Observasi Karakteristik Perairan Selat Bali Melalui Pendekatan Insitu Dan Numerik Wingking Era Rintaka Siwi1, Bayu Priyono1, Teguh Agustiadi1 1
Balai Penelitian dan Observasi Laut, Jl. Baru Perancak, Negara, Jembrana, Bali email:
[email protected]
ABSTRAK Balai Penelitian dan Observasi Laut melakukan penelitian mengenai “Model ekosistem untuk memprediksi kesuburan perairan” tahun 2012-2013 yang mewakili musim barat dan musim timur pada bulan Januari dan Juni. Survei laut mengambil data suhu dan klorofil untuk menggambarkan karakteristik perairan berdasarkan pendekatan insitu maupun model numerik. Dari sisi besarnya usaha yang diperlukan, pendekatan model numerik akan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pengukuran insitu, karena dengan pendekatan numerik dapat membuat suatu prediksi karakteristik perairan yang dipengaruhi oleh fenomena oseanografi di perairan selat Bali. Perairan selat Bali merupakan daerah potensial penangkapan lemuru (Bali sardenella). Produksi lemuru di perairan ini berfluktuasi setiap tahun. Fluktuasi tersebut tidak terlepas dari pengaruh fenomena oseanografi seperti upwelling yang dilihat dari suhu dan klorofil. Pengamatan kontinyu (time series) suhu dan klorofil-a akan sulit dilakukan karena memerlukan waktu dan biaya yang mahal sehingga diperlukan pendekatan model numerik dan observasi sebagai validasinya. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji data-data dan informasi observasi karakteristik perairan Selat Bali melalui pendekatan insitu maupun numerik. Pendekatan insitu dilakukan dengan pengukuran parameter suhu, salinitas dan klorofil dengan mengggunakan CTD (conductivity temperature depth). Pendekatan numerik parameter suhu dari HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) dan klorofil-a dengan perhitungan empiris Gaussian. Data bathimetri diperoleh dari peta dunia GeoMap. Hasil observasi baik insitu maupun numerik menunjukkan pada musim timur suhu permukaan laut di perairan selat Bali relatif lebih rendah dibandingkan pada musim barat, begitu juga dengan konsentrasi klorofil-a musim timur lebih tinggi dibandingkan musim barat terutama terlihat di lapisan permukaan sampai dengan kedalaman 20 m. Kata kunci : observasi, selat Bali, insitu, numerik
Observation Of Bali Strait Using Insitu And Numerical Modelling Approach ABSTRACT Field observation of a research program called “Ecosystem Model to Predict the Water Fertility” by IMRO has done in 2012-2013. We measured temperature and chlorophyll-a used as representation of the water environment and as numerical model validation. We consider that the effort for developing the numerical model can be more effective and efficient than continuous field measurement and the numerical model approach can be used to predict the water environment at Bali Strait. Bali Strait is a potential catching area of Lemuru (Bali sardenella). This fish production is fluctuating every year that can be caused by the oceanographic phenomenon at Bali Strait, including upwelling. This upwelling can be shown from the temperature and chlorophyll-a profile from the field observation. Because the long field observation would take more effort and cost, numerical model can provide solution to understand the phenomenon and its influence to water environment. This research purpose is to review data and information of characteristic of Bali Strait water using field observation and numerical model. The field measurement was done using the CTD (conductivity temperature depth) instrument. For the numerical model approach we used the HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) for temperature and Gaussian empirical calculation for chlorophyll-a. The bathymetry was acquired from GeoMap global. Both field observation and numerical model showed that the surface temperature at Bali Strait was lower during the east monsoon than during west 13
