OPTIMASI CHEMICAL CONDITIONING UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI DEWATERING LUMPUR BIOLOGIS IPAL PT. ROHM AND HAAS INDONESIA Rianti Rahardja, Setyo Sarwanto Moersidik, dan Cindy Rianti Priadi
Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Email :
[email protected]
Abstrak
Proses lumpur aktif dalam suatu Instalasi Pengolahan Air limbah (IPAL) dapat menghasilkan lumpur biologis (WAS) dengan kadar air berkisar 90-99%. Pengolahan lumpur hingga pembuangannya dapat menghabiskan 60% dari total biaya operasional IPAL tersebut. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui proses chemical conditioning yang optimaluntuk mengurangi kandungan kadar air lumpur, dengan membandingkan variasi dosis tawas, FeCl3, kapur, dan polielektrolit kation. Variabel optimasi termasuk kadar air, pH, volatile solid (VS), dan total solid (TS), akan digunakan sebagai analisis dalam mendapatkan hasil chemical conditioning yang optimal. Tawas dengan dosis 18 gr/L dapat menurunkan kadar air WAS dari 97,33% menjadi 77,79%. FeCl3 dengan dosis 12 gr/L dapat menurunkan kadar air WAS dari 97,33% menjadi 69,60%. Kapur dengan dosis 6,5 gr/L dapat menurunkan kadar air WAS dari 97,33% menjadi 73,23%. Polielektrolit kation dengan dosis 9 gr/L dapat menurunkan kadar air WAS dari 97,33% menjadi 57,30%. Conditioner yang paling optimal pada WAS PT. Rohm and Haas Indonesia (RHI) adalah tawas; dengan dosis optimum sebesar 10 gr/L. Peningkatan efisiensi dewatering lumpur melalui chemical conditioning yang dioptimalkan adalah sebesar 11,74%. Selanjutnya, dilakukan perhitungan biaya meliputi aspek bahan kimia, penyesuaian pH, dan timbulan lumpur. Biaya tahunan pada dosis tawas optimal adalah Rp7.434.136,-, dibandingkan biaya tahunan sebelum adanya chemical conditioning lumpur yang berkisar Rp 32.640.000,-. Penelitian chemical conditioning lebih lanjut disarankan untuk menambah parameter capillary suction time (CST) dan sppecific resistance of filtration (SRF) lumpur agar dapat mengestimasi dewaterability lumpur dengan lebih baik.
Kata kunci : chemical conditioning;conditioner; kadar air; lumpur biologis; pH; volatile solid
CHEMICAL CONDITIONING OPTIMIZATION TO ENHANCE THE DEWATERING EFFICIENCY OF WASTE ACTIVATED SLUDGE WWTP PT. ROHM AND HAAS INDONESIA Abstract Activated sludge process in a wastewater treatment plant (WWTP) can produce biological sludge (WAS) with a water content ranging from 90-99%. Sludge treatment consist of up to 60% of the total operational cost of the WWTP. It is necessary to use dewatering process to reduce the water content of sludge. The method used in this
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
study are chemical conditioning using a range of dosage of alum, FeCl3, lime, and cationic polyelectrolyte. Optimizing parameters consist of water content, pH, temperature, volatile solids (VS), and total solids (TS). Alum dose of 18 g/L reduced WAS water content from 97.33% to 77.79%. FeCl3 dose of 12 g/L reduced WAS water content from 97.33% to 69.60%. Lime dose of 6.5 g/L reduced WAS water content from 97.33% to 73.23%. Cationic polyelectrolyte dose of 9 g/L reduced WAS water content from 97.33% to 57.30%. Alum was found to be the most conditioner for PT. Rohm and Haas Indonesia WAS with an optimum dose of 10 g/L. The efficiency increase of the optimized sludge dewatering process through chemical conditioning is 11.74%. Total cost including chemical conditioner, pH adjustment, and sludge generation. Total annual expenses is Rp7,434,136,- using sludge conditioner, compared to an annual total expenses before chemical conditioning of Rp32,640,000,-. Further research is recommended to add capillary suction time (CST) parameter as well as the specific resistance of filtration (SRF) in order to improve WAS dewaterability estimation.
