Saipul Hamdi / Model Sederhana Radiasi Matahari Global di BPD Watukosek, Jawa Timur
137
Model Sederhana Radiasi Matahari Global di BPD Watukosek, Jawa Timur Saipul Hamdi dan Sumaryati Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Jl. Dr. Djundjunan No. 133 Bandung 40173 email:
[email protected]
Abstrak – Sumber energi yang berlimpah adalah berasal dari radiasi matahari. Pada karya ilmiah ini telah dibangun sebuah model sederhana untuk memprediksikan insolasi H pred menggunakan persamaan Angstrom. Model ini dibangun menggunakan data insolasi dan lama penyinaran matahari di BPD Watukosek tahun 2014, Konstanta Angstrom yang diperoleh dari perhitungan kemudian digunakan untuk melakukan prediksi insolasi H pred. Dari model sederhana ini diperoleh mean percentage error sebesar -0,8% dan mean absolute percentage error sebesar 7,2%. Kata kunci: radiasi matahari, konstanta Angstrom, mean percentage error, mean absolute percentage error Abstract – Solar radiation provides abundant energy waiting to explore. In this paper, we described a simple model to predict the incoming solar radiation Hpred using Angstrom equation. The model is developed based on incoming global solar radiation and sunshine duration measurement at BPD Watukosek in 2014. The Angstrom contants yielded from the calculation is then used to predict the incoming solar radiation Hpred. Mean percentage error and mean absolute percentage error of the result is -0,8%, and 7,2%, respectively. Keywords: solar radiation, Angstrom constants, mean percentage error, mean absolute percentage error
I. PENDAHULUAN Energi matahari dalam bentuk gelombang elektromagnet merupakan energi utama yang menggerakkan proses-proses fotokimia di lapisan atmosfer bumi, ataupun proses fisika lainnya misalnya menghasilkan uap air yang akan turun kembali sebagai hujan. Radiasi matahari yang memasuki puncak atmosfer dikenal dengan istilah konstanta matahari, dan besarnya dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya adalah aktivitas matahari dan jarak bumi-matahari. Ketika menembus lapisan atmosfer bumi, sinar matahari akan mengalami pelemahan yang berkaitan dengan proses penyerapan energi dan penghamburan arah gerak yang disebabkan oleh beberapa senyawa gas dan padatan yang ada di atmosfer, misalnya uap air dan debu serta aerosol. Data-data radiasi matahari menjadi sangat penting dalam mempelajari fenomena atmosfer, misalnya analisa cuaca dan prediksinya karena radiasi matahari menjadi penggerak proses-proses meteorologika. Salah satu penggunaan data radiasi matahari adalah dalam parameterisasi awan yang diperlukan di dalam general circulation models (GCMs) [1] dan sebagai sumber daya yang bernilai dalam melakukan validasi GCMs [2,3]. Informasi mengenai distribusi geografis dan perubahan energi radiasi matahari terhadap waktu pada permukaan bumi tidak hanya diperlukan dalam mempelajari iklim dan cuaca namun juga di bidang pertanian dan tanaman pangan, hidrologi, ekologi, dan program-program pengembangan energi. Beberapa model canopy-scale untuk fotosintesis telah dikembangkan dengan menggunakan dekomposisi radiasi matahari dan variasi komponennya [4]. Perancangan, pengembangan, dan pemanfaatan energi matahari serta sistem
