Open Access dan Perguruan Tinggi Indonesia Aditya Nugraha, MS (Liauw Toong Tjiek) –
[email protected] Perpustakaan Universitas Kristen Petra Artikel ini telah diterbitkan sebagai bab buku di: This article has been published as a book chapter in: Liauw, T. T. (2013). Open access dan perguruan tinggi Indonesia. In J. G. Sujana & B. Mustafa (Eds.), Perpustakaan Indonesia menghadapi era open access (pp. 52). Bogor, Indonesia: Perpustakaan Institut Pertanian Bogor.
Tulisan ini dibuat dalam rangka penerbitan buku “Perpustakaan di Indonesia Menghadapi Era Open Access” oleh Perpustakaan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai bagian dari peringatan hari jadi ke-50 IPB. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk terus menggulirkan isu Open Access (OA) di Indonesia, seperti yang telah diawali pada JanuariPebruari 2013 melalui pelaksanaan Triplet Seminars “Open Access: the Future of Repositories and Scholarly Publishing” di Universitas Kristen Petra Surabaya, Universitas Sumatera Utara Medan, dan Universitas Indonesia. Triplet Seminars tersebut merupakan proyek kolaborasi ketiga universitas tersebut dengan Goethe-Institut Indonesien, Jakarta. Tulisan ini akan mencoba memberikan semacam pengantar tentang OA dan relevansinya dengan perguruan tinggi di Indonesia dari perspektif seorang pustakawan. Diskusi hanya akan membahas topik atau isu yang dianggap penting untuk diketahui dan/atau disikapi. Istilah Open Access sengaja tidak diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia (hanya disingkat menjadi OA) untuk menghindari kebingungan karena adanya dua terjemahan yang berbeda, – meski dengan arti yang relatif sama – yaitu Akses Bebas dan Akses Terbuka. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi dalam upaya meng-arus utama-kan (main-streaming) isu OA di Indonesia, khususnya di komunitas perguruan tinggi.
Apa itu Open Access? Untuk dapat memberikan pemahaman yang mudah bagi pembaca, maka sebelum membahas tentang sejarah dan definisi dari OA, perkenankan penulis membagikan pengalaman pribadi terkait OA ini. Saat penulis akan memulai studi S2 di bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi di sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat pada tahun 2001, penulis mengikuti sebuah program orientasi selama 3 minggu di kampus lain yang ditunjuk oleh pemberi beasiswa. Dalam masa orientasi ini masing-masing peserta diminta untuk membuat poster, dari bahan-bahan bekas pakai seperti koran dan majalah bekas, dengan topik sesuai bidang studi masing-masing. Penulis membuat poster yang terbagi dalam 2 bagian. Bagian pertama menggambarkan kondisi di mana penerbit jurnal ilmiah (scientific journal publishers) menjadi pihak perantara antara pihak 1
penulis (authors) dan pembaca (readers) melalui fungsi mereka sebagai pihak yang menyebarluaskan (diseminasi) informasi atau ilmu pengetahuan. Namun dalam menjalankan fungsi diseminasi ini, penerbit jurnal ilmiah malah cenderung menjadi penghalang antara penulis dan pembaca. Penulis gambarkan hal ini di poster sebagai tembok yang memisahkan penulis dan pembaca. Hal ini disebabkan oleh makin melambungnya harga berlangganan jurnal ilmiah tercetak (saat itu jurnal online belum banyak bermunculan). Harga yang tinggi menyebabkan akses pembaca ke artikel-artikel jurnal ilmiah menjadi sangat terbatas. Hal ini lebih terasa di negara-negara berkembang. Bagian kedua dari poster menggambarkan ‘mimpi’ penulis di mana fungsi penerbit jurnal ilmiah digantikan oleh sebuah payung atau tenda, yang mampu membawa (memfasilitasi) penulis dan pembaca dalam suatu kolaborasi yang harmonis. Saat penulis menjelaskan ‘mimpi’ tersebut ke dosen pengajarnya, ia mendapatkan respon bahwa ‘mimpinya’ terdengar sebagai sesuatu yang mustahil, mengingat pada tahun 2001 itu penerbit jurnal ilmiah begitu kuat mendominasi dan belum ada alternatif lain yang mampu menjalankan peran dan fungsi sebagai disseminator ilmu pengetahuan. Karena kondisi itulah maka saat itu penerbit jurnal ilmiah dapat secara sepihak menetapkan harga berlangganan jurnal. Dominasi ini dirasakan makin mencekik leher begitu banyak perguruan tinggi di dunia, termasuk di negaranegara maju sekalipun. Gerakan Open Access/GOA (OA Movement) muncul sebagai respon terhadap kondisi di atas, yaitu ingin menyediakan alternatif atau saluran (channel) lain untuk diseminasi informasi ilmiah atau ilmu pengetahuan. Perkembangan teknologi informasi, khususnya Internet, juga berkontribusi dalam munculnya GOA. Peristiwa penting terkait GOA dimulai dengan berkumpulnya sejumlah ilmuwan/peneliti, pustakawan, dan berbagai profesi lainnya pada tahun 2002 di kota Budapest, Hongaria. Pertemuan tersebut menghasilkan Deklarasi Budapest Open Access Initiative (BOAI), yang di dalamnya menyebutkan dua strategi untuk mencapai suatu kondisi keterbukaan akses terhadap literatur jurnal ilmiah, yaitu Self-Archiving dan Open-access Journals. (BOAI, 2002) Perlu dicatat di sini bahwa BOAI memberikan fokus dan strategi bagi peneliti/penulis terkait diseminasi hasil-hasil penelitian atau pemikiran mereka (scholarly publishing/publication). Kedua strategi ini akan dibahas lebih lanjut di bagian lain dari tulisan ini. GOA berlanjut pada tahun 2003 di kota Chevy Chase, Maryland, Amerika Serikat dengan bertemunya kembali berbagai pihak yang terkait dalam proses penelitian, penulisan ilmiah, dan penyebarannya. Pertemuan ini menghasilkan Bethesda Statement on Open Access Publishing (Pernyataan Bethesda tentang Publikasi OA). Pernyataan ini terdiri dari empat bagian, yaitu: (Suber, 2003) 1. Definisi dari Publikasi OA (Definition of OA Publication) 2. Pernyataan dari Kelompok Kerja Institusi dan Lembaga Penyandang Dana (Statement of the Institutions and Funding Agencies Working Group) 3. Pernyataan dari Kelompok Kerja Perpustakaan dan Penerbit (Statement of the Libraries and Publishers Working Group) 2
4. Pernyataan dari Kelompok Kerja Para Ilmuwan dan Organisasi Keilmuan (Statement of Scientists and Scientific Societies Working Group) Definisi dan ketiga pernyataan di atas dapat dianggap sebagai penjelasan lebih lanjut dan lebih operasional dari strategi Open-access Journals dari BOAI. Fokus dari Pernyataan Bethesda ini tetap pada strategi dan mekanisme publikasi ilmiah (scholarly publishing/publication). Pustakawan dan perpustakaan perguruan tinggi dalam hal ini memang merupakan salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) namun perannya tidaklah begitu tampak atau menonjol. Definisi dan ketiga pernyataan ini juga akan menjadi dasar bagi diskusi selanjutnya tentang OA di bagian lain dari tulisan ini. Di samping kedua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah (milestone) GOA tersebut di atas, sebuah konferensi diadakan oleh Max-Planck Society di Berlin, Jerman pada tahun 2003 dan menghasilkan sebuah deklarasi yang disebut Berlin Declaration on Open Access to Knowledge in the Sciences and Humanities. Deklarasi Berlin ini memberikan definisi tentang Kotribusi OA (OA Contribution) yang mengadopsi definisi Publikasi OA (OA Publication) dari Bethesda Statement on Open Access Publishing. Yang menarik dari Deklarasi Berlin ini adalah: (MaxPlanck Society, 2003a) 1. Dicantumkannya bidang ilmu Humaniora (Humanities), termasuk pusaka budaya (cultural heritage) ke dalam GOA, yang mana bidang ini belum ‘disentuh’ oleh kedua peristiwa sebelumnya. 2. Istilah Kontribusi OA (OA Contribution) digunakan di sini – bukan lagi Publikasi OA – untuk mengakomodasi aspek cultural heritage, yang mana ia bukan berbentuk publikasi melainkan berbentuk sumber daya informasi (information resources). Beberapa sumber daya informasi lain juga disebutkan, yaitu hasil-hasil percobaan/eksperimen, data mentah, metadata, bahan-bahan asal/asli, foto atau gambar/grafik digital, dan materi multimedia yang sifatnya ilmiah/akademik. (Max-Planck Society, 2003b) 3. Fokus diberikan kepada institusi perguruan tinggi atau lembaga penelitian sebagai afiliasi kelembagaan dari para peneliti/ilmuwan, yang mana juga diundang untuk menjadi penandatangan (signatory) Deklarasi Berlin. Sebagai penandatangan Deklarasi Berlin sebuah institusi memiliki kewajiban moral dan komitmen untuk menjalankan Berlin Process, di mana salah satunya adalah undangan atau himbauan untuk mengikuti Berlin Open Access Conference yang diadakan setiap tahun di tempat yang berpindah-pindah. (Max-Planck Society, 2003c) Deklarasi Berlin ini membawa dampak yang signifikan bagi pustakawan dan perpustakaan perguruan tinggi. Penggunaan istilah Kontribusi OA telah memperluas cakupan dari GOA. Cakupan yang semula terbatas pada artikel ilmiah yang di-diseminasikan melalui jurnal diperluas dengan memasukkan pula berbagai sumber daya informasi yang bukan berbentuk artikel jurnal. Hal ini menjadikan pustakawan dan perpustakaan perguruan tinggi sebagai pemain penting dalam arena GOA. Selain itu, berkat adanya tindak lanjut berupa Berlin Process dan konferensi tahunan seperti tersebut di atas, maka Berlin Declaration on Open Access to Knowledge in the Sciences and Humanities menjadi tonggak sejarah GOA yang paling dikenal secara luas di dunia saat ini. Nah, bagaimana GOA di Indonesia. 3
