VOLUME X | NO. 97 / OKTOBER 2015
Edisi K h u su s D J UA N DA
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
1
ISSN 1907-6320
2
MediaKeuangan
Daftar Isi
10. Laporan Utama
4 Dari Lapangan Banteng 6 Eksposur 46 Lintas Peristiwa
Diterbitkan oleh: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Pelindung: Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro. Ketua Pengarah: Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto. Pemimpin Umum/Penanggung Jawab: Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Neneng Euis Fatimah. Pemimpin Redaksi: Herry Siswanto. Redaktur Pelaksana: Dianita Suliastuti. Dewan Redaksi: Supriyatno, Rizwan Pribhakti, Agung Ardhianto, Fery Gunawan. Redaktur Unit Eselon I: Arief Rahman Hakim (DJBC), Pilar Wirotama (BPPK), Hasan Lufthi (Ditjen PBN), Dendi Amrin (DJP), Sri Moedji Sampurnanto (DJA), Etti Dyah Widyati (Itjen), M. Hijrah (DJPK), Adya Asmara Muda (BKF), Noer Anggraini (DJPU), Dwinanto (DJKN), Joko Triharyanto (BKF). Redaktur Foto: Gathot Subroto, Muchamad Ardani, Fr. Edy Santoso, Eko P.W, Tino Adi Prabowo, Andi Al Hakim, Aminuddin Afif, Muhammad Fath Kathin, Arif Setiyawan, Putu Chandra Anggiantara, Imam Joedono, Faisal Ismail, Aditya Arifianto. Tim Redaksi: Hadi Siswanto, Rezha S. Amran, Titi Susanti, Budi Sulistyo, Ahmady Muhajiri, Dewi Rusmayanti, Iin Kurniati, Eva Lisbeth, Dwinanda Ardhi, Bagus Wijaya, Arfindo Briyan Santoso, Wardah Adina, Danik Sulistyowati, Krisna, Cahya Setiawan, Nurul Fajar Dwi Yuwono, Mohamad Imron, Muparrih, Shera Betania, Purwito, Pandu Putra Wiratama, Gondo Harto, Putra Kusumo Bekti, Victorianus M.I. Bimo Adi, Yeti Wulandari, Novita Asri Hartati, Pradany Hayyu M., Irma Kesuma Dewi, C.S. Purwowidhu, Amelia Safitri, Abdul Aziz. Desain Grafis dan Layout: Dewi Rusmayanti, Wardah Adina, Arfindo Briyan Santoso Alamat Redaksi: Gedung Djuanda 1 Lantai 12, Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1, Jakarta Telp: (021) 3849605, 3449230 pst. 6328. E-mail:
[email protected].
www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI
Edisi K h u su s D J UA N DA
Kementerian Keuangan RI Kemenkeu RI
10 Lebih Dekat
28 Insinyur yang
Regulasi
dengan Djuanda
Menjadi Menteri
50 Tarik Investor
14 Putera Pribumi
Keuangan
dengan Diskon
dengan Segudang
32 Deklarasi
Pajak Badan
Prestasi
Djuanda Satukan
Buku
18 Infografis
Nusantara
52 Djuanda
20 Tokoh
36 Djuanda
Membangun
Evolusioner Peletak
Menyenangi
Bangsa
Dasar Wawasan
Kehidupan Desa
Jalan-jalan
Nusantara
38 Ronce Melati
54 Segarnya Alam
22 Menteri
Noorwati
Tahura Djuanda
Maraton
Laporan Khusus
Selebriti
26 Media
53 Sejarah Hari
56 Bermanfaat
Mengenang
Oeang
Bagi Sekitar
Djuanda
Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Bagi tulisan atau artikel yang dimuat akan mendapatkan imbalan sepantasnya.
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
3
Dari Lapangan Banteng
Ir. H. Djuanda. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
4
MediaKeuangan
P
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. uji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga pada kesempatan ini Kementerian Keuangan telah menerbitkan Media Keuangan edisi Oktober 2015. Edisi kali ini cukup istimewa karena bertepatan dengan peringatan Hari Oeang ke-69. Secara khusus, Media Keuangan kali ini mengulas sosok Djuanda Kartawidjaja. Historia magistra vitae, sejarah adalah guru terbaik kehidupan. Dengan mempelajari sejarah, kita akan lebih menghargai apa yang kita miliki sebagai bangsa. Sejarah mencatat Oeang Republik Indonesia (ORI) lahir dari perjuangan panjang para pemimpin negeri. Masa pembangunan setelah perjuangan merebut kemerdekaan pun lahir dari sumbangsih banyak pejuang. Salah satu sosok negarawan yang memiliki peran besar dalam perjalanan sejarah bangsa adalah Djuanda Kartawidjaja. Pada masa sekarang, kita mungkin hanya mengenal Djuanda sebagai nama jalan, bandara, universitas, ataupun hutan wisata. Tak banyak generasi muda yang mengetahui siapa sosok di balik nama-nama tempat tersebut. Di sisi lain, sangat jarang buku dan literatur digital di dunia maya yang menulis tentang beliau. Edisi khusus Djuanda Kartawidjaja ini merupakan “kado” bagi seluruh pembaca pada peringatan Hari Oeang ke-69. Beliau adalah salah satu pemimpin terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Jasa-jasanya bagi bangsa kita tak terhitung jumlahnya. Sejak masa awal kemerdekaan hingga wafatnya beliau, Djuanda Kartawidjaja selalu mendapat kepercayaan menjadi menteri yang mengurusi berbagai bidang salah satunya menjadi Menteri Keuangan periode 1959-1962. Melalui Media Keuangan edisi khusus ini, saya ingin mengajak seluruh pembaca untuk lebih mengenal dan meneladani sosok Djuanda Kartawidjaja. Mari berikan sumbangsih terbaik bagi bangsa melalui kerja nyata seperti yang beliau lakukan. Mari kita bersama bekerja sebaik mungkin, hadapi berbagai tantangan dengan keuletan, kesabaran, dan senantiasa optimis. Saya yakini, kerja keras kita akan berbuah manis bagi Indonesia. Selamat membaca. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Menteri Keuangan RI, Bambang P.S. Brodjonegoro Foto Dok. Biro KLI
Edisi K h u su s D J UA N DA
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
5
Eksposur
Bandar Udara Internasional Ir. H. Djuanda, Surabaya, Jawa Timur. Foto Kukuh Perdana
Stasiun Juanda, Jakarta. Foto Tino Adi Prabowo
6
MediaKeuangan
Gedung Djuanda I dan II Kementerian Keuangan, Jakarta. Jalan Ir. H. Juanda 1, Jakarta. Foto Tino Adi Prabowo
Nama Baik yang Diabadikan Republik
N
ama Djuanda Kartawijaya diabadikan dalam berbagai tempat di negeri ini. Mulai dari nama jalan, gedung, stasiun, bandara, hutan, universitas, hingga pembangkit listrik. Selama hidupnya, Djuanda dikenal memiliki reputasi yang mumpuni. Salah satu pahlawan terbaik yang pernah dimiliki republik.
Universitas Djuanda, Bogor, Jawa Barat. Foto Arfindo Briyan
Edisi K h u su s D J UA N DA
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
7
8
MediaKeuangan
Waduk Ir. H. Djuanda, Purwakarta, Jawa Barat. Foto Bagus Wijaya
Edisi K h u su s D J UA N DA
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
9
Laporan Utama
Lebih Dekat dengan Djuanda Teks Budiana Indrastuti, Dwinanda Ardhi
Dalam memperingati Hari Oeang yang jatuh pada 30 Oktober, Media Keuangan mengangkat profil Djuanda Kartawidjaja. Selain sebagai bentuk penghormatan pada salah satu Menteri Keuangan terbaik yang pernah dimiliki republik, napak tilas kiprah dan profil ini dirasa perlu untuk mengabadikan perjalanan hidup sang tokoh yang luar biasa, hingga diberi gelar Pahlawan Nasional.
10
MediaKeuangan
Sidang Gabungan di Istana Bogor, 5 Juli 1963. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
FOTO WRAP UP
Edisi K h u su s D J UA N DA
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
11
I
ni adalah edisi khusus perdana kami dengan ide mini biografi. Kami praktis memulainya dari nol. Menyajikan tulisan tentang seorang tokoh besar tentulah tidak sederhana. Tantangan pertama yang kami temui adalah literatur tentang Djuanda. Namanya memang ada dimana-mana. Jalan Djuanda bahkan ada di berbagai, mungkin puluhan, kota di Indonesia. Gedung kembar di Kantor Pusat Kementerian Keuangan yang salah satunya digunakan untuk tempat beraktivitas Menteri Keuangan hingga kini pun bahkan menggunakan namanya. Buku, artikel, atau hasil studi yang mengisahkan tentang Djuanda adalah benda langka. Padahal, Djuanda yang kami percayai adalah satu nama seribu jasa. Hasil karyanya yang sungguh besar antara lain adalah Deklarasi Djuanda. Ada sebuah buku biografi berjudul Ir H Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama yang kami temukan sebagai referensi terlengkap dalam penyusunan edisi khusus ini. Kami tentu bisa mengutip banyak dari buku tersebut, tapi kami tak ingin menyajikan informasi dari satu sumber saja. Beruntung, kami kemudian berkesempatan mewawancarai penyusun buku itu yang sekaligus adalah menantu Djuanda, Awaloeddin Djamin. Mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia itu menikah dengan putri pertama Djuanda, Poppy Marleni. Selepas berbincang dengan
12
MediaKeuangan
Awaloeddin, kami menemui Astri Waskito dan Noorwati Hanitiyo, dua putri Sang Perdana Menteri. Dalam wawancara bersama kami, Noorwati, yang merupakan anak terakhir Djuanda, ditemani oleh Shahandra Hanitiyo, generasi ketiga dalam keluarga besar Djuanda dan istrinya Julia Wargadibrata. Sebagai birokrat, kami mencoba melakukan praktek jurnalistik sepanjang proses penyusunan edisi khusus ini. Dengan jumlah tim yang sangat terbatas, kami mengontak sebanyak-banyaknya narasumber yang pernah bersinggungan jalan hidupnya dengan Djuanda. Selepas keluarga, kami melakukan wawancara dengan Emil Salim, tokoh nasional yang diketahui pernah menjadi staf khusus Djuanda saat menjabat sebagai Kepala Biro Perancang Negara. Hasyim Djalal, pakar hukum laut internasional itu, juga kami temui. Kami berbincang banyak dengannya soal Deklarasi Djuanda. Sebuah ide visioner bahwa laut adalah sarana penyatu kedaulatan wilayah dan ekonomi negeri ini. Focus group discussion juga kami selenggarakan. Tiga orang sejarawan, yaitu Mohammad Iskandar, Erwien Kusuma, dan Asep Kambali kami undang ke kantor. Dalam proses pengumpulan bahan, kami pun mengajak tim dari sebuah media nasional dalam proses pendampingan. Dalam tenggat yang ketat, proses liputan lapangan juga kami lakukan. Penggalian bahan dan pengumpulan
dokumentasi foto dilakukan dengan mengunjungi Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional, serta berbagai tempat yang mengabadikan nama Djuanda di sejumlah kota. Dari seluruh proses yang kami lalui, terungkap bahwa Djuanda adalah pria sederhana yang sifatnya serius. Di tengah kesibukannya sebagai pejabat publik, ia tetap berusaha menjadi family man. Meski tidak lalu berakrab-akrab dan pendiam, sebagai ayah ia selalu ingat kesukaan masing-masing anak dan seringkali membawakan buah tangan dari bepergian. Djuanda adalah sosok dermawan. Kenangan putrinya cukup dalam pada suasana rumah yang sering dijadikan tempat mengadu masyarakat. Bahkan, korban DI/TII pun dikabarkan pernah berbondong-bondong mendatangi rumah Djuanda, untuk meminta perlindungan. Di sisi lain, Djuanda menunjukkan itikad tidak mencampuradukkan antara urusan keluarga dan masalah kerja. Ketika kebijakan sanering dikeluarkan saat dia menjabat sebagai Menteri Keuangan, keluarga pun baru mengetahui setelah hal itu diumumkan pemerintah. Yang sangat patut dibanggakan negeri ini dari Djuanda adalah kecemerlangan otak dan keahliannya di berbagai bidang. Kapabilitasnya dalam pemerintahan sangat luas, dari kepala jawatan kereta api hingga kepala biro perancang negara. Mulai dari jabatan menteri keuangan hingga
Djuanda memberikan sambutan pada pertemuan dengan para pedagang, Januari 1950. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
Edisi K h u su s D J UA N DA
menteri perhubungan. Dalam situasi politik yang sangat dinamis pada masa awal kemerdekaan, Djuanda dipercaya memegang belasan jabatan setingkat menteri. Dia dikenal sebagai salah satu dari sedikit tokoh yang netral, tidak berafiliasi dengan partai politik apapun pada saat itu. Yang hebat, sosoknya relatif diterima kalangan politisi dengan bendera partainya masing-masing. Djuanda tutup usia dengan sangat tiba-tiba. Padahal saat itu, republik masih sangat membutuhkan kehadirannya. Apalagi saat meninggal akibat serangan jantung, dia masih menjabat sebagai Menteri Pertama. Kami sadar bahwa edisi ini tak bisa dibilang sempurna. Kami pun bukan sejarawan. Edisi khusus ini tidak dimaksudkan untuk menguji masa lalu dengan aplikasi teori sejarah yang ketat. Meskipun demikian, kami mengupayakan yang terbaik untuk menyajikan fakta yang tidak serampangan dan melakukan verifikasi sebaik yang kami bisa. Maka demikianlah rangkuman tentang Djuanda dalam edisi kali ini. Semoga bisa menjadi dokumentasi bermakna. Prestasi, isi hati, dan kisah melankolis akan lebih berarti ketika bisa dibagi, sehingga siapa saja bisa belajar darinya, sebagai bekal menjadi insan utama. Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
13
Djuanda Dari Masa ke Masa Nama lengkapnya Ir. H. Djuanda Kartawidjaja. Ia lahir di Tasikmalaya, 14 Januari 1911. Sepanjang tahun 1946 hingga 1965, berbagai jabatan menteri dipercayakan kepadanya. Termasuk salah satunya menjadi Menteri Keuangan pada tahun 1959 hingga 1962.
Menteri Negara (4 Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
Kepala Jawatan Kereta Api (23 Januari 1946 - 2 Oktober 1946)
Menteri Kemakmuran (20 Desember 1949 - 6 September 1950)
Menteri Muda Perhubungan/ Kepala Jawatan Kereta Api (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946)
Menteri Perhubungan (2 Oktober 1946 - 4 Agustus 1949)
Menteri Pekerjaan Umum (29 Januari 1948 - 13 April 1948) Djuanda memberikan sambutan pada pertemuan dengan para pedagang, Januari 1950.