Key words : chemical conditioning; conditioner; water content;waste activated sludge; pH; volatile solid
PENDAHULUAN
Proses lumpur aktif (activated sludge) merupakan metode yang paling sering digunakan untuk pengolahan biologis air limbah, baik domestik maupun industri. Dalam proses ini, polutan organik dan anorganik ditransformasi menjadi end-product yang dapat diterima, dan air olahannya dapat dibuang ke badan air dalam lingkungan. Sejumlah kelebihan lumpur aktif (mengandung kurang lebih 99% air) dihasilkan dalam proses ini. Pengolahan dan pembuangan (disposal) dari lumpur ini termasuk mahal dan merupakan 60% dari total biaya operasi Wastewater Treatment Plant (WWTP) (Canales et al., 1994; Low and Chase.,1999; Wei et al., 2003). Untuk mengurangi pengeluaran biaya pembuangan (disposal), WWTP menggunakan berbagai macam proses untuk membantu mengurangi volume lumpur dengan mengurangi kadar air dalam lumpur (Dynam AC Corporation, 1999). Sisa lumpur aktif (waste activated sludge) yang berasal dari pengolahan biologis merupakan hasil samping yang berasal dari proses biologis activated sludge. Waste activated sludge (WAS) ini biasanya masih memiliki kadar air sampai 99,2% (Metcalf and Eddy, 2003). Oleh karena itu, proses dewatering dapat dipertimbangkan sebagai metode yang efektif untuk mengurangi volume lumpur (Scholz et al., 2005). Bagian padatan (solid) dari lumpur biologis disusun oleh sel-sel mikroba dan Extra-cellular Polymeric Substances (EPS) yang berhubungan satu sama lain antar selnya (Comte et al., 2007). Kadar EPS yang merepresentasikan kadar organik dalam lumpur biologis dapat menghambat proses dewatering, karena EPS mengikat sel-sel melalui interaksi kompleks untuk membentuk struktur jaring-jaring yang luas dengan sedikit air, yang melindungi sel-sel
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
3
dari proses dewatering (Wingender et., 1999). Kadar organik tersebut dapat diukur dengan kadar Volatile Suspended Solid (VSS) dalam lumpur. Kadar volatile solid (VS) dalam lumpur biologis biasanya sekitar 70-80%. Semakin tinggi nilai VS, maka ekstraksi air dari lumpur akan menjadi semakin sukar (Hosnani et al., 2010). Untuk membantu mengurangi kadar air dalam lumpur IPAL, maka dibutuhkan suatu proses dimana padatan lumpur ditambahkan dengan bahan kimia atau cara lain untuk mengkondisikan lumpur sebelum masuk dalam proses dewatering. Ketika mempertimbangkan biaya seperti peralatan modal, conditioning agent (bahan kimia), transportasi dan penanganan conditioning agent, dalam banyak kasus, terbukti bahwa chemical conditioning menjadi yang paling ekonomis dan sejauh ini adalah metode yang paling umum digunakan dalam pengolahan lumpur (Mustin, 2001). PT. Rohm and Haas Indonesia (PT. RHI) yang memproduksi emulsi akrilik juga memiliki lumpur biologis dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu, bagaimana pengaruh optimasi chemical conditioning tersebut terhadap peningkatan efisiensi dewatering lumpur biologis IPAL PT. RHI perlu diteliti lebih lanjut. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh jenis dan dosis conditioner agent dalam proses peningkatan efisiensi dewatering lumpur IPAL PT. RHI; melakukan optimasi dosis dan biaya dari chemical conditioning dalam mereduksi kadar air lumpur; serta menghitung besarnya efisiensi dewatering lumpur dari penggunaan chemical conditioning yang dioptimalkan.
TINJAUAN TEORITIS Lumpur didefinisikan sebagai zat sisa (residu), berupa material semi-solid yang berasal dari proses pengolahan limbah (US EPA, 1999). Sistem pengolahan biologis yang paling banyak digunakan oleh industri adalah sistem lumpur aktif konvensional. Dalam semua sistem lumpur aktif, setelah air limbah telah menerima perawatan yang mencukupi, kelebihan mixed liquor (WAS) dibuang ke bak pengendap sekunder dan supernatan dilimpaskan untuk menjalani perawatan lebih lanjut sebelum dibuang (Metcalf, 2003). Lumpur aktif (AS) adalah campuran dari partikel, mikroorganisme, koloid, polimer organik, dan kation di mana komposisinya bergantung pada sumber sampel dan waktu pengambilan sampel (Nguyen, 2008). Karakteristik lumpur biologis yang perlu ditinjau di dalam proses conditioning adalah pH, temperatur, Total Suspended Solid (TSS), dan Volatile Suspended Solid (VSS). Matrix VSS
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
4
sebagian besar disusun oleh extracellular polymeric substances (EPS) yang berasal dari berbagai macam proses mikroba (mikroskopik), terutama pertumbuhan biomassa, lisis, dan penggunaan substrat (Laspidou dan Rittmann, 2002; Liu and Fang, 2003; Raszka et al., 2006). EPS merupakan komponen utama dari kumpulan (agregat) mikroba untuk menjaga agar agregat mikroba tersebut tetap berada dalam bentuk (matrix) tiga dimensi (Sheng, 2010). Tujuan bagian penanganan lumpur adalah agar kadar air lumpur dapat dikurangi sampai serendah-rendahnya. Tujuan lainnya adalah untuk menstabilkan organik terurai yang masih terkandung dalam lumpur. Sebelum kering dan stabil, lumpur tidak boleh dibuang ke lingkungan karena masih dapat menimbulkan dampak merugikan. Menurut Metcalf (2003), conditioning merupakan proses pengolahan lumpur secara kimia atau fisik untuk meningkatkan penghilangan air dari lumpur. Proses conditioning
pada umumnya dapat
dilakukan dengan metode kimiawi (chemical conditioning) atau dengan metode fisik (biasanya heat conditioning). Bahan kimia dapat digunakan untuk meningkatkan dewaterability lumpur dengan bertindak sebagai koagulan. Proses dewatering berguna untuk mengurangi kadar air dalam lumpur sehingga lumpur menjadi lebih mudah dibuang (disposal). Tujuannya adalah untuk mencapai kadar air 60-80%, bergantung pada metode pembuangannya (disposal). Penggunaan bahan kimia untuk pengondisian lumpur termasuk cara yang ekonomis dalam meningkatkan proses dewatering, karena dapat meningkatkan hasil dan fleksibilitas yang lebih besar. Chemical conditioning dapat mengurangi kadar air lumpur dari 90-99% menjadi 65-85%, bergantung pada sifat padatan yang akan diolah (Metcalf, 2003). Chemical conditioning terlihat hasilnya dalam proses koagulasi padatan (solid) dan pelepasan air yang diabsorbsi. Conditioning digunakan pada sistem dewatering mekanik seperti vacuum filtration, sentrifugasi, belt filter press, dan pressure filter press. Bahan kimia yang biasa digunakan adalah feri klorida (FeCl3), kalsium karbonat/kapur (CaCO3), alum (Al2(SO4)3), dan polimer organik. Selain kation, polielektrolit juga merupakan material yang cukup efisien dalam flokulasi, yang dapat membentuk jaringan dan menyerap solid di atasnya sehingga membuat lumpur terflokulasi (Xuan Yin et al., 2004). Dengan adanya tambahan bahan kimia dalam chemical conditioning, maka dapat meningkatkan dewaterability lumpur biologis dengan mendegradasi EPS. Degradasi EPS dapat mengurangi karakteristik retensi air dalam melepaskan air terikat (bound water) dalam EPS. Degradasi EPS juga dapat mengurangi stabilitas sel namun menambah ukuran flok lumpur, yang menghasilkan peningkatan kemampuan filtrasi lumpur (Pham, 2011). Agen conditioning yang memiliki muatan positif, lebih mudah ketika berikatan dengan muatan
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
5
negatif yang dimiliki oleh EPS (mayoritas zat organik), di mana di dalamnya terjadi netralisasi muatan atau bridging antar partikel (Sheng, 2010). Contohnya seperti FeCl3, ketika dibubuhkan sebagai conditioner, maka FeCl3 akan terurai dan menghasilkan ion positif Fe3+ yang akan berikatan dengan partikel negatif lumpur, terjadi netralisasi muatan atau bridging antar partikel, lalu membentuk flok lumpur yang lebih besar, sehingga air terikat (bound water) menjadi lebih mudah dilepaskan dari lumpur, dan dengan demikian telah meningkatkan dewaterability lumpur (Haas, 2000).
