CERAI GUGAT AKIBAT SUAMI ADALAH SAUDARA SEPUPU/SEDARAH (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Batam No.104/Pdt.G/2013/PA.BTM)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMMAD FIKRI PRATAMA N I M. 1 0 9 0 4 4 1 0 0 0 1 4
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
i
ABSTRAK Muhammad Fikri Pratama. NIM 109044100014. CERAI GUGAT AKIBAT SUAMI ADALAH SAUDARA SEPUPU/SEDARAH (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Batam No.104/Pdt.G/2013/PA.BTM). Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. xi + 94 halaman + 15 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah sepupu merupakan sedarah ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif, karena masyarakat masih kurang memahami tentang golongan sedarah dalam hukum Islam dan hukum positif sehingga di Pengadilan Agama Batam dalam perkara No. 104/Pdt.G/2013/PA.BTM ditemukan dalam surat gugatan kata sepupu yang disamakan dengan sedarah. Penulis memilih obyek penelitian di Pengadilan Agama Batam, penulis ingin mengetahui pertimbangan hukum dan majelis hakim dalam memutus perkara cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah. Penelitian ini menggunakan metode deskripsif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui buku atau literatur dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan hakim Pengadilan Agama Batam yang memutus perkara nomor 104/Pdt.G/2013/PA.BTM terkait pertimbangan hukum mengenai cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwasannya menurut hukum Islam dan hukum positif sepupu bukanlah sedarah dan hakim Pengadilan Agama Batam memutuskan perkara ini cerai dengan alasan perselisihan terus-menerus bukan sebab sepupu/sedarah sebagaimana yang tercantum dalam gugatan istri tetapi ditemukan fakta bahwa terus terjadi perbedaan pendapat dan suami tidak lagi memberi nafkah kepada istri maupun anak-anak. Kata Kunci : Cerai gugat, Sedarah/sepupu, Pengadilan Agama Batam Pembimbing Daftar Pustaka
: M. Yasir, S.H., M.H. : 1983 s.d 2014
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan ni’mat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Untaian shalawat beriringkan salam penulis haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW yang atas kuasa Allah SWT telah mengeluarkan kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang-benderang penuh dengan ilmu pengetahuan, semoga syafaat beliau senantiasa tercurahkan kepada umat muslimin. Berbagai macam kesulitan dan cobaan menghalangi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, namun kesulitan dan cobaan tersebut berakhir pada suatu jalan kemudahan yang hadir berkat bimbingan bantuan serta dukungan yang sangat berguna dari berbagai pihak. Dengan demikian, pada kesempatan ini penulis mengungkapkan rasa terima kasih yang tulus disertai rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A. Rektor Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. JM. Muslimin.M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Hj. Rosdiana, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga. 4. M.Yasir, S.H., M.H. selaku pembimbing skripsi penulis yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, semoga beliau selalu dalam lindungan dan kasih sayang Allah SWT. 5. Narasumber dan staff Pengadilan Agama Batam, yang telah memberikan izin serta membantu penulis dalam observasi dan wawancara terkait data yang penulis perlukan dalam penelitian skripsi, khususnya kepada Drs. H. Mukhlis selaku hakim yang telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan informasi kepada penulis. 6. Seluruh dosen Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Teristimewa untuk Ayahanda Drs. H. Muhammad Amanuddin, M.Ag dan Ibunda Jumilah tercinta, sujud abdiku atas kasih sayang, pengorbanan, motivasi dan doa yang tak hentinya sehingga penulis bisa menjadi seperti sekarang, Juga untuk kedua adikku tersayang, Damay Yanti dan Uswatun Nabawiyyah, yang telah memberikan do’a dan dukungan kepada penulis serta menjadi motivasi bagi penulis agar bisa memberikan tauladan yang baik, seluruh keluarga besar dari Batam, Pekanbaru, Medan dan Malaysia yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis. vii
8. Sahabat-sahabat Riau: Jefri, Ihsan, Aal, Feni, Rohyb dan seluruh sahabat-sahabat IKAPDH, SEMARI, suka duka kita akan selalu menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan. 9. Sahabat-sahabat Peradilan Agama 2009: Syaefuddin, Mufti, Fauzan, Helmi, Yusuf, dan seluruh sahabat Peradilan Agama 2009, semoga persahabatan akan terus terjalin dengan baik walupun terdapat jarak dan waktu diantara kita. 10. Seluruh sahabat PMII dan KBPA. Syukron katsir. 11. Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu, terima kasih atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini. Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.
Jakarta, 7 Maret 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iv ABSTRAK.............................................................................................................. v KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I
Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 6 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................... 7 D. Tujuan Penelitian................................................................................. 8 E. Manfaat Penelitian............................................................................... 8 F. Studi Review Terdahulu ..................................................................... 9 G. Metodologi Penelitian…………………………………………………10 H. Sistematika Penulisan…………………………………………………14
ix
BAB II
Tinjauan Umum Tentang Perceraian A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian .................................. ……. 15 B. Jenis dan Alasan Perceraian ............................................................... 19 C. Akibat Hukum dan Hikmah Perceraian .............................................. 33 D. Pemeriksaan Perkara Perceraian ........................................................ 41
BAB III Perkawinan Sepupu Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif A. Perkawinan Sedarah Dalam Hukum Islam ......................................... 49 B. Perkawinan Sedarah Dalam Hukum Positif ........................................ 54 C. Status Sepupu dalam Perkawinan Hukum Islam dan Hukum Positif .. 57
BAB IV Analisis Putusan Cerai Gugat Akibat Suami Adalah Saudara Sepupu/Sedarah A. Profil Pengadilan Agama Batam ........................................................ 65 B. Duduk Perkara................................................................................... 71 C. Pertimbangan Hakim ......................................................................... 75 D. Amar Putusan……………………………………………………….... 80 E. Analisis Penulis………………………………………………………...80
x
BAB V
Penutup A. Kesimpulan ....................................................................................... 87 B. Saran ................................................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 91 LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nikah berasal dari bahasa Arab yaitu ِﻧﻜَﺎﺣًﺎ-ﺢ َ َﻧ َﻜyang berarti mengawini, menikah. 1 Dalam bahasa Arab kata an-Nikah bermakna “al-wathi dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut al-dammu wal al-jam’u, atau ‘ibarat anal-wath’ wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. 2 Sedangkan nikah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu “Ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama”.3 Dewasa ini kerapkali dibedakan antara “nikah” dengan “kawin”, akan tetapi pada prinsipnya antara “pernikahan” dan “perkawinan” hanya berbeda dalam menarik akar kata saja.4 Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. 5 Dalam pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa: “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, h. 1461. 2 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), cet. Ke-3,h. 38. 3 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, diakses dari http://kbbi.web.id, pada Selasa 17 September pukul 22:09 WIB. 4 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-4, h. 36. 5 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), cet. Ke-31, h. 23.
1
2
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 6 Dari bunyi pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tersebut diatas, dapat disimpulkan suatu rumusan arti dari perkawinan yaitu: ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan dimaksud adalah: membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7 Sedangkan
dalam
Kompilasi
Hukum
Islam
(KHI)
dijelaskan
bahwasannya: “Perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mustaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. 8 Perkawinan apabila ditinjau dari segi hukum adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan ini lazim disebut keluarga sakinah.9 Dari pegertian perkawinan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, dan setiap orang yang menikah pasti mengharapkan tercapainya tujuan tersebut, namun 6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-3, h. 40. 7 Djoko Prakoso dan Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), cet. Ke-1, h. 3. 8 Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Rona Publishing), h. 93. 9 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-4, h. 37.
3
banyak juga diantara mereka yang tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga sehingga harus berakhir dengan perceraian. Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya perkawinan lebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam suatu negara, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami istri tersebut.10 Dalam Islam perceraian itu dibenarkan dan diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik daripada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi kebahagiaan tidak dicapainya dan selalu berada dalam penderitaan. Dalam agama Islam, perkawinan tidak diikat dalam ikatan yang mati tetapi tidak pula mempermudah terjadinya perceraian, boleh dilakukan tetapi betul-betul dalam keadaan darurat atau karena terpaksa. Salah satu asas yang dianut oleh hukum perkawinan nasional adalah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini adalah sejalan dengan ajaran agama, (khususnya agama Islam), karena kalau terjadi perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan yang dicita-citakan yaitu membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Berlainan halnya dengan putusnya perkawinan karena kematian, sebab hal ini merupakan takdir dari Allah SWT yang tidak dapat dielakkan oleh manusia.11
10
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008, cet. Ke-5, h. 443. 11 Ibid, h. 444.
4
Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan upaya perdamaian secara maksimal. Perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami atau permintaan istri, perceraian yang dilakukan istri disebut cerai gugat.12 Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, adapun alasanalasan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk perceraian sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu:13 1. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan (pemboros, pemakai obat-obat terlarang). 2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya (pergi tanpa kabar berita). 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
12
Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h.
509. 13
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h. 17.
5
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Kemudian KHI menambahkan dua alasan yaitu:14 1. Suami melanggar taklik talak. 2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga. Dari alasan-alasan diperbolehkan perceraian diatas terdapat alasan “antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”, adapun untuk alasan ini dapat diterima sebagai dasar perceraian harus cukup jelas sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu, sebagaimana yang tercantum pada pasal 22 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, contohnya pertengkaran terus-menerus akibat suami selalu pulang malam tanpa alasan, pertengkaran terus-menerus akibat kurangnya perhatian suami terhadap istri, dll, namun masalah sosial yang terjadi di masyarakat saat ini salah satunya adalah adanya cerai gugat dengan alasan perselisihan terus-menerus antara suami istri akibat suami adalah saudara “sepupu/sedarah” sehingga rintangan dan halangan banyak terjadi. Dari kata sepupu yang disandingkan dengan kata sedarah ini dapat dikategorikan bahwa sebab dari pertengkaran ini tidak jelas karena dalam hukum Islam dijelaskan bahwa sepupu bukanlah sedarah atau bukanlah mahram, sehingga 14
Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Rona Publishing), h. 138.
6
dapat dinikahi, hal ini dapat disimpulkan dari QS. An-Nisa’ ayat 23, dalam ayat ini menyebutkan semua yang tidak boleh dinikahi, sepupu tidak termasuk dalam ayat ini sehingga dapat disimpulkan sepupu boleh dinikahi. Hukum yang berlaku di Indonesia juga jelas bahwa sepupu bukanlah sedarah, dalam KHI sepupu tidak tercantum dalam Bab IV Larangan Kawin sehingga boleh melakukan perkawinan, dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pada pasal 8 juga tidak tercantum sepupu merupakan yang dilarang untuk melakukan perkawinan, sehingga dapat disimpulkan boleh melakukan perkawinan. Kemudian apabila cerai gugat dengan alasan perselisihan terus-menerus antara suami istri akibat suami adalah sedarah, berarti perkara ini bukanlah cerai gugat melainkan pembatalan perkawinan. Berangkat dari masalah di atas penulis merasa tergugah untuk mengkaji permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi yang akan dilaksanakan dengan judul “CERAI
GUGAT
AKIBAT
SUAMI
ADALAH
SAUDARA
SEPUPU/SEDARAH (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Batam No. 104/Pdt.G/2013/PA.BTM)”.
B. Identifikasi Masalah Perceraian sebenarnya dapat terjadi karena berbagai alasan yang bertumpu pada bagaimana Undang-undang di Indonesia mengatur alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian dalam Undang-undang di Indonesia dan bagaimana
7
praktek yang terjadi dalam kenyataan. Dari permasalahan di atas, masalah yang dapat diidentifikasi oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Alasan-alasan apa saja yang dapat dijadikan sebagai dasar perceraian? 2. Apakah sepupu merupakan sedarah ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif? 3. Bagaimana prosedur perceraian yang terdapat di Pengadilan Agama Batam? 4. Bagaimana
pertimbangan
Hakim
Pengadilan
Agama
Batam
dalam
menyelesaikan dan memutus perkara cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah?
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan ini hanya pada cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah dan bagaimana
pertimbangan
hakim
dalam
memutus
perkara
nomor
104/Pdt.G/2013/PA.BTM. 2. Perumusan Masalah Dari permasalahan tersebut penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
8
a. Apakah sepupu merupakan sedarah ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif? b. Bagaimana pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Batam dalam menyelesaikan dan memutus perkara cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah?
D. Tujuan Penelitian Mengacu pada permasalahan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui apakah sepupu merupakan sedarah ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif 2. Untuk
mengetahui
pertimbangan
Hakim
Pengadilan
Agama
dalam
menyelesaikan dan memutus perkara cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah
E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penulis adalah sebagai berikut: 1. Untuk menambah khazanah keilmuan khususnya pada diri penulis sendiri, mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya.
9
2. Hasil studi ini kiranya dapat dimanfaatkan oleh instansi atau lembaga terkait, praktisi hukum dan pihak-pihak yang membutuhkan. 3. Menambah perbendaharaan kepustakaan hukum umumnya dan hukum Islam khususnya dibidang Peradilan Agama.
F. Studi Review Terdahulu Pembahasan dalam penelitian ini penulis telah melakukan telaah studi terdahulu pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang akan diangkat oleh penulis yaitu: No. Identitas 1.
Roy Rijal Fikri, Cerai gugat akibat suami tidak mampu memberi nafkah (analisis putusan perkara No.0979/Pdt.G/2008/PAJT di Pengadilan Agama Jakarta Timur), Konsentrasi Keperdataan Islam , Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.
Substansi
Pembeda
Hasil penelitian berupa skripsi ini membahas cerai gugat karena alasan suami tidak mampu memberi nafkah di PA. Jakarta Timur.