Open Access di Indonesia dan Impact Factor Isu-isu terkait OA relatif tidak terdengar di kalangan pustakawan dan perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia. Isu OA pernah diangkat oleh sebuah blog yang dikelola oleh salah seorang staf IRC (Information Resource Center) dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (http://indo-openaccess.blogspot.com). Namun sayangnya blog yang dimulai pada tahun 2007 ini terhenti pada tahun 2008 dengan tidak adanya lagi berita atau informasi baru terkait OA yang diunggah. Isu OA juga pernah muncul dalam diskusi di mailing list pustakawan Indonesia di
[email protected] pada akhir tahun 2007. Kementerian Riset dan Teknologi (RISTEK) bersama Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI) pada tahun 2011 telah mengadaptasi aplikasi Open Journal System (OJS, aplikasi berbasis web yang dapat digunakan untuk mengelola jurnal daring/online, mulai dari mengunggah dokumen, proses tinjauan sejawat/peer-review, editing, sampai dengan publikasi daring-nya) menjadi berbahasa Indonesia dan menerbitkan panduan untuk penggunaannya dalam bentuk buku pada tahun 2012. (Riyanto et al., 2012, hal. vi) PDII-LIPI juga membangun pangkalan data daring untuk mendata jurnal ilmiah di Indonesia melalui Indonesian Scientific Journal Database (ISJD) yang sayangnya sulit diakses akhir-akhir ini. Di kalangan peneliti dan/atau penulis ilmiah di Indonesia isu OA juga relatif tidak terdengar gaungnya. Hal ini mungkin dapat dipahami sebagai fakta bahwa komunitas peneliti dan penulis ilmiah di berbagai institusi perguruan tinggi dan lembaga penelitian di Indonesia masih berkutat atau berjuang untuk eksis di berbagai jurnal ‘ternama’ yang memiliki ‘prestise’ tersendiri. Jurnaljurnal dengan impact factor (IF) tinggi pada umumnya dikelola oleh para penerbit jurnal komersial yang telah lama malang melintang di jagad penerbitan jurnal internasional. IF yang tinggi masih menjadi syarat penting bagi tempat publikasi karya tulis dan penelitian pada dosen dan peneliti. Hal ini terkait dengan sistem penjenjangan karir akademik dari dosen dan peneliti di perguruan tinggi. Kondisi ini mengakibatkan tidak diminatinya penerbit jurnal yang sifatnya OA. Belum lagi adanya kenyataan bahwa keberadaan banyak penerbit jurnal OA yang masih menuai kontroversi. Agus Subekti dalam presentasinya di Seminar “Open Access: the Future of Repositories and Scholarly Publishing” di Universitas Indonesia Depok melaporkan bahwa saat ini terdapat sekitar 18.000 ISSN (International Standard Serial Number) terdaftar di Indonesia. Dari jumlah itu sekitar 7.000 digunakan untuk penerbitan jurnal ilmiah, yang sayangnya hanya sekitar 2.000 jurnal yang melakukan publikasi secara rutin. Sekitar 500 jurnal di antaranya sudah terakreditasi secara nasional. (Subekti, 2013) Sayangnya belum ada data resmi tentang berapa banyak jurnal ilmiah dari Indonesia yang dipublikasikan secara daring (eJournal). Meski data ini tidak berbicara tentang aspek OA secara khusus, namun cukup dapat memberikan informasi dasar yang menjadi latar belakang kondisi penerbitan ilmiah di Indonesia. Cukup memprihatinkan melihat kenyataan bahwa para peneliti atau penulis di Indonesia masih menempatkan publikasi di penerbit jurnal komersial sebagai sebuah prestasi, sedangkan 4
publikasi di penerbit jurnal OA masih dinilai kurang ‘prestise’-nya. Namun di sisi lain kita tidak perlu terlalu berkecil hati. Kondisi ini juga masih terjadi di negara-negara maju meskipun negara-negara tersebut telah memiliki begitu banyak peneliti dengan kaliber internasional. Hal ini tercermin dari 2 klausul yang tercantum dalam Bethesda Statement on Open Access Publishing: (Suber, 2003) We reaffirm the principle that only the intrinsic merit of the work, and not the title of the journal in which a candidate’s work is published, will be considered in appointments, promotions, merit awards or grants. (Statement of the Institutions and Funding Agencies Working Group) [Terjemahan bebas: Kami menegaskan kembali prinsip bahwa hanya nilai intrinsik dari karya tulis/ilmiah, dan bukannya judul jurnal di mana karya tulis/ilmiah tersebut dipublikasikan, yang akan dipertimbangkan dalam penunjukan/penjenjangan karir akademik, promosi, penghargaan atau hibah.] Scientists agree to advocate changes in promotion and tenure evaluation in order to recognize the community contribution of open access publishing and to recognize the intrinsic merit of individual articles without regard to the titles of the journals in which they appear. (Statement of Scientists and Scientific Societies Working Group) [Terjemahan bebas: Para ilmuwan sepakat untuk memperjuangkan perubahan dalam proses evaluasi untuk promosi dan jabatan akademik sebagai pengakuan akan kontribusi komunitas dari publikasi OA dan sebagai pengakuan akan kelayakan intrinsik dari setiap karya tulis tanpa mempertimbangkan judul jurnal di mana karya tulis tersebut dipublikasikan.] Dari kedua klausul di atas dapat disimpulkan bahwa dunia keilmuan dan akademik di negaranegara maju pun masih harus berjuang menghadapi dominasi jurnal-jurnal yang memiliki IF yang tinggi, yang kebanyakan dikelola oleh penerbit jurnal komersial. Keberadaan IF sebagai indikator utama yang digunakan dalam menilai sebuah jurnal ini pun mulai mendapatkan kritikan dan gugatan dari komunitas peneliti. Sejumlah editor dan penerbit jurnal yang bertemu dalam Annual Meeting of the American Society for Cell Bilogy (ASCB) di San Francisco pada 16 Desember 2012, mengingatkan bahwa Journal Impact Factor (JIF) “pada awalnya diciptakan sebagai alat untuk membantu pustakawan dalam menentukan jurnal mana yang akan dilanggan, bukan sebagai ukuran dari kualitas ilmiah dari sebuah penelitian yang dituangkan dalam sebuah artikel”. Mereka juga menyatakan bahwa JIF memiliki “banyak kelemahan yang telah didokumentasikan terkait penggunaannya sebagai alat untuk menilai kualitas sebuah penelitian,” salah satunya adalah fakta bahwa “data yang digunakan [oleh pihak penerbit jurnal komersial] untuk menghitung JIF tidak transparan dan tidak tersedia secara terbuka bagi publik” sehingga JIF ini “dapat dimanipulasi melalui kebijakan editorial.” (The American Society of Cell Biology, 2012). Forum tersebut akhirnya melahirkan Deklarasi San Francisco tentang Penilaian Penelitian (San Francisco Declaration on Research Assessment) yang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
“kebutuhan untuk menghapuskan penggunaan metrik berbasiskan jurnal, seperti JIF, dalam pendanaan, penerimaan, dan pertimbangan promosi [karir/jabatan akademik]; 5
kebutuhan untuk menilai hasil penelitian berdasarkan kelayakan dari penelitian itu sendiri daripada mendasarkannya pada penilaian atas jurnal di mana penelitian tersebut dipublikasikan; dan kebutuhan untuk mengkapitalisasikan peluang yang diberikan oleh publikasi daring (seperti melonggarkan batasan-batasan yang tidak perlu, terkait jumlah kata, gambar, dan referensi dalam artikel-artikel, serta menjajagi [penggunaan] indikator-indikator baru yang benar-benar memiliki bobot dan berdampak.” (The American Society of Cell Biology, 2012)
Hingga tanggal 14 Juli 2013 deklarasi tersebut telah ditandatangani oleh 8.613 orang dan 339 institusi. Selain berbagai kelemahan di atas, penggunaan JIF sebagai alat ukur utama untuk menilai kualitas sebuah penelitian atau karya juga memiliki efek yang destruktif bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kolom Editorial dari majalah Science volume 340 nomor 6134, Bruce Alberts menyentuh aspek yang sangat mendasar: “… perhaps the most destructive result of any automated scoring of a researcher's quality is the "me-too science" that it encourages. Any evaluation system in which the mere number of a researcher's publications increases his or her score creates a strong disincentive to pursue risky and potentially groundbreaking work, because it takes years to create a new approach in a new experimental context, during which no publications should be expected. Such metrics further block innovation because they encourage scientists to work in areas of science that are already highly populated, as it is only in these fields that large numbers of scientists can be expected to reference one's work, no matter how outstanding.” (Alberts, 2013, para. 4) [Terjemahan bebas: … mungkin dampak paling merusak dari penggunaan sistem skoring terotomasi untuk menilai karya seorang peneliti adalah bahwa sistem ini mendorong ke arah “me-too science.” Sebuah sistem evaluasi, di mana jumlah publikasi seorang peneliti mampu meningkatkan skor baginya, akan menciptakan sebuah dis-insentif yang kuat yang akan membuat para peneliti enggan untuk melakukan penelitian-penelitian yang beresiko tinggi dan berpotensi untuk menjadi karya yang monumental, karena butuh waktu bertahun-tahun untuk menciptakan pendekatan-pendekatan baru dalam sebuah konteks penelitian yang baru, di mana selama itu pula tidak ada publikasi yang bisa dihasilkan. Sistem metrik seperti tersebut di atas lebih jauh lagi akan menghalangi inovasi karena sistem tersebut akan mendorong para peneliti untuk bekerja hanya di bidang ilmu pengetahuan yang sudah populer, karena hanya di bidang-bidang itulah terdapat sejumlah besar ilmuwan yang dapat diharapkan untuk menyitir karyanya, tak peduli seberapa baik atau buruknya kualitas dari karya itu.] Dengan berbekal pengetahuan akan kondisi dan dinamika yang ada inilah kita akan melanjutkan diskusi terkait isu-isu OA dalam dunia penerbitan jurnal ilmiah, khususnya dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia maupun di dunia internasional.
