PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb)
Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh: AINA SUFYA FUAIDA NIM 21108010
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012
i
KEMENTERIAN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga http//www.stainsalatiga.ac.id e-mail:
[email protected] Dra. Siti Zumrotun, M. Ag Dosen STAIN Salatiga PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi Saudara Aina Sufya Fuaida Kepada Yth, Ketua STAIN Salatiga di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr.Wb Setelah Kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini Kami kirimkan naskah skripsi saudara: Nama : Aina Sufya Fuaida NIM : 21108010 Jurusan : Syari’ah Program studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah Judul :PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb) Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Salatiga, Desember 2012 Pembimbing,
Dra. Siti Zumrotun, M. Ag NIP. 196701151998031002
ii
SKRIPSI PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb)
DISUSUN OLEH AINA SUFYA FUAIDA NIM: 21108010 Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 14 Desember 2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Syari’ah Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji
: H. agus waluyo, M. Ag
Sekretaris Penguji
: Ilyya Muhsin, S.H.I. M.Si
Penguji I
: Evi Ariyani, S.H.,M.H.
Penguji II
: Tri Wahyu Hidayati, M.Ag.
Penguji III
: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
Salatiga, 14 Desember 2012 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP.1958082719830310002
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Aina Sufya Fuaida
NIM
: 21108010
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, Desember 2012 Yang Menyatakan,
Aina Sufya Fuaida
iv
MOTTO
Kebenaran pasti akan menang Tidak ada rencana buruk Tuhan untuk mencapainya Karena keputusan Tuhan adalah yang terbaik bagi makhluknya Memulai segala sesuatu dengan niat baik dan menjalaninya dengan jujur Memupuk rasa peduli terhadap ciptaan-Nya
v
PERSEMBAHAN
Penulis persembahkan skripsi ini kepada: 1. Keluarga saya, terutama Bapak (Sahli Makhfuz) dan Ibu (Nur Anifah) yang tak henti-hentinya memberikan dukungan dan mengalirkan do’a dalam setiap usaha yang saya lakukan. Keberhasilan ini adalah do’a yang dengan ikhlas dipanjatkannya. 2. Keluarga besar Sulaiman dan keluarga besar Makhfudz 3. Teman-teman yang selalu menginspirasi dan memotifasi. Rina, Muna, Fina, Siti Fatimah, Ria, dan kawan-kawan lain yang dengan senang hati membantu dalam kelancaran skripsi ini 4. Ilma & Sania sebagai tombo penat J 5. Kepada semuanya yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah memberikan saya semangat setiap hari
vi
KATA PENGANTAR ÉO ŠÏm §9$#Ç` »uH÷q §9$#«! $#ÉO ó¡ Î0 Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga Skripsi, dengan judul
KONSEP KEADILAN DALAM
PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb) telah dapat kami selesaikan. Kami ucapakan terima kasih kepada : 1. Dr. Imam Sutomo M. Ag, selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga (STAIN). 2. Ilyya Muhsin, S.H.I. M.Si, selaku Ketua Program Studi Al-Ahwal AlSyakhshiyyah. 3. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku dosen pembimbing. 4. Dosen-dosen yang dengan sabar mengampu kelas AHS’08 5. Segenap Hakim, Panitera, serta Pegawai Pengadilan Agama Ambarawa yang telah memberikan bantuan kepada penulis. 6. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan dan do’a sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 7. Teman-teman, yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya, sehingga saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini sangat dibutuhkan. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis sendiri pada khususnya. Amin…
Salatiga,
Desember 2012
Penulis
vii
Sufya
ABSTRAK Fuaida, Aina. 2012. PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb). Skripsi. Jurusan Syariah. Program Studi Al-Ahwal AlSyakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
Kata kunci: Pelaksanaan, Pembagian Waris, Pengadilan Agama Penelitian dilakukan dengan dasar untuk mengetahui penerapan KHI dalam pembagian waris di Pengadilan Agama dan penerapan terhadap putusan hakimdalam putusan nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Fokus penelitian yang ingin penulis jawab adalah (1) bagaimana pembagian waris dalam perkara nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa (2) bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb (3) bagaimana pelaksanaan putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Untuk menjawab pertanyaan tersebut pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan arsip putusan nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb, wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dan salah satu pihak perkara tersebut. Sumber data lain adalah UU No.3 Th.2006, Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan buku-buku yang mendukung penelitian ini. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa objek sengketa waris yang dimaksud ditetapkan sebagai harta bersama karena tidak ada bukti bahwa harta tersebut telah dibagi. Pembagian waris dilakukan setelah dilakukan pembagian harta bersama. Terhadap dasar-dasar yang telah sesuai dalam putusan, pihak keluarga telah melakukan pembagian waris berdasar putusan. Dapat disimpulkan bahwa dalam memutuskan perkara waris nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb hakim telah menggunakan Kompilasi Hukum Islam. Penerapan Kompilasi Hukum Islam tersebut didukung oleh proses persidangan yang teliti dalam menilai saksi dan bukti serta persidangan tentang kewenangan mengadili dalam bidang kewarisan telah memenuhi seperti yang tertuang dalam UU Nomor 3 tahun 2006. Dan pelaksanaan dalam putusan tersebut telah dilakukan oleh keluarga.
viii
DAFTAR ISI
JUDUL.................................................................................................................i PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................ii PENGESAHAN KELULUSAN......................................................................iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.......................................................iv MOTTO..............................................................................................................v PERSEMBAHAN.............................................................................................vi KATA PENGANTAR.....................................................................................vii ABSTRAK......................................................................................................viii DAFTAR ISI.....................................................................................................ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...................................................................1 B. Fokus Penelitian...............................................................................5 C. Tujuan Penelitian..............................................................................5 D. Kegunaan Penelitian.........................................................................5 E. Penegasan Istilah..............................................................................7 F. Telaah Pustaka……………………………………………………..8 G. Kerangka teori……………………………………………………11 H. Metode Penelitian………………………………………………...13 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian................................................13 2. Kehadiran peneliti……………………………………………..14
ix
3. Lokasi Penelitian........................................................................14 4. Sumber Data..............................................................................15 5. Prosedur Pengumpulan Data......................................................16 6. Analisis Data..............................................................................17 7. Pengecekan Keabsahan Data.....................................................17 8. Tahap-tahap Penelitian..............................................................18 I. BAB II
Sistematika Penulisan.....................................................................18 KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Waris dalam Ilmu Faroidh.................................................20 1. Pengertian Waris menurut Kaidah Faroidh...............................20 2. Rukun dan Syarat Waris............................................................21 3. Golongan ahli waris...................................................................29 4. Pembagian Waris Islam.............................................................32 B. Konsep Keadilan Faroidh dalam Hukum Positif............................34 1. Perkembangan Hukum Waris Islam di Indonesia…………… 34 2. Pengertian waris menurut UU No 3 tahun 2006 dan KHI…….37 3. Pengadilan agama sebagai pelaksana hukum positif………….39 BAB III
PAPARAN DATA
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa…..……………50 1. Sejarah Pengadilan Agama Ambarawa......................................50 B. Gambaran Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb……………54 1. Gambaran umum Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb…54 2. Gambaran perkara oleh pihak tergugat……………………….55
x
3. Gambaran perkara oleh pihak penggugat……………………..57 C. Dasar
Pertimbangan
Hakim
dalam
Putusan
Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb……………………………………….57 BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis terhadap Pembagian Waris dalam Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb.
di
Pengadilan
Agama
Ambarawa……………………………………………………..….70 B. Analisis terhadap Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb……………………………….. 70 C. Analisis
terhadap
Pelaksanaan
Putusan
Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb………………………………………...76 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...................................................................................78 B. Saran.............................................................................................79 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keberadaan hukum yang sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia sangat diperlukan mengingat Indonesia adalah bekas negara jajahan, serta hukum yang berkembang dahulu adalah hukum yang mengadopsi dari hukum negara lain. Hukum tersebut dirasa kurang sesuai karena aturan yang mengacu adalah non-Islam sedangkan masyarakat Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Aturan yang berjiwa islami sangat diperlukan oleh masyarakat Islam dalam mencari keadilan sebagai warga negara yang berbangsa dan bernegara. Hal tersebut sudah ada sebelum kemerdekaan. Setelah kemerdekaan aturan-aturan dalam pelaksanaan peradilan semakin berkembang, terbukti dengan adanya lembaga peradilan tersendiri bagi warga negara beragama Islam disertai dengan undang-undang yang mengatur dalam pelaksanaan peradilan tersebut. Diantaranya adalah Undang-Undang No. 50 tahun 2009 penyempurnaan dari Undang-undang No. 3 tahun 2006 perubahan atas UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama serta Kompilasi Hukum Islam dan undang-undang lain yang membahas tentang zakat dan wakaf. Dijelaskan dalam pasal 1 ayat 2 UU No.7 tahun 1989 tentang undangundang peradilan agama “yang dimaksud pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama”.
1
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan adanya perkembangan undang-undang
yang
semakin
mendukung dalam pelaksanaan peradilan agama maka penerapan hukum pun harus lebih maksimal. Dalam hal ini telah ada UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama lebih menjamin kedudukan Peradilan Agama dalam lingkungan peradilan. Perubahan-perubahan pasal pun dilakukan untuk mendukung pelaksanaan hukum Islam, seperti penerapan hak opsi dalam perkara waris dan penguatan kedudukan Peradilan Agama. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih terkendala oleh hukum Islam yang belum terkodifikasi menjadi undang-undang, baru dalam bentuk instruksi presiden (inpres) No. 1 Tahun 1991 yang terealisasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Peraturan dalam bentuk inpres ini tidak dapat mendesak pelaksanaan hukumnya dalam lingkungan peradilan. Maka untuk mengetahui sejauh mana KHI diterapkan di lingkungan Peradilan Agama telah dilakukan monitoring dalam putusan yang dihasilkan Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Secara implisit, hampir seluruh putusan PA dan PTA menggunakan meteri KHI, namun secara eksplisit, dari 1008 putusan, 715 putusan (71%) menggunakan KHI, dan 293 putusan (29%) tidak menggunakannya (muhibbin &wahid, 2009:180). Dari data acak ini
2
kemudian timbul pertanyaan apakah putusan yang akan penulis lakukan penelitian ini telah menggunakan kaidah hukum islam tersebut atau belum, jika sudah, apakah penerapannya sudah tepat. Lebih spesifik lagi mengenai penelitian ini, pembahasan akan difokuskan pada perkara waris di Pengadilan Agama Ambarawa dengan putusan
nomor:
632/Pdt.G/2007/PA.Amb.
Berkaitan
dengan
telah
dihapusnya hak opsi dalam perkara waris Islam, maka PA dalam memutuskan perkara juga harus menggunakan hukum Islam agar berimbang antara penghapusan dan pelaksanaan. Hukum waris yang penulis maksud agar diterapkan secara maksimal di Pengadilan Agama adalah hukum waris islam (faroidh). Jika dalam penjelasan pasal 49 huruf b UU No.3 tahun 2006 “yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.” Maka Pengadilan Agama (PA) bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara terhadap fakta-fakta yang ada sesuai kaidah faroidh juga. Dari putusan yang dihasilkan oleh Pengadilan Agama perlu dilakukan pengkajian mengenai dasar putusan oleh hakim tentang keadilan yang menyangkut kewarisan, seperti penentuan ahli waris dan bagian-bagiannya
3
apakah telah sesuai dengan faroidh, dan hukum acara yang diberlakukannya dalam perkara waris tersebut. Pembuktian ini sangat menentukan kualitas putusan, karena kekuatan pembuktian ini mempunyai arti dengan putusan hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan itu. Apa yang telah diputuskan oleh hakim harus dianggap benar dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama dan antara pihak-pihak yang sama pula (nebis in idem) (Arto, 1998:265). Karena putusan hakim sagat menentukan sebuah perkara maka pengkajian tentang adil tidaknya putusan tersebut sangat perlu diteliti lagi. Oleh karena itu peneliti mengambil judul KONSEP KEADILAN FAROIDH DALAM PEMBAGIAN WARIS DI PENGADILAN AGAMA (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb) yang kemudian menjadi fokus penelitiannya. Penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana penerapan hukum waris Islam serta hukum acaranya dalam penyelesaian perkara waris di Pengadilan Agama.
B. Fokus Penelitian Agar penelitian ini mempunyai pembahasan yang menarik dan tidak keluar dari alur yang dibicarakan, maka penelitian ini difokuskan pada: 1. Bagaimana
pembagian
waris
dalam
perkara
632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa?
4
nomor
2. Bagaimana konsep keadilan hukum formil dalam persidangan pembagian waris di Pengadilan Agama aplikasi terhadap putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb?
C. Tujuan Penelitian Dari fokus penelitian yang dilakukan, penelitian ini ditujukan untuk: 1. Untuk mengetahui pembagian waris dalam perkara nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa. 2. Untuk mengetahui konsep keadilan dalam hukum acara serta hukum materiil terhadap pembagian waris di Pengadilan Agama aplikasi terhadap putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb.