METODE PENELITIAN Bahan dan alat Sampel lumpur biologis yang digunakan dalam penelitian diambil dari bak pengendap sekunder pada IPAL PT. Rohm and Haas Indonesia, Cilegon, Banten. Tempat penelitian dan pengecekan parameter dilaksanakan di laboratorium PT. Rohm and Haas Indonesia. Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2013 hingga Mei 2013. Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan jar test. Variabel yang diukur Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis dan dosis agen conditioning, yang berupa ferric chloride (FeCl3), tawas (Al2(SO4)3), kapur (CaO), dan polyelectrolyte (polimer organik) yang diujicobakan secara bergantian. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah persentase pengurangan kadar air lumpur. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah pH, temperatur, TS, dan VS lumpur. Teknik pengambilan data Sampel lumpur biologis pada penelitian ini diambil dari hasil pengolahan biologis (berupa bak aerasi) yang telah diendapkan dalam bak pengendap sekunder. Sebelum melakukan penelitian pada skala laboratorium, dilakukan pengukuran data primer terlebih dahulu untuk data temperatur, pH, TS,dan VS sampel lumpur baku yang kemungkinan besar akan mempengaruhi efisiensi dewatering yang akan diukur selama penelitian nantinya. Analisis awal ini dilakukan di laboratorium dalam kurun waktu 2 jam setelah pengambilan sampel untuk menghindari proses penuaan akibat penyimpanan sampel terlalu lama (Hosnani, 2010). Sampel lumpur baku sebanyak 1 liter diaduk secara manual atau dengan pengaduk selama 1 menit sehingga menjadi homogen, kemudian diteliti kondisi awal lumpur, yakni pH, temperatur, TS, dan VS yang diuji secara duplo agar didapatkan data penelitian yang lebih representatif.
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
6
Proses pengkondisian lumpur secara kimiawi ini dilakukan dengan metode jar test. Untuk setiap sampel yang masing-masing sebanyak 500 mL dibubuhkan agen conditoning berdasarkan jenis dan dosisnya, alat jar-stirring dijalankan dengan kecepatan tinggi 200 rpm selama 20 detik dan dilanjutkan dengan kecepatan rendah 120 rpm selama 40 detik (Citeau et al., 2011). Lumpur baku homogen yang dibutuhkan untuk percobaan chemical conditioning dimasukkan dalam gelas beaker 1000 mL dan diberi agen conditioning dengan dosis FeCl3, tawas (alum), dan kapur (CaO) sebesar 6 g/L, 8 g/L, dan 10 g/L (Mustin et al., 2001). Sementara konsentrasi larutan polielektrolit kationik adalah sebesar 3 g/L, 5g/L, dan 10 g/L (Citeau et al., 2011). Setelah melakukan jar-stirring, sampel masing-masing akan diukur temperatur, pH, TS dan VS. Analisis data Untuk menguji pengaruh pengkondisian (conditioning) lumpur terhadap efisiensi dewatering lumpur tersebut, dilakukan pengujian dan pengukuran terhadap persentase pengurangan kadar air lumpur. Sampel yang telah dikondisikan diambil dengan massa yang sama untuk setiap sampel, masing-masing ditaruh di cawan petri, lalu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam. Kadar air didapatkan melalui perhitungan sebagai berikut: !"#"$"%$ =
!−! !"##% !−!
dengan keterangan berikut : A = berat cawan (mg) B = berat cawan + sampel awal (mg) C = berat awan + sampel setelah dioven 1 jam (mg) Setelah didapatkan nilai kadar air masing-masing lumpur, maka dibuat skenario-skenario yang berfungsi untuk mengoptimalkan chemical conditioning di mana akan dibandingkan semua variabel yang dipertimbangkan dalam optimasi tersebut, yaitu persentase kadar air lumpur serta biaya-biaya yang akan dikeluarkan untuk penyediaan conditioner agent (bahan kimia), penyesuaian pH, dan pembuangan akhir timbulan lumpur. HASIL PENELITIAN Dari proses chemical conditioning yang dilakukan dalam skala laboratorium, maka didapatkan variasi data lumpur untuk masing-masing conditioner seperti yang tertera pada tabel 4.2, 4.3, 4.4, dan 4.5. Untuk percobaan chemical conditioning dengan tawas, didapatkan bahwa dengan variasi dosis tawas dari 6 gr/L hingga 34 gr/L dapat menurunkan kadar air baku yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 77,79%.
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
7
Tabel 1. Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan Tawas
No.
