Indonesia dalam proses Globalisasi berkaitan dengan kesiapan menghadapi AFTA, strategi pemberdayaan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan Penegakan System Hukum (ekonomi)/ “Law E nforcement” oleh Bambang Warih Koesoema
dalam DIALOG PUBLIK STRATEGI PEMBERDAYAAN USAHA KECIL MENENGAH DALAM MENGHADAPI AFTA MELALUI PENEGAKAN SISTEM HUKUM EKONOMI INDONESIA
dalam rangka DIES NATALIS UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
1
4 November 2002 1.
Indonesia dalam Proses Globalisasi
Pada tahun 1980an, apa yang kini dikenal dengan nama faham “neo-liberal” mulai dirasa pengaruhnya, ketika pemerintah menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi yang berwujud paket deregulasi semenjak 19831. Mulai saat itu, dapat dikatakan bahwa pola-pola pembangunan di Indonesia mengadopsi kebijakan neo liberal karena keterikatan Indonesia kepada CGI (saat itu: IGGI), Bank Dunia dan IMF. Banyak di antara kebijakan tersebut yang membuat Indonesia makin terbuka pada intervensi kapital dalam skala global, misalnya kebijakan di bidang investasi2, kebijakan di bidang fiskal3, kebijakan di bidang perdagangan4 dan kebijakan di bidang moneter dan keuangan.5 Laporan Bank Dunia awal 1997 masih memuji ekonomi Indonesia dan menyatakannya sebagai contoh yang paling baik dengan fundamental ekonomi yang bagus. Indonesia digolongkan sebagai NICs (New Industrialised Country) di Asia bersama Thailand, Malaysia dan Filipina [World Bank, 1997] Apa yang bisa dipelajari dari fenomena ini? Dalam satu istilah singkat, jaman sudah berubah. Saat ini manusia hidup dalam satu jaman baru dengan gejala-gejala yang baru. Apa yang baru? Berkuasanya modal dan segenap derivatnya atas tatanan hidupbersama (shared-life). Dengan tunduk terhadap panglima modal, manusia menghadapi satu gejala. Di satu sisi, hal ini memungkinkan manusia hidup makin nyaman, bepergian dengan cepat, berkomunikasi dengan lancar, makan lebih enak, dll. Di sisi lain, kemerosotan di banyak sektor hidup terjadi: angka kemiskinan danpengangguran membubung pesat, krisis ekonomi berkepanjangan, ketidakadilan sosial. Sementara itu, pemerintahan sudah berganti, kabinet sudah berubah, anggaran belanja negara sudah disesuaikan. Namun tetap saja, korban – 1
Ada berbagai pendapat dan rumusan mengenai ‘neo-liberal’, namun secara umum ia dipahami sebagai ideologi mutakhir kapitalisme. Slogan “There Is No Alternative!” yang dilontarkan oleh Margaret Thatcher dihidupi pula sebagai sloban kaum neo-liberal. Semenjak 1970an praktek neo-liberal menjadi kebijakan banyak negara maju dan didukung oleh badan dunia seperti WTO, IMF dan Bank Dunia. Beberapa akademisi secara sederhana melihat neo liberal sebagai antitesa dari welfare state, antitesa neo klasik dan antitesa Keynesian [Setiawan, 2001]
2
Mei 1986, 95% pemilikan asing dimungkinkan untuk melakukan investasi berorientasi ekspor. Perusahaan berorientasi ekspor diijinkan mendistribusikan produknya di dalam negeri dan perusahaan patungan dapat memperoleh kredit eksopor dari pemerintah. 23 Oktober 1993 dikeluarkan Pakto 1993, yaitu paket deregulasi sektor riil mengenai ijin ivestasi, dilanjutkan dengan PP 20/1994 2 Juni 1994 yang mengijinkan pemilikan modal asing sampai 95-100% termasuk dalam penguasaan bidang usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
3
1984 dimulai pengubahan kebijakan perpajakan dengan pengenaan PPh (Pajak Penghasilan), 1985 PPn (Pajak Pertambahan Nilai) dan 1986 IPEDA diganti dengan PBB (Pajak Bumi & Bangunan)
4
Shorltlisting: Maret 1985: pengurangan tarif perdagangan dari 0-225% menjadi 0-60%. Lalu dikeluarkan inpres No. 4/1985 mengenai bea cukai, Mei 1986 (Pakem) dilakukan perbaikan duty drawback dan upaya agar eksportir mendapatkan input dengan harga internasional. Oktober 1986-Januari 1987 perubahan dari lisensi impor menjadi impor umum dan penghapusan non trade barrier (NTB) dan penurunan tarif lebih lanjut. Juli 1987 simplifikasi kuota tekstil. Desember 1987 deregulasi lebih lanjut tentang sistem impor dan ekspor serta investasi asing. November 1988 penghapusan monopoli impor plastik dan baja dan deregulasi angkutan laut antar pulau. Januari 1989 diperkenalkan harmonised system of trade classification. Mei 1990 dilakukan penghapusan NTB.
