www.parlemen.net
MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN PEMERINTAH PADA RAPAT PANITIA KHUSUS RUU TENTANG PEMERINTAHAN ACEH JUM'AT, 24 PEBRUARI 2006 Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Selamat sore dan salam sejahtera. Yth. Pimpinan dan Anggota Pansus RUU tentang Pemerintahan Aceh, Hadirin yang kami hormati. Pertama-tama mari kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan YME, karena pada hari ini kita dapat hadir dalam Rapat Pansus Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, dengan agenda penyampaian Penjelasan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Sesuai Surat Presiden Republik Indonesia kepada DPR-RI, Nomor R.10/Pres/1/2006 tanggal 26 Januari 2006 perihal Penyampaian Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, yang telah menugaskan Menterl Dalam Negeri dan Menterl Sekretarls Negara untuk mewakill Pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang dimaksud, perkenankan kami pada kesempatan ini menyampaikan penjelasan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Pokok-pokok penjelasan meliputi : Latar Belakang Penyusunan RUU, Konsep Otonomi bagi Aceh, Proses dan Prinsip penyusunan RUU; Judul; dan Mated Pokok Rancangan UndangUndang dimaksud, sebagai kelengkapan keterangan Pemerintah yang telah kami sampaikan beberapa waktu yang lalu. Pimpinan dan Anggota Pansus yang kami hormati, Latar belakang yuridis, historis dan sosiologis penyusunan RUU antara lain: 1. bahwa UUD 1945 menganut prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya, serta adanya pengakuan dan penghormatan terhadap satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa, seperti Aceh melalui UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2001. 2. bahwa sejalan dengan TAP MPR Nomor VI Tahun 2002, yang mengamanatkan agar penyelesaian Aceh dilakukan secara damai melalui dialog, sampai dengan Iahirnya nota kesepahaman (MoU) di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. 3. memperhatikan realitas kondisi Aceh pasca bencana alam/tsunami yang menelan kerugian jiwa dan harta benda serta menimbulkan instabilitas di Aceh. 4. bahwa penyusunan RUU sebagai penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 2001, tetap mengacu kepada sistim dan prinsip NKRI dan konstitusi RI (UUD 1945).
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Adapun konsep Otonomi yang diberikan kepada Aceh adalah: 1. Otonomi yang seluas-Iuasnya yang bersifat istimewa dan diberikan kewenangankewenangan khusus di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya, sehingga pemerintahan daerah dapat terselenggara secara demokratis dan dikelola sesuai dengan prinsip good governance. Disamping itu, diharapkan pemanfaatan dan pengelolaan SDA di Aceh untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Aceh. 2. Disamping itu masyarakat Aceh akan memiliki peran serta untuk ikut merumuskan, menetapkan, melaksanakan serta melakukan evaluasi terhadap kebijakan pemerintahan daerah Aceh. 3. Sedangkan Pemerintah akan berperan dalam melaksanakan Binwas terhadap penyelenggaraan otonomi, dan dapat melimpahkan sebagian urusan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Prov/Kab/Kota/Desa. Pimpinan dan Anggota Pansus yang kami hormati, Proses penyusunan RUU dilakukan melalui mekanisme bottom up dengan mengadopsi draft RUU yang diusulkan DPRD Provinsi NAD. Hal ini serupa dengan sejarah Iahirnya UU No. 18 Tahun 2001 yang diadopsi oleh DPR-RI yang terhormat dari RUU yang disusun daerah, sesuai amanat TAP MPR No. IV/MPR/2000, yang merekomendasikan kepada Pemerintah dan DPR agar mengeluarkan UU tentang Otonomi Khusus bagi DI Aceh dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Disamping Itu sejalan pula dengan semangat otonomi daerah serta upaya bersama untuk menyelesaikan masalah Aceh secara damai, demokratis, dan bermartabat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Konstitusi Negara Republik Indonesia. Draft usulan DPRD Provinsi NAD diterima oleh Pemerintah pada tanggal 2 Desember 2005, yang terdiri dari 38 bab dan 209 pasal. Draft dimaksud adalah hasil penyempurnaan dari draft yang disusun Pemda Provinsi NAD berdasarkan draft 3 (tiga) Perguruan Tinggi di Aceh, yaitu: Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry, dan Universitas Malikussaleh. Materi RUU tersebut