OPTIMASI PROSES PENGOMPOSAN AEROBIK SLUDGE AIR LIMBAH INDUSTRI MIZONE DAN SAMPAH ORGANIK DI PT TIRTA INVESTAMA PANDAAN Siti Choni Andriati* dan Yulinah Trihadiningrum Program Pasca Sarjana Teknik Lingkungan Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Kampus ITS Sukolilo Surabaya 6011 *e-mail:
[email protected]
ABSTRAK
Pengolahan air limbah MIZONE menghasilkan sludge yang belum terolah dengan baik. PT Tirta Investama membutuhkan suatu teknik pengolahan sludge sebagai wujud komitmennya terhadap lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah melakukan karakterisasi sludge dari pengolahan air limbah MIZONE dan menentukan kondisi optimum pengomposan aerobik sludge dan sampah organik. Sampah organik yang digunakan, yaitu sampah organik halaman dan jerami padi. Metoda aerasi yang digunakan adalah aerated pile dan pembalikan konvensional. Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap kandungan nitrogen total Kjeldahl, volatile solid, kadar air, dan pH pada kompos tiap dua minggu sekali. Kompos yang sudah masak dianalisis kandungan unsur haranya, meliputi nitrogen total Kjeldahl, volatile solid, fosfor total, dan kalium. Sludge mengandung nitrogen total Kjeldahl 1,01% dan fosfor total 0,27 mg/L. Pengomposan sludge dengan campuran sampah organik lebih baik daripada tanpa sampah organik. Pengomposan sludge optimum yang direkomendasikan adalah kompos campuran sludge dan sampah organik halaman dengan aerasi menggunakan metoda konvensional. Pengomposan tersebut membutuhkan waktu 8 minggu. Unsur hara kompos yang dihasilkan tersebut memenuhi spesifikasi kompos (SNI:19-7030-2004). Kata kunci: sludge, sampah organik, pengomposan secara aerobik 1. PENDAHULUAN AQUA DANONE merupakan salah satu industri air minum dalam kemasan. Salah satu Industri AQUA DANONE berada di Pandaan, PT Tirta Investama Pandaan. PT Tirta Investama Pandaan memproduksi MIZONE. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) MIZONE menghasilkan sludge yang saat ini hanya diolah menggunakan conventional sand drying bed. Sludge menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga perlu pengolahan lebih lanjut agar tidak berbau. Sebagai komitmennya terhadap lingkungan, PT Tirta Investama Pandaan membutuhkan teknik pengolahan sludge guna meminimasi dampak lingkungan tersebut. Sludge ini berpotensi untuk diolah dengan metoda pengomposan karena adanya kandungan bahan organik dan unsur makro seperti N dan P di dalamnya. Selain itu pengomposan adalah metoda alami dengan biaya yang rendah dalam upaya me-recycle bahan organik (Bueno et al., 2008). Berdasarkan hasil uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) (PPLI, 2009), sludge memenuhi standar uji TCLP pada PP No. 18 Tahun 1999 jo PP No. 85 Tahun 1999. Jerami hasil samping proses panen di dekat lokasi pabrik biasanya dibakar. Asap yang ditimbulkan masuk ke area pabrik dan dapat mempengaruhi kualitas produk MIZONE serta aktivitas para pekerja. Pada penelitian akan dilakukan pengomposan campuran sludge dengan jerami guna memanfaatkan jerami agar tidak dibakar. Komposisi jerami yang paling sesuai dalam proses pengomposan sebesar 70%
1
(Abdelhamid, Horiuchi, dan Oba, 2004). Jerami hanya tersedia pada masa panen sehingga diperlukan alternatif bahan organik lain sebagai bahan campurannya, yaitu sampah organik halaman. Pengomposan secara aerobik tidak menimbulkan bau dan membutuhkan waktu yang lebih pendek dan lebih mudah untuk diterapkan daripada pengomposan secara anaerobik (Isro’i, 2009; Ponsá et al., 2008; Nemerow, 2007). Oleh karena itu, pengomposan yang akan digunakan adalah pengomposan aerobik. Suplai udara dalam proses pengomposan aerobik dapat dilakukan dengan konvensional, yaitu dengan pembalikan dan dengan injeksi, yaitu aerated pile. Pengomposan sludge secara aerobik membutuhkan waktu sekitar 