MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN (KAJIAN KEPENDIDIKAN)
Muh. Anis Dosen Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Abstrak This article discusses the concept of human beings in the Qur'an based on educational perspective. Humans are perceived as beings who have capacity to reflect and think. The function of Islamic education is to help students developing this intellectual capacity in order to make them able to grasp and absorb the God mystery in the universe. However, the author argues that Islamic education not only emphasizes on intellectual exercise, but educating the heart as well since it is the place o/iman. Thus, Islamic education emphasizes both intellectual and mind aspects.
A. Konsep tentang Manusia Di mata iman kita, al-Qur'an adalah hudan (Q.S. 2: 2, Q.S. 16: 89, Q.S. 27: 2, 77, Q.S. 31: 3), dan ini menempati posisi sentral dalam studi Pendidikan Islam. la sebagai sumber inspirasi dan motivasi untuk berpikir kreatif. Selama kita belum menempatkan al-Qur'an sebagai hudan (petunjuk) dalam mencipta, mengembangkan intelektual dan hati, berarti kita belum mainpu memahami elan dasar al-Qur'an. Orang yang ingin mengetahui secara tuntas sistem Pendidikan Islam, ia harus memahami konsep tentang manusia menurut alQur'an, sebab manusialah yang mempunyai dominasi terhadap proses pendidikan. Sifat yang sesungguhnya dari sistem Pendidikan Islam dan perbedaannya dari sistem pendidikan yang lain hanya dapat dipahami dengan semestinya jika konsep tentang manusia menurut al-Qur2 an dipahami. Dalam al-Qur'an manusia dinyatakan dengan kata al~nas (240 kali), al insan (64 kali), al-insu (16 kali) al-basyar (37 kali) bam adam (7 kali) dan khalifah/khalaif (6 kali). Dari ayat-ayat al-Qur'an yang menggelar tentang manusia dapat direkam beberapa hal yaitu: 1. Kejadian dan tugas manusia 2. Manusia sebagai makhluk berpikir dan merasa 3. Manusia sebagai makhluk beragama. KcperntidiW Islam, Vol. 3, No. 2, Juli-DesemUr 2008
69
1. Kejadian dan Tugas Manusia Informasi pertama kali yang diberikan oleh al-Quran, manusia diciptakan Allah dari al-'alaq (Q.S. 96 : 2). Dalam ayat Iain diungkapkan: manusia diciptakan dari saripati dari tanah (Q.S. 23: 12), dari setctes air mani yang bercampur (Q.S. 76: 2), dari air rnani yang memancar (Q.S. 75: 37) dari tanah yang kering (Q.S. 55: 14), dari tanah yang kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk (Q.S. 15: 26). Ayat-ayat yang senada dapat ditemui dalam Q.S. 15: 28, Q.S. 30: 54, Q.S. 40: 67, Q.S. 53: 45, 46, Q.S. 80: 18, 19, Q.S. 95: 4, Q.S. 77: 20, Q.S. 56: 57, 58, Q.S. 75: 37, 38, Q.S. 37: 11, Q.S. 76: 2, Q.S. 36: 77, Q.S. 16: 4, Q.S. 40: 67, Q.S. 35: 11, Q.S. 86: 6, Q.S. 25: 54, Q.S. 32: 8, 7. Al-Qur'an di satu sisi mengungkapkan bahwa manusia diciptakan dari nuthfah, air yang terpancar, mani serta dari air yang hina. Keempat hal tersebut mengandung unsur yang sama yaitu unsur air. Nuthfah arti aslinya setetes air dan dinamai nuthfah karena ia merupakan setetes air,1 sedang air yang terpancar adalah mani yang diciptakan dari laki-laki yang memancar ke rahim. Mani mengandung unsur air. Di sisi lain al-Qur'an menginformasikan bahwa manusia diciptakan dari sari pati tanah (Q.S. 23: 12), dari turab (Q.S. 22: 5), dari tanah kering yang berasal dari lumpur hitam yang dibentuk (O.S. 15: 26). Ketiganya menunjukkan unsur tanah. Jadi manusia dijadikan dari sari pati tanah dan sari pah tanah adalah air. Manusia dijadikan dari turab (tanah yang gembur). Tanah yang gembur adalah tanah yang mengandung air. Manusia dicipta dari lumpur hitam yang dibentuk. Lumpur adalah tanah yang banyak mengandung air. Telaah tersebut dapat dimaknai bahwa al-Qur'an menjelaskan: manusia diciptakan dari unsur air di satu sisi dan dari unsur tanah di sisi yang lain, tidak ada kontroversi. Al-Maraghi mengungkapkan bahwa air mani berasal dari makanan dan makanan berasal dari tanah.2 Di samping itu ada yang memahami manusia pertama dicipta dari tanah dan manusia selanjutnya dari nuthfah.3 Terlepas apakah manusia dijadikan dari tanah atau dari nuthfah, keduanya adalah materi. Hal ini bermakna bahwa manusia diciptakan oleh Allah Swt. dari unsur materi. Dengan demikian manusia tidak dapat lepas dari materi. 1
2 3
Abi Abdillah, Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, tt, Tafsir alQurthubi, Dari Sya'bi (t.t.: t.w.), 5398. Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Beirut, 1972), 88. Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, II; 4404.
