Pelaksanaan Bilateral Investment Treaties (BIT) Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Oleh Citra Mutiara Virjinia1 110120120014
ABSTRAK Dibuatnya Bilateral Investment Treaties (BIT) merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan negara lain untuk menunjang pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia dengan harapan akan terciptanya keadaan yang saling menguntungkan bagi kedua negara, terlebih lagi dengan adanya prinsip-prinsip mengenai standard of treatment di dalam suatu BIT yang diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak. Permasalahan yang timbul adalah ketiika didalam pelaksanaan BIT tersebut kedudukan Indonesia sebagai negara penerima modal menjadi tidak seimbang dengan negara pemilik modal. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan juridis normatif dengan melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum dan menggunakan metode deskriptif analitis. Ekspropriasi tidak langsung menjadi hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, dengan demikian diharapkan akan mengurangi kerugiankerugian yang dialami oleh Indonesia dalam pelaksanaan penanaman modal asing tersebut sehingga kesejahteraan rakyat akan dapat terwujud.
ABSTRACT Bilateral Investment Treaties made (BIT) is one way in which the Indonesian government with other countries to support the implementation of foreign investment in Indonesia with the hope of creating a mutually beneficial situation for both countries, especially with the principles of the standard of treatment in a BIT that is expected to provide protection for both parties. The problems that arise in the implementation of the BIT is kika the Indonesian position as the capital of the recipient countries become unbalanced with the state capital owners. This research was conducted by using a normative juridical approach to conduct a study of the principles of law and using descriptive methods. Expropriation is not directly an issue that can be done by the Indonesian government in controlling the foreign companies operating in Indonesia, thus expected to reduce losses suffered by Indonesia in the implementation of foreign investment so that the welfare of the people will be realized.
1
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum (Hukum Bisnis) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Angkatan 2012.
1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengaturan mengenai penanaman modal asing ini dahulu diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri karena semakin berkembangnya zaman dan undang-undang tersebut dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan pembangunan dan perkembangan hukum nasional, maka kedua undang-undang tersebut diubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Undangundang tersebut menyatukan pengaturan mengenai penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri. Dengan kata lain tidak ada lagi perbedaan ketentuan antara penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri. UndangUndang Penanaman Modal ini dimaksud untuk memberikan kepastian hukum.2 Pembuatan Undang-undang penanaman modal yang baru ini merupakan realisasi dari kesepakatan keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dengan pemberlakuan prinsip-prinsip perdagangan yang terdapat dalam GATT/WTO yang antara lain prinsip non diskriminasi dan prinsip perlakuan yang sama (National Treatment). Dengan diberlakukannya prinsip-prinsip tersebut maka Undang-Undang Penanaman Modal yang baru sifatnya sangatlah liberal. Liberalisasi perdagangan bebas yang berkaitan dengan penanaman modal mengakibatkan dampak yang besar bagi pelaksanaan penanaman modal asing di 2
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung, 2010, hlm. 21.
Indonesia. Hal ini dikarenakan di satu sisi Indonesia harus membuat peraturanperaturan yang sesuai dengan aturan-aturan yang diberlakukan bagi para seluruh anggota WTO. Akan tetapi di sisi lain Indonesia juga harus membuat peraturanperaturan yang tidak boleh bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45. Pada dasarnya penanaman modal asing yang dilakukan di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan perekonomian negara dan selain itu juga dapat mensejahterakan rakyat. Akan tetapi liberalisasi penanaman modal yang terjadi saat ini pada kenyataannya memberikan perlindungan yang setinggi-tingginya pada pemilik modal asing atau perusahaan multinasional, dan memberikan hak yang sangat sempit kepada negara penerima modal (host state) untuk dapat mengatur dan mengendalikan keberlangsungan penanaman modal asing ini. Dari pemaparan di atas dapat terlihat bahwa Indonesia sebagai negara penerima modal, memiliki hak yang sangat tidak seimbang di dalam pelaksanaan penanaman modal asing ini. Hal ini terlihat pada negara pemilik modal memiliki peranan yang lebih dominan dibandingkan Indonesia sebagai negara penerima modal yang pada kenyataannya seharusnya baik home state maupun host state memiliki hak yang seimbang sehingga tidak ada yang merasa dirugikan satu sama lain. Perjanjian BIT ini pada dasarnya dibuat untuk memberikan perlindungan bagi home state agar dalam pelaksanaan penanaman modal di host state, kepentingankepentingan dari investor asing tersebut tetap diperhatikan dengan adanya perlakuan standar bagi investor asing oleh host state. Di sisi lain bagi host state, BIT dibuat untuk menarik para investor asing untuk menanamkan modalnya di negara tersebut. Dengan semakin banyak investor yang masuk diharapakan pembangunan ekonomi di negara tersebut akan semakin meningkat. Dengan demikian keberadaan BIT ini diharapkan dapat memberikan keuntungan baik bagi host state maupun home state.