Menteri Perhubungan (6 September 1950 - 1 Agustus 1953)
1945 14
MediaKeuangan
1950
Menteri Keuangan (10 Juli 1959- 1962)
Menteri Pertama (Pelantikan) (10 Juli 1959 - 6 November 1963)
Menteri Negara Urusan Perencanaan (24 Maret 1956 - 9 April 1957)
Menteri Keuangan a. i. (9 Januari 1957 - 9 April 1957)
Perdana Menteri/ Menteri Pertahanan (9 April 1957 - 10 Juli 1959)
Menteri Keuangan a. i. (27 Juni 1957)
1955 Edisi K h u su s D J UA N DA
Upacara serah terima jabatan Presiden dari Soekarno kepada Djuanda pada tanggal 16 April 1961. Sewaktu menjabat sebagai Menteri Pertama, Djuanda beberapa kali dipercaya untuk bertindak selaku Pejabat Presiden.
1960 Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
15
16
MediaKeuangan
Putera Pribumi dengan Segudang Prestasi Teks Dwinanda Ardhi
Sri Sultan Hamengkubuono IX, Ir. Djuanda, dan Mr. Latuharhary turun dari Pesawat K.L.M. Royal Dutche Airline di Lapangan Terbang Internasional Kemayoran Jakarta yang membawanya dari Yogyakarta, 11 April 1949. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
Djuanda lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tanggal 14 Januari 1911 sebagai putra pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Momot. Ayahnya bekerja sebagai tenaga pendidik. Kelak, sebelum menjadi tokoh besar di republik, Djuanda mengawali kariernya sebagai guru, mengikuti jejak sang bapak.
D
i Hollands Inlandse School (HIS), sekolah dasar berbahasa Belanda bagi anak-anak pribumi, Raden Kartawidjaja muda awalnya adalah seorang mantri guru. Seiring jalannya waktu, Kartawidjaja sempat membawa keluarganya
berpindah-pindah karena pekerjaan. Djuanda pun ikut kedua orang tuanya dan sempat tinggal di Kuningan serta Cicalengka. Sebagai anak pertama, Djuanda memiliki lima orang adik, tiga laki-laki dan dua orang perempuan. Sejak kecil, Djuanda sudah
Awaloeddin Djamin. Foto Tino Adi Prabowo
Edisi K h u su s D J UA N DA
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
17
terlihat menonjol dalam pelajaran berhitung dan bahasa Belanda. Setelah menamatkan pendidikan di HIS, Djuanda menempuh pendidikan di Europese Lagere School (ELS). Pada masa itu, ELS adalah sekolah elite yang sebenarnya disediakan hanya untuk anak-anak orang Belanda atau keturunan Belanda. Dalam buku Ir H Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama, disebutkan bahwa jika pun ada murid pribumi yang bersekolah di sana, dia haruslah sangat pandai atau menguasai bahasa Belanda dengan sangat baik. Syarat lainnya adalah ayahnya seorang pegawai pemerintah dengan kedudukan dan gaji yang tinggi dan mendapatkan rekomendasi dari orang Belanda yang mempunyai jabatan di pemerintahan atau perusahaan swasta atau dari kepala sekolah. Djuanda membuktikan diri pantas bersekolah di ELS bukan karena sekadar latar belakang pekerjaan ayahnya. Di ELS, dia mencatatkan prestasi langka, “meloncat” dari kelas V ke kelas VII. Karena kepintarannya, tak sulit bagi Djuanda melanjutkan pendidikan ke Hogere Burgerlijke School (HBS). Semua guru HBS adalah bangsa Belanda. Dari 343 murid, hanya ada lima orang pribumi dan 21 keturunan Cina. Di HBS, Djuanda termasuk murid yang terpandai. Dia tamat dari sekolah itu dengan predikat schitterend geslaagd (lulus dengan baik sekali) pada 1 Mei 1929. Di samping pintar secara akademis, Djuanda dikenal memiliki kemampuan bahasa asing yang sangat baik. Sejak duduk di bangku sekolah menengah, Djuanda sudah dikenal pendiam dan kutu buku. Namun demikian, dia menguasai bahasa Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman dengan baik. Sosoknya yang penuh prestasi mendorong niat ayah direktur HBS F. Gisolf untuk membantunya melanjutkan studi ke Technische Hoge School Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung). Atas bantuan direktur HBS dan Dewan Pengawas HBS, Djuanda memperoleh beasiswa dari
18
MediaKeuangan
pemerintah. Dia masuk Faculteit Weg en Waterbouwkunde yang kemudian berganti nama menjadi Faculteit van Technische Wetenshappen (Fakultas Ilmu-Ilmu Teknologi). Pada tahun 1929, ada 39 orang mahasiswa, di antaranya 18 mahasiswa Indonesia, dua orang mahasiswa Cina, dan 19 orang Belanda/Eropa. Pada 6 Mei 1933, Djuanda dinyatakan lulus dan berhak menggenggam gelar civiel ingenieur. Hanya segelintir orang Indonesia yang mendapatkan gelar itu, yaitu Djuanda, Endoen, Abdoel Karim, Soenardi, dan Soepardi. Tak lama setelah lulus kuliah, Djuanda meminang Julia Wargadibrata. Julia adalah anak dari Raden Wargadibrata dan Setiti Kajenah. Dia bekerja sebagai guru Frobel Kweekschool (taman kanak-kanak). Sambil mulai membina rumah tangga, Djuanda terjun ke masyarakat pada umur 22 tahun. Dia memulai kariernya sebagai guru AMS (setingkat SMA) dan Kweekschool Muhammadiyah, Jakarta.
Sosok pendiam dan sederhana
D
alam wawancara dengan Media Keuangan belum lama ini, Awaloeddin Djamin, menantu tertua Djuanda, bercerita bahwa mertuanya itu memang sosok yang pendiam.”Bapak tidak banyak bicara, marah juga tidak pernah,” kata Awaloeddin. Kepribadian ini membuat semua anak dan menantunya sangat menaruh hormat. Awaloeddin membenarkan bahwa mertuanya adalah sosok yang sangat gemar membaca, kutu buku. Ada ratusan buku di perpustkaan pribadi Djuanda yang dia baca habis. Bukubukunya pun terdiri atas berbagai macam tema dan bahasa.“Mulai buku pertahanan hingga anggaran perang nuklir. Dokumen-dokumen tentang Jatiluhur, perang Belanda, ada semua. Besar perpustakaannya,” ujar mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia itu. Yang juga jelas dalam kenangan
Awaloeddin adalah sifat Djuanda yang sederhana. Sampai akhir hayatnya, kata Awaloeddin, Djuanda hanya memiliki sebuah rumah di Jalan Diponegoro Nomor 8, Jakarta Pusat. Djuanda juga tidak mau memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Sebagai menantu seorang Perdana Menteri kala itu, Awaloeddin mesti berjuang sendiri untuk meraih beasiswa pendidikan ke Amerika Serikat.“Tidak ada bekal satu sen pun dari Bapak,” ujarnya. Sama halnya dengan jenjang karier yang dilalui Awaloeddin. Ayah mertuanya memisahkan posisi sebagai Perdana Menteri dan mertua. Ketika menikah dengan Poppy Marleni, putri pertama Djuanda, Awaloeddin masih berpangkat Komisaris Polisi Kelas I. Ketika Djuanda wafat, Awaloeddin belum lama menjabat sebagai Ajun
Presiden Soekarno memberikan tongkat komando kepada Menteri Pertama Djuanda pada tahun 1961. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
Visioner
M Sejak duduk di bangku sekolah menengah, Djuanda sudah dikenal pendiam dan kutu buku. Dia menguasai bahasa Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman dengan baik.
Edisi K h u su s D J UA N DA
Komisaris Besar Polisi. Satu hari setelah Djuanda meninggal, Harian Merdeka pada 8 November 1963 menyebut Djuanda sebagai Menteri Marathon. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1946, dia hampir selalu duduk dalam kabinet. Djuanda memang malang melintang dalam berbagai jabatan publik setelah menjadi Direktur Sekolah Muhammadiyah dan aktif dalam Pergerakan Pasoendan. Dalam kenangan Noorwati Hanitiyo, putri bungsu Djuanda, ayahnya gemar berenang dan menyukai fotografi. Gudang rumah mereka disulap Djuanda menjadi kamar gelap untuk mencetak foto. Noorwati mengenang kamar foto itu pernah dimasukinya bersama Kemal, kakak laki-lakinya untuk melihat gerhana bulan.
eskipun tak pernah bertemu secara langsung, Shahandra Hanitiyo, cucu Djuanda sekaligus putera dari Noorwati dan Hanitiyo Sukrasno mengaku mengagumi sang kakek sejak kecil. Apalagi, dia terhitung sebagai cucu yang paling dekat dengan Julia Wargadibrata, istri Djuanda. Selepas Djuanda meninggal, Julia tinggal bersama keluarga Noorwati hingga akhir hayatnya. Pada saat itulah, Shahandra sering menemani neneknya tidur. Dia pun sering mendapatkan cerita-cerita keteladanan tentang sang kakek. Yang paling membuat Shahandra kagum adalah sosok Djuanda yang visioner. Dalam pandangan Shahandra, kakeknya sangat memikirkan keutuhan dan kedaulatan wilayah nusantara. Selain Deklarasi Djuanda yang dikeluarkan pada tahun 1957, sang kakek juga merintis berdirinya perusahaan penerbangan Merpati untuk menyambungkan pulau-pulau terpencil di Indonesia. Peran Djuanda juga menonjol ketika menjabat sebagai Kepala Biro Perancang Negara, cikal bakal Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.”Blue print ekonomi Indonesia hingga rencana pembangunan berbagai industri strategis dibuat di situ,” ujar Shahandra yang kini melanjutkan perjuangan sang kakek dengan mengabdi sebagai Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
19
Tokoh Evolusioner Peletak Dasar Wawasan Nusantara Teks Mohammad Iskandar
Nama Djuanda memang tidak setenar nama Soekarno, Hatta, Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, bahkan juga dibandingkan dengan Kartosuwiryo, tokoh Darul Islam. Banyak generasi muda Indonesia mengenal nama Djuanda sebagai nama pahlawan yang dipergunakan untuk nama bandara internasional di kota Surabaya, nama stasiun kereta di Pasar Baru, Jakarta, dan nama taman hutan di Bandung.
S
elebihnya mereka tidak tahu, siapa Djuanda. Padahal sumbangsihnya bagi Indonesia tidak kalah kualitasnya dibanding tokoh-tokoh nasional lainnya. Sebut saja misalnya konsep dasar Negara kepulauan yang kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmaja menjadi Wawasan Nusantara, tiada lain adalah konsep Djuanda. Konsep Negara kepulauan itu disampaikannya pada 13 Desember 1957, yang kini dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda, seperti dimuat dalam Harian Umum pada 16 Desember 1957, yaitu: ”bahwa segala perairan disekitar, diantara dan jang menghubungkan pulau2 jang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnja adalah bagian2 jang wadjar daripada wilayah daratan negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasional jang berada dibawah kedaulatan mutlak negara Indonesia.
20
MediaKeuangan
Lalu-lintas jang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal2 asing didjamin selama dan sekedar tidak bertententangan dengan mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia” Deklarasi ini sekaligus dipergunakan sebagai landasan hukum penyusunan Rancangan UndangUndang, menggantikan Territoriale Zee and maritime Kringen Ordonantie tahun 1939, terutama pasal 1 ayat 1 yang menyatakan wilayah teritorial Indonesia hanya 3 mil diukur dari garis air rendah setiap palung. Hal ini mengakibatkan banyak perairan antara pulau-pulau di Indonesia menjadi kantung-kantung wilayah internasional yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar, terutama kapal-kapal perang Belanda yang menuju Irian Barat. Kondisi seperti itulah yang dinilai oleh Djuanda sebagai sesuatu yang rawan dan mudah digunakan oleh pihak luar guna memecah kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Djuanda mendeklarasikan Negara kepulauan yang batas-batasnya berbeda dengan Negara kontinental atau pulau, yaitu 12 mil dari pantai pulau terdepan (bukan lagi 3 mil). Deklarasi ini kemudian diundangkan melalui Undang-undang/Prp No.4/1960 pada Februari 1960, yang diperkuat oleh Keputusan Presiden No. 103/1963. Akhirnya konsep kewilayahan Negara kepulauan ini diakui dalam konvensi hukum laut PBB yang diselenggarakan di Montego Bay (Jamaica) pada 10 Desember 1982. Indonesia meratifikasinya dalam UU No. 17/1985 pada 31 Desember 1985.
Pribadi Djuanda
L
angkah politis Djuanda yang pada waktu itu baru saja menjabat sebagai Perdana Menteri (April 1957 – 5 Juli 1959) Republik Indonesia (RI), ditempuh dalam situasi ekonomi yang kurang
Bung Hatta berjabat tangan dengan Perdana Menteri Djuanda pada acara penutupan Musyawarah Nasional Pembangunan, 4 Desember 1957. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
menggembirakan, ditambah pula oleh kondisi politik cukup ruwet dan kisruh oleh berbagai pernyataan politik dalam negeri, baik di tingkat Pusat maupun antara Pusat dan Daerah, serta hubungan dengan Kerajaan Belanda yang masih terganjal oleh masalah Irian Barat (sekarang-Papua). Masalah Irian itu, antara lain telah memicu munculnya tuntutan agar semua perusahaan Belanda yang ada di Indonesia dinasionalisasi. Untuk mencegah agar tidak terjadinya perpecahan nasional, maka Djuanda mengundang semua pihak yang bertikai termasuk Presiden Soekarno (Bung Karno) dan Mohammad Hatta (mengundurkan diri sebagai wakil Presiden pada tahun 1956), untuk duduk bersama membicarakan dan mencari solusi yang baik dalam ajang Musyawarah Nasional yang diselenggarakan pada 10-14 September 1957. Banyak pengamat politik pada zamannya yang menilai Djuanda berhasil menjadi Perdana Menteri semata-mata karena kedekatannya dengan Bung Karno. Penilaian ini
Konsep dasar Negara kepulauan yang kemudian dikembangkan menjadi Wawasan Nusantara, tiada lain adalah konsep Djuanda. Edisi K h u su s D J UA N DA
mungkin benar dan mungkin pula tidak benar atau “jauh panggang dari api”, karena dasar penilaiannya hanya bersandar kepada kenyataan Djuanda bukan orang partai. Djuanda yang lengkapnya adalah Djuanda Kartawijaya (Ir. H. Djuanda Kartawijaya), memang bukan orang partai (non partai) dan bukan seorang orator yang baik seperti halnya Bung Karno dan Bung Tomo. Namun tidak berarti dia seorang oportunis yang beruntung, karena kedekatannya dengan seorang tokoh nasional yang kharismatis seperti Bung Karno. Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan Presiden Soekarno membentuk Kabinet Karya, Djuanda kembali terpilih sebagai menteri, yaitu sebagai Menteri Pertama. Dalam jabatan sebagai Menteri Pertama, Djuanda meninggal dunia, tepatnya pada 6 November 1963 (ada pula yang mengatakan 7 November 1963). Indonesia telah kehilangan seorang putera terbaiknya yang oleh insan pers menjulukinya sebagai “menteri marathon”. Selain prestasinya melalui Deklarasi Djuanda, masih banyak prestasi Djuanda lainnya yang secara tidak langsung dijadikan pula konsep dasar pembangunan oleh pemerintah berikutnya. Sebagai contoh, sewaktu menjadi Menteri Negara Urusan Perencanaan, Djuanda beserta stafnya menyusun Rancangan Undang-undang tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun dan Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun. Model ini kemudian ditiru dan dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
21
Upacara penandatanganan kontrak pesanan lokomotif pada G.E., 4 Desember 1951. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
Menteri Teks Iin Kurniati
22
MediaKeuangan
Maraton Bermula diangkat sebagai Kepala Djawatan Kereta Api. Empat belas kali dipercaya menduduki kursi Menteri. Kemudian, memimpin kabinet sebagai Perdana Menteri. Lalu, tiga kali ditetapkan sebagai Menteri Pertama dan dua kali ditunjuk sebagai Pejabat Presiden. Dalam 17 kabinet, sejak tahun 1946, Djuanda Kartawidjaja seolah terus-menerus berlari, berjuang demi kesatuan, persatuan, dan pembangunan Indonesia. Edisi K h u su s D J UA N DA
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
23
P
asca bendera merah putih berkibar di langit Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, kumandang semangat kemerdekaan meruak ke seluruh penjuru tanah air. Di berbagai tempat terjadi perebutan kekuasaan dari tangan penjajah. Begitu pula di Bandung, tepat 28 September 1945 para pegawai kereta api Indonesia mengambil alih Balai Besar Kereta Api. Pertempuran antara pemuda melawan para tentara Inggris yang diboncengi NICA tak terelakkan. Tentara Inggris berhasil menekan pasukan rakyat, membuat Bandung Utara terpaksa dikosongkan. Akibatnya, para penduduk harus mengungsi ke selatan, tak terkecuali Djuanda. Di tengah perjalanan ke Yogyakarta, ketika berada di kampung halamannya, Tasikmalaya, Djuanda menerima kabar bahwa dirinya diangkat menjadi Kepala Djawatan Kereta Api RI (DKA). Djuanda serta merta kembali ke Cicalengka lalu ke Bandung, bergabung dengan staf pimpinan DKA. Keadaan memburuk. Pertempuran memanas. Puncaknya, 24 Maret 1946, terjadi kebakaran hebat. Para pejuang sengaja menjadikan Bandung ‘lautan api’ untuk mencegah tentara sekutu dan NICA menggunakan Bandung sebagai markas strategis. Setelah peristiwa itu, Djuanda mewarisi perusahaan kereta api yang berada diambang kehancuran. Baik lokomotif maupun gerbong, stasiun bahkan rel-rel kereta dalam kondisi rusak berat. Saat tengah membenahi fisik dan organisasi DKA itulah, Djuanda diangkat menjadi Menteri Muda Perhubungan mendampingi Abdoelkarim. Inilah babak baru karier Djuanda sebagai Menteri yang dimulai pada masa kabinet Syahrir II hingga kabinet Ali Sastroamidjojo II (1946-1957). Setidaknya dalam 17 kabinet, Djuanda dipercaya sebagai Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kemakmuran, Menteri Negara, Menteri Negara Urusan Perencanaan, Menteri Keuangan, dan Menteri Pertahanan. Pantas rasanya bila banyak kalangan mengenal sosok Djuanda sebagai Menteri Maraton.