"7Q
Teori Pcnikelajaraii dalaiu 1'nnl.i Mb.;.m Koiistnimivisme... (Slimmaii)
Manusia diciptakan Allah Swt. melalui pentahapan, yaitu dari nuthfah, kemudian menjadi 'alaqah, dari 'alaqah menjadi mudghah (segumpal daging), dari mudghah menjadi tulang-belulang, kemudian tulang itu dibungkus dengan daging, lalu dijadikan makhluk yang lain (Q.S. 23: 12, 13, 14). Ayat ini inenunjukkan perkembangan manusia dalam rahim (prenatal) dan sekaligus memberi informasi bahwa manusia mengandung unsur materi. Kemudian jika kita simak penutup ayat tersebut kemudian dikaitkan dengan Q.S. 15: 29 yang mengungkapkan: maka jika Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Aku telah meniupkan ruh ciptaanKu, maka tunduklah kamu dengan sujud (Q.S. 15: 29), maka dapat direkam makna bahwa manusia adalah makhluk monodualis, dia jasmani sekaligus ruhani. Di samping informasi tentang perkembangan manusia di dalam rahim (prenatal) al-Qur'an juga mengumandangkan tentang perkembangan manusia di luar rahim (postnatal) yang dapat diklasifikasi dalam tiga periode yaitu: 1) Masa anak yang diungkapkan Q.S. 22: 5, lumma nukhrijukum *rifa (kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi). 2) Masa dewasa. Hal ini diinformasikan Q.S. 22:5, ]umma litablughit asyuddakum (kemudian dengan berangsur-angsur kamu sampailah kepada kedewasaan). 3) Masa tua. Hal ini dinyatakan Q.S. 22: 5 waminkum man yuraddu Ha ar-^alil umur (dan di antara kamu ada yang dipanjangkan umurnya sampai pikun) dan di dalam ayat lain Q.S. 40:67 dinyatakan dengan ]umma litakunu syuyukha (kemudian dibiarkan kamu hidup sampai tua). Anak di kala lahir tidak tahu apa-apa (Q.S. 16: 78) secara berangsur-angsur mengalami perkembangan pengetahuan intelektual dan pengalamannya sesuai dengan tahap perkembangannya, mulai dari thifl (anak), ke tablughu asyud (dewasa) dan ke masa syuyukha (tua). Al-Qur'an dalam berbagai ayat menggelar tugas hidup manusia di dunia yaitu sebagai hamba Allah Swt. Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menjadikan kamu dan orang sebelum kamu (Q.S. 2: 21). Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaKu (Q.S. 51: 56). Mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Q.S. 9: 31). Dan mereka tidaklah disuruh kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas kepadaNya dalam menjalankan agania yang lurus (Q.S. 98: 5). Al-Qur'an juga mengetengahkan bahwa manusia di samping bertugas sebagai hamba Allah, juga sebagai khalifah di bumi. KepcnJidilun Islam, Vol. 3, No. 2, Juli-D ese ml>er 2008
~J\
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi (Q.S. 2: 30). Hat Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi (Q.S. 38: 26), Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah di bumi (Q.S. 6: 165, Q.S. 35: 39). "
2. Manusia sebagai Makhluk Berpikir dan Merasa Manusia sebagai ciptaan Allah yang paling unik dan paling dahsyat. Sesungguhnya Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk (Q.S. 95: 4). Dan Kami telah muliakan anak-anak Adam (Q.S. 17:70). Manusia adalah makhluk yang paling baik dibanding dengan makhluk lain di dunia ini,4 manusia diberi perangkat 'aql dan dia makhluk monodualis, jasmani sekaligus ruhani. Keberadaan manusia sebagai makhluk paling baik itu akan luntur dan berubah ke kondisi paling hina jika ia tidak konsisten dengan iman dan amal shalih (Q.S. 95: 5). Manusia dikaruniai 'aql oleh Allah agar digunakan untuk berpikir dan merasa. Banyak ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan hal ini. Allah sering kali menginstruksikan kepada manusia untuk berpikir. Tantangan Allah kepada manusia untuk berpikir sering dinyatakan dengan kata 'aqala, faqiha, dabbara, tafakkara dan naz?ara. Kata 'aqala digunakan dalam berbagai ayat misalnya dalam al-Qur'an: ka~rdlika yubayyinulldh lakum aydti la'allakum ta'qilun. (Q.S. 2: 242) Demikianlah Allah menerangkan bagimu ayat-ayat-Nya agar kamu sekalian berpikir (Q.S. 2: 242). Kata 'aqala juga dapat ditemui dalam Q.S. 2: 73, 75, 76, 169,170,171,246. Q.S. 3: 25, 118. Q.S. 5: 58, 103, Q.S. 6: 32, 151, Q.S. 7: 169, Q.S. 10: 16, 42, 100. Q.S. 11: 51, Q.S. 11: 51. Q.S. 12: 2, 109. Q.S. 21: 10, 67, Q.S. 23: 80, Q.S. 24: 61, Q.S. 26: 37, Q.S. 28: 60, Q.S. 36: 62, Q.S. 37: 138. Q.S. 40: 67, Q.S. 43: 3, Q.S. 57: 18, Q.S. 67: 10. Q.S. 69: 43, Q.S. 8: 22, Q.S, 13: 4, Q.S. 16: 12, 27, Q.S. 22: 46, Q.S. 25: 44, Q.S. 45: 5, Q.S. 50: 14. Kata 'aql kadang digunakan oleh al-Qur'an sebagai padanan kata qalb sehingga 'aqal bukan hanya bermakna rasio, tetapi juga mengandung makna hati yang berfungsi untuk merasa. Dengan demikian 'aql berfungsi untuk berpikir dan merasa. Qalb juga mempunyai fungsi untuk berpikir dan merasa. Lahum qulub ya'qiluna bihd mereka mempunyai hati (quliib) yang dengan hati itu mereka memahaminya (Q.S. 22: 46).
4
Ibid., 3910.
"72
TeoriftuJjelajaraii Jalani Pamlaiigaii Koiistruklivisme.