monsoon. Chlorophyll-a concentration was higher during east monsoon during west monsoon especially in the surface layer up to 20 meter depth. Keywords: Observation, Bali Strait, numerical model
PENDAHULUAN Perairan selat Bali merupakan daerah potensial penangkapan lemuru (Bali sardenella). Produksi lemuru di perairan ini berfluktuasi setiap tahunnya. Fluktuasi tersebut tidak terlepas dari pengaruh fenomena oseanografi yang diobservasi melalui karakteristik perairan. Salah satu fenomena yang terjadi di perairan selat Bali adalah fenomena upwelling. Upwelling akan mengangkat massa air dari dasar perairan ke permukaan untuk mengisi kekosongan akibat berpindahnya massa air permukaan ikut membawa nutrien dalam jumlah yang besar. Secara fisis daerah upwelling ditandai dengan massa air dengan suhu yang lebih dingin, dan salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Secara kimiawi ditandai dengan tingginya zat hara (fosfat dan nitrat) dan secara biologis umumnya ditandai dengan tingginya kandungan plankton atau klorofil-a. Semakin tinggi konsentrasi klorofil-a pada suatu perairan maka semakin tinggi pula kelimpahan fitoplanktonnya (Prezelein, 1981). Parameter suhu dan klorofil-a merupakan indikator utama upwelling di perairan selat Bali. Pengamatan suhu dan klorofil-a yang kontinyu (time series) akan sulit dilakukan karena memerlukan waktu dan biaya banyak, untuk itu diperlukan pendekatan model numerik dan observasi sebagai validasinya. Paper ini berisi mengenai kajian data-data dan informasi hasil penelitian observasi karakteristik perairan Selat Bali baik melalui pendekatan insitu maupun numerik yang dilakukan tahun 20122013. LOKASI STUDI Wilayah observasi insitu dan numerik dilakukan di perairan selat Bali dengan batas koordinat 8.10 °S – 8.90 °LS dan 114.25 °BT – 115.25 °BT seperti terlihat pada Gambar 1, dimana titik-titik merah adalah statsiun pengukuran insitu dengan CTD (conductivity temperature depth), kotak hitam stasiun pengukuran insitu untuk validasi model numerik.
14
Gambar 1. Wilayah penelitian dan stasiun validasi model di perairan Selat Bali METODE OBSERVASI INSITU DAN NUMERIK Observasi insitu parameter suhu, salinitas dan klorofil dengan mengggunakan CTD (conductivity temperature depth). Metode observasi numerik parameter suhu menggunakan hasil keluaran HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) dan menggunakan perhitungan dari persamaan empiris Gaussian untuk parameter klorofil-a. Metode Observasi Insitu Metode observasi insitu parameter suhu, salinitas dan klorofil dengan mengggunakan CTD (conductivity temperature depth). CTD adalah instrumen yang digunakan untuk mengukur karakteristik air seperti suhu, salinitas, tekanan, kedalaman, dan densitas. Secara umum, sistem CTD terdiri dari unit masukan data, sistem pengolahan, dan unit luaran. Unit masukan data terdiri dari sensor CTD, rosette, botol sampel, kabel koneksi dll. Sensor berfungsi untuk mengukur parameter karakteristik fisik air laut yang terdiri dari sensor tekanan, temperatur, dan konduktivitas. Botol sampel berfungsi sebagai wadah sampel air sedangkan rosset berfungsi untuk mengatur penutupan botol. Kabel koneksi berfungsi sebagai penompang, dan juga berfungsi sebagai pengantar sinyal. Telekomando akan memberikan sinyal kepada rosset untuk menutup botol secara berurutan, setelah mengambil sampel air laut. Unit pengolah terdiri dari sebuah unit pengontrol CTDS (CTD Sensor) dan komputer yang dilengkapi perangkat lunak. Unit pengontrol berfungsi sebagai pengolah sinyal CTD, penampil hasil pengukuran serta pengubah sinyal analog ke digital. CTD mengontrol setiap kegiatan akusisi dan pengambilan sampel serta kalibrasi. Setiap penekanan tombol fungsi sesuai pada menu, maka printer akan mencetak posisi, kedalaman, salinitas, konduktifitas dan temperatur sehingga kronologis kegiatan pengoprasian CTD dapat terekam. Sensor adalah sebuah piranti yang mengubah fenomena fisika menjadi sinyal elektrik. CTD memiliki tiga sensor utama, yakni sensor tekanan, sensor temperatur, dan sensor untuk mengetahui daya hantar listrik air laut (konduktivitas). Sensor tekanan merupakan sensor 15
