PEMBAGIAN HARTA BENDA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor : 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi syarat meraih Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh : RUSWATI NIM : E1E005004
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2010
i
SKRIPSI
PEMBAGIAN HARTA BENDA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor : 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi)
Oleh : RUSWATI NIM : E1E005004
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat meraih Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan Pada tanggal : …………………………
Pembimbing I
Pembimbing II
Pembimbing III
Trusto Subekti, S.H., M.Hum NIP. 19500410 198003 1 003
Rochati, S.H., M.Hum. NIP. 19541009 198403 2 001
Udjiati, SH.M.Hum NIP. 19490915 198003 2 001
Mengetahui, Dekan
Hj. Rochani Urip Salami, S.H.MS NIP. 19520603 198003 2 001
ii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya : Nama
: RUSWATI
NIM
: E1E005004
Judul
: PEMBAGIAN
HARTA
BENDA
BERSAMA
AKIBAT
PERCERAIAN (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor : 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi)
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang saya gunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Jika pernyataan ini tidak benar saya bersedia mempertanggung jawabkannya di depan hukum sesuai ketentuan yang berlaku.
Purwokerto,
November 2010
RUSWATI E1E005004
iii
PERSEMBAHAN
Alhamdulilah Hirobil Alamin Puji syukur aku panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas nikmat yang diberikan olehNya lah aku dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar, serta sholawat dan salam juga semoga selalu tercurah kepada murobbi Nabi Muhammad SAW sebagai Rosulullah SAW. Pada kesempatan kali ini Rus ucapkan banyak terima kasih kepada Mamah dan Bapak maafin Rus apabila selama ini banyak sekali berbuat salah, Rus belum bisa membalas segala kebaikan Mamah dan Bapak semoga karya kecil ini bisa membuat Mamah dan Bapak bahagia dan tidak lupa juga kepada keluarga besar Rus yang sudah memberi support sehingga skripsi ini akhirnya selesai juga. Terima kasih Rus ucapkan kepada Bapak Trusto Subekti, S.H.M.Hum dan Ibu Rochati SH.M.Hum terima kasih atas segala bimbingan, nasehat dan saran yang telah diberikan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Berkat Bapak dan Ibulah skripsiku dapat diselesaikan dengan baik. Rus tidak dapat membalas segala kebaikan Bapak dan Ibu semoga Alloh membalas semua kebaikan dan melimpahkan pahala atas segala kebaikan yang Bapak Ibu berikan. Amin. Kepada Kepala Desa Cihonje Kecamatan Gumelar Kabupaten Banyumas beserta perangkatnya terima kasih atas bimbingan dan pelajaran hidup yang telah Bapak Ibu berikan kepada anak-anak KKN, serta tidak lupa pula kepada Camat Gumelar, Polsek Gumelar, serta Koramil Gumelar yang telah banyak membantu baik bimbingan dibidang kemasyarakatan maupun keamanan yang telah diberikan
iv
kepada kami sehingga kegiatan KKN dapat berjalan dengan lancar dan aman. Serta anak-anak KKN Desa Cihonje, Kecamatan Gumelar Kabupaten Banyumas yang telah mendampingi dan membantu Rus dalam menjalankan tugas-tugasku selama KKN dan maafin segala kesalahan dan kekuranganku apabila selama kebersamaan kita Rus tidak dapat memberikan yang terbaik bagi teman-teman KKN semua. Teman-teman 2004, 2005 dan 2007 terima kasih atas bantuan yang diberikan kepada Rus di seminar skripsiku, dan buat teman-teman Fakultas Hukum Unsoed angkatan 2005 khususnya kelas H semoga Allah selalu memberikan kemudahan dalam setiap langkah kaki kita. Amin…
v
PRAKATA
Puji syukur kehadirat, Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PEMBAGIAN HARTA BENDA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor : 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, SH.M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Ibu Th. Sri Mayani, S.H. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata. 3. Bapak Trusto Subekti, S.H. M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, saran dan nasehat dalam penulisan skripsi ini. 4. Ibu Rochati, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, saran dan nasehat dalam penulisan skripsi ini. 5. Ibu Udjiati, S.H.M.Hum selaku Dosen Penguji. 6. Bapak Haryanto Dwi Atmojo, S.H.M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik. 7. Bapak Karim, S.H selaku Bapendik yang telah memberikan saran dengan sabar.
vi
8. Ibu Mimin selaku bagian skripsi yang telah memberikan saran dengan sabar. 9. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 10. Bapak dan Ibuku tercinta yang telah memberikan do’a, cinta dan kasih sayangnya kepada penulis. 11. Kakak-kakakku atas dukungannya. 12. Rekan-rekan semua yang telah membantu di seminar penulis. 13. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga penulis skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat.
Purwokerto,
November 2010
Penulis
vii
ABSTRAK Harta bersama menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, artinya bahwa harta yang diperoleh selama tenggang waktu antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian, harta yang telah dimiliki pada saat perkawinan berlangsung dan dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama. Ketentuan tersebut tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal, sehingga boleh kita simpulkan, bahwa termasuk dalam harta bersama adalah : a. Hasil dan pendapatan suami. b. Hasil dan pendapatan istri. c. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun isteri sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan. Tetapi pada prakteknya harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama harus dapat dibuktikan bahwa apakah harta tersebut benarbenar diperoleh selama perkawinan dan harta tersebut diperoleh atau dibeli bukan berasal dari harta pribadi milik suami atau isteri. Seperti halnya dalam kasus PEMBAGIAN HARTA BENDA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor : 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi). Pada kasus tersebut terjadinya pembagian harta benda bersama karena adanya perceraian tidak dapat dibagi antara penggugat dan tergugat hal ini dikarenakan harta yang diperoleh selama perkawinan dibeli dengan uang hasil penjualan harta pribadi miliki tergugat yang diperolehnya dengan suami yang terdahulu yang mengakibatkan pembagian harta benda bersama tersebut tidak dapat dibagi dan gugatan ditolak oleh Pengadilan Agama Ciamis. Hakim pengadilan dalam memutus perkara tersebut telah menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pertimbangan hukumnya yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 serta kompilasi hukum Islam, sehingga dasar pemikiran yuridis hakim tersebut sistematis karena menggunakan undang-undang sebagai dasar hukumnya. Kata kunci : Pembagian harta benda bersama akibat perceraian.
viii
ABSTRACT Community property pursuant to Article 35 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 is the property acquired during marriage become community property, meaning that property acquired during the grace period between when the marriage ceremony, until the marriage broke up, both lost due to death of one of them (divorce dead), or because of divorce (divorced). Thus, property owned at the time of the marriage has lasted and brought into the marriage outside the community property is situated. The provision does not specify from where or from whom such property belongs, so that we may conclude, that are included in community property are: a. Results and income husbands. b. Results and wife income. c. Results and income from personal property husband and wife even though property is not substantially included in the joint property, provided all of which was obtained during the marriage. But in practice the property acquired during marriage become community property must be proved that if the property was actually acquired during the marriage and the property is acquired or purchased is not from personal property owned by husband or wife. Just as in the case JOINT DISTRIBUTION OF PROPERTY DUE DIVORCE (Religious Studies Court Decision Against Cimahi Number: 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi). In the case of the division of joint property because of divorce can not be divided between the plaintiff and the defendant this is because the property acquired during marriage are purchased with money from the sale of personal property acquired by the defendant had a previous husband who caused the division of joint property can not be divided and the lawsuit was rejected by the religious court Ciamis. Court judges in deciding these cases have used the laws in force in its legal considerations of the Act No. 1 of 1974, Law No. 7 of 1989 and the compilation of Islamic law, so that the judge's legal rationale for using systematic laws as a legal basis. Keywords: joint distribution of property due divorce.
ix
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...............................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN.........................................................................
iii
PERSEMBAHAN....................................................................................
iv
PRAKATA ..............................................................................................
vi
ABSTRAK ..............................................................................................
viii
ABSTRACT ............................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...........................................................................................
x
BAB
PENDAHULUAN .................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah...................................................
1
B. Perumusan Masalah .........................................................
11
C. Tujuan Penelitian .............................................................
12
D. Kegunaan Penelitian ........................................................
12
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................
13
A. Perkawinan ......................................................................
13
1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan.............................
13
2. Syarat Sahnya Perkawinan .........................................
22
3. Pencatatan Perkawinan...............................................
31
4. Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan.............................
34
I
BAB II
x
B. Akibat Perkawinan...........................................................
45
1. Hak dan Kewajiban Suami Isteri ................................
45
2. Harta Benda Perkawinan ............................................
54
a. Harta Benda bersama suami isteri .........................
55
1) Istilah dan pengertian harta bersama ................
55
2) Istilah Lingkup Harta Benda ...........................
68
a) Harta yang dibeli selama perkawinan ........
73
b) Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian
yang
dibiayai
dari
harta
bersama.....................................................
69
c) Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan....................................
70
d) Penghasilan harta bersama dan harta bawaan......................................................
72
e) Segala penghasilan pribadi suami isteri .....
73
b. Harta Benda Pribadi Suami Isteri..........................
73
a) Harta Bawaan..................................................
76
b) Harta Hadiah ..................................................
77
c) Harta Warisan.................................................
77
c. Wewenang Suami Isteri Terhadap Harta Benda Perkawinan...........................................................
78
1. Wewenang suami isteri terhadap harta benda bersama ..........................................................
xi
78
2. Wewenang suami isteri terhadap harta benda pribadi ............................................................
84
d. Pembagian harta benda bersama ...........................
89
e. Jangkauan
Kewenangan
Mengadili
Perkara
Perkawinan...........................................................
95
C. Perceraian ........................................................................
100
1. Putusnya Perkawinan .................................................
100
2. Alasan-alasan Putusnya Perkawinan...........................
102
3. Akibat Putusnya Perkawinan ......................................
114
a. Terhadap harta benda perkawinan.........................
114
b. Terhadap pihak ketiga...........................................
118
1) Hutang bersama suami isteri ...........................
119
2) Hutang pribadi suami isteri .............................
121
BAB III METODE PENELITIAN.......................................................
124
A. Metode Pendekatan..........................................................
124
B. Spesifikasi Penelitian .......................................................
124
C. Objek Penelitian ..............................................................
125
D. Sumber Data ....................................................................
125
E. Teknik Pengumpulan Data ...............................................
126
F. Teknik Penyajian Data .....................................................
126
G. Analisis Data ...................................................................
127
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.......................
128
A. Hasil Penelitian................................................................
128
xii
1. Subyek Hukum...........................................................
128
2. Peristiwa Hukum........................................................
128
3. Petitum.......................................................................
135
4. Bukti-bukti.................................................................
136
5. Pertimbangan Hukum.................................................
141
B. Pembahasan .....................................................................
145
1. Kewenangan mengadili Pengadilan Agama ................
145
2. Dasar Pemikiran Yuridis Hakim dalam Memutus
BAB V
Perkara Pembagian Harta Benda Bersama ..................
153
PENUTUP.............................................................................
182
A. Simpulan ..........................................................................
182
B. Saran ................................................................................
183
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan cara manusia untuk meneruskan keturunan, hal ini sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berakal, dengan akal yang dimiliki manusia, hubungan dua jenis yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan atas dasar cinta dan kasih sayang dipersatukan dengan suatu perkawinan. Dengan perkawinan yang sah hubungan laki-laki dan perempuan serta keturunan yang dilahirkan diakui kedua belah pihak serta mempunyai kedudukan yang terhormat sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk Tuhan yang berkehormatan oleh karena itulah Tuhan menciptakan hukum-hukum atau aturan-aturan mengenai perkawinan sejak manusia diciptakan sebagai dasar landasan manusia dalam menjalin hubungan antara dua manusia yang berbeda jenis. Hal ini tercantum dalam firman Alloh SWT Al Qur’an surat Al Ruum ayat 21 yang artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya (sakinah) dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih sayang (mawaddah) dan santun menyantuni (ramah). Sesungguhnya keadaan yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir.1 Berdasarkan surat Al Qur’an tersebut di atas, berarti bahwa Alloh SWT telah menggariskan aturan-aturan perkawinan bahwa perkawinan yang dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan itu haruslah untuk selama1
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Ind Hillco, Jakarta, 1988, halaman 11.
2
lamanya langgeng, penuh kebahagiaan lahir bathin, kebahagiaan rohani dan jasmani baik moril maupun spiritual dilandasi dengan hubungan suami isteri yang maktuf, sakinah, mawadah dan rahman. Selain aturan-aturan perkawinan yang digariskan oleh sang pencipta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu adanya suatu peraturan mengenai perkawinan yang tentunya tidak terlepas dari aturanaturan sang kholiknya sebagai landasan fundamental, oleh karenanya setiap negara mempunyai aturan sendiri-sendiri mengenai perkawinan yang berbedabeda mengenai prinsip, maupun asas-asasnya hal ini sesuai dengan ajaran agama yang dianut oleh warga negara tersebut. Demikian pula di Indonesia dengan warga negara mayoritas beragama Islam, sehingga mempunyai prinsip dan asas-asas yang berbeda pula dengan negara lain. Guna mengatur tata tertib perkawinan di Indonesia diperlukan adanya suatu peraturan yang berisi kaidah-kaidah hukum yang sekaligus dapat menampung prinsip-prinsip serta dapat dijadikan landasan dan pedoman hukum dibidang perkawinan serta berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia dalam suatu aturan yang tertulis yaitu aturan yang berbentuk undang-undang mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
2
R. Subekti dan R. Tjitrosubidio, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, halaman 537.
3
Dari rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengandung pengertian dan tujuan perkawinan. Pengertian perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita. Sebagai suami isteri yang berarti bahwa menurut Undang-Undang ini perkawinan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, tentulah tidak dinamakan perkawinan apabila yang terikat dalam perjanjian itu dua orang pria saja (homo seksual) atau dua orang wanita saja. Juga tidaklah merupakan perkawinan bila dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita.3 Sedangkan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya bahwa perkawinan itu bertujuan untuk selama-lamanya kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu ikatan perkawinan akan memunculkan status suami istri bilamana suatu ikatan perkawinan didasarkan pada suatu perkawinan yang sah yaitu suatu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan peraturan pemerintah no. 9 tahun 1975. Menurut undang-undang perkawinan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.4
Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut : Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan 3 4
M. Idris Ramulyo, Op.cit, halaman 53. Sormiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Liberty, Yogyakarta, 1982, halaman 79.
4
kepercayaannya itu, sesuai dengan undang-undang dasar 1945. yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dalam penjelasan pasal di atas bahwa suatu perkawinan yang dilakukan haruslah didasarkan atas hukum agama dan kepercayaannya, sehingga tidak ada perkawinan yang dilakukan dengan melanggar hukum agama dan kepercayaan itu. Hal ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan hukum agama, dengan sendirinya menurut undang-undang perkawinan dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. Akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan yang sah adalah terhadap hubungan suami isteri, anak-anak yang dilahirkan serta terhadap harta benda perkawinan baik yang diperoleh sebelum ataupun selama perkawinan dilangsungkan. Akibat hukum perkawinan yang sah terhadap harta benda perkawinan menurut Undang-undang. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 35 mengatur mengenai harta benda perkawinan yaitu sebagai berikut : (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
5
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.5 Pengertian harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak ditentukan secara tegas namun demikian dari bunyi Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan harta benda perkawinan adalah semua harta benda yang dikuasai suami isteri selama perkawinan berlangsung baik berupa harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung baik berupa harta bersama yang diperoleh selama perkawinan maupun harta pribadi suami isteri yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung yang berupa harta bawaan, harta hadiah dan atau harta warisan. Harta bersama suami isteri dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 seperti di atas bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, mengandung arti bahwa harta yang diperoleh selama tenggang waktu antara saat perkawinan diresmikan sampai perkawinan terputus baik terputus karena kematian salah seorang diantara suami isteri (cerai mati) maupun putus karena perceraian (cerai hidup) menjadi harta bersama. Dengan demikian, harta yang telah ada atau dimiliki suami maupun isteri sebelum perkawinan tidak termasuk ke dalam harta bersama. Ketentuan tersebut di atas tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal dan dengan cara apa diperoleh baik diperoleh
5
R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, Op.cit, halaman 548.
6
secara bersama-sama maupun diperoleh secara sendiri-sendiri suami isteri sehingga dapat disimpulkan bahwa yang termasuk harta bersama adalah : a. hasil dari pendapatan suami b. hasil dari pendapatan isteri c. hasil dari pendapatan harta pribadi suami maupun isteri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan.6 Terhadap harta benda bersama suami isteri yang diperoleh selama perkawinan baik suami maupun isteri mempunyai kewenangan yang sama dalam pemanfaatan untuk memenuhi kehidupan rumah tangga demikian pula apabila antara suami isteri terjadi perceraian baik karena meninggalnya salah satu pihak suami atau isteri (cerai mati) maupun karena perceraian (cerai hidup) maka terhadap harta bersama mempunyai hak yang sama dalam pembagian harta bersama. Pembagian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing hal ini tercantum dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut : Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.7 Dari bunyi pasal di atas yang dimaksud “hukumnya masing-masing” menurut penjelasan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah hukum masing-masing suami isteri yang melangsungkan perkawinan yaitu menunjuk pada hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
6 7
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, halaman 189. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit., halaman 548.
7
Hal ini berarti pembagian harta bersama diatur sesuai dengan hukum yang dianut oleh suami isteri tersebut. Apabila suami isteri tunduk terhadap hukum agama maka penyelesaian pembagian harta bersama dibagi menurut hukum agama suami isteri apabila hukum agama suami isteri tidak mempunyai aturan mengenai harta bersama maka dapat diperlakukan menggunakan hukum adat suami isteri namun apabila suami isteri berbeda agama dan berbeda hukum adatnya dapat diselesaikan dengan hukum-hukum lainnya seperti yang diatur dalam hukum barat atau berpatokan pada kitabkitab Undang-Undang hukum perdata. Sebatas dalam ketentuan yang dimuatkan dalam perjanjian yang dimaksudkan dalam Pasal 35 ayat (2) yaitu sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini maksudnya adalah untuk membuka kemungkinan hukum lain dari pada “hukum agama” dan “hukum adat” untuk pengaturan “harta bersama”, misalnya dalam hukum perdata barat (BW) yang kemudian di Indonesia menjadi KUH Perdata bagi pengaturan “harta bersama” orang-orang golongan timur asing Tionghoa. Orang-orang golongan Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan mereka yang berada di Indonesia. Terbukanya hukum lain dari pada hukum agama dan hukum adat bagi pengaturan harta bersama ini adalah untuk menghindari terjadinya kevakuman hukum dalam tatanan hukum di Indonesia (Rinduan Syahrani, 1978 : 29). Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri mengenai pembagian harta bersama, maka suami isteri dapat menuntut haknya dengan mengajukan
8
gugatan kepada pengadilan yang berwenang, yaitu bagi orang Islam berdasarkan Pasal 63 butir a Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 49 UU Nomor 7 tahun 1989 tentang pengadilan agama serta pasal 88 kompilasi hukum Islam gugatan diajukan ke pengadilan agama, sedangkan bagi non muslim ke pengadilan negeri Pasal 63 butir b Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Mengenai tata cara pengajuan tuntutan hak atas pembagian harta bersama Pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 menentukan bahwa : Permohonan atau gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.8 Dari pasal-pasal tersebut diatas, Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 sebenarnya telah memberikan hak pilih bagi pemohon atau tergugat, apakah ia akan menggabungkan gugatan atau permohonan perceraiannya dengan pembagian harta bersama atau ia akan menggugatnya tersendiri setelah putusan perceraian berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya dua cara pengajuan gugatan atau permohonan yang diajukan bersama-sama atau setelah putusan perceraian berkekuatan hukum tetap tidak akan terpengaruh. Hasil putusan yang dimohonkan atau yang diajukan kepada pengadilan yang berwenang.
8
H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1978, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, halaman 271.
9
Pelaksana kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan, terdiri dari badan-badan kehakiman atau badan-badan peradilan yang diatur menurut undang-undang, yaitu UU No. 14 Tahun 1970 sebagai UU Pokok Kekuasaan kehakiman dalam Bab II Pasal 10 UndangUndang ini menetapkan bahwa : Kekuasaan kehakiman dilakukan lingkungan : a. Peradilan umum b. Peradilan agama c. Peradilan militer d. Peradilan Tata Usaha Negara.9
oleh
pengadilan
dalam
Dengan adanya empat lingkungan peradilan sebagai pelaksana fungsi dan kewenangan kekuasaan kehakiman maka dapat diadakan pembagian batas antara masing-masing lingkungan peradilan ditentukan oleh bidang antara masing-masing lingkungan peradilan ditentukan oleh bidang yuridiksi yang di atur oleh undang-undang. Dalam batas-batas yurisdiksi tersebut masingmasing melaksanakan fungsi kewenangan mengadili yang dijalankan oleh hakim selaku pejabat yang bertugas menjalankan fungsi peradilan. Dalam rangka menjalankan fungsi peradilan, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki atau memeriksa apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan penggugat benar-benar terjadi atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus dibuktikan oleh para pihak yang berperkara. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian. Pembuktian artinya suatu perbuatan untuk menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-
9
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, halaman 100.
10
dalil yang dikemukakan di depan sidang pengadilan dalam suatu sengketa dengan menggunakan alat bukti yang sah menurut undang-undang untuk menemukan suatu fakta dalam peristiwa konkrit.10 Terungkapnya suatu fakta dalam peristiwa konkrit hakim memutuskan sesuatu keadaan hukum dengan mengingat bahwa hukum termasuk undangundang yang bersifat umum dan tidak lengkap oleh karena itu hakim harus menkonkritisasi antara peraturan hukum atau undang-undang dengan fakta pada suatu peristiwa, dari hasil mengkonkritisasi hakim menuangkan dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan hukumnya. Pertimbangan hukum hakim berisi serangkaian konsep hukum yang diterapkan terhadap fakta-fakta hukum dalam peristiwa konkrit yang menjadi dasar pokok perkara. Misalnya pada putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor : 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi tanggal 30 Nopember 1994. Dalam perkara pembagian harta benda bersama yang diperoleh selama perkawinan antara penggugat dan tergugat berupa sebidang tanah dan bangunan yang terletak di jalan Cicukang Raya No. 9 Kabupaten Bandung. Dari perkara tersebut fakta yang harus dicari kebenarannya adalah apakah benar bahwa harta yang disengketakan para pihak merupakan objek harta benda bersama yang diperoleh selama perkawinan dengan alasan dan bukti-bukti yang dicantumkan dalam surat gugatan penggugat yang diajukan kepada pengadilan. Dari fakta-fakta itu hakim kemudian mempertimbangkan dari segala aspek hukum dan perundang-undangan yang mengatur mengenai harta benda perkawinan, dalam pertimbangannya hakim menolak gugatan
10
Ibid, halaman 102.
11
penggugat pembagian harta benda perkawinan meskipun harta yang disengketakan para pihak adalah harta yang diperoleh pada saat atau setelah adanya ikatan perkawinan antara penggugat dan tergugat namun harta sengketa bukan merupakan harta bersama yang harus dibagi dua antara penggugat dan tergugat melainkan merupakan harta pribadi milik tergugat yang tidak dapat dibagi. Melihat kasus tersebut di atas menjadi menarik untuk diteliti ketika dalam suatu putusan, pertimbangan hakim sekalipun harta sengketa merupakan harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan antara penggugat dengan tergugat tetapi bukan merupakan harta bersama yang harus dibagi dua melainkan harta pribadi milik tergugat, oleh karena itu bagaimanakah sebenarnya dasar pemikiran yuridis yang dijadikan dasar oleh hakim sehingga gugatan penggugat tidak dikabulkan dalam pembagian harta benda bersama yang diperoleh pada saat atau selama perkawinan berlangsung. Berdasarkan putusan hakim ini penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan mengangkat permasalahan ini menjadi sebuah skripsi dengan judul “PEMBAGIAN HARTA BENDA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN (Studi
Terhadap
Putusan
Pengadilan
Agama
Cimahi
Nomor
:
319/Pdt.G/1994/PA.Cmi)”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut :
12
Bagaimanakah dasar pemikiran yuridis hakim dalam memutuskan pembagian harta benda bersama
akibat perceraian dalam perkara nomor :
319/Pdt.G/1994/PA.Cmi.
C. Tujuan Penulisan Untuk mengetahui dasar pemikiran yuridis hakim dalam memutus gugatan pembagian harta benda perkawinan dalam perkara Nomor : 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi peneliti, kalangan akademisi dan masyarakat maupun tambahan wacana referensi mengenai hukum perdata terutama yang berkaitan dengan bidang perkawinan khususnya mengenai pembagian harta benda perkawinan akibat perceraian. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dipakai dalam pengambilan kebijakan oleh pihakpihak yang terkait dalam masalah perkawinan khususnya mengenai pembagian harta benda perkawinan akibat perceraian.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkawinan 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah sebagai berikut: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.11 Dari rumusan Pasal 1 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 mengandung pengertian dan tujuan perkawinan. Pengertian perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedang tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dimana dari pengertian dan tujuan perkawinan terdapat unsurunsur sebagai berikut : 1) Ikatan lahir bathin Ikatan lahir bathin mengandung arti bahwa dalam suatu ikatan perkawinan tidak cukup dengan ikatan lahir saja, akan tetapi dalam suatu ikatan perkawinan harus terdapat ikatan bathin. Jadi ikatan lahir dan ikatan bathin adalah kedua unsur yang harus ada dalam suatu
11
K. Wantjik Saleh S., Hukum Perkawinan Islam, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, halaman 14.
14
ikatan perkawinan yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena tanpa adanya ikatan lahir bathin ini suatu perkawinan tidak akan kekal bahkan suatu perkawinan tidak dapat terlaksana karena sutu ikatan bathin adalah suatu ikatan yang mendasari atau menjadi dasar dari ikatan lahir.12 Yang dimaksud dengan ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, yaitu merupakan suatu ungkapan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama-sama sebagai suami isteri. Jadi ikatan lahir ini diwujudkan dengan adanya hubungan hukum yang merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata baik bagi yang mengikatkan dirinya (bagi suami isteri) maupun bagi orang lain (keluarga) ataupun masyarakat.13 Sedang yang dimaksud dengan ikatan bathin adalah hubungan atau pertalian jiwa antara seorang pria dengan seorang wanita yang didasari atas rasa saling sayang menyayangi, cinta mencintai dan saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan bathin ini merupakan ikatan yang tidak dapat dilihat tidak nyata atau ikatan yang tidak formil, namun demikian ikatan ini harus ada, karena tanpa adanya ikatan bathin maka ikatan perkawinan akan mudah rapuh dan rentan terjadinya perceraian. Sehingga dengan
12 13
Ibid, halaman 15. Loc.cit.