Meskipun keberadaan penanaman modal asing bagi negara berkembang dapat membantu negara tersebut untuk melakukan pembangunan di negaranya dengan begitu diharapkan adanya penanaman modal asing dapat meningkatkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Meskipun penanaman modal asing tersebut dapat memberikan dampak poitif bagi host state, terdapat juga resiko-resiko yang dapat terjadi dan pada akhirnya bukan menciptakan kesejahteraan bagi host state tetapi justru semakin membuat host state bergantung kepada home state. Hal tersebut dapat terjadi apabila host state tersebut belum siap untuk menghadapi adanya penanaman modal asing baik dari segi hukum yang tersedia di host state sampai pada sumberdaya manusia. Seperti yang kita ketahui bahwa hampir semua host state merupakan negara berkembang dan sebaliknya home state merupakan negara maju yang mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan host state. Apabila hal tersebut terjadi maka pengaturan-pengaturan dalam penanaman modal asing tersebut cenderung akan lebih menguntungkan home state dengan begitu maka tentu saja kerugian akan dialami oleh host state. Semakin maraknya investor asing yang menanamkan modalnya di satu sisi juga justru akan membuat host state smekain bergantung akan keberadaan home state apabila host state tersebut belum siap terhadap adanya penanaman modal asing. Selain itu juga adanya kedudukan yang tidak seimbang antara host state dan home state dapat berakibat pada regulasi-regulasi yang dibuat dalam host state justru mementingkan home state sehingga dengan begitu kepentingan dari host state itu sendiri menjadi terabaikan. Permasalahan lain yang muncul adalah, ketika pelaksanaaan penanaman modal asing sudah sampai pada tahap pembuatan perjanjian kerjasama. Seperti yang kita ketahui, saat ini banyak perusahaan-perusahaan multinasional yang menanamkan modalnya di Indonesia dan melakukan kerja sama baik dengan instansi-instansi
pemerintah, BUMN maupun dengan perusahaan swasta nasional. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa terlihat ketidakseimbangan hak-hak yang dimiliki antara home state dan host state, maka pada
tahap perjanjian ini akan terlihat
pelaksanaan penanaman modal asing ini lebih menguntungkan kepada host state atau home state. Seperti yang dikutip oleh Sornarajah, 3 Another feature of bilateral investment treaties is that they are made between unequal partners, they entrench an inequality that has always attended this area of international law, they are usually agreed between a capital exporting developed state and a developing country state keen to attract capital from that state. Dari pendapat di atas dapat terlihat bahwa ketidakseimbangan memang terjadi dalam pelaksanaan penanaman modal asing. Terlebih lagi karena negara berkembang membutuhkan modal dari negara maju, sehingga akan berlomba-lomba untuk menarik penanam modal asing. Sehingga negara yang sedang berkembang akan patuh kepada keinginan-keinginan dari negara maju sebagai penanam modal. Begitu juga halnya dengan Indonesia sebaga negara berkembang yang sedang membutuhkan modal untuk pembangunan nasional, akan senantiasa patuh terhadap arus liberalisasi sebagai akibat dari turut serta ke dalam perdagangan internasional Lebih lanjut lagi di Insonesia sampai saat ini terdapat sekitar 66 perjanjian bilateral yang sudah ditandatangani, akan tetapi di dalam pelakasanaannya, tentu saja terdapat kendala-kendala yang mengakibatkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan negara penanam modal. Terdapt beberapa kasusyang pada kenyataannya pemerintah Indonesia digugat oleh penanam modal asing dikarenakan menurut pihak
3
M. Sornarajah, The International Law On Foreign Investment, Third edition, Cambridge University, Singapore, 2011,, hlm 177.