3 bulan (Abouelwafa et al., 2008). Penambahan biostimulan dapat mempercepat proses pengomposan dan kualitas produk kompos (Isro’i, 2009; Sulistyawati, Mashita, dan Choesin, 2008). Biostimulan yang digunakan adalah effective microorganisms 4 (EM4) karena EM4 dapat menekan timbulnya bau (Anonim, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk melakuakn karakterisasi sludge yang dihasilkan dari proses pengolahan air limbah di PT Tirta Investama Pandaan. Selain itu penelitian juga bertujuan untuk menentukan kondisi optimum proses pengomposan sludge, berdasarkan jenis bahan pencampur, metoda aerasi, dan penambahan biostimulan. 2. METODA Alat dan Bahan Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini, antara lain (1) timbangan, (2) alat pencacah, (3) kantong plastik ukuran 40 L, (4) wadah plastik HDPE untuk pengomposan dengan kapasitas 24 L, (5) ember untuk pelarutan biostimulan dengan kapasitas 5 L, (6) kasa, (7) kompresor dengan kapasitas 3 m3/jam, (8) pipa PVC dengan diameter 32 mm, dan (9) sekop. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sludge, EM4, jerami padi varietas IR 64, sampah organik halaman, dan pupuk NPK. Analisis Karakteristik Bahan Baku dan Kompos Timbulan sludge diukur volume dan berat jenisnya guna mendapatkan berat sludge yang dihasilkan. Karakterisasi sludge, jerami, dan sampah organik halaman yang diukur meliputi parameter pH, kadar air, volatile solid, bahan organik (C), Nitrogen (N) total Kjehdahl, dan fosfor (P). Kadar air dan volatile solid dianalisis dengan menggunakan metoda gravimetri (Pichtel, 2005). N total organik dianalisis dengan menggunakan metoda Kjeldahl sedangkan parameter P dianalisis menggunakan metoda spektrofotometri (Eaton, Clesceri, dan Greenberg, 1995). Kompos yang telah matang dianalisis unsur haranya, yaitu C, N, P, dan kalium (K). Parameter K dianalisis menggunakan metoda flame photometric (Eaton, Clesceri, dan Greenberg, 1995) Pengomposan Variabel yang digunakan dalam penelitian ini, adalah (1) jenis sampah organik, yaitu jerami dan sampah organik halaman, (2) penambahan dan tanpa penambahan biostimulan, serta (3) metoda aerasi, yaitu konvensional dan aerated pile. Bahan yang dikomposting sebesar 10 L. Komposisi bahan pencampur sebesar 70% dari volume total. Bahan pencampur yang akan digunakan dicacah hingga mencapai ukuran sebesar 3-6 cm. Selanjutnya sludge dan bahan pencampur dicampur. Sludge yang akan dikomposting diatur kadar air dan rasio C/N-nya dalam kondisi optimum. Pengaturan kadar air ini dilakukan dengan penjemuran secara alami, yaitu dengan pemanasan sinar matahari hingga bahan kompos mencapai kadar air berkisar 40-60%. Rasio C/N diatur sebesar 25-35, apabila unsur N yang kurang dapat
2
ditambahkan pupuk NPK. Penambahan pupuk NPK ini juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kompos, khususnya unsur hara seperti P dan K dalam kompos yang dihasilkan. Pengomposan yang dilakukan menggunakan biostimulan EM4 dan tanpa penambahan biostimulan. Penambahan biostimulan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan serta memparcepat proses pengomposan (Isroi, 2009; Sulistyawati, Mashita, dan Choesin, 2008). EM4 yang ditambahkan sebesar 5% dari volume bahan komposting. Aerasi secara konvensional dilakukan dengan pembalikan kompos tiap hari selama 2 bulan pertama dan dilanjutkan 2 hari sekali hingga kompos matang. Proses pengomposan pada sistem aerated pile, suplai udara yang dinjeksikan sebesar 0,6 L/menit.kg selama 2 bulan pertama dan dilanjutkan 0,4 L/menit.kg hingga kompos matang. Pengaturan suplai udara pada tiap reaktor dilakukan dengan pengaturan jumlah orifice pada pipa di tiap reaktor. Temperatur proses pengomposan diukur setiap hari. Karakteristik kompos, meliputi rasio C/N, pH dan kadar air diperiksa setelah pengomposan 2 minggu yang kemudian diukur tiap 2 minggu sekali. Apabila rasio C/N mencapai 10-20 maka kompos telah matang (SNI:19-7030-2004). 