Mikro Polutan dalam Air Limbah dan Pilihan Teknologi untuk Pengolahannya Mohammad Fulazzaky* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesa No. 10, Bandung, Indonesia *Corresponding Author:
[email protected]
Abstrak __________________________________________________________________________________ Keberadaan mikro polutan dalam sistem akuatik perlu menjadi perhatian dikarenakan potensi toksisitasnya bagi makhluk hidup. Instalasi pengolahan air limbah merupakan gerbang utama dalam penyebaran mikro polutan ke dalam sistem akuatik skala global. Ironisnya, teknologi pengolahan limbah yang umumnya diterapkan saat ini belum mampu secara efektif dan efisien menangani keberadaan mikro polutan. Ketidakmampuan tersebut terkait dengan beberapa hambatan yang ada, diantaranya, keterbatasan regulasi, pertumbuhan varietas mikro polutan yang semakin cepat, serta kurangnya metode analisis yang cepat dan presisi dalam mengidentifikasi keberadaan mikro polutan dalam air limbah. Penerapan teknologi alternatif merupakan pilihan logis yang harus segera diimplementasikan untuk menangani masalah mikro polutan. Beberapa teknologi berbasis membran, seperti nanofiltrasi dan reverse osmosis dilaporkan menunjukan performa yang sangat memuaskan dalam mengatasi masalah tersebut. Selain itu, integrasi teknologi berbasis biologis dan filtrasi membran (bioreaktor membran) juga menunjukan potensi yang cukup baik dalam menangani mikro polutan. Secara umum artikel ini dibuat untuk memberi gambaran mengenai mikro polutan, dampaknya terhadap lingkungan dan makhluk hidup, tantangan yang dihadapi dalam pengolahannya, kondisi pengolahannya saat ini, serta ketersedian teknologi dan harapan teknologi alternatif yang berpotensi untuk diimplementasikan dalam pengolahan mikro polutan pada air limbah. Kata kunci : mikro polutan, air limbah, teknologi alternatif, membran __________________________________________________________________________________ 1. Pendahuluan
Mikro polutan merupakan istilah yang mengacu pada bahan organik ataupun mineral dalam air, dengan konsentrasi yang rendah, hanya beberapa ng/L hingga µg/L, namum dapat mempengaruhi proses biokimia di alam, bersifat toksik, persisten, serta memiliki potensi bioakumulatif yang dapat membahayakan lingkungan dan makhluk hidup. Keberadaan mikro polutan sering juga dikaitkan dengan emerging contaminant atau emerging pollutant yang dapat didefinisikan sebagai senyawa-senyawa kontaminan baru, yang belum dipahami dengan baik karakteristiknya, serta belum tercakup oleh regulasi kualitas air, namun dianggap berpotensi membahayakan bagi ekosistem serta
kesehatan dan [1,2,3,4,5].
keselamatan
manusia
Mikro polutan mencakup berbagai spektrum senyawa yang luas, bervariasi dan terus bertambah spesiesnya seiring dengan kemajuan teknologi [2,4]. Mikro polutan umumnya terdapat atau berasal dari berbagai produk yang digunakan sehari-hari, seperti obat-obatan dan berbagai senyawa turunan farmasi (pharmaceuticals), produk perawatan pribadi (personal care products), bahan kimia industri, pestisida, dan sebagainya [2,3,4]. Mikro polutan berada dalam air sebagai kontaminan dalam konsentrasi yang sangat rendah, namun berpotensi memberi dampak toksik yang kronik bahkan akut
2
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
bagi organisme yang terpapar olehnya, khususnya pada kestabilan sistem hormonal [2,3,4]. Berdasar hal tersebut, berbagai senyawa mikro polutan sering juga dikaitkan sebagai endocrine disrupting compounds (EDCs) [4] atau senyawa yang dapat mengganggu sistem hormonal suatu organisme. Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) memegang peranan yang krusial dalam menangani penyebaran mikro polutan dalam sistem akuatik. Adapun ilustrasi sederhana penyebaran mikro polutan di lingkungan akuatik disajikan pada Gambar 1 [1]. IPAL merupakan gerbang utama suatu senyawa mikro polutan dapat masuk ke dalam sistem akuatik dalam siklus air global. Ironisnya, sebagian besar IPAL yang ada saat ini belum mampu atau belum terspesifikasi untuk mengeliminasi
keberadaan mikro polutan [2,4]. Ketidakmampuan ini bukan sepenuhnya dikarenakan keterbatasan teknologi, namun juga disebabkan oleh keterbatasan regulasi dalam mengawasi keberadaan senyawa tersebut [4]. Oleh karenanya, kajian mengenai mikro polutan dewasa ini menjadi isu hangat dan perlu segera mendapatkan solusi praktis. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk memberi gambaran umum mengenai mikro polutan dan potensi bahaya yang dimilikinya, serta secara spesifik membahas mengenai beberapa tantangan dalam pengolahan mikro polutan, teknologi yang saat ini digunakan, serta teknologi alternatif yang berpotensi diimplementasikan sebagai eliminator mikro polutan pada instalasi pengolahan air limbah.
