MENGEMAS PESONA HERBAL DALAM PEMBELAJARAN IPA SEBAGAI UPAYA MENUMBUHKAN KESADARAN LINGKUNGAN BEAUTY OF HERBS PACKAGE IN SCIENCE LEARNING AS AN EFFORT TO DEVELOP ENVIRONMENT AWARENESS Asri Widowati Jurusan Pendidikan IPA, FMIPA UNY
[email protected] ABSTRAK Herbal merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia yang sudah dimanfaatkan secara turun temurun. Namun sayangnya, pamor yang begitu melegenda tersebut kurang ada follow up-nya. Tidak banyak generasi muda yang tahu akan herbal dan khasiatnya. Hal ini karena kemajuan masyarakat dengan fasilitas yang dimiliki telah sampai pada mainstrem kehidupan yang mengglobal pada abad 21, termasuk dalam penanganan masalah kesehatan. Pesona herbal perlu dilestarikan karena semakin lama sudah semakin luntur, dan ditakutkan ke depan akan hilang. Hal itu dapat diantisipasi dengan memanfaatkan “Pesona Herbal” dalam pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA yang dilakukan dapat menumbuhkan kesadaran lingkungan guna membantu pendidikan untuk dapat menghadapi tantangan krisis lingkungan pada abad 21 dengan “linking knowledge to action”. Kata kunci: pesona herbal, pembelajaran IPA, kesadaran lingkungan. ABSTRACT Herbs are one of the natural wealth of Indonesia that has been used for generations. Unfortunately, there is no obvious follow-up to the legendary prestige. Only few young generation who know the herbs and their usefulness. It is influenced by the progress of society with outstanding facilities offered which has come to globalizing mainstream of life in the 21st century, including the treatment of health problems. The beauty of herbs need to be preserved because it is gradually fading and is feared that someday it will be completely lost. It can be anticipated by utilizing the "Beauty of Herbs" in natural science lessons. Learning natural science can instill students’ awareness of environment to help education face the challenges of the environmental crisis in the 21 st century with “linking knowledge to action’ Keywords: beauty of herbs, learning natural science, environment awareness
A. PENDAHULUAN Kata herbal saat ini kembali booming. Adanya seruan back to nature membangkitkan gairah khalayak untuk lebih tahu banyak tentang herbal dan beramairamai memanfaatkannya. Namun herbal semakin tidak dikenal di kalangan muda.
Hal tersebut karena herbal sering diidentikkan sama dengan jamu. Sebagian besar kalangan muda menganggap jamu sebagai minuman yang ketinggalan zaman dan mereka enggan untuk meminumnya. Anggota masyarakat tentu pernah sakit pada umumnya. Namun penanganan sakit
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
1
tiap orang berbeda. Sebagian orang memilih
berkhasiat sebagai obat dan sekitar 180
langsung berobat ke dokter karena memiliki
spesies yang telah digunakan untuk berbagai
uang dan gengsi, dan sebagian lagi lebih
keperluan industri obat dan jamu, tetapi baru
memilih mengobati dengan bahan alam
beberapa
karena tidak ada biaya untuk ke dokter.
dibudidayakan secara intensif.
Namun yang memilih pilihan menggunakan
spesies
Dunia
saja
berada
yang
dalam
telah
tantangan
bahan alam berupa herbal semakin lama
berbagai krisis lingkungan. Pengelolaan
semakin sedikit. Ada berbagai alasan yang
lingkungan yang baik dapat menjamin
mendasari hal tersebut, diantaranya: takut
ketersediaan sumber daya alam yang penting
dikatakan ketinggalan
bagi kesejahteraan masyarakat. Generasi
zaman, tidak tahu
apa bahan yang cocok untuk mengobati
mendatang
sakit tersebut, dan
wawasan terhadap lingkungan. Upaya yang
alamnya
maka
jikapun ada bahan
tidak
tahu
apa
saja
perlu
diberikan
bekal
dan
paling kuat untuk mengatasi tantangan krisis
khasiatnya. Hal tersebut merupakan realita
lingkungan
adalah
melalui
pendidikan,
yang terjadi pada saat ini.
khususnya ecology education. Sayangnya,
Pengenalan khasiat dan manfaat
pamor yang begitu melegenda tersebut
tanaman Indonesia yang merupakan hal
kurang ada follow up-nya. Hal ini diperkuat
yang harus diketahui agar dalam kaitannya
dengan
sebagai sumber bahan alam dapat berdaya
kepada 30 orang ibu-ibu Desa Cangkringan
guna dan berhasil dalam mencapai salah
Yogyakarta dalam kegiatan pengabdian
satu sasaran program pembangunan di
kepada masyarakat Pesona Herbal dalam
bidang kesehatan. Penelitian para ilmuwan
IGP Suryadarma, dkk. (2012) diperoleh data
menyediakan
tentang sumber informasi herbal kepada ibu-
pembuktian
tentang
hasil angket yang disebarkan
keefektifan berbagai macam herbal selama
ibu tersebut sebagaimana Tabel 1.