yang memanfaatkan hubungan langsung antara tekanan dan kedalaman. Sensor ini terdiri dari tahanan yang berbentuk seperti jembatan wheatsrone kemudian dinamakan strain gauge. Strain gauge merupakan alat resistansi yang berubah ketika mendapat tekanan. Tahanan ini akan memegang peranan ketika mendapat gaya dalam bentuk fisika seperti tekanan, beban (berat), dan lain-lain Sensor temperatur adalah sensor yang berpengaruh terhadap suatu hambatan, dalam bentuk termistor. Termistor (tahanan termal) merupakan alat semikonduktor yang berperan sebagai tahanan dengan besar koefisien tehanan temperatur yang tinggi dan biasanya bernilai negative. Alatini terbuat dari campuran oksida-oksida logam yang diendapkan seperti mangan, nikel, kobalt dll. Sensor konduktofitas merupakan sensor yang mendeteksi adanya nilai daya hantar listrik di suatu perairan. Sensor ini merupakan sensor yang terdiri dari tabung berongga danempet buah terminal elektroda platina-rhodium di belakang sisinya. Sebagai sensor yang melewati nilai konduktifitas maka rata-rata hasil proses dalam pengukuran akan melewati nilai rendah (low pass fliter). Sensor ini akan mulai mengukur ketika alat telah bergerak masuk kedalam air sampai pada posisi yang diinginkan. Sebenarnya sensor ini mengukur nilai konduktifitas untuk mengetahui nilai salinitas atau kadar garam di sebuah perairan sacara tidak langsung. Pada Prinsipnya teknik pengukuran pada CTD ini adalah untuk mengarahkan sinyal dan mendapatkan sinyal dari sensor yang menditeksi suatu besaran, kemudian mendapatkan data dari metode multiplexer dan pengkodean (decode), kemudian memecah data dengan metode enkoder untuk di transfer ke serial data stream dengan dikirimkan ke kontrolunit via cabel. CTD diturunkan ke kolom perairan dengan menggunakan winch disertai seperangkat kabel elektrik secara perlahan hingga ke lapisan dekat dasar kemudian ditarik kembali ke permukaan. CTD memiliki tiga sensor utama, yakni sensor tekanan, sensor temperatur, dan sensor untuk mengetahui daya hantar listrik air laut (konduktivitas). Pengukuran tekanan pada CTD menggunakan strain gauge pressure monitor atau quartz crystal. Tekanan akan dicatat dalam desibar kemudian tekanan dikonversi menjadi kedalaman dalam meter. Sensor temperatur yang terdapat pada CTD menggunakan thermistor, termometer platinum atau kombinasi keduanya. Sel induktif yang terdapat dalam CTD digunakan sebagai sensor salinitas. Pengukuran data tercatat dalam bentuk data digital. Data tersebut tersimpan dalam CTD dan ditransfer ke komputer setelah CTD diangkat dari perairan atau transfer data dapat dilakukan secara kontinu selama perangkat perantara (interface) dari CTD ke komputer tersambung. Data suhu, salinitas, konduktivitas dan klorofil yang telah tertransfer ke komputer tidak langsung dilakukan pengolahan, tetapi harus dilakukan tahap filtering data. Filtering data dimaksudkan untuk menghilangkan data noise pada saat pengukuran. Data noise terjadi kerena pengaruh gesekan alat dengan kapal, hanyutnya tali CTD saat penurunan/pengangkatan oleh angin, arus, maupun gelombang. Setelah data dilakukan filtering kemudian data diolah menggunakan software Ocean Data View (ODV) untuk mengetahui karakteristik perairan melalui visualisai penampang melintang suhu, klorofil di perairan selat Bali . Ocean Data View (ODV) adalah software 16
