MOTIF WIRAUSAHA, IDENTITAS WIRAUSAHA DAN ENTERPRENEURIAL PASSION DALAM MENCAPAI KEBERHASILAN WIRAUSAHA
Ismarli Muis Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar
Abstrak The purpose of present study was to investigate factors that might influence the success of entrepreneurs. It involves the measurement at the individual level that reveals the emotion factor (entrepreneurial passion), entrepreneurial identity and motive of entrepreneurship. In this framework, the authors attempted to test that entrepreneurial passion is determined by the presence of a person's identity. In addition, it also predicted that the motive factor, either on the basis of opportunity and necessity, were related to the identity of an entrepreneur and entrepreneurial passion. Data were collected with questionnaire. The results of this study were expected to provide a more comprehensive understanding of the factors that influence the success of entrepreneurship.
Kata kunci: necessity entrepreneur, opportunity entrepreneur, entrepreneurial
passion,
entrepreneurial identity, entrepreneurial success
Pendahuluan Sejak beberapa tahun terakhir, gerakan penumbuhan wirausaha di Indonesia semakin gencar dilakukan. Jumlah kegiatan usaha di Indonesia berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, Indonesia saat ini telah memiliki 1,59% atau 3.707.205 wirausaha dari jumlah populasi penduduk Indonesia (www.depkop.go.id, 19 March 2013). Kondisi ini semakin mendekati target 2% persen yang merupakan standar bagi suatu negara untuk disebut sebagai negara maju. Sementara itu, berdasarkan hasil survey Global Entrepreneurship Monitor (GEM) 2006, kondisi wirausahawan di Indonesia menunjukkan lebih banyak aktivitias wirausaha yang berada pada tahap awal (19,3% dari 1.998 responden usia 18-64 tahun) dibanding yang telah established (17,6%). Mengingat bahwa aktivitas wirausaha pada tahap awal biasanya masih rentan untuk mengalami kegagalan (Cowling & Bygrave, 2003), maka dengan tingginya jumlah pelaku usaha tahap awal di Indonesia, diperlukan berbagai upaya untuk membantu para pelaku usaha tersebut untuk dapat mengembangkan usahanya ke tahap yang lebih ϲϯ
mapan. Permasalahannya, hasil Survey Global Entrepreneurship Monitor (GEM) tahun 2006 terhadap 46 negara menunjukkan bahwa di Indonesia, keinginan untuk memulai usaha pada individu yang sedang tidak bekerja, misalnya karena pengangguran (yang disebut wirausahawan necessity), justru nampak lebih rendah dibanding mereka yang memang ingin menjadi wirausahaan karena ingin memanfaatkan peluang bisnis atau karena adanya minat pribadi (disebut wirausahawan opportunity) (Bosma & Harding, 2007). Sejumlah penelitian juga mengindentifikasi rendahnya peluang berhasil pada wirausahawan necessity dibanding wirausahawan opportunity (J. H. Block & Wagner, 2010; J. Block & Sandner, 2009; Verheul, Thurik, Hessels, & Zwan, 2010; Wagner, 2005). Implikasi dari kondisi tersebut berdampak pada para pengambil kebijakan yang melihat bahwa merancang program-program yang dapat menstimulasi wirausahawan necessity tidak semenguntungkan jika menstimulasi wirausahawan opportunity (Verheul et al., 2010). Dengan kata lain, jika para pengangguran didorong untuk memulai suatu bisnis, maka hanya menghasilkan wirausahawan necessity yang rentan mengalami kegagalan, dan bukan wirausahawan opportunity (Verheul et al., 2010). Namun demikian, apakah wirausahawan necessity memang kurang berpeluang untuk mengalami keberhasilan? Temuan-temuan yang menyatakan bahwa wirausahawan necessity juga potensial untuk mengalami keberhasilan dalam berwirausaha ternyata mulai bermunculan sejak beberapa tahun terakhir. Penelitian-penelitian tersebut antara lain oleh Acs, Arenius, Hay, & Minniti (2005) yang menunjukkan bahwa wirausahawan necessity tidak selalu mengalami kegagalan dan karenanya kurang diinginkan dalam perspektif ekonomi. Block & Sandner (2009) juga menunjukkan bahwa kesempatan bagi wirausahawan necessity untuk bertahan menjalankan usahanya tidak lebih buruk daripada wirausahawan opportunity walaupun wirausahawan necessity tidak memiliki jenjang pendidikan formal yang tinggi. Block & Wagner (2010) kemudian menyarankan bahwa para peneliti sebaiknya memperhatikan definisi keberhasilan atau determinan dari keberhasilan berwirausaha yang digunakan dalam membedakan kedua jenis wirausahawan tersebut. Jorn Block & Sandner (2009) merekomendasikan pentingnya untuk mengenali faktor yang menentukan keberhasilan berwirausaha, agar wirausahawan necessity juga dapat didorong untuk mencapai keberhasilan sebagaimana kesempatan sukses yang dimiliki wirausahawan opportunity. Sebelumnya, hasil penelitian Shane dkk (2003) juga telah merekomendasikan bahwa faktor trait-based seharusnya menjadi perhatian untuk mengenali seorang wirausahawan yang termotivasi, namun hal ini belum banyak diuji.
