Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
MENJUAL KEMISKINAN (Analisis Semiotika John Fiske Mengenai Komodifikasi Kemiskinan pada Acara Orang Pinggiran di TRANS7) M. Yasin Mahasiswa Pascasarjana Kajian Media Universitas Gajah Mada (UGM) e-mail:
[email protected] Abstract Commodification for Mosco described as transformation of valuein use becomes exchange rate. Something which basically does not have sale value is transformed become commodity which can be sold. In this case, the poverty which we often see is become a product by media and it becomes popular spectacle which gets good attention from spectators and advertisers. This study aims to know how the process of poverty commodification happens on remote people program (orang pinggiran). By John Fiske analysis model, this study focuses on three levels, namely level of reality, representation and ideology. In level of reality, the poverty signs are shown clearly in this program, for example, the clothing of main character is looked shabby, grief expression, the house is not good, etc. In representation level, editing techniques can make spectacle become more dramatic and touching. In ideology level, it looks clear that capitalist ideology is closely connected to this program. Poverty is seen as commodity which has high value. Characteristics of people tend to accept what it is without seeing what happen behind the texts/spectacle. This is then exploited by capitalists to design a product which has potential to achieve maximum profit with minimal capital. Keywords: Commodification, Poverty, Semiotics, Television program.
M. Yasin
1
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
Abstrak Komodifikasi bagi Mosco digambarkan sebagai transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Sesuatu yang pada dasarnya tidak memiliki nilai jual ditransformasikan menjadi suatu komoditas yang akhirnya bisa dijual. Dalam hal ini, kemiskinan sering kita saksikan dijadikan produk oleh media, sekaligus menjadi tontonan popular yang berhasil menarik perhatian penonton maupun pengiklan. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses komodifikasi kemiskinan yang terjadi dalam acara “Orang Pinggiran”. Dengan model analisis John Fiske, Kajian ini berfokus pada tiga level, yakni level realitas, representasi dan ideologi. Pada level realitas, tanda-tanda kemiskinan ditampilkan dengan jelas dalam acara ini. Di antaranya, pakaian tokoh utama yang terlihat lusuh, ekspresi kesedihan, rumah yang sudah tak layak dan lain-lain. Pada level representasi, teknik-teknik editing mampu membuat tayangan tersebut menjadi deramatis dan mengharukan. Pada level ideologi, tampak jelas bahwa ideologi kapitalis sengat erat hubungannya dengan acara ini. Kemiskinan terlihat sebagai komoditas yang bernilai tinggi. Karaktristik khalayak cenderung menerima apa adanya tanpa melihat apa yang terjadi di belakang teks/tontonan. Hal ini kemudian dimanfaatkan para kapitalis dengan merancang suatu produk yang berpotensi meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal seminimal mungkin. Kata Kunci: Komodifikasi, Kemiskinan, Semiotika, Acara Televisi.
2
Menjual Kemiskinan
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
A. Pendahuluan Tulisan ini mengkaji persoalan kemiskinan yang ditanyangkan oleh salah satu televisi swasta bernama TRANS7. Dalam acara ini, TRANS7 sebagai pelaksana acara menonjolkan betapa naif dan kejamnya kemiskinan yang ada di Negeri ini. Negeri yang saking suburnya tongkat dan kayu jadi tanaman seperti yang ada dalam lirik lagu Koes Plus.1 Namun, dibalik kesuburan dan kemakmuran tanah Negeri yang disebut Jamrud katulistiwa ini, pemandangan mengenai kemiskinan menjadi tontonan (Spectacle)2 keseharian kita. Tontonan tersebut tidak saja di kehidupan sehari-hari, Koes Plus adalah grup band musik Indonesia yang dibentuk pada tahun 1969 sebagai kelanjutan dari grup koes bersaudara. 1
2
Konsep tontonan atau lebih tepatnya masyarakat tontonan dengan rinci dipaparkan oleh Guy Debord dalam bukunya The Society of the Spectacle. Spectacle/ tontonan merupakan suatu relasi sosial antara orang-orang yang dimediasikan melalui citra itu sendiri. Dengan demikian pemahaman atas «Spectacle/tontonan tak bisa jika hanya dipahami semata-mata sebagai upaya penipuan secara material/visualisasi seperti pada industri media. Namun dunia tontonan (spectacle) adalah pandangan dunia yang telah berhasil membagun ruang, saat image mendapat tempat yang istimewa telah di-materialisasikan secara actual. Atau dalam bahasa sarkatis, “memalsukan kenyataan merupakan produk yang riil dari kenyataan itu”. Lebih jelasnya lihat Guy Debord, The society of The Spectacle, (Camberra: Hobgoblin Press, 2002), 8.