24
MediaKeuangan
Menurut sejarawan nasional Anhar Gonggong ada sebuah paradoks menarik tentang Soekarno dan Djuanda. Bila menilik ke belakang, Soekarno dan Djuanda sama-sama lulusan Technische Hogeschool (THS) Bandung atau yang kini lebih dikenal dengan Institut Teknologi Bandung. “Sama dengan Soekarno, dia (Djuanda) seorang insinyur. Yang menarik, Djuanda adalah insinyur yang berpikir ekonomi. Dia mengerti bagaimana pembangunan, tidak hanya belajar teknik tapi mengerti ekonomi. (Sedangkan) Soekarno (lebih) berpikir politik. Begitu Djuanda meninggal, Soekarno ketelimpungan, tidak ada orang lain yang bisa dipegang,” ujarnya.
Perhubungan dan ekonomi
S
elama 14 kali menjabat sebagai Menteri, sedikitnya enam kali Djuanda dipercaya memegang portofolio Kementerian Perhubungan. Djuanda memulai sepak terjangnya sebagai Menteri Muda Perhubungan dengan fokus mengelola sektor perhubungan darat dan kereta api. Kala itu, Djuanda bersama dinas bangunan DKA memperbaiki lintas-lintas yang dibongkar Jepang, membangun kembali stasiun, kantor, jembatan, sinyal dan
Seusai menandatangani "Pernyataan Bersama" Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta saling berjabat tangan dalam Musyawarah Nasional, 14 September 1957 di Jakarta. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
telekomunikasi meskipun keterbatasan sarana dan prasarana. Semasa menjabat sebagai Menteri Perhubungan dibeberapa kabinet, Djuanda berupaya melakukan pembangunan sektor perhubungan. Dalam perhubungan laut, mula-mula pemerintah mendirikan Yayasan Penguasaan Pusat Kapal-Kapal (Pepuska). Kemudian Pepuska dilebur menjadi PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) yang mulai beroperasi dengan 45 buah kapal milik Pepuska dan 45 kapal kapal yang baru dibeli. Dalam perhubungan darat, dengan bantuan pinjaman dari Eximbank, pemerintah memesan 100 buah lokomotif dan 100 km rel kereta api, keduanya berasal dari Jerman Barat. Di tahun berikutnya, pemerintah membeli lokomotif diesel listrik sampai lahir istilah ‘goyang djuanda’ karena gerbong-gerbong kereta api yang baru itu rasanya seperti bergoyang-goyang. Dalam perhubungan udara, Djuanda mendirikan Garuda Indonesia Airways (GIA) dengan modal patungan (fifty-fifty) antara pemerintah dan KLM/KNILM (maskapai Belanda) sebelum akhirnya diambil alih tahun 1954. Untuk memperoleh pesawat yang lebih cepat, pemerintah memesan pesawat Convair-240 dengan kredit Eximbank. Selanjutnya, pemerintah membuka Akademi Penerbangan Indonesia di Curug, Tangerang untuk menciptakan tenaga penerbang, ahli teknik penerbangan, dan pengatur lalu lintas udara. Dengan pengembangan lalu lintas udara ini pemerintah berharap dapat memperpendek jarak antara pusat dan daerah sehingga dapat memperlancar komunikasi dan koordinasi. Kementerian Perhubungan juga mengembangkan jalur telekomunikasi ke seluruh Indonesia. Pusat pos, telepon, dan telegraf (PTT) dikembalikan dari Yogyakarta ke Bandung. Lalu, untuk mendapatkan tenaga-tenaga ahli PTT dibuka pula berbagai sekolah, kursus, dan penataran. Djuanda sendiri diangkat menjadi Direktur Jenderal PTT.
Presiden Soekarno menyematkan Bintang Bhayangkara kepada Menteri Pertama Djuanda pada tahun 1961. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
Edisi K h u su s D J UA N DA
Sebagai Perdana Menteri, Djuanda mengumumkan sikap yang berarti strategis bagi Indonesia. Pernyataan yang terkenal dengan nama Deklarasi Djuanda ini berisi bahwa seluruh perairan yang mengelilingi dan terletak atau menghubungkan pulau-pulau Indonesia dianggap sebagai bagian integral wilayah negara Republik Indonesia dan berada di bawah kedaulatan Indonesia. Kemudian sewaktu menjabat Menteri Pertama, Djuanda berhasil menyelesaikan Lapangan Terbang TNI-AL di Waru, Surabaya yang kini bernama Bandar Udara Djuanda. Di saat yang sama, sarana perhubungan Jakarta dengan daerah penopang terbangun dengan jalan Jakarta Bypass. Selain giat membangun sarana perhubungan, semasa menjadi Menteri Negara Urusan Perencanaan, Djuanda merancang konsep pembangunan Indonesia yang bertolak pada pembangunan masyarakat desa (community development). Djuanda merealisasikannya dalam program Pembangunan Lima Tahun dengan fokus pada pembangunan irigasi, jalan, pelabuhan, dan infrastruktur lain. Djuanda pun membuat payung hukum dengan menyusun RUU Rencana Pembangunan Lima Tahun dan Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956-1960).
Mengembalikan UUD 1945
S
etelah ‘Pernyataan Bersama’ Soekarno – Hatta dalam Musyawarah Nasional tahun 1957, Djuanda menggelontorkan ide Kembali ke UUD 1945 secara konsitusional. “Ini adalah ide Mang Djuanda, bukan orang lain, juga bukan dari Presiden Soekarno. Sayalah yang menyusun kerangkanya. Pak Djuanda kemudian mengirim surat kepada Presiden di Yogyakarta,” ujar kesaksian Abdoel Wahab, seperti dikutip dalam buku Djuanda – negarawan, administrator, dan teknokrat utama penyunting Awaloedin Djamin. Akhirnya, 5 Juli 1959, Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945, pembubaran konsituante, serta pembentukan MPRS dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara. Setelah itu, Djuanda dan Kabinet Karya mengembalikan mandat kepada Soekarno. Kabinet Djuanda menjadi salah satu kabinet yang terlama bertahan dengan masa kerja dua setengah tahun. Setelah Dekrit Presiden, Soekarno mengumumkan kabinet dengan Djuanda sebagai Menteri Pertama merangkap Menteri Keuangan dalam Kabinet Karya I. Program kabinet ini, yaitu melengkapi sandang dan pangan rakyat, menyelenggarakan kemanan rakyat dan negara, serta melanjutkan perjuangan menentang imprialisme ekonomi dan politik (Irian Barat). Selama empat tahun, Djuanda dipercaya menjadi Menteri Pertama dalam Kabinet Karya I, II, dan III dengan program yang sama. Dua kali juga Djuanda ditunjuk sebagai pejabat Presiden saat Soekarno mengadakan perjalanan ke luar negeri sebelum pada akhirnya Djuanda pergi untuk selamanya. Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
25
Media Mengenang Djuanda Teks Usman Kansong, Pemimpin Redaksi Media Indonesia
“Tolak Ditangkap, Pengacara Lulung dkk Dikejar Jaksa di Jl. Djuanda”. Begitu bunyi salah satu judul berita media daring yang saya temukan ketika saya mencari berita dengan kata kunci “Djuanda” mesin pencari di internet.
B
erita lain yang saya temukan rata-rata bercerita tentang kesibukan di Bandara Djuanda, Sidoarjo, Jawa Timur, ketika pesawat Air Asia yang bertolak dari bandara tersebut mengalami kecelakaan. Padahal, saya sebetulnya mencari berita atau artikel tentang Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, pahlawan nasional yang pernah menjadi perdana menteri dan menteri. Djuanda yang saya maksud paling banter saya temukan di situs Wikipedia ataupun di blog pribadi. Nama Djuanda memang sangat terkenal. Ia diabadikan menjadi nama jalan, stasiun kereta, bandara, pelabuhan, gedung, dan taman nasional. Ihwal nama jalan, bisa dikatakan hampir semua kota di Indonesia punya jalan bernama Djuanda. Pemberitaan media umumnya terkait dengan tempat-tempat yang menggunakan nama Djuanda atau tarkait dengan biografi seperti yang tertera dalam situs Wikipedia dan blogblog. Itu semua menandakan bahwa media dewasa ini bisa disebut tidak begitu aware dengan sosok Djuanda. Media hanya mengenal sosok Djuanda sebagai nama-nama tempat belaka. Bagaimana dengan media di masa Djuanda hidup? Untuk melacaknya, saya mencoba membuka satu buku yang mengutip beberapa peran Djuanda
26
MediaKeuangan
Publikasi tentang Djuanda pada media saat ini. Foto Internet
semasa menjabat Perdana Menteri. Buku itu ialah Economist with Guns, Authoritarian Development and US-Indonesia Relations 1960-1964 karangan Bradley R. Simpson. Buku kadang mengutip pemberitaan media massa. Saya berharap menemukan itu ketika buku karya Bradley itu membahas peran Djuanda. Ketika kondisi ekonomi nyaris porak poranda, Perdana Menteri Djuanda yang menjabat pada 1957 dan wakil Indonesia untuk Indonesia Monetary Fund (IMF) Sutikno Slamet memimpin gerakan stabilisasi, bekerja sama dengan ekonom Khouw Bian Tie dan Gubernur Bank Indonesia Soemarno. Mereka menolak kontrol ketat negara di bidang ekonomi. Mereka juga menolak serangan terhadap investor swasta. Mereka menganggap modal dari luar negeri sebagai mesin akumulasi modal dan pembangunan. Menurut Bradley R. Simpson dalam “Economist with Guns”, Djuanda satu-satunya anggota kabinet yang melihat masalah Indonesia secara menyeluruh. Dia pula satu-satunya
yang tampaknya dipercaya Soekarno dalam bidang ekonomi. Djuanda ialah arsitek stabilisasi yang dikendalikan oleh IMF, penangkal kilat kritik-kritik Partai Komunis Indonesia (PKI), dan karena itu bisa diterima tentara. Dia pengikat paling kuat pada era Soekarno dalam menjalin hubungan dengan Barat sekaligus memainkan peran yang menonjol dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Namun, sumber pembahasan tentang peran Djuanda dalam menstabilkan ekonomi seperti ditulis Bradley ternyata bukan berasal dari pemberitaan media massa. Sumber yang dikutip Bradley umumnya laporan-laporan hasil pertemuan. Media dewasa ini semestinya membahas relevansi sepak terjang, sikap, atau kebijakan Djuanda dengan kondisi kekinian. Sebagai contoh, bagaimana sikap dan kebijakan Djuanda dalam konteks kerja sama dengan IMF, bisa dijadikan semacam bahan perbandingan ketika Indonesia di bawah Soeharto menerima bantuan IMF saat krisis ekonomi 1998. Sayangnya, sepertinya media abai melakukan itu semua. Djuanda juga dikenal melalui “Deklarasi Djuanda”. Perdana Menteri Ir. H. Djuanda Kartawidjaja, pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan bahwa Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan. Pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911, itu dengan kepemimpinan yang berani dan visioner mendeklarasikan bahwa semua pulau dan laut Nusantara adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan (wawasan nusantara). Sangat bijak ketika hari Deklarasi Djuanda itu kemudian melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.126/2001 dikukuhkan sebagai Hari Nusantara. Djuanda yang lulusan Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik)
Edisi K h u su s D J UA N DA
Perdana Menteri RI Djuanda menyambut kedatangan Perdana Menteri Kamboja Norodom Sihanouk, 9 Februari 1959. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB), beberapa kali menjabat menteri. Ia pernah menjabat Menteri Perhubungan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Djuanda sangat risau melihat pengakuan masyarakat internasional yang kala itu hanya mengakui bahwa batas laut teritorial selebar 3 mil laut terhitung dari garis pantai terendah. Itu artinya, pulau-pulau Nusantara dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh perairan internasional. Negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan Australia, sangat berkepentingan mempertahankan kondisi pulau-pulau Indonesia yang terpisah-pisah itu. Tetapi, Djuanda dengan berani mengumumkan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas yang diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen
Ordonantie (ordonansi tentang laut teritorial dan lingkungan maritim) 1939. Wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, diantara, dan di dalam Kepulauan Indonesia. Deklarasi itu juga menyatakan penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undangundang. Deklarasi Djuanda ditentang oleh Amerika Serikat dan Australia. Namun, Djuanda dan para penerus dalam pemerintahan berikutnya, di antaranya Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasyim Djalal, dengan gigih berjuang melalui diplomasi sehingga konsepsi negara nusantara tersebut diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Dengan demikian, Indonesia menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km² yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut itu terdapat sekitar 17.500 km lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Terkait Deklarasi Djuanda, sejumlah media mengutipnya kembali ketika Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari genggaman Indonesia dan jatuh ke tangan Malaysia. Kita berharap di masa depan media lebih banyak lagi “mengenang” Djuanda dalam pemberitaan mereka. Media bisa mengenang Djuanda sekurangkurangnya dalam konteks stabilisasi ekonomi serta Deklarasi Djuanda. Dalam dua hal tersebut bangsa ini berhutang besar kepada Djuanda.