Disini penulis akan membahas cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah yang ada di PA. Batam.
10
2.
Ahmad Sauqi, Perselisihan terus-menerus antara suami istri akibat campur tangan orang tua sebagai dasar alasan perceraian(kajian terhadap putusan PA Jakarta Timur No. 116/pdt.G/2008/PA JT), Konsentrasi Peradilan Agama, Prodi Ahwal AlSyakhshiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.
Hasil penelitian berupa skripsi ini membahas perselisiahan terus-menerus antara suami istri akibat turut campur orang tua sebagai dasar alasan perceraian di PA. Jakarta Timur.
Disini penulis akan membahas cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah yang ada di PA. Batam.
3.
Nurhayati, Cerai gugat karena suami tidak mampu memberikan nafkah (analisis putusan PA Bandung No.732/pdt.G/2006/PA BDGJabar), Konsentrasi Peradilan Agama, Prodi Ahwal AlSyakhshiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.
Hasil Penelitian berupa skripsi ini membahas cerai gugat karena suami tidak mampu memberikan nafkah di PA. Bandung.
Disini penulis akan membahas cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah yang ada di PA. Batam.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah: a. Penelitian kasus case study yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu, yang hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit tetapi memiliki sifat penelitian kasus yang lebih mendalam. Secara lebih
11
jelas penulis tegaskan disini bahwa penelitian kasus yang dimaksud disini adalah sebatas pada wilayah kasus atau perkara cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah (studi kasus putusan Pengadilan Agama Batam No. 104/Pdt.G/2013/PA.BTM)”. b. Penelitian Kepustakaan library research yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan menganalisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut kemudian menghubungkannya dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan objektif, ligis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikendaki dalam penulisan skripsi ini. 2. Sumber Bahan Hukum Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum primer didapatkan dari Pengadilan Agama Batam dengan No. Putusan 104/Pdt.G/2013/PA.BTM, serta melakukan wawancara dengan hakim yang memutuskan perkara tersebut.
12
b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum sekunder data yang diperoleh dari studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksudkan berupa buku-buku ilmiah, UndangUndang, Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta perturan yang lain yang berhubungan erat kaitannya dengan masalah yang diajukan. 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinterventarisasi dan diklarifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. Dalam upaya pengumpulan bahan hukum yang diperlukan, penulis akan menggunakan metode sebagai berikut: a. Dokumentasi/Kepustakaan Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya. 15
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201.
13
b. Interview/Wawancara Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. 16 Dalam penulisan skripsi ini penulis akan melakukan wawancara langsung dengan Hakim Pengadilan Agama Batam yang memutuskan perkara ini. 4. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Metode analisis bahan hukum yang digunakan disini berupa analisa kualitatif dengan pendekatan konten analisa yaitu menganalisis isi (conten analisa) dengan mendeskripsikan putusan cerai gugat akibat suami adalah suadara sepupu/sedarah dan menghubungkan dengan hasil wawancara.
5. Teknik Penulisan Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014.
16
Suharsismi Arikunto, Prosedur Penelitan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) h. 205
14
H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu masalah yang diteliti. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut: Bab pertama merupakan pendahuluan dalam bab ini yang memuat tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua, dalam bab ini membahas tinjauan umum tentang perceraian yang isinya memuat pengertian dan dasar hukum perceraian, jenis dan alasan perceraian, akibat hukum dan hikmah perceraian dan pemeriksaan perkara perceraian. Bab ketiga, dalam bab ini membahas perkawinan sepupu dalam hukum Islam dan hukum positif, yang isinya memuat perkawinan sedarah dalam hukum Islam, perkawinan sedarah dalam hukum positif dan status sepupu dalam perkawinan hukum Islam dan hukum positif. Bab keempat, dalam bab ini membahas analisis putusan cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah, yang isinya profil Pengadilan Agama Batam, duduk perkara, pertimbangan hakim, amar putusan dan analisis penulis. Bab kelima, dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan, kemudian memberikan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian Perceraian dari segi bahasa berasal dari kata “cerai”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “cerai” berarti pisah, putus hubungan sebagai suami istri.1 Dalam Islam cerai sering disebut dengan istilah “talak”, kata talak sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya lepas dari ikatan, berpisah,bercerai, pembebasan.2 Secara terminologi talak dirumuskan oleh Al-Mahalli dalam Kitabnya Syarh Minhaj al-Thalibin yaitu:3
ﺣﻞ ﻗﯿﺪ اﻟﻨﻜﺎ ح ﺑﻠﻔﻆ ﻃﻠﻖ وﻧﺤﻮه Artinya: melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafal talak dan sejenisnya. Dari yang dirumuskan oleh Al-Mahalli diatas dapat disimpulkan bahwa dalam kitab-kitab fikih memberi tiga kata kunci yang menunjukkan arti hakikat perceraian yang bernama talak yaitu:4
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari http://kbbi.web.id/, pada hari Senin, 11 November 2013, pukul 21:24 WIB. 2 Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir Kamus Besar Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet. Ke-14, h. 861. 3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Pekawinan (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-3, h. 198. 4 Ibid, h.199.
15
16
Pertama: Kata “melepaskan” atau membuka atau meninggalkan mengandung arti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yaitu perkawinan. Kedua: ”ikatan perkawinan”, yang mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini, bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan hubungan antara suami dan istri, maka dengan telah dibuka ikatan itu status suami dan istri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram. Ketiga: kata “dengan lafal tha-la-qa dan sama maksudnya dengan itu” mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan dan ucapan yang digunakan itu adalah kata-kata talak tidak disebut dengan: putus perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan ucapan tersebut, seperti putus karena kematian. Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan cerai/talak adalah: “Ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, 131”.5 Prof. Subekti, S.H dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata mendefinisikan bahwa perceraian adalah “penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”.6
5 6
Kompilasi Hukum Islam,(Surabaya: Rona Publishing), h. 138 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), cet. Ke-31, h. 42.
17
Adapun dasar hukum perceraian diantaranya: 1. Q.S Al-Baqarah ayat 229
(229 : )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik, tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya kawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, jika kamu kawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukumhukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya, itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya, barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S Al-Baqarah: 229). 2. Q.S. Al-Baqarah ayat 230
(230 :)اﻟﺒﻘﺮة Artinya: kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain, kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.(Q.S Al-Baqarah: 230).
18
3. Q.S. Al-Baqarah ayat 231
(231: )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf pula, janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka, barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah), Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu, dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S Al-Baqarah: 231). 4. Q.S. Al-Baqarah ayat 232
(232 : )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf, itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian, itu lebih baik bagimu dan lebih suci, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(Q.S Al-Baqarah: 232)
19
5. Q.S. At-Thalaq ayat 1
(1 : )اﻟﻄﻼق Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu, janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang, itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(Q.S. At-Thalaq: 1).
B. JENIS DAN ALASAN 1. Jenis Perceraian a. Cerai talak Pengertian talak menurut bahasa Arab adalah lepas dari ikatan, berpisah, bercerai, pembebasan.7 Yang dimaksud disini adalah melepaskan ikatan perkawinan. Cerai talak merupakan cerai yang dikehendaki suami sesuai dalam Kompilasi Hukum islam (KHI) dijelaskan bahwa cerai talak adalah “ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah
7
Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir Kamus Besar Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), cet. Ke-14, h. 861.
20
satu putusan perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131”.8 Hak talak ini dapat digunakan untuk menjadi jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi suami dalam melangsungkan situasi rukun damai dalam kehidupan rumah tangga. Rumah tangga yang dibangun melalui akad nikah harus dilandasi dengan rasa cinta kasih antara dua pihak sehingga apabila rasa cinta menjadi tidak ada di antara mereka dan sulit dipulihkan, tetapi yang ada kemudian hanya benci-membenci, terbukalah pintu yang memberi hak talak ini kepada suami. 9 Adapun jenis-jenis talak adalah: 1) Talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang telah dicampurinya dan masih dalam masa iddah.10 Jelasnya, talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya sebagai talak satu atau talak dua. Apabila istri berstatus iddah talak raj’i, suami boleh rujuk kepada istrinya tanpa akad nikah yang baru, tanpa persaksian, dan tanpa mahar baru pula. 11 2) Talak ba’in adalah perceraian dengan talak tiga, atau cerai setelah habis masa iddahnya, tidak ada kemungkinan untuk menjalin kembali hubungan perkawinan bila talak tiga ini telah dijatuhkan. Talak ba’in ada 8
Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Rona Publishing), h. 138. Ahcmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-1, h. 119. 10 A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), cet. Ke-1. h. 243. 11 Ibid, h. 244. 9
21
dua macam yaitu talak bai’n sughra yaitu mengurangi hak suami untuk menjalin kembali hubungan perkawinan, (tetapi bisa dengan akad yang baru). Kemudian talak ba’in kubra semua hak untuk mempertautkan kembali ikatan perkawinan hilang sama sekali, bahkan suami yang terdahulu tak dapat mengawini istri yang telah diceraikannya, kecuali bila dia telah menikah dengan lelaki lain lalu menceraikannya dengan sukarela, tanpa tujuan “tahlil” sebagai yang disebutkan “cinta buta”.12 b. Cerai Gugat Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.13 Jika hak untuk melakukan perceraian yang diberikan untuk suami dinamakan cerai talak atau dalam Islam disebut talak, maka hak untuk melakukan perceraian yang diberikan untuk istri disebut cerai gugat atau dalam Islam cerai gugat dinamakan Khuluk. Khuluk berasal dari kata -ﺧََﻠ َﻊ
ﺧﻠْﻌًﺎ َ yang berarti mencabut, melepaskan.14
12
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cet. Ke-1, h. 88. 13 Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. Ke-5, h. 50 14 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 361.
22
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 1 huruf i bahwa khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya. 15 Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putus perkawinan dengan cara ini disebut khuluk. 16 Khuluk ialah perceraian berdasarkan persetujuan suami istri yang berbentuk jatuhnya satu kali talak dari si suami kepada si istri dengan adanya penebusan dengan harta atau uang oleh si istri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu. Syarat yang menjadi ‘illah untuk membolehkan khuluk ialah suami istri itu tidak dapat lagi menjalankan peraturan-peraturan Tuhan, kalau mereka teruskan hubungan perkawinannya. 17 Dasar pembolehan khuluk terdapat dalam Al-Qur’an surat AlBaqarah ayat 229:
15
Kompilasi Hukum Islam,(Surabaya: Rona Publishing), h. 92. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media), cet. Ke-2, h. 197 17 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-5, h.115. 16
23
(229 : )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik, tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya, itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya, barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.(Q.S. Al-Baqarah: 229). c. Syiqaq Menurut Rasyid Ridha, syiqaq adalah perselisihan antara suami dan istri, perselisihan ini mungkin disebabkan karena istri nusyuz atau mungkin karena suami berbuat kejam dan aniaya kepada istrinya. Sayyid Sabiq mengategorikan perceraian karena syiqaq
ini karena dharar atau
membahayakan. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad berpendapat sekiranya istri mendapat perlakuan kasar dari suaminya, maka ia dapat mengajukan gugatan perceraian ke hadapan hakim agar perkawinannya diputus karena perceraian, adapun bentuk dharar menurut Imam Malik dan Ahmad adalah suami suka memukul, suka mencaci, suka menyakiti badan jasmani istrinya, dan memaksa istrinya itu untuk berbuat
24
mungkar. Di kalangan madzhab Syafi’iyah seperti yang dikemukakan oleh Zakariya al-Asnshar, bahwa syiqaq itu tidak lain adalah perselisihan antara suami istri, dan perselisihan ini sangat memuncak serta dikhawatirkan terjadi kemudharatan apabila perkawinan itu diteruskan isytidaadusy syiqaq.18 Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan bahwa shiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami istri. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi didamaikan harus melalui beberapa proses.19 Dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 35 dinyatakan:
(35 : )اﻟﻨﺴﺎء Artinya: bila kamu khawatir terjadinya perpecahan antara mereka berdua, utuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri. Jika keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka, sungguh Allah maha mengetahui, maha mengenal.(Q.S. An-Nisa’: 35). d. Fasakh Arti fasakh ialah diputuskanya hubungan perkawinan oleh Hakim Agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa
18
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Kencana: Jakarta, 2008), cet. Ke-5, h. 385. 19 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI,(Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-3, h. 212.
25
tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan, dengan difasakhkan ini bubarlah hubungan perkawinan itu. 20 Fasakh tidak hanya melibatkan dua pihak pengakad, suami dan istri saja tetapi termasuk pihak ketiga, sehingga ada kemungkinan fasakh itu terjadi karena suami, istri dan kehendak orang lain yang berhak. Adapun halhal yang bisa dijadikan sebab untuk memfasakh akad nikah berkisar pada dua yaitu ada sebab yang diketahui setelah akad terjadi padahal sebenarnya telah ada sebelum akad dan ada sebab yang terjadi kemudian yakni muncul setelah akad.21 Untuk sebab yang pertama yaitu diketahui setelah akad contoh secara tiba-tiba terungkap ada bukti kuat bahwa antara mereka yang berakad sebagai suami istri itu adalah saudara sesusuan yang haram saling menikah, atau istri ketika akad berlangsung masih dalam masa iddah, masih ada ikatan perkawinan dengan suami lain dan sebagainya. Sedangkan untuk sebab kedua yang terjadi kemudian yakni muncul setelah akad contoh salah satu pihak mengubah agama, karena murtad ke dalam iman yang diharamkan kawin, putus, batal ikatan akadnya, baik pihak yang satu menerima (ridha) ataupun tidak.22
20
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-5, h. 117. Ahcmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-1, h. 141 22 Ibid, h. 141-142. 21
26
Menurut Ahmad Azhar Basyir, fasakh ada yang memerlukan putusan pengadilan seperti misalnya karena istri musyrik, dan fasakh yang tidak melalui putusan pengadilan yaitu fasakh yang ada hal-hal yang cukup jelas, misalnya diketahui mahram antara suami istri karena hubungan susuan. 23 e. Ta’lik talak Arti ta’lik talak ialah menggantungkan, yaitu suatu talak yang digantungkan kepada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam perjanjian yang telah diperjanjikan terlebih dahulu, ta’lik talak ini diadakan untuk melindungi istri agar tidak teraniaya oleh suami. 24 Adapun dasar hukum ta’lik talak terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 128 yaitu:
(128 : )اﻟﻨﺴﺎء Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa keduanya mengadakan perdamain yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu dari (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.An-Nisa’: 128) 23
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind. Hill-Co, 1990), cet. Ke-2, h. 111. 24 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-5, h. 107.