tapi sudah merambah ke layar kaca “kotak ajaib” yang bernama televisi. Saat ini, kemiskinan tak lagi sekedar objek belas kasihan, namun berkembang menjadi objek wisata, objek tontonan di media. Bisnis kemiskinan memang menjanjikan, namun di sisi lain juga mengundang banyak kontroversi. Media tidak hanya menyuguhkan berita-berita mengenai kemiskinan saja, akan tetapi juga menjadikan kemiskinan “tokoh utama” dalam beberapa program favorit di televisi, sebagaimana sering kita lihat di acara-acara televisi berformat semidokumenter, reality show dan acara sejenisnya. Acara “Orang Pinggiran” misalkan, acara yang ditayangkan di TRANS7 merupakan salah satu acara televisi yang di dalamnya berisi tayangan semi-dokumenter mengangkat kisah-kisah kemiskinan dengan tokoh yang berbeda-beda setiap harinya. Jika ditelisik, sekilas program ini sangat bermanfaat karena dapat membuat penontonnya bersikap mawas diri. Namun, bila di telisik lebih jauh, maka bisa ditemkuan akan adanya suatu proses komodifikasi dalam program ini. Memang pada dasarnya, acara ini bersifat positif, tapi ketika acara ini sudah bersinggungan dengan rating, lalu
M. Yasin
3
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
dikaitkan dengan iklan-iklan yang masuk, maka secara tidak langsung terjadi suatu proses komodifikasi yang dilakukan oleh pihak media. Terdapat beberapa alasan mengapa saya memilih program ini sebagai objek kajian, di antaranya adalah karena program ini merupakan salah satu program mengenai kemiskinan yang mempunyai jam tayang cukup panjang, program ini juga mempunyai banyak penggemar, karena di empat tahun penayangannya rating program ini masih tetap terjaga. Selain itu, dalam program ini terdapat dua pemahaman, yaitu yang sejalan dengan media, dan juga yang berlawanan dengan media. Dalam acara ini, terdapat scenescene yang bisa dimaknai sebagai eksploitasi dan komodifikasi atas kemiskinan yang diangkat ceritanya. Gejala komodifikasi muncul ketika kemiskinan yang tadinya tak bernilai jual ditranformasi semenarik mungkin hingga menjadi suatu produk media yang berpotensi menghasilkan profit bagi pihak tertentu. Selain itu, kini acara semacam ini menjadi tren di berbagi media. Bertolak dari kenyataan tersebut, maka penting dilakukan pengkajian untuk melihat bagaimana
4
Menjual Kemiskinan
proses komodifikasi dalam acara ini.
kemiskinan
B. Komodifikasi Media Media merupakan institusi sosial yang erat hubungannya dengan kekuasaan (powerful) dan pengaruh (persuasive). Jika dilihat dari perspektif kapitalis, maka media merupakan sebuah alat pengokohan kekuasaan dan juga wahana beroperasinya kekuasaan. The power of media mampu mempengaruhi pemahaman dan pengelolaan media, termasuk di antaranya: perbedaan perspektif/ paradigma, teori, metodologi dan praktis komunikasi, dan produk media, distribusi dan konsumsi media. Perspektif atau biasa disebut paradigma adalah suatu kerangka konseptual (conceptual framework), suatu perangkat asumsi, nilai atau gagasan yang mempengaruhi persepsi, dan mempengaruhi cara bertindak dalam suatu situasi.3 Menurut pandangan kritikal, media dipengaruhi oleh ideologi, yang mana ”ideologogical agencies” memiliki peran sangat sentral dalam memelihara dominasi kelas. Komodifikasi merupakan kata kunci 3
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), 16.
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
yang dikemukakan oleh Karl Marx sebagai “ideologi” yang bersemayam dibalik media. Menurutnya, kata itu bisa dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan keuntungan dibandingkan tujuan-tujuan lain.4 Hal tersebut sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh Georg Lukacs bahwa, persoalan komoditas adalah pusat persoalan kultural masyarakat kapitalis.5 Selain itu, dalam studi media kritis, determinasi ekonomi6 mewujud dalam perspektif yang melihat media semata-mata sebagai bisnis baru kapitalis yang berisiko. 4
Burton Graeme, Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi. (Bandung: Jalasutra. 2007), 198. 5 George Ritzer, Douglas J. Goodman. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), 46.