Open Access, Repositori dan Penerbitan Jurnal Ilmiah 6
Seperti sudah dibahas di atas, penyebab utama munculnya OA adalah begitu kuatnya dominasi penerbit jurnal komersial, yang dapat dengan seenaknya menentukan harga berlangganan yang tinggi karena relatif tidak adanya persaingan atau sistem/channel alternatif lain untuk publikasi ilmiah. Hal ini diperparah dengan adanya praktek bundling jurnal online oleh penerbit sendiri atau aggregator, yang ‘memaksa’ konsumen untuk berlangganan secara bundled-subscription. Konsumen tidak bisa lagi memilih hanya judul-judul jurnal yang mereka butuhkan. Praktek ini tentu saja membuat biaya yang harus ditanggung oleh konsumen menjadi jauh lebih mahal. Namun konsumen tidak memiliki pilihan lain. Di sisi lain makin banyak dan sering terjadi pemotongan anggaran untuk berlangganan jurnal. Sistem diseminasi karya ilmiah yang awalnya diciptakan untuk membantu penyebaran hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah secara cepat dan luas pada akhirnya malah menjadi penghambat penyebaran itu sendiri. Seperti pengalaman pribadi penulis di awal tulisan ini, pemikiran yang sama tampaknya juga telah lama berkecamuk di benak para ilmuwan, peneliti, pustakawan, dan berbagai pihak yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dengan proses komunikasi akademik/ilmiah (scholarly communication) – yang mana proses publikasi ilmiah (scholarly publishing) menjadi komponen utamanya. Walt Crawford bahkan mengatakan dengan nada pedas bahwa: “It is apparent that some major commercial publishers fully intend to charge what the market will bear. They have succeeded in acquiring most of the highest-profile journals, including many that were originally modestly priced society-published journals, and in raising prices so as to assure profit margins far in excess of those enjoyed by most book publishers and companies in other industries.” (Crawford, 2011, p. 6) [Terjemahan bebas: Jelas sekali bahwa sebagian penerbit komersial yang besar memang bermaksud untuk memasang harga semahal mungkin, semahal yang bisa ditanggung oleh pasar. Mereka telah berhasil mengakuisisi hampir semua penerbit jurnal non-komersial yang bermutu, termasuk banyak yang awalnya adalah penerbit jurnal yang memasang harga yang wajar, dan kemudian menaikkan harga berlangganan untuk mendapatkan keuntungan yang berlebihan, yang jauh di atas keuntungan kebanyakan penerbit buku atau perusahaan-perusahaan di industri lain] Pernyataan di atas dilanjutkan dengan penilaian yang juga tidak kalah pedasnya bahwa model penerbitan jurnal ilmiah yang ada saat ini: “ … is unsustainable. It is already breaking down, with even wealthiest libraries canceling large numbers of journals … The current model is also broken from a philosophical perspective: it makes it more difficult for scholars, researchers, and practitioners, especially independents and those at smaller institutions, to keep up with work in their field.” (Crawford, 2011, p. 6) [Terjemahan bebas: … tidak berkelanjutan (tidak bisa diterus-teruskan). Model ini sudah mulai hancur, bahkan perpustakaanperpustakaan kaya sudah mulai membatalkan langganan dari sejumlah besar jurnal … Model yang ada saat ini juga hancur dari perspektif filosofis: ia membuat lebih sulit bagi 7
para ilmuwan, peneliti, dan praktisi, terutama yang independen dan yang berada di institusi yang kecil, untuk dapat terus mengikuti perkembangan di bidang ilmu masingmasing.] Untuk memberikan pembahasan yang lebih berimbang, perlu pula dicatat bahwa penerbit jurnal komersial bukannya sama sekali tidak peduli atau tidak mendengarkan keluhan dan/atau protes dari berbagai kalangan terkait makin tingginya biaya berlangganan. Salah satu tanda perubahan adalah adanya ‘inovasi’ dalam skema berlangganan pangkalan data jurnal daring (online journal database). Sebelumnya pihak vendor (baik penerbit jurnal komersial maupun aggregator) hanya menawarkan salah satu dari empat opsi, yaitu: berlangganan secara individual (individual member subscription), berlangganan secara institusi (individual institutional subscription), berlangganan subjek tertentu (subject collection), dan berlangganan secara konsorsium (consortia deals). Saat ini sudah ada sejumlah vendor yang menawarkan opsi berupa: berlangganan sesuai ukuran institusi atau jumlah mahasiswa (tiered model), membayar deposit di depan untuk kemudian dikurangi sesuai jumlah artikel yang digunakan/diunduh (deposit model), dan pemilihan (pick & choose) apa yang akan dilanggan & pembayaran sesuai penggunaan/unduhan (pay-per-download) yang disebut dengan istilah patron-driven access. (Weinheimer, 2012, p. 9 & p. 12) Sayangnya ‘inovasi’ di atas ternyata belumlah cukup dapat menjawab ‘kehancuran’ model bisnis penerbit jurnal ilmiah seperti disebutkan oleh Walt Crawford. Ini terlihat dari munculnya gerakan perlawanan dari komunitas akademik/ilmuwan berupa pemboikotan terhadap Elsevier (salah satu penerbit jurnal komersial besar dunia) oleh 34 ilmuwan matematika. Gerakan boikot tersebut dimaksudkan sebagai bentuk protes mereka atas kesewenangan Elsevier dalam memberlakukan harga dan skema berlangganan jurnal ilmiah. Elsevier bukanlah satu-satunya penerbit jurnal komesial yang diprotes, namun diambil sebagai ‘korban’ pertama karena dinilai paling sewenang-wenang. (Aaronson et al., 2012) Salah seorang dari para ilmuwan tersebut kemudian membuat petisi daring (online) untuk mempublikasikan gerakan boikot mereka terhadap Elsevier terkait: 1. “harga berlangganan yang terlalu tinggi; 2. praktek bundling yang dilakukan; dan 3. dukungan Elsevier terhadap beberapa rancangan undang-undang di Amerika Serikat yang berpotensi menghambat pertukaran informasi secara bebas.” (Gowers, n.d.) Para ilmuwan dan komunitias akademik diajak untuk memboikot dengan cara menolak untuk mempublikasikan karya tulis atau penelitian, menolak menjadi reviewer, dan menolak untuk menjadi editor dari jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh Elsevier. Petisi daring ini secara signifikan telah memperluas gerakan boikot tersebut. Sampai saat artikel ini ditulis (Juli 2013) sudah 13.737 ilmuwan dari seluruh dunia yang menandatangani petisi daring ini. Selain gerakan boikot seperti tersebut di atas, berbagai upaya untuk memulihkan infrastruktur dan membangun sistem komunikasi ilmiah alternatif – secara khusus dalam hal penerbitan ilmiah – itulah sejumlah pihak telah berinovasi dengan melahirkan konsep OA Hijau (Green OA) dan 8
OA Emas (Gold OA). Terdapat berbagai jenis OA lainnya namun yang paling dominan hanya kedua jenis tersebut. Diskusi kita selanjutnya juga hanya akan membahas tentang kedua model ini. Secara sederhana, yang dimaksud dengan OA Hijau adalah bila penulis artikel/karya ilmiah berpenilaian-sejawat (peer-reviewed) mengunggah berkas digital dari artikelnya ke repositori institusi (institutional repository) atau repository subjek (subject repository). Aktivitas ini disebut juga dengan self-archiving. Saat ini sebagian besar penerbit jurnal komersial telah mengijinkan tiap penulis untuk melakukan self-archiving. Pemberian ijin ini pada umumnya dicantumkan di dokumen kesepakatan antara penerbit dan penulis saat sebuah artikel diterima untuk dipublikasikan. Dokumen ini disebut Copyright Transfer Form atau Publication Rights Agreement. Bila dokumen tersebut tidak mencantumkan ijin untuk melakukan self-archiving maka penulis masih dapat bernegosiasi dengan pihak penerbit untuk mendapatkan hak tersebut. Pustakawan dapat membantu mengkampanyekan dan mengadvokasikan hak self-archiving bagi para peneliti atau penulis di kampus masing-masing. Sebagai catatan, ide tentang self-archiving sendiri sudah digagas sejak 2001 oleh Stevan Hanard melalui “The self-archiving initiative” yang ditulisnya untuk Nature. Dasar pemikirannya adalah bahwa penulis artikel jurnal tidak memiliki motivasi ekonomi di balik upayanya mempublikasikan karya atau tulisan, lain halnya dengan penulis buku atau artikel majalah. Motivasi bagi penulis artikel jurnal adalah dampak (impact) dari penyebarluasan hasil karya atau penelitiannya. Untuk itu sedapat mungkin tidak ada halangan – atau “toll-gating” dalam istilah yang digunakan Stevan Hanard – dalam mengakses hasil karya atau penelitian tersebut. (Hanard, 2001) Pada umumnya yang diijinkan untuk diunggah ke repositori adalah dokumen versi pre-print. Dalam hal ini penulis dan/atau pustakawan perlu mencermati penggunaan istilah pre-print dan penjelasannya dalam dokumen di atas. Terdapat dua interpretasi berbeda terkait istilah pre-print ini, yaitu: (Crawford, 2011, p. 17) versi dokumen yang dikirimkan ke pihak penerbit sebelum proses penilaian sejawat (peer-review) dilakukan; atau versi dokumen yang telah diterima kembali oleh penulis setelah melalui proses penilaian sejawat (peer-review), namun sebelum dilakukannya proses copy-editing dan/atau layout oleh pihak editor. Repositori juga perlu dibangun dengan menggunakan standar internasional agar ia dapat berjejaring dan melakukan pertukaran data secara otomatis dengan repositori yang lain. Standar internasional yang pada umumnya digunakan adalah OAI-PMH (Open Archives Iniatives – Protocol for Metadata Harvesting), yang mendefinisikan dua peran utama sebuah repositori, yaitu: (Lagoze, n.d.) sebagai data provider (penyedia data), yaitu repositori yang menyediakan data yang dimilikinya untuk dapat diambil oleh repositori atau sistem lain dengan cara membuka struktur metadatanya dan menyediakannya sesuai format yang diatur dalam OAI-PMH; atau 9