Gambar 1. Ilustrasi skematik penyebaran mikropolutan di lingkungan akuatik [1]
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
2. Mikro Polutan dan Potensi Toksisitasnya Mikro polutan dalam sistem akuatik banyak menjadi topik kajian dikarenakan keterkaitannya dengan EDCs yang sangat berpotensi mengganggu kesehatan berbagai organisme, termasuk manusia [4,5]. Masalah terkait gangguan sistem endokrin (hormonal) mendapat perhatian serius beberapa dekade terakhir, dikarenakan kemampuan EDCs yang dapat
mengganggu sistem endokrin bahkan pada konsentrasi yang sangat rendah [4,5]. Adapun beberapa contoh EDCs yang umum ditemui dan telah diketahui berbagai sifat toksisitasnya dirangkum pada Tabel 1 [4]. Senyawa EDCs mampu bekerja dengan cara menyerupai, menghambat, atau bahkan menghilangkan fungsi suatu sistem hormonal, sehingga pada gilirannya akan mengganggu kesetimbangan hoemostasis suatu makhluk hidup [4,5].
Tabel 1. Beberapa contoh senyawa EDCs dan dampaknya bagi makhluk hidup [4] Senyawa EDCs ⋅ Bisphenol A, digunakan dalam epoxy resin dan plastik polikarbonat (kemasan makanan) ⋅ Butylated Hydroxyanisole (BHA), digunakan sebagai antioksidan makanan ⋅ Alkylphenols, digunakan pada detergen ⋅ Phthalates, digunakan pada sebagai plasticizer pada plastik, PVC, mainan anak, serta lantai ⋅ Pestisida, misalnya DDT, lindane, penconazole, prochloraz, propiconazole, tridemorph, epoxyconazole, dsb. ⋅ Polychlorinatedbiphenyls (PCBs), digunakan pada instrumen kelistrikan ⋅ Estrone dan 17-β estradiol (sterodial estrogen) dan 17-α ethynylestradiol (kontrasepsi sintetik) ⋅ Antibiotik, misalnya penicillin, sulfonamides, tetracylines ⋅ Pengawet, misalnya parabenes (alkylphdoxybenzoate), digunakan sebagai antimikroba pada kosmetik, bahkan makanan ⋅ Dininfektan, misalnya triclosan, digunakan pada odol, sabun cuci tangan, obat jerawat
Dampak Bagi Kesehatan ⋅ Berdampak pada sistem estrogen pada tikus [7] dan fungsi hormonal bagi manusia yang meningkatkan potensi kanker payudara [8] ⋅ Berdampak estrogenik bagi sel kanker payudara, reseptor rainbow trout estrogen, dan menstimulasi reseptor estrogen pada manusia [9] ⋅ Menyerupai estrogen, menggangu sistem reproduksi dengan peningkatan produksi sel telur pada tingkatan vitellogenin pada Minnow [10] ⋅ Pemaparan dosis tinggi menyebabkan keguguran dan komplikasi kehamilan [11] ⋅ Mempengaruhi sistem reproduksi, sistem tiroid, prostat, testis, steroid, keseimbangan hormon seksual, dan memicu terjadinya tumor ovarium, dsb. [12,13,14] ⋅ Menyerupai estradiol [15], bersifat karsinogenik [11], pemaparan berlebih mempengaruhi perkembangan otak dan penunuran kecerdasan (IQ) pada anak [16] ⋅ Mempengaruhi perilaku sutu organisme sehingga menjadi lebih feminim (ditemui pada sampel ikan) [17] ⋅ Resisten terhadap mikroba [17], pada gilirannya mempengaruhi ekologi mikroba yang berdampak pada kesetimbangan rantai makanan diatasnya [18] ⋅ Berdampak estrogenik [19] ⋅ Resisten dan dapat membunuh mikroba [20], yang pada gilirannya mempengaruhi keseimbangan ekologi mikroba
3
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
Mekanisme pemamaparan utama EDCs yang terjadi pada manusia ataupun organisme tingkat tinggi lainnya adalah melalui konsumsi makanan atau minuman yang mana telah terjadi proses bioakumulasi ataupun bioaugmentasi EDCs didalamnya [2,4,6]. Sistem endokrin merupakan suatu sistem yang kompleks, dimana pemaparan dari senyawa asing sangat bepotensi mengganggu serangkaian lintasan metabolisme biokimia didalamnya [4]. Dalam hal ini, mikro polutan termasuk senyawa yang memiliki potensi pengganggu tersebut. Celakanya, varietas dari mikro polutan terus bertambah seiring pertumbuhan dan perkembangan teknologi, dikarenakan banyaknya sintesis senyawa baru yang diperlukan untuk menunjang perubahan tersebut. Sebagai konsekuensinya, maka proses pengolahan mikro polutan yang lebih efektif dan efisien menjadi harga mutlak yang harus segera diimplementasikan. 3. Tantangan yang Dihadapi dalam Pengolahan Mikro Polutan Secara garis besar, tantangan yang dihadapi dalam pengolahan mikro polutan dibagai kedalam tiga poin utama, yang saling terkait satu sama lainnya. Ketiga poin tersebut adalah keterbatasan regulasi, pertumbuhan varietas mikro polutan yang semakin cepat, serta keterbatasan dalam metode analisis yang cepat dan presisi. Masalah pertama adalah keterbatasan regulasi yang ada, terutama untuk senyawa kimia baru ataupun produk samping dari suatu proses kimiawi yang dihasilkan, yang berpotensi menjadi mikro polutan [1,2,3,4,5]. Regulasi yang diperlukan tidak hanya terbatas untuk IPAL pada industri terkait, namun juga diharapkan dapat diterapkan pada setiap IPAL yang berpotensi terpapar oleh permasalahan mikro polutan. Penekanan poin ini berkaitan dengan urgensi pembentukan baku mutu mikro polutan pada air limbah yang nantinya digunakan sebagai standar efluen