Sampel (Kadar Conditioner)
pH
TS
VS
Kadar Air
(mg/L)
(mg/L)
(%)
1
Lumpur Baku (Tanpa Pengenceran)
7,22
24.140
12.433
97,33
2
Lumpur + Tawas (6 gr/L)
4,38
59.098
30.615
92,00
3
Lumpur + Tawas (8 gr/L)
4,12
53.482
39.230
89,71
4
Lumpur + Tawas (10 gr/L)
4,02
103.992 51.038
83,43
5
Lumpur + Tawas (12 gr/L)
4,00
132.600 92.148
83,05
6
Lumpur + Tawas (14 gr/L)
3,97
143.820 79.098
85,12
7
Lumpur + Tawas (16 gr/L)
3,92
164.913 83.530
81,76
8
Lumpur + Tawas (18 gr/L)
3,89
169.513 57.652
77,79
9
Lumpur + Tawas (22 gr/L)
3,90
176.485 122.228 86,36
10
Lumpur + Tawas (26 gr/L)
3,85
178.975 161.590 91,45
11
Lumpur + Tawas (34 gr/L)
3,76
180.025 109.618 92,51
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium (2013)
Begitu pula dengan hasil percobaan chemical conditioning dengan conditioner lainnya. Variasi dosis feri klorida (FeCl3) dari 6 gr/L hingga 18 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 69,60%. Variasi dosis kapur (CaO) dari 6 gr/L hingga 10 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 73,23%. Lalu variasi dosis polielektrolit kationik dari 3 gr/L hingga 12 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 57,30%. Menurut Xuan Yin et al. (2004), chemical conditioning dapat mengurangi kadar air lumpur dari 90-99% menjadi 65-85%, sehingga dari keempat jenis conditioner tersebut, semuanya dapat digunakan sebagai conditioner lumpur yang cukup efektif, hanya saja harus digunakan secara optimal dalam hal menentukan dosisnya, agar mencapai sasaran penurunan kadar air yang dibutuhkan dan tetap dapat bersifat ekonomis bagi perusahaan. Tabel 2. Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan FeCl3 No.
Sampel (Kadar Conditioner)
pH
TS
VS
Kadar Air
(mg/L)
(mg/L)
(%)
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
8
1
Lumpur Baku (Tanpa Pengenceran)
7,22
24.140
12.433
97,33
2
Lumpur + FeCl3 (6 gr/L)
3,53
32.895
25.480
95,91
3
Lumpur + FeCl3 (8 gr/L)
2,94
51.573
44.595
94,27
4
Lumpur + FeCl3 (10 gr/L)
2,53
169.376 62.035
86,15
5
Lumpur + FeCl3 (12 gr/L)
2,49
243.090 182.033 69,60
6
Lumpur + FeCl3 (14 gr/L)
2,42
246.405 221.675 80,66
7
Lumpur + FeCl3 (16 gr/L)
2,36
251.290 225.135 85,46
8
Lumpur + FeCl3 (18 gr/L)
2,24
271.575 114.945 87,25
Sumber : Hasil PengujianLaboratorium(2013)
Tabel 3. Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan CaO
No.
Sampel (Kadar Conditioner)
pH
TS
VS
Kadar Air
(mg/L)
(mg/L)
(%)
1
Lumpur Baku (Tanpa Pengenceran)
7,22
24.140
12.433
97,33
2
Lumpur + Kapur (6 gr/L)
12,11 86.835
48.927
90,99
3
Lumpur + Kapur (6,5 gr/L)
12,29 213.870 200.590 73,23
4
Lumpur + Kapur (7 gr/L)
12,32 106.955 57.632
87,38
5
Lumpur + Kapur (7,5 gr/L)
12,31 113.662 33.470
87,80
6
Lumpur + Kapur (8 gr/L)
12,27 69.910
19.452
93,06
7
Lumpur + Kapur (10 gr/L)
12,40 37.150
20.847
96,05
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium (2013)
Tabel 4. Hasil Pengolahan Data Conditioning dengan Polielektrolit Kation
No.
Sampel (Kadar Conditioner)
pH
TS
VS
Kadar Air
(mg/L)
(mg/L)
(%)
12.433
97,33
1
Lumpur Baku (Tanpa Pengenceran)
7,22 24.140
2
Lumpur + Poli.Kation (3 gr/L)
7,31 164.846 100.000 75,58
3
Lumpur + Poli.Kation (5 gr/L)
7,23 218.370 105.000 74,60
4
Lumpur + Poli.Kation (6 gr/L)
7,03 248.660 232.851 60,73
5
Lumpur + Poli.Kation (7 gr/L)
7,13 323.750 209.901 59,38
6
Lumpur + Poli.Kation (8 gr/L)
7,18 351.873 328.196 58,70
7
Lumpur + Poli.Kation (9 gr/L)
7,28 422.860 400.000 57,30
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
9
8
Lumpur + Poli.Kation (10 gr/L)
7,24 441.960 441.708 58,74
9
Lumpur + Poli.Kation (12 gr/L)
7,21 464.420 443.850 75,21
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium (2013)
PEMBAHASAN Proses chemical conditioning Untuk lumpur baku yang belum mengalami perlakuan pengkondisian apapun, yang telah diaduk dalam jar tes pula memiliki karakteristik awal seperti yang tertera pada tabel 1. Lumpur ini secara fisik berwarna hitam keabuan dan agak encer. Tabel 5. Karakteristik Lumpur Baku Awal Karakteristik
Nilai
Satuan
Suhu
27,8
o
pH
6,5-7,5
-
Total solid
24.140
mg/L
Volatile solid
12.433
mg/L
Kadar air
97,33
%
Lumpur Baku
C
Sumber : Hasil Pengujian Laboratorium (2013)
Agar lebih representatif (mengurangi faktor kesalahan dalam pengenceran), maka yang diperiksa akhirnya adalah kadar TS yang merepresentasikan tidak hanya kadar TSS, namun juga kadar total dissolved solid (TDS), nilai TDS dapat diabaikan. Seperti data yang berasal dari jurnal sebelumnya, kadar TS lumpur biologis baku adalah sekitar 6.050 mg/L (Hosnani, 2010), dan kadar TSS lumpur biologis baku sekitar 6.381 mg/L (Yuan et al, 2011). Hal ini membuktikan bahwa kadar TSS jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar solid terlarut total (total dissolved solid/TDS) dalam lumpur, dan kadar TDS tersebut dapat diabaikan dalam percobaan. Setelah dianalisis lebih lanjut oleh penulis, adanya tambahan timbulan lumpur akan lebih representatif diukur dengan melihat perkembangan fraksi beratnya, yang dapat diukur dengan total solid (TS) tanpa adanya pengenceran. Sama seperti pengecekan TS lumpur, hal penyetaraan metode tersebut juga berlaku pada pengecekan VS lumpur, yang merepresentasikan kadar organik dalam lumpur. Percobaan chemical conditioningnya sendiri dimulai dengan membubuhkan conditioner ke dalam lumpur berdasarkan variasi yang didapatkan dari literatur. Detail iterasi dosis masingmasing bahan kimia sebagai agen pengkondisi (conditioner agent) tersebut adalah sebagai