yang dikembangkan oleh Prof. R. Schlitzer dari Alfred Wegener Institute for Polar and Marine Research, Bremerhaven, Germany. Software ODV yang bisa diakses gratis di (http://odv.awi.de/en/home/). ODV dapat digunakan secara langsung dengan format data yang direkam dari CTD. Metode Observasi Numerik Pendekatan numerik parameter suhu (sea surface temperature, SST) menggunakan keluaran dari HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) dan klorofil-a menggunakan perhitungan dari persamaan empiris Gaussian. HAMSOM merupakan salah satu model laut yang telah banyak digunakan dan diterapkan di dunia . HAMSOM dibangun sebagai model hidrodinamika 3D dan merupakan sebuah model baroklinik (Backhaus, 1987) dimana perubahan densitas dan gaya pembangkit atmosfer diperhatikan dalam simulasi ini. Persamaan utama yang digunakan dalam model ini adalah persamaan momentum, persamaan vertikal hidrostatik, persamaan kontinuitas, dan persamaan kekekalan temperatur dan salinitas. Model ini telah pula diterapkan untuk perairan Indonesia dan telah menjalani proses validasi yang cukup baik untuk perairan Indonesia, khususnya Indonesia bagian barat (Putri, 2005). Data bathimetri diperoleh dari peta dunia GeoMap dengan resolusi 200 meter x 200 meter terhadap lintang dan bujur digunakan sebagai pembatas lapisan eufotik dan pengontrol perhitungan klorofil. Data suhu memiliki resolusi horizontal 5 x 5 menit atau 9 km x 9 km yang mempunyai 30 lapisan kedalaman dari 3 meter sampai dengan 10.455 meter, sehingga perlu dilakukan regridding pada sumbu x dan y menjadi 200 meter x 200 meter. Data klorofil yang digunakan adalah data klorofil vertikal hasil pengukuran observasi bulan Juni dan September 2012 dan permukaan bulan Januari dan April dari citra satelit Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang diakses melalui http://www.science.oregonstate.edu/ ocean.productivity/. Data pengukuran lapangan digunakan untuk mendapatkan lima koefisien parameter pembentuk model Gauss bulan Juni dan September. Selanjutnya model Gauss tersebut masing-masing digunakan untuk menghitung klorofil vertikal secara spasial di selat Bali pada bulan Januari, April, Juni dan September dengan acuan data klorofil permukaan dari satelit. Data klorofil permukaan MODIS merupakan rata-rata bulanan dengan resolusi 9 km x 9 km sehingga dilakukan regriding pada sumbu x dan y menjadi 200 meter x 200 meter sesuai dengan resolusi bathimetri. Kemudian klorofil vertikal hasil perhitungan Model Gauss dibandingkan terhadap data observasi tahun 2012 dan 2013 untuk pengujian data. Kedua pendekatan baik insitu maupun numerik tersebut mewakili dua musim yaitu musim barat dan musim timur. HASIL DAN PEMBAHASAN OBSERVASI INSITU DAN NUMERIK Berdasarkan hasil dan pembahasan observasi insitu dan numerik karakteristik perairan Selat Bali untuk parameter suhu dan klorofil adalah sebagai berikut : 17
Observasi Insitu Suhu dan Klorofil-a Berdasarkan dari hasil pengukuran insitu dengan menggunakan CTD yang dilakukan pada April, Juni dan September 2013 terlihat bahwa secara spasial suhu permukaan laut (SPL) bervariasi untuk pengukuran April, Juni dan Agustus 2013 (Gambar 2). SST pada April 2013 berkisar 26,5-29,5 °C cross section dari barat (Pulau Jawa) ke timur (Pulau Bali). SST di perairan sisi timur sebesar 29,5 °C lebih hangat dibandingkan perairan sisi barat yaitu 26,5 °C. Suhu minimum ditemukan di kedalaman 55-60 m sebesar 26 °C. SST pada Juni 2013 relatif seragam dibanding pengukuran pada April yaitu berkisar 29,5-30 °C. Seperti yang terjadi pada April dan Juni SST sisi timur relatif lebih hangat dibandingkan sisi barat. Suhu minimum ditemukan pada kedalaman 90-100 m yaitu berkisar antara 26-26,5 °C. SST pada Agustus 2013 lebih dingin dibandingkan pada April dan Juni, begitu juga suhu di kedalaman 55-60 m lebih dingin yaitu mencapai 20-22 °C dan akan semakin turun dengan bertambahnya kedalaman, seperti di kedalaman 90-100 m dimana suhu minimum mencapai 17,5-20 °C. Di kedalaman yang sama pada Agustus, temperatur relatif lebih dingin dibandingkan pada April (26 °C) maupun Juni 2013 (26-26,5 °C), hal ini dimungkinkan karena pada Agustus telah memasuki musim timur, dimana pada saat musim ini SST perairan selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara relatif rendah yang akan berpengaruh terhadap