konversinya diperlukan untuk mengeksploitasi energi matahari yang sangat berlimpah, dan evaluasi kinerja sistem energi tersebut di dalam daerah terbatas memerlukan informasi mengenai karakteristik variasi dan distribusi jumlah energi matahari yang diterima di suatu lokasi [5, 6, 7]. Tulisan ini disusun untuk membangun model sederhana radiasi matahari dari data radiasi global matahari yang diukur di BPD Watukosek pada tahun 2014 dengan cara menentukan konstanta Angstrom. II. LANDASAN TEORI Pada tahun 1924 Angstrom mengusulkan sebuah persamaan regresi yang dapat digunakan untuk memperkirakan radiasi global yang dihitung dari rata-rata bulanan [8]. Persamaan yang diusulkan tersebut adalah sebagai berikut (1) Di dalam persamaan (1) tersebut, Hh adalah rata-rata bulanan radiasi global matahari pada permukaan mendatar (MJ.m-2.day-1), Ho adalah rata-rata bulanan radiasi global matahari di ekstraterestrial pada permukaan mendatar (MJ.m-2.day-1). N adalah rata-rata bulanan jumlah maksimum harian kemungkinan matahari bersinar, atau disebut juga sebagai panjang siang, dan n adalah rata-rata bulanan lama penyinaran matahari. Konstanta a dan b adalah konstanta regresi yang akan dihitung di dalam tulisan ini. Untuk menghitung energi radiasi matahari di extraterrestrial maka digunakan persamaan (2) sebagai berikut.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
138
Saipul Hamdi / Model Sederhana Radiasi Matahari Global di BPD Watukosek, Jawa Timur
0,033
360 365cos cos sin + sin sin ........................................
(2)
Besaran d adalah Julian day atau urutan hari dalam satu tahun, dan Isc merupakan konstanta matahari yang nilainya ditetapkan sebesar 1367 Wm-2. Selanjutnya, δ adalah sudut deklinasi bumi dan dapat dihitung menggunakan persamaan (3). (3) Sudut jam matahari terbit dihitung menggunakan persamaan (4). (4) Lama penyinaran matahari yang mungkin di dalam satu hari, dihitung menggunakan persamaan (5) (5) Penggunaan persamaan Angstrom untuk memperkirakan radiasi global matahari telah dilakukan dengan hasil yang memuaskan di Malawi. Hasilnya menunjukkan korelasi yang tinggi (0,63-0,99) pada beberapa lokasi pengukuran di Malawi [9]. Prediksi radiasi global matahari menggunakan konstanta Angstrom di Malawi dimaksudkan untuk keperluan pemanfaatan energi matahari sebagai sumber energi listrik yang tidak menimbulkan permasalahan polusi udara. Mean Bias Eror (MBE) sebesar ±10% didapat dari radiasi matahari yang dihitung dan diukur pada beberapa lokasi, sehingga persamaan (1) menjadi sangat berguna dalam memperkirakan energi radiasi matahari di Malawi. Rahimi et. al. [10] pada tahun 2012 melakukan kalibrasi persamaan Angstrom menggunakan MetaHeuristic Harmony Search Algorith dalam upayanya untuk memperkirakan radiasi matahari di Mashad, Iran Barat. Dengan menggunakan radiasi matahari harian dan lama penyinaran matahari harian menghasilkan konstanta Angstrom dengan nilai korelasi persamaan R2=0,9047. Berdasarkan beberapa uji statistika diperoleh hasil bahwa konstanta Angstrom yang diperoleh telah memberikan hasil yang sangat baik , demikian juga dengan nilai-nilai RMSE, dan MBE berada di dalam rentang yang diterima. MAPE atau mean absolute percentage error adalah sebuah ukuran keakurasian dari sebuah metode yang digunakan untuk membangun nilai-nilai deret waktu yang tetap khususnya dalam trend estimation. MPE adalah persentasi rata-rata kesalahan yang diperoleh dari perbedaan antara nilai-nilai terukur dan nilai-nilai prediksi terhadap nilai-nilai terukurnya, dan ini sangat bermanfaat dalam melakukan prediksi. III. METODE PENELITIAN/EKSPERIMEN Untuk tujuan penulisan ini maka digunakan data radiasi matahari (insolasi) yang berasal dari 2 jenis alat ukur, yaitu pyranometer global dan sun shine duration sensor. Kedua alat ukur ini dibuat oleh Eko Instrument Co di Jepang dengan kode tipe MS-802 untuk pyranometer global dan MS-093 untuk sun shine duration sensor. Hasil pengukuran kedua alat ukur ini direkam menggunakan data logger MP-090. Kedua alat ukur mulai melakukan pengukuran pada akhir tahun 2013,