penanam modal asing tersebut kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia merugikan mereka. Salah satu kasus yang terjadi, yaitu ketika perusahaan Inggris yang bergerak di bidang Batubara yaitu Churchill Mining, menggugat pemerintah Provinsi Kutai Timur di Badan Arbitrase Internasional (ICSID). Hal tersebut terjadi dikarenakan Pemerintah Kutai Timur tidak memberikan izin kepada perusahaan tersebut untuk memperluas wilayah usaha batubara perusahaannya. Hal tersebut mengakibat’kan perusahaan tersebut merugi, sehingga berdampak pada digugattnya pemerintah Kutai Timur di ICSID. Kemudian ICSID menerima gugatan Churchill Mining dan pemerintah Indonesia terancam membayar denda pada Churchill Mining sebesar US$ 1M. Kasus lain yang terjadi, yaitu mengenai kasus PT. Newmont Nusa Tenggara yang juga menggugat pemerintah Indonesia berkaitan dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah mengenai pengenaan bea ekspor biji timah. Kebijakan ini dilakukan pemerintah sebagai tujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai basis pengelolaan mineral hilirisasi yang juga diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 (UU Minerba). Pemberlakuan kebijakan tersebut diperuntukkan secara merata terhadap seluruh perusahaan baik perusahaan asing maupun dalam negeri. Akan tetapi dikarenakan adanya kebijakan tersebut menimbulkan kerugian bagi PT. Newmont Nusa Tenggara, kemudian perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat yang bekerja sama dengan Perusashaan yang berasal dari Belanda tersebut mengajukan gugatan terhadap pemerintah Indonesia melalui ICSID. .Digugatmya Indonesia oleh para investor asing yang dalam hal ini berasal dari negara penanam modal tentu saja, mengakibatkan kerugian bagi Indonesia. Seharusnya dengan adanya perjanjian BIT dapat memberikan juga perlindungan bagi
Indonesia sebagai negara penerima modal. Hal ini dikarenakan adanya perjanjian BIT tersebut untukmemberikan perlindungan dan promosi diantara negara yang telah menandatangani perjanjian tersebut. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka beberapa permasalahan yang perlu mendapat jawaban dan akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan Indonesia sebagai negara penerima modal dalam perjanjian bilateral penanaman modal asing berdasarkan standard of treatment? 2. Bagaimana upaya Indonesia sebagai negara penerima modal terhadap perusahaan penanam modal asing yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam BIT dan merugikan negara berdasarkan undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal? II. METODE PENELITIAN Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu suatu metode pendekatan yang menitikberatkan pada penelitian terhadap data sekunder dengan didukung oleh data-data kepustakaan sebagai sumber utama, yaitu dengan membaca dan mempelajari buku-buku, peraturran perundangundangan serta tulisan-tulisan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti dalam hal ini adalah asas keseimbangan dalam perjanjian bilateral dalam penanaman modal asing di Indonesia. Dilihat dari spesifikasinya, penelitian ini termasuk deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang berhubungan dengan penanaman modal khususnya penanaman modal asing dan kontrak perjanjian di Indonesia. Kemudian untuk mengetahui dan memahami bagaimana pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia dapat memberikan manfaat sebesar-besranya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta untuk membantu pembangunan nasional seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA Pada dasarnya pemerintah Indonesia menyadari bahwa penanaman modal asing berperan penting dalam modernisasi perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh sebab ittu kebijakan penanaman modal asing yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sangatlah penting dalam rangka pembangunan ekonomi di Indonesia. Kebijakan pemerintah Indonesia dallam penanaman modal asing ini, sangatlah terasa terutama pada masa orde baru tepatnya pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (1966-1998), hal tersebut dapat terlihat dari dibuatnya Undang-undang No.1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian diganti menjadi Undang-undang 11 Tahun 1970. Dibuatnya undang-undang mengenai penanaman modal asing tersebut ialah sebagai salah satu cara pemerintah Indonesia untuk menarik para penanam modal asing untuk menanamnkan modalnya di Indonesia. Selain itu juga adanya undang-undang No. 11 Tahun 1970 Tentang Penannaman Modal Asing tersebut juga didukung oleh kebijakan pemerintah pada bidang ekonomi makro yang kondusif dan juga kondisi politik yang stabil mengakibatkan meningkatnnya penanaman modal asing pada era orde baru.4 Selama tahun 1960-1970, kebijakan penananman modal asing yang dibuat oleh pemerintah Indonesia terfokus pada sektor minyak dan gas alam, sedangkan pada tahun 1980-1990 pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk melibelarisasi pasar domestik untuk membantu perkembangan penanaman modal asing pada sektor manufaktur dan pelayanan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap sektor utama. 5
4
Arumugam Rajenthran, “Indonesia: An overview of the legal framework for foreign direct investment”, Economics and Finance, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2002, hlm.4. 5
Tulus T.H. Tambunan, Inward FDI in Indonesia and Policy Context, Vale Columbia Center on sustainable International Investment (A joint Center of Columbia Law School And The Earth Institute of Columbia University), 2013, hlm. 2
Sebagaimana XXIII/MPRS/1966
ditentukan Tentang
oleh
Pasal
pembaharuan
9
Ketetapan
kebijaksanaan
MPRS
Landasan
No.