15
terjalinnya ikatan lahir dengan ikatan bathin diharapkan dapat membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.14 2) Antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri Perkawinan hanya dapat terjadi antara seorang pria dan seorang wanita, artinya perkawinan hanya dapat dilakukan antara seorang berjenis kelamin laki-laki dan seorang berjenis kelamin wanita, perkawinan selain antara seorang berjenis kelamin laki-laki dengan seorang berjenis kelamin perempuan bukanlah perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Misalnya perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang laki-laki, antara seorang wanita dengan seorang wanita. Kata atau istilah seorang berarti perkawinan menganut azas monogami
sebagaimana
diamanatkan
dalam
undang-undang
perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Asas monogami ini maksudnya adalah seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami.15 Ikatan antara seorang pria dan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami isteri yaitu bilamana suatu ikatan perkawinan didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Suatu perkawinan yang sah adalah bilamana dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
14 15
Loc.cit Soemiyati, Op.cit, halaman 77.
16
3) Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal Dengan adanya perkawinan, maka satu keluarga kecil telah terbentuk, terbentuknya keluarga menjadi ideal manakala adanya keturunan (anak). Dikatakan ideal karena dalam keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak, namun jika dalam ikatan perkawinan tidak adanya keturunan maka keluarga itu tetap terbentuk. Suatu keluarga dikatakan sempurna mana kala suatu keluarga sudah membentuk rumah tangga dimana rumah adalah tempat tinggal yang tetap untuk anggota keluarga dimana ayah, ibu dan anak-anak berkumpul bersama, dan saling membantu dan melengkapi antara suami istri serta mencapai kesejahteraan baik material maupun spiritual dan mampu melengkapi segala kebutuhan rumah tangga, pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan tanggung jawab orang tua, maka untuk dapat tercapainya tujuan perkawinan, perkawinan itu harus berlangsung seumur hidup, sehingga perkawinan tidak dapat diputuskan begitu saja dan perceraian adalah merupakan jalan terakhir apabila jalan lain sudah ditempuh.16 4) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja
16
Ibid, halaman 78.
17
mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur bathin atau rohani, juga mempunyai peran yang sangat penting.17 Ini berarti mengandung pengertian yang membedakan antara perkawinan manusia dengan perkawinan hewan, dimana perkawinan hewan hanya untuk memenuhi unsur jasmani dan memenuhi hasrat birahi, namun pada perkawinan manusia selain unsur jasmani juga unsur rohani dimana dalam suatu perkawinan unsur rohani adalah sebagai dasar untuk membentuk
perkawinan seumur hidup, kekal
sehingga perkawinan tidak terjadi kawin cerai, dan juga rohani disini adalah dalam jiwa menganut suatu agama yang sebagai unsur utama untuk pembentukan rumah tangga, pondasi yang utama, pengendali hawa nafsu, dan agama sebagai pendidik bagi generasi penerus (keturunan / anak) untuk menjadi lebih baik / saleh. Sedangkan Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti menjazi (mathaporic) atau arti hukum adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami isteri antara seorang pria dengan seorang wanita. Jadi akad berarti perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk keluarga bahagia dan kekal (abadi).18
17
R. Soetojo Prawiro Hamidjojo dan R. Soebijono Tjirowinoto, Pluralisme dalam Perundangundangan Perkawinan Indonesia, Airlangga University, Surabaya, 1994, halaman 43. 18 M. Idris Ramulyo, Op.cit, halaman 1.
18
Sedangkan menurut Soemiyati yang dimaksud dengan tujuan perkawinan adalah : Untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah.19 Dari rumusan tujuan perkawinan di atas dapat dirinci sebagai berikut : a.
Menghalakan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.
b.
Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih.
c.
Memperoleh keturunan yang sah. Menurut filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan
faedah perkawinan dalam lima hal yaitu sebagai berikut : a.
Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
b.
Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
c.
Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
d.
Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
19
Soemiyati, Op.cit, halaman 12.
19
e.
Menumbuhkan
kesungguhan
berusaha
mencari
rezeki
penghidupan yang khalal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.20 Menurut pengertian perkawinan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan yang dilaksanakan bertujuan untuk membentuk keluarga serta mendirikan (membangun) rumah tangga yang bahagia dan kekal untuk selama-lamanya berdasarkana Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah mensahkan persekutuan antara pria dan wanita, serta untuk menumbuhkan cinta kasih antara yang satu dengan yang lain dan mewajibkan yang satu menjadi teman hidup bagi yang lainnya. Sedangkan secara terperinci tujuan perkawinan adalah : a.
untuk memperoleh keturunan Memperoleh keturunan dalam kehidupan manusia itu mengandung 2 segi kepentingan yaitu kepentingan diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum. Sudah menjadi kodrat manusia, bahwa
manusia
mempunyai
keinginan
untuk
memperoleh
keturunan. b. untuk memenuhi nalurinya sebagai manusia Adalah sudah menjadi sifat manusia, bahwa manusia dengan jenis kelamin yang berlainan saling mengandung daya tarik
20
M. Idris Ramulyo, Op.cit , halaman 27.
20
antara yang satu dengan yang lain, yaitu daya tarik birahi atau sexual. c.
memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan Salah satu faktor yang banyak menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan kejahatan dan kerusakan ialah pengaruh nafsu birahi atau sexual. Bila hawa nafsu ini tidak dapat dikendalikan, dan tidak ada pula saluran yang sah untuk memenuhi hajat sifat kemanusiaan, maka manusia akan mencari kepuasan dengan cara yang tidak sah, sehingga nafsu ini menghilangkan pertimbangan dan pikiran, yang membuka lebar jurang kejahatan dan kerusakan.
d. membentuk dan mengatur rumah tangga Rumah tangga merupakan landasan pertama masyarakat yang besar, di atas dasar kecintaan dan kasih sayang. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang kokoh yang menjalin suami istri, yang tadinya tiada ikatan, baik pertalian darah maupun pertalian keturunan, menjadi satu persekutuan hidup yang begitu kokoh. Unsur yang mengikat tali perhubungan tersebut ialah kecintaan dan kasih sayang. e.
menumbuhkan aktivitas dalam berusaha mencari rezeki yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab Dipandang dari segi hukum perkawinan merupakan suatu
perjanjian yang dinyatakan bahwa ”perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat” disebut dengan kata ”mitsaagaan gholizhaan”. Oleh karena
21
itulah suatu perkawinan dipandang sebagai suatu perjanjian dengan alasan sebagai berikut : a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan rukun atau syarat tertentu. b. Cara memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemudian fassakh, syikad dan lain sebagainya.21 Perjanjian dalam perkawinan mempunyai tiga karakter yang khusus yaitu sebagai berikut : a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak. b. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan
perkawinan
untuk
saling
mempunyai
hak
untuk
memutuskan perjanjian perkawinan berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya. c. Persetujuan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.22 Dari ketiga karakter khusus tersebut diatas, hal inilah yang membedakan antara persetujuan perkawinan dengan persetujuan-persetujuan yang lain (persetujuan pada umumnya), misal : persetujuan jual beli, sewa menyewa, utang piutang, tukar menukar dan persetujuan-persetujuan yang lain. Perbedaan antara persetujuan perkawinan dengan persetujuan lainnya 21 22
Ibid, halaman 16. Soemiyati, Op.cit, halaman 10.
22
dikarenakan para pihak pada pokoknya dalam persetujuan bias dapat dengan bebas untuk menentukan sendiri mengenai isi dari persetujuan yang dibuat oleh para pihak, asal persetujuan yang dibuat tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Namun sebaliknya dalam suatu persetujuan perkawinan isi dari persetujuan perkawinan sejak semula sudah ditentukan oleh hukum23 artinya apabila seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain berarti mereka (suami isteri) saling berjanjia akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak masing-masing suami isteri selama dan sesudah hidup bersama sebagai suami isteri, mengenai kedudukan suami isteri serta anak-anak dari keturunannya dalam masyarakat, dan juga dalam hal suatu persetujuan perkawinan dihentikan karena perceraian suami isteri itdak leluasa penuh untuk menentukan sendiri mengenai syarat-syarat untuk menghentikan persetujuan perkawinan, melainkan harus taat dan terikat pada hukum yang berlaku mengenai hal itu. 2. Syarat Sahnya Perkawinan Suatu ikatan perkawinan akan memunculkan status suami istri bilamana suatu ikatan perkawinan didasarkan pada suatu perkawinan yang sah yaitu suatu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Menurut Undang23
Prodjodikoro R. wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Cetakan Keenam, 1994, halaman 8.
23
Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa :Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.24
Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut : Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dalam penjelasan pasal di atas bahwa suatu perkawinan yang dilakukan haruslah didasarkan atas hukum agama dan kepercayaannya, sehingga tidak ada perkawinan yang dilakukan dengan melanggar hukum dan kepercayaan itu. Hal ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan hukum agama, dengan sendirinya menurut undang-undang perkawinan dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. 1) Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa : “Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai”. Dalam penjelasan pasal ini, dijelaskan bahwa “karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat
24
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit, halaman 538.
24
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Yang dimaksud dengan persetujuan dalam pasal ini yaitu bahwa perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan kehendak bebas calon mempelai pria maupun calon mempelai wanita untuk melaksanakan perkawinan. Persetujuan atau kesukarelaan kedua belah pihak untuk melaksanakan perkawinan adalah merupakan syarat yang fundamen untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, sesuai dengan tujuan perkawinan yang diamanatkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. 2) Adanya ijin dari kedua orang tua atau wali Ijin ini hanya diperlukan bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun, hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: ”untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua”. Mengenai perlunya ijin dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan adalah erat sekali hubungannya dengan pertanggungan jawaban orang tua dalam pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tua secara susah payah dalam membesarkan anak-anaknya. Sehingga kebebasan yang ada pada si anak untuk menentukan pilihan calon
25
suami atau isteri jangan sampai menghilangkan fungsi tanggungjawab orang tua. Pasal 6 ayat (3) menyatakan bahwa: “Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya”.25 Menurut Soemayati mengatakan bahwa apabila salah seorang dari kedua orang tua dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya karena disebabkan: (1) Karena dibawah kuratele (2) Atau sakit ingatan (3) Tempat tinggalnya tidak diketahui, maka ijin cukup diberikan oleh satu pihak saja yang mampu menyatakan kehendaknya. (Pasal 6 ayat 3 UU No. 1 Tahun 1974).26 Pasal 6 ayat (4) menyatakan bahwa: “Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya”.27
25
Ibid, halaman 539. Soemiyati, Op.cit, halaman 70. 27 Prof. R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit, halaman 540. 26
26
Dari rumusan Pasal 6 ayat 4 Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dapat disimpulkan bahwa yang berhak memberi ijin adalah sebagai berikut: (1) Wali yang memelihara calon mempelai (2) Atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Pasal 6 ayat (5) adalah sebagai berikut: “Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini”. Dari bunyi pasal-pasal tersebut di atas sebetulnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) sampai dengan ayat (5) tersebut hanya berlaku bagi mereka yang agama dan kepercayaannya tidak menentukan lain, bagi mereka yang beragama Islam oleh karena hukum Islam telah mengatur mengenai susunan perwalian dalam perkawinan
maka
ketentuan-ketentuan
dalam
undang-undang
perkawinan ini tidak berlaku bagi mereka, sepanjang ketentuanketentuan itu tidak bertentangan dengan ketentuan susunan perwalian menurut hukum Islam, akan tetapi jika ketentuan ini dihubungkan
27
dengan Pasal 6 ayat (6), maka ketentuan ini tidak bertentangan dengan hukum Islam sebab dalam Pasal 6 ayat (6) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa: ketentuan tersebut pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal 6 ini hanya berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 3) Usia calon mempelai sudah mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai umur 16 tahun Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.28 Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih dibawah umur
atau
perkawinan
anak-anak
karena
perkawinan
yang
dilaksanakan pada umur anak-anak banyak mengakibatkan perceraian dan perkawinan ini tidak sesuai dengan tujuan perkawinan. Oleh karena itu suatu perkawinan harus dilakukan oleh mereka yang sudah matang baik dari biologis maupun spikologis. Namun demikian undang-undang perkawinan memberikan kelonggaran untuk terjadinya perkawinan yang menyimpang dari ketentuan Pasal 7 ayat (1) di atas, penyimpangan syarat perkawinan mengenai batas umur kedua calon
28
Loc.cit
28
mempelai tersebut diatas dalam Pasal 7 ayat (2) undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut : Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.29 Dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menentukan batas usia perkawinan hal ini lain halnya dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam batas umur untuk melaksanakan perkawinan tidak disebutkan dengan pasti, hanya disebutkan bahwa baik pria maupun wanita supaya sah melaksanakan akad nikah harus sudah “baliqh” (dewasa) dan mempunyai kecakapan sempurna”.30 Dari ketentuan pasal-pasal tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat melangsungkan suatu perkawinan baik pria maupun wanita harus sudah dewasa dalam arti biologis dan sudah matang jiwanya, jadi walaupun hukum Islam tidak menyebutkan secara pasti batas umur tertentu ini tidak berarti bahwa hukum Islam membolehkan perkawinan pada umur dini. Menurut hukum Islam suatu perkawinan yang dilaksanakan dengan maksud menyimpang dari tujuan perkawinan yang sebenarnya merupakan perkawinan yang dilarang, oleh karena itu perkawinan harus dilaksanakan pada batas umur tertentu dimana seorang sudah dianggap dewasa dan matang jiwanya dan perkawinan dibawah umur 29 30
Loc.cit Soemiyati, Op.cit, halaman 71.
29
sudah sepatutnya dilarang. Dengan demikian ketentuan batas umur dalam undang-undang perkawinan adalah sejalan dengan batas umur menurut hukum Islam. 4) Aturan calon mempelai pria dengan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah yang tidak boleh kawin Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 8 ditentukan adalah sebagai berikut:31 a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu / bapak tiri. d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
31
R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit, halaman 541.
30
Jadi apabila salah satu calon pengantin masih memiliki hubungan persaudaraan seperti di atas maka ia tidak dapat melangsungkan perkawinan atau perkawinan tidak dapat dilaksanakan karena salah satu syarat tidak terpenuhi. 5) Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain Syarat ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut : Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini.32 6) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. (Pasal 10 Undang-Undang No 1 Tahun 1974). Dalam hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal ini yaitu sebagai berikut : “Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka sesuatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain”. 32
Loc.cit
31
7) Tidak berada dalam waktu tunggu bagi mempelai wanita yang janda Waktu tunggu seorang janda yang akan kawin lagi ditentukan waktu tunggu selain diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga diatur dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 waktu tunggu tersebut diatur sebagai berikut : (1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) undang-undang ditentukan sebagai berikut : a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari dihitung sejak kematian suami. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kuranganya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. (2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. 3. Pencatatan Perkawinan Disamping ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1), bahwa sahnya perkawinan adalah ditentukan oleh agama dan kepercayaan masing-
32
masing, maka menurut Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.33 Dalam penjelasan umum dikatakan bahwa: Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Dari rumusan Pasal 2 ayat (2) dan Penjelasan Umum dalam undangundang ini dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar yang khusus disediakan sehingga apabila sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana perlu dan dapat dipakai sebagai alat bukti yang otentik, dan dengan surat bukti dapat dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain. Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan benar-benar terjadi semata-mata bersifat administratif. Pelaksanaan pencatatan perkawinan diatur dalam Bab II PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 yaitu sebagai berikut:
33
Ibid, halaman 538.
33
a. Instansi atau lembaga yang melaksanakan pencatatan perkawinan Menurut Pasal 2 Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan mengenai instansi yang melaksanakan perkawinan adalah sebagai berikut: (1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. (2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.34 Dari rumusan Pasal 2 ayat (1) dan (2) di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa instansi yang melaksanakan perkawinan adalah dibedakan bagi warga negara yang beragama Islam dan non Islam yaitu sebagai berikut: (1) Bagi mereka yang beragama Islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai pencatat nikah talak dan rujuk. (2) Bagi mereka yang beragama non Islam, pencatatannya dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil atau instansi pejabat yang membantunya.
34
Ibid, halaman 560.
34
b. Tata cara pencatatan perkawinan Tata cara pencatatan perkawinan harus dilakukan berdasarkan: 1) Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu sebagai berikut: a) Pasal 3 (1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya
itu
kepada
pegawai
pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurangkurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. (3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala Daerah. b) Pasal 4 Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau walinya. c) Pasal 5 Pemberitahuan memuat nama, umur, agama / kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
35
d) Pasal 6 (1) Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang. (2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai pencatat meneliti pula: (a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu. (b) Keterangan mengenai nama, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai. (c) Izin tertulis / izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun. (d) Izin pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 UndangUndang dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri.
36
(e) Dispensasi pengadilan / pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang. (f) Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian, surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih. (g) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai
atau
keduanya
anggota
Angkatan
Bersenjata. e) Pasal 7 (1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukan untuk itu. (2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya. f) Pasal 8 Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan
pengumuman
tentang
pemberitahuan
37
kehendak
melangsungkan
perkawinan
dengan
cara
menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. g) Pasal 9 Pengumuman ditandatangai oleh pegawai pencatat dan memuat: (a) Nama, umur, agama / kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu. (b) Hari,
tanggal,
jam
dan
tempat
perkawinan
akan
dilangsungkan.35 2) Ketentuan-ketentuan khusus yang diatur dalam berbagai peraturan, yang merupakan pelengkap bagi Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu : a) Undang-undang Nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk (LN 1954 No. 98) dan beberapa peraturan menteri agama yang berhubungan dengan hal tersebut.
35
Ibid, halaman 563.
38
b) Reglement catatan sipil bagi orang Indonesia yang beragama Kristen di Jawa, Madura, dan Minahasa dan sebagainya (Stb. 1917 No 73 yo. 1936 no 607 dengan segala perubahannya). c) Reglement catatan sipil bagi golongan eropah yang disamakan (Stb. 189 No 25). d) Reglement catatan sipil untuk golongan cina (Stb. 1917 No 130 Yo : 1919 No 81 dengan segala perubahannya). e) Daftar catatan sipil untuk perkawinan campuran (Stb. 1904 No 279). Dari tujuan pencatatan di atas terdapat kegunaan pencatatan perkawinan baik bagi kedua belah pihak yang melaksanakan perkawinan itu baik di dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya dengan dimilikinya akta perkawinan sebagai bukti tertulis yang otentik, seorang suami tidak mungkin mengingkari isterinya demikian juga sebaliknya seorang isteri tidak mungkin mengingkari suaminya. Kegunaan atau manfaat pencatatan perkawinan yaitu sebagai berikut : (1) Bagi suami isteri dalam kehidupan pribadinya Dengan dimilikinya akta perkawinan sebagai bukti tertulis yang otentik, seorang suami tidak dapat mengingkari isterinya demikian juga sebaliknya seorang isteri tidak dapat mengingkari suaminya.
39
(2) Bagi suami isteri dalam hidup bermasyarakat Dengan dimilikinya akta perkawinan seorang pegawai negeri dapat menuntut berbagi tunjangan, misalnya tunjangan isteri, tunjangan anak dan atau tunjangan lain yang berhubungan dengan perkawinan. Dalam
kehidupan
bermasyarakat
pada
umumnya
suatu
perkawinan dipandang sebagai perkawinan yang sah apabila perkawinan itu dicatatkan, tanpa adanya pencatatan dalam perkawinan pada masyarakat jawa suatu perkawinan tersebut dipandang sebagai perkawinan yang tidak sah. Berdasarkan
hal-hal
tersebut
di
atas
maka
pencatatan
perkawinan adalah suatu perbuatan yang harus dilaksanakan karena dalam kenyataannya pencatatan perkawinan lebih banyak mendatangkan kebaikan daripada kerusakan dalam hidup bermasyarakat sehubungan dengan itu maka keharusan mencatat perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dirumuskan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang perkawinan adalah suatu keharusan. 4. Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Menurut Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.36
36
Ibid, halaman 541.
40
Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa hal-hal dalam undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah karena itu tata cara pelaksanaan perkawinan secara umum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 12 yaitu sebagai berikut: a) Pasal 10 Ayat (1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini. Ayat (2) Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. Ayat (3) Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masingmasing
hukum
agamanya
dan
kepercayaannya
itu,
perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. b) Pasal 11 Ayat (1) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
41
Ayat (2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan
perkawinan
menurut
agama
Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Ayat (3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. c) Pasal 12 Akta perkawinan memuat : (a) Nama, tanggal dan tempat lahir, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu. (b) Nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka. (c) Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang. (d) Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UndangUndang. (e) Izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang. (f) Perjanjian sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) UndangUndang.
42
(g) Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh menteri HANKAM / PANGAB bagi anggota angkatan bersenjata. (h) Perjanjian perkawinan apabila ada. (i) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam. (j) Nama, umur, agama / kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. d) Pasal 13 Ayat (1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua) helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada. Ayat (2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan. Khusus bagi mereka yang beragama Islam, sesuai dengan penjelasan Pasal 12, maka mereka dalam melaksanakan perkawinan tetap mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Yo Undang-Undang No 32 Tahun 1954, dan pelaksanaan selanjutnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 ini telah diatur dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1955. Adapun ketentuan mengenai tatacara pelaksanaan perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 pada dasarnya adalah sebagai berikut:
43
a) Mereka yang hendak melakukan pernikahan harus membawa surat keterangan dari kepala kampung atau kepala desa masing-masing (Pasal 3.P. Menag No. 1 Tahun 1955). b) Orang yang melakukan perkawinan harus lebih dulu menyampaikan kehendak mereka itu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum akad nikah dilangsungkan. Pemberitahuan itu disampaikan kepada pegawai pencatat nikah atau kepada P3 NTR di wilayah tempat akan dilangsungkan perkawinan (Pasal 5 Peraturan Menteri Agama No 1 Tahun 1955). c) Pemberitahuan itu dapat dilakukan dengan lisan oleh calon suami dan calon isteri atau oleh wakil mereka yang sah. d) (1) Pegawai
pencatat
nikah
membuat
pengumuman
tentang
pemberitahuan kehendak untuk melaksanakan pernikahan tersebut dengan jalan menempelkannya. (2) Penempelan pengumuman harus ada tempat-tempat yang mudah dibaca orang. (3) Lama berlakunya penempelan pengumuman kehendak nikah boleh kurang dari 10 hari, artinya sebelum lewat 10 hari tidak boleh dilepas atau dirobek. (4) Pengumuman itu dapat dilakukan di mesjid waktu penduduk setempat sedang berkumpul (Pasal 6 Peraturan Menteri Agama No 1 Tahun 1955).
44
e) Pegawai pencatat nikah yang menerima pemberitahuan kehendak nikah, harus memeriksa calon suami isteri dan wali yang bersangkutan tentang
kemungkinan
adanya
larangan
atau
halangan
nikah
dilangsungkan. Larangan itu baik yang berupa pelanggaran atas hukum perkawinan Islam (munakahat) atau karena melanggar peraturanperaturan negara yang berhubungan dengan pernikahan (Pasal 7 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1955). f) Pegawai pencatat nikah tidak boleh melangsungkan akad nikah sebelum hari ke sepuluh terhitung dari tanggal pemberitahuan diterimanya dan hari waktu pemberitahuan tidak diperhitungkan (Pasal 12 ayat 1 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1955). Ketentuan di atas dapat disimpangi apabila ada alasan-alasan yang dapat dipertanggung jawabkan serta tidak mengurangi kesempurnaan ketertiban penelitian pemeriksaan yang diperlukan (Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1955). g) Akad nikah dilakukan dimuka pegawai pencatat nikah dan calon suami serta wali harus hadir sendiri pada saat akad nikah dilaksanakan (Pasal 13 Yo Pasal 15 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1955). Akad tetapi apabila suatu keadaan memaksa maka akad nikah dapat diwakili orang lain (Pasal 16 ayat (1) Peraturan Menteri Agama No 1 Tahun 1955). Tetapi wakil itu harus dikuatkan dengan surat kuasa otentik atau surat kuasa dibawah tangan yang disahkan oleh P3 NTR yang dahulu
45
memeriksa atau oleh kepala desa atau kalau bakal suami atau wali diluar negeri oleh perwakilan negara RI setempat (Pasal 16 ayat 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1955). h) (1) Akad nikah dilakukan dengan ijab kabul dihadapan pegawai pencatat nikah, harus dihadiri 2 orang saksi laki-laki muslim dan sehat akalnya serta baik tingkah lakunya dan sopan (Pasal 38 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1955). (2) Pegawai pencatat nikah harus meneliti tentang pembayaran mahar, serta pegawai pencatat nikah harus membacakan atau memeriksa persetujuan tentang taklik talak (Pasal II Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1955) (3) Pegawai pencatat nikah harus mencatat pernikahan itu dalam buku daftar nikah.
B. Akibat-akibat Perkawinan Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum yaitu hak dan kewajiban suami istri, harta benda perkawinan kedudukan anak, dan hak dan kewajiban orang tua dengan anak. 1. Hak dan kewajiban suami istri Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang mengikat antara mempelai pria dengan mempelai wanita yang melahirkan akibat hukum bagi suami istri yaitu timbulnya hak dan kewajiban bagi keduanya. Yang dimaksud dengan “hak” ialah sesuatu yang merupakan milik atau
46
dapat dimiliki oleh suami atau istri yang timbul karena perkawinan, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban ialah sesuatu yang harus dilakukan atau diadakan oleh suami atau istri untuk memenuhi hak dari pihak lain. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Pasal 30-34 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu sebagai berikut: a. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur, hal ini diatur dalam Pasal 30 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut: Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.37 Dari rumusan pasal diatas dapat diartikan bahwa suami isteri memikul kewajiban
yang luhur artinya
perkawinan
yang
dilangsungkan oleh suami isteri bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga, yaitu membentuk keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan keturunannya (anak) sehingga terwujud suatu keluarga yang bahagia dan kekal dan secara nyata dapat menegakkan kehidupan rumah tangga yang nyaman, tentram dan diharapkan dapat menjadi dasar dari suatu susunan masyarakat yang baik. Tujuan keluhuran perkawinan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang menjadi sendi struktur masyarakat terkecil,
37
Ibid, halaman 547.