5
Shortlisting lain: Maret 1983 devaluasi rupiah 28%. Juni 1983 dimulai deregulasi perbankan dengan menghapus kontrol atas suku bunga & pagu kredit. Oktober 1986 penghapusan pagu swap pada BI. 12 September 1986 devaluasi rupiah 31%, 27 Oktober 1986 (Pakto 86) keleluasaan mendirikan bank baru termasuk patungan, dan menurunkan reserve requirement dari 15% menjadi 2% dan memberlakukan lending limit. Desember 1987 memperbaiki fungsi pasar modal Jakarta dan dibentuknya pasar paralel. Desember 1988 deregulasi pasar modal dan jasa finansial. 25 Maret 1989, follow up Pakto 88. 2
mereka yang menderita kemiskinan secara fisik, material— bertambah banyak, hari demi hari. Situasi seperti ini acapkali ditengarai sebagai situasi jaman yang “berlari tunggang langgang” [Giddens 1996]. Dalam jaman yang tunggang langgang ini, sebuah tata eknonomi-politik baru, yang lahir dari revolusi ekonomi liberal, muncul. Jantungnya adalah dilepasnya hak istimewa atas modal dari berbagai tata aturan teritorial maupun nasional. Gejala ini melahirkan sebuah monster baru dalam skala global, yaitu kekuatan bisnis internasional6. Tata dunia baru telah lahir. Di dalamnya, ada tiga hal. Pada (1) tataran tindakan, tata kekuasaan global ini bertumpu pada praktek bisnis raksasa lintas negara, (2) pelaku utamanya adalah perusahaan-perusahaan transnasional dan (3) proses kultural idelologis yang dibawa adalah konsumerisme. [Nugroho & Priyono, 2001] Penjelasan tersebut dimuka adalah juga gambaran posisi Indonesia “yang tak terelakkan” dalam proses globalisasi yang sedang berjalan. 2.
Wajah Indonesia Pasca Krisis
Pasca krisis (1997) hingga saat ini, Indonesia secara intensif ada dalam supervisi World Bank, Asian Development Bank dan CGI melalui IMF. Namun, mengikuti kebijakan IMF7 nampaknya tidak begitu menguntungkan bagi Indonesia. Dari beberapa grafik di bawah ini, ditunjukkan bahwa selama hampir 4 tahun di bawah supervisi IMF, inflasi naik terus dari 1% pada bulan Januari 2000 menjadi 12.5% pada Juli 2001. Harga-harga bahan dasar (minyak goreng, beras, tepung terigu dan gula) naik secara signifikan pada periode yang sama. Sementara, exchange-rate dari mata uang rupiah berfluktuasi secara signifikan. Bahkan berdasarkan effective rate mata uang semua negara Asia di bawah kontrol IMF (Indonesia, Korea, Filipina, Thailand), menurun –jika tidak bisa dikatakan jatuh— kecuali Malaysia yang justru tidak berada di bawah supervisi IMF.
6
Maka, ketika berbicara mengenai globalisasi ekonomi, sesungguhnya hal itu membicarakan tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal.
7
Secara garis besar ada tiga kebijakan IMF [IMF, 2001]: 1.
Paket Kebijakan Structural Adjustment Program (SAP) yang meliputi (a) liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang bebas, (b) nilai tukar mengambang (floating rate), (c) kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk pembatasan kredit, peningkatan suku bunga kredit penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga public utilities dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.
2.
Paket Kebijakan Deregulasi yaitu (a) harus dihilangkannya intervensi pemerintah karena dianggap mendistorsi pasar, (b) privatisasi seluas-luasnya dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara, (c) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis proteksi dan (d) memperbesar dan memperlancar ars masuk investasi asing dengan fasilitas yang luas
3.