27
f. Ila’ Ila’ artinya menolak dengan sumpah, dalam pengertian agama ila’ berarti menolak untuk mengumpuli istrinya dengan bersumpah. Dalam hal ini sumpahnya baik dengan nama Allah ataupun dengan berpuasa atau bersedekah atau dengan haji atau dengan bercerai. 25 Pada zaman jahiliyah biasa seseorang suami bersumpah tidak akan menyentuh istrinya setahun atau dua tahun, sang istri dibiarkan terkatungkatung seolah tidak bersuami tapi tidak pula diceraikan, setelah kedatangan Islam hal ini diatur oleh Allah SWT melalui wahyu dengan meletakkan batas tertentu bagi perbuatan ini yaitu:
(226 : )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan lamanya, kemudian jika ia kembali (kepada istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.(Q.S AlBaqarah: 226). Dari ayat ini dapat dijelaskan bahwa Allah meletakkan batas waktu empat bulan, dimana seorang suami tidak boleh mengumpuli istrinya. Dan dalam waktu tersebut diharapkan suami mau menginsyafi dirinya jika ia mau kembali dalam tempo tersebut atau mengakhirinya dengan mencabut
25
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, diterjemahkan oleh Moh. Thalib, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990), cet. Ke-7, h. 114.
28
sumpahnya, lalu mencampuri istrinya dan membayar kafarah sumpahya terhadap istrinya, jika tidak mau kembali maka wajib mentalak.26 g. Zhihar Zhihar suatu prosedur yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang suami bersumpah, bahwa istrinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Hal ini berarti dia tidak akan menyetubuhi istrinya itu tetapi dalam bentuk yang lebih tajam. Arti zhihar ialah suatu keadaan dimana seorang suami bersumpah bahwa baginya istrinya itu sama dengan punggung ibunya. Hal ini berarti suatu ungkapan khusus bagi orang Arab yang berarti bahwa dia tidak akan mencampuri istrinya itu. Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami istri itu. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarah lebih dahulu. 27
(2 :)اﻟﻤﺠﺎدﻟﺔ Artinya: orang lelaki dikalanganmu yang menzihar istrinya itu sebenarnya mereka (istri) itu bukanlah ibunya. Sesungguhnya ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkan mereka, dan sesungguhnya mereka sudah berkata keji dan dusta, dan sesungguhnya Allah itu Maha pemaaf lagi pengampun. (Q.S. Al-Mujadilah: 2)
26 27
113.
Ibid , h. 114. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-5, h. 112-
29
Allah SWT mengatur tentang perbuatan zhihar ini bukan berarti perbuatan zhihar ini adalah perbuatan yang dihalalkan, tetapi Allah SWT mengatur tentang perbuatan zhihar ini agar memperbaiki keadaan bangsa Arab Jahiliyah pada saat itu yang suka menzalimi istrinya dengan menyamakan mereka dengan ibu mereka sehingga tidak digauli dan tidak pula diceraikan, Allah menegur mereka yang melakukan perbuatan zhihar yang buruk ini didalam Al-Qur’an sebagai berikut:
(4 : )اﻷﺣﺰب Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam dadanya, dan Dia tidak menjadikan istri-istri yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak pula menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja, sedangkan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jala (yang benar).(Q.S. Al-Ahzab: 4)
h. Li’an Yaitu ucapan suami kepada istrinya sebagai berikut: “saya bersaksi kepada Allah bahwa saya benar, terhadap tuduhan saya kepada istri saya bahwa dia berzina”. Dan jika ada dalam kandungan yang diyakini bukan anaknya, hendaknya diterangkan pula bahwa anak itu bukan anaknya. Perkataan itu hendaknya diulangi sebanyak empat kali, kemudian diakhiri
30
dengan ucapan “Allah akan melaknatku sekiranya aku berdusta dalam tuduhanku ini”. 28 Arti li’an dalam hubungan dengan soal perceraian ini ialah: putusnya hubungan perkawinan karena si suami menuduh istrinya melakukan zina dan si istri menolak tuduhan itu. Keduanya menguatkan pendirian mereka dengan sumpah. 29 Li’an ini biasa dilakukan oleh suami yang menuduh istrinya tanpa dapat mengajukan empat orang saksi, sebagaimana ketentuan syar’i, karena jika suami menuduh istrinya berzina tanpa dapat menghadirkan empat orang saksi dan tidak pula melakukan li’an, ia dapat dikenakan hukuman dera Firman Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 6 berbunyi:
(7-6 : )اﻟﻨﻮر Artinya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah dengan empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Q.S. An-Nur: 6).
28 29
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), cet. Ke-5, h.336. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-5, h. 118.
31
Akibat hukum lia’n suami ini adalah suami bebas dari hukuman dera, istri harus dihukum rajam, yakni hukuman sebagai seorang pezina, jika si istri hamil, anak dalam kandungan itu bukanlah anak dari suaminya. 30 Tetapi jika istri merasa dirinya tidak melakukan zina kepada orang lain, ia dapat membantah li’an suaminya dengan mengajukan li’an pula kepada suaminya, akibat kontra li’an dari istri, maka suami akan mendapatkan hukuman rajam sebagai seorang pezina.31 Ketentuan ini tertuang dalam firman Allah sebagai berikut:
(9-6: )اﻟﻨﻮر Artinya: dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (Q.S. An-Nur: 6-9)
30 31
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), cet. Ke-5, h.337 Ibid, h. 337
32
2. Alasan Perceraian Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan yang menjadi dasar bahwa suami istri ini tidak dapat untuk hidup rukun kembali sesuai dengan pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri”.32 Di dalam PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan pasal 19 disebutkan alasan-alasan apa saja yang dapat diterima sebagai dasar untuk melakukan perceraian, yaitu: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap orang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
32
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Surabaya: Rona Publishing), h. 24.
33
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dala rumah tangga.33 Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan penambahan dua ayat yaitu: a. Suami melanggar taklik talak. b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.34 Dalam hukum perdata juga diatur alasan-alasan apa saja yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian yaitu: a. Zina (overspel). b. Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating). c. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan. d. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (pasal 209 B.W.).35
C. AKIBAT DAN HIKMAH 1. Akibat Perceraian Setelah perceraian terjadi tidak serta-merta permasalahan selesai, akan tetapi akan ada akibat hukum yang timbul karena terjadinya perceraian tersebut,
33
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-4, h. 116-
117. 34
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Kencana: Jakarta, 2008), cet. Ke-5, h. 447. 35 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), cet. Ke-31, h. 42-43
34
baik antara mantan suami dengan mantan istri, harta yang didapatkan antara mantan suami dan mantan istri tersebut selama dalam masa perkawinan mereka dan jika mereka telah dikaruniai anak, akan ada akibat hukum terhadap hak asuh terhadap anak mereka. Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata menjelaskan bahwa: “Apabila ada perjanjian perkawinan, pembagian harta harus dilakukan menurut perjanjian tersebut”.36 Kepada istri, jika ia tidak mempunyai penghasilan cukup dan anakanak yang diserahkan pada si istri itu oleh hakim dapat ditetapkan tunjangan nafkah yang harus dibayar oleh suami tiap waktu tertentu. Penetapan jumlah tunjangan oleh hakim diambil dengan mempertimbangkan kekuatan dan keadaan si suami. Apabila
keadaan
ini
tidak
memuaskan
dapat
mengajukan
permohonannya supaya penetapan itu oleh hakim ditinjau kembali. Adakalanya juga, jumlah tunjangan itu ditetapkan sendiri oleh kedua belah pihak atas dasar mufakat. Juga diperbolehkan untuk merubah dengan perjanjian ketentuanketentuan mengenai tunjangan tersebut yang sudah ditetapkan dalam keputusan hakim. Jikalau seorang janda kawin lagi, ia kehilangan haknya untuk menuntut tunjangan dari bekas suaminya.37
36 37
Ibid, h. 44 Ibid.
35
Perceraian mempunyai akibat pula, bahwa kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) berakhir dan berubah menjadi “perwalian” (voogdij). Karena itu, jika perkawinan dipecahkan oleh hakim, harus pula diatur tentang perwalian itu terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Penetapan wali oleh hakim dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun dari pihak ibu yang rapat hubungannya dengan anak-anak tersebut. Hakim merdeka untuk menetapkan ayah atau ibu menjadi wali, tergantung dari siapa yang dipandang paling cakap atau baik mengingat kepentingan anak-anak. Penetapan wali ini juga dapat ditinjau kembali oleh hakim atas permintaan ayah dan ibu berdasarkan perubahan keadaan. 38 Hal ini juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam maupun UndangUndang Perkawinan. a. Kompilasi Hukum Islam (KHI) 1) Akibat hukum dari talak yang dilakukan suami. 39 Pasal 149 menjelaskan bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul, memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil, melunasi mahar yang masih terhutang
38 39
Ibid. Kompilasi Hukum Islam, Rona Publishing: Surabaya, h. 150-151.
36
seluruhnya, dan separoh apabila qobla al-dukhul, memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai 21tahun. Pasal 151 dan pasal 152 menjelaskan Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain, bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz. 2) Adanya waktu tunggu/masa iddah.40 Pasal 153 menjelaskan bahwa bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al-dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari, apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90(sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari, apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan, tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karana perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al-dukhul, bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, 40
Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Rona Publishing), h. 151-153.
37
putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami,waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid, dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci. Kemudian Pasal 154 dan pasal 155 menjelaskan apabila istri bertalak raj’i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya, waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li’an berlaku iddah talak. 3) Akibat hukum terhadap hak asuh anak/hadhanah. 41 Pasal 156 menjelaskan akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dengan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh wanita-wanita dalam garis lurus ke atas ibu, ayah, wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah, saudara
41
Ibid, h. 153-154.
38
perempuan dari anak yang bersangkutan,wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis kesamping dari ayah. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya, apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula, semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun), bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d), pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. 4) Adanya mut’ah atau pemberian bekas suami kepada istri. 42 Pasal 158-160 menjelaskan bahwa mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da aldukhul, perceraian itu atas kehendak suami.
42
Ibid, h. 155.
39
Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158, besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. 5) Pembagian harta kekayaan dalam perkawinan. 43 Pasal 96 dan pasal 97 menjelaskan apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama, janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. b. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 41
menjelaskan akibat
putusnya perkawinan karena
perceraian baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan
mengenai
penguasaan
anak-anak,
Pengadilan
memberi
keputusan, bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut, pengadilan dapat mewajibkan bekas 43
Ibid, h. 130.
40
suami yantuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bekas istri. 44
2. Hikmah Perceraian Dari pengertian perkawinan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, dan setiap orang yang akan melakukan perkawinan pasti mengharapkan tercapainya tujuan tersebut, namun banyak juga diantara mereka yang tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga sehingga harus berakhir dengan perceraian. Suatu kejadian pastilah akan terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu juga dalam permasalahan perceraian akan ada hikmah yang didapatkan baik bagi sang suami atau sang istri. Talak pada dasarnya sesuatu yang halal tetapi dibenci oleh Allah SWT, hikmah diperbolehkan talak itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat bagi kedua belah pihak baik itu sang suami atau istri bahkan kepada sang anak itu sendiri. 45
44
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Surabaya: Rona Publishing), h.
24-25. 45
Ahmad Sauqi, Perselisihan Terus-Menerus Antara Suami Istri Akibat Campur Tangan Orang Tua Sebagai Dasar Alasan Perceraian(kajian terhadap putusan PA Jakarta Timur No. 116/pdt.G/2008/PA JT), h. 44.