digunakan dengan metode penyembuhan
Tabel 1. Sumber Informasi tentang Herbal
tradisional. Tidak ada keraguan herbal mempunyai
banyak
penawaran
dalam
pelayanan kesehatan di masa kini. Indonesia ialah negara tropis yang memiliki potensi tanaman berkhasiat obat cukup besar dan menempati urutan kedua
Sumber Informasi tentang Herbal Media massa Orang tua Kakek/nenek Teman Lainnya
Persentase (%) 57,1 14,3 9,52 9,52 9,52
setelah Brazil. Diperkirakan sekitar 30.000 tumbuhan ditemukan di dalam hutan hujan tropika, sekitar 1.260 spesies di antaranya
Walaupun data tersebut belum merepresentasikan seluruh kalangan, namun paling tidak dapat memberikan informasi
2 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
bahwa di wilayah pedesaan saja pesona herbal sudah mulai menunjukkan adanya gejala “missing link” antara pewarisan pengetahuan herbal antara orang tua peserta dengan peserta yang rerata berusia 30 tahun ke atas. Beruntungnya, herbal masih diberitakan media massa. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu adanya suatu pembangkitan semangat dunia pendidikan agar ikut berperan serta dalam menghadapi krisis lingkungan, dalam hal ini khususnya terkait dengan “Pesona Herbal”. Salah satunya melalui pembelajaran IPA agar pembelajaran IPA yang dilakukan dapat menumbuhkan kesadaran lingkungan guna membantu pendidikan untuk dapat menghadapi tantangan krisis lingkungan pada abad 21 dengan “linking knowledge to action”. B. HASIL DAN PEMBAHASAN Indonesia adalah negara dengan kekayaan plasma nutfah terlengkap di dunia. Di bidang tanaman obat tradisional, Indonesia yang dikenal sebagai salah satu dari 7 negara yang keanekaragaman hayatinya terbesar kedua setelah Brazil, tentu sangat potensial dalam mengembangkan obat herbal yang berbasis pada tanaman obat kita sendiri. Lebih dari 1000 spesies tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Tumbuhan tersebut menghasilkan metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas biologik yang beraneka ragam, memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat berbagai penyakit. Beberapa upaya dilakukan untuk meramu obat tradisional sehingga dapat dikonsumsi dalam bentuk produk olahan siap pakai (Radji, 2005)
Penggunaan tanaman obat yang dilakukan dengan eksploitasi berlebihan tanpa dibarengi penanaman kembali maka akan beresiko bagi kelestarian tanaman herbal. Spesies tanaman herbal di Indonesia menyusut. Dari 30 ribu spesies, kini tinggal 625 spesies tanaman herbal yang ada di Tanah Air. 95 spesies tanaman obat liar saat ini dieksploitasi dalam jumlah besar, sehingga 54 jenis tanaman punah. Permasalah taksonomi tanaman obat di Indonesia dapat disebabkan karena: 1. Keanekaragaman didalam jenis tanaman obat diketahui sangat sempit. Rifai, dkk (Amik, 2004: 17) melaporkan bahwa 30 jenis tumbuhan obat di Indonesia sudah termasuk langka, di antaranya salah satu jenis tumbuhan Liana, yaitu Pulasari. 2. Kelestariannya tidak terjaga. Tanaman obat biasanya tumbuh di tanah pekarangan atau tanah yang dianggap tidak produktif seperti lereng atau jurang, lembah sungai dan tanah pekarangan di belakang rumah. Namun karena kepadatan penduduk maka disertiap jengkal tanah dimanfaatkan sebagai bangunan, maka banyak tanaman obat menjadi hilang dari habitatnya. Dalam pemanfaatannya bahan baku tumbuhan obat masih tergantung pada tumbuhan yang ada di hutan alam atau berasal dari pertanaman rakyat yang diusahakan secara tradisional. Kegiatan eksploitasi tanaman liar secara berlebihan melebihi kemampuan regenerasi dari tanaman dan tanpa disertai usaha budidaya, akan mengganggu kelestarian tanaman tersebut. Akibatnya banyak tanaman yang terancam punah atau paling tidak sudah sulit dijumpai di alam Indonesia, seperti purwoceng (Pimpinella pruacan), kayu angin (Usnea misaminensis), pulasari (Alyxia reiwardii), bidara laut (Strychnos ligustrina) dan lain-lain. Mengingat
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
3