Konsep determinisme ini sendiri pertama kali dipaparkan oleh Karl Marx. Marx seringkali terkesan sebagai seorang determinisme ekonomi, ia melihat sistem ekonomi berada pada titik terpenting dan menentukan seluruh sektor lain dalam kehidupan masyarakat (politik, agama, sistem gagasan, termasuk media sendiri). Namun bagi para NeoMarxian munculnya determinisme ekonomi yang berorientasi ilmiah, padahal dia bukan termasuk ke dalam cirri dialektis teorinya Marx. Bagi mereka teori ini tampaknya akan menghancurkan dialektika karena membuat pemikiran dan tindakan individu jadi tidak signifikan karena struktur ekonomi kapitalisme yang menentukan pemikiran dan tindakan individu dan bagi mereka ini merupakan elmen krusial. 6
Fungsi-fungsi ideologi dibalik beroperasinya sebuah media hanya dilihat sebagai faktor sekunder.7 Ben Agger memandang determinisme ekonomi sebagai puncak tafsiran atas teori Marxian selama periode komunis internasional II, antara tahun 1889 dan 1914. Baginya periode ini seringkali disebut sebagai titik tertinggi kemajuan kapitalisme dan ledakan ini menyangkal prediksi akan kegagalannya.8 Salah satu tokoh dari aliran Mazhab Frankfurt, Adorno dan Horkheimer menyebutkan bahwa telah terjadi komodifikasi, massifikasi dan standarisasi terhadap produk budaya demi memenuhi kebutuhan masyarakat (pasar).9 Dalam penjelasan tentang ekonomi politik komunikasi, Mosco mensejajarkan komodifikasi dengan spasialisasi dan strukturisasi. 7
Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2004), 6.
Ben Agger, Westerm Marxism: An Introduction, (Santa Monica. Calif: Goodyear, 1978). Bagi Agger, bagi Marxis yang tak percaya pada determinisme ekonomi melihat runtuhnya kapitalisme sebagai sesuatu yang tidak terelakkan. Menurut pandangan mereka, Marxisme mampu menghasilkan teori ilmiah dalam keruntuhannya dengan sandaran pada produktifnya ilmu-ilmu fisika dan ilmu alam. 8
9
M. Douglas Kellner, and Meenakshi Gigi Durham. Media and Cultural Studies: Keyworks, (Blackwell Publishing, 2006), 42.
M. Yasin
5
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
Komodifikasi diartikan sebagai proses transformasi nilai guna menjadi nilai. Dalam buku Cultural and Communication, John Fiske juga memiliki catatan yang sama tentang komodifikasi isi media. “kapitalisme adalah sebuah sistem yang di atas semua yang lain. menghasilkan pelbagai komoditas, sehingga membuat komoditas seolah hal-hal yang dialami pada kebanyakan inti praktik ideologisnya. Kita belajar untuk memahami hasrat kita dalam artian komoditas yang di produksi untuk memenuhi hasrat tersebut; kita belajar untuk berpikir atas permasalahan kita dalam artian komoditas yang digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.”10. Komodifikasi merupakan salah satu entry process untuk memahami bagaimana fenomena media yang ada dimaknai dari perspektif ekonomi politik kritis. Secara ringkas, komodifikasi memperlihatkan proses bagaimana produk-produk kultural dikerangka sesuai dengan kepentingan pasar.11 John Fiske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra. 2007) 11 Santi Indra Astuti, “Komodifikasi Khalayak (Audiens) dalam Rating Televisi”, dalam Komunika, Th. vol. 8, Nomor 1, 2005. 23. 10
6
Menjual Kemiskinan
Komodifikasi sudah tentu erat hubungannya dengan kapitalisme. Menurut Totona, dalam hal ini kapitalisne melahirkan determinisme ekonomi. Selanjutnya deteminisme ekonomi bermetamorfosis menjadi Hegemoni (teori kritis) dan relasi kekuasaan. Perwujudan hegemoni dan relasi kekuasaan dalam industri media diperlihatkan dalam bentuk ekonomi politik media. Pada akhirnya, ekonomi politik media memperlihatkan rupa aslinya melalui kegiatan komodifikasi. Komodifikasi dalam kajian ini lebih merujuk pada teori Marxian, “sebuah komoditas tidak hanya membeli dan menjual (sebagaimana dalam makna komersialisasi), tetapi secara spesifik diproduksi untuk tujuan pertukaran”. Karena itu, status komoditas tidak inheren dalam karakteristik barang itu sendiri, melainkan berasal dari relasi-relasi sosial yang mengatur produksi dan pertukarannya.12 Sebagaimana Marx menegaskan pandangannya tentang komoditas yang berakar pada orientasi matrialisnya, dengan fokus pada aktivitas-aktivitas produktif para Dede Lilis Subandy, “Idealisasi Anak dalam Wacana Rubrik Nonfiksi Majalah Bobo”, dalam Mimbar, Vol. XXV, Nomor 1, Januari-Juni Th, 2009.7. 12
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
