Modul kuliah 6 Memulai Berwirausaha Avin Fadilla Helmi A. Pengantar Yang sering dikeluhkan oleh para mahasiswa ketika akan memulai berwirausaha, harus memulai dari mana? Selain itu, sering kali mahasiswa bahkan masyarakat umum, dijangkiti penyakit ‘jangan-jangan’ seperti ‘jangan-jangan saya rugi’, ‘jangan-jangan tidak laku’ ketika akan memulai sebuah usaha. Selain itu, muncul keraguan ‘waduh saingannya banyak’, bagaimana mungkin saya dapat memenangkan persaingan? Berikut ini akan disajikan langkah-langkah dalam memulai sebuah usaha berdasarkan kerangka teoritik modul kuliah 3, 4, 5, 7, dan 8. B. Langkah-langkah memulai berwirausaha 1.
Mengenali peluang usaha
Dalam modul kuliah 3 mengenai peluang usaha dinyatakan bahwa peluang sebenarnya ada di sekeliling kita, hanya saja ada beberapa individu yang mampu melihat situasi sebagai peluang ada yang tidak. Hal ini disebabkan faktor informasi yang dimilikinya Informasi memungkinkan seseorang mengetahui
bahwa peluang ada sat orang lain
tidak menghiraukan situasi tersebut. Akses terhadap informasi dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan hubungan sosial (Shane, 2003). a. Pengalaman hidup. Pengalaman hidup memberikan akses yang lebih mengenai informasi dan pengetahun mengenai penemuan peluang. Dua aspek dari pengalaman hidup yang meningkatkan kemungkinan seseorang menemukan peluang yaitu fungsi kerja dan variasi kerja. b. Hubungan sosial. Sebuah langkah penting dimana seseorang mendapatkan informasi dari interaksi dengan orang lain. Beberapa ahli menyarankan ketika seorang takut berwirausaha secara sendirian, maka mengawali usaha secara kelompok adalah alternative. Oleh karenanya, kualitas dan kuantitas dalam interaksi sosial akan lebih memungkinkan individu akan membuat kelompok dalam berwirausaha. Informasi yang penting ketika akan memulai usaha adalah informasi mengenai
lokasi,
potensi
pasar,
sumber
modal,
pekerja,
dan
cara
pengorganisasiannya. Kombinasi antara jaringan yang luas dan kenekaragaman latar belakang akan mempermudah mendapatkan informasi tersebut. Beberapa sumber peluang usaha antara lain: a.
Perubahan teknologi
b.
Perubahan kebijakan dan politik
c.
Perubahan sosial demografi
Avin Fadilla Helmi
1
2.
Optimalisasi Potensi diri Setelah mengenai peluang usaha maka harus dikombinasikan dengan potensi
diri. Keunggulan kompetitif apa yang saya miliki? Yang sering terjadi di masyarakat kita adalah memilih usaha yang sedang trend saat itu. Hal ini sah-sah saja tetapi ketika dalam proses perkembangan tidak membuat inovasi, maka akan sulit bersaing. Counter HP di Yogyakarta merupakan bisnis yang menjamur dalam 3-4 tahun ini. Jika mereka tidak mempunyai keunggulan kompetitif misalnya layanan purna jual, harga yang bersaing, ataukah layanan secara umum baik, maka sulit akan berkembang. Seseorang datang ke sebuah toko untuk membeli HP, sebagian besar karena informasi yang telah didapatkan sebelumnya apakah dari mulut ke mulut ataukah dari koran. Hal ini sangat berbeda dengan ahli terapis untuk anak autis. Kenyataan menunjukkan penderita autis meningkat di masyarakat, sementara layanan atau terapis autis belum terlalu banyak. Keahlian khusus yang ‘langka’ akan dicari orang tanpa mempertimbangkan aspek lokasi usaha. Usaha jasa berbasis pengetahuan (knowledge intensive service) merupakan satu alternatif usaha yang memiliki keunggulan kompetitif. Biasanya mereka mendirikan usaha misalnya konsultan keuangan, konsultan manajemen, konsultan enjinering karena kemampuan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karenanya, model usaha ini yang seharusnya dikembangkan dalam kewiarausahaan di Perguruan Tinggi. Mahasiswa didorong untuk melakukan riset sesuai dengan bidang ilmunya untuk memiliki pengetahuan baru dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Selain potensi diri dalam arti pengetahuan yang kita miliki, maka masih perlu mengoptimalkan aspek motivasi dan kepribadian. Dalam modul kuliah 5 kharakteristik kewirausahaan dari perspektif Psikologi maka dapat diperoleh gambaran ada beberapa kaharakteristik yang mendorong kesuksesan usaha dan yang tidak. Oleh karenanya, sejauh mana potensi psikologis anda mampu dioptimalkan dalam memulai
sebuah
usaha? 3.