D. Kegunaan Penelitian Terasa kurang bermanfaat jika penelitian yang dilakukan tidak mempunyai kegunaan. Seperti halnya penelitian yang dilakukan penulis, walaupun sederhana akan tetapi diharapkan mempunyai kegunaan seperti yang diharapkan penulis. Yaitu: 1. Bagi akademik Sebagai implementasi penerapan teori yang didapat dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama, yang berkaitan erat dengan pengembangan profesionalitas jurusan Al-Ahwal As-Syakhsyiyyah. Karena teori dapat dikaji secara langsung dalam perkara nyata, maka
5
penerapan antara teori dan praktek sangat
diperlukan dalam
pengembangan mahasiswa. 2. Bagi mahasiswa Mengetahui dengan jelas pratek beracara di Pengadilan Agama dan penerapannya dalam menerapkan hukum pada suatu perkara. Lebih khusus lagi, agar mahasiswa lebih mendalami pratek hukum waris Islam yang berkaitan dengan pembagian waris, pembagian waris yang kaitannya dengan hukum materiil, hukum formil, dan hukum acara di lingkungan peradilan agama. 3. Bagi masyarakat Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang hukum, khususnya hukum perdata Islam. Karena dalam kehidupan masyarakat tentunya tidak terlepas dari masalah-masalah atau pratek hukum perdata dalam kehidupannya. Serta agar masyarakat tahu tentang perkembangan undang-undang di Indonesia yang dalam teorinya mengacu pada keadilan bagi masyarakat. E. Penegasan Istilah KONSEP KEADILAN FAROIDH DALAM PEMBAGIAN WARIS DI
PENGADILAN
AGAMA
(Studi
Analisis
Putusan
Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb) adalah judul terhadap penelitian ini. Agar tidak terjadi salah penafsiran, maka penulis tegaskan mengenai istilah-istilah yang penulis gunakan.
6
1. Keadilan: pernilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proporsional dan tidak melanggar hukum (Darmodiharjo, Shidarta, 1999: 164) 2. Faroidh: pengetahuan mengenai pembagian warisan (pusaka orang yang meninggal) menurut hukum Islam (Poerwadarminta, 2006:328) 3. Pengadilan Agama: bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. 4. Analisis: penyelidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui apa sebab-sebabnya, bagaimana duduk perkaranya dan sebagainya (Poerwadarminta, 2006:37). 5. Putusan adalah hasil atau kesimpulan akhir dari suatu pemeriksaan perkara (Puspa, 1977: 695). F. Telaah Pustaka Waris merupakan salah satu bidang perdata Islam. Di dalamnya terdapat pembahasan tentang penentuan harta waris, ahli waris, dan pembagian waris. Banyak penelitian yang dilakukan mengenai waris yang meliputi hal tersebut. Penelitian yang difokuskan pada bagian waris diantaranya: - Wasiat Wajibah sebagai Alternatif Waris Anak Angkat (Nor Fuad Zen: 2002)
7
- Pembagian Warisan dengan Jalan Hibah menurut Pandangan Islam (Slamet Aryanto: 2009) Penelitian yang difokuskan pada ahli waris diantaranya: - Pembagian Harta Warisan bagi Keturunan Punah (Hanik Adityassari: 2009), - Hak Waris Anak dari Proses Bayi Tabung (Isti Haryanti: 2004), - Bagian Waris Anak dalam Kandungan (Ambar Setiawati: 2004), - Bagian Waris Anak Luar Nikah menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Hartati: 2002). Penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan pembagian waris diantaranya: - Pelaksanaan Hukum Waris dalam Masyarakat Islam (Muhammad Ali Asad: 2010), - Hak Opsi dalam Hukum Waris di Indonesia (Nanik Dyah Anggraeni: 2001), - Faktor-Faktor Penyebab Keengganan Masyarakat Muslim Salatiga untuk Mengajukan Perkara Waris di Pengadilan Agama (Siti Zumrotun: 2007). Inilah beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai waris. Kemudian yang peneliti lakukan adalah penelitian mengenai konsep keadilan dalam Pembagian Waris di Pengadilan Agama, yang meliputi hukum materiil, formil, dan hukum acara peradilan agama. Tentang penentuan harta warisan, ahli waris, dan bagian waris menurut kaidah faroidh di Indonesia seperti yang tercermin dalam Kompolasi Hukum Islam.
8
Hal yang membedakan dengan penelitian sebelumnya, dalam kaitan penerapan faroidh dan hukum positif seperti yang disebutkan dalam penelitian Nanik Dyah Anggraeni (2001) memberi tanggapan tentang hak opsi dalam pelaksanaan hukum waris di Indonesia “karena adanya keinginan sebagian anggota DPR agar hukum waris barat (BW) berlaku bagi umat Islam karena dalam hukum waris Islam saudara yang berlainan agama tidak berhak mendapat waris, serta hukum waris Islam dianggap tidak memberikan keadilan antara laki-laki dan perempuan, dalam hukum waris tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan.” Nor Fuad Zen (2002) menyimpulkan tentang pelaksanaan wasiat wajibah terhadap anak angkat “hukum Islam memperbolehkan pengankatan anak dengan syarat tidak menimbulkan suatu ikatan kemahramanyang mengakibatkan dapatsaling menghaki dan mewarisi. Dengan kata lain anak angkat tersebut tetap orang lain dan bukan termasuk ahli waris. Ajaran Islam sangat menjunjung prinsip keadilan dan kemanusiaan, memberikan jalan keluar
dalam masalah kewarisan dengan member sebagian harta
kepada anak angkat dengan jalan wasiat wajibah. Anak angkat berhak mendapat wasiat wajibah. Dan dalam pemberian wasiat itu harus didahulukan daripada pembagian warisan, tanpa melebihi batas bagian wasiat itu sendiri sebesar 1/3 dari harta peninggalan.” Siti Zumrotun (2007) “faktor penyebab keengganan masyarakat untuk mengajukan perkara waris di Pengadilan Agama adalah masyarakat memilih menyelesaikan perkara waris dengan cara kekeluargaan dalam arti tidak
9
harus di ajukan ke Pengadilan Agama namun tetap berdasarkan ketentuan hukum waris Islam, adanya pembagian harta sebelum pemilik harta meninggal dunia merupakan solusi terbaik untuk menghindari sengketa setelah pemilik harta meninggal dunia, dan adanya pendapat bahwa penyelesaian perkara waris di Pengadilan Agama sulit dan membutuhkan banyak waktu.” Muhammad Ali Asad (2010) menyimpulkan mengenai pelaksanaan hukum waris dalam masyarakat Islam dapat dilakukan melalui pembagian warisan atas ketentuan faraidh
yang berdasarkan teks Al-Qur’an atau
pembagian harta berdasarkan keadilan antara laki-laki dan perempuan dengan jalan hibah pada saat pewaris (orang tua) masih hidup.
G. Kerangka Teori 1. Surat Annisa ayat 11
£` ä. b Î*sù 4Èû÷üu‹sVRW{ $# Åeá ym ã@ ÷VÏB Ìx.©%#Ï9 (öN à2 ω »s9÷rr&þ’Îûª! $# ÞO ä3 ŠÏ¹ qム$ygn=sù Zoy‰ Ïm ºur ôM tR%x. b Î)ur (x8 ts? $tB $sVè=èO £` ßgn=sù Èû÷ütGt^øO$# s- öqsù [ä!$|¡ ÎS ¼çms9tb %x. b Î)x8 ts?$£J ÏB ⨠߉ ¡ 9$#$yJ åk÷]ÏiB 7‰ Ïn ºur Èe@ ä3 Ï9Ïm÷ƒuqt/L{ ur 4ß# óÁ ÏiZ9$# ÿ¼ã&s!tb %x. b Î*sù 4ß] è=›W9$#ÏmÏiBT| sù çn#uqt/r&ÿ¼çmrOÍ‘urur Ó$s!ur ¼ã&©!` ä3 tƒ óO ©9 b Î*sù 4Ó$s!ur öN ä.ät!$t/#uä 3AûøïyŠ ÷rr&!$pkÍ5 ÓÅ» qム7p§‹Ï¹ ur ω ÷èt/ .` ÏB 4⨠߉ ¡ 9$#ÏmÏiBT| sù ×ouq÷z Î)
10
¨b Î)3«! $#šÆ
ÏiB ZpŸÒ ƒÌsù 4$YèøÿtR ö/ä3 s9 Ü> tø%r&öN ßg•ƒr&tb râ‘ô‰ s? Ÿw öN ä.ät!$oYö/r&ur ÇÊÊÈ $VJ ŠÅ3 ym $¸J ŠÎ=tã tb %x. ©! $#
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 2. Pasal 2 UU No.7 Tahun 1989 menyebutkan bahwa peradilan agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari kedilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu. 3. Penjelasan umum angka 2 alenia ketiga UU No.7 Tahun 1989 menerangkan bahwa pengadilan agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh berdasarkan hukum Islam. 4. Asas personalitas keislaman.
11
Dari ketentuan pasal 2 dan rumusan penjelasan umum angka 2 alenia ketiga UU No.7 Tahun 1989, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam b. Perkara perdata yang disengketakan terbatas mengenai perkara dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqoh c. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaian berdasarkan hukum Islam (Harahap, 2003: 57). 5. Penjelasan umum angka 1 alenia kedua UU No.3 Tahun 2006 perubahan UU No.7 Tahun 1989
menyatakan bahawa “para pihak
sebelum berperkara dapat memepertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus. Maka penegasan pada poin 5 huruf c diatas lebih dipertegas pelaksanaannya dengan adanya UU No.3 Tahun 2006. 6. Pasal 193 KHI menegaskan, apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut sedangkan tidak ada ahli waris ashobah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka. H. Metode Penelitian
12
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a. Pendekatan Penelitian ini berdasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan melihat suatu kenyataan hukum yang terjadi di masyakat yang berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi perundang-undangan (Ali, 2009:105). Dalam penelitian ini yang dicari adalah klarifikasi pelaksanaan pembagian waris dengan dasar KHI dan faroidh di Pengadilan Agama Ambarawa. b. Jenis penelitian Jenis penelitian ini secara spesifik bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan aturan perundang-udangan yang berkaitan dengan objek penelitian dan pelaksanaanya di masyarakat (Ali, 2009:105-106).
Metode
ini dimasudkan untuk
memperoleh
gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang objek yang diteliti. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui penerapan pelaksanaan pembagian waris di Pengadilan Agama Ambarawa dalam putusan no: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb telah memenuhi kedilan dan faroidh atau belum, serta mencari sebab-sebab diputuskannya hal tersebut. Kajian tentang suatu putusan sangat penting karena untuk mengetahui adil dan sah tidaknya suatu putusan.
13
2. Kehadiran Peneliti Peneliti dalam penelitian ini melakukan wawancara secara langsung ke Pengadilan Agama Ambarawa sebagai sumber pertama yang dapat dimintai keterangan secara jelas sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang dibidang waris Islam. Serta peneliti mengkroscek keadaan sebenarnya silsilah keluarga di keluarga para pihak yang berperkara sebagai bahan analisis putusan Pengadilan Agama Ambarawa dalam penerapan pembagian waris putusan nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. 3. Lokasi Penelitian Penelitian pembagian waris dan acara persidangan dilaksanakan di Pengadilan Agama Ambarawa yang terletak di Jalan AmbarawaYogyakarta, Dusun Ngampin, Ambarawa. Peneliti memilih lokasi ini karena Pengadilan Agama Ambarawa adalah salah satu pengadilan agama terdekat dengan tempat tinggal peneliti. Kemudian penelitian juga diadakan di Desa Baran Gembongan, Ambarawa sebagai tempat tinggal salah satu pihak yang berperkara. 4. Sumber Data Peneliti menggunakan dua sumber data yaitu: a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya (Ali, 2009:106). Data primer dalam penelitian ini adalah:
14
1) Informan Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah salah satu Hakim Pengadilan Agama Ambarawa menangani
perkara
waris
dengan
putusan
yang nomor:
632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Dan Ibu Siti Kalimah sebagai salah satu tergugat yang dirasa oleh peneliti sebagai pihak yang netral meskipun kedudukannya sebagai tergugat. 2) Dokumen Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Arsip Putusan, yaitu arsip yang isinya tentang surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, putusan sela, relas panggilan, berita acara persidangan, foto kopi bukti tertulis dan putusan. b. Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen resmi (Ali, 2009:106). Data sekunder dalam penelitian ini adalah: 1) UU No.7 Th.1989 tentang Peradilan Agama. 2) UU No.3 Th.2006 peubahan atas UU No.7 Th.1989 3) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 4) Dan buku-buku yang mendukung penelitian ini. 5. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian lapangan (Ali, 2009:107).
15
Pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah dokumentasi, wawancara, dan observasi. a. Dokumentasi Dokumentasi menjadi kajian pokok penelitian ini, karena penelitian ini bersumber dari putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Ambarawa. Dokumentasi dilakukan untuk mengamati akta putusan nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Serta mengamati kaidah-kaidah faroidh yang digunakan dalam putusan no: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Penelitian bermula dari mengkaji isi putusan, kemudian tahap berikutnya adalah wawancara dan observasi untuk mengetahui dasar-dasar putusan. b. Wawancara (interview) Wawancara
adalah
percakapan
yang
dilakukan
oleh
pewawancara dengan orang yang diwawancarai dengan maksud untuk mendapatkan suatu kejelasan tetang suatu masalah (Moleong, 2002:135). Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepada para informan kunci dan informan pangkal. Informan kunci yakni para hakim yang menanggani menangani perkara waris dengan putusan nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb dan Ibu Siti Kalimah sebagai salah satu tergugat yang bersikap netral. c. Observasi (pengamatan) Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara tidak berperan serta yang mempunyai satu fungsi yaitu melakukan
16
pengamatan (Moleong, 2002:126). Pengamatan yang dilakukan adalah dengan mengamati silsilah keluarga dari ahli waris dalam putusan. 6. Analisis Data Analisis lebih diitik beratkan pada putusan Pengadilan Agama Ambarawa tentang penerapan hukum dan pertimbangan hakimnya. Kemudian mengkoreksi tentang pembagian waris apakah praktek yang ada sudah sesuai dengan kaidah faroidh atau belum mengingat dalam ilmu faroidh terdapat derajat-derajat pewaris, yang mana akan dikroscek oleh peneliti kepada pihak keluarga langsung . 7. Pengecekan Keabsahan Data Pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan tehnik trianggulasi data yaitu dengan membandingkan apa yang diperintahkan perundang-undangan
tentang pembagian waris dan
pembagian waris secara faroidh mutlak melalui kajian pustaka. Serta data yang telah diperoleh dicek kembali kebenaran aslinya ke pihak yang berperkara. 8. Tahap-tahap Penelitian Tahapan penelitian dalam penelitian ini dengan: a. Observasi pendahuluan ke Pengadilan Agama Ambarawa dengan melihat Buku Pantauan Perkara dan memutuskan pengambilan perkara. b. Wawancara dengan Hakim, panitera, dan wakil panitera.