sedangkan untuk keperluan penulisan ini data yang digunakan adalah data tahun 2014. Secara teratur bagian permukaan sensor dibersihkan dari debu-debu yang menempel dan berpotensi menahan insolasi yang tiba di permukaan sensor. Perekaman data dilakukan setiap 15 menit sekali. Data yang dicatat dan diukur oleh MS-802 merupakan insolasi sesaat (Watt.m-2.s-1) sehingga perlu dihitung ulang untuk mendapatkan jumlah energi harian (MJ.m2 .day-1) menggunakan prinsip trapesium (jumlah sisi sejajar dikalikan dengan setengah tinggi). Di dalam tulisan ini, jumlah energi harian yang diterima oleh permukaan bumi menggunakan simbol Hh. Jumlah energi yang dihitung tiap interval pengukuran 15 menit kemudian dijumlahkan dalam satu hari sehingga diperoleh jumlah energi harian yang diterima oleh permukaan bumi. Sementara itu, MS-093 juga mengukur lama penyinaran matahari dalam interval 15 menit yang sama, sehingga jumlah penyinaran dalam satu hari diperoleh dari penjumlahan lama penyinaran tiap-tiap interval 15 menit tersebut. Di dalam tulisan ini, jumlah/lama penyinaran matahari dalam satu hari disimbolkan sebagai n. Tidak semua hari pengamatan menghasilkan pasangan data Hh dan n yang dapat digunakan di dalam penulisan ini. Masalah umumnya berkaitan dengan gangguan kelistrikan yang terjadi. Bahkan, data bulan April 2014 tidak diperoleh sama sekali. Jumlah hari data yang dipergunakan di dalam kegiatan ini adalah 286 hari. Radiasi matahari puncak atmosfer dihitung menggunakan persamaan (2). Lama penyinaran matahari diukur menggunakan MS-093 dan dihitung juga panjang siangnya menggunakan persamaan (5). Selanjutnya, ditentukan juga mean squared error (MSE) menggunakan persamaan (6a) dan mean percentage error menggunakan persamaan (7a) untuk keperluan prediksi di masa yang akan datang [11]. Selain itu, perhitungan juga dilengkapi dengan mean absolute deviation dan mean absolute precentage error. (6a) (6b) (7a) (7b)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengolahan data radiasi matahari dan perhitungannya ditunjukkan pada gambar 1, 2, dan 3. Gambar 1 adalah energi radiasi matahari yang dihitung di puncak atmosfer Ho (garis merah) dan yang diukur di BPD Watukosek Hh (bulatan biru) pada tahun 2014. Fluktuasi pada radiasi puncak atmosfer Ho secara umum disebabkan karena perubahan jarak bumi-matahari yang garis edarnya berbentuk ellips. Jarak terdekat bumimatahari dicapai sekitar bulan Januari sehingga pada saat tersebut energi matahari yang diterima bumi Hh mencapai jumlah maksimum. Demikian juga sebaliknya, ketika bumi-matahari mencapai jarak terjauhnya di sekitar bulan Juli maka energi radiasi matahari yang
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Saipul Hamdi / Model Sederhana Radiasi Matahari Global di BPD Watukosek, Jawa Timur
30 20 10
energi permukaan
0 1
31
61
Energi (W.m-2.day-2)
Lama penyinaran matahari dan panjang siang di BPD Watukosek tahun 2014
15 10
lama penyinaran matahari
panjang siang
5 0 1
31
61
91
121
151 181 Julidan Day
211
241
271
301
331
361
Gambar 2. Lama penyinaran matahari yang diukur di BPD Watukosek (bintik biru) dan panjang siang yang dihitung (garis merah) pada tahun 2014.