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
27
Insinyur yang Menjadi Menteri Keuangan Teks Pradany Hayyu
Gedung tinggi yang didominasi warna biru itu berdiri dengan kokoh. Nama Djuanda, Menteri Keuangan di era tahun 1957, diabadikan sebagai nama gedung utama Kementerian Keuangan yang berlokasi di jantung kota Jakarta.
S
ekitar 10 tahun sejak proklamasi dikumandangkan oleh dwitunggal Soekarno-Hatta, negeri ini tak sepenuhnya bisa dikatakan merdeka. Di tengah kondisi perekonomian yang sedang porak-poranda, Djuanda Kartawidjaja (1911-1963) ditunjuk Presiden Soekarno untuk membenahi semuanya. Djuanda memainkan peran yang sangat besar bagi pembangunan negara. Tak hanya sebagai Menteri Keuangan, Presiden Soekarno juga mempercayakan beberapa jabatan strategis negara kepada Djuanda yang semasa muda aktif di organisasi Muhammadiyah ini. Tak seperti Menteri Keuangan lainnya, Djuanda tidak memiliki latar belakang pendidikan ekonomi. Putra Pasundan ini adalah seorang insinyur teknik sipil lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Insitutut Teknologi Bandung) tahun 1933. Pengalamannya memimpin beberapa kementerian dan organisasi membuat Djuanda terampil menangani berbagai persoalan negara.
28
MediaKeuangan
Kepiawaiannya di bidang ekonomi membuat Djuanda dikenal sebaga negarawan multitalenta. Penulis biografi Solichin Salam dalam buku Ir. H. Djuanda Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama mengungkapkan, dalam dunia diplomasi Djuanda tampil di Perundingan Renville pada 8 Desember 1947. Begitu pula saat berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 2 November 1949, Djuanda menjadi anggota delegasi Republik Indonesia, bahkan terpilih sebagai Ketua Komisi Keuangan dan Ekonomi KMB.
Tiga Kali Menjadi Menteri Keuangan
S
ebelum menjadi Menteri Keuangan, Djuanda telah diserahi tugas mengatur ekonomi negara yang sejalan dengan program kabinet saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran (20 Desember 1949-6
September 1950). Jabatan penting itu terasa sangat berat mengingat kondisi perekonomian Indonesia sedang kritis. Kemiskinan di manamana, harga barang melonjak akibat inflasi, negara pun mengalami defisit keuangan. Kepandaian Djuanda dalam mengatur keuangan negara inilah yang membuat Presiden Soekarno beberapa kali mempercayakan jabatan Menteri Keuangan kepadanya. Selama duduk di kabinet, putra pertama pasangan Raden Kartawidjadja dan Nyi Momot ini terhitung tiga kali menjabat sebagai Menteri Keuangan. Pertama, saat menjadi Menteri Keuangan ad interim (pejabat sementara) pada 9 Januari 1957 hingga 9 April 1957. Saat itu ia merangkap sebagai Menteri Negara Urusan Perencanaan. Kedua, Djuanda sebagai Perdana Menteri juga menjabat sebagai Menteri Keuangan ad interim pada tanggal 23 Juni 1957. Penunjukan Djuanda saat itu menggantikan Menteri Keuangan Sutikno Slamet yang berada di luar negeri. Ketiga, saat menjabat
sebagai Menteri Pertama pada 10 Juli 1959 hingga 6 Maret 1962, Djuanda diberi mandat oleh Presiden Soekarno untuk kembali merangkap jabatan sebagai Menteri Keuangan. Kontribusi Djuanda terhadap perkembangan perekonomian Indonesia sangatlah besar. Djuanda yang menguasai bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman ini juga memelopori penyusunan rencana pembangunan ekonomi Indonesia. Program tersebut dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956-1960) yang digagas Djuanda saat menjabat sebagai Direktur Biro Perancang Negara (1954-1956). Djuanda dikenal realistis dalam menyusun sebuah rencana. Di saat kondisi perekonomian Indonesia yang masih belum mantap, Djuanda merencanakan pembangunan yang disesuaikan dengan kekuatan keuangan negara. Biro Perancang Negara inilah yang nantinya menjadi cikal bakal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) saat ini. Edisi K h u su s D J UA N DA
Djuanda menerima tamu Menteri Keuangan Singapura, 24 Juni 1961. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
Munas 1957
D
i tengah kondisi politik yang tidak kondusif, bahkan Indonesia nyaris pecah karena sentimen kedaerahan, pada 9 April 1957 Djuanda diangkat sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. Dalam Ir. H. Djuanda Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama, Mrs. Maria Ulfah Soebadio beserta Mr Soebadio mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan seluruh kalangan menaruh hormat dan menerima pengangkatan Djuanda sebagai Perdana Menteri. Hal ini karena Djuanda dikenal Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
29
sebagai administrator yang demokratis, jujur, abdi negara yang setia, dan tidak terlibat pertikaian politik. Demi menyelesaikan pertentangan pusat dan daerah dalam rangka normalisasi keadaan, Kabinet Djuanda menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) yang diselenggarakan pada 10-14 September 1957. Munas ini sukses menghadirkan dwitunggal Soekarno-Hatta yang mengeluarkan teks pertanyataan bersama untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahan di daerah. Djuanda dinilai berhasil memimpin Munas yang turut mengundang pemerintah daerah, baik sipil maupun militer.
Seorang Kutubuku
P
ada tahun 1959, Djuanda didaulat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Pertama merangkap Menteri Keuangan. Mantan Direktur Algemene Middelbare School (Sekolah Menengah Atas) Muhammadiyah Jakarta ini mempelajari seluk beluk mengenai perekonomian negara secara otodidak. Noorwati, putri keempat Djuanda, menuturkan kepada Media Keuangan, “Papap itu hobinya membaca buku. Di ruang kerja ada meja tulis yang di kanan dan kiri isinya rak buku semua. Kami (anak-anaknya) juga sering diajak ke toko buku.” Istri Djuanda, Juliana, juga menuturkan hal yang sama, “Bapak sangat rajin membaca. Pengetahuan tentang ekonomi dan keuangan, Bapak peroleh dari buku-buku.” Tak perlu mengenyam pendidikan ekonomi secara formal, buku-buku dan pengalaman lah yang membuat Djuanda memahami ilmu ekonomi lebih dalam. Saat bersekolah di Hogere Burgerlijke School (HBS) Bandung, Djuanda dijuluki boekenworm (kutu buku) oleh teman-temannya. Tidak hanya buku ilmu pengetahuan, segala jenis buku pun dilahapnya. Tak heran, Djuanda andal menguasai berbagai bidang saat
30
MediaKeuangan
Djuanda memberikan keterangan soal sensus, 1 Januari 1962.
mengemban amanah sebagai pejabat negara. Kegemarannya membaca itulah yang membuat Djuanda harus mengenakan kaca mata sejak bersekolah di Europese Lagere School (ELS).
Keberanian Menteri Keuangan Keputusan Presiden mengenai Djuanda sebagai Menteri Keuangan. Foto Dok. Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional RI
T
ak mudah bagi seseorang untuk memegang dua jabatan. Namun Djuanda sebagai administrator berhasil menjalankan perannya dengan baik, sebagai Menteri Pertama sekaligus Menteri Keuangan. Djuanda merupakan orang pilihan Presiden Soekarno yang ditugaskan untuk membenahi perekonomian dan keuangan negara yang memburuk. Demi menstabilkan
kondisi ekonomi, pada 24 Agustus 1959 Djuanda mengeluarkan kebijakan sanering yang dikenal dengan istilah “Gunting Djuanda.” Kebijakan ini berbeda dengan “Gunting Syafruddin” yang benar-benar menggunting uang kertas menjadi dua. Sanering ini diartikan dengan menurunkan nilai mata uang kertas, yaitu Rp500,menjadi Rp50, Rp1000 menjadi Rp100, dan seterusnya. Kebijakan ini cukup mengejutkan seluruh rakyat. Sebelumnya tidak terdengar kabar atau desas-desus bahwa Pemerintah akan mengeluarkan Edisi K h u su s D J UA N DA
penurunan nilai mata uang. “Tidak ada seorang yang tahu, tidak seorang pun yang menduga. Kami semua beserta Menteri Djuanda di-pool di Istana Bogor. Tidak seorangpun diperkenankan meninggalkan Istana. Semua hubungan telepon diputuskan. Sopir-sopir diawasi dengan ketat. Jadi memang tidak ada seorang pun yang tahu. Keluarga Djuanda pun tidak mengetahui apa-apa. Begitu teliti dan rahasia Djuanda bekerja,” kata Abdoel Wahab, sekretaris kabinet pada masa pemerintahan Menteri Pertama Djuanda, dalam buku Ir. H. Djuanda Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama. Sayangnya, kebijakan sanering tersebut tidak membawa perbaikan ekonomi yang signifikan. Buruknya situasi ekonomi mendorong Pemerintah membentuk Komando Operasi Ekonomi dengan Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar dan Menteri Pertama Djuanda sebagai Wakil Panglima Besar. Atas dasar saran Jenderal Nasution sebagai Wakil Menteri Pertama Bidang Pertahanan/Keamanan serta Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Djuanda menyusun sebuah konsepsi yang disampaikan kepada Presiden. Pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengumumkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) di Istana
Negara. Kebijakan ekonomi jangka pendek tersebut menitikberatkan pada bidang sandang dan pangan negara.
Teknokrat Cerdas
S
ejarawan menilai Djuanda sebagai negarawan yang sangat cerdas dan memiliki satu kelebihan yang tidak dimiliki tokoh pergerakan nasional lainnya, yakni tidak mengikuti aliran partai manapun. “Beliau adalah orang yang meletakkan diri sebagai pemimpin sangat independen dari semua kekuatan,” kata sejarawan Anhar Gonggong. Diangkatnya Djuanda, yang merupakan tokoh nonpartai, sebagai Perdana Menteri adalah hak prerogatif Presiden Soekarno. Sejarawan Erwin Kusuma juga menegaskan, “Kepintaran Djuanda terbukti saat ia memilih orang-orang pintar dan ahli di bidangnya untuk mengisi jabatan di Kabinet Karya.” “Djuanda mendapat kepercayaan dari Soekarno. Setidaknya Djuanda diharapkan bisa menggantikan peran Mohammad Hatta (Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada tahun 1956),” lanjut Erwin. Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
31
32
MediaKeuangan
Deklarasi Djuanda Satukan Nusantara Teks Irma Kesuma Dewi
Pada 13 Desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan yang mendasari kedaulatan wilayah yang baru setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 dan Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Pengumuman yang dibacakan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja pada hari Jumat itu menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau di dalamnya, dengan tidak memandang luas atau lebarnya merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Laut-laut yang menghubungkan antarpulau pun bukan lagi kawasan bebas, melainkan wilayah Republik Indonesia. Foto Anas Nur Huda
Edisi K h u su s D J UA N DA
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
33
P
aska proklamasi kemerdekaaan, pada tahun 50-an kondisi politik Indonesia masih mengalami berbagai pergolakan. Perseteruan kepentingan bukan hanya terjadi di kalangan partai maupun organisasi besar. Masyarakat Indonesia pun turut terseret dalam beragam konflik. Pergolakan semakin memanas dengan ketidakpuasan elit politik serta militer di daerah seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Pemerintahan Perdana Menteri Djuanda juga kewalahan mengatasi pemberontakan Darul Islam (di Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan), Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon dan Seram, serta permasalah di Irian Barat yang masih diduduki oleh Belanda. Banyaknya pemberontakan di daerah membuat kestabilan dan kesatuan Indonesia terancam. Kondisi ini dipertajam dengan kondisi geografis Indonesia yang unik. Banyaknya wilayah laut dibanding darat menyadarkan pemerintahan Presiden Soekarno bahwa wilayah laut penting bagi kedaulatan negara. Apalagi sumber daya di perairan-perairan antar pulau di Indonesia masih banyak dimanfaatkan oleh pihak luar. Kedua faktor tersebut menjadi pikiran Djuanda. Ia sangat mengkhawatirkan masalah keamanan, kesatuan, dan perlindungan kekayaan laut Indonesia.
Gagasan Deklarasi Djuanda
P
ada masa pemerintahan Hindia Belanda yang dimaksud tanah air, hanya tanah dan air yang ada di darat, dan di sepanjang pantai. Ketika itu, wilayah Republik Indonesia masih mengacu pada Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya. Setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 (tiga) mil dari garis pantai. Artinya, kapal-kapal asing bebas berlayar dan memanfaatkan sumber daya laut yang memisahkan pulaupulau tersebut. Tahun 1957 Djuanda membentuk Panitia Rancangan Undang-Undang (RUU) Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim. Panitia ini bertugas mengubah ketentuan perundang-undangan yang mengatur laut teritorial Indonesia. Profesor Hasyim Djalal, ahli hukum laut internasional menceritakan, saat itu hal sebesar ini hanya dirumuskan oleh kelompok kecil saja. Posisi Hasyim saat perumusan deklarasi dilakukan adalah sebagai asisten dari
34
MediaKeuangan
Mochtar Kusumaatmadja, salah satu anggota panitia. “Dari Pak Mochtar banyak saya dengar ada ide dari pihak Departemen Kehakiman untuk meluaskan wilayah laut Hindia Belanda dari 3 mil menjadi 12 mil. Saat itu Cina dan Rusia sudah memperluas wilayah teritorinya. Bahkan Amerika Latin meluaskan wilayah lautnya hingga 200 mil meskipun mereka bukan negara kepulauan. Kenapa kita tidak meluaskan wilayah laut hingga 12 mil?”, ungkap Hasyim. Dijelaskan Hasyim lebih lanjut, sebelum Deklarasi Djuanda banyak wilayah laut antarpulau Indonesia yang bolong. Antara satu pulau dan pulau lainnya ada yang berjarak lebih dari 24 mil. Hasyim mencontohkan jika menggunakan peraturan Hidia Belanda maka Laut Jawa, Laut Banda, dan Laut Seram menjadi laut bebas yang bisa dilewati dan diekploitasi siapa saja. Panitia bentukan Djuanda ini juga didorong oleh Chaerul Saleh yang saat itu membantu Djuanda sebagai Menteri Negara Urusan Veteran. Menyatukan darat dan laut Indonesia merupakan persoalan yang tidak mudah. Banyak faktor yang harus dipikirkan. Mulai dari permasalahan sumber daya, pelayaran, hingga faktor kemanan perlu diubah ketentuannya. Chaerul Saleh berusaha meyakinkan panitia RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim untuk terus maju. Laut Jawa harus segera ditutup bagi kapal-kapal asing termasuk kapal perang. Kondisi saat itu sangat tidak menguntungkan sebab Indonesia masih bersengketa dengan Belanda untuk merebut Irian Barat. Kapal-kapal perang Belanda bebas saja berlayar ke sana melalui laut Jawa. “Chaerul Saleh merasa sangat terganggu. Beliau mengatakan kita tidak perlu terlalu banyak mengikuti cara berfikir kuno, kita harus berpikir lebih “revolusioner”, kenang Hasyim. Djuanda kemudian menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip Negara kepulauan (Archipelagic State). Dengan demikian, laut-laut yang menghubungkan antarpulau pun bukan lagi kawasan bebas, melainkan wilayah Republik Indonesia. Terdapat tiga dasar pokok pertimbangan penetapan wilayah perairan. Pertama, bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara kepulauan yang terdiri atas beriburibu pulau mempunyai sifat dan corak sendiri. Kedua, bagi keutuhan territorial dan untuk melindungi kekayaan Negara Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat. Ketiga, penentuan batas lautan territorial seperti termaktub dalam Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie tidak lagi sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian yang terpisah dengan perairan teritorialnya sendiri-sendiri.