merupakan aspirasi masyarakat Aceh dan memuat pula butir-butir MoU Helsinki, yang ditetapkan melalui Keputusan DPRD Prov. NAD No. 17/DPRD/2005 tanggal 26 Nopember 2005 tentang Penetapan Hasil Kerja Pansus XVIII tahun 2005 DPRD Prov. NAD. Dalam penyusunan RUU tentang Pemerintahan Aceh, Pemerintah telah membentuk Tim Penyusun RUU tentang Pemerintahan Aceh yang melibatkan departemen terkait dan para pakar sesuai bidangnya. Tim telah melakukan harmonisasi substansi melalui rapat-rapat konsultasi dan mengakomodasi masukan tertulis dari departemen teknis terkait, serta mengklarifikasikan substansinya dengan Tim Aceh yang terdiri dari: Penjabat Gubernur dan unsur Muspida, Pimpinan/Pansus DPRD Provinsi NAD, dan Perwakilan dari Mantan. Pimpinan dan Anggota Pansus yang kami hormati, Pemerintah dalam merumuskan RUU dimaksud berpegang pada prinsip-prinsip: Pertama, Landasan filosofis, yaitu tetap dalam koridor sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan Kedua, Landasan normatif, yaitu 1. kesesuaian substansi RUU dengan UUD Tahun 1945, 2. kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan UU terkait lainnya yang berlaku nasional, 3. kesesuaian dengan UU tentang keistimewaan dan otonomi khusus bagi Aceh, 4. mempertimbangkan kepentingan khusus Aceh dan memperhatikan butir-butir MoU, dengan melihat dampaknya bagi kepentingan daerah lain, nasional dan internasional. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Pimpinan dan Anggota DPR-RI yang Kami hormati, Sebelum kami menjelaskan tentang judul dan materi pokok RUU, perkenankan kami menyampaikan bahwa dalam RUU ini akan ditemui istilah/terminologi dan kewenangan yang bersifat khusus. Hal ini tetap dalam koridor Konstitusi, dan mengacu pada amanat Pasal 18B UUD Tahun 1945, bahwa: "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat Khusus atau bersifat Istimewa". JUDUL RANCANGAN UNDANG-UNDANG Rancangan Undang-Undang ini mengakomodasi judul dalam draft RUU usulan DPRD Provinsi NAD, yaitu RUU tentang Pemerintahan Aceh. Dalam hubungan ini dapat kami jelaskan bahwa: 1. Penetapan judul antara lain terkait dengan latar belakang psikologis, yaitu bahwa dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat Aceh melalui DPRD Prov. NAD, adalah dalam rangka membangun keyakinan dan kepercayaan untuk menyelesaikan masalah Aceh secara damai, demokratis, dan bermartabat. 2. Dalam upaya penyamaan persepsi maka dalam ketentuan umum dimuat: a. pengertian bahwa Aceh adaiah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus dalam sistem dan prinsip NKRI sebagalmana dimaksud dalam Pasal 18, 18A dan 18B UUD Tahun 1945; dimana didalamnya memuat substansi sebagai berikut 1) Pasal 18; bahwa Aceh adalah bagian dari NKRI dan didalamnya diakui adanya strata pemerintahan secara bertingkat. 2) Pasal 18A; bahwa terdapat hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum dan pemanfaatan SDA antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah Provinsi/Kab/Kota. 3) Pasal 18B; bahwa negara mengakui dan menghormati Daerah Provinsi Aceh sebagal satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus dan istimewa, serta sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya yang masih hidup dilingkungan masyarakat Aceh. b. pengertian bahwa Pemerintahan Aceh adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA di Daerah Provinsi Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal I angka 2 RUU. Pimpinan dan Anggota Pansus yang kami hormati, MATERI POKOK RANCANGAN UNDANG-UNDANG Materi pokok RUU tentang Pemerintahan Aceh yang terdiri dari 40 bab dan 206 pasal, meliputi: Bab l: Ketentuan Umum Dimuat beberapa pengertian antara lain: Aceh, Pemerintahan Aceh, DPRA/DPRK, KIP, Parpol Lokal, Mahkamah Syari'ah, Lembaga Wall Nanggroe, Mukim, Gampong, MPU, Qanun dan lain-lain. Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa: 1. Penggunaan istilah dan keberadaan institusi yang bersifat khusus adalah sejalan dengan diakui dan dihormatinya kekhususan dan keistimewaan Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B UUD Tahun 1945, dan UU No. 18 Tahun 2001 serta UU No. 44 Tahun 1999, dan rumusan yang kompromistis sebagai upaya penyelesaian masalah Aceh secara damai melalui dialog sesuai amanat Ketetapan MPR No. VI Tahun 2002. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
2.
3.