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
10
berikut. Di minggu pertama percobaan penelitian, penulis membuat variasi dosis conditioner sesuai dengan penelitian sebelumnya berdasarkan penelitian Mustin et al. (2001), yaitu dosis FeCl3, tawas (alum), dan kapur (CaO) sebesar 6 g/L, 8 g/L, dan 10 g/L. Sementara konsentrasi larutan polielektrolit kationik adalah sebesar 3 g/L, 5g/L, dan 10 g/L (Citeau et al., 2011). Untuk melanjutkan percobaan, pada minggu selanjutnya, dosis masing-masing conditioner ditambahkan seperti tawas menjadi 12 gr/L hingga 18 gr/L pada minggu ke-2, dan terus menambah dosis percobaan tawas hingga 34 mg/L pada minggu ke-3 untuk mendapatkan titik jenuh dosis pembubuhan tawas dalam proses chemical conditioning ini. Demikian pula dengan jenis conditioner FeCl3, kapur, dan polielektrolit kation. Dosis FeCl3 yang juga ditambahkan dari 12 gr/L hingga 18 gr/L pada minggu ke-2. Oleh karena pada rentang dosis tersebut, FeCl3 telah ditemukan titik jenuhnya, maka untuk minggu selanjutnya tidak dilakukan penambahan dosis lagi. Untuk conditioner kapur, pada minggu pertama, kadar air lumpur hasil percobaan menunjukkan bahwa titik jenuh untuk dosis kapur berada pada rentang 6 gr/L hingga 8 gr/L, sehingga pada minggu selanjutnya dosis kapur diubah menjadi 6,5 gr/L, 7 gr/L, dan 7,5 gr/L agar dapat lebih terlihat titik jenuhnya. Begitu pula dengan perubahan dosis polielektrolit kation, yang diubah dosisnya dengan mempersempit rentang dosis dari 3-10 gr/L menjadi 6 gr/L, 7 gr/L, 8 gr/L, dan 9 gr/L. Hasil percobaan chemical conditioning Dari proses chemical conditioning yang dilakukan dalam skala laboratorium, maka didapatkan variasi data lumpur untuk masing-masing conditioner seperti yang tertera pada tabel 4.2, 4.3, 4.4, dan 4.5. Untuk percobaan chemical conditioning dengan tawas, didapatkan bahwa dengan variasi dosis tawas dari 6 gr/L hingga 34 gr/L dapat menurunkan kadar air baku yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 77,79%. Begitu pula dengan hasil percobaan chemical conditioning dengan conditioner lainnya. Variasi dosis feri klorida (FeCl3) dari 6 gr/L hingga 18 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 69,60%. Variasi dosis kapur (CaO) dari 6 gr/L hingga 10 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 73,23%. Lalu variasi dosis polielektrolit kationik dari 3 gr/L hingga 12 gr/L dapat menurunkan kadar air baku lumpur (WAS) yang awalnya sebesar 97,33% menjadi 57,30%. Menurut Xuan Yin et al. (2004), chemical conditioning dapat mengurangi kadar air lumpur dari 90-99% menjadi 65-85%, sehingga dari keempat jenis conditioner tersebut, semuanya dapat digunakan sebagai conditioner lumpur yang cukup efektif, hanya
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
11
saja harus digunakan secara optimal dalam hal menentukan dosisnya, agar mencapai sasaran penurunan kadar air yang dibutuhkan dan tetap dapat bersifat ekonomis bagi perusahaan. Analisis pengaruh conditioner terhadap kadar air dan solid lumpur
Pengaruh Tawas terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur 184,000 164,000 144,000
91.00
124,000 104,000 y = 0,045x2 -‐ 1,634x + 97,74 84,000 R² = 0,721 64,000
86.00 81.00
Solid (mg/L)
y = -‐201,3x2 + 12234x + 1782, R² = 0,903
Kadar Air (%)
96.00
Kadar Air Solid
44,000 76.00 -‐1.00
4.00
9.00
24,000 14.00 19.00 24.00 29.00 34.00
Dosis Condi6oner (gr/L)
Grafik 1. Pengaruh Conditioner Tawas terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Kadar air lumpur sebesar 77,79% dicapai oleh tawas pada dosis sebesar 18 gr/L. Jika dosis tawas yang dibubuhkan lebih besar dari konsentrasi tersebut, maka kadar air lumpur akan bertambah lagi. Pada konsentrasi 18 gr/L tawas itulah titik jenuh bagi conditioner tawas. Buyukkamaci (2004) menyebut hal tersebut terjadi karena muatan positif dari conditoner tawas sudah berikatan semuanya dengan muatan negatif yang mayoritas ada pada kandungan lumpur, pada dosis 18 gr/L tersebut. Jika diteruskan penambahan dosisnya, maka yang terjadi bukanlah pengikatan ion yang menyebabkan agregasi lumpur, namun yang terjadi adalah bertambahnya fraksi berat lumpur yang disebabkan oleh bertambahnya berat lumpur akibat penambahan bahan kimia yang tidak berikatan.