tingginya aktivitas manusia di kawasan hutan maka inventarisasi dan konservasi tumbuhan obat yang terdapat di kawasan tersebut, khususnya yang tergolong langka, perlu dielimininasi. Masyarakat Indonesia mengenal dan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapinya sudah sejak zaman dahulu. Ramuan dari tanaman telah digunakan secara turun-temurun untuk pengobatan dan dirasakan khasiatnya. Namun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap obatobatan berbahan baku alami atau jamu herbal masih rendah dibandingkan obatobatan berbasis farmasi. Ini terlihat dari perbandingan pemanfaatan penggunaan obat alami di Indonesia yang baru sekitar 10 % (Suara Merdeka, 2013). Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap kepedulian masyarakat terhadap kelestarian herbal. Jika semakin banyak kalangan masyarakat yang enggan menggunakan, bolehjadi herbal semakin ditinggalkan dan semakin banyak pula generasi muda yang tidak mengenal herbal dan bolehjadi pada akhirnya herbal hanya tinggal cerita warisan budaya. Sudah sejak lama bangsa Indonesia mengenal khasiat berbagai ragam jenis tanaman sebagai sarana perawatan kesehatan, pengobatan serta untuk mempercantik diri yang selama ini dikenal sebagai jamu. Di kalangan internasional, jamu dikenal dengan istilah Herbs yang berasal dari bahasa latin Herba yang berarti rumput, tangkai, tangkai hijau yang lunak dan kecil dan agak berdaun. Herbal berasal dari sebagian bagian ataupun keseluruhan bagian tanaman.Herbal disebut juga dengan istilah botanical medicines, remedies, atau suplemen. Beberapa di anatara herbal memiliki kandungan zat pharmacologically active. Seringkali herbal dipasarkan sebagai
suplemen harian, yang tidak memerlukan pembuktian keefektifannya, keamanan ataupun kualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang semakin pesat dan canggih di zaman sekarang ini, ternyata tidak mampu menggeser atau mengesampingkan begitu saja peranan obat-obat tradisional, tetapi justru hidup berdampingan dan saling melengkapi. Perhatian terhadap tanaman obat tradisional bagi kehidupan manusia perlu mendapat perhatian serius. Hal tersebut karena terdapat tanaman obat tradisional langka terancam punah. Selain itu, juga karena masih kurangnya perhatian terhadap uji klinis tanaman, khususnya tanaman obat. Trubus (2010 :17) menginfokan bahwa tanaman ungulan nasional yang telah diuji klinis baru 9, yaitu salam, sambiloto, kunyit, jahe merah, jati belanda, temulawak, jambu biji, cabai jawa, dan mengkudu. Arie Hariana (2009: V) menambahkan bahwa sudah dikenal lebih dari 20.000 jenis tumbuhan oba di Indonesia, akan tetapi baru 1.000 jenis saja yang sudah didata, dan baru sekitar 300 jenis yang sudah dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Hal ini menunjukkan betapa kecilnya perhatian maupun penggunaan tanaman obat herbal sebagai potensi bangsa. Perhatian yang minim tersebut merupakan salah satu penyebab ekosistem bertambah krisis. Adapun klasifikasi kondisi tanaman obat akibat pengambilan bahan baku tanpa dilakukan pelestarian plasma nutfahnya diklasifikasikan menjadi 5 kelompok (Muharso, 2000). a. Punah, dianggap telah musnah dari muka bumi. b. Genting, jenis tanaman yang terancam punah. Contohnya purwoceng Pimpinella pruatjan), kayu angin (Usnea misaminensis), pulasari (Alyxia
4 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
reiwardii) dan bidara laut (Trychnos c. Rawan, jumlah sedikit tapi terus dieksploitasi. Contohnya Ki koneng (Arcangelisia flava). d. Jarang, jenis tanaman dengan populasi besar tapi tersebar secara lokal, atau daerah penyebarannya luas tapi mengalami erosi berat. Contohnya pulai (Alstonia scholaris). e. Terkikis, jenis tanaman yang jelas mengalami kelangkaan tapi informasi keadaan sebenarnya belum mencukupi untuk masuk dalam kategori tersebut di atas. Untuk menekan terjadinya krisis ekologi terutama tumbuhan dan tanaman obat yang berdampak bagi sistem ekologi, maka semua pihak perlu membina, menanamkan pengetahuan, termasuk juga menyadarkan para remaja akan manfaat tumbuhan maupun tanaman obat. Hal tersebut memberikan