Energi radiasi matahari puncak atmosfer dan permukaan di BPD Watukosek tahun 2014
40
lebih pendek, dan diduga berhubungan dengan meningkatnya komposisi atmosfer yang menghambat laju radiasi matahari. Hal ini sejalan dengan menurunnya jumlah energi radiasi matahari Hh yang diukur di permukaan.
energi puncak atmosfer
91 121 151 181 211 241 271 301 331 361 Julidan Day
Gambar 1. Energi radiasi matahari yang dihitung di puncak atmosfer (garis merah) dan yang diukur di BPD Watukosek (bintik biru) pada tahun 2014.
Penyerapan energi radiasi matahari oleh ozone terjadi di pita ultraviolet, dan penyerapan oleh uap air dan karbondioksida terjadi di pita yang sangat lebar. Uap air berkaitan dengan awan yang terbentuk di atmosfer, terutama troposfer bawah. Secara kasat mata dapat dibuktikan bahwa penutupan awan mengakibatkan menurunnya intensitas radiasi matahari yang berkaitan dengan menurunnya energi matahari di permukaan pada selang waktu tertentu. Terjadinya fluktuasi energi permukaan Hh dapat disebabkan karena berubahnya komposisi atmosfer misalnya uap air dalam bentuk penutupan awan. Uap air merupakan faktor yang mendominasi pelemahan energi radiasi matahari. Di dalam penulisan ini, besaran penutupan awan tidak dipermasalahkan di dalam penghitungan. Lama penyinaran matahari n yang diukur di BPD Watukosek menggunakan MP-093 ditampilkan pada gambar 2, diwakili oleh bulatan berwarna biru. Gambar 2 dilengkapi juga dengan panjang siang N yang diwakilkan oleh garis berwarna merah. Sumbu mendatar adalah Julian Day yaitu hari ke- dalam satu tahun. Secara teoritis, pola panjang siang N adalah berlawanan dengan pola energi radiasi matahari puncak atmosfer Ho, yaitu siang semakin panjang pada saat matahari semakin menjauh. Lama penyinaran matahari n kelihatannya tidak berkorelasi secara langsung dengan panjang siang maupun jarak bumi-matahari, namun memiliki penyinaran yang lebih singkat pada saat musim hujan (pada saat ini bumi mengalami jarak terdekat dengan matahari). Bahkan pada bulan Juli – Agustus lama penyinaran matahari n mengalami durasi waktu yang
Hasil pengolahan data radiasi matahari dan lama penyinaran matahari di Bandung disampaikan pada gambar 3. Pada gambar tersebut, sumbu mendatar adalah n/N yaitu rasio antara lama penyinaran matahari terhadap panjang siang. Sumbu vertikal adalah Hh/Ho yaitu rasio insolasi terhadap radiasi matahari di ekstraterestrial. Keterkaitan antara Hh/Ho dan n/N diwakilkan oleh bulatan berwarna hitam, sedangkan garis lurus berwarna merah adalah trendline, dan dilengkapi juga dengan persamaan trendline dan koefisien determinasi R2. Koefisien determinasi R2=73,2% menunjukkan bahwa variasi dalam data yang dapat dijelaskan oleh model yang telah dibangun ini adalah sebesar 73,2%, sedangkan sisanya berhubungan dengan hal-hal lain di luar lama penyinaran matahari dan panjang siang. Selain itu, diperoleh juga koefisien korelasi r = 0,86 yang berarti bahwa keterikatan antara n/N dan Hpred/Ho adalah sebesar 85%. Persamaan trendline tersebut kemudian diaplikasikan ke dalam masalah yang sedang diteliti sehingga diperoleh persamaan (8). ...............................