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
12
Pengaruh FeCl3 terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur
Kadar Air (%)
93.00
y = 390,5x2 + 11599x + 14336 R² = 0,814
223,000
88.00
173,000
83.00 123,000
78.00
y = 0,058x2 -‐ 2,015x + 100,5 R² = 0,4
73.00 68.00 0.00
Solid (mg/L)
98.00
Kadar Air Solid
73,000 23,000
5.00
10.00
15.00
Dosis Condi6oner (gr/L)
Grafik 2. Pengaruh Conditioner FeCl3 terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Bergitu pula dengan conditioner lainnya. Dari grafik 4.2 mengenai pengaruh conditioner FeCl3 terhadap kadar air dan solid lumpur, terlihat bahwa daerah kerja conditioner FeCl3 adalah pada kadar air lumpur sekitar 69,60% sampai 97,33%. Kadar air lumpur sebesar 69,60% dicapai oleh FeCl3 pada dosis sebesar 12 gr/L.
98
Kadar Air (%)
93 y = 0.5182x2 -‐ 5.1377x + 97.191 R² = 0.43614 88 83 y = -‐4511,x2 + 45769x + 24138 R² = 0,555 78 73 0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
204,000 184,000 164,000 144,000 124,000 104,000 84,000 64,000 44,000 24,000 10.0
Solid (mg/L)
Pengaruh CaO terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur
Kadar Air Solid Poly. (Kadar Air)
Dosis Condi6oner (gr/L) Grafik 3. Pengaruh Conditioner CaO terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
13
Dari grafik 4.3 mengenai pengaruh conditioner CaO terhadap kadar air dan solid lumpur, terlihat bahwa untuk dosis 6-10 gr/L CaO, maka penurunan kadar air lumpur dapat berkisar dari 73,23% sampai dengan 97,33%. Kadar air lumpur sebesar 73,23% dicapai oleh CaO pada dosis sebesar 6,5 gr/L. Lalu dari grafik 4.4 mengenai pengaruh conditioner polielektrolit kationik terhadap kadar air dan solid lumpur, terlihat bahwa daerah kerja conditioner polielektrolit kationik tersebut adalah pada kadar air lumpur sekitar 57,30% sampai 97,33%. Kadar air lumpur sebesar 57,30% dicapai oleh polielektrolit kationik pada dosis sebesar 9 gr/L. Hal ini terjadi seperti yang telah disebutkan oleh Zhang (2010), yaitu bahwa kation membantu proses dewatering dengan menjembatani area-area bermuatan negatif dari EPS, di mana dapat mendorong kemampuan pelepasan air (dewaterability), dan kadar air lumpur dapat berkurang cukup banyak hingga berada di bawah 60%.
97
Kadar Air (%)
424,000 374,000 324,000 274,000 224,000 2 174,000 y = 0.6243x -‐ 9.9428x + 99.793 R² = 0.89786 124,000 74,000 24,000 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0
y = -‐768.67x2 + 46869x + 31156 R² = 0.96502
92 87 82 77 72 67 62 57 0.0
2.0
Solid (mg/L)
Pengaruh Polielektrolit Ka6on terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur
Kadar Air Solid Poly. (Kadar Air)
Dosis Condi6oner (gr/L) Grafik 4. Pengaruh Conditioner Polielektrolit Kation terhadap Kadar Air dan Solid Lumpur Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Dari hasil percobaan yang terpapar pada grafik 4.1, 4.2, 4.3, dan 4.4, terlihat bahwa conditioner yang dapat menurunkan kadar air lumpur paling rendah adalah conditioner yang berupa polielektrolit kationik, yang merupakan polimer organik. Analisis Pengaruh Kadar Organik terhadap Kadar Air Lumpur Jika hasil pemeriksaan kadar organik lumpur yang ada dihubungkan dengan kadar air lumpur, maka untuk masing-masing conditioner memiliki kecenderungan grafik yang sama. Keempat
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
14
conditioner menunjukkan hasil yang serupa, yaitu semakin besar kadar organik dalam suatu lumpur, maka kadar air yang terekstrak dari lumpur akan semakin sedikit.
Air yang Terekstrak (mg/L)
Kadar VS vs Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur 860,000 810,000
y = -‐1,032x + 88415 R² = 0,940
Tawas
760,000
FeCl3
710,000
CaO
660,000 y = -‐2,051x + 87604 R² = 0,944 610,000 y = -‐1,142x + 82973 R² = 0,812 560,000 12,000 92,000 172,000
Poli.KaHon Linear (Tawas) y = -‐0,744x + 81090 R² = 0,753 252,000
Linear (FeCl3)
332,000
Kadar VS (mg/L) Grafik 5. Pengaruh Kadar VS terhadap Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur – Tren Linear Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Air yang Terekstrak (mg/L)
Kadar VS vs Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur 860,000 810,000
y = -‐57550ln(x) + 1E+06 R² = 0.90205
Tawas
760,000
FeCl3
710,000
CaO
y = -‐98093ln(x) + 2E+06 660,000 R² = 0.97644 610,000
Poli.KaHon
y = -‐88422ln(x) + 2E+06 R² = 0.93641
560,000 12,000
92,000
172,000
y = -‐91946ln(x) + 2E+06 R² = 0.98694 252,000
Kadar VS (mg/L)
Log. (Tawas)
332,000
Grafik 6. Pengaruh Kadar VS terhadap Jumlah Air Terekstrak dari Lumpur – Tren Logaritmik Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
15
Analisis Perhitungan Optimasi Biaya sebesar Rp 32.640.000,-
harus dikeluarkan oleh PT.RHI setiap tahunnya untuk
operasional pengolahan lumpur biologis (detail perhitungan biaya ada pada lampiran 7). Biaya tersebut dapat dikurangi dengan adanya pengolahan awal (preliminary treatment) dari pihak PT. RHI untuk mengurangi timbulan lumpur tersebut, yaitu salah satu caranya adalah dengan melakukan chemical conditioning dengan pembubuhan dosis yang optimal.