47
maka untuk mencapai tujuan itu suami isteri harus saling pengertian
dan
saling
memahami
karena
masing-masing
mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda dengan demikian kerukunan rumah tangga dapat terjaga, selain itu keduanya harus berbudi pekerti yang luhur, sehingga mempunyai akhlak dan moral yang baik dalam menegakkan rumah tangga. Sehingga diharapkan menjadi dasar susunan masyarakat terkecil dan dapat mewujudkan masyarakat yang tentram dan bahagia. b. Suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang Terwujudnya suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal yang merupakan sendi dasar dari susunan masyarakat, maka antara suami isteri mempunyai kedudukan yang sama atau seimbang hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut: Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.38 Dari rumusan pasal tersebut diatas dapat diuraikan bahwa kedudukan suami isteri adalah sama, baik dalam kedudukannya sebagai manusia maupun dalam melaksanakan fungsi keluarga, dan pada dasarnya kedudukan pria dan wanita sebagai manusia adalah sama derajatnya karena sama-sama ciptaan Tuhan.
38
Loc.cit
48
Tujuan yang hendak dicapai dari Pasal 31 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 diatas adalah agar di dalam kehidupan berumah tangga tidak ada sifat dominant diantara keduanya baik dalam membina rumah tangga maupun dalam membina atau mendidik anak-anak sebagai pewaris generasi keturunan suami isteri.
Selain itu isteri dapat mempunyai
kebebasan untuk mengembangkan kecakapan dan bakat serta dapat menduduki jabatan-jabatan penting dalam masyarakat yang dulunya hanya di monopoli kaum laki-laki.
Namun meskipun
demikian seorang isteri tidak diperkenankan melalaikan kewajiban yang pokok sebagai ibu rumah tangga, karena dengan melalaikan kewajiban yang utama sebagai ibu rumah tangga, suatu rumah tangga akan hancur dan berakhir pada perceraian. c. Suami isteri mempunyai hak yang sama untuk melakukan perbuatan hukum Selain hak suami isteri adalah seimbang dalam kedudukan rumah tangga dan masyarakat, suami isteri juga mempunyai hak yang sama untuk melakukan perbuatan hukum hal ini diatur dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut: Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.39 Artinya bahwa seorang isteri yang bersuami dapat melakukan tindakan hukum dalam masyarakat tanpa bantuan
39
Loc.cit.
49
suaminya seperti sebelum dia bersuami. Jadi menurut ketentuan ini seorang isteri telah dapat dengan bebas melakukan tindakantindakan hukum yang bersangkutan dengan kegiatan ekonomi dan bisnis, tanpa perlu mendapat ijin dan bantuan suaminya. d. Suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 31 ayat (3) menyatakan bahwa: Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.40 Dari rumusan pasal diatas bahwa suami adalah kepala rumah tangga artinya bahwa secara fisik laki-laki lebih kuat dari perempuan serta keadaan jiwa laki-laki lebih stabil dari perempuan sehingga sudah sepantasnya laki-laki mempunyai beban untuk memenuhi nafkah pembiayaan kehidupan rumah tangga sesuai dengan batas kemampuannya. Suami adalah sebagai kepala keluarga hal ini mengandung beban yang harus ditanggung berupa kewajiban suami terhadap isteri untuk memenuhi segala kehidupan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dimana pemenuhan kebutuhan ini adalah kebutuhan yang berupa primer yang meliputi makanan untuk anak-anak dan isteri, pakaian, biaya pendidikan dan tempat tinggal bersama. Isteri sebagai ibu rumah tangga adalah bahwa isteri bertanggung jawab dalam pengurusan rumah tangga, mendidik dan
40
Ibid, halaman 547.
50
mengasuh anak, serta membelanjakan biaya rumah tangganya yang diusahakan suami dengan wajar dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini berarti peranan isteri dan suami adalah sejajar hanya saja keduanya menjalankan fungsi yang berbeda, dimana suami isteri adalah satu komponen yang saling berkaitan antara satu sama lainnya guna terwujudnya kehidupan keluarga atau rumah tangga yang tentram, teratur, menjalankan fungsi masing-masing tanpa adanya perselisihan. e. Tempat tinggal bersama Mengenai tempat tinggal bersama ini di perlukan agar suami isteri mempunyai tempat tinggal bersama dimana kehidupan keluarga
dan
rumah
tangga
secara
nyata
terwujud
dan
keharmonisan antara keduanya menjadi dasar dari tegaknya rumah tangga, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 32 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut: (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, (2)
Rumah
tangga kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.41 Artinya bahwa si isteri harus bertempat tinggal bersama-sama dengan suaminya atau bertempat tinggal di rumah yang disediakan suaminya, namun dalam Pasal 32 ayat (2) tempat tinggal bersama ini bukan berarti si
41
Loc.cit.
51
isteri harus bertempat tinggal pada keluarga si suami dan tidak boleh menyusahkan hati si isteri, sehingga sebaiknya si isteri pun harus dimintai persetujuan mengenai tempat tinggal bersama. Persetujuan isteri dalam menentukan tempat tinggal bersama
merupakan
bentuk
adanya
rasa
saling
hormat,
menghormati, saling berusaha mengerti satu sama lain merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan berumah tangga hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut: Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.42 Dari bunyi pasal diatas dapat diuraikan sebagai berikut: a. Antara keduanya harus saling cinta mencintai Hal
ini
sesuai
dengan
pengertian
perkawinan
bahwa
perkawinan itu tidak hanya merupakan ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang wanita tetapi juga harus ada ikatan batin antara keduanya. Ikatan batin ini diwujudkan dengan adanya saling cinta mencintai diantara suami isteri sebagai landasan fundamental dalam melaksanakan kehidupan berumah tangga. b. Harus saling hormat menghormati antara suami isteri
42
Ibid, halaman 548.
52
Bila ditinjau dari kedudukan suami isteri dalam rumah tangga dan masyarakat maupun dari segi kemanusiaan, suami isteri mempunyai kedudukan dan derajat yang sama, sehingga tidak pada tempatnya apabila salah satu pihak merendahkan derajat pihak lainnya. Kedua belah pihak harus saling menghargai sesuai dengan fungsinya masing-masing dalam rumah tangga, sesuai dengan ajaran moral agama dan tradisi budaya bangsa Indonesia
yang
berdasarkan
Pancasila,
maka
saling
menghormati itu tidak terbatas terhadap suami isteri saja akan tetapi menyangkut keluarga dekat kedua belah pihak. Hormat menghormati itu baik dalam tingkah laku maupun dalam tutur kata di dalam rumah dan juga dimuka umum. c. Wajib setia diantara suami isteri Yang dimaksud dengan setia disini ialah erat hubungannya dengan menjaga kesucian rumah tangga. Kedua belah pihak diharapkan jangan melakukan perbuatan yang mengkhianati kesucian rumah tangga. Hal ini dapat terlaksana apabila kedua belah pihak sanggup memelihara dan mempertahankan kepercayaan yang satu dengan yang lain baik yang bersifat moral maupun materil. Bersifat moral artinya suami tidak melakukan serong atau seleweng dengan wanita yang bukan isterinya dan demikian juga sebaliknya istripun tidak bermain serong dengan laki-laki
53
lain dibelakang suaminya. Sedang yang bersifat materil artinya isteri jangan sampai menggunakan uang nafkah yang diberi oleh suami untuk keperluan atau kepentingan lain tanpa sepengetahuan suami demikian juga sebaliknya. d. Kewajiban saling memberi bantuan lahir batin antara suami isteri. Bantu membantu antara suami isteri berarti antara keduanya harus dapat bekerja sama sesuai dengan fungsinya serta saling nasehat menasehati dalam mengelola rumah tangga supaya tujuan perkawinan dapat tercapai. Bantu-membantu dalam rumah tangga tercantum dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut: Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.43 Artinya bahwa dalam menjalankan hidup berumah tangga suami berkewajiban untuk memberikan keperluan hidup berumah tangga meliputi kebutuhan primer bagi kehidupan berumah tangga yaitu berupa tempat kediaman suami isteri serta anak-anak mereka jika ada anak, keperluan hidup sehari-hari, biaya pemeliharaan dan pendidikan anakanak dan kebutuhan sekunder bila suami mampu namun demikian dalam menyediakan kebutuhan rumah tangga tentu
43
Loc.cit.
54
terbatas sesuai dengan batas kemampuan suami, jadi suami tidak dapat dituntut untuk membiayai kehidupan rumah diluar batas kemampuannya. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Artinya bahwa isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya hal ini sesuai dengan kedudukan isteri sebagai ibu rumah tangga maka sudah sewajarnya isteri harus dapat mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Kewajiban ini meliputi menyediakan makanan atau hidangan untuk seluruh anggota keluarga setiap hari, mengasuh dan memelihara serta mendidik anak-anak dari perkawinan mereka jika ada dan mengatur rumah tempat kediaman dengan sebaik-baiknya sehingga terwujud rumah yang nyaman bagi seluruh anggota keluarga. 2. Harta Benda Perkawinan Menurut Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan yang dimaksud dengan harta benda perkawinan adalah sebagai berikut : (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
55
Dari rumusan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Undang-undang ini, di dalam suatu perkawinan (keluarga) pada asasnya terdapat lebih dari satu kelompok harta benda perkawinan, kelompok-kelompok harta benda yang mungkin terbentuk adalah: 1) Harta bersama suami isteri 2) Harta pribadi suami isteri a. Harta bawaan dan harta hadiah atau harta warisan yang berasal dari pihak suami. b. Harta bawaan dan harta hadiah atau harta warisan yang berasal dari pihak isteri. Berdasarkan pengelompokan harta benda perkawinan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Harta Benda bersama suami isteri 1. Istilah dan pengertian harta bersama a) Istilah harta bersama Istilah “harta bersama” di Indonesia terdapat berbagai macam istilah, istilah-istilah ini berasal dari setiap lingkungan masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia. Sehingga di setiap daerah atau suku menggunakan istilah yang berbeda seperti halnya dalam masyarakat Aceh dipergunakan istilah “harta seharkat”, dalam masyarakat suku Melayu, dikenal dengan istilah “harta syarikat” dalam masyarakat Minangkabau menggunakan istilah “harta suarang” dalam masyarakat
56
Kalimantan Selatan menggunakan istilah “harta perpatangan”, “harta cakara” dalam masyarakat bugis Ujung Pandang, “harta druwe gobro” dalam masyarakat Bali, “harta gono gini” pada masyarakat Jawa dan pada masyarakat Sunda menggunakan istilah “harta guna kaya” dan masih banyak lagi istilah harta bersama yang terdapat di Indonesia.44 Penggunaan
berbagai
macam
istilah
tersebut
mengandung makna yang sama yaitu mengenai “harta bersama” dalam perkawinan antara suami isteri. Istilah “harta bersama” adalah istilah yang diberikan oleh pembentuk undang-undang melalui pendekatan bahasa Indonesia yang bersifat umum sehingga dapat dimengerti oleh semua lingkungan masyarakat Indonesia. Istilah “harta bersama” ini tercantum dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maupun dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta dalam Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai berikut : Dalam kompilasi hukum Islam dalam Pasal 85 menyebutkan bahwa: Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.45
44
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2001), halaman 272. 45 H. Wildan Suyuthi, Kompilasi Hukum Islam, MARI, 2001, halaman 26
57
Dan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1985 Pasal 86 ayat (1) yaitu sebagai berikut: Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.46 Serta istilah “harta bersama” digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 35 ayat (10) yang berbunyi bahwa: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.47 Istilah atau kata “harta bersama” dalam pasal-pasal di atas merupakan wujud dari adanya tujuan yang hendak di capai yaitu menyatukan satu istilah dalam menyebutkan berbagai istilah mengenai “harta pencaharian suami isteri selama perkawinan” dengan menggunakan satu istilah yagn dapat digunakan baik dalam istilah yang digunakan dalam kehidupan hukum dan dalam praktek peradilan di seluruh Indonesia yaitu menggunakan istilah “harta bersama”. b) Pengertian Harta Bersama Pengertian harta bersama ditinjau dari hukum adat, menurut Prof. Dr. R. Vandijk yang dimaksud dengan harta bersama adalah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencarian bersama dan dengan sendirinya menjadi 46 47
H. Roihan A. Rasyid, Op.cit, halaman 271. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit, halaman 548.
58
lembaga harta bersama yang lazim disebut harta syarikat, pengertian yang demikian hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh B. Ter Har yang mengatakan bahwa dalam arti umum harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh suami isteri selama perkawinan. Pengertian
atau
bentuk
harta
bersama
yang
dikemukakan oleh beberapa pendapat para sarjana telah dibenarkan eksistensinya dalam kehidupan masyarakat dan oleh berbagai yurisprudensi tanpa mempersoalkan lingkungan adat dan stelsel kekeluargaan. Contohnya dalam putusan Pengadilan Medan yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung tanggal 23 Mei 1973 No. 1031 K/Sip/1972 yaitu sebagai berikut: Meskipun hukum adat Tapanuli Selatan dan Hukum Islam tidak mengenal harta syarikat, namun sesuai dengan perkembangan kesadaran hukum Indonesia, dipandang adil untuk menentukan bahwa semua harta yang diperoleh selama perkawinan adalah harta syarikat yang harus dibagi dua diantara suami isteri apabila terjadi perceraian.48 Kemudian
ditegaskan
lagi
dalam yurisprudensi putusan
Mahkamah Agung tanggal 7 Nopember 1956 No. 51K/Sip/1956 yang menegaskan bahwa: Menurut hukum adat semua harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, termasuk
48
M. Yahya Harahap, Op.cit, halaman 271
59
dalam gono gini, meskipun mungkin hasil kegiatan suami sendiri.49 Dari
beberapa
pendapat
para
sarjana
serta
beberapa
yurisprudensi di atas yang dimaksud harta bersama adalah harta yang diperoleh selama dalam masa perkawinan antara suami isteri berlangsung sampai perkawinan itu putus baik karena kematian ataupun karena perceraian. Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa yang dimaksud harta bersama adalah sebagai berikut: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.50 Dari rumusan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengandung arti bahwa: terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah dihitung sejak tanggal peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus
karena
kematian
diantara
salah
seorang
dari
suami/isteri (cerai mati) ataupun karena perceraian (cerai hidup) tanpa mempersoalkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal baik harta yang diperoleh secara bersama-sama suami isteri atau secara sendiri-sendiri.51
49
Ibid, halaman 272. R. Subekti dan R. Tjitrosubidio, Op.cit, hal aman 548. 51 Trusto Subekti, Hukum Keluarga dan Perkawinan Bahan Pembelajaran Fakultas Hukum Unsoed, Purwokerto, 2005, halaman 80-81. 50
60
Dengan demikian harta yang telah ada dan dimiliki oleh suami isteri pada saat perkawinan dilangsungkan yang dibawa masuk ke dalam perkawinan yang berupa harta bawaan, hadiah, dan atau warisan terletak diluar harta bersama. Rumusan Pasal 35 ayat (1) terkandung 3 faktor yaitu sebagai berikut: (1) Faktor selama perkawinan. (2) Faktor harta bawaan, harta hadiah dan atau harta warisan terletak diluar harta bersama. (3) Faktor diperoleh.
1) Faktor “selama perkawinan suami isteri berlangsung” Menurut Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 sudah menegaskan bahwa “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”, ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan tersebut putus, dengan demikian berarti bahwa harta apa saja yang diperoleh
selama
perkawinan
terhitung
sejak
saat
dilangsungkan akad nikah, sampai saat perkawinan putus baik karena salah satu suami atau isteri meninggal dunia (cerai mati) maupun karena perceraian (cerai hidup) seluruh harta-harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.
61
Hal ini ditegaskan pula dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 9 November 1976 No. 1448 K/Sip/1974 dalam putusan ini ditegaskan bahwa: Sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadi perceraian harta bersama tersebut dibagi sama rata bekas suami isteri.52 Pendapat dan pendirian terbentuknya harta bersama dihitung selama perkawinan berlangsung ini bukan baru muncul sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974. Namun sudah
lama
sebelum
itu,
contohnya
pada
putusan
Mahkamah Agung yang dijatuhkan jauh sebelum UU No. 1 Tahun 1974 berlaku, yaitu Putusan Mahkamah Agung tanggal 7 November 1956 No. SIK/Sip/1956, dalam putusan ini menegaskan bahwa: segala harta yang diperoleh selama perkawinan akan berwujud menjadi harta bersama suami isteri.53 Berdasarkan
yurisprudensi
Mahkamah
Agung
diatas
tersebut dapat dijelaskan bahwa patokan untuk menentukan apakah suatu barang atau harta termasuk atau tidak ke dalam harta bersama suami isteri, ditentukan oleh “Faktor selama perkawinan antara suami isteri berlangsung”, maka dengan sendirinya harta tersebut menjadi harta bersama, 52 53
M. Yahya Harahap, Op.cit, halaman 273. Loc.cit.
62
kecuali jika harta yagn diperoleh berupa “warisan” atau “hibah” oleh salah satu pihak, harta tersebut tidak termasuk harta bersama, tetapi jatuh menjadi “harta pribadi” si penerima. Dengan demikian, faktor untuk menentukan bahwa semua harta yang diperoleh selama perkawinan akan jatuh menjadi harta bersama, harus dikecualikan harta yang diperoleh salah satu pihak sebagai warisan atau hibah. Harta
warisan
atau
hibah
yang
diperoleh
selama
perkawinan jatuh menjadi harta milik pribadi si penerima. 2) Faktor harta bawaan, harta hadiah dan atau harta warisan terletak diluar harta bersama Suatu barang atau harta termasuk atau tidak termasuk kedalam harta bersama suami isteri ditentukan faktor “selama perkawinan antara suami isteri berlangsung” dengan sendirinya harta tersebut menjadi harta bersama, maka dapat dijelaskan bahwa harta yang telah ada atau dimiliki suami isteri yang kemudian dibawa masuk ke dalam perkawinan berupa harta bawaan, harta hadiah dan atau harta warisan terletak di luar harta bersama terjadi pemisahan secara otomatis demi hukum menjadi milik pribadi si penerima dan harta warisan atau hibah yang diperoleh selama perkawinan jatuh menjadi harta pribadi si
63
penerima, harta tersebut berada dalam ketentuan pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974.54 3) Faktor diperoleh Faktor “diperoleh”, yang diperoleh suami isteri dengan cara atau dari apapun untuk memperolehnya atau berasal dari mana harta tersebut diperoleh, baik diperoleh oleh suami isteri secara bersama-sama atau secara sendirisendiri.55 Sehingga dapat disimpulkan bahwa termasuk dalam harta bersama suami isteri dalam perkawinan adalah: a) Hasil dan pendapatan suami. b) Hasil dan pendapatan isteri c) Hasil dan pendapatan dari pribadi suami maupun isteri sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan. Dalam hal memperoleh hasil dan pendapatan suami isteri tidak menentukan atau tidak mempersoalkan apakah dalam mencari hasil dan pendapatan harta bersama ini, suami aktif bekerja sedangkan istri tidak ikut berperan aktif dan secara nyata membantu pekerjaan suami dan seorang isteri hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak, 54 55
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, halaman 194. Trusto Subekti, Op.cit, halaman 80.
64
kesemua harta kekayaan yang diperoleh suami tetap merupakan hasil dan pendapatan suami isteri yang berbentuk “harta bersama suami isteri”. Menurut hukum adat lama, keikutsertaan isteri aktif membantu pekerjaan suami, merupakan syarat utama terbentuknya harta bersama. Jika yang bekerja membanting tulang hanya suami dan isteri tidak ikut ambil bagian secara aktif, isteri yang hanya tinggal mengurus rumah dan anakanak saja dianggap tidak berhak atas harta yang diperoleh suami. Sehingga dalam hal ini dianggap tidak pernah terbentuk harta bersama antara suami isteri. Pendapat demikian tersirat pada ungkapan yang dikemukakan Prof. Dr. J. Prins yang mengatakan bahwa: Sekalipun ditinjau dari sudut teoritis hukum fikih tidak mengenal harta bersama antara suami isteri dalam perkawinan, tapi hal itu tidak menghalangi terciptanya lembaga tersebut dalam keluarga masyarakat Islam apabila kenyataan dalam kehidupan mereka isteri selamanya ikut membantu suami dalam pekerjaan, maka dengan sendirinya secara diam-diam terwujud harta bersama suami isteri.56 Berarti menurut pendapat Prof. Dr. J. Prins di atas menyatakan bahwa isteri harus ikut aktif membantu pekerjaan suami secara nyata, jika isteri tidak ikut aktif
56
M. Yahya Harahap, Op.cit, halaman 273-274.
65
membantu pekerjaan suami maka isteri dianggap tidak berhak atas penghasilan yang diperoleh suami. Pendapat Prof. Dr. J. Prins ini dilihat dari sudut kehidupan masyarakat yang mata pencahariannya mengolah pertanian sehingga dimungkinkan peran serta isteri secara aktif, sehingga bagian dan peran serta isteri dapat dilihat dan dihitung secara nyata karena isteri ikut aktif sepanjang hari dan masa berdampingan dengan suami bekerja di ladang atau di sawah, namun sesuai dengan perkembangan jaman
dalam
kehidupan
masyarakat
yang
terus
berkembang, maju dan modern syarat mengenai istri harus ikut aktif membantu suami secara nyata tidak layak lagi di pertahankan hal ini tentu tidak adil dan merupakan sikap diskriminasi terhadap isteri sehingga syarat tersebut dihapuskan sejak perang dunia kedua dan lahirlah berbagai yurisprudensi
sejak
tahun
1950
yang
tidak
lagi
mensyaratkan adanya isteri ikut berperan aktif membantu pekerjaan suami. Contohnya dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 7 November 1956 K/Sip/1956 yang menyatakan sebagai berikut: Menurut hukum adat semua harta yang diperoleh selama berlangsung perkawinan,
66
termasuk gono gini, meskipun mungkin hasil kegiatan suami sendiri.57 Pernyataan penghapusan syarat istri harus ikut berperan aktif membantu pekerjaan suami lebih dipertegas dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Februari 1976 No. 985 K/Sip/1973 yang merumuskan kaidah hukum yaitu sebagai berikut: Bahwa menurut hukum adat semua harta kekayaan yang diperoleh suami isteri selama dalam perkawinan dianggap harta pendapatan bersama sekalipun harta itu semata-mata hasil pencaharian suami atau isteri sendiri.58 Dari kedua contoh yurisprudensi di atas bahwa syarat “isteri harus ikut berperan aktif membantu pekerjaan suami” telah dihapuskan oleh karena itu alasan apapun yang dikemukakan suami yang menyatakan bahwa semua harta adalah jerih payah dan hasil cucuran keringat suami, sedang isteri hanya tinggal di rumah mengurus rumah dan anak-anak sehingga tidak berhak untuk mengakui dan atau ikut memiliki harta bersama, hal ini tidak berlaku lagi. Dengan dihapuskannya syarat tersebut isteri akan tetap ikut memiliki harta bersama meskipun seorang isteri diam di rumah mengurus rumah dan anak-anak.
57 58
Loc.cit. Loc.cit.
hanya
67
Apabila istri mau membantu pekerjaan suami secara aktif bukan merupakan syarat wajib melainkan hanya sekedar membantu jika isteri berkenan. Misalnya : dalam menjalankan usaha bersama isteri membantu suami menunggui toko sedang suami berbelanja mencari barang dagangan. Untuk memperoleh hasil dan pendapatan ini adakalanya suami isteri saling memasukan modal sebagai modal
awal
untuk
mendirikan
suatu
usaha
yang
dimungkinkan berasal dari harta pribadi berupa harta bawaan masing-masing suami isteri sehingga memperoleh hasil dan pendapatan bersama yang berasal dari harta bawaan masing-masing suami isteri akan tetapi harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama.59 Pemahaman dan penerapan hukum adat yang seperti itu harus diterapkan dalam praktek peradilan lagi pula Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 secara tegas telah merumuskan apa yang dimaksud dengan harta bersama. Rumusannya seperti yang terkandung dalam yurisprudensi, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 85 pengertian harta bersama mengikuti pengertian yang dirumuskan dalam pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.
59
Hilman Hadikusuma, Op.cit, halaman 164.
68
2. Ruang Lingkup Harta Bersama Yang dimaksud ruang lingkup harta bersama adalah mencoba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan apakah suatu harta termasuk atau tidak sebagai objek harta bersama antara suami isteri dalam suatu perkawinan. Baik menurut Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 maupun yurisprudensi telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Akan tetapi tidak sederhana itu penerapan dalam hukum konkreto masih diperlukan analisis dalam penerapan hukumnya.60 a) Harta yang dibeli selama perkawinan Untuk menentukan apakah suatu harta termasuk objek harta bersama atau tidak ditentukan pada saat pembelian setiap barang yang dibeli selama perkawinan, harta tersebut otomatis menjadi objek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan siapa diantara suami isteri yang membeli, tidak menjadi soal atas nama isteri atau suami itu terdaftar juga tidak perduli apakah harta itu terletak dimanapun. Yang penting, harta itu dibeli dalam perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi objek harta bersama. Penegasan ketentuan yang demikian telah dianut secara permanen oleh yurisprudensi. Contohnya dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei
60
M. Yahya Harahap, Op.cit, halaman 275.
69
1971 No. 803 K/Sip/1970 menegaskan bahwa: Harta yang dibeli oleh suami atau isteri ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah termasuk harta bersama suami isteri jika pembelian dilakukan selama perkawinan. Lain halnya jika uang pembelian barang berasal dari harta pribadi suami atau isteri. Jika uang pembelian barang secara murni berasal dari harta pribadi, barang yang dibeli tidak termasuk objek harta bersama. Harta yang seperti itu tetap menjadi milik pribadi suami atau isteri.
b) Harta yang dibeli dan dibangun sesudah penceraian yang dibiayai dari harta bersama. Patokan yang kedua untuk menentukan sesuatu barang termasuk objek harta bersama, ditentukan oleh asal-usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadi penceraian membeli dan atau membangun rumah namun uang pembelian atau biaya pembangunan berasal dari harta bersama maka barang dari hasil pembelian dan atau pembangunan itu tetap termasuk ke dalam objek harta bersama. Praktek dan penerapan ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1970 No. 803 K/ SIP / 1979, yaitu sebagai berikut : Apa saja yang dibeli jika uang pembelian berasal dari harta bersama, dalam barang tersebut
70
tetap melekat harta bersama meskipun barang tersebut dibeli atau dibangun setelah terjadi perceraian. Penerapan kaidah ini harus dipegang teguh untuk menghindari manipulasi dan itikad buruk suami atau isteri, sehingga dengan demikian hukum tetap dapat menjangkau harta bersama. Sekalipun harta itu telah berubah bentuk menjadi barang lain terhadap barang tersebut tetap melekat secara mutlak wujud harta bersama. Oleh karena itu asa kemutlakan harta bersama harus tetap melekat pada setiap barang dalam jenis dan bentuk apapun asal barang itu berasal dari harta bersama walaupun wujud barang yang baru itu diperoleh atau dibeli sesudah perkawinan terjadi. c) Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan Pada umumnya dalam setiap perkara harta bersama pihak tergugat selalu mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, tetapi milik pribadi. pemilikan, warisan atau hibah.
