perkawinan Campuran Aturan hukum tentang kewarganegaraan Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran Republik Indonesia. Undang-Undang yang baru ini menggantikan UU N0.62 Tahun 1958 yang sangat diskriminatif. Undang-Undang 16
LBH APIK Jakarta (http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm) diakses pada tanggal 4 April 2015 pukul 21.35.
29
Kewarganegaraan yang baru ini telah diberlakukan oleh Presiden sejak tanggal 1 Agustus 2006. Dalam penjelasan undang-undang kewarganegaraan yang baru disebutkan bahwa,Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 secara filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegararaan Republik Indonesia. Secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung ketentuanketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antara warga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959 yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara. Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan
30
perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan jender.17 Undang-Undang
Kewarganegaraan
yang
baru
memuat
asas-asas
kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam undang-undang ini adalah : 1. Asas ius Sanguinis, adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. 2. Asas Ius soli, secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anakanak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. 3. Asas
kewarganegaraan
tunggal
adalah
asas
yang
menentukan
satu
kewarganegaraan bagi setiap orang. 4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Undang-undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan pengecualian. Persoalan yang sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. Undang-undang kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan yang dalam undang-undang 17
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1993), h. 103
31
tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan karena untuk tetap tinggal di Indonesia orang tuanya harus terus menerus memperpanjang izin tinggalnya. Persoaan lainnya apabila perkawinan orang tua putus, ibu akan kesulitan mendapatkan pengasuhan anak yang Warga Negara Asing. Undang-undang Kewarganegaraan
No. 12 Tahun 2006 tidak lagi
mengatur demikian. Khusus untuk anak-anak yang lahir dari pasangan yang melakukan perkawinan campuran, Berdasarkan Pasal 6 diberikan kebebasan untuk berkewarganegaran ganda sampai anak-anak tersebut berusia 18 tahun atau sampai mereka menikah. Setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah anak-anak tersebut harus memilih kewarganegaraannya, apakah mengikuti ayahnya atau menjadi WNI. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Undang-Undang Kewarganegaran ini juga mengatur bahwa anak yang sudah lahir sebelum undang-undang ini disahkan dan belum berusia 18 tahun dan belum menikah adalah termasuk Warga Negara Indonesia. Caranya dengan cara mendaftarkan diri kepada Menteri melalui pejabat atau perwakilan Republik Indonesia paling lambat empat tahun setelah undang-undang Kewarganegaraan ini disahkan.18 Anak yang memperoleh kewarganegaraan ganda tersebut tidak hanya diperoleh oleh anak yang lahir dari perkawinan yang sah, tetapi kewarganegaraan ganda juga berlaku untuk anak luar kawin, yaitu anak Warga Negara Indonesia 18
Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2006), h. 8
32
yang lahir diluar perkawinan yang sah yang diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia (Pasal 5). Untuk anak luar kawin, terdapat beberapa aspek hukum, yaitu dari aspek ketentuan Undang Undang Perkawinan dan dari ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan kerabat ibunya. Jika anak tersebut mendapat pengakuan dari ayahnya dan dikaitkan dengan ketentuan hukum perdata maka anak tersebut secara perdata punya hubungan hukum dengan ayah tapi tidak dengan keluarga ayahnya. Pengakuan tersebut harus dibuatkan dengan suatu akte.19 Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil perkawinan campuran dan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan sang anak. Dengan demikian orang tua tidak perlu lagi repot-repot mengurus izin tinggal bagi anak-anaknya. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2006, bahwa dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak: a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing. b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dengan ibu Warga Negara Indonesia. c. Anak yang lahir dari tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia. 19
Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2006), h. 13
33
d. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. e. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum menikah diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Anak yang tersebut di atas berakibat berkewarganegraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Terobosan lain dari Undang-undang Kewarganegaraan ini adalah anak yang berkewarganegaran ganda berhak mendapatkan akte kelahiran di Indonesia dan juga akte kelahiran dari Negara lain dimana anak tersebut diakui sebagai warga Negara. Dengan demikian anak tersebut berhak mendapat pelayanan publik di Indonsia seperti warga Negara lainnya termasuk untuk mengenyam pendidikan. Hal ini berbeda dengan Undang-undang Kewarganegaran yang lama, jangankan untuk mendapatkan akte kelahiran, malah anak tersebut diusir secara paksa dari wilayah Indonesia apabila izin tinggalnya telah melewati batas ketentuan.20 Secara subtansial dan konseptual, UU No.12 Tahun 2006 ini mencerminkan usaha serius Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi kepentingan kaum perempuan yang menikah dengan Warga Negara Asing dan anak-anak dari hasil perkawinan campuran dan telah menghapus aturan kewarganegaraan yang bersifat diskriminatif. 20
Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2006), h. 14
34
Selanjutnya terhadap orang-orang yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaran dari suami atau isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewaganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58 Undang-Undang perkawinan). Berdasarkan Pasal 19 UU No.12 tahun 2006, Warga Negara Asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi Warga Negara Indonesia di hadapan pejabat, pernyataan tersebut dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turur atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturutturut. Selanjutnya Pasal 26 UU No.12 Tahun 2006, mengatur bahwa Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaar suami sebagai akibat perkawinan tersebut. Laki-laki warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga Negara Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum Negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada pejabat atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut.
35
36
35
BAB III ISBAT NIKAH DAN PENCATATAN PERKAWINAN
A. Pengertian Isbat Nikah Kata isbat berarti penetapan, penyungguhan, penentuan. Mengisbatkan artinya
menyungguhkan,
menentukan,
menetapkan
(kebenaran
sesuatu).1
Sedangkan menurut fiqh nikah secara bahasa berarti ”bersenggama atau bercampur”. Para ulama’ ahli fiqh berbeda pendapat tentang makna nikah, namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa nikah menurut ahli fiqh berarti akad nikah yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri serta seluruh tubuhnya.2 Sedang nikah menurut hukum positif yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Jadi, pada dasarnya isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama Islam yaitu sudah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Tetapi pernikahan yang terjadi pada masa lampau ini belum atau tidak dicatatkan ke pejabat yang berwenang, dalam hal ini pejabat KUA (Kantor Urusan Agama) yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. Ke-3 1990), h. 339 2 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra,1993), h. 1-2 3 Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
35
36
Isbat (penetapan) merupakan produk Pengadilan Agama, dalam arti bukan pengadilan yang sesungguhnya dan diistilahkan dengan jurisdiktio voluntair. Dikatakan bukan pengadilan yang sesungguhnya, karena di dalam perkara ini hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu yaitu penetapan nikah. Perkara voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan didalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Pada dasarnya perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali kepentingan Undang-Undang menghendaki demikian. Perkara voluntair yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama seperti 1. Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak mampu untuk melakukan tindakan hukum. 2. Penetapan pengangkatan wali. 3. Penetapan pengangkatan anak. 4. Penetapan nikah (isbat nikah). 5. Penetapan wali adhol.4 Produk perkara voluntair adalah penetapan. Nomor perkara permohonan diberi tanda P. misalnya: Nomor 125/ Pdt.P/1996/PA/ Btl.5 karena penetapan itu muncul sebagai produk pengadilan atas permohonan pemohon yang tidak berlawan, maka dalam penetapan tersebut tidak akan berbunyi “menghukum” melainkan bersifat “menyatakan” (declaratoir). Adapun asas yang melekat pada putusan penetapan pertama asas kebenaran yang melekat pada penetapan hanya “kebenaran sepihak”. Kebenaran 4
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 40 5 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 41
37
yang terkandung didalam penetapan hanya kebenaran yang bernilai untuk diri pemohon, kebenaran tidak menjangkau orang lain. Dari asas ini lahirlah asas berikutnya, yakni kekuatan mengikat. Penetapan hanya berlaku pada diri pemohon, ahli warisnya, dan orang yang memperoleh hak darinya,6 sama sekali tidak mengikat siapapun kecuali hanya mengikat kepada yang telah disebut di atas. Selanjutnya asas ketiga, yang menegaskan putusan penetapan tidak mempunyai kekuatan pembuktian kepada pihak manapun. Juga, dalam penetapan tidak akan pernah terkandung asas nebis in idem. Sebagai salah satu contoh dapat dikemukakan
putusan
MA
tanggal
27-6-1973,
No.
144
K/Sip/1973.