sebagai service provider (penyedia jasa), yaitu repositori yang mengambil atau mengumpulkan data dari satu atau lebih repositori lain (harvesting atau memanen) dengan cara mengirimkan permintaan sesuai format yang diatur dalam OAI-PMH. Mengingat keterbatasan tempat maka tulisan ini tidak akan membahas OAI-PMH lebih lanjut. Yang penting untuk diketahui adalah bahwa repositori yang sudah OAI-PMH compliant (menggunakan OAI-PMH) dapat didaftarkan ke OpenDOAR (Directory of Open Access Repositories) di alamat http://opendoar.org atau ROAR (Registry of Open Access Repositories) di alamat http://roar.eprints.org. Bila penulis atau peneliti menerbitkan karya tulis atau penelitiannya ke sebuah penerbit jurnal OA, maka dikatakan bahwa sang penulis atau peneliti sedang menjalankan OA Emas. Banyak orang salah memahami OA Emas sebagai praktek menerbitkan karya di penerbit jurnal OA yang berbayar (penulis membayar sejumlah biaya untuk pemrosesan dokumen artikelnya). Memang terdapat sejumlah kecil penerbit jurnal OA yang menerapkan model bisnis yang disebut dengan “author-pays”, namun sebagian besar malah justru menerapkan model bisnis yang mana tidak mengharuskan penulis mengeluarkan biaya untuk mempublikasikan karyanya. (Suber, 2006) Terkait OA Emas ini, faktanya terdapat banyak model bisnis untuk pembiayaan penerbit jurnal OA ini, antara lain: (Freie Universitaet Berlin et al., 2013) author-pays: penulis dikenai biaya pemrosesan artikel (APC – Article Processing Charge), di mana seringkali biaya ini ditanggung oleh pemberi dana penelitian atau institusi yang menjadi afiliasi dari sang penulis; institutional membership: lembaga penelitian atau perguruan tinggi menjadi anggota dengan membayar sejumlah biaya keanggotaan (sesuai ukuran lembaga atau jenis keanggotaan), di mana kemudian para peneliti dan penulis dari lembaga tersebut dapat mempublikasikan karya tulisnya (dalam jumlah tertentu) secara gratis; publishing support funds: lembaga penelitian atau perguruan tinggi menyediakan dana khusus yang dapat digunakan oleh peneliti dan penulis dari lembaga tersebut untuk membiayai penerbitan karya tulisnya di penerbit jurnal OA; hybrid business model: model bisnis ini menggabungkan antara biaya berlangganan dan biaya publikasi. Banyak penerbit jurnal komersial yang telah mengadopsi model bisnis ini. Penulis dapat meminta agar karya tulisnya dijadikan OA (dibuka ke public) dengan membayar sejumlah biaya tertentu; community-fee model: model bisnis ini membiaya penerbitan jurnal OA melalui biaya keanggotaan dari asosiasi profesi tertentu. Anggota asosiasi dalam hal ini bisa sebagai pihak yang mempublikasikan karya tulisnya atau sebagai pembaca/pelanggan. Jadi dalam hal ini pembiayaan dilakukan bersama antara penulis dan pembaca; institutional subsidies: lembaga penelitian atau perguruan tinggi mengelola sendiri penerbitan jurnal OA termasuk pendanaannya, baik berupa penerbitan universitas (university press) atau bentuk lain; dan consortium business model: sejumlah lembaga penelitian, perpustakaan, dan asosiasi profesi bidang ilmu tertentu bersama-sama mengumpulkan dana yang digunakan sebagai 10
subsidi bagi penerbit jurnal OA dengan syarat jurnal-jurnal tertentu di bidang ilmu yang spesifik tersebut dipublikasikan secara OA. Jadi dapat disimpulkan bahwa OA Emas adalah upaya ‘memindahkan’ biaya yang dibutuhkan untuk mempublikasikan karya ilmiah dari pengguna ke sumber-sumber pendanaan alternatif lainnya, sesuai dengan model bisnis yang diterapkan oleh pihak penerbit jurnal OA (termasuk salah satunya adalah ke pihak penulis atau institusi yang menjadi lembaga induk dari penulis). Dari pengamatan sekilas tampaknya di Indonesia yang paling banyak diterapkan – paling tidak untuk konteks perguruan tinggi – adalah model institutional subsidies. Model publishing support funds juga mulai banyak diadopsi, yang mana pada hakikatnya adalah sisi lain dari model author-pays. Terkait model bisnis OA di atas, catatan khusus perlu diberikan bagi model bisnis hybrid (hybrid business model). Model ini adalah yang paling menimbulkan kontroversi. Penerbit hybrid adalah penerbit jurnal ilmiah komersial yang “model bisnis dasarnya adalah model berlangganan tradisional [pembaca/pengguna membayar biaya berlangganan untuk mendapatkan hak akses] meskipun pihak penerbit juga menawarkan kepada para penulis untuk membayar biaya tertentu agar artikelnya dibuat menjadi OA [pembaca/pengguna tidak perlu membayar untuk membacanya].” (SPARC Europe, 2013, para. 2) Sebagai contoh, Elsevier mengenakan biaya sebesar USD 500 – 5.000 per artikel untuk membuatnya menjadi artikel OA. (Elsevier, 2013a) Akibatnya penerbit hybrid seringkali dituduh melakukan praktek double-dipping karena mereka “mendapatkan pemasukan dua kali [(untuk produk/artikel yang sama)], yaitu dari biaya berlangganan yang dibayarkan oleh perguruan tinggi [atau lembaga yang berlangganan] dan dari pihak penulis yang membayar agar artikelnya dibuat menjadi OA.” (SPARC Europe, 2013, para. 2) Sebagai jalan tengahnya, SPARC Europe mengusulkan agar para penerbit menurunkan harga berlangganan jurnal mereka ketika sebagian artikel dalam jurnal tersebut dipublikasikan sebagai artikel OA melalui model hybrid. Bila praktek ini diadopsi oleh para penerbit jurnal ilmiah, maka SPARC Europe mendukung model hybrid ini sebagai model transisi menuju model OA sepenuhnya. (SPARC Europe, 2013) Dalam meresponi perkembangan ini praktis semua penerbit jurnal komersial telah mengadopsi kebijakan “no double-dipping”. Sebagai contoh Elsevier mengumumkan bahwa ia “tidak akan menarik biaya dari pembaca/pengguna untuk membaca konten OA dan harga berlangganan sebuah jurnal hanya akan diperhitungkan berdasarkan konten yang dipublikasikan berdasarkan model berlangganan.” (Elsevier, 2013b) Terlepas dari berbagai penyesuaian di atas, model hybrid ini masih cukup menjadi perdebatan. Salah satu sebab utamanya adalah sulitnya memastikan bahwa pihak penerbit dapat dan/atau mau berlaku fair dalam perhitungan untung ruginya terkait kebijakan “no double-dipping” tersebut. Science Europe menyatakan bahwa: “… the hybrid model, as currently defined and implemented by publishers, is not a working and viable pathway to Open Access. Any model for transition to Open Access supported by Science Europe Member Organisations must prevent ‘double dipping’ and increase cost transparency.” (Science Europe, 2013, para. 9) [Terjemahan bebas: model 11
hybrid, seperti yang didefinisikan dan diimplementasikan oleh para penerbit saat ini, bukanlah sebuah peta jalan yang bisa diimplementasikan dan arah yang masuk akal menuju ke OA. Model apa pun sebagai transisi menuju OA yang didukung oleh organisasi anggota Science Europe harus mencegah terjadinya ‘double-dipping’ dan meningkatkan transparansi biaya.] Sedangkan dari perspektif penulis atau peneliti, Bo-Christer Björk menyatakan bahwa: “… the hybrid experiment, at least in the case of the major publishers and with the current price level, has failed as a way of significantly adding to the volumes of OA articles, and that hybrid OA will remain a very marginal phenomenon in the scholarly publishing landscape.” (Björk, 2012, p. 15) [Terjemahan bebas: eksperimen terkait model hybrid, paling tidak terkait dengan penerbit-penerbit besar dan dengan tingkat harga saat ini, telah gagal untuk secara signifikan meningkatkan jumlah artikel OA, dan bahwa OA hybrid akan tetap menjadi fenomena yang marjinal (pinggiran) dalam percaturan penerbitan ilmiah.] Di pihak lain, Kent Anderson justru melihat kebijakan “no double-dipping” ini dari sisi lain dan menyatakan bahwa kebijakan tersebut hanya enak didengar dan memberikan rasa seolah-olah sudah fair, namun dalam implementasinya di lapangan ia akan menghadapi hambatan dari aspek kegunaan dan keadilan. Ia membahas berbagai aspek teknis dari model hybrid yang membuatnya sulit untuk benar-benar diimplementasikan oleh pihak penerbit jurnal komersial. Salah satunya adalah masalah “one to many”, yaitu bahwa pemasukan dari biaya artikel OA – yang hanya didapatkan sekali dari si penulis artikel – tidak dapat dibandingkan dengan biaya berlangganan yang harus diturunkan – yang didapatkan banyak kali dari berbagai institusi yang berlangganan. (Anderson, 2013) Tidaklah mungkin untuk membahas semua aspek teknis yang disebutkan oleh Kent Anderson karena keterbatasan tempat. Yang penting adalah kita memahami beragam perspektif yang berbeda terkait model hybrid ini. Pustakawan perguruan tinggi perlu aware akan hal ini dalam mempertimbangkan biaya berlangganan jurnal (termasuk jurnal daring). Pustakawan perguruan tinggi juga perlu menginformasikan hal ini kepada para dosen atau peneliti yang bermaksud untuk membuat artikel mereka OA melalui penerbit jurnal komersial melalui model hybrid ini. Sekarang sebaiknya diskuksi kita arahkan kembali ke topik penerbit jurnal OA secara umum. Para penerbit jurnal OA ini pada umumnya menggunakan platform daring (online) sebagai bagian dari model bisnisnya. Hal ini sangat bisa dimaklumi mengingat mereka tidak memiliki dana untuk melakukan pencetakan secara hardcopy maupun melakukan distribusi dokumen hardcopy tersebut ke para ‘pelanggan’ jurnalnya. Platform daring yang banyak digunakan adalah Open Journal System (OJS). OJS telah banyak digunakan oleh berbagai penerbit jurnal OA dan mampu memfasilitasi proses penerbitan jurnal mulai pengunggahan dokumen, review, manajemen konten, pengindeksan dokumen, perangkat pembacaan dokumen secara daring, sampai dengan modul untuk manajemen pelanggan. (Simon Fraser University et al., n.d.). 12
Seperti halnya repositori yang memiliki registry di OpenDOAR dan ROAR, jurnal OA dapat dan sebaiknya didaftarkan ke Directory of Open Access Journals (DOAJ). Sampai dengan tanggal 10 Juli 2013 sudah ada 9.888 jurnal OA yang tergabung di DOAJ, di mana 4.987 jurnal sudah dapat ditelusur sampai tingkat artikel. Cakupan geografisnya telah mencapai 120 negara dengan jumlah total artikel sebanyak 1.143.395. (Infrastructure Services for Open Access, 2013) Dari paparan sejauh ini tampak jelas bahwa ada begitu banyak aspek terkait OA dan bahwa trend ini sudah bergulir bak bola salju sejak awal tahun 2000an. Namun bukan berarti OA telah menggelinding mulus tanpa kontroversi. Sejumlah kontroversi terkait repositori dan penerbitan jurnal OA telah muncul dan telah pula menjadi polemik di komunitas perguruan tinggi Indonesia.