41
Allah SWT Yang Maha Bijaksana menghalalkan talak tapi membencinya, kecuali untuk kepentingan suami, istri atau keduanya, atau untuk kepentingan keturunannya. Selain hal itu, hikmah adanya perceraian akan menambahkan kita pada pembelajaran hidup bahwasanya dalam hidup terdapat dinamika yang harus kita jalani, baik itu bersifat senang ataupun sedih. Karena semua ini sudah ada ketentuannya yang telah lama ditentukan oleh Allah SWT sehingga diharapkan semua peristiwa yang kita alami dapat kita ambil hikmah atau sebagai pembelajaran untuk kehidupan kita kedepan agar lebih baik dan bisa lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta yaitu Allah SWT.46
D. Pemeriksaan Perkara Perceraian Dalam prosedur perceraian, langkah awal yang harus dilakukan bagi suami atau istri yang ingin bercerai adalah membuat surat permohonan (bagi suami), atau surat gugatan (bagi istri). Hal yang perlu dicantumkan dalam pembuatan gugatan atau permohonan adalah: 1. Identitas para pihak. 2. Fundamentum petendi. 3. Petitum.47
46
Ibid, h. 45. Wahju Muljono, Teori & Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), cet. Ke-1, h. 53. 47
42
Fundamentum petendi atau juga disebut posita yaitu memuat gambaran yang jelas mengenai duduk persoalan, dengan lain perkataan dasar gugatan harus dikemukakan dengan jelas. Suatu posita terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan hukum. 48 Perlu diingat bahwa penguasaan hukum formal sangat berguna dalam menyusun gugatan karena menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi pengadilan, misalnya kepada pengadilan mana gugatan diajukan, dan sebagainya, disamping itu hukum formal ini mempunyai tujuan untuk menegakkan hukum materil dalam sidang pengadilan. Oleh karena itu, hukum materil juga harus dikuasai dengan baik dalam menyusun gugatan, karena hal ini sangat menentukan dikabulkannya atau ditolaknya suatu gugatan. 49 Petitum yaitu hal-hal apa yang diinginkan atau diminta oleh penggugat agar diputuskan, ditetapkan atau diperintahkan oleh hakim. 50 Setelah surat permohonan atau surat gugatan sudah dibuat dan selesai ditandatangani oleh pemohon (bagi suami) atau gugatan (bagi istri), kemudian surat gugatan/permohonan diserahkan kepada petugas Meja 1 sebanyak jumlah pihak, ditambah tiga rangkap untuk majelis Hakim, setelah itu petugas Meja 1
48
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), cet. Ke-8, h. 17 49 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. Ke-5, h. 23. 50 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), cet. Ke-8, h. 17.
43
menerima dan memeriksa kelengkapan berkas dengan menggunakan daftar periksa (check list).51 Setelah menaksir panjar biaya perkara, petugas meja 1 membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang kemudian petugas Meja 1 mengembalikan berkas kepada penggugat atau pemohon untuk diteruskan kepada kasir, kemudian setelah membayar biaya perkara pemegang kas menyerakan satu rangkap surat gugatan/permohonan yang telah diberi nomer perkara berikut SKUM kepada penggugat/pemohon agar didaftarkan kepada meja II.52 Petugas meja II kemudian akan mendaftarkan surat gugatan/permohonan dalam buku induk gugatan/permohonan, setelah itu petugas meja II menyerahkan berkas kepada Panitera melalui Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama.53 Panitera wajib secepatnya menyampaikan berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan Agama, disertai unsur tindak atau saran tindak yang kira-kira berbunyi “sudah diteliti dan syarat formal cukup” atas dasar itu ketua Pengadilan Agama dapat menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut, dengan surat penetapan, disebut penunjukan majelis hakim(PMH).54
51
Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral BADILAG 2010, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Jakarta, 2010 52 Ibid. 53 Ibid 54 A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: CV.Rajawali, 1991), cet. Ke-1, h. 76
44
Adapun Majelis Hakim terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang yang salah satunya sebagai ketua majelis (Pasal 11 UU No. 48 tahun 2009).55 Setelah Majelis Hakim menerima berkas dari Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah, Ketua Majelis menerbitkan penetapan hari sidang (PHS) disertai perintah kepada Jurusita/Jurusita Pengganti memanggil para pihak untuk mengadakan sidang insidentil. 56 Panggilan menghadap sidang langsung disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan sendiri atau melalui lurah atau melalui kepala kantor tempat ia bekerja, surat panggilan mana setelah ditanda tangani oleh yang dipanggil pada potongan surat panggilan menghadap, dikembalikan kepada Pengadilan Agama untuk dicatat kemudian disatukan pada berkas perkara yang bersangkutan.57 Pada sidang pertama hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan hakim mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak yang bersifat pemberitahuan (cecking) identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk mengahadiri sidang. Setelah itu yang harus dilakukan oleh hakim adalah usaha mendamaikan antara mereka.
55
Khamimudin, Kiat dan Teknis Bercara di Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Galeri Ilmu, 2010), cet. Ke-1, h. 10. 56 Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral BADILAG 2010, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Jakarta, 2010 57 Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. Ke-1, h. 135.
45
Upaya perdamaian ini haruslah dilakukan oleh hakim, dalam upaya perdamaian ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:58 1. Harus ditulis upaya perdamaian oleh hakim, terutama pada sidang pertama sebelum mulai pemeriksaan. 2. Dalam sidang perdamain untuk cerai suami istri harus hadir secara pribadi. 3. Apabila salah satu pihak di luar negri, harus diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. 4. Apabila kedua belah pihak di luar negri, penggugat harus hadir sendiri dalam sidang perdamaian itu. 5. Selama belum diputus perdamaian dapat terus dilakukan. 6. Dalam perkara voluntoir tidak ada usaha damai. Jika usaha perdamaian tersebut berhasil, maka dibuatlah akte perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum sebagai keputusan Pengadilan Agama, serta mengikat kedua belah pihak, hanya akte perdamaian ini tidak dimungkinkan banding. Akte perdamaian seperti ini jarang sekali dilakukan di Pengadilan Agama, karena perdamaian yang berhasil diusahakan oleh hakim biasanya dibuat keputusan juga, sehingga memberi kemungkinan untuk banding. 59
58
Khamimudin, Kiat dan Teknis Bercara di Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Galeri Ilmu, 2010), cet. Ke-1, h. 19 59 Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. Ke-1, h. 136.
46
Jika usaha perdamaian tidak berhasil maka sidang dilanjutkan, sidang dilanjutkan dengan pembacaan surat permohonan atau surat gugatan yang kemudian ditanggapi oleh termohon atau tergugat dengan jawaban. Tahapan selanjutnya adalah replik dan duplik. Replik yaitu jawaban penggugat baik terulis maupun lisan terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik diajukan penggugat untuk meneguhka gugatannya, dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam jawabannya. Replik merupakan lanjutan dari pemeriksaan perkara perdata di pengadilan setelah tergugat mengajukan jawaban. Duplik, yaitu jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan penggugat. Sama dengan replik, duplik ini pun dapat diajukan tertulis maupun lisan. Duplik diajukan tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan penggugat. 60 Selanjutnya yaitu pembuktian. Pada tahap pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung jawabannya. Sesuai ketentuan pasal 163 HIR/pasal 284 RBg ada 5 macam alat-alat bukti, yaitu:61 1. Bukti surat. 2. Bukti saksi. 3. Persangkaan. 60
Riduan Syahrani, Materi Dasar Hukum Acara Perdata,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2009), cet. Ke- 5, diakses dari http://lawfile.blogspot.com/2011/06/replik-dan-duplik.html, pada hari Rabu, 20 November, pukul 23:34 WIB. 61 Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral BADILAG 2010, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Jakarta, 2010
47
4. Pengakuan. 5. Sumpah Masing-masing pihak berhak menilai alat bukti lawannya, adapun yang harus dibuktikan adalah:62 1. Fakta kejadian/hukum yang dibantah oleh lawan. 2. Peristiwa umum (Notoir), yang diketahui dalam sidang, sesuatu yang bersifat meniadakan dan tidak perlu dibuktikan. Kemudian tahap kesimpulan, pada tahap ini masing-masing pihak mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan yang dilakukan. Selanjutnya yaitu putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan memberi kesimpulan dalam putusan, putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa atau perkara. Dalam putusan hakim haruslah mencantumkan dalil gugatan, sebab putusan yang tidak mencantumkan dalil gugatan dianggap tidak memililiki landasan titik tolak, dalil gugat adalah landasan titik tolak pemeriksaan perkara, berarti putusan yang tidak mencantumkan dalil gugatan, dianggap tidak mempunyai dasar titik tolak. Itulah sebabnya putusan MA No. 312 K/Sip/1974 menegaskan putusan yang tidak mencantumkan posita gugat, batal demi hukum, karena bertentangan dengan pasal 184 ayat (1) HIR. Penegasan yang sama dikemukakan dalam putusan MA No. 177 K/Sip/1976. Dikatakan, putusan
62
Khamimudin, Kiat dan Teknis Bercara di Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Galeri Ilmu, 2010), cet. Ke-1, h. 23.
48
pengadilan yang memenuhi syarat, harus memuat isi gugatan pernggugat dan jawaban tergugat.63
63
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet. Ke-10, h. 808.
BAB III PERKAWINAN SEPUPU DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Perkawinan Sedarah Dalam Hukum Islam Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut dengan asas selektivitas. Maksud dari asas ini adalah seseorang yang hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa yang terlarang untuk menikah. 1 Allah SWT telah mengatur jelas khususnya mengenai siapa yang dilarang untuk dinikahi, hal ini terdapat secara rinci di dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 22-23 yang berbunyi:
(23-22 : )اﻟﻨﺴﺎء
1
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI,(Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke3, h. 144.
49
50
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan saudara-saudara ibumu yang perempuan anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan ibu-ibumu yang menyusui kamu saudara perempuan sepersusuan ibu-ibu isterimu (mertua) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. An-Nisa’: 22-23)
Ayat inilah yang dijadikan dasar siapa saja yang dilarang untuk dinikahi, atau dalam Islam disebut mahram, dari ayat ini juga ulama fikih telah membagi mahram ini kepada dua macam, mahram mua’qqat dan mahram muabbad, adapun penjelasannya sebagai berikut: 1. Mahram Mua’qqat Mahram Mu’aqqat ialah yang haram dikawini karena hubungan persemendaan (al-muharramat min al-musharah).2 Hubungan semenda artinya hubungan perkawinan terdahulu, misalnya kakak/adik perempuan dari istri kamu (laki-laki), lazimnya di Indonesia disebut
2
Ibid, h.145.
51
kakak/adik ipar, demikian juga hubungan antara anak tiri dengan bapak tiri, antara ibu tiri dengan anak tiri. 3 Atau dengan kata lain keharaman perkawinannya karena adanya perkawinan. Hal ini pernah terjadi di zaman Rasul dari hadis yang berbunyi:
ْﻲ)ص( َان َﻓ َﺎ َﻣ َﺮ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ.ن ِ ن اُﺧْ َﺘﺎ ِ ﻋﻨْ ِﺪيْ ِاﻣْ َﺮأ َﺗﺎ ِ َاﺳَْﻠﻤْﺖُ َو:ل َ ﻋﻦْ َا ِﺑﯿْ ِﮫ َﻗﺎ َ ﻦ َﻓﯿْﺮُوْ َز ِ ْك ﺑ ِ ﺤﺎ َﻀ ﻦ اﻟ ﱠ ِﻋ َ .ﻖ ِاﺣْ َﺪاھُ َﻤﺎ َ اُﻃِْﻠ Artinya: Dari Dahak bin Fairuz dari ayahnya ia berkata:”saya masuk Islam dan pada saya ada dua istri yang bersaudara kandung, lalu Nabi SAW menyuruh saya untuk menceraikan salah satunya.(H.R. Ahmad, Ashhabus Sunan, Syafi’i, Daruquthni dan Baihaqi, hadis ini oleh Tarmidzi dan disahkan Ibnu Hibban).4 Dari hadist diatas dapat disimpulkan bahwa keharaman perkawinan dengan mahram mua’aqqat karena adanya perkawinan yang menyebabkan terjadinya hubungan persemendaan bukan untuk selamanya, jika suatu hari perkawinan itu putus maka hubungan persemendaan itu pun putus begitu juga dengan keharaman perkawinannya. Adapun keharaman karena hubungan semenda ini yaitu ibu dari istri (mertua), anak (bawaan) istri yang telah dicampuri (anak tiri), istri bapak (ibu tiri), istri anak (menantu), saudara perempuan istri adik atau kakak ipar selama dalam ikatan perkawinan. 5
3
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind. Hill-Co,1990), cet. Ke-2, h. 39. 4 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, diterjemahkan oleh Moh. Thalib, (Bandung: PT. Al-ma’arif, 1990), cet. Ke-7, h. 172. 5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI,(Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke3, h. 146.
52
2. Mahram Muabbad Mahram Muabbad yaitu larangan untuk selamanya, artinya keharaman perkwinannya yaitu untuk selamanya. Wanita yang haram dikawini untuk selamanya terbagi dalam dua kelompok yaitu karena berhubungan darah atau pertalian nasab (al-muharramat min an-nasab), karena sepersusuan (almuharramat min r-radha’ah).6 a. Karena berhubungan darah atau pertalian nasab (al-muharramat min annasab) yaitu Ibu, nenek (dari garis ibu atau bapak) dan seterusnya keatas, anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya kebawah, saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu, saudara perempuan ibu (bibi atau tante), saudara perempuan bapak (bibi atau tante), anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, anak perempuan dari saudara laki-laki seayah, anak perempuan dari saudara laki-laki seibu, anak perempuan saudara perempuan sekandung, anak perempuan saudara perempuan seayah, anak perempuan saudara perempuan seibu.7 Larangan disini bukan berarti larangan menikah dalam arti formil saja (melalui akad ijab kabul), tetapi juga termasuk larangan menikah secara materil yaitu melakukan hubungan seksual, jika kita hubungkan dengan pengertian nikah menurut Hanafi bahwa nikah itu dalam pengertian asli
6 7
Ibid. Ibid, h.147.