ϲϰ
Salah satu faktor yang ditemukan memiliki peran penting dalam aktivitas wirausaha adalah emosi. Dalam cara apapun emosi ini dialami oleh seorang wirausahawan, atau bagaimanapun emosi dioperasionalisasikan oleh para peneliti, satu hal yang disepakati adalah bahwa penciptaan suatu usaha baru diyakini melibatkan pengalaman emosional yang intens (Baron, 2008; Bird, 1989). Goss juga mendukung bahwa emosi membentuk motivasi berwirausaha dan mengarahkan perilaku berwirausaha (Fisher & Langan-Fox, 2009). Cardon dan koleganya (2009) kemudian mengajukan satu konsep dari emosi yang berperan penting untuk memberikan efek motivasional dalam menentukan keberhasilan berwirausaha, yaitu entrepreneurial passion. Terdapat ratusan definisi mengenai entrepreneur dan entrepreneurship (Baum, Frese, & Baron, 2007). Landstrom (1999) mengidentifikasi bahwa kata ‘entrepreneur’ pertama kali dimuat di dalam Kamus Bahasa Prancis pada tahun 1437, yang pengertiannya
menggambarkan
bahwa
entrepreneur
adalah
“one
who
through
determination and stamina was able to accomplish things” (Reaves, 2008, p. 24). Kata yang digunakan adalah “entreprende” (Bird, 1989; Sukardi, 1991), yang secara harafiah berarti “to undertake” atau “to take between”. Menurut Blaug (2000), kata “entrepreneur” ini mulai meluas digunakan sejak diperkenalkan oleh Richard Cantilon (1680-1734), seorang pemilik bank di Perancis, yang mendefinisikan entrepreneur sebagai “those who are willing to buy at a certain price and sell at an uncertain price” (Baum et al., 2007, p. 6). Dari pengertian tersebut, tinjauan wirausahawan lebih didominasi oleh perspektif ekonomi, dengan menekankan pada penciptaan peluang kerja baru untuk memperoleh keuntungan. Hal ini juga dapat kita lihat pada
pengertian
kewirausahaan
yang
dikemukakan
oleh
Weber
(1898),
yaitu
“entrepreneurship means the taking over and organizing of some part of an economy in which people’s needs are satisfied through exchange for the sake of making a profit and at one’s own economic risk” (Baum et al., 2007, p. 6). Pada pengertian Weber tersebut, terlihat bahwa selain untuk mendapatkan keuntungan, faktor risiko ekonomi juga harus diperhitungkan ketika seseorang ingin terjun dalam kegiatan wirausaha. Memasuki abad 20, entrepreneurship atau kewirausahaan menjadi satu kajian hangat karena perannya yang penting dalam pembangunan ekonomi (Priyanto, 2009). Hal ini ditegaskan oleh Schumpeter (1934), seorang ekonom Austria yang dianggap sebagai ‘bapak kewirausahaan modern’, bahwa “entrepreneurship is driving force behind economic growth” (kewirausahaan adalah kekuatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi). Schumpeter juga menyatakan bahwa seorang wirausahwan adalah innovator. Wirausaha bukan hanya sekedar melakukan proses ekonomi, tapi terdapat inovasi/kebaruan dalam ϲϱ
proses tersebut. Dalam bidang perilaku, pada abad ini, McClelland (1961) adalah tokoh psikologi Amerika yang berkontribusi mengangkat “trait” sebagai faktor yang mendasari aktivitas wirausaha, dengan mengajukan need for achievement sebagai trait yang mendorong seorang wirausahawan memilih terjun ke dunia wirausaha. Gartner (1988) menawarkan pemahaman yang sederhana dan memiliki kegunaan empiri, yakni bahwa “entrepreneurs adalah orang yang mendirikan suatu organisasi baru” (p. 47). Berdasarkan definisi tersebut, maka ‘entrepreneurship’ adalah penciptaan organisasi baru. Oleh Aldrich & Wiedenmayer (1993), definisi Gartner tersebut menjadi landasan bagi mereka untuk menetapkan bahwa pendirian suatu organisasi baru yang bertujuan untuk kewirausahaan, juga harus menciptakan nilai melalui suatu produk atau jasa yang ditawarkan (Baum et al., 2007). Rauch & Frese (2000) kemudian mengembangkan definisi yang dibangun oleh Gartner dengan tidak membatasi wirausahawan hanya pada pendiri (founder) saja, tetapi juga sekaligus sebagai pemilik (owner) dan pengelola (manager) dari suatu organisasi. Hal ini berimplikasi bahwa kewirausahaan tidak hanya berhenti sampai didirikannya suatu usaha baru, tapi juga termasuk memiliki dan mengelola usaha tersebut hingga berkembang. Karenanya, seseorang yang mengambil alih memimpin bisnis dari orang tuanya tidak dapat disebut wirausahawan karena ia bukanlah pendiri perusahaan tersebut. Pada penelitian kewirausahaan di Indonesia, karakteristik sampel wirausahawan yang digunakan umumnya adalah para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), serta umumnya tanpa mendefinisikan secara khusus siapa yang disebut sebagai entrepreneur. Penelitian tersebut antara lain oleh Bhasin & Venkataramany, 2010; Cole, 2007; Indarti & Langenberg, 2004; Riyanti, 2004; Sari, Alam, & Beaumont, 2008; Tambunan, 2007, 2009. Hanya penelitian yang dilakukan oleh Sukardi (1991) yang mendefinisikan wirausahawan sebagai “seseorang yang bersedia mengambil resiko pribadi untuk menemukan peluang berusaha, mendirikan, mengelola, mengembangkan dan melembagakan perusahaan miliknya sendiri, dimana kelangsungan hidupnya tergantung pada tindakannya sendiri” (p. 38). Setelah abad ke 20, perkembangan dari berbagai definisi mengenai kewirausahaan dan wirausahawan nampak makin komprehensif. Tidak hanya mengacu pada proses ekonomi yang terjadi di dalam kegiatan wiruasaha, seperti memperoleh keuntungan, kebaruan dan adanya nilai tambah dari produk, tapi juga memperhatikan pelaku wirausaha sebagai faktor yang diteliti, seperti kemampuan pengambilan resiko dan kemampauan memanfaatkan peluang. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan yang dikemukakan oleh Bhide (2000) bahwa “profit-making exchange, personal risk, opportunity, newness, and added ϲϲ
value are explicit or implied in most researches’ conceptions of entrepreneur and entrepreneurship” (Baum et al., 2007, p. 6). Dengan menggabungkan berbagai pengertian mengenai wirausahawan di atas, maka penulis mendefinisikan wirausahawan sebagai seseorang yang mampu menemukan peluang berusaha dan mengambil resiko untuk mendirikan, mengelola dan melembagakan usaha miliknya sendiri, untuk menghasilkan produk atau jasa yang bernilai tambah.