Kata faqiha (memahami dengan sungguh-sungguh) digunakan oleh al-Qur'an dalam berbagai ayat. Untuk memahami sesuatu, manusia bukan hanya menggunakan pikirnya tetapi juga harus melibatkan hatinya. Lafaz faqiha dapat ditemui dalam Q.S. 4: 78, Q.S. 6: 65, Q.S. 7: 179, Q.S. 8: 65, Q.S. 9: 81, 87, 122, 127, Q.S. 11: 91, Q.S. 17: 44, Q.S. 18: 57, 93, Q.S. 20: 28, Q.S. 48: 15, Q.S. 59: 13, Q.S. 65: 3, 7. Kata tafakkara digunakan oleh al-Qur'an seperti dalam ayat wayatafakkaruna fi khalq al-samdwati wa al-ard'.i (Q.S. 3: 191). (dan mereka memikirkan tentang langit dan bumi). Kata tafakkara dapat juga ditemui dalam Q.S. 2: 219, 266, Q.S. 3:196, Q.S. 6: 50, Q.S. 7:174, Q.S. 10: 24, Q.S. 13: 3, Q.S. 16: 11, 44, 69, Q.S. 39: 42, Q.S. 45: 13. Kata naz?ara dengan arti memperhatikan dapat ditemui dalam berbagai ayat misalnya dalam Q.S. 88: 17, afala yanz?uruna ild al ibili kaifa khuliqat (apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dijadikan). Memperhatikan sesuatu bukan sekedar melihat sesuatu dengan indranya saja tetapi dituntut adanya keterlibatan aspek pikir. Ayat-ayat yang menggunakan kata nazlara dapat ditemui dalam Q.S. 16: 33, Q.S. 35: 43, Q.S. 36: 49, Q.S. 37: 19, Q.S. 59: 67, Q.S. 42: 45, Q.S. 43: 66, Q.S. 47: 18, Q.S. 51: 44, Q.S. 83: 23, 35, Q.S. 4: 50, Q.S. 5: 75, Q.S. 6: 24, 46, 65, Q.S. 7: 74, 103, 143, Q.S. 10: 39, 73, Q.S. 17: 21, 48, Q.S. 20: 97, Q.S. 27: 14, 28, 51, Q.S. 3: 137, Q.S. 6: 11, Q.S. 7: 86, Q.S. 10: 101, Q.S. 16: 36, Q.S. 27: 69, Q.S. 29: 20, Q.S. 30: 42, Q.S. 6: 99. Dari telaah terhadap berbagai kata yang digunakan oleh alQur' an dapat direkam makna bahwa manusia adalah makhluk Allah yang diberi perangkat oleh Allah, yang dengan perangkat itu manusia mampu berpikir dan merasa. Jika manusia tidak mempunyai kemampuan berpikir dan merasa pasti Allah Swt. tidak akan menginstruksikan kepada manusia untuk berpikir dan merasa. Manusia berpikir dengan rasionya dan dengan berpikir itu manusia menghasilkan ilmu dan teknologi. Manusia merasa dengan hatinya dan disinilah iman bersemi. Tetapi Allah membuat kamu cinta iman dan menjadikannya indah dalam hatimu (Q.S. 49: 7). Pendidikan mempunyai tugas untuk mengembangkan kedua aspek tersebut. Dengan kata lain pendidikan mempunyai misi untuk mengembangkan pikiran dan perasaan manusia dengan baik dan wajar. Tentunya pendidikan juga tidak melupakan bahwa unsur jasmaniah ada dalam kawasan garapannya amal saleh. Ilmu dan iman dimanifestasikan secara lahiriah dalam bentuk. Dengan demikian pendidikan itu harus mengembangkan ilmu, iman dan amal saleh. KepentUiU,, 1,1am, Vol. 3, No. 2, Juli-IWmlwr 2008
73
3. Manusia sebagai Makhluk Beragama Menurut acuan yang dicanangkan al-Qur'an, manusia mempunyai fitrah beragama tauhid. Maka hadapkanlah mukamu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah itu yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan dari fitrah itu, itulah agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. 30: 30). Manusia telah diberi fitrah oleh Allah yaitu agama yang lurus (tauhid). Fitrah ini hams ditumbuh-kembangkan melalui Pendidikan. Fitrah beragama tauhid ini ternyata dapat tertutup sinarnya oleh pengaruh lingkungan (pendidikan). Hal ini dapat ditangkap dari sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh Rasulullah Saw. dalam al-sunnah. Seorang anak hanyalah dilahirkan dalam keadaanfitrah maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana binatang yang dilahirkan dengan sempurna anggota tubuhnya. Adakah kamu melihat hinatang dilahirkan buntung? (Muttafaq 'alaih). Betapapun seorang anak lahir mempunyai pembawaan (beragama tauhid), namun pembawaan itu tidak maha kuasa menentukan perkembangan anak. Hadist tersebut memberi kemungkinan kepada orang tuanya (lingkungan) mempengaruhi perkembangan anaknya sehingga menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi. Apa yang dikumandangkan oleh al-Qur'an dan al-sunnah bahwa manusia itu mempunyai fitrah beragama, tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun. Sangat relevan apa yang diungkapkan oleh seorang ahli Perbandingan Agama, Prof. Dr. A. Mukti Ali: Sejak dunia dikenal sejarah, perhatian umat manusia selalu ditujukan untuk mencari dasar-dasar spiritual dari hidupnya. Tidak satu masyarakat pun di dunia ini yang tidak mempunyai lembaga keagamaan.5
Hal ini berarti bahwa semua masyarakat di dunia ini membutuhkan agama. B. Kajian Kependidikan 1. Kejadian dan Tugas Manusia Al-Qur'an memberi acuan konseptual yang mendasar tentang manusia. Menurut al-Qur'an, manusia adalah ciptaan Allah. Oleh A. Mukti Ali, Etika Agama dalam Pembentukan Kepnbadian Nasional dan Pembcrantasan Keniaksiatan Dari Segi Agama Islam (Yogyakarta: Yayasan Nida7 1969), 7.