Hak
Maka apabila tergugat
mengajukan dalih yang demikian maka patokan untuk menentukan adalah sesuatu barang termasuk objek harta bersama
atau
tidak
ditentukan
oleh
kemampuan
dan
keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung dan uang pembelian tidak berasal dari uang pribadi. Patokan
71
semacam ini tertuang secara jelas dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 20 Nopember 1975 dan dikuatkan Mahkamah Agung tanggal 30 Juli 1974 No. 806 K/ SIP /1974 yaitu sebagai berikut: Pelawan tidak dapat membuktikan bahwa rumah dan tanah terperkara diperoleh sebelum perkawinannya dengan suaminya dan juga malah terbukti bahwa sesuai dengan tanggal izin bangunan rumah tersebut dibangun dimasa perkawinan dengan suaminya dengan demikian dapat disimpulkan rumah dan tanah terperkara adalah harta bersama antara suami dan isteri sekalipun tanah dan rumah terdaftar atas nama isteri. Dalam putusan itu ditentukan bahwa masalah atas nama siap harta terdaftar bukan factor yang menggugurkan keabsahan suatu harta menjadi objek harta bersama. Asal harta yang
bersangkutan
dapat
dibuktikan
diperoleh
selama
perkawinan serta pembiayaannya berasal dari harta bersama, maka harta tersebut termasuk objek harta bersama. Objek harta bersama bukan hanya bila terdaftar atas nama isteri atau suami, tetap dianggap harta bersama asal dapat dibuktikan bahwa harta itu diperoleh selama perkawinan. Hal ini dikuatkan dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 30 Desember 1971 No. 389/ 1971, yang kemudian dikuatkan dalam putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi tanggal 23 Mei 1973 No. 103/ SIP/1972, dimana dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan mempertimbangkan bahwa:
72
Sekalipun toko dan barang-barang yang ada didalamnya telah dikuasai dan dialih namakan atas nama adik suami, akan tetapi terbukti bahwa toko tersebut dibeli sewaktu perkawinan dengan isteri maka harta tersebut sekalipun sudah dipindahkan kepada orang lain, harus dinyatakan harta bersama yang dapat di perhitungkan pembagiannya diantara suami isteri dengan adanya penceraian diantara mereka. d) Penghasilan harta bersama dan harta bawaan Penghasilan yang berasal dari harta bersama, secara otomatis akan menambah jumlah harta bersama, akan tetapi bukan hanya yang berasal dari harta bersama yang akan menjadi obyek harta bersama diantara suami isteri tetapi termasuk juga penghasilan yang berasal dari harta pribadi suami isteri. Dengan
demikian
fungsi
harta
pribadi
dalam
perkawinan, ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan pemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya namun harta pribadi tidak terlepas fungsinya dari kepentingan keluarga, harta atau barang pokoknya tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh dari harta bawaan jatuh menjadi objek harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Jika dalam perjanjian kawin tidak diatur mengenai hasil yang timbul dari harta pribadi, seluruh hasil yang diperoleh dari harta pribadi suami isteri akan jatuh
73
menjadi harta bersama. Oleh karena itu harus dibedakan antara harta yang dibeli atau ditukarkan dari hasil penjualan harta pribadi tetap secara mutlak menjadi harta pribadi tetapi harta yang diperoleh dari hasil yang timbul dari harta pribadi akan jatuh menjadi harta bersama.61 e) Segala Penghasilan Pribadi Suami Isteri Menurut Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454 K/ SIP/1970 menegaskan bahwa: Segala penghasilan pribadi suami isteri dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masingmasing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami isteri.62 Jadi menurut Putusan Mahkamah Agung diatas sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi
pemisahan,
penggabungan
malahan
kedalam
harta
dengan
sendirinya
bersama,
terjadi
penggabungan
penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum, sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin.
b. Harta Benda Pribadi Suami Isteri Menurut Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merumuskan harta pribadi suami isteri adalah sebagai berikut:
61 62
Ibid, halaman 278. Ibid, halaman 279.
74
Harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain63 Dari rumusan pasal di atas dapat diuraikan sebagai berikut: Menurut undang-undang ini yang termasuk harta pribadi suami isteri meliputi harta bawaan, harta hadiah dan atau harta warisan masingmasing dari pihak isteri, semua harta termasuk harta hadiah dan atau harta warisan yang diterima masing-masing suami isteri secara otomatis (demi hukum) menjadi harta pribadi suami isteri artinya tanpa yang bersangkutan harus memperjanjikannya menjadi harta pribadi suami atau isteri yang bersangkutan otomatis menjadi harta pribadi suami isteri yang dikuasai oleh si penerima penyimpangan baru dan hanya dapat terjadi apabila para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Adanya pemisahan secara otomatis demi hukum antara harta pribadi dengan harta bersama tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat perkawinan akan dilangsungkan ketentuan mengenai harta pribadi berupa harta hadiah dan atau harta warisan hanyalah meliputi harta hadiah dan atau harta warisan yang diterima suami isteri sepanjang perkawinan.
63
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit., halaman 548.
75
Selain itu ketentuan Pasal 32 ayat (2) ini merupakan suatu pasal atau suatu ketentuan hukum yang bersifat penambah atau mengisi (aanvullendrecht) hal ini dapat dilihat dalam kalimat “sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Yang artinya suami isteri dapat memilih mengenai harta hadiah dan atau harta warisan yang diterima
suami atau isteri sepanjang perkawinan itu secara
otomatis demi hukum akan termasuk ke dalam harta pribadi suami isteri si penerima ataukah harta hadiah dan atau warisan tersebut akan masuk ke dalam harta bersama dalam perkawinan yang disepakati suami isteri di dalam perjanjian kawin hal inilah yang dimaksud pasal ini sebagai pasal penambah atau disebut juga anvullenrecht karena memberikan kebebasan memilih bagi suami isteri dan bukan pasal yang bersifat memaksa (dwingendrecht). Suami isteri dapat “menentukan lain” mengenai harta hadiah dan atau harta warisan demi perlindungan terhadap pihak ketiga (kreditur) hak suami isteri “menentukan lain” tersebut hanya ada apabila suami isteri mensyaratkannya di dalam perjanjian kawin jika tidak demikian maka suami isteri demi menghindarkan tanggung jawab terhadap kreditur setiap kali mengadakan perjanjian hutang dengan pihak ketiga, kreditur harus mengetahui bahwa harta hadiah dan atau harta warisan suami isteri masuk ke dalam harta bersama, hal ini
dikarenakan
dalam
undang-undang
perkawinan
khususnya
mengenai harta benda dalam perkawinan menganut asas hukum adat
76
yang menentukan bahwa hutang pribadipun dapat mengambil pelunasannya dari harta bersama, dalam hal harta pribadi yang bersangkutan tidak mencukupinya. a) Harta bawaan Harta
bawaan
biasanya
sebelum
melangsungkan
perkawinan calon suami atau isteri telah menguasai dan memiliki harta kekayaan sendiri baik berupa barang tetap maupun barangbarang bergerak yang diperoleh dari hasil usaha dan pikiran sendiri. Jadi dengan demikian yang dimaksud dengan harta bawaan adalah harta yang telah ada atau dimiliki oleh suami atau isteri sebelum perkawinan dilangsungkan kemudian pada saat atau setelah perkawinan dilangsungkan harta tersebut dibawa masuk ke dalam perkawinan.64 Menurut hukum adat harta bawaan ini disebut dengan beraneka ragam nama atau istilah seperti di Jawa harta bawaan sering disebut dengan harta asal, harta guna atau harta gawan yaitu harta yang dibawai suami atau isteri ke dalam perkawinan harta ini berasal dari harta yang diperoleh sendiri calon suami atau isteri maupun berasal dari harta warisan atau pemberian keluarga dari calon suami atau isteri. Di daerah Sumatera Selatan harta bawaan suami sebelum perkawinan disebut harta pembujangan, sedangkan harta isteri
64
Hilman Hadikusuma, Op.cit., halaman 158.
77
sebelum perkawinan disebut harta penantian. Jadi yang dimaksud harta pembujangan atau harta penantian adalah harta yang dibawa suami atau isteri ke dalam perkawinan, yang merupakan hasil usaha sendiri pada saat calon suami masih berstatus bujang dan si calon isteri masih berstatus gadis atau perawan di daerah minang harta ini disebut harta pencaharian. b) Harta hadiah Harta pemberian atau harta hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan yang berasal dari pemberian atau hadiah para anggota kerabat dan orang lain karena hubungan baik.65 Setelah terjadinya perkawinan harta kekayaan pribadi isteri akan dapat bertambah dengan adanya pemberian barang-barang dari suami sebagai “pemberian perkawinan” seperti “jinamee” di daerah Aceh, hook di Minahasa atau “suarang” di Sulawesi Selatan serta “maskawin” yang pada umumnya berlaku dikalangan masyarakat beragama Islam, dan termasuk pemberian-pemberian yang bersifat pribadi lainnya. c) Harta warisan Harta warisan diberbagai daerah di Indonesia terdapat bermacam-macam nama untuk penyebutan harta warisan seperti, dalam suku dayak Ngaju disebut harta pimbit,
65
Ibid, halaman 160.
harta sisila di
78
Makasar, harta babaktan di Bali, harta asal, asli, pusaka di Jawa, gana dan gawan di Jawa dan sebagainya, dimana dalam hukum adat pada asasnya mengenai harta yang berasal dari warisan atau hibahan harta itu tetap menjadi miliknya salah seorang dari suami atau isteri yang menerima. Yang dimaksud harta warisan adalah harta atau barangbarang yang dibawa oleh suami atau isteri kedalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan berumah tangga.66 Barang-barang bawaan isteri yang berasal dari harta warisan orang tuanya seperti “sesan” di Lampung di dalam bentuk perkawinan jujur, setelah terjadi perkawinan dikuasai oleh suami untuk dimanfaatkan guna kepentingan kehidupan rumah tangga keluarga, kecuali yang menyangkut hukum agama seperti mas kawin yang merupakan hak milik pribadi isteri. Sedang di daerah pasemah harta asal warisan yang diikutsertakan orang tua pada mempelai wanita kedalam perkawinan nampaknya tetap menjadi hak penguasaan dan pemilikan isteri untuk diwariskan pada anak-anaknya. c. Wewenang Suami Isteri Terhadap Harta Benda Perkawinan 1) Wewenang Suami Isteri Terhadap Harta Benda Bersama Menurut undang-undang perkawinan nomor 1 Tahun 1974 didalam Pasal 36 ayat (1) menyebutkan bahwa : Mengenai harta
66
Ibid, halaman 158.
79
bersama suami atau isteri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. Maksud dari pasal tersebut adalah suami atau isteri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. Kata “dapat” dalam kalimat tersebut bukan dimaksudkan sebagai lawan kata “harus” sehingga tidak boleh disimpulkan bahwa suami atau isteri bisa, tetapi hukumnya tidak wajib untuk minta persetujuan dari suami atau isteri, kata “dapat” dalam undang-undang ini harus dibaca dalam suatu kaitan dengan kata-kata berikutnya, yaitu “dapat bertindak dengan persetujuan kedua belah pihak” atau “dapat bertindak asal” ada persetujuan kedua belah pihak. Yang dimaksud dengan kata “kedua belah pihak” menurut Undang-undang Perkawinan adalah suami dengan isterinya atau isteri dengan suaminya kesimpulan ini diperoleh dari hubungan antara Pasal 36 ayat (1) dengan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan, bahwa dalam Pasal 35 ayat (1) berbicara mengenai harta bersama adalah milik suami dan isteri bersama-sama, serta dalam Pasal 35 ayat (2) disebutkan tentang harta bawaan masingmasing suami dan isteri, maka dapat disimpulkan bahwa apabila ada kata “masing-masing” berarti ditujukan kepada masing-masing suami dan isteri, jadi yang menjadi pihak disini adalah suami dan isteri. Dengan demikian kata “persetujuan kedua belah pihak” dimaksudkan kepada suami atau isterinya, kedua-dua pihaknya.
80
Mengingat harta bersama merupakan milik bersama suami isteri, maka ketentuan Pasal 36 ayat (1) dihubungkan dengan ketentuan Pasal 31 ayat 92) dapat disimpulkan bahwa “suami dan isteri kedua-duanya berwenang untuk melakukan tindakan hukum atas harta bersama. Oleh karena itu harta bersama suami isteri dapat bertindak atas perjanjian atau persetujuan bersama. Kata ”atas persetujuan bersama” apabila diartikan secara gramatikal mengandung arti bahwa ”suami ataupun isteri harus bertindak bersama-sama” atau salah satu dari suami ataupun isteri memberikan kuasa atau persetujuannya kepada isterinya dan begitu pula sebaliknya apabila salah satu pihak akan melakukan tindakan hukum yang menyangkut harta bersama dengan pihak ketiga. Namun demikian penafsiran kata ”atas persetujuan kedua belah pihak” menurut J. Satrio diartikan bahwa ”atas persetujuan bersama” ini diartikan sebagai suatu asas saja tidak ditafsirkan mutlak harus ada persetujuan secara tegas dari suami atau isteri dengan demikian maka suami atau isteri dapat bertindak sendiri dalam melakukan tindakan hukum, tidak perlu harus mendapat persetujuan suami isteri bersama-sama tetapi asal ada izin atau persetujuan dari suami atau isteri.67 Penafsiran ini sesuai dengan ketentuan yang terkandung dalam Pasal 31 ayat (3) UndangUndang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
67
J. Satrio, Op.cit., halaman 205.
81
Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa: Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.68 Isteri adalah orang yang dipercaya mengurus rumah tangga, yang menata dan menyediakan atau menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga dan untuk itu tentunya istri perlu melakukan tindakan-tindakan
mengadakan
hubungan
hukum
dengan
melakukan tindakan hukum terhadap pihak ketiga. Melihat kedudukan isteri sebagai ibu rumah tangga sudah pantas apabila isteri dianggap telah mendapat persetujuan suami untuk semua tindakan yang bersangkutan dengan tugas “ibu rumah tangga”, dan sebagai kepala keluarga pada umumnya tidak mutlak suami sebagai pencari nafkah utama untuk keluarga dan apabila suami dalam kedudukannya sebagai pencari nafkah keluarga tentu banyak sekali melakukan tindakan-tindakan hukum keluarga terhadap pihak ketiga. Mengingat akan hal itu sudah sepantasnya apabila dalam hal suami melakukan tindakan-tindakan hukum suami dianggap oleh hukum secara fictie telah mendapat persetujuan dari isterinya, demikian pula sebaliknya yaitu dalam hal isteri yang berkedudukan sebagai pengusaha prinsip yang sama juga berlaku bagi dirinya.
68
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit., halaman 547.
82
Menurut pakar hukum bahwa hukum harta perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan mendasarkan pada Hukum Adat, maka apabila ditinjau pengaturan mengenai hal ini dalam Hukum Adat bahwa hukum adat tidak mensyaratkan adanya persetujuan secara tegas dari suami atau isteri. Menurut Teer Haar mengatakan bahwa: Dalam hukum adat asasnya adalah harta bersama yang diperoleh sepanjang perkawinan oleh masing-masing suami atau isteri maupun yang diperoleh secara bersama-sama suami atau isteri, di dalam batas-batas yang normal wenang untuk melakukan tindakan hukum, baik dengan persetujuan secara tegas maupun diam-diam dari suami atau isterinya. Dalam transaksi yang penting terkadang keduanya bertindak bersamasama, namun apabila suami bertindak sendiri, maka untuk tindakan tersebut dianggap ada persetujuan secara diam-diam dari isteri dan tindakannya tetap sah, sekalipun kenyataannya si isteri tidak diminta persetujuan.69 Dari pendapat Teer Haar di atas dapat disimpulkan bahwa mengenai harta bersama menurut hukum adat bahwa suami isteri wenang melakukan tindakan hukum terhadap harta bersama dalam batas-batas yang normal tanda adanya persetujuan secara tegas dari suami atau isteri tetapi persetujuan itu dianggap telah ada dalam tindakan hukum suami atau isteri. Undang-Undang prinsipnya harus ada persetujuan kedua belah pihak, maka harus membenarkan adanya hak suami atau istri untuk mencabut persetujuannya yang difictickan oleh undang-
69
J. Satrio, Op.cit., halaman 208.
83
undang. Namun untuk menjaga kemungkinan penyalahgunaan wewenang
tersebut
sebaiknya
undang-undang
memberikan
pembatasan/syarat-syarat atas penggunaan hak tersebut. Di samping itu harus dibedakan antara tindakan pengurusan (beheer) dan tindakan pemilikan (beschikking) serta apakah tindakan suami atau istri tersebut atas Harta Bersama tertuju kepada harta bergerak atau harta tak bergerak. Dalam Hukum Adat, seorang isteri sebaliknya mestinya juga suami secara terang-terangan
telah
menyatakan keberatannya (ketidaksetujuannya) atas tindakan yang akan
dilakukan
oleh suami,
maka
pihak
ketiga
perlu
memperhatikan hal tersebut dan tidak dapat mengabaikannya lagi. Ia dapat mendasarkan diri pada iktikad baik, bahwa “persetujuan” secara diam-diam sudah diberikan. Namun apabila penafsiran “persetujuan”
dalam
Pasal
36
bermaksud
untuk
lebih
mengamankan harta keluarga terhadap kemungkinan-kemungkinan tindakan pemilikan (beschikking) yang tidak dapat dipertanggung jawabkan karena adanya penafsiran yang demikian dapat lebih merugikan istri daripada menguntungkannya.70 Apabila Pasal 36 bermaksud untuk memberikan suatu ketentuan yang menyimpang dari asas Hukum Adat, mensyaratkan adanya persetujuan secara tegas dari suami atau istri orang yang melakukan tindakan, maka yang demikian itu perlu dibatasi, yaitu
70
Ibid, halaman 209.
84
hanya dalam hal tindakan berupa tindakan menjual benda tetap Harta Bersama. Suatu keputusan mengenai Hukum Adat oleh Pengadilan Negeri Denpasar, yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung dapat dipakai sebagai perbandingan. Oleh pengadilan tersebut diputuskan, bahwa jual beli tanah, yang merupakan harta bersama, harus mendapat persetujuan dari istrinya, karena pada waktu jual beli keduanya masih berstatus suami istri, sekalipun pada waktu terjadi sengketa di pengadilan, keduanya telah bercerai.71 2) Wewenang suami isteri terhadap harta benda pribadi Menurut ketentuan Pasal 36 ayat (2) Udang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 wewenang suami isteri terhadap harta benda pribadi adalah sebagai berikut: Mengenai harta bawaan masingmasing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dari rumusan pasal di atas dapat diuraikan sebagai berikut harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum artinya bahwa suami dan atau isteri dapat betindak sendiri-sendiri tanpa bantuan, kuasa maupun persetujuan pihak yang lain (suami atau isteri) dimana baik suami maupun isteri menurut prinsip undang-undang ini wenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hak milik
71
Ibid, halaman 210.
85
sepenuhnya yang meliputi hak beheer dan hak beschikking atas harta pribadi milik suami isteri. Menurut J. Satrio dari rumusan Pasal 36 ayat (2) di atas dimaksudkan sebagai berikut : (1) Kata “hak sepenuhnya” dimaksudkan bahwa suami isteri mempunyai hak yang paling penuh yaitu berupa hak milik dan orang yang mempunyai hak milik memiliki wewenang yang paling luas yaitu berupa hak pengurusan (beheer) maupun hak kepemilikan (beschikking). (2) Kata “masing-masing” Menunjukkan bahwa untuk itu suami dan atau isteri dapat bertindak sendiri-sendiri, tanpa bantuan, kuasa, maupun persetujuan yang lain (baik dari suami maupun dari isteri) dan hal ini menunjukan pula bahwa suami atau isteri boleh bertindak berdasarkan kuasa yang diberikan kepadanya serta bertindak untuk dan atas nama pihak yang lain (suami dan isteri). (3) Prinsip Undang-Undang Perkawinan Pasal 31 ayat (2) menentukan bahwa baik suami maupun isteri wenang untuk melakukan tindakan hukum. Mengingat Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa yang termasuk harta benda milik pribadi suami dan atau isteri adalah sebagai berikut:
86
a) Harta pribadi berupa harta bawaan suami dan atau isteri. b) Harta pribadi berupa harta hadiah suami dan atau isteri. c) Harta pribadi berupa harta warisan suami dan atau isteri.72 Harta pribadi berupa harta bawaan yang sudah ada sebelum perkawinan dan berasal milik masing-masing suami dan atau isteri yang bersangkutan atas barang atau harta tersebut suami atau isteri sebelum. Selama dan sesudah perkawinan tetap mempunyai wewenang penuh berupa hak beheer maupun beschikking terhadap harta bawaan tersebut, kecuali apabila suami isteri sebelum melaksanakan perkawinan termasuk orang-orang yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dalam hal mana calon suami isteri tersebut dalam melakukan tindakan hukum yang menyangkut harta tersebut diwakili oleh orang tua, wali atau curatornya. Undang-undang perkawinan di dalam Pasal 35 ayat (2) tidak ada tambahan kata “sepanjang perkawinan” sehingga suami isteri sebelum, selama, maupun sesudah perkawinan berlangsung tetap berwenang mengambil tindakan hukum berupa hak beheer dan beschikking atas harta tersebut dan seolah-olah atas harta pribadi suami dan atau isteri dengan terjadinya perkawinan tidak membawa akibat hukum terhadap harta pribadinya kecuali sebelum perkawinan suami atau isteri termasuk orang-orang yang belum
72
Ibid, halaman 197.
87
cakap untuk bertindak.73 Dengan demikian kata “dibawah penguasaan” dalam Pasal 35 ayat (2) diartikan bahwa harta tersebut milik suami isteri dan konsekuensinya suami dan atau isteri yang bersangkutan mempunyai hak beheer dan beschikking atas harta pribadi tersebut. Secara gramatikal “kata penguasaan” berasal dari kata “kuasa”, “menguasai benda” dapat berarti bahwa benda yang dikuasai ada pada diri si penguasa walaupun belum tentu dengan sah dan sekaligus dapat meliputi adanya kuasa atau wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan hukum yang dianggap perlu apabila benda tersebut berada pada diri si penguasa secara sah. Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila barang pribadi tersebut ada pada diri si penguasa maka ia sekaligus mempunyai hak beheer dan beschikking atas barang pribadinya. Harta bawaan berupa harta yang dibawah suami atau isteri ke dalam perkawinan yang merupakan hasil usahanya sendiri sebelum menikah atau disebut harta pembujangan atau harta penantian di dalam dan sepanjang perkawinan pada asasnya tetap menjadi milik suami atau isteri yang membawa harta tersebut dan termasuk didalamnya adalah harta hadiah perkawinan yang diperoleh isteri dari suami atau keluarganya, menurut hukum adat harta ini tetap dimiliki suami atau isteri yang bersangkutan dan
73
Ibid, halaman 198.
88
mengingat harta ini tidak mempunyai ikatan dengan keluarga maka atas harta tersebut suami atau isteri pada umumnya bebas menggunakannya. Jadi suami atau isteri yang bersangkutan mempunyai hak milik dan hak pengelolaan secara penuh. Namun demikian berbeda dengan harta bawaan yang berasal dari harta asal atau harta warisan dalam hal ini UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 menyimpang dari pada asas hukum adat. Karena menurut hukum adat harta yang diperoleh dari warisan orang tua tetap berstatus barang asal harta ini tidak dapat berubah menjadi hak milik dari pada si pembawa pada saat perkawinan berlangsung walaupun dimungkinkan sepanjang perkawinan harta ini tetap dikuasai oleh si pembawa atau suami isteri tetapi tetap saja harta tersebut merupakan harta yang mempunyai ikatan dengan keluarga besar (familie) sehingga si pembawa atau sipenerima tidak bebas sepenuhnya
untuk
mengambil tindakan pemilikan (beschikken). Jadi menurut hukum adat tidak dapat dikatakan bahwa barang-barang atau harta warisan atau harta asal tersebut adalah sepenuhnya milik si pembawa atau si penerima, bahkan seringkali si pembawa atau si penerima harta ini hanya mempunyai hak pakai atasnya. Oleh karena itu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai harta bawaan berupa harta asal atau harta warisan menyimpang dari asas hukum adat hal ini mengingat bahwa dalam perkembangan pengaruh keluarga besar
89
(familie) terhadap anggota kerabat makin lama makin memudar dan proses individualisme dalam era pembangunan tidak dapat dihindarkan sehingga harta bawaan berupa harta asal atau warisan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat terlepas dari ikatan keluarga sehingga suami atau isteri yang bersangkutan mempunyai hak milik dan hak pengelolaan atas harta tersebut. d. Kewenangan mengadili untuk pembagian harta benda bersama Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2001 yaitu sebagai berikut: i. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. ii. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dengan adanya empat lingkungan peradilan sebagai pelaksana fungsi dan kewenangan kekuasaan kehakiman maka dapat diadakannya pembagian
batas
antara
masing-masing
lingkungan
peradilan
ditentukan oleh bidang yurisdiksi yang diatur oleh undang-undang. Dalam batas-batas yurisdiksi tersebut masing-masing melaksanakan fungsi kewenangan mengadili salah satunya adalah Pengadilan Agama.