Paket kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam menghadapi krisis ekonomi akibat anjoknya nilai mata uang terhadap dollar AS yang merupakan gabungan dari dua paket di atas ditambah beberapa tuntutan 3
CPI General
13 10 7 Food Price
4 1 -2 -5 -8 Jan-00
Apr-00
Jul-00
Oct-00
Jan-01
Apr-01
Jul-01
Grafik 1: Inflation 12 months percentage in consumer & food price index Sumber : www.worldbank.org
180 Sugar
170 160 150 140
Flour
130 Rice 120 110 100 90 Jan-00
Cooking oil Apr-00
Jul-00
Oct-00
Jan-01
Apr-01
Grafik 2 : Real food prices in rupiah per kilogram using non-food price index Sumber : www.worldbank.org
4
Jul-01
Jan-00 Apr-00 Jul-00 Oct-00 Jan-01 Apr-01 Jul-01 Oct-01 7,000 7,000
8,000
8,000
9,000
9,000
10,000
10,000
11,000
11,000
12,000
12,000
Grafik 3: Exchange rate Rupiah per US$, spot rate daily Sumber : www.worldbank.org 115 110 105 100 95 90 85 80 75 Jan-00
Indonesia Korea Malaysia Philippines Thailand
Mar-00 May-00
Jul-00
Sep-00 Nov-00
Jan-01 Mar-01 May-01
Grafik 4: The real effective exchange rate Some Asin countries REER, October1999 =100 Sumber : www.worldbank.org 5
Jul-01
Dari data Indonesia At A Glance diramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 2000 s.d. 2004 sebesar rata-rata 4 - 4.9% namun dengan runtuhnya WTC 11 September 2001 dan disusul dengan ledakan Bom di Kuta, Bali tahun ini, ekonomi Indonesia diperkirakan hanya tumbuh ± 3% dan diperkirakan tahuntahun yang akan datang situasi ekonomi kita masih suram. Beban hutang yang besar, serta tekanan neraca pembayaran Luar Negeri, menunjukkan negara kita ada dalam situasi krisis berkepanjangan. Child (under 5 years) malnutrition mencapai angka 70% dari populasi anak berusia di bawah lima tahun. Apa artinya? Dari data jumlah balita dan angka kelahiran 1.7% per tahun8, berarti setiap tahun ada sekitar 4 juta bayi yang lahir dan dalam 4 tahun terakhir ini sudah ada lebih dari 15 juta balita yang berkekurangan gizi. Hal ini berarti bahwa Indonesia akan mendapatkan generasi yang bermasalah pada waktu mereka menjadi angkatan kerja. Mengapa? Karena malnutrisi pada anak-anak dibawah lima tahun berarti konsumsi karbohidrat lebih besar dari 60% dan protein hewani seta lemak kurang dari 30%. Kekurangan protein hewani akan mengakibatkan kecerdasan berkurang karena perkembangan otaknya tidak sempurna. Generasi tersebut juga akan mengalami lapar protein, artinya perilaku instinkif akan mendomanasi karakternya. Oleh karena itu perhatian terhadap balita tidak kalah pentingnya dengan perhatian terhadap masalah ekonomi. Jangan sampai dihasilkan generasi yang tidak dapat bersaing dengan bangsa-bangsa dikawasan sekitar Indonesia. Dengan kata lain jika hal ini dibiarkan, ini adalah kriminalitas terhadap anak bangsa. Sebagai gambaran lain untuk pembanding: malnutrisi balita di Cina hanya 9%, Vietnam 37 %, Kamboja 47% dan Malaysia 20% Dengan demikian, jika krisis masih berkepanjangan dari prediksi ekonomi –terutama hutang luar negeri dan deteriorating effect dari pembangunan ekonomi— di atas, katakanlah akan meminta waktu 5 tahun lagi, akan ada total 30 juta anak-anak malnutrisi. Kombinasi ini akan berakibat sangat fatal bagi Indonesia, layaknya “mengisi air dalam botol tanpa alas”9. Dari data-data yang didapatkan dari Bank Indonesia, nampaknya Indonesia berada dalam situasi mendua – buah simalakama. Di satu sisi, jika Indonesia mengikuti kebijakan IMF yang berpokok pada kebijakan fiskal dan moneter yang berbasis hutang, tidak ada masa depan. Mencermati kembali tabel hutang sebelumnya, dalam waktu relatif singkat semenjak krisis, hutang pemerintah naik sebesar 100 milyar dollar dalam waktu tiga tahun!10 Salah satu dari kebijakan IMF yang sangat menghancurkan adalah likuidasi 16 bank yang mengakibatkan ditariknya deposito masyarakat. Di sisi lain, jika Indonesia keluar dari IMF, likuiditas perekonomian11 akan merosot sangat tajam. Kondisi inilah yang disebut dengan kondisi “hemofili”, yaitu larinya uang bunga deposito yang didapat dari deposito bank berdasar bunga SBI yang ditukar dengan valas (dalam hal ini dollar) ke luar negeri, sementara “pokok”nya, yang sekitar 900 trilyun rupiah (September 2001), tetap dipertahankan selama situasi politik
8
Lihat Biro Pusat Statistik: www.bps.go.id
9
Saya tidak ragu mengatakan bahwa krisis jangka panjang ini harus diatasi dengan menyeluruh, diawali dari pengembalian dana- dana yang diselewengkan. To some extent, mungkin kebijakan “tangan besi” bagi para penyeleweng itu harus diberlakukan. Otherwise, tidak akan ada gunanya membangun.