~7A
Teori Pemnela)aran. dalam Pamlaiigan Konstrufctivisi
sebab itu dimensi ilahiyah harus menjiwai setiap proses Pendidikan Islam. Pendidikan Islam tidak hanya bersifat antrofosentris tetapi juga harus bersifat teosentris. Terjauhnya pendidikan dari dimensi spiritual akan menjadikan manusia sekuler sebagaimana yang terjadi di dunia Barat Tidak dapat dipungkiri bahwa Pendidikan Barat yang sekularistik telah mendominasi dunia untuk beberapa abad. Pendidikan Barat memfokuskan kegiatannya kepada hal-hal yang bersifat material keduniaan, lepas dari ikatan spiritual transendental. Terlepasnya Pen-didikan Barat dari dimensi spiritual ini berakibat pemisahan ilmu dari hirarki nilai. Filsafat positivistik beranggapan bahwa ilmu itu obyektif, netral, bebas nilai. Hal ini tidak sesuai dengan konsep yang diungkapkan oleh al Qur'an.Orang yang menggeluti ilmu dengan bersungguh sungguh dan penuh semangat kuat ber-iqra2 (membaca, meneliti, mendalami, menghimpun) ayat-ayat Allah baik yang qauliyah (wahyu atau nash) maupun yang kauniyah (alam atau kosmos) terikat dengan nilai Ilahiyah (bismi rabbik). Bertitik tolak dari konsep manusia itu ciptaan Allah, maka pengembangan ilmu yang digarap oleh Pendidikan Islam harus bertitik tolak dari kesadaran "manusia sebagai hamba Allah". Manusia menggeluti ilmu untuk mengembangkan kcsadarannya sebagai hamba Allah Swt, untuk memupuk keimanannya bukan untuk mengerosi iman. Dengan makin banyak ilmu yang dikuasai, manusia mukmin akan makin dekat kepada Allah Swt. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (Q.S. 35: 28). Islam menginstruksikan agar keyakinan "manusia adalah hamba Allah" ditanamkan kepada peserta didik sedini mungkin. Orang tua selaku pendidik pertama dan utama harus siap melaksanakan pendidikan kepada anak sejak lahir. Perintah Rasul kepada orang tua agar mengazani anak yang baru lahir mengandung makna, orang tua harus mempunyai kesiapan untuk melaksanakan pendidikan agama kepada anak-anaknya. Perintah Rasullullah Saw. kepada para orang tua agar memerintahkan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat sejak umur 7 tahun, mengandung makna bahwa ibadah kepada Allah harus diajarkan sejak masih anak. Ibadah mempunyai kekuatan yang hebat untuk menumbuhkan keyakinan pada manusia bahwa ia adalah ciptaan Allah. Al-Qur'an mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk monodualis, ia jasmani sekaligus ruhani, dia materi sekaligus nonmateri. Pendidikan Islam mengacu kepada perkembangan jasmani dan ruhani manusia. Perkembangan ruhani meliputi intelektual dan moral spiritual. Kepeiididikan Ulara, Vol. 3, No. 2, Juli-De semper 2008
Hasil Pendidikan Barat yang kita saksikan sekarang ini adalah bergesernya manusia dari makhluk teosentris menjadi makhluk materialis. Ini sebagai akibat dari humanisme ateis yang disuarakan oleh Renaisans. Dengan penemuan manusia dalam bidang ilmu dan teknologi, manusia merasa menjadi superman. Namun tidak dapat dipungkiri, banyak hal yang tidak dapat dipecahkan dan dijawab oleh kreativitas otak manusia. Hal ini disebabkan oleh paradigma dan epistimologi yang mereka gunakan jauh dari nuansa spiritual transendental. Pendidikan Barat mengembangkan materialisme yang meyakini bahwa realitas kehidupan manusia hanyalah materi. Dampaknya, manusia menjadikan materi sebagai titik sentral. Salah satu akibatnya adalah semakin subur budaya materialistik hedonistik yang menjebol akar spiritual dalam kehidupan manusia dewasa ini dan hal ini sangat mengkhawatirkan kehidupan umat manusia. Pendidikan yang hanya mementingkan materi tidak diterima bahkan ditolak oleh Pendidikan Islam, sebab menurut konsep Islam, manusia terdiri dari aspek jasmani (materi) dan aspek ruhani (nonmateri) yang keduanya harus mendapat porsi untuk dikembangkan. Al-Qur'an dan al-sunnah berkali-kali memberi pesan kepada orang tua (pendidik utama) untuk menjaga anaknya dengan sebaikbaiknya dan jangan menelantarkannya. Menelantarkan anak adalah perbuatan dosa.6 Islam memberi acuan kepada umat manusia agar memperhatikan pemenuhan kebutuhan fisik dan psikisnya agardapat berkembang dengan wajar dan baik. Konsep menyusui anak yang dikumandangkan oleh al-Qur'an mempunyai makna yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan fisik anak. Orang tua mempunyai kewajiban untuk me-menuhi kebutuhan fisik anaknya. Rasulullah Saw. telah memberi pesan kepada orang tua tentang pemenuhan kebutuhan anak. "Diceritakan dari Husain bin Hasan al-Marwazi dari Ibn Mubaraq dari Harmalah dari Imran berkata: Saya mendengar ayah "Usyanah al-Maghfiri berkata: Aku mendengar Uqbah bin Amr berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda: barangsiapa yang mempunyai tiga orang anak kemudian sabar terhadap mereka itu dan memberi makan, minum, serta pakaian dari usahanya, akan menjadikan dia terhalang dari neraka di hari kiamat."7
Dalam hadis lain Rasulullah Saw. mengungkapkan tentang pemenuhan kebutuhan fisik anak dan orang tua (pendidik utama) yang memberikan pemenuhan kebutuhan fisik ini mendapat h 7
Dewan Ulama Al-Azhar, Child Care in Islam, terj. (Bandung: al-Bayan, 1987), 22. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (t.t.), 1210.
"76
leorl 1'i-iiilii'M j'ยป'.n> da lam Paimaiigan Koiistriiltlivisme...