53
adalah hubungan seksual, sedangkan Syafi’I nikah itu menurut pengertian majazi adalah hubungan seksual antara seorang wanita dan seorang pria. 8 b. Karena sepersusuan (al-muharramat mir-radha’ah) maksudnya ialah antara seorang laki-laki dan perempuan meski tidak memiliki hubungan darah, atau dilahirkan oleh ibu dan ayah yang berbeda tetapi mereka menyusu dengan wanita/ibu yang sama, karena hal inilah yang membuat mereka menjadi haram menikah karena sepersusuan. Dalam hadis riwayat Abu Daud, Nasa’I dan Ibnu Majah dari Aisyah, keharaman karena susuan ini diterangkan dalam hadis yang berbunyi:
ﯾﺤﺮم ﻣﻦ اﻟﺮﺿﺎﻋﺔ ﻣﺎ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ,ﻋﻦ ﻋﺎ ﺋﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎ ﻟﺔ .( )رواه اﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ واﺑﻮداودواﻟﻨﺴﺎئ واﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ.ﯾﺤﺮم ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺐ Artinya: Dari ‘Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:”Diharamkan karena ada hubungan susuan apa yang diharamkan karena ada hubungan nasab.” (HR Bukhari dan Muslim, Abu Dawun, Nasa’i). Mengenai persoalan berapa lama atau berapa kali menyusu yang dapat menimbulkan keharaman menikah ada dua pendapat yaitu pendapat pertama, mengatakan bahwa walaupun menyusu satu kali saja tetapi sampai kenyang, maka telah timbul larangan perkawinan, pendapat ini adalah pendapat Hanafi beserta pengikut-pengikut mazhab Hanafiyah tersebut seperti juga Hambali dan Imam Malik. Pendapat kedua ialah bahwa menyusu itu minimal lima kali sampai kenyang setiap kali menyusu itu, 8
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind. Hill-Co,1990), cet. Ke-2, h. 38
54
dengan tidak dipersoalkan kapan waktu-waktu menyusu itu, apakah sehari itu menyusu lima kali, atau berjarak dua atau tiga hari atau seminggu, maka barulah timbul keharaman perkawinannya, pendapat ini adalah pendapat Imam Syafi’I dengan para penganutnya. Selain itu berdasarkan penyelidikan dari sudut medis, maka ternyata air susu ibu itu berproses menjadi darah dan daging membentuk physic baby apabila menyusu itu minimal lima kali sampai kenyang. 9 Adapun yang dilarang yaitu wanita yang menyusui seterusnya keatas, wanita sepersusuan dan seterusnya menurut garis kebawah, wanita saudara sepersusuan dan kemenakan sesusuan kebawah, wanita bibi sesusuan dari bibi sesusuan keatas, anak yang disusui istrinya dan keturunannya. 10 B. Perkawinan Sedarah Dalam Hukum Positif Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 point (1) menjelaskan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.11 Dari penjelasan pasal 2 di atas saja dapat diketahui bahwa perkawinan dapat dikatakan sah apabila perkawinan tersebut dilakukan sesuai dengan masingmasing agama dan kepercayaannya masing-masing, artinya khusus bagi ummat 9
Ibid, h. 38-39. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI,(Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke3, h.146-147. 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernkawinan, (Rona Publishing: Surabaya), h. 8. 10
55
muslim yang ada di Indonesia, apabila ingin melakukan perkawinan harus sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Mengenai perkawinan sedarah dalam hukum positif yang ada di Indonesia khususnya bagi ummat muslim, sebagaimana Islam melarang adanya perkawinan sedarah, begitu juga dalam hukum positif yang ada di Indonesia juga melarang adanya perkawinan sedarah, hal ini diatur secara rinci sebagai berikut: 1. UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 8 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas, berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya, berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri, berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan, berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri.12 2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
12
Djoko Prakoso dan Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), cet. Ke-1, h. 47-48.
56
Kompilasi Hukum Islam mempertegas kembali larangan kawin tersebut secara lebih rinci, selengkapnya sebagaimana yang disebut dalam pasal 39 Kompilasi Hukum Islam:13 a. Karena pertalian nasab, yaitu dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya, dengan seorang wanita keturunan ayah dan ibu, dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. b. Karena pertalian kerabat semenda, yaitu dengan seorang wanita yang dilahirkan istrinya atau bekas istrinya, dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya, dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad-dukhul. c. Karena pertalian sesusuan yaitu karena wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas, dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya dan seterusnya menurut garis lurus kebawah, dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan kebawah, dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas, dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Kemudian pasal 41 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya, yakni saudara 13
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. Ke-2, h. 27.
57
sekandung, seayah atau seibu serta keturunannya, dengan bibinya atau kemenakannya, larangan tersebut tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj’I, tetapi masih dalam masa tunggu (iddah) 14 Ketentuan tersebut dalam pasal 41 Kompilasi Hukum Islam diatas adalah sejalan dengan larangan memadu istri dengan sorang wanita yang mempunyai pertalian nasab atau susuan dengan istrinya didasarkan juga pada hadis Muttafaqun Alaih riwayat Abu Hurairah R.A. dimana Rasulullah SAW bersabda bahwa tidak bisa dikumpulkan (dimadu) antara seorang perempuan dan paman perempuannya (a’mma) antara seorang perempuan dengan bibinya (khalah).15 C. Status Sepupu Dalam Perkawinan Hukum Islam Dan Hukum Positif Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) keluaran tahun 1995 menjelaskan bahwa “sepupu adalah hubungan kekerabatan antara anak-anak dari dua orang bersaudara, saudara senenek”. Maka yang dimaksud saudara sepupu adalah anak saudara laki-laki maupun perempuan dari ibu atau bapak kita. Adapun status sepupu dalam perkawinan menurut hukum Islam yaitu dari penjelasan Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 23 dapat disimpulkan bahwa diharamkan untuk mengawini ibu kandung, anak kandung, saudara kandung, bibi atau paman baik saudara dari ibu atau bapak, keponakan, ibu susuan, saudara sesusuan, mertua anak tiri dari suami atau istri yang telah dicampuri kecuali belum 14
Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Rona Publishing), h. 107. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. Ke-2, h. 29. 15
58
dicampuri dan telah bercerai, menantu dan menikahi dua wanita yang bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Dari penjelasan Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 23 tersebut tidak ditemukan bahwa sepupu merupakan orang yang haram untuk dikawini, hal ini menandakan bahwa sepupu bukanlah termasuk dalam kategori mahram, baik dalam mahram muaqqat maupun muabbad sehingga boleh untuk dikawini, hal ini sesuai dengan kaedah fikih yaitu:
ﺤ ِﺮﯾْ ِﻤﮭَﺎ ْ َل َدِﻟﯿْﻞٌ ﻋَﻠَﻰ ﺗ ﺻﻞُ ِﻓﻲْ اﻟﻤُﻌَﺎ َﻣﻠَ ُﺔ اﻟِﺎﺑَﺎﺣَﺔُ ِاﻟﱠﺎ اَنْ ﯾَ ُﺪ ﱠ ْ اَ ْﻟَﺄ Artinya: “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.16
Meski dalam Al-Qur’an tidak menyantumkan sepupu sebagai wanita yang haram untuk dikawini atau mahram, akan tetapi sebagian para ulama fikih berpendapat bahwa tidak dianjurkan untuk mengawini kerabat dekat termasuk sepupu, dikarenakan dua hal yaitu: Pertama: sebagaimana yang disyaratkan oleh ulama fikih bahwasannya kuatnya
keturunan
bergantung pada kuatnya
dorongan
motivasi
untuk
mendapatkan keturunan, yaitu kuatnya syahwat, mereka juga mengatakan bahwa syahwat pada pasangan suami istri akan semakin melemah yang memiliki hubungan kekerabatan dekat.17
16
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana), cet. Ke-1, h. 130 17 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terjemahan Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta: Cakrawala Publishing), cet. Ke-2, h. 312.
59
Para ulama menjadikan sebab ini sebagai alasan tidak dianjurkannya seseorang menikahi sepupunya, baik anak dari pihak paman maupun bibi, hal itu karena yang menjadi alasan mendasar dalam hal ini adalah bahwa syahwat merupakan perasaan yang tumbuh dari dalam hati seseorang, yang sifatnya bertolak belakang dengan perasaan kasih sayang yang tercipta antar kerabat sehingga perasaan itu dapat menghilangkan unsur birahi seseorang atau melemahkannya. 18 Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh para dokter dan juga sudah menjadi hal yang biasa dikalangan masyarakat petani bahwa tanah yang berulangkali ditanami satu jenis tanaman dapat menyebabkan menurunnya kualitas hingga lama kelamaan akan punah, hal yang demikian disebabkan minimnya zat makanan yang dapat diserap oleh tanaman itu dan banyaknya unsur-unsur lain yang tidak dibutuhkan oleh tanaman. 19 Apabila biji itu ditanam diatas lahan yang lain dan lahan itu ditanami biji yang lain, tentu keduanya akan tumbuh hasil yang baik, bahkan dalam ilmu pertanian ditegaskan bahwa pemilihan biji yang ditanam secara bervariasi atau silang pada satu lahan cenderung akan lebih menguntungkan. 20 Jika petani menyemaikan biji gandum diatas suatu lahan untuk kemudian salah satu biji yang dihasilkannya itu ditanam kembali diatas lahan yang sama, maka tanaman itu akan mengalami pertumbuhan yang lambat dan hasil yang 18
Ibid. Ibid , h. 313. 20 Ibid. 19
60
didapat pun berkurang, lain halnya jika petani mengambil biji dari jenis atau hasil lahan yang lain dan ditanam diatas lahan itu, tanaman akan tumbuh dengan baik dan kualitasnya juga baik, begitu juga perempuan, dia diibaratkan lahan yang ditanami atau disemai hingga melahirkan anak, manusia ibarat biji-bijian dengan segala variantanya, karena itu seorang laki-laki dianjurkan agar menikahi perempuan dari keluarga yang bukan kerabatnya agar dia dapat melahirkan keturunan yang baik dan berkualitas, hal ini karena seorang anak mewarisi apa yang ada pada kedua orang tuanya, baik secara fisik, prilaku, maupun psikis, setiap anak terlahir sebagai duplikat atas perpaduan kedua orang tuanya, sifat mewarisi dan kemiripan dalam diri seorang anak atas orang tuanya merupakan dua diantara sunnah penciptaan makhluk-Nya, masing-masing dianjurkan untuk menjalankan posisinya sebaik mungkin agar silsilah keturunan manusia terjaga dan mereka dapat saling berhubungan antara satu dan yang lain, serta saling mendukung dan menguatkan, hal itu tidak bisa didapat dengan pernikahan yang terjadi diantara kerabat.21 Dalam Ihya ‘Ulumuddin, Imam Ghazali mengatakan, “salah satu hal yang perlu diperhatikan pada diri seorang perempuan yang akan dinikahi adalah hendaknya dia bukan dari kerabat dekat. Anak laki-laki yang dilahirkan dari pernikahan antar kerabat dekat pada umumnya memiliki postur tubuh yang kurus atau lemah”. 22
21 22
Ibid. Ibid, h. 314.
61
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa menurut syari’at Islam bahwa meski sepupu bukanlah mahram namun tidak dianjurkan untuk dikawini demi kemaslahatan, akan tetapi hukum dari perkawinan sepupu ini bukanlah haram, melainkan mubah (boleh). Meski telah diketahui bahwa hukum perkawinan antara sepupu adalah mubah, akan tetapi ada hal yang istimewa yang perlu diperhatikan dari sepupu ini, yaitu sepupu dapat menjadi wali bagi si wanita jika walinya telah meninggal. Jumhur ulama fikih sependapat bahwa urutan-urutan wali adalah:23 a. Ayah. b. Ayahnya ayah (kakek) terus keatas. c. Saudara laki-laki seayah seibu. d. Saudara laki-laki seayah saja. e. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu. f. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah. g. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu. h. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah. i. Anak laki-laki dari anak laki-laki (dari poin g). j. Anak laki-laki (dari poin h) seterusnya. k. Saudara laki-laki ayah, seayah seibu. l. Saudara lako-lai ayah, seayah saja.
23
Timami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 90.
62
m. Anak laki-laki (dari poin k). n. Anak laki-laki (dari poin l). o. Anak laki-laki dari (poin m) dan seterusnya. Dalam daftar urutan para wali nikah diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila ayah kandung sudah wafat, maka yang berhak untuk menjadi wali nikah adalah ayahnya ayah atau kakek, bila kakek wafat juga, maka yang jadi wali nikah adalah saudara laki-laki, bisa kakak atau adik si wanita, yang diutamakan urutannya adalah saudara yang seayah dan seibu dengan si wanita (saudara kandung), kemudian saudara laki-laki yang seayah saja, bila wanita itu tidak punya saudara laki-laki yang bisa menjadi wali, maka hak wali ini pindah kepada keponakan, yaitu anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu, kalau tidak ada maka kepada keponakan yang merupakan anak darisaudara laki-laki yang seayah saja, bila sudah wafat juga, maka urutan berikutnya adalah saudara laki-laki ayah atau paman, bukan saudara laki-laki ibu, dan bila paman ini juga sudah wafat, maka bila paman itu punya anak laki-laki, dalam hal ini menjadi sepupu buat si wanita, dia berhak menjadi wali. Dari urutan-urutan yang dibuat oleh para ulama, dapat diketahui bahwa semua adalah mahram bagi si wanita kecuali sepupu, khusus untuk urutan wali yang terakhir yaitu sepupu, dia bukan mahram bagi si wanita, dan inilah yang membuat kedudukan sepupu menjadi istimewa. Sepupu yang dapat menjadi wali nikah menimbulkan sebuah pertanyaan jika akan terjadi perkawinan antara sepupu, sedangkan pada saat itu wali bagi
63
perempuan telah meninggal dunia kecuali sepupunya, apakah sepupu laki-laki yang juga merupakan calon pengantin pria dapat sekaligus menjadi wali bagi wanita yang ternyata dibawah perwaliannya? Dalam kitab Fikih Sunnah karya Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa menurut Imam Syafi’I bahwa “yang mengawininya haruslah hakim atau walinya yang lain baik yang setingkat dengan dia atau lebih jauh, sebab wali termasuk syarat perkawinan, jadi pengantin tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, sebagaimana seorang penjual yang tidak boleh membeli barangnya sendiri. 24 Jadi menurut Imam Syafi’I bahwa jika akan terjadi perkawinan antara sepupu, sedangkan pada saat itu wanita yang akan dikawini berada didalam perwaliannya, maka dia tidak boleh menjadi wali bagi wanita yang akan dikawini tersebut, melainkan harus digantikan oleh wali yang lain baik yang setingkat atau lebih jauh atau bisa juga dengan hakim. Dari penjelasan semua penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antara sepupu dalam Islam menurut ulama fikih tidak dianjurkan demi kemaslahatan, baik kemaslahatan pasangan suami istri maupun juga keturunannya, akan tetapi hukum dari perkawinannya adalah mubah (boleh) dilihat dari tidak adanya dalil dari Al-Qur’an yang melarangnya, sedangkan dalam kaidah fikih dinyatakan bahwa “segala sesuatu hukumya boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya”. Kemudian dalam Islam meski sepupu bukanlah mahram atau
24
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, diterjemahkan oleh Moh. Thalib, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1990), cet. Ke-7, h. 24.
