KEBIASAAN SUAMI SUKA BERGANTI WIL SEBAGAI LATAR BELAKANG PERCERAIAN (ANALISIS PUTUSAN PA No.1356/Pdt.G/2011/PA.Sm )
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S. 1) dalam Ilmu Syariah
Oleh: UMIYATI 72111007
AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012
Dr.H.Ali Imron M.Ag Mangkang Semarang. Nur Hidayati Stiyani, S.H, MH Jln.Merdeka Utara 1/B.9 Ngaliyan Semarang.
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eks. Hal
: Naskah Skripsi An.Sdri. Umiyati Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi saudara: Nama NIM Jurusan Judul
: : : :
Umiyati 072111007 Ahwal Al-Syakhsiyah “Kebiasaan Suami Suka berganti WIL sebagai Sebab Alasan Perceraian( Analisis Putusan PA No.1356/Pdt.G/2011/PA.Sm)
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera dimunaqasahkan. Demikian harap menjadikan maklum. Wassalamu’alaikum Wr. Wb Semarang, 25 Mei 2012 Pembimbing I
Dr.H. Ali Imron, M.Ag NIP.1973 0730 200312 1003
Pembimbing II
Nur Hidayati Setyani, SH, MH NIP. 19670320 199303 2 001
ii
KEMENTRIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG Alamat : Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2 (Kampus III) Telp/Fax : 024-7614454 Semarang 50185
PENGESAHAN Nama
: Umiyati
NIM
: 072111007
Jurusan
: Akhwal As Syakhiyah
Judul Skripsi
: Kebiasaan Suami Suka Berganti Wil sebagai Latar Belakang Perceraian( Analisis Putusan PA No.1356/Pdt.G/2011/PA Sm)
Telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude / baik / cukup, pada tanggal : 28 Juni 2012. Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun akademik 2012 / 2013. Semarang, 28 Juni 2012 Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Anthin Latiah, M.Ag NIP. 19751107 200112 2 002
Dr. H. Ali Imron, M.Ag NIP. 19730730 200312 1 003
Penguji I,
Penguji II,
Drs.H.Eman Sulaeman,MH NIP. 19650605 199203 1 003
Dra. Hj. Ma’rifatul FadhilahM.Ed NIP. 19620803 198903 2 003
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr.H.Ali Imron,M.Ag NIP. 19730730 200312 1 003
Nur Hidayati Setyani, SH, MH NIP. 19670320 199303 2 001
iii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain kecuali
informasi
yang
terdapat
dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 25 Mei 2012 Deklarator
UMIYATI NIM. 72111007
iv
ABSTRAK
Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah tujuan sebuah pernikahan setiap manusia di muka bumi ini. Pernikahan adalah sebuah manajemen perbedaan. Barang siapa yang mampu menerima dan memahami perbedaan pasangannya, maka kebahagiaan dan keharmonisan adalah hasilnya. Akan tetapi apabila tidak mampu menerima dan memahami perbedaan tersebut, maka rumah tangga akan menjadi penderitaan yang berujung kepada perceraian. Banyaknya sebab tertentu yang dapat mengakibatkan sebuah pernikahan tidak dapat diteruskan, seperti halnya yang terjadi di daerah Kota Semarang yang menurut laporan Pengadilan Agama Semarang tahun 2011 mencatat sebanyak 2.088 kasus perceraian yang 178 diantaranya disebabkan keterlibatan pihak ketiga (termasuk adanya WIL) Berdasarkan data tersebut, penelitian skripsi ini meneliti masalah tentang bagaimana putusan PA No. 1356 / pdt.G/2011/PA.Sm tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian dan bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian. Penelitian ini termasuk studi kasus yang bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim tentang keterlibatan WIL terhadap terjadinya perceraian dan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang fokus kajiannya tertuju pada fenomena adanya WIL dalam memicu perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Semarang. Sedangkan data yang diambil menggunakan metode wawancara dengan hakim dan dokumentasi di Pengadilan Agama Semarang. Selanjutnya data diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa pada asasnya gugatan diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri. Sedangkan faktor yang melatarbelakangi adanya WIL tersebut adalah : rendahnya akhlak, ekonomi (menengah ke atas), pergaulan, dan kemajuan teknologi. Adanya WIL adalah faktor atau latar belakang, yang menyebabkan perselisihan yang terus menerus sehingga menyebabkan terjadinya suatu perceraian. Oleh karena itu hendaknya pasangan suami istri harus saling menjaga diri dalam menciptakan keluarga yang harmonis untuk menjalani hidup bersama, sehingga membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
v
MOTTO
Dari Ibnu Umar ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah ialah talak. (HR. Abu Dawud dan Hakim dan disahihkan olehnya)
vi
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Illahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata ku persembahkan karya tulis skripsi ini untuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keridhoan-Nya. Disamping itu selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari sumbangan dari berbagai pihak, baik sumbangan yang bersifat moril maupun materiil. Oleh karena itu Penulis di sini mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Kepada bapak dan Ibu tercinta ( Bapak Mustofa dan Ibu Sa’diyah ) yang membimbing dan mengarahkan hidupku, serta memberikan dorongan baik moril maupun materiil dalam proses studi ini. 2. Kakek dan Nenekku (Kakek Kamsari-Nenek Khamsatun, Kakek Sulaiman(Alm) – Nenek Suratmi) yang selalu member nasehat untuk selalu tabah dalam menghadapi cobaan hidup ini. 3. Kakak,Kakak Ipar dan Adikku tercinta (Kak Murtadho-Kak Danisih dan M. Zakaria) yang ku sayangi serta seluruh keluargaku tercinta semoga kalian temukan kebahagiaan di dunia serta akhirat semoga semuanya selalu berada dalam pelukan kasih sayang Allah SWT. 4. Kawan-kawan AS-A angkatan 2007 yang telah berjasa pada penulis selama penulis belajar di IAIN Walisongo Semarang, khususnya dalam proses pembuatan skripsi ini. 5. Teman-teman kosan Ibu Penny (Vina, Yanti, ulin, Dwik, Annisa, Milla, Ittoh, Susan) yang selalu memberikan support dan do’a kepadaku sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, bahwa atas ridho dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul: ‘’KEBIASAAN SUAMI SUKA BERGANTI WIL SEBAGAI LATAR BELAKANG PERCERAIAN (ANALISIS PUTUSAN PA NO.1356/Pdt.G/2011/PA. Sm) ” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H Muhibin, M.Ag selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Dr. H. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah. 3. Bapak Dr. H. Ali Imron, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I, dan Ibu Nur Hidayati Setyani, SH,MH, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan fikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Para Dosen Pengajar beserta staff di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang telah membekali berbagai pengetahuan dan staff administrasi serta staff Perpustakaan, baik Perpustakaan Fakultas maupun Institut yang banyak membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu yang senantiasa berdo’a serta memberikan restunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah Penulis berserah diri, dan semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bias bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya. Amin Semarang, 25 Mei 2012
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.... ...........................................................................
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING… ..................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN… .............................................................
iii
HALAMAN DEKLARASI…. ................................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK….....................................................................
v
HALAMAN MOTTO .............................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR .......................................................
viii
HALAMAN DAFTAR ISI .....................................................................
x
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................
1
A. Latar Belakang..................................................................
1
B. Rumusan Masalah ............................................................
8
C. Tujuan penelitian ..............................................................
9
D. Manfaat Penelitian ............................................................
9
E. Telaah Pustaka ..................................................................
10
F. Metode Penelitian .............................................................
13
G. Sistematika Pembahasan ..................................................
16
BAB II: KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA…………............................................
18
A. Pengertian Perceraian .......................................................
18
B. Dasar Hukum Perceraian ..................................................
21
C. Macam-Macam Perceraian ...............................................
26
ix
1. Perceraian Dalam Hukum Islam .................................
26
2. Perceraian dalam Hukum Positif ................................
31
D. Hal-Hal Yang Menyebabkan Perceraian Dalam Islam.....
37
E. Rukun dan Syarat Perceraian ............................................
41
F. Prosedur Perceraian di Peradilan Agama .........................
42
BAB III: PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO. 1356/Pdt. G/2011/PA. Sm TENTANG KEBIASAAN SUAMI SUKA BERGANTI WIL SEBAGAI LATAR BELAKANG PERCERAIAN ...........
52
A. Profil Pengadilan Agama Semarang ................................
52
1. Sejarah pengadilan agama Semarang .........................
52
2. Wewenang Agama Semarang .....................................
56
B. Putusan
Pengadilan
Agama
No.
1356/Pdt.
G/2011/PA. Sm Tentang Kebiasaan Suami Suka Berganti WIL Sebagai Latar Belakang Perceraian ...........
62
C. Dasar Putusan Putusan Pengadilan Agama No. 1356/Pdt. G/2011/PA. Sm Tentang Kebiasaan Suami
Suka Berganti
WIL Sebagai
Latar
Belakang Perceraian .........................................................
69
BAB IV: ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO. 1356/Pdt. G/2011/PA. Sm TENTANG KEBIASAAN SUAMI SUKA BERGANTI WIL SEBAGAI LATAR BELAKANG PERCERAIAN ...........
x
71
A. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama No.
1356/Pdt.
G/2011/PA.
Sm
Tentang
Kebiasaan Suami Suka Berganti WIL Sebagai Latar Belakang Perceraian ................................................
71
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Pengadilan
Agama No.
1356/Pdt.
G/2011/PA. Sm Tentang Kebiasaan Suami Suka Berganti
WIL
Sebagai
Latar
Belakang
Perceraian .........................................................................
77
BAB V: PENUTUP .............................................................................
83
A. Kesimpulan .......................................................................
83
B. Saran-saran ........................................................................
84
C. Penutup .............................................................................
84
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
xi
0
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada prinsipnya, kehidupan rumah tangga harus didasari oleh mawaddah, rahmah dan cinta kasih. Seperti yang termaktub dalam UndangUndang No. 1 tahun 1974 tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Pasal I menegaskan: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa”.1 Suami istri harus memerankan peran masingmasing, yang satu dengan yang lainnya harus bisa saling melengkapi. Di samping itu juga harus diwujudkan keseragaman, keeratan, kelembutan dan saling pengertian satu dengan yang lain sehingga rumah tangga menjadi hal yang sangat menyenangkan, penuh kebahagiaan, kenikmatan dan melahirkan generasi yang baik yang merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang tua mereka.2 Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat halhal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti apabila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini 1 2
Undang-Undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar Grafika,2007, hlm. 1. Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2001, hlm. 245.
1
1
Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha untuk melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan, dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik. Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam undang-undang perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri.3 Pada prinsipnya di dalam Islam perceraian itu dilarang. Hal ini dapat dilihat dalam hadist Rasulullah SAW bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah.
ﺍﺑﻐﺾ ﺍﳊﻼ ﻝ ﺍﱃ ﺍﷲ:ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩﻭﺍﳊﺎﻛﻢ ﻭﺻﺤﺤﻪ.ﺍﻟﻄﻼﻕ Artinya: Dari Ibnu Umar ra ia berkata Rasulullah SAW bersabda: perbuatan halal yang sangat dibenci Allah ialah talak. (HR. Abu Dawud dan Hakim dan disahihkan olehnya).4 Oleh karena itu, isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh apabila bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi. Tentang hukum cerai, ulama fiqih berbeda pendapat. Pendapat yang paling benar diantara semua itu yaitu mengatakan “terlarang’ kecuali karena 3
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009, hlm.
188. 4
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemahan Lengkap Bulughul Maram, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, hlm.487.
2
alasan yang benar. Mereka yang berpendapat begini adalah golongan Hanafi dan Hambali. Alasannya adalah sabda Rasulullah.
. ﻟﻌﻦ ﺍﷲ ﻛﻞ ﺫﻭﻕ ﻣﻄﻼﻕ:ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ Artinya: “Allah melaknat setiap lelaki yang suka mencicipi perempuan kemudian menceraikannya (maksudnya: suka kawin cerai).” Ini disebabkan bercerai itu kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan kawin adalah suatu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Jadi, tidak halal bercerai kecuali karena darurat.5 Ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutuskan atau terputusnya perkawinan. 1. Terjadinya nusyuz dari pihak istri. 2. Terjadinya nusyuz dari pihak suami. 3. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan istri. 4. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fakhisyah yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya (li’an).6 Mengenai alasan-alasan terjadinya perceraian dijelaskan dalam pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 Jo. Pasal 116 KHI yang berbunyi: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
5 6
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007, Jilid 3, hlm. 136. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003, hlm. 269.