penghargaan yang tinggi. Dari Miqdam bin Ma'di Karab berkata: Bersabda Rasulullah Saw.; sesuatu yang engkau berikan makan pada dirimu adalah sedekah dan apa yang kau berikan makan kepada anakmu adalah sedekah bagimu.8 Jika Rasulullah Saw. dalam hadis yang pertama memberi jaminan kepada orang tua (pendidik utama) yang memberi pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) anaknya berupa pintu neraka ditutup baginya, dan dalam hadis yang kedua Rasulullah memberi pahala shadaqah bagi orang tua yang memberi makan kepada anaknya, maka dapat dimaknai bahwa Rasulullah Saw. mempunyai perhatian yang serius terhadap pemenuhan kebutuhan fisik agar fisik itu dapat berkembang dengan baik dan wajar. Al-Qur'an menginstruksikan kepada orang yang beriman agar makan dari rizki yang baik (thayyibat) yang telah dirizkikan oleh Allah (Q.S. 2:172). Ini berarti bahwa orang tua dalam memberi makan kepada anak harus dengan makanan yang thayyibat. Thayyibat bermakna baik, utama, halal, suci dan lezat.9 Makanan yang thayyibat adalah makanan yang baik di-lihat dari dimensi cara memperolehnya dan baik dilihat dari dimensi zatnya. Baik dari segi cara mendapatkannya berarti makanan itu diperoleh dengan cara yang halal. Baik zatnya berarti makanan itu mengandung zat-zat yang bermanfaat bagi jasmani maupun jiwa manusia. Kajian tersebut dapat dimaknai bahwa orang tua dalam memberi makan kepada anak harus dengan makanan yang bergizi (bermanfaat bagi anak) dan makanan yang halal. Makanan yang bergizi sangat diperlukan bagi pertumbuhan jasmani, sedang makanan yang halal diperlukan guna pertumbuhan moral anak. Pendidikan bertugas untuk memelihara kekuatan fisik, menjaga kesehatan, melatih indra dan tangannya sehingga menjadi terampil.10 Imam al-Ghazali (1050-1111) seorang filosof Muslim yang concern terhadap masalah pendidikan dalam karya monumentalnya Ihya' Ulumuddin rnengungkapkan bahwa kesehatan jasmani sangat penting dalam pendidikan. Berdasar konsep dasar bahwa manusia itu terdiri dari jasmani dan ruhani maka pendidikan Islam sangat loyal terhadap perkembangan keduanya, bukan memihak pada salah satunya. Di samping * 9 10
Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad (Beirut: al-Maktab al-Islami, t.t), 131. Louis Ma'luf, Al-Munjid fi al-Lughah (Beirut, 1977), 377. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta'lim (Beirut: Dar alAhya al-Kutub al-Arabiyyah, 1950), 34.
KepernluliW IsUm, Vol. 3, No. 2, Juli-DesemUr 2008
77
membina pertumbuhan jasmani, Pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk menumbuh-kembangkan aspek ruhani. Islam memberi acuan konseptual yang mapan kepada pendidik untuk memenuhi kebutuhan anak guna pertumbuhan ruhaninya. Setiap manusia mempunyai kebutuhan dasar (basic need) yang bersifat psikis, yang meliputi kebutuhan rasa aman, rasa kasihsayang, rasa harga diri dan aktualisasi diri, rasa keindahan, rasa ingin tahu, rasa ingin sukses, dan kebutuhan rasa agama. Ajaran yang diungkapkan oleh al-Qur'an agar orang tua menyusui anak (Q.S. 2: 233) memberi sinyal kepada orang tua untuk memenuhi kebutuhan rasa aman dan rasa kasih-sayang, sebab menyusui mengandung makna memberi perhatian dan kasih sayang kepada anak dan sekaligus menumbuhkan rasa aman bagi anak, karena anak merasa hangat dan dekat dengan orang tua. Demikian juga ajaran Nabi agar orang tua memberi ciuman kepada anaknya, mengandung ajaran pemenuhan terhadap kebutuhan rasa kasih sayang dan rasa aman. Mencium anak adalah manifestasi dari perhatian dan rasa kasih sayang orang tua (pendidik utama) kepada anaknya. Orang-orang dari Arab datang kepada Nabi dan sebagian mereka bertanya: apakah kamu sekalian mencium anak-anakmu? Mereka menjawab: ya. Kemudian sebagian mereka berkata: Demi Allah, kami tidak pernah mencium anak kami. Maka Rasulullah bersabda: Adakah salah jika Allah mencabut rahmat dari hatimu?11 Rasulullah Saw. juga sangat memperhatikan kepada pemenuhan kebutuhan rasa harga diri dan aktualisasi diri. Ajaran Rasulullah kepada orang tua (pendidik utama) agar memberi nama yang baik kepada anak adalah salah satu aplikasi dari pemenuhan rasa harga diri, sebab nama yang jelek dapat mengakibatkan rasa rendah diri bagi yang memilikinya. Hak anak dari orang tuanya adalah dibaguskan namanya dan akhlaknya (H.R. al-Hakim). Konsep bermain yang ditawarkan oleh Rasulullah mengandung makna pemenuhan kebutuhan rasa aktualisasi diri. Dari Musadad dari Hamad dari Hasyim bin Urwah dari ayahnya dari 'Aisyah berkata: Aku bermain dengan anak-anak perempuan.12 Apa yang digaungkan oleh Rasulullah ini menunjukkan bahwa beliau mempunyai wawasan yang sangat luas dalam bidang pendidikan. Rost mengungkapkan bahwa permainan dapat memajukan aspek11 12
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, 1209. AbuDawud, Sunan Abu Dawud (t.t.), 230.