Pertimbangannya berbunyi: “Penetapan mengenai ahli waris dan warisan dalam penetapan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 14 April 1956 No. 43/1955/Pdt dan dalam putusan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 23 November 1965 No. 66/1962/Pdt, tidak merupakan nebis in idem, oleh karena penetapan No. 43/1955/Pdt tersebut hanya bersifat declaratoir sedang dalam perkara No. 66/1962/Pdt tersebut ada sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan”. Dalam putusan tersebut terdapat penegasan, putusan yang bersifat declaratoir yang terwujud dari gugat volunteer, tidak mengandung nebis in idem. Seterusnya yaitu asas putusan penetapan tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Hal ini dapat dipahami karena amar putusan bersifat deklaratoir sehingga tidak mungkin memiliki nilai kekuatan eksekusi.7
6
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), h.73 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 311 7
38
B. Dasar Hukum Isbat Nikah Pada dasarnya kewenangan perkara isbat nikah bagi pengadilan agama dalam sejarahnya adalah diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perkawinan dibawah tangan sebelum diberlakukannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (penjelasan pasal 49 ayat (2), Jo. Pasal 64 UU No. 1 Tahun 1974). Namun kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat 2 dan 3, dalam ayat (2) disebutkan: "isbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama”, pada ayat (3) disebutkan : isbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai hal yang berkenaan dengan : a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian b. hilangnya akta nikah c. adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan d. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.8 Dengan melihat uraian dari pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI tersebut, berarti bahwa KHI telah memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh Undang-Undang, baik oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, padahal menurut pasal 2 TAP MPR RI No. III/MPR/2000 tentang sumber
8
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999/2000), h. 137
39
hukum dan tata urutan perundang-undangan, INPRES tidaklah termasuk dalam tata urutan perundang-undang Republik Indonesia. 9 Pasal 2 ayat 1 UU No. 35 Tahun 1999 beserta penjelasannya menentukan bahwa adanya kewenangan suatu peradilan untuk menyelesaikan perkara yang tidak mengandung unsur sengketa (voluntair) adalah dengan syarat apabila dikehendaki (adanya ketentuan / penunjukan ) oleh Undang-Undang.10 Isbat nikah ini PERMENAG No. 3 Tahun 1975 yang dalam pasal 39 ayat 4 menentukan bahwa jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka untuk menentukan adanya nikah, talak, cerai, atau rujuk, harus ditentukan dengan keputusan (dalam arti penetapan) Pengadilan Agama. Tetapi hal ini berkaitan dengan pernikahan yang dilakukan sebelum UU No. 1 Tahun 1974 bukan terhadap perkawinan yang terjadi sesudahnya. Mengenai kompetensi absolut tentang isbat nikah sebagai perkara voluntair ini tidak bisa dianologikan (qiyaskan) dengan perkara pembatalan perkawinan, perceraian, atau poligami. Prinsipnya pengadilan tidak mencari-cari perkara tetapi perkara itu telah menjadi kewenangannya karena telah diberikan oleh Undang-Undang. Menurut Prof. Wasit Aulawi, MA berpendapat bahwa perkara isbat nikah tidak dilayani. Perkara isbat nikah adalah perkara voluntair yang harus ditunjuk Undang-Undang, kalau Undang-Undang tidak memberikan kewenangan maka pengadilan tidak berwenang. Apabila perkawinan di bawah
9
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, h. 138 Nasrudin Salim, “Isbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan Yuridis, Filosofis dan Sosiologis), dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 62 Th. XIV (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2003), h. 70 10
40
tangan setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, diberikan tempat untuk isbat perkawinan, maka secara sosiologis pastilah akan mendorong terjadinya perkawinan bawah tangan secara massif. 11 Jika dipikirkan lebih seksama, maka ketentuan pasal 7 ayat 2 KHI telah memberikan kompetensi absolut yang sangat luas tentang isbat nikah ini tanpa batasan dan pengecualian, padahal dalam penjelasan pasal-pasalnya hanya dijelaskan bahwa pasal ini hanya diberlakukan setelah berlakunya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Belum lagi pasal 7 ayat 3 huruf (a) yang dapat mengandung problem lanjutan seperti bagaimana jika penggugat mencabut perkara cerainya, atau pemohon tidak mau melaksanakan ikrar talak karena telah rukun kembali sebagai suami istri, padahal telah ada putusan sela tentang sahnya nikah mereka. Pasal 7 ayat 3 huruf (b) adalah dalam hal hilangya kutipan akta nikah bisa dimintakan duplikat ke KUA, dan untuk sebagai tindakan preventif atau kehatihatian akan memungkinkan hilangnya buku catatan akta yang asli, maka pasal 13 ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975 telah menentukan bahwa helai kedua dari akta perkawinan itu harus disimpan (dikirim oleh PPN) kepada panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada.12 Dalam ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf (c), yaitu adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, hal ini justru mengarahkan kepada 11
A. Wasit Aulawi, “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Thn. VII (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1996), h. 21 12 A. Wasit Aulawi, “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”, h. 22
41
apa yang termasuk dalam perkara pembatalan nikah, bukan perkara isbat nikah, sebab biasanya orang yang melakukan perkawinan melalui kyai/ustadz adalah telah sah dan sesuai dengan syari’at (memenuhi ketentuan pasal 2 ayat 1 ). Juga terhadap ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf (e), yaitu perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU N0.1 Tahun 1974, ini adalah pasal yang amat luas jangkauannya yang tidak memberikan batasan yang jelas.13
C. Alasan Diperbolehkannya Permohonan Isbat Nikah Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan akan menimbulkan kemaslahatan umum karena dengan pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan
mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah perkawinan. Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat 13
A. Wasit Aulawi, “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Thn. VII, (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1996), h. 22
42
Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah.14 Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 100 KHI tersebut, adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Dengan perkataan lain, perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan) perkawinan. Tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada perkawinan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Akta Nikah dan pencatatan perkawinan bukan satusatunya alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan, karena itu walaupun sebagai alat bukti tetapi bukan sebagai alat bukti yang menentukan sahnya perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah yang menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan.15 Kompilasi Hukum Islam juga memberikan rumusan tentang perkawinan yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan 14
Depag, Pedoman Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid Pusat, 1992/1993), h. 497 15 Abdul Gani Abdullah, Pengantar KHI Dalam Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-I (Jakarta: Gema Insani Press,1994), h. 83
43
menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 5 KHI merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat (2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undangundang No. 32 Tahun 1954. Selanjutnya Pasal 6 KHI merumuskan: (1) untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (2) perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum. Kemudian dalam KHI upaya hukum isbat nikah tidak hanya meliputi pengesahan perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 berlaku. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan. Pasal 7 menyebutkan bahwa: (1) perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. (b) Hilangnya Akta Nikah. (c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. (d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang No. 1 Tahun 1974 dan (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974. (4) yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
44
Isbat
nikah
yang dilaksanakan
oleh
Pengadilan
Agama
karena
pertimbangan mashlahah bagi umat Islam. Isbat nikah sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami istri. Adapun sebab-sebab yang melatar belakangi adanya permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama itu sendiri, disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No 1 th 1974. untuk hal ini biasanya dilatar belakangi: a. Guna untuk mencairkan dana pensiun pada PT. Taspen b. Untuk penetapan ahli waris dan pembagian harta waris 2. Adanya perkawinan yang terjadi sesudah berlakunya UU No 1 th 1974. ini biasanya dilatar belakangi: a. Karena Akta Nikah Hilang 1) bisa karena untuk pembuatan Akta Kelahiran Anak. 2) bisa juga digunakan untuk Gugat Cerai. 3) bisa juga untuk gugat pembagian harta gono-gini. b. Karena tidak punya Akta Nikah. Dalam hal ini kebanyakan diajukan Isbat Nikah: 1) Karena sudah nikah dibawah tangan dengan alasan sudah hamil duluan dan nikah dilangsungkan karena menutupi malu. 2) Karena nikah dibawah tangan sebagai Isteri kedua dan belum dicatatkan
45
3) Dan ada juga Isbat Nikah yang semata-mata diajukan untuk memperoleh kepastian hukum dalam status sebagai isteri, yang pernikahannya dilakukan dibawah tangan, dan ternyata dibalik itu semua terkandung maksud upaya melegalkan poligami.16
D. Syarat-Syarat Permohonan Isbat Nikah Tentang syarat isbat nikah ini tidak dijelaskan dalam kitab fiqh klasik maupun kontemporer. Akan tetapi syarat isbat nikah ini dapat dianalogikan dengan syarat pernikahan. Hal ini karena isbat nikah (penetapan nikah) pada dasarnya adalah penetapan suatu perkawinan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam syariat Islam. Bahwa perkawinan ini telah dilakukan dengan sah yaitu telah sesuai dengan syarat dan rukun nikah tetapi pernikahan ini belum dicatatkan ke pejabat yang berwenang yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Maka untuk mendapatkan penetapan (pengesahan nikah) harus mengajukan terlebih dahulu perkara permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Syarat-syarat seseorang yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah antara lain: 1. Suami atau istri 2. Anak-anak mereka 3. Wali nikah
16
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999/2000), h. 167
46
4. Pihak-pihak yang berkepentingan.17 Sebagaimana yang termaktub dalam KHI pasal 7 ayat 4 yang berbunyi; yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau isteri, anakanak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Selanjutnya akan diuraikan tentang prosedur pengajuan isbat nikah, namun perlu diketahui bahwa perkara isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama memiliki berapa bentuk antara lain : 1. Bersifat volunteir (perkara yang pihaknya hanya terdiri dari Pemohon saja, tidak ada pihak Termohon): a. Jika permohonan diajukan oleh suami dan isteri secara bersama-sama. b. Jika permohonan diajukan oleh suami/isteri yang ditinggal mati oleh suami/isterinya, sedang Pemohon tidak mengetahui ada ahli waris lainnya selain dia. 2. Bersifat kontensius, (perkara yang pihaknya terdiri dari Pemohon melawan Termohon atau Penggugat melawan Tergugat): a. Jika permohonan diajukan oleh salah seorang suami atau isteri, dengan mendudukkan suami atau isteri sebagai pihak Termohon. b. Jika pernohonan diajukan oleh suami atau isteri sedang salah satu dari suami isteri tersebut masih ada hubungan perkawinan dengan pihak lain, maka pihak lain tersebut juga harus dijadikan pihak dalam permohonan tersebut. c. Jika permohonan diajukan oleh suami atau isteri yang ditinggal mati oleh suami atau isterinya, tetapi dia tahu ada ahli waris lainnya selain dia. 17
Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, (Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996), h. 51
47
d. Jika permohonan diajukan oleh wali nikah, ahli waris atau pihak lain yang berkepentingan.18
E. Isbat Nikah Perkawinan Campuran Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa perkawinan campuran menurut ketentuan Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Sedangkan pengertian isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama Islam yaitu sudah terpenuhinya syarat dan rukun nikah dan belum atau tidak dicatatkan ke pejabat yang berwenang, dalam hal ini pejabat KUA yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Dengan demikian isbat nikah perkawinan campuran berarti penetapan atas perkawinan seorang pria dengan seorang wanita yang berbeda kewarganegaraan yang sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama Islam tapi pernikahannya belum atau tidak dicatatkan ke pejabat yang berwenang. Isbat nikah perkawinan campuran tidak berbeda dengan isbat nikah biasa, baik mengenai alasan diperbolehkannya, seperti yang tercantum dalam ketentuan
18
Drs. H. Masrum M Noor, MH. (Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat), Penetapan Pengesahan Perkawinan, pdf.
48
Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 100 KHI,19 maupun mengenai syarat-syarat diperbolehkannya permohonan isbat nikah.20
F. Manfaat Pencatatan Perkawinan dan Isbat Nikah Pencatatan
perkawinan
bertujuan
untuk
mewujudkan
ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab. Karena dengan akta tersebut, memiliki bukti autentik perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.21 Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah dan rahmah setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang pencatatan perkawinan, menjelaskan dalam pasal 5 yaitu : (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
19
Abdul Gani Abdullah, Pengantar KHI Dalam Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-I (Jakarta: Gema Insani Press,1994), h. 83 20 Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, (Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996), h. 51 21 Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, h. 52
49
(2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1946 jo dan Undang-undang No.32 tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang republik indonesia tanggal 21 november No.22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk di seluruh daerah luar jawa dan madura. Tehnik pelaksanaannya, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 6 yang menyebutkan : (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.22 Secara rinci peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam Bab II Pasal 2 menjelaskan tentang : (1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam Undang - undang No.32 Tahun 1954 tentang pencatatan, nikah, talak, dan rujuk. (2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-perundangan mengenai pencatatan perkawinan. (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 peraturan pemerintah sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini.23 Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan 22
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995). Cet 1, h.109. 23 Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan Agam, (Jakarta: Intermasa, 1991), h. 57
50
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan yang akan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. (3) Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah. Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan) adapun hal-hal yang diberitahukan meliputi : Nama, Umur, Agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (pasal 5 peraturan pemerintah (PP) No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan). Dengan adanya pemberitahuan ini, kemungkinan terjadinya pemalsuan atau penyimpangan identitas dapat dihindari.24
24
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995). Cet 1, h-112-114
51
BAB IV ISBAT NIKAH PERKAWINAN CAMPURAN DI PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa Pengadilan Agama Tigaraksa dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 85 Tahun 1996 Tanggal 01 Nopember 1996 dan Pengadilan Agama Tigaraksa dengan kelas 1B diresmikan pada hari Kamis tanggal 21 Agustus 1997 bertepatan dengan tanggal 17 Rabiul Awwal 1418 H oleh Direktur Peradilan Agama atas nama Menteri Agama bertempat di Gedung Negara (Pendopo) Pemda Kabupaten Tangerang yang pada saat itu Bapak Let. Kol. Agus Junara menjabat sebagai Bupati.1 Yurisdiksi relatif (kewenangan mengadili) yaitu meliputi wilayah hukum Kabupaten Tangerang yang merupakan pemekaran wilayah baru antara Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang telah diserahkan pada tanggal 21 Agustus 1996 antara Drs. H. Abdurahman Abror selaku Ketua Pengadilan Agama Tangerang kepada Drs. A.D. Dimyati, S.H. selaku Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa yang terdiri dari 19 kecamatan 3 kemantren dan 306 desa serta berdasarkan Perda Kabupaten Tangerang telah mengalami Pemekaran menjadi 36 Kecamatan. Pada saat diresmikan, Pengadilan Agama Tigaraksa berkantor di Jl. Raya Serang KM. 12 Kp. Pulo, Desa Bitung Jaya, Kecamatan Cikupa, Kabupaten
1
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014 , h. 2.
51
52
Tangerang dengan luas bangunan 7x12 meter di atas tanah 864 M2. Pada Tahun 2002 Pengadilan Agama Tigaraksa menempati Gedung Baru yang terletak di Jalan Masjid Agung Al-Amjad No.1 Komplek Perkantoran Pemda Kabupaten Tangerang dengan luas tanah 2000 M2 dengan gedung berlantai 2 yang terdiri dari Ruang Ketua, Ruang Wakil Ketua, Ruang Panitera Sekertaris, Ruang Hakim, Ruang Kesekretariatan, Ruang Kepaniteaan, 2 buah Ruang Sidang, Ruang Arsip, Ruang Tunggu Para Pihak, Ruang Register, Ruang Komputer, Ruang Perpustakaan dan Ruang Kasir. 1. Kabijakan Umum Peradilan2 Fenomena pembangunan hukum pada akhir-akhir ini mulai akrab dengan aspirasi teoritik dan meninggalkan ketergantungannya pada ranah politik dan kekuasaan. Salah satu sub dari sistem hukum itu adalah kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dengan badanbadan peradilan di bawahnya. Satu dari empat lingkungan peradilan pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah Peradilan Agama yang diatur dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 perubahan kedua Undang-Undang Peradilan Agama. Struktur organisasi Pengadilan Agama ketika dikaitkan dengan kajian mendalam era reformasi semakin menjadi tokoh ketika memasuki wilayah satu atap dengan Mahkamah Agung baik secara administratif, anggaran, kepegawaian selain yang sifatnya Yudisial yang sejak lama menjadi bagian Mahkamah Agung. Posisi Pengadilan Agama dalam struktur satu atap dengan 2
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014 , h. 2.
53
Mahkamah Agung menjadi tantangan ke depan yang harus dipikirkan dalam hal: a. Daya saing dengan Lembaga Peradilan lainnya, sejauh mana daya saing Pengadilan Agama dalam memberi palayanan dan solusi hukum terhadap sengketa yang menjadi kewenangannya. b. Pengadilan Agama pada satu sisi ia berhadapan dengan tuntutan realitas empirik dari siklus kehidupan berinstitusi, di sisi lain ia beriringan dengan kenyataan sebagai tamu pada institusi besar yang dinamakan Mahkamah Agung. Aparat Pengadilan Agama (dalam hal ini Hakim Pengadilan Agama) harus mampu berperan sebagai penghakim Undang-Undang, tetapi dengan daya kreasinya juga mampu berperan sebagai pencipta hukum (Recht Vinding). Hal ini penting mengingat pembuat Peraturan Perundang-Undangan Peradilan Agama berjalan lambat. Padahal kita sering dihadapkan kepada kebutuhan hukum yang mendesak untuk mengadili masalah tertentu dengan segera. Dengan kreativitas aparatur Pengadilan Agama boleh terjadi kekosongan di bidang Undang-Undang, tetapi diharapkan tidak sampai terjadi kekosongan di bidang hukum.3 Tugas pokok Pengadilan Agama yang diamanatkan Undang-Undang yaitu memerikasa, mengadili dan menyelesaikan perkara tertentu bagi mereka yang beragama Islam dibutuhkan:
3
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 2.
54
a. Kebijkan yang mendorong penguasaan Hukum Materil pun harus menguasai Hukum Formil (Hukum Acara) bagi Hakim Pengadilan Agama. Sebagaimana tersurat dalam pasal 54 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, dan UndangUndang No. 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang pada dasarnya hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan Agama adalah Herziene Indonesiche Reglement (HIR) Stb. 1941 No. 44, dan hukum acara yang terdapat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989/Lex Specialis b. Kebijakan yang mendorong penguasaan dan implementasi secara benar tentang SPO (Standar Prosedur Operasional) yang dikenal dengan pola BINDALMIN yang terdiri: - Pola Prosedur Penerimaan Perkara. - Pola Register Perkara. - Pola Keuangan Perkara. - Pola Keuangan Pelaporan Perkara. - Pola Pengarsipan Perkara. c. Kebijakan yang mendorong kesekretariatan sebagai fasilitator dan dinamisator yang mampu mengalokasikan anggaran secara efektif dan efisien dengan sistem SAI dan SABMIN, serta mampu menghindari kebocoran, mark up dan penyalahgunaan anggaran (DIPA). d. Kebijakan yang mendorong transparansi dalam pengelolaan keuangan APBN maupun biaya proses peradilan.
55
e. Kebijakan yang mampu mendorong terciptanya client service yang memuaskan (satisfied) bagi para pencari keadilan sehingga terhindarnya informasi yang salah (false information). 2. Visi, Misi dan Strategi4 Visi: “Mewujudkan
Pengadilan
Agama
Tigaraksa
yang
Terhormat
dan
Bermartabat.” Misi : a. Mewujudkan pelayanan prima yang memberikan rasa keadilan yang cepat dan jujur serta didukung oleh SDM Profesional, Sarana dan Prasarana yang memadai. b. Mewujudkan Pengadilan Agama yang mandiri dan independen dari campur tangan pihak lain. c. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas input, proses dan output eksternal pada peradilan. d. Memperbaiki akses pada pelayanan hukum dan peradilan. e. Mengupayakan sistem informasi sesuasi program IT. Tujuan : a. Tercapainya pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan. b. Tersedianya Sarana dan Prasarana yang memadai serta didukung oleh SDM yang profesional.
4
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 3
56
c. Terciptanya peradilan agama yang mandiri dan independen serta bebas dari campur tangan pihak lain dalam proses peradilan. d. Terciptanya kualitas pelayanan hukum kepada masyarakat yang didasari pada asas peradilan yang sederharna, cepat dan biaya ringan. e. Terwujudnya sistem peradilan yang cepat, efektif, efesien dan informasi yang mudah diserap. Sasaran :5 a. Meningkatkan kualitas proses pelayanan sehingga dapat diselesaikan kurang dari 6 (enam) bulan. b. Meningkatkan tingkat kepuasan masyarakat dalam menyelesaikan perkara. c. Terpenuhinya sarana, fasilitas dan mobilitas serta SDM yang pofesional. Strategi untuk Mencapai Tujuan dan Sasaran Kebijakan : a. Meningkatkan fungsi IT dengan maksimal, dan mendorong penyelesaian beban pekerjaan dengan modul shcedul time. b. Mengefektifkan lembaga mediasi. c. Mendorong terselenggaranya diklat baik bidang teknis fungsional maupun bidang administrasi keuangan. d. Mengusulkan pembangunan sarana gendung, fasilitas, mobilitas dan mengiutsertakan aparatur peradilan baik ke setiap Diklat Reguler ataupun ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi.
5
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 4.
57
e. Meningkatkan koordinasi dengan PEMDA, MUSPIDA dan Instansi terkait guna kelancaran tugas dan fungsi Pengadilan Agam Tigaraksa di Kabupaten Tangerang. f. Meningkatkan pengawasan melekat dan pengawasan melalui Hakim Pengawas Bidang (HAWASBID). Program:6 a. Menerapkan SIADPA (Sistem Administrasi Peradilan Agama) dan membuka akses internet serta membuat kartu kendali perkara. b. Menunjuk hakim mediator dan menyediakan Hot Line. c. Menyelenggarakan Diklat In Job Training. d. Melakukan Eksaminasi dengan Eksaminator dari Ahli Hukum. e. Penyuluhan hukum kepada masyarakat. f. Melakukan sosialisai Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah g. Melakukan studi banding khususnya bidang Ekonomi Syari’ah. h. Mengusulkan pengadaan Gedung dan fasilitasnya dalam RKAKL (Rencana Kerja ke Menterian dan Lembaga) komponen belanja modal disertai data pendukung. i. Melakasanakan Sidang Keliling. j. Menerapkan Punishment and Reward dengan baik dan benar. k. Mengimplementasikan Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang pengawasan dengan membuat Job Description Hakim Pengawas Bidang (HAWASBID).
6
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 4.
58
3. Rencana Kerja Titik Berat Tahun 2009 s/d Tahun 2017 Dari visi, misi tujuan serta sasaran dan program di atas dapat dirumuskan rencana kerja titik berat pengadilan agama tigaraksa tahun 2009 s/d 2017 sebagai berikut:7 a. Penanganan perkara dengan efektif dan efesien melalui pola BINDALMIN. b. Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan hukum yang berkualitas. c. Peningkatan infrastruktu perkantoran. d. Pemberdayaan SDM manusia melalui pengikutsertaan diklat fungsional dan struktural. e. Penciptaan tata perkantoran yang baik. f. Peningkatan ketertiban dan kenyamanan bagi para pihak yang berperkara. g. Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi keperkaraan melalui IT. h. Peningkatan motivasi kerja aparatur melalui reward dan punishment. i. Membangun sisterm karir pegawai melalui parameter legalitas formal, senioritas dan kinerja untuk dipromosikan kejenjang yang lebih tinggi. j. Revitalisasi pola BINDALMIN melalui SIADPA. k. Lahan tanah 3500 m2 dari Pemda Kabupaten Tangerang untuk Pengadilan Agama Tigaraksa, segera akan dibuatkan sertifikat atas nama Pengadilan Agama Tigaraksa dan akan segera dibangun gedung pengadilan sesuai dengan stadarisasi Mahkamah Agung Republik Indonesia. 4. Struktur Pengadilan Agama Tigaraksa8 Struktur organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa terdiri dari: 7 8
Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 5 Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014, h. 6.
59
a. Ketua b. Wakil Ketua c. Panitera/Sekretaris d. Wakil Panitera e. Wakil sekretaris
60
B. Permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa Prosedur permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa dapat dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut :9 1. Jika permohonan isbat nikah diajukan oleh suami istri, maka permohoan bersifat voluntair, produknya berupa penetapan, apabila isi penetapan tersebut menolak permohonan Itsbat nikah, maka suami dan istri bersama-sama atau suami , istri masing-masing dapat mengajukan upaya hukum kasasi. 2. Jika permohonan Isbat nikah diajukan oleh salah seorang suami atau istri, maka permohonan bersifat kontensius dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak mengajukan permohoan sebagai pihak termohon, produknya bersifat putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi. 3. Jika Isbat nikah dalam angka 1 dan 2 tersebut di atas, diketahui suami masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara, apabila istri terdahulu tidak dimasukkan, maka permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima. 4. Jika permohonan Isbat nikah diajukan oleh anak, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan harus bersifat kontensius dengan mendudukkan suami dan istri dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon. 5. Jika suami atau istri yang telah meninggal dunia, maka suami atau istri dapat mengajukan Isbat nikah dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan. 6. Jika suami atau istri tidak mengetahui ada ahli waris lain selain dirinya, maka permohonan Isbat nikah diajukan secara voluntair, produknya berupa penetapan. 9
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 147-148
61
7. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Itsbat nikah tersebut pada angka 1 dan 5, dapat melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agama Tigaraksa setelah mengetahui ada penetapan Isbat nikah. 8. Jika ada orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam perkara permohonan Isbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4 dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama Tigaraksa selama perkara belum diputus. 9. Jika pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak dalam perkara Itsbat nikah tersebut dalam angka 2, 3, dan 4, sedang permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan Agama Tigaraksa dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama Tigaraksa. Selanjutnya proses penyelesaian perkara pengesahan perkawinan (Isbat Nikah) di Pengadilan Agama Tigaraksa adalah sebagai berikut:10
1. Proses Pendaftaran Perkara: a. Mengajukan permohonan secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa (Pasal 142 ayat (1) R. Bg.). b. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa, selanjutnya Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa atau Hakim
10
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 149
62
yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa mencatat permohonan tersebut (Pasal 144 R. Bg.). c. Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Tigaraksa, kemudian diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register setelah Pemohon atau kuasanya membayar panjar biaya perkara ke BRI Cabang Tigaraksa dengan melampiri slip penyetoran bank yang besarnya telah ditentukan oleh Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa (Pasal 145 ayat (4) R. Bg.). d. Permohonan tersebut memuat: 1) Nama, umur, pekerjaan, agama, pendidikan, kewarganegaraan dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon. 2) Posita (fakta kejadian dan fakta hukum). 3) Alasan atau kepentingan yang jelas. 4) Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita). e. Pemohon
dan
Termohon
atau
kuasanya
menghadiri
persidangan
berdasarkan panggilan yang dilaksanakan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Tigaraksa (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). 2. Proses Penyelesaian Perkara:11 a. Permohonan isbat nikah yang bersifat voluntair, sebelum Majelis Hakim menetapkan
hari
sidang,
terlebih
dahulu
mengumumkan
adanya
permohonan isbat nikah melalui media massa (Radio Kalamaira Tigaraksa) dalam waktu 14 (empat belas) hari. 11
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 150
63
b. Setelah berakhir masa pengumuman Majelis Hakim menetapkan hari sidang paling lambat 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman. c. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Tigaraksa untuk menghadiri sidang pemeriksaan: 1) Pemohon dan Termohon yang berada di wilayah Pengadilan Agama Tigaraksa, dipanggil langsung di tempat kediaman Pemohon dan Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). 2) Pemohon atau Termohon yang berada di luar wilayah Pengadilan Agama Tigaraksa dipanggil melalui Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman Pemohon atau Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). 3) Termohon yang tidak diketahui keberadaannya dipanggil melalui media massa (Radio
Kalamaira Tigaraksa) sebanyak
dua kali, jarak
pemanggilan pertama dengan pemanggilan kedua satu bulan dan jarak pemanggilan kedua dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga bulan (Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 4) Termohon yang berada di luar negeri dipanggil melalui departemen luar negeri cq. Dirjen protokol dan konsuler departemen luar negeri dengan tembusan disampaikan kepada kedutaan besar Republik Indonesia dan
64
jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak surat permohonan pemanggilan dikirimkan. 3. Tahapan pemeriksaan:12 a. Pada pemeriksaan sidang pertama; 1) Jika Pemohon dan Termohon hadir, maka tahap persidangan dimulai dengan memeriksa identitas para pihak, para pihak tidak diwajibkan melaksanakan proses mediasi karena perkara permohonan isbat nikah (Pasal 3 ayat (2) Perma. Nomor 1 Tahun 2008), selanjutnya Majelis Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009). 2) Jika Termohon tidak hadir, maka Termohon dipanggil sekali lagi (Pasal 150 R.Bg). b. Selanjutnya tahapan pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, replik, dan duplik (Pasal 157 ayat (1) R. Bg., pembuktian dan kesimpulan). c. Tahapan sidang berikutnya adalah musyawarah Majelis Hakim dan terakhir membacakan penetapan. 4. Ketentuan penetapan berkekuatan hukum tetap (BHT) a. Jika kedua belah pihak hadir, maka penetapan akan berkekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari penetapan dibacakan. 12
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 150
65
b. Jika salah satu pihak tidak hadir pada saat pembacaan penetapan, maka penetapan akan berkekuatan hukum tetap setelah 14 (empat belas) hari penetapan tersebut diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir. c. Setelah penetapan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka Panitera Pengadilan Agama Tigaraksa berkewajiban menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan kepada para pihak selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah putusan dibacakan tanpa dipungut biaya.
C. Persyaratan Permohonan Isbat Nikah Perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa Hasil wawancara yang telah penulis laksanakan terkait dengan persyaratan permohonan Isbat Nikah perkawinan campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa, diperoleh informasi bahwa persyaratan permohonan pengesahan isbat nikah bagi Perkawinan Campuran sama dengan persyaratan permohonan pengesahan isbat nikah perkawinan biasa (perkawinan antara sesama WNI yang beragama Islam). Persyaratan permohonan pengesahan isbat nikah baik bagi perkawinan campuran maupun perkawinan biasa adalah : 1. Adanya pengajuan permohonan isbat nikah dan 2. Pernikahan yang dilakukan tidak bertentangan dengan ketentuan syari’at Agama Islam dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain dua ketentuan sebagaimana tersebut di atas, para pemohon harus dapat membuktikan di depan sidang Majelis Hakim bukti-bukti yang dapat mendukung keabsahan pernikahan tersebut, seperti adanya wali dan saksi.
66
Jika ketentuan sebagaimana tersebut di atas telah terpenuhi, maka permohonan isbat nikah tersebut dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim.13
D. Pertimbangan Hakim Pada Penetapan Nomor 0044/Pdt/P/2014/PA.Tgrs Perkara
Nomor
0044/Pdt.p/2014/PA.Tgrs.
merupakan
perkara
permohonan pengesahan isbat nikah yang diajukan oleh SIMPSON JACK KRISTINN Bin JACK RAY SIMPSON, Umur 36 tahun, agama Islam, pendidikan S1, pekerjaan swasta, tempat tinggal di Jalan Alam IV Blok A No. 19 Villa Ilhami Kelurahan Kelapa Dua Kecamatan Kelapa Dua Kabupaten Tangerang, selanjutnya disebut sebagai “Pemohon I”, dan ESTIN AULIA THONAH Binti SARKUM BASIR, umur 27 tahun, agama Islam, pendidikan SLTP, pekerjaan swasta, tempat tinggal di Jalan Alam IV block A No.19 Villa Ilhami Kelurahan Kelapa Dua Kecamatan Kelapa Dua Kabupaten Tangerang, selanjutnya disebut sebagai “Pemohon II”. Permohonan pengesahan isbat nikah ini diajukan pada tanggal 04 Pebruari 2014, sebagaimana terdaftar pada Kepaniteraan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs. Dalam surat permohonanya, Pemohon I dan Pemohon II memohon kepada Majelis Hakim untuk menetapkan sah pernikahan pemohon I dengan pemohon II yang dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus 2010 di wilayah Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecaman Curug Kabupaten Tangerang. Berdasarkan surat permohonan tersebut, Majelis Hakim yang menangani perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs. permohonan Pemohon I dan Pemohon 13
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), h. 148.
67
II dan menetapkan sah pernikahan Pemohon I dengan Pemohon II yang dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus 2010 di wilayah Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecaman Curug Kabupaten Tangerang dengan pertimbangan sebagai berikut:14 1. Pemohon I dan Pemohon II telah mendaftarkan permohonan pengesahan isbat nikahnya di Pengadilan Agama Tigaraksa sesuai ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama Tigaraksa. 2. Berdasarkan keterangan Pemohon I, Pemohon II, wali nikah dan dua orang saksi di persidangan menyatakan bahwa pernikahan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan syari’at Agama Islam. 3. Bahwa antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada larangan untuk menikah, baik menurut ketentuan syari’at Agama Islam maupun menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 4. Bahwa sampai sekarang para pemohon tidak memiliki kutipan akta nikah karna perkawinan tidak terdaftar pada Kantor Urusan Agama. Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim yang menangani perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs. berpendapat bahwa permohonan para pemohon supaya pernikahannya yang dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus 2010 di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang dinyatakan sah telah memenuhi syarat yang dimaksud sebagaimana diatur dalam pasal (2) ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) huruf (d) Kompilasi Hukum Islam. 14
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB
68
Selain alasan di atas, pertimbangan majlis hakim juga mendasarkan pertimbangannya pada kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagai berikut: 1. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 76 2. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 102 Menimbang, bahwa sesuai dengan pendapat para ulama dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, Ushulul Fiqhi, I’anatut Thalibin dan Mughnii al-Muhtaj yang selanjutnya diambil alih menjadi pendapat majlis berbunyi : 1. Kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 298 2. Kitab Ushulul Fiqhi Abdul Wahab Khalaf halaman 93 3. Kitab I’anatut thalibin juz IV halaman 275 4. Kitab Mughni al-Muhtaj juz II Berdasarkan pertimbangan di atas, Majelis Hakim yang menangani perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs. berpendapat bahwa permohonan para pemohon supaya pernikahannya yang dilangsungkan pada tanggal 07 Agustus 2010 di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang dinyatakan sah telah memenuhi syarat yang dimaksud sebagaimana diatur dalam pasal (2) ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) huruf (d) Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Majelis Hakim yang menangani perkara Nomor 0044/pdt.p/2014/PA.Tgrs.menetapkan hal-hal sebagai berikut:15 1. Mengabulkan permohonan para pemohon
15
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB
69
2. Menyatakan sah pernikahan antara pemohon I (SIMPSON JACK KRISTINN Bin JACK RAY SIMPSON) dengan pemohon II (ESTIN AULIA THONAH Binti SARKUM BASIR) yang dilaksanakan pada tanggal 07 Agustus 2010 diwilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang 3. Memerintahkan kepada para pemohon untuk mencatatkan perkawinan tersebut kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang, untuk mendapatkan akta nikah 4. Membebankan kepada para pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 441.000,- (empat ratus empat puluh satu ribu rupiah).16
E. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa Dalam Perkara Isbat Nikah Perkawinan Campuran Setelah Terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Isbat nikah atau pengesahan nikah, dalam kewenangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah merupakan perkara voluntair. Yaitu jenis perkara yang hanya ada pihak pemohon saja, tidak ada pihak lawan dan tidak ada sengketa. Landasan yuridis dari isbat nikah adalah ketentuan yang terdapat di dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 undang undang tersebut diatur tentang pengesahan perkawinan bagi perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku.
16
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.
70
Dalam KHI upaya hukum isbat nikah tidak hanya meliputi pengesahan perkawinan yang terjadi sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 berlaku. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menegaskan, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Kemudian pada pasal 7 ayat (3), hal-hal yang dapat diminta isbat nikahnya, yaitu : 1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. 2. Hilangnya akta nikah. 3. danya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. 4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlaku UU Nomor 1 Tahun 1974 dan 5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974. Kepastian hukum isbat nikah terhadap status perkawinan ini erat kaitannya dengan pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan administratif sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan, karena sahnya suatu perkawinan itu menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing sesuai pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974. Namun demikian, perkawinan perkawinan yang tidak tercatat tidak akan memperoleh perlindungan dan kekuatan hukum dari negara. Setelah penetapan isbat nikah dikabulkan oleh Majelis Hakim, pemohon akan memperoleh akta nikah dari KUA setempat. Akat Nikah ini merupakan bukti otentik bahwa telah terjadi suatu perkawinan. Maka dari itu perkawinan tersebut
71
dianggap sah menurut hukum. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 100 KUH Perdata, yaitu adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Sehingga para pemohon yang telah melakukan pencatatan perkawinan akan memperoleh akta nikah untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum dari pemerintah.17 Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Terpenuhinya hak-hak sosial itu, akan melahirkan tertib sosial sehingga akan tercipta keserasian dan keselarasan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, pasangan suami istri yang telah melakukan perkawinan menurut hukum agama (Islam), tetapi tidak tercatat atau dicatatkan, cukup dilakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama, tanpa harus melakukan nikah ulang atau nikah baru (tajdid an-nikah) karena hal itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun alasan permohonan isbat nikah untuk perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf e KHI. 17
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.
72
Terkait dengan penetapan isbat nikah bagi perkawinan Campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa didasarkan atas hal-hal sebagai berikut: 1. Pada dasarnya mereka telah melaksanakan nikahnya sesuai dengan syariat Islam, dimana syarat sah sebuah perkawinan yang ditentukan syariat Islam telah terpenuhi dan sesuai pula dengan ketentuan Pasal 14 KHI yaitu adanya calon mempelai, wali, dua orang saksi, ijab kabul, serta adanya mahar sebagai kewajiban dari mempelai laki-laki kepada isterinya. 2. Bahwa, di dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam ayat (3) bahwa perkawinan yang dapat disahkan adalah perkawinan yang dilangsungkan sebelum lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974, sedangkan faktanya banyak perkawinan yang dilangsungkan di bawah tangan setelah lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 yang mohon diitsbatkan, maka dengan berpedoman pada Pasal 7 ayat (3) huruf (e) yang berbunyi yaitu ”Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974”, maka perkawinan di bawah tangan yang dilangsungkan oleh para pemohon isbat nikah telah sesuai dengan ketentuan syariat Islam yaitu telah terpenuhi rukun dan syaratnya serta tidak ada halangan perkawinan menurut halangan yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974, maka perkawinan tersebut dapatlah disahkan, karena pasal 7 ayat (3) tersebut tidaklah bersifat kumulatif tetapi bersifat alternatif yang huruf satu
73
dengan huruf yang lainnya bukanlah merupakan suatu kesatuan tetapi terpisah.18
F. Analisis Penulis Mencermati masalah isbat nikah tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum perkawinan sebagaimana yang diatur dan ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No.9 Tahun 1975. Sebagaimana diketahui, perkawinan dalam perspektif UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak sekedar hubungan kontrak antara individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi juga mencakup ikatan lahir batin (mitsaqon gholizan) serta dilandasi keyakinan beragama. Sebuah perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum atau menurut hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara positif. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara perkawinan diatur dalam pasal 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan yang tidak dicatat dan atau tidak tercatat dianggap tidak sah dimata hukum dan juga tidak mendapat akta nikah sebagai bukti otentik sahnya suatu perkawinan. Hak dan kewajiban serta hukum-hukum lainnya itu merupakan konsekuensi dari sebuah perkawinan yang sah. Hubungan hukum anak ayah ditunjukkan pada pasal 42 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. 18
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.
74
Isbat nikah atau penetapan nikah dilakukan berkaitan dengan unsur keperdataan yaitu adanya bukti otentik tentang perkawinan yang telah dilakukan termasuk perkawinan campuran. Hal ini karena perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Idris Ramulyo mengatakan bahwa nikah dan talak yang dilakukan dibawah tangan lebih cenderung dinyatakan tidak sah menurut hukum Islam, batal, atau sekurangkurangnya dapat dibatalkan.19 Perkawinan campuran yang disahkan penetapannya melalui Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs digolongkan kepada Perkawinan Campuran Antar Golongan (Intergentiel). Perkawinan tersebut dilaksanakan setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Permohonan isbat nikah tersebut didasarkan karena perkawinannya tidak tercatat, sehingga tidak memiliki Akta Nikah, dan diajukan untuk memperoleh kepastian hukum, baik bagi suami-istri maupun anak-anak yang
dilahirkan akibat
perkawinan tersebut. Permohonan isbat nikah dalam Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. bersifat voluntair, produknya berupa penetapan. Pertimbangan majlis hakim dalam mengabulkan permohonan isbat nikah Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs. didasarkan pada kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagai berikut: 1. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 76
ما ال يتم انىاجة إال تو فهى واجة
Artinya “Sesuatu yang tidak sempurna sebuah kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu itu, maka hukumnya menjadi wajib pula”. 19
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 20-21
75
3. Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 102
انضسز يزال Artinya: “Kemadharatan itu harus dihilangkan” Menurut Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag. selaku hakim PA Tigaraksa,20 mengenai kewenangan hakim dalam perkara permohonan isbat nikah adalah bahwa hakim wajib memeriksa terhadap perkara isbat nikah yang masuk di Pengadilan Agama melalui prosedur persidangan serta berhak memutus atas perkara tersebut sesuai aturan hukum yang mengaturnya. Lebih lanjut Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag. menjelaskan bahwa majelis hakim memeriksa beberapa bukti tertulis dan para saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah serta telah memenuhi syarat formil kesaksian dan dapat diterima sebagai alat bukti kesaksian. Dalam pertimbangannya bahwa tentang pengesahan nikah hanya diberikan terbatas mengenai hal-hal yang secara limitatif telah diatur dalam pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 Kompilasi Hukum Islam maka harus terlebih dahulu dibuktikan apakah dalil-dalil pemohon telah sesuai dengan ketentuan yang dimaksud. Dalam penetapan isbat nikah maka Panitera Pengadilan Agama berkewajiban untuk mengirimkan salinan penetapan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada PPN/KUA kecamatan setempat untuk diadakan pencatatan lagi dalam Buku Pendaftaran Nikah atau Rujuk. Pada kolom terakhir Buku
20
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.
76
tersebut dituliskan bahwa pencatatan ini didasarkan atas putusan Pengadilan Agama yang bersangkutan dengan nomor dan tanggal dan putusannya.21 Majelis hakim Pengadilan Agama Tigaraksa menetapkan permohonan isbat nikah meskipun perkawinan dilakukan setelah tahun 1974. Perkara isbat nikah dilakukan secara selektif dan hati-hati. Dalam hal ini penetapan disahkan guna mengurus akta kelahiran anak sebagai upaya untuk memberikan perlindungan kepada anak. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat harus mendapatkan hak yang sama dengan anak yang lahir dari perkawinan tercatat. Karena sesuai pasal 4 UU Perlindungan Anak, anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas. Kebanyakan permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa yaitu untuk mendapatkan pengesahan pernikahan mereka secara resmi di mata hukum karena belum mempunyai surat nikah yang akan digunakan untuk mengurus akta kelahiran anak-anaknya. Dengan melihat uraian pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI telah memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh UU, baik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.22 Apabila perkawinan dibawah tangan atau nikah sirri menjadi tradisi dalam arti dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakat serta apalagi dapat dikabulkan jika 21
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB. 22 Nasrudin Salim,” Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (Tinjauan Yuridis, Filosofis, dan Historis) dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum No. 62 THN. XIV, (Jakarta: 2003), h. 70
77
dimintakan isbatnya oleh Pengadilan Agama dan dipertahankan terus menerus maka akan membawa dampak yang tidak baik. Dan dampak itu antara lain adalah:23 1. Makna historis Undang-undang perkawinan akan tidak efektif sehingga tujuan lahirnya UU tersebut tidak tercapai. 2. Tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti yang dikehendaki pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maka akan menciptakan suatu kondisi ketidakteraturan dalam pencatatan kependudukan. 3. Masyarakat Muslim dipandang tidak lagi memperdulikan kehidupan dalam bidang hukum, yang pada akhirnya sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan ajaran Islam tidak membutuhkan keterlibatan Negara. 4. Akan mudah dijumpai perkawinan dibawah tangan atau nikah sirri yang hanya peduli pada unsur agama saja dibanding unsur tata cara pencatatan perkawinan yang mengundang ketidakpastian nasib wanita (isteri). 5. Apabila terjadi wanprestasi terhadap perjanjian perkawinan, maka peluang untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas tanpa terlibat prosedur hukum sebagai akibat langsung dari diabaikannya pencatatan oleh Negara, sehingga perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri hanya diikuti perceraian dibawah tangan pula. 6. Akan membentuk preseden buruk sehingga akan cenderung menjadi bersikap enteng untuk mengabaikan pencatatan nikahnya secara langsung pada saat perkawinan.
23
Nasrudin Salim,” Isbat Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam, h. 72
78
Namun, dalam UU terbaru Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang pencatatan nikah, belum adanya sanksi yang tegas mengenai pelanggaran terhadap pasal 2 ayat 2 tentang pencatatan perkawinan dan para pegawai pencatat nikah (KUA dan PPN) yang melakukan penyelewengan atas tugas pencatatan nikah. Jika sanksi ini ditegakkan diharapkan oknum menjadi jera untuk melakukan pelanggaran terhadap UU. Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq sebagaimana dikutip Satria Effendi M. Zein,24 membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada 2 (dua) kategori yaitu peraturan syara’ dan peraturan tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan dikalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Secara administratif ada peraturan yang mengharuskan agar suatu pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang kegunaannya agar lembaga perkawinan mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam, dapat dilindungi dari upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan menurut Abu Hasan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah yang dikutip oleh Siti Musdah Mulia, bahwa pemerintah dalam hukum Islam memiliki kewajiban melindungi warganya dari berbagai bentuk eksploitasi dan perlakuan yang
merugikan
dengan
menciptakan
peraturan-peraturan
yang
dapat
menimbulkan ketentraman dan kedamaian. Sebagai uli al-amr (menjaga Agama) dan fi siyasah al dunya’ (mengatur urusan dunia). Dalam pelaksanaan kedua 24
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. (Jakarta: Kencana, 2005). Cet II. h. 29
79
fungsi tersebut, pemerintah wajib ditaati oleh warganya, sepanjang tidak mengajak kepada kemungkaran dan tidak pula mendatangkan kemudharatan. Dalam konteks pelaksanaan kedua fungsi inilah pemerintah dibenarkan membuat perundang-undangan dalam bidang siyasah al syar’iyah. Siyasah al syar’iyah adalah seperangkat aturan yang dibuat pemerintah dalam rangka menunjang keberlakuan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasul, meskipun belum pernah dirumuskan ulama’ sebelumnya.25 Sedangkan dasar hukum yang digunakan dalam pencatatan perkawinan yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku”.26 Serta dalam KHI dijelaskan dalam pasal 4,5,6,7 secara garis besar memuat aturan bahwa sahnya perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam. Di dalam Al Quran dijelaskan tentang pentingnya penulisan atau pencatatan yaitu dalam surat Al Baqarah ayat 282:
َ يَاأَيُّهَا انَّ ِر ُيه َءا َمنُىا إِ َذا تَ َدايَ ْنتُ ْم تِ َد ْي ٍه إِنَى أَ َج ٍم ُم َس ًّّمى فَا ْكتُثُىه َّ ُة َك َما َعهَّ َمو َُّللا َ ُب َكاتِةٌ أَ ْن يَ ْكت َ َْو ْنيَ ْكتُةْ تَ ْينَ ُك ْم َكاتِةٌ تِ ْان َع ْد ِل َو َال يَأ ..... ْفَ ْهيَ ْكتُة Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah seorang penulis diantara kau menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis….” (Q.S S. Al Baqarah: 282)
25
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar Press. 2006), h. 144 26 Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan
80
Wajibnya pencatatan sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan dalam Islam beranalog (berqiyas) kepada ayat yang mewajibkan pencatatan dalam transaksi hutang-piutang. Perkawinan sejatinya merupakan transaksi yang amat penting, bahkan jauh lebih penting dari transaksi yang lainnya dalam kehidupan manusia. Kalau hutang piutang saja wajib dicatatkan apalagi perkawinan.27 Dengan demikian maka dapat ditegaskan bahwa, pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak. Karena ia memiliki landasan metodologis yang cukup kokoh, yaitu qiyas atau maslahat mursalah yang menurut al- Syatibi merupakan dalil qath’i yang dibangun atas dasar kajian induktif (istiqra’i).28 Dengan pencatatan pernikahan maka akan membentuk dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang tertib dan menjaga kemaslahatan bagi keluarga. Bagi mereka yang tidak mencatatkan dan atau tidak mendaftarkan perkawinan mereka atau enggan melangsungkan perkawinan dihadapan PPN, maka perkawinan mereka dikualifikasikan “perkawinan liar” dalam bentuk kawin sirri atau kawin “kumpul kebo”.29 Pasal 7 ayat 2 KHI menerangkan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Sedangkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang syarat
27
Siti Musdah Mulia. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar Press. 2006), h. 143 28 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 121 29 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 Thn. III, (Jakarta: Al Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, 1992), h. 25
81
dan rukun nikah, yang apabila telah terpenuhinya seluruh syarat dan rukun tersebut, maka pernikahannya harus dinyatakan sah. Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam ini tidak mensyaratkan sahnya suatu perkawinan karena dicatat. Akta nikah hanya sebuah pernyataan dari pihak pemerintah yang mencatat adanya peristiwa hukum berupa pernikahan. Begitu banyak pakar hukum yang menyatakan sahnya perkawinan tidak harus dicatat, hanya tidak mempunyai kekuatan hukum apabila berhadapan dengan hukum lainnya. Dalam hal pencatatan perkawinan apabila tidak dilaksanakan maka akan melanggar Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah); begitu juga terhadap poligami yang dilaksanakan tanpa izin pengadilan agama yang telah memenuhi unsur-unsur Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, maka secara hukum sah pernikahannya tetapi tidak ada pencatatannya di Kantor Urusan Agama karena tidak dimintakan izin poligami ke Pengadilan Agama. Terhadap perkara ini Hakim Peradilan Agama disibukkan dengan menafsirkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam tentang syarat dan rukun perkawinan yang bersinergi dengan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam adanya upaya hukum isbat nikah. Apabila hakim sudah memutuskan adanya peristiwa hukum tentang sahnya perkawinan bagi para pemohon (ketetapan isbat nikah) maka seharusnya hakim juga menyatakan bahwa para pemohon tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap ex Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
82
karenanya para pemohon isbat nikah oleh hakim harus pula dijatuhi sanksi pelanggaran terhadap pasal tersebut. Hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., diperoleh informasi bahwa sebagian besar pengajuan permohonan isbat nikah yang diajukan oleh para pemohon di Pengadilan Agama Tigaraksa bahwa pernikahannya dilaksanakan setelah lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, baik pernikahan biasa maupun pernikahan campuran. 30 Hal ini mengisyaratkan bahwa para pemohon telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat (1,2,3). Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 9 ayat (2, 3), Pasal 34, 35, dan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Selain itu, tidak sedikit permohonan kehendak nikah yang diajukan kepada Kantor Urusan Agama yang ditolak permohonannya karena adanya beberapa kekurangan persyaratan administratif, seperti kurang usia (calon pengantin pria kurang dari 19 tahun dan calon pengantin wanita kurang dari 16 tahun), belum mendapatkan izin atasan (bagi anggota polisi), belum memiliki Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) bagi Warga Negara Asing, atau persyaratan lain yang harus 30
Wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, pada tanggal 17 Maret 2015 di ruang Hakim PA Tigaraksa Pukul 14.15 WIB.