aktor. Di sini Marx mengemukakan bahwa di dalam intraksi-intraksi mereka dengan alam dan dengan para aktor lain, orang-orang memproduksi objek-objek yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Objek-objek ini diproduksi untuk digunakan oleh dirinya sendiri atau orang lain di dalam lingkungan terdekat.13 Hal inilah yang disebut Marx sebagai komoditas yang telah dilakukan oleh kapitalis yang saat ini sudah bermain diranah media. C. Analisis Semiotika Analisis yang digunakan dalam mengkaji permasalahan ini adalah analisis semiotika dari John Fiske. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal 14 (things). Unsur utama yang sangat diperhatikan dalam semiotika adalah tanda, di mana tanda-tanda tersebut membantu kita dalam memaknai sesuatu. Sehubungan dengan hal ini, John Fiske memperkenalkan konsep
kode-kode televisi, yaitu konsep yang dapat digunakan sebagai acuan kita dalam memaknai tanda-tanda yang diperlihatkan dalam tayangan televisi. Kode-kode tersebut saling berkorelasi dalam membentuk sebuah makna tertentu. Teori yang dikemukakan John Fiske dalam The Codes of Television15 adalah sebagai berikut: Tabel 1 Kode-kode Televisi John Fiske PERTAMA
REALITAS
KEDUA
(Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara, transkrip, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti pakaian, make-up, perilaku, gerakgerik, ucapan, ekspresi, suara). REPRESENTASI (Elemen-elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti kamera, tata cahaya, editing, musik, dan sebagainya). Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di antaranya bagaimana objek digambarkan: karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya.
13
George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), 47. Marx sendiri dalam hal ini menghubungkan komoditas dengan relasi kuat antara kebutuhan-kebutuhan manusia dan objek-objek aktual yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. 14 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya. 2013).15.
15
John Fiske, and John Hartley, Reading Television, (New York: Routledge, 2003), 41.
M. Yasin
7
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
KETIGA
IDEOLOGI
Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi, seperti individualisme, liberalism, sosialisme, patriarki, ras, kelas, matrealisme, kapitalisme, gender dan sebagainya Sumber: Disadur dari Reading TV John Fiske 2003
Dalam level realitas, kita akan menganalisa bagaimana realitas digambarkan, ditinjau dari elemen pakaian, gesture, lingkungan dll. Selanjutnya pada level representasi, kita akan mempertanyakan sejauh mana bahasa yang digunakan, perawakan, lokasi tempat ia berada, hingga pemakaian kata-kata, kalimat, atau proposi tertentu dapat membawa makna tersendiri kepada khalayak. Setelah kita mengetahui sejauhmana seseorang, institusi, atau peristiwa menggambarkan sesuatu. Kodekode representasi akan dihubungan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan dominan dalam masyarakat tertentu.16 Sejalan dengan apa yang dipaparkan Fiske, ketika kita melakukan representasi tentu tidak akan terlepas dari ideologi tertentu.17 16
Wahyu, I. S Wibowo, Semiotika Komunikasi, (Bekasi: Mitra Wacana Media, 2011), 123.
John Fiske and John Hartley, Reading Television, (New York: Routledge, 2003) 17
8
Menjual Kemiskinan
Kode televisi John Fiske adalah model hirarki yang tak dapat diacak penggunaannya. D. Hasil Analisis Episode ini bercerita tentang kehidupan bocah delapan tahun bernama Uji yang rela berjualan agar-agar dan memulung botol bekas demi membantu neneknya dalam memenuhi biaya kehidupan sehari-hari. Keseharian Uji sangat berbeda dengan anak-anak lain yang seusianya, ia harus menjalani kehidupan yang keras dan dituntut untuk bersikap jauh lebih dewasa dari umurnya. Berikut adalah temuan-temuan yang berhasil dikumpulkan dari acara “Orang Pinggiran” episode 14 November 2013 yang berjudul “Sebatang Harapan Bocah Penjual AgarAgar” berdasarkan level realitas dan level representasi yang tergambar dalam episode ini: 1. Level Realitas Tabel 2: Realitas Orang Pinggiran 14 November 2013 “Sebatang Harapan Bocah Penjual Agar-Agar”
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
Gambar Temuan
00:07
02:56
02:56
Keterangan: Kode lingkungan: Terlihat dari gambar, desa ini merupakan desa yang tidak padat penduduk, karena luasnya tanah yang masih lapang dan juga banyaknya kebun yang masih rindang dan asri di sekelilingnya.