(8)
1.00
y = 1.085x + 0.283 R² = 0.731
0.80
hh/Ho
Energi (W.m-2.day-2)
diterima bumi mencapai jumlah terendah dalam satu siklus edar bumi mengelilingi matahari. Hal ini berdampak juga pada energi radiasi yang diukur di permukaan bumi Hh. Selain mengikuti fluktuasi yang disebabkan oleh jarak bumi-matahari, besarnya energi matahari yang diterima oleh permukaan bumi disebabkan juga karena hamburan dan serapan oleh senyawa seperti ozon, CO2, uap air, dan aerosol. Aerosol menurunkan visibilitas dan mengubah iklim melalui penghamburan dan penyerapan radiasi matahari [12, 13]. Pelemahan energi matahari karena aerosol berdampak pada prosesproses fotokimia seperti misalnya pembentukan ozon troposfer, melalui perubahan kesetimbangan energi di atmosfer [14]. Aerosol juga dipercaya mempengaruhi produktivitas tanaman pangan dengan cara memperlemah reaksi photosinthetically active radiation (PAR) [15].
139
0.60 0.40 0.20
Hh/Ho
trendline
0.00 0.00
0.20
n/N
0.40
0.60
Gambar 3. Keterkaitan antara Hh/Ho dan n/N di atas Bandung dalam penentuan konstanta Angstrom. Diperoleh a=0,2836 dan b=1,0851 dengan koefisien keterkaitan R2=0,7319.
Dalam bentuk yang lain maka persamaan (8) dapat disesuaikan menjadi persamaan (9) (9)
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
140
Saipul Hamdi / Model Sederhana Radiasi Matahari Global di BPD Watukosek, Jawa Timur
Dengan memasukkan n/N ke dalam persamaan (9) maka dapat dihitung tanpa perlu melakukan pengukuran insolasi. Kemudian, melalui persamaan (6a & 6b) dan (7a & 7b) maka diperoleh hasil sebagai berikut. MSE = 2,65 MJ.m-2.day-1 MAD = 1,32 MJ.m-2.day-1 MPE = -0,8% MAPE = 7,2% MSE mengukur rata-rata untuk error yang dikuadratkan, yaitu perbedaan antara estimator dan yang diestimasikan, atau antara Hobsdan Hpred. MSE merupakan sebuah fungsi dari resiko yang menghubungkan radiasi global yang diharapkan dari kuadrat error loss. Terjadinya perbedaan antara Hobs dan Hpred disebabkan karena adanya data yang acak, atau karena estimasi yang kurang akurat. Di dalam pemodelan ini diperoleh MSE sebesar 2,65 MJ.m-2.day-1 dan MAD sebesar 1,32 MJ.m1 .day-1. MAD merupakan sebuah ukuran yang menggambarkan penyimpangan absolut rata-rata dari besaran yang ditaksir, dalam hal ini adalah insolasi Hpred. Dalam penggunaannya terhadap prediksi insolasi Hpred maka dengan menggunakan persamaan (9) akan diperoleh deviasi rata-rata sebesar 1,32 MJ.m-2.day-1 yang harus diperhitungkan. MPE yang diperoleh di dalam model ini adalah sebesar -0,8% yaitu persentasi kesalahan yang disebabkan adanya perbedaan antara Hpred dan Hobs. Ini berarti bahwa tingkat kesalahan dalam memprediksikan insolasi adalah secara rata-rata sebesar 0,8% lebih rendah dari nilai yang rata-ratanya. Sementara itu, MAPE dari model sederhana persamaan (9) adalah sebesar 7,2% yang merupakan nilai rata-rata dari kesalahan absolut. Ini menunjukkan bahwa jumlah kesalahan rata-rata prediksi insolasi tanpa mempertimbangkan nilai-nilai positif dan negatifnya adalah sebesar 7,2% dari nilai seharusnya. V. KESIMPULAN Model sederhana radiasi global yang dibangun menggunakan data radiasi matahari dan lama penyinaran matahari di BPD Watukosek memiliki tingkat akurasi yang tinggi dengan persentasi kesalahan rata-rata MPE sebesar -0,8% dan persentasi kesalahan absolut rata-rata MAPE sebesar 7,2%. Model ini dapat digunakan untuk memprediksi energi matahari yang melimpah sebagai analisa awal dalam pengembangan energi alternatif. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada rekan-rekan operator dari BPD Watukosek, khususnya Bpk. Thohirin, A.Md. PUSTAKA [1] Stokes, G.M., Schwartz, S.E.,The Atmospheric Radiation Measurement (ARM) Program: Programmatic background design of the cloud and radiation test bed. Bulletin of the American Meteorological Society, Vol 75, 1994, pp. 12011221.