3. HASIL DAN DISKUSI Produksi dan Penanganan Sludge Eksisting Sludge diolah menggunakan conventional sand drying bed. Sampai saat ini (telah 2 tahun), sludge tidak pernah dipanen karena belum mendapatkan ijin dari BAPPEDAL setempat. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), seharusnya lama waktu tinggal sludge di conventional sand drying bed, yaitu 10-15 hari. Produksi sludge berkisar 19,73 L/hari. Kadar air sludge dari unit sedimentasi sebesar 98% dan mengalami penurunan sebesar 6%. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), kadar air sludge setelah pengeringan di conventional sand drying bed mendekati 60%. Pengolahan sludge di conventional sand drying bed menimbulkan bau tidak sedap. Hal ini kemungkinan disebabkan terjadinya kondisi anaerobik pada ketebalan timbunan sludge sebesar 0,4 m. Selain itu hal ini juga disebabkan karena waktu tinggal sludge lebih dari yang direncanakan, yaitu 2 tahun. Conventional sand drying bed semula tidak berada dalam ruang tertutup. Perusahaan menutup unit conventional sand drying bed dalam ruang yang terbuat dari fiber agar bau yang ditimbulkannya tidak menyebar. Akan tetapi upaya tersebut menimbulkan masalah baru, yaitu proses pengeringan terganggu. Karakteristik Sludge dan Bahan Campuran Karakteristik sludge, jerami, dan sampah organik halaman yang meliputi kadar air, volatile solid, N total Kjehdahl, dan P, disajikan pada Tabel 1. Sludge memiliki pH berkisar 7,99-8,12. Berdasarkan data pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa rasio C/N ketiga bahan tersebut tidak berada dalam kisaran rasio C/N optimum (25-40) untuk pengomposan. Sludge memiliki kandungan unsur P lebih besar daripada jerami dan sampah organik halaman. Pencampuran sludge dengan sampah organik tersebut dapat meningkatkan unsur P yang terkandung di dalam kompos. Rasio C/N bahan yang dikomposting diatur hingga mencapai rasio C/N sebesar 27 dengan ditambah pupuk NPK. Tabel 1 Karakteristik Sludge, Jerami, dan Sampah Organik Halaman No. 1 2 3
Bahan Sludge Jerami Sampah organik halaman
Kadar air (%) 91,60 31,20 47,90
Volatile Solid (%)* 78,88 76,56 91,61
Keterangan: * % berat kering
3
N total Kjehdahl (%)* 1,01 3,32 3,53
Rasio C/N 43 13 14
P (mg/L) 0,27 0,08 0,06
Warna, Ukuran, dan Bau Kompos Kompos sludge dengan campuran sampah organik dan aerasi dengan metoda konvensional mengalami perubahan warna dan tekstur yang lebih cepat dibandingkan dengan jenis kompos yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa proses dekomposisi pada kompos tersebut lebih baik atau lebih cepat dibandingkan dengan variabel kompos yang lainnya. Perubahan warna dan ukuran kompos yang diberi tambahan EM4 tidak berbeda dengan kompos yang tanpa ditambah EM4. Kompos yang tidak diberi EM4 berbau busuk, sedangkan kompos yang ditambah EM4 tidak berbau busuk selama pengomposan. Hal ini menunjukkan bahwa EM4 dapat menghilangkan bau busuk pada proses pengomposan. Mulai minggu ke-4 terbentuk koloni mikroorganisme berwarna putih pada kompos, yaitu pada komposisi sludge dengan jerami dan sludge dengan sampah organik halaman. Koloni tersebut merupakan jamur meshophilic dan bakteri meshophilic (Actinomycetes). Sebagaimana disebutkan oleh Bernal, Alburquerque, dan Moral (2009) bahwa Actinomycetes tumbuh mendominasi pada tahap stabilisasi atau pematangan kompos. Baeta-Hall et al. (2005) menyebutkan bahwa selain Actinomycetes, jamur meshophilic juga tumbuh semakin pesat pada tahap pematangan. Koloni tersebut terlihat jelas namun tidak merata pada komposisi sludge dengan sampah organik halaman. Koloni mikroorganisme berwarna putih tersebut tidak terlihat jelas pada komposisi sludge dan jerami. Pada minggu ke-8, warna kompos yang