Tanggapan Dunia
D
Perangko peringatan 50 tahun Deklarasi Djuanda. Foto Wikipedia
Edisi K h u su s D J UA N DA
eklarasi Djuanda serta merta menimbulkan reaksi keras. Departemen Luar Negeri menerima banyak protes terutama dari negara-negara maritim. Cara pemerintah Indonesia merumuskan perluasan wilayah teritori dianggap tidak sesuai dengan ketentuan. Hukum laut internasional saat itu masih mengakui lebar laut wilayah 3 mil diukur dari masing-masing pulau, belum mengakui lebar laut wilayah 12 mil, apalagi mengakui laut dengan suatu gugus kepulauan yang ribuan jumlahnya sebagai kesatuan wilayah. Pemerintah Indonesia tidak memedulikan protes keras tersebut dan tetap memperjuangkannya dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang pertama tahun 1958 tentang hukum laut di Jenewa. Kritik yang terus berdatangan mendorong pemerintah kembali mematangkan konsep tersebut. Agar dapat segera mendukung praktek di lapangan, isi Deklarasi Djuanda kemudian segera diundangkan melalui Undang-Undang Nomor. 4 tahun 1960 yang mengatur mengenai hak lewat bagi kapal-kapal asing. “Kapal-kapal itu boleh lewat atas dasar prinsip innocent passage. Boleh lewat tetapi tidak menganggu. Jika Negara asing tidak mematuhi aturan tersebut, maka akan terjadi persoalan politik”, jelas Hasyim. Kesatuan Kewilayahan Indonesia yang mencakup unsur darat, laut, udara, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya kemudian diakui dalam Konvensi Hukum Laut PBB di Montego Bay pada 10 Desember 1982. Menurut Hasyim, Negara yang paling menentang Deklarasi Djuanda adalah Amerika Serikat. Hingga saat ini Amerika tidak menerima Konvensi Laut 1982. Dijelaskan Hasyim lebih lanjut, Amerika sering melakukan penelitian di dasar samudera. Mereka banyak menemukan kekayaan alam berupa mineral. Tahun 1967 seorang duta besar PBB dari Malta mempertanyakan, siapa yang memiliki hasil penemuan tersebut. Amerika berusaha mempertahankan bahwa laut bebas dimanfaatkan siapa saja. “Itu kan mau enaknya saja. Dia punya kemampuan, pengetahuan dan teknologi. Lalu Negara lainnya bagaimana?”, kata Hasyim. Butuh waktu 25 tahun bagi Indonesia untuk memperjuangkan pengakuan Kesatuan Kewilayahan Indonesia melalui berbagai forum diskusi internasional. Meski memerlukan waktu yang panjang, namun visi kelautan dari pemerintah Indonesia ini banyak memberikan sumbangan bagi hukum laut internasional modern. Bertolak dari Deklarasi Djuanda, pada 11 Desember 2001, Presiden RI saat itu, Megawati Soekarnoputri menetapkan tanggal 13 Desember sebagai ”Hari Nusantara”. Selain untuk mengingatkan kembali bahwa Indonesia adalah bangsa maritim dan negara kepulauan terbesar di dunia, Hari Nusantara juga diharapkan menjadi pendorong semangat segenap komponen masyarakat untuk menjadikan membangun sektor maritim Indonesia. Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
35
Kenangan Indah Keluarga Teks Sri Purwandhari
Seusai menyandang gelar insinyur sipil dari Technische Hoogeschool te Bandoeng pada 1933, Djuanda menikahi Julia Wargadibrata, guru Taman Kanak-kanak dari Ciamis. Pasangan ini dikaruniai Poppy Marleni, Astri Waskito, Ingearti Elias, Kemal Budiman, dan Noorwati Hanitiyo. Seorang putri lagi, bernama Linne, meninggal saat dilahirkan. Saat ini yang masih sehat dan aktif beraktivitas adalah Astri dan Noorwati. Inilah kenangan mereka.
Astri Waskito
“K
enangan saya bersama papap yang paling melekat adalah sering mengungsi. Sejak kecil, saya ikut mengungsi ke mana-mana, antara lain ke Cisurupan, Gombong, dan Yogyakarta. Pernah juga mengungsi ke rumah kakek yang berbentuk rumah panggung. Rumah kakek sangat sederhana. Di bagian bawah rumah jadi tempat memelihara bebek. Air di kamar mandi disalurkan pakai bambu dan banyak ulat di kamar mandinya. Waktu tinggal di Bandung, rumah kami yang lokasinya tepat di depan Institut Teknologi Bandung (ITB) dilengkapi dengan bunker. Bila sirine dibunyikan, kami harus segera masuk ke sana. Karena sering mengungsi, sekolah saya sempat terganggu, bahkan saya sempat sekolah di rumah. Setelah keadaan relatif aman dan kembali ke Jakarta, baru saya bisa bersekolah secara normal.
Papap pendiam tapi cinta pada anak-anaknya. Jika memberi oleh-oleh, semua mendapat yang sesuai dengan kesukaannya. Saya selalu mendapat perhiasan meskipun imitasi karena papap tahu saya suka aksesori. Papap dan mamih selalu rukun, tidak pernah bertengkar. Rumah tangga mereka patut dijadikan contoh. Beliau nampak makin bahagia ketika akhirnya punya anak laki-laki, Kemal Budiman. Wajar ya, karena anak pertama hingga ketiga perempuan semua.
Noorwati Hanitiyo
“P
apap suka berenang. Di waktu senggang, kami kerap diajak berenang ke daerah Puncak. Selain berenang, kadangkadang papap main golf. Saya biasanya mendapat tugas mencabuti rumputrumput yang menempel di kaus kakinya. Jika tidak sedang berenang, kami sering diajak ke toko buku. Tapi
Yang membuat kesal adalah papap selalu didatangi orang, sehingga saya yang relatif masih kecil merasa terganggu. Tapi saya lihat, papap sabar menghadapinya. 36
MediaKeuangan
yang membuat kesal adalah papap selalu didatangi orang, sehingga saya yang relatif masih kecil merasa terganggu. Tapi saya lihat, papap sabar menghadapinya. Dalam hal makan, papap tidak rewel dan suka masakan Indonesia. Jika tidak ada dinas atau acara kami selalu makan bersama. Bila papap pulang malam, mamihlah yang menemaninya makan. Saat makan bersama, tak pernah sekalipun papap membicarakan masalah kantor atau urusan negara. Topik obrolan kami hanya seputar sekolah dan hal-hal ringan lainnya. Jika pergi bersama papap, kami akan mendapat pengawalan walau papap tidak suka. Suatu ketika papap pernah dikerjain pengawal. Saat berangkat dari rumah dinas, hanya ada dua voorijder, tapi di tengah jalan bertambah dua, beberapa kilo kemudian bertambah lagi. Papap kesal dan menyuruh sopir belok ke jalan lain sehingga pengawalnya malah kehilangan papap. Papap perhatian pada staf dan ajudannya. Mereka selalu ditanya sudah makan atau belum. Setiap Ramadhan, saya dan mamih menyiapkan makan sahur buat mereka, sebab kala itu mereka hanya mendapat ransum untuk buka puasa saja. Suatu saat papap akan ke Bandung melewati Puncak. Pak Iking, bekas sopir kami, saat itu sedang dirawat di Rumah Sakit Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo
Keluarga Djuanda, 15 Juni 1953. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
Noorwati Hanitiyo dan Astri Waskito. Foto Arfindo Briyan
Edisi K h u su s D J UA N DA
Cisarua Bogor. Tak disangka-sangka, dia menunggu rombongan di tepi jalan. Papap langsung minta berhenti dan memberinya uang. Papap beberapa kali menjadi pejabat presiden ketika Presiden Soekarno sedang ke luar negeri. Uniknya, semua berkas Presiden beserta staf ikut pindah ke kantor papap. Saya pernah melihat ada secarik surat dari Bung Karno kepada papap bertuliskan ‘Kang’. Saya heran, mengapa Bung Karno memanggil papap yang usianya lebih muda 10 tahun dengan sebutan ‘Kang’, tapi saya tidak pernah tahu jawabannya. Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
37
Emil Salim: Djuanda Menyenangi Kehidupan Desa Teks Irma Kesuma Dewi
Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Peribahasa ini tepat ditujukan kepada Djuanda Kartawidjaja. Meski telah meninggalkan kita empat puluh dua tahun lalu, namanya masih kita kenang sampai sekarang. Di masa muda, Prof. Dr. Emil Salim, ekonom dan aktivis lingkungan hidup internasional sempat mengenalnya. Lantas seperti apa sosok Djuanda di mata Emil? Di sela jadwalnya yang padat, Emil memberi wawancara khusus pada Media Keuangan di kediamannya. Berikut petikannya.
Bagaimana awal pertemuan Anda dengan Djuanda?
T
ahun 50-an saat masih menjadi mahasiswa, saya aktif di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) yang dikepalai Widjojo Nitisastro. Djuanda adalah Kepala Biro Perancang Negara (BPN) dibantu Ali Boediardjo. Saya ditugaskan membantu riset pembangunan masyarakat desa. Gagasan itu datang dari Mr. S.K. Dey, tokoh dari India. Djuanda setuju agar gagasan tersebut dipelajari lebih dahulu. Beliau membentuk tim peneliti yang dipimpin Boediono, mantan Gubernur Jawa Tengah. Tugas tim tersebut adalah berkunjung ke daerah untuk uji kelayakan. Kegiatan ini dilakukan bersama para ahli dari India dibantu LPEM. Saya menjadi research assistant pada tim kecil yang dipimpin Mr. Bongirwar.
Prof. Dr. Emil Salim. Foto Arfindo Briyan
38
MediaKeuangan
Seperti apa proses riset pembangunan masyarakat desa tersebut?
Bagaimana Anda bisa berkesempatan membantu riset BPN?
Kami mengunjungi Jawa, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur. Waktu itu kebanyakan pejabat daerah belum menguasai Bahasa Inggris sehingga saya juga menjadi penerjemah. Kami berkesimpulan bahwa pendekatan ini cocok diterapkan di Indonesia. Penduduk desa sudah mempunyai forum musyawarah desa sendiri. Mereka hanya memerlukan bimbingan teknis. Misalnya, penyuluhan pertanian, kesehatan, atau lainnya sesuai kebutuhan. Hasil penelitian tersebut dilaporkan ke Djuanda oleh Widjojo, Ali Budiarjo dan Boediono. Saya lihat beliau menanggapi dengan antusias. Djuanda selanjutnya membentuk program Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) yang menjadi cikal bakal Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa, Departemen Dalam Negeri.
Saya sedang menyusun skripsi dan melakukan penelitian di Lampung soal transmigrasi. Di sana saya menginap di rumah penduduk. Kemana-mana naik sepeda dan bahkan mandi di irigasi. Ternyata, hasil penelitan tersebut mendapat perhatian, sehingga saya diminta membuat laporan pembangunan desa. Ketika BPN berencana melakukan program Pembangunan Masyarakat Desa, saya “ditarik” oleh Widjoyo.
Seperti apa semangat Djuanda? Beliau adalah cendekiawan. Keinginannya hanya mewujudkan kesejahteraan masyarakat, tidak punya pertimbangan politik. Tujuan program PMD adalah untuk koordinasi teknis. Misalnya, pengaturan irigasi, penggilingan padi, atau penanganan hama. Tidak ada mobilisasi masyarakat. Identifikasi kebutuhan murni dari warga desa sendiri. Meski latar belakang pendidikan Djuanda adalah teknik, namun beliau mengerti semua yang kami sampaikan. Djuanda senang pada kehidupan desa. Beliau paham mengenai irigasi dan kebutuhan jaringan jalan yang menghubungkan desa, kecamatan, kabupaten, hingga ke kota. Dengan adanya jalan yang baik, hasil produksi desa bisa didistribusikan ke luar. Edisi K h u su s D J UA N DA
saya hanya small man, bicara hanya kalau ditanya. Bayangkan, Djuanda itu menteri. Mau masuk ke rumah Poppy saja saya takut. Halal-bihalal di hari raya pun saya nggak ikut. Bukan apa-apa, harus tahu diri. Kemudian saat Djuanda meninggal dunia, saya tidak tahu apa-apa. Menteri itu jabatan tinggi, sementara saya hanya mahasiswa. Djuanda orang gede, awak orang kecil. Titel belum punya, pekerjaan belum ada. Awak nggak masuk hitungan.
Apakah beliau pernah mengeluh sakit? Bagaimana kesan pertama Anda saat melihat sosok Djuanda? Beliau sederhana, sopan, dan beradab. Sikapnya ramah, bicara secukupnya, halus, dan nggak pernah marah. Dia sangat cerdas. Dalam setiap diskusi tidak bisa cepat diyakinkan. Program PMD kan idenya dari luar negeri. Beliau menanyakan apakah Indonesia mempunyai daya absorpsi yang serupa? Saya katakan, iya. Kami lihat sendiri pemilihan Kepala Desa. Kami ikuti cara warga berdiskusi. Semua langsung ke persoalan, seperti perencanaan musim tanam, ketersediaan bibit, serta cara mengatasi hama.
Apakah Anda kenal dengan keluarga Djuanda? Saya tidak mengenal istri Djuanda. Tetapi Poppy, putri pertama beliau, satu angkatan dengan istri saya di Universitas Indonesia (UI). Perbedaan usia kami tidak jauh. Poppy wanita yang cantik. Suaminya, Awaloedin, sempat jadi bintang film. Dia cakep, pandai, populer, dan lincah dalam pergaulan. Hubungan saya dengan Djuanda sebatas pekerjaan di BPN. Posisi
Djuanda nggak pernah kelihatan sakit. Mungkin beliau sakit karena beban kerja, saya nggak tahu pasti. Yang jelas, di tengah tarik tambang antarpartai politik, kehadiran Djuanda memberikan ketenangan pada masyarakat.
Apakah Djuanda punya kelebihan khusus? Beliau menguasai empat bahasa, termasuk Belanda, Inggris dan Sunda. Sebagai orang non partai, Djuanda tidak pernah “menjilat” namun tetap bisa membangun. Mayoritas penduduk Indonesia tinggal di desa. Oleh karena itu, saya harap pembangunan masa kini tidak dipolitisasi sehingga menghancurkan kehidupan desa. Kembalikan semangat membangun desa seperti dulu. Membangun dari bawah oleh masyarakat sendiri.