[2] Hansen, J.W., Stochastic Daily Solar Irradiance for biological modeling applications,Agricultural Meteorology, Vol 94, 1999, pp 53-63. [3] Izimion, M.G., Mayer, H., Performance of solar radiation models – a case study. Agricultural Meteorology, Vol 110, 2001, pp 1-11. [4] De Pury, D.G.G., Farquhar, G.D., Simple scaling of photosynthesis from leaves to canopies without the errors of big-leaf models. Plant Cell and Environment, Vol 20, 1997, pp. 537-557. [5] Duffie, J.A., Beckman, W.A., Solar Engineering of Thermal process, John Wiley and Sons: New York, 1991. [6] Coppolino, S., A new correlation between clearness index and relative sunshine,Renewable Energy, Vol 4(4), 1994, pp.417-423. [7] Ali, A.L., Atsu, S.S.D., Jervase, J.A., Monthly average daily solar radiation and clearness index contour maps over Oman energy conversion and management. Vol. 44, 2003, pp.691-705. [8] Angstrom, A., 1924, Solar and Terrestrial Radiation, Quarterly Journal of the Royal Meteorological Society, Vol. 20, No. 210, 1924, pp. 121-125. [9] Salima, G., G.M.S. Chavula, 2012,Determining Angstrom Constants for Estimating Solar Radiation in Malawi,International Journal of Geosciences, Vol. 3, 2012, pp. 391-397. [10] Rahmini, I., B. Bakhtiari, K. Qaderi, M. Aghababaie, Calibration of Angstrom equation for estimating Solar Radiation using Meta-Heuristic Harmony Search Algorithm (case study: MashhadEast of Iran, Energy Procedia, Vol 18, 2012, pp. 644-651. [11] Falayi, E.O., J.O. Adepitan, A.B. Rabiu, Empirical Models for the correlation of Global Solar Radiation with Meteorological Data for Iseyin, Nigeria,The Pacific Journal of Science and Technology, Vol. 9, 2008, No. 2, pp 583-591. [12] Waggoner, A.P., Weiss, R.E., Larson, T.V., In-situ rapid response measurement of H2SO4/(NH4)2SO4 aerosols in urban Houston: A comparison with rural Virginia,Atmos. Envinron., vol 17, 1983, pp.17231731. [13] Schwartz, S.E., The whitehouse effect-shortwave radiative forcing of climate by anthropogenic aerosol: an overview,J. Aerosol Sci., vol 3, 1996, pp.359-382. [14]Dickerson, R.R., Kondragunta, S., Stenchikov, G., Civerolo, K.L., Doddridge, B.G., Holben, B.N., The Impact of Aerosols on Solar Ultraviolet Radiation and Photochemical Smog, Science, vol 278, 1997, pp.827-830. [15] Chameides, W.L., H.Yu, S.C. Liu, M. Bergin, X. Zhou, L. Mearns, G. Wang, C.S. Kiang, r.D. Saylor, C. Luo, Y.Huang, A.Steiner, F.Giorgi, Case Study of The Effects of Atmosperic Aerosols and Regional Haze on Agriculture: An Opportunity to Enhance Crop Yields in China Through Emission Controls,Proc. Nat. Acad. Sci., vol 96, 1999, pp.13626-13633.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823
Saipul Hamdi / Model Sederhana Radiasi Matahari Global di BPD Watukosek, Jawa Timur
TANYA JAWAB Eko Hadi P, ITS ? Apakah ada pengaruh dari ketinggian, kemiringan alat pyranometer dalam menangkap radiasi matahari? ? Bagaimana keefektifan pyranometer dalam menangkap radiasi matahari?