Ekonomi
Keuangan dan Pembangunan yang menyatakan bahwa:6 “Pembangunan ekonomi terutama berarti mengolah kekuatan ekonomi potensiil menjadi kekuatan ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan keterampilan, penambahan pengetahuan berorganisasi dan manajemen” Sedangkan pada Pasal 10 Ketetapan MPRS tersebut menyatakan bahwa: “Penanggulangann kemerosotan ekonomi serta pembangunan lebih lanjut dari potensi ekonomi harus didasarkan pada kemampuan serta kesanggupan rakyat Indonesia sendiri. Akan tetapi azas ini tidak boleh menimbulkan keseganan untuk memanfaatkan potensi-potensi modal, teknologi dan skill yang tersedia di luat negeri, selama segala bantuan itu benar-benar diabdikan kepada kepentingan ekonomi rakyat tanpa mengakibatkan ketergantungan terhadap luar negeri.” Berikutnya dalam Pasal 29 TAP MPRS yang sama menjelaskan mengenai pengertian dari pembangunan ekonomi, adalah sebagai berikut: “Pembangunan ekonomi adalah pembangunan dari para potensi-potensi ekonomi. Oleh karena potensi ekonomi terdapat di daerah-daerah maka pembangunan nasional adalah identik dengan pembangunan daerah.” Dari beberapa Pasal yang terdapat dalam Ketetapan MPRS tersebut, dapat kita lihat bahwa pada saat itu pemerintah Indonesia mempunyai batasan-batasan mengenai faktor apa saja yang dapat dijadikan landasan bagi pemerintah Indonesaia dalam hal membuat kebijakan ekonomi negara Indonesia. Kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah Indonesia diharapkan tetap memperhatikam kepentingan rakyat Indonesia. Lebih lanjut lagi, dalam ketetapan MPRS tersebut penanaman modal asing merupakan salah satu cara bagi pemerintah Indonesia untuk membantu pembangunan ekonomi. Berkaitan dengan hal tersebut tentu saja dalam mebuat suatu kebijakan mengenai penanaman
6
modal
asing,
Sunaryati Hartono, Op Cit, hlm. 29
pemerintah
Indonesia
sudah
seharusnya
tetap
memperhatikan kepentinan rakyatnya sehingga tidak membuat negara Indonesia menjadi negara yang bergantung pada negara lain. Peluang dan kesempatan masuknya penanaman modal, telah memberi implikasi bagi Indonesia menjadi semakin terbuka bagi para pelaku bisnis asing, secara langsung atau tidak langsung.7 Setelah menanti cukup lama akhirnya ketentuan investasi yang selama 40 tahun diatur oleh dua undang-undang yang berbeda, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal asing dan UndangUndang No. 6 Tahun 1968 Tentang penanaman Dalam Negeri, dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang dinyatakan berlaku seak diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2007 Nomor 67 Pada Tanggal 26 April 2007.8 Perubahan pengaturan terhadap Undang-Undang Penanaman Modal ini memakan waktu yang relatif lama dikarenakan, seperti yang kita adanya penyatuan pengaturan mmengenai penanaman modal asing dang penanaman modal dalam negeri ini tentu saja menimbulkan berbagai macam akibbat hukum yang berbeda pula. Salah satunya adalah dengan disatukan penyatuan pengaturan mengenai penanaman modal asing dan peanaman modal dalam negeri berakibat pada adanya perlakuan yang sama antara penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri. Perlakuan yang dama tersebut tentu saja mengakibatkannya adanya pro dan kontra dari berbgai macam pihak terhadap adanya undang-undang penanaman modal yang baru tersebut. Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang telah mencabut ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 dan juga mencabut UndangUndang No. 6 Tahun 1968. Di dalam Undang-Undang penanaman modal yang baru 7
Maria S.W Sumarjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008, Hlm. 22. 8 Sentosa Sembiring, Opcit, Hlm. 126