Selain itu, rata-rata rumah di desa ini masih sangat sederhana, masih banyak rumah yang terbuat dari kayu dengan keadaan yang kurang baik. Hal ini menandakan bahwa desa ini sebagian besar dihuni oleh warga level menengah ke bawah. Kode make up dan kostum: Uji, tokoh utama ditampilkan apa adanya, tanpa make up, selain itu, Uji juga berpenampilan sangat sederhana dengan pakaian yang terkesan sudah kusam dan lusuh. Hal ini, menandakan bahwa Uji merupakan orang yang kurang mampu. Kode ekspresi dan ucapan: Cara berbicara Uji sangat polos, ia berbicara terbata-bata dengan logat Sunda yang kental, selain itu raut wajahnya terlihat raut kesedihan. Kode perilaku: Uji diceritakan sebagai anak yang berperilaku baik dan sabar dalam menjalani kehidupannya. Sehari-hari ia berjualan agar-agar yang diambil dari Uwaknya untuk dijual di sekolah. Ia berjualan untuk membantu neneknya dalam memenuhi kehidupan sehari-hari yang serba kekurangan.
M. Yasin
9
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
2. Level Representasi Tabel 3: Representasi Orang Pinggir an 14 November 2013 “Sebatang Harapan Bocah Penjual Agar-Agar” Gambar Temuan
01:53-02:27 Narasi: “Umur Uji baru menginjak delapan tahun sejak kecil dia tinggal dan dibesarkan oleh sang nenek. Kerasnya hidup yang harus dijalani sudah biasa ia rasakan. Uji harus bersekolah dan bekerja dalam waktu yang bersamaan, ia berupaya keras memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin.”
Ketika narator membacakan narasi. Kamera megambil teknik medium sehingga ekspresi Uji terlihat. Selain itu, instrument musik sedih ikut dimainkan dalam scene ini. Narator melakukan penekanan pada kalimat “..Kerasnya hidup yang harus dijalani sudah biasa ia rasakan..” sehingga menegaskan bahwa keadaan keluarga ini memang sangat kekurangan sampai-sampai anak seusia senja seperti Ujia harus bertarung dengan kerasnya kehidupan.
Keterangan: Scene ini menceritakan ketika Uji Berangkat sekolah sambil membawa pelastik berisi agaragar dagangannya yang akan dijual di sekolahnya dengan penuh semangat. Karena dari hasil penjualannya dia akan mendapatkan upah 2-3 ribu yang dia akan pakai untuk membantu neneknya untuk membeli beras dan mengurangi beban neneknya yang sudah tua.
10
Menjual Kemiskinan
19:27-20:10 Narasi: “Keinginannya saat ini adalah memiliki sepeda, akan tetapi dengan penghasilan yang ia terima dari hasil memulung dan berjualan agar-agar nampaknya akan sulit untuk terwujud”
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
Keterangan: Scene terakhir berlatarkan di sebuah lahan pertanian dan jalan setapak yang dilalui uji sepulang memulung botol-botol pelastik. Kamera mengambil teknik medium close up dengan efek warna sehingga kesan sedih sangat terasa dalam scene ini. Narasi yang dibacakan memperkuat kesan sabar dan tegar si tokoh utama dalam episode ini. Sehingga menumbuhkan rasa empati bagi para penontonnya. 3. Level Ideologi Melalui temuan-temuan di level realitas dan representasi, saya menemukan adanya proses komodifikasi dalam acara ini. Komodifikasi tersebut terjadi ketika kemiskinan di lihat sebagai komoditas dalam bisnis media. Komoditas, apapun bentuknya merupakan jantung dari kapitalisme. Kapitalisme mutakhir saat ini, selalu memperhatikan nilai tanda dari berbagai objek yang diproduksi. Berbicara soal kapitalisme, Saiful Totona, melalui bukunya Miskin itu Menjual menjelaskan bahwa para kapitalis mewujudkan suatu determinisme ekonomi, di mana unsur-unsur besar seperti politik, agama, pendidikan, dan