141
Andrias Sanggra, ITS ? Apakah arti fisis dari grafik hubungan H/H0 dengan N/n yang diperoleh konstanta a dan b? ? maksud dari konstanta a dan b dan pengaruhnya terhadap energi radiasi?
Saipul Hamdi, LAPAN √ Ketinggian topografi menjadi salah satu faktor penentu insolasi.Semakin tinggi dari permukaan laut maka semakin pendek optical path sehingga insolasi menjadi semakin kuat. Alat ini harus diletakkan pada permukaan yang datar, dan akan menangkap radiasi matahari dirrect dan diffuse. √ Keefektifan sangat bergantung pada sensitivitas dan alat ini dikalibrasi setiap dua tahun, dan merupakan produk yang akurasinya dapat dipertanggungjawabkan.
Saipul Hamdi, LAPAN √ Grafik ini menjelaskan hubungan antara energi radiasi matahari terhadap lama penyinaran matahari.Ketika penyinaran matahari singkat maka energinya kecil. √ “b” adalah gradien grafik yang menunjukkan respon energi matahari terhadap lama penyinaran matahari, sedangkan konstanta “a” adalah energi maksimum pada saat matahari tidak bersinar, dalam hal ini intensitas matahari < 120 W/m2. Ini terjadi jika langit mendung dan intensitas matahari yang tercatat < 120 W/m2 det. Hal ini berkaitan dengan definisi dari WMO yaitu lama penyinaran matahari jika dihitung jika intensitas matahari > 120 W/m2
M . Souisa Saran : Pengambilan data yang digunakan hanya pada stasiun pengamatan sehingga pada intensitas dan energi yang diperoleh hanya pada stasiun tersebut, sehingga apabila digeser pasti polanya berbeda. Hal ini perlu ditegaskan dalam hasil dan kesimpulan.
Sismanto, UGM ? Seberapa penting penentuan luas dalam integral untuk menghitung energi H0. Bila penting perhitungan sebaiknya lebih akurat dengan didekati fungsi polinomial
Saipul Hamdi, LAPAN Terima kasih atas sarannya akan kami pertimbangkan dalam revisi makalah. Ini merupakan langkah awal dalam membangun model radiasi matahari di Indonesia. Akan dilakukan penyusunan model radiasi matahari yang disusun menggunakan data dari banyak titik pengamatan. Yatti Pratyas, UNDIP ? Apakah pernah dilakukan penelitian sebelumnya sehingga dapat terlihat pola energi tiap tahun? ? termasuk dalam range energi dimana penelitian yang dilakukan?
Saipul Hamdi, LAPAN √ Persamaan Angstrom (1924) mensyaratkan penggunaan energi matahari, sehingga kami harus menghitung ulang karena sensor kami hanya mencatat intensitas : t2
W
I (t ) t1
kami pernah mencoba menggunakan polinomial orde 2 dan orde 3 namun tidak semua data bisa didekati dengan baik, terutama untuk data-data yang mengandung “cloudy”. Penggunaan “metode segi tiga” akan menghasilkan nilai over estimate dan underestimate yang akan saling meniadakan. Terima kasih atas sarannya.
Saipul Hamdi, LAPAN √ Belum pernah dan ini merupakan langkah awal kami dalam membangun model radiasi matahari √ sensor kami bekerja pada λ 250 – 3000 nm sehingga mencakup spektrum UV, visible dan infrared
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015 ISSN : 0853-0823