ini terdapat beberapa pengertian mengenai penanam modal asing, penanaman modal asing dan juga modal asing adalah sebagai berikut : 1. penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. 2. Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. 3. Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Penentuan bidang usaha untuk penanaman modal asing bersifat dinamis karena setiap waktu dapat berubah yang disesuaikan dengan kondisi bangsa dan negara.9 Sebagai contoh pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, terdapat bidang usaha tertentu yang dilarang bagi para investor asing secara penuh. Akan tetapi dalam perkembangannya bidang usaha yang dahulu tertutup untuk para investor asing ternyata saatini dapat dilakukan oleh investor asing dengan syarat harus dilakukan kerja sama dengan warga negara Indonesia atau badan usaha Indonesia. Selain memberikan perlakuan yang sama pada penanam modal yang berasal dari negara manapun, Undang-undang No. 25 Tahun 2007 juga menyatakan bahwa 9
Idem, hlm. 177
pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi kecuali diatur lain oleh Undangundang. Dalam hal pemerintah melakukan nasionalisasi maka pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya disesuaikan berdasarkan harga pasar. B. PERANAN
BILATERAL
INVESTMENT
TREATIES
(BIT)
DALAM
PENANAMAN MODAL ASING Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan BIT dalam penanaman modal asing berperan penting dalam perlindungan terhadap penanam modal asing yang menanamkan modalnya di negara penerima modal. Begitu juga sebaliknya, BIT juga dapat melindungi negara penerima modal dalam pelaksanaan penanaman modal asing ini. Seperti halnya juga di Indonesia, sejak masa orde baru dan diundangkannya undang-undang tentang penanaman modal asing yaitu UndangUndang 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing maka Indonesia sebagai negara berkembang semakin gencar untuk membuat BIT guna meningkatkan penanaman modal asing di Indonesia. Pada saat ini Indonesia telah memiliki perjanjian bilateral dengan 67 negara, beberapa perjanjian sedang pada tahap renegosiasi dan bebrapa perjanjian mengalami kesulitan untuk dilaksanakan. Berikut uraian mengenai perjanjian BIT yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan negara lain:10 a. P4M (BIT) Indonesia-Slovakia, perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal 12 Juli 1994 dan telah diratifikasi sejak keputusan presiden No.66 tanggal 22 September 1994. Permasalahan utama dalam perjanjian tersebut yaitu mengenai perpajakan.
10
www.bkpm.go.id
b. P4M Indonesia-Swiss, ditandatangani 6 Juni 1974 dan telah diratifikasi dengan keputusan presiden No.9 Tahun 1976 tanggal 2 Maret 1976. Permasalahan utama mengenai perjanjian tersebut yaitu mengenai masalah:
a.
Definisi
investasi-investor,
b.
Perpajakan-subrogasi-
expropriation, c. Dispute Setllement-transfer. c. P4M Indonesia-Kanada, ditandatangani tanggal 16 Maret 1973 dan telah diratiifikasi dengan keputusan Presiden No. 30 Tahun 1973. Permasalahan utama perjanjian tersebut, yaitu mengenai: Preamble, Definisi investasi, definisi investor, Liberalisasi Annex I dan II, Performances requirements, Movement, Transparency, Dispute Setllement, perpajakan. d. P4M Indonesia-Ceko, ditandatangani tanggal 17 September 1998 dan telah diratifikasi dengan keputusan presiden no.50 Tahun 1999 tanggal 20 Mei 1999. Permasalahan utama dalam yang terdapat dalam perjanjian tersebut yaitu mengenai exception on national Treatment, perpajakan, transfer dan temporary safeguards measures. e. P4M Indonesia-Prancis, ditandatangani tanggal 14 uni 1973 dan telah diratifikasi dengan keputusan Presiden No. 10 Tahun 1975 Tanggal 10 April 1975. Permasalahan utama yang dbahas dalam perjanjian tersebut yaitu mengenai definisi investasi, perpajakan dan subrogasi. f. P4M Indonesia-USA, diitandatangani tanggal 7 Januari 1967 dan diratifikasi dengan keputusan presiden No. 97 Tahun 1967 tanggal 3 Juli 1967. Permasalahan utama yang dibahas dalam perjanjian tersebut yaitu mengenai pelaksanaan pertukaran informasi mengenai exploratory meeting.