10
“Prestasi berhutang” ini bahkan jauh lebih dramatis daripada pemerintahan Soeharto –jelas, tentu bukan untuk membelanya— yang mengakhiri pemerintahannya dengan hutang pemerintah 54 milyar dollar.
11
Besaran likuiditas perekonomian mencapai 1200 trilyun rupiah, terdiri dari 900 trilyun dana masyarakat dan sisanya tabungan, giral dan uang beredar (M1 + M2) 6
kondusif untuk itu. Milik siapa deposito dari SBI yang besar tadi? Dari data yang ada, diperkirakan 57% dari aset-aset nasional adalah milik dari 300 perusahaan besar di Indonesia, nasional maupun PMA 12. 3. ASEAN Free Trade Area (AFTA) Tahun 1992, di Singapura pada pertemuan puncak ke-4 negara-negara yang bergabung dlam ASEAN, dicetuskan keinginan untuk segera melaksanakan AFTA –yang semula dijadwalkan pada tahun 2008, dipercepat menjadi tahun 2003. Inilah salah satu kenyataan globalisasi perekonomian dunia. Integrasi perekonomian nasional dengan perekonomian regional/global –seperti AFTA, APEC, WTO/GATT— memang tidak bisa dihindari. Suka tidak suka, mau tidak mau, kenyataan integrasi perekonomian dunia ini memang harus dihadapi. Lebih tajam, inilah konsekuensi bagi perekonomian negara yang menganut paham pasar bebas. Paham yang menempatkan perekonomian suatu negara di tengah-tengah arus perdagangan dunia, tanpa negara itu bisa menghindarinya. Arus perdagangan dunia seperti ini mempunyai ciri: (1) kebebasan arus transaksi uang, barang, dan jasa (2) persamaan perlakuan dan kesempatan bagi seluruh pelaku pasar oleh seluruh negara peserta dan (3) berbasis pada teknologi informasi. Indonesia kini benar-benar telah berada dalam arus perdagangan bebas, dan tidak mungkin lagi menarik langkah mundur. Pada waktu perjanjian AFTA disetujui, ASEAN memiliki 6 anggota –Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Vietnam menjadi anggota pada tahun 1995, Laos dan Myanmar pada 1997 dan Kamboja 1999. Keempat anggota baru tersebut memiliki peluang lebih longgar (dalam hal waktu) untuk melaksanakan AFTA, khususnya tariff reduction obligations. The US-ASEAN Business Council sudah lama memberikan dukungan bagi terciptanya integrasi ekonomi regional dengan populasi lebih dari 500 juta penduduk di kawasan Asia Tenggara. ASEAN diperkirakan akan lebih banyak menarik minat untuk investasi langsung dalam skala besar dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Namun, setelah peristiwa bencana New York, WTC, 11 September 2001 dan 12 Oktober 2002 di Kuta Bali, banyak yang meragukan ramalan tersebut. Dari berita ekonomi media massa dapat diketahui investasi langsung (Foreign Direct Investment) di kawasan Asia tahun 2001, 85% seluruhnya masuk ke China, sedangkan sisa 15% dibagi ke 16 negara lainnya, kecuali Indonesia yang justru minus 2,6% (berarti ada capital flight). Bila dilihat dari data di bawah ini (2001):
12
Selama 3 tahun, terjadi capital flight rata-rata sebesar 10 milyar dollar per tahun. Jadi, kurang lebih dana yang ditarik sebesar 800 juta dollar per bulan, yang didapat dari bunga deposito. 7
Negara
Populasi (juta jiwa) 213,6 23,8 77,0 3,2 61,2 78,7
Indonesia Malaysia Philipina Singapura Thailand Vietnam Brunei Laos Myanmar Total ASEAN 457,5 Perkiraan setelah ditambah data dari + 500 Brunei, Myanmar, Laos China 1.271,9
GDP (milyar USD) 145,3 87,5 71,4 60,4 114,7 32,7
510,0 + 550 1.150,1
Maka, peluang pasar ketika AFTA diberlakukan bagi negara-negara tersebut: Negara Indonesia Malaysia Philipina Singapura Thailand Vietnam