Sebagian besar terminologi yang dipergunakan substansinya telah dimuat antara lain pada pasal-pasal dalam UU No. 44 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2001 dan UU lain yang memberikan kekhususan bagi satuan pemerintahan daerah tertentu, serta mengakomodasi aspirasi-aspirasi sebagai hasil rumusan solusi yang bersifat kompromistik. Dimuatnya beberapa pengertian dalam ketentuan umum adalah untuk menghindarkan terjadinya multitafsir dan penegasan serta pembatasan terhadap kedudukan, tugas dan fungsi serta kewenangan dari suatu institusi yang diatur dalam RUU
Bab II : Pembagian Aceh dan Kawasan Khusus Dimuat pengaturan mengenai pembagian Aceh, batas-batas wilayah, dan kewenangan dalam menetapkan kawasan khusus serta tentang pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah. Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa: 1. Pengaturan mengenai pembagian Aceh telah dimuat dalam Pasal 2 UU No. 18 Tahun 2001, dan batas-batas Aceh adalah serupa dengan yang dimuat dalam penjelasan UU No. 18 Tahun 2001. 2. Pengaturan mengenai penetapan kawasan khusus disesuaikan dengan substansi yang diatur dalam Pasal 9 UU No. 32 Tahun 2004. 3. Pengaturan mengenai pemekaran daerah sejalan dengan pengaturan yang dimuat dalam Pasal 4 s.d Pasal 8 UU No. 32 Tahun 2004. Bab III: Kawasan Perkotaan Dalam bab ini dimuat mengenai pengaturan bentuk dan pengelolaan kawasan perkotaan oleh Pemerintah Kab./Kota. Pengaturan mengenai kawasan perkotaan tersebut disesualkan dengan pengaturan yang telah dimuat dalam Pasal 199 UU No. 32 Tahun 2004. Bab IV: Kewenangan Aceh dan Kewenangan Kabupaten/Kota. Dalam bab ini memuat substansi, antara lain: Kewenangan Pemerintah, Aceh dan kab/kota, rencana persetujuan internasional, rencana Keputusan DPR-Rl dan kebijakan administratif, kerjasama dan partisipasi dengan lembaga/badan Luar Negeri/ Internasional. Dalam hubungan ini dapat dilaporkan bahwa: 1. Pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah pada prinsipnya disesuaikan dengan substansi yang dimuat dalam Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004, dan keistimewaan Aceh sebagaimana telah diatur didalam Pasal 32 UU No. 44 Tahun 1999. 2. Pengaturan mengenai persetujuan inter signal pada prinsipnya disesuaikan dengan muatan Pasal 42 huruf f UU No 32 Tahun 2004 dan Pasal 5 UU No. 18 Tahun 2001. 3. Sedangkan keputusan DPR-Rl dimaksud, masih dalam bentuk rencana dan terbatas hanya yang menyangkut kepentingan khusus Aceh, seperti dalam pemaran daerah sebagaimana dimuat daiam Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU No 32 Tahun 2004. 4. Pengaturan mengenai kerjasama dengan pihak luar negeri pada prinsipnya disesuaikan dengan pengaturan yang dimuat dalam Pasal 42 ayat (1) huruf g UU No. 32 ahun 2004. Bab V: Pembaglan Urusan Pemerintahan Dalam bab ini memuat substansi mengenai pembagian urusan pemerintahan, dan urusan wajib berskala Prov/kab/kota serta urusan wajib yang bersifat istimewa.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Dalam kaitan ini dapat dijelaskan bahwa: Pengaturan mengenai pembagian urusan pemerintahan pada dasarnya diatur sesuai dengan substansi yang dimuat dalam Pasal 10 ayat (5), Pasal 11 s.d Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 3 UU No. 44 Tahun 1999. Bab VI: Asas, Bentuk dan Susunan Penyelenggaraan Pemerintahan Dalam bab ini memuat substansi mengenai asas umum, penyelenggara pemerintahan Aceh/Kab/Kota dan SOTK Pemerintah Aceh/Kab./Kota. Pengaturan mengenai asas umum, penyelenggara pemerintahan pada dasarnya diatur sesuai dengan substansi yang dimuat dalam Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004 serta Pasal 1 angka 10 UU No. 44 Tahun 1999. Bab VII : Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) Dalam bab ini memuat substansi mengenai fungsi dan jumlah anggota DPRA, tugas dan wewenang, hak, kewajiban dan kode etik, penyidikan dan penuntutan, alat kelengkapan DPRA/DPRK, fraksi, larangan dan pemberhentian anggota DPRA/DPRK. Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa untuk menghindarkan terjadinya multi tafsir dan penegasan serta pembatasan terhadap kedudukan, tugas dan fungsi, kewenangan dan lain-lain dari DPRA/DPRK telah dimuat pengertiannya dalam Ketentuan Umum RUU. Pengaturan dalam bab ini pada dasarnya disesuaikan dengan yang telah diatur didalam Pasal 39, Pasal 41 s.d Pasal 55 UU No. 32 Tahun 2004, dan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (7) UU No. 18 Tahun 2001. Bab VIII: Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam bab ini memuat pengaturan mengenai kedudukan gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan, tugas dan wewenang, kewajiban dan larangan, pemberhentian, penyelidikan dan penyidikan gubernur/wakil gubernur/bupati/wakil bupati/walikota/wakil walikota. Pengaturan mengenai Pemerintah Aceh/Kab/Kota tersebut sejalan dengan pengaturan yang telah dimuat dalam Pasal 24 s.d Pasal 36, dan Pasal 38 UU No. 32 Tahun 2004. Bab IX: Penyelenggara Pemilihan Dalam bab ini memuat substansi mengenai KIP sebagai penyelenggara pemilihan dan tugas serta wewenang, serta Panitia Pengawas Pemilihan dan tugas serta wewenang Panwas. Dalam kaitan ini dapat dijelaskan bahwa: 1. Penggunaan istilah KIP adalah serupa dengan yang telah dimuat dalam Pasal 226 ayat (3) huruf e UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU No. 18 Tahun 2001. 2. Pengaturan mengenai pembentukan, tugas dan wewenang kewajiban KIP dan Panwas sejalan dengan pengaturan yang telah dimuat dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU No. 18 Tahun 2001 dan Pasal 66 dan Pasal 67 UU No. 32 Tahun 2004 Bab X : Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakll Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Dalam bab ini memuat substansi mengenai pemilihan gubernur/bupati/ walikota, masa jabatan, biaya pemilihan dan tahap pemilihan, pencalonan serta pemilih dan hak pemilih. Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa:
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
1.
2. 3.
Pengaturan mengenai Pilkada sejalan dengan pengaturan yang telah dimuat dalam Pasal 56, Pasal 59, Pasal 65, Pasal 69 UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 12, Pasal 14, Pasal 17 s.d Pasal 19 UU No. 18 Tahun 2001. Pengaturan mengenai calon perseorangan telah dimuat sesual dengan pengaturan yang dimuat didalam Pasal 59 ayat (2) dan (3), UU No. 32 Tahun 2004. Pengaturan yang dimuat dalam Qanun Aceh No. 2 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh No. 3 Tahun 2005, akan diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan RUU tentang Pemerintahan Aceh dan peraturan perundangundangan lainnya, sebagaimana dimuat dalam Pasal 201 RUU ini.
Bab XI : Partai Politik Lokal Substansi mengenai Keanggotaan, kedaulatan anggota dan kepengurusan partai politik lokal diatur dalam AD dan ART parpol lokal. Tata cara pembentukan, pembubaran dan penggabungan, keuangan, pengawasan, sanksi serta pengadilan perkara parpol lokal diatur dengan PP yang akan diterbitkan paling lambat Februari 2007. Dalam hubungan ini dapat dijelaskankan bahwa: 1. Pengaturan mengenai partai politik lokal baru diberlakukan setelah kondisi hukum dan politik di Aceh kondusif serta setelah Pemerintah melakukan konsultasi khusus dengan DPR RI dan diterbitkannya PP pada bulan Februari 2007, sebagaimana dimuat dalam Pasal 76 RUU ini. 2. Pengaturan mengenai partai piolitik lokal pada dasarnya mengadopsi substansi yang dimuat dalam Pasal 2 s.d Pasal 4, Pasal 6 s.d Pasal 9, dan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, dalam skala lokal. 3. Usulan tentang pembentukan parpol lokal adalah mengakomodasi aspirasi masyarakat yang dimuat dalam RUU draft DPRD Provinsi NAD, sebagai hasil rumusan solusi yang bersifat kompromistik. Bab XII : Lembaga Wall Nanggroe Dalam bab ini memuat substansi mengenai: 1. Lembaga Wali Nanggroe yang merupakan lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat. 2. Persyaratan, hak dan masa jabatan, hak protokoler dan keuangan Wali Nanggroe. Pengaturan mengenai Lembaga Wali Nanggroe adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 10 UU No. 18 Tahun 2001 yaitu merupakan lembaga Kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat Aceh. Bab XIII : Lembaga Adat Dalam bab ini memuat substansi mengenai fungsi dan peran Lembaga Adat sebagal wahana partisipasi masyarakat, kelembagaan adat, serta pemberdayaan adat istiadat. Pengaturan mengenai Lembaga Adat adalah mengakomodasi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 6 UU No. 44 Tahun 1999 yaitu berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Bab XIV : Perangkat Aceh dan Kabupaten/Kota Dalam bab ini memuat substansi mengenai perangkat Aceh/Kab/Kota, Sekretariat Aceh/Kab/Kota, Sekretariat DPRA, Sekretariat DPRK, Dinas, Badan dan Lembaga Teknis dan kabupaten/kota, Kecamatan dan Kelurahan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Pengaturan mengenai perangkat Aceh/Kab/Kota adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam. Pasal 120 s.d Pasal 127 UU No. 32 