Keberhasilan Wirausaha Keberhasilan wirausaha merupakan tujuan yang ingin dicapai dari setiap penciptaan usaha baru. Bhattacharyya dalam hasil penelitiannya tahun 2006 mengatakan bahwa
seorang
wirausahawan
yang
berhasil
adalah
mereka
yang
mampu
mempertahankan dan menumbuhkan usahanya, serta mampu mengubah cara pikir orang lain (Reaves, 2008). Menurut Reaves (2008), untuk dapat disebut sebagai wirausahawan yang berhasil, seseorang harus mampu mempertahankan usaha yang dibangunnya minimal selama 5 tahun. Namun bagi Ali et al. (2011) dan Bosma & Harding (2007), suatu usaha telah dapat dikatakan mencapai kondisi established jika telah mampu memberikan gaji, tunjangan, atau penghasilan lainnya kepada pemilik dan karyawan selama lebih dari 42 bulan. Panda (2001) mengidentifikasi bahwa sekitar 50% industri skala kecil menutup usahanya dikarenakan mengalami masalah keuangan atau masalah pemasaran. Karenanya, para wirausahawan yang mampu mengelola dua isu penting tersebut akan berhasil mempertahankan kelangsungan bisnis dan menumbuhkan bisnisnya. Menurut Panda, keberhasilan suatu usaha ditandai dengan pertumbuhan unit produksi dan penjualan. Dengan kata lain, profit suatu perusahaan ditentukan oleh kapasitas produksi dan nilai penjualannya. Kedua hal ini dapat digunakan sebagai indikator untuk mendefinisikan keberhasilan wirausaha. Riyanti (2004) menggunakan 3 perspektif untuk mengukur keberhasilan usaha, yaitu learning and growth, financial, dan internal business process. Learning and growth diukur dari kepuasan karyawan, aspek financial diukur dari peningkatan aset perusahaan, dan internal business process diukur dari peningkatan volume produksi, peningkatan kondisi kerja fisik, dan ekspansi usaha.
ϲϳ
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Wirausaha Menurut Reynolds, Camp, Bygrave, Autio, & Hay (2001), terdapat dua jenis wirausahawan, yaitu necessity entrepreneur dan opportunity entrepreneur (p. 16). Perbedaan antara kedua jenis wirausahawan ini terletak pada motif yang mendasari mereka untuk memulai suatu usaha. Wirausahawan opportunity merupakan wirausahawan yang memulai suatu usaha dalam rangka mengejar suatu peluang (Block & Wagner, 2010), mengambil keuntungan dari adanya suatu peluang bisnis (Bhola, Verheul, Thurik, & Grilo (2006), atau mengerahkan usaha-usaha untuk memanfaatkan peluang bisnis atas dasar minat pribadi (Verheul et al., 2010) dan ditarik (pulled) ke dunia wirausaha karena pilihannya sendiri (Williams, 2007). Sementara itu, wirausahawan necessity didorong (pushed) ke dunia wirausaha (Williams, 2007), yang didasari oleh kebutuhan (need-based) (Block & Wagner, 2010), tidak memiliki alternatif pekerjaan lain, walaupun pada dasarnya menjadi wirausahawan bukan pilihan yang paling disukai (Verheul et al., 2010) atau disebut juga non-voluntary decision (Reynolds et al., 2001), karena terpaksa atau karena pekerjaan lain tidak memberikan kepuasan (Bhola et al., 2006; Giacomin, Guyot, Janssen, & Lohest, 2007). Berdasarkan motif yang mendasari keterlibatan dalam aktivitas wirausaha, necessity entrepreneur umumnya dipicu oleh faktor situasional yang memaksa seseorang untuk menggelutinya, sementara seorang opportunity entrepreneur dipercaya memiliki dorongan yang didasari oleh minat pribadinya untuk secara sukarela terjun pada aktivitas wirausaha. Perbedaan motif tersebut membuat sejumlah peneliti telah memprediksi adanya perbedaan keberhasilan berwirausaha pada kedua jenis wirausahawan tersebut. Umumnya, penelitian menunjukkan bahwa suatu bisnis yang dimulai oleh wirusahawan atas dasar necessity-driven cenderung akan mengalami kegagalan dibanding bisnis yang dibangun oleh opportunity entrepreneurs (Bhola et al., 2006; Block & Wagner, 2010; Block & Sandner, 2009; Verheul et al., 2010; Wagner, 2005). Umumnya, para peneliti menjelaskan proses pencapaian keberhasilan berwirausaha pada kedua jenis wirausahawan tersebut berdasarkan teori push-pull motivation (Giacomin et al., 2007; Verheul et al., 2010). Menurut Shapero & Sokol (1982) serta Gilad & Levine (1986), secara umum, perbedaan motivasi terbagi antara faktor positif yang ‘menarik’ (‘pull’) dan faktor situasional negatif yang ‘mendorong’ (‘push’) seseorang untuk terjun ke dunia wirausaha (Verheul et al., 2010). Lebih lanjut, terdapat konsensus bahwa faktor pull-push motivation mendasari penjelasan mengenai wirausahawan necessity dan opportunity, di mana kedua faktor ϲϴ
tersebut dapat mempengaruhi keterlibatan dan kegagalan seseorang dalam berwirausaha (Verheul et al., 2010). Namun demikian, Bird (1993), Shane dkk (2003), dan Cassar (2007) menemukan
bahwa
kekurangan
dari
penelitian-penelitian
tersebut
adalah
tidak
mempertimbangkan fakta bahwa faktor motivasi dapat berubah sepanjang waktu (Verheul et al., 2010). Penelitian Verheul dkk (2010) juga memberikan contoh kegagalan teori tersebut dalam menjelaskan kecenderungan seorang wirausahawan pemula, baik yang didasari oleh kebutuhan (necessity-based) maupun oleh kesempatan (opportunity-based), yang mengalami perubahan secara terus menerus untuk memilih alternatif jenis usaha yang menarik ataupun yang dianggapnya tidak menarik. Shane dkk (2003) mengatakan bahwa penelitian-penelitian sebelumnya gagal untuk memperhatikan adanya efek tidak langsung (indirect effects), serta ternyata fokus pada motif yang salah. Sebagai contoh, pendekatan dalam menjelaskan jenis wirausahawan necessity maupun opportunity lebih didasarkan pada perspektif ekonomi (Block & Wagner, 2010; Block & Sandner, 2009; Wagner, 2005), atau kemungkinan didasari oleh faktor socially desirable, dimana orang lebih memilih untuk mengatakan bahwa mereka memulai bisnis karena mereka ingin memanfaatkan kesempatan daripada mengakui bahwa mereka sebenarnya tidak punya pilihan lain selain berwirausaha (Verheul et al., 2010).
Entrepreneurial Passion Passion telah lama ditemukan sebagai faktor yang memiliki peran penting dalam perilaku wirausaha. Barringer & Ireland (2010) menegaskan bahwa karakteristik pertama yang dimiliki oleh seorang wirausahawan sukses adalah “passion for their business”, baik pada konteks bisnis yang baru dibangun, maupun pada bisnis yang telah lama berjalan. Faktor passion ini secara khusus bersumber dari keyakinan seorang wirausahawan bahwa bisnisnya akan memberi pengaruh positif terhadap kehidupannya. Passion memiliki kaitan yang kuat dengan motivasi (Bierly III, Kessler, & Christensen,
2000).