Fokus dalam bidang usaha Peter Drucker pakar dalam kewirausahaan menyatakan bahwa dalam dalam
memulai sebuah usaha atau inovasi dilakukan disarankan untuk terfokus –dimulai dari yang kecil berdasarkan sumberdaya yang kita miliki. Vidi catering di Yogyakarta adalah salah satu contoh dimana pendirinya berlatar belakang sarjana teknologi pertanian, jurusan pengolahan makanan. Memulai usaha rantangan untuk anak kost karena tinggal di sekitar kampus, kemudian karena basic knowledge di bidang pengolahan makanan, kemudian berkembang menjadi catering, hotel, dan sekarang ini gedung pertemuan dan paket pernikahan (event organizer).
Avin Fadilla Helmi
2
4.
Berani memulai. Dunia kewirausahaan adalah dunia ketidakpastian sementara informasi yang
dimiliki oleh yang akan memulai usaha sedikit. Oleh karenanya, ‘sedikit agak gila’ (overconfidence) dan berani mengambil resiko adalah sangat perlu dilakukan. Lakukan dulu. Jalan dulu. Jika ada kesulitan, baru dicari jelan keluarnya. C. Bahan Diskusi Bacalah dengan seksama kasus berikut ini. Lakukan analisis kasus tersebut berdasarkan upaya yang dilakukan untuk memulai usaha. Sumber Pustaka Shane, S. 2003. A General Theory of Entrepreneurship.the Individual-opportunity Nexus. USA: Edward Elgar
Avin Fadilla Helmi
3
Kasus dari Kompas Minggu, Mei 2005 DEWI PROVITA RINI Sejak Menikah, Dewi Provita Rini (35) sudah memutuskan tidak bekerja di kantor. Dia ingin selalu berada di rumah agar bisa menjadi guru dan pendamping bagi anak-anaknya. Bagi dia, seorang anak harus didampingi langsung orang tua dan tidak bisa pengasuhan anak diserahkan kepada pembantu atau pengasuh anak. Namun Dewi, produsen permainan anak-anak dari kayu, bukanlah orang yang bisa diam di rumah. Sambil menunggu anaknya, dia mencoba berbisnis dengan menjual barang-barang secara kredit kepada para tetangga dan kenalan. Dewi juga pernah menjadi pemasok bahanbahan untuk sebuah perusahaan catering. “Tetapi saya tidak tahan menjadi pemasok untuk catering. Sewaktu-waktu saya bisa di telepon untuk minta dikirim barang. Pernah satu kali mereka minta dikirimi telur. Ternyata telur di peternakan tidak cukup sehingga saya harus menunggu ayam bertelur dulu. Sejak itu saya stres jika mendengar telepon berdering, takut ada pesanan mendadak. Akhirnya saya berhenti menjadi pemasok setelah enam bulan berjalan,” cerita Dewi, yang juga pernah bekerja sebagai asisten dosen ketika masih lajang. Berhenti menjadi pemasok, Dewi tergerak untuk berjualan. Namun apa yang dijual, Dewi belum tahu. Sampai pada awal tahun 2002, ketika dia membaca iklan di surat kabar tentang pameran pendidikan, dia tertarik ikut. “Ada teman saya yang membuat mainan anak dari kayu. Dia bersedia meminjamkan barang-barang itu untuk saya jual. Jadi, barang-barang yang tidak laku boleh dikembalikan ke dia. Saya cuma bermodalkan uang Rp. 500.000 untuk sewa tempat,” cerita ibu dua putri ini. Ternyata semua barang yang dipinjam Dewi dari temannya itu habis terjual. “Mungkin karena barang yang dijual sesuai dengan tema pameran. Mainan anak-anak dari kayu semuanya mempunyai nilai pendidikan. Yakni untuk melatih otak maupun motorik halus. Pengunjung yang datang sebagian besar guru, pendidik dan orang tua sehingga mainan saya laku, “ kenang dia. Sukses dalam menjual mainan anak-anak membuat Dewi terketuk terjun ke dunia bisnis itu. Padahal selama ini dia merasa sulit menemukan bidang bisnis yang cocok buat dia. “Orang tua saya pernah menawarkan modal untuk bisnis, tetapi saya tolak karena tidak tahu akan berbisnis apa. Setelah saya menemukan bisnis mainan anak ini, sekarang saya justru mencari-cari modal,” ungkap Dewi sambil tertawa. Dewi lalu mulai mempelajari pembuatan mainan kayu itu. Kebetulan di rumahnya yang terletak di bilangan Pondok bambu, Jakarta Timur banyak perajin kayu. “Saya minta ke perajin kayu itu, bisa tidak membuat mainan seperti ini. Lalu untuk penawaran, saya menggambar sendiri atau saya sablon. Kebetulan saya juga mempunyai tukang sablon karena suami saya punya usaha sablom,” ujar Dewi yang memegang