perairan selat Bali. Hendiarti et.al. (2005) menyampaikan bahwa kondisi oseanografi Selat Bali dipengaruhi oleh angin muson. Pada saat berlangsungnya angin muson tenggara/musim timur (Juni-Agustus) suhu relatif rendah dan konsentrasi klorofil-a meningkat, sedangkan musim barat (Desember-Februari) akan berlaku sebaliknya. Parameter suhu dan klorofil-a merupakan indikator utama dalam menentukan terjadinya upwelling di suatu perairan, dimana saat upwelling ditandai dengan pengangkatan massa air dingin dari dasar ke permukaan yang menyebabkan penurunan SST dan peningkatan konsentrasi klorofil perairan. Suhu April 2013
Suhu Juni 2013
Suhu Agustus 2013
Gambar 2. Observasi suhu hasil pengukuran insitu perairan Selat Bali Kondisi upwelling di selat Bali selain dilihat dari konsentrasi SST juga bisa dilihat dari konsentrasi SSC (sea surface chlorophyll) di perairan tersebut. Berdasarkan hasil 18
pengukuran CTD terlihat distribusi spasial SSC (sea surface chlorophyll) juga terlihat bervariasi untuk tiap-tiap pengukuran pada April, Juni dan Agustus 2013. Pada April 2013 berkisar 0,02-0,04 mg/m3 cross section dari barat (Pulau Jawa) ke timur (Pulau Bali), terlihat di lapisan permukaan di pertengahan selat nilai klorofil minimum sebesar 0,02 mg/m3 sedangkan klorofil maksimum berkisar antara 0,05-0,06 mg/m3 terlihat di kedalaman 20-25 m di perairan mendekati Pulau Jawa. Konsentrasi SSC meningkat pada Juni 2012 menjadi 11,5 mg/m3, klorofil minimum masih ditemui di lapisan permukaan pertengahan selat seperti pada April dengan nilai konsentrasi meningkat menjadi 0,5 mg/m3, sedangkan konsentrasi maksimum berkisar antara 2-2,25 mg/m3 pada Juni ditemukan di kedalaman 35-60 m di perairan mendekati Pulau Jawa. Pada Agustus konsentrasi maksimum berada di kedalaman 35-60 m pada Juni bergerak naik hingga kedalaman 20 m sampai permukaan (Gambar 3). Secara spasial pada Agustus konsentrasi SSC paling tinggi (2-6 mg/m3), hal ini memperkuat pernyataan sebelumnya oleh Hendiarti et al. (2005) yaitu pada saat musim timur perairan selat Bali mendapatkan pengaruh upwelling dari perairan selatan Jawa, Bali dan Nusa tenggara yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi klorofil. Pada saat musim timur yang diwakili pengukuran pada Juli dan Agustus 2012 di perairan selat Bali, konsentrasi klorofil maksimum ditemukan di kedalaman 23-25 m dengan nilai berkisar antara 4,61-6,53 mg/m3 (Rintaka dkk., 2013).
Klorofil-a April 2013
Klorofil-a Juni 2013
Klorofil-a Agustus 2013
Gambar 3. Observasi klorofil-a hasil pengukuran insitu perairan Selat Bali. Observasi Hasil Keluaran Model Suhu dan Klorofil-a Suhu permukaan laut menggunakan data reanalisis keluaran model HAMSOM rata-rata dari Januari, April, Juni dan September sebagai perwakilan dari setiap musimnya (Gambar 4). Pada saat musim barat (northwest monsoon) yang diwakili bulan Januari SST berkisar antara 27,1-28,9 0C dimana terlihat nilai SST lebih tinggi dan akan terus bergerak menurun memasuki awal musim peralihan I pada April menjadi 26,5-27.1 0C. Pada saat memasuki musim timur (southeast monsoon) pada Juli SST berkisar antara 25,3-26,1 0C dan semakin 19
menurun sampai dengan awal musim peralihan II, pada September terlihat minimum dengan kisaran 24,3-25,1 0C. Sachoemar & Yanagi (2000) menyatakan bahwa pada saat musim barat (northwest monsoon) Januari-Maret SST Samudera Hindia selatan Jawa berkisar 28-29 0C dan menurun pada April-Mei berkisar 28-27 0C, saat memasuki musim timur (southeast monsoon) pada Juni-September SST semakin turun sampai dengan 25 0C. Hasil penelitian yang lain dilakukan oleh Ridla dan Hartoko (2012) berdasarkan citra Satelit Aqua MODIS rata-rata bulanan tahun 2012 terlihat SST musim timur menunjukkan kisaran suhu (22-28 0C) lebih rendah dari pada musim barat dengan kisaran suhu 27-30 0C
Januari
April
Juni
September