Dengan
adanya
passion,
seorang
wirausahawan
mencintai
pekerjaannya dan memberi tambahan energi untuk menggeluti bisnisnya (Baum & Locke, 2004; Shane et al., 2003). Passion berfungsi sebagai sumber emosional untuk mengatasi tantangan. Aktivasi passion yang tinggi serta emosi positif yang mendasari passion akan membuat wirausahawan tetap kreatif dan mampu mengenali pola-pola baru yang penting dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi peluang usaha, walaupun berada pada kondisi yang tidak pasti dan beresiko (Laaksonen et al., 2011). Passion membuat seorang ϲϵ
wirausahawan mampu memutuskan untuk keluar dari bisnis yang telah dibangunnya dan langsung
menemukan
adanya
peluang
baru,
menciptakan
usaha
baru,
dan
mengembangkan usaha barunya tersebut (Cardon et al., 2009). Cardon dkk (2009) mendefinisikan entrepreneurial passion sebagai “a consciousely accessible, intense positive feeling, and results from engagement in activities with identity meaning and silence to the entrepreneur” (p. 515). Sebelumnya, Vallerand dkk (2003) telah mendefinisikan passion sebagai “a strong inclination toward an activity that people like, that they find important, and in which they invest time and energy” (p.757). Jadi, untuk kegiatan yang dapat mencerminkan adanya passion seseorang, maka kegiatan tersebut harus signifikan dengan hidup mereka, sesuatu yang sangat mereka sukai, dan kegiatan di mana mereka menghabiskan waktunya secara teratur. Passion timbul karena adanya ikatan (attachment) yang kuat antara wirausahawan dengan bisnis yang digelutinya (Cardon et al., 2005). Passion akan meningkat sejalan dengan keyakinan seseorang bahwa pekerjaan yang dilakukannya adalah berarti (meaningful) bagi dirinya (Bierly III et al., 2000). Karena itu, Cardon, et al. (2009), Murnieks, (2007) dan Vallerand et al. (2003) menekankan bahwa seorang wirausahawan yang memiliki passion akan memiliki keterlibatan dengan suatu kegiatan yang sejalan dengan identitas dirinya dimana kegiatan tersebut memiliki makna yang penting bagi dirinya. Dengan kata lain, passion terhadap bisnis yang mereka geluti terasosiasi dengan identitas wirausahawan pada dirinya (Cardon et al., 2009). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa identitas diri memainkan peran penting terhadap passion.
Identitas Wirausaha (Entrepreneurial Identity) Teori identitas menjelaskan bahwa setiap orang memiliki sejumlah identitas yang berbeda sesuai posisi yang mereka tempati dan peran yang mereka jalankan dalam jaringan hubungannya di lingkungan masyarakat. Identitas merupakan hasil internalisasi peran atau perilaku yang diharapkan oleh masyarakat (Stryker & Burke, 2000). Dengan menghubungkan antara identitas internal dengan struktur sosial, teori identitas menunjukkan bahwa konsep diri dan perilaku manusia terikat dan tidak lepas dari interaksinya dalam masyarakat (Murnieks, 2007). Menurut Stryker dan Burke (2000), kaitan antara identitas dan perilaku terletak pada pemaknaan yang terjadi di antara keduanya.
Identitas
dapat
memprediksi
berkorespondensi dengan pemaknaan perilaku.
ϳϬ
perilaku
ketika
pemaknaan
identitas
Menurut Stryker & Burke (2000), pilihan terhadap peran-peran merupakan fungsi dari identitas yang membentuk konsep diri, dan identitas-identitias dalam diri tersebut terorganisasi menjadi suatu struktur hirarki berdasarkan derajat kepentingannya (salience). Konsep diri seseorang terletak pada kesatuan atau kumpulan identitas yang beragam, sehingga dalam konsep diri seorang wirausahawan juga berisi identitas lain, seperti saudara, orangtua, atasan, rekan bisnis, dan lain-lain, yang melengkapi identitas wirausahanya. Murnieks & Mosakowski, (2007) mengatakan bahwa individu termotivasi untuk menggeluti aktivitas wirausaha dikarenakan mereka menemukan bahwa aktivitas wirausahanya sejalan dengan konsep diri yang penting baginya. Konsep diri yang kongruen akan memunculkan emosi positif dan memotivasi mereka untuk bertindak sebagai seorang wirausahawan. Dengan memfokuskan pada faktor identitas wirausaha, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik untuk menjawab fenomena mengenai mengapa para wirausahawan dapat melakukan aktivitas yang sama, namun tidak memperlihatkan trait kepribadian yang sama. Murnieks (2007) mengatakan bahwa tidak semua individu yang memiliki identitas wirausaha akan menunjukkan passion untuk melakoni identitas tersebut. Lebih lanjut lagi, walaupun identitas wirausaha bersifat stabil dan relatif lambat berubah sepanjang waktu, ia dapat naik atau turun berdasarkan hal yang paling menonjol (prominence) dalam konsep diri. Hal ini dapat menjelaskan mengapa sejumlah orang dapat sangat terdorong untuk menjadi wirausahawan di suatu masa dalam kehidupannya, namun tidak terlalu berminat pada saat lainnya. Teori identitas juga memungkinkan kita memahami mengapa 2 (dua) orang yang memiliki kepribadian yang sama dapat menunjukkan kecenderungan wirausaha yang sangat berbeda. Jika seorang individu menganggap identitas wirausaha lebih penting atau lebih menonjol dalam dirinya, ia akan lebih tertarik untuk terlibat pada perilaku wirausaha. Probabilitas bertindak dan pentingnya suatu identitas merupakan kerangka acuan untuk memahami varian dalam perilaku (Murnieks, 2007). Walaupun pada diri setiap individu terdapat sejumlah identitas, namun identitas-identitas tersebut tidak diurutkan dalam derajat yang sama. Identitas dapat diorganisasikan berdasarkan hirarki. Makin tinggi derajat kepentingan suatu identitas dibanding identitas lain dalam diri seorang individu, maka akan makin besar probabilitas memilih perilaku sesuai harapan yang mencerminkan identitas tersebut (Stryker & Burke, 2000). Stryker menjelaskan bahwa suatu identitas yang menonjol atau penting adalah identitas yang mungkin seringkali diperankan (diaktivasi) pada berbagai situasi yang berbeda, dan satu faktor penting yang mempengaruhi pentingnya atau menonjolnya suatu ϳϭ
identitas adalah derajat komitmen yang dimiliki individu terhadap identitas tersebut (Stryker & Burke, 2000). Stryker juga melihat adanya keterkaitan antara identitas dengan emosi, bahwa identitas yang menempati posisi tinggi di hirarki salience akan menghasilkan reaksi emosional yang lebih kuat dibanding identitas yang berada di posisi bawah pada hiraki salience.