Tahun 2004. Bab XV : Mukim dan gampong Dalam bab ini memuat pengaturan mengenai Mukim dan Gampong, dimana pengaturan tentang Mukim dan Gampong adalah mengadopsi Pasal I angka 12 dan 13 UU No. 18 Tahun 2001 Bab XVI : Kepegawalan Dalam bab ini memuat suibstansi mengenai pembinaan dan pengawasan, pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian, penetapan formasi, pengembangan karir, gaji, dan tunjangan PNS Aceh/Kab/kota. Pengaturan mengenai perangkat Aceh/Kab/Kota adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 129 s.d 135 UU No. 32 Tahun 2004. Bab XVII : Mahkamah Syar'iyah Dalam bab ini mernuat substansi mengenai kewenangan Mahkamah Syar'iyah yang meliputi bidarg ahwal al-syakhsiyah, mu'amalah, dan jinayah, yang didasarkan atas syari'at Islam, serta mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Hakim Mahkamah Syar'iyah. Dapat kami jelaskan bahwa pengaturan mengenai Mahkamah Syari'yah adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 25 s.d Pasal 27 UU No. 18 Tahun 2001. Bab XVIII: Pelaksanaan Syari'at Islam Dalam bab ini memuat substansi mengenai pelaksanaan Syari'at Islam di Aceh yang meliputi aqidah, akhlak, ibadah, mu'amalah, ahwal al-syakhshiyah, jinayah, peradilan agama, pendidikan, dakwah islamiyah, syiar dan pembelaan Islam yang atur dalam Qanun Aceh. Dalam kaitan ini dapat dijelaskan bahwa pengaturan mengenai pelaksanaan Syari'at Islam adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 4 UU No. 44 Tahun 1999. Bab XIX : Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Dalam bab ini memuat substansi mengenai Pembentukan, tugas dan wewenang, fungsi serta kedudukan MPU sebagai mitra Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRA. Pengaturan mengenai Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 9 UU No. 44 Tahun 1999 yang berfungsi menetapkan fatwa huikum dan memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah Aceh. Bab XX : Perencanaan Pembangunan dan Tata ruang Dalam bab ini memuat substansi mengenai: a. Perencanaan pembangunan Aceh dan Kabupaten/Kota, serta hak masyarakat untuk memberikan masukan penyusunan perencanaan pembangunan Aceh dan Kabupaten/Kota. b. Rencana tata ruang wilayah mengacu pada tata ruang nasional dengan memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan, kelestarian fungsi lingkungan hidup, kemanfaatan, dan keadilan. c. Kewajiban Pemerintah, Pemerintahan Aceh, dan Pemerintahan kabupaten/kota untuk menghormati, melindungi dan memenuhi serta menegakkan hak masyarakat Aceh terhadap pengelolaan Iingkungan hidup dengan memberi perhatian khusus kepada kelompok-kelompok rentan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Pengaturan mengenai perencanaan pembangunan dan tata ruang adalah mengakomodasi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 150 UU No. 32 Tahun 2004. Bab XXI : Komunikasi dan Informasl Dalam bab ini memuat substansi mengenai: 1. Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang dapat menyediakan, membangun dan mengelola sarana dan prasarana komunikasi dan informasi di Aceh. 2. Pemerintah Aceh akan menjaimin kebebasan publik terhadap komunikasi dan informasi untuk kesejahteraan rakyat. Pengaturan mengenai Komunikasi dan Informasi pada prinsipnya adalah mengakomodasi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d dan Pasal 14 ayat (1) huruf d UU No, 32 Tahun 2004, yang merupakan urusan wajib dalam penyediaan dan pengelolaan sarana dan prasarana umum berskala Prov/Kab/Kota dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Bab XXII : Perekonomian Dalam bab ini memuat substansi mengenai prinsip dasar dan arah perekonomian, pengelolaan sumber daya alam, perikanan dan kelautan, perdagangan dan investasi, kawasan perdagangan bebas Sabang, peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang, infrastruktur ekonomi. Dalam hubungan ini perlu kami sampaikan bahwa pengaturan mengenai: 1. Prinsip dasar dan arah perekonomian pada dasarnya mengadopsi substansi Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945. 2. Pengelolaan SDA di Aceh adalah pada prinsipnya mengadopsi substansi yang dimuat dalam Pasal 17 UU No. 32 Tahun 2004. 3. Pengelolaan sektor perikanan dan kelautan di laut teritorial Aceh pada dasarnya adalah mengadopsi substansi yang dimuat dalam Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004. 4. Pengaturan mengenai perdagangan dan investasi di Aceh pada prinsipnya adalah mengadopsi substansi yang dir!nuat dalam UU No. 11 Tahun 1970 tentang PMA dan UU No. 12 Tahun 1970 tentang PMDN. 5. Pengaturan mengenai kawasan perdagangan bebas Sabang adalah mengadopsi substansi yang dimuat dalam UU No. 