17
c. Pengambilan salinan akta putusan. d. Observasi di Pengadilan Agama Ambarawa dan salah satu pihak yang berperkara. e. Analisis. f. Kesimpulan. I. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I Pendahuluan. Bab ini berisi: Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian, yang memuat: Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran
Penelitian,
Lokasi
Penelitian,
Sumber
Data,
Prosedur
Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahaptahap Penelitian. Dan diakhir bagian pendahuluan adalah Sistematika Penulisan. BAB II Membahas tentang pengertian dasar waris yang meliputi: Konsep Waris dalam Ilmu Faroidh dan Konsep Waris dalam UndangUndangan. Konsep Waris dalam Ilmu Faroidh berisikan Pengertian Waris menurut Kaidah Faroidh, Sebab-Sebab Waris, Golongan Ahli Waris, Derajat-Derajat Waris, Azaz-Azaz Kewarisan, dan Pembagian Waris Islam. Konsep Keadilan Faroidh dalam Undang- Undang berisikan Pengertian Waris menurut Undang-Undang, Perkembangan Hukum Waris Islam di Indonesia, Pengadilan Agama Sebagai Lembaga Pelaksana PerundangUndangan yang menjelaskan tentang Kompetensi Pengadilan Agama dalam
18
perkara waris, Asas-Asas Peradilan Agama, Dasar Pembagian waris menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI). BAB III membahas tentang Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa dan Gambaran Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. yang memuat
tentang
632/Pdt.G/2007/PA.Amb,
Gambaran Gambaran
Umum Perkara
Perkara oleh
Pihak
Nomor Tergugat,
Gamabaran Perkara oleh Pihak Penggugat, dan Gambaran Perkara terhadap Putusan Hakim. BAB IV berisi tentang pembahasan. Analisis pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara No: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb terhadap kaidah faroid dan hukum formil serta hukum acara yang berlaku. BAB V berisi kesimpulan dan saran-saran terhadap penelitian yang dilakukan.
19
BAB II PENGERTIAN DASAR WARIS
A. Konsep Waris Dalam Ilmu Faroidh 1. Pengertian Waris Menurut Kaidah Faroidh Faroidh adalah bentuk jama’ dari faridhoh yang artinya bagian yang ditentukan kadarnya. Mawarist adalah bentuk jama’ dari kata mirost yang artinya harta peninggalan dari orang-orang yang meninggal untuk ahli warisnya. Faroidh dalam arti mawarist, hukum waris-mewaris, dimaksud sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut ketentuan syara’. Asy-Syarbaini dalam kitabnya Aghnil Muhtaj mendefinisikan faroidh adalah ilmu fiqh yang bersangkut paut dengan pembagian harta pusaka, dan mengetahui perhitungan yang dapat menyampaikan kepada mengetahui hal tersebut dan mengetahui kadar yang wajib dari harta pusaka yang menjadi milik tiap orang yang berhak (Departemen Agama, 1986:2) Catatan yang perlu diperhatikan adalah pengertian dari peninggalan. Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqoha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya persangkutan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang
20
berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya) (AshShabuni, 2007:33). Dalam hal pembagian harta peninggalan atau tirkah pembagian waris diadakan setelah hak-hak yang berhubungan dengan tirkah terpenuhi yaitu kepentinngan pewaris yang meliputi semua biaya yang diperlukan pewaris sejak kematiannya sampai dimakamkan, pembayaran hutang pewaris, melaksanakan wasiat pewaris, serta penentuan ahliwaris. Barulah harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing. 2. Rukun dan Syarat Waris a. Rukun Waris Terjadinya waris mewaris ketika terdapat: 1) Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia. 2) Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab), atau ikatan pernikahan, atau lainnya. 3) Harta warisan, yaitu harta yang secara mutlak dimiliki oleh orang yang meninggal semasa hidupnya. b. Syarat Waris Terhadap pelaksanaan waris harus terjadi ketika:
21
1) Meninggalnya seseorang/pewaris, menjadi syarat mutlak terjadinya waris atau peralihan harta. Jika peralihan harta terjadi ketika seseorang masih hidup maka hal tersebut adalah hibah. 2) Ahli waris dalam keadaan hidup, jika ahli waris telah meninggal terlebih dahulu maka itu adalah pewaris. Jika ahli waris meninggal bersamaan dengan pewaris, maka para fuqoha menyatakan mereka adalah orang yang tidak mendapat waris. 3) Diketahui posisi para ahli waris, maksudnya adalah mengetahui silsilah jalur kekeluargaan karena akan berdampak pada bagian-bagian waris yang akan diterimanya. 4) Tidak ada halangan untuk mewaris. 3. Golongan Ahli Waris Penggolongan ahli awaris dapat diklasifikasikan karena (1) jenis kelamin (2) pembagian yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Berdasarkan Surat An-Nisa 176 yang menyebutkan “…dan jika mereka (ahli waris terdiri atas) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara
laki-laki
sebanyak
bagian
dua
orang
saudara
perempuan…”, maka dari ayat ini yang dapat diperjelas adalah ketentuan siapa saja yang menjadi ahli waris dari golongan laki-laki dan perempuan. Dalam bukunya Muhammad Ali Ash-Shabuni (2007:68) menyebutkan ahli waris golongan laki-laki ada lima belas, meliputi: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-
22
laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9) anak lakilaki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan budak. Sedangkan ahli waris golongan perempuan ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak. Dari ahli waris tersebut diatas ketentuan yang pasti adalah pembagian 2:1 terhadap laki-laki berbanding perempuan. Jika ahli waris semua itu ada, maka terdapat ahli waris yang menghalangi hak ahli waris lain. Lebih mudahnya tersaji dalam table berikut Tabel 2.1 Ahli Waris beserta Penghalannya No 1 2 3 4
Ahli waris Kakek Nenek Cucu Sudara sekandung
5
Saudara sebapak
6
Saudara seibu
7
Anak laki-laki
Terhalang oleh Bapak atau kakek yang lebih dekat Ibu Anak laki-laki a) Bapak b) Anak c) Cucu laki-laki dari anak laik-laki a) Bapak b) Anak c) Cucu laki-laki dari anak laik-laki d) Saudara sekandung a) Anak (laki-laki/perempuan) b) Cucu (laki-laki/perempuan) c) Bapak d) Kakek e) Saudara laki-laki sekandung f) Saudara laki-laki sebapak a) Anak laki-laki 23
dari saudara laki-laki sekandung
8
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
9
Saudara sekandung dari bapak
10
Saudara sebapak bapak
11
12
13
dari
b) c) d) e) f) a) b) c) d) e) f) g) a) b) c) d) e) f) g) h) a) b) c) d) e) f) g) h) i) a) b)
Cucu laki-laki dari anak laki-laki Bapak Kakek Saudara laki-laki sekandung Saudara laki-laki sebapak Anak laki-laki Cucu laki-laki dari anak laki-laki Bapak Kakek Saudara laki-laki sekandung Saudara laki-laki sebapak Anak saudara sekandung Anak laki-laki Cucu laki-laki dari anak laki-laki Bapak Kakek Saudara laki-laki sekandung Saudara laki-laki sebapak Anak saudara sekandung Anak dari saudara sebapak Anak laki-laki Cucu laki-laki dari anak laki-laki Bapak Kakek Saudara laki-laki sekandung Saudara laki-laki sebapak Anak saudara sekandung Anak dari saudara sebapak Saudara kandung dari bapak 9 orang dari poin 10 Saudara sebapak dari bapak
Anak dari paman sekandung Anak lebih dari a) 9 orang dari poin 10 saudara laki- b) Saudara sebapak dari bapak laki sekandung c) Anak dari paman sekandung Cucu Anak laki-laki perempuan dari anak laki-laki
Penggolongan ahli waris berdasarkan ketentuan bagian waris yang telah ditetapkan meliputi:
24
a. Ashabul furudh adalah orang yang bagian-bagian warisnya telah ditentukan oleh nash Al-Qur’an, hadist, atau ijma’ para ulama. Bagian-bagian yang telah ditetapkan serta ahli waris yang berhak atas bagian yang telah ditetapkan tersebut tersaji dalam table berikut: Tabel 2.2 Bagian-bagian Ahli Waris No
Bagian
1
½
2
¼
3
1/8
4
1/3
5
1/6
6
2/3
Ahli Waris a. b. c. d. e. a. b. a.
Anak perempuan tunggal Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki Saudara perempuan sekandung tunggal Saudara perempuan sebapak tunggal Suami jika istri yang meninggal tidak ada anak Suami jika istri yang meninggal punya anak Istri jika suami tidak meninggalkan anak Istri jika suami meninggalkan anak
a. Ibu jika masalah gharawain b. 2 saudara perempuan atau lebih yang seibu jika tak ada anak atau orang tua a. Ibu jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki atau meninggalkan 2 saudara atau lebih b. Bapak jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki a. Dua anak perempuan atau lebih jika tak ada anak laki-laki b. Dua cucu perempuan dari anak laki-laki jika tak ada anak perempuan c. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih d. Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih
Dari besarnya bagian yang disebutkan diatas disimpulkan bahwa tetap ada ketentuan berlakunya. Contoh suami berhak mendapat bagian ½ dan ¼ . berhak mendapat ½ ketika mayat tidak meninggalkan anak, dan berhak mendapat ¼ ketika mayat meninggalkan anak. Untuk lebih jelasnya bagian-bagian secara individu tersaji dalam table berikut:
25
Tabel 2.3 Bagian-bagian yang ditetapkan secara Individu No 1 2 3
4
5
6
7
8
9
Bagian
Ketentuan bagian yang harus diterima
Suami
a. b. Istri a. b. Anak laki- a. laki b. c. Anak a. perempuan b. c. Cucu a. laki-laki b. c. d. Cucu a. perempuan b. c. d. Bapak a. b.
Ibu
Kakek
c. d. e. f. g. a. b. c. a. b. c. d.
10
Nenek
11
Saudara laki-laki
a. b. a.
½ jika mayat tidak meninggalkan anak ¼ jika mayat meninggalkan anak ¼ jika mayat tidak meninggalkan anak 1/8 jika mayat meninggalkan anak Sendirian menghabiskan harta Bersama saudara laki-laki harta dibagi rata Bila ada waris lain dia mendapatkan sisa harta ½ jika sendirian 2/3 jika saudara perempuannya banyak Ashobah jika bersama saudara laki-laki Jika tak ada waris lain ia menghabiskan harta Jika bersama saudaranya dibagi rata Jika bersama saudara perempuannya dia mendapat bagian 2x bagian saudara perempuannya Jika bersama waris lain dia jadi ashobah ½ jika seorang diri 2/3 jika saudara perempuannya banyak Ashobah bersama cucu laki-laki 1/6 jika bersama-sama anak perempuan 1/6 jika mayat ada anak laki-laki atau cucu laki-laki 1/6 plus sisa jika maya tak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dan hanya ada anak perempuan atau cucu perempuan Ashobah jika tak ada waris lain ashobah 2/3 jika waris hanya ibu dan bapak 2/3 dari sisa jika masalah gharawain Waria terdiri bari ibu dan bapak Waris terdiri dari istri, ibu, dan bapak 1/6 jika mayat meninggalkan anak atau cucu atau saudara 1/3 jika waris hanya ibu dan bapak 1/3 dari sisa jika masalah gharawain 1/6 jika mayat meninggalkan anak cucu laki-laki 1/6 plus sisa jika mayat hanya meninggalkan anak perempuan atau cucu perempuan Semua harta jika sebagai waris tunggal Semua sisa harta setelah dibagikan pada ahli waris dzawil furudh 1/6 baik ada ahli waris lain atau tidak 1/6 dibagi rata bila nenek lebih dari satu orang Menghabiskan semua harta jika tak ada ahli waris lain 26
sekandung
b. Lebih dari seorang dibagi rata c. Jika bersama ahli waris dzawil furudh menjadi ashobah Saudara a. ½ bila hanya sendirian perempuan b. 2/3 jika mereka lebih dari seorang sekandung c. Menjadi ashobah jika bersama saudara laki-laki sekandung d. Ashobah bersama anak perempuan atau cucu perempuan Saudara a. Menghabiskan semua harta jika sendirian laki-laki b. Jika lebih dari seorang dibagi rata sebapak c. Jika ada ahli waris dzawil furudh menjadi ashobah Saudara a. ½ bila hanya sendirian perempuan b. 2/3 bila saudara perempuan lebih dari seorang sebapak c. 1/6 bersama seorang saudara perempuan seibu sebapak Saudara a. 1/6 jika hanya seorang seibu laki- b. 1/3 jika dua orang atau lebih laki perempuan
12
13
14
15
b. Ashobah menurut para fuqoha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan tegas. Pengertian ashobah dikalangan ulama faroidh ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashabul furudh menerima dan
mengambil
bagian
masing-masing (Ash-Shabuni.
2007:60). Pada dasarnya ashobah adalah ahli waris yang begiannya tidak ditentukan, akan tetapi terdapat tingkatan-tingkatan ashobah juga. Yang pertama adalah ashobah nasabiyah, yaitu ashobah karena nasab. Yang kedua
adalah
ashobah
sababiyah
memerdekakannya sebagi budak.
27
yaitu
ashobah
karena
Lebih lanjut tentang ashobah yang pertama (ashobah nasabiyah) adalah sebagi berikut. Ashobah nasabiyah ini dibagi menjadi 3: 1) Ashobah bin nafs yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wania. Ashobah ini mempunyai 4 arah. Pertama, arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya. Kedua, arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya keatas. Ketiga, arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Keempat, arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun seayah, termasuk keturunannya, dan seterusnya (Ash-Shabuni, 2007:63). 2) Ashobah bil ghoirihi ialah setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu (ashabul furudh) yang membutuhkan ahli waris lain untuk menjadi ashobah bersama-sama dengannya dalam suatu pembagian harta peninnggalan (Departemen Agama, 1986:82). Ashobah ini terbatas pada 4 orang saja, yaitu a) anak perempuan bila bersama saudara laki-lakinya, b) cucu perempuan keturunan anak lakilaki bila bersama saudara laki-lakinya atau anak laki-laki pamannya, c) saudara kandung perempuan bila bersama saudara kandung lakilaki, d) saudara perempuan seayah bila bersama saudara laki-lakinya.
28
3) Ashobah ma’al ghoir ialah setiap ahli waris perempuan yang mempunyai bagian tertentu (saudara perempuan sekandung/seayah) yang membutuhkan ahli waris lain (anak permpuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki) untuk menjadi ashobah, tetapi ahli waris yang dibutuhkan itu tidak bersama-sama dengannya menjadi ashobah. c. Dzawil Arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashabul furudh dan tidak pula secara ashobah, misalnya bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara pereempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya (AshShabuni, 1995: 145). 4. Asas-Asas Kewarisan a. Asas ijbari Ijbari: paksaan (Alkalali, 1987:381) Paksa: melakukan sesuatu atas dasar keharusan, mengerjakan sesuatu yang dianggap wajib meskipun tidak mau. Paksaan: hasil perbuatan memaksa (fajri, senja, _: 609) Dari pengertian ini maka maksud asas ijbari dalam hukum waris Islam adalah terjadinya paksaan peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris dengan peralihan yang sudah ditentukan bagiannya dan kepada siapa saja harta itu beralih. Artinya asa ijbari ini mempunyai segi:
29
1) Peralihan harta, dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris. Bahkan si pewaris (semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi terjadinya peralihan harta tersebut (Lubis & Simanjuntak, 2007:39). 2) Jumlah harta yang beralih, merupakan sesuatu diluar kehendak pewaris dan ahli waris. Atas dasar telah terdapat hukum yang mengatur dengan jelas bagian-bagian waris orang Islam baik yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadist, ijma’para ulama, serta hukum tertulis yang berkembang di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka peralihan bagian harta yang sudah ditentukan pun memaksa ahli waris untuk menerima bagian tersebut. 3) Kepada siapa harta itu beralih, seperti halnya poin 2, ahlli waris pun juga sudah ditetapkan dalam hukum waris Islam. Maka mereka yang telah ditunjuk menjadi ahli waris pun tidak dapat menolak atau pun menambahkan daftar ahli waris lain dalam pembagian waris tersebut. b. Asas bilateral Yang dimaksud dengan prinsip bilateral ialah bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yakni pihak kerabat laki-laki dan pihak kerabat perempuan (Budiono, 1999:5).
30
c. Asas individual Artinya waris hanya dapat diterima secara perorangan, baik itu bayi yang baru lahir atau pun masih di dalam kandungan selama akan terbentuk individu baru. Dalam Al-Qur’an juga mengatur tentang pembagian waris yang menyebutkan bagiannya secara per individu. d. Asas keadilan berimbang Maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan (kebalikan dari asas keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat yang menganut sistem garis keturunan patrilinial, yang ahli waris tersebut hanyalah keturunan laki-laki saja/garis kebapakan) (Lubis & Simanjuntak, 2007:39). e. Kewarisan semata akibat kematian Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain, harta seseorang tidak dapat beralih dengan cara pewarisan sekiranya orang yang memiliki harta itu masih hidup. Meskipun orang tersebut mempunyai wewenang untuk mengatur hartanya, hak tersebut hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup. Jika ia telah meninggal dunia maka harta yang dimilikinya itu akan beralih kepada kerabatnya sesuai dengan bagian yang yang ditetapkan. Hukum waris Islam tidak mengenal peralihan barang waris secara ab-intestato & testament,
31
memang dalah syariat Islam dikenal istilah wasiat, tapi ketentuan wasiat ini terpisah sama sekali dengan kewarisan (Manan, 2006:210). 5. Pembagian Waris Islam Pembagian waris dalam Islam sangat unik karena identik dengan bagian-bagian yang berbentuk pecahan serta penentuan penerimaan setiap ahli waris pun berbeda-beda menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan dengan pewaris. Kedudukan kekerabatan sama akan menerima bagian berbeda ketika ada ahli waris lain, bahkan tidak menerima bagian ketika terhalang oleh ahli waris lain yang lebih dekat. Dalam praktek pembagian dengan ahli waris dan bagian masingmasing seperti data yang tersaji pada table di atas masih terdapat permasalah pembagian harta waris, yaitu masalah aull dan radd. Aull adalah Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris. Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada meski bagian mereka menjadi berkurang. Adapun ar-radd
menurut
istilah
ulama
ilmu
faraid
ialah
berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh.Terhadap sisa harta ketika terjadi radd yang berhak menerima sisa harta tersebut secara urutannya adalah sebagai berikut:
32
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini: 1. adanya ashhabul furudh 2. tidak adanya 'ashabah 3. ada sisa harta waris. Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi. Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang: 1. anak perempuan 2. cucu perempuan keturunan anak laki-laki 3. saudara kandung perempuan 4. saudara perempuan seayah 5. ibu kandung 6. nenek sahih (ibu dari bapak) 7. saudara perempuan seibu 8. saudara laki-laki seibu
33
B. Konsep keadilan faroidh dalam Hukum Positif 1. Perkembangan Hukum Waris Islam di Indonesia Masuknya Islam di Indonesia sejak abad ke 7 Masehi dari tahun ketahun mulai berkembang dan dapat diterima baik oleh masyarakat Indonesia. Hal ini karena islam tidak memandang status sosial seseorang, melainkan karena ketaqwaannya. Terlebih lagi dalam kehidupan sehari-hari Islam memberikan ajaran hukum yang jelas baik dari hukum pidana ataupun perdata. Dalam keperdataan, Islam mengajarkan wakaf sebagai salah satu upaya pemberdayaan kemaslahatan umat. Dalam perkawinan, Islam mengajarkan pernikahan yang sehat dan sangat menjungjung perempuan. Dalam perkara waris, Islam mengajarkan sistem kewarisan bilateral yang sudah memberikan ketetapan pasti terhadap bagian-bagian ahli waris. Hukum masyarakat mulai berkembang dengan kesadaran penerapan hukum Islam. Pada masa kerajaan mulai berkembang pengadilan tahkim bagi orang Islam yang bersengketa. Tahkim lahir dan tumbuh bukan atas dekrit penguasa. Namun demikian sekalipun tahkim merupakan wadah informal, putusan yang dijatuhkannya, diikuti masyarakat sebagai sesuatu yang formal. Buktinya, setiap kali timbul sengketa di tengah-tengah kehidupan masyarakat, selalu mencari penyelesaian dan “tahkim” seorang ulama atau kyai (Harahap, 2003:21). Terhadap penyelesaian perkara, hukum yang digunakan adalah kitabkitab fiqh. Hukum Islam telah diangkat menjadi hukum formal dan hukum materiil dalam perkara perkawinan, hibah wakaf, dan warisan. Walaupun
34
pada masa kesultanan telah berdiri secara foramal Peradilan Agama serta status ulama memefgang peranan sebagai penasehat dan hakim, belum pernah disusun suatu buku hhukum positif yang sistematik. Hukum yang diterapkan masih tetap abstraksi yang ditarik dari kandungan doktrin fikih (Harahap, 2003:22). Perkembangan selanjutnya ketika masa pendudukan VOC di Indonesia. VOC memerankan dalam bidang perdagangan dan pemerintahan, juga menentukan kebijakan dalam hukum dan peradilan. Kebijakan yang dihasilkan
tidak
berjalan
baik
di
masyarakat
karena
masyarakat
menganggap hal itu tidak selaras dengan ajaran agama islam. Kemudian pada tahun 1642 VOC mengeluarkan Statuta Batavia. Salah satu isinya adalah “mengenai soal hukum kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam, harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari” (Harahap, 2003:22), dan pada tahun 1760 VOC mulai menggunakan kitab hukum yang disebut dengan Compendium Freijer sebagai rujukan hukum oleh pengadilan dalam masyarakat Islam di daerah yang dikuasai VOC. Hal ini tidak berlangsung lama, pada tahun 1800 VOC menyerahkan kekuasaan pada Hindia Belanda, dan compendium tidak berlaku lagi. Pada tahun 1808 dikeluarkan Intstruksi Pemerintah Hindia Belanda kepada para bupati, yang isinya bahwa terhadap urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan, pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan,
35
dengan syarat tidak ada penyalahgunaan (Muhibbin&Wahid. 2009:163). Kemudian terhadap putusan pemuka agama tersebut harus diperoleh persetujuan dari pengadilan umum. Inilah masa berkembangnya teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. van Den Berg, yaitu hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jadi bagi orang yang beragama Islam berlaku hukum Islam pula. Teori ini memperoleh landasan hukum melalui Staatsblad 1855 No.2 Sejalan dengan politik Hindia Belanda teori receptio in complexu ini memperoleh perlawanan yang dikemukakan oleh van Vollenhoven dan Snouck Hurgrounje melalui teori receptie, sebenarnya hukum yang berlaku di Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Ke dalam hukum adat bisa masuk elemen hukum Isalm. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan berlaku kalau sudah masuk kedalam dan diterima menjadi hukum adat (diresepsi) (Muhibbin&Wahid. 2009:165). Dengan adanya teori ini kewenangan Pengadilan Agama dirubah dalam Staatsblad 1937 No. 116 yang berusaha menyingkirkan peran hukum Islam. Dalam Staatsblad itu memuat rekomendasi: - Hukum warisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat - Mencabut wewenang pengadilan agama (Raad Agama) untuk mengadili masalah warisan, dan wewenang itu dialihkan kepada Landraad - Pengadilan agama ditempatkan di bawah pengawasan Landraad - Putusan pengadilan agama tidak dapat dilaksanakan tanpa executoir verklaaring dari ketua Landraad (Harahap, 2003:23).
36
Dan kewenangan pengadilan agama dibatasi pada perselisihan antara suami istri yang beragama Islam, perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan hakim agama Islam, member keputusan perceraian, menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya takilik talak sudah ada, perkara mahar, dan perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan oleh suami (Muhibbin&Wahid. 2009: 44). Sehingga masalah waris, wakaf, hadhonah menjadi kompetensi Pengadilan Umum. Tetapi dalam pelaksanaan Staatsblad 1937 No. 116 pengadilan umum masih meminta fatwa kepada hakim pengadilan agama dalam pembagian waris, kemudian barulah hakim pengadilan umum mengeluarkan putusan. Hal ini berjalan hingga Indonesia mempunyai undang-undang tentang peradilan agama, yaitu UU No. 7 Tahun 1989. Dengan adanya undangundang ini kedudukan peradilan agama dalam sistem peradilan semakin kuat dan mandiri dalam kewenangan mengadilinya. Hukum Islam mulai mendapatkan tempat kembali. 2. Pengertian Waris Menurut UU No 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Sebelum UU No 3 Tahun 2006, waris telah menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam UU No 7 Tahun 1989 pasal 49 disebutkan “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
37
beragama islam dibidang (a) perkawinan, (b) kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasar hukum Islam, (c) wakaf dan shodaqoh”. Kemudian dalam penjelasan pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 mendefinisikan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan
bagian
masing-masing
ahli
waris,
dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. KHI pasal 171 Aturan-aturan lain mengenai waris terdapat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 buku II Kompilasi Hukum Islam tentang hukum kewarisan. KHI mendefinisikan Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta: a. peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan
putusan
Pengadilan
beragama
Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
38
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Letak perbedaan antara waris menurut hukum positif dan faroidh adalah jika dalam faroidh tidak dikenal waris terhadap harta bersama, lain halnya dengan hukum positif di Indonesia. Dalam pasal 96 KHI me/nyebutkan apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersam menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. 3. Pengadilan Agama Sebagai Lembaga Pelaksana Hukum Positif a. Pembagian waris menurut KHI Pada perkara waris di Pengadilan Agama, jangkauan kewenangan mengadili perkara warisan meliputi seluruh bidang hukum waris Islam. Bidang kewarisan yang dimaksud meliputi penentuan siapa-siapa yang memnjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut.
Dalam
bukunya,
Harahap
(2003:149)
menerangkan secara ringkas tentang kewenangan tersebut. Yaitu: 1) Terhadap siapa-siapa yang menjadi ahli waris, yang perlu diperhatikan adalah: a) Penentuan kelompok ahli waris Pasal 174 KHI menyebutkan kelompok ahli waris menurut hubungan darah terdiri dari golongan laki-laki dan perempuan.
39
Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara lakilaki, paman, dan kakek..golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek.kelompok ahli waris menurut hubungna parkawinan meliputi duda atau janda. b) Penentuan siapa yang berhak mewarisi c) Penentuan yang terhalang menjadi ahli waris Diatur dalam pasal 173 KHI yang berbunyi “seorang terhalang menjadi ahli warisapabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetapdihukum karena: (a) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat
para pewaris,
(b)
dipersalahkan
secara
memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. d) Menentukan hak dan kewajiban ahli waris, terutama kewajiban yang berkenaan dengan mengurus pemakaman, menyelesaikan utang piutang si pewaris, menyelesaikan wasiat si pewaris, melakukan pembagian harta warisan (harta peninggalan) diantara para ahli waris yang berhak. 2) Penentuan mengenai harta peninggalan Hal-hal yang termasuk ke dalam
masalah penentuan harta
peninggalan meliputi segi-segi: a) Penentuan harta tirkah yang dapat diwarisi:
40
i. Semua harta yang ditinggal pewaris ii. Berupa hak milik kebendaan iii. Atau hak milik lain yang tidak betupa benda b) Penentuan besarnya harta warisan ialah penjumlahan dari harta tirkah ditambah dengan apa yang menjadi haknyadari harta bersama dikurangi biaya keperluan jenazah dan hutang pewaris dan wasiat. 3) Terhadap penentuan bagian masing-masing ahli waris Aturan yang dipakai dalam pembagian waris di lingkungan peradilan agama mengacu pada bagian-bagian waris yang ditetapkan dalam KHI. Porsi masing-masing ahli waris dalam KHI adalah sebagai berikut: a) Anak perempuan - Bila sendiri mendapat ½ bagian - Bila dua orang atau lebih mendapat 2/3 bagian - Bersama saudara laki-lakinya, bagiannya adalah 2:1 b) Ayah - Mendapat 1/3 jika pewaris tidak menginggalkan anak - Mendapat 1/6 jika pewaris meninggalkan anak c) Ibu - Mendapat 1/6 bila pewaris meninggalkan anak atau dua saudara atau lebih - 1/3 dari sisa setelah di ambil janda/duda bila bersama-sama ayah
41
d) Janda - Mendapat 1/4 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak - Bila ada anak mendapat 1/8 bagian e) Duda - Mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak - Bila ada anak mendapat ¼ bagian f) Saudara laki-laki - Mendapat 1/6 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah - Bila dua orang atau lebih, bersama-sama mendapat 1/3 bagian g) Saudara perempuan seibu - 1/6 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah - Dua orang atau lebih, bersama-sama mendapat 1/3 bagian 4) Melaksanakan pembagian harta peninggalan Dalam masalah pelaksanaan pembagian waris, pembagian dapat dilakukan
berdasarkan
putusan
pengadilan
dan
pembagian
berdasarkan permohonan pertolongan. Peran pengadilan dalam pelaksanaan pembagian warisan yaitu: a) Pembagian berdasarkan putusan pengadilan Termasuk fungsi kewenagan Pengadilan Agama dalam menjalankan tugas eksekusi. Eksekusi dapat dilakukan dengan syarat:
42
i. Putusan yang bersangkutan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap ii. Putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut mengandung amar atau diktum yang bersifat condemnatoir. b) Pembagian berdasarkan permohonan pertolongan Dasar
hukum
pembagian
berdasarkan
permohonan
pertolongan adalah hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan agama adalah hukum acara yang berlaku pada peradilan umum. Ketika peradilan umum menggunakan HIR dan RBG, maka peradilan agama pun juga berlaku hukum acara yang sama, yaitu kewenanga Pengadilan Agama melakukan pembagian harta warisan berdasar pasal 236 a HIR dengan syarat dan tata cara: i. Harta warisan yang hendak dibagi di luar sengketa di pengadilan ii. Ada pemohon minta tolong dilakukan pembagian dari seluruh ahli waris Jika pemohon hanya terdiri dari sebagian ahli waris saja, pengadilan tidak bias menggunakan pasal 236 a HIR. b. Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Perkara Waris 1) Kompetensi pengadilan agama Dalam lingkungan peradilan, pada masing-masing lingkungan terdapat kompetensi untuk membedakan kekuasaan mengadilinya. Kompetensi itu terdiri dari kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
43
a) Kompetensi relatif. Diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan (Djalil, 2006:138). Wewenang reltif berguna agar seseorang tidak salah tempat (wilayah) dalam mengajukan perkara. b) Kompetensi absolut Yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya (Djalil, 2006:138). Sesuai aturan UU No.3 Tahun 2006, pasal 49 menerangkan kewenangan pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara dibidang perkawin, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah. Kegunaan dari wewenang absolut adalah agar seseorang tidak salah dalam mengajukan perkara. 2) Asas-asas peradilan agama a) Asas personalita keislaman Merupakan asas pertama yang wajib dalam lingkungan peradilan agama. Karena dalam penerapan asas ini kedua belah pihak harus beragama Islam. Jika salah satu pihak tidak beragama Islam, sengketa tidak dapat ditundukkan kepada lingkungan peradilan
44
agama, dan menjadi wewenang pengadilan umum. Begitu pula dengan hubungan hukumnya juga harus mengunakan hukum Islam. b) Asas kebebasan Dasar hukum asas kebebasan tertuang dalam UU No. 14 Tahun 1970 pasal 1. Dijelaskan bahwa “kekuasaaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Yahya Harahap (2003) memberikan pengertian dari pasal tersebut bahwa: - kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah “alat kekuasaan negara” yang lazim disebut kekuasaan “yudikatif”. - Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan fungsi peradilan bertujuan agar hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dapat ditegakkan dan agar penyelenggaraan kehidupan bernegara benar-benar berdasarkan hukum, Karen Indonesia adalah negara hukum. Juga dapat diartikan tujuan utama kemerdekaan yang diberikan kepada badan peradilan agar para pejabat fungsional (para hakim) yang memeriksa dan memutus perkara benar-benar
45
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum dan kebenaran sesuai dengan hati nurani. c) Asas wajib mendamaikan Hakim berkewajiban mendamaikan para pihak yang bersengketa karena dalam perdamaian itu tidak ada pihak yang menang dan pihak yang kalah karena perdamaian itu berdasarkan keikhlasan hati para pihak. Ajaran ini mengacu pada ajaran Islam yang menyuruh menyelesaikan perselisihan dengan islah. Kemudian hakim dalam menjalankan profesinya, usaha untuk mendamaikan sebatas dalam memberikan anjuran, nasihat, penjelasan, dan memberikan bantuan dalam perumusan sepanjang hal itu diminta kedua belah pihak. d) Asas sederhana, cepat, biaya ringan Makna dan tujuan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, bukan hanya menitik beratkan unsur kecepatan dan biaya ringan serta pemeriksaan perkara yang sederhana dalam arti asalasalan. Asas ini dipergunakan untuk menerapkan keseimbangan antara fungsi proses pemeriksaan yang cepat tetapi hukum yang diterapkan tidak pas, dan keseimbangan antara kegunaan penerapan hukum yang pas tetapi dengan waktu yang tidak dapat dipastikan putusan tersebut.
46
e) Asas persidangan terbuka untuk umum Maksud
dari
persidangan
terbuka
untuk
umum
adalah
memperkenankan setiap pengunjung untuk menghadiri dan mengikuti jalannya pemeriksaan, tidak membatasi dan tidak melarang siapa saja tanpa kecuali sesuai dengan batas-batas kemampuan ruang sidang. Karena persidangan terbuka untuk umum, maka tujuan dari asas ini adalah agar tidak ada pemeriksaan gelap dan bisik-bisik. Sisi lain kegunaan persidangan terbuka untuk umum sebagai edukasi yang dapat menjadi bahan informasi bagi anggota masyarakat tentang suatu kasus. Dalam pelaksanaannya tidak semua persidangan terbuka untuk umum. Persidangan terbuka untuk umum dikecualikan pada perkara perceraian dan perkara khusus yang diatur oleh undangundang. Namun pembacaan putusan pun harus dalam siding yang terbuka untuk umum. Jika dalam persidangan atau pembacaan putusan tidak dilakukan dalam siding terbuka untuk umum, maka mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusan batal demi hukum. f) Asas legalitas dan persamaan Asas legalitas dan persamaan adalah asas penting dalam terciptanya
keadilan,
karena
keadilan
akan
tercapai
jika
dilaksanakan menurut hukum yang berlaku. Dan hukum akan berlaku maksimal jika penerapannya tidak tercampuri oleh
47
kepentingan sepihak, maka dari itu fungsi asas persamaan (equality) adalah menyamakan setiap orang yang ada dalam persidangan mempunyai hak dan kedudukan yang sama. Patokan dalam penerapan asas equality adalah: 1) Persamaan hak dan derajat
dalam proses pemeriksaan
persidangan pengadilan atau equal before the law 2) Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection on the law 3) Mendapat perlakuan yang sama dibawah hukum atau equal justice under the law (harahap, 2003:86). g) Asas aktif memberi bantuan Asas ini berlaku dengan syarat sifat hukumnya antara imperative dn anjuran, pemberianbantuan terbatas padamebantu membuat gugatan bagi yang buta huruf, member pengarahan tatacara izin “prodeo”, menyarankan penyempurnaan surat kuasa, menganjurkan perbaikan surat gugatan, member penjelasan alat bukti yang sah, memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban, bantuan memanggil saksi secara resmi, member bantuan upaya hukum, memberi penjelasan tatacara verzet dan rekonvensi, serta mengarahkan dan membantu memformulasi perdamaian
48
c. Dasar Pembagian Waris menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 174 1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah: 1) golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. 2) Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek. b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda. 2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda. Pasal 96 1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. 2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama
49
BAB III PAPARAN DATA
C. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa 1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa
Sejak hampir 5 abad yang lalu dimasa Pajang Mataram, Kabupaten Semarang telah ada dan waktu itu yang menjadi ibukota adalah Semarang. Pada jaman itu “Gemente ( Kotapraja )” Semarang belum terbentuk.
Sebagai Bupati Semarang yang pertama adalah Ki Pandan Arang II atau dikenal sebagai Raden Kaji Kasepuhan yang dinobatkan pada tanggal 2 Mei 1547 dan berkuasa hingga tahun 1574 serta mendapat pengesahan Sultan Hadiwijaya. Pada masa itu beliau berhasil membuat bangunan yang dipergunakan sebagai pusat kegiatan Pemerintah Kabupaten. Ringkasnya sampailah pada tahun 1906 yaitu pada jaman Pemerintahan Bupati R.M. Soebijono, lahirlah “Gemente ( Kotapraja)” Semarang, sesuai Staatblaad tahun 1906 S.O 120. Pemerintah Kabupaten Semarang dipimpin oleh seorang Bupati dan Pemerintah Kotapraja untuk wilayah Semarang dipimpin oleh seorang Burgenmester. Semenjak itulah terjadi pemisahan antara Kabupaten Semarang dengan Kotapraja Semarang hingga saat ini.
Berdasarkan
Undang-undang
No:
13
tahun
1950
Tentang
Pembentukan Kabupaten–kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Tengah, Kota Semarang ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Semarang,
50
namun kota Semarang adalah Kotamadya yang memiliki Pemerintahan sendiri.
Pada saat berdirinya Kabupaten Semarang Pengadilan Agama untuk wilayah hukum Kabupaten Semarang belum terbentuk, oleh karenanya para pencari keadilan di wilayah Kabupaten Semarang yang akan mengajukan perkara harus ke Pengadilan Agama Salatiga, karena wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang.
Ditinjau dari segi Pemerintahan, Kota Semarang sebagai ibukota Kabupaten sangatlah kurang menguntungkan, maka timbulah gagasan untuk memindahkan ibukota Kabupaten Semarang ke Kota Ungaran yang pada saat itu masih dalam status Kawedanan.
Sementara dilakukan pembenahan, pada tanggal 30 juli 1979 oleh Bupati Kepala Daerah Tk. II Semarang diusulkanlah ke Pemerintah Pusat melalui Gubernur agar Kota Ungaran secara definitif ditetapkan sebagai Ibukota Pemerintah Kabupaten Dati II Semarang. Sementara itu telah terbentuk Pengadilan Negeri yang terletak di Ambarawa sehingga disebut Pengadilan Negeri Ambarawa. Dalam perjalanannya kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor : 96 tahun 1982 maka dibentuklah Pengadilan Agama Kabupaten Semarang dengan sebutan Pengadilan Agama Ambarawa karena menyesuaikan dengan penyebutan Pengadilan Negeri. Namun Pengadilan Agama berkedudukan di Kota Ungaran. Selanjutnya
51
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1983 Tentang Penetapan Status Kota Ungaran sebagai Ibukota Pemerintah Kabupaten Dati II Semarang, yang berlaku peresmiannya tanggal 20 Desember 1983 pada saat Pemerintahan Bupati Ir.Soesmono Martosiswojo ( 1979-1985 ), maka Kota Ungaran secara definitif sebagai Ibukota Kabupaten Semarang.
Oleh karena Ibukota Semarang telah dipusatkan di Ungaran, maka berangsur-angsur semua instansi pindah ke Kota Ungaran, termasuk Pengadilan Negeri Ambarawa, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : 14.03.AT.01.01 Tentang Pemindahan Pengadilan Negeri Ambarawa ke Kota Ungaran dengan sebutan Pengadilan Negeri Ungaran dengan wilayah hukum sebagaimana wilayah Kabupaten Semarang. Namun tidak demikian halnya dengan Pengadilan Agama Ambarawa.
Pengadilan
Agama tetap bernama Pengadilan
Agama
Ambarawa meskipun berada di Kota Ungaran, dan wilayah hukumnya tidak sebagaimana Pengadilan Negeri, yaitu sesuai dengan SK Menteri Agama Nomor 76 Tahun 1983 Tentang Penetapan dan Perubahan wilayah hukum Pengadilan, bahwa Pengadilan Agama Ambarawa adalah meliputi sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Semarang, yang terdiri dari 7 (tujuh) Kecamatan dan sampai sekarang telah mengalami pengembangan menjadi 10 Kecamatan, yaitu: Kecamatan Ungaran Barat, Kecamatan Ungaran Timur, Kecamatan Bergas, Kecamatan Pringapus, Kecamatan Bawen, Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Sumowono, Kecamatan Banyubiru, Kecamatan Jambu, dan Kecamatan Bandungan.
52
Pengadilan Agama Ambarawa pada awal berdirinya menempati sebuah gedung yang terletak di Jl. Ki Sarino Mangunpranoto No. 2 Ungaran, dengan luas tanah 1.009 m2 dan luas bangunan 250 m2 dengan status Hak Milik Negara (Departemen Agama). Dalam perkembangannya Pengadilan Agama Ambarawa di Ungaran kemudian dipindah ke Ambarawa, sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 46/BUA-PL/SKEP/XII/2006, tanggal 13 Desember 2006 Tentang Pengalihan Fungsi Penggunaan Bangunan Kantor Lama Pengadilan Negeri Ungaran di Ambarawa menjadi Kantor Pengadilan Agama Ambarawa yang terletak di JL. Mgr. Soegiyopranoto No. 105 Kelurahan Ngampin, Kecamatan Ambarawa dengan batas-batas sebagai berikut :sebelah utara : lapangan; sebelah timur : jalan ke lapangan; sebelah selatan : Jalan raya SemarangMagelang; dan sebelah barat : kebun milik perorangan.
Sejak berdirinya Pengadilan Agama Ambarawa sudah melalui beberapa pereode kepimpinan, sebagai berikut :
1. Drs. H. Ahmad Ahrory, SH ( Tahun 1983 - 1987 )
2. Drs. H. Ali Muchson, SH ( Tahun 1987 - 1988 )
3. Drs. H. Mafruchin Ismail, SH ( Tahun 1988 - 1997 )
4. Drs. H. Zubaidi, SH ( Tahun 1997 - 2000 )
53
5. Drs. H. Sutjipto, SH ( Tahun 2000 - 2003 )
6. Drs. H. Slamet Djufi, SH ( Tahun 2003 - 2004 )
7. Drs. H. Noorsalim, SH, MH ( Tahun 2004 - 2007 )
8. Dra. Hj. Rokhanah, SH, MH ( Tahun 2007 - 2011 )
9. Drs. Masthur Huda, SH. MH. ( Tahun 2011 - sekarang ) (http://www.paambarawa.go.id/ diakses hari senin, 26 Nopember 2012)
D. Gambaran Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. 1. Gambaran Umum Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Perkara dengan Nomor Putusan 632/Pdt.G/2007/PA.Amb adalah salah satu perkara waris yang ditangani oleh Pengadilan Agama Ambarawa. Perkara tersebut adalah gugatan dari M binti M (istri dari S) sebagai penggugat.
Dengan tergugat M binti S sebagai tergugat I, SK binti S
sebagai tergugat II, dan K bin K sebagai tergugat III. Dengan objek sengketa waris adalah tanah seluas 10.066 M2 dengan sertifikat HM Nomor 927 Tahun 1992 yang dulu tercatat dalam C Desa No. 689 Persil No. 42 b atas nama S. Tanah tersebut sekarang dengan atas nama M binti S (tergugat I) dan SK binti S (tergugat II) yang dijadikan tempat tinggal tergugat I dan usaha selepan padi oleh tergugat III. Sertifikat atas tanah tersebut dikuasai oleh tergugat I. Tanah tersebut dibeli oleh semasa perkawinannya dengan penggugat, dan dinyatakan sebagai harta bersama.
54
S sebagai suami penggugat telah dinyatakan meninggal pada tanggal 25 Juli 1973 karena sakit yang tercatat dalam Duplikat Surat Kematian No. 474.3/69/IX/2007. Dalam perkawinannya mempunyai 2 orang anak perempuan M binti S (tergugat I) dan
SK binti S (tergugat II). Dan
pengugat serta tergugat I dan II adalah ahliwaris dari S berdasar Surat Keterangan Ahli Waris Nomor: 600/698 tertanggal 13 September 2007 yang dikeluarkan oleh Kantor Kelurahan Tambakboyo. 2. Gambaran Perkara oleh Pihak Tergugat Dari pihak tergugat I memberikan pengertian bahwa tanah sengketa tersebut adalah hak miliknya karena penggugat telah mensertifikatkan tanah tersebut atas nama tergugat I dan tergugat II semasa masih remaja atas kemauannya sendiri tanpa paksaan dan mengartikan tanah tersebut bukan lagi harta yang berhak untuk diwarisi oleh penggugat. Dalam rekonpensinya juga menyatakan bahwa pernyataan akan pelepasan hak waris yang telah teragendakan di Kantor Kelurahan Tambakboyo tertanggal 29 Agustus 1991 Nomor 594/67/1991 untuk membuat sertifikat HM Nomor 927 Tahun 1992 dinyatakan sah. Tergugat I dapat membuktikan Sertifikat Hak Milik tersebut dengan foto copy Sertifikat Hak Milik No. 927/tahun 1992 atas nama SK dan M seluas 10.066 M2 bermaterai cukup, tetapi tidak dapat dicocokkan dengan aslinya karena oleh tergugat I sertifikat tanah tersebut dijadikan agunan pinjaman lunak di PT. ASABRI. Dengan diperkuat bukti surat keterangan dari PT. ASABRI (Persero) cab. Semarang tanggal 13 Mei 2008 yang
55
menerangkan bahwa sertifikat HM Nomor 927 Tahun 1992 atas nama SK dan M betul-betul sebagai agunan pinjaman lunak. Dari pihak tergugat II dan III mengakui bahwa tanah sengketa tersebut merupakan harta warisan dari S (harta bersama perkawinannya dengan penggugat) yang belum dibagi. Dengan dikuatkan oleh bukti saksi dari Badan Pertanaham Nasional Kabupaten Semarang yang bernama PP memberikan keteranganbahwa pada umumnya pembuatan sertifikat harus ada Surat Keterangan Waris, KTP, SPPT, dan Surat Penguasaan dari pihak yang diketahui oleh Kepela Desa. Bahwa setelah dicari dokumen-dokumen di kantor, warkah yang berhubungan dengan pengurusan sertifikat HM Nomor 927 tidak ada, jadi tidak ditemukan Surat Keterangan Ahli Waris, surat pelepasan hak dari penggugat maupun surat-surat lain. Ketika tidak ada surat pelepasan hak dari penggugat dalam pembuatan sertifikat tersebut, maka tanah tersebut masih merupakan harta bersama yang belum dibagi waris. Tergugat II dan III juga membenarkan bahwa tergugat II adalah ahli waris dari S dan meminta hakim untuk membagi warisan berdasar porsinya masing-masing dengan objek sengketa tanah sertifikat HM Nomor 927 Tahun 1992. Data tersebut juga penulis peroleh dari wawancara dengan tergugat II yang membenarkan uraian seluruh gambaran perkara nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. Dan tersebut
menerangkan
bahwa
setelah perkara tersebut
ibu
diputuskan,
pembagian harta telah dilakukan sambil menunggu selesainya pengurusan sertifikat. wawancara penulis lakukan pada tanggal 17 Juni 2012.
56
3. Gambaran Perkara oleh Pihak Penggugat Penggugat sebagai istri almarhum merasa berhak atas tanah tersebut karena tanah itu adalah salah satu harta bersama dari perkawinannya dengan almarhum yang sekarang menjadi objek harta waris. Penggugat merasa tanah tersebut belum dibagi waris meskipun telah diganti dengan atas nama SK dan M yang dibenarkan oleh tergugat II
dan III. Jadi penggugat
berharap tanah tersebut dinyatakan sebagai harta bersama (sebagai harta gono-gini) dan dibagi sesuai bagian masing-masing ahli waris yaitu penggugat, tergugat I, dan tergugat II. E. Dasar
Pertimbangan
Hakim
dalam
Putusan
Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb Dalam amar putusan Pengadilan Agama Ambarawa menetapkan penggugat sebagai istri dari almarhum berhak memperoleh seperdua harta bersama (1/2 x 10.066m2=5033m2) dan almarhum berhak memperoleh seperdua dari harta bersama (1/2 x 10.066m2=5033m2) yang merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada semua ahli waris yang berhak. Penggugat sebagai janda mendapat 1/8 bagian atau 6/48 x 5033 m2=629,13 m2. Tergugat I sebagai anak kandung mendapat 21/48 x 5033 m2 = 2201,93 m2. Tergugat II sebagai anak kandung mendapat 21/48 x 5033 m2 = 2201,93 m2. Dalam hal ini pengadilan menetapkan istri dan dua anak perempuannya sebagai ahli waris berdasarkan surat keterangan ahli waris yang dikeluarkan oleh kelurahan.
57
Dari wawancara yang dilakukan penulis pada tanggal 22 Nopember 2012 kepada Bapak Drs. Syamsuri selaku hakim di Pengadilan Agama Ambarawa memberikan penjelasan bahwa penetapan ahli waris berdasar pada Pasal 174 menyebutkan kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah: - golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. - Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek. b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda. Dari pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa penggugat sebagi istri adalah ahli waris, tergugat I dan II berdasar keterangan para saksi dan surat keterangan ahli waris adalah ahli waris yang tidak terhalang menjadi ahli waris yang merupakan anak perempuan kandung dari pewaris. Pasal 174 KHI tersebut menegaskan bahwa kedudukan anak laki-laki dan perempuan dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh, jika terdapat saudara dari almarhum, maka saudara tersebut terhalang oleh adanya anak (baik laki-laki atau perempuan). Lebih lanjut mengenai dasar pertimbangan hakim terhadap putusan perkara nomor: 632/Pdt.G/2007/PA.Amb adalah sebagai berikut: 1. Dalam Konpensi:
58
a. Menimbang, bahwa Tergugat I telah memberikan jawaban yang pada pokoknya; - Tergugat I keberatan terhadap gugatan Penggugat karena tidak ada lampiran surat kuasa dan meragukan keberadaan kuasa Penggugat - Tergugat menyatakan bahwa gugatan Penggugat kurang pihak - Tergugat mengakui sebagian dan membantah selebihnya, sedang Tergugat II dan III membenarkan gugatan Penggugat dan tidak keberatan apabila Penggugat
diperhitungkan bagiannya, karena
Penggugat sebagai ibu kandung para Tergugat. b. Menimbang, bahwa bukti-bukti surat yang diajukan telah bermaterai cukup dan akan dipertimbangkan dibawah ini c. Menimbang, bahwa saksi-saksi yang diajukan telah member keterangan dibawah sumpah dan akan dipertimbangkan di bawah ini d. Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan tentang harta yang disengketakan
Majlis
terlebih
dahulu
akan
mempertimbangkan
keberatan-keberatan Tergugat di luar pokok perkara e. Menimbang, bahwa tentang surat kuasa sebagaimana keberatan Tergugat I, adalah merupakan syarat yang harus dilampirkan dalam gugatan yang diajukan kepada Majlis Hakim bukan dilampirkan dalam salinan gugatan yang diberikan kepada Tergugat. Surat kuasa maupun copy kartu tanda anggota Peradi dari kuasa penggugat telah diajukan/dilampirkan dalam pengajuan gugatan pengguagat, dan surat tersebut telah diperiksa oleh Majlis ternyata sah, oleh karenanya kuasa tersebut secara sah telah
59
menjadi kuasa hukum penggugat; sehingga karenanya keberatan Tergugat tersebut tidak dapat dipertimbangkan f. Menimbang, bahwa keberatan tergugat tentang kurangnya pihak dalam gugatan penggugat, berdasarkan jawaban tergugat dan keterangan saksisaksi, maka telah terbukti pada tahun 1942 penggugat telah menikah dengan K bin AJ dan telah dikaruniai 5 orang anak: -
S, umur 57 tahun
-
K, umur 55 tahun
-
J, umur 50 tahun
-
M.R, umur 47 tahun
-
P, umur 45 tahun
Dan pada tahun 1962 K telah meninggal dunia karena sakit g. Menimbang, bahwa sesuai jawaban tergugat yang dikuatkan dengan bukti P1 dan keterangan saksi-saksi, maka telah terbukti bahwa pada tanggal 2 Pebruari 1965 penggugat telah menikah secara sah S bin MK dan telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu M dan SK dan satu orang anak laki-laki tetapi telah meninggal dunia ketika umur 13 tahun serta selama perkawinan penggugat dengan S bin MK belum pernah bercerai h. Menimbang, bahwa sesuai jawaban tergugat yang dikuatkan dengan bukti P2 dan keterangan para saksi, maka telah terbukti S bin MK telah meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1973 i. Menimbang, bahwa oleh karena itu sesuai pertimbangan tersebut diatas, maka Majlis berpendapat bahwa pihak dalam perkara ini telah cukup,
60
bahkan tergugat III sebagai pihak meskipun tergugat III sebagai anak bawaan penggugat, tetapi tergugat III menempati tanah tersebut untuk pengelolaan penggilingan padi, oleh itu keberatan tergugat tersebut tidak berdasarkan atas hukum, maka tidak dapat diterima j. Menimbang, bahwa dari apa yang diuraikan oleh penggugat maupun para tergugat dapat disimpulkan bahwa harta yang menjadi sengketa adalah sebidang tanah yang dulu tercatat dalam C Desa No. 689 Persil No. 42 b atas nama S, sekarang tanah tersebut telah bersertifikat HM No 927 tahun 1992 atas nama M dan SK yang menurut penggugat harta tersebut belum dibagi waris, sehingga penggugat masih mempunyai hak terhadap harta tersebut, sedang harta selainnya tidak dipermasalahkan k. Menimbang, bahwa gugatan pokok dalam perkara ini adalah pembagian harta waris karena adanya seseorang yang telah meninggal dunia (S bin MK) suami penggugat dan ayah dari para tergugat, namun dalam perkara ini juga melekat perkara harta bersama/gono gini karena status penggugat sebagi istri dari almarhum S bin MK, oleh karena itu Majlis harus mempertimbangkannya sekaligus l. Menimbang, bahwa berdasarkan jawaban para tergugat dan bukti P4, P5, P6, dan T.I.1 serta keterangan saksi-saksi (G dan SD), maka telah terungkap bahwa tanah yang menjadi objek sengketa tersebut diperoleh sekitar tahun 1970-1972 yang dibeli dari HM, atau diperoleh dalam masa perkawinan penggugat dengan S bin MK.
61
m. Menimbang, bahwa tergugat I dalam jawabannya telah membantah apabila harta peninggalan almalhum belum dibagi, dengan menyatakan bahwa harta almarhum telah dibagikan kepada para ahli waris termasuk objek sengketa telah diberikan kepada tergugat I dan tergugat II, akan tetapi tergugat I juga tidak dapat menunjukkan bagian masing-masing ahli waris, sedang jawaban tergugat II
secara tersirat telah ternyata
bahwa objek sengketa dimaksud belum dibagi n. Menimbang, bahwa oleh karena itu harus dinyatakan bahwa harta yang menjadi objek sengketa yaitu sebidang tanah yang dulu tercatat dalam C Desa No. 689 Persil No. 42 b atas nama S, sekarang tanah tersebut telah bersertifikat HM No 927 tahun 1992 atas nama M dan SK merupahan harta bersama perkawinan penggugat dengan S bin MK o. Menimbang, bahwa meskipun sertifikat HM No 927 telah diatasnamakan tergugat I dan tergugat II selaku anak kandung penggugat, namun peralihan hak dari S kepada kedua anaknya tersebut tidak berdasarkan atas hak yang benar, di mana dalam sertifikat diterangkan dasar peralihan hak adalah keterangan ahli waris, sedangkan bukti P3 (Surat Keterangan Ahli Waris) disebutkan bahwa ahli waris almarhum S adalah M sebagai istri, M dan SK masing-masing sebagai anak kandung. Apabila dasarnya Surat Keterangan Ahli Waris tentunya penggugat juga termasuk di dalamnya. Selain hal tersebut tergugat I menyatakan bahwa penggugat telah melepaskan hak waris terhadap harta dimaksud, namun menurut keterangan dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Semarang
62
penerbitan sertifikat tersebut hanya berdasarkan Surat Keterangan Ahli Waris sebagaimana yang tercatat dalam sertifikat dan tidan ada keterangan pelepasan hak, tetapi warkah dari pengurusan sertifikat tersebut tidak ditemukan, dan tidak ada bukti lain yang dapat menguatkan pernyataan tergugat tersebut p. Menimbang, bahwa oleh karena itu harus dinyatakan bahwa sertifikat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, dan status tanah sengketa dimaksud sebagai harta bersama perkawinan penggugat dengan almarhum S bin MK yang belum dibagi q. Menimbang, bahwa oleh karena itu sesuai pasal 35 ayat 1 UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 dan pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam penggugat M binti M sebagai istri berhak atas seperdua (1/2) dari harta bersama tersebut di atas (12/x10.066m2), dan S bin MK sebagai suami juga berhak atas seperdua (1/2) dari harta bersama tersebut diatas (12/x10.066m2) r. Menimbang, bahwa oleh karena S bin MK telah meninggal duania, maka bagian almarhum S bin MK tersebut menjadi harta peninggalan almarhum, dan oleh karena tidak terungkap adanya wasiat maupun hutang alamrhum yang belum dilunasi, maka seluruh bagian almarhum S bin MK (1/2 dari objek sengketa atau tanah seluas 5033 m2) menjadi harata warisan almarhum dan menjadi hak para ahli waris almarhum s. Menimbang, bahwa sesuai keterangan para pihak, bukti P3 dan keterangan saksi-saksi, maka telah terbukti bahwa pada saat S bin MK
63
meninggal dunia meninggalkan seorang istri (penggugat) dan dua (dua) orang anak perempuan (tergugat I dan tergugat II), mereka ketiganya beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris, oleh karenya harus dinyatakan bahwa mereka: 1) Pengugat M binti M sebagai janda 2) Tergugat I M binti S sebagai anak kandung 3) Tergugat II S.K. binti S sebagai anak kandung Adalah ahli waris dari S bin MK t. Menimbang, bahwa pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, Majlis harus menetapkan bagian masing-masing ahli waris, sesuai pasal 180 Kompilasi Hukum Islam penggugat M binti M sebagai janda mendapat bagian 1/8 (6/48) dari harta warisan tersebut di atas (6/48 x 5033 m2 = 629,13 m2) u. Menimbang, bahwa karena anak perempuan almarhum dua orang, maka kedua anak tersebut memperoleh 2/3 bagian (32/48) dari harta warisan almarhum sesuai pasal 176 Kompilasi Hukum Islam v. Menimbang, bahwa jumlah bagian penggugat, tergugat I dan II: 6/48 + 32/48 = 38/48, sehingga masih tersisa 10/48 bagian. Sisa dari bagian tersebut diraddkan kepada kedua anak tersebut
(tergugat I dan II),
dengan memperhatikan pendapat Jumhur Fuqoha dalam buku Ilmu Waris (Drs. Fathur Rahman), maka penerimaan tergugat I dan terguggat II sebagai berikut: 32/48+10/48= 42/48, dengan demikian bagian 1 (satu) orang anak perempuan adalah: 42/48:2=21/48x5033 m2=2201,93 m2
64
w. Menimbang, bahwa oleh karena harta tersebut merupakan satu kesatuan, maka diperintahkan kepada ahli waris untuk melakukan pembagian sesuai dengan yang telah ditetapkan tersebut di atas x. Menimbang, bahwa oleh karena sertifikat objek tersebut atas nama tergugat I dan tergugat II, dan selama ini tergugat I yang menguasai sertifikat sebagaimana bukti T.I.2 dan menempati objek sengketa tersebut, sedang tergugat III juga memanfaatkan objek tersebut, maka sudah selayaknya apabila kepada mereka atau siapa saja yang memperoleh hak dari mereka dihukum untuk menyerahkan kepada masing-masing yang berhak sesuai bagian yang telah ditetapkan di atas dalam keadaan kosong y. Menimbang, bahwa terhadap permohonan sita penggugat sesuai dengan Putusan Sela Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. tanggal 30 April 2008 permohonan tersebut ditolak oleh Majlis Hakim z. Menimbang, bahwa terhadap tuntutan penggugat tentang dwangsoom dan Uit Verbaar Bij Voerraad, oleh karena tidak berdasar atas hukum maka tidak dapat diterima 2. Dalam Rekonpensi a. Menimbang, bahwa penggugat dalam konpensi selanjutnya disebut tergugat dalam rekonpensi dan tergugat I dalam konpensi selannjutnya disebut penggugat dalam rekonpensi b. Menimbang, bahwa penggugat telah memngajukan gugatan rekonpensi yang pada pokoknya sebagaimana diuraika di atas
65
c. Menimbang, bahwa apa yang dipertimbangkan dalam konpensi harus dianggap telah termuat dan terbaca kembali dalam rekonpensi d. Menimbang, bahwa oleh karena yang disengkatakan dalam rekonpensi adalah objeknya maupun pihaknya sama dengan apa yang disengketakan dalam konpensi, sehingga telah dipertimbangkan dalam konpensi, maka gugatan rekonpensi tersebut tidak dapat diterima e. Menimbang, bahwa bukti-bukti selain yang dipertimbangkan tersebut di atas, oleh karena tidak ada relevansinya maka dikesampingkan f. Menimbang, bahwa oleh karenanya segala tuntutan penggugat selebihnya juga dinyatakan tidak diterima 3. Dalam Konpensi dan Rekonpensi a. Menimbang, bahwa sesuai pasal 181 ayat 1 HIR, maka kepada para pihak dihukum untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng yang hingga kini sebesar Rp1.166.000,- (satu juta seratus enam puluh enam ribu rupiah) Mengingat pasal-pasal dari Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berlaku dan dalil Syar’i yang berhubungan dengan perkara ini, mengadili: 1. Dalam konpensi a. Mengabulkan gugatn penggugat sebagian b. Menyatakan harta yang berupa sebidang tanah dengan sertifikat HM nomor 927 tahun 1992, atas nama M (tergugat I) dan SK (tergugat II), luas tanah 10.066 m2 yang terletak di Karanganyar RT 02 RW 05
66
Kelurahan Tambakboyo, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang dengan batas-batas sebagai berikut: -
Sebelah utara: rumah Sriyanto, tanak kapling, tanah Dewi
-
Sebelah timur: jalan setapak
-
Sebelah selatan: sawah Kasiyadi dan sawah Yuhri
-
Sebelah barat: jalan kampong
Adalah sebagian harta bersama perkawinan penggugat M binti M dengan almarhum S bin MK c. Menetapkan masing-masing penggugat M binti M berhak memperoleh seperdua harta bersama tersebut (1/2x10.066 m2=5033 m2) dan almarhum S bin MK berhak memperoleh seperdua harta bersama tersebut (1/2x10.066 m2=5033 m2) d. Menyatakan bagian dari almarhum S bin MK yang harus dibagikan kepada semua ahli waris yang berhak e. Menyatakan -
Penggugat M binti M sebagai janda
-
Tergugat I M binti S sebagai anak kandung
-
Tergugat II SK binti S sebagai anak kandung
Adalah sebagai ahli waris almarhum S bin MK f. Menyatakan bagian masing-masing -
Penggugat M binti M sebagai janda mendapat 1/8 bagian atau 6/48x5033 m2=629,13 m2
67
-
Tergugat I M bin S sebagai anak kandung mendapat 21/48x5033m2 =2201,93 m 2
-
Tergugat II SK bin S sebagai anak kandung mendapat 21/48x5033 m2=2201,93 m2
g. Memerintahkan kepada para pihak untuk melaksanakan pembagian sesuai dengan yang ditetapkan tersebut di atas h. Menghukum pera tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari mereka untuk menyerahkan kepada masing-masing yang berhak dalam keadaan kosong i.
Menyatakan menolak dan tidak menerima gugatan pengggugat selain dan selebihnya
2. Dalam rekonpensi a. Menyatakan gugatan rekonpensi penggugat tidak dapat diterima 3. Dalam konpensi dan rekonpensi a. Menghukum para pihak untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng yang hingga kini sebesar Rp 1.166.000,- (satu juta seratus enam puluh enam ribu rupiah)
68
BAB IV ANALISIS
F. Analisis
terhadap
Pembagian
Waris
dalam
Perkara
Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa Seperti yang telah ditetapkan KHI bahwa anak perempuan dan istri merupakan kelompok ahli waris dari pewaris. Kemudian dalam pasal 176 dan 180 menerangkan jika terdapat dua anak perempuan dan istri, bagian mereka masing-masing adalah 2/3 dan 1/8 dari harta warisan. Terhadap harta tersebut dibagi harta bersama setengah bagian terlebih dahulu. Yaitu setengah dari 10.066 m2 adalah hak istri, dan setengah lagi adalah harta yang diwariskan. 2/3 atau 32/48 dan 1/8 atau 6/48 maka terdapat sisa 10 bagian, maka bagian tersebut dibagikan kepada dua anak perempuannya. 32/48+10/48= 42/48. Sehingga bagian mereka masing-masing adalah 42/48:2=21/48x5033 m2=2201,93 m2. Bagian istri adalah 6/48 x 5033 m2 = 629,13 m2 ditambah dengan harta bersama seluas 5.033m2. Hal tersebut telah sesuai dengan KHI, mengingat tidak ada ahli waris lain yang lebih dekat untuk menerima harta warisan tersebut karena telah terhalang oleh adanya anak. G. Analisis terhadap Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb 1. Pembagian Waris dalam Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb. di Pengadilan Agama Ambarawa Tinajauan KHI
69
Pembagian waris di Pengadilan Agama sangat erat kaitannya dengan pembagian waris secara islam. Menengok perkembangan hukum waris di Indonesia, pembagian waris secara Islam terkodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan modifikasi hukum Islam agar sesuai dengan masyarakat Indonesia. Dalam pembagian waris yang dilakukan Pengadilan Agama Ambarawa telah mengacu pada Kompilasi Hukum Islam, mulai dari penentuan ahli waris, bagian warisan, dan penentuan harta warisan dan pelaksanaan pembagian. a. Penentuan Ahli Waris Dalam putusan itu pada poin s disebutkan menimbang, bahwa sesuai keterangan para pihak, bukti P3 dan keterangan saksi-saksi, maka telah terbukti bahwa pada saat S bin MK meninggal dunia meninggalkan seorang istri (penggugat) dan dua (dua) orang anak perempuan (tergugat I dan tergugat II), mereka ketiganya beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris, oleh karenanya harus dinyatakan bahwa mereka: 4)
Pengugat M binti M sebagai janda
5)
Tergugat I M binti S sebagai anak kandung
6)
Tergugat II SK binti S sebagai anak kandung
Adalah ahli waris dari S bin MK Dari pertimbangan tersebut, ketiganya dinyatakan sebagai ahli waris dalam amar putusan yang berbunyi “menyatakan Pengugat M
70
binti M sebagai janda, Tergugat I M binti S sebagai anak kandung, Tergugat II SK binti S sebagai anak kandung Adalah ahli waris dari S bin MK”. b. Penentuan harta peninggalan Dalam menentukan harta warisan Majelis Hakim menggunakan pertimbangan-pertimbangan seperti yang diuraikan dalam BAB III yang intinya sebagai berikut: - poin g menjelaskan bahwa pada tanggal 2 Pebruari 1965 penggugat telah menikah dengan S bin MK dan selama perkawinan antara penggugat dan S bin MK belum pernah bercerai - poin h menegaskan bahwa S bin M telah meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1973 -
poin j menjelaskan bahwa tanah tersebut belum pernah dibagi waris, dan penggugat masih mempunyai hak terhadap harta tersebut.