IPAL. Dengan adanya regulasi tersebut, maka diharapkan akan memberi beban hukum pada industri atau operator terkait sehingga mereka dapat menjalankan proses pengolahan dengan lebih optimal dan penuh tanggung jawab. Masalah kedua adalah jumlah dan varietas senyawa mikro polutan terkait EDCs yang semakin bertambah pesat seiring pertumbuhan teknologi [2,4]. Saat ini, terobosan teknologi yang ada umumnya lebih cepat dibandingkan pembentukan suatu regulasi baru terhadap potensi bahaya senyawa baru yang muncul [4]. Penambahan varietas baru sudah tentu menambah potensi variasi gangguan sistem endokrin karena keunikan karakteristiknya. Penekanan poin ini berkaitan dengan urgensi pemahaman toksikologi dari berbagai senyawa mikro polutan, mulai dari proses identifikasi, uji toksisitas pada makhluk hidup, serta penetapan regulasi yang diperlukan. Masalah ini pada akhirnya memberi beban kerja pada sektor riset terkait, untuk terus berpacu dengan perkembangan teknologi menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Sumber daya manusia yang kompeten serta fasilitas yang memadai sudah tentu menjadi faktor kunci yang menentukan keberhasilan proses riset yang ada. Masalah ketiga adalah keberagaman senyawa mikro polutan yang sangat bervariatif, baik dalam bentuk ataupun mekanisme penggangguan sistem pada lingkungan [2,4]. Poin ini berkaitan dengan urgensi penentuan metode identifikasi dan pengukuran senyawa yang akan dianalisis [20]. Konsentrasi mikro polutan dalam air limbah umumnya sangat rendah (hanya kisaran ng/L hingga µg/L) sehingga sangat besar kemungkinannya terjadi interferensi dari keberadaan polutan lain yang konsentrasinya lebih besar. Hal tersebut sudah tentu menuntut adanya pengembangan lanjut dalam metode pengukuran yang lebih sensitif dan presisi.
4
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
4. Teknologi untuk Penyisihan Mikro Polutan pada Sistem IPAL Suatu instalasi pengolahan limbah pada dasarnya didesain untuk mampu menghilangkan berbagai zat pengotor seperti partikulat, senyawa organik, nutrisi dan patogen. IPAL yang digunakan saat ini umumnya mampu dengan baik menghilangkan senyawa-senyawa tersebut, namun tidak cukup efektif dan efisien untuk menghilangkan mikro polutan [2,4,5]. Berikut akan dijelaskan secara singkat mengenai mekanisme proses dalam IPAL yang ada saat ini dan potensinya dalam mengolah mikro polutan. Suatu sistem IPAL umumnya memliki tiga proses utama, yakni pengolahan primer, pengolahan sekunder, dan pengolahan tersier [21]. Pengolahan primer pada prinsipnya menghilangkan padatan terlarut, dan mengkondisikan efluen dari pengolah tersebut sesuai untuk pengolahan selanjutnya (pengolahan sekunder). Teknologi yang digunakan pada proses ini relatif sederhana (misalnya pemisahan fisik, sedimentasi, ataupun sorpsi). Proses ini dilaporkan tidak efektif untuk penghilangan mikro polutan, yakni hanya pada kisaran maksimum 40%, dan sangat tergantung dari jenis mikro polutan yang ada [2,22,23,24,25]. Pengolahan sekunder pada prinsipnya merupakan proses biologis, menggunakan lumpur aktif konvensional yang diharapkan mampu menggunakan mikro polutan sebagai substrat pertumbuhannya [22]. Dua mekanisme utama yang paling berpengaruh signifikan pada proses biologis adalah biodegradasi dan biosorpsi pada sel mikroba [2,26,27]. Proses biologis ini dilaporkan mampu menghilangakan mikro polutan hingga 85% pada senyawa bisphenol A [26], namun performanya sangat bervariatif tergantung pada mikro polutan yang ditangani [27,28]. Pada senyawa turunan farmasi, seperti antibiotik, tidak
terlihat adanya proses biodegradasi, bahkan dilaporkan menghambat keberhasilan proses tersebut [29]. Oleh karenanya, secara umum proses ini belum mampu menjawab keragaman tantangan yang ada. Pengolahan tersier pada prinsipnya digunakan untuk menghasilkan kualitas efluen ultra murni untuk tujuan tertentu, misalnya air minum, dengan penerapan teknologi mutakhir. Namun, penerapan proses ini selalu diasosiakan pada tingginya biaya operasional. Penerapan proses ini pada pengolahan mikro polutan dalam skala air limbah dirasa bukan merupakan pilihan yang tepat [2], terkecuali disesuaikan oleh kebutuhan yang mendesak pada suatu situasi dan kondisi tertentu. Secara sederhana, klasifikasi beberapa mikro polutan berdasarkan performa penghilangan dari proses primer dan sekunder yang ada saat ini dapat disajikan pada Tabel 2 [2] dan Gambar 2 [2]. Untuk dapat menjelaskan perbedaan performa yang terjadi dalam IPAL, setidaknya ada dua faktor yang erat keterkaitannya, yakni faktor internal dan eksternal [1,2,3]. Faktor internal merupakan karakteristik fisika-kimia dari mikro polutan tersebut, seperti hidrofobisitas, biodegradabilitas, volatilitasnya, dan sebagainya. Sedangkan, faktor eksternal merupakan faktor terkait sistem operasional dari IPAL tersebut, seperti waktu tinggal padatan (solids retention time, SRT), waktu tinggal aliran (hidraulic retention time, HRT), kondisi redoks, pH, temperatur, serta varietas dari agen biologis (lumpur aktif) yang digunakan [2,21]. Keterkaitan parameter tersebut dapat dioptimasi untuk menghasilkan performa yang baik. Namun demikian, pada kenyataannya hal tersebut sulit dicapai karena keberadaan mikro polutan dalam suatu air limbah sangat berfluktuasi, bergantung pada kondisi lingkungan dan pola hidup dari komunitas di daerah tersebut.