Apabila kita perhatikan lebih lanjut lagi, bahwa adanya BIT dalam penanaman modal asing berfungsi untuk meningkatkan perekonomian dan juga pembangunan di Indonesia. Dengan adanya BIT maka kepentingan dan hak dan kewajiban antara Indonesia sebagai negara peneirma modal dan juga penanam modal asng tentu saja dapat terlindungi. Hal ini tentu saja seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa penanaman modal berfungsi untuk mensejahterakan rakyat. Seperti yang kita ketahui bahwa, disepakatinya perjanjian BIT oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain adalah untuk memberikan perlindungan bagi para investor yang berasal dari negara pemilik modal yang suah mendatangani perjanjian tersebut. Akan tetapi apabila kita kaji lebih dalam lagi, bahwa isi dari perjanjian-perjanjian BIT yang antara Indonesia dengan negara lain, didalamnya mencakup mengenai para pihak yang menyepakati perjanian tersebut, kemudian definisi mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam perjanjian tersebut, ketentuan mengenai
standard of
treatment,
larangan nasionalisasi
sampai
penyelesesaian sengketa apabila terjadi sengktea antara investor dengan pemerntah Indonesia dan juga antar kedua negara yang menyepakati perjanjian tersebut.
C. PELAKSANAAN
BIT
DALAM
PENANAMAN
MODAL
ASING
DI
INDONESIA Kesadaran
akan
pentingnya
peranan
perlindungan
hukum
terhadap
pelaksanaan penanaman modal asing, bedampak pada digantinya undang-undang penanaman modal yang lama menjadi Undang-undang no. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Adanya undang-undang penanaman modal tidak serta merta dirasa kurang guna mendukung pelaksanaan penanaman modal di Indonesia.
Dibutuhkan ketentuan-ketentuan yang lebih konkrit dan yang dapat memberikan jaminan perlindungan baik terhadap para investor asing maupun negara Indonesia sendiri. Oleh sebab itu dengan adanya BIT yang dibuat dan disepakati ooleh Indonesia denga negara lain dapat memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa adanya BIT pada dasarnya untuk menjamin hak dan kewajiban antara kedua negara yang menyepakati perjanjian tersbut. Seperti halnya perjanjian BIT yang dibuat dan disepakati oleh pemerintah Indonesia dengan negara lain, di dalamnya juga terdapat ketentuan-ketentuan mengenai definisi-definisi terhadap terminologi yang digunakan dalam perjanjian tersebut, hal-hal apa saja yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan oleh kedua negara, ruang lingkup, prinsip-prinsip mendasar yang diharuskan ada di dalam sebuah BIT, penyelesaian sengketa dll. Akan tetapi, pada kenyataannya keberadaan BIT dalam pelaksanaan penanaman modal di Indonesia tidak selalu memberikan dampak yang baik bagi negara. Berbagai ketentuan-ketentuan yang diatur dalam BIT yang diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi kedua negara, akan tetapi pada kenyataannya justru berakibat pada kerugian yang dialami oleh salah satu negara. Dalam hal ini tidak jarang, Indonesia sebagai negara penerima modal yang justru mengalami kerugian tersebut. di dalam pelaksanaan suatu BIT di Indonesia, terdapat permasalahanpermasalahan mendasar yang berakibat pada kerugian yang tidak sedikit yang dialami oleh Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya penanaman modal, memberikan dampak yang baik pula bagi Indonesia. Tidak siap nya Indonesia terhadap semakin banyaknya penanaman modal asing yang masuk menjadikan Indonesia semakin bergantung terhadap penanaman modal asing. Penanaman modal asing yang awalnya
berfungsi sebagai pemicu untuk pembangunan Indonesia, berubah menjadi ketergantungan terhadap penanaman modal asing. Prinsip-prinsip standard of treatment yang terdapat dalam BIT yang dibuat oleh Indonesia dengan negara lain, meupakan standard of treatment yang besifat absolut. Prinsip standard of treatment yang bersifat absolut tersebut menyatakan kewajiban unuk patuh terhadap ketentuan-ketentuan mengenai fair and equitable treatment, full protection and security, ketentuan yanng berhubungan dengan ekspropriarsi merupakan standar yang absolut dalam sebuah BIT. Selanjutnya, prinsip-prinsip tersebut sepeti yang sudah dibahas sebelumnya pada dasarnya sangat melindungi para investor yang menanamkan modalnya di Indonesia. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip terebut dapat berakibat pada wanprestasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan tentu saja akan merugikan Indonesia. Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut dapat terlihat bahwa Indonesia tidak dapat bertindak sesuai atau demi kepentingan rakyat. Pada dasarnya dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, pemerintah Indonesia masih tetap dapat membela kepentingan publik. Terkait dengan digugatnya pemerintah Indonesia oleh para investor asing mengenai dikeluarkannya kebijakan yang merugikan para investor asing. Peradilan Internasional telah melakukan interpretasi mengenai penerapan prinsip fair and equitable treatment dalam penanaman modal asing. Terdapat 4 prinsip penting dalam Fair and equitabe treatment, yaitu: 1) The principle of reasonableness 2) The principle of nondiscrimination 3) The principle of concistency
4) The princciple of transparency 5) The principle of due process Pada prinsip reasonableness, negara penerima modal dalam membuat suatu kebijakan diharuskan memiliki alasan-alasan dan tujuan-tujuan yang jelas. Berdasarkan prinsip tersebut, dalam kasus Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont NusaTenggara dan juga PT. Churchill Mining. Prinsip tersebut harus selayaknya dapat dibuktikan oleh pemerintah Indonesia. Bahwa alasan dan tujuan jelas dari pemerintah Indonesia atas kebijakan terssebut adalah jelas dan dapat diterima. Meskipun bagi para investor, pemerintah Indonesia tidak memiliki alasan yang kuat atas dibuatnya kebijakan tersebut. Selain itu juga apabila tujuan atau alasan dari dibuatnya suatu kebijakan tersebut adalah berdasarkan pada tujuan politik atau lainnya maka kebijakan tersebut tidak akan dibenarkan Pada prinsip Non-diskriminasi, pada dasarnya prinsip ini sudah tercantum dalam national treatment dan most favoured nation. Pada dasarnya prinsip non diskriminasi tersebut dapat dikesampingkanatas dasar alasan yang benar-benar untuk kepentingan publik dan pemerintah Indonesia dapat membuktikan hal-hal tersebut. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa perusahaan multinasional mempunyai peran yang cukup penting dalam penanaman modal. Hal ini dikarenakan perusahaan tersebut merupakan pelaku yang terjun langsung dalam pelaksanaan penanaman modal asing. Perusahaan multinasional dan penanaman modal asing merupakan suatu hal yang berbeda, tetapi keduanya mempunyai kaitan sama lain. Pentingnya keberadaan perusahaan multinasional dalam penanaman modal asing di Indonesia, maka pemerintah Indonesia membuat ketentuan mengenai daftar bidang yang terbuka dan tertutup bagi perusahaan multinasional yang ingin
menanamkan modalnya di Indonesia. Lebih lanjut lagi meskipun Indonesia membutuhkan penanaman modal asing guna pembangunan, Indonesia mempunyai ketentuan-ketentuan mengenai negative list. Pada dasarnya dengan adanya negative list tersebut maka pemerintah Indonesia tetap melindungi bidang-bidang usaha penting sehingga pengelolaanya tetap dikuasai oleh pemerintah Indonesia atau oleh perusahaan dalam negeri. Hal tersebut dilakukan guna tetap menciptakan pembangunan yang merata bagi rakyat Indonesia sehingga dalam hal ini tidak saja hanya perusahaan multinasional yang dapat mendapatkan keuntungan dari adanaya penanaman modal akan tetapi juga perusahaan-perushaaan dalam negeri mempunyai hak sama. Adanya posisi tawar menawar antara perusahaan multinasional dan negara penerima modal ini karena masing-masing ingin mendapatkan keuntngan yang maksimum. Perundingan antara perusahaan-perusahaan dan negara berkembang ini mengikuti pola yang disebut the obsolecing bargain pattern. Perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai posisi tawar yang lebih kuat terhadap suatu penanaman modal dan disisi lain juga mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari negara penerima modal. Keadaaan negara Indonesia sebagai negara berkembang yang membutuhkan modal dan menerima modal dari para penanam modal yang berasal dari negara maju, membuat posisi tawar menawar atau bargaining position antara Indonesia dengan perusahaan multinasional menjadi tidak seimbang. Pada dasarnya Indonesia sebagai negara penerima modal sudah memfasilitasi serta menjamin kepastian hukum untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi perusahaan multinasional yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Kemudahan maupun kepastian hukum yang