64
yang haram untuk dikawini akan tetapi sepupu dapat menjadi wali dalam perkawinan, akan tetapi menurut Imam Syafi’I, laki-laki yang
mengawini
sepupunya yang ternyata pada saat itu dibawah perwaliannya, tidak boleh sekaligus menjadi wali untuk wanita yang akan dikawininya, akan tetapi harus digantikan oleh wali yang lain yang sederajat atau jauh ataupun dapat digantikan oleh wali hakim. Adapun status sepupu dalam perkawinan menurut hukum positif dilihat dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pasal 8 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas, berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya, berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri, berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan, berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dari daftar diatas tidak ditemukan larangan untuk melakukan perkawinan antara sepupu begitu juga dalam Kompilasi Hukum Islam, sepupu tidak termasuk dalam pasal 39 tentang larangan perkawinan karena pertalian nasab, pertalian semenda ataupun sesusuan, sehingga dapat disimpulkan dalam hukum positif yang berlaku bagi ummat muslim di Indonesia, perkawinan sepupu hukumnya adalah boleh.
BAB IV ANALISIS PUTUSAN CERAI GUGAT AKIBAT SUAMI ADALAH SAUDARA SEPUPU/SEDARAH A. Profil Pengadilan Agama Batam 1. Kondisi Kota Batam1 Kota Batam terletak antara 0:55o-1:55o LU & 103:45o-104:10o BT dengan berbatas Negara Singapura disebalah utara, Kecamatan Moro Kabupaten Karimun disebelah selatan, Kecamatan Karimun Kabupaten Karimun disebelah timur dan Kecamatan Bintan Kabupaten Bintan disebelah Barat. Wilayah Kota Batam merupakan bagian dari paparan kontinental pulau-pulau, pulaunya merupakan sisa-sisa erosi atau penyusutan dari tepi daratan pra tersier yang membentang dari semenanjung Malaysia dan Singapura dibagian utara sampai kepulauan Moro dan Kundur serta Karimun dibagian selatan. Kota Batam memiliki iklim tropis dengan suhu minimum berkisar antara 20o-30o C dan suhu maksimum berkisar antarai 31 o-34o C, sedangkan suhu rata-rata sepanjang tahun berkisar pada 23 oC. Dari tiga kecamatan pada saat Batam masih berdiri sebagai Kota Madya, yakni Kecamatan Belakang Padang dengan ibu kota Belakang Padang, Kecamatan Batam Timur dengan ibu 1
Profil Pengadilan Agama Batam, diakses dari www.pa-batam.net pada tanggal 2 Januari 2014.
65
66
kota Lubuk Baja dan Kecamatan Batam Barat dengan ibu kota Sekupang, saat ini telah terjadi pemekaran sehingga menjadi 12 kecamatan. Berdasarkan hasil pemetaan penggunaan tanah Kecamatan di seluruh kota Batam dengan Luas keseluruhan 164.783 km2, yang terdiri dari lautan seluas 1.035.30 km2 dan daratan 61.235 km2. 2. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Batam2 Pada awalnya Kota Batam berada dalam yuridiksi Pengadilan Agama Tanjung Pinang, namun setelah berkembang sebagai kawasan industri dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka Batam memerlukan pelayanan tersendiri dalam bidang Peradilan Agama, karena pada perkembangannya Batam sebagai daerah baru justru melampaui Tanjung Pinang baik dalam jumlah penduduk maupun jumlah pencari keadilan dalam perkara perkawinan warisan dan lainnya. Kemudian terbitlah Keputusan Presiden RI No. 15 tahun 1992 tentang berdirinya Pengadilan Agama Batam, pada saat itu Pengadilan Agama secara organisasi, vinansial dan personalia masih dibawah Departemen Agama, sehingga untuk pertama kali Pengadilan Agama menempati salah satu ruangan di kantor Departemen Agama Kota Batam setelah terlebih dahulu diresmikan berdirinya oleh bapak Drs. H. Zarqawi Suyuti MA selaku Dirjend Binbaga Islam Departemen Agama RI pada tanggal 15 Februari 1993 dengan ditandai
2
ibid
67
dengan pelantikan Ketua Pengadilan Agama Batam Pertama bapak Drs. Kuswadi. Pada awal berdirinya Pengadilan Agama Batam hanya memiliki dua orang hakim termasuk ketua, yaitu bapak A. Somad Rahim BA (almarhum), seorang Panitera yaitu bapak Drs.M.Hafidi, seorang wakil Panitera yaitu Sibiar, seorang Wasek yaitu Marzuki Hasan (almarhum) dan seorang Panmud Hukum yang merangkap sekaligus Jurusita Pengganti Chobatah AR, dengan demikian sidang-sidang di Pengadilan Agama saat itu dilaksanakan dengan hakim tunggal. Betapa beratnya para pendahulu di Pengadilan Agama Batam ini dalam memberikan pelayanan terhadap para pencari keadilan karena Pengadilan Agama Batam hanya dioperasikan oleh enam orang saja tanpa kantor sendiri dan tanpa dukungan fasilitas yang selayaknya sebagai suatu lembaga peradilan Negara seperti kendaraan operasional dan rumah dinas, sehingga Ketua Pengadilan Agama harus mengontrak rumah yang tentunya sangat membebani ekonomi keluarga, namun demikian sebagai pejuang beliau tidak patah semangat meskipun saat itu Ketua Pengadilan Agama harus menambah tambahan penghasilan diluar jam kantor dengan usaha apa saja, bahkan menjadi supir taksi sekalipun. Kini Pengadilan Agama Batam telah berumur 21 tahun, namun secara fisik belum memadai, Pengadilan Agama Batam yang beralamat di Jl. IR. Sutami, Sekupang, Kota Batam yang memiliki gedung seluas 250 m3 yang
68
merupakan gedung balai sidang dengan kondisi bangunan yang sangat memprihatinkan apalagi untuk sebuah lembaga yang terhormat dan ingin dihormati di wilayah industri yang menjadi jendela Indonesia bagi Negara tetangga Singapura dan Malaysia, Pengadilan Agama Batam harus terus dibenahi menuju kesetaraan dengan lembaga Peradilan lainnya. Namun demikian sejak tahun 1993 sampai sekarang Pengadilan Agama Batam telah mampu memberikan kontribusi penting bagi masyarakat Kota Batam pada umumnya, berupa pelayanan dengan sangat baik dan memuaskan dalam memberikan keputusan bagi para pencari keadilan, bukan saja dalam hal-hal yang berhubungan dengan fungsi pokoknya, akan tetapi bahkan mampu memberikan fungsi kemasyarakatan lainnya dalam berbagai kegiatan pembangunan dalam bidang keagamaan sesuai dengan “Prinsip Hakim Pengadilan Agama adalah hakim dimata Negara dan ulama ditengah masyarakatnya”. 3. Wewenang Pengadilan Agama Batam3 Pengadilan Agama Batam melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: a. Perkawinan 3
Ibid.
69
b. Waris c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infaq h. Shadaqah i. Ekonomi Syari’ah Adapun wilayah hukum mewilayahi 12 kecamatan yaitu: a. Batu Ampar b. Bengkong c. Nongsa d. Batam Kota e. Galang f. Sungai Beduk g. Sagulung h. Bulang i. Belakang Padang j. Sekupang k. Batu Aji l. Lubuk Baja
70
4. Struktur Organisasi4 STRUKTUR ORGANISASI PENGADILAN AGAMA BATAM KELAS 1A KETUA Drs.Nuheri.SH.,M H HAKIM WAKIL KETUA Drs.Nurzauti.SH.,MH Drs.Imaluddin.SH Drs.H.Daswir,MH
MH
Drs.Asyari,MH Drs.H.Mukhlis H.Syofyan.Nasution,MH Dra.Zulhana,MH Khoiriyah Roihan,S.Ag.,MH
PANITERA/SEKRETARIS
Idawati,S.Ag.,MH
Wakil Panitera
Wakil Sekretaris
Nuraedah,S.Ag
Nuraedah,S.Ag
PANMUD HUKUM
PANMUD GUGATAN
Badrianus.SH. ,MH
Dewi Oktavia.SH
PANITERA PENGGANTI Marwiyah,S.Ag
4
Kamaruzzaman.SH
PANMUD PERMOHON AN
KASUBAG KEUANGAN Samsuri
Drs.Salbi.,MH
Riamma Manurung.SH.
Benni.SH.,M H
JURUSITA/JURUSITA PENGGANTI Hadinur (Juru Sita)
Novrica (JSP)
Ahmadi Anas (JSP)
Yurimis Waldi (JSP)
Miftah (JSP)
Zainuddin,S.Ag (JSP)
Moh.Abdul Goffar (JSP)
Ibid.
KASUBAG UMUM
KASUBAG KEPEGAWAI AN
71
B. Duduk Perkara Dalam duduk perkara kasus cerai gugat dengan alasan perselisihan dan percekcokan terus menerus akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah dengan nomer perkara 104/Pdt.G/2013/PA.BTM yang bertindak sebagai penggugat adalah istri yang bernama Tendri Sangka binti Abdul Rahman, umur 35 tahun, agama islam, pendidikan terakhir D.III, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Ruko Senang Wangi blok C no. 5 RT. 05 RW. 08 Kelurahan Buliang, Kecamatan Batu Aji, Kota Batam. Adapun tergugat dalam kasus ini yaitu suami yang bernama Sembari bin Darise, umur 40 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SMA, perkerjaan wirasuwasta, tempat kediaman di Ruko Senang Wangi blok C no.5 RT. 05 RW. 08 Kelurahan Buliang, Kecamatan Batu Aji, Kota Batam. Berdasarkan surat gugatan yang diajukan oleh pihak istri bahwa mereka telah melangsungkan pernikahan pada 25 November 2004 yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah kantor urusan agama kecamatan Sungai Sembilan Kotamadya Dumai, Provinsi Riau. Setelah pernikahan tersebut penggugat dan tergugat bertempat tinggal di kediaman bersama di Batam dan telah bergaul sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai 3 orang anak masingmasing bernama Maharani Rahmana Arysandy binti Sembari, umur 7 tahun, Alfarido Rahmana Arysandy bin Sembari umur 5 tahun dan Alfaridu Rahmana Arysandy bin Sembari, ketiga anak tersebut tinggal bersama penggugat dengan tergugat. Bahwa awal pernikahan penggugat dengan tergugat adalah dijodohkan oleh orang tua, sedangkan antara penggugat dengan tergugat masih punya
72
hubungan sepupu dari pihak masing-masing orang tua laki-laki kedua belah pihak, setelah pernikahan tersebut rumah tangga penggugat dengan tergugat tidak rukun dan tidak harmonis sering terjadi percekcokan karena perbedaan pendapat. Bahwa penyebab pertengkaran tersebut terjadi karena adanya pernikahan sedarah/sepupu sehingga rintangan dan halangan banyak terjadi. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut penggugat merasa bahwa penggugat tidak sanggup lagi untuk hidup berumah tangga dengan tergugat, maka perceraian adalah jalan terbaik buat penggugat dan tergugat. Berdasarkan alasan/dalil-dali tersebut, penggugat mohon agar hakim Pengadilan Agama yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan untuk mengabulkan gugatan penggugat, menyatakan perkawinan penggugat dengan tergugat putus karena perceraian, membebankan biaya perkara menurut hukum.5 Bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, penggugat datang sendiri ke persidangan sedangkan tergugat tidak datang menghadap ke persidangan dan tidak pula mengirimkan wakil/kuasanya untuk datang menghadap ke persidangan meskipun tergugat telah dipanggil secara sah dan patut sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku yang dibacakan di persidangan. Terhadap krisis rumah tangga penggugat, majelis hakim telah berusaha menasihati penggugat agar bersabar demi keutuhan rumah
5
Putusan Pengadilan Agama Batam No.104/Pdt.G/2013/PA.BTM. h. 1-2
73
tangganya, akan tetapi usah tersebut tidak berhasil, lalu dibacakanlah surat gugatan penggugat yang isinya tetap dipertahankan oleh penggugat. 6 Untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, penggugat telah mengajukan alat bukti berupa bukti surat dan bukti saksi. Bukti surat berupa akta nikah atas nama penggugat dan tergugat nomer 05/05.XII/2004, foto copy yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Sungai Sembilan Kota Dumai yang telah dinazegelen oleh pejabat pos Kota Batam dan telah dileges oleh Wakil Panitera Agama Batam, setelah diteliti oleh majelis hakim ternyata cocok dengan aslinya dan oleh ketua majelis diberi kode (P.1).7 Bukti saksi yaitu penggugat menghadirkan dua orang saksi yaitu:8 1. Linda binti Olan Menurut keterangan saksi, saksi adalah teman penggugat, bahwa penggugat dan tergugat merupakan pasangan suami istri yang menikah tahun 2004 di KUA Kecamatan Sungai Sembilan Dumai, bahwa setelah menikah penggugat dan tergugat tinggal bersama di Batam dan telah dikaruniai tiga orang anak, bahwa setahu saksi awalnya rumah tangga penggugat dan tergugat berjalan rukun dan harmonis, namun sejak dua tahun lalu kondisinya rumah tangga mereka mulai tidak harmonis lagi dan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran, menurut saksi penyebabnya sejak dua tahun lalu tergugat tidak mempunyai pekerjaan tetap sehingga tidak bisa memberi nafkah kepada 6
Ibid. Ibid, h. 3. 8 Ibid,h. 3-4. 7
74
penggugat dan anak-anaknya, bahwa saksi telah berusaha untuk menasehati penggugat namun tidak membuahkan hasil. 2. Sari binti Ardiman Menurut keterangan saksi, saksi adalah tetangga penggugat, bahwa penggugat dan tergugat merupakan pasangan suami istri yang menikah tahun 2004 di KUA Kecamatan Sungai Sembilan, bahwa setelah menikah penggugat dan tergugat bertempat tinggal di kediaman bersama di Batam dan telah dikaruniai tiga orang anak, bahwa setahu saksi awalnya rumah tangga penggugat dan tergugat berjalan rukun dan harmonis, namun sejak dua tahun lalu kondisi rumah tangga mereka mulai tidak harmonis lagi dan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran, menurut saksi penyebabnya adalah sejak dua tahun lalu tergugat tidak mempunyai pekerjaan tetap sehingga tidak bisa memberi nafkah kepada penggugat dan anak-anaknya, bahwa saksi telah berusaha untuk menasehati penggugat namun tidak membuahkan hasil. Penggugat membenarkan keterangan saksi-saksi dan tidak merasa keberatan, selanjutnya penggugat menyatakan tidak akan mengajukan apapun lagi dan menyampaikan kesimpulannya bahwa ia ingin bercerai dengan tergugat dan mohon pengadilan memutus perkaranya.