5
6
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
Tabel 2. Klasifikasi beberapa mikro polutan bedasarkan derajat penghilangannya pada IPAL [2] Derajat Penghilangan Rendah (<40%) Sedang (40−70%) Tinggi (>70%)
Contoh Senyawa ⋅ Atrazine, carbamazepine, diazinon, diclofenac, erythromycin, metoprolol, mefenamic acid, TCEP, TCPP ⋅ Atenolol, bezafibrate, clofibric acid, durion, ketoprefon, nonyphenol, sulfamethoxzole, tebuconazole, trimethoprim ⋅ Acetaminophen, benzophenone-3, bisphenol A, caffeine, clotrimazole, DBP, DEET, DEHP, DMP, estradiol, estriol, estrone, ethonylestradiol, galaxodine, gemfibrozil, ibuprofen, naproxen, nonyphenol, octylphenol, salicylic acid, tonalide, triclosan
Gambar 2. Performa penghilangan beberapa mikro polutan pada IPAL [2]. Sumbu-x menunjukan senyawa mikro polutan tertentu dan rata-rata nilai penghilangannya.
5. Teknologi Alternatif yang Berpotensi dalam Pengolahan Mikro Polutan Berdasar pada kondisi yang ada, keberadaan teknologi alternatif menjadi suatu pilihan logis yang harus dipertimbangkan. Teknologi alternatif dalam hal ini mengacu pada beberapa teknologi selain yang umum digunakan pada IPAL konvensional, yang berpotensi mengoptimalkan proses penghilangan mikro polu-
tan apabila diimplementasikan sebagai pelengkap dalam sistem tersebut. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa saat ini tidak ada pilihan teknologi alternatif yang mampu menghilangkan senyawa mikro polutan secara sempurna. Beberapa pilihan teknologi alternatif yang akan dibahas pada artikel ini adalah teknologi yang telah banyak diteliti dan diduga kuat berpotensi menghilangkan mikro polutan dengan menggunakan keunikan prosesnya
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
masing-masing. Adapun beberapa kandidat teknologi alternatif dirangkum pada Tabel 3 [2]. Berikut akan dijelaskan memengenai beberapa teknologi alternatif yang perlu dipertimbangkan pengimplementasiannya. 5.1 Koagulasi - Flokulasi Proses ini pada prinsipnya digunakan untuk menghilangkan partikulat, koloid, dan beberapa mineral terlarut. Secara umum, koagulasi-flokasi dilaporkan kurang efektif dalam penghilangan mikro polutan [2,3,4]. Komposisi dalam air limbah dapat berdampak positif ataupun negatif dalam proses ini. Misalnya, pada air limbah yang memiliki kandungan lemak tinggi, proses penghilangan senyawa mikro polutan hidrofobik akan meningkat [30]. Namum adanya keberaadaan senyawa organik terlarut, terutama fraksi dengan berat molekul rendah, dilaporkan menghambat proses penghilangan mikro polutan dikarenakan reaktifitasnya yang lebih tinggi [31]. Selain itu, keberhasilan proses koagulasi-flokulasi juga erat ketergantungannya dengan kondisi operasi yang dilakukan, seperti homogenisasi, alkalinitas, pH, temperatur, serta keberadaan ion pengganggu [32]. Derajat penghilangan senyawa mikro polutan menggunakan metode ini dilaporkan mencapai 83% pada senyawa tonalide, namum juga dapat mencapai hanya sekitar 6% pada senyawa sulfamethoxazole [30]. 5.2 Adsorpsi Karbon Aktif Proses ini dianggap sebagai proses yang efektif dalam penghilangan mikro polutan yang persisten atau bersifat nonbiodegradable. Karbon aktif juga dapat ditambahkan sesuai kebutuhan, dimana dapat mengatasi masalah fluktuasi mikro polutan yang ada dalam umpan [33]. Penambahan karbon aktif dalam sistem lumpur aktif ataupun sebagai perlakuan post-treatment, pada dasarnya telah banyak diaplikasikan dalam proses IPAL. Karbon aktif yang digunakan umumnya
dapat bebentuk bubuk ataupun granul, dimana performa keduanya sangat dipengaruhi karakteristik strukturnya (seperti, luas area, ukuran pori, tekstur, konten mineral, dan sifat kimia permukannya) serta karakteristik dari polutan (seperti hidrofobisitas, ukuran molekul, pKa, bentuk struktur, ataupun keberadaan gugus fungsi) [34]. Penggunaan karbon aktif juga dilaporkan dapat mencapai performa >90% pada beberapa mikro polutan tertentu (diclofenac, carbamazepine, dan propranolol) [34]. 5.3 Ozonasi Lanjut
dan
Proses
Oksidasi
Pada beberapa senyawa mikro polutan tertentu, proses fisika, kimia, ataupun biologis konvensional seringkali tidak mampu menanganinya. Terkait hal tersebut, umumnya proses ozonasi dan oksidasi lanjut dianggap sebagai pilihan yang paling sesuai. Namun demikian, tingginya suplai energi yang diperlukan oleh proses ini menjadi pertimbangan dalam pengaplikasiannya secara luas. Lebih lanjut, karena produk oksidan dari proses ini umumnya belum dalam bentuk yang tuntas (berupa produk samping), maka umumnya diperlukan integrasi proses pengolahan lain pada akhir proses ini [2,4]. Dengan kata lain proses ini merupakan suatu proses yang bertindak sebagai inisaitor agar suatu senyawa persisten dapat dioksidasi menjadi bentuk senyawa lain yang pada akhirnya mampu diolah oleh proses fisika, kimia, ataupun biologis konvensional. 5.4 Proses Filtrasi Membran Efektifitas proses membran pada dasarnya bergantung pada pori membran yang digunakan, sehingga dianggap paling berpotensi mampu menghilangkan bebagai varietas mikro polutan, asalkan ukuran partikelnya memenuhi kriteria membran yang digunakan [35]. Namun demikian, semakin kecil ukuran pori membran yang digunakan, sudah tentu akan meningkat-