3
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan-alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik talak h. Peralihan
agama
atau
murtad
yang
menyebabkan
terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga7. Alasan-alasan lain yang sering kita jumpai dalam kasus perceraian adalah tentang kebiasaan buruk suami yang suka berganti wanita idaman lain (selingkuh). Perselingkuhan adalah sesuatu yang tidak baik karena memiliki dampak buruk yang mungkin tidak terpikir oleh seseorang. Selingkuh yang dilakukan dengan pasangan yang tidak resmi di luar nikah baik dengan lakilaki atau wanita nakal maupun yang baik tetap saja tidak baik.8 Keberadaan pria idaman lain (PIL) dan wanita idaman lain (WIL) sekarang mulai dibicarakan dalam forum terbuka. PIL dan WIL kadang-kadang terdengar 7
Kompilasi Hukum Islam , Yogyakarta: Pustaka Widyatama,2000, hlm.56. http//organisasi,org/factor-alasan-penyebab-seseorang-selingkuh-dengan-wanita-priaidaman-lain.16 nov 11.34 WIB. 8
4
juga dari gosip dan mulai lebih riuh sejak wanita mendapat kebebasan belajar dan bekerja serta berkarya bersama para pria.9 Faktanya kasus perceraian di Kota Semarang meningkat pada tahun 2011. Penyebab utamanya sebagian besar adalah perselingkuhan. Peningkatan tersebut terlihat mulai awal 2010. Pada tahun 2010 tersebut Pengadilan Agama Semarang mencatat ada 2.556 perkara yang masuk. Dari jumlah tersebut, kasus cerai gugat atau pengajuan cerai dari pihak istri adalah yang paling mendominasi. Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Semarang, Bapak Zaenal menyebutkan, dari Januari sampai akhir bulan Maret 2010, perkara perceraian yang sudah masuk mencapai 719 perkara gugatan dan 43 permohonan sehingga jumlahnya menjadi 762 perkara yang sudah masuk. Menurut beliau, yang lebih banyak adalah cerai gugatnya. Humas Pengadilan Agama Semarang Bapak Wahyudi juga mengakui, bahwa dari jumlah perkara yang sudah masuk hingga triwulan pertama ini, menunjukkan ada peningkatan jumlah perkata perceraian di Kota Semarang. Dari jumlah perkara yang sudah masuk dan diputus pada tahun 2010 hingga Maret 2011, 80% adalah perkara yang diakibatkan perselingkuhan. Beliau mengatakan, dari rata-rata perceraian yang diakibatkan oleh perselingkuhan tersebut lebih banyak umur rumah tangga yang baru mencapai lima hingga 10 tahun. Namun demikian, banyak juga kasus perceraian yang usia pernikahannya sudah 17-19 tahun. Sejumlah kasus tersebut menyebutkan bahwa meskipun pada awal permohonan perkara penyebabnya adalah
9
http//sabda.org/c.3i/pria-idaman-lain-dan-wanita-idaman-lain 16 Nov 11.37.WIB.
5
ekonomi maupun ketidakcocokan. Namun pada akhirnya, banyak juga yang setelah dilakukan mediasi ternyata permasalahannya disebabkan oleh perselingkuhan.
Dengan
meningkatnya
tingkat
perceraian
akibat
perselingkuhan ini Bapak Wahyudi berharap para pasangan yang telah menikah untuk lebih menghargai arti suatu pernikahan dengan lebih mendalami ilmu agama. Ada
saja
alasan
yang
terucap
pada
saat
pria
melakukan
perselingkuhan. Beberapa pria mengaku terpaksa mengkhianati istrinya karena khilaf, ada juga yang merasa dendam. Kebanyakan perselingkuhan dilakukan dengan percaya diri, karena yakin bahwa perselingkuhan tersebut tidak akan ketahuan. Misalnya: Al, warga Semarang salah seorang yang digugat cerai oleh istrinya Dh, perceraiannya sebenarnya tidak diinginkan. Akan tetapi karena sang istri dan mertuanya terus saja mendesak akhirnya perbuatan yang dibenci oleh Tuhan tersebut diterimanya juga. “Mertua yang memaksa untuk bercerai, padahal sebenarnya kami masih ingin mempertahankan rumah tangga,” kata Al yang mengaku harus merelakan berpisah dengan anak semata wayangnya yang baru berusia satu tahun. Meskipun pada awalnya Al mengaku perceraiannya disebabkan ketidakharmonisan hubungannya dengan mertua, namun ternyata dia diketahui memiliki wanita idaman lain (WIL) yaitu seorang mahasiswi di perguruan tinggi swasta di Semarang. Terbukti tidak lama setelah putusan
6
cerai diputuskan oleh hakim, AL sudah menggandeng wanita idaman lain yang secara fisik lebih cantik dan lebih muda dari mantan istrinya. 10 Dari sejumlah kasus perceraian, perselingkuhan tidak hanya dilakukan oleh kaum Adam. Namun perselingkuhan juga banyak dilakukan oleh kalangan perempuan. Menurut Ahwan Fanani, salah satu mediator dari Walisongo Mediation
Center
(WMC)
Semarang,
dia
berkata:
banyak
kasus
perselingkuhan hingga berakhir pada perceraian membutuhkan peran tokoh agama di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan bimbingan dan arahan mengenai pernikahan, karena salah satu faktor mendasar yang menyebabkan orang melakukan perselingkuhan adalah masih kurangnya keimanan. Selain faktor di atas, menurut kepala bagian humas Pengadilan Agama Kota Semarang, Bapak Wahyudi, beliau berkata: perkembangan internet dan tayangan televisi yang banyak mengumbar perselingkuhan dan eksploitasi tubuh perempuan, ikut menjadi faktor penyebab meningkatnya kasus perceraian.11 Perselingkuhan selain banyak dilakukan oleh masyarakat umum khususnya Kota Semarang, dikalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun di Jawa Tengah banyak juga yang melakukan perselingkuhan tersebut. Sebagian para PNS melakukan tindakan asusila tersebut pada waktu jam kerja. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang secara terang-terangan berselingkuh di hotel dengan masih mengenakan seragam PNS. 10
http://www/seputar-indonesia.cak/content/viwe/392172/ tanggal 3 Januari 2012 10.14
11
http://pasemarang.net/index.php?option=com3jan2012 10.16 WIB
WIB
7
Adanya penemuan fakta ini didapat dari laporan saat DPRD Jateng melakukan reset. Laporan tersebut didapatkan oleh Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) DPRD Jateng. Juru bicara FPAN, Sri Maryuningsih mengatakan sikap PNS-PNS nakal tersebut terjadi hampir di seluruh daerah Jateng. Berdasarkan laporan terbanyak terjadi di Surakarta, Semarang dan Kedu serta kota-kota besar lainnya di Jateng. “Mereka sering menginap di hotel dengan orang yang bukan pasangan resminya dan masih memakai seragam PNS”, kata Sri Maryuningsih setelah sidang paripurna penyampaian hasil reses di Gedung Berlian, DPRD Jateng.12 Berangkat dari pokok pikiran di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji skripsi ini dengan masalah : KEBIASAAN SUAMI SUKA
BERGANTI
WIL
SEBAGAI
LATAR
BELAKANG
PERCERAIAN (ANALISIS PUTUSAN PA No.1356/ Pdt. G/ 2011/PA.Sm) B. Rumusan Masalah Rumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicari jawabannya atau pernyataan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah.13 Berdasarkan pada keterangan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahannya adalah:
12
http:id.berita.yahoo.com.dewan-perselingkuhan-pns-JawaTengah-makin-berani103327029 .html 13 http://www.scribd.com/doc/33388389/contoh.proposal.penelitian.kualitatif. 19 Oktober 2011. 11.00 WIB.
8
1
Bagaimana
putusan
Pengadilan
Agama
Semarang
No.1356/Pdt.
G/2011/PA.Sm tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian. 2
Bagaimana dasar pertimbangan hakim terhadap putusan Pengadilan Agama Semarang No.1356/Pdt.G/2011/PA.Sm tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian.
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk
mengetahui
putusan
Pengadilan
Agama
No.1356/Pdt.G/
2011/PA.Sm tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian. 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim terhadap putusan Pengadilan Agama No.1356/Pdt.G/2011/PA.Sm tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian.
D.
Manfaat Penelitian Dengan adanya tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan antara lain: 1. Secara teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan khazanah pemikiran Islam tentang fenomena adanya WIL dan keterlibatannya terhadap terjadinya perceraian di Pengadilan Agama, serta dapat dijadikan referensi bagi penelitian yang sejenis sehingga lebih
9
mampu mengaktualisasikan fenomena tersebut dalam karya yang lebih baik dimasa yang akan datang. 2. Secara praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi para praktisi hukum di lembaga Pengadilan Agama, masyarakat umum
dan
penulis
lain.
Sekaligus
sebagai
informasi
dalam
mengembangkan rangkaian penelitian lebih lanjut dalam karya keilmuan yang lebih berbobot.
E. Telaah Pustaka Untuk mengetahui validitas penelitian yang penulis lakukan, maka dalam telaah pustaka ini, akan penulis uraikan beberapa skripsi karya para sarjana syariah IAIN Walisongo Semarang yang mempunyai tema sama tetapi perspektif bahasanya berbeda. Hal ini penting untuk bukti bahwa penelitian merupakan penelitian murni, yang jauh dari upaya plagiat. Adapun skripsi tersebut adalah: Pertama, skripsi yang disusun oleh Ridwan lulusan tahun 2004 dengan judul “Analisis Putusan Pengadilan Agama Kota Semarang No. 750/pdt.G/2002/PA Semarang tentang Pelanggaran Taklik Talak”. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa taklik talak merupakan hasil dari budaya masyarakat pra Islam yang menjadi perlindungan pihak istri atas kesewenangwenangan suami. Menurut penulis, taklik talak dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan KHI kurang memberikan keterangan dan penjelasan padahal kemaslahatan cerai gugat yang berkaitan dengan taklik
10
talak sangat dominan disetiap acara persidangan. Dalam kasus tersebut tergugat melanggar taklik talak karena pada saat akad nikah tergugat mengucapkan janji taklik talak. Namun dalam gugatan penggugat hakim pengadilan agama Semarang menetapkan talak satu dari tergugat dengan iwadh Rp. 10.000.14 Kedua, skripsi yang disusun oleh Mudrik lulusan tahun 2001 dengan judul “Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purbalingga No. 283/pdt.G/PA Purbalingga tentang Cerai Gugat karena Suami Berjudi.” Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa judi menjadi bagian yang dianggap bisa dijadikan alasan putusnya suatu perkawinan. Artinya seorang istri boleh melakukan gugatan perceraian karena suami berjudi, karena: a. Dilarang oleh Allah b. Berimbas pada anak dan keluarganya. Putusan tersebut memutuskan talak bain antara tergugat dan penggugat karena terjadinya syiqoq yang disebabkan karena judi.15 Ketiga, skripsi yang disusun oleh Jikronah lulusan tahun 2000 dengan judul “Studi Analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Demak No. 861/pdt.G/PA Demak tentang Cerai Gugat Istri karena Tidak Terpenuhinya Nafkah Batin.” Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa suami istri wajib memberikan bantuan lahir satu dengan yang lainnya demi menegakkan rumah tangga, sehingga apabila salah satu pihak tidak melaksanakannya, maka salah 14
Ridwan, Analisis Putusan Pengadilan Agama Kota Semarang No. 750/pdt.G/2002/PA Semarang tentang Pelanggaran Taklik Talak, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syariah, 2004. 15 Mudrik, Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purbalingga No. 283/pdt.G/PA Purbalingga tentang Cerai Gugat karena Suami Berjudi, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syariah, 2001.
11
satu pihak dapat minta cerai melalui hakim pengadilan agama. Dalam putusannya, majelis hakim memberikannya putusan cerai atau gugatan istri dengan alasan tidak terpenuhinya nafkah batinnya karena dapat dikategorikan sebagai pelanggaran taklil talak.16 Keempat, skripsi yang disusun oleh Siti Sangadah lulusan tahun 2006 dengan judul “Studi Analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Rembang No. 318/pdt.G/2003 tentang Cerai Gugat karena Suami Menderita Stroke.” Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa seorang istri telah menggugat cerai suaminya, karena suaminya mengalami cacat fisik dan mental serta tidak dapat berbicara (stroke). Akhirnya Pengadilan Agama Rembang memutuskan mengabulkan gugatan penggugat dengan jalan Fasakh, artinya antara penggugat dan tergugat telah putus ikatan satu sama lainnya. Dalam analisis ia menjelaskan bahwa penyakit stroke bisa dijadikan alasan perceraian sesuai dengan pasal 19 huruf e PP No. 9 tahun 1975 yakni karena mendapat cacat badan.17 Dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa penelitian terdahulu hanya mengungkapkan perceraian dapat terjadi karena berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam terutama pasal 116 . Dari penjelasan tersebut di atas tampak jelas penelitian terdahulu belum mengungkapkan faktor yang melatarbelakangi perceraian yang sudah disebutkan. 16
Jikronah, Studi Analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Demak No. 861/pdt.G/PA Demak tentang Cerai Gugat Istri karena Tidak Terpenuhinya Nafkah Batin, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syariah, 2000. 17 Siti Sangadah, Studi Analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Rembang No. 318/pdt.G/2003 tentang Cerai Gugat karena Suami Menderita Stroke, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syariah, 2006.
12
Sedangkan skripsi yang disusun sekarang ini hendak berupaya menjelaskan salah satu latar belakang perceraian tersebut. Maka di sini penulis akan mengungkapkan lebih dalam tentang kebiasaan buruk suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian. F. Metode Penelitian Keberhasilan suatu penelitian banyak ditentukan oleh metode yang digunakan. Oleh karena itu metode penelitian perlu ditetapkan berdasarkan sifat masalah, kegunaan dan hasil yang hendak dicapai berdasarkan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.18 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian literer / dokumen, yaitu penelitian sesuatu yang memberikan bukti-bukti dipergunakan sebagai alat bukti atau bahan untuk mendukung suatu informasi, penjelasan atau argumen.19 Dalam hal ini penulis meneliti salinan putusan Pengadilan Agama Semarang No.1356/Pdt.G/2011/PA.Sm tentang kebiasaan buruk suami yang suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian. 2. Sumber Data Sumber data yang dimaksud penulis adalah subyek dari mana data yang diperoleh untuk memudahkan mengidentifikasi sumber data, maka penulis mengaplikasikan sumber data tersebut menjadi dua yaitu: a. Data Primer Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.20 Data primer dalam skripsi ini adalah salinan putusan Pengadilan
18
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009, hlm. 13. 19 Komaruddin, Kamus Istilah Karya Ilmiah, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, hlm. 62. 20 Sumardi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Jakarta :PT Raja Grafindo persada, cet.9, 1995, hlm.85.