"78
Teori Pemfaelajar.iii (lalam Pamlangaii KoiistruRtivisme... (Sukiniaii)
aspek perkembangan motorik, kreativitas, kecakapan sosial, kognitif dan perkembangan motivasional dan emosional.13 Permainan juga dapat menumbuhkan rasa sosial pada manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat melepaskan diri dari orang lain. Konsep tolong-menolong yang dipesankan oleh al-Qur'an (Q.S. 5: 2) harus dikembangkan oleh pendidik didalam berbagai kegiatan guna menumbuh-kembangkan rasa sosial yang tinggi. Al-Qur'an memberi tuntunan agar manusia memperhatikan kepada pemenuhan kebutuhan rasa keindahan sebagaimana dipotret dalam al-Qur'an yang artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah (perhiasan) setiap memasuki masjid, makan dan minumlah serta jangan berkelebihan (Q.S. 7: 31). Sesungguhnya Kami jadikan apa yang di Bumi untuk menjadi perhiasan baginya (Q.S. 18: 7). Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.14 Pemenuhan rasa ingin tahu juga mendapat perhatian dari alQur'an. Perintah untuk bertanya kepada para ahli jika tidak tahu, sangat relevan dengan pemenuhan kebutuhan ini. Maka tanyakanlah olehmu kepada orang berilmu, jika kamu tidak mengetahui (Q.S. 16: 43, Q,S. 21: 7). Dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan rasa ingin tahu ini, Rasulullah Saw. memerintahkan kepada orang tua (pendidik utama) untuk mengajar keluarganya (anak dan istri) dengan sabdanya: Irji'u ila ahlikum wa'allimuhum, kembalilah kepada keluargamu dan ajarlah mereka (H.R. Bukhari). Mengajar mengandung makna memberi pemenuhan kebutuhan rasa ingin tahu. Konsep bermain yang dicanangkan Rasulullah, di samping memiliki makna mengembangkan rasa sosialisasi diri, juga mengandung makna mengembangkan rasa ingin tahu. Dalam kitab Kuh alTarbiyyah diungkapkan, bermain sangat sesuai dengan kondisi anak dan berfungsi menambah pengetahuan anak.15 Lazorus (1884), Shcaller (1941) mengungkapkan bermain sebagai kegiatan rekreatif. Untuk memenuhi kebutuhan rasa sukses, pendidik sangat perlu memberi pengakuan/penghargaan terhadap anak atas apa yang telah dia capai sesuai dengan kemampuan mereka. Rasulullah saw. memberi perintah kepada orang tua agar para orang tua menghargai anak (memuliakannya) dengan sabda beliau yang tetap aktual dengan segala situasi: akrimu auladakum wa ahsinu adabahum, 13
11 1F
Monks dan Knoers AMP, Psikologi Perkembangan, terj. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1982), 125-126. Ahmad bin Hambal, Kitab Musnctd, 133. Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta'lim, 144.
Kepemli.liU.ai, Islam, Vol. 3, No. 2, Juli-Desem),er 2008
79
muliakan anak anakmu dan baguskan akhlaknya.16 Kata akrimu yang berasal dari karama mengandung arti memuliakan, menghormati, member! kemudahan dan kebaikan.17 Salah satu aplikasi dari memuliakan anak adalah menghormati/ menghargai hasil karya anak. Hal ini sangat bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan rasa ingin sukses. Memberi kemudahan dan kebaikan kepada anak dapat berwujud rnemberi tugas kepada anak sesuai dengan kemampuan anak. Hal ini akan menumbuhkan rasa sukses pada anak. Untuk pemenuhan rasa agama, al-Qur'an dan al-sunnah memberi acuan yang mendasar kepada pendidik bagaimana rnemberi pemenuhan kebutuhan rasa agama ini. Dari telaah tentang kebutuhan dasar (basic need) manusia yang tneliputi jasmani (fisik) dan ruhani (psikis) dan pemenuhannya dapat disimpulkan bahwa al-Qur 'an dan al-sunnah memberi acuan konseptual yang mendasar kepada pendidik bagaimana ia memberi pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) manusia, sehingga manusia terpenuhi kebutuhannya. Dengan terpenuhi kebutuhan dasar itu, manusia akan dapat tumbuh kembang dengan wajar dan baik dari segi jasmani maupun ruhani. Tentang aplikasinya sccara rinci diserahkan kepada kreativitas manusia sendiri dengan catatan tidak ada benturan kontroversi dengan konsep dasarnya. Karena manusia mengalami pentahapan dalam hidup ini, maka pemenuhan kebutuhan dasar itu harus sesuai dengan pentahapan yang ada pada manusia itu sendiri. 2. Manusia Sebagai Makhluk Berpikir dan Merasa Dalam berbagai ayat, Allah menginstruksikan manusia untuk menggunakan rasio dan hatinya guna memahami fenomena-fenomena yang tergelar di alam ini baik makro maupun mikro. Instruksi ini harus ditanggapi dengan serius oleh umat Islam jika umat Islam tidak ingin terlempar dari panggung sejarah keilmuan. Pendidikan Islam berfungsi untuk mengembangkan rasio dan hati. Manusia akan mampu memahami alam ini dengan rasio dan hatinya. Dengan rasionya manusia berusaha untuk memikirkan alam yang akan menghasilkan ilmu dan teknologi. Apa yang digeluti ilmu pengetahuan adalah hal-hal yang indrawi empirik sensual. Perlu disadari oleh umat Islam bahwa alam bukan saja obyek dari pikiran manusia tetapi sekaligus sebagai sumber pelajaran (Q.S. 96: 6). Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, 1211. Louis Ma'luf, Al-Munjid fi al-Lughah, 682.
8O
h-i ] V in In-Li j.i riii i (l.i lii in Pandaiigiiii KonslniKtivisme... (Suleiman)
Dengan rasionya manusia hanya memahami kebenaran bukan mencipta kebenaran, sebab kebenaran itu adalah dari Allah (Q.S. 2: 147, Q.S. 3: 60). Ilmu pengetahuan itu merupakan rekayasa manusia terhadap yang diketahui, dimengerti dan dipahami. Namun banyak hal yang tidak diketahui, tidak dimengerti dan tidak dipahami oleh rasio manusia. Relevan sekali firman Allah Swt.: "Tidaklah Aku berikan ilmu itu kepada kamu sekalian kecuali sedikit." (Q.S. 17: 85). Manusia dengan rasionya hanya mampu memahami fenomena dan tidak mampu memahami nomenon. Yang dapat memahami nomenon adalah keberadaan yang serba lain yang transenden. Pengakuan terhadap keberadaan yang serba lain yang transenden ini, iman yang berada di hati manusialah yang mampu menjangkaunya. Rasio manusia tidak akan mampu untuk menangkap hal-hal yang gaib karena keterbatasannya. Ibn Khaldun (1332-1404) mengungkapkan bahwa menimbang hal-hal yang gaib dengan rasio, bagaikan menimbang gunung dengan timbangan tukang emas. Manusia dengan rasionya tidak akan pernah mampu memahami seluruh alam karena keterbatasannya, dan manusia akan memahami alam ini secara keseluruhan setelah menyadari kebenaran Ilahi. Ada dua realitas yaitu realitas yang dapat ditelusuri dengan pengalaman empirik indrawi yang dalam hal ini rasio menduduki posisi yang menentukan dan realitas yang berada diluar kawasan empirik indrawi yang dalam hal ini perlu pendekatan iman (hati). Berdasarkan konsep bahwa Allah menjadikan sesuatu bersif at teleologis, maka manusia harus menelaah tujuan Allah menciptakan alam ini. Hal ini perlu dilakukan agar hubungan manusia (sebagai subyek) dengan alam (sebagai obyek kajian) tidak kontroversi dengan desain Allah Swt. Di samping Allah Swt. menciptakan alam sebagai sumber pelajaran (Q.S. 96: 6) yang harus dipahami manusia, ia juga sebagai sumber manfaat bagi manusia. Allah menciptakan sesuatu pasti ada manfaatnya (Q.S. 10: 16). Bertitik tolak dari acuan yang diberikan al-Qur'an tersebut, maka ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai. Pengkajian ilmu harus berlandaskan aql (rasio dan hati) dan bertujuan untuk menangkap sinyal-sinyal tanda kebesaran Allah Swt. dan untuk memberi manfaat kepada umat manusia, bukan untuk mcnghancurkan manusia. Mempelajari ilmu adalah untuk menumbuh suburkan keimanan, bukan untuk mengerosi iman. Dengan jiwa inilah para cendekiawan Muslim masa lalu seperti alBiruni, al-Khawarizmi, al-Rumi mampu menguasai panggung sejarah pada masanya dalam bidang keilmuan.
