Gugatan terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan informasi No: 01 PER/M.KOMINFO/01/2009 tentang SMS/MMS Premium
Take Home Test Ujian Akhir Semester Regulasi Hukum Telekomunikasi
Dosen
DR. Ir. Iwan Krisnadi, MBA Disusun oleh
Hepy Purnomo 55408110022 PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER MANAJEMEN TELEKOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCUBUANA JAKARTA 2009
Judul Gugatan terhadap Peraturan Menteri Komunikasi PER/M.KOMINFO/01/2009 tentang SMS/MMS Premium
dan
informatika no: 01
Visi dan Misi Visi merupakan gambaran umum kedepanya suatu organisasi sedangkan misi merupakan dasar arahan untukmencapai misi tersebut sehingga dalam hal ini regulator telekomunikasi memerlukan terlebih lagi dalam menjamin keberlangsungan telekomunikasi di indonesia, oleh karena itu diperlukan visi dan misi terhadap permen no.1 tahun 2009 yaitu: Visi Membangun dan mengembangkan tehnologi telekomunikasi indonesia dengan melindungi seluruh rakyat indonesia Misi 1. Menumbuh dan mengembangkan teknologi telekomunikasi di indonesia 2. Meningkatkan diversifikasi penyelenggaraan jasa telekomunikasi (konten lokal) berupa pesan premium yaitu sms (short messaging service) dan mms (multimedia messaging service) 3. Melindungi masyarakat pengguna jasa pesan premium dengan mengatur penyelenggaraanya ke banyak tujuan(broadcast) 4. Penyelenggara jasa premium dapat mengembangkan bisnisnya dengan baik dan terarah (tidak merugikan antar penyelenggara dan pengguna jasa konten)
Dasar hukum dan regulasi Peraturan menteri komunikasi dan informatika No: 01 PER/M.KOMINFO/01/2009 penyelenggaraan jasa pesan premium dan pengiriman jasa pesan singkat (short messaging service/sms) ke banyak tujuan (broadcast) memerlukan pijakan hukum sebagai pokok-pokok yang perlu diperhatikan antara lain: 1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881)
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843)
3.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3980)
4.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3981)
5.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor: 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor: 20 Tahun 2008
6.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor: 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor: 21 Tahun 2008
7.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.20 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunisasi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 30/Per/M.KOMINFO/10/2008
8.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 31 /Per/M.KOMINFO/10/2008
9.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 03/P/M.Kominfo/5/2005 tentang Penyesuaian Kata Sebutan pada Beberapa Keputusan/Peraturan Menteri Perhubungan yang Mengatur Materi Muatan Khusus di Bidang Pos dan TelekomuniKasi
10.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 25/P/M.KOMINFO/07/2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Informatika
Pokok permasalahan
Peraturan menteri komunikasi dan informatika No:01PER/M.KOMINFO/01/2009 yang dinilai merugikan oleh penyedia jasa konten premium adapun pokok permasalahanya antara lain: Pasal 2 (1)
Penyelenggaraan jasa pesan premium diselenggarakan setelah mendapat izin.
(2)
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pendaftaran penyelenggaraan jasa pesan premium kepada BRTI.
1. Pasal 2 memberikan kewajiban kepada penyelenggara jasa pesan untuk mendaftarkan diri kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) hal tersebut yang membuat keberatan, karena sebelumnya penyelenggara jasa pesan premium hanya perlu SIUP (surat ijin usaha perusahaan) yang diterbitkan oleh departemen perindustrian. Pasal 6 (1)
Penyelenggara jasa pesan premium wajib membayar Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi.
(2)
Tarif Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
2. Konsekuensi ‘status’ baru itu membawa perubahan pada pembayaran Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP). Sebelum Permenkominfo itu berlaku, pembayaran BHP hanya dikenakan sebesar 0,5 persen (0.5 %) dari bruto yang akan dibayarkan perusahaan penyedia jasa pesan premium. BHP itu akan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pascakelahiran Permenkominfo, BHP yang ditarik menjadi satu persen (1%).
Data-data Data-data yang digunakan semua diambil dari internet (download) yang digunakan sebagai acuan pembuatan tugas ini adalah: 1. Undang-undang (UU): a. Nomor: 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. b. Nomor: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 2. Peraturan Pemerintah (PP): a. Nomor: 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi b. Nomor: 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit 3. Peraturan Pesiden (Perpres):
a. Nomor: 20 Tahun 2008 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja b. Nomor: 21 Tahun 2008 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I 4. Peraturan Menteri (Permen) a. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 3031/Per/M.KOMINFO/10/2008 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunisasi b. Nomor: 03/P/M.Kominfo/5/2005 tentang Penyesuaian Kata Sebutan c. Nomor: 25/P/M.KOMINFO/07/2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Fungsi dan tujuan dasar hukum Setiap kebijakan dalam hal ini adalah regulasi telekomunikasi di indonesia sudah bisa dipastikan menuai pro dan kontra pada penerapanya ditengah masyarakat. Untuk itulah diperlukan sebuah dasar hukum dan peraturan. Fungsi dasar hukum dan peraturan yang terkait dengan permen no.1/2009 merupakan suatu kewajiban dalam menyusun kerangka pokok kebijakan (regulasi). Karena dari dasar hukum tersebut yang nantinya akan dikembangkan peraturanperaturan lebih rinci untuk menjelaskan setiap detil kebijakan tersebut. Sehingga dasar hukum memiliki tujuan dimana jika timbul suatu masalah dan kerancuan penerapan aturan dapat menjadi tempat pijakan sebagai penyelesaianya.