Peluang bertambanya pasar bagi: Dari segi jumlah pddk. Dari segi GDP 134% 278% 2.000% 528% 549% 770% 14.600% 810% 717% 380% 535% 1.580%
Segera terlihat jelas peluang Indonesia menjadi paling sedikit untuk masuk ke dalam pasar ASEAN dibandingkan dengan negara-negara anggota lainnya. Baik untuk pemasaran barang-barang dan kebutuhan pokok berdasarkan jumlah penduduk, maupun besarnya pasar gabungan relatif terhadap GDP masing-masing anggota ASEAN. Situasi ini belum termasuk kendala belum tertatanya sistem Administrasi (hukum, peraturan, dll), sistem Perpajakan dan sistem Moneter yang baik di Indonesia. Hal ini diperkirakan akan memperkecil manfaat perluasan pasar bagi pemain-pemain bisnis Indonesia di kawasan ekonomi ASEAN yang baru. Di masa datang, pasar Indonesia diramalkan akan menjadi sasaran empuk agresivitas pemain-pemain bisnis Malaysia, Thailand, Vietnam serta bisnis jasa keuangan di Singapura. Tahun 2003 sudah tinggal menghitung hari. Siapkah kita? *** Di satu sisi, sementara pemerintah tampaknya belum benar-benar menyadari segala konsekuensi dari pilihan terhadap paham pasar bebas, pemerintah seolah yakin bahwa pilihannya memang tepat. Karena itu, berkali-kali pemerintah menegaskan, Indonesia tidak akan pernah menarik langkah mundur dari gelanggang bernama pasar bebas itu. Namun di sisi lain, kalangan dunia usaha pun tampak pesimistis serta kurang percaya diri menghadapi berlakunya AFTA pada 2003 ini. Ketua Umum Kadin Aburizal Bakrie menyatakan ketidaksiapan dunia usaha untuk menghadapi AFTA 2003 karena belum mampu melepaskan diri dari akibat negatif krisis ekonomi. Fleksibilitas Penerapan AFTA 8
Nampaknya bukan hanya dunia usaha nasional yang tidak (belum?) siap menghadapi AFTA. Namun, dunia usaha dari seluruh negara anggota ASEAN –yang notabene adalah peserta AFTA— mengaku tidak siap bersaing dalam era perdagangan bebas ASEAN. Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) ASEAN Jose S. Concepcion Jr. (2001) mengakui ketidaksiapan dunia usaha ASEAN memasuki era AFTA. Ia menegaskan pelaksanaan AFTA pada tahun 2003 harus tetap dijalankan, namun ia juga meminta perlu ada kelonggaran (fleksibilitas) terhadap kondisi dunia usaha di masing-masing negara anggota ASEAN. Saat ini, nyaris seluruh negara ASEAN kini sedang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi itu jelas sangat mempengaruhi kesiapan dunia usaha menghadapi AFTA. Majalah Far Eastern Economic Review (Mei, 2001) memproyeksikan perpertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 2,6% pada 2001 dan Malaysia hanya tumbuh 1,1% pada tahun yang sama. Demikian pula pertumbuhan ekonomi Thailand turun dari 4,4% pada 2000 menjadi 2,0% pada 2001. Sedangkan Philipina turun dari 4,0% menjadi 2,3%. Pertumbuhan ekonomi Singapura pada 2001 malah diperkirakan minus 0,3% dari 9,9% pada 2000. Dengan kondisi perekonomian ASEAN yang kurang menggembirakan itu, maka memang pantas bila pelaksanaan pasar bebas ASEAN itu harus melihat kemampuan industri untuk bersaing. Di Indonesia saat ini hanya ada sekitar 46% industri yang mampu bersaing di pasar bebas ASEAN akibat krisis ekonomi berkepanjangan. Artinya, perlu dicari industri mana saja yang memiliki daya saing tinggi saat ini dan siap berkompetisi dalam AFTA. Jika tidak, harus dikeluarkan dari inclusion list. Karena itu, pemerintah