90
Kedudukan lingkupan Peradilan Agama sebagai salah satu Badan
Pelaksana
Kekuasaan
Kehakiman,
untuk
memenuhi
pelaksanaan ketentuan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 di lingkungan Peradilan Agama, diundangkanlah UU No. 7 Tahun 1989. Dalam Bab I Pasal 2 jo Bab III Pasal 49 ditetapkan tugas kewenangannya untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara “perdata” dibidang: a. Perkawinan, b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan Islam, Wakaf dan shadaoh. Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 menegaskan bahwa: Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini. Begitu pula ditegaskan dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. Perkawinan, b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, c. Wakaf dan shadaqah. Hal yang sama juga telah ditegaskan dalam Penjelasan Umum, angka 2 alinea ketiga yang berbunyi:
91
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah berdasarkan hukum Islam. Dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) serta penjelasan umum angka 2 alinea ketiga yang telah diuraikan di atas, maka terdapat satu asas dalam beracara di peradilan agama yaitu asas personalitas Keislaman yang melekat pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 maka dapat dijelaskan beberapa penegasan yang membarengi asas tersebut, yaitu sebagai berikut: 1) Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam. 2) Perkara perdata yang disengketakan terbatas mengenai perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah, dan 3) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaian berdasarkan hukum Islam. Asas personalitas Keislaman harus meliputi para pihak yang bersengketa, kedua belah pihak harus sama-sama beragama Islam. Apabila salah satu pihak tidak beragama Islam, suatu sengketa tidak dapat ditundukan kepada lingkungan Peradilan Agama. Dalam hal demikian sengketa tunduk kepada kewenangan peradilan umum. Begitu pula landasan hubungan hukumnya, harus hubungan hukum
92
Islam. Jika hubungan hukum yang terjadi bukan berdasarkan hukum Islam, sengketa tidak tunduk menjadi kewenangan lingkungan peradilan agama. Misalnya, hubungan hukum ikatan perkawinan antara suami isteri adalah hukum barat, sekalipun suami isteri beragama Islam, asas personalitas Keislaman, ditiadakan oleh landasan hubungan hukum yang mendasari perkawinan. Oleh karena itu sengketa perkawinan yang menjadi antara suami isteri tidak tunduk menjadi kewenangan peradilan agama, tapi jatuh menjadi kewenangan pengadilan umum. Patokan ini sesuai dengan surat Mahkamah Agung tanggal 31 Agustus 1983 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Ujung Pandang. Isi pokoknya menegaskan bahwa yang dipergunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadilan Agama adalah “hukum yang berlaku waktu pernikahan dilangsungkan”. Berarti seseorang yang melangsungkan perkawinan secara Islam, perkaranya tetap wewenang Pengadilan Agama sekaligus salah satu pihak tidak beragama Islam lagi. Jadi penerapan asas personalitas Keislaman merupakan kesatuan hubungan yang tidak terpisah dengan dasar hubungan hukum. Kesempurnaan dan kemutlakan asas personalitas Keislaman harus didukung oleh hubungan hukum berdasar hukum Islam, sehingga sengketa tersebut “mutlak” atau “absolut” tunduk menjadi kewenangan Peradilan Agama, serta hukum yang diterapkan untuk menyelesaikan perkara harus berdasarkan hukum Islam.
93
Asas personalitas Keislaman berdasarkan pada patokan “umum” dan patokan “saat terjadinya” hubungan hukum. Maksud daripada patokan umum adalah patokan untuk menentukan Keislaman seseorang didasarkan pada faktor “formal” tanpa mempersoalkan kualitas Keislaman yang bersangkutan. Apabila seseorang mengaku beragama Islam maka pada dirinya secara otomatis melekat asas personalitas Keislaman. Faktanya dapat ditentukan melalui KTP, SIM, Sensus Penduduk dan surat keterangan lainnya serta dapat juga dari kesaksian. Sedangkan patokan “saat terjadinya” hubungan hukum ditentukan oleh : Pertama, pada saat terjadi hubungan kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan yang kedua bahwa hubungan ikatan hukum para pihak dilakukan berdasarkan hukum Islam. Apabila kedua syarat tersebut terpenuhi oleh kedua belah pihak telah melekat asas personalitas Keislaman, dan sengketa yang terjadi diantara kedua belah pihak tunduk menjadi kewenangan peradilan agama, tidak menjadi soal apabila dibelakang hari atau pada saat terjadi sengketa, salah seorang diantara para pihak telah berpindah agama dari agama Islam ke agama yang lainnya. Pada masa yang lalu baik sebelum dan sesudah diundangkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai Undang-undang dan hukum perkawinan nasional, kewenangan Peradilan Agama mengadili kasus perkara perkawinan bagi golongan rakyat tertentu
94
(bagi mereka yang beragama Islam), tidak utuh secara menyeluruh. Dari sekian luas jangkauan hukum yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak secara menyeluruh kewenangan mengadili perkara yang timbul dari padanya menjadi kompetensi absolut peradilan agama. Kewenangan mengadili perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, tidak bulat ada bagian yang tersisa yang kewenangan mengadili perkaranya menjadi kompetensi absolut lingkungan Peradilan Umum. Bagian yang tidak terjangkau terutama mengenai perkara yang berkenaan dengan sengketa “harta bersama” suami isteri, sehingga perkara perkawinan bagi golongan rakyat yang memiliki personalitas Keislaman, ditempatkan pada dua sisi kutub mengenai perkara perkawinan selain daripada sengketa harta bersama, tunduk di lingkungan peradilan umum. Misalnya, perkara sengketa perceraian bagi mereka yang beragama Islam dan yang kawin secara Islam, dihadapkan ke Pengadilan Agama. Tetapi mengenai perkara harta bersama sengketanya diadili Pengadilan Negeri. Padahal kasus sengketa harta bersama dalam perceraian, merupakan akibat langsung dari perkara perceraian. Namun demikian penyelesaian perkara harta bersama diperiksa dan diputus oleh dua lingkungan peradilan yang berbeda. Sejak berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 penyelesaian perkara perkawinan menyeluruh menjadi jangkauan kewenangan Peradilan Agama, semua segi yang berhubungan dengan perkara perkawinan
95
termasuk sengketa harta bersama, secara utuh menjadi jangkauan kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan umum angka 2 alinea keempat yang berbunyi: e. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Perkawinan Ditegaskan dalam penjelasan umum angka 2 alinea keempat yang berbunyi: Bidang perkawinan yang dimaksud disini adalah hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019). Dan ditegaskan pula dalam Pasal 49 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut: Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku. Berdasarkan uraian pasal ini apabila dihubungkan dengan penegasan penjelasan umum di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa Undang-Undang yang dimaksud ialah UU No. 1 Tahun 1974 maka segala apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, apabila pihak yang bersengketa terdiri dari orang-orang yang beragama Islam, kewenangan mengadili perkara menjadi yurisdiksi Peradilan Agama.
96
Perkara-perkara
perkawinan
yang
secara
utuh
dan
menyeluruh menjadi kewenangan yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama dirinci satu persatu dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974. Rincian penjelasan ini sekaligus dapat memudahkan
para
hakim
untuk
menguji
apakah
perkara
perkawinan yang diajukan termasuk dalam batas kewenangannya atau tidak. Menurut penjelasan Pasal 49 ayat (2), yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 antara lain: yang sekaligus menjadi yurisdiksi kewenangan Pengadilan Agama adalah sebagai berikut: 1) Izin beristeri lebih dari seorang. 2) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat. 3) Dispensasi kawin. 4) Pencegahan perkawinan. 5) Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah. 6) Pembatalan perkawinan. 7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri. 8) Perceraian karena talak. 9) Gugatan perceraian. 10) Penyelesaian harta bersama.
97
11) Mengenai penguasaan anak-anak. 12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya. 13) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri. 14) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak. 15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua. 16) Pencabutan kekuasaan wali. 17) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seseorang wali dicabut. 18) Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya. 19) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya. 20) Penetapan asal usul seorang anak. 21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran.
98
22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Rincian penjelasan Pasal 49 ayat (2) di atas diuji kepada ketentuan Pasal-Pasal UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tercakup keseluruhan kewenangan lingkungan Peradilan Agama, termasuk harta bersama masalah ini diatur dalam Bab VII UU No. 1 Tahun 1974 tentang Harta Benda dalam perkawinan yang terdiri dari Pasal 35 sampai Pasal 37. Berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal di atas dalam pertimbangan hukumnya. Point 5b hakim mempertimbangkan bahwa perkara yang disengketakan para pihak menjadi kewenangan Peradilan Agama dengan mendasarkan pada pasal. a. Pasal 37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masingmasing. Dari bunyi pasal di atas yang dimaksud “hukumnya masingmasing” menurut penjelasan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah hukum masing-masing suami isteri yang melangsungkan perkawinan yaitu menunjuk pada hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
99
Hal ini berarti pembagian harta bersama diatur sesuai dengan hukum yang dianut oleh suami isteri tersebut. Apabila suami isteri tunduk terhadap hukum agama maka penyelesaian pembagian harta bersama dibagi menurut hukum agama suami isteri apabila hukum agama suami isteri tidak mempunyai aturan mengenai harta bersama maka dapat diperlakukan menggunakan hukum adat suami isteri namun apabila suami isteri berbeda agama dan berbeda hukum adatnya dapat diselesaikan dengan hukum-hukum lainnya seperti yang diatur dalam hukum barat atau berpatokan pada kitab-kitab UndangUndang hukum perdata. Sebatas dalam ketentuan yang dimuatkan dalam perjanjian yang dimaksudkan dalam Pasal 35 ayat (2) yaitu sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ini maksudnya adalah untuk membuka kemungkinan hukum lain dari pada “hukum agama” dan “hukum adat” untuk pengaturan “harta bersama”, misalnya dalam hukum perdata barat (BW) yang kemudian di Indonesia menjadi KUH Perdata bagi pengaturan “harta bersama” orang-orang golongan timur asing Tionghoa. Orang-orang golongan Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan mereka yang berada di Indonesia. Terbukanya hukum lain dari pada hukum agama dan hukum adat bagi pengaturan harta bersama ini
100
adalah untuk menghindari terjadinya kevakuman hukum dalam tatanan hukum di Indonesia (Rinduan Syahrani, 1978 : 29). b. Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
c. Pasal 86 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1989 menegaskan bahwa: Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian maupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
C. Perceraian 1. Putusnya Perkawinan Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal serta untuk dapat melanjutkan keturunan. Namun demikian terkadang dalam suatu kehidupan berumah tangga yang dibina ada suatu konflik yang terkadang bisa terselesaikan dan terkadang ada suatu persoalan yang mendasar yang tidak ditemukan jalan perdamaian sehingga jalan terakhir yang diambil adalah bercerai, hal ini dikhawatirkan bahwa konflik yang terjadi terus menerus tidak ada penyelesaian dampaknya akan makin meluas kepada keluarga kedua belah pihak. Sehingga suatu perkawinan terpaksa putus karena perceraian. Hal ini seperti yang dinyatakan Soemiyati sebagai berikut:
101
Pada dasarnya melakukan perkawinan itu adalah bertujuan untuk selama-lamanya, tetapi ada kalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan jadi harus diputuskan ditengah jalan atau terpaksa putus dengan sendirinya, atau dengan kata lain terjadi perceraian. Perceraian dalam arti fiqh disebut “talak” atau “furqoh” adapun arti dari pada talak adalah membuka ikatan membatalkan perjanjian. Sedangkan arti dari furqoh artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul. Perkataan talak dalam istilah fiqih mempunyai dua arti yaitu arti umum dan arti khusus. Talak dalam arti umum ialah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang suami atau isteri. Talak dalam arti yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang putusnya perkawinan dalam Bab III dari Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Bab V dari Pasal 14 sampai Pasal 36. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan dalam tiga golongan seperti yang tercantum dalam Pasal 38 yaitu sebagai berikut : Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian, dan c. atas putusan pengadilan. Dari pasal tersebut yang dimaksud dengan putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan karena matinya salah satu pihak (suami isteri). Sejak matinya salah satu pihak itulah putusnya perkawinan
102
karena kematian terjadi. Sedang putusnya perkawinan karena perceraian adalah adanya putusan perkawinan karena dinyatakan talak oleh suami pada perkawinan yang diselenggarakan menurut agama Islam.74 Menurut Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud perceraian adalah: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.75 2. Alasan-alasan Putusnya Perkawinan Undang-undang perkawinan hanya menyebutkan secara umum mengenai sebab putusnya perkawinan, tidak mengatur secara terperinci mengenai cara-cara perceraian seperti yang diatur dalam hukum Islam, sebab putusnya perkawinan ini seperti yang diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang ini yaitu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Pada waktu mengajukan gugatan perceraian kepengadilan harus disertai alasan-alasan yang telah ditentukan dalam undang-undang perkawinan Pasal 39 ayat (2) yang berbunyi: Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.76
74
Trusto Subekti, Op.cit., halaman 104. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit., halaman 549. 76 Ibid, halaman 543. 75
103
Adapun alasan yang digunakan adalah diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami / isteri. f. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.77 Keenam alasan perceraian yang telah disebutkan di atas dalam pasal 116 kompilasi hukum Islam ditambah dengan dua alasan lainnya, sehingga dalam kompilasi hukum Islam terdapat delapan alasan perceraian. Tambahan alasan tersebut terdapat dalam point g dan point h. Alasan perceraian yang disebutkan dalam point
77
Ibid, halaman 566.
h adalah “peralihan
104
agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Melihat ketentuan mengenai alasan-alasan perceraian seperti tersebut di atas, sesungguhnya pada asasnya walaupun perceraian dalam perkawinan itu dilarang, namun orang tidak boleh begitu saja memutuskan hubungan perkawinan tanpa alasan yagn kuat. Jadi pada dasarnya undangundang perkawinan mempersulit terjadinya perceraian, hal ini adalah sesuai dengan tujuan perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan itu pada dasarnya untuk selama-lamanya. Alasan-alasan perceraian yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 dengan penjelasan menurut hukum adat oleh H. Hilman Hadikusuma dalam halaman 172-177 yaitu sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. (1) Zina / Berbuat zina Yang dimaksud perzinahan menurut ajaran Islam, ialah bercampurnya pria dengan wanita yang bersetubuh tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, baik hal itu dilakukan antara pria dan wanita yang sudah atau sedang dalam ikatan perkawinan, maupun antara pria dan wanita yang tidak/belum ada ikatan perkawinan, ataupun diantara yang sudah kawin dan yang belum kawin.78
78
H. Hilman Hadikusuma, Op.cit, halaman 172.
105
Jadi menurut ajaran Islam yang termasuk perbuatan zina adalah perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan diluar ikatan perkawinan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah kawin tapi melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya atau dengan perempuan yang bukan isterinya, dan persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang belum pernah kawin (bujang, perawan) serta persetubuhan yang dilakukan oleh salah satu diantaranya sudah kawin dan di satu pihak belum kawin. Misalnya : laki-laki yang sudah beristeri melakukan persetubuhan dengan seorang gadis yang belum pernah kawin atau sebaliknya. Sedangkan yang dimaksud dengan zina menurut Pasal 284 (1) Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) adalah perbuatan persetubuhan yang dilakukan suka sama suka atau mau sama mau tanpa adanya paksaan laki-laki dan wanita yang sudah kawin atau salah satu sudah kawin.79 Jadi dari pengertian zina menurut Pasal 184 (1) Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita yang sama-sama belum pernah kawin (berstatus bujang-perawan) tidak termasuk dalam pengertian zina. Sehingga seorang isteri atau suami yang akan mengajukan permohonan cerai atau gugatan cerai karena alasan salah satu pihak
79
Loc.cit.
106
berbuat zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat membuktikan perzinahan yang dituduhkan, dan tergugat atau termohon menyangkal atas perbuatannya, sehingga tidak ada bukti sama sekali, maka pemohon atau penggugat dapat meneguhkan tuduhannya dengan sumpah (Li’an) setelah ada perintah dari Majelis Hakim.80 (2) Pemabuk adalah suatu kegiatan yang dilakukan
seseorang
menyalah gunakan minum-minuman keras tanpa tujuan atau hanya untuk
bersenang-senang
sehingga
mengakibatkan
mabuk
sempoyongan, berbicara kacau, bahkan tidak dapat berdiri dan berbicara. Seorang pemabok biasanya lupa akan segala sesuatu baik mengenai dirinya dan kewajibannya, sehingga dalam suatu rumah tangga apabila suami adalah seorang pemabok maka ia tidak dapat dijadikan lagi sebagai kepala keluarga ia lupa akan kewajibannya menafkahi, mendidik anak dan isteri justru ia sering bersikap dan berbicara kasar kepada anggota keluarganya hanya untuk minumminuman keras, dengan demikian keharmonisan rumah tangga tidak mungkin terjalin dan suatu rumah tangga akan rapuh dan hancur.
80
Trusto Soebekti, Op.cit, halaman 105-106.
107
(3) Pemadat Pemadat adalah suatu perbuatan yang salah menggunakan obat yang dilarang oleh undang-undang kecuali untuk kesehatan. Untuk keperluan kesehatan atau kedokteran obat-obatan ini diperbolehkan digunakan untuk kegiatan operasi bedah dan untuk mengurangi rasa sakit (pingsan), dan selain untuk keperluan kedokteran obat-obatan ini dilarang oleh Undang-Undang. Pemadat biasanya menggunakan hanya untuk kesenangan yang berakibat merusak jaringan tubuh dan berakibat kecanduan atau ketergantungan. Obat-obatan atau serbuk ini dapat berupa : ganja, morfin, sabu-sabu, ekstasi, heroin dan lain sebagainya, dimana semua jenis ini dapat mengakibatkan ketergantungan bagi pemakainya oleh karena penyalahgunaannya dilarang oleh Undang-Undang. (4) Penjudi Penjudi adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan karena keberuntungan yang belum pasti bahkan sering kali kalah atau merugi yang mengakibatkan keuangan rumah tangga dihabiskan hanya untuk berjudi, sehingga apabila uang sudah habis segala sesuatu yang dapat dijual akan dilelang demi judi.81
81
H. Hilman Hadikusuma, Op.cit., halaman 172.
108
Alasan penceraian karena salah satu suami atau isteri melakukan zina, pemabok, pemadat, dan penjudi yang sulit disembuhkan merupakan suatu alasan yang fundamen atau mendasar karena alasan ini merupakan alasan mendasari bahwa suami isteri sudah tidak ada ikatan batin yang saling mengikat diantara keduanya dan biasanya orang yang sudah menjadi pemadat, pemabuk, penzina dan penjudi akan melakukan kejahatan apapun demi terpenuhinya kepuasan dirinya sendiri seperti mencuri, merampok, membunuh dan lain-lain sehingga tujuan perkawinan sebagaimana diamanahkan dalam undang-undang perkawinan tidak akan terwujud. b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. Alasan ini sering disebut sebagai pelantaran rumah tangga, sehingga seorang isteri atau suami ditinggalkan begitu saja tanpa adanya alasan jelas, sedangkan dalam rumah tangga selain dibutuhkannya kebutuhan batin juga harus adanya kebutuhan lahir yaitu kebutuhan ekonomi untuk kehidupan sehari-hari rumah tangga dan pendidikan anak kalau ada anak. Dengan pelantaran rumah tangga berarti karena kebutuhan tadi maka salah satu pihak baik suami ataupun isteri yang ditinggalkannya berhak mengajukan gugatan cerai. Hal ini seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
109
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa: Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Cara mengajukan keperadilan yaitu diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah, agar gugatannya
diterima
maka
perlu
dibuktikan
bahwa
tergugat
menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.82
Namun jika yang meninggalkan tidak tahu
keberadaannya maka diperdengarkan saksi dari pihak keluarga yang meninggalkannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung Apabila suami tidak memberi nafkah lahir dan batin kepada isteri dalam waktu yang lama, artinya suami tidak memberi biaya hidup dan tidak menggauli isterinya sebagai isteri karena suami atau isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat maka karena keadaan demikian dapat dijadikan alasan bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya demi kelangsungan hidup isteri dan anak-anaknya bila ada anak. Mengajukan gugatan/ permohonan cerai ini dengan cara penggugat menyampaikan salinan atau turunan putusan pengadilan yang memutuskan penjara pidana penjara disertai adanya keterangan yang menyatakan bahwa putusan
82
Loc. Cit.
110
itu telah inkrah, hal ini digunakan untuk membuktikan alasan yang dialihkan oleh penggugat atau termohon penceraian.83 d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan terhadap pihak lain Menurut penjelasan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) yang dimaksud dengan penganiayaan adalah: Sengaja merusak kesehatan orang yang mengakibatkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit atau luka.84 Dari
penjelasan
Pasal
diatas
dapat
dijelaskan
bahwa
penderitaan misalnya dikerangkeng tidak dikasih makan dalam waktu tertentu, disiram air, dijambak, kemudian menimbulkan rasa sakit misalnya
dipukul,
ditampar,
menendang,
mencubit
sehingga
menimbulkan memar-memar, serta mengakibatkan luka misalnya ditusuk dengan pisau hingga mengakibatkan luka terbuka pada bagian tubuh tersebut. Ini bukanlah suatu pengajaran suami terhadap isteri karena pengajaran ini melampaui batas-batas kemanusiaan yang sampai membahayakan tubuh dan kesehatan isteri. Apabila
tindakan
suami
melampaui
batas,
sehingga
membahayakan bagi kehidupan isteri, maka dengan kemufakatan bersama diantara anggota kerabat, isteri harus berpisah tempat dari suami dan kerabat berkewajiban mendamaikan dan merukunkan 83 84
Loc.cit. R. Soesilo, Kitab Undang-undang Pidana serta komentar-komentar lengkap pasal demi pasal, (Bogor, Sinar Grafika, 1976), halaman 211.
111
kembali rumah tangga yang berselisih itu. Kecuali apabila kerabat sudah tidak berhasil merukunkan mereka kembali, maka terpaksa diambil keputusan untuk terjadinya penceraian.85 e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak
dapat
menjalankan
kewajiban
sebagai
suami/isteri. Cacat badan atau penyakit yang diderita salah satu suami isteri ialah, isteri mandul, suami lemah syahwat (impotent) berpenyakit berat yang sulit disembuhkan, kurang akal (gila, stress), cacat tubuh (bisu, buta, tuli, dll) dan penyakit yang menyebabkan tidak mendapat keturunan, sehingga kehidupan rumah tangga menjadi terganggu, maka kesemuanya itu dapat merupakan alasan untuk terjadinya penceraian.86 Namun dengan perkembangan jaman yang modern penyakit biasanya dapat disembuhkan walaupun dengan biaya yang tidak sedikit tapi jika memang tidak mampu salah satu jalan keluar adalah bercerai, dan apabila alasan ini digunakan untuk mengajukan gugatan atau permohonan cerai harus disertai keterangan tentang penyakit yang diderita dari dokter. f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
85 86
Hilman Hadikusuma, Op.cit., halaman 175. Ibid, halaman 176
112
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran biasanya alasan ini sering kali di jadikan alasan untuk menuntut/mengajukan perceraian, perselisihan ini biasanya karena berbeda prinsip antara suami isteri misalnya cemburu yang berlebihlebihan, tidak ada keseimbangan dalam mengurus rumah tangga dan lain sebagainya, maka untuk mengajukan gugatan atau permohonan penceraian harus dibuktikan dengan mendengarkan keterangan saksi oleh kerabat atau keluarga dari pihak suami atau isteri didepan majelis hakim. Dalam komplikasi hukum Islam alasan penceraian telah dirumuskan dalam Pasal 116 yang isinya sama a-f sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tetapi dalam komplikasi Hukum Islam menambahkan 2 alasan penceraian yaitu sebagai berikut: g. Suami melanggar taklik-talak Menurut Pasal 1 huruf 2 komplikasi Hukum Islam yang dimaksud dengan taklik-talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akad nikah berupa janji talak yang digunakan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.87
87
H. Wildan Suyuthi, Op.cit., halaman 1.
113
Ta’lik talak dilakukan oleh suami setelah akad nikah, adapun siqhat ta’lik talak yang tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah sebagai berikut : Sewaktu-waktu saya : (1) Meninggalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut (2) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya (3) Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu (4) Atau saya membiarkan/tidak mempedulikan isteri saya itu enam bulan lamanya. Kemudian isteri saya tidak rela dan mengadukan halnya kepada pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan isteri saya itu membayar uang sebesar Rp…….. sebagai ‘iwald (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwald (pengganti) itu dan kemudian memberikanya untuk keperluan ibadah sosial.88 Ta’lik talak ini diadakan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan si isteri supaya tidak dianiaya oleh suami. Oleh karena itu apabila seorang suami dianggap oleh isterinya telah melanggar ta’lik talak maka seorang isteri dapat mengajukan gugatan penceraian ke pengadilan.
88
Soemiyati, Op.cit, halaman 115.