Pengaruh Condi6oner pada pH Tawas
10.00
FeCl3
8.00
Kapur
6.00
Poli. KaHon
4.00
Linear (Tawas)
pH
12.00
2.00 -‐2
3
8
13
18
Kadar Condi&oner (gr/L)
Linear (FeCl3) Linear (Kapur)
Grafik 7. Pengaruh Kadar Conditioner terhadap pH Lumpur Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Perhitungan optimasi yang akan digunakan penulis untuk menghitung jumlah biaya untuk setiap hasil pengkondisian lumpur sebagai upaya optimalisasi chemical conditioning adalah sebagai berikut : !"#$# !"#$% !" = ! !"#$% + ! !"#$%&%"#'! + !"#$# !" !"#$%&'()& (4.1) Dari rumus di atas, terlihat bahwa untuk menganalisis seberapa besar biaya yang dihasilkan dari masing-masing penggunaan conditioner maka yang harus ikut diperhatikan dalam perhitungan dan mempengaruhi perhitungan tersebut adalah jumlah timbulan lumpur akhir yang terjadi, jumlah conditioner yang dibubuhkan, dan biaya yang akan dikeluarkan untuk penyesuaian pH. Dari perhitungan optimasi yang telah ditetapkan di atas, maka penulis membuat 2 macam skenario optimasi yang berguna untuk menguji dan mencari skenario mana yang dapat menghasilkan proses chemical conditioning yang paling optimal. Keadaan optimal yang dimaksud dalam skenario ini dapat digunakan sebagai decision support system
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
16
(DSS), di mana PT. RHI dapat menentukan jenis dan dosis conditioner mana yang akan dipakai dalam proses chemical conditioning yang akan digunakan nantinya, sesuai dengan keadaan lumpur biologis dan keinginan perusahaan. Jika proses optimasi ingin dirancang menjadi sebuah decision support system (DSS), maka perlu pula membandingkan total biaya chemical conditioning yang dihasilkan dari perbandingan dosis conditioner pada kondisi pencapaian kadar air lumpur yang sama. Oleh karena setiap conditioner telah memiliki persamaan masing-masing yang merepresentasikan pengaruh dosis terhadap kadar air dan timbulan lumpur, maka perusahaan dapat menentukan sendiri juga kadar air lumpur yang diinginkan
sebagai
output
unit
chemical
conditioning-nya.
Misalnya,
perusahaan
menginginkan kadar air lumpur pada persentase tertentu seperti 75%, 80%, atau 85%. Skenario pertama adalah membandingkan biaya total proses chemical conditioning antara keempat conditioner dengan mengambil acuan kadar air lumpur akhir yang sama, yaitu sebesar 85%. Chemical conditioning dapat mengurangi kadar air lumpur dari 90-99% menjadi 65-85%, bergantung pada sifat padatan yang akan diolah (Xuan Yin et al., 2004). Penentuan acuan hasil akhir kadar air lumpur sebesar 85% adalah agar didapatkan kemungkinan hasil biaya total minimum yang dihasilkan dari keempat percobaan proses chemical conditioning yang ada. Skenario kedua adalah membandingkan biaya total proses chemical conditioning antara keempat conditioner dengan mengambil acuan dosis yang merupakan titik optimal antara kadar air lumpur dengan jumlah timbulan lumpur pada grafik 4.1 hingga 4.4 yang dicapai oleh keempat conditioner tersebut, sehingga optimasi conditioning lebih valid. Hasil perhitungan total biayanya terlihat dalam tabel 4.7. Dari hasil skenario 1 dan skenario 2 didapatkan biaya total operasional pengolahan lumpur tahunan yang berbeda antara kedua skenario tersebut. Biaya total pengolahan lumpur dengan conditioner tawas tercapai paling murah pada skenario 2, yaitu pada harga Rp 7.434.136,setiap tahun. Demikian juga dengan conditioner feri klorida (FeCl3). Biaya total pengolahan lumpur dengan conditioner FeCl3 tercapai paling murah pada skenario 2, yaitu pada harga Rp 12.984.106,- setiap tahun. Jika skenario 1 dijadikan acuan dalam menentukan dosis yang optimal bagi chemical conditioning lumpur biologis PT. RHI, maka jenis conditioner yang paling optimal untuk dipakai adalah polielektrolit kationik, dengan dosis sebesar 1,66 gr/L. Namun, dosis tersebut hanya dapat berlaku jika pada suatu syarat tertentu saja, yaitu pada saat perusahaan menginginkan kadar air lumpur sebesar 85%. Jika dilihat dari keseluruhan skenario proses optimasi chemical conditioning, maka jenis conditioner yang paling optimal untuk digunakan dalam mengolah lumpur biologis PT. RHI adalah tawas, dengan dosis sebesar 10 gr/L. Hal ini dapat disimpulkan demikian karena penggunaan conditioner tawas
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
17
sebanyak 10 gr/L inilah yang membutuhkan biaya total pengolahan yang paling ekonomis, menghasilkan timbulan lumpur yang paling sedikit, serta dapat menekan kadar air lumpur hingga mendekati batas kadar air lumpur yang diinginkan, yaitu sekitar 85,9%. Selain itu, conditioner tawas lebih banyak tersedia di pasaran daerah penelitian (Cilegon). Efisiensi pengurangan kadar air lumpur biologis yang dapat dilakukan setelah pemilihan conditioner yang optimal (tawas) adalah sebesar 14,28%. Desain Unit Chemical Conditioning Skala Industri PT. RHI 1 m
Dust collector
1,5 m
Quick Coupling
To Feeder Gambar 8. Tampak Penyimpanan Conditioner Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Sistem pembubuhan conditioner digunakan dengan menggunakan dosing pump yang dihisap melalui tangki conditioner kemudian diinjeksikan ke dalam lumpur sebelum lumpur masuk pada bak chemical conditioning. Desain dimensi bak chemical conditioning.