Perkembangan dan Kontroversi Terkait Repositori dan Penerbit Jurnal Open Access Perkembangan repositori (institusi atau subjek) dan OJS di Indonesia pada awal-awal tahun 2000an masih belum begitu pesat. Banyak faktor yang menjadi penghambat perkembangan keduanya. Secara konstelasi global memang isu OA relatif masih belum begitu dikenal di Indonesia. Penyebab lainnya adalah adanya ‘ketakutan-ketakutan’ yang kurang beralasan terkait OA terhadap karya-karya akademik, khususnya di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia. ‘Ketakutan’ pertama adalah kekuatiran akan makin suburnya praktik plagiarisme dengan dibukanya akses secara bebas ke karya-karya akademik sivitas kampus, baik berupa koleksi skripsi/tesis/disertas maupun artikel jurnal ilmiah terbitan perguruan tinggi. ‘Ketakutan’ kedua adalah adanya perasaan ‘malu’ akan keberadaan sejumlah karya ilmiah sivitas perguruan tinggi yang kualitasnya kurang memenuhi syarat, atau dengan kata lain kurang bermutu. (Liauw, 2009, p. 20) Terlepas dari argumentasi Liauw bahwa ‘ketakutan’ di atas kurang beralasan, kedua faktor tersebut telah menghambat perkembangan OA di Indonesia secara signifikan. Faktor lain yang menurut penulis turut berkontribusi sebagai penghambat adalah belum tersedianya akses Internet secara meluas di Indonesia. Teknologi Internet juga belum mencapai masa kematangannya mengingat Jaringan Jagad Jembar (World Wide Web/WWW) baru mulai populer sekitar tahun 1993 dengan kemunculan Mosaic, perawak web (web browser) dengan antar muka yang berbasiskan grafis (GUI/Graphical User Interface) serta mampu menampilkan gambar. Seiring dengan berjalannya waktu, beberapa perkembangan yang terjadi di komunitas perguruan tinggi dan lembaga penelitian telah berkontribusi dalam makin populernya GOA di Indonesia. Sejak tahun 2005 di lingkungan perpustakaan perguruan tinggi mulai marak isu terkait digitalisasi local content, yang oleh Liauw didefinisikan sebagai sumber informasi (information resources) yang diproduksi secara lokal (locally-produced) oleh sivitas perguruan tinggi dan/atau yang memiliki karakteristik dari entitas lokal (containing features of local entities). (Liauw, 2006, p. 125) Pada umumnya komunitas perpustakaan perguruan tinggi yang giat mengkampanyekan digitalisasi local content ini serta mengunggahnya ke dalam repositori institusi. Perkembangan lain adalah makin meluasnya akses Internet di masyarakat dan makin 13
matangnya teknologi informasi, khususnya Internet. Namun kedua perkembangan ini masih belum cukup untuk menjadi daya dorong bagi munculnya kesadaran akan isu OA yang meluas di komunitas perguruan tinggi di Indonesia, apalagi di kalangan masyarakat awam. Para pustakawan perguruan tinggi masih harus bersusah payah mengadvokasi digitalisai local content di perguruan tinggi masing-masing. Perkembangan yang mampu menjadi daya dorong untuk meningkatkan kesadaran akan isu OA di Indonesia dimulai dengan adanya berbagai perkembangan yang terkait dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen. DIKTI). Fenomena awalnya dimulai dengan munculnya Webometrics, yaitu sebuah pemeringkatan/perangkingan perguruan tinggi dunia berdasarkan kepada kandungan digital (digital content) dari perguruan tinggi. Webometrics meranking situs jejaring (web) perguruan tinggi di dunia berdasarkan empat aspek, yaitu: impact atau visibility (dampak atau keterpaparan), [online] presence (keberadaan secara daring), openness (keterbukaan), dan excellence (keunggulan). (Spanish National Research Council, n.d.) Ditjen. DIKTI mulai menggunakan ranking Webometrics ini sebagai salah satu indikator ‘tidak resmi,’ yang digunakan oleh Ditjen. DIKTI untuk mengindikasikan komitmen terhadap OA, dan secara tidak langsung menjadi indikasi dari kualitas perguruan tinggi. Hal ini tampak dari selalu dikutipnya secara berkala peringkat Webometrics perguruan tinggi Indonesia di situs Ditjen. DIKTI. Sebagai contoh adalah “Peringkat Perguruan Tinggi versi Webometrics Edisi Juli 2012.” (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2012a) Hal ini tentunya bukan tanpa kontroversi. Sejumlah pihak mempertanyakan keabsahan kriteria yang digunakan untuk menyusun peringkat tersebut; bahwa kriteria yang digunakan tidak bisa mencerminkan kualitas akademik yang sebenarnya dari perguruan tinggi. Selain itu ditengarai adanya praktek-praktek nakal (tidak jujur) dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia dalam upayanya menaikkan peringkat Webometricsnya. Kemudian muncul peringkat lain, yaitu 4ICU (4 International Colleges & Universities), yang menyusun peringkatnya berdasarkan popularitas dari situs jejaring (web) suatu perguruan tinggi secara relatif terhadap keseluruhan jaringan jagad jembar (world wide web). Metodolgi yang digunakan adalah dengan memanfaatkan sebuah algoritma yang memanfaatkan data dari: (4 International Colleges & Universities, 2013) 1. Google Page Rank 2. Alexa Traffic Rank 3. Majestic SEO (Search Engine Optimized) Referring Domains 4. Majestic SEO Citation Flow 5. Majestic SEO Trust Flow Tanpa bermaksud membahas lebih dalam secara teknis terkait metodologi ini, secara umum dapat dikatakan bahwa peringkat 4ICU ini relatif lebih sahih karena kriteria yang mengukur ‘pengakuan’ dari komunitas global Internet lebih banyak daripada yang digunakan oleh peringkat Webometrics. Meski demikian 4ICU tetap memberikan catatan bahwa peringkat yang disusuna tidak dimaksudkan sebagai peringkat akademik karena peringkat tersebut tidak disusun berdasarkan “program studi, kualitas pendidikan atau tingkat layanan yang diberikan [oleh suatu perguruan tinggi].” (4 International Colleges & Universities, 2013, para. 15)
14
Terlepas dari kontroversi yang ada, peringkat Webometrics dan 4ICU saat ini menjadi salah dua dari peringkat de facto yang kerap menjadi bahan pembicaraan di komunitas perguruan tinggi dan mampu memberikan prestise tersendiri. Kenyataan ini berdampak positif bagi perkembangan OA di Indonesia. Bila sebelumnya para pustakawan perguruan tinggi masih harus bekerja keras meyakinkan pimpinan masing-masing untuk mendigitalisasikan local content di perguruan tingginya, maka saat ini justru para Rektor yang meminta (bahkan menuntut) perpustakaan masing-masing agar membangun repositori insitusi dan mengisinya dengan sebanyak mungkin local content digital. Perkembangan positif makin intens dengan diterbitkannya berbagai peraturan dan perundangan dari Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) terkait karya ilmiah di perguruan tinggi Indonesia. Pertama, sebagai respon terhadap maraknya praktek plagiarism (termasuk penjiplakan secara utuh karya orang lain), Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Pasal 7 ayat 2 dari Permen ini menyatakan bahwa “Pimpinan Perguruan Tinggi wajib mengunggah secara elektronik semua karya ilmiah mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan … melalui portal Garuda (Garba Rujukan Digital) sebagai titik akses terhadap karya ilmiah mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan Indonesia, atau portal lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.” (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2010, pasal 7 ayat 2) Sebagai implementasinya Ditjen. DIKTI pada tanggal 30 Desember 2011 mengeluarkan Surat Edaran terkait Kebijakan Unggah Karya Ilmiah dan Jurnal yang menyatakan bahwa: “Dirjen. Dikti tidak akan melakukan penilaian karya ilmiah yang dipublikasikan di suatu jurnal jika artikel dan identitas jurnal ybs tidak bisa ditelusuri secara online. Kebijakan nomor 1 di atas, efektif diimplementasikan untuk usulan kenaikan pangkat dan jabatan dosen mulai tahun 2012. Perguruan Tinggi dan pengelola jurnal wajib mengunggah karya ilmiah mahasiswa dan dosen pada portal Garuda, portal Perguruan Tinggi [repositori institusi], portal jurnal ybs atau portal lainnya.” (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2012b) Keberadaan peringkat Webometrics, Permendiknas, dan Surat Edaran Ditjen. DIKTI di atas serta merta membuat banyak perguruan tinggi berlomba-lomba untuk membangun repositori institusi dan mengunggah sebanyak mungkin dokumen local content digital ke dalamnya, khususnya Skripsi/Tesis/Disertasi. Muncul pula nama Garuda (Garba Rujukan Digital) yang adalah sebuah portal yang mengumpulkan metadata koleksi local content digital dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Garuda (http://garuda.kemdiknas.go.id) dibangun dengan tujuan untuk menjadi tempat rujukan utama bagi karya-karya ilmiah perguruan tinggi di Indonesia. Terlepas dari keberadaannya yang mengalami pasang surut, Garuda telah menjadi rujukan de facto bagi komunitas akademik di Indonesia. Patut dicatat pula bahwa Garuda menyediakan pula fasilitas untuk mengunggah dokumen secara penuh (full-text), tidak hanya terbatas pada metadata, bagi perguruan tinggi yang belum memiliki repositori institusi. 15