7
8
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
Tabel 3. Rangkuman beberapa teknologi alternatif yang berpotensi dalam pengolahan mikro polutan [2] Performa Penghilangan* Teknologi
F
PPP
HS
KI
Faktor yang Mempengaruhi Eksternal Internal
Kerugian/Masalah
Residu
(Parameter Proses) (Karakteristik Senyawa) Koagulasi-Flokulasi R-S S-T R R-T Lumpur • Dosis • Hidrofobisitas • Performa kurang baik • pH • Ukuran molekul • Residu lumpur besar dan perlu penanganan • Komposisi air limbah Adsorpsi Karbon S-T S-T T S-T Material • Karakteristik adsorben • Hidrofobisitas • Ralatif mahal Aktif terpakai • Dosis • Ukuran molekul • Perlu regenerasi • Waktu kontak • Struktur • Perlu sistem pembuangan untuk karbon aktif yang telah terpakai • pH • Gugus fungsi Ozonasi dan Proses S-T S-T T S-T Oksidan • Dosis • Struktur senyawa • Relatif boros energi Oksidasi Lanjut residu • pH • Menghasilkan produk samping • Ion pengganggu • Mudah diganggu oleh keberadaan ion lain • Karakteristik air limbah Nanofiltrasi S-T T S-T S-T Konsentrat • Karakteristik membran • Hidrofobisitas • Perlu energi • pH • Ukuran senyawa • Fouling • Transmembran pressure • Perlu penanganan konsentrat • Kualitas umpan Reverse Osmosis S-T T T T Konsentrat • Karakteristik membran • Hidrofobisitas • Relatif boros energi • pH • Ukuran senyawa • Perlu penanganan konsentrat • Transmembran pressure • Korosif • Kualitas umpan Lumpur Aktif R-T S-T S-T R-S Lumpur • SRT • Hidrofobisitas • Hasil tidak konsisten pada senyawa polar dan resisten Konvensional • HRT • Biodegrabilitas • Perlu penanganan lumpur yang mengandung mikro polutan • Beban organik • Kondisi redoks Membran Bioreaktor R-T S-T T S-T Lumpur • SRT • Hidrofobisitas • Perlu energi • HRT • Biodegrabilitas • Hasil tidak konsisten pada senyawa polar dan resisten • Beban organik • Fouling • Kondisi redoks • Sorpsi rendah pada SRT tinggi Proses Biologis R-T S-T S-T S-T Lumpur • HRT • Hidrofobisitas • Waktu start-up lama Attached Growth • Beban organik • Biodegrabilitas • Kesulitan mengontrol ketebalan biofilm • Kondisi redoks * F: produk turunan farmasi (pharmaceutical), PPP: produk perawatan pribadi (personal care products), HS: hormon steroid, KI: bahan kimia industri, R: rendah, S: sedang, T: tinggi.
9
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
kan suplai energi yang dibutuhkan. Performa dari proses membran erat keterkaitannya dengan parameter proses yang dilakukan, seperti tipe aliran umpan (dead-end atau cross-flow), karakteristik hidrofobisitas mikro polutan, serta penanggulangan potensi fouling yang mungkin terjadi [33,36]. Adapun jenis membran yang digunakan untuk penghilangan mikro polutan umumnya adalah nanofiltrasi (NF) dan reverse osmosis (RO). Performa penghilangan yang dihasilkan kedua tipe membran tersebut mencapai >95% [38,39,40], terlepas dari jenis mikro polutan yang diolah. Sedangkan, penggunaan mikrofiltrasi (MF) ataupun ultrafiltrasi (UF) dilaporkan kurang efektif, dikarenakan sebagian besar mikro polutan memliki ukuran molekul yang lebih kecil dari ukuran pori kedua jenis membran tersebut (ukuran pori MF ~0,05-10 µm; UF ~1-100 nm) [2, 35,36,37]. Adapun faktor terkait yang mempengaruhi rejeksi mikro polutan pada membran, khususnya nanofiltrasi, disajikan pada Gambar 3 [4]. Proses filtrasi membran dianggap sebagai teknologi alternatif yang paling efektif bagi penghilangan mikro polutan [4]. Selain memberikan performa penghilangan yang sangat baik, teknologi ini juga bebas dari
penambahan senyawa kimia lain. Terlepas dari potensi yang ada, beberapa pertimbangan perlu diperhitungkan dalam penerapan NF dan RO adalah suplai energi yang diperlukan serta potensi fouling yang mungkin terjadi [40]. Namun demikian, permasalahan tersebut umumnya dapat diatasi apabila proses yang dilakukan telah melalui pretreatment dan dilakukan sesuai prosedur [41,42,43]. 5.5 Membran Bioreaktor Proses ini pada dasarnya menggabungkan proses biologis dan filtrasi membran. Umunya tipe membran yang digunakan adalah mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi [44]. Dalam bioreaktor membran, filtrasi membran hanya digunakan sebagai separasi, atau pengganti tangki sedimentasi yang pada sistem lumpur aktif konvensinoal. Sehingga, dengan kata lain proses biologis lebih mendominasi proses penghilangan senyawa mikro polutan pada sistem ini [35]. Bioreaktor membran dilaporkan memiliki performa penghilangan yang sangat baik (>99%) untuk beberapa senyawa tertentu. Namun demikian, efektifitas dari proses ini cukup bergantung pada potensi biodegrabilitas dari mikro polutan [2,40].