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
18
Tawas
1,6 m 0,15 m
1,85 m
Digested Sludge
Pump
Sludge Supply
Gambar 9. Tampak Samping (kiri) dan Tampak Atas (kanan) Bak Chemical Conditioning Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Gambar 10.Diagram Alir dari Pengolahan Biologis Limbah hingga Proses Chemical Conditioning Lumpur Biologis Sumber : Hasil Pengolahan (2013)
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
19
KESIMPULAN Dari hasil pengolahan dan analisa data dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu sebagai berikut : 1.
Secara garis besar, grafik penurunan kadar air lumpur berbanding terbalik dengan grafik timbulan fraksi berat lumpur, yaitu semakin banyak pemakaian dosis conditioner sampai dosis tertentu, maka kadar air lumpur akan semakin menurun, dan timbulan fraksi berat lumpur semakin bertambah, di mana keduanya akan mencapai suatu titik jenuh pada dosis tertentu.
2.
Jenis conditioner agent yang paling optimal untuk digunakan sebagai conditioner dalam proses chemical conditioning lumpur biologis PT. Rohm and Haas Indonesia adalah tawas dengan dosis optimum sebesar 10 gr/L. Hasil optimasi chemical conditioning lumpur biologis ini membutuhkan biaya operasional total tahunan sebesar Rp 7.434.136,-, turun dari biaya operasional total tahunan sebelum adanya chemical conditioning lumpur yang berkisar Rp 32.640.000,-.
3.
Efisiensi dewatering lumpur biologis IPAL PT. RHI melalui chemical conditioning yang dioptimalkan adalah sebesar 14,28%.
SARAN Agar penelitian yang selanjutnya dapat dilaksanakan dengan lebih maksimal, maka penulis menarik beberapa saran berdasarkan data-data sebelumnya, yaitu sebagai berikut : 1.
Untuk mendapatkan data awal karakteristik lumpur biologis sebaiknya lumpur diambil dari secondary clarifier segera setelah lumpur baru terbentuk, bukan lumpur yang telah diendapkan beberapa hari, agar hasil analisis perbandingan dapat menjadi lebih akurat dan sempurna.
2.
Dalam melakukan pengujian parameter seperti kadar organik lumpur sebaiknya dilakukan pada hari yang sama pada semua sampel, karena parameter biologis dapat berubah-ubah dengan cepat bergantung pada kondisi lingkungan pada saat pengawetan sampel.
Untuk pengecekan efisiensi dewatering selanjutnya, akan lebih baik jika parameter dewatering yang diperiksa tidak hanya kadar air lumpur saja, namun juga nilai capillary suction time (CST) lumpur menggunakan CST apparatus, atau nilai specific resistance of
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013
20
filtration (SRF) lumpur menggunakan test SRF, yang dapat mengestimasi dewaterability lumpur. Pada penelitian ini, penulis tidak menggunakan variabel tersebut dikarenakan adanya keterbatasan alat KEPUSTAKAAN Citeau, M., O. Larue, dan E. Vorobiev. 2011. Influence of Salt, pH and Polyelectrolyte on The Pressure Electro-Dewatering of Sewage Sludge. Water Research 45 (2011) 2167-2180. Hosnani, E., M. Nosrati, dan S.A. Shjasadati. 2010. Role of Extracellular Polymeric Substances in Dewaterability of Untreated, Sonicated, and Digested Waste Activated Sludge. Iran. J. Environ. Health. Sci. Eng., 2010, Vol. 7, No. 5, pp. 395-400. Metcalf & Eddy 2003. Wastewater Engineering Treatment and Reuse. MC. Graw- Hill. New York. America. Mikkelsen, Lene Haugaard dan Kristian Keiding. 2002. Physico-hemical Characteristics of Full Scale Sewage Sludges with Implications to Dewatering. Water Research 36 (2002) 2451–2462. Mustin, S. Deneux, B.S. Lartiges, G. Villemin, F. Thomas, J. Yvon, J.L. Bersillon, dan D. Snidaro. 2001. Ferric Chloride and Lime Conditioning of Activated Sludge an Electron Microscopic. Wat. Res. Vol. 35, No. 12, pp. 3018–3024. Reynold, Tom, D. 1982. Unit Operation and Processes in Environmental Engineering. Texas ANM University. Brooks/Cole Engineering Division. Monterey. California. Sawyer, Clair N., Perry L. McCarty, Gene F. Parkin. 2003. Chemistry for Environmental Engineering, 5th edition. New York : McGraw-Hill Inc. Vesilind P. A dan Tsang K R. 1990. Moisture Distribution in Sludges. Water Science and Technology, 22 (12) : 135–142.
Optimasi Chemical..., Rianti Rahardja, FT UI, 2013