Gambar 4. Observasi suhu permukaan laut hasil keluaran model HAMSOM Fenomena upwelling terlihat jelas dari distribusi vertikal suhu rata-rata bulanan (Gambar 5) yang melintang dari barat ke timur (dari Pulau Jawa ke Pulau Bali). Pada saat musim barat yang diwakili Januari, massa air hangat dengan suhu 25,5-27,5 0C terdistribusi hingga mencapai kedalaman 60 m. Pada saat memasuki musim peralihan I (April), massa air dingin tersebut bergerak ke permukaan hingga kedalaman 50 m dan akan terus bergerak ke permukaan saat memasuki musim timur (Juli) di kedalaman 40 m dan terjadi penurunan suhu menjadi 25-26 0C. Pada saat memasuki musim peralihan I suhu akan terus menurun hingga mencapai 25 0C di kedalaman 23 m. Hal ini mengindikasikan pada saat musim timur sekitar Juli-September di perairan Selat Bali terjadi pengangkatan massa air dingin dari dasar ke permukaan, yang secara fisis ditandai dengan suhu permukaan yang lebih dingin dan salinitas yang lebih tinggi. Terlihat pada Juli-September suhu permukaan lebih rendah dan berdasarkan distribusi vertikal massa air dingin di kedalaman 23-30 m dan pada Januari-April massa air dingin bergerak ke dasar hingga kedalaman 50-60 m. Berdasarkan 20
hasil keluaran model terlihat terjadi pengangkatan massa air dingin dari dasar ke permukan saat memasuki musim timur (Juli-September), dan massa air dingin akan bergerak turun saat memasuki musim barat sampai berakhirnya musim peralihan I (Januari-April).
Januari
April
Juni
September
Gambar 5. Observasi suhu vertikal kedalaman hasil keluaran model HAMSOM Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa secara fisis daerah upwelling ditandai dengan pengangkatan massa air yang bersuhu lebih dingin dan bersalinitas yang lebih tinggi dibanding dengan daerah sekitarnya dan secara biologis umumnya ditandai dengan tingginya kandungan plankton atau klorofil-a. Semakin tinggi konsentrasi klorofil-a pada suatu perairan maka semakin tinggi pula kelimpahan fitoplanktonnya (Prezelein, 1981). Daerah upwelling mendapatkan masukan nutrien yang tinggi dari lapisan kedalaman, semakin tinggi konsentrasi nutrien, semakin tinggi pula konsentrasi klorofil-a dan diikuti dengan peningkatan kelimpahan fitoplankton yang merupakan makanan utama bagi lemuru. Konsentrasi klorofil-a hasil keluaran model rata-rata dari Juni – Juli (M. Peralihan I), Agustus – September (M.Timur), Oktober – November (M. Peralihan II) seperti terlihat pada Gambar 6. Pada saat musim peralihan I (Juni – Juli) (3,0-3,4 mg/m3) terlihat konsentrasi klorofil-a minimum dibandingkan pada musim timur bulan Agustus September (3,3-4,5 mg/m3) dan musim peralihan II bulan Oktober – November (0,5-3,3 mg/m3). Konsentrasi klorofil-a maksimum terlihat pada Agustus – September – Oktober, terlihat tinggi di pesisir timur selat Bali terutama barat daya pulau Bali dan di pesisir selatan Jawa timur Semenanjung Belambangan/perairan tenggara Banyuwangi.
21
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Gambar 6. Observasi klorofil-a permukaan laut hasil keluaran model empiris Gausian Berdasarkan hasil keluaran model sebaran horizontal tersebut terlihat konsentrasi rata-rata bulanan klorofil-a tertinggi pada Agustus – September – Oktober, hal ini memperkuat pernyataan sebelumnya oleh Hendiarti et al. (2005) yaitu pada saat musim timur perairan selat Bali mendapatkan pengaruh upwelling dari perairan selatan Jawa, Bali dan Nusa tenggara. Kondisi ini ditandai dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a, dimana pada musim timur di perairan selatan Pulau Jawa – Bali terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mg/L dan pada musim barat sekitar 0,18 mg/L. Berdasarkan hasil analisa dari citra satelit MODIS rata-rata bulanan pada 2012 yang dijelaskan sebelumnya, sebaran klorofil-a di perairan selat Bali pada saat musim timur adalah lebih tinggi 22
dibandingkan pada musim barat (Ridla & Hartoko, 2012). Kandungan klorofil-a musim timur berkisar antara 0,09-3,9 mg/m3, sedangkan musim barat rata-rata 0,01-0,9 mg/m3.