negara-negara anggota ASEAN juga harus berani memilah komoditi/sektor usaha yang harus masuk inclusion list yaitu penurunan tarif nol sampai 5% atau yang dikeluarkan dari daftar. Pemilahan ini dipandang perlu agar negara anggota ASEAN bisa mempersiapkan industrinya dengan matang untuk bersaing di pasar bebas yang lebih luas. Saat ini ada sekitar 44.040 jenis komoditas yang masuk dalam daftar percepatan penurunan tarif nol sampai 5% (inclusion list) dan hanya 742 jenis belum masuk terdiri dari 245 jenis komoditas masuk temporary exclusion list, 339 jenis dalam general exception list, dan 158 jenis dalam sensitive list. Nilai Strategis AFTA Terlepas dari seberapa jauh tingkat kesiapan dunia usaha Indonesia maupun ASEAN menghadapi AFTA, yang jelas dalam konteks perdagangan internasional AFTA tetap memiliki arti strategis. Tulus Tambunan (2001) menyoroti, paling tidak ada 2 indikator yang bisa digunakan sebagai tolok ukur kesiapan Indonesia menghadapi AFTA 2003. Pertama , kontribusi Indonesia dalam ekspor barang. Data terakhir dari Bank Dunia tahun 2000 menunjukkan bahwa dalam ekspor barang, Indonesia berada pada posisi ke-26 dengan pangsa pasar dunianya hanya kurang dari 1%. Sedangkan Cina menduduki posisi teratas dari kelompok negara-negara Asia dengan sahamnya hampir mencapai 4%. Negara-negara Asia lainnya yang berada di atas Indonesia adalah Cina, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia dan Thailand. Di dalam kelompok Asean, kontribusi Indoensia dalam ekspor barang juga sangat kecil. Tahun 1990, pangsanya di dalam total ekspor dari 10 negara anggota (Asean 10) hanya 9,4 persen. Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor Indonesia selama Januari - Mei 2002 hanya mencapai US$ 22,285 milyar, atau turun 9,05% dibanding periode yang sama tahun 2002. Penurunan ekspor pada periode
9
Januari - Mei 2002 itu dipicu oleh ekspor nonmigas yang merosot sebesar 5,38%, dari US$ 18,596 milyar menjadi US$ 17,595 milyar. Sementara nilai ekspor migas juga berkurang 20,61%. Kedua, menyangkut daya saing global Indonesia. Menurut The World Competitiveness Report 2001 dari World Economic Forum disebutkan, dari 49 negara yang disurvai, Indonesia berada di peringkat paling rendah. Ini berarti, daya saing Indonesia semakin memburuk jika dibandingkan tahun 2000 yang berada pada peringkat 44 dan peringkat 37 pada tahun 1999. Sebagai perbandingan, AS berada pada peringkat paling tinggi dan dari negara-negara di Asia yang disurvai, Singapura dan Hongkong masuk ke dalam lima besar dengan tingkat daya saing yang tinggi. Yang cukup memprihatinkan dari fakta ini adalah, sekalipun posisi Cina lebih buruk dibandingkan misalnya Singapura, Hongkong, Jepang dan Korea Selatan, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan posisi Indonesia. Fakta ini ditambah lagi dengan posisi Cina di pasar ekspor yang jauh lebih unggul dari Indonesia. Hal ini memberi kesan bahwa daya saing Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan Cina, dan ini berarti bahwa Cina merupakan ancaman serius bagi pengusaha-pengusaha Indonesia di pasar Asean. Yang terpenting dari ini semua, bagaimana mencari improvisasi dan diversifikasi mata dagangan ekspor yang tadinya tidak diunggulkan daerah ini, namun bisa memberi nilai tambah yang optimal untuk diekspor. Mampukah kita mempersiapkan diri dengan siswa waktu yang tersisa ini? 4.