KepemlidiUu Islam, Vol. 3, No. 2, Juli-Desemper 2008
31
Manusia yang menyadari bahwa dia dikarunai 'aql sebagai alat pencerapan ruhaniah18 - oleh Allah Swt., dengan penguasaan ilmu dan teknologi yang member! kemampuan pada manusia untuk mengeksploitasi alam - tidak akan kehilangan jati dirinya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi. Pendidikan Islam mengacu pada kegiatan yang dapat memandu manusia untuk menumbuhkan kesadaran bahwa manusia - dengan fl^J-nya - adalah ciptaan Allah yang paling besar melebihi ciptaan-Nya yang lain. Dia paling unik dan paling dahsyat dibanding makhluk lain di dunia ini. Oleh sebab itu penguasaan manusia terhadap ilmu dan teknologi harus diaplikasikan dalam bentuk amal saleh sebagai manifestasi dari kesadaran bahwa dia diciptakan Allah dan harus taat pada penciptanya. Dengan ilmu dan teknologi (hasil cerapan rasio) yang didasari iman, manusia akan mampu mengemban tugas ganda - yang diamanatkan oleh Allah - sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di bumi dengan baik. Oleh sebab itu Pendidikan Islam selalu mengacu pada perkembangan manusia sebagai makhluk berpikir (dengan rasio) dan merasa (dengan hati). Kemampuan berpikir dan merasa/ meyakini inilah yang akan dikembangkan oleh Pendidikan Islam. Dengan kedua potensi ini manusia akan mampu memahami ayatayat Allah Swt. baik yang berupa wahyu ataupun yang berupa alam ini. Dengan kedua potensi tersebut manusia akan mampu menguasai ilmu pengetahuan hasil cerapan manusia terhadap alam ataupun ilmu agama sebagai hasil cerapan wahyu. Untuk menyiapkan peserta didik menguasai pengetahuan ganda, merupakan tantangan yang berat bagi Pendidik. Namun tantangan itu tetap menjadi tantangan jika tidak dihadapi dan dipecahkan. Kesatuan bahasa antara jalur keluarga, sekolah dan masyarakat dalam menggarap peserta didik sangat diperlukan. Perpaduan pendidikan formal, non-formal dan informal dalam menggarap pendidikan, merupakan tawaran yang patut diterima. Sistem asrama masih sangat relevan untuk tujuan ini, namun ini merupakan kerja kolosal dan memerlukan kesungguhan umat Islam. 3. Manusia sebagai Makhluk Beragama Empat belas abad yang lalu al-Qur'an telah memberi informasi kepada manusia bahwa Allah telah memberi fitrah kepada manusia. Fitrah bermakna khilqah. Manusia diciptakan Allah mempunyai pembawaan beragama tauhid. Rasulullah juga 18
Ibn Manzur, Lisan al-'Arab al-Muhith (Beirut: Dar Lisan al-Arab, t.t.), 457
Q2
Teori Pemnelajaraii rl.il.ini Paiidaiigari Kojistruwtivisme... (S
menggelar konsep fitrah ini. Ilmu Pendidikan Barat mengenal teori perkembangan: a. teori nativisme atau teori pendidikan pesimisme, b. teori empirisme atau teori pendidikan optimisme, c teori konvergensi. Teori pertama mengatakan bahwa perkembangan anak ditentukan bakatnya. Bakat itu dapat baik bisa juga jahat. Teori kedua mengungkapkan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh lingkungannya. Anak lahir dalam keadaan putih bersih seperti tabula rasa. Teori ketiga mengakui bahwa perkembangan anak ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya. Namun teori ini tidak pernah bicara tentang pembawaan anak itu baik atau jahat. Teori fitrah sebagai hasil rekaman dari al-Qur'an dan al-sunnah tidak mengikuti ketiga teori tersebut, dengan alasan: pertama, teori-teori tersebut lahir jauh sesudah al-Qur'an dan al-sunnah. Kedua, teori nativisme mengakui adanya bakat yang bakat itu dapat bakat baik atau bakat jahat, tidak mengakui pengaruh lingkungan. Teori fitrah mengungkapkan bahwa manusia itu memiliki pembawaan bertauhid dan mengakui pengaruh lingkungan. Teori empirisme tidak mengakui manusia memiliki pembawaan,yang menentukan perkembangan manusia adalah faktor lingkungan. Teori konvergensi tidak pernah menjelaskan tentang pembawaan manusia itu apa,hanya menjelaskan bahwa perkembangan manusia dipengaruhi pembawaan dan lingkungan. Teori fitrah menginformasikan secara eksplisit bahwa anak mempunyai pembawaan taukhid dan orang tuanyalah (lingkungan) yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi. Perkembangan anak dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Berpangkal dari teori fitrah tersebut, Pendidikan Islam berfungsi untuk menjaga dan menumbuh-kembangkan iman. Materi atau kurikulum Pendidikan Islam harus mcndasarkan pada wawasan materi yang dapat menumbuhkan iman bukan mengerosi iman yang berimplikasi pada amal saleh. Al-Qur'an menginstruksikan manusia agar iman diaktualisasikan dalam bentuk ibadah (dalam arti sempit arkan al-Islam dan dalam arti luas amal saleh). Berarti Pendidikan Islam berfungsi membina manusia agar beriman, berislam dan berihsan. Untuk menumbuh-kembangkan iman, Rasulullah memberi acuan yang akurat. Setelah anak lahir, orang tua supaya mengenalkan nama Allah kepada anak dengan mengazani.19 Mengazani anak di Al-Imam al-Hafidz Abi Isa Muhamad bin Surah al-Tirmidzi, Snnan al-Tirmizi (Damaskus: Dar al-Fikr, 1974), 36. emliiliknn Islam, Vol. 3, No. 2, Jnli-Deiemlwr 2008