13
Agama Semarang No 1356/Pdt. G/2011/PA.Sm tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian (foto copy sudah terlampir).21 b. Data Sekunder Yaitu tulisan ilmiah, penelitian atau buku – buku yang mendukung tema penelitian. Dalam hal ini adalah : 1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, PP. No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974, Inpres RI No. 1 tahun 1971 tentang Kompilasi Hukum Islam dan peraturan- peraturan yang Relevan. 2. Buku – buku yang relevan diantaranya Fiqih Munakahat, Hukum Perdata Islam di Indonesia serta buku – buku lain yang memiliki keterkaitan dengan kajian penelitian ini. 3. Metode Pengumpulan Data a. Dokumentasi Yaitu kertas asli tertulis tangan atau tercetak yang bersifat resmi yang melengkapi informasi atau digunakan sebagai bukti tentang sesuatu22 Dokumentasi ini penulis dapatkan dengan cara pra riset (Penelitian pendahuluan) sebagai upaya untuk mengumpulkan data-data awal di Pengadilan Agama Semarang. Dalam hal ini berupa salinan
putusan
perkara
No.1356/Pdt.G/2011/PA
Sm
tentang
kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian.
21 22
Ibid Komaruddin, Op cit, hlm.62.
14
b. Wawancara Yaitu proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksi orang, kejadian, organisasi, motivasi, perasaan sebagainya yang dilakukan oleh dua belah pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan
dengan
orang
yang
diwawancarai
(interviewee).23 Wawancara ini penulis lakukan dengan hakim yang menangani perkara tersebut, guna mendapatkan pendapat mengenai putusan No.1356/Pdt.G/2011/PA Sm. yang akurat. Dukungan lain agar mendapatkan informasi ilmiah penulis juga mewawancarai para ahli hukum Islam. Seperti Bpk. Ahmad Ghozali dan Bpk. Ky. Abdul Majid. 4. Metode Analisis Data Setelah data terkumpul, kemudian penulis melakukan analisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif yaitu bahwa dalam menganalisis penulis berkeinginan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan di Pengadilan Agama Semarang.24
23
Ibid, hlm. 155 Amiriddin, Pengantar metode Penelitian hokum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 25 24
15
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang setiap bab mempunyai kaitan antara yang satu dengan yang lain. Adapun gambaran sistematikanya adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan, yang semuanya merupakan bab pembuka sebagai gambaran pembahasan secara global.
BAB II
KETENTUAN
UMUM
TENTANG
PERCERAIAN
DI
PERADILAN AGAMA Dalam bab ini menerangkan pengertian perceraian, dasar hukum perceraian, dan macam-macam perceraian, prosedur perceraian di Peradilan Agama. BAB III
PUTUSAN
PENGADILAN
AGAMA
NO.1356/Pdt.G/2011/PA.Sm TENTANG KEBIASAAN SUAMI SUKA BERGANTI WIL SEBAGAI LATAR BELAKANG PERCERAIAN. Bab ini meliputi sekilas pandangan pengadilan agama Semarang, sejarah pengadilan agama Semarang, tugas dan wewenang Pengadilan
Agama
Semarang,
kasus
gugatan
perceraian
No.1356/Pdt.G/2011/PA.Sm, terdiri atas gugatan perceraian, proses penyelesaiannya dan hasil putusan serta dasar hukum
16
pertimbangan
hakim
Pengadilan
Agama
No.1356/Pdt.G/
2011/PA.Sm tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian BAB IV
ANALISIS
PUTUSAN
PENGADILAN
AGAMA
NO.1356/Pdt.G/2011/PA.Sm TENTANG KEBIASAAN SUAMI SUKA BERGANTI WIL SEBAGAI LATAR BELAKANG PERCERAIAN Dalam bab ini menerangkan analisis terhadap putusan Pengadilan Agama No.1356/Pdt.G/2011/PA.Sm tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian, analisis pertimbangan hakim terhadap putusan Pengadilan Agama No.1356/Pdt.G/2011/PA.Sm
tentang kebiasaan
suami
suka
berganti WIL sebagai latar belakang perceraian. BAB V
PENUTUP Merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan
putusan
Pengadilan
Agama
No.
1356/Pdt.G/2011/PA.Sm tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian.
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA
A. Pengertian Perceraian Perceraian adalah terlepasnya ikatan pernikahan atau bubarnya hubungan pernikahan.1 Dalam istilah fiqih disebut dengan talak yang berasal dari akar kata al-ithlaq yang artinya melepaskan atau meninggalkan.2 Dalam mengemukakan
arti
thalak
secara
terminologi
kelihatannya
ulama
mengemukakan dalam rumusan yang berbeda namun esensinya sama. AlMahalli dalam kitabnya Syarh Minhaj al-Thalibin merumuskan:
ﺣﻞ ﻋﻘﺪ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺑﻠﻔﻈﺎ ﺍﻟﻄﻼﻕ ﻭﳓﻮﻩ Artinya:
Melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz thalaq dan sejenisnya.3
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.4 Definisi yang agak panjang dapat dilihat di dalam kitab Kifayat al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah.
1
Abdul Rahman Ghozali,Fiqh Munakahat,Jakarta:Kencana,2008,hlm.192. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 4, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009, hlm. 2. 3 Abdul Rahman Ghozali,Op.cit,hlm.192. 4 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983) hlm. 206. 2
18
Dari definisi talak di atas, tampak jelas bahwa talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah diatur baik di dalam fiqih maupun UUP.5 Di dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perceraian diatur dalam pasal 38 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: a. Kematian b. Perceraian c. Atas keputusan pengadilan Pasal 39 UU Perkawinan 1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. 3. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Sedangkan pasal 40 menjelaskan: 1. Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
5
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/74 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 207.
2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.6 Terjadinya perceraian lebih banyak disebabkan ketidakmampuan pasangan suami istri tersebut merealisasikan tujuan perkawinan itu sendiri. Berbeda dengan putusnya perkawinan dengan sebab kematian yang merupakan ketentuan Allah yang tidak ditolak oleh manusia. Sedangkan ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai definisi perceraian dijelaskan pada bab XVI pasal 117 yang berbunyi: Talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131. Pasal 129 berbunyi: “Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang memwilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu”. Pasal 130 berbunyi: “Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi”. Pasal 131 berbunyi: “Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak”.7
6
Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 12-13. Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama, 2000, hlm. 60. 7
KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang pengadilan agama. Di dalam UU No. 7/1989 jo.UU NO.3 2006 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada pasal 66 ayat (1) yang berbunyi: “Seseorang yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan agama untuk mengadakan sidang guan penyaksian ikrar talak.” Dengan demikian talak merupakan ikrar suami yang harus dilakukan di lembaga pengadilan agama, dengan kata lain talak yang dilakukan di luar sidang pengadilan agama dianggap tidak sah”.8 KHI juga menjelaskan tentang putusnya perkawinan yang diatur secara rinci dalam Bab XVI pasal 113 yang berbunyi: Perkawinan dapat putus karena 1. Kematian 2. Perceraian 3. Atas putusan pengadilan9 Dalam perkawinan dapat putus disebabkan perceraian yang dijelaskan dalam pasal 114 yang berbunyi: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.10
B. Dasar Hukum Perceraian Stabilitas rumah tangga dan kontinuitas kehidupan suami istri adalah tujuan utama adanya perkawinan dan hal ini sangat diperhatikan oleh syariat Islam. Akad perkawinan dimaksudkan untuk selama hidup, agar dengan
8
Amandemen UU Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 206, hlm. 57. Kompilasi Hukum Islam, op. cit, hlm. 56 10 Ibid. 9
demikian suami istri menjadikan rumah tangga sebagai tempat berteduh yang nyaman dan permanen agar dalam perlindungan rumah tangga kedua suami istri bisa menikmati kehidupannya serta agar keduanya dapat menciptakan iklim rumah tangga yang memungkinkan terwujudnya dan terpeliharanya anak keturunan dengan sebaik-baiknya. Meskipun suami oleh hukum Islam diberi wewenang untuk menjatuhkan talak, namun tidak dibenarkan suami menggunakan haknya dengan sesuka hati apalagi hanya menurutkan hawa nafsunya saja.11 Menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah termasuk perbuatan tercela, terkutuk dan dibenci oleh Allah Rasulullah SAW bersabda:
ﺍﺑﻐﺾ ﺍﳊﻼﻝ ﺍﱃ ﺍﷲ ﺍﻟﻄﻼﻕ Artinya: Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan talak.12 Hadits ini menjadi dalil bahwa diantara jalan halal itu ada yang dimurkai Allah jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dan yang paling dimurkai pelakunya tanpa alasan yang dibenarkan ialah perbuatan menjatuhkan talak. Mak menjatuhkan talak itu sama sekali tidak ada pahalanya dan tidak dapat dipandang sebagai perbuatan ibadah. Hadits ini juga menjadi dalil bahwa suami wajib selalu menjauhkan diri dari menjatuhkan talak selagi masih ada jalan untuk menghindarkannya. Suami
11
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 201. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemahan Lengkap Bulughul Maram, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, hlm. 487. 12
dibenarkan menjatuhkan talak jika hanya terpaksa, tidak ada jalan lain untuk menghindarinya, dan talak itulah salah satu jalan terciptanya kemaslahatan.13 Istri yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab dan alasan yang dibenarkan adalah perbuatan tercela, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
.ﺍﳝﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺳﺄﻟﺖ ﺯﻭﺟﻬﺎﻃﻼﻗﺎﻣﻦ ﻏﲑ ﺑﺄﺱ ﻓﺤﺮﺍﻡ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺭﺍﺋﺤﺔ ﺍﳉﻨﺔ Artinya: “Manakala istri menuntut cerai dari suaminya tanpa alasan, maka haram baginya bau surga”.14 Syara’ menjadikan talak sebagai jalan yang sah untuk bercerainya suami istri, namun syara’ membenci terjadinya perbuatan ini dan tidak merestui dijatuhkannya talak tanpa sebab atau alasan. Talak diperbolehkan (mubah) jika untuk menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak, baik itu suami maupun istri.15 Para ulama sepakat membolehkan talak karena bisa saja sebuah rumah tangga mengalami keretakan hubungan yang mengakibatkan runyamnya keadaan sehingga pernikahan mereka berada dalam keadaan kritis, terancam perpecahan serta pertengkaran yang tidak membawa keuntungan sama sekali. Dan pada saat itu, dituntut adanya jalan untuk menghindari dan menghilangkan berbagai hal negatif dengan cara talak.16 Dilihat dari kemaslahatan atau kemudaratannya, maka hukum talak ada lima yaitu:
13
Abd. Rahman Ghazaly, op. cit., hlm. 212. Ibid, hlm. 213 15 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta: Al-Kautsar, 2010, hlm. 455. 16 Syaikh Hasan Ayyub,Loc.cit, hlm. 260. 14
1. Wajib Yaitu apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya. Jika kedua orang hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, maka pada saat itulah talak menjadi wajib. Jadi jika sebuah rumah tangga tidak mendatangkan apa-apa selain keburukan, perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan, maka pada saat itu talak adalah wajib baginya. 2. Makruh Yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. Ada dua pendapat mengenai talak yang makruh ini. Pertama, bahwa menimbulkan
talak
mudharat
tersebut bagi
haram
dirinya
dilakukan, dan
istrinya,
karena
dapat
serta
tidak
mendatangkan manfaat apapun. Talak ini haram sama seperti tindakan merusak atau menghamburkan harta kekayaan tanpa guna. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
(ﻻﺿﺮ ﺭﻭﻻﺿﺮﺍﺭ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ Artinya: “Tidak boleh memberikan mudharat kepada orang lain dan tidak boleh membalas kemudharatan dengan kemudharatan lagi.”
(ﻣﺎ ﺍﺣﻞ ﺍﷲ ﺷﻴﺌﺎ ﺍﺑﻐﺾ ﺍﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻼﻕ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ Artinya: “Allah tidak membolehkan sesuatu yang lebih Dia benci selain talak” (HR. Abu Daud).
Kedua, bahwa talak itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya tuntutan dan sebab yang membolehkan. Dan karena talak semacam itu dapat membatalkan pernikahan yang menghasilkan kebaikan yang memang disunnahkan, sehingga talak itu menjadi makruh hukumnya. 3. Mubah Yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya karena buruknya akhlak istri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan. 4. Sunnah Yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-hak Allah yang telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan kewajiban lainnya, sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya. Atau istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Hal itu mungkin saja terjadi karena memang wanita itu mempunyai kekurangan dalam hal agama, sehingga mungkin saja ia berbuat selingkuh dan melahirkan anak hasil perselingkuhan dengan lakilaki lain. 5. Mahzhur (terlarang) Yaitu talak yang dilakukan ketika istri sedang haid. Para ulama di Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini disebut juga dengan talak bid’ah.17 Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasul dan mengabaikan perintah Allah dan Rasulnya:.
17
Amir Syaifuddin, Loc.cit, hlm. 201.