diolah dengan metoda konvensional coklat kehitaman, berbau menyerupai tanah, dan ukurannya lebih kecil dibandingkan pada awal pengomposan. Kompos tersebut bila digenggam tidak lagi lengket di tangan. Kompos tidak menghasilkan uap air ketika dibungkus dalam plastik tertutup selama 1 hari. Beberapa kondisi ini adalah tanda-tanda kompos matang, namun perlu dicek rasio C/N-nya apakah kompos benar telah matang. Sebagaimana yang disebutkan oleh Bernal, Alburquerque, dan Moral (2009), bahwa karakteristik kimia, yaitu C/N merupakan suatu parameter yanmg banyak digunakan untuk identifikasi pematangan kompos daripada warna, bau, dan temperatur. Suhu, Kadar Air, dan pH Kompos Suhu pengomposan kompos campuran sludge dan sampah organik halaman dengan metoda konvensional dan penambahan EM4 (HEK), campuran sludge dan sampah organik halaman dengan metoda konvensional (HTK), campuran sludge dan jerami dengan metoda konvensional (JTK), dan campuran sludge dan jerami dengan metoda konvensional dan penambahan EM4 (JEK) mencapai suhu optimum (30 oC) pada hari ke-2 waktu pengomposan. Suhu kompos yang lainnya, yaitu sludge dengan EM4 metoda konvensional (KEK), sludge tanpa EM4 metoda konvensional (KTK), campuran sludge dan jerami dengan metoda aerated pile dan penambahan EM4 (JEA), campuran sludge dan sampah organik halaman dengan metoda aerated pile dan EM4 (HEA), sludge dengan EM4 metoda aerated pile (KEA), dan sludge tanpa EM4 metoda aerated pile (KTA) kecuali kompos campuran sludge dan sampah organik halaman dengan metoda aerated pile (HTA), mencapai suhu optimum pada hari ke-3 waktu pengomposan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Isro’i (2009) dan Abouelwafa et al. (2008) bahwa pengomposan terjadi pada suhu 30 oC, termasuk dalam suhu optimum pengomposan. Mulai pada hari ke 53 waktu pengomposan, kompos JEK memiliki suhu yang sama besar dengan suhu ruangan. JTK memiliki suhu yang sama dengan suhu ruangan mulai pada hari ke 54 waktu pengomposan. HTK, HEA, KEK, dan KTK memiliki suhu sama dengan suhu ruangan mulai hari ke 59 waktu pengomposan. Data
4
terkait dengan suhu kompos yang sama dengan ruangan ini, mengindikasikan bahwa kompos matang. Namun perlu dilakukan pengecekan terhadap rasio C/N kompos untuk memastikan apakah kompos telah matang. Suhu pengomposan, menggunakan aerated pile dengan ketebalan kompos 1,6 m, dapat mencapai maksimum 73 oC pada penelitian Rasapoor et al. (2009). Suhu optimum pengomposan dalam penelitian Baeta-Hall et al. (2005) mencapai maksimum 65 oC dengan ketebalan kompos 0,8 m sedangkan engomposan pada penelitian ini maksimum hanya mencapai 31-32 oC (meshophilic). Kondisi ini tidak sesuai dengan penelitian Rasapoor et al., (2009) dan penelitian Baeta-Hall et al. (2005) karena ketebalan bahan kompos yang berbeda. Pada minggu ke-2 kadar air kompos berkurang. Berkurangnya kadar air ini sebagai akibat dari aktivitas mikroorganisme dalam bermetabolisme seperti yang disebutkan oleh Isro’i (2009). Selain itu penurunan kadar air ini sebagai akibat dari proses aerasi yang menyebabkan kadar air terevaporasi. Sebagaimana disebutkan oleh Sunberg dan Jönsson (2008), bahwa salah satu penyebab evaporasi air pada kompos adalah aerasi. Mulai minggu ke-2 dilakukan penambahan air guna mempertahankan aktivitas mikroba. Bila kadar air kompos lebih kecil dari 40% maka aktivitas mikroba akan menurun. Jumlah air yang ditambahkan sekitar 50-100 mL, hingga kompos menjadi lembab (kadar air berkisar 40-60%). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terjadi kenaikan pH hingga mencapai 9. Kondisi ini sama dengan hasil penelitian oleh Rasapoor et al. (2009) dan Sundberg dan Jönsson (2008). Kenaikan pH ini disebabkan oleh volatilisasi amonia dan H+ sebagai akibat dari proses nitrifikasi oleh mikroba. Material Organik (C) dan Rasio C/N Kompos Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa material organik kompos menurun seiring dengan lama waktu pengomposan. Kondisi ini mengindikasikan terjadinya penurunan material organik pada kompos. Kondisi tersebut sama dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Zhu (2007) dan Petric, Šestan, dan Šestan (2009). Penurunan material organik ini menjadi indikasi terjadinya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme pada proses pengomposan (Bernal, Alburquerque, dan Moral, 2009; Petric, Šestan, dan Šestan, 2009; Zhu, 2007). Rasio C/N kompos cenderung menurun, yaitu kompos jenis JEK, JTK, HEK, HTK, JEA, dan KTA selama proses pengomposan (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi terjadi dengan baik. Namun ada beberapa jenis kompos seperti KTK, HTA, serta KEA naik pada minggu ke-4 sedangkan KEK, HEA dan campuran sludge dan jerami dengan metoda aerated pile (JTA) naik pada minggu ke-6. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses penurunan material organik tidak proporsional dengan penurunan N total. Pada minggu ke-8 rasio C/N semua jenis kompos turun. Apabila didasarkan pada SNI: 19-7030-2004 kompos dinyatakan matang bila rasio C/N sebesar 10-20. Mathur et al. (1993, dalam Bernal, Alburquerque, dan Moral, 2009) menyebutkan bahwa kompos matang bila rasio C/N < 20. Rasio C/N kompos JEK mencapai 15 pada minggu ke-2 dan terus menurun mencapai 13 pada minggu ke-8. JEK mengalami proses pematangan lebih cepat dibandingakan dengan jenis kompos yang lainnya. Kompos jenis HEK dan KTA mencapai rasio C/N < 20 mulai pada minggu ke4. Kompos jenis JTK, KTK, JEA, dan HEA mencapai rasio C/N < 20 mulai pada minggu ke-6. Kompos HTK, KEK, JTA dan KEA mencapai rasio C/N < 20 mulai pada minggu ke-8.
5
30
30 25
25 JEA HEA
15
HTA KEA
10
JEK
20
JTA
Rasio C/N
Rasio C/N
20
JTK HEK
15
HTK KEK
10
KTA
KTK 5
5
0
0 0
2
4
6
0
8
2
4
6
8
Minggu ke-
Minggu k e-
(a)
(b)
Keterangan: HEA = Campuran sludge dengan sampah organik halaman dan EM4, aerasi dengan metoda aerated pile HEK = Campuran sludge dengan sampah organik halaman dan EM4, aerasi dengan metoda konvensional HTA = Campuran sludge dengan sampah organik halaman tanpa EM4, aerasi dengan metoda aerated pile HTK = Campuran sludge dengan sampah organik halaman tanpa EM4, aerasi dengan metoda konvensional JEA = Campuran sludge dengan jerami dan EM4, aerasi dengan metoda aerated pile JEK = Campuran sludge dengan jerami dan EM4, aerasi dengan metoda konvensional JTA = Campuran sludge dengan jerami tanpa EM4, aerasi dengan metoda aerated pile JTK = Campuran sludge dengan jerami tanpa EM4, aerasi dengan metoda konvensional KEA = Sludge dengan EM4, aerasi dengan metoda aerated pile KEK = Sludge dengan EM4, aerasi dengan metoda konvensional KTA = Sludge tanpa EM4, aerasi dengan metoda aerated pile
KTK
= Sludge tanpa EM4, aerasi dengan metoda konvensional
Gambar 2 Rasio C/N Kompos dengan Metoda (a) Aerated Pile dan (b) Konvensional
Kualitas Kompos yang Telah Matang Berdasarkan hasil pengukuran suhu dan rasio C/N kompos, pengamatan terhadap karakteristik fisik dapat diketahui lama waktu pengomposan masing-masing jenis kompos. Lama waktu pengomposan metoda konvensional adalah 8 minggu. Pengomposan menggunakan dengan metoda aerated pile belum selesai pada waktu pengomposan 8 minggu. Lama waktu pengomposan yang dibutuhkan oleh metoda konvensional lebih cepat dibandingkan metoda aerated pile. Sebagaimana yang disebutkan oleh Baeta-Hall et al. (2005) bahwa pengomposan dengan cara pengadukan lebih baik daripada menggunakan aerated pile. Kualitas kompos, yang diolah dengan metoda konvensional, yang telah matang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2.Hasil Pengukuran Kualitas Kompos dengan Metoda Konvensional No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Parameter Kadar air (%) pH Temperatur (oC) Bahan organik (%) Nitrogen (%) Fosfor (P205) (%) Rasio C/N Kalium (K20) (%)