Gambar 3. Faktor yang mempengaruhi rejeksi mikro polutan pada membran nanofiltasi [4]
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
Berdasarkan proses kerjanya, keefektifan proses ini jauh lebih baik dibandingkan lumpur aktif konvensional [2]. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dijelaskan sebagai berikut; 1) proses ini mampu menahan biomasa pada reaktor (nilai SRT dapat lebih ditingkatkan), sehingga proses adsorpsi mikro polutan pada dinding sel berlangsung dengan baik, 2) adanya membran memberi proses intersepsi padatan yang akan keluar sebagai efluen, sehingga turbiditas efluen menjadi lebih kecil (jernih), selain itu 3) semakin tinggi waktu tinggal sel dalam reaktor (SRT) juga memberi kesempatan untuk berlangsungnya proses biodegradasi oleh mikroba menjadi lebih sempurna [45]. 5.6 Proses Pengolahan Biologis Attached Growth Proses ini pada dasarnya memfasilitasi mikroorganisme untuk tumbuh pada suatu lapisan tertentu, berupa biofilm, yang kemudian dapat mengolah umpan air limbah yang dialiri melewatinya [21]. Proses ini merupakan alternatif proses lumpur aktif konvensional dalam penghilangan mikro polutan, dikarenakan beberapa potensi keuntungan yang ditawarkan, diantaranya; 1) menfasilitasi transfer oksigen yang lebih baik, sehingga proses nitrifikasi mikro polutan dapat berlangsung dengan baik, dan konsentrasi sel dapat lebih meningkat, 2) penghilangan senyawa organik yang lebih baik (dikarenakan tingginya konsentrasi mikroba dalam biofilm) pada waktu tinggal umpan yang lebih rendah, 3) memungkinkan terjadinya pertumbuhan organisme yang memiliki laju pertumbuhan lambat, misalnya bakteri metanogenesis, 4) lebih stabil terhadap fluktuasi beban umpan, 5) ukuran reaktor yang relatif lebih kecil, dan 6) biaya operasional yang relatif lebih rendah [46]. Performa yang dicapai dari proses pengolahan ini dapat mencapai ~90% pada beberapa jenis mikropolutan tertentu, seperti dicofenac, carbamazepine, sulfamethoxazole, dan gemfibrozil [47]. Namun demikian, keektifan proses
ini juga sangat bergantung dari potensi biodegrabilitas mikro polutan yang ada. 6. Kesimpulan Keberadaan mikro polutan, terutama terkait EDCs dalam sistem akuatik tidak dapat diabaikan dan harus selalu diawasi. Pemahaman serta ketepatan metode analisis harus selalu diperbaharui, mengingat tantangan mikro polutan yang dihadapi terus akan terus berkembang seiring pertumbuhan teknologi. Secara umum, sistem IPAL yang ada saat ini belum mampu secara efektif dan efisien menghilangkan mikro polutan, sehingga penerapan teknologi alternatif menjadi suatu pilihan yang harus segera diimplementasikan. Perkembangan teknologi alternatif, seperti nanofiltrasi, reverse osmosis, ataupun membran bioreaktor membran memberi harapan baru mengenai masa depan sistem pengolahan mikro polutan. Upaya pengembangan teknologi alternatif tersebut harus selalu didukung demi peningkatan kenyamanan dan kualitas hidup di bumi. Daftar Notasi EDCs IPAL SRT HRT MF UF NF RO
Endocrine Disrupting Compounds Instalasi Pengolahan Air Limbah Solids Retention Time Hydraulic Retention Time Mikrofiltrasi Ultrafiltrasi Nanofiltrasi Reverse Osmosis
Daftar Pustaka [1] La Farre, Marinel, Sandra Pérez, Lina Kantiani, and Damià Barceló. "Fate and toxicity of emerging pollutants, their metabolites and transformation products in the aquatic environment." TrAC Trends in Analytical Chemistry 27, no. 11 (2008): 991-1007. [2] Luo, Yunlong, Wenshan Guo, Huu Hao Ngo, Long Duc Nghiem, Faisal Ibney Hai, Jian Zhang, Shuang Liang, and Xiaochang C. Wang. "A review on the occurrence of micropollutants in the aquatic environment and their fate and
10
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
removal during wastewater treatment." Science of the Total Environment 473 (2014): 619-641. (Journal) Jiang, Jia-Qian, Zhengwei Zhou, and V. K. Sharma. "Occurrence, transportation, monitoring and treatment of emerging micro-pollutants in waste water—a review from global views." Microchemical Journal 110 (2013): 292-300. (Journal) Bolong, Nurmin, A. F. Ismail, Mohd Razman Salim, and T. Matsuura. "A review of the effects of emerging contaminants in wastewater and options for their removal." Desalination 239, no. 1 (2009): 229-246. (Journal) Gavrilescu, Maria, Kateřina Demnerová, Jens Aamand, Spiros Agathos, and Fabio Fava. "Emerging pollutants in the environment: present and future challenges in biomonitoring, ecological risks and bioremediation." New biotechnology 32, no. 1 (2015): 147-156. (Journal) Vajda, A. M., E. M. Lopez, J. L. Gray, L. B. Barber, J. D. Woodling, and D. O. Norris. "Reproductive disruption of fishes by an endocrine-active wastewater effluent." In