kesadaran lingkungan bagi remaja dalam menjalankan perannya sebagai manusia yang wajib memelihara lingkungan. Manusia mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan dan juga memelihara sumber daya alam dan lingkungannya. Persepsi ini merupakan faktor dalam yang mempengaruhi perilaku manusia, baik secara individu maupun kelompok sosial. Hubungan manusia dengan alam baik secara sosial, indologikal maupun secara organisasional, perlu mendapatkan perhatian untuk dikembangkan dalam menyusun strategi pengelolaan sumber daya alam, termasuk tanaman obat tradisional atau herbal. Salah satu upaya menanamkan kesadaran lingkungan tentang pesona herbal dapat dilakukan melalui pembelajaran IPA untuk dapat
ligustrina). melakukan “linking knowledge to action”. Generasi mendatang perlu diberikan bekal dan wawasan terhadap lingkungan sehingga terbentuk generasi yang berliterasi lingkungan. Anak SMP termasuk basis dalam mengembangkan generasi mendatang yang peduli lingkungannya. Di sisi lain, pembelajaran IPA yang secara efektif menghasilkan kontribusi signifikan terhadap literasi lingkungan pada anak masih sangat kurang (Feasey, 2004; Fien, 2004). Hal tersebut diperparah dengan kurangnya kesadaran guru untuk membelajarkan literasi lingkungan kepada siswa. Jickling & Spork (1998) menekankan bahwa pendidikan lingkungan melalui pembelajaran IPA merupakan konteks yang penting dikaji dan diterapkan. Guru dapat memainkan perananan substansial dalam peningkatan literasi lingkungan. Ketika guru merencanakan melakukan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran IPA, kadang-kadang hasil pembelajaran tersebut kurang sesuai dengan apa yang mereka harapkan (Marsh, 2005). Hal tersebut dikarenakan ada kalanya pembelajaran IPA dilakukaan guru di luar kelas dengan harapan siswa dapat memupuk kepekaan terhadap lingkungan, tetapi kegiatan tersebut sering kali kurang menanamkan kepedulian yang bermakna terhadap lingkungan. Dalam pelaksanaannnya, pembelajaran yang bernuansa pendidikan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemampuan dan keterampilan peserta didik dalam memecahkan masalah lingkungan yang dihadapi masyarakat setempat. Problem possing of education (pendidikan untuk menghadapi masalah) penting untuk
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
5
dijadikan strategi dan metode tanaman herbal sebagai persoalan. Hal pembelajarannya. tersebut dapat dilakukan dengan: Guru perlu mempersiapkan pembelajaran (a) memetakan potensi lokal dengan IPA dengan baik agar tujuan penanaman cara menginventarisasi objek kesadaran lingkungan hidup kepada siswa tanaman herbal yang ada di dapat mencapai tujuan. Adapun langkah lingkungan sekitar dan gejalanya, pendayagunaan potensi tanaman herbal dan mengidentifikasi persoalan yang sebagai media pembelajaran IPA dapat dapat diangkat dalam pembelajaran. dilakukan pula dengan melakukan analisis Contohnya: potensi rhizoma dari potensi ataupun kurikulum IPA : tanaman Zingiberaceae 1. Membuat persoalan pembelajaran dengan memanfaatkan alam berupa Tabel 2. Contoh Pemetaan Potensi Lokal Tanaman Herbal sebagai Persoalan Pembelajaran Objek yang diamati
Fenomena yang diamati
Tanaman Zingiberaceae beserta rhizomanya
Bentuk rhizoma bervariasi Tanaman herbal ada yang sudah memiliki rhizoma dan ada yang belum Bau rhizoma kunir berbeda dengan rhizoma jahe
Persoalan yang dapat diangkat untuk pembelajaran Modifikasi dari organ apakah rhizoma itu? Apakah rhizoma menjadi ciri spesifik dari suatu kelompok tanaman? Apa sebab bau rhizoma berbeda-beda?
(b) Mensinkronkan hasil pemetaan potensi tersebut dengan kurikulum yang berlaku . Tabel 3. Pensinkronan Hasil Pemetaan Potensi Lokal dengan Kurikulum Objek yang diamati
Fenomena yang diamati
Tanaman Zingiber aceae beserta rhizoman ya
Bentuk rhizoma bervariasi
Tanaman herbal ada yang sudah memiliki rhizoma dan ada yang belum Bau rhizoma kunir berbeda dengan rhizoma jahe
Persoalan yang dapat diangkat untuk pembelajar an Modifikasi dari organ apakah rhizoma itu?