114
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Apabila pada awal perkawinan suami isteri beragama Islam namun ditengah perjalanan perkawinannya seorang isteri atau suami keluar dari agama Islam sehingga diantara suami isteri sudah berbeda keyakinan, padahal tujuan perkawinan adalah berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa dan apabila suatu perkawinan antara suami isteri sudah berbeda agama maka sudah tentu perkawinan sulit ditegakan karena ajaran agama yang harus dipegang dualisme yang satu beragama Islam misalnya dan yang satu beragama lain sehingga ini sulit untuk menentukan tuntutan rohani dalam perkawinan. 3. Akibat Putusnya Perkawinan a. Terhadap Harta Benda Perkawinan Menurut pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur mengenai pembagian harta bersama yaitu sebagai berikut: Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dari pasal di atas yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang ini adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Istilah “hukum lainnya” dalam Penjelasan Pasal 37 UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maksudnya adalah untuk membuka kemungkinan hukum lain dari pada “hukum agama” dan
115
“hukum adat” untuk pengaturan harta bersama misalnya dalam hukum perdata barat (BW) bagi orang-orang golongan timur asing Tionghoa, dan orang-orang golongan Eropa serta orang-orang yang disamakan dengan mereka yang berada di Indonesia. Terbukanya hukum lain daripada hukum agama dan hukum adat untuk pengaturan harta bersama adalah untuk menghindari terjadinya kevakuman hukum dalam tatanan hukum di Indonesia. (Ridwan Syahrani, 1978 : 29) Penjelasan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sejalan dengan ketentuan Pasal 96 dan 97 kompilasi hukum Islam, penerapan-penerapan hukum Islam dalam soal pembagian harta bersama baik dalam cerai mati dan cerai hidup sudah mendapat kepastian positif pasti. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 96 kompilasi hukum Islam yaitu sebagai berikut: Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Demikian pula dalam cerai hidup yang ditegaskan dalam Pasal 97 menegaskan : Janda duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jadi menurut apa yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam, penerapan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 suami istri masing-masing berhak mendapat setengah bagian dari harta bersama apabila perkawinan pecah. Tidak menjadi soal apakah pecahnya karena cerai mati atau cerai hidup. Pendirian yang digariskan
116
dalam Kompilasi Hukum Islam sejalan dengan pandangan orientasi makna syarikat yang ditentukan dalam hukum Islam itu sendiri. f. Oleh karena harta bersama disejajarkan konstruksinya dengan pengertian syarikat, sehingga suami istri dianggap bersyarikat atau berkongsi terhadap harta bersama, adalah patut untuk memberi hak dan bagian yang sama apabila perkawinan mereka pecah. Pendapat dan penerapan yang demikian juga telah merupakan yurisprudensi tetap dalam hukum adat. Sejak masa perang dunia kedua, sudah dipertahankan ketetapan hukum yang memberi hak dan kedudukan yang sama antara suami dan istri terhadap harta bersama apabila perkawinan mereka pecah. Ambil contoh putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Desember 1959 No. 424 K/Sip/1959. Dalam putusan ini ditegaskan “Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung dalam hal terjadi perceraian barang gono-gini harus dibagi antara suami istri dengan masing-masing mendapat separoh bagian.89 Di dalam perceraian, pembagian harta bersama tidak seragam untuk daerah-daerah di Indonesia, kadang-kadang dibagi dua bagian sama
besar,
kadang-kadang
suami
istri
menerima
menurut
perbandingan 2 : 1 (dua berbanding satu). Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat di daerah-daerah tertentu, tidak dikenal adanya Harta Bersama sepanjang perkawinan
89
M. Yahya Harahap, Op.cit., halaman 280.
117
suami istri, sehingga lembaga hukum Harta Bersama untuk daerahdaerah tertentu merupakan hal baru yang diintroduser oleh UndangUndang Nomor 1/1974. Walaupun demikian, sebelum berlakunya U.U.P., Pengadilan Tinggi Medan telah berani dan patut dipuji menetapkan, bahwa meskipun menurut Hukum Syarikat hal ini sesuai dengan kesadaran dan perkembangan hukum Indonesia, maka dipandang adil, bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan adalah Harta Syarikat yang harus dibagi dua di antara suami istri apabila terjadi perceraian. Keputusan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung Indonesia. Dengan cara berpikir dan kesadaran hukum yang kurang lebih sama, oleh Pengadilan Negeri Denpasar dalam tahun 1972 telah diambil keputusan yang senada, keputusan mana dikuatkan oleh keputusan Pengadilan Tinggi Denpasar. Dahulu pembagian Harta Bersama dalam 2 bagian yang sama besarnya untuk suami dan istri seringkali dikaitkan dengan masalah apakah masing-masing suami-istri turut serta dalam mengusahakan perolehan barang tersebut. Hal ini dapat dilihat menurut adat masyarakat Melayu di Amuntai, pada suami dan istri masing-masing berhak atas setengah dari barang-barang yang diperoleh sepanjang perkawinan (barang perpantangan), asal kedua suami istri itu turut bekerja, kecuali kalau seseorang di antara mereka dapat membuktikan, bahwa barang tersebut diperolehnya dari warisan atau hibah atau diperoleh atas usahanya
118
sendiri. Keputusan Landraad Amuntai tanggal. 08-10-1927, dalam T. 128:219.9. tetapi di kemudian hari dalam keputusan Pengadilan dalam hal terjadi perceraian, maka Harta Bersama dibagi menjadi dua bagian yang sama besarnya dan masing-masing suami dan istri mendapat satu bagian yang sama. Hak janda atas setengah Harta Bersama adalah sesuai dengan Hukum Adat di Bangil (Jatim) di mana janda memperoleh setengah dari harta gono gini. Demikian pula di Jawa Tengah (Pemalang). Tetapi berapa besarnya hak bagian masing-masing suami istri dalam Harta Bersama selama Harta Bersama masih “hidup”, tidak diketahui. Sesudah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, M.A. tidak berubah lagi pendapatnya, yaitu : sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi Harta Bersama, sehingga saat terjadinya perceraian Harta Bersama tersebut harus dibagi sama rata antara bekas suami istri.90 b. Terhadap Pihak Ketiga Piutang atau tagihan dari pihak ketiga yang pengikatannya dibuat atau disepakati sebelum perkawinannya putus (bercerai) maka dapat dilihat apakah piutang dan tagihan itu dilakukan masing-masing suami isteri atau bersama-sama. Jika hutang pribadi suami isteri maka itu merupakan tanggung jawab masing-masing suami isteri yang membuat perikatan (perjanjian). Sehingga hutang ini dibebankan 90
J. Satrio, Op.cit., halaman 213.
119
kepada harta pribadi masing-masing suami isteri, namun jika hutang tersebut merupakan hutang yang dibuat oleh suami isteri bersamasama selama ikatan perkawinan dan terjadi dalam rangka memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama untuk kehidupan rumah tangganya maka dibebankan atas harta bersama suami isteri. Piutang atau tagihan dari pihak ketiga yang perikatannnya disepakati setelah perceraian terjadi, berarti setelah ikatan perkawinan putus, maka status masing-masing secara yuridis sudah menjadi bekas suami atau bekas isteri, maka dengan sendirinya perikatan tersebut hanya mengikat masing-masing bekas suami atau bekas isteri yang membuat perikatan tersebut. 1) Hutang bersama suami isteri Mengingat dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa harta bersama adalah harta milik bersama suami isteri yang terdiri dari semua hasil usaha dan pendapatan suami isteri baik diperoleh secara bersama-sama maupun diperoleh secara sendiri-sendiri selama perkawinan berlangsung dan termasuk semua hasil yang berasal dari harta bawaan suami isteri menjadi harta bersama. Atas dasar pasal 35 ayat 1 Undang-undang ini maka menurut undang-undang perkawinan menganut asas tanggung jawab atas hutang bersamasama suami isteri adalah sebagai berikut: Suami dan isteri masingmasing memikul setengah dari pengeluaran atau hutang bersama.91 91
Ibid, halaman 214.
120
Yang dimaksud dengan pengeluaran bersama adalah semua pengeluaran-pengeluaran
yang
digunakan
untuk
mencukupi
kebutuhan hidup keluarga atau rumah tangga termasuk didalamnya pengeluaran pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pengeluaran untuk biaya kesehatan dan pengobatan serta pendidikan anak-anak atau semua pengeluaran yang bukan untuk keperluan pribadi suami isteri. Penyelesaian terhadap hutang bersama berkaitan dengan pemanfaatan dari hutang bersama, karena hutang bersama dimanfaatkan untuk memenuhi atau mencukupi kebutuhan bersama suami
isteri
dalam
kehidupan
berumah
tangga
sehingga
penyelesaian terhadap hutang bersama-sama ini sewajarnya dibebankan kepada harta bersama atau harta milik bersama suami isteri, hal ini menurut J. Satrio berpendapat bahwa: Baik suami maupun isteri bertanggung jawab atas hutang bersama yang dibuat oleh suami isteri dengan harta bersama. Atas hutang bersama suami isteri berkewajiban untuk melunasi semua hutang bersama dengan menggunakan harta milik bersama sebagai pelunasannya. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak memberikan penjelasan mengenai tanggung jawab suami isteri mengenai hutang bersama apabila harta bersama tidak cukup untuk melunasi hutang bersama dapat mengambil harta pribadi dari si pembuatan hutang.
121
Namun mengingat bahwa asas yang dianut dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai hutang bersama bahwa “suami dan isteri masing-masing memikul setengah dari hutang bersama” maka apabila harta bersama tidak cukup melunasi hutang bersama maka sudah sepantasnya pelunasannya diambil dari harta pribadi si pembuat hutang. (1) Menurut sistem KUH Perdata Harta
persatuan
memang
dapat
dipertanggungjawabkan
terhadap hutang persatuan. Kalau harta persatuan tidak mencukupi, maka harta pribadi si pembuat hutang dapat diambil untuk pelunasan hutang, malah kalau si pembuat hutang adalah isteri, maka harta pribadi suami dapat pula dipertanggungjawabkan. (2) Menurut hukum adat Hutang bersama pertama-tama mengambil pelunasan dari harta bersama dan dalam hal harta tersebut tidak mencukupi harta asal dapat diambil pula. 2) Hutang pribadi suami atau isteri Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal ini pembentuk undang-undang menggunakan istilah “harta” dalam hubungannya dengan “harta bawaan” dan istilah “harta benda” dalam hubungannya dengan harta benda yang diperoleh masing-masing suami isteri sebagai hadiah atau warisan.
122
Istilah “harta” dan istilah “harta benda” mengandung pengertian hanya aktivanya saja, tetapi pembentuk undang-undang juga tidak menggunakan istilah “harta kekayaan” (vermogen) yang berarti keseluruhan yaitu aktiva dan pasiva. Dengan istilah “harta” dan istilah “harta benda” yang menunjuk pada aktivanya saja dipandang tidak logis karena aktiva masuk sebagai harta pribadi yang dikuasai sebagai hak milik pribadi suami atau isteri yang bersangkutan sedangkan pasivanya atau hutang-hutang pribadinya dibebankan kepada harta bersama. Oleh karenanya pembentuk undang-undang mengesampingkan mengenai arti dari istilah “harta” dan istilah “harta benda” sehingga dapat diartikan bahwa aktivanya masuk sebagai harta pribadi hak milik suami atau isteri yang bersangkutan maka adalah patut apabila hutang-hutang pribadinya dibebankan terhadap harta pribadi masing-masing suami atau isteri yang bersangkutan. (1) Menurut sistem KUH Perdata hutang pribadi pertama-tama mengambil pelunasannya dari harta pribadi si pembuat hutang. Apabila harta pribadi tidak cukup untuk melunasi hutang maka kekurangannya dapat diambilkan dari harta bersama persatuan dengan pertimbangan bahwa antara suami isteri ada hubungan yang sangat erat. (2) Asas yang berlaku dalam sistem KUH Perdata juga berlaku pula di dalam sistem hukum adat. Apabila hutang sebelum
123
perkawinan yang dilakukan suami maupun isteri maka pertama-tama hutang tersebut dapat mengambil pelunasannya dari harta asal dari di pembuat hutang apabila harta asal tidak cukup untuk melunasi hutang tersebut maka dapat mengambil harta bersama sebagai pelunasan secara keseluruhan artinya kalau perlu untuk seluruh hutang tidak hanya sebesar hak bagian istri atas harta bersama.
124
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legistis positivistis. Konsep ini memandang bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsep ini juga memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat. Dalam hal ini digunakan pendekatan dari sudut pandang sistem hukum perkawinan pada umumnya dan hukum yang berkaitan dengan harta benda perkawinan pada khususnya. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum klinis (clinical legal research) yaitu suatu penelitian hukum untuk menemukan hukum dan menemukan bunyi peraturan hukum serta menentukan hukum apa yang sesuai dengan seperangkat norma-norma hukum yang berlaku yang kemudian diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara in concreto. Dalam hal ini merupakan suatu penelitian hukum yang menjelaskan penerapan hukum dalam suatu putusan hakim.
125
C. Obyek Penelitian Perselisihan mengenai pembagian harta benda perkawinan antara bekas istri dengan bekas suaminya yang terdapat pada putusan Pengadilan Agung Cimahi Nomor 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi. D. Sumber Data 1) Data yaitu fakta-fakta hukum dan dasar-dasar hukum tentang harta benda perkawinan yang terdapat dalam putusan hakim. 2) Jenis data yaitu data sekunder dan dalam hal ini dibutuhkan bahan hukum yang berupa : (1) Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan harta benda perkawinan yaitu : a. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. d. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. e. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. f. Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
126
g. Putusan
Pengadilan
319/Pdt.G/1994/PA.Cmi
Agama tentang
Cimahi
Pembagian
Harta
Nomor Benda
Perkawinan. (2) Bahan hukum sekunder yang berupa pendapat ilmiah para sarjana (doktrin) dan buku-buku literatur yang ada kaitannya dengan harta benda perkawinan. (3) Bahan hukum tersier yaitu berupa kamus-kamus yang ada kaitannya dengan harta benda perkawinan yaitu kamus besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. E. Teknik Pengumpulan Data Terhadap data dan bahan hukum seperti tersebut di atas, dikumpulkan dengan menggunakan metode recording (pencatatan). F. Teknik Penyajian Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk uraian yang disusun dengan berdasarkan metode kualifikasi yaitu menata atau mengorganisasikan data dari hasil penelitian data secara sistematis atau secara berurutan dari keseluruhan data yang diperoleh kemudian dihubungkan antara data yang satu dengan data yang lainnya sehingga tersusun sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan sesuai dengan pokok permasalahan sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
127
G. Analisa Data Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara kualifikatif kemudian di bahas dan dijabarkan berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah-kaidah hukum yang dalam hal ini sistem hukum perkawinan pada umumnya dan tentang pembagian harta benda bersama dalam perkawinan pada khususnya.
128
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian pada Putusan No. 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi dapat diperoleh data sebagai berikut : 1. Subyek Hukum a) Budiman Sinuligga bin Medan Sinulingga, umur 45, pekerjaan guru, tempat tinggal Jl. Pluto Utara No. 23 Bandung, semula di jalan Cicukang Raya No. 9 Desa Mekar Rahayu Kecamatan Marga Asih Kabupaten Bandung, pihak penggugat; Melawan b) Melawan Popy Alvadiny binti Asasta, umur 41 tahun, pekerjaan wiraswasta, tinggal di JI. Cicukang Raya No. 9 Desa Makar rahayu Kecamatan marga Asih Kabupaten Bandung, pihak tergugat. 2. Duduk Perkara a) Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami istri yang menikah, pada tanggal 10 Maret 1983, sebagai mana tercatat dalam kutipan Akta Nikah No. 1054/111/49/1983 pada kantor Urusan Agama Kecamatan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung. b) Bahwa selama ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat berlangsung telah dilahirkan seorang anak perempuan yang bernama Crisna Sriswina Sinulingga.
129
c) Bahwa kemudian perkawinan Penggugat dengan Tergugat putus karena perceraian berdasarkan Akta Cerai tertanggal 23 April 1993/AC/I993/PA.Cmi. d) Bahwa selama ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat berlangsung selain dilahirkan seorang anak juga telah mendapatkan harta kekayaan bersama (harta gono-gini) yakni sebidang tanah dan. bangunan sesuai dengan sertifikat hak milik No. 836 Desa Mekar Rahayu Kecarnatan Marga Asih Kabupaten Bandung dan sekarang dikenal sebagai Cicukang Raya No. 9 Kabupaten Badung. e) Bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah putus karena perceraian dan atas perceraian telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Penggugat berhak untuk mendapatkan/menerima setengah dari kekayaan bersama tersebut. f) Bahwa Penggugat telah berusaha secara baik-baik kepada Tergugat agar Tergugat dengan sukarela memberikan segala apa yang menjadi hak
Penggugat
secara
musyawarah
namun
tergugat
tidak
menaggapinya maka Penggugat dengan sangat terpaksa menuntut sesuai dengan hukum yang berlaku. g) Bahwa barang harta bersama tersebut hingga kini masih dikuasai oleh Tergugat, dan Penggugat sangat kuatir akan itikat buruk dari Tergugat yang
akan
menjual/mengalihkan/membebankan
hak
atau
memindahkan dan lainnya, agar gugatan ini tidak menjadi ilusoir/siasia, maka Penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama
130
Cimahi berkenan untuk melakukan sita jaminan (Conservatoir Beslag) terhadap barang harta perkawinan ini sebagaimana diuraikan di atas. h) Bahwa Penggugat layak menuntut kepada Tergugat atau uang paksa (Dwangsom) sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) perhari jika Tergugat terlambat menyerahkan barang sengketa. i) Bahwa gugatan ini berdasarkan bukti otentik sehingga dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun Tergugat verzet banding ataupun kasasi. Menanggapi hal tersebut, maka Tergugat memberi jawaban secara tertulis dengan suratnya tertanggal 24 Agustus 1994 yang dibacakan di depan sidang sebagai berikut : a. Bahwa benar antara Penggugat dengan Tergugat pada tanggal 10 Maret 1983 telah melangsungkan perkawinan, sebagaimana tercatat dalam kutipan akta nikah No.1054/111/49/1983 tertanggal 10 Maret 1983 pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung, namun penggugat sebelum Perkawinan dengan Tergugat tanggal 10 Maret 1983 tersebut menyatakan sebagai perjaka, beragama Islam, sedangkan sebenarnya Penggugat telah menikah di gereja tahun 1972, tetapi tidak di catat di catatan sipil dan tinggal di rumah mertua ( orang tua ITA ). Dari perkawinan Penggugat dengan ITA lahir anak laki-laki bernama SARDINA umur 21 tahun dan pisah tahun 1975. setelah berpisah penggugat berpindah-pindah rumah kontrakan/kost, sedangkan SARDINA dari tahun 1975 sampai tahun
131
1991 tinggal bersama ibunya (ITA) dengan suami ITA yang baru. Baru tahun 1992 SARDINA dipindahkan/dititipkan untuk diurus oleh keluarga Penggugat di Medan. Hal ini sejak semula sudah memperlihatkan itikad tidak baik Penggugat terhadap Tergugat. b. Bahwa benar selama ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat berlangsung telah dilahirkan seorang anak perempuan bernama CRINA CRISWINA SINULINGGA (11 tahun ). c. Bahwa benar kemudian Perkawinan penggugat dan Tergugat putus karena perceraian berdasarkan Akta Cerai tertanggal 27 April 1993 No, 133./AC/1993/PA.Cmi. d. Bahwa Tergugat menolak telah mendapatkan harta kekayaan bersama (harta gono-gini) yakni sebidang tanah dan bangunan sesuai hak milik No.836 Desa Mekar Rahayu Kecamatan Marga Asih Kabupaten Bandung dan setempat dikenal sebagai Jl. Cicukang raya No.9 Kabupaten Bandung karena tanah rumah dan bangunan sesuai hak milik No. 836 tersebut atas nama dan milik Tergugat, dibeli dan dibangun dari hasil penjualan rumah di Jl.Sukamenak No.5 Rt.37 Rw. VI Desa Sukamenak Kecamatan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung sesuai hak milik No.326 tanggal 27 Maret 1992 dari hasil perkawinan dengan suami pertama yaitu H. CECEP SEJBRATA, yang kronologisnya tergugat uraikan sebagai berikut : 1) Bahwa Penggugat setelah melangsungkan perkawinan dengan Tergugat Tanggal 10 Maret 1983 : Penggugat yang tadinya
132
tinggal/ beralamat, dikontrakan/kost di Jl. Cikaso, pindah dan tinggal bersama tergugat di Jl. Simanjuntak Kecamatan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung hanya membawa satu pakaian, satu almari resliting plastik dan satu buah meja belajar. 2) Bahwa setelah Penggugat tinggal bersama tergugat ± 5 bulan, Penggugat menyuruh tergugat menghentikan segala usahanya (salon). Dan kiriman uang dari suami terdahulu (H. CECEP SUBRATA) untuk membiayai pengurusan kedua anaknya supaya ditolak (dihentikan). Selama ini tergugat mendapat nafkah dari penggugat dari hasil mengajar sebagai kepala sekolah SMA Daya Siswa Jl. Naripan No.21 dan sebagai guru honorer di Sekolah Perawat Santo Yusuf dan Santo Boromeos, juga dari hasil kontrakan rumah kepunyaannya Tergugat di Jl. Pisangan Lama III No. 7 Rt. 06 Rw. I 1 Jakarta yang dirasakan oleh tergugat adakalanya kurang menyukupi kebutuhan penghidupan sehari-hari dan terpaksa menjual sedikit perhiasan/kekayaan Tergugat untuk mencukupi kekurangan. 3) Bahwa Penggugat dengan alasan harga diri dari gunjingan orang/tetangga dan tenggang rasa istri terhadap suami serta alasan ekonomi, Tergugat terpaksa menjual tanah dan rumah di Jl. Sukamenak No. 5 RT. 37 RW. VI Desa Sukamenak Kecamatan Dayeuh Kolot kepada Bapak H. Muhsin sebesar Rp. 35.000.000,pada tahun 1986.
133
4) Bahwa hasil penjualan tanah dan rumah Tergugat tersebut oleh Tergugat dibelikan tanah seluas 4402 yang letaknya sekarang di Jl. Cicukang Raya No. 9 sebesar Rp. 5.000.000,- yang kemudian dibangun rumah seluas kurang lebih 204 meter oleh Tergugat sendiri dengan biaya kurang lebih Rp. 15.000.000,- dan sebuah mobil Accord tahun 1979 yang selama ini dipakai oleh Penggugat. Karena pembiayaan pembuatan rumah masih kurang maka Tergugat terpaksa menjual mobil Accord dengan harga Rp. 8.700.000,- dan kelebihan dari penjualan mobil tersebut dibelikan satu buah mobil Pegoet tahun 1975 seharga Rp. 3.500.000,- yang sampai sekarang dipakai dan dimiliki oleh Penggugat. 5) Bahwa karena penyelesaian pembuatan rumah masih kurang dan biaya pendidikan anak bertambah besar, maka terpaksa Tergugat menjual rumah dan tanah kepunyaan Tergugat yang terletak di Jl. Pisangan Lama III No. 27 RT. 06 RW II dengan harga penjualan Rp. 15.000.000, dimana dibayar pertama Rp. 12.000.000,- sisanya Rp. 3.000.000,- dicicil selama 6 bulan. 6) Bahwa Tergugat pada tanggal 1 Nopember 1989 disuruh Penggugat menghadap Notaris Imas Tarwiyah Soedrajat, SH. Bersama-sama dengan pemilik tanah asal Jl. Cicukang Raya No. 9 yaitu Ny. Enok untuk menandatangani kata Penggugat adalah untuk menyelesaikan sertifikat batik nama atas nama H. Popy Alvadiny. Waktu penandatanganan di Notaris Tergugat tidak
134
bertemu dengan Notaris Imas Tarwiyah Soedrajat, SH. Tetapi dengan pegawainya dan isi yang harus ditandatangani tidak dibicarakan atau dibacakan karena ruangan kantor masih pagi dan lampu tidak diyalakan. 7) Bahwa Tergugat sebelumnya telah diberitahu oleh Penggugat karena penyelesaian sertifikat tanah rumah di JI. Cicukang Raya No.9 prosesnya lama dan saudara Haris dapat menyelesaikan sertifikat tersebut tetapi dengan catatan sertifikat tersebut dipinjam selama dua bulan. Tetapi kenyataannya sertifikat tersebut baru selesai tanggal 4 Juli 1992. 8) Bahwa Tergugat baru mengetahui penandatanganan di notaris tersebut adalah pengakuan hutang dan dengan jaminan tanah dan rumah di J1. Cicukang Raya No. 9 Desa Mekar Raya sebesar Rp. 22.500.000,- setelah ada tagihan utang dan bunga yang belum dibayar atas nama Budiman Sinulingga ke JI. Cicukang Raya No. 9 RT. 01 Rw. 15 Desa mekar Rahayu Kabupaten Bandung. 9) Bahwa untuk menjawab nomor 7 dalam surat gugatan Penggugat memang benar-benar barang-barang tersebut sampai kini masih dikuasai oleh Tergugat, karena memang benar barang tersebut hak milik tergugat sendiri, olah karena itu tidak tepat Pengadilan Agama mengabulkan melakukan sita jaminan (Conservator Beslag) dan harus menolaknya.
135
10) Bahwa Penggugat tampaknya nekad dan tidak punya malu mengaku tanah/rumah di JI. Cicukang No. 9 adalah harta gonogini, padahal Penggugat mempunyai penghasilan yang sering kali untuk menutupi kebutuhan sehari-haripun harus manjual barang perhiasan milik tergugat. 11) Bahwa
semestinya
Tergugatlah
yang
menggugat
terhadap
Penggugat karena Penggugat tidak pernah memberi nafkah sejak bulan Nopember 1991 sampai dengan putusnya Akta Cerai tertanggal 27 April 1993., bahkan terhadap anaknyapun sampai sekarang Penggugat tidak pernah memberi biaya baik untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk keperluan lainnya. 3. Petitum a) Mengabulkan seluruh gugatan penggugat. b) Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut c) Menyatakan tanah dan bangunan sesuai dengan sertifikat hak milik No. 836 Desa Mekar Rahayu Kecamatan Marga Asih Kabupaten Bandung, sekarang dikenal dengan Jl. Cicukang Raya No. 9 Kabupaten Bandung adalah harta bersama (gono-gini) milik Penggugat dan Tergugat yang belum dibagikan. d) Menghukum Tergugat untuk mengadakan pembagian dan pemisahan atas harta perkawinan dengan Penggugat masing-masing 1/2 (setengah) bagian atau apabila pemisahan barang tidak dapat dilakukan dalam bentuk barang maka harta perkawinan dijual dimuka umum dan
136
hasilnya dibagikan kepada Penggugat dan Tergugat masing-masing 1/2 (setengah) bagian. e) Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa Rp. 100.000,perhari apabila Tergugat lalai dalam menjalankan putusan ini. f) Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun Tergugat verzet, banding, kasasi. g) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara mi. 4. Alat Bukti a. Alat Bukti Pihak Penggugat Alat bukti yang diajukan pihak penggugat diharapan majelis hakim berupa alat bukti surat dan saksi yaitu sebagai berikut : 1) Alat Bukti Surat Alat bukti surat yang kemudian oleh majelis hakim diberi tanda P.1. dan P.2, surat dan photo copy semuanya telah bermaterai cukup dan photo copy telah dicocokan dengan aslinya yaitu sebagai berikut : a) P.1. Photo copy putusan No.61/Pts/1993/PA.Cmi b) P.2 Photo copy surat keterangan No.103/YPD/IX/K 1994 perihal daftar penghasilan 2) Alat Bukti Saksi Bahwa saksi yang dihadapkan majelis hakim masing-masing telah disumpah dan mengangkat janji sesuai dengan agamanya, dan menerangkan kesaksiannya sebagai berikut :
137
a) P.5.1 ENOK binti ADI, menerangkan : (1) Bahwa saksi tidak ada hubungan keluarga dengan tergugat hanya tetangga saja. (2) Bahwa saksi yang menjual tanah seluas 30 tumbak dan kemudian ± 2 bulan tergugat membeli 2 tumbak. (3) Bahwa penjualan tanah di Jl. Cicukang raya di bayar 2 kali jumlahnya lupa, dan pembayaran tambahan tanah lupa berapa lama. (4) Bahwa yang membayar kadang-kadang berdua (penggugat dan tergugat), kadang-kadang tergugat saja tetapi yang mengeluarkan uang tidak tahu. b) P.5.2 JEPRI LASAMANO bin LASAMONO, menerangkan : (1) Bahwa saksi kenal dengan penggugat sudah 15 tahun, tapi di kantor saja tahu penggugat punya isteri tapi entah siapa, kepada tergugat H. POPPY tidak kenal. (2) Bahwa saksi tahu rumahnya di KOPO tapi tidak pernah datang ke rumah tersebut. (3) Bahwa tergugat bekerja di sekolah (sebagai Kepala Sekolah) dan sejak tahun 1990 membantu di kantor pengacara sekitar ± 4 sampai 9 tahun. b. Alat Bukti Pihak Tergugat Alat bukti yang diajukan pihak tergugat berupa alat bukti surat dan saksi yaitu sebagai berikut :
138
1) Alat bukti surat Alat bukti surat yang kemudian oleh majelis hakim diberi tanda T.1 – T.14 berupa photo copy semuanya telah bermaterai cukup dan telah dicocokan dengan aslinya yaitu sebagai berikut : a) T.1 Photo copy akta jual beli No. 063/1977. b) T.2 Photo copy kwitansi pembayaran penyelesaian akta tanah asal dari Pak SUKIRYA (akta jual beli No. 1199/JB/1978 tanggal 30 Oktober 1978). c) Photo copy kwitansi pembayaran tanah seluas 500 m dari akta No. 977/VIII/Reg/1978 atas nama Ny. POPY ALVANDI NY. d) T.4
Photo
copy
surat
keterangan
pemerintahan
Desa
Sukamenak No. 5 untuk mengajukan ijin buka Wave Salon. e) T.5 Photo copy sertifikat No. 326/Sukamenak. f) T.6 Photo copy kwitansi pembayaran / penyelesaian sertifikat tanah dan photo copy kwitansi pembayaran sebidang tanah milik seluas 30 tumbak di Desa mekar Rahayu. g) T.7 Photo copy K.S.P Bima Usaha Karya. h) T.8 Photo copy jual beli No. 576/414/DK/JB/1986. i) T.9 Photo copy sertifikat No. 836/1989. j) T.10 Photo copy kwitansi pembayaran tanda jadi pembelian a/n NY. POPY ALVANDINY k) T.11 Photo copy surat perjanjian tanggal 13 Maret 1990.