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. 6. Pengaturan mengenai Peruntukan lahan dan pemanfaatan tata ruang adalah mengadopsi substansi yang dimuat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU No. 32 Tahun 2004. 7. Pengaturan mengenai Infrastruktur ekonomi di Aceh pada dasarnya adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam UU No. 6 Tahun 1966 tentang Perairan Indonesia dan UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan serta UU No. 21 Tahun 1999 tentarg Pelayaran, yang mengatur pelabuhan laut dan udara. Bab XXIII : Tenaga Kerja Dalam bab ini memuat pengaturan mengenai penempatan tenaga kerja Luar Negeri dan perlindungan tenaga kerja. Pengaturan mengenai ketenagakerjaan pada prinsipnya adalah mengadopsi substansi yang dimuat antara lain dalam Pasal 13 ayat (1) huruf h dan Pasal 14 ayat (1) huruf h UU No. 32 Tahun 2004 Bab XXIV: Keuangan Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Dalam bab ini memuat susbtansi mengenai: 1. Sumber Penerimaan Aceh/kabupaten/kota yang terdiri atas: pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dana tambahan, pinjaman daerah, lain-lain penerimaan daerah yang sah. 2. Bagi hasil hidrokarbon sebesar 70% untuk Aceh. 3. Dana tambahan yang ditujukan untuk pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur akibat konflik dan bencana alam, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan yang besarnya 1% (satu persen) dan plafon Dana Alokasi Umum Nasional selama 5 (lima) tahun. Pengaturan mengenai keuangan pada dasarnya adalah mengadopsi substansi yang dimuat antara lain dalam Pasal 157 dan Pasal 170 UU No. 32 Tahun 2004, serta Pasal 4 s.d Pasal 6 UU No. 18 Tahun 2001, serta mempertimbangkan kepentingan khusus dan kebutuhan Aceh pasca konflik dan bencana alam tsunami. Bab XXV : Tentara Nasional Indonesia Dalam bab ini memuat substansi mengenai tanggung jawab TNI dalam penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara dan tugas lain di Aceh, serta pengaturan mengenai tindak pidana yang lakukan oleh anggota TNI di Aceh. Dalam hubungan ini dapat kami sampaikan bahwa pengaturan mengenai TNI pada prinsipnya disesuaikan dengan pengaturan yang dimuat dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Bab XXVI : Kepolisian Dalam bab ini memuat substansi mengenai tugas Kepolisian Aceh dalam menjaga keamanan ketertiban masyarakat, pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dengan persetujuan gubernur, seleksi dan pendidikan dasar serta penempatan bintara dan perwira Kepolisian Negara RI dart luar Aceh. Pengaturan mengenai kepolisian adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 21 s.d Pasal 23 UU No. 18 Tahun 2001. Bab XXVII : KeJaksaan Dalam bab ini memuat substansi mengenai penugasan dan pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh dengan persetujuan gubernur, mengenai seleksi dan pengangkatan jaksa dengan memperhatikan sistem hukum, syari'at, budaya, adat istiadat Aceh. Pengaturan mengenai Kejaksaan adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 24 UU No. 18 Tahun 2001. Bab XXVIII : Kependudukan Dalam bab ini memuat substansi mengenai pengertian orang, rakyat dan penduduk Aceh, serta pengelolaan data kependudukan dan pemberian KTP. Pengaturan mengenai pelayanan kependudukan antara lain mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf I dan Pasal 14 ayat (1) huruf UU No. 32 Tahun 2004 Bab XXIX : Pertanahan Dalam bab ini memuat substansi mengenai wewenang Pemerintah Aceh dalam mengatur dan mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hakhak adat sesuai dengan norma, standar dan prosedur yang berlaku secara nasional yang diatur dalam Qanun dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Pengaturan mengenai pelayanan pertanahan pada dasarnya adalah seperti substansi yang telah dimuat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf k Pasal 14 ayat (1) huruf k UU No. 32 Tahun 2004 Bab XXX : Pendidikan Dalam bab ini memuat substansi mengenai penyelenggaraan pendidikan di Aceh antara lain: 1. Penduduk Aceh yang berusia 7 (tujuh) sampai 15 (lima belas) tahun berhak memperoleh pendidikan dasar tanpa pungutan biaya. 2. Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan kabupaten/kota menyediakan pelayanan pendidikan gratis kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu sampai jenjang pendidikan sekolah menengah atas. 3. Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota members akses kepada peserta didik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan oleh tenaga profesional dan kerjasama dengan lembaga pendidikan dalam dan luar negeri sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam hubungan ini dapat disampaikan bahwa pengaturan mengenai penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya adalah mengakomodasi substansi yang telah dimuat antara lain dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f, Pasal 14 ayat (1) huruf f UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 8 UU No. 44 Tahun 1999. Bab XXXI : Kebudayaan Dalam bab ini memuat substansi mengenal pengembangan kebudayaan serta kesenian Aceh berdasarkan nilai-nilai peradaban Islami. Selain itu dalam bab ini juga diatur bahwa bahasa diaerah dapat menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan tingkat sekoleh dasar sesual dengan kebutuhan, serta perlindungan dan pelestarian situs, literatur, dokumen sejarah, tanda bekas tsunami, kebudayaan dan peradaban Aceh. Pengaturan mengenai Kebudayaan pada dasarnya adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dan Pasal 6 UU No. 44 Tahun 1999. Bab XXXII : Sosial Dalam bab ini memuat substansi mengenai kewajiban Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam memberikan perlindungan dan pelayanan sosial dasar kepada penyandang masalah sosial, menyediakan akses yang memudahkan perikehidupan penduduk Aceh yang menyandang masalah sosial, mengupayakan penanganan/penanggulangan korban bencana alam dan sosial, merehabilitasi sarana publik dan membantu merehabilitasi harta benda perorangan yang hancur akibat bencana alam dan sosial. Pengaturan mengenai penanggulangan masalah sosial pada prinsipnya adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf g dan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 32 Tahun 2004. Bab XXXIII : Kesehatan Dalam bab ini memuat substansi mengenai: 1. Hak dasar rakyat di bidang keisehatan sebagai Investasi sumber daya manusia dalam pembangunan Aceh. 2. Setiap anak yatim dan fakir miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang komprehensif secara gratis. 3. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan, pemulihan psikososial dan kesehatan mental akibat konflik dan bencana. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Pengaturan mengenai penanganan bidang kesehatan adalah seperti substansi yang telah dimuat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e, Pasal 14 ayat (1) huruf e UU No. 32 Tahun 2004. Bab XXXIV : Hak Asasi Manusia Dalam bab ini memuat substansi mengenai: 1. Kedudukan penduduk Aceh yang sama di depan hukum. 2. Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota wajib memenuhi, memajukan dan menegakkan hak asasi manusia sebagaimana disebut dalam kovenan internasional yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan. 3. Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk Aceh. 4. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. Pengaturan mengenai HAM, pada dasarnya memperhatikan muatan-muatan yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bab XXXV: Qanun Dalam bab ini memuat substansi mengenal proses pembentukan, asas, mated muatan, pengawasan, partisipasi masyarakat dalam penyusunan, dan penegakan Qanun. Pengaturan mengenai Qanun, Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota adalah disesualkan dengan pengaturan yang dimuat dalam Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 1 angka 8 UU No. 18 Tahun 2001. Bab XXXVI : Bendera, Lambang, daln Hymne Dalam bab ini memuat substansi mengenai: 1. Bendera Merah Putih merupakan lambang bendera nasional yang berlaku bagi Aceh dalam negara dan UUD Tahun 1945. 2. Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera Aceh sebagai lambang pencerminan keistimewaan dan kekhususan yang bukan merupakan simbol kedaulatan. 3. Pemerintah Aceh dapat menetapkan lambang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan. 4. Disamping lagu Indonesia Raya, Pemerintah Aceh dapat menetapkan Hymne Aceh sebagai pencerminan keistimewaan dan kekhususan. 5. Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa pengaturan mengenai bendera, lambang dan hymne adalah mengadopsi substansi yang telah dimuat dalam Pasal 8 UU No. 18 Tahun 2001. Bab XXXVII : Pembinaan, Pengawasan dan Penyelesalan Perselisihan Dalam bab ini memuat substansi mengenai: 1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. 2. Penyelesaian perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi oleh Gubernur. 3. Penyelesaian perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya oleh Menteri Dalam Negeri. 4. Penyelesaian perselisihan oleh Gubernur dan Menterl Dalam Negerl bersifat final dan mengikat.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