Seandainya Djuanda masih hidup, apakah beliau masih menjadi pejabat Negara? Politik itu kejam, Djuanda terlalu baik. Yang jelas integritasnya teruji. Korupsi sejak dahulu sudah ada. Dengan rangkap jabatan, beliau terlihat mampu menghadapi konfrontasi sebesar apapun tekanannya. Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
39
Upacara pemakaman jenazah Menteri Pertama Djuanda di Makam Taman Pahlawan Kalibata, 7 November 1963. Foto Dok. Perpustakaan Nasional
40
MediaKeuangan
Ronce Melati Noorwati Teks Dwinanda Ardhi
Noorwati Hanitiyo, putri bungsu Djuanda, tak punya firasat bahwa ronce melati yang dibuatnya hari itu akan menjadi bunga pengantar kepergian sang ayah menghadap Yang Maha Kuasa. Wafatnya Menteri Pertama itu memang mengagetkan semua pihak. Dini hari Kamis, 7 November 1963, Djuanda meninggal karena serangan jantung.
S
emasa tinggal di istana, Noorwati senang sekali memetik bunga melati yang tumbuh subur di sana.”Kegiatan ini saya lakukan biasanya setelah pulang sekolah. Jika sudah selesai, saya masukkan dalam plastik, lalu saya simpan di dalam kulkas,” katanya. Setiap saat sang ibu, Juliana, perlu menggunakan sanggul, ronce melati buatan si putri bungsu yang menjadi penghias kondenya. Noorwati, yang kala itu masih duduk di bangku SMA, masih mengingat dengan jelas hari terakhir sebelum ayahnya meninggal. Siang hari, sebelum Djuanda terkena serangan jantung mendadak, dia tengah merangkai melati.“Tiba-tiba saya mendengar bapak menelepon Kemal (anak keempat Djuanda),” ujarnya. Karena jaraknya cukup jauh, Noorwati tidak tahu pasti yang dibicarakan.”Tapi saya sempat mendengar bapak berpesan pada Kemal yang saat itu sedang kuliah di ITB untuk belajar dengan baik,” Noorwati melanjutkan. Usai menelepon, sang ayah memanggilnya dan minta dipijit di bagian dada dan kepala. Menurut Noorwati, ayahnya memang tidak pernah memanggil tukang pijat. Tugas memijat menjadi bagian Noorwati. Begitu juga dengan menyiapkan obat penyakit jantung seusai makan. Djuanda sebelumnya memang punya riwayat penyakit ini. Pengobatan di Jepang pun sempat dijalani. Menurut Awaloeddin Djamin, menantu tertua, penyakit jantung yang diderita ayah mertuanya tidak mudah sembuh karena Djuanda tidak kenal istirahat.”Segenap tenaga, pikiran, perasaan, dan kecakapan yang dimilikinya dikerahkan untuk kepentingan bangsa dan negara. Beliau lupa penyakit yang diidapnya,” tulis Awaloeddin pada buku Ir H Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama. Noorwati bercerita bahwa pada satu hari sebelum meninggal, ayahnya sebenarnya sempat mengeluh kurang enak badan. Setelah dipijit, Djuanda langsung istirahat. Noorwati pun meneruskan merangkai melati.“Entah mengapa, tanpa
Edisi K h u su s D J UA N DA
sadar, rangkaian yang saya buat jauh lebih panjang dari biasanya. Begitu sadar, saya kaget, kok jadi panjang begini, tapi saya tak ingin memotongnya,” kata dia. Rangkaian itu kemudian dibiarkan tetap panjang dan disimpan ke dalam kulkas. Saat terkena serangan jantung, Djuanda sedang menghadiri peresmian sebuah ruang makan baru di Hotel Indonesia. Sebelumnya, Sang Menteri Pertama juga sempat datang pada upacara pemberian gelar “Pengayom Agung” yang diberikan oleh para ahli hukum kepada Presiden Soekarno di Istana. Kepergian Djuanda mengagetkan seisi negeri. Menurut Noorwati, keesokan harinya, ketika jasad sang ayah yang meninggal pukul satu pagi disemayamkan, ada seorang istri menteri yang mengingatkan tentang rangkaian melati yang dibuatnya. “Dengan kesedihan luar biasa dan air mata yang mengalir deras, saya ambil rangkaian melati yang panjang itu, lalu saya letakkan di atas jenazah bapak,” kata Noorwati mengenang. Dalam ingatan Noorwati, pada hari meninggalnya sang ayah, Wakil Menteri Pertama, Jenderal AH Nasution termasuk tokoh yang paling pertama hadir di rumah dinas yang menjadi rumah duka. Masih terekam dalam memori Noorwati, raut wajah Pak Nas—panggilan Jenderal AH Nasution—yang terisak dan memancarkan kesedihan mendalam. Bagi Noorwati, rangkaian melati membuatnya trauma.”Jika ibu-ibu suka berebutan rangkaian melati milik pengantin, saya sama sekali tidak pernah ikut-ikutan. Saya selalu langsung sedih dan ingat kembali dengan kematian bapak,” ujarnya. Atas segala jasanya, pemerintah memberikan tanda atau bintang kehormatan. Penghargaan ini dianugerahkan hanya beberapa hari setelah Djuanda mangkat. Dengan Surat Keputusan Presiden No. 244 tahun 1963 yang dikeluarkan tanggal 23 November 1963, Djuanda ditetapkan sebagai Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Djuanda meninggal dalam usia 52 tahun meninggalkan satu orang istri, lima orang anak, dan dua orang cucu. Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
41
42
MediaKeuangan
Laporan Khusus
Sejarah Hari Oeang Teks Sri Purwandhari
Kedudukan uang dalam suatu negara merupakan salah satu identitas bangsa. Tata kelola keuangan adalah salah satu hal terpenting untuk mendukung kelancaran pembangunan negara. Termasuk di dalamnya adalah pengelolaan administrasi keuangan. Di Indonesia, pengelolaan keuangan negara menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan sebagai bagian dari pemerintahan. Sebagai penjaga keuangan negara, Kementerian Keuangan dijuluki Nagara Dana Raksa.
K
euangan yang dikelola oleh Kementerian Keuangan adalah keuangan milik pemerintah yang didapat dari upeti, pajak, bea cukai dan lain-lain. Saat ini, kita mengenal rupiah sebagai mata uang resmi bangsa Indonesia. Tanggal 30 Oktober telah ditetapkan sebagai Hari Oeang. Bagaimana sejarah Hari Oeang di Indonesia?
Het Witte Huis yang kini menjadi gedung Kementerian Keuangan.
Sebelum kemerdekaan “Kehadiran lembaga pengelolaan uang di Indonesia telah dimulai sejak jaman Hindia Belanda, tepatnya sejak masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie),” kata Erwien Kusuma, peneliti dan konsultan museum. VOC merupakan kongsi perdagangan yang dibentuk atas prakarsa Pangeran Maurits melalui Johan van Olden Barneveld untuk mengakhiri persaingan usaha. Pemerintah Belanda memberikan hak octroi kepada VOC, sehingga VOC memiliki kewenangan untuk memonopoli perdagangan di wilayah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterzoon Coen (1619-1629) memindahkan pusat VOC dari Ambon ke Batavia. Dengan hak octroi, VOC bisa menerapkan monopoli perdagangan dengan menerapkan beberapa peraturan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Setelah VOC dibubarkan pada Edisi K h u su s D J UA N DA
Foto Dok. Biro KLI
tahun 1800, kekuasaan di Hindia Belanda dipegang oleh Daendels, sebagai wakil pemerintah Prancis yang mengalahkan Belanda. Ia membangun sebuah istana yang diarsiteki oleh Letnan Kolonel JC. Shultze yang berpengalaman membangun gedung Societet Harmonie. Istana ini disebut sebagai Groote Huise (rumah besar) serta het Witte Huis (Gedung Putih) yang kini menjadi Gedung Departemen Keuangan. Pembangunan istana ini selesai pada masa pemerintahan Gubernur Du Bus setelah berjalan selama 29 tahun, ketika Hindia Belanda kembali pada kekuasaan Belanda. Namun saat Hinda Belanda di bawah kekuasaan Inggris,
Thomas Stamford Raffles (1811-1816) memberlakukan kebijakan Land Rent atau pajak tanah. Semua tanah adalah milik pemerintah Inggris, rakyat diberi kebebasan menanam komoditas yang dianggap menguntungkan, tapi harus membayar sejumlah sewa. Sistem ini tidak berhasil karena ketidakmengertian penduduk tentang uang dan perhitungan pajak. Sebagai gantinya, Raffles mewajibkan penduduk menanam kopi dan pohon jati serta menarik berbagai pungutan dari rakyat. Ketika Hindia Belanda kembali dikuasai Belanda, Gubernur Du Bus meresmikan kantor pemerintahan Hindia Belanda yang semula digagas Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
43
oleh Daendels tahun 1928. Pada tahun tersebut juga didirikan De Javasche Bank setelah adanya octroi dari Raja Willem I tahun 1926 tentang pembentukan bank di Hindia Belanda. Menurut Erwin, pendirian De Javasche Bank disebabkan oleh beban kegiatan perekonomian serta kesulitan dalam pengaturan keuangan pemerintah. Gubernur van Den Bosch menerapkan culturestelsel (sistem tanam paksa) untuk memproduksi komoditas yang bernilai jual tinggi di pasar dunia untuk menggantikan sistem pajak tanah. Meskipun cultuurestelsel dan kerja paksa berhasil memberi pemasukan yang besar, namun pengaturan perekonomian masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan Laissez faire laissez passer, sistem kapitalis, dengan melepaskan kendali perekonomian kepada pihak swasta. Meskipun awalnya kebijakan ini didasarkan atas desakan agar nasib rakyat membaik, tapi fakta di lapangan kebijakan tersebut lebih menyengsarakan rakyat. Pada masa pemerintahan Gubernur van Den Bosch, situasi ekonomi yang memprihatinkan menjadi alasan pembentukan Departement van Financien yang kemudian menempati istana Daendels sebagai kantor. Gedung ini menjadi pusat koordinasi, pelatihan dan bantuan administrasi keuangan sektor lain. Pemusatan tempat pengelolaan keuangan bertujuan untuk mempermudah pengawasan pemasukan dan pengeluaran negara. Dengan dibentuknya Departement van Financien, pemerintah Belanda membutuhkan banyak tenaga ahli keuangan. Oleh karena itu, diselenggarakan kursus bagi orang Belanda dan orang pribumi yang dianggap mampu berupa kursus ajun kontrolir dan treasury (perbendaharaan). Ketika Perang Dunia II melanda Eropa hingga kemudian sampai di Asia Pasifik, Presiden Dr. G.G. van Buttingha Wichers l memindahkan semua cadangan emas ke Australia dan Afrika Selatan melalui pelabuhan Cilacap sebelum Jepang menduduki Pulau Jawa. Setelah diduduki Jepang, gedung Departement fo Financien dijadikan sebagai pusat aktivitas keuangan, termasuk tempat untuk mengambil kebijakan ekonomi. Pada 7 Maret 1943, patung Jan Pieterzoon Coen yang berada di depan gedung Department of Financien dihancurkan Jepang karena dianggap sebagai lambang penguasa Batavia. Seperti halnya yang dialami Belanda, Jepang kekurangan tenaga keuangan, sehingga rakyat dididik untuk mengikuti pelatihan keuangan. Dalam masa pendudukan yang singkat selama 1942-1945, Jepang menerapkan berbagai kebijakan, antara lain memaksa bank yang ada untuk menyerahkan seluruh asetnya, melikuidasi seluruh bank milik Belanda, Inggris, dan Cina yang ada di Hinda Belanda. Pada masa itu, terdapat beberapa jenis uang yang beredar di wilayah Hindia Belanda, yaitu uang dari De Javasche Bank serta uang kertas dan logam dari Pemerintah Hindia Belanda. Setelah Jepang melakukan invasi, pemerintah Jepang mengedarkan uang kertas Jepang yang disebut sebagai uang invasi atau uang militer
44
MediaKeuangan
(gunpyo) total senilai 8 miliar gulden pada tahun 1946 untuk menghancurkan nilai mata uang Belanda yang telah tersebar di kawasan Hinda Belanda. Fokus Jepang untuk memenangkan Perang Pasifik menyebabkan Jepang melakukan perombakan dalam struktur ekonomi masyarakat yang mengakibatkan krisis keuangan. Kesejahteraan masyarakat menurun tajam, sebab Jepang menguras hasil bumi rakyat dan menjadikan tenaga produktif sebagai romusha. Tingkat inflasi sangat tinggi, sedangkan hampir tidak ada pemasukan dari pajak dan bea masuk.
Masa Kemerdekaan Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, situasi ekonomi sangat buruk. Salah satu penyebabnya adalah inflasi tinggi yang diakibatkan oleh beredarnya tiga mata uang, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang Hindia Belanda serta mata uang invasi Jepang. Pada masa ini, gedung Departement of Financien masih digunakan sebagai pusat kegiatan pengelolaan perekonomian. Tanggal 2 September 1945, Badan Penolong Korban Perang (BPKP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) mengadakan pertemuan di Karesidenan Surabaya dengan mencapai kesepakatan perlunya kekuatan dana untuk membiayai perekonomian negara yang baru dibentuk dan membiayai perjuangan. Dr. Samsi, yang menjadi Menteri Keuangan pada cabinet presidensial pertama, berupaya menggali informasi untuk membiayai perjuangan RI. Informasi itu adalah adanya uang peninggalan pemerintahan Hindia Belanda yang dikuasai Jepang tersimpan dalam Bank Escompto Surabaya. Ia berhasil mencairkan dana yang kemudian digunakan untuk perjuangan. Pada 26 September 1945, Dr. Samsi mengundurkan diri dan digantikan oleh A.A.