Firman Allah yang berbunyi nÏèø9$# (#θÝÁômr&uρ ∅ÍκÌE£‰ÏèÏ9 £èδθà)Ïk=sÜsù u!$|¡ÏiΨ9$# ÞΟçFø)‾=sÛ #sŒÎ) ÷É<¨Ζ9$# $pκš‰r'‾≈tƒ Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya dengan wajar”. (Ath-Thalaq: 1)18 Walaupun talak itu dibenci yang terjadi dalam suatu rumah tangga namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh dilakukan. Hikmah dibolehkannya talak tersebut adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang tertuju pada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga tersebut. Dalam keadaan seperti ini, apabila dilanjutkan juga rumah tangga akan menimbulkan mudharat kepada dua belah pihak dan orang disekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya mudharat yang lebih jauh, lebih baik ditempuh perceraian dalam bentuk talak tersebut. Dengan demikian, talak dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan maslahat.19
C. Macam-Macam Perceraian 1. Perceraian dalam Hukum Islam Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
18
DEPAG RI, Alqur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf Alqur”an,2005,hlm.558. 19 Amir Syaifuddin,Op.cit, hlm. 201.
a. Talak Sunni Yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah. Talak ini dikatakan talak sunni apabila memenuhi sempat syarat, yaitu: 1) Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli, dan apabila talak tersebut dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah dikumpuli, maka tidak termasuk talak sunni. 2) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak yaitu dalam keadaan suci dari haid. Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopause) atau belum pernah haid, atau sedang hamil, atau talak karena suami meminta tebusan, yakni dalam hal khulu’, atau ketika istri dalam haid, maka semuanya ini tidak termasuk talak sunni. 3) Tala tersebut dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di permukaan suci di pertengahan maupun di akhir suci meskipun beberapa waktu yang lalu datang haid. 4) Suami tidak pernah mengumpuli istri selama masa suci ketika talak tersebut dijatuhkan. b. Talak Bid’i Yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni. Yang termasuk talak bid’i ialah:
1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid, baik di permulaan haid maupun di pertengahan haid, juga termasuk istri yang sedang nifas. 2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah dikumpuli oleh suaminya dalam suci tersebut. c. Talak la Sunni Wala Bid’i Yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan talak bid’i yaitu: 1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah dikumpuli. 2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau istri yang telah lepas haid. 3) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.20 Ditinjau dari segi boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1) Talak Raj’i 2) Talak Bain 1) Talak Raj’i yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya setelah talak itu dijatuhkan dengan lafallafal tertentu dan istri benar-benar sudah digauli.21 Firman Allah SWT:
20
Murni Djamal, Ilmu Fiqih, Jakarta: Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1985, hlm.
21
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat II, Bandung: Pustaka Setia, 1999. hlm. 17
227.
©!$# (#θà)¨?$#uρ ( nÏèø9$# (#θÝÁômr&uρ ∅ÍκÌE£‰ÏèÏ9 £èδθà)Ïk=sÜsù u!$|¡ÏiΨ9$# ÞΟçFø)‾=sÛ #sŒÎ) ÷É<¨Ζ9$# $pκš‰r'‾≈tƒ 7πuΖÉit7•Β 7πt±Ås≈xÎ/ tÏ?ù'tƒ βr& HωÎ) š∅ô_ãøƒs† Ÿωuρ £ÎγÏ?θã‹ç/ .ÏΒ ∅èδθã_ÌøƒéB Ÿω ( öΝà6−/u‘ ©!$# ¨≅yès9 “Í‘ô‰s? Ÿω 4 …çµ|¡øtΡ zΝn=sß ô‰s)sù «!$# yŠρ߉ãn £‰yètGtƒ tΒuρ 4 «!$# ߊρ߉ãn y7ù=Ï?uρ 4 ∩⊇∪ #\øΒr& y7Ï9≡sŒ y‰÷èt/ ß^ωøtä† Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukumhukum Allah, Maka Sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (QS. Ath-Thalaq: 1)22 Yang dimaksud dengan “menghadapi iddahnya yang wajar” dalam ayat tersebut adalah istri-istri itu hendaknya ditalak ketika suci sebelum dicampuri. Sedangkan yang dimaksud dengan “perbuatan keji” adalah apabila istri melakukan perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan “sesuatu hal yang baru” adalah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua kali. Dengan demikian jelas bahwa suami boleh merujuk istrinya kembali yang telah ditolak sekali atau dua kali selama mantan istrinya itu masih dalam masa iddahnya.23
22 23
DEPAG RI,loc.cit,hlm.558. Ibid, hlm. 18.
2) Talak Bain yaitu tidak putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru. Talak Bain ini terbagi atas dua macam: a) Bain Sughra Ialah talak yang suami tidak boleh rujuk kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil. b) Bain Kubra Ialah talak yang tidak memungkinkan suami ruju’ kepada mantan istrinya. Dia hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin dengan laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis masa iddahnya.24 Ditinjau dari segi ucapan talak terbagi menjadi dua yaitu: 1) Talak Tanjiz Yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan langsung tanpa dikaitkan kepada waktu, baik menggunakan ucapan sharih atau kinayah. 2) Talak Ta’liq Yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan yang pelaksanaannya digantungkan kepada sesuatu yang terjadi kemudian. Baik menggunakan lafaz sharih atau kinayah.
24
Amir Syarifuddin, Loc. cit., hlm. 221.
Seperti ucapan suami: “Bila ayahmu pulang dari luar negeri engkau saya talak”. Talak dalam bentuk ini baru terlaksana secara efektif setelah syarat yang digantungkan terjadi. Dalam contoh di atas talak terjatuh segera setelah ayahnya pulang dari luar negeri, tidak pada saat ucapan itu diucapkan.25 Ditinjau dari segi siapa yang secara langsung mengucapkan talak, dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1) Talak Mubasyir Yaitu talak yang langsung diucapkan sendiri oleh suami yang menjatuhkan talak tanpa melalui perantara atau wakil. 2) Talak Tawkil Yaitu talak yang pengucapannya tidak dilakukan sendiri oleh suami, tetapi dilakukan oleh orang lain atas nama suami. Bila talak itu diwakilkan pengucapannya oleh suami kepada istrinya seperti ucapan suami: “Saya serahkan kepadamu untuk mentalak dirimu”, secara khusus disebut juga talak tafwidh (talak yang mengandung arti melimpahkan).26 2. Perceraian dalam Hukum Positif Di dalam fiqh hanya mengatur hal-hal yang berkenaan dengan perceraian dalam bentuk hukum materiil dan semua kitab fiqh tidak melibatkan diri mengatur hukum acaranya. Adanya aturan yang mengatur
25 26
Ibid, hlm. 225. Ibid, hlm. 226.
acara di luar fiqh tidak menyalahi apa yang ditetapkan fiqh, tetapi melengkapi aturan fiqh.27 Aturan-aturan fiqh di luar ketentuan acara diakomodir secara lengkap dalam KHI dengan rumusan sebagai berikut: Pasal 118 “Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.” Pasal 119 1. Talak bain sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. 2. Talak bain sughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: a. Talak yang terjadi qobla al-dukhul. b. Talak dengan tebusan atau khuluk dan c. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. Pasal 120 “Talak Bain Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya.” Pasal 121 “Talak Sunni adalah talak yang diperbolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.” Pasal 122 Talak bid’i adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Pasal 124 Perceraian itu terjadi terhitung saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.
27
Ibid, hlm. 229.
Ketentuan pasal ini memang tidak dimuat dalam kitab fiqh, karena dalam pandangan fiqh perceraian itu terjadi terhitung mulai diucapkan oleh suami, sedangkan suami yang mengucapkan talak tidak berada di pengadilan.28 Menurut KHI, talak atau perceraian terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Di samping mengatur tentang talak, KHI juga memberi aturan yang berkenaan dengan khulu’29 dan lian30 seperti yang terdapat dalam pasal 124, khulu’ harus berdasar atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116, 125 yang berbunyi: “Lian menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selamalamanya,” dan pasal 126 yang berbunyi: “Lian terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istrinya menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut”, serta pasal 128 yang berbunyi “Lian hanya sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan Agama. Sebab-sebab lain yang menjadikan putusnya perkawinan adalah: a. Putusnya perkawinan karena syiqaq Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran menjadi dua pihak yang tidak mungkin 28
Ibid, 230. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan (iwad) kepada dan atas persetujuan suaminya. Lihat Bab I KHI tentang ketentuan umum. 30 Lian adalah seorang suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak yang dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Lihat pasal 126 KHI. 29
dipertemukan dan kedua belah pihak tidak bisa mengatasinya.31 Firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 35 menyatakan:
!$yγÎ=÷δr& ôÏiΒ $Vϑs3ymuρ Ï&Î#÷δr& ôÏiΒ $Vϑs3ym (#θèWyèö/$$sù $uΚÍκÈ]÷t/ s−$s)Ï© óΟçFøÅz ÷βÎ)uρ ∩⊂∈∪ #ZÎ7yz $¸ϑŠÎ=tã tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 !$yϑåκs]øŠt/ ª!$# È,Ïjùuθム$[s≈n=ô¹Î) !#y‰ƒÌムβÎ) Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga lakilaki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.32 Menurut firman Allah tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara suami istri maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab terjadinya syiqaq serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil kesimpulan putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya. b. Putusnya perkawinan karena pembatalan Apabila suatu akad perkawinan telah dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya ternyata terdapat larangan perkawinan antara suami istri, misalnya karena pertalian darah, pertalian susuan, pertalian sementara, atau terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan hukum seperti tidak terpenuhinya hukum atau Syaratnya, maka perkawinan menjadi batal demi hukum melalui proses pengadilan 31
Abdul Rahman Ghazali, Loc. cit., hlm. 241
32
Depag RI,Loc.Cit,hlm.84.
hakim membatalkan perkawinan tersebut.33 Seperti yang dimuat dalam pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: Perkawinan dilarang antara dua orang yang: 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. 4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. 5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.34 c. Putusnya perkawinan karena fasakh Hukum Islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya istrinya dan menimbulkan kemadharatan terhadapnya.
33 34
Ibid, hlm. 243. Amandemen UU Peradilan Agama, Loc. cit., hlm. 4.
Suami dilarang menyengsarakan kehidupan istri dan menyia-nyiakan haknya.35 Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 231 berbunyi: (#ρ߉tF÷ètGÏj9 #Y‘#uÅÑ £èδθä3Å¡÷ΙäC Ÿωuρ 4 7∃ρã÷èoÿÏ3 £èδθãmÎh| ÷ρr& >∃ρá÷èoÿÏ3 ∅èδθä3Å¡øΒr'sù Artinya: “Maka peliharalah (rujukilah) mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka.”36 Hukum Islam tidak menghendaki adanya kemadharatan dan melarang saling menimbulkan kemadharatan. Dalam suatu hadits dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
.ﻻﺿﺮﺍ ﺭﻭﻻ ﺿﺮﺍﺭ Artinya: Tidak boleh ada kemdharatan dan tidak boleh saling menimbulkan kemadharatan. Menurut kaidah hukum Islam bahwa setiap kemadharatan itu wajib dihilangkan, sebagaimana kaidah fiqhiyah di bawah ini:
ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻳﺰﺍﻝ Artinya: Kemadharatan itu wajib dihilangkan. Dengan demikian, berdasarkan firman Allah, hadits dan kaidah tersebut para fuqaha’ menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami isteri
terjadi
keadaan,
sifat
atau
sikap
yang
menimbulkan
kemadharatan pada salah satu pihak yang menderita mudharat dapat
35 36
Abdul Rahman Ghazali, op. cit., hlm. 244. Depag RI,Loc.cit,hlm.37.
mengambil kesimpulan untuk putusnya perkawinan, kemudian hakim menfasakhkan perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut.37 d. Putusnya karena meninggal dunia Jika salah seorang dari suami atau istri meninggal dunia atau kedua suami istri itu bersama-sama meninggal dunia, maka menjadi putuslah perkawinan mereka. Dimaksudkan dengan mati yang menjadi sebab putusnya perkawinan dalam hal ini meliputi baik mati secara fisik, yakni memang dengan kematian itu diketahui jenazahnya, sehingga kematian itu benar-benar secara biologis, maupun kematian secara yuridis, yaitu dalam kasus suami yang mafqud (hilang tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal dunia), lalu melalui proses pengadilan hakim dapat menetapkan kematian suami.38 Mengenai putusnya perkawinan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab VIII pasal 38 yang berbunyi: ada tiga macam cara putusnya perkawinan yaitu: kematian, perceraian dan keputusan pengadilan.39
D. Hal-hal yang Menyebabkan Perceraian dalam Islam 1.
Terjadinya Nusyuz dari Pihak Istri Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa arab yang secara etimologi berarti
37
ﺍﺭﺗﻔﺎﻉyang berarti meninggi atau terangkat.
Abdul Rahman Ghazali,Op. cit., hlm. 245. Ibid, hlm. 247. 39 Amandemen UU Peradilan Agama,Loc.. cit, hlm. 12 38
Istri dikatakan nusyuz terhadap suaminya berarti isteri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara definitif nusyuz diartikan dengan kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa saja, yang diwajibkan Allah atasnya.40 Nusyuz haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan oleh agama melalui Al-Qur'an dan hadits Nabi. Langkah-langkah untuk mengetahui istri melakukan nusyuz terdapat dalam surat An-Nisa’: 34 yang berbunyi: ÷βÎ*sù ( £èδθç/ÎôÑ$#uρ ÆìÅ_$ŸÒyϑø9$# ’Îû £èδρãàf÷δ$#uρ ∅èδθÝàÏèsù ∅èδy—θà±èΣ tβθèù$sƒrB ÉL≈©9$#uρ … ∩⊂⊆∪ #ZÎ6Ÿ2 $wŠÎ=tã šχ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 ¸ξ‹Î6y™ £Íκön=tã (#θäóö7s? Ÿξsù öΝà6uΖ÷èsÛr& Artinya: Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.41 Langkah-langkah tersebut dapat diperinci sebagai berikut: a. Istri diberi nasihat tentang berbagai kemungkinan negatif dan positifnya dari tindakannya tersebut, terlebih apabila sampai terjadi perceraian dan yang terutama agar kembali lagi berbaikan dengan suaminya. b. Apabila usaha pertama berupa pemberian nasihat tidak berhasil, maka langkah kedua adalah memisahkan tempat tidur istri dari tempat tidur suami, meskipun masih dalam satu rumah. Cara ini agar dalam kesendirian 40 41
Amir Syarifuddin, Loc. Cit., hlm. 190. DEPAG RI,Loc.cit,hlm.84.
tidurnya itu ia memikirkan untung dan ruginya dengan segala akibat dari tindakannya tersebut. c. Apabila langkah kedua tersebut tidak juga dapat mengubah pendirian istri untuk nusyuz, maka langkah ketiga adalah memberi pelajaran atau dalam bahasa Al-Qur'an memukulnya.42 Pukulan dalam hal ini adalah bentuk ta’dib atau edukatif, bukan atas dasar kebencian. Suami dilarang memukul dengan pukulan yang menyakiti sebagaimana hadits Nabi dari Abdullah bin Zar’ah menurut riwayat al-Bukhari yang berbunyi:
.ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻻ ﳚﻠﺪ ﺍﺟﺪﻛﻢ ﺍﻣﺮﺍﺗﻪ ﺟﻠﺪ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﹼﰒ ﳚﺎ ﻣﻌﻬﺎ Artinya: Rasulullah SAW bersabda: Seseorang tidak boleh memukul istrinya sebagaimana memukul budak kemudian ditidurinya.43 Apabila dengan pukulan ringan tersebut istri telah kembali kepada keadaan semula masalah telah dapat diselesaikan. Namun apabila dengan langkah ketiga ini masalah belum dapat diselesaikan, baru suami diperbolehkan menempuh jalan lain yang lebih lanjut, termasuk perceraian. 2.
Terjadinya Nusyuz dari Pihak Suami Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajiban terhadap istrinya. Nusyuz suami terjadi apabila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafkah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat non materi diantaranya menggauli
42 43
Ahmad Rofiq,Loc.cit, hlm. 270. Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm. 193.
dengan baik.44 Adapun tindakan istri apabila ia menemukan sifat nusyuz pada suaminya, dijelaskan Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 128 yang berbunyi: 4 $[sù=ß¹ $yϑæηuΖ÷t/ $ysÎ=óÁムβr& !$yϑÍκön=tæ yy$oΨã_ Ÿξsù $ZÊ#{ôãÎ) ÷ρr& #—θà±çΡ $yγÎ=÷èt/ .ÏΒ ôMsù%s{ îοr&z÷ö∆$# ÈβÎ)uρ $yϑÎ/ šχ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θãΖÅ¡ósè? βÎ)uρ 4 £x’±9$# Ú[àΡF{$# ÏNuÅØômé&uρ 3 ×öyz ßxù=÷Á9$#uρ ∩⊇⊄∇∪ #ZÎ6yz šχθè=yϑ÷ès? Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.45 3.
Terjadinya Perselisihan atau Percekcokan antara Suami dan Istri (Syiqaq) Syiqaq
mengandung
arti
pertengkaran.
Kata
ini
biasanya
dihubungkan kepada suami istri sehingga pertengkaran yang terjadi antara suami istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya.46 Apabila terjadi konflik keluarga seperti ini Allah SWT memberi petunjuk untuk menyelesaikannya. Hal ini terdapat dalam firman-Nya dalam surat An-Nisa’ ayat 35 yang berbunyi: $[s≈n=ô¹Î) !#y‰ƒÌムβÎ) !$yγÎ=÷δr& ôÏiΒ $Vϑs3ymuρ Ï&Î#÷δr& ôÏiΒ $Vϑs3ym (#θèWyèö/$$sù $uΚÍκÈ]÷t/ s−$s)Ï© óΟçFøÅz ÷βÎ)uρ ∩⊂∈∪ #ZÎ7yz $¸ϑŠÎ=tã tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 !$yϑåκs]øŠt/ ª!$# È,ÏjùuθムArtinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
44
Ibid, hlm. 193. DEPAG RI,Loc.cit,hlm.99. 46 Amir Syarifuddin,Op. Cit, hlm. 194. 45
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.47
E. Rukun dan Syarat Talak Rukun talak adalah unsur pokok yang harus adu dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur tersebut. Rukun talak ada empat yaitu: a. Suami, ialah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkan talak. Oleh karena itu talak bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah adanya akad perkawinan yang sah. b. Istri, yaitu orang yang berada di bawah perlindungan suami dan ia adalah obyek yang akan mendapatkan talak. c. Sighat talak, yaitu kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan (lisan), tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain. d. Qashdu (sengaja) artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu apabila salah ucap maka tidak dimaksud untuk talak dan tidak jatuh talak.48
47 48
DEPAG RI,Opcit,hlm.84. Abdul Rahman Ghazali,Loc. cit., hlm. 465.
Sedangkan syarat sahnya talak ada 3 yaitu: a. Berakal b. Baligh c. Atas kemauan sendiri49
F. Prosedur Perceraian di Peradilan Agama Sejalan dengan prinsip atau asas undang-undang perkawinan untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (UUPA Pasal 65, jo. Pasal 115 KHI).50 Adapun tata cara dan prosedurnya dapat dibedakan ke dalam dua macam: 1. Cerai Talak (Permohonan) Cerai talak adalah apabila suami yang mengajukan permohonan ke
pengadilan
untuk
menceraikan
istrinya,
dan
istri
tersebut
menyetujuinya.51 Di dalam pasal 66 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) menyatakan: 1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. 49
Ibid, hlm. 202. Ahmad Rofiq, Loc.cit, hlm. 296. 51 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 80. 50
2. Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. 3. Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. 4. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 5. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.52 Mengenai muatan dari permohonan tersebut, pasal 67 UUPA menyatakan: pemohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 di atas memuat: a. Nama, umur dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon yaitu istri. b. Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (pasal 19 PP No. 9/1975 Jo pasal 116 KHI)
52
Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 57.
Pasal 68 UUPA tentang pemeriksaan oleh pengadilan yang menyebutkan: 1. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan. 2. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.53 Selain itu diatur juga dalam pasal 80 ayat (2) yang bunyinya sama dengan ketentuan pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975 dan pasal 145 KHI. Disitu ditegaskan apabila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan
perceraian
dilakukan
perdamaian,
pemeriksaan
gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Kemudian berpedoman kepada penjelasan pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975, pemeriksaan tertutup dalam perkara perceraian meliputi segala pemeriksaan, termasuk pemeriksaan saksi-saksi.54 Dalam rumusan pasal 15 PP No. 9 Tahun 1975 menyatakan: “Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud pasal 14 dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian (bisa dilihat juga pasal 131 KHI ayat (1))”.55
53
Ibid, hlm. 58. M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 222. 55 Ahmad Rofiq, Loc.cit., hlm. 298 54
Usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak hanya bisa ditempuh sebelum persidangan dimulai, tetapi juga dilakukan pada setiap kali persidangan, tidak tertutup kemungkinannya untuk mendamaikan mereka.56 Langkah-langkah berikutnya diatur dalam pasal 70 UUPA yang berbunyi: 1. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan. 2. Terhadap penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. 3. Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. 4. Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam
suatu
akta
otentik
untuk
mengucapkan
ikrar
talak,
mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya. 5. Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya maka suami
56
Ibid, hlm. 299
atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya. 6. Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.57 Langkah berikutnya terdapat dalam pasal 131 ayat (5) KHI yang berbunyi: “Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri.58 Helai pertama beserta surat ikrar talak, dikirimkan kepada pegawai pencatat nikah yang memwilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.59 Langkah selanjutnya terdapat dalam pasal 71 UUPA yang berbunyi: 1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak. 2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi.60
57
Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, op. cit, hlm. 58. Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 300. 59 Ibid. 60 Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, op. cit., hlm. 59. 58
2. Cerai Gugat Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat gugatan diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian tergugat
(suami)
menyetujuinya,
sehingga
Pengadilan
Agama
mengabulkan gugatan yang dimaksud. Oleh karena itu, khulu’ seperti yang telah diuraikan pada sebab-sebab putusnya ikatan perkawinan termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada b atas persetujuan suaminya.61 Cerai gugat diatur dalam pasal 73 UUPA sebagai berikut: a. Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat diaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. b. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. c. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.62
61 62
Zainuddin Ali, Loc. cit., hlm. 81. Ibid, hlm. 82.
Mengenai dasar perceraian dan alat buktinya untuk mengajukan gugatan diatur dalam pasal 74, 75 dan 76 UUPA dan pasal 133, 134 dan 135 KHI. Pasal 74 UUPA berbunyi: Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 75 UUPA berbunyi: Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter. Pasal 76 ayat (2) UUPA berbunyi: Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat menyangkut seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim.63 Di dalam pasal 76 ayat (2) UUPA tersebut, merupakan penjabaran garis hukum dari firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 35 yang kemudian dalam konteks Indonesia diwujudkan dengan adanya BP4. Selanjutnya fungsi lembaga tersebut diatur dalam pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 yang berbunyi: bahwa Pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat diminta bantuan kepada Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat. Adapun 63
Amandemen Undang-Undang Pengadilan Agama, Loc.. cit., hal. 60
tindakan hukum selama proses perkara di pengadilan berlangsung, untuk menghindari berbagai kemungkinan hal-hal yang bersifat negatif di antara suami istri. Hal ini diatur dalam pasal 77 UUPA yang berbunyi: “Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas pemohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah”.64 Pasal 78 menambahkan: Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat: a. Menentukan nafkah yang ditanggung suami b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.65 Gugatan tersebut atau gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Namun, apabila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat ia tidak dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya apabila tidak tercapai
64 65
Zainuddin Ali, Loc. cit., hlm. 82. Amandemen Undang-Undang Pengadilan Agama, op. cit., hal. 61.
perdamaian, maka pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.66 Mengenai pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan penggugat di mulai selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di paniteraan. Hal ini diatur dalam pasal 80 ayat (1) UUPA yang berbunyi: 1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan. Ayat (2) dan (3) menjelaskan soal teknis untuk menghindarkan ketidakhadiran pihak-pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat. Pasal ini lebih merupakan penegasan pasal 29 PP Nomor 9 Tahun 1975 ayat (2) dan (3) sebagai berikut: 2. Dalam
menetapkan
waktu
sidang
gugatan
perceraian
perlu
diperhatikan tenggang waktu pemanggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. 3. Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti dalam pasal 116 huruf b, sedang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurangkurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan Pengadilan Agama.67 Apabila sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan secara tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Perceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat 66 67
Zainuddin Ali, Loc. cit., hlm. 83. Ibid. hlm. 84
hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kehadiran pihak yang berperkara atau wakil/kuasanya menjadi faktor penting demi kelancaran pemeriksaan di persidangan.68
68
Ibid.
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO. 1356/Pdt.G/2011/PA. Sm. TENTANG KEBIASAAN SUAMI SUKA BERGANTI WIL SEBAGAI LATAR BELAKANG PERCERAIAN
A. Profil Pengadilan Agama Semarang 1. Sejarah Pengadilan Agama Semarang Kata “peradilan” berasal dari kata “adil”, dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qadha”., yang berarti “memutuskan”, melaksanakan, menyelesaikan.1 Ada pula yang menyatakan bahwa pada umum kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan. Dalam fikih Islam, peradilan disebut qadha artinya menyelesaikan seperti firman Allah: … #\sÛuρ $pκ÷]ÏiΒ Ó‰÷ƒy— 4|Ós% $£ϑn=sù Artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan dari Zainab.” (QS. Al-Ahzab: 37)2
Di samping arti menyelesaikan arti qadha yang dimaksud ada pula yang berarti memutuskan hukum atau menetapkan sesuatu ketetapan. Dimana makna hukum disini pada asalnya berarti menghalangi atau mencegah, oleh karena itu qadhi dinamakan hakim, karena seorang hakim
1
KH. Adib Bisri, dan KH. Munawwin AF, Kamus Indonesia-Arab, Arab-Indonesia ALBisri, Surabaya. Pustaka Progesif, Let Ke-1, 1999, hlm. 277 2 DEPAG RI,Loc.cit,hlm.423.
52
berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari penganiayaan. Oleh karena itu apabila seseorang mengatakan hakim telah menghukum begini artinya hakim telah meletakkan sesuatu hak atau mengembalikan sesuatu kepada pemiliknya yang berhak.3 Sedangkan peradilan menurut Cik Hasan Bisri adalah badan atau organisasi yang diadakan negara untuk mengurusi dan mengadili perselisihan-perselisihan hukum.4 Peradilan Agama adalah sebutan resmi bagi salah satu lingkungan peradilan
yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia,
sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (I) Undang-undang nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Kekuasaan
Kehakiman
dilakukan
oleh
pengadilan
dalam
Peradilan
Agama
lingkungan: a. Peradilan Umum b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer d. Peradilan Tata Usaha Negara Kekuasaan
kehakiman
di
lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan
3
A. Basiq Djalill, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Media Group, Cet. Ke-1, 2006, hlm: 2 4 Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Offset, Cet. Ke-1, hlm.1
tingkat tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi atau terakhir sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14
tahun
1970
tentang
ketentuan-ketentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman.5 Pengadilan Agama dalam perkembangannya mengalami perubahan yang menuju pada kemandirian dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya dengan diundangkannya UU RI No. 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yang sekarang diubah menjadi UU RI No. 48 Tahun 2009. Dengan demikian secara tegas administrasi umum yang selama ini berada dibawah kekuasaan masing-masing departemen, maka seluruh administrasi baik umum maupun yustisial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung RI. Kemudian lahirnya UU RI No.4 tahun 2004 yang merupakan perubahan dari UU RI No. 35 Tahun 1999 dan sekarang diubah dengan UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain ditegaskan untuk pelaksanaan satu atap bagi Lingkungan Peradilan Agama, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 21 ayat (I) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa “Organisasi” administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada dibawah Kekuasaan Mahkamah Agung.6
5
Ibid, hlm. 21 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU RI No.48 Tahun 2009), Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-1, 2010, hlm. 11 6
UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama juga telah direvisi menjadi UU No.3 Tahun 2006 dan sekarang diubah dengan UU No.50 Tahun 2009, dalam Pasal 5 ayat (I) yaitu Pembinaan teknis peradilan, organisasi,
administrasi
Mahkamah Agung,
7
dan
finansial
pengadilan
dilakukan
oleh
namun hal ini tidak mengurangi kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutuskan perkara sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) pasal yang sama. Sejarah Pengadilan Agama Semarang tidak lepas dari sejarah berdirinya Kota Semarang. Sejarah Kota Semarang diawali dengan kedatangan Pangeran Made Pandan beserta Putranya yang bernama Raden Pandan arang dari Kesultanan Demak pulau Tirang. Mereka membuka lahan dan mendirikan pesantren didaerah tersebut sebagai sarana menyiarkan Agama Islam. Daerah tersebut tampaklah pohon asam yang jarang. Dalam bahasa Jawa disebut Asam Arang. Sehingga pada perkembangan selanjutnya disebut Semarang-Sultan Pandan Arang II (wafat 1553) putra dari desa yang bergelar Kyai Ageng Pandan Arang I adalah Bupati Semarang I yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan Kota, yang kemudian dinobatkan menjadi Bupati Semarang pada tanggal 12 Robiul awal 954 H bertepatan pada tanggal 2 Mei 1547 M. tanggal penobatan tersebut dijadikan sebagai hari jadi Kota Semarang. Dalam bentuknya yang sederhana, Pengadilan Agama Semarang dikenal juga dengan Pengadilan Surambi, karena pada awal berdirinya pengadilan 7
Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama (UU RI No.50 Tahun 2009), Jakarta: Sinar Grafika, Cet. ke-1, 2010, hlm 44
tersebut berkantor di serambi Masjid Agung Semarang yang dikenal dengan Masjid besar Kauman yang terletak di jalan Alun-alun Barat dekat pasar Johar. Setelah beberapa tahun berkantor di serambi Masjid, kemudian menempati sebuah bangunan yang terletak di samping sebelah selatan Masjid. Bangunan tersebut sekarang dijadikan perpustakaan Masjid Besar Kauman. Selanjutnya pada masa wali kota Semarang dijabat oleh Bapak Hadijanto, berdasarkan surat wali kota pada tanggal 28 Juli 1977 Pengadilan Agama Semarang untuk dibangun gedung Pengadilan Agama Semarang diberikan sebidang tanah seluas ± 4000 m² yang terletak di jalan Ronggolawe Semarang untuk dibangun gedung Pengadilan Agama Semarang. Gedung Pengadilan Agama tersebut terletak di jalan Ronggolawe No. 6 Semarang dengan bangunan seluas 499 m² dan diresmikan pada tanggal 19 September 1978. Sejak tanggal tersebut Pengadilan Agama Semarang memiliki gedung sendiri dan sampai sekarang masih ditempati.8 2. Wewenang Pengadilan Agama Semarang Kompetensi (wewenang) Peradilan Agama terdiri dari kompetensi relatif dan kompetensi absolut.
a.
8
Kompetensi Relatif
http://pasemarang.net/index.php?options=com, 17 Januari 2012, 13.53 WIB.
Kompetensi relatif adalah kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau daerah.9 Sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 50 Tahun 2009 atas perubahan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa “Peradilan Agama berkedudukan di Ibu Kota kabupaten / kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten / Kota”, namun tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan UU tersebut. Demikian juga wilayah hukum Peradilan Agama Semarang meliputi Kota Semarang. b.
Kompetensi Absolut Kompetensi
absolut
adalah
kekuasaan
pengadilan
yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat pengadilan lainnya.10 Dalam melaksanakan kekuasaan absolut, berdasarkan Pasal 2 UU RI No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan UU No. 3 Tahun 2006, bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini. Kekuasaan dan kewenangan mengadili Peradilan Agama
9
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-1, 2009, hlm. 53. 10 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 27.
adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan,
wasiat,
hibah,
wakaf
dan
shadaqah
berdasarkan Hukum Islam.11 c.
Struktur Organisasi Susunan organisasi Pengadilan agama terdiri dari pimpinan, hukum anggota, panitera, sekretaris dan juru sita.12 Semua pejabat tersebut adalah: Ketua
: Drs. Jasiruddin, SH, M.Si.
Wakil Ketua
: Drs. H. Mohammad Noor Hudrin, SH, MH.
Hakim
: - Drs. H. Ali Imron, SH. - Drs. H. M. Hamdani, MH. - Drs. H. Hamid Anshori, SH. - Dra. Hj. Ismiyati, SH. - Drs. Nur Mansyah, SH. - Drs. Wahyudi, SH, M.Si. - Drs. Zaenal Arifin, SH. - Drs. H. Zainal Khudhori Rouf.
11
Panitera / Sekretaris
: Waris, SH, S.Ag, M.Si.
Wakil Panitera
: Drs. A. Heryanta Budi Utama
Panitera Muda Hukum
: Zainal Abidin, S.Ag.
Panitera Muda Permohonan
: Drs. Setya Adi Winarko, SH.
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Cet. Ke-1, 2004, hlm. 55. 12 Mustofa Sy, Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 21.
Panitera Muda Gugatan
: Faizah, SH.
Panitera Pengganti
: Hj. Agustini Khtiyarsih, BA.
Jurusita/Jurusita Pengganti
: Bakri
Wakil Sekretaris
: Dra. Mustiningsih, SH.
Kepala Urusan Kepegawaian : Tidak ada Kepala Urusan Keuangan
: Tidak ada
Kasubag Umum
: Moh. Asfaroni, SHI.13
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan bagi yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang. Peradilan Agama terdiri dari: a. Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau ibu kota kabupaten dengan wilayah hukum meliputi wilayah kotamadya dan kabupaten. b. Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibu kota propinsi, dan daerah hukum \nya meliputi wilayah propinsi.14 Dengan adanya UU RI No. 50 tahun 2009 yang dikenal dengan undang-undang tentang Peradilan Agama ini mempertegas kedudukan lingkungan Pengadilan Agama sebagai salah satu bagian dari Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman atau Justical Power dalam
13
Struktur organisasi di Pengadilan Agama Kota Semarang, dikutip pada tanggal 26 Januari 2012. 14 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Negara RI, sebagaimana tercantum dalam pasal 2 UU RI No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu: “Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”15 Undang-undang tersebut sekarang telah diubah dengan UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu: “Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945”. d.
Keadaan Gedung dan Prasarana Di lingkungan Pengadilan Agama Semarang, keadaan gedung dan prasarananya sangat menunjang dan keadaan baik, dengan tata ruang yang teratur sehingga dapat menunjang kinerja personil. Namun ada keadaan yang kurang baik yaitu keadaan ruang sidang yang sebenarnya ada satu tetapi disekat menjadi dua ruang sidang. Akan tetapi hal ini tidak mengganggu proses persidangan yang dilakukan oleh pihak Pengadilan Agama Semarang. Sarana pendukung lainnya adalah mushala, lapangan untuk upacara / olahraga, dan kantin.
e. Jumlah Perkara Cerai Gugat Tahun 2011 15
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU RI No. 4 tahun 2004), Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-3, 2009, hlm. 2.
Jumlah perkara cerai gugat yang diterima di Pengadilan Agama Semarang tahun 2011 adalah sebagai berikut:16 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah
Jumlah Perkara Cerai Gugat 167 144 170 148 147 158 147 63 178 174 174 136 1806
Sedangkan jumlah perkara cerai gugat yang diputus pada tahun 2011 adalah:17 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Jumlah Perkara Cerai Gugat Januari 95 Februari 119 Maret 143 April 144 Mei 132 Juni 139 Juli 154 Agustus 115 September 110 Oktober 131 November 129 Desember 147 Jumlah 1558 Sedangkan faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian di
Pengadilan Agama Semarang tahun 2011 adalah:18
16 17
Data Perkara Cerai Gugat yang Diterima di Pengadilan Agama Semarang tahun 2011. Data Perkara Cerai Gugat yang Diputus di Pengadilan Agama Semarang tahun 2011.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Poligami Tidak Sehat Krisis Akhlak Cemburu Kawin Paksa Ekonomi Tidak Ada Tanggung Jawab Kawin di bawah Umur Kekejaman Jasmani Kekejaman Mental Dihukum Cacat Biologis Politik Gangguan Pihak Ketiga Tidak Ada Keharmonisan Jumlah
Jumlah 12 34 1 240 735 2 2 2 176 882 2088
B. Putusan Pengadilan Agama No. 1356/Pdt.G/2011/PA. Sm. tentang Kebiasaan Suami Suka Berganti WIL sebagai Latar Belakang Perceraian Pengadilan Agama Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama telah menjatuhkan dalam perkara Cerai Gugat yang diajukan oleh: IK. S. binti Wartono, umur 26 tahun, agama Islam, pendidikan SMP, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Kelurahan Wonodri, Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang, sebagai PENGGUGAT. MELAWAN
18
Data Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Semarang tahun 2011.
Dd. P. bin Suwarto, umur 26 tahun, agama Islam, pendidikan SMP, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Kelurahan Tambangan Kecamatan Mijen Kota, Kota Semarang sebagai TERGUGAT. TENTANG DUDUK PERKARANYA Penggugat dengan surat gugatannya pada tanggal 23 Juni 2011 yang telah mengajukan permohonan cerai gugat, yang kemudian terdaftar di Kepaniteraan
Pengadilan
Agama
tersebut
dalam
register
No.
1356/Pdt.G/2011/PA. SM, tanggal 23 Juni 2011 yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Pada tanggal 28 September 2004, Penggugat dan Tergugat melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang, sesuai dengan Kutipan Akta Nikah Nomor: 449/55/IV/2004 tertanggal 28 September 2004. 2. Setelah menikah Penggugat dan Tergugat menempati kediaman bersama di rumah orangtua Penggugat di Jalan Wonodrijoho No. 1018 B, RT. 01 RW. 03 Kelurahan Wonodri, Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang, selama 3 tahun dan terakhir bertempat tinggal di rumah orangtua Tergugat di Dusun Duet RT. 03 RW. 02 Kelurahan Tambangan Kecamatan Mijen Kota, Kota Semarang, dan pernah hidup rukun layaknya suami istri (ba’da dhukhul) dan sudah dikarunia keturunan 3 orang anak yang bernama: 1. Dika Rahmawati, Lahir 01 Maret 2005
2. Diana Tega Trisniati, Lahir 11 Maret 2011 3. Dian Tega Trisniati, Lahir 11 Maret 2011 yang pada saat ini anak-anak tersebut dalam asuhan Penggugat dan Tergugat serta selama dalam perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat belum pernah bercerai. 3. Semula keadaan rumah tangga Penggugat dan Tergugat dalam keadaan harmonis, namun sejak bukan Januari 2011 keadaan rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai goyah, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan karena: a. Tergugat sebagai suami atau kepala rumah tangga sering pulang larut malam dan apabila Penggugat bertanya Tergugat selalu menjawab lembur kerja. b. Tergugat yang jarang pulang ke rumah dan selalu lembur kerja tidak pernah menghasilkan uang karena Penggugat jarang diberi uang belanja maupun nafkah oleh Tergugat. c. Tergugat mempunyai kebiasaan buruk yaitu suka berganti-ganti wanita idaman lain dan ada dua WIL yaitu Eva dan Hani. d. Penggugat sudah berusaha bersabar dan menasehati Tergugat, akan tetapi Tergugat malah marah-marah. e. Pada bulan April 2011 Penggugat pulang ke rumah orang tua Penggugat karena sudah tidak kuat dengan sikap Tergugat. f. Akibatnya Penggugat dan Tergugat terjadi pisah rumah dan sudah tidak pernah hubungan layaknya suami istri selama 2 bulan.
4. Menurut Penggugat, gugatan perceraian Penggugat telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana tercantum dalam PP. 9/1975 Pasal 19 Jo Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 yang berbunyi: “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: (f) antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan lagi hidup rukun dalam rumah tangga.” 5. Atas sikap dan/atau perlakuan Tergugat tersebut Penggugat sangat menderita lahir batin. 6. Berdasarkan alasan/dalil-dalil di atas, Penggugat mohon agar kedua Pengadilan Agama Semarang segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yang amarnya berbunyi: PRIMER: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat 2. Menyatakan putus perkawinan antara Penggugat dan Tergugat 3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum SUBSIDER: Mohon biaya perkara menurut hukum. Bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Penggugat telah hadir mandiri di persidangan, sedangkan Tergugat tidak hadir dan tidak menyuruh orang lain untuk datang sebagai wakil/kuasanya meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut sedangkan bahwa tidak datangnya
disebabkan suatu halangan yang sah. Oleh karena itu, pemeriksaan perkara ini dilanjutkan tanpa hadirnya Tergugat. Selanjutnya dibacakan gugatan Penggugat yang isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat. Untuk
meneguhkan
dalil-dalil
gugatannya,
Penggugat
telah
mengajukan alat-alat bukti berupa: 1. Surat: -
Foto copy kutipan Akta Nikah Nomor: 449/55/IV/2004 tertanggal 28 September 2004 dari KUA Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang, bermeterai cukup dan setelah dicocokkan dengan aslinya lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda P.
2. Keterangan saksi-saksi yang keterangannya didengar di bawah sumpah. a. Pudji L. Pada pokoknya saksi tersebut menerangkan sebagai berikut: - Saksi kenal Penggugat dan Tergugat karena tetangga Penggugat. Bahwa saksi kenal Penggugat dan Tergugat karena tetangga Penggugat. - Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang menikah tahun 2004 dan dikarunia 3 orang anak. - Rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak harmonis sejak bulan Januari 2011 karena antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi pertengkaran
dan
perselisihan
mempunyai wanita idaman lain.
yang
disebabkan
Tergugat
- Penggugat dan Tergugat telah hidup berpisah sejak bulan April 2011, Penggugat pulang ke rumah orang tuanya dan hingga sekarang sudah tidak ada komunikasi lagi. - Sudah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat namun tidak berhasil. b. Sulistro Pada pokoknya kedua saksi tersebut menerangkan sebagai berikut. - Saksi kenal Penggugat dan Tergugat karena tetangga Penggugat. - Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang menikah tahun 2004 dan dikarunia 3 orang anak. - Rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak harmonis sejak bulan Januari 2011 karena antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi pertengkaran dan perselisihan yang disebabkan Tergugat mempunyai wanita idaman lain. - Penggugat dan Tergugat telah hidup berpisah sejak bulan April 2011, Penggugat pulang ke rumah orang tuanya dan hingga sekarang sudah tidak ada komunikasi lagi. - Sudah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat namun tidak berhasil. Menimbang, bahwa keterangan saksi tersebut dibenarkan oleh Penggugat selanjutnya Penggugat menyatakan tidak akan mengajukan suatu apapun dan mohon putusan. Dalam hal ini hakim memberikan putusan sebagai berikut:
Memperhatikan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum Islam yang berkaitan dengan perkara ini, maka hakim mengadili: 1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap persidangan, tidak hadir. 2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek. 3. Menjatuhkan talak satu bain / sughro dari Tergugat kepada Penggugat. 4. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar seluruh biaya perkara sebesar Rp. 331.000. Demikian putusan ini dijatuhkan pada hari Rabu, tanggal 3 Agustus 2011 M, bertepatan dengan tanggal 3 Ramadhan 1432 H, oleh Drs. Ali Imron, SH., sebagai Hakim Ketua, Drs. H. Nurmansyah SH., MH., dan Drs. Hamdani, MH., sebagai Hakim Anggota dan dibantu Dra. Siti Nurjanah sebagai Panitera Pengganti.19 Perincian biaya: Pendaftaran
: Rp. 30.000,-
Biaya proses
: Rp. 50.000,-
Panggilan
: Rp. 240.000,-
Redaksi
: Rp.
Materai
: Rp.
Jumlah
: Rp. 331.000,-
19
5.000,6.000,-
Salinan Putusan Nomor: 1356/Pdt.G/2011/PA. SM.
C. Dasar Pertimbangan Hakim terhadap Putusan Pengadilan Agama No. 1356/Pdt.G/2011/PA. Sm. tentang Kebiasaan Suami Suka Berganti WIL sebagai Latar Belakang Perceraian Di
dalam
salinan
putusan
Pengadilan
Agama
No.
1356/Pdt.G/2011/PA. SM. tentang kebiasaan suami suka berganti WIL tersebut terdapat beberapa pertimbangan Hakim di antaranya: Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagai telah diuraikan di atas. Menimbang, bahwa bukti-bukti yang telah digunakan oleh Penggugat setelah diteliti dan didengar keterangannya, Majelis Hakim menilai bahwa bukti-bukti tersebut telah memenuhi syarat formil dan materiil sehingga dapat diterima sebagai alat bukti. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti tersebut di atas, Majelis Hakim telah menemukan fakta di persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut: a. Bahwa, Penggugat dan Tergugat telah terikat dalam perkawinan yang sah dan telah dikaruniai 3 orang anak. b. Bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak harmonis karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus disebabkan Tergugat mempunyai WIL (Wanita Idaman Lain). c. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah hidup berpisah sejak bulan April 2011 Penggugat pulang ke rumah orang tuanya dan sampai sekarang tidak ada komunikasi lagi.
d. Bahwa Penggugat dan Tergugat sudah didamaikan pihak keluarga, namun tidak berhasil. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, terbukti antara Penggugat dan Tergugat terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus sehingga Majelis Hakim menilai rumah tangga Penggugat dan Tergugat telah Pecah dan sudah tidak ada harapan akan dapat rukun lagi sehingga Majelis Hukum berpendapat bahwa menceraikan Penggugat dan Tergugat akan lebih baik dan bermanfaat bagi keduanya. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat dan Tergugat tidak ada harapan lagi untuk rukun dalam rumah tangganya, keduanya tidak dapat mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang sehingga gugatan Penggugat telah cukup beralasan serta memenuhi ketentuan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat beralasan hukum dan tidak melawan hak sedangkan Tergugat tidak pernah hadir di persidangan maka sesuai pasal 125 ayat (1) HIR gugatan Penggugat dapat dikabulkan dengan verstek. Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka semua biaya perkara ini dibebankan kepada Penggugat.
1
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG NO. 1356/Pdt.G/2011/PA. Sm. TENTANG KEBIASAAN SUAMI SUKA BERGANTI WIL SEBAGAI LATAR BELAKANG PERCERAIAN
A. Analisis
terhadap
Putusan
Pengadilan
Agama
Semarang
No.
1356/Pdt.G/2011/PA. Sm. tentang Kebiasaan Suami Suka Berganti WIL sebagai Latar Belakang Perceraian Dalam perkara nomor 1356/Pdt.G/2011/PA. Sm. tersebut, istri sebagai Penggugat mempunyai kewenangan untuk mengajukan gugatan perceraian karena Penggugat adalah istri yang sah dari Tergugat. Penggugat dan Tergugat menikah pada tanggal 28 September 2004 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang, dengan Kutipan Akta Nikah Nomor: 449/55/IV/2004. Penggugat bertempat tinggal di jalan Wonodrijoho No. 1018 B, RT. 01 RW. 03 Kelurahan Wonodri, Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang, sehingga berdasarkan kompetensi relatifnya Penggugat telah sesuai mendaftarkan perkaranya ke Pengadilan Agama Semarang, karena merupakan wilayah hukum Penggugat. Selain itu Pengadilan Agama Semarang juga berhak menyelesaikan perkara tersebut, karena berdasarkan ketentuan tentang kewenangan relatif diatur secara umum dalam Pasal 118 HIR/142 Rbg, dan secara khusus diatur dalam perundang-undangan. Pada asasnya gugatan diajukan ke Pengadilan Agama di tempat tinggal Tergugat
71
2
oleh pihak yang berkepentingan dan mempunyai ikatan hukum, sedangkan permohonan diajukan ke Pengadilan Agama di tempat tinggal pemohon kecuali undang-undang menentukan lain.1 Pengecualian ini ditemukan dalam Pasal 66 dan 73 UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang menetapkan bahwa perkara perceraian diajukan ke Pengadilan Agama yang memwilayahi tempat tinggal istri. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kaum wanita dan anak-anak, kecuali jika perlindungan tersebut tidak dapat diberikan karena alasan-alasan tertentu yang telah diatur dalam undang-udang, atau pihak istri yang bersangkutan tidak menghendaki.2 Perkawinan
antara
Penggugat
dan
Tergugat
dilaksanakan
berdasarkan hukum Islam, sehingga Penggugat telah sesuai mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama Semarang bukan ke pengadilan lain. Berdasarkan
kompetensi
absolut
dalam
bidang
perkawinan,
Pengadilan Agama Semarang juga mempunyai hak untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara nomor: 1356/Pdt.G/2011/PA. Sm. Dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dijelaskan tentang kewenangan dan kekuasaan mengadili yang menjadi beban tugas Peradilan Agama. Di dalam Pasal 49 ditentukan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
1
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003, hlm. 45. 2 Ibid.
3
beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta wakaf dan shadaqah. Di dalam bidang perkawinan yang menjadi kewenangan dan kekuasaan Pengadilan Agama adalah hal-hal yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 yaitu: 1. Izin beristri lebih dari seorang. 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat. 3. Dispensasi kawin. 4. Pencegahan perkawinan. 5. Penolakan perkawinan oleh PPN. 6. Pembatalan perkawinan. 7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri. 8. Perceraian karena talak. 9. Gugatan perceraian. 10. Penyelesaian harta bersama. 11. Penguasaan anak-anak. 12. Ibu dapat memikul biaya penghidupan anak bila bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak memenuhinya. 13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri. 14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
4
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua. 16. Penunjukan kekuasaan wali. 17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan Agama dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut. 18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali dari orang tuanya. 19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas anak yang ada di bawah kekuasaannya. 20. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. 21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur. 22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menuntut peraturan yang lain.3 Mengenai bentuk dan isi putusan Pengadilan Agama No. 1356/Pdt.G/2011/PA. Sm. sudah sesuai karena telah memenuhi beberapa bagian
yang harus ada dalam putusan. Bagian-bagian tersebut adalah: a. Kepala Surat Susunan pertama dalam bagian ini adalah putusan kemudian diikuti di bawahnya dengan nomor putusan yang diambil dari nomor perkara, lalu 3
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press 2009, hlm. 15.
5
dilanjutkan dengan
dengan
diikuti
kalimat
kalimat
“BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM”
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. b. Identitas Para Pihak Identitas para pihak harus jelas ditulis dalam putusan, yaitu: nama, umur, alamat, pekerjaan, tempat kediaman, dan kedudukan sebagai pihak, serta kuasanya apabila yang bersangkutan menguasakan kepada orang lain. c. Duduk Perkara Setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat secara ringkas tentang gugatan atau jawaban Tergugat secara ringkas dan jelas. Di samping itu, dalam surat putusan juga harus memuat secara jelas tentang alasan dasar dari putusan, pasal-pasal dari peraturan perundangundangan yang berlaku, biaya perkara, serta hadir dan tidaknya para pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan. d. Tentang Pertimbangan Hukum Putusan hakim juga harus memberikan pertimbangan hukum terhadap perkara yang disidangkannya. Pertimbangan hukum biasanya dimulai dari kata-kata “Menimbang …. dan seterusnya”. Dalam pertimbangan hukum ini, hakim harus mempertimbangkan dalil gugatan, bantahan atau ekspresi dari Tergugat serta dihubungkannya dengan alatalat bukti yang ada. Dari pertimbangan hukum, hakim menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidak gugatannya.
6
e. Tentang Amar Putusan Amar putusan adalah isi dari putusan itu sendiri yang merupakan jawaban petitum dalam surat gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Amar putusan dimulai dengan kata-kata “mengadili”. Dalam amar itu hakim harus menyatakan tentang hal-hal yang dikabulkan, ditolak, atau tidak diterima berdasarkan pertimbangan hukum yang telah dilakukannya. f. Bagian Penutup Dalam bagian ini disebutkan kapan putusan tersebut diputuskan (hari dan tanggal) dan dicantumkan pula nama Hakim Ketua, dan Hakim Anggota yang memeriksa perkara itu sesuai dengan penetapan Majelis Hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama. Putusan itu juga harus ditandatangani oleh Panitera Pengganti yang ikut sidang. Di samping itu perlu dicantumkan pula tentang hadir tidaknya Penggugat dan Tergugat pada persidangan pada waktu putusan diucapkan. Dari analisis di atas, ditinjau dari hukum acara (hukum formal) Pengadilan Agama Semarang dalam memutuskan perkara tentang cerai gugat tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang d perceraian sudah sesuai sejak prosedur pengajuan perkara sampai perkara tersebut diputuskan. Sedangkan analisis dari amar putusannya, disini penulis setuju apabila gugatan penggugat dikabulkan dengan verstek, karena pihak tergugat disini telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap persidangan tergugat tidak hadir.
7
Sedangkan dijatuhkannya talak bain sughro dari tergugat kepada penggugat ,penulis juga setuju karena di dalam talak bain sughro disini, suami tidak boleh rujuk kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil.’ B. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim terhadap Putusan Pengadilan Agama Semarang No. 1356/Pdt.G/2011/PA. Sm. tentang Kebiasaan Suami Suka Berganti WIL sebagai Latar Belakang Perceraian Menurut hukum positif, Penggugat telah mempunyai cukup alasan untuk melakukan gugatan perceraian, karena kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian. Sebagaimana Pasal 116 KHI huruf (f). Menurut Drs. H. Nurmansyah, SH. MH. selaku hakim yang menangani perkara tersebut. Menurut beliau dasar pertimbangan hakim terhadap putusan Pengadilan Agama Semarang No. 1356/Pdt.G/2011/PA. Sm. tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian adalah setelah adanya WIL tersebut, maka rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat mulai goyah dan akan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran. Kemudian, karena terjadi perselisihan tersebut maka hakim menimbang bahwa gugatan perceraian Penggugat telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Jo Pasal 19 huruf
(f) Peraturan
Pemerintah nomor 9 tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-
8
alasan: (f) antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan lagi hidup rukun dalam rumah tangga. Oleh karena itu sudah sepatutnya Pengadilan Agama Semarang dapat menerima pengaduan Penggugat dan mengabulkan gugatan perceraian Penggugat. Dan meskipun suami berganti WIL hanya satu kali pun bisa juga dijadikan sebagai latar belakang perceraian.4 Menurut Drs. Wahyudi, SH. MHI., selaku hakim di Pengadilan Agama Semarang. Menurut beliau adanya WIL merupakan sebab terjadinya alasan perselisihan. Berdasarkan PP No. 9 tahun 1975 Pasal 19 dan KHI Pasal 116 bahwa WIL tersebut, bukan merupakan alasan perceraian, tetapi merupakan sebab terjadinya perselisihan. Sebab terjadinya alasan perselisihan tersebut biasanya karena adanya WIL, PIL, ekonomi, pengangguran dan lain sebagainya yang kesemuanya itu menjadikan cekcok (pertengkaran). Alasan perceraian dan sebab perselisihan dilihat dari sisi hukum itu berbeda. Seperti antara gugatan yang ditolak dan tidak diterima itu juga berbeda. Pertimbangan titik beratnya dua orang ini (Penggugat dan Tergugat) adalah sudah tidak bisa disatukan lagi apa tidak dan apabila sudah terbukti atau apabila tidak terbukti, beliau mempertimbangkan bahwa sebab-sebab pertengkaran tersebut menurut Penggugat adalah adanya WIL, tetapi dibantah oleh Tergugat dan tidak ada bukti. Oleh karena itu sebab-sebab tersebut belum terbukti, maka majelis bisa mengambil kesimpulan bahwa adanyar
4
Wawancara Drs. H. Nurmansyah, SH. MH., pada tanggal 17 Januari 2012.
9
pertengkaran tersebut menyangka pihak lain punya WIL. Jadi belum tentu terbukti adanya WIL. Menurut beliau untuk membuktikan WIL tersebut sangat susah. Contoh
: Pihak istri menyangka ada WIL, tetapi suami menolak dan berkata cuma ada mahasiswi konsultasi, tetapi istri menemukan di dalam tasnya ditemukan obat kuat.
Contoh lain
: Semua orang yang membawa alat zina apakah pasti zina? Belum pasti kan?
Maka hal seperti di atas, tidak membuktikan dan gugatannya tetap dapat dikabulkan. Walaupun adanya WIL tidak terbukti, salah satu pihak menduga pihak lain ada WIL sehingga mengurangi kepercayaan, merasa dikhianati dan lain-lain, dalam hal ini cekcoknya yang harus terbukti. Sebaliknya apabila tidak terjadi percekcokan maka gugatannya ditolak karena tidak sesuai dengan alasan perceraian khususnya Pasal 116 KHI meskipun WIL-nya terbukti.5 Menurut Bapak A. Ghozali, H. Drs. MSI., mengenai kebiasaan suami suka berganti WIL adalah sah-sah saja di Pengadilan Agama bisa dijadikan sebagai latar belakang perceraian. Tetapi menurut beliau, mengenai WIL tersebut lebih tertuju pada WTS (Wanita Tuna Susila). Walaupun di dalam WIL yang dimaksud belum pasti tertuju pada WTS, ada WIL tersebut
5
Wawancara Drs. Wahyudi, SH. MSI, pada tanggal 27 Januari 2012.
10
bisa dijadikan sebab alasan perceraian apabila istri tidak menerima dengan keadaan WIL tersebut.6 Di dalam kitab Rowaiul Bayan Juz 1 Karangan Ali Ashobuni ada tiga kriteria wanita yaitu: a. Wanita yang kenal laki-laki yang berumah tangga. b. Wanita yang kenal laki-laki yang tidak mau berumah tangga. c. Wanita yang tidak kenal laki-laki dan tidak kenal rumah tangga.7 Menurut Bapak A. Ghozali, H. Drs. MSI., seorang wanita yang melihat wanita seperti di atas, kebanyakan merasa kasihan, sehingga dari rasa kasihan itulah sebaiknya seorang wanita memberikan kesempatan kepada wanita yang lain untuk berumah tangga, karena di dunia ini jumlah laki-laki dan perempuan adalah 1:2. Bisa dilihat juga pada QS. An-Nisa’: 3 yang berbunyi: ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? āωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù … ∩⊂∪ (#θä9θãès? āωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Menurut Bapak Ky. Abdul Majid mengenai kebiasaan suami suka berganti beliau tidak setuju, karena kalau sampai orang tersebut berganti WIL berarti orang tersebut tidak memikirkan langkah ke depan pada siklus
6 7
hlm. 431.
Wawancara A. Ghozali, H. Drs. MSI, pada tanggal 11 Januari 2012. Muhammad Ali Asa-Shobuni, Rowa’ul Bayan Tafsir Ayat Ahkam Minal Qur’an, Juz 1,
11
kekeluargaan. Sehingga pembinaan dalam rumah tangga menjadikan kurang harmonis dan menjadikan dampak perceraian dalam sistem kekeluargaan itu sendiri. Selain itu, menurut beliau yang namanya WIL, dimana saja pasti ada cuman di dalam kebiasaan berganti WIL tersebut yang begitu jelas karena orang-orang yang berbuat seperti itu kebanyakan dari kalangan ekonomi menengah ke atas dan dilakukan dengan penuh rahasia. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kebiasaan suami suka berganti WIL tersebut adalah: a. Memiliki keimanan dan ketakwaan yang rendah pada agamanya. b. Rasa ingin coba-coba bagaimana rasanya selingkuh. c. Pertengkaran dalam rumah tangga. d. Pasangan resmi tidak jujur ketika belum menikah sehingga kecewa. e. Memiliki nafsu birahi yang tinggi dan tidak terkontrol. f. Tingkat ekonomi (menengah ke atas) g. Dorongan dan pengaruh buruk dari lingkungan sekitar yang sesat. h. Kemajuan teknologi Oleh karena itu melihat dari berbagai penjelasan dan ketentuan hukum di atas, maka penulis dapat mengambil suatu alternatif hukum mengenai kasus di atas. Bahwa adanya WIL adalah bukan merupakan alasan perceraian, tetapi merupakan latar belakang perceraian (perselisihan / cekcok).
12
Setelah terjadinya perselisihan / cekcok tersebut, baru hukum bisa memutuskan berdasarkan PP No. 9 tahun 1975 dan KHI Pasal 116 huruf (f) yang berbunyi: “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: (f) antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan lagi hidup rukun dalam rumah tangga”. Oleh karena itu Pengadilan Agama Semarang mengabulkan gugatan cerai. Sedangkan mengenai WIL dalam kasus ini menurut penulis adalah tidak hanya tertuju pada WTS. Untuk mengantisipasi kebiasaan suami suka berganti WIL tersebut adalah: - Tingkatkan keimanan dan komunikasi - Saling memahami kewajiban masing-masing - Memahami tujuan perkawinan. Dalam kasus di atas, dikabulkanya gugatan penggugat menurut hukum Islam adalah dibolehkan, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
.ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻐﺾ ﺍﳊﻼﻝ ﺍﱃ ﺍﷲ ﺍﻟﻄﻼﻕ ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩﻭﺍﳊﺎﻛﻢ ﻭﺻﺤﺤﻪ Artinya : Dari Ibnu Umar ra. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah ialah talak. (HR. Abu Dawud dan Hakim dan disahihkan olehnya) Hadist ini menjadi dalil bahwa menjatuhkan talak itu sama sekali tidak ada pahalanya dan tidak dapat dipandang sebagai perbuatan ibadah. Akan tetapi ini juga menjadi dalil bahwa talak tersebut diperbolehkan jika untuk menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak. Baik suami maupun isteri (termasuk dalam hal cekcok yang tidak bisa di damaikan lagi).
1
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian pembahasan mengenai putusan Pengadilan Agama Semarang No. No. 1356/Pdt.G/2011/PA. Sm., tentang kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian, maka pada bab ini penulis berusaha untuk memberikan suatu kesimpulan yang akan penulis paparkan di bawah ini yang merupakan intisari dari pembahasan materi-materi dalam skripsi ini. Adapun kesimpulan yang dapat penulis paparkan adalah sebagai berikut: 1. Bahwa dalam memberikan pertimbangan dan alasan terhadap gugatan perceraian tentang kebiasaan suami suka berganti WIL tersebut, majelis hakim berdasarkan pada beberapa alasan. a. Bahwa Penggugat dengan gugatannya dan disertai bukti-bukti serta saksi yang mendukung maka sudah selayaknya Penggugat diterima dalam gugatannya. b. Bahwa adanya WIL disini adalah merupakan latar belakang perceraian (perselisihan / cekcok). Dari kasus ini, yang harus dibuktikan adalah perselisihannya (cekcok) bukan WIL-nya. Apabila WIL-nya tidak terbukti dan terjadi perselisihan, maka gugatannya bisa dikabulkan. Sebaliknya, apabila WIL-nya terbukti dan tidak terjadi perselisihan maka gugatannya ditolak, karena tidak sesuai dengan pasal, khususnya Pasal 116 KHI huruf f.
83
2
2. Bahwa dengan melihat beberapa bukti di atas mengenai kasus kebiasaan suami suka berganti WIL sebagai latar belakang perceraian, dasar hukum yang digunakan Majelis Hakim adalah dengan berpijak pada Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 yang berbunyi: “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: (f) antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan lagi hidup rukun dalam rumah tangga.”
B. Saran-saran Meskipun WIL bisa dijadikan sebagai latar belakang perceraian, kita sebagai manusia baik kaum laki-laki maupun kaum wanita janganlah mengganggu rumah tangga orang lain. Pilihlah calon pendamping hidup yang belum beristri.
C. Penutup Tiada puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah SWT dengan karunia dan rahmat-Nya telah mendorong penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan yang sederhana ini. Dengan demikian, penulis sangat berterima kasih dan sangat mengharapkan kritik dan saran-sarannya dari para pembaca demi kebaikan dan kesempurnaan di masa-masa yang akan datang untuk melengkapi dari kekurangan-kekurangan yang ada pada penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminudin, Fiqh Munakahat II, Bandung : Pustaka Setia, 1999. Al-Asqilani, Ibnu Hajar, Terjemahan Lengkap Bulughul Maram, Jakarta, Akbar Media Eka Sarana. 2009 Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Arto Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, Yogyakarta: Pusatak Pelajar, 2005. Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001 Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, (UU RI No. 50 Th 2009) Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Departemen Agama RI,Alqur’an dan Terjahannya,Jakarta:Lajnah Pentashih Mushaf Alqur’an ,2005. Djamal Murni, Ilmu Fiqh, Jakarta :Sarana Perguruan Tinggi, Jakarta/IAIN, 1985. Dajlil A, Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta : Media Kencana Group, Cet Ke-1, 2006. Ghozali Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta : Kencana, 2008 Harahab, Yahya, Kedudukan Dan Kewenangan Dan Acara Acara Peradilan Agama, Jakarta : Sinar Grafika, 2005. J. Maleong, lexy, Methodology Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2009. Jikronah, Studi Analisis Tentang Putusan Pengadilan Agama Demak No. 861/pdt. G/PA. tentang Cerai Gugat Istri Karena Tidak Terpenuhinya Nafkah Batin, semarang: Perpus Fakultas Syari’ah, 2000. Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2000. Komarudin, Kamus Istilah Karya Ilmiah, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Mudrik, Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Purbalingga No. 283/ pdt.G/PA Purbalingga Tentang Cerai Gugat Karena Suami Berjudi, Semarang, Perpus Fakultas Syari’ah, 2001. Munawir AF, Adib Al-Bisri, Kamus Indonesia-Arab, Arab-Indonesia Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progresif Cet Ke-1, 1999. Muhammad Uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqh Wanita, Jakarta: Al-Kautsar, 2010. Nasrudin, Amin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Dari Fikih, UU No.1/74 Sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006. Ridawan, Analisis Putusan Pengadilan Agama Kota Semarang No. 750/pdt.G/PA Semarang Tentang Pelanggaran Taklik Talak, Semarang: Perpus Fakultas Syari’ah, 2004. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Perdata, 2003. Rasyid Khotib, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek Pada Peradilan Agama, Yogyakarta UII Press, 2009. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Juz Ii, Bairut: Dar Al-Fikr, 1983. _________, Fiqh Sunnah Jilid 3, Jakarta : Penda Pundi Aksara, 2007. _________, Fiqh Sunnah 4, Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009. Sangadah, Siti, Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Rembang No.318/pdt.G/2003 Tentang Cerai Gugat Karena Suami Menderita Stroke, Semarang : Perpus Fakultas Syari’ah, 2006. Sy, Mustafa, Kepaniteraan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Kencana, 2009. Surya Barata Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta : Bumi Aksara 2007. Tri Wahyudi Abdullah, Peradilan Agama Di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2004, Cet Ke-1 Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika 2007. http//organisasi.org/c.3i/factor-alasan-penyebab-seseorang-seseorang-selingkuhdengan-wanita-idaman-lain.16 November 2011,11.3. WIB.
http//sabda.orgc.3i/pri-idaman-lain-dan-wanita-idaman-lain-16 November 20011,11.37.WIB. http//www./seputar-indonesia:cak/content/view/39 2172/tgl 3 Januari 2012. 10.14 WIB. http//pasemarang.net/index php?option:com, 3 Januari 2012, 10.16 WIB. http//id.berita yahoo.com. dewan-perselingkuha-pns-jawatengah-makin berani103327-29 htm. http//www-scribd.com/doc/333389/contoh proposal penelitian kualitatif, 19 Oktober 20011. 11.00 WIB.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Umiyati
Tempat tanggal lahir : Batang,27 juli 1987 Bangsa
: Indonesia(WNI)
Agama
: Islam
Alamat
: Ds.Lebo Rt 02 Rw.5 Kec.Gringsing Kab. Batang
Riwayat Pendidikan : 1. MI Lebo 01 lulus tahun 1997 2. Mts Nur Anom Gringsing lulus tahun 2003 3. MA NU 02 Muallimin Weleri lulus tahun 2007 4. IAIN Walisongo Semarang Fakultas Syariah 5. Jurusan Al-Akhwal As-Syakhsiyah masuk tahun 2007
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya.
Semarang, 3 Juli 2012 Hormat Saya
Umiyati