83
dipenuhi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena persyaratan tersebut bersifat administratif dan tidak menjadi halangan bagi terjadinya perkawinan menurut ketentuan syari’at Agama Islam, kemudian mereka melaksanakan perkawinannya tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Tidak sedikit kasus sebagaimana digambarkan di atas selanjutnya diajukan pengesahan perkawinannya melalui permohoan penetapan isbat nikah di Pengadilan Agama, dan hakim mengabulkan permohonannya. Kondisi seperti ini menurut analisis penulis akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap masyarakat, bahkan lebih jauh dari itu mereka cenderung tidak mengindahkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, khususnya yang berkaitan dengan perkawinan. Terlebih lagi jika perkawinan campuran dapat diisbatkan oleh Pengadilan Agama, hal ini menurut analisis penulis akan menjadi preseden buruk bagi kewibawaan hukum di mata warga negara asing. Karena perkawinan campuran memerlukan persyaratan administrasi yang lebih rumit dan melibatkan ketentuan hukum dua negara. Menurut analisis penulis, penetapan isbat nikah oleh Pengadilan Agama di satu sisi memberikan manfaat bagi keluarga akan adanya jaminan kepastian hukum dan akibat yang ditimbulkannya. Tapi di sisi lain akan memberikan ekses yang kurang baik terhadap masyarakat, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Isbat nikah akan dijadikan sebagai celah hukum bagi terjadinya berbagai pelanggaran
administratif
oleh
para
calon
suami-istri
yang
melangsungkan perkawinan yang tidak memenuhi syarat administratif.
akan
84
2. Isbat nikah bagi perkawinan campuran akan memberikan dampak buruk bagi kewibawaan hukum di mata Warga Negara Asing. 3. Isbat nikah dapat digolongkan sebagai jalan pintas bagi pengesahan perkawinan yang pencatatannya ditolak oleh Kantor Urusan Agama. 4. Adanya dualisme kewenangan dalam pengesahan perkawinan antara Kantor Urusan Agama dengan Pengadilan Agama, dimana dalam beberapa kasus isbat nikah yang secara adminsitratif belum memenuhi persyaratan perkawinan dan ditolak permohonan perkawinannya oleh KUA, tapi oleh Pengadilan Agama dinyatakan sah. Hal ini secara tidak langsung akan merendahkan posisi lembaga dari lembaga lainnya. 5. Adanya perbedaan persyaratan administratif dalam permohonan pendaftaran perkawinan di Kantor Urusan Agama dan permohonan penetapan isbat nikah di Pengadilan Agama, sehingga terkesan tidak adanya kesamaan prinsip dalam menetapkan pengesahan perkawinan. 6. Berdasarkan tata urutan dan hirarki perundang-undangan di Indonesia, dalam penerapannya Kompilasi Hukum Islam menjadi dilematis, karena posisinya yang tidak kuat sehingga tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Berdasarkan dampak di atas, maka diperlukan pengkajian mendalam terhadap berbagai ketentuan perundang-undangan, khususnya dalam bidang perkawinan demi terhindarnya kontradiksi antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lainnya. Untuk itu beberapa pertimbangan terkait isbat nikah oleh Pengadilan Agama, dapat penulis paparkan sebagai berikut:
85
1. Melakukan amandemen terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam terhadap pasal-pasal yang dianggap kontradiktif dengan ketentuan lain. 2. Memberikan sanksi terhadap para pemohon yang permohonan penetapan isbat nikahnya
disahkan
oleh
Pengadilan
Agama,
sedangkan
pelaksanaan
pernikahannya secara agama dilaksanakan setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. 3. Menyamakan ketentuan persyaratan administratif permohonan penetapan isbat nikah di Pengadilan Agama dengan permohonan pendaftaran perkawinan di Kantor Urusan Agama.
86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam perkara isbat nikah perkawinan campuran setelah terbitnya UU No.1 Tahun 1974 adalah bahwa permohonan isbat nikah dikabulkan demi melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap warga negara, khususnya pasangan suami istri, serta anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Terpenuhinya hak-hak sosial itu, akan melahirkan tertib sosial sehingga akan tercipta keserasian dan keselarasan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, pasangan suami istri yang telah melakukan perkawinan menurut hukum agama (Islam), tetapi tidak tercatat atau dicatatkan, cukup dilakukan pencatatan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, tanpa harus melakukan nikah ulang atau nikah baru (tajdid an-nikah) karena hal itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun alasan permohonan isbat nikah untuk perkawinan yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
86
87
Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3) huruf e KHI. 2. Proses pengajuan isbat nikah bagi perkawinan campuran di Pengadilan Agama Tigaraksa sama dengan proses pengajuan isbat nikah perkawinan biasa (perkawinan antara sesama WNI yang beragama Islam). Adapun proses pengajuan isbat nikah di Pengadilan Agama Tigaraksa adalah : (1) Mengajukan permohonan secara tertulis yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama Tigaraksa, (2) Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama Tigaraksa, kemudian diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register, (3) Para pemohon atau kuasanya menghadiri persidangan, (4) Majelis hakim melakukan pemeriksaan terhadap para pemohon dan para saksi, dan (5) Majelis hakim melakukan musyawarah dan terakhir membacakan penetapan. 3. Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs adalah sebagai berikut: (1) Pemohon I dan Pemohon II telah mendaftarkan permohonan pengesahan isbat nikahnya di Pengadilan Agama Tigaraksa sesuai ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama Tigaraksa, (2) Berdasarkan keterangan Pemohon I, Pemohon II, wali nikah dan dua orang saksi di persidangan menyatakan bahwa pernikahan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan syari’at Agama Islam, (3) Bahwa antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada larangan untuk menikah, baik menurut ketentuan syari’at Agama Islam maupun menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan (4) Bahwa sampai sekarang para pemohon tidak memiliki kutipan
88
akta nikah karna perkawinan tidak terdaftar pada Kantor Urusan Agama. Selain alasan di tgersebut, majleis hakim juga mendasarkan pertimbangannya pada kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagai berikut: (1) Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 76, dan (2) Kitab Qowaid Al-Kulliyah al Fiqhiyah halaman 102.
B. Saran Berdasarkan hasil analisis terhadap masalah yang telah penulis paparkan, maka dapatlah disampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Hendaknya pihak-pihak yang terkait melakukan amandemen terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang dianggap kontradiktif dengan ketentuan lain. 2. Hendaknya diberlakukan sanksi terhadap para pemohon yang permohonan penetapan isbat nikahnya disahkan oleh Pengadilan Agama, sedangkan pelaksanaan pernikahannya secara agama dilaksanakan setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini untuk menjaga kewibawaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 3. Kepada pihak Pengadilan Agama, hendaknya menyamakan ketentuan persyaratan administratif permohonan penetapan isbat nikah di Pengadilan Agama dengan permohonan pendaftaran perkawinan di Kantor Urusan Agama, demi terciptanya kejelasan aturan dan kesamaan persepsi antara dua lembaga tersebut.
89
89
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993). Abdullah, Abdul Gani, Pengantar KHI Dalam Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-I (Jakarta: Gema Insani Press,1994). Abdullah, Abdul Ghani, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan Agam, (Jakarta: Intermasa, 1991). Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). Arto, Ahmad Mukti, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, (Mimbar Hukum No.26 Tahun IV mei-juni, 1996). Arto, Ahmad Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1996). Aulawi, Wasit, Prof. H. A., “Pernikahan Harus Melibatkan Orang Banyak”, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Thn. VII (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1996). Barnadib, Imam, Pemikiran Tentang Metode Pada Pendidikan Perbandingan (Yogyakarta: IKIP, 1985) Depag, Pedoman Pencatat Nikah (PPN), (Jakarta: Badan Kesejahteraan Masjid Pusat, 1992/1993). Departemen Agama R.I., Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999/2000). Gautama, Sudargo (Gouw Giok Siong), Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar Baru-Vanhoeve, 1980). Gautama, Sudargo, Aneka Masalah Dalam Praktek Pembaruan Hukum Di Indonesia, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990). Gautama, Sudargo, Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata Internasional Sedunia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1996). 89
90
Gautama, Sudargo, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996). Hadi, Sutrisno, Metode Research I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2007). Harahap, M. Yahya, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 Thn. III, (Jakarta: Al Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, 1992). Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Jehani, Libertus dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2006). LBH APIK Jakarta (http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm) Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011). Menteri Agama Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan, Waris, Perwakafan, Impres No. 1 Th 1991 berikut penjelasan, (Surabaya: Karya Anda, 1991). Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001). Mubarok, Jaih, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005). Mulia, Siti Musdah. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar Press. 2006). Nasution, Khoiruddin, “Belajar dari Kasus Syeh Puji,” http://maulhayat.blogspot.com/2009/03/hikmah-kasus-syekh-puji.html. Noor, Masrum, (Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat), Penetapan Pengesahan Perkawinan, pdf. Nur, Djamaan, Fiqh Munakahat, (Semarang: CV. Toha Putra,1993). Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2014 , h. 2 Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. Ke-3 1990).
91
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1998). Purbacaraka, Purnadi dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997). Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Rasyid, Raihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991). Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000). Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980). Salim, Nasrudin, “Isbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (tinjauan Yuridis, Filosofis dan Sosiologis), dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 62 Th. XIV (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2003). Surahmad, Winarno, Dasar dan Tehnik Research, Pengantar Metologi Ilmiah, (Bandung: CV. Tarsito, 2004). Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ( Jakarta : Prenada Media, 2007). Tutik, Titik Triwulan, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta, Prestasi Pustaka Publiser, 2006). Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. (Jakarta: Kencana, 2005).
92