Integrative and Comparative Biology, vol. 46, pp. E145-E145. Journal Dept., 2001 EVANS RD, CARY, NC 27513 USA: OXFORD UNIV PRESS INC, 2006. (Journal) Dodds, Edward C., and William Lawson. "Molecular structure in relation to oestrogenic activity. Compounds without a phenanthrene nucleus." Proceedings of the Royal Society of London. Series B, Biological Sciences 125, no. 839 (1938): 222-232. Krishnan, Aruna V., Peter Stathis, Suzanne F. Permuth, Laszlo Tokes, and David Feldman. "Bisphenol-A: an estrogenic substance is released from polycarbonate flasks during autoclaving." Endocrinology 132, no. 6 (1993): 22792286. Jobling, Susan, Tracey Reynolds, Roger White, Malcolm G. Parker, and John P. Sumpter. "A variety of environmentally persistent chemicals, including some phthalate plasticizers, are weakly estrogenic." Environmental health perspectives 103, no. 6 (1995): 582. Oestrogens, Environmental. "Consequences to Human Health and Wild-
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16] [17]
[18]
[19]
[20]
lifeInstitute for Environment and Health." (1995). Colborn, Theo. "Pesticides--how research has succeeded and failed to translate science into policy: endocrinological effects on wildlife." Environmental health perspectives 103, no. Suppl 6 (1995): 81. Celius, Trine, Trine B. Haugen, Tom Grotmol, and Bernt T. Walther. "A sensitive zonagenetic assay for rapid in vitro assessment of estrogenic potency of xenobiotics and mycotoxins." Environmental Health Perspectives 107, no. 1 (1999): 63. McKinney, James D., and Chris L. Waller. "Polychlorinated biphenyls as hormonally active structural analogues." Environmental Health Perspectives 102, no. 3 (1994): 290. Jacobson, J. L., and S. W. Jacobson. "Evidence for PCBs as neurodevelopmental toxicants in humans Neurotoxicology 18 (2): 415–424." Find this article online (1997). Routledge, E. J., Desbrow Sheahan, C. Desbrow, G. C. Brighty, M. Waldock, and J. P. Sumpter. "Identification of estrogenic chemicals in STW effluent. 2. In vivo responses in trout and roach." Environmental Science & Technology 32, no. 11 (1998): 1559-1565. Witte, Wolfgang. "Medical consequences of antibiotic use in agriculture." Science 279, no. 5353 (1998): 996. Daughton, Christian G., and Thomas A. Ternes. "Pharmaceuticals and personal care products in the environment: agents of subtle change?." Environmental health perspectives 107, no. Suppl 6 (1999): 907. Routledge, Edwin J., Joanne Parker, Jenny Odum, John Ashby, and John P. Sumpter. "Some alkyl hydroxy benzoate preservatives (parabens) are estrogenic." Toxicology and applied pharmacology 153, no. 1 (1998): 12-19. T. Okumura and Y. Nishikawa, Gas chromato- graphy-mass spectrometry etermination of triclosan in watersediment and fish samples via methylation with diazomethane, Anal. Chimica Acta, 325(3) (1996) 175-184. Snyder, Shane Allen, Erin Snyder, Daniel Villeneuve, Kannan Kurunthachalam,
11
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
[21] [22]
[23]
[24]
[25]
[26]
[27]
Alex Villalobos, Alan Blankenship, and John Giesy. "Instrumental and bioanalytical measures of endocrine disruptors in water." PhD diss., Michigan State University. Dept. of Zoology and Institute for Environmental Toxicology, 2000. Davis, Mackenzie Leo. Water and wastewater engineering. McGraw-Hill, 2010. Carballa, Marta, Francisco Omil, and Juan M. Lema. "Removal of cosmetic ingredients and pharmaceuticals in sewage primary treatment." Water Research 39, no. 19 (2005): 4790-4796. Ternes, Thomas A., Adriano Joss, and Hansruedi Siegrist. "Peer reviewed: scrutinizing pharmaceuticals and personal care products in wastewater treatment." Environmental Science & Technology 38, no. 20 (2004): 392A-399A. Stasinakis, Athanasios S., Nikolaos S. Thomaidis, Olga S. Arvaniti, Alexandros G. Asimakopoulos, Vasilios G. Samaras, Akinranti Ajibola, Daniel Mamais, and Themistokles D. Lekkas. "Contribution of primary and secondary treatment on the removal of benzothiazoles, benzotriazoles, endocrine disruptors, pharmaceuticals and perfluorinated compounds in a sewage treatment plant." Science of the Total Environment 463 (2013): 10671075. Behera, Shishir Kumar, Hyeong Woo Kim, Jeong-Eun Oh, and Hung-Suck Park. "Occurrence and removal of antibiotics, hormones and several other pharmaceuticals in wastewater treatment plants of the largest industrial city of Korea." Science of the Total Environment 409, no. 20 (2011): 4351-4360. Samaras, Vasilios G., Athanasios S. Stasinakis, Daniel Mamais, Nikolaos S. Thomaidis, and Themistokles D. Lekkas. "Fate of selected pharmaceuticals and synthetic endocrine disrupting compounds during wastewater treatment and sludge anaerobic digestion." Journal of hazardous materials 244 (2013): 259267. Salgado, R., R. Marques, J. P. Noronha, G. Carvalho, A. Oehmen, and M. A. M. Reis. "Assessing the removal of pharmaceuticals and personal care products in a full-scale activated sludge plant." Envi-