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Gambar 7. Observasi klororil-a vertikal kedalaman hasil keluaran keluaran model empiris Gausian Fenomena upwelling terlihat jelas dari distribusi vertikal klorofil-a dari barat – timur (Jawa –Bali) yang diwakili di lintang 8,7 °LS (Gambar 7). Konsentrasi klorofil-a terlihat tinggi pada Juni – Juli yaitu 2,3-5 mg/m3 di kedalaman 5-23 m dan mencapai maksimum pada Agustus sekitar 5 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a permukaan tinggi saat memasuki musim timur sampai dengan berakhirnya musim timur, dimana terjadi pengangkatan massa air dingin dari dasar ke permukaan yang membawa nutrien dengan konsentrasi klorofil-a tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela, 1984). Semakin memasuki musim barat (Oktober-November) 23
pengangkatan konsentrasi klorofil-a tinggi ke permukaan semakin berkurang, dengan kata lain bahwa konsentrasi klorofil-a terangkat mendekati permukaan (upwelling) pada saat musim timur dan bergerak ke kedalaman (down-welling) pada saat memasuki musim barat. Upwelling di perairan selat Bali terjadi pada awal musim timur dan berakhir pada akhir musim peralihan. KESIMPULAN Di dalam kegiatan observasi karakteristik perairan Selat Bali 2012-2013 telah diperoleh banyak data dan informasi serta beberapa publikasi nasional mengenai karakteristik perairan Selat Bali baik hasil pengukuran insitu maupun hasil keluaran model numerik. Observasi karakteristik perairan Selat Bali berdasarkan hasil insitu maupun analisa keluaran model numerik menunjukkan bahwa pada saat muson tenggara (southeast monsoon), suhu permukaan laut (SPL) perairan selat Bali lebih rendah dan konsentrasi klorofil-a lebih tinggi dibandingkan pada saat berlangsungnya muson baratlaut (nortwest monsoon). Konsentrasi klorofil-a maksimum terutama terlihat di kedalaman permukaan sampai kedalaman 20 m. Metode observasi insitu maupun pendekatan pemodelan numerik bisa memberikan gambaran yang cukup akurat mengenai karakteristik perairan termasuk fenomena upwelling di perairan Selat Bali. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tim penelitian “Model Ekosistem Untuk Memprediksi Kesuburan Perairan” atas kerjasama saat survey maupun saat pengolahan dan analisis data perairan Selat Bali serta tidak lupa disampaikan penghargaan tertinggi yaitu kepada Kepala Balai dan Observasi Laut, Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, atas dana DIPA Penelitian 2012-2013. DAFTAR PUSTAKA Backhaus, J. O. and D. Hainbucher. (1987). A finite-difference general circulation model for shelf seas and ist application to low frequency variability on the North European Shelf. In: Three–dimensional Models of Marine and Estuarine Dynamics. J.C.J. Nihoul and B.M. Jamart (eds.), pp.221-244, Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam Hendiarti, N., E. Suwarso, Aldrian, K. Amri, R. Andiastuti, S. Sachoemar, & I.B. Wahyono. (2005). Seasonal Variation of Pelagis Fish Catch Around Java. Oceanography, 18(4): 112-123 Prézelein, B.B. (1981). Light Reactions in Photosynthesis Dalam: Physiological Bases of Phytoplankton Ecology (T. Piatt ed.) Canadian Bulletin of Fish, and Aquatic Science 210:1-43. Putri, M. R. (2005). Study of Ocean Climate Variability (1959-2002) in the Eastern Indian Ocean, Java Sea and Sunda Strait Using the HAMburg Shelf Ocean Model, Disertasi Doktor. Universit¨at Hamburg. 24
Rintaka. W.E, Setiawan. A, Susilo. E, Trenggono. M. (2013). Variasi Sebaran Suhu, Salinitas dan Klorofil terhadap Jumlah Tangkapan Lemuru di Perairan Selat Bali saat Muson Tenggara. Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan X ISOI 2013 Suhendar, I.S., & Yanagi, T. (2000). Seasonal variation in surface temperature java derived from NOAA AVHRR. La mer 38 : 65-75, 2000 Sociêté franco-japonaise d’océanographie, Tokyo Valiela, I., (1984). Marine Ecological Processes. Library of Congress Catalogy in Publication Data, New York,USA
25