Uang Nederlandsch Indie Civil Administrartie (NICA) Oeang Republik Indonesia Satu Rupiah. Foto Langgeng Wahyu
Maramis. Pada 24 Oktober 1945 Menteri Keuangan A.A Maramis menginstruksikan tim serikat buruh G. Kolff untuk menemukan tempat percetakan uang dengan teknologi yang relatif modern. Hasilnya adalah percetakan G. Kolff Jakarta dan Nederlands Indische Mataaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) Malang. Selanjutnya Menteri menetapkan pembentukan Panitia Penyelenggaraan Percetakan Uang Kertas Republik Indonesia yang diketuai oleh TBR Sabarudin. Oeang Republik Indonesia (ORI) pertama berhasil dicetak di bawah penanganan RAS Winarno dan Joenet Ramli. Tanggal 14 November 1945 di masa kabinet Sjahrir I, Menteri keuangan dijabat oleh Mr. Sunarjo Kolopaking. Mr. Sunarjo mengikuti Konferensi Ekonomi pada Februari 1946 yang bertujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah produksi dan distribusi pangan, sandang, serta status dan administrasi perkebunanperkebunan. Pada 6 Maret 1946, panglima Allied Forces for Netherlands East Indies (AFNEI) mengumumkan berlakunya uang Nederlandsch Indie Civil Administrartie (NICA) di daerah yang dikuasai sekutu. Sebagai antisipasi, kabinet Sjahrir berupaya untuk mengedarkan ORI. Namun, upaya tersebut memerlukan dana yang tidak sedikit. Kabinet Sjahrir memilih Menteri Keuangan baru, yaitu Ir. Surachman Tjokroadisurjo. Ir. Surachman melakukan Program Pinjaman Nasional dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada Juli 1946. Ia sukses menembus blokade dengan melakukan diplomasi beras ke India serta mengadakan kontrak dengan perusahaan swasta Amerika. Kontrak ini dibawah badan semi pemerintah bernama Banking and Trading Coorporations yang dipimpin Soemitro Djojohadikusumo. Ir. Surachman juga membuka perwakilan Edisi K h u su s D J UA N DA
dagang resmi di Singapura dan Malaysia yang bernama Indonesia Office (Indoff). Mr. Sjafruddin Prawiranegara menggantikan posisi Menteri Keuangan pada 2 Oktober 1946. Pada masa ini, pemerintah berhasil menerbitkan mata uang sendiri berupa EMISI PERTAMA uang kertas ORI pada tanggal 30 Oktober 1946. Pemerintah Indonesia menyatakan tanggal tersebut sebagai tanggal beredarnya Oeang Republik Indonesia (ORI) dimana uang Jepang, uang NICA, dan uang Javasche Bank tidak berlaku lagi. ORI pun diterima dengan perasaan bangga oleh seluruh rakyat Indonesia. Mata uang yang dicetak itu ditandatangani oleh Alexander Andries Maramis (15 mata uang periode 1945-1947). Mengingat keberhasilan mencetak uang emisi pertama adalah kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, maka 30 Oktober disahkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia. Untuk menghargai jasa A.A Maramis, maka gedung Department of Financien atau gedung Daendels diberi nama gedung A.A Maramis. Gedung ini menjadi pusat kerja Menteri Keuangan selaku pimpinan Departemen Keuangan Republik Indonesia saat menjalankan tugasnya sehari-hari. Seiring dengan kebutuhan akan koordinasi antar unit, sejak tahun 2007 gedung Menteri Keuangan dipindah ke Gedung Djuanda 1 yang berlokasi di seberang gedung A.A Maramis. Menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara juncto Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, serta merujuk pada surat edaran Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Nomor SE-11 MK.1/2010 tentang perubahan Nomenklatur Departemen Keuangan menjadi Kementerian keuangan, maka sejak 2009, Departemen Keuangan resmi berubah nama menjadi Kementerian Keuangan. Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
45
Lintas Peristiwa
Lagi, Kemenkeu Raih Penghargaan Pengelola JDIH Terrbaik
19 08 /
Teks dan Foto Biro KLI
Kementerian Keuangan menerima penghargaan sebagai pengelola Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) terbaik pertama tingkat kementerian/ lembaga (K/L) tahun 2014. Penghargaan diserahkan langsung oleh Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM di Bandung pada 17-19 Agustus 2015. Tahun lalu Kementerian Keuangan juga memperoleh penghargaan yang sama. Pemberian penghargaan ini mengacu pada hasil evaluasi penilaian Tim Penilai bagi anggota Jaringan Dokumentasi dan Jaringan Informasi Hukum Nasional Tingkat K/L dan Rekomendasi Tim Pembina dan Pengembangan JDIH tahun 2014.
24 08 /
Teks dan Foto Biro KLI/Kukuh P.
23 08 /
Teks dan Foto DJA
DJA Antikorupsi
46
MediaKeuangan
Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan mengadakan pameran foto, lomba pembuatan poster dan tagline dengan tema “DJA Anti Korupsi”. Rangkaian kegiatan ini sebagai implementasi Strategi Komunikasi Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi di lingkungan DJA. Pameran dan lomba yang berlangsung mulai tanggal 23 Agustus 2015 tersebut tersebut dibuka oleh Dirjen Anggaran. Kegiatan tersebut juga mengadakan sosialisasi tentang gratifikasi, yang disampaikan oleh Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menkeu Tinjau Pasar Murah di Rusunawa Marunda
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang P.S. Brodjonegoro meninjau kegiatan bakti sosial berupa pasar murah sembako dan pelayanan kesehatan gratis di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara pada Jumat (24/08). Kegiatan dalam rangka peringatan HUT RI ke-70 ini dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan lembaga di bawah naungan Kementerian Keuangan, seperti PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, PT Geo Dipa Energi, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
10 09 /
01 09 /
Teks dan Foto DJP
DJP dan Pemprov DKI Luncurkan Gerai Layanan Terpadu
Direktur Jenderal Pajak Sigit Priyadi Pramudito bersama Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama meresmikan Gerai Layanan Terpadu di Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat, pada Selasa (01/09). Gerai ini merupakan hasil kerjasama antara Direktorat Jendral Pajak (DJP) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Gerai layanan ini akan beroperasi setiap hari kerja mulai pukul 10.00 – 15.00 WIB. Layanan yang diberikan kepada wajib pajak berupa pendaftaran NPWP, pelayanan, dan konsultasi pembuatan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP) di wilayah Tanah Abang.
Teks dan Foto DJKN
DJKN Berkomitmen Bebas Gratifikasi Seluruh pejabat eselon II Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) menandatangani Pernyataan Komitmen Penerapan Program Pengendalian Gratifikasi pada Kamis (10/9). Hal ini merupakan wujud nyata komitmen DJKN untuk menjadi institusi yang bersih, bebas dari gratifikasi. Penandatanganan komitmen yang disaksikan oleh Grup Head Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Edi Suryanto ini dilakukan di sela rangkaian acara Rapat Kerja Terbatas (Rakertas) Direktorat Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain 2015.
DJP Terima Penghargaan APAC Innovation Award
17 09 /
Teks dan Foto DJPB Edisi K h u su s D J UA N DA
Bertempat di Ballroom Hotel Pacific Place, pada Kamis (17/09), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerima penghargaan Red Hat APAC Innovation Award dari Red Hat Inc. Penghargaan ini diberikan atas inovasi pada platform OpenSource dalam berbagai aplikasi yang dikembangkannya, khususnya e-Registration dan e-Faktur. Penghargaan yang diterima DJP ini setingkat Asia Pasifik. Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi (TTKI), Iwan Djuniardi yang mewakili DJP, menerima penghargaan langsung dari Damien Wong, Senior Director & General Manager, Red Hat Asean. Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
47
Lintas Peristiwa
Agenda
1-2/10
1/10
18 09 /
Pemusnahan 5.886 Karung Ballpres
2-6/10 2/10
Teks dan Foto DJBC
Bertempat di Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Khusus Kepulauan Riau (Kepri), Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro bersama Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi melaksanakan pemusnahan 5.886 karung berisi pakaian bekas (ballpres). Penyitaan dilakukan oleh DJBC Tanjung Balai Karimun pada Jumat (18/09). Pakaian bekas adalah barang larangan dan pembatasan karena akan merusak industri tekstil dan garmen dalam negeri. Berdasarkan laporan dari Kanwil DJBC Kepri, negara mengalami kerugian mencapai Rp 8miliar jika pakaian bekas tersebut beredar di masyarakat.
2/10 5-14/10
BMN Award, di Dhanapala Investor Gathering dan Launching ORI012 dengan Bank bersama, di Mezzanine Keynote speaker dalam konferensi Creader 2015 di Hotel Dharmawangsa Annual Meeting IMF-World Bank Menteri Keuangan dan Staf Ahli turut menghadiri di Peru Treasury Goes to Campus, di Universitas Brawijaya dengan tema GFS
ORI12 Usung Tema Pelestarian Terumbu Karang
5/10
21 09
RUU RAPBN 2016 dihadiri Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Anggaran, di Gedung MPR
7/10
Rapat Koordinasi Unit Layanan Pengadaan (ULP) daerah LPSE di Mezanine
Teks dan Foto Biro KLI
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan, Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) meluncurkan Obligasi Ritel Indonesia seri ORI12 di Aula Djuanda pada Senin (21/09). Tahun ini, tema yang diusung adalah “Terumbu Karang, Investasi Masa Depan”. Tema ini melanjutkan kepedulian kepada lingkungan seperti seri ORI sebelumnya. Sebagian hasil penjualan ORI12 akan disisihkan untuk pelestarian terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu, Jakarta. Tingkat kupon ORI12 adalah sebesar 9 persen/tahun, yang dibayarkan bulanan. Pembayaran kupon yang pertama akan dilakukan pada 15 November 2015, dan jatuh tempo pada 15 Oktober 2018. MediaKeuangan
Sosialisasi PMK 148/2015 dan PMK 149/2015 tentang Pembebasan Bea Masuk untuk badan Internasional dan Perwakilan Negara Asing, di Kantor Pusat DJBC
5/10
/
48
FGD Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2015, di Kanwil DJPB Prov Bali
22/10
Konferensi Pers Auditor Intern Pemerintah Pusat di Dhanapala
30/10
Launching Politeknik Keuangan Negara STAN di STAN Jurangmangu
Edisi K h u su s D J UA N DA
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
49
Regulasi
Tarik Investor dengan Diskon Pajak Badan Riviu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 159/PMK.010/2015 tentang Pemberian Pengurangan Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
B
erdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun pada kuartal I/2015 sebesar 4,7 persen dan di kuartal II/2015 mencapai 4,6 persen. Di tengah perlambatan ekonomi, Pemerintah membuat sejumlah kebijakan untuk mendorong investasi. Salah satu kebijakan yang dibuat ialah pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan atau tax holiday, khususnya untuk industri pionir. Instrumen pajak yang diatur dalam PMK Nomor 159/ PMK.0.10/2015 tersebut diharapkan mampu menjadi pengungkit pertumbuhan industri pionir yang dapat mendorong pengembangan sektor industri selanjutnya.
Kriteria Penerima Untuk menjadi industri pionir, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh sektor industri. Kriteria itu diantaranya yaitu memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi dan memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Selanjutnya, industri pionir sebagai Wajib Pajak (WP) badan yang melakukan penanaman modal baru sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2, diberikan fasilitas pengurangan PPh. Hal ini dilakukan sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang
50
MediaKeuangan
Penanaman Modal dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Sektor-sektor penerima fasilitas tax holiday dalam PMK ini diperluas dibanding PMK sebelumnya (PMK Nomor 130/PMK.010/2011). Bila dalam PMK Nomor 130/2011 hanya ada lima industri yang menerima fasilitas, maka dalam PMK Nomor 159/2015 terdapat sembilan industri. Adapun sembilan industri pionir yang bisa mendapatkan pengurangan PPh badan yaitu: 1) industri logam hulu; 2) penggilangan minyak bumi; 3) kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam; 4) permesinan yang menghasilkan mesin industri; 5) pengolahan berbasis hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan; 6) telekomunikasi, informasi, dan komunikasi; 7) transportasi kelautan; 8) pengolahan yang merupakan industri utama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK); dan atau 9) infrastruktur ekonomi selain menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Menkeu Pengambil Keputusan Utama Selain penambahan sektor industri, perubahan lain yang terdapat dalam PMK ini yaitu peran Menteri Keuangan (Menkeu) sebagai pengambil keputusan utama dalam pemberian permohonan
tax holiday. Jika sebelumnya komite verifikasi yang ditugaskan oleh Menkeu diharuskan untuk berkonsultasi dengan Menteri Koordinator Perekonomian dalam melakukan verifikasi pemohon tax holiday, maka dengan berlakunya PMK ini keharusan tersebut tidak diatur lagi. Begitu pula aturan mengenai konsultasi Menkeu dengan Presiden terkait permohonan tax holiday, sudah tidak dicantumkan.
Jangka Waktu dan Persentase Tax Holiday Guna mendorong investor, pengurangan PPh badan dapat diberikan hingga 100 persen dan paling sedikit 10 persen dari jumlah PPh badan yang terutang. Adapun jangka waktu pengurangan PPh badan paling lama 15 tahun dan paling singkat 5 tahun. Jangka waktu tersebut bahkan dapat diperpanjang hingga 20 tahun apabila mempunyai nilai strategis demi mempertahankan daya saing nasional. Jangka waktu ini berubah dari ketentuan sebelumnya yaitu antara 5 hingga 10 tahun. Disisi lain, besaran rencana investasi ditetapkan kurang dari Rp1 triliun dan paling sedikit Rp500 miliar. Bagi investor yang ingin memperoleh fasilitas pengurangan PPh badan, mereka dapat menyampaikan permohonan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Permohonan tersebut kemudian
didiskusikan dengan kementerian terkait dan diverifikasi oleh komite verifikasi. Berlakunya PMK Nomor 159/2015 memperpanjang pengusulan fasilitas tax holiday yang sebelumnya telah berakhir pada 15 Agustus 2015 berdasarkan 192/PMK.011/2014.
Perketat Pengawasan Wajib Pajak Selain memperlonggar ketentuan tax holiday untuk menarik investor, pemerintah juga memperketat pengawasan bagi investor atau WP yang telah mendapatkan fasilitas keringanan pajak.
Edisi K h u su s D J UA N DA
Dalam ketentuan Pasal 9, PMK ini mengatur sejumlah larangan bagi WP yang telah mendapatkan fasilitas pengurangan pajak maksimal 20 tahun pajak. Pertama, WP dilarang mengimpor atau membeli barang modal bekas yang direlokasi dari negara atau perusahaan lain sebagai realisasi penanaman modal yang
mendapatkan fasilitas pengurangan PPh badan. Kondisi ini sejalan dengan penghitungan fasilitas tax holiday yang dimulai sejak tahun pajak dimulainya produksi secara komersial. Kedua, investor dilarang melakukan kegiatan utama usaha yang tidak sesuai dengan rencana bidang usaha penanaman modal dan tidak termasuk dalam cakupan industri pionir selama jangka waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan PPh badan. Ketiga, pengusaha dilarang melakukan relokasi penanaman modal ke provinsi lain di Indonesia atau ke luar negeri sejak tahun pajak dimulainya dan sampai dengan lima tahun pajak sejak berakhirnya jangka waktu pemanfaatan tax holiday. Hal ini dimaksudkan agar kelompok industri yang ingin dikembangkan sesuai serta tidak dilakukan pada wilayah yang berbeda dari rencana pengembangan wilayah keinginan pemerintah. Keempat, sejak tahun pajak dimulainya hingga lima tahun sejak berakhirnya pemanfaatan tax holiday, tidak diperbolehkan mengubah metode
tax ay d i l o h pembukuan untuk menggeser laba atau rugi dari periode pemanfaatan fasilitas pengurangan PPh badan ke periode setelahnya, begitu pula sebaiknya. Termasuk di dalamnya metode pengakuan penghasilan dan/atau biaya, serta metode penghitungan depresiasi dan/atau persediaan. Kelima, dilarang melakukan pemindahtanganan aset dan/ atau kepemilikan WP badan yang mendapatkan tax holiday selama jangka waktu pemanfaatan insentif pajak itu. Namun, aturan larangan ini dikecualikan bagi WP yang melakukan pemindahtanganan aset dan menggantinya dengan aset yang lebih produktif. Selain itu, pemindahtanganan aset juga bisa dilakukan jika WP melakukan pengalihan kepemilikan kepada WP yang telah mendapatkan surat keterangan fiskal atau melakukan pengalihan kepemilikan melalui mekanisme listing di bursa saham (go public).