Perkembangan lain adalah banyak bermunculannya penerbit OA (dengan bisnis model authorpays), yang mana adalah perkembangan yang positif dalam konteks OA, namun yang juga membawa ekses-ekses negatif yang tidak diharapkan atau terpikirkan sebelumnya. Seorang pustakawan di University of Colorado di kota Denver, Amerika Serikat – Jeffrey Beall – menyatakan bahwa: “This increase in the number of [gold] open-access journals has major implications for scholarly publishing. Authors become the publishers’ customers, an arrangement that creates a conflict of interest: the more papers a publisher accepts, the more revenue it earns … acceptance rates at gold open-access journals are skyrocketing, and article peer review is decreasing. Scholarly communication is now flooded with hundreds of thousands of new, second-rate articles each year, burdening conscientious researchers who have to sort through them all, filtering out the unworthy ones … The implications for tenure and promotion are significant. Previously, traditional publishers played a validation role: if an article appeared in a journal of a respected publisher, generally everyone accepted it as quality work worthy of publication. Now, predatory publishers assign lofty titles to their journals, making the task of judging a tenure candidate’s list of publications much more complicated. Sadly, a few academics are gaming the new system, exploiting the scholarly vanity press to buy prestige.” (Beall, 2012a, para. 4, 5 & 8) [Terjemahan bebas: Marak bermunculannya jurnal OA Emas membawa dampak serius bagi penerbitan ilmiah. Penulis menjadi pelanggan bagi penerbit, sebuah hubungan yang menciptakan sebuah konflik kepentingan: makin banyak artikel yang diterima penerbit, makin banyak dana yang masuk … tingkat penerimaan artikel di penerbit OA Emas meningkat tajam, dan proses tinjauan sejawat menurun. Komunikasi ilmiah saat ini tiap tahunnya dibanjiri oleh ratusan ribu artikel baru dengan kualitas rendah, yang mana sangat memberatkan bagi para peneliti yang teliti yang harus menyaring semuanya itu. Implikasinya bagi jenjang karir dan promosi akademik sangat signifikan. Sebelumnya, penerbit tradisional memiliki peran untuk memvalidasi: jika suatu artikel muncul di sebuah jurnal yang diterbitkan oleh penerbit yang ternama/terhormat, pada umumnya semua pihak menganggapnya sebagai karya tulis yang berbobot. Sekarang, penerbit predator menggunakan nama-nama jurnal yang keren, namun menyebabkan tugas seleksi untuk kenaikan jabatan akademik menjadi lebih sulit. Ironisnya, sejumlah akademisi memanfaatkan sistem baru ini, mengeksploitasinya untuk membeli prestise.] Meresponi ekses negatif ini, Jeffrey Beall telah membuat sebuah pangkalan data yang berisi daftar jurnal dan penerbit predator, yang ditampilkannya di sebuah situs jejaring (web) di http://scholarlyoa.com. Ia pun telah menulis daftar kriteria untuk menentukan apakah jurnal atau penerbit tertentu adalah jurnal atau penerbit predator (http://scholarlyoa.com/2012/11/30/criteriafor-determining-predatory-open-access-publishers-2nd-edition). Kriteria ini tidak akan dibahas satu per satu dalam tulisan ini karena keterbatasan tempat. Namun yang jelas kriteria ia digunakan bukannya tanpa kritik. Beberapa kritik yang muncul mengatakan bahwa, “ia [Jeffrey 16
Beall] seringkali terlalu mendasarkan analisanya terhadap situs jejaring (web) dari penerbit daripada diskusi secara langsung dengan pihak penerbit, dan bahwa hal ini akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan yang tidak benar atau prematur … ia juga sangat beresiko untuk secara tidak adil terlalu mencurigai para penerbit baru.” (Butler, 2013, para. 11 & 12) Jeffrey Beall sendiri juga mengakui bahwa “hanya ada sangat sedikit faktor yang bisa diukur secara langsung. Ukuran yang paling sahih adalah maksud/tujuan/motivasi dari penerbit itu sendiri, yang mana sulit atau tidak mungkin untuk diketahui [hanya dengan menganalisa situs jejaring (web) penerbit].” (Beall, 2012a, para. 7) Jeffrey Beall juga mengamati bahwa penyalahgunaan penerbitan OA Emas ini paling terasa di negara-negara berkembang, – khususnya India – di mana mereka bermunculan karena kebutuhan pasar. (Beall, 2012b, para. 9) Kontroversi terkait jurnal dan penerbit OA Emas ini merambah pula ke Indonesia saat Ditjen. DIKTI mulai menggunakan daftar jurnal dan penerbit predator buatan Jeffrey Beall sebagai salah satu indikator untuk penilaian dalam proses pengurusan kenaikan jabatan akademik. Terry Mart melalui sebuah opini di KOMPAS memulai diskusi tentang hal ini, di mana senada dengan Jeffrey Beall, ia menyatakan bahwa “di negara berkembang, hal ini [(jurnal predator)] seperti gayung bersambut karena ilmuwan negara berkembang sangat membutuhkan aktualisasi diri melalui jurnal-jurnal dengan “cap internasional”. Semua itu untuk meraih hibah penelitian atau jabatan yang lebih tinggi meski harus membayar mahal. Jadilah ‘simbiosis yang saling menguntungkan’.” (Mart, 2013, para. 6) Bahkan Agus Suwignyo memperluas diskusi dengan mengaitkan fenomena ini dengan “politik ilmu pengetahuan” dengan menyatakan bahwa: “… menjamurnya gejala jurnal predator bukan semata-mata persoalan kredibilitas jurnal dan derajat mutu artikel-artikel yang diterbitkannya, tetapi berkaitan erat dengan politik ilmu pengetahuan … Kehadiran jurnal-jurnal kategori predator mungkin dapat dibaca dalam kerangka gugatan atau protes dari mereka yang selama ini tidak terwadahi dalam jurnal-jurnal peer review terhadap dominasi negara-negara maju atau elite ilmuwan tertentu dari suatu komunitas keilmuan atas proses produksi, aksesibilitas, dan penyebaran ilmu pengetahuan.” (Suwignyo, 2013, para. 7 & 16) Di sisi lain Sudarsono Hardjosoekarto mengkritisi Jeffrey Beall yang “tidak bersedia menjawab mengapa dia melakukan analisisnya berbasis penerbit dan bukan berbasis jurnal. Beall lebih berorientasi pada penerbit predator daripada jurnal predator. Metode seperti ini mengandung kelemahan mendasar … Mestinya akan lebih adil bila yang dinilai itu jurnalnya bukan penerbitnya.” (Hardjosoekarto, 2013, para. 7 & 8) Jeanne Adiwinata Pawitan menambahkan bahwa “… banyak penerbit/jurnal yang berada dalam daftar memang sudah dibuktikan oleh Jeffrey Beall sebagai predator, seperti yang diuraikan dalam berbagai ulasan di lamannya. Akan tetapi, banyak pula penerbit/jurnal yang tidak pernah diulas, tetapi berada dalam daftar sebagai jurnal predator versi Jeffrey Beall.” (Pawitan, 2013, para. 10) Jeanne Adiwinata Pawitan juga mengatakan bahwa “… semua jurnal dengan pilihan open access patut dicurigai karena siapa yang dapat menjamin bahwa peer review dilakukan sama ketat seperti yang tidak open access.” (Pawitan, 2013, para. 17) Penulis kurang sepakat dengan pernyataan terakhir ini karena 17
pernyataan tersebut mengasumsikan bahwa semua jurnal non-OA pasti proses peer-review yang ketat, padahal dalam kenyataannya tidak sedikit pula yang sebaliknya. Pada akhirnya diskusi mengerucut pada kebutuhan akan kriteria lebih sahih dalam menilai kredibilitas suatu jurnal ilmiah, yaitu “pengakuan oleh komunitas-komunitas keilmuan sebidang.” (Suwignyo, 2013, para. 4) Penulis sendiri berpendapat bahwa waktu akan mampu melakukan ‘seleksi alam’ terhadap jurnal-jurnal OA ini, di mana komunitas akademik akan terus berevolusi untuk mengikuti perkembangan yang ada dan mencapai semacam keseimbangan baru dengan model publikasi ilmiah yang baru ini. Perdebatan yang muncul di atas – menurut pandangan penulis – adalah salah satu dari proses ‘seleksi alam’ tersebut. Sebuah poin lain terkait kontroversi jurnal dan penerbit OA Emas yang penulis nilai perlu untuk disebutkan adalah tentang ekses negatif yang bisa muncul dari GOA. Jeffrey Beall memberikan catatan yang patut kita renungkan karena memberikan perspektif lain terkait GOA, yaitu bahwa: “The problems these predatory publishers cause have been worsened by several of the players in the open-access movement. Many academic librarians and other open-access advocates have promoted open-access scholarly publishing across the board, without limiting their promotion to the few worthy open-access publishers, thus creating a more fertile ground for predatory publishers … Some even insist on open-access mandates, rules that would require researchers to publish all their work in open-access venues, thereby depriving them of the freedom to publish in the venue of their choosing …” (Beall, 2012a, para. 10) [Terjemahan bebas: berbagai masalah yang ditimbulkan oleh penerbit predator diperparah oleh beberapa pemain di gerakan open access. Banyak pustakawan perguruan tinggi dan penganjur open access telah mempromosikan publikasi ilmiah open access secara serampangan, tanpa membatasinya untuk sejumlah penerbit open access yang bermutu, yang mana hal ini telah menciptakan tanah yang subur bagi bermunculannya penerbit predator … Sebagian bahkan memaksakan mandat open access berupa peraturan yang mengharuskan para peneliti untuk mempublikasikan semua karya ilmiah mereka di jurnal atau penerbit open access, yang mana telah menghalangi kemerdekaan mereka untuk memilih ke jurnal dan penerbit mana mereka akan mempublikasikan karya-karyanya …]
Setelah kita mendapatkan gambaran tentang sejumlah isu penting terkait OA, – termasuk kontroversi yang ada – pertanyaannya adalah apa langkah selanjutnya?