Apakah rhizoma menjadi ciri spesifik dari suatu kelompok tanaman? Apa sebab bau rhizoma berbedabeda?
Pemecahan masalah
SK,KD/M ateri
Teknik pemecahan masalah
Cara pembelajarannya
Observasi
IPA Kur 2013 Kls 8 KD 3.2 tentang Struktur dan Fungsi Tumbuhan
Observasi rhizoma dan organ tumbuhan
Observasi struktur yang tampak dan anatomi dari rhizoma dan organ tumbuhan
Observasi kls.
Studi referensi
Untuk urutan langkah (a) dan (b) dapat menjadi (b) kemudian (a) jika memulai pencarian persoalan pembelajaran dengan
7 3.3.
KD Materi Klasifikasi Tumbuhan
Observasi beberapa tanaman berhizoma dan tidak berizhome Observasi beberapa tanaman berhizoma dan tidak berizhome
Studi referensi tentang kandungan, khasiat manfaat rhizoma
Studi referensi
menilik kurikulum terlebih dulu dan dilanjutkan dengan menyeleksi potensi lokal yang sesuai untuk digunakan dalam
6 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
pembelajaran materi yang dimuat dalam
KD tersebut
2.
peduli lingkungan, khususnya terkait tanaman herbal. 3. Melalui pengamatan, siswa dapat mengidentifikasi bahwa struktur organ tumbuhan asal yang bermodifikasi menjadi rhizoma pada tanaman herbal suku Zingiberaceae 4. Melalui pengamatan, siswa dapat mengidentifikasi ciri spesifik tanaman herbal suku Zingiberaceae. 5. Melalui pengamatan, siswa dapat mengelompokkan tanaman ke dalam Zingiberaceae. 6. Melalui studi referensi, siswa dapat mengetahui penyebab perbedaan bau rhizoma beserta khasiat masingmasing rhizoma. Konsep keilmuan: Struktur Fungsi pada Tumbuhan, Klasifikasi. Kemasan Media: media realia tanaman herbal Zingiberaceae yang berorgan lengkap (daun, batang, akar) beserta rhizomanya, tanaman lain yang tidak berhizoma, Bahan ajar yang digunakan berupa: LKS kegiatan observasi modifikasi apakah rhizome itu? LKS kegiatan apakah aku penanda kelompok tertentu? dan berbagai referensi “Herbal beserta Khasiatnya khususnya Zingiberaceae”. Berikut merupakan contoh skenario pembelajaran yang dapat diberikan agar siswa SMP dapat memiliki kesadaran lingkungan, khususnya terkait pesona herbal berupa rhizoma dari berbagai tanaman yang termasuk Zingiberaceae .
Merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas, spesifik dalam bentuk kelakuan siswa yang dapat diamati dan diukur. Tujuan pembelajaran dapat berupa info faktual, pengenalan visual, prinsip dan konsep, prosedur, keterampilan, dan sikap. 3. Menentukan kegiatan pembelajaran yang dilakukan peserta didik dengan menggunakan media pembelajaran dengan menggunakan potensi lokal sekolah. 4. Menentukan konsep-konsep yang dapat dibelajarkan dengan menggunakan potensi lokal tersebut. 5. Menentukan sajian atau bentuk kemasan media yang memanfaatkan potensi lokal sekolah. Adapun bentuk media dapat berupa realia, foto objek lokal, visual diam, slide, film, LKS. Bentuk media tergantung kepada tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Setiap jenis media memiliki perbedaan kemampuan untuk mencapai tujuan belajar, ada yang tinggi, sedang, dan rendah. Hasil inventarisasi potensi lokal dalam Tabel 3 dapat digunakan dalam pembelajaran yang memiliki: Tujuan Pembelajaran sebagai berikut: 1. Melalui rangkaian kegiatan pembelajaran, siswa dapat mensyukuri kekayaan alam berupa tanaman herbal. 2. Melalui rangkaian kegiatan pembelajaran, siswa dapat bersikap
Tabel 4.Contoh Langkah Pembelajaran IPA Klasifikasi Tumbuhan Langkah Pembelajaran Kegiatan belajar siswa Guru membawakan berbagai macam tanaman tanaman herbal dari Mengamati Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
7
Zingiberaceae dan bukan Zingiberacea Guru meminta siswa bertanya tentang tanaman yang dibawa guru. Menanya Pertanyaan yang diharapkan muncul: 1. Apa perbedaan antar Rhizoma? 2. Berdasarkan apakah tