BAB III HAK ASUH ANAK DALAM PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA KOTA PEKALONGAN No. 0123/Pdt.G/2013/PA.Pkl.
A. Latar Belakang Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 26 Ayat 1-2 1. Tujuan Perlindungan Anak Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta
mendapat
perlindungan
dari
kekerasan
dan
diskriminasi. 1 Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehinga negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Selain pemerintah masyarakat, keluarga, dan khususnya orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. 2 Adanya kebutuhan seorang anak untuk memperoleh perlindungan adalah agar seorang anak memperoleh perhatian yang memadai, khusunya dari lingkungan keluarga terutama orang tua. Tidak hanya dari lingkungan
1
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindngan Anak, (Bandung: Citra Umbara, 2003) , Hal. 25 2 M. Lutfi Chakim Blog, Di Poskan 20 Januari 2012.
keluarga saja, tetap perlindungan juga harus didapatkan oleh seorang anak dari lingkungan sekitar maupun dari negara. Pada dasarnya kebutuhan yang dibutuhkan oleh seorang anak tidak hanya kebutuhan jasmani saja, seperti makanan, tempat tinggal dan pakaian. Akan tetapi seorang anak juga membutuhkan kebutuhan rohani atau
spiritual,
sepertipendidikan,
keagamaan,
kasih
sayang
dan
sebagainya. Adanya keberagaman wujud perhatian pada anak sejatinya memiliki satu tujuan, yaitu agar di kemudian hari seorang anak dapat memperoleh perlindungan yang memadai sehingga terhindar dari berbagai macam
masalah.
Upaya
perlindungan
anak
merupakan
sebuah
implementasi dari perlindungan hak asasi anak yang tidak boleh dikurangi dan disalahgunakan oleh siapapun, baik itu oleh orang tua, keluarga, masyarakat bahkan pemerintah atau negara. Selain itu salah satu tujuan perlindungan anak adalah agar anakanak tidak mudah terpengaruh untuk berperilaku buruk atau melakukan hal-hal buruk. Orang tua memiliki peran yang penting di dalam mengatasi perilaku buruk anak-anak mereka. Perceraian orang tua juga dapat mempengaruhi perilaku anak. Sadar atau tidak perceraian orang tua akan menimbulkan trauma yang mendalam bagi anak. Oleh karena itu hak asuh anak setelah perceraan itu teradi harulah dipikirkan secara baik-baik. Agar dampak perceraian tidak berimbas
27
langsung kepada anak terlebih sampai mengabaikan perlindungan anak tersebut. Perlindungan anak bukan saja menjadi kewajiban bagi orang tua. Tetapi perlindungan anak adalah kewajiban setiap orang baik itu keluarga masyarakat, pemerintah maupun negara. Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan:3 “Negara, Pemeritah, Masyarakat, Keluarga dan Orang Tua berkewajiban
dan
bertanggungjawab
terhadap
penyelenggaraan
perlindungan anak”. Keberagaman wujud perhatian pada anak sejatinya ermuara pada satu tujuan agar dikemudian hari seorang anak memperoleh perlindungan yang memadai, sehinga terhindar dari berbagai masalah. Perlindungan yang diberikan kepada anak sejatinya
merupakan implementasi dar
perlindungan hak asasi anak yang tidak boleh dikurangi oleh siapapunjuga, baik oleh orang tua, keluarga, masyarakat bahkan pemerintah dan negara. Ruang lingkup perlindungan anak sangat luas tidak hanya ditujukan pada kebutuhan jasmaniah akan teapi meluas hinga kebutuhan rohaniah. Perlindungan anak diberikan guna menghindarkan anak dari upaya yangmengarah pada penghilangan identitas anak, diskrminasi serta perlakuan tidak manusiawi lainnya. 4
3
www.lutfichakim.com/2012/12/perlindungan-terhadap-anak-yang.html. Dilihat pada 1 Oktober 2015 4 https://elisatris.wordpres.com/perlindungan-anak. Dilihat pada 14 Oktober 2015
28
2. Hukum Perlindungan Anak Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komperhensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagi berikut: a) Non diskriminasi b) Kepentingan yang terbaik bagi anak c) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan d) Penghargaan terhadap pendapat anak.5
3. Hak dan Kewajiban Anak Di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 26 ayat 1-2 yang berbunyi: 1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya. c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. 2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab nya. Maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana di 5
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindngan Anak, (Bandung: Citra Umbara, 2003) , Hal. 46-47
29
maksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga yang di laksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang perlindungan anak pasal 26 ayat 1-2 yang tersebut diatas, maka jelaslah bahwa seoang anak mempunyai hak untuk
mendapatkan
pemelihara’an,
pendidikan,
pengasuhan
serta
perlindungan dari kedua orang tuanya. Namun, apabila kedua orang tua anak tersebut telah meninggal dunia atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut maka hak perlindungan tersebut dapat diperoleh dari keluarga yang pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan UndangUndang yang berlaku. Selain memiliki hak yang harus dipenuhi, seorang anak juga mempunyai kewajiban, seperti: a. Kewajiban mencintai tanah air, bangsa dan negara. b. Kewajiban beretika dan berakhlak mulia. c. Kewajiban mencintai keluarga, masyarakat dan teman.
B. Pengasuhan Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 Ayat 1-3 Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 ayat 1-3 berbunyi: “Dalam hal terjadinya perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya
30
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.” Berdasarkan pasal 105
ayat 1-3 Kompilasi Hukum Islam, dengan
sangat jelas menyatakan bahwa seorang anak yang belum mumayyiz atau belum genap berusia 12 tahun hak asuhnya jatuh ke ibu. Tetapi ketika anak sudah memasuki fase usia mumayyiz, maka anak diperbolehkan untuk memilih dengan siapa dia akan tinggal nanti. Biaya pemeliharaan seoang anak akan tetap menjadi tanggung jawab ayahnya Baik hak asuh itu jatuh ke tangan ibunya atau ke tangan orang lain yang dikehendaki oleh si anak Dalam sistem hukum yang hidup di dunia sekarang terdapat berbagai bentuk pengasuhan. Pertama adalah devided custody (pengasuhan terbagi) di mana salah satu orang tua, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki pengasuhan fisik dan tanggungjawab sepenuh waktu terhadap anak, sementara itu orang tua yang lain hanya mempunyai hak kunjungan. Kedua adalah joint custody (pengasuhan bersama), yaitu pengaturan di mana kedua orang tua sama-sama bertanggung jawab dan mempunyai kekuasaan terhadap anak, tetapi pengasuhan fisik berada di tangan salah seorang dari mereka. Dalam hal ini bisa terjadi, pengasushan fisik diberikan kepada ayah atau ibu, tetapi masalah pendidikan, agama anak dan lain-lain ditentukan secara bersama-sama.
31
Ketiga adalah physical custody (pengasuhan fisik), yaitu hak yang diberikan oleh pengadilan kepada salah satu orang tua untuk mengasuh anak, baik ibu maupun ayah. Dalam hal ini, anak secara fisik tinggal bersama salah seorang dari orang tua, tetapi masa depan anak, termasuk biaya hidup, tidak ditangani sendiri oleh pihak pengasuh secara fisik. Keempat adalah sole custody (pengasuhan sepenuhnya), yaitu pengaturan di mana salah satu orang memiliki kontrol penuh terhadap anak dan pembuat keputusan satu-satu terhadap anak tanpa yang lain, baik pengasuhan penuh ini diberikan kepada ibu atau kepada ayah. Dari empat jenis pengasuhan tersebut tampak bahwa antara ibu dan ayah, atau salah satunya, sama-sama mempunyai hak untuk mengasuh anak tergantung ketentuan legislasi yang ada dalam satu negara atau putusan pengadilan.
C. Dasar
Putusan
Hakim
Pengadilan
Agama
Pekalongan
No.
0123/Pdt.G/2013/PA.Pkl. Pengadilan Agama sejak lama telah mengenal lembaga tahkim (perdamaian, arbitrasi perkawinan). Dalam setiap putusan pengadilan selalu dinyatakan bahwa hakim telah berupaya mendamaikan para pihak, tetapi tidak berhasil. Dalam praktek yang berlaku selama ini, tahkim ternyata hanya upaya basa-basi dan belum dilakukan secara maksimal. Sepatutnya kita bisa mencontoh sistem peradilan di negara lain seperti Jepang, Australia dan Amerika Serikat yang membuka dua pintu pada semua lembaga peradilan
32
dengan mekanisme yang jelas yang diatur oleh undang-undang. Setiap pencari keadilan pertama-tama diarahkan untuk memasuki pintu pertama yang merupakan pintu perdamaian sebelum masuk ke pintu kedua yang merupakan pintu litigasi. Pintu kedua hanya dibuka, bila usaha maksimal pintu pertama tidak berhasil. Setiap pintu mempunyai mekanisme yang jelas dan aparat profesional yang berusaha secara maksimal mengarahkan pihak-pihak untuk berdamai, yang tidak hanya terdiri dari hakim khusus pendamai, tetapi juga para ahli kemasyarakatan, pendidikan dan psikologi. Mereka sebagai tim berusaha secara maksimal untuk meyakinkan para pihak bahwa perdamaian itu lebih baik dari litigasi. Hasil perdamaian dan arbitrase akan membawa kepada win-win-solution dan hasil litigasi berarti menang jadi arang dan kalah jadi abu. Peradilan Indonesia baru mempunyai hukum acara untuk litigasi tetapi belum mempunyai hukum acara legkap untuk perdamaian. Sebelum adanya hukum acara khusus dan pedoman praktis, para hakim Pengadilan Agama harus berusaha keras dengan cara yang mereka pandang baik untuk mengaktifkan lembaga tahkim sehingga kasus perceraian bisa dikurangi dan dengan sendirinya mengurangi problem hadhanah akibat perceraian. Persoalan kedua adalah kesulitan dalam eksekusi putusan hadhanah, khususnya bila sang anak tidak berada di tangan pihak yang memenangkan hak hadhanah. Pada eksekusi harta bersama atau waris, karena menyangkut benda atau barang, maka eksekusi dapat dipaksakan dengan melibatkan pihak keamanan, terutama polisi, tetapi pada eksekusi anak tidak mungkin dipaksakan karena akan sulit dilaksanakan dan menyangkut perasaan anak
33
yang perlu diperhatikan, terutama untuk kepentingan anak (for the bestinterest of the child), baik dari sudut syariat Islam maupun dari sudut peraturan perundang-udangan tentang anak. Masalah lain adalah tidak adanya sanksi dalam hal pihak tidak mau menyerahkan anak yang ada di tangannya kepada pihak yang memenangkan hak hadhanah. Sanksi adalah inti hukum dan dengan sanksi yang jelas, orang akan takut melanggar hukum. Mudahmudahan dalam Rancangan Undang-Undang Terapan Pengadilan Agama, masalah sanksi ini sudah dicakup. Permasalahan ketiga, putusan hadhanah di Pengadilan Agama belum sepenuhnya sesuai dengan hukum Islam. Sebagai contoh, dalam Kompilasi Hukum Islam dan praktek peradilan, hadhanah anak di bawah umur adalah kepada ibunya, kecuali kalau ibu murtad, maka hadhanah dipindahkan kepada ayahnya. Dalam perintah Nabi jelas sekali bahwa pengasuhan anak kepada ibunya, bila belum kawin lagi. Yurisprudensi kita belum mengenai pemindahan hadhanah dari ibu yang kawin lagi. Dalam hal ibu dipandang tidak cakap memegang hadhanah anak, hakim Penadilan Agama biasanya menyerahkan hadhanah kepada ayah, sementara itu seperti terlihat diatas, Abu Bakar sebagai hakim dalam kasus hadhanah putera ‘Umar bin Khaththab tidak menyerahkan hadhanah kepada beliau, tetapi kepada mertua perempuan beliau yang merupakan nenek sang anak. Hukum Islam melalui fiqh para fuqaha’ telah membuat urut-urutan orang yang berhak memeang hadhanah anak di bawah umur setelah ibu kandung kawin, meningal dunia atau tidak berkualifikasi. Pertama, bila ibu menikah
34
lagi atau meninggal dunia, maka hadhanah pindah kepada ibu dari ibu, yaitu nenek anak. Bila nenek meninggal dunia atau tidak berkualifikasi, maka hadhanah pindah kepada ibu dari ayah si anak, yaitu nenek dari pihak ayah. Jika nenek ini juga meninggal dunia atau tidak berkualifikasi, maka hadhanah pindah kepada saudara perempuan anak bila ia mempunyai saudara perempuan yang sudah dewasa. Jika saudara perempuan tidak ada, maka hadhanah kepada salah satu bibi si anak atau saudara perempuan dari ibunya. Jika tidak ada bibi dari pihak saudara perempuan ibu, maka pindah kepada bibi dari saudara perempuan ayah. Bila semua ini tidak ada, maka hakim bisa menyerahkan hadhanah sang anak kepada seorang wanita lain yang dilihatnya tepat, walaupun tidak mempunyai hubungan keluarga dengan anak tersebut sampai usia tertentu (tujuh tahun menurut para fuqaha’, dua belas tahun menurut Kompilasi Hukum Islam). Sekiranya tidak ada lagi karib kerabat perempuan, hadhanah dapat diserahkan kepada karib kerabat laki-laki. Uruturutan pemegang hadhanah seperti ini, setahu penulis, belum pernah diputuskan di Penadilan Agama. Maksud dari urut-urutan ini adalah agar hadhanah anak tetap bersama kerabat anak sehingga ia tidak merasa asing hidup dalam sebuah rumah tangga. Maksud kedua adalah dalam rangka menjaga sistem mahram di mana seorang insan muslim, apalagi bila nanti sudah dewasa, tidak boleh berkhalwat bersama seorang dari lain jenis yang bukan dari mahramnya. Persoalan yang sama juga berlaku untuk anak angkat menurut hukum Islam yang tinggal
35
bersama keluarga angkatnya, yang nota bene sebenarnya adalah orang asing (ajnabi). Pada saat memutuskan perkara hakim wajib memahami, menggali dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hakim juga memiliki kebebasan untuk melakukan ijtihad dalam pengambilan putusan. Di
dalam
putusan
hakim
Pengadilan
Agama
Pekalongan
No.0123/Pdt.G/2013/PA.Pkl tentang Hak Asuh Anak yang Belum Mumayyiz yang menetapkan bahwa hak asuh anak yang belum mumayyiz diberikan kepada pemohon (ayah). Meskipun di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menentukan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, namun sejak tahun 2006 sampai dengan perkara permohonan cerai talak ini masih berlangsung di Pengadilan Agama Pekalongan, anak pemohon dan termohon yang pada saat itu berusia 10 tahun berada dalam pengasuhan pemohon. Selain itu di dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menyebutkan bahwa salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permohonan orang tua yang lain. Alasan-alasan di atas menjadi sangat kuat karena diperkuat oleh keterangan para saksi saat persidangan yang mengatakan bahwa pemohon adalah orang yang sabar, telaten, perhatian terhadap anak, mempunyai
36
pekerjaan, berpenghasilan tetap serta mempunyai kemampuan untuk tugas pengasuhan anak. Berdasarkan pengakuan dari ayah termohon yang pernah menikahkan termohon dengan laki-laki lain melalui telpon, walaupun secara subtantif tidak sah tetapi secara lahiriyah (de facto) termohon sudah mempunyai suami baru dan telah mempunyai anak perempuan. Dan dengan lahirnya anak termohon dengan laki-laki lain sedangkan termohon masih termohon masih terikat perkawinan yang sah dengan pemohon, hal ini menunjukkan bahwa termohon tidak amanah, tidak dapat menjaga diri. Oleh karena itu sesuai dengan syaratsyarat sebagai hadhin maka termohon tidak berhak mendapatkan hak hadhanah terhadap anak pemohon dan termohon. Pertimbangan hakim dalam memutuskan hak asuh anak jatuh kepada pemohon (ayah) karena di dalam persidangan teah dihadirkan bukti-bukti surat dan para saksi yang menguatkan keterangan pemohon. Bukti-bukti tersebut antara lain: 1. Bukti Surat a. Fotokopi Kutipan Akta Nikah No. XXX yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Pekalongan, pada tanggal 22 Sepember 2002, telah dinazegelen bermaterai cukup serta telah diperiksa dan dicocokkan dengan aslinya diberi tanda bukti P.1. b. Fotokopi
Kartu
Tanda
Penduduk
atas
nama
Pemohon
dikeluarkan oleh Kepala Dindukcapil Kota Pekalongan, tangal 6-
37
12-2012 telah dinazegelen bermaterai cukup, dicocokkan, diberi tanda bukti P.2. c. Fotokopi
Akte
Kelahiran
anak
No.
797/TP/2004
yang
dikeluarkan oleh Pemkot Pekalongan Tanggal 18 September 2004, telah dinazegelen, bermaterai cukup, dicocokkan diberi tanda bukti P.3. d. Fotokopi Surat pernyataan tentang kepulangan Termohon dalam keadaan hamil dan telah melahirkan, yang dibuat oleh termohon sendiri tanpa tanggal, dikrtahui oleh RT dan Lurah setempat, dinazegelen, bermaterai cukup, dicocokkan, diberi tanda bukti P.4. 2. Saksi-Saksi a. Saksi I, umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan XXX, bertempat tinggal di XXX Kelurahan XXX Kecamatan Pekalongan Barat, Kota
Pekalongan,
dihadapan
persidangan
memberikan
keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut: (1) Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena sebagai tetangga dan kawan kerja Pemohon; (2) Bahwa saksi mengetahui Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang menikah pada tahun 2002 yang lalu dan sampai sekarang belum pernah bercerai;
38
(3) Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon hidup bersama, sepengetahuan saksi di rumah orang tua Pemohon dan sudah dikaruniai seorang anak yang sekarang diasuh Pemohon; (4) Bahwa semula rumah tangga Pemohon dan Termohon selalu rukun dan harmonis, akan tetapi sejak tahun 2006 yang lalu dengan seijin Pemohon, Termohon kerja ke Arab Saudi sampai dengan tahun 2012, awal kepergiannya Termohon untuk membantu ekonomi keluarga, sehingga tahun pertama masih baik, kirim uang, komunikasi masih lancar, namun tahun berikutnya putus komunikasi anara keduanya; (5) Bahwa sejak 1 tahun Termohon di Arab, Pemohon dan Termohon tidak harmonis lagi, sampai kemudian tahun 2012 Temohon pulang dari Arab daalm keadaan hamil besar yang menurut pengakuan ayah termohon telah dinikahkan melalui telpon di Arab dengan orang asal Kudus; (6) Bahwa sepulang Termohon dari Arab antara Pemohon dan Termohon terjadi pertengkaran; (7) Bahwa sekarang Termohon sudah melahirkan seorang anak perempuan; (8) Bahwa, saksi telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak berperkara, dengan menasehati Pemhon tetapi tidak berhasil;
39
(9) Bahwa
menurut
saksi
Pemohon
sekarang
mepunyai
penghasilan sebagai tukang las di Toyota, orangnya sabar, perhatian, dan bisa membimbing anak, bahkan selama ditinggal Termohon, anaknya diasuh oleh Pemohon sampai saat ini;. b. Saksi II, umur 32 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS Kota Pekalongan, bertempat tinggal di XXX Kelurahan XXX, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, dihadapan persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut: (1) Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon karena sebagai kakak kandung dan masih satu rumah dengan Pemohon; (2) Bahwa saksi mengetahui Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang menikah pada tahun 2002 yang lalu dan sampai sekarang belum pernah bercerai; (3) Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon hidup bersama di rumah orang tua Termohon sebulanan, kemudian pindah ke rumah orang tua Pemohon selama 4 tahun dan telah dikaruniai 1 (satu) orang anak; (4) Bahwa semula rumah tangga Pemohon dan Termohon selalu rukun dan harmonis, akan tetapi sejak tahun 2006, atas seijin Pemohon untuk membantu ekonomi keluarga, Termohon
40
menjadi TKW di Arab, setahun pertama masih baik, kirim uang, dan komunikasi lancar, namun berikutnnya putus hubungan; (5) Bahwa pada tahun 2012 yang lalu, Termohon pulang dari Arab dalam keadaan hamil tua, menurut pengakuaannya dengan sesama pekerja asal Kudus sehingga Pemohon dan Termohon bertengkar, kemudian Termohon pulang ke rumah orang tuanya di Banyuurip; (6) Bahwa menurut ayah Termohon dia pernah menikahkan Termohon dengan orang tersebut melalui telpon; (7) Bahwa anak Pemohon dan Termohon selama ditinggalkan Termohon diasuh oleh Pemohon; (8) Bahwa Pemohon sekarang mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap, sebagai tukang las di Toyota, Pemohon orangnya sabar, telaten dan pehatian mendidk ank, sehinga patutuntuk mengasuh anaknya; (9) Bahwa saksi telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak berperkara, akan tetapi tidak berhasil;. Bahwa atas keterangan saksi-saksi tersebut, kemudian Pemohon diminta pendapatnya oleh Majelis Hakim tentang keterangan
para
membenarkan
saksi
dan
tersebut.
tidak
menerimanya.
41
merasa
Dan
kemudian
keberatan
Pemohon
serta
dapat
24