75
C. Pertimbangan Hakim9 Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah sebagaimana diuraikan diatas. Menimbang bahwa pada hari yang telah ditentukan untuk memeriksa dan mengadili perkara ini tergugat tidak datang menghadap ke persidangan dan tidak pula menyuruh wakil/kuasanya untuk datang menghadap ke persidangan, sedangkan tergugat telah dipanggil secara sah dan patut sesuai dengan ketentuan pasal 26 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan tidak ternyata ketidakhadirannya tersebut disebabkan alasan yang sah, maka majelis hakim terlebih dahulu menyatakan tergugat tidak hadir di persidangan dan perkara ini akan diperiksa tanpa hadirnya tergugat. Menimbang bahwa berdasarkan pasal 49 huruf (a) No. 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (vide penjelasan pasal tersebut) jo pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tersebut, perkara ini menjadi wewenang Peradilan Agama dalam hal ini Pengadilan Agama Batam. Menimbang bahwa majelis hakim tetap berusaha menasehati penggugat dan tergugat agar tetap mempertahankan keutuhan rumah tangganya, akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil dan penggugat tetap ingin bercerai dengan tergugat, oleh karenanya telah terpenuhi maksud pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 1 9
Ibid, h. 4-7.
76
tahun 1974 Tentang Perkawinan jo pasal 65 dan pasal 82 ayat (1) dan (4) UndangUndang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Menimbang bahwa gugatan penggugat yang diajukan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu pasal 67 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dengan demikian secara formil gugatan pengugat dapat diterima untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Menimbang bahwa yang menjadi alasan penggugat untuk bercerai dengan tergugat, penggugat mendalilkan sejak awal pernikahan penggugat dan tergugat adalah dijodohkan oleh orang tua, setelah pernikahan tersebut rumah tangga penggugat dengan tergugat tidak rukum dan tidak harmonis sering terjadi percekcokan karena perbedaan pendapat antara penggugat dengan tergugat dan terparah lagi dua tahun terakhir tergugat tidak punya pekerjaan sehingga ia tidak bisa memenuhi kebutuhan penggugat dan anak-anak. Menimbang bahwa bukti (P.1) berupa fotokopi kutipan akta nikah atas nama penggugat dan tergugat, menurut penilaian majelis hakim bukti tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil alat bukti, maka berdasarkan bukti tersebut, majelis hakim telah menemukan fakta hukum bahwa penggugat dan tergugat masih terikat dalam hubungan hukum sebagai suami istri yang sah sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan jo pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu penggugat mengajukan perkara ini.
77
Menimbang bahwa perkara ini menyangkut perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran, maka sesuai dengan maksud pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, penggugat harus menghadirkan dua orang saksi dari pihak keluarga dan orang yang dekat dengan penggugat dan tergugat untuk didengarkan keterangannya. Menimbang bahwa untuk memenuhi maksud pasal tersebut, penggugat telah mengajukan dua orang saksi dari orang yang dekat dengan penggugat dan tergugat ke persidangan yaitu Linda bint Olan dan Sari binti Ardiman. Saksi-saksi tersebut telah
disumpah dan telah memberikan keterangan di persidangan
berdasarkan pengerahuannya sendiri sebagai orang dekan dengan penggugat dan bersesuaian antara satu dengan lainnya serta telah mendukung dalil-dalil gugatan penggugat. Oleh karenanya majelis hakim menilai saksi-saksi tersebut telah memenuhi syarat formil maupun materil saksi sehingga keterangannya dapat diterima untuk membuktikan kebenaran dalil gugatan penggugat. Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi diatas dan dihubungkan dengan keterangan penggugat di persidangan, telah diperoleh fakta hukum yang intinya antara penggugat dan tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang disebabkan oleh sifat dan tindakan tergugat yang tidak berkenan bagi penggugat, dan hubungan keduanya tidak lagi mencerminkan hubungan yang baik layaknya suami istri pada umumnya dan majelis berupaya untuk menasehati penggugugat dan pihak keluarga juga telah berusaha untuk
78
mendamaikan kedua belah pihak, namun tidak berhasil karena keinginan kuat dari penggugat untuk bercerai dengan tergugat. Menimbang bahwa berdasarkan fakta tersebut diatas, majelis hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga penggugat dengan tergugat telah pecah dan tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali membina rumah tangganya, maka jika perkawinan mereka diteruskan tidak akan tercapai tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana maksud firman Allah dalam Al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 21 dan maksud pasal 1 UndangUndang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan jo pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, bahkan akan mendatangkan kemudharatan yang lebih besar bagi kedua belah pihak. Menimbang bahwa selama proses persidangan berlangsung terlihat secara nyata bahwa penggugat sudah tidak lagi mencintai tergugat, malah yang terjadi sifat kebencian terhadap tergugat lantaran sikap/perbuatan tergugat terhadap penggugat, untuk itu majelis hakim memandang perlu mengemukakan pendapat ahli fikih dan kitab Buhgyah al-Mustarsyidin halaman 223 yang berbunyi:
ٳذا اﺷﺘﺪ ﻋﺪم رﻏﺒﺔ اﻟﺰوﺟﺔ ﻟﺰوﺟﮭﺎ ﻃﻠﻖ ﻋﻠﯿﮭﺎ اﻟﻘﺎ ﺿﻲ ﻃﻠﻘﺔ Artinya: “apabila kebencian seorang istri sudah memuncak terhadap suaminya, maka hakim boleh menceraikannya dengan talak satu” Berdasarkan pendapat ahli fikih tersebut diatas, majelis hakim sependapat dan mengambil alih menjadi pertimbangan hukum dalam perkara ini.
79
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, alasan gugatan penggugat utuk bercerai dengan tergugat mememuhi unsurunsur yang terkandung dalam pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan jo pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan sejalan pula dengan pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu gugatan penggugat dapat dikabulkan. Menimbang bahwa berdasarkan yang telah dipertimbangkan diatas, gugatan penggugat cukup beralasan dan berdasarkan hukum, sedangkan tergugat telah dipanggil dengan sepatutnya tidak hadir di persidangan, maka sesuai dengan pasal 149 ayat (1) R.Bg, maka gugatan penggugat dapat diputus dengan verstek. Menimbang bahwa untuk memenuhi pasal 84 ayat (1) dan (2) UndangUndang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka diperintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Batam untuk menyampaikan salinan putusan ini setelah berkekuatan hukum tetap kepada pegawai pencatat nikah KUA kecamatan tempat kediaman penggugat dan tergugat dan KUA kecamatan tempat pernikahan penggugat dan tergugat dilangsungkan untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu. Menimbang bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan, sebagaimana dimakud oleh pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989, maka semua biaya yang timbul akibat dari gugatan ini dibebankan kepada penggugat.
80
Mengigat segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum Islam berhubungan dengan perkara ini.
D. Amar Putusan Hakim Amar putusan hakim Pengadilan Agama Batam dalam perkara cerai gugat pada kasus diatas yaitu:10 1. Menyatakan tergugat telah dipanggil secara sah dan patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir. 2. Mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek 3. Menjatuhkan talak satu bain shugra tergugat (Sembari bin Darise) terhadap penggugat (Tendri Sanka binti Abdul Rahman). 4. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Batam untuk mengirimkan salinan putusan ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada pegawai pencatat nikah KUA Kecamatan Sungai Sembilan Kota Dumai untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu. 5. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.271.000,- (dua ratus tujuh puluh satu ribu rupiah).
E. Analisis Penulis Dalam Islam perceraian itu dibenarkan dan diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik dari pada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi kebahagiaan 10
Ibid, h.7-8.
81
tidak dicapainya dan selalu berada dalam penderitaan. Dalam agama Islam, perkawinan tidak diikat dalam ikatan yang mati tetapi tidak pula mempermudah terjadinya perceraian, boleh dilakukan tetapi betul-betul dalam keadaan darurat atau karena terpaksa. Salah satu asas yang dianut oleh hukum perkawinan nasional adalah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini adalah sejalan dengan ajaran agama, (khususnya agama Islam), karena kalau terjadi perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan yang dicita-citakan yaitu membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Berlainan halnya dengan putusnya perkawinan karena kematian, sebab hal ini merupakan takdir dari Allah SWT yang tidak dapat dielakkan oleh manusia.11 Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan upaya perdamaian secara maksimal. Perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami atau permintaan istri, perceraian yang dilakukan istri disebut cerai gugat.12 Berkaitan dengan perceraian, sebagaimana yang penulis temukan di Pengadilan Agama Batam, yaitu cerai gugat akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah.
11
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008, cet. Ke-5, h. 444. 12 Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 509.