Strategi Pemberdayaan UKM
Selama 6 tahun saya menjadi pengurus KADIN Pusat bidang UKM, dan 10 tahun terlibat dalam aktivitas World Congress On Small & Medium Enterprise, saya mendapatkan gambaran yang hampir berlaku Universal. Dari kesimpulan data-data yang ada pada kurun waktu itu tahun 1980 – 1990, dari semua perusahaanperusahaan yang baru didirikan rata-rata 64 % gulung tikar pada 4 tahun pertama, dan yang lolos setelah 10 tahun tinggal ± 12 %, yang bisa bertahan 2 dasa warsa 2 % dan yang menjadi Konglomerat (besar sekali) hanya 0,02 %. Sampai hari ini di Jepang rata-rata dalam 1 tahun 100.000 perusahaan (sebagian besar UKM) dinyatakan Pailit, dan dalam waktu yang sama lahir 100.000 perusahaan baru lagi. Dari gambaran selintas cerita dimuka, program bantuan pembinaan UKM dapat disesuaikan dengan cerita tadi, agar seluruh kegiatan dapat berpijak dalam kenyataan. Di Indonesia diperkirakan perusahaan-perusahaan kecil, gurem dan UKM berjumlah ± 13.500.000 termasuk 3,8 juta usaha kecil (termasuk ± 2 % yang menengah). Seyogyanya dalam program pembinaan UKM, kita fokus pada angka ± 3,8 juta usaha kecil dan menengah. Karena sebagian besar sisanya kurang 10 juta tidak dapat dimasukkan dalam klasifikasi bisnis. Mereka lebih bersifat pilihan hidup. Untuk itu progran bantuan sosial, Karitatif atau Filantropis lebih relevant untuk mereka. 3,8 juta UKM, harus dipetakan sebagai berikut supaya dapat dianalisa dan didiagnosa jenis strategi yang dijalankan. Aktifitas
Produsen (Pengrajin)
Trading
Jasa
Pasar Domestik 10
Pasar Ekspor
Impor
dst
Lokal Propinsi Antar Pulau (Nasional) Regional Internasional Dari hasil yang ada kemudian diklasifikasi lagi dalam jenis-jenis usaha, Pertanian, Industri, Perdagangan, Kehutanan, Pertambangan, Kontraktor, Perumahan, dan lain-lain. Hasil dari tiap-tiap crosscheck dari matrixmatrix tersebut memerlukan strategi, taktis penanganan sendiri baik di bidang kebijakan Umum, bantuan teknis, latihan pemberian kredit, dan sebagainya. Sebagai gambaran untuk kegiatan Usaha (UKM) di bidang Ekspor, mereka (UKM tersebut) dapat dikategorikan dalm 5 proses pertumbuhan : Pertama : phase “job order” Kedua : phase meningkatkan kapasitas (Increasing Capacities) Ketiga : phase mencari pembeli lainnya (buyer’s diversifications) dimana usaha tersebut tidak bergantung pada 1 pembeli. Keempat: phase “Branding” & “Branded” Kelima : phase “Portfolio Investment” membangun perluasan, pabrik baru, expansi unit di negara orang lain dan lain sebagainya. Dalama phase perjalanannya, 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, 25 tahun dan seterusnya : Pertama : bisnis famili Kedua : bisnis kecil (PT, CV, dansebagainya) Ketiga : bisnis menengah Keempat: bisnis besar Kelima : bisnis Lintas Negara Untuk phase ke 3, 4, 5 dalam permodalan dapat dikaitkan ke Pasar Terbuka (Usaha Terbuka / Tbk). Secara Nasional, kita memiliki interest terhadp perkembangan bisnis UKM tersebut, baik pada waktu phase kelahiran, Pertumbuhan maupun setelah Usaha tersebut menjadi dewasa hingga memperkuat Perekonomian Nasional. Untuk itu suatu kebijakan Makro untuk memberikan perlindungan sebagaimana gambaran Indonesia memasuki AFTA (2003 – 2008) atau Indonesia go to global (WTO) harus jelas, Fokus terhadap effektifitas, kredibel dan terukur (artinya dapat dirasakan manfaatnya). Hampir seluruh negara di dunia termasuk negara- negara maju (USA, Germany, France, England dan sebagainya) memberi kebijakan yang jelas mengenai perlindungan dan perlakuan (scheme) terhadap usaha- usaha kecil dan menengah mereka.Yang rata-rata mencapai 97 % dari jumlah usaha yang mereka miliki. 5.
“Law Enforcement” di bidang Ekonomi
Sebelum itu dilaksanakan, terlebih dahulu Negara Indonesia (yang berediologi Pancasila), skenario pembangunan (termasuk penyelesaian krisis ekonomi)Ekonomi kita ini seperti apa?
11
Sepuluh tahun lagi (2013) setelah kita keluar dari masa transisi yang berkepanjangan, posisi ekonomi Indonesia seperti apa dan dimana tempatnya dalam peta ekonomi dunia (global). Untuk mengantisipasi itu, Hukum (di bidang) Ekonomi dapat disusun lebih kredibel. Sebaiknya Hukum Ekonomi tidak disusun secara sektoral hanya dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan teknis ekonomi, atau lebih luas teknis politik, teknis budaya (hukum adat), dan sebagainya. Kita harus merubah paradigmanya menjadi HUKUM ditegaskan sebagai fungsi dari EKONOMI, POLITIK, KEBUDAYAAN, TEKNOLOGI, KETAHANAN NASIONAL, HUBUNGAN INTERNASIONAL, GLOBALISASI (termasuk IMF, WTO, WB, ADB, dan lain-lain), EKOLOGI, CADANGAN ALAM, HAM (Human Right), DEMOKRASI, KEADILAN, dan sebagainya. Singkatnya harus ada perubahan cara pandang (paradigma) dari Formula Matematika : Ht = ƒ(h, e, c (budaya), p (politik), dan seterusnya). menjadi H = ƒ(E, C, P, NR, T, IR, G, Ev, R, dan seterusnya).