Standar** maksimal 50 7,49 air tanah 27 58 0,4 0,1 10 20 0,2 *
minimal 6,8
HEK 55,92 9,25 29 37,27 2,78 1,28 13 0,63
HTK 57,43 9,15 29 35,44 3,10 1,56 11 2,04
Jenis Kompos JTK JEK 52 51,31 9,35 9,07 29 29 32,22 28,63 2,34 2,58 1,28 1,28 14 11 1,11 1,28
KEK 78,31 9,60 29 27,81 2,64 1,78 11 0,60
KTK 48,31 9,68 29 29,04 2,30 2,02 13 2,31
Keterangan: * nilainya lebih besar dari maksimum; ** SNI:19-7030-2004 (2004)
Kompos yang dihasilkan ini kasar. Jenis kompos kasar cocok digunakan untuk tanaman keras dan pepohonan sebagaimana yang disebutkan oleh anonim (2010a). Penyusutan berat masing-masing kompos yang telah matang, yaitu: HEK 31%; HTK 22%; JEK 51%; JTK 50%; KEK 53%; dan KTK 52% dari berat awal. Rekomendasi Metoda Pengomposan yang Optimum Pemilihan metoda komposting yang optimum dilakukan dengan cara melakukan rangking terhadap kompos (Tabel 3). Pemberian rangking ini ditinjau dari aspek lama
6
waktu pengomposan dan kualitas kompos. Meskipun kandungan nilai N dan P kompos sludge lebih besar dari kompos campuran sludge dengan sampah organik, kompos sludge tidak mencapai rangking 4 besar. Hal ini dikarenakan kompos sludge cepat menggumpal bila kadar airnya turun. Kompos HTK mendapat rangking pertama pada kualitas kompos. Hal ini disebabkan karena kandungan N, P, dan K kompos tersebut lebih besar dari kompos campuran sludge dan sampah organik lainnya pada metoda konvensional. Padahal kompos pada kompos tersebut tidak ditambahkan pupuk NPK, sumber N, dan EM4. Kompos yang lama waktu pengomposannya lebih cepat mendapatkan rangking lebih besar. Dengan demikian metoda pengomposan yang direkomendasikan adalah pengomposan sludge dengan sampah organik halaman tanpa menggunakan EM4 dan menggunakan metoda konvensional (HTK). Tabel 3. Rangking Jenis Kompos
No. 1 2 3 4 5 6
Jenis kompos HEK HTK JEK JTK KEK KTK
Rangking Lama waktu Kualitas pengomposan kompos 1 3 1 1 1 2 1 4 1 6 1 5
No. 7 8 9 10 11 12
Jenis kompos HEA HTA JEA JTA KEA KTA
Rangking Lama waktu Kualitas pengomposan kompos 2 * 2 * 2 * 2 * 2 * 2 *
Keterangan: * belum dilakukan pengukuran kualitas kompos
4. KESIMPULAN Karakteristik sludge dari pengolahan air limbah MIZONE yang terkait dengan pemanfaatannya sebagai bahan baku kompos adalah nitrogen total Kjeldahl 0,47-1,54% dan fosor total 0,24-0,31 mg/L. Sludge mudah menggumpal sehingga kurang baik untuk dikompos tanpa campuran sampah organik. Pengomposan optimum yang direkomendasikan adalah pengomposan sludge dicampur dengan sampah organik halaman dan diolah dengan metoda konvensional selama 8 minggu. Unsur hara kompos yang dihasilkan tersebut memenuhi spesifikasi kompos (SNI:19-7030-2004). Saran dari penelitian ini adalah diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pemakaian kompos yang dihasilkan dari sludge dan sampah organik terhadap tanaman serta efek toksik sludge terhadap pertumbuhan mikroorganisme dalam pengomposan. DAFTAR PUSTAKA Abdelhamid, M. T., Horiuchi, T., dan Oba, S. (2004), “Composting of Rice Straw with Oilseed Rape Cake and Poultry Manure and Its Effects on Faba Bean (Vicia faba L.) Growth”, Bioresource Technology, Vol. 93, hal. 183-189. Anonim (2009), Bokashi (Bahan Organik Kaya akan Sumber Hayati), http://www.deptan.go.id/feati/teknologi/BOKASHI.pdf, dikutip pada 14 September 2009. Anonim (2010b), Using Compost as a Soil Amendemnet, http://www.compostassoilamend.htm, dikutip pada 4 Januari 2010. Abouelwafa, R., addi, G.A., Souabi, S., Winterton, P., Cegarra, J., dan Hafidi, M. (2008), “Aerobic Biodegradation of Sludge from The Effluent of a Vegetable Oil Processing Plant Mixed with Household Waste: Physical-Chemical, Microbiological, and Spectroscopic Analysis”, Bioresource Technology, Vol. 99. hal. 8571-8577.