[28]
[29]
[30]
[31]
[32]
[33]
[34]
[35]
ronmental Science and Pollution Research 19, no. 5 (2012): 1818-1827. Clara, M., O. Gans, G. Windhofer, U. Krenn, W. Hartl, K. Braun, S. Scharf, and C. Scheffknecht. "Occurrence of polycyclic musks in wastewater and receiving water bodies and fate during wastewater treatment." Chemosphere 82, no. 8 (2011): 1116-1123. Verlicchi, P., M. Al Aukidy, and E. Zambello. "Occurrence of pharmaceutical compounds in urban wastewater: removal, mass load and environmental risk after a secondary treatment—a review." Science of the Total Environment 429 (2012): 123-155. Suarez, Sonia, Juan M. Lema, and Francisco Omil. "Pre-treatment of hospital wastewater by coagulation–flocculation and flotation." Bioresource technology 100, no. 7 (2009): 2138-2146. Choi, Keun-Joo, Sang-Goo Kim, and Seung-Hyun Kim. "Removal of antibiotics by coagulation and granular activated carbon filtration." Journal of hazardous materials 151, no. 1 (2008): 38-43. Alexander, Jonathan T., Faisal I. Hai, and Turki M. Al-aboud. "Chemical coagulation-based processes for trace organic contaminant removal: Current state and future potential." Journal of environmental management 111 (2012): 195207. Snyder, Shane A., Samer Adham, Adam M. Redding, Fred S. Cannon, James DeCarolis, Joan Oppenheimer, Eric C. Wert, and Yeomin Yoon. "Role of membranes and activated carbon in the removal of endocrine disruptors and pharmaceuticals." Desalination 202, no. 1 (2007): 156-181. Kovalova, Lubomira, Hansruedi Siegrist, Urs Von Gunten, Jakob Eugster, Martina Hagenbuch, Anita Wittmer, Ruedi Moser, and Christa S. McArdell. "Elimination of micropollutants during posttreatment of hospital wastewater with powdered activated carbon, ozone, and UV." Environmental science & technology 47, no. 14 (2013): 7899-7908. I.G. Wenten, Khoiruddin, P.T.P. Aryani, A.N. Hakim. "Pengantar Teknologi Membran". Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (2010).
12
Mohammad Fulazzaky, Mikro Polutan dalam Air Limbah …, 2015, 1-13
[36] Judd, Simon. The MBR book: principles and applications of membrane bioreactors for water and wastewater treatment. Elsevier, 2010. [37] Schäfer, Andrea I., Ime Akanyeti, and Andrea JC Semião. "Micropollutant sorption to membrane polymers: A review of mechanisms for estrogens." Advances in Colloid and Interface Science 164, no. 1 (2011): 100-117. [38] Yangali-Quintanilla, Victor, Sung Kyu Maeng, Takahiro Fujioka, Maria Kennedy, Zhenyu Li, and Gary Amy. "Nanofiltration vs. reverse osmosis for the removal of emerging organic contaminants in water reuse." Desalination and Water Treatment 34, no. 1-3 (2011): 50-56. [39] Röhricht, Markus, Jürgen Krisam, Ulrich Weise, Uta R. Kraus, and Rolf‐A. Düring. "Elimination of carbamazepine, diclofenac and naproxen from treated wastewater by nanofiltration." CLEAN– Soil, Air, Water 37, no. 8 (2009): 638641. [40] Sahar, Eyal, Inbal David, Yelena Gelman, Haim Chikurel, Avi Aharoni, Rami Messalem, and Asher Brenner. "The use of RO to remove emerging micropollutants following CAS/UF or MBR treatment of municipal wastewater." Desalination 273, no. 1 (2011): 142-147. [41] I.G. Wenten, Khoiruddin, A.N. Hakim. "Osmosis Balik". Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (2014). [42] I.G. Wenten, A.N. Hakim, Khoiruddin, P.T.P. Aryani. "Troubleshooting dalam Operasi Membran". Institut Teknologi Bandung (2013). [43] I.G. Wenten, A.N. Hakim, Khoiruddin, P.T.P. Aryani. "Polarisasi Konsentrasi dan Fouling pada Membran". Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (2013). [44] I.G. Wenten, A.N. Hakim, P.T.P. Aryani. "Membran Bioreaktor untuk Pengolahan Limbah Indsutri". Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. [45] Spring, A. J., David M. Bagley, Robert C. Andrews, S. Lemanik, and P. Yang. "Removal of endocrine disrupting compounds using a membrane bioreactor and disinfection." Journal of Environmental Engineering and Science 6, no. 2 (2007): 131-137.
[46] Guo, Wenshan, H. Ngo, and Saravanamuthu Vigneswaran. "Enhancement of membrane processes with attached growth media." et al., Membrane Technology and Environmental Applications, American Society of Civil Engineers, New York (2012): 603-634. [47] Reungoat, J., et al. "Biofiltration of wastewater treatment plant effluent: Effective removal of pharmaceuticals and personal care products and reduction of toxicity." Water research 45.9 (2011): 2751-2762.
13