Metode Penelitian yang dilakukan saat ini merupakan pilot study yang bertujuan untuk memberikan landasan bagi pengembangan hipotesis yang diajukan oleh peneliti. Terdapat dua pilot study yang mendasari pengembangan hipotesis peneliti, sebagai berikut:
Studi 1 Pilot studi pertama dilakukan dengan memberikan kuesioner terhadap peserta yang menghadiri suatu seminar penumbuhan wirausaha muda. Terdapat 584 kuesioner yang kembali kepada peneliti. Sebanyak 267 diisi oleh peserta telah memiliki usaha dan 317 kuesioner diisi oleh peserta yang belum memiliki usaha. Analisis scara deskriptif dalam bentuk frekuensi menggambarkan kecenderungan respon peserta dalam menanggapi pertanyaan yang terbagi menjadi 3 kategori, yakni data demografis peserta, persepsi kewirausahaan dan kegiatan wirausaha. Bentuk pertanyaan adalah pertanyaan tertutup, dengan pilihan-pilihan jawab yang telah tersedia.
Studi 2 Survey kedua ditujukan pada 95 responden wirausahawan, namun yang mengisi kuesioner secara lengkap hanya 83 orang. Lamanya responden telah menjalankan bisnis bervariasi antara di bawah 1 tahun (30,1%), 1 – 2 tahun (25,3%), 2 – 4 tahun (33,7%), 4 – 6 tahun (7,2%), dan lebih dari 6 tahun (3,6%). Survey menggunakan kuesioner berisi 15 pertanyaan yang bersifat terbuka untuk menggali alasan responden dalam berwirausaha. Hasil survey dideskripsikan dengan menggunakan frekuensi untuk melihat kecenderungan respon peserta survey.
ϳϮ
Hasil dan Analisis Studi 1 Dari distribusi persepsi mengenai penyebab kesuksesan wirausaha, prosentase tertinggi adalah pada responden yang mengemukakan “keterampilan usaha” sebagai penyebabnya. Ini terjadi baik pada kelompok responden yang memiliki usaha (42.5%) maupun yang belum memiliki usaha (51.4). Selanjutnya pada kelompok yang memiliki usaha, 34.9% karena adanya jaringan usaha, 15.2% karena modal yang besar, 3.9% karena adanya hubungan kekerabatan, dan hanya 1% karena keturunan. Sedangkan pada kelompok yang belum memiliki usaha, 29.8% mengemukakan jaringan usaha sebagai alasan, besarnya modal 14.7%, adanya hubungan kekerabatan 4.6%, dan hanya 1% karena faktor keturunan Studi 2 Untuk mempertajam pemahaman peneliti terhadap kondisi wirausaha di Indonesia, survey kedua kemudian dilakukan dengan memberikan pertanyaan dalam bentuk terbuka, yakni “Menurut Anda, faktor apa saja yang berperan dalam kesuksesan berwirausaha?”. Berdasarkan pertanyaan tesebut, teridentifikasi 30 faktor yang dianggap berperan terhadap kesuksesan berwirausaha, dengan 10 jawaban tertinggi berturut-turut adalah: 1) Berusaha/bekerja keras, 2) Pantang menyerah, 3) Niat/do’a, 4) Komitmen, 5) Inovasi, 6) Jaringan kerja/relasi dan kepuasan pelanggan (kedua jawaban ini memperoleh jumlah yang sama), 7) Kreatif, 8) Disiplin, 9) Manajemen usaha yang baik dan integritas (kedua jawaban ini memperoleh jumlah yang sama), dan 10) Dukungan keluarga, modal, pemasaran (ketiga jawaban ini memperoleh jumlah yang sama). Dari 10 jawaban tertinggi tersebut, terlihat bahwa 3 (tiga) jawaban teratas yang dianggap menjadi faktor penentu keberhasilan wirausaha adalah suatu faktor yang memiliki efek motivasional. Dari survey kedua ini, juga ditemukan bahwa walaupun mayoritas responden wirausahawan pernah mengalami kegagalan atau terhambat dalam mengelola usahanya, namun mereka tetap bertahan untuk terus melanjutkan usaha mereka. Terdapat 3 alasan tertinggi yang mendasari, yakni: 1) karena merasa senang/hobby/minat dengan kegiatan wirausaha, 2) sesuai cita-cita, dan 3) merupakan panggilan jiwa. Jawaban tertinggi pertama menunjukkan bahwa faktor emosi positif (perasaan senang terhadap kegiatan yang dilakukan) menjadi pendorong untuk terus melanjutkan kegiatan wirausaha walaupun terdapat hambatan.