dijamin oleh pemerintah Indonesia tesrebut terdapat dalam Undang-Undang no. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan juga untuk pengaturan lebih khusus terdapat dalam BIT yang dibuat dan ditandatangani oleh Indonesia dengan negaranegara pemilik modal. Pada kenyataanya lemahnya posisi Indonesia sebagai negara penerima modal membuat konflik-konflik yang terjadi antara Indonesia dengan perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia menjadi sangat merugikan Indonesia. Hal ini karena Hampir semua konflik yang terjadi antara Indonesia dengan perusahaan multinasional tersebut justru dimenangkan oleh perusahaan multinasional. Terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para investor yang merugikan Indonesia, pada saat ini juga Indonesia sedang melakukan proses renegosiasi terhadap perjanjan BIT yang telah dibuat dengan negara-negara lain. Hal tersebuttentu saja merupakan langah yang baik karena, isi dari BIT yang saat ini masih berlaku di Indonesia sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan Indonesia. Selain itu juga penghentian perjanjian BIT merupakan hal yang cukup ditakuti juga oleh para investor. Hal tersebut tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa dengan dilakukannya penghentian perjanjian BIT oleh Indonesia terhadap BIT yang dilakukannya dengan negara lainn makan akan berdampak juga pada posisi investor-investor asing yang berasal dari negara tersebut. Ketegasan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia dalam hal penanaman modal asing ini sangatlah penting, agar tetap terciptanya keadaan yang seimbang dan saling menguntungkan baik bagi Indonesia sebaga negara penerima modal maupun bagi negara-negara lain sebagai negara pemilik modal.
D. PENUTUP 1. Kedudukan Indonesia dalam perjanjian BIT yang telah dibuat dengan negaranegara lain berdasarkan prinsip-prinsip standard of treatment adalah tidak seimbang, dengan kata lain kedudukan Indonesia sebagai negara penerima modal adalah lemah dibandingkan dengan negara-negara pemilik modal. Hal tersebut dikarenakan ketentuan mengenai standard of treatment di dalam sebuah BIT pada kenyataannya lebih mennguntungkan bagi negara pemilik modal dan berdampak pada kerugian yang dialami oleh Indonesia sebagai negara penerima modal. 2. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap perusahaan multinasional yang merugikan Indonesia berdasarkan Undang-Undang no. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal adalah dilakukannya ekspropriasi terhadap perusahaan tersebut. Dalam hal ini ekspropriasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia bukanlah ekspropriasi yang bersifat langsung, Akan tetapi ekspropriasi tidak langsung yang dilakukan melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung mengatur mengenai peralihan penguasaaan terhadap perusahaan multinasional yang menanamkan modalnya di Indonesia.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. An an Chandrawulan, S.H., LL.M sebagai ketua komisi pembimbing 2. Dr. Hj. Sinta Dewi, S.H., LL.M sebagai anggota komisi pembimbing
DAFTAR PUSTAKA Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung, 2010. M. Sornarajah, The International Law On Foreign Investment, Third edition, Cambridge University, Singapore, 2011.
Arumugam Rajenthran, “Indonesia: An overview of the legal framework for foreign direct investment”, Economics and Finance, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2002.
Tulus T.H. Tambunan, Inward FDI in Indonesia and Policy Context, Vale Columbia Center on sustainable International Investment (A joint Center of Columbia Law School And The Earth Institute of Columbia University), 2013. Maria S.W Sumarjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2008.