83
kala lahir dapat dimaknai adanya kesiapan orang tua untuk menanamkan agama pada anak dan pemupukan rasa agama. Rasulullah menginstruksikan agar orang tua memerintahkan anaknya untuk melakukan shalat sedini mungkin yaitu sejak umur 7 tahun.20 Oleh sebab itu untuk menumbuhkan iman, ibadah shalat harus mendapat skala prioritas utama untuk dibiasakan sejak masa kanak-kanak. Shalat merupakan aktualisasi dari iman. Di dalam shalat terkandung aktivitas verbal yang terdiri dari bacaan, aktivitas jasmaniah yang berupa gerakan-gerakan dan getaran jiwa yang berupa niat. Dengan rnelaksanakan shalat, menumbuhkan kesadaran akan keberadaan Allah Yang Maha Esa. Membiasakan anak melakukan shalat dengan baik bermakna mendidik anak agar mempunyai komitmen yang tinggi terhadap Allah Swt. Dengan pendidikan shalat, anak diajar memahami dan menghayati keagungan Allah. Perasaan dekat dengan Allah akan mcnjadikan anak berakhlak mulia, sebab dia merasa selalu dilihat oleh Allah Swt. Anak tidak akan putusasa dalam menghadapi problema, sebab merasa ada tempat mengadu dan yakin Allah akan memberi pertolongan. Rasulullah menginstruksikan agar orang tua mengintensifkan pendidikan shalat dikala anak berusia 10 tahun. Hal ini tercermin dari aturan yang keras yang dinyatakan oleh Rasul dengan kata fad?ribuhum (pukullah) jika anak meninggalkan shalat dengan sengaja. Pesan Rasulullah kepada orang tua untuk mendidik shalat anak sejak dini adalah sangat tepat, sebab pengalaman masa kanakkanak akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan anak selanjutnya. Pesan Rasulullah tersebut dapat dimaknai secara luas bahwa pendidikan agama harus dimulai sejak dini dikala anak ma.sih kecil. Yang perlu diperhatikan adalah keteladanan orang tua sangat diperlukan oleh anak. Instruksi Rasulullah tersebut dapat juga dimaknai bahwa pendidikan agama harus dimulai dari keluarga dan menempatkan keluarga pada posisi sentral. Oleh sebab itu orang tua sebagai penanggung jawab keluarga, berkewajiban menciptakan suasana agamis dalam keluarganya agar proses transfer nilai keagamaan berjalan dengan baik dan lancar.
1(1
Abu Dawud, SunanAbu Dawud, 134. li-ori Pen ine la jar a 11 il.il.uii Pamlaiigaii Koiislmmivismt;... (>uL'im
DAFTAR PUSTAKA Abdul Baqi, Muhammad Fuad, tt, Mu 'jamul Mufahras li Alftz?i alQur'an, Daru al Fikri, Beirut. Abdur Rahman al-Nahlawi, 1979, Ushulu al Tarbiyah al-lslamiyah wa asalibuha, Darul Fikri, Damaskus.
Abi Abdillah, Muhammad bin Ahmad al-Anshari Al-Qurthubi, tt, Tafsir al-Qurthubi, Dari Sya'bi. Abi Imam al-Hafidz al-Mushanaf al-Muttaqin Abi Daud sulaiman ibnu Sya'bi al-Sijistani, tt, Sunan Abu Daud, tanpa penerbit. Ahmad bin Hambal, tt, Kitab Musnad, al-Maktab al-Islami, Beirut. Al Attas, al Naquib, 1977, Aims And Obyektives of Islanuc Education, Hodder and Stoughton, King Abdul Aziz, Jedah. Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, 1950, Ruhu al Tarbiyah wa Ta 'lim Daru al Ahya al Kutub al-Arabiyyah., _ , tt, Al-Tarbiyyah al-Islamiyab, Daru ahya al Kutub alArabiyyah. Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, 1972, Tafsir al-Maraghi, Beirut. Al Tirmidzi, Al-Imam al-Hafidz Abi Isa Muhamad bin Surah, 1974, Sunan Tirmizi, Daru al Fikri, Damaskus. Al Toumiy al Syaibani, 1978, Falsafatu al-Tarbiyah al-Islamiyah; alSyirkah al Alamah li Nasry wa al Tauzi' i wa al i'lan. Ibnu Manzur, tt, Lisanu al Arab al Muhjt, Daru Lisan al Arab, Beirut. Monks. Knoers AMP, 1982, Psikologi Perkembangan, terj., Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Ma'luf, Louis, tt, Al Munjidu ft a.l-Lughati, Beirut. Mukti AH, A, 1969, Etika Agama dalam Pembentukan Kepnbadian Nasional dan Pemberantasan Keniaksiatan Dari Segi Agama Islam, Yayasan Nida, Yogyakarta. Noeng Muhadjir, Pendidikan dalam Perspektif Qur 'ani, makalah Seminar Nasional Pendidikan al-Qur'an, Desember 1989, UMY, Yogyakarta. Ulama al Azhar, 1987, Child Care in Islam, terj., al Bayan, Bandung.
Islam, Vol. 3, No. 2, Juli-DeKmker 2008
35