Teks Budi Sulistyo
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
51
Buku
Djuanda Membangun Bangsa
B
uku ini mengisahkan perjalanan hidup Ir. H. Djuanda Kartawidjaja mulai dari masa kecil, masa kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (saat ini Institut Teknologi Bandung), hingga perjalanan kariernya menuju Perdana Menteri Republik Indonesia. Semasa hidup, Djuanda menjadi saksi pergolakan politik Indonesia sebelum dan setelah kemerdekaan. Buku ini disusun oleh Prof. Dr. Awaloedin Djamin, MPA, mantan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia periode 1978-1982 sekaligus menantu Djuanda. Awaloedin menuturkan, buku ini disusun untuk mengenang 30 tahun wafatnya Djuanda. Selain berisi kisah perjalanan hidup Djuanda, buku ini juga berisi cerita-cerita kenangan yang ditulis oleh keluarga dan rekan Djuanda. Beberapa keluarga dan tokoh yang menyumbangkan tulisan adalah Poppy Awaloedin Djuanda (putri pertama Djuanda), Rahmi Hatta (putri Mohammad Hatta), Prof. Dr. Emil Salim (mantan Menteri Perhubungan), Rosihan Anwar (wartawan senior), dan sebagainya. Tahun 1946 merupakan titik tolak Djuanda sebagai pemimpin. Saat itu, Djuanda yang dikaruniai lima orang anak itu menjabat sebagai Kepala Djawatan Kereta Api. Setelah itu, ia dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk memegang berbagai jabatan penting, seperti Menteri Perhubungan (1946-1949 dan
52
MediaKeuangan
Judul: Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator, dan Teknokrat Utama (Pahlawan Nasional) Penerbit: Kompas Kota Terbit: Jakarta Tahun Terbit: 2001 Deskripsi Fisik: 410 halaman ISBN: 9799251576
1950-1953), Menteri Pekerjaan Umum (1948), Menteri Kemakmuran 1949-1950), Menteri Negara Urusan Perencanaan (1956-1957), Menteri Pertama/Perdana Menteri (19597-1959), dan Menteri Keuangan (1959-1962). Bahkan ia beberapa kali dipercaya menggantikan jabatan Presiden saat Presiden Soekarno harus melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri. Selain menduduki jabatan sebagai menteri di kursi kabinet, Djuanda juga pernah menjabat sebagai Direktur Biro Perancang Negara (BPN) dari tahun 1954-1956. Djuanda adalah pelopor Rencana Pembangunan Lima Tahun dan Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956-1960). BPN inilah yang menjadi cikal bakal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) saat ini. Prof. Dr. Emil Salim (Mantan Menteri Perhubungan tahun 1975-
1978) juga berbagi kenangan terhadap Djuanda. Djuanda memiliki perangai yang sopan, sederhana, dan tidak banyak bicara. Hidup Djuanda sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan negara, lanjut Emil. Dalam buku tersebut, Emil yang saat itu masih menjadi mahasiswa Universitas Indonesia menceritakan pertemuannya dengan Djuanda. Djuanda sebagai Direktur BPN mengirim tenagatenaga muda di daerah untuk bertukar pendapat dengan para gubernur guna mengetahui keinginan daerah. Emil menjadi salah satu mahasiswa yang beruntung mendapat kesempatan itu. Djuanda adalah seorang insinyur yang sangat cerdas yang memilih untuk tidak berpartai. Keinginannya untuk membangun Republik Indonesia sangat kuat dibandingkan tokoh pergerakan Indonesia lainnya yang cenderung mengutamakan kepentingan partai. Saat melakukan kunjungan ke Mesir tahun 1958, Djuanda ditanya oleh salah satu wartawan, “Anggota partai apa?” kemudian ia menjawab “Tidak menjadi anggota sesuatu partai apa pun, kecuali hanya menjadi anggota Muhammadiyah.” Kepergiannya yang begitu cepat di usia 52 tahun meninggalkan luka mendalam keluarga dan rekanrekannya. Abdoel Wahab, Sekretaris Kabinet saat Djuanda menjabat sebagai Perdana Menteri, memberikan penuturan mengenai Djuanda sebagai atasan. “Dalam memimpin kabinet,
Kunjungi Perpustakaan Kementerian Keuangan dan Jejaring Sosial Kami: Gedung Djuanda I Lantai 2 Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1 Jakarta Pusat
Perpustakaan Kemenkeu Perpustakaan Kementerian Keuangan @kemenkeulib www.perpustakaan. kemenkeu.go.id
Buku Fiksi Terpopuler A Thousand Splendid Suns Khaled Hosseini Rp500 Ribu Keliling Singapura Claudia Kaunang Jenghis Khan: Legenda Sang Penakluk Dari Mongolia John Man Kilatan Pedang Tuhan: Sebuah Novel tentang Perang Salib Kamran Pasha Tuesday With Morrie Mitch Alborn
Buku Non-Fiksi Terpopuler Accounting Principles, 9th Edition Jerry J. Weygandt Matematika Ekonomi Wahyu Widayat Pengelolaan Keuangan Negara-Daerah: Hukum, Kerugian Negara, dan Badan Pemeriksan Keuangan Abdul Halim
Teori Makroekonomi Edisi Kelima N. Gregory Mankiw
Dasar-Dasar Ekomometrika Edisi Ketiga Jilid 2 Damodar N. Gujarati
Awaloeddin, penyusun buku Ir. H. Djuanda. Foto Tino Adi Prabowo
beliau sama sekali tidak menonjol, tidak bersikap dominan. Beliau senantiasa minta para Menteri mengajukan pendapat. Kemudian didiskusikan, barulah diambil keputusan,” jelasnya. Wafatnya Djuanda pada 6 November 1963 membawa kesedihan bagi seluruh rakyat Indonesia. Djuanda mengalami serangan jantung hebat Edisi K h u su s D J UA N DA
usai menikmati hidangan pada acara pembukaan sebuah ruang makan di Hotel Indonesia. Mendengar kabar duka itu, Presiden Soekarno segara datang ke Jalan Merdeka Selatan, tempat kediaman resmi Djuanda sebagai Menteri Pertama. Keesokan harinya, seluruh surat kabar mengumumkan berita wafatnya Djuanda. Begitu pula dengan siaran radio yang berulang kali mengumumkan kabar duka itu ke seluruh Indonesia. Demikian kisah hidup Djuanda diceritakan dengan lengkap, apik, dan tertata. Buku ini merupakan bagian dari sejarah jatuh bangunnya negara Republik Indonesia. Kehadiran Djuanda tak pernah lepas dari proses sejarah
politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan Republik Indonesia pada periode sebelum dan setelah kemerdekaan. Dengan membaca buku ini, pembaca akan menemukan sosok negarawan yang rendah hati, jujur, sederhana, dan rela berjuang keras demi kesejahteraan rakyat. Djuanda adalah sosok inspiratif yang patut dijadikan panutan di tengah krisis kepemimpinan negeri ini. Pribadi Djuanda yang sederhana namun berani dalam mengambil keputusan ini terlukis dalam sampul buku karya pelukis kawakan, Henk Ngantung.
Peresensi Krishna Pandu Pradana
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
53
Jalan-Jalan
Segarnya Alam Tahura Djuanda Tahukah Anda Taman Hutan Raya Ir. H Djuanda (Tahura Djuanda) berfungsi sebagai “paru-paru” kota Bandung? Hanya berjarak sekitar 5km dari pusat pemerintahan, kawasan pelestarian alam ini sangat mudah untuk dijangkau. Media Keuangan kali ini berkesempatan menjelajahi rimbunnya hutan yang terletak di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Bandung, Jawa Barat ini. 54
MediaKeuangan
T
ahura Djuanda membentang dari daerah Pakar sampai Maribaya Bandung Utara. Awalnya, kawasan ini lebih dikenal sebagai hutan lindung Gunung Palasari dan Taman Wisata Alam Curug Dago. Semua informasi mengenai Tahura Djuanda dapat diperoleh di Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Kawasan ekosistem pinggir sungai ini terletak pada ketinggian 770 hingga 1330 meter di atas permukaan laut dengan kelembaban 70-90 persen. Tanahnya didominasi jenis andosol dengan kesuburan yang tinggi. Menurut skala Schmidt dan Fergusson, tipe iklim di tempat ini termasuk tipe B (basah) dengan curah hujan berkisar antara 30004500 milimeter per tahun. Di tempat ini, pengunjung bisa menikmati kesejukan dan kesegaran alam Bandung yang jauh dari keramaian serta bebas polusi. Nama Djuanda disematkan sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi dan jasa Perdana Menteri terakhir Indonesia yang juga Menteri Keuangan ke sebelas.
Monumen Ir. H. Djuanda. Curug Omas. Jalur pejalan kaki di area hutan. Foto Ari Kuncoro
Apalagi Djuanda adalah satu putra terbaik kebanggaan Jawa Barat. Taman hutan raya pertama di Indonesia ini diresmikan pada 14 Januari 1985 oleh Presiden Soeharto, bertepatan dengan tanggal kelahiran Djuanda. Tahura Djuanda merupakan area wisata alam sekaligus sejarah. Untuk dapat masuk pengunjung cukup membeli tiket masuk seharga Rp10.000. Beragam kegiatan bisa dilakukan dalam area hutan seperti lintas alam, penelusuran goa, study tour atau sekedar piknik bersama keluarga. Melewati pintu gerbang, pengunjung langsung disambut monumen Ir. H. Djuanda di pelataran utama. Tepat di samping monumen, terdapat museum yang menyajikan Edisi K h u su s D J UA N DA
koleksi medali dan foto-foto peninggalan Djuanda. Museum ini juga menyimpan koleksi herbarium dan artefak manusia prasejarah. Tak jauh dari museum, terdapat Goa yang dibangun oleh tentara Jepang tahun 1942. Goa ini dimaksudkan untuk kepentingan pertahanan, setelah sebelumnya pemerintah sipil Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang. Pembangunan goa ini dilakukan dengan mengerahkan tenaga pribumi secara paksa (romusha). Jika menelusuri hutan lebih jauh, pengunjung akan menjumpai Goa peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1941. Fungsi awal goa ini adalah sebagai terowongan penyadapan air Sungai Ci Kapundung untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Saat perang kemerdekaan, goa ini beralih berfungsi menjadi pusat stasiun radio telekomunikasi militer Hindia Belanda. Saat pendudukan Jepang, Goa Belanda beralih fungsi kembali sebagai gudang mesiu. Bukit dan lembah curam adalah pemandangan umum di sini. Beragam flora eksotik tumbuh berdampingan dan mudah dijumpai di sepanjang jalan setapak menuju air terjun (curug). Mulai dari Curug Dago, Curug Koleang, Curug Kidang, Curug Lalay hingga Curug Omas di hulu merupakan aliran sungai Ci Kapundung yang meliuk-liuk menyerupai selendang Dayang Sumbi. Curug Omas berasal dari aliran lava
basalt yang membeku dan membentuk tingkat-tingkat setinggi 30 meter. Ketika dialiri oleh air dari mata air dan hujan, terbentuklah aliran di hulu yang menjadi sungai Ci Gulung dan air terjun yang indah. Tidak ada informasi yang dapat dijadikan acuan mengenai asal-usul nama Curug Omas. Namun, kamus sunda lama memaknai Omas sebagai bilangan 400 dan sering dipergunakan untuk menyebut sesuatu yang berjumlah banyak. Itulah mengapa setelah Curug Omas, akan dijumpai beberapa curug lain yang tidak kalah indahnya. Pengunjung bebas menjelajah area hutan seluas 590 hektar ini. Pihak pengelola sudah menyediakan jalur pejalan kaki sehingga pengunjung lebih leluasa mengenal flora dan fauna yang ada di sekitar kawasan hutan. Semakin masuk ke dalam hutan, kontur tanah akan semakin menanjak. Oleh karena itu, sebaiknya pengunjung menggunakan alas kaki yang nyaman. Selain sebagai tempat rekreasi, keberadaan Tahura Djuanda sangat krusial bagi daerah sekitarnya. Semua pihak perlu membantu pengelolaan dan pemanfaatan kawasan ini secara bijak. Bila kelestariannya terjaga, fungsi-fungsi ekologi, ekonomis, dan estetisnya akan terus bermanfaat bagi generasi kini dan nanti.
Peresensi Ari Kuncoro
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
55
Selebriti
P
Bermanfaat Bagi Sekitar Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia. Berlarilah tanpa lelah, sampai engkau meraihnya.
Foto Gondo Harto
etikan lirik original soundtrack Laskar Pelangi benar-benar menggambarkan kehidupan nyata Aqil Barraq Badarudin Seman Said Harun. Tetralogi ‘Laskar Pelangi’ yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa membuktikan bahwa lelaki yang lebih dikenal dengan nama Andrea Hirata ini merupakan salah satu penulis yang berhasil merevolusi sastra Indonesia. Berbicara mengenai pendidikan, pria kelahiran Belitung, 24 Oktober 1976 ini mengapresiasi berdirinya Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di tanah air. Menurut lulusan Universitas Sheffield Hallam, Britania Raya ini, LPDP merupakan lembaga yang dapat membantu anak Indonesia meraih impiannya. “Saya tak menyangka. Dulu rasanya sulit memperoleh beasiswa. Selama ini kita hanya memiliki beasiswa dari negara orang, sekarang kita sudah punya. Artinya kita sudah sejajar dengan negara lain. Terharu, Indonesia kini memiliki attitude dengan menyiapkan lembaga beasiswa yakni LPDP,” ujarnya. Pada acara diskusi buku bertajuk ‘Ayah’ yang diselenggarakan oleh Pustaka Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, di aula gedung R. M. Notohamiprodjo, Senin (24/8) lalu, Andrea membagi pengalaman hidupnya. Diakui Andrea, sebelum memutuskan fokus dibidang sastra, dirinya merupakan seorang pegawai swasta. Andrea pun menantang para pegawai Kementerian Keuangan yang notabene berlatar belakang ekonomi. “Ayo berani tidak seperti saya. Basic ekonomi lalu berputar haluan. Saya yakin (bakat) pegawai disini tertahan oleh pekerjaan yang sifatnya birokrat. Ayo keluar dari zona nyaman, berbuat yang lebih. Tidak harus keluar dari sini karena posisi ini sudah bermanfaat bagi orang banyak. (Caranya) Kita harus banyak membaca. Manfaat terbesar dari membaca ialah inspirasi,” kata pria yang baru kembali dari International Writing Program 2010 di IOWA University ini. Inspirasi itulah yang membuat Andrea berhasil menggapai mimpinya. Kini, dirinya tidak lagi memandang hal yang sifatnya materi belaka. Andrea lebih memilih menjadi seseorang yang dapat memberikan manfaat bagi daerah sekitarnya. “Saya ini harus kembali ke Belitung. Membangun ‘museum kata’, (yang) merupakan salah satu cikal bakal tourism culture”, ungkapnya.
Teks Syahrul Ramadhan
56
MediaKeuangan
Edisi K h u su s D J UA N DA
Vo l. X N o. 97 / O k to b e r 2015
57
58
MediaKeuangan