82
Setelah membaca duduk perkara dan pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Batam, ada beberapa hal yang menarik penulis untuk disoroti lebih jauh yang akan dibahas berikut ini. Dalam perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Batam antara penggugat Tendri Sangka binti Abdul Rahman yang menggugat suaminya Sembari bin Darise menyatakan dalam gugatannya bahwa yang menjadi alasan utama gugatannya adalah setelah pernikahan tersebut rumah tangga penggugat dengan tergugat tidak rukun dan tidak harmonis sering terjadi percekcokan karena perbedaan pendapat dan pertengkaran yang disebabkan karena adanya pernikahan sedarah/sepupu sehingga rintangan dan halangan banyak terjadi. Meski dalam surat gugatan istri menyatakan bahwa alasan cerai gugat adalah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus akibat adanya pernikahan sepupu/sedarah, akan tetapi dalam pertimbangan hukum hakim tidak menyatakan bahwa perceraian ini disebabkan karena adanya pernikahan sepupu/sedarah, disini hakim telah menemukan fakta hukum bahwa terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus karena perbedaan pendapat dan diketahui bahwa dua tahun terakhir tergugat tidak bekerja sehingga ia tidak bisa memenuhi kebutuhan penggugat dan anak-anaknya. Adapun diketahui bahwasannya tergugat tidak memberikan nafkah dalam dua tahun terakhir adalah dari bukti saksi, dua orang saksi ini menyatakan bahwa: Bahwa setahu saksi awalnya rumah tangga penggugat dan tergugat berjalan rukun dan harmonis, namun sejak dua tahun lalu kondisi rumah tangga
83
mereka mulai tidak harmonis lagi dan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran, penyebabnya sejak dua tahun lalu tergugat tidam mempunyai pekerjaan tetap sehingga tidak bisa memberi nafkah kepada penggugat. Akhirnya majelis hakim menemukan fakta hukum setelah mendengarkan keterangan
saksi-saksi
dan
dihubungkan
dengan
keterangan
penggugat
sebagaimana yang terlihat diputusan bahwa: Telah diperoleh fakta hukum yang intinya antara penggugat dan tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang disebabkan oleh sifat dan tindakan tergugat yang tidak berkenan bagi penggugat, dan hubungan keduanya tidak lagi mencerminkan hubungan layaknya suami istri pada umumnya. Selanjutnya
mengenai
perkara
ini,
majelis
hakim
memberikan
pertimbangan hukum bahwasannya rumah tangga penggugat dan tergugat telah pecah dan tidak ada harapan untuk hidup kembali membina rumah tangganya, maka jika perkawinan mereka diteruskan tidak akan tercapai tujuan perkawinan yaitu membentuk kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana maksud firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 21 dan maksud pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo pasal 3 KHI, bahkan akan mendatangkan kemudharatan yang lebih besar bagi kedua belah pihak. Adapun pertimbangan hakim lainnya adalah selama proses persidangan berlangsung terlihat secara nyata bahwa penggugat tidak lagi mencintai tergugat, malah
yang
terjadi adalah sifat
kebencian terhadap tergugat
lantaran
84
sikap/perbuatan
tergugat
terhadap
penggugat,
untuk
itu
majelis
hakim
menyantumkan pendapat ahli fikih sebagai dalil untuk pertimbangan hukum hakim yaitu dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin halaman 223:
اذا اﺷﺘﺪ ﻋﺪم رﻏﺒﺔ اﻟﺰوﺟﺔ ﻟﺰوﺟﮭﺎ ﻃﻠﻖ ﻋﻠﯿﮭﺎ اﻟﻘﺎﺿﻰ ﻃﻠﻘﺔ Artinya:“Apabila kebencian seorang istri sudah memuncak terhadap suaminya, maka hakim boleh menceraikannya dengan talak satu”
Dengan dasar pertimbangan inilah majelis hakim Pengadilan Agama Batam dalam perkara No. 104/Pdt.G/2013/PA.BTM memutus cerai dengan talak satu ba’in shugra. Hemat penulis pertimbangan hakim ini sudah benar, karena jika dalam pertimbangan hukum hakim menyatakan bahwa perceraian ini beralasan antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan percekcokan disebabkan karena adanya pernikahan sepupu/sedarah berarti hakim tidak memenuhi maksud dari pasal 22 PP No. 9 tahun 1974 yaitu untuk mengacu pada alasan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus hakim harus mengetahui sebab-sebabnya dengan jelas, sedangkan
dari kalimat “sepupu/sedarah” ini tidaklah jelas, karena sepupu
bukanlah sedarah, hal ini dapat disimpulkan dari Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 23 yang tidak menyebutkan sepupu sebagai mahram kemudian sepupu tidak tercantum dalam KHI tentang larangan kawin dan Undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 8 juga tidak ditemukan sepupu merupakan sedarah. Dalam buku kumpulan “Tanya Jawab Quraish Shihab” dijelaskan sebagai berikut: Sepupu atau
85
anak saudara lelaki ayah atau saudara ibu, bukan mahram, karena itu boleh terjalin hubungan perkawinan antara sepupu. Mereka tidak disebut oleh ayat yang berbicara tentang mahram (QS An-Nisa’:23, tidak juga dalam hadits-hadits Rasulullah SAW).13 Penulis juga perbendapat bahwa majelis hakim sudah menjalankan apa yang ditentukan pasal 22 PP No. 9 tahun 1974 yaitu untuk alasan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus maka harus didengarkan saksi-saksi dari orang-orang yang dekat dengan suami istri itu, dari keterangan dua orang saksi inilah akhirnya ditemukan bahwasannya tergugat tidak lagi memberi nafkah dalam dua tahun terakhir sehingga ditemukanlah fakta hukum bahwa telah terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami istri sesuai dengan pasal 19 PP No. 9 tahun 1974 huruf (f), kemudian sebabnya karena tindakan tergugat yang tidak berkenan bagi penggugat, terjadi perbedaan pendapat dan diketahui bahwa dua tahun terakhir tergugat tidak bekerja sehingga ia tidak bisa memenuhi kebutuhan penggugat dan anak-anaknya hal ini sudah memenuhi ketentuan pasal 22 point (2) PP No.9 tahun 1974 yang intinya harus jelas sebab-sebab perlesihan dan percekcokannya. Selanjutnya penulis sependapat dengan hakim ketua Pengadilan Agama Batam yang menyatakan bahwa sepupu bukanlah sedarah, dalam wawancara yang penulis lakukan di Pengadilan Agama Batam, hakim ketua yang memutus perkara ini menyatakan bahwa sepupu bukanlah sedarah, meski beliau menyatakan bahwa
13
M. Quraish Shihab, Perkawinan Dengan Sepupu, diakses dari www.hukum online.com/ pada tanggal 19 Desember 2014 pukul 21:15 WIB.
86
pernikahan sepupu berakibat hukum, akibat hukum yang didapat sebagaimana pendapat yang beliau kutip dari kitab Bidayatul Mujtahid, Fiqh Sunnah dan Wahbah Zuhaili diantaranya calon suami yang akan menikahi supupunya tidak dapat menjadi wali dalam pernikahannya sediri, akan tetapi beliau tetap menyatakan bahwa sepupu bukanlah sedarah dan boleh melakukan perkawinan, hal ini dapat diketahui dari item-item yang secara jelas disebutkan dalam AlQur’an surah An-Nisa’, kemudian sepupu tidak ditemukan dalam item-item yang dilarang itu, artinya sepupu bukanlah sedarah dan boleh dinikahi. Oleh karena itu hakim menyatakan dalam wawancara, bahwa di putusan ini hakim tidak mengambil pernikahan sepupu/sedarahnya sebagai dasar perceraian, akan tetapi alasan utama dari perceraian ini adalah perselisihan terus-menerus karena perbedaan pendapat antara penggugat dengan tergugat dan tergugat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga, beliau juga menambahkan jika dalam putusan dasar perceraian dalam kasus ini difokuskan pada sedarahnya berarti putusan ini tidak berbentuk cerai, akan tetapi berbentuk pembatalan perkawinan, namun beliau kembali menjelaskan bahwasannya sepupu bukanlah sedarah artinya tidak bisa dilakukan pembatalan perkawinan. 14 Kemudian dari apa yang majelis hakim putuskan didalam putusan yaitu mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek, pada akhirnya majelis hakim Pengadilan Agama Batam menjatuhkan talak satu ba’in shugra tergugat Sembari Bin Darise terhadap penggugat Tendri Sangka Binti Abdul Rahman. 14
Mukhlis, Hakim Pengadilan Agama Batam, Wawancara pribadi, Batam 3 Januari 2014.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah mengkaji dan menganalisis putusan Pengadilan Agama Batam No. 104/Pdt.g/2013/PA.BTM, baik dari analisis dari perspektif hukum Islam maupun persepektif Undang-undang yang berlaku di Indonesia, penulis memberikan kesimpulan yaitu: 1. Tentang status perkawinan sepupu, bahwasannya menurut hukum Islam sepupu bukanlah sedarah, hal ini disimpulkan dari tidak ditemukannya kata sepupu dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 23 yang menjelaskan siapa-siapa saja orang yang haram untuk dinikahi/mahram, dari ayat ini juga ulama membagi mahram kepada dua yaitu: mahram muaqqat (semenda) dan mahram muabbad (pertalian nasab), sepupu juga tidak ditemukan dalam pembagian mahram ini, baik dalam mahram muqqat maupun mahram muabbad,meski demikian para ulama fikih berpendapat bahwa tidak dianjurkan untuk mengawini kerabat dekat termasuk sepupu, dikarenakan dua hal yaitu sebagaimana yang disyaratkan oleh ulama fikih bahwasannya kuatnya keturunan bergantung pada kuatnya dorongan kuatnya syahwat, pasangan suami istri akan semakin melemah syahwatnya bagi mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dekat, kemudian sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh para dokter dan juga sudah menjadi hal yang biasa dikalangan masyarakat petani bahwa tanah yang
87
88
berulangkali ditanami satu jenis tanaman dapat menyebabkan menurunnya kualitas hingga lama kelamaan akan punah, begitu juga perempuan, dia diibaratkan lahan yang ditanami atau disemai hingga melahirkan anak, manusia ibarat biji-bijian dengan segala variantanya, karena itu seorang laki-laki dianjurkan agar menikahi perempuan dari keluarga yang bukan kerabatnya agar dia dapat melahirkan keturunan yang baik dan berkualitas. Imam Ghazali menambahkan dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin, beliau mengatakan mengatakan, “salah satu hal yang perlu diperhatikan pada diri seorang perempuan yang akan dinikahi adalah hendaknya dia bukan dari kerabat dekat. Anak laki-laki yang dilahirkan dari pernikahan antar kerabat dekat pada umumnya memiliki postur tubuh yang lemah. Meski sebagian ulama berpendapat bahwa pernikahan sepupu tidak dianjurkan akan ulama sepakat bahwa sepupu bukanlah termasuk dalam golongan yang haram dinikahi/mahram, hal ini didukung sebuah kaedah fikih yaitu:
ﻋَﻠﻰ َﺗﺤْ ِﺮﯾْ ِﻤ َﮭﺎ َ ٌل َدِﻟﯿْﻞ ﺣﺔُ ِاﱠﻟﺎ َانْ َﯾﺪُ ﱠ َ َاﻟَْﺄﺻْﻞُ ِﻓﻲْ اﻟﻤُ َﻌﺎ َﻣَﻠﺔُ اِﻟﺎ َﺑﺎ Artinya: “Hukum asal dalam semua betuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya” Dari kaedah fikih ini dapat disimpulkan bahwa tidak selama tidak ada dalil yang mengharamkan pernikahan antara sepupu, artinya sepupu boleh dinikahi dan bukan termasuk dalam golongan sedarah.
89
2. Dalam perkara ini meski dalam surat gugatan penggugat menyatakan bahwa dasar cerai gugat yang diajukan adalah dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus akibat suami adalah saudara sepupu/sedarah, akan tatapi majelis hakim dalam putusan mendasarkan pertimbangan perkara berdasakan berdasarkan ketentuan pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1974 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yaitu perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga yang disebabkan oleh tindakan tergugat yang tidak berkenan, yang kemudian didukung oleh saksi-saksi yang menyatakan tergugat tidak lagi memberikan nafkah penggugat dan anak-anak mereka. Dengan demikian majelis hakim menilai bahwa gugatan telah memenuhi ketentuan pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, oleh karena itu gugatan penggugat dikabulkan. B. Saran-Saran Berdasarkan pada kesimpulan diatas, penulis akan membuat beberapa saran-saran yang akan penulis berikan kepada semua pihak yang terkait dalam permasalahan ini, antara lain: 1. Kepada pejabat pemerintah yang berwenang di bidang perkawinan agar dapat mensosialisasikan masalah perkawinan, terlebih lagi mengenai pemahaman tentang perkawinan antara sepupu, bagaimana pandangan ulama fikih terhadap perkawinan antara sepupu, apa akibat hukum yang timbul dari perkawinan
90
antara sepupu dan bagaimana hukum perkawinan antara sepupu baik dalam pandangan hukum Islam maupun Undang-undang yang berlaku di Indonesia. 2. Kepada para ulama, da’i, khatib agar dapat membantu peran pejabat pemerintah yang berwenang dalam masalah perkawinan dalam mensosialisasikan masalah perkawinan, termasuk juga masalah perkawinan antara sepupu ini. 3. Kepada pihak Pengadilan Agama Batam agar dapat membantu dalam membuat surat gugatan para pihak yang ingin bercerai terkait masalah alasan-alasan untuk melakukan perceraian, agar alasan-alasan yang dibuat tidak malah bertentangan dengan hukum Islam maupun Undang-undang yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim Djazuli.
A,
Kaidah-Kaidah
Fikih:
Kaidah-Kaidah
Hukum
Islam
Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, (Jakarta: Kencana), cet. Ke-1. Harahap Yahya, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet. Ke-10. http://kbbi.web.id Khamimudin, Kiat dan Teknis Bercara di Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Galeri Ilmu, 2010), cet. Ke-1. Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Rona Publishing). Kuzari Ahcmad, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. Ke-1. Latif Djamil, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985). Latif Djamil, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. Ke-1. Mahkamah Agung RI Direktorat Jendral BADILAG 2010, Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, Jakarta, 2010. Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991).
91
92
Manan Abdul dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. Ke-5. Manan Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. Ke-2. Manan Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. Ke- 5. Mukhlis, Hakim Pengadilan Agama Batam, Wawancara Pribadi, Batam, 3 Januari 2014. Muljono Wahju, Teori & Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), cet. Ke-1. Munawwir Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14. Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI,(Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Surabaya: Rona Publishing). Prakoso Djoko dan Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), cet. Ke-1. Putusan Pengadilan Agama Batam No.104/Pdt.G/2013/PA.BTM. Qadir Abdul Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), cet. Ke-5.
93
Rahman Abdur, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cet. Ke-1. Ramulyo M. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind. Hill-Co,1990), cet. Ke-2. Rosyid. A, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: CV.Rajawali, 1991), cet. Ke-1. Sabiq Sayyid, Fikih Sunnah 7, diterjemahkan oleh Moh. Thalib, (Bandung: PT. AlMa’arif, 1990), cet. Ke-7. Sabiq Sayyid, Fikih Sunnah, terjemahan Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta: Cakrawala Publishing), cet. Ke-2. Sauqi Ahmad, Perselisihan Terus-Menerus Antara Suami Istri Akibat Campur Tangan Orang Tua Sebagai Dasar Alasan Perceraian(kajian terhadap putusan PA Jakarta Timur No. 116/pdt.G/2008/PA JT). Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), cet. Ke-31. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-4. Suharsismi Arikunto, Prosedur Penelitan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002). Sutantio Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), cet. Ke-8. Syahrani Riduan, Materi Dasar Hukum Acara Perdata,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2009), cet. Ke- 5, diakses dari http://lawfile.blogspot.com/2011/06/replikdan-duplik.html.
94
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-3. Thalib Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-5. Tihami. A dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), cet. Ke-1. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Surabaya: Rona Publishing). www.hukum online.com www.pa-batam.net