Pengaturan mengenai pembinaan dan pengawasan adalah disesuaikan dengan substansi yang dimuat dalam Pasal 217 s.d 223 UU No. 32 Tahun 2004. Bab XXXVIII : Ketentuan Lain-lain Dalam bab ini memuat substansi mengenai nama Aceh sebagal daerah provinsi dan gelar pejabat pemerintahan oleh DPRA yang akan ditetapkan setelah pemilihan umum tahun 2009. Dalam hubungan ini dapat dijelaskan bahwa pengaturan mengenai penetapan nama Aceh dan gelar Pejabat Pemerintahan yang dipilih, harus tetap mengacu pada sistem dan prinsip NKRI serta UUD Tahun 1945, sebagalmana dimuat dalam Pasal 198 RUU ini. Bab XXXIX : Ketentuan Peralihan Dalam bab ini memuat substansi mengenai: 1. Perjanjian kerjasama antara pemerintah dengan negara-negara asing atau pihak lainnya, yang berkenaan dengan perjanjian kontrak bagi hasil minyak bumi dan gas alam (migas) yang berlokasi di Aceh dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa kontrak. 2. Penyelenggara Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakii Walikota untuk pertama kali dilaksanakan oleh KIP Provinsi NAD dan KIP Kabupaten/Kota yang telah dibentuk. 3. Pemilihan Gubernur/Wakii Gubernur dan Bupati/Wakil Bupati sertaWalikota/Wakil Walikota untuk pertama kali dilaksanakan pada April 2006 yang tata caranya berpedoman pada Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2005. Keterangan: Jadwal Pelaksanaan Pilkada dimaksud bersifat sementara dan pelaksanaannya disesuaikan dengan penyelesaian pembahasan RUU ini. 4. Pembentukan Partai Politik Lokal dan keikutsertaan dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, DPD, DPR, DPRA dan DPRK yang diatur berdasarkan RUU ini akan dilaksanakan paling lambat bulan Pebruari 2007. Dapat kami jelaskan bahwa pengaturan mengenai: 1. Perjanjian kerjasama yang berkenaan dengan perjanjian kontrak bagi hasil migas, pada prinsipnya disesuaikan dengan pengaturan yang dimual dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. 2. Pengaturan tentang pembentukan parpol lokal akan diberlakukan paling cepat tanggal 15 Agustus 2006 ditandai dengan penerbitan PP tentang Partai Politik Lokal di Aceh. 3. Penyelenggara Pilkada untuk pertama kali dilakukan oleh KIP Prov./Kab/Kota yang telah dibentuk, dan tata cara pemilihan berpedoman kepada Qanun Aceh No. 2 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh No. 3 Tahun 2005 sepanjang tidak bertentangan dengan RUU tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Perundangundangan lainnya. Pengaturan ini telah dimuat dalam Pasal 226 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 13 ayat (1) dan (ayat 2) dan 14 ayat (6) serta Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 18 Tahun 2001. Bab XL : Ketentuan Penutup Dalam bab ini memuat substansi mengenai: 1. Semua peraturan perundang-undangan sepanjang tidak bertentangan dengan UndangUndang ini dinyatakan tetap berlaku di Aceh. 2. Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara Iangsung dengan hak otonomi luas bagi Aceh wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada undang-undang ini. Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
www.parlemen.net
3. 4. 5.
Usul perubahan terhadap Undang-Undang ini dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan DPRA. Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Dengan berlakunya Undang-Undang ini Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pimpinan Anggota Pansus yang saya hormati Demikian penjelasan Pernerintah mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh yang bersifat komprehensif dalam arti memuat pengaturan segala hal mengenai Pemerintahan Daerah di Aceh dan bersifat tuntas yang mengandung arti memuat berbagai pengaturan secara detil dan selengkap mungkin sehingga tidak diperlukan aneka pengaturan pelaksanaan yang berlebihan. Namun apabila luasnya aspek yang diatur maka akan diatur Iebih lanjut dalam Qanun, Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah. Harapan kami kiranya RUU tentang Pemerintahan Aceh dapat dibahas bersama Pimpinan dan Anggota Pansus yang terhormat guna mendapatkan persetujuan DPR-RI dengan prioritas utama. Atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb. MENTERI DALAM NEGERI
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net