7
Baeta-Hall, L., Sàágua, M. C., Bartolomeu, M. L., Anselmo, A. M., dan Rosa A. F. (2005), ”Bio-degradation of Olive Oil Husks in Composting Aerated Piles”, Bioresource Technology, Vol. 96. hal. 69-78. Bernal, M. P., Alburquerque, J. A., dan Moral R. (2009), “Composting of Animal Manures and Chemical Criteria for Compost Maturity Assessmen, a Review, Biosource Technology, Vol. 100, hal. 5444-5453. Bueno, P., Tapias, R., Lo´pez, F., dan Dı´az, M.J. (2008), “Optimizing Composting Parameters for Nitrogen Conservation in Composting”, Bioresource Technology, Vol. 99, hal. 5069–5077 Eaton, Andrew D., Clesceri, Lenore S., and Greenberg, Arnold E. (1995), Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater, 19th edition. American Public Health Association, Washington. Isro’i (2009), Pengomposan Limbah Padat Organik, http://www.ipard.com/art_perkebun/KomposLimbahPadatOrganik.pdf, dikutip pada 14 Agustus 2009. Metcalf and Eddy, (2003), “Waste Water Engineering, Collection and Pumping of Waste Water”, 4th edition, Mc Graw Hill Book Company, New York Nemerow, N.L. (2007), Industrial Waste Treatment: Contemporary Practice and Vision for the Future, Elsevier Inc., New York. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999, Tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun, Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999, Tentang : Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan BerbahayaDan Beracun, Jakarta. Petric, I., Šestan, A., dan Šestan, I. (2009), “Influence of Wheat Straw Addition on Composting of Poultry Manure”, Process Safety and Environmental Protection, Vol. 87, hal. 206-212. Pichtel, J. (2005), Waste Management Practice: Municipal, Hazardous, and Industrial, Taylor & Francis Goup, New York. Prasadha Pamunah Limbah Insuatri (PPLI), 2009, Analitycal Report for Tirta Investama Pandaan, PPLI, Cileungsi. Ponsá, S., Gea, T., Alerm, L., Cerezo, J., dan Sánchez, A. (2008), “Comparison of Aerobic and Anaerobic Stability Indices through a MSW Biological Treatment Process”, Waste Management , Vol. 28, hal. 2735–2742 Rasapoor, M., Nasrabadi, T., Kamali, M., dan Hoveidi, H. (2009), “The Effects of Aeration Rate on Generated Compost Quality, Using Aerated Static Pile Method”, Waste Management, Vol. 29, hal. 570-573 SNI:19-7030-2004 (2004), Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Sulistyawati, E., Mashita, N., dan Choesin, D.N. (2008), ”Pengaruh Agen Dekomposer Terhadap Kualitas Hasil Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga”, Seminar Nasional Penelitian Lingkungan di Perguruan Tinggi, 7 Agustus, Universitas Trisakti, Jakarta. Sundberg, C. dan Jönsson, H. (2008), “Higher pH and Faster Decomposition in Biowaste Composting by Increased Aeration”, Waste Manajemen, Vol. 28, hal. 518-526. Zhu, Nengwu (2007), “Effect of Low Initial C/N Ratio on Aerobic Composting of Swine Manure and Rice Straw”, Bioresource Technology, Vol. 98, hal. 9-13.
8