Open Access dan Kebijakan Nasional & Institusional Seperti halnya setiap perubahan, ia selalu memunculkan ketidaknyamanan, kekuatiran, bahkan penolakan. Setiap perubahan juga akan memunculkan ekses-ekses negatif, – seperti telah disebutkan di atas – karena tidak ada hal yang sempurna di dunia. Selain itu selalu saja akan ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang akan memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk kepentingan atau keuntungannya sendiri. Namun penulis berpendapat bahwa 18
ketidaksempurnaan dan keberadaan pihak-pihak tidak bertanggung jawab ini tidak boleh membuat kita kehilangan perspektif yang tepat akan GOA. Kita perlu untuk selalu dapat melihat gambaran besarnya (the big picture) dari setiap kondisi dan perubahan yang ada. Gambaran besar yang kita dapat lihat saat ini adalah bahwa – seperti yang penulis sitir dari Walt Crawford – model bisnis yang diterapkan oleh penerbit jurnal komersial sudah mulai runtuh. (Crawford, 2011, p. 6) Kita telah sampai pada titik di mana kita tidak bisa berbalik lagi. Tandatanda perubahan pun mulai terlihat. Pada tanggal 17 April 2012 Perpustakaan Universitas Harvard mengirimkan memorandum dari Faculty Advisory Council mereka ke semua sivitas akademika di Harvard terkait biaya berlangganan jurnal. Dalam memorandum itu disebutkan bahwa “[b]anyak penerbit jurnal utama telah membuat lingkungan komunikasi ilmiah menjadi tidak berkelanjutan secara finansial dan menghambat secara akademik. Situasi ini diperparah dengan upaya dari penerbit-penerbit tertentu … untuk mengumpulkan jurnal-jurnal, menyatukannya [(bundling)], dan kemudian menjualnya dengan harga yang lebih tinggi.” Mereka menyimpulkan bahwa “langganan jurnal-jurnal utama, khususnya jurnal elektronik yang diterbitkan oleh pemain utama, tidak lagi dapat dipertahankan: upaya melanjutkan untuk berlangganan dalam kondisinya saat ini secara finansial tidak dapat dipertahankan.” (Harvard University, 2013, para. 2 & 4) Berita ini cukup menggemparkan komunitas akademik di Amerika Serikat dan dunia. Banyak pihak berpendapat bahwa bila Universitas Harvard yang begitu besar dan ‘kaya’ saja sudah tidak sanggup lagi mengikuti skema pembiayaan untuk langganan jurnal ilmiah, – yang selama ini masih didikte oleh penerbit-penerbit besar – apalagi institusi-institusi lain yang jauh lebih kecil dengan anggaran yang jauh lebih kecil pula. Banyak pula yang memaknai perkembangan ini sebagai tanda-tanda jaman bahwa OA sudah tidak bisa ditundatunda lagi Dalam konteks perspektif yang tepat dalam membaca tanda-tanda jaman inilah maka sangat menggembirakan untuk mengetahui bahwa terlepas dari berbagai kontroversi yang ada, ternyata berbagai pihak terkait penerbitan jurnal ilmiah masih memiliki keyakinan yang kokoh akan manfaat OA. Berbagai komunitas akademik dan peneliti masih memberikan dukungan yang solid bagi OA. Banyak pemerintah – khususnya negara-negara maju dengan keluaran hasil penelitian yang paling banyak – juga masih memberikan dukungan, bahkan dorongan. Declan Butler melaporkan bahwa “gerakan ini [GOA] telah mendapatkan dukungan politik yang makin bertambah. Di tahun sebelumnya [2012] pemerintah Negara Inggris dan Amerika Serikat, bersama-sama Komisi Eropa, telah memberikan dukungan untuk beberapa jenis [(model bisnis)] dari penerbitan OA.” (Butler, 2013, para. 7) Dukungan yang sama seharusnya mulai dipikirkan secara serius oleh berbagai instasi pemerintah terkait pendidikan tinggi, penelitian, dan informasi di Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Teknologi, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika – dengan melibatkan berbagai pihak terkait – perlu duduk bersama untuk memikirkan dan memformulasikan kerangka kebijakan nasional terkait OA. Berbagai kebijakan yang sudah
19
dihasilkan oleh negara-negara lain dapat digunakan sebagai bahan kajian awal untuk menghasilkan sebuah kerangka kebijakan nasional terkait OA bagi Indonesia. Sejumlah organisasi telah menerbitkan dokumen terkait keterbukaan akses ke informasi. Organisation for Economic and Co-operation and Development (OECD) telah menerbitkan sebuah dokumen tentang Prinsip dan Panduan Akses ke Data Penelitian yang dibiayai oleh Dana Masyarakat. Dokumen ini memberikan 13 prinsip yang penting, yaitu: Keterbukaan (Openness), Fleksibilitas (Flexibility), Transparansi (Transparency), Kepatuhan Hukum (Legal Conformity), Perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (Protection of Intellectual Property), Tanggung Jawab Formal (Formal Responsibility), Profesionalisme (Professionalism), Interoperabilitas (Interoperability), Mutu (Quality), Keamanan (Security), Efisiensi (Efficiency), Akuntabilitas (Accountability), dan Keberlanjutan (Sustainability). (OECD, 2007) Dokumen lain terkait keterbukaan dan akses ke informasi adalah Introduction to Openness and Access to Information yang diterbitkan oleh Institut Hak Asazi Manusia Denmark (Danish Institute for Human Rights). Dokumen ini sebenarnya lebih ditujukan bagi konsumsi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam upayanya berperan aktif untuk penguatan demokrasi dan hak asazi manusia, namun akan sangat berguna bila kita bisa mendapatkan masukan darinya serta mensinergikannya untuk menghasilkan kerangka kebijakan nasional terkait OA di Indonesia. Terdapat 9 Prinsip Keterbukaan (Openness Principles) yang dielaborasi oleh dokumen ini, yaitu: Pengungkapan secara Maksimum (Maximum Disclosure), Kewajiban untuk Mempublikasikan (Obligation to Publish), Mempromosikan Pemerintahan yang Terbuka (Promotion of Open Government), Cakupan Pengecualian yang Terbatas (Limited Scope of Exceptions), Proses untuk Memfasilitasi Akses (Process to Facilitate Access), Biaya (Costs), Pertemuan yang Terbuka (Open Meetings), Pengungkapan Diutamakan (Disclosure Takes Precedence), dan Perlindungan terhadap Informan (Protection for Whistle Blowers). (Boserup et al., 2005) Dalam cakupan yang lebih sempit, masing-masing institusi pendidikan tinggi dan penelitian juga perlu memiliki kerangka kebijakan terkait OA, atau yang pada umumnya disebut sebagai Mandat OA (Open Access Mandates). Akan sangat ideal bila kerangka kebijakan nasional terkait OA dibuat terlebih dahulu untuk kemudian menjadi rujukan bagi perguruan tinggi dan lembaga penelitian di Indonesia. Namun selain pendekatan top-down ini, pendekatan bottom-up juga dapat diambil. Salah satu bentuk upaya awal yang nyata adalah dengan menjadi penandatangan (signatory) dari Berlin Declaration on Open Access to Knowledge in the Sciences and Humanities. Sebagai penandatangan deklarasi ini maka sebuah institusi memiliki kewajiban moral dan komitmen untuk menjalankan berbagai langkah-langkah nyata dalam mewujudkan OA di institusinya masing-masing. Beberapa langkah nyata di Berlin Process adalah: “mendorong para peneliti/penerima hibah untuk mempublikasikan karya ilmiah mereka sesuai prinsip-prinsip dari paradigma OA; mendorong pemilik dari pusaka budaya [(cultural heritage)] untuk mendukung OA dengan cara menyediakan sumber informasi [yang mereka miliki] di Internet; mengembangkan alat-alat dan cara-cara untuk mengevaluasi kontribusi dari OA dan jurnal daring dalam upaya untuk mempertahankan standar penjaminan mutu dan praktek akademik/ilmiah yang baik; 20
memperjuangkan agar publikasi [(jurnal)] OA dapat diakui dalam proses promosi dan kenaikan jabatan akademik; memperjuangkan kelayakan intrinsik (instrinsic merit) dari kontribusi terhadap [pengembangan] infrastruktur OAmelalui pengembangan perangkat lunak, penyediaan konten, pembuatan metadata, atau publikasi dari artikel-artikel.” (Max-Planck Society, 2003a)
Dalam presentasinya di Seminar “Open Access: the Future of Repositories and Scholarly Publishing” yang diadakan di Universitas Kristen Petra Surabaya, Universitas Sumatera Utara Medan, dan Universitas Indonesia Depok, Urs Schopeflin – Direktur dari Research Library di Max Planck Institute for the History of Science di Berlin, Jerman – memberikan pula beberapa tips untuk mendorong OA di berbagai institusi, yaitu: (Schoepflin, 2013, p. 16) • penumbuhan kepedulian (raising awareness); • pembuatan kebijakan institusi (organizational policy); • penciptaan infrastruktur yang berkelanjutan (creating a sustainable infrastructure); • penciptaan kerangka hukum/kebijakan (establishing a legal framework); • dukungan terhadap publikasi/jurnal OA (supporting open access publications); • komitmen jangka panjang dari institusi (long-term organizational commitment); dan • upaya penghapusan berbagai penghambat [bagi OA] (removing the barriers on the way). Upaya-upaya advokasi dan kampanye untuk menghapuskan prasangka negatif terhadap OA juga perlu dilakukan. Kebutuhan ini tidak boleh dilupakan mengingat citra negatif bagi penerbit atau jurnal OA yang terbentuk akibat maraknya isu penerbit atau jurnal predator. Salah satu contoh upaya yang patut mendapatkan apresiasi adalah pelaksanaan Minggu OA (OA Week) yang digagas oleh Scholarly Publishing & Academic Resources Coalition (SPARC), the Public Library of Science (PLoS), the Students for FreeCulture, the Open Access Scholarly Information Sourcebook (OASIS), the Open Access Directory (OAD) dan the Electronic Information for Libraries (eIFL). (Giersberg, 2009) Penulis dalam kapasitas sebagai anggota Steering Committee dari Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia (KPDI) juga telah berhasil meyakinkan KPDI untuk membuat permanent track untuk isu OA di setiap penyelenggaraan KPDI. Adanya permanent track untuk OA ini diharapkan mampu menjadi salah satu sarana dalam upaya meng-arus utama-kan isu-isu OA di Indonesia. Masih banyak upaya-upaya lain yang dapat kita lakukan – di institusi kita masingmasing dan di skala nasional – dalam mendorong OA di Indonesia. Namun yang terpenting bagi kita saat ini adalah bagaimana masing-masing dari kita berkomitmen dan mulai mengambil langkah pertama. Untuk mengakhiri tulisan ini perkenankan penulis mengutip sebuah kalimat yang penuh makna ini:
You never change things by fighting the existing reality. To change something, build a new model that makes the existing obsolete. Buckminster Fuller 21
22
Referensi 4 International Colleges & Universities. (2013). About us: Your gateway to world universities and colleges. Diakses 14 Juli 2013 dari http://www.4icu.org/menu/about.htm Aaronson, Scott et al. . (2012). The cost of knowledge. Diakses 4 Juli 2013 dari http://gowers.files.wordpress.com/2012/02/elsevierstatementfinal.pdf Alberts, Bruce. (2013). Impact factor distortions. Science, 340 (6134), p. 787. Diakses 14 Juli 2013 dari http://www.sciencemag.org/content/340/6134/787.full The American Society of Cell Biology. (2012). San Francisco Declaration on research assessment. Diakses 14 Juli 2013 dari http://am.ascb.org/dora Anderson, Kent. (2013). In praise of double-dipping – Fairness, affordability, vitality, and sustainability. Diakses 13 Juli 2013 dari http://scholarlykitchen.sspnet.org/2013/01/29/inpraise-of-double-dipping-fairness-affordability-vitality-and-sustainability Beall, Jeffrey. (2012a). Predatory publishing. Diakses 11 Juli 2013 dari http://www.thescientist.com/?articles.view/articleNo/32426/title/Predatory-Publishing Beall, Jeffrey. (2012b). Predatory publishers are corrupting open access. Diakses 11 Juli 2013 dari http://www.nature.com/news/predatory-publishers-are-corrupting-open-access1.11385 Björk, Bo-Christer. (2012). The hybrid model for open access publication of scholarly articles – A failed experiment? Diakses 13 Juli 2013 dari http://www.openaccesspublishing.org/hybrid/hybrid.pdf BOAI (Budapest Open Access Initiative). (2002). Read the original BOAI declaration. Diakses 26 Juni 2013 dari http://www.budapestopenaccessinitiative.org/read Boserup, Louise Krabbe et al. (2005). An introduction to openness and access to information. Diakses 13 Juli 2013 dari http://www.humanrightsinitiative.org/programs/ai/rti/articles/handbook_intro_to_openness _&_ai.pdf Butler, Declan. (2013). Investigating journals: The dark side of publishing. Diakses 11 Juli 2013 dari http://www.nature.com/news/investigating-journals-the-dark-side-of-publishing1.12666 Crawford, Walt. (2011). Open Access: What you need to know now. ALA Editions: Chicago 23
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2010). Peraturan menteri pendidikan nasional republik indonesia nomor 17 tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di perguruan tinggi. Diakses 10 Juli 2013 dari http://www.dikti.go.id/tatalaksana/upload/permen/permen17thn2010.pdf Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2012a). Peringkat perguruan tinggi versi Webometrics Edisi Juli 2012. Diakses 10 Juli 2013 dari http://www.dikti.go.id/?p=4350&lang=id Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. (2012b). Kebijakan unggah karya ilmiah dan jurnal. Diakses 10 Juli 2013 dari http://www.dikti.go.id/?p=1432&lang=id Elsevier. (2013a). Open access publication fee. Diakses 13 Juli 2013 dari http://www.elsevier.com/about/open-access/sponsored-articles#publication-fee Elsevier. (2013b). No double dipping policy. Diakses 13 Juli 2013 dari http://cdn.elsevier.com/assets/pdf_file/0009/129339/No_Double_Dipping_Policy_2013.pdf Freie Universitaet Berlin et al. (2013). Business models. Diakses 10 Juli 2013 dari http://openaccess.net/de_en/general_information/business_models Giersberg, Dagmar. (2009). Information against misgivings: An action week for Open Access. Diakses 8 Juli 2013 dari http://www.goethe.de/wis/bib/uhr/en5133370.htm Gowers, Timothy. (n.d.). The cost of knowledge. Diakses 14 Juli 2013 dari http://thecostofknowledge.com Hanard, Stevan. (2001). The self-archiving initiative: Freeing the refereed research literature online. Diakses 26 Juni 2013 dari http://users.ecs.soton.ac.uk/harnad/Tp/nature4.htm Hardjosoekarto, Sudarsono. (23 Mei 2013). Heboh jurnal predator. Kompas, hal. 7. Harvard University. (2013). The Harvard library: Faculty advisory council memorandum on journal pricing – Major periodical subscriptions cannot be sustained. Diakses 14 Juli 2013 dari http://isites.harvard.edu/icb/icb.do?keyword=k77982&tabgroupid=icb.tabgroup143448 Infrastructure Services for Open Access. (2013). Directory of open access journals: About DOAJ. Diakses 10 Juli 2013 dari http://www.doaj.org/doaj Lagoze, Carl & van de Sompel, Herbert. (n.d.). Open archives initiative – Protocol for Metadata Harvesting. Diakses 10 Juli 2013 dari http://www.openarchives.org/pmh
24
Liauw, Toong Tjiek. (2009). Open access: Menyuburkan plagiarism? Visi Pustaka, 11 (3), hal. 14-22. Diakses 14 Juli 2013 dari http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=open%20access%20menyuburkan%20plagiaris me&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CDUQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.pnri.g o.id%2FiFileDownload.aspx%3FID%3DAttachment%255CMajalahOnline%255CLiauw_ Toong_Open_Access.pdf&ei=ZMbmUe6dEoXKrAe7_4HYCA&usg=AFQjCNFfUjwy6R Gdlpyv9RPiFaNGGSBkug&bvm=bv.49405654,d.bmk Liauw, Toong Tjiek. (2006). Desa Informasi – The role of digital libraries in the preservation and dissemination of indigenous knowledge. International Information and Library Review, 38(3), pp. 123-131. Mart, Terry. (2 April 2013). Jurnal predator! Kompas, hal. 6. Max-Planck Society. (2003a). Berlin declaration on open access to knowledge in the sciences and humanities. Diakses 26 Juni 2013 dari http://oa.mpg.de/lang/en-uk/berlinprozess/berliner-erklarung Max-Planck Society. (2003b). Berlin process. Diakses 1 Juli 2013 dari http://oa.mpg.de/lang/enuk/berlin-prozess Max-Planck Society. (2003c). Berlin conferences. Diakses 1 Juli 2013 dari http://oa.mpg.de/lang/en-uk/berlin-prozess/berlin-konferenzen OECD/Organisation for Economic and Co-operation and Development. (2007). OECD principles and guidelines for access to research data from public funding. Diakses 13 Juli 2013 dari http://www.oecd.org/sti/sci-tech/38500813.pdf Pawitan, Jeanne Adiwinata. (11 Juni 2013). Jurnal predator bisa dinilai ulang? Kompas, hal. 7. Riyanto, Slamet et al. (2012). Panduan pengguna system aplikasi e-journal menggunakan open journal systems (edisi kedua). Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia: Jakarta. Schoepflin, Urs. (28 Januari 2013). Open access – development and challenges for scholarly work and publishing. Dipresentasikan di Seminar “Open Access: the Future of Repositories and Scholarly Publishing”, Surabaya. Diakses pada 8 Juli 2013 dari http://www3.petra.ac.id/library/upload.php?act=get&id=44 Science Europe. (2013). Science europe position statement: Principles for the transition to open access to research publications. Diakses 13 Juli 2013 dari http://www.scienceeurope.org/uploads/Public%20documents%20and%20speeches/SE_OA _Pos_Statement.pdf 25
Simon Fraser University et al. (n.d.). Public knowledge project: Open journal systems. Diakses 10 Juli 2013 dari http://pkp.sfu.ca/ojs Spanish National Research Council. (n.d.). Ranking web of universities: Methodology. Diakses 10 Juli 2013 dari http://www.webometrics.info/en/Methodology SPARC Europe. (2013). Hybrid journals. Diakses 13 Juli 2013 dari http://sparceurope.org/hybrid-journals Subekti, Agus. (1 Pebruari 2013). DGHE policy for open access”. Dipresentasikan di Seminar “Open Access: the Future of Repositories and Scholarly Publishing”, Depok. Diakses pada 8 Juli 2013 dari http://www.lib.ui.ac.id/sites/default/files/Open%20AccessDikti_0.pptx Suber, Peter. (2003). Bethesda statement on open access publishing. Diakses 1 Juli 2013 dari http://dash.harvard.edu/bitstream/handle/1/4725199/suber_bethesda.htm?sequence=1 Suber, Peter. (November 2006). No-fee open-access journals. SPARC Open Access newsletter, 103. Diakses 8 Juli 2013 dari http://legacy.earlham.edu/~peters/fos/newsletter/11-0206.htm (newsletter ini dilengkapi dengan update informasi berupa hasil studi/penelitian terbaru yang dilakukan pada tahun 2007, 2008, dan 2009 yang mendukung isi artikel yang dimaksud) Suwignyo, Agus. (24 April 2013). Jurnal predator dan politik pengetahuan. Kompas, hal. 7. Weinheimer, Heinz. (2012). Business models in scientific publishing. Dipresentasikan di 10th Bielefeld International Conference: Bielefeld, Germany. Diakses 3 Juli 2013 dari http://conference.ub.uni-bielefeld.de/programme/presentations/Weinheimer_BC2012.pdf
26