ϳϯ
Hasil dari survey pertama dan kedua tersebut memberikan informasi penting bagi penulis mengenai faktor-faktor yang dianggap memiliki peran penting dalam keberhasilan wirausaha. Bekerja keras, pantang menyerah dan niat adalah faktor-faktor yang memberikan efek motivasional untuk mencapai keberhasilan wirusaha, sedangkan perasaan senang terhadap kegiatan wirausaha yang dilakukan merupakan faktor emosi positif yang juga memiliki peran penting dalam keberhasilan wirausaha. Kedua hal ini memberikan landasan bagi penulis untuk mengajukan suatu variabel yang mencakup emosi positif dan memberikan efek motivasional, dan variabel tersebut adalah entrepreneurial passion. Bird (1989) dan Smillor (1997) mengatakan bahwa passion telah lama dikenali sebagai sumber dari motivasi dan keberhasilan wirausaha (Cardon, Wincent, Singh, & Drnovsek, 2005; Vallerand et al., 2003; Winnen, 2005). Namun demikian, walaupun pandangan mengenai pentingnya passion dalam pembentukan dan pertumbuhan bisnis tidak diragukan, namun studi teoritis dan empiris yang sistematis mengenai pengaruh passion pada aktivitas wirausaha masih belum mampu menjelaskan dengan tepat mengenai konstruk passion dalam bidang wirausaha ini (Cardon et al., 2005; Laaksonen, Ainamo, & Karjalainen, 2011). Padahal, dengan sisi positif yang dimilikinya, passion merupakan komponen emosi yang telah banyak disepakati sebagai sumber utama dari motivasi (Vallerand et al., 2003; Winnen, 2005). Wirausahawan yang memiliki passion yang tinggi, mampu mengenali hal-hal baru dan kreatif dalam memanfaatkan peluang, walaupun berada dalam lingkungan yang serba tidak pasti dan penuh resiko (Laaksonen et al., 2011). Passion membuat mereka mencintai pekerjaannya dan memberikan tambahan energi (Baum & Locke, 2004; Shane, Locke, & Collins, 2003). Hal ini juga sesuai dengan survey kedua yang dilakukan penulis, bahwa perasaan senang terhadap aktivitas wirausaha akan mendorong individu untuk tetap menjalankan usahanya walaupun pernah gagal atau menemui hambatan. Pada survey kedua yang dilakukan penulis, juga ditemukan bahwa alasan untuk tetap terus bertahan melanjutkan aktivitas wirausaha walaupun pernah mengalami hambatan adalah “sesuai cita-cita” dan “merupakan panggilan jiwa”. Kedua alasan ini menunjukkan pentingnya kesesuaian antara aktivitas wirausaha dengan diri individu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa seorang wirausahawan mencurahkan dirinya secara penuh pada bisnis yang digelutinya jika bisnis tersebut sesuai dengan dirinya. Naik dan turunnya kelangsungan bisnis yang dijalankan seorang wirausahaan berkaitan dengan sense of self wirausahawan tersebut (Cardon et al., 2005). (Fisher & Langan-Fox, 2009) juga mengemukakan bahwa passion terhadap aktivitas wirausaha menjadi fitur utama dari ϳϰ
identitas individu. Berkaitan dengan peranan sense of self serta sebagai pengembangan dari temuan Vallerand dkk mengenai peranan passion, Cardon et al. (2009) mengajukan bahwa elemen kunci untuk memahami peranan passion dalam aktivitas wirausaha adalah identitas diri. Identitas diri menentukan siapa sebenarnya diri orang tersebut. Makna pentingnya identitas diri terletak pada arah dan intensitas respon yang ditunjukkan seseorang. Jika seseorang menganggap identitas dirinya bermakna bagi dirinya, maka akan memberikan dampak motivasional pada perilakunya (Burke, 1982). Individu akan termotivasi untuk memberikan makna pada perilakunya yang konsisten dengan makna identitas dirinya. Kondisi ini disebut congruence (Burke, 1982). Stets & Burke (2005) mengatakan bahwa ketika terjadi kondisi yang congruence, maka akan timbul emosi positif, di mana individu akan merasa senang dan akan terus melakukan aktivitasnya. Sebaliknya, tidak adanya verifikasi terhadap identitas diri akan mengakibatkan timbulnya emosi negatif. Berdasarkan hasil kedua pilot tesebut, peneliti mengajukan adanya keterkaitan yang kuat antara identitas wirausaha dengan entrepreneurial passion, dan bahwa motif memulai kegiatan wirausaha (necessity atau opportunity) akan berpengaruh terhadap identitas diri seorang wirausahawan. Dugaan peneliti tersebut kemudian dibangun dalam 3 hipotesis yang akan diuji secara empiris dalam penelitian selanjutnya.
Kesimpulan Pengaruh Motif Wirausaha terhadap Identitas Wirausaha Stryker menyatakan bahwa dalam diri setiap individu terdapat lebih dari satu identitas peran, dan banyaknya identitas peran tersebut terorganisasi ke dalam suatu struktur hirarki menurut derajat kepentingannya. Dengan kata lain, diri individu bersifat multifaceted, terdiri dari bagian-bagian yang interdependent dan independent satu sama lain, juga saling mendukung maupun saling berkonflik satu sama lain (Stryker & Burke, 2000). Pada wirausahawan opportunity yang memilih peran wirausahawan atas dasar minat pribadi, terjadi keselarasan dengan identitas dirinya. Keselarasan identitas terjadi karena identitas yang diinginkan dan dicita-citakan oleh individu memang adalah menjadi seorang wirausahawan, sehingga ketika ia memutuskan terjun ke dunia wirausaha terjadi verifikasi antara motif opportunity yang dimilikinya dengan identitas dirinya. Pada berbagai
ϳϱ
kondisi, identitas wirausaha adalah identitias yang memiliki hirarki paling penting dibanding identitas lain yang dimilikinya. Sebaliknya, pada wirausahawan necessity, peralihan peran menjadi wirausahawan yang dilakukan secara ‘terpaksa’ menyebabkan individu harus melakukan peralihan fokus pada hirarki identitasnya. Identitas wirausahawan yang baru diinternalisasikannya harus diorganisasikan dengan identitas lain yang telah ada dalam dirinya. Sebelum beralih ke dunia wirausaha, wirausahawan
necessity telah memiliki identitas yang relatif telah
menetap pada dirinya. Sebagai contoh, sebelumnya ia adalah seorang karyawan yang bekerja di suatu instansi, dan ingin menjadi karyawan yang sukses dalam jenjang karirnya. Pada kondisi terpaksa memilih wirausaha akibat pemutusan hubungan kerja yang dialaminya, identitas sebagai karyawan harus bertransisi menjadi identitas wirausahawan, karena wirausaha menjadi pilihan satu-satunya untuk menjalankan roda ekonomi keluarganya. Masuknya identitas wirausaha pada hirarki berbagai identitas yang ada pada dirinya mempengaruhi derajat kepentingan pada hirarki identitas yang dimilikinya. Walaupun ia memerankan identitas wirausaha saat ini, namun identitas wirausaha bukanlah yang terpenting dalam hirarki identitasnya.