Analisa terhadap pokok permasalahan Ada dua pokok masalah yang menjadikan gugatan penyedia jasa layanan pesan premium dan dicarikan penyelesaianya, dibawah ini yaitu: Pertama, Pasal 2 memberikan kewajiban kepada penyelenggara jasa pesan untuk mendaftarkan diri kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) hal tersebut yang membuat keberatan, karena sebelumnya penyelenggara jasa pesan premium hanya perlu SIUP (surat ijin usaha perusahaan) yang diterbitkan oleh departemen perindustrian. Mengacu pada fungsi dan wewenang BRTI susuai Sesuai KM. 31/2003 dan KM. 67/2003 maka dengan demikian izin pendaftaran penyelenggaraan SMS premium harus diatur karena merupakan ketentuan substansial dimana BRTI dalam hal ini yang memeliki kewenangan. Sehingga tidak ada lagi keraguan suatu badan atau organisasi yang punya kekuatan untuk mengatur, mengawas dan mengendalikan jalannya aturan telekomunikasi di indonesia yaitu hanya BRTI. Selain itu perizinan harus juga disertai dengan suatu proses yang transparan sehingga penyelenggara jasa pesan premium (content provider) tidak mengalami keraguan apakah nantinya izinya tidak keluar, hanya karena dikhawatirkan
banyaknya pungutan dalam proses perizinan tersebut. Sehingga dalam hal ini BRTI harus lebih tegas terhadap komponen perizinan diinternalnya. Kedua, Konsekuensi ‘status’ baru itu membawa perubahan pada pembayaran Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP). Sebelum Permenkominfo itu berlaku, pembayaran BHP hanya dikenakan sebesar 0,5 persen (0.5 %) dari bruto yang akan dibayarkan perusahaan penyedia jasa pesan premium. BHP itu akan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pascakelahiran Permenkominfo, BHP yang ditarik menjadi satu persen (1 %) Aturan mengenai pengenaan BHP mengikuti yang sudah ada, yakni 1 persen dari gross revenue (pendapatan kotor) perusahaan, tanpa peduli perusahaan itu untung atau rugi. Sedangkan sms dan multimedia itu adalah jasa konten, bukan jasa telekomunikasi baik dasar maupun non dasar. Selama ini CP (content provider) mengaku membayar BHP yang sudah dibayarkan bersama provider telekomunikasi, Menjadi perhatian penting dalam hal ini adalah keharusan pemisahan BHP yang bersumber dari provider telekomunikasi dan provider konten. Sehingga tidak ada lagi keraguan yang selama ini menjadi pertanyaan. Selain itu BRTI juga harus menjelaskan bahwa BHP dikumpulkan nantinya bukan untuk “pendapatan” BRTI akan tetapi digunakan negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBK) yang nantinya pengawasan dan penggunaanya diawasi bersama.
Kesimpulan
1. Posisi regulator adalah bagaimana menjaga industri ini tetap berkesinambungan mengingat era broadband sudah di depan mata dan posisi konten akan menjadi signifikan. Hanya saja, di sisi lain, dengan perkembangan jasa layanan pesan premium seperti SMS/MMS Premium yang dalam beberapa tahun terakhir ini dirasa banyak merugikan konsumen, maka regulator merasa perlu untuk mencoba membina industri ini menjadi lebih baik 2. Dalam Permen No. 01/2009, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian penyedian konten untuk melindungi masyarakat konsumen, seperti: proses aktivasi yang harus semudah proses deaktivasi, adanya customer service yang bisa dihubungi pelanggan, kemudian pelanggan juga harus tahu mengenai tarif berlangganan dan berapa kali akan menerima layanan dalam sehari. Aturan ini selain berguna untuk masyarakat konsumen, juga memerikan rasa aman bagi industri konten agar tidak mendapatkan citra negatif. Dan yang diatur hanyalah SMS/MMS Premium 3. BRTI merupakan gabungan Ditjen Postel dan Komite Regulasi Telekomunikasi dimana Dirjen Postel secara ex officio adalah juga Ketua BRTI. Dan fungsi BRTI mengacu pada KM. 31/2003 dimana di dalamnya juga terkait dengan
perijinan. Fungsi ini bukan pertama diterapkan dalam jasa pesan premium, tapi memang sudah berjalan untuk perijinan lainnya. 4. Masalah di penyedia konten itu sebenarnya pada ketimpangan dalam pembagian keuntungan dengan operator. Kegiatan bisnisnya menjadi makin berat dengan adanya pungutan BHP. Seharusnya mereka meminta bantuan mediasi ke regulator untuk mendesak operator meningkatkan revenue sharing. 5. BRTI harus mempermudah perizinan untuk penyelenggara jasa pesan premium dan jika memungkinkan memberikan laporan berapa besar BHP yang dikumpulkan sehingga CP (content provider) puas dengan apa yang mereka bayarkan.