lain sebagainya dipengaruhi oleh motif ekonomi dalam menjalankan kehidupan bernegara. Selanjutnya deteminisme ekonomi bermetamorfosis menjadi hegemoni dan relasi kekuasaan.18 Perwujudan hegemoni dan relasi kekuasaan dalam industri media diperlihatkan dalam bentuk ekonomi politik media. Pada akhirnya, ekonomi politik media memperlihatkan rupa aslinya melalui kegiatan komodifikasi. Dalam berbagai varian teori ekonomi politik, terdapat pendekatan ekonomi politik tanda. Ekonomi politik tanda adalah suatu mode pertandaan tertentu dimana seluruh tanda yang ada di sekitar berfungsi sebagai elemen-elemen sederhana dalam suatu kalkulus logis dan saling mengacu satu sama lain di dalam sebuah kerangka sistem pertukaran nilai tanda. Ini adalah logika pertukaran nilai tanda. Jadi dalam kasus ini, tanda-tanda kemiskinan yang ditayangkan dalam program “Orang Pinggiran” menjadi suatu alat tukar yang sudah dikalkulasikan dan mempunyai nilai dalam industri. Ekonomi politik tanda muncul ketika berbagai produk diproduksi dengan memperhitungkan nilai 18
Saifu Totona, Miskin itu Menjual, (Yogyakarta: Resist Book, 2010).
M. Yasin
11
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
tanda pada setiap produknya, sebagaimana tanda-tanda kemiskinan yang diproduksi sebagai sebuah komoditas. Acara televisi yang menampilkan tanda-tanda kemiskinan tentunya memiliki nilai tukar tanda dengan berbagai hal yang tentunya bisa menguntungkan. Ini merupakan logika kapitalisme dewasa ini. D. Penutup
Pada level realitas, tanda-tanda kemiskinan ditampilkan secara jelas, mulai dari pakaian si tokoh utama yang terlihat lusuh dan kotor, tempat tinggal mereka. Kisah sedih mereka di lihat sebagai komoditas dalam pandangan kaum kapitalis, yang berpotensi mendatangkan keuntungan. Dalam tataran ini, telah terjadi komodifikasi di mana ditandai dengan adanya proses transformasi pesan yang berawal dari teks, kemudian diwujudkan menjadi
12
Menjual Kemiskinan
produk media yang menghasilkan keuntungan bagi pihak tertentu. Di level representasi, kemiskinan dalam acara ini didramatisir dengan bantuan teknik-teknik editing. Ini dapat di lihat dari narasi, teknik pengambilan gambar, backsound, dan editing lainnya memberi kesan sedih dan dramatis dalam tayangan ini, sehingga mampu menggugah emosi para audiens yang menontonnya. Dari level ideologi sendiri, terlihat bahwa ideologi kapitalis sangat erat hubungannya dengan acara ini. Kemiskinan menjadi suatu komoditas, yang mana hal itu merupakan salah satu jantung kapitalisme. Kaum kapital memanfaatkan nilai dari tanda-tanda kemiskinan yang mereka produksi, demi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan tersebut mereka raih dari beberapa pihak, salah satunya dari para pemasok iklan.
Komunike, Volume viii, No. 2, Desember 2016
Daftar Pustaka Astuti, Santi Indra, “Komodifikasi Khalayak (Audiens) dalam Rating Televisi”, (Komunika, Vol. 8, Nomor 1, Tahun 2005) Debord, Guy, The society oF The Spectacle, (Camberra: Hobgoblin Press, 2002) Fiske, John and John Hartley, Reading Television, (New York: Routledge, 2003) ---------------, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) Graeme, Burton, Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi, (Bandung: Jalasutra, 2007) Kellner, Douglas M and Meenakshi Gigi Durham, Media and Cultural Studies: keyworks: (Blackwell Publishing, 2006)
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003) Ritzer, George, Douglas J. Goodman, Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011) Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013) Subandy, Dede Lilis, “Idealisasi Anak dalam Wacana Rubrik Nonfiksi Majalah Bobo”, (Mimbar, Vol. XXV, Nomor 1, Januari-Juni Th, 2009) Sudibyo, Agus, Ekonomi Politik Media Penyiaran, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2004) Totona, Saiful, Miskin itu Menjual, (Yogyakarta: Resist Book, 2010) Wibowo, I. S. Wahyu, Semiotika Komunikasi, (Bekasi: Mitra Wacana Media, 2011)
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma
M. Yasin
13