Pengaruh Identitas Wirausaha terhadap Entrepreneurial Passion Passion muncul pada diri seseorang bukan karena wirausahawan dilahirkan membawa perasaan tersebut, melainkan karena wirausahawan terlibat pada suatu hal yang berkaitan dengan identitas diri yang bermakna dan penting bagi diri mereka (Cardon et al., 2009). Para peneliti telah mendefinisikan identitas sebagai penginternalisasian harapan-harapan mengenai sejumlah karakteristik yang dianggap utama, khusus, dan menetap bagi individu, dan tercermin pada peran-peran yang mereka jalankan (Burke & Reitzes, 1991). Identitas peran yang khusus dan penting tersebut dapat memotivasi wirausahawan untuk terlibat pada suatu aktivitas (dan melepaskan diri dari aktivitas lain), dan menimbulkan pengalaman afeksi dari keterlibatan tersebut. Individu akan mengalami emosi positif ketika keterlibatan mereka pada aktivitas wirausaha dapat menjaga dan meningkatkan identitas diri yang penting bagi mereka (Cardon et al., 2009). Ketika memilih menjadi seorang wirausahawan, baik karena alasan terpaksa (necessity) ataupun karena minat pribadi (opportunity), maka pada diri seorang wirausahawan akan muncul satu identitas baru, yakni identitas wirausahawan. Identitas tersebut akan terorganisasi dengan identitas lain yang telah dimiliki individu dan akan
ϳϲ
terstruktur secara hirarkis menurut derajat kebermaknaan dan kepentingannya bagi diri individu. Menurut Cardon dkk (2009), transisi peran identitas wirausahawan yang dialami seseorang menyebabkan terjadinya peralihan fokus pada hirarki indentitasnya, dan menyebabkan terjadinya perubahan mekanisme dimana diri individu melakukan negosiasi diantara berbagai identitas yang melekat pada dirinya. Hal ini sejalan dengan penjelasan Stryker dan Burke (2000) bahwa adanya ketidakcocokan atau meningkatnya diskrepansi (masalah dalam verifikasi identitas diri) akan menghasilkan emosi yang negatif, sebaliknya, adanya kecocokan atau menurunnya diskrepansi pada verifikasi terhadap identitas diri, akan menghasilkan emosi yang positif. Hal ini yang mendasari dugaan penulis bahwa ketika wirausahawan dapat melakukan transisi diantara identitas peran yang penting, maka hal ini dapat meningkatkan passion pada dirinya, dan selanjutnya akan berdampak pada keberhasilan wirausaha. Sebaliknya, jika terjadi ketidakcocokan pada identitas dirinya, maka akan menurunkan passion pada diri wirausahawan, dan selanjutnya akan menurunkan keberhasilan wirausaha. Pengaruh Entrepreneurial Passion terhadap Keberhasilan Wirausaha Gerakan Kewirausahaan Nasional di Indonesia tidak hanya ditujukan untuk penciptaan usaha-usaha baru sebanyak-banyaknya yang dapat mendukung perekonomian masyarakat. Namun yang paling utama adalah mendorong usaha-usaha baru tersebut untuk terus berkembang dan berhasil. Untuk mencapai keberhasilan wirausaha dibutuhkan kemampuan untuk terus bertahan dan tetap melanjutkan usaha walaupun terdapat hambatan atau bahkan mengalami kegagalan. Hal ini dapat terwujud jika individu memiliki kecintaan terhadap aktivitas yang dilakukannya. Karenanya, enterepreneurial passion menjadi faktor yang penting untuk mewujudkan keberhasilan wirausaha. Berdasarkan ketiga kesimpulan tersebut, maka model teoritis yang dibangun adalah sebagai berikut:
EĞĐĞƐƐŝƚLJ
DŽƚŝĨ tŝƌĂƵƐĂŚĂ
/ĚĞŶƚŝƚĂƐ tŝƌĂƵƐĂŚĂ
KƉƉŽƌƚƵŶŝƚLJ
ϳϳ
ŶƚƌĞƉƌĞŶĞƵƌŝĂů WĂƐƐŝŽŶ
<ĞďĞƌŚĂƐŝůĂŶ tŝƌĂƵƐĂŚĂ
Daftar Pustaka Acs, Z. J., Arenius, P., Hay, M., & Minniti, M. (2005). Global Entrepreneurship Monitor 2004 Executive Report. Ali, A., Brush, C., Castro, J. De, Lange, J., Lyons, T., Meyskens, M., Whitman, J. (2011). Global Entrepreneurship Monitor 2010 United States Report. Barringer, B. R., & Ireland, R. D. (2010). Entrepreneurship - Successfully Launching New Ventures (3rd ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc. Baum, J. R., Frese, M., & Baron, R. (2007). The Psychology Of Entrepreneurship. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Baum, J. R., & Locke, E. A. (2004). The Relationship of Entrepreneurial Traits, Skill, and Motivation to Subsequent Venture Growth. Journal of Applied Psychology, 89(4), 587– 598. Bhasin, B. B., & Venkataramany, S. (2010). Globalization Of Entrepreneurship: Policy Considerations For SME Development In Indonesia. International Business & Economics Research Journal, 9(4), 95–104. Bhola, R., Verheul, I., Thurik, R., & Grilo, I. (2006). Explaining Engagement Levels of Opportunity and Necessity Entrepreneurs. Erasmus UniversityRotterdam. Bierly III, P. E., Kessler, E. H., & Christensen, E. W. (2000). Organizational learning, knowledge and wisdom. Journal of Organizational Change Management, 13(6), 595–618. Bird, B. J. (1989). Entrepreneurial Behavior. USA: Scott, Foresman and Company. Block, J. H., & Wagner, M. (2010). Necessity and Opportunity Entrepreneurs in Germany: Characteristics and Earnings Differentials. Journal of Schmalenbach Business Review, 62(April), 154–174. Block, J., & Sandner, P. (2009). Necessity and Opportunity Entrepreneurs and their Duration in Self-employment: Evidence from German Micro Data. Berlin. Bosma, N., & Harding, R. (2007). Global Entrepreneurship Monitor 2006 Summary Results. Burke, P. J. (1982). Social Identities http://wat2146.ucr.edu/papers
and
Psychosocial
Stress.
Retrieved
from
Burke, P. J., & Cast, A. D. (1997). Stability And Change In The Gender Identities Of Newly Married Couples. Social Psychology Quarterly, 60(4), 277–290. Burke, P. J., & Reitzes, D. C. (1991). An Identity Theory Approach to Commitment. Social Psychology Quarterly, 54(3), 239–251. Cardon, M. S. (2009). The Nature And Experience Of Entrepreneurial Passion, 34(3), 511–532. Cardon, M. S., Wincent, J., Singh, J., & Drnovsek, M. (2005). Entrepreneurial Passion: The Nature of Emotions in Entrepreneurship (pp. 1–7).
ϳϴ
Cole, S. (2007). Entrepreneurship and empowerment᩿: Considering the barriers - a case study from Indonesia. Tourism Review, 55(594), 461–473. Cowling, M., & Bygrave, W. D. (2003). Entrepreneurship And Unemployment: Relationship Between Unemployment And Entrepreneurship In 37 Nations Participating In The Global Entrepreneurship Monitor (GEM) 2002. In Frontiers of Entrepreneurship Research (pp. 544–555). Fisher, R., & Langan-Fox, J. (2009). Passion And Uncertainty In Successful Entrepreneurial Action. AGSE (pp. 243–253). Gartner, W. B. (1988). “Who Is an Entrepreneur᩿?” Is the Wrong Question. Retrieved from http://business2.fiu.edu/ Giacomin, O., Guyot, J.-L., Janssen, F., & Lohest, O. (2007). Novice Creators: Personal Identify and Push Pull Dynamics (No. 07/10). Indarti, N., & Langenberg, M. (2004). Factors affecting business success among SMEs᩿: Empirical evidences from Indonesia. In The second bi-annual European Summer University 2004, University of Twente, Enschede, The Netherlands, September, 19-21st, 2004 (pp. 1–15). Laaksonen, L., Ainamo, A., & Karjalainen, T.-M. (2011). Entrepreneurial Passion: An Explorative Case Study of Four Metal Music Ventures. Journal of Research in Marketing and Entrepreneurship, 13(1), 18–36. McClelland, D. C. (1961). The Achieving Society. Mansfield Centre, CT: Martino Publishing. Murnieks, C. Y. (2007). Whoam I? The Quest For An Entrepreneurial Identity And An Investigation Of Its Relationship To Entrepreneurial Passion And Goal-Setting. University of Colorado. Retrieved from www.proquest.com Murnieks, C. Y., & Mosakowski, E. M. (2007). Who Am I? Looking Inside The “Entrepreneurial Identity.” Frontiers of Entrepreneurship Research, 27(5), 1–14. Naude, W. (2010). Entrepreneurship In The Field of Development Economics. In B. Urban (Ed.), Frontiers in Entrepreneurship - Perspective in Entrepreneurship. Springer. Panda, T. K. (2001). Entrepreneurial Success: Key Indicator Analysis In Indian Context. Priyanto, S. H. (2009). Mengembangkan Pendidikan Kewirausahaan di Masyarakat. Journal PNFI᩿: Andragogia, 1(1), 57–82. Rauch, A., & Frese, M. (2000). Psychological approaches to entrepreneurial success: A general model and an overview of findings. International Review of Industrial and Organizational Psychology, 101–142. Reaves, B. B. (2008). Entrepreneurial Success: A Phenomenological Study of The Characteristics of Successful Female Entrepreneurs. University of Phoenix. Retrieved from www.proquest.com Reynolds, P. D., Bygrave, W. D., Autio, E., Cox, L. W., & Hay, M. (2002). Global Entrepreneurship Monitor 2002 Executive Report.
ϳϵ
Reynolds, P. D., Camp, S. M., Bygrave, W. D., Autio, E., & Hay, M. (2001). Global Entrepreneruship Monitor 2001 Executive Report. Riyanti, B. P. D. (2004). Factors Influencing The Success Of Small-Scale Entrepreneurs In Indonesia. In B. N. Setiadi, A. Supratiknya, W. J. Lonner, & Y. H. Poortinga (Eds.). In Ongoing Themes in Psychology and Culture (Online Ed.). Melbourne: International Association for Cross-Cultural Psychology. Retrieved from http://www.iaccp.org Sari, D., Alam, Q., & Beaumont, N. (2008). Internationalisation of Small Medium Sized Entreprises in Indonesia: Entrepreneur Human and Social Capital. In 17th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia (pp. 1–12). Schumpeter, J. A. (1934). The Theory of Economic Development. Transaction Publisher. Shane, S., Locke, E. A., & Collins, C. J. (2003). Entrepreneurial Motivation. Human Resource Management Review, 13, 257–279. Shane, S., & Venkataraman, S. (2000). The Promise Of Entrepreneurship As A Field Of Research. Academy of Managamenet Review, 25(1), 217–226. Stets, J. E., & Burke, P. J. (2005). New Directions in Identity Control Theory. Advance in Group Process, 22, 43–64. Stryker, S., & Burke, P. J. (2000). The Past, Present, and Future of Identity Theory. Social Psychology Quarterly, 63(4), 284–297. Sukardi, I. S. (1991). Intervensi Terencana Faktor-Faktor Lingkungan Terhadap Pembentukan Sifat-Sifat Wirausahawan (Entrepreneur Traits). Universitas Indonesia. Tambunan, T. (2007). Entrepreneurship Development: SMES in Indonesia. Journal of Developmental Entrepreneurship, 12(1), 95–118. Tambunan, T. (2009). Women entrepreneurship in Asian developing countries᩿: Their development and main constraints. Journal of Development and Agricultural Economics, 1(2), 27–40. Vallerand, R. J., Blanchard, C., Mageau, G. A., Koestner, R., Ratelle, C., Leonard, M., … Marsolais, J. (2003). Les Passion de l’Ame: On Obsessive and Harmonious Passion. Journal of Personality and Social Psychology, 85(4), 756–767. Verheul, I., Thurik, R., Hessels, J., & Zwan, P. Van Der. (2010). Factors Influencing the Entrepreneurial Engagement of Opportunity and Necessity Entrepreneurs. SCientific AnaLysisOf Entrepreneurship and SMEs, (March), 1–26. Vesala, K. M., Peura, J., & McElwee, G. (2007). The Split Entrepreneurial Identity of The Farmer. Journal of Small Business and Enterprise Development, 14(1), 48–63. Wagner, J. (2005). “Der Noth gehorchend, nicht dem eignen Trieb” - Nascent Necessity and Opportunity Entrepreneurs in Germany: Evidence from the Regional Entrepreneurship Monitor (REM ) (No. 1608). Williams, C. C. (2007). Entrepreneurs Operating in The Informal Economy - Necessity or Opportunity Driven. Journal of Small Business and Entrepreneurship, 20(3).
ϴϬ
Winnen, C. J. (2005). To be or not to be᩿: The role of passion and obsession in the entrepreneurial process. University of St. Thomas. Retrieved from www.proquest.com Artikel. (2012, May 3). Menkop UKM: Entrepeneur Selalu Siap Hadapi Perubahan. Retrieved from http://www.depkop.go.id Artikel. (2011, April 26). Wirausaha baru kunci kemajuan bangsa. Retrieved from http://www.depkop.go.id
ϴϭ