H √
(H) Hukum (E) Ekonomi (C) Budaya (P) Politik (NR) Ketahanan Nasional (T) Perkembangan Teknologi (IR) Hubungan Internasional (G) Globalisasi IMF WTO WB ADB (EV) Ecology Environment (R) Cadangan Alam
E √
C √
P √
NR √
T √
Ir √
G √
Ev √
R dst √
Formulasi Matematikanya : H = ƒ(E, C, P, NR, T, IR, G, EV, R dan seterusnya) Cara berfikir Holistik seperti ini sangat diperlukan saat ini serta menunjukkan Tata Hukum kita bersifat Universal, “down to Earth” (membumi) dan dapat dilaksanakan kredibel. Namun saya ingatkan membangun Tata Hukum seperti ini memerlukan kerja keras, persiapan yang matang dan sulitnya luar biasa. Tetapi hasilnya sangat memuaskan. 12
Idealnya, rumusan Hukum Nasional (dibidang ekonomi, yang didapat dari cara pandang baru tersebut, dapat dilaksanakan melalui Undang-Undang (yang diputuskan oleh DPR + Pemerintah). Tetapi dalam keadaan mendesak dapat dilakukan dengan cara Pemerintah membentuk Komisi Independent (crash program) yang bekerja secara komprehensip dan cepat. Kemudian melalui Kepres, PP dapat diundangkan segera sambil menunggu materi yang bersangkutan dibahas di DPR untuk dibuat Undang-Undangnya. Wacana-wacana baru tersebut adalah : Hukum dalam hubungannya dengan Skenario Politik Hukum dalam hubungannya dengan Skenario Ekonomi Hukum dalam hubungannya dengan Lingkungan Hidup Hukum dalam hubungannya dengan Perdagangan antar Pulau Hukum dalam hubungannya dengan Pagu kredit Hukum dalam hubungannya dengan Porsi Kredit untuk UKM Hukum dalam hubungannya dengan Pemerataan (Demokrasi) Hukum dalam hubungannya dengan Ketahanan Nasional Hukum dalam hubungannya dengan skenario Global, dan lain sebagainya. Universitas Airlangga, khususnya Fakultas Hukum harus membuka diri terhadap bidang-bidang lain, merintis cara berfikir HOLISTIK dan menyadari bahwa hanya berpikir, menganalisa dengan cara “Cartesian & Newtonian” saja tidaklah cukup. Hanya dengan demikian dapat dirumuskan Hukum Ekonomi Nasional yang konprehensip Credible dan Sustainable. 6.
Kepemimpinan Nasional (National Leadership)
“National Leadership” jelas sangat diperlukan dalam proses selanjutnya (Law Enforcement) disamping Keamanan Nasional, stabilitas Politik berdasrkan pelaksanaan demokrasi yang dewasa dan bertanggung jawab, serta Iklim perekonomian dunia yang kondusif untuk itu. Setidaknya “National Leadership” memiliki 3 unsur utama, yaitu : 1. Visi yang dimiliki Pemimpin Nasional 2. Inspirasi yang didapat/yang menyentuh Pimpinan Nasional 3. Kemampuan (Mastering) Pimpinan Nasional dalam melaksanakan ‘Action” serta memelihara “Momentum”. Visi, Inspirasi, mampu menggerakkan aksi dan memelihara Momentum adalah prasyarat utama kwalitas Pimpinan Nasional kita, dalam menegakkan Hukum Nasional (di bidang Ekonomi)
13
KEPUSTAKAAN [Giddens 1996] Anthony Giddens, Runaway World, Polity Press, 1996 [IMF, 2001] International Monetary Fund, Annual Report 2001, dapat diakses online di http://www.imf.org/ [Nugroho, 2001] Yanuar Nugroho, Mendung Kelabu WTC, bahan Lokakarya Unisosdem Tawangmangu, 23-25 Nopember 2001 [Priyono, 2001] Herry Priyono, Sesudah Negara Dilucuti, Opini Kompas, 18 Oktober 2001 [Priyono & Nugroho, 2001] Herry Priyono & Yanuar Nugroho, Dalam Pusaran Globalisasi, tulisan pertama dari dua bagian, Sinar Harapan, 5 September 2001 [Setiawan, 2001] Bonnie Setiawan, Menggugat Globalisasi, INFID, 2001 [World Bank, 1997] World Bank, Annual Report 1997, dapat diakses online di http://www.worldbank.org/ [World Bank, 2001] World Bank, Annual Report 2001, dapat diakses online di http://www.worldbank.org/
14