139
l) T.12 Photo copy surat jual beli sepetak tanah tanggal 13 Maret 1990. m) T.13 Photo copy buku tanah No. 622/1992. n) T. 14 Photo copy perihal Roray Hipotik. 2) Alat bukti keterangan saksi Bahwa saksi-saksi yang dihadapkan pihak tergugat masing-masing telah disumpah, yaitu menerangkan sebagai berikut : a) T.5.1 MUCHSIN SUGANDI bin AYUB, menerangkan : (1) Bahwa saksi tidak ada hubungan keluarga dengan tergugat. (2) Bahwa kenal kepada tergugat dan tahu kepada tergugat sebagai suami isteri. (3) Bahwa saksi menjual tanah kepada tergugat dan suaminya yang dulu (HENDRIK) kemudian tanah tersebut dibangun oleh tergugat kemudian dijual lagi kepada saksi seharga Rp 35.000.000,- rumah tersebut pernah didiami oleh penggugat dan tergugat sekitar ± 2 tahunan dan sertifikat asli rumah Sukamenak ada pada saksi. (4) Bahwa saksi tidak tahu apakah Hendrik itu sama dengan H. Cecep Subrata atau tidak. (5) Bahwa yang menjual rumah tersebut H. POPY dihadapan Notaris MASRI HUSEN waktu itu antara penggugat dan tergugat masih baik-baik dan yang menerima uang adalah tergugat, katanya untuk beli rumah dan tanah.
140
(6) Bahwa pada waktu pembayaran penjualan rumah itu 2 kali. (7) Bahwa dalam akta tertanda ada penggugat padahal waktu menghadap hanya tergugat dan saksi. (8) Bahwa membeli tanah tergugat belum haji dan waktu menjual lagi sudah haji. (9) Bahwa setengah tahun kemudian tanah tersebut dibangun dan waktu itu sudah tinggal di Jl. Cicukang Cimahi (cci), tergugat beli lagi tanah ± 2 tumbak. b) T.5.2 ONEH bin OMO menerangkan : (1) Bahwa saksi kenal dengan tergugat sejak tahun 1954 dan tergugat pernah 2 kali menikah dengan HENDRIK dan BUDIMAN. (2) Bahwa waktu membangun rumah di Sukamenak saksi ikut membantunya. (3) Bahwa tanah tersebut dibeli dan dibuat rumah oleh tergugat sebelum kawin dengan BUDIMAN (Penggugat), dan dijual setelah tergugat kawin dengan BUDIMAN (Penggugat), katanya mau pindah ke Cicukang Cimahi (cci). c) Mbok TUMINAH binti SITAM menerangkan : (1) Bahwa saksi sebagai pembantu rumah tangga, tinggal di rumah tergugat.
141
(2) Bahwa tergugat bersuami 2 (dua) kali HENDRIK dan BUDIMAN, dengan HENDRIK ± 4 tahun dengan BUDIMAN ± 8 tahun sampai dengan 10 tahun. (3) Bahwa membeli rumah di Sukamenak waktu berumah tangga dengan HENDRIK, rumah yang sekarang dibeli waktu dengan BUDIMAN dan saksi tidak kenal dengan H. CECEP SUBRATA. (4) Bahwa tergugat dengan penggugat sering bertengkar dan ributnya sering di Cicukang Cimahi (cci). 5. Pertimbangan Hukum a) Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan ini adalah seperti diuraikan di atas. b) Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 37 Undang-undang No. I Tahun 1974 dan Pasal 86 Undang-undang No. 7 tahun 1989 Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam, perkara ini adalah wewenang Pengadilan Agama. c) Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Penggugat dan Tergugat semula mereka adalah suami istri yang menikah pada tanggal 10 Maret 1983 dan sekarang antara Penggugat dan Tergugat sudah bercerai terbukti dengan Akta Cerai No. 133/AC/1993/PA.Cmi tanggal 27 April 1993. d) Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan para pihak berperkara akan tetapi tidak berhasil.
142
e) Menimbang, bahwa dari data-data persidangan yang menjadi persengketaan adalah harta benda berupa tanah dan bangunan rumah yang terletak di JI. Cicakung Raya No. 9 .Desa Rahayu Kecamatan Marga Asih Kabupaten Bandung. f) Menimbang, karena dalil-dalil Penggugat telah dibantah oleh Tergugat maka Penggugat harus dibebankan pembuktian, oleh sebab itu Penggugat telah membuktikan dengan mengajukan alat-alat bukti tulisan dan menghadapkan saksi-saksi. g) Menimbang, Bahwa Tergugat telah pula mengajukan alat-alat bukti kebalikannya atau bukti perlawanan berupa surat-surat kesemuanya bermaterai cukup. h) Menimbang, bahwa selain itu Majelis Hakim telah mendengar keterangan yang diajukan oleh Tergugat, yaitu Mbok Tuminah binti Setam yang menerangkan pada pokoknya bahwa Tergugat membeli rumah di Sukamenak pada waktu berumah tangga dengan suami terdahulu yaitu Hendrik, dan rumah yang dibeli sekarang ketika berumah tangga dengan Budiman. i) Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Tergugat tersebut di atas. Majelis Hakim berpendapat bahwa tanah dan bangunan rumah yang terletak di Jl. Cicukang Raya No. 9 Desa Mekar Rahayu Kecamatan Marah Asih Kabupaten Bandung sebagaimana sertifikat hak milik No. 836 adalah didapat dari hasil perkawinan antara Tergugat dengan suami terdahulu, terlepas dari suami Tergugat
143
Hendrik ataupun Cecep Subrata, karena terbukti selain hal ini, Penggugat
tidak
dapat
membuktikan/mempertahankan
dalil
gugatannya baik dengan bukti surat/kwitansi pembayaran maupun saksi tentang kedudukan kepemilikan tanah dan bangunan rumah tersebut. j) Menimbang, bahwa dalam pada itu yang dijadikan dalil gugatan Penggugat adalah Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dalam hal ini Majelis hakim berpendapat bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri, dan ternyata berdasarkan bukti surat-surat, Tergugat telah memiliki tanah dan rumah sebelum terjadinya perkawinan dengan Pengugat pada tahun 1983. k) Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Majelis hakim berpendapat bahwa tanah dan rumah yang terletak di Jl. Cicukang Raya No. 9 Desa Mekar Rahayu Kecamatan Marga Asih kabupaten Bandung, sekalipun dibeli dan dibayar setelah terjadinya perkawinan antara Penggugat dan tergugat, akan tetapi tidak berarti bahwa harta bersama. Karena uang untuk membeli tanah dan bangunan tersebut diperoleh dari hasil penjualan tanah dan rumah Tergugat dengan suaminya terdahulu. Oleh karena itu sebagaimana ketentuan Pasal 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 86, 87 Kompilasi Hukum Islam, maka harta berupa tanah dan rumah tersebut tidak dapat dibagi antara Penggugat dan Tergugat.
144
l) Menimbang, bahwa terhadap permohonan Penggugat tentang sita jaminan harta tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa hal tersebut telah tidak dapat dipertimbangkan karena tidak nampak adanya sikap Tergugat yang menjadi dasar dilakukannya sita jaminan terhadap harta/benda tersebut. m) Menimbang, bahwa berdasarkan atas pertimbangan tersebut di atas maka gugatan Penggugat harus ditolak. n) Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 7 Tahun 19989, biaya perkara yang timbul dalam perkara ini dibebankan pada pihak Penggugat. 6. Putusan a) Menolak gugatan Penggugat keseluruhan. b) Menyatakan tanah dan bangunan rumah yang terletak di J1. Cicukang Raya No. 9 Desa Mekar Rahayu Kecamatan Marga Asih Kabupaten Bandung dengan sertifikat hak milik No. 836 adalah harta milik tergugat Ny. Popy Alvadiny binti Asasta. c) Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 56.500,- (lima puluh enam ribu lima ratus rupiah).
145
B. Pembahasan Dalam pembahasan ini dapat disusun suatu pembahasan berdasarkan sistematika sebagai berikut : 1. Kewenangan mengadili Pengadilan Agama Kewenangan mengadili Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1989 yaitu sebagai berikut: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. c. Wakaf dan Shadakoh Ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 di atas telah diganti dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang berbunyi sebagai berikut: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan b. Waris c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infak h. Shadaqah, dan i. Ekonomi syari’ah Berdasarkan perumusan kedua pasal tersebut di atas berarti dapat diuraikan bahwa Peradilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan pada:
146
a. Subyek Hukum tertentu Yaitu untuk orang-orang yang beragama Islam, ini berarti untuk orangorang-orang yang tidak beragama Islam tidak dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Agama. b. Untuk bidang perkara-perkara tertentu, yaitu: 1) Perkawinan 2) Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam 3) Wakaf dan shadaqah 4) Zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah (yang ditentukan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) Kedua hal ini menunjukkan bahwa Peradilan Agama merupakan Peradilan Khusus, karena subyek hukumnya dikhususkan untuk orang-orang yang beragama Islam dan hanya mengenai bidang perkara-perkara tertentu seperti di atas menjadi kekuasaan atau kewenangan absolut Peradilan Agama. a. Subyek Hukum Subyek hukum yang tunduk kedalam kekuasaan mengadili lingkungan Peradilan Agama adalah orang-orang yang beragama Islam dengan berdasarkan pada : 1) Patokan Umum Patokan umum adalah patokan yang digunakan untuk menentukan seseorang itu beragama Islam atau tidak yang
147
didasarkan pada faktor formal artinya apabila seseorang mengaku dirinya beragama Islam tanpa harus mempersoalkan kualitas Keislaman yang bersangkutan. Faktor formal ini dapat ditentukan berdasarkan fakta yang diperoleh dari kartu identitas diri yang bersangkutan, berupa KTP, SIM, Sensus Penduduk dan Surat keterangan lainnya serta kesaksian . Dari data diri itulah dapat diketahui bahwa para pihak benar-benar beragama Islam. Karena kewenangan pengadilan agama hanya berwenang memeriksa perkara apabila para pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam maka perkara tunduk kepada Pengadilan Agama, namun apabila salah satu pihak tidak beragama Islam maka sengketanya tidak dapat ditundukan kepada lingkungan Peradilan Agama. Begitu pula landasan hukumnya harus hubungan hukum Islam sehingga ini menjadi patokan kedua untuk menentukan apakah subyek hukum itu tunduk atau tidak terhadap kewenangan peradilan agama. 2) Hubungan
hukum
yang
melandasi
keperdataan
tertentu
berdasarkan hukum Islam Yaitu hubungan hukum yang terjadi dilakukan menurut hukum Islam maka pihak-pihak berperkara tunduk kepada Pengadilan Agama sekalipun pada saat sengketa salah satu pihak sudah beralih agama dari Islam ke agama lain. Dalam kasus yang seperti itu penyelesaian perkara tetap tunduk kepada lingkungan
148
Peradilan Agama, karena pada diri para pihak masih tetap melekat 7 asas personalitas Keislaman yang menjadi salah satu asa dalam Peradilan Agama. Patokan ini sesuai dengan Surat Mahkamah Agung Tanggal 31 Agustus 1983 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Ujung Pandang yang isi pokoknya menegaskan bahwa yang dipergunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku waktu pernikahan dilangsungkan. Apabila kedua syarat tersebut terpenuhi maka sengketa mutlak atau absolut tunduk menjadi kewenangan Peradilan Agama. b. Bidang Perkara-Perkara Tertentu Bidang perkara-perkara tertentu yang dimaksud adalah perkaraperkara yang menjadi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama yang ditegaskan dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan dalam Pasal 49 Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 yaitu perkara-perkara bidang perdata tertentu mengenai: 1) Perkawinan 2) Kewarisan, wakaf dan hibah yang dilakukan berdasar hukum Islam 3) Wakaf dan shadaqah 4) Zakat, infak, dan ekonomi syari’ah (yang ditentukan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) Bidang-bidang hukum perkara perdata di atas dengan sendirinya menjadi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama.
149
Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa : Bidang Perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, tambahan Lembaran Negara Nomor 3019). Penegasan mengenai keseluruhan perkara perkawinan secara utuh dan menyeluruh menjadi kewenangan Pengadilan Agama terdapat dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 dan salah satunya adalah mengenai penyelesaian pembagian harta bersama yang diatur dalam Bab VII UU No. 1 tahun 1974 tentang Harta Benda dalam perkawinan yang terdiri dari Pasal 35 sampai Pasal 37 dan diperjelas lagi dalam Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam Bab XIII yang terdiri dari Pasal 85 sampai Pasal 97. Berdasarkan hasil penelitian pada point 5a maka diperoleh data sebagai berikut: a. Subyek Hukum Subyek hukum dalam perkara ini adalah orang-orang yang beragama Islam baik pihak Penggugat maupun pihak Tergugat, berarti pihak Penggugat dan Tergugat memenuhi ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
150
b. Perkara yang menjadi sengketa adalah perkara perkawinan yaitu mengenai pembagian harta benda bersama, berarti pihak Penggugat dan Tergugat memenuhi ketentuan seperti pada subyek hukum di atas. c. Dalam pertimbangan hukumnya hakim mendasarkan pada Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam. Dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1999 : 548). Dari bunyi pasal di atas yang dimaksud “hukumnya masingmasing” menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah hukum masing-masing suami isteri yang melangsungkan perkawinan yaitu merujuk pada hukum agama, hukum adat dan hukumhukum lainnya. Hal ini berarti pembagian harta bersama diatur sesuai dengan hukum yang dianut oleh suami isteri tersebut. Apabila suami isteri tunduk terhadap hukum agama maka penyelesaian pembagian harta bersama dibagi menurut hukum agama suami isteri apabila hukum agama suami isteri tidak mempunyai aturan mengenai harta bersama maka dapat diperlakukan menggunakan hukum adat suami isteri namun apabila suami isteri berbeda agama dan berbeda hukum adatnya dapat diselesaikan dengan hukum-hukum lainnya seperti yang diatur dalam hukum barat atau berpatokan pada kitab-kitab Undang-Undang hukum perdata. Sebatas
151
dalam ketentuan yang dimuatkan dalam perjanjian yang dimaksudkan dalam Pasal 35 ayat (2) yaitu sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Serta ditegaskan cara pengajuan gugatan pembagian harta bersama dalam Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian maupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat diartikan bahwa pengajuan perkara pembagian harta benda bersama antara suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan perkara perceraian baik karena talak maupun cerai gugat yang bertujuan untuk mempermudah pemeriksaan, menghemat waktu dan biaya dan dapat pula diajukan kembali secara tersendiri setelah putusan perceraian telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penyelesaian sengketa pembagian harta bersama bagi orang-orang yang beragama Islam dapat diajukan ke Pengadilan Agama hal ini ditegaskan dalam Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama (Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2001 : 26). Berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di atas dalam perkara yang disengketakan para pihak tunduk
152
terhadap hukum agama. Hal ini ditegaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa yang dimaksud hukumnya masing-masing adalah hukum masing-masing suami isteri yang melangsungkan perkawinan yaitu menunjuk pada hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Dengan demikian karena Penggugat dan Tergugat pada saat melangsungkan perkawinan tunduk terhadap hukum agama maka penyelesaian sengketa harta bersama dibagi menurut hukum agama suami isteri yaitu hukum agama Islam, dan karena pada saat terjadi hubungan hukum kedua belah pihak sama-sama beragama Islam dan hubungan hukum para pihak dilakukan berdasarkan hukum Islam maka penyelesaian perkara yang disengketakan para pihak menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama dan perkara dapat diajukan kepada Pengadilan Agama (Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam), dan dapat diajukan secara bersama-sama dengan gugatan perceraian maupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 UU No 7 Tahun 1989). Maka dengan demikian perkara pembagian harta benda bersama akibat perkawinan merupakan kewenangan absolut kewenangan Peradilan Agama karena subyek hukum yang berperkara keduanya beragama Islam dan pada saat terjadinya hubungan hukum kedua belah pihak sama-sama beragama Islam serta hubungan ikatan hukum para pihak dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan pokok perkaranya mengenai bidang perkara-perkara tertentu yaitu mengenai perkawinan khususnya dalam bidang pembagian harta bersama akibat perkawinan.
153
2. Dasar Pemikiran Yuridis Hakim dalam Memutus Perkara Pembagian Harta Benda Bersama Dasar pemikiran yuridis hakim adalah serangkaian konsep hukum yang diterapkan terhadap fakta-fakta hukum yang menjadi pokok perkara. Dengan demikian data dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut : a. Syahnya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat Sahnya perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menentukan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa : Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undangundang ini. (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2005: 538) Menurut penjelasan pasal di atas bahwa suatu perkawinan yang dilakukan
haruslah
berdasarkan
atas
hukum
agama
dan
kepercayaannya, sehingga tidak ada perkawinan yang dilakukan dengan melanggar hukum agama dan kepercayaan itu. Hal ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan agamanya, dengan sendirinya menurut Undang-Undang Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum
154
sebagai suatu ikatan perkawinan, karena hukum agama menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya perkawinan. Hal tersebut tidak hanya berlaku bagi agama Islam saja tetapi juga berlaku bagi agama lain yang diakui di Indonesia, dimana setiap agama memiliki hukum agamanya masing-masing dan setiap pemeluknya tunduk pada ajaran agama dan kepercayaan itu. Dengan demikian berarti sahnya perkawinan ditentukan oleh ketentuan hukum agama dan kepercayaan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Sehingga dengan sendirinya perkawinan yang dilangsungkan mempunyai akibat hukum baik terhadap diri sendiri berupa status suami isteri maupun terhadap anak-anak yang dilahirkannya. Suatu akibat hukum dari perkawinan yang sah hanya dapat dibuktikan apabila perkawinan yang dilaksanakan para pihak dibuktikan dengan suatu akta nikah yang berarti perkawinan dilaksanakan disertai dengan pencatatan. Pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1924 yang menegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Dari ketentuan pasal ini yang dimaksud peraturan perundangan yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksananya, maka sejak berlakunya undang-undang ini setiap perkawinan dicatatkan. Hal ini berarti perkawinan yang hanya memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Perkawinan yang dilaksanakan
155
adalah sah, tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum atau kepastian hukum. Dengan adanya pencatatan perkawinan yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 berarti perkawinan yang dilaksanakan mempunyai kekuatan hukum / kepastian hukum dengan segala akibat hukumnya. Perkawinan yang dilaksanakan oleh pihak penggugat dan pihak tertugat adalah sah dengan memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya, selain itu perkawinan ini mempunyai kekuatan hukum / kepastian hukum dengan dilakukannya pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah Nomor 1054/III/49/1983 tanggal 10 Maret 1983 pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung. Dengan demikian berarti perkawinan yang dilaksanakan oleh penggugat dan tergugat telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan terpenuhinya ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 maka perkawinan antara Penggugat dan Tergugat adalah sah dengan segala akibat hukumnya. Akibat hukum dalam perkawinan antara penggugat dan tergugat yaitu mengenai diri pribadi yang melangsungkan perkawinan yaitu adanya status suami isteri dan terhadap anak yang dilahirkan yaitu anak yang dilahirkan pada saat perkawinan antara Penggugat dan Tergugat berlangsung
156
yang bernama CRINA CRISWINA SINULINGGA adalah merupakan anak yang sah antara Penggugat dan Tergugat. b. Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian diatur daam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2005: 549). Dari ketentuan Pasal di atas bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya pada asasnya walaupun perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang, namun orang tidak dapat begitu saja memutuskan hubungan perkawinan tanpa alasan yang kuat. Hal ini bertujuan untuk mempersulit terjadinya perceraian karena tujuan perkawinan itu pada dasarnya untuk selama-lamanya. Dengan tujuan perkawinan itulah maka suatu perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan agar para pihak mendapatkan kepastian hukum tentang status dirinya dan dapat melanjutkan masa depan dirinya serta anak apabila ada dengan adanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap / kepastian hukum. Selain itu perceraian dapat terjadi apabila hakim telah berusaha mendamaikan suami isteri tetapi yang diupayakan selama perkara pemeriksaan perceraian berlangsung
157
sampai sebelum adanya keputusan perceraian dijatuhkan hakim masih tetap melakukan upaya perdamaian dan apabila perdamaian tidak berhasil diupayakan perceraian baru akan terjadi, hal ini bertujuan untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk mempersukar terjadinya perceraian maka dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa: Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2005:549). Berarti ketentuan pasal ini untuk dapat mengajukan permohonan atau gugatan perceraian harus disertai suatu alasan yang dapat menyakinkan hakim bahwa antara suami isteri tidak dapat hidup rukun kembali sebagai suami isteri. Suatu alasan perceraian yang dimaksud adalah alasan-alasan yang diatur dalam undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. Alasan untuk mengajukan gugatan atau permohonan perceraian didepan sidang pengadilan diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksana No.9 tahun 1975 yaitu sebagai berikut: Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah: a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan. b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
158
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain. e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri. f) Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2001: 566-567) Berdasarkan hasil penelitian pada point 5b dan pada alat bukti saksi pada point 4.2c di peroleh data sebagai berikut: 1) Dalam point 5b hakim menyatakan bahwa penggugat dan tergugat sudah
bercerai
terbukti
dengan
Akta
Cerai
No.
133/AC/1993/PA.Cmi tanggal 23 April 1993. 2) Dalam alat bukti saksi point 4.2c Mbok Tuminah binti SITAM sebagai pembantu rumah tangga, tinggal di rumah tergugat menerangkan diatas sumpahnya menyatakan bahwa tergugat dengan penggugat sering bertengkar dan rebut di rumah sengketa. Berdasarkan data di atas berarti percearian yang diajukan penggugat yang sekarang menjadi tergugat dalam perkara pembagian harta benda bersama, dalam acara perceraiannya telah memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 19 PP Nomor 1975 yang menyatakan bahwa: 1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan (Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974. Dalam hal ini Penggugat dan tergugat pada kenyataannya telah melakukan
159
perceraian dengan cerai gugat di depan sidang pengadilan yang dibuktikan dengan Akta Cerai Nomor 133/AC/1993/PA.Cmi tanggal 23 April 1993 bercerai di Pengadilan Agama Cimahi, dengan demikian berarti perceraian antara Penggugat dan Tergugat telah memenuhi ketentuan Pasal
39 ayat (1) Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 sehingga perceraian yang dilakukan para pihak mempunyai kekuatan hukum tetap. 2) Gugatan perceraian antara penggugat dan tergugat disertai dengan salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) beserta penjelasannya pada butir f dan Pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 pada butir f yang menyatakan bahwa; antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan perceraian ini diperkuat lagi dalam kesaksian Mbok Tuminah binti SITAM yaitu seperti dijelaskan di atas, berarti alasan perceraian yang digunakan oleh para pihak memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU No. 10 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 pada butir f seperti di atas. c. Pembagian harta benda bersama akibat perceraian Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum salah satunya terhadap harta bersama atau harta gono-gini yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Menurut Undang-Undang yang dimaksud dengan harta bersama atau harta gono gini (Jawa) dirumuskan dalam Pasal 35 ayat
160
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Menurut bunyi pasal di atas ternyata menurut Undang-Undang ini harta bersama suami isteri hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan, artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara suami atau isteri (cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian harta yang telah dipunyai atau telah dimiliki sebelum perkawinan berlangsung yang kemudian dibawa masuk oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama. Ketentuan tersebut tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta itu diperoleh baik diperoleh suami isteri secara bersama-sama maupun diperoleh suami isteri secara sendiri-sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam harta bersama adalah: a) Hasil dan pendapatan suami b) Hasil dan pendapatan isteri c) Hasil dan pendapatan dari hasil pribadi suami maupun isteri sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan. Berarti bahwa harta bersama dalam perkawinan dihitung sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan putus.
161
Dengan demikian harta apa saja yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah, sampai saat perkawinan putus baik oleh karena salah satu meninggal dunia (putus karena kematian) atau putus karena perceraian (cerai hidup),maka seluruh harta-harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Dengan demikian, patokan untuk menentukan apakah sesuatu barang atau harta termasuk atau tidak ke dalam harta bersama suami isteri ditentukan oleh faktor selama perkawinan antara suami isteri berlangsung, dengan sendirinya harta tersebut menjadi harta bersama. Mendasarkan faktor inilah bahwa penggugat dalam dalil gugatannya bersikukuh bahwa tanah dan bangunan rumah tersebut adalah sebagai harta bersama atau harta gono gini karena diperoleh selama dalam ikatan perkawinan antara penggugat dan tergugat, namun demikian dalil gugatan penggugat yang dijadikan dasar gugatan penggugat dibantah oleh tergugat bahwa tanah dan bangunan rumah tersebut bukanlah merupakan harta gono gini atau harta bersama antara penggugat dengan tergugat tetapi merupakan harta benda milik pribadi tergugat. Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian dalam point 5d dalam pertimbangan hukumnya hakim menyatakan bahwa karena dalil-dalil penggugat maka penggugat harus dibebankan pembuktian. Pembuktian dilakukan dalam hal dalil-dalil gugatan penggugat dibantah oleh pihak tergugat yang mengakibatkan gugatan penggugat
162
menjadi tidak jelas untuk mencari kejelasannya maka dilakukan pembebanan pembuktian kepada para pihak yang berperkara. Beban pembuktian, diatur dalam Pasal 283 RBG, Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR yang mempunyai satu makna, dan terdapat suatu asas pembuktian yaitu “siapa yang mendalilkan sesuatu ia harus membuktikan”. Yang dimaksud membuktikan adalah suatu usaha untuk menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dimuka sidang pengadilan dalam suatu
perkara. (R.
Subekti, 1980: 5) Beban pembuktian berdasarkan Pasal 1865KUH Perdata adalah : Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Sedangkan berdasarkan Pasal 163 HIR yang berbunyi : Barang siapa mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau mengatakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu. (H. Roihan A. Rasyid, 2001: 138) Dari ketentuan pasal tersebut di atas telah jelas bahwa yang harus dibuktikan adalah adanya kejadian atau adanya peristiwa dan adanya suatu hak yang timbul dari suatu peristiwa yang telah didalilkan para pihak yang berperkara dan para pihak diwajibkan untuk membuktikan. Ini berarti menunjukkan bahwa yang dibebani pembuktian adalah para
163
pihak berperkara yaitu terutama penggugat untuk membuktikan kebeanran dalil-dalil gugatannya karena suatu peristiwa yang dapat berakibat menimbulkan suatu hak sepatutnya dibuktikan oleh yang menuntut hak. Demikian juga pihak tergugat berkewajiban untuk membuktikan kebenaran bantahannya hal ini karena untuk suatu peristiwa yang dapat menggugurkan atau menghapuskan hak tersebut sepatutnya dibuktikan oleh pihak yang membantah hak tersebut. Untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya para pihak dapat membuktikannya dengan alat bukti. Alat bukti adalah alat atau upaya yang dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyakinkan hakim di muka sidang untuk mengungkapkan kebenaran perkara yang disengketakan para pihak. Dalam hukum acara perdata agama alat bukti diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg dan Pasal 1866 KUH Perdata yaitu sebagai berikut : 1) Bukti tulisan 2) Bukti dengan saksi-saksi 3) Persangkaan 4) Pengakuan 5) Sumpah Urutan kedudukan dari alat-alat bukti tersebut merupakan urutan kekuatan pembuktiannya. Dalam perkara yang disengketakan para pihak mengajukan 2 alat bukti yaitu tulisan dan bukti dengan saksi yaitu sebagai berikut :
164
1) Alat Bukti Tertulis Alat bukti tertulis diatur dalam Pasal 138, 164, 165-167 HIR, Pasal 285 sampai dengan Pasal 303 RBg, Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894, dan Stbl. 1867-29, Pasal 138 sampai dengan Pasal 147 RSV. Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tandatanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, bukanlah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat (H. Roihan A. Rasyid, 1994: 271). Surat-surat sebagai alat bukti tertulis terbagi menjadi 2 yaitu “akta” dan “selain akta”. Akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditanda tangani. Fungsi tanda tangan adalah untuk mengindividualisir atau mengindentifikasi sebuah akta. Akta dibagi menjadi 2 yaitu akta otentik dan akta bukan otentik diatur dalam pasal 105 HIR yang disebutkan sebagai berikut : akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan hanya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta.
165
2) Alat Bukti Saksi Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-152 dan Pasal 168172 HIR, Pasal 165 – Pasal 179 RBg, Pasal 1895 dan Pasal 19021912 KUH Perdata. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan. Jadi keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialami sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir tidaklah merupakan kesaksian (Pasal 171 ayat (2) HIR / Pasal 308 ayat (2) RBg / Pasal 1907 BW). Dalam setiap kesaksian harus disebutkan segala sebab pengetahuan saksi (Pasal 171 ayat (1) HIR / Pasal 308 Rbg, Pasal 1907 BW). Tidaklah cukup apabila saksi hanya menerangkan bahwa ia mengetahui peristiwanya. Ia harus menerangkan bagaimana ia sampai dapat mengetahuinya, sebab musabab sampai ia dapat mengetahui peristiwanya harus disebutkan Berdasarkan hasil penelitian pada point 5e diperoleh data sebagai berikut : bahwa penggugat untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya, penggugat mengajukan 2 (dua) alat bukti yaitu sebagai berikut:
166
a. Alat bukti tertulis yang terdiri dari P1 dan P2 berupa photo copy akta cerai dan photo copy surat keterangan daftar penghasilan
tergugat.
Setelah
diteliti
majelis
hakim
kesemuanya telah bermaterai cukup dan telah dicocokan dengan aslinya sehingga dapat dipandang sebagai alat bukti. (1) Photo copy akta cerai No. 61/Pts/1993/PA.Cmi Akta cerai ini merupakan akta otentik, disebut akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang yaitu hakim. Akta ini membuktikan bahwa benar antara penggugat dan tergugat dulunya suami isteri yang telah bercerai dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap hal ini terbukti dengan adanya akta cerai No. 61/Pts/1993/Pa.Cmi. Namun dalam pembuktian pada sengketa pembagian harta benda bersama akta ini tidak dapat menunjukkan sebagai alat bukti kepemilikan harta sengketa atau tidak dapat menunjukkan bahwa penggugat mempunyai suatu hak atas harta sengketa. (2) Photo copy surat keterangan daftar penghasilan penggugat No. 103/YPD/IX/K.1994 Alat bukti ini membuktikan bahwa selama perkawinan antara penggugat dan tergugat, penggugat mempunyai penghasilan dari hasil mengajar di sekolah sebagai Kepala Sekolah SMA Daya Siswa Jl. Naripan No. 21 dan sebagai
167
guru honorer di sekolah perawat Santo Yusuf dan Santo Baromeos. Alat bukti ini tidak dapat menunjukkan secara langsung sebagai alat bukti kepemilikan mengenai harta benda sengketa, alat bukti ini menunjukkan bahwa penggugat mempunyai penghasilan selama perkawinan, hal ini berarti menunjukkan terbentuknya harta bersama namun dalam hal ini tergugat hanya mengakui bahwa dalam memberikan jawaban secara tertulis pada tanggal 24 Agustus 1994 yang dibacakan dalam sidang yang menerangkan bahwa benar tergugat mendapat nafkah dari penggugat hasil mengajar sebagai Kepala Sekolah SMA Daya Siswa Jl. Naripan No. 21 Atas dan sebagai guru honorer di sekolah Perawat Santo Yusuf dan Santo Boromeos. Selain itu tergugat juga memperoleh hasil dari kontrakan rumah milik tergugat di Jl. Pisangan Lama III No. 7 RT 06 RW 11 Jakarta namun masih
dirasakan
kurang
mencukupi
kebutuhan
penghidupan sehari-hari, sehingga terpaksa menjual sedikit perhiasan tergugat. Selain itu selama ± 5 bulan diawal perkawinannya tergugat mendapatkan penghasilan dari usaha salonnya dan kiriman uang dari suami terdahulu (H. Cecep Subrata) untuk membiayai pengurusan kedua orang
168
anaknya, yang kemudian oleh penggugat dihentikan dengan alasan harga diri. b. Alat bukti saksi yang masing-masing telah disumpah dan mengangkat janji sesuai dengan agamanya, yaitu sebagai berikut: (1) ENOK Binti ADI Berdasarkan kesaksian yang diberikan dipersidangan bahwa saksi adalah orang yang telah menjual tanahnya di CCI kepada penggugat dan tergugat seluas 30 tumbak dan ditambah 2 tumbak dengan pembayaran 2 kali bayar yang membayar kadang-kadang penggugat dan tergugat, kadang tergugat saja tapi saksi tidak tahu uang siapa. Berarti bahwa benar selama ikatan perkawinan antara penggugat dan tergugat telah membeli sebidang tanah yang disengketakan para pihak kepada saksi tetapi saksi tidak mengetahui asal usul uang pembelian yang digunakan untuk membeli tanah sengketa dengan demikian berarti obyek sengketa para pihak merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan dengan cara pembelian berarti obyek sengketa adala obyek harta bersama karena selain harta sengketa
harus
benar-benar
terbukti
perkawinan antara penggugat dan tergugat.
dibeli
selama
169
(2) JEPRI LASAMAHO bin LASAMAHO Berdasarkan kesaksian yang diberikan dalam persidangan saksi menerangkan bahwa saksi mengetahui penggugat sebagai kepala sekolah dan bekerja di kantor pengacara sejak tahun 1990, serta rumah penggugat tersebut di Kopo tapi tidak pernah datang ke rumah tersebut, berarti kesaksian yang diberikan saksi membenarkan bahwa selama perkawinan penggugat memiliki penghasilan dari hasil kerjanya sebagai kepala sekolah dan bekerja di kantor pengacara selebihnya saksi tidak mengetahui atau tidak menyatakan
mengenai
tanah
dan
rumah
yang
disengketakan para pihak. Berdasarkan hasil pemeriksaan alat bukti tulisan dan bukti saksi yang diajukan penggugat dihadapan sidang pengadilan ternyata terbukti bahwa penggugat tidak dapat membuktikan atau mempertahankan dalil gugatannya baik dengan bukti tulisan (surat/kwitansi) pembayaran maupun dengan alat bukti saksi tentang kedudukan kepemilikan tanah dan bangunan rumah yang dibeli pada saat perkawinan antara penggugat dan tergugat namun demikian harta sengketa terbukti diperoleh selama perkawinan. Namun demikian berarti adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan, adanya harta milik masingmasing suami atau isteri (Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam).
170
Berdasarkan hasil penelitian pada point 5f diperoleh data sebagai berikut : untuk membuktikan kebenaran bantahan tergugat. Tergugat mengajukan alat-alat bukti kebalikannya atau bukti perlawanan berupa alat bukti tertulis (surat/dokumen) dan alat bukti saksi. a. Alat bukti surat yang terdiri dari T1 – T14 kesemuanya bermaterai cukup berupa photo copy dan telah dicocokan dengan aslinya oleh karena itu dapat dipandang sebagai alat bukti surat yang sah. Berdasarkan alat bukti surat yang diajukan tergugat ternyata semuanya merupakan alat bukti otentik, yang semuanya menunjukkan secara jelas dan terang mengenai bukti-bukti kepemilikan harta benda sengketa sehingga hal ini dapat dijadikan pertimbangan hakim yang digunakan sebagai alat bukti untuk menentukan kebenaran dari peristiwa yang disengketakan dan menerapkan hukumnya sesuai dengan peristiwa tersebut. Berarti alat bukti yang diajukan tergugat telah memenuhi rumusan pasal 164 HIR / 285 TBg dan Pasal 165 HIR dengan demikian surat-surat bukti dari tergugat dapat digunakan dan mempunyai nilai pembuktian yang sah menurut hukum. Berdasarkan alat-alat bukti surat yang diajukan untuk membuktikan bantahan tergugat, tergugat terbukti telah
171
memiliki tanah dan rumah sebelum terjadinya perkawinan dengan penggugat tahun 1983 di jalan Sukamenak No. 5 Dayeuh Kolot Bandung yang kemudian dijual setelah penggugat dan tergugat melangsungkan perkawinan. b. Bukti saksi (1) MUCHSIN Bin AYUB berarti menerangkan bahwa sebelum tergugat kawin dengan penggugat. Tergugat telah memiliki tanah dan rumah yang dibeli dan dibangun pada saat tergugat kawin dengan suami tergugat yang dulu yaitu HENDRIK. Saksi mengetahui hal ini karena saksi adalah orang yang menjual tanah tersebut kepada tergugat dengan suami tergugat yang dulu, tanah tersebut dibangun rumah kemudian tanah dan rumah tersebut dijual kembali kepada saksi seharga Rp 35.000.000,-. Setelah tergugat kawin dengan penggugat dihadapan notaris MASRI HUSEN dan yang menerima uang adalah tergugat, kata tergugat untuk beli rumah dan tanah. Setengah tahun kemudian tanah tersebut baru dibangun dan waktu itu sudah tinggal di CCI tergugat beli lagi 2 tumbak. Berarti atas kesaksian saksi mengetahui asal usul uang yang digunakan untuk membeli tanah dan rumah sengketa dari hasil penjualan tanah dan rumah tergugat yang dibeli
172
dan dibangun pada saat tergugat kawin dengan suami tergugat yang hulu (HENDRIK). Dengan demikian berarti kesaksian yang diberikan saksi terbukti bahwa tanah dan rumah yang terletak di Jl. Cicukang Raya No. 9 Desa Mekar Rahayu Kecamatan Marga Asih Kabupaten Bandung adalah dibeli dari hasil penjualan tanah dan rumah antara tergugat dan suami tergugat yang dulu (HENDRIK). (2) ONEH bin OMO, berdasarkan kesaksian yang diberikan saksi bahwa benar tergugat sebelum kawin dengan penggugat telah mempunyai tanah dan rumah yang dibeli dan dibangun pada saat tergugat kawin dengan suami yang dulu HENDRIK kemudian tanah dan rumah tersebut dijual tergugat setelah kawin dengan penggugat kata tergugat
mau
pengetahuan
dipindahkan
saksi
karena
ke saksi
Cicukang, ikut
dasar
membantu
membangun rumah di Sukamenak, berarti selama perkawinan antara penggugat dan tergugat telah membeli tanah dan membangun rumah di Cicukang c. Mbok TUMINAH binti SITAM Atas kesaksiannya bahwa saksi tahu bahwa waktu mebeli rumah di Sukamenak waktu berumah tangga dengan Hendrik dan rumah yang dibeli sekarang dibeli pada waktu tergugat
173
kawin dengan penggugat. Berarti berdasarkan kesaksiannya saksi menyatakan bahwa selama perkawinan antara penggugat dan tergugat telah membeli sebidang tanah dan telah membangun rumah dari hasil penjualan rumah tergugat dengan suami terdahulu HENDRIK. Berdasarkan alat bukti surat dan alat bukti saksi yang diajukan oleh tergugat sebagai bukti lawan atau bukti kebalikan. Ternyata bahwa terbukti bahwa tanah dan bangunan rumah yang terletak di Jl. Cicukang Raya No. 9 Desa Mekar Rahayu Kecamatan Marga Asih Kabupaten Bandung. Sekalipun dibeli dan dibayar setelah terjadinya perkawinan antara penggugat dan tergugat, akan tetapi tidak berarti harta bersama karena uang untuk membeli tanah dan bangunan rumah tersebut diperoleh dari hasil penjualan tanah dan rumah tergugat dengan suami terdahulu. Berdasarkan hasil penelitian pada poin 5i diperoleh data sebagai berikut: bahwa hakim dalam memutus perkara pembagian harta benda bersama akibat perceraian didasarkan pada ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 86 dan Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 35 ayat (2) menyatakan sebagai berikut: Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
174
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2005: 548) Hal ini ditegaskan dalam Pasal 87 ayat (1) kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: Harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (Wildan Suyuti, 2001: 26) Menurut Undang-undang ini yang termasuk harta pribadi suami isteri meliputi harta bawaan, harta hadiah dan atau harta warisan masing-masing pihak isteri ataupun suami, semua harta termasuk harta hadiah dan atau warisan yang diterima masing-masing suami
isteri
artinya
tanpa
yang
bersangkutan
harus
memperjanjikannya menjadi harta pribadi suami atau isteri yang bersangkutan otomatis menjadi harta pribadi suami isteri yang dikuasai oleh si penerima penyimpangan baru dan hanya dapat terjadi apabila para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Adanya pemisahan secara otomatis demi hukum antara harta pribadi dengan harta bersama tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat perkawinan akan dilangsungkan ketentuan mengenai harta berupa harta hadiah dan atau harta warisan yang diterima suami isteri sepanjang perkawinan.
175
Penguasaan terhadap benda bawaan, hadiah dan warisan tetap berada dibawah kekuasaan si pembawa atau si penerima hal ini ditentukan dalam Pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa: “suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya (Wildan Suyuti, 2001: 26). Hal ini juga diatur dalam Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dari rumusan pasal di atas dapat diuraikan sebagai berikut harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum artinya bahwa suami dan atau isteri dapat betindak sendiri-sendiri tanpa bantuan, kuasa maupun persetujuan pihak yang lain (suami atau isteri) dimana baik suami maupun isteri menurut prinsip undang-undang ini wenang untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hak milik sepenuhnya yang meliputi hak beheer dan hak beschikking atas harta pribadi milik suami isteri. Menurut J. Satrio dari rumusan Pasal 36 ayat (2) di atas dimaksudkan sebagai berikut : (1) Kata “hak sepenuhnya” dimaksudkan bahwa suami isteri mempunyai hak yang paling penuh yaitu berupa hak milik dan orang yang mempunyai hak milik memiliki wewenang yang paling luas yaitu berupa hak pengurusan (beheer) maupun hak kepemilikan (beschikking).
176
(2) Kata “masing-masing” Menunjukkan bahwa untuk itu suami dan atau isteri dapat bertindak
sendiri-sendiri,
tanpa
bantuan,
kuasa,
maupun
persetujuan yang lain (baik dari suami maupun dari isteri) dan hal ini menunjukan pula bahwa suami atau isteri boleh bertindak berdasarkan kuasa yang diberikan kepadanya serta bertindak untuk dan atas nama pihak yang lain (suami dan isteri). (3) Prinsip
Undang-Undang
Perkawinan
Pasal
31
ayat
(2)
menentukan bahwa baik suami maupun isteri wenang untuk melakukan tindakan hukum. (J. Satrio, 1991: 197) Maka dengan demikian harta pribadi berupa harta bawaan yang sudah ada sebelum perkawinan dan berasal milik masing-masing suami dan atau isteri yang bersangkutan atas barang atau harta tersebut. Suami isteri sebelum, selama, maupun sesudah perkawinan berlangsung tetap mempunyai wewenang penuh untuk mengambil tindakan hukum berupa hak beheer dan beschikking atas harta tersebut dan seolah-olah atas harta pribadi suami dan atau isteri dengan terjadinya perkawinan tidak membawa akibat hukum terhadap harta pribadinya kecuali sebelum perkawinan suami atau isteri termasuk orang-orang yang belum cakap untuk bertindak. Dengan demikian berarti bahwa harta bawaan, hibah, hadiah dan sodaqah dan harta warisan tetap milik pribadi masing-masing suami isteri si pemabwa atau si penerima karena menurut ketentuan Pasal 86 ayat (1) kompilasi
177
hukum
Islam
menyatakan
bahwa
pada
dasarnya
tidak
ada
percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan sehingga terhadap harta pribadi suami isteri sebelum, selama dan sesudah perkawinan tetap menjadi milik masing-masing suami isteri. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 86 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam bahwa harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai sepenuhnya olehnya demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 86 dan Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam mengandung satu pengertian bahwa pada asasnya semua harta pribadi milik masing-masing suami isteri yang dibawa masuk ke dalam perkawinan, sebelum, selama maupun sesudah perkawinan tetap berada di bawah penguasaan dan menjadi miliki masing-masing suami isteri. Sehingga dalam penggunaan pemanfaatannya harta masing-masing suami isteri tidak diperlukannya persetujuan dari pihak lain mengingat dalam hukum adat dan dalam ketentuan Pasal 31 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 masing-masing suami isteri adalah berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Sehingga apabila isteri menjual atau memanfaatkan harta pribadi dalam perkawinannya tidak perlu mendapatkan persetujuan dari suami. Sehingga dengan demikian harta pribadi yang dijual dengan sendirinya menjadi harta bersama karena harta yang dijual telah berubah bentuk menjadi uang sehingga harta pribadi telah
178
tidak ada lagi dalam hal perkara sengketa pembagian harta benda bersama
karena
perceraian
yang
diajukan
penggugat
hakim
menyatakan bahwa obyek sengketa merupakan harta pribadi sehingga gugatan tergugat ditolak dan obyek sengketa tidak dapat dibagi. Pada hal dalam peristiwa hukumnya secara nyata-nyata bahwa harta bawaan isteri atau tergugat telah dijual sehingga harta pribadi tergugat secara otomatis sudah tidak ada lagi dan telah berubah menjadi uang dan existensinya apabila harta pribadi telah mengalami perubahan bentuk dari harta asal maka secara otomatis harta tersebut menjadi harta bersama antara suami isteri. Dengan terjadinya perubahan bentuk dalam perkara yang disengketakan para pihak semestinya hakim memutus harta sengketa adalah harta bersama dan pada saat terjadi perceraian harta sengketa harus dibagi menjadi 2 bagian yang sama karena harta sengketa berupa tanah dan bangunan tersebut merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan dengan dasar atas hak pembelian. Adanya perubahan bentuk dari harta asal dengan cara penjualan maka diartikan sebagai harta bersama karena harta asal telah dijual dan berubah bentuk menjadi uang artinya harta asal telah tidak ada lagi existensinya harta asal telah berubah bentuk berupa uang diartikan sudah berubah keseluruhannya menjadi harta bersama, dengan demikian semua barang atau harta yang dibeli dalam perkawinan merupakan hasil pembelian oleh istri dengan demikian
179
kontruksi harta berupa tanah dan bangunan rumah adalah perolehan istri selama perkawinan dengan cara
pembelian sehingga dapat
dikontruksikan harta sengketa adalah harta bersama, dengan alas hak membeli oleh karena itu harta yang dibeli selama perkawinan termasuk objek harta bersama setiap barang atau harta yang dibeli selama perkawinan harta tersebut otomatis menjadi obyek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan siapa diantara suami atau isteri yang membeli dan tidak menjadi soal atas nama isteri atau suami terdaftar dan juga tidak peduli dimanapun harta tersebut terletak yang penting harta tersebut dibeli dalam perkawinan maka dengan sendirinya menurut hukum menjadi obyek harta bersama. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan yurisprudensi yang telah dianut secara permanen yaitu dalam Putusan Makamah Agung tanggal 5 Mei 1971 No. 803 K/Sip/1970. Sehingga dengan demikian dalam perkara pembagian harta benda bersama yang disengketakan antara penggugat dan tergugat adalah merupakan sengketa harta bersama karena tanah dan rumah yang terletak di Jl. Cicukang Raya No. 9 Desa Mekar Rahayu Kecamatan Marga Asih Kabupaten Bandung sebagaimana sertifikat hak milik No. 836 atas nama tergugat adalah merupakan harta pembelian isteri selama perkawinan artinya dengan pembelian tersebut dengan sendirinya dapat dikontruksikan bahwa harta sengketa adalah harta bersama karena harta sengketa merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan dengan alas hak membeli.
180
Pembagian harta benda bersama diatur dalam Pasal 37 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 yaitu sebagai berikut : Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2005 : 543) Dari pasal tersebut diatas yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang ini adalah hukum masing-masing suami isteri yang melangsungkan perkawinan yaitu merujuk pada hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Hal ini berarti pembagian harta bersama diatur sesuai dengan hukum yang dianut oleh suami isteri tersebut. Apabila suami isteri tunduk terhadap hukum agama maka penyelesaian pembagian harta bersama dibagi menurut hukum agama suami isteri, apabila hukum agama suami isteri tidak mempunyai aturan mengenai harta bersama maka dapat diperlakukan hukum adat suami isteri namun apabila suami isteri berbeda agama dan berbeda hukum adatnya dapat diselesaikan dengan hukum-hukum lainnya seperti KUH Perdata, sebatas dalam ketentuan yang dimuatkan dalam perjanjian yang dimaksudkan dalam Pasal 35 ayat (2) yaitu sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. Istilah hukum lainnya dalam penjelasan Pasal 37 UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maksudnya adalah untuk membuka kemungkinan hukum lain dari pada hukum agama dan
181
hukum adat untuk pengaturan harta bersama terbukanya hukum lain dari pada hukum agama dan hukum adat untuk menghindari terjadinya kevakuman hukum dalam tatanan hukum di Indonesia. Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sejalan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam, penerapan-penerapan hukum Islam dalam soal pembagian harta bersama baik dengan cerai mati dan cerai hidup sudah mendapat kepastian. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai berikut : Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Demikian pula dalam cerai hidup yang ditegaskan dalam Pasal 97 yaitu sebagai berikut : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama dalam hal ini hukum yang dianut oleh suami isteri adalah hukum Agama Islam maka pembagian harta benda bersama dalam perkara ini mendasarkan pada hukum Agama Islam berdasarkan Pasal 96 dan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam serta Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan suami isteri masing-masing berhak mendapat setengah bagian dari harta bersama karena perkawinan antara penggugat dan tergugat telah dinyatakan putus berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan (2) dan penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU No. 1 Tahun 1974 serta Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1974.
183
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang dasar pemikiran yuridis hakim terhadap pembagian harta benda bersama akibat perceraian dalam Putusan Pengadilan Agama Cimahi Nomor 319/Pdt.G/1994/PA.Cmi., maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar pemikiran yuridis hakim dikontruksi atas dasar konsep-konsep sebagai berikut: 1. Kewenangan Mengadili Peradilan Agama, Perkara yang diajukan penggugat merupakan perkara yang menjadi kewenangan mengadili Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dengan terpenuhinya unsur subyek hukum adalah termasuk orang-orang yang beragama Islam dan materi perkaranya adalah mengenai pembagian harta bersama sebagai akibat perceraian. 2. Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat adalah sah dengan terpenuhinya ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 3. Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah dinyatakan putus berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan (2) Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975. 4. Hak obyek sengketa dalam perkara ini oleh hakim dikontruksikan sebagai harta pribadi atau bukan harta bersama.
184
B. Saran Hakim seharusnya dalam menentukan sesuatu harta termasuk dalam harta pribadi atau harta bersama menggunakan indictor yang jelas sebagaimana indikator untuk menentukan harta bersama antara lain hasil pembelian oleh suami dan atau isteri adanya perubahan bentuk harta asal dan lain-lain.
185
DAFTAR PUSTAKA Literatur : Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991. Prawirohamidjojo, R. Soetojo dkk., Prularisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1994. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984. Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2002. Roihan, A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, UU No. 7 tahun 1978, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994. Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Islam, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980. Soemitro, Ronny Hanintijo, Metode Penulisan Hukum dan Juru Metri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Liberty, Yogyakarta, 1982. Subekti, Trusto, Keluarga dan Perkawinan (Bahan Pembelajaran), Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2005.
Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Pengadilan Agama Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.