- Poin k menjelaskan bahwa dalam harta tersebut masih terikat sebagai harta gono-gini. - Poin l menegaskan bahwa harta tersebut diperoleh dalam masa perkawinannya oleh almarhum - Poin m menguraikan antara pernyataan Tergugat I dan Tergugat II tidak sama. Tergugat II menyatakan bahwa harta tersebut belum pernah dibagi, itu sama halnya menguatkan pernyataan penggugat.
71
- Poin o menguraikan bahwa tidak ditemukannya surat pelepasan hak dari penggugat, maka status tanah itu adalah harta bersama dalam perkawinannya. Dari
pertimbangan-pertimangan
tersebut
Majelis
Hakim
menyatakan harta yang berupa sebidang tanah dengan sertifikat HM Nomor 927 tahun 1992, atas nama M (Tergugat I) dan SK (Tergugat II), dengan luas tanah 10.066 m2 yang terletak di Karanganyar RT 02 RW 05 Kelurahan Tambakboyo, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, dengan batas-batas sebagai berikut: - Sebelah utara
: rumah Sriyanto, tanah kapling, tanah Dewi
- Sebelah timur: jalan setapak - Sebelah selatan: sawah Kasiyadi dan sawah Yuhri - Sebelah barat: jalan kampung Adalah sebagai harta bersama perkawinan penggugat M binti M dengan almarhum S bin MK. c. Penentuan bagian waris Oleh karena telah ditentukan ahli waris harta warisan, maka ditentukan juga bagian masing-masing dari hak waris mereka dengan beberapa pertimbangan. Pada poin p disebutkan menimbang, bahwa oleh karena itu harus dinyatakan bahwa sertifikat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, dan status tanah sengketa dimaksud sebagai harta bersama perkawinan penggugat dengan almarhum S bin MK yang belum dibagi.
72
Pada poin q disebutkan menimbang, bahwa oleh karena itu sesuai pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam penggugat M binti M sebagai istri berhak atas seperdua (1/2) dari harta bersama tersebut di atas (12/x10.066m2), dan S bin MK sebagai suami juga berhak atas seperdua (1/2) dari harta bersama tersebut diatas (12/x10.066m2) Dalam poin t disebutkan menimbang, bahwa pertimbanganpertimbangan tersebut di atas, Majelis harus menetapkan bagian masing-masing ahli waris, sesuai pasal 180 Kompilasi Hukum Islam penggugat M binti M sebagai janda mendapat bagian 1/8 (6/48) dari harta warisan tersebut di atas (6/48 x 5033 m2 = 629,13 m2) Dalam poin u disebutkan menimbang, bahwa karena anak perempuan almarhum dua orang,
maka kedua anak tersebut
memperoleh 2/3 bagian (32/48) dari harta warisan almarhum sesuai pasal 176 Kompilasi Hukum Islam. Dalam poin v disebutkan menimbang, bahwa jumlah bagian penggugat, tergugat I dan II: 6/48 + 32/48 = 38/48, sehingga masih tersisa 10/48 bagian. Sisa dari bagian tersebut diraddkan kepada kedua anak tersebut
(tergugat I dan II), dengan memperhatikan pendapat
Jumhur Fuqoha dalam buku Ilmu Waris (Drs. Fathur Rahman), maka penerimaan tergugat I dan terguggat II sebagai berikut: 32/48+10/48= 42/48, dengan demikian bagian 1 (satu) orang anak perempuan adalah: 42/48:2=21/48x5033 m2=2201,9 m2
73
Dari
pertimbanga-pertimbangan
tersebut,
Majelis
Hakim
menetapkan “penggugat M binti M berhak atas seperdua (1/2) dari harta bersama tersebut di atas (12/x10.066m2 =5033 m2), dan almarhum S bin MK berhak atas seperdua (1/2) dari harta bersama tersebut (12/x10.066m2=5033m 2)”. Menyatakan bagian masing-masing ahli waris: - Penggugat M binti M sebagai janda mendapat 1/8 bagian atau 6/48x5033 m2 - Tergugat
I
M
binti
S
sebagai
anak
kandung
mendapat
21/48x5033m2 =2201,93m2 - Tergugat II SK binti S sebagai anak kandung mendapat 21/48x5033m2 =2201,93m2 Pembagian waris tersebut telah sesuai dengan ketetapan pembagian waris islam, yaitu istri mendapat 1/8 bagiam, 2 anak perempuan mendapat 2/3 bagian dan sisa harta dibagikan pada kedua anaknya. Terhadap istri mendapat separo bagian dari harta bersama hal itu merupakan perkembangan hukum waris islam di Indonesia karena kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. d. Pelaksanaan pembagian oleh Pengadilan Agama Ambarawa Pertimbangan Majelis Hakim dalam pelaksanaan pembagian waris adalah sebagai berikut : - Poin w menyebutkan “menimbang, bahwa oleh karena harta tersebut merupakan satu kesatuan, maka diperintahkan kepada ahli waris
74
untuk melakukan pembagian sesuai dengan yang telah ditetapkan tersebut di atas”. - Poin x menerangkan bahwa Tergugat I adalah pihak yang menguasai sertifikat tersebut dan menempati tempat trsebut, sedang Tergugat III juga memanfaatkan objek tersebuut, maka mereka dihukum untuk menyerahkan kepada masing-masing yang berhak sesuai bagian yang telah ditetapkan di atas dalam keadaan kosong. Dalam amar putusannya Majelis Hakim memerintahkan kepada para pihak untuk melaksanakan pembagian sesuai yang ditetapkan dan menghukum para tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari mereka untuk menyerahkan kepada masing-masing yang berhak . Dari uraian tentang perkara waris di Pengadilan Agama Ambarawa tersebut terhadap penentuan ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing, dan pelaksanaan pembagian telah sesuai dengan KHI dan telah menggali kebenarankebenaran sehingga penalaran terhadap putusan tersebut sudah terasa adil. Tidak ada hal yang terasa ganjil selama proses persidangan serta menempatkan antara bukti surat dan saksi dengan seimbang. H. Analisis terhadap Pelaksanaan Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb Mengenai hal tersebut di atas Pengadilan Agama Ambarawa dalam putusan nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb tentang kewenangan mengadili pada bidang kewarisan telah sesuai dengan KHI. Dan terhadap putusan Pengadilan Agama
telah
menyebutkan
untuk
75
memerintahkan
pembagian
waris
berdasarkan putusannya. Sehinggan pelaksanaan pembagian waris lebih pasti karena
putusan
tersebut
mempunyai
kekuatan
mengikat,
kekuatan
pembuktian, dan kekuatan eksekutorial. Kemudian terkait setelah adanya putusan tersebut, oleh pihak keluarga telah dilakukan pembagian waris sesuai dengan yang ditetapkan dalam putusan. Dan putusan tersebut juga dijadikan dasar untuk mengurus sertifikat tanah yang dijadikan agunan lunak, kemudian dijadikan dasar lagi untuk mengurus sertifikat berikutnya atas nama masing-masing ahli waris. Mengingat dasar hukum yang diterapkan dalam putusan tersebut telah sesuai dan bisa diterima serta telah dilakukan pembagian maka putusan ini telah mencakup rasa adil.
76
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Pembagian Waris dalam Perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb di Pengadilan Agama Ambarawa telah mengacu pada Kompilasi Hukum Islam dalam menetapkan ahli waris, besar bagian masing-masing dan penetapan harta warisannya, yaitu: Penggugat sebagai istri mendapat setengah bagian dari harta bersama (1/2x10.066 m2=5.033 m2). Bagian waris istri 1/8 atau 6/48, dua anak perempuan mendapat 2/3 atau 32/48. Terdapdat sisa harta 10/48 bagian yang dibagiakan pada 2 anak perempuannya. Sehingga bagian istri 6/48x 5.033 m2=629,13 m2. Tergugat I mendapat 21/48x5033m2 =2201,93 m 2. Tergugat II mendapat 21/48x5033m2 =2201,93 m 2 2. Dasar
pertimbangan
hakim
pembagian
waris
putusan
Nomor
632/Pdt.G/2007/PA.Amb adalah sebagai berikut. Dari keterangan para saksi dan bukti-bukti yang diajukan serta pengakuan dapi para pihak maka terbukti bahwa tanah sengketa waris belum pernah dibagi waris. Oleh karena penggugat adalah istri dari almarhum, maka sesuai dengan pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 96 ayat 1 KHI penggugat berhak atas ½ bagian dari harta bersama dan ½ bagian menjadi harta warisan. Kemudian penetapan ahli waris berdasarkan keterangan para saksi dan bukti yang diajukan dalam persidangan maka Penggugat, Tergugat I, dan Tergugat II adalah ahli waris dari almarhum. Terhadap bagian masing-masing ahli waris, sesuai keterangan dari Bapak Syamsuri selaku hakim Pengadilan
77
Agama Ambarawa, menerangkan bahwa dalam pasal 174 (2) KHI disebutkan “apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda”, yang dimaksud dengan anak adalah baik itu anak laki-laki atau perempuan. Jadi kedudukan Tergugat I dan Tergugat II sebagai anak perempuan kandung dari almarhum telah menghalangi saudara almarhum untuk mewarisi. Sehingga dapat ditetapkan bahwa istri sebagai ahli waris mendapat 1/8 bagian dan dua anak perempuan mendapat 2/3 bagian. Dalam hal ini terdapat sisa harta 10 bagian, kemudian hakim mempertimbangkan berdasarkan jumhur fuqoha dalam buku Ilmu Waris Drs. Fathur Rahman, maka sisa harta tersebut menjadi hak anak (Tergugat I dan Tergugat II). Setelah penentuan itu semua, pelaksanaan pembagian waris ditegaskan dalam amar putsan yang menegasakan “memerintahkan para pihak untuk melaksanakan pembagian sesuaiyang ditetapkan tersebut di atas dan menghukum kepada para tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak dari mereka untuk menyerahkan kepada masing-masing yang berhak dalam keadaan kosong. Kewenangan mengadili perkara Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb telah sesuai dengan ketentuan penjelasan pasal 49 huruf b UU No 3 tahun 2006. Yaitu penentuan ahli waris, penentuan harta warisan, penentuan bagian masingmasing, dan pelaksanaan pembagian. Serta pembagian waris dilakukan telah sesuai dengan KHI. 3. Pelaksanaan putusan nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb oleh pihak keluarga telah dilaksanakan pembagian sesuai dengan putusan. Oleh karena putusan
78
tersebut telah mempunyai kekuatan hokum, maka pihak keluarga sangat terbantu dalam pengurusan keperdataan selanjutnya seperti pengurusan sertifikat yang dijadikan agunan pinjaman lunak dan pensertifikatan berikutnya oleh masing-masing ahli waris. B. SARAN 1. Yang pertama adalah saran terhadap diri saya sendiri untuk belajar dengan giat lagi dalam mendalami sebuah bidang karena dalam skripsi yang singkat ini saya telah menemukan banyak hal yang belum saya ketahui sebelumnya. 2. Setelah mengikuti cara pembagian waris di Pengadilan Agama, khususnya Pengadilan Agama Ambarawa, saran yang dapat saya sampaikan adalah bagi masyarakat yang mempunyai masalah dalam pembagian waris jangan enggan untuk mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama karena dalam pembagian tersebut telah menggunakan banyak pertimbangan dan ditangani oleh hakim-hakim yang ahli dalam bidang perdata Islam. 3. Bagi pihak kampus, kiranya dapat menerima dengan lapang dada penelitian ini yang jauh dari sempurna. 4. Bagi para hakim, terutama hakim Pengadilan Agama Ambarawa dan pegawai pengadilan untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam menjalankan profesinya.
79
DAFTAR PUSTAKA
Lubis & Simanjuntak. 2007. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Budiono, A. Rachmad. 1999. Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Alkalali, Asad. M. 1987. Kamus Indonesia-Arab. Jakarta: Bulan Bintang. Muqoddas, M. Busyro, dkk. 2010. Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia. Harahap, M. Yahya. 2003. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UU No. 7 Tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika. Rasyid & Syaifuddin. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press. Djalil, Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana. Rasyid, Roihan. A. 2010. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Arto, A. Mukti. 1996. Praktek Perkara Perdata: pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Agama. 1998. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. Departemen Agama. 1986. Ilmu Fiqh 3. Jakarta. Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2007. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani. Fajri, Senja. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publlisher. Muhibbin, Wahid. 2009. Hukum Islam sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Suma, Muhammad Amin. 2008. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
80
Ali, Mohammad Daud. 2011. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: Rajawali Pers. Zumrotun, siti. 2007. Faktor Penyebab Keengganan Masyarakat Muslim Salatiga Mengajukan Perkara Waris di Pengadilan Agama. STAIN Salatiga. Poerwadarminta. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Darmodiharjo& shidarta. 1999. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. http://www.pa-ambarawa.go.id/ diakses hari senin, 26 nop 2012 pukul 11.22 Zen, Nor Fuad. 2002. Wasiat Wajibah sebagai Alternatif Waris Anak Angkat. STAIN Salatiga. Aryanto, Slamet. 2009. Pembagian Warisan dengan Jalan Hibah menurut Pandangan Islam. STAIN Salatiga. Adityassari, Hanik. 2009. Pembagian Harta Warisan bagi Keturunan Punah. STAIN Salatiga. Haryanti, Isti. 2004. Hak Waris Anak dari Proses Bayi Tabung. STAIN Salatiga. Setiawati, Ambar. 2004. Bagian Waris Anak dalam Kandungan. STAIN Salatiga. Hartati. 2002. Bagian Waris Anak Luar Nikah menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. STAIN Salatiga. Asad, Muhammad Ali. 2010. Pelaksanaan Hukum Waris dalam Masyarakat Islam. STAIN Salatiga. Anggraeni, nanik dyah. 2001. Hak Opsi dalam Hukum Waris di Indonesia. STAIN Salatiga.
81