ijazah sarjana akuntansi dari Universitas Trisakti ini. Membuat mainan dari kayu bukan berarti Dewi mematikan usaha kawannya yang meminjamkan barang. “Dia sudah merasa jenuh bekerja di bidang itu, dan ingin berhenti. Barangbarang yang dipinjamkan ke saya adalah barang-barang sisa. Jadi saya tidak mematikan usaha dia, “ kata Dewi menjelaskan. Setelah memutuskan terjun ke bisnis mainan anak, Dewi mulai belajar lagi. Dia membuka internet dan mencari berbagai topik seputar pendidikan. Di sana banyak tersedia contoh mainan yang mempunyai unsur pendidikan dan terapi untuk anak. “Sudah saya tetapkan, saya hanya menjual mainan yang mempunyai nilai edukasi. Makanya, saya tidak membuat dan menjual mainan robot, mobil dengan radio kontrol, pedangpedangan, juga pistol-pistolan,” ujar dia menegaskan. Mainan edukasi itu juga diusahakan agar tidak berbahaya bagi anak-anak. Contohnya, setiap benda persegi dibuat tidak memiliki sudut, tetapi agak melingkar. Kayu yang dipakai adalah
Avin Fadilla Helmi
4
serbuk kayu yang dipadatkan. “Selain ringan, kayu ini juga mempunyai warna yang cerah sehingga menarik,” kata Dewi. Selain itu Dewi juga rajin datang ke seminar-seminar yang berkaitan dengan pendidikan atau kesehatan. Dia juga membaca buku psikologi pendidikan dan psikologi anak. Dia juga rajin berdiskusi dengan konsumen – yang kebanyakan pendidik – untuk mendapatkan informasi mainan seperti apa yang dibutuhkan. “Setelah mendapat gambaran, baru suami saya mencoba membuat contoh barangnya. Dia insinyur teknik sipil sehingga bisa mengukur dan memotong,” kata istri M. Arif ini.Contoh barang itu kemudian dibawa ke tukang untuk dibuat dalam jumlah banyak. “saat ini saya tidak lagi memakai tukang di sekitar rumah. Saya sekarang mempunyai dua tukang tetap di daerah Cianjur, jawa barat. Ongkos produktif lebih murah disana, “ ujar Dewi. Setelah dibuat dan dihaluskan, barang dibawa ke rumah Dewi untuk di beri warna dan dikemas. Di rumahnya, Dewi dibantu lima karyawan untuk melakukan semua pekerjaan itu, termasuk menjaga pameran. Hingga kini pemasaran yang dilakukan Dewi hanyalah lewat pameran. Menurutnya, untuk memenuhi permintaan pameran saja, dia sudah agak kewalahan. “Sedikitnya setiap bulan satu kali saya berpameran. Untuk pamerannya sih tidak berat, tetapi setelah itu, pemesanan pasti membeludak,” ujar Dewi menjelaskan. Pernah suatu kali dia menerima pesanan dari Angkatan Udara untuk memasok mainan ke seluruh taman kanak-kanak milik Angkatan Udara. Jumlahnya hingga ribuan. Pelanggannya memang sebagian besar adalah sekolah dan lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan pendidikan. “Saya juga sering mendapat pesanan dari majalah anak. Mereka memesan untuk hadiah bagi pembacanya, ujar dia.Menurut Dewi, ketekunan mengikuti pameran merupakan kunci sukses bisnisnya. Dewi mengakui tidak semua pameran yang diikutinya mendatangkan keuntungan. Ada juga pameran-pameran yang justru membuatnya merugi.Namun Dewi tidak melihat satu per satu pameran, tetapi keseluruhannya dalam satu tahun. “Kalau satu tahun, kita akan melihat mengikuti pameran itu mendatangkan keuntungan, terutama pemesanan setelah pameran selesai,” kata dia. Untuk memperbanyak macam barang, Dewi juga membeli mainan pendidikan dari Cina. Semua mainan yang dibeli juga harus mempunyai nilai edukasi. Namun, yang dibeli hanyalah mainan yang terbuat dari plastik. “Kalau bahan bakunya kayu, produk kita masih bisa bersaing dalam harga. “Tetapi kalu dari plastik, produk China lebih unggul,” kata Dewi. Pemasaran yang bisa dibilang cukup sukses itu tanpa disadari membuat usaha Dewi semakin besar. Sekarang dia sudah dipercaya oleh pemasok bahan baku sehingga untuk belanja bisa memakai giro. Dia menaksir, barang-barang yang ada di tempat penyimpanan saat ini bernilai 100 juta. Ini belum termasuk barang-barang yang dia titipkan di beberapa pusat terapi anak. “Tanpa terasa modal yang hanya Rp. 500.000 itu sekarang sudah menjadi Rp. 100 juta. Modalnya hanya ketekunan dan tidak takut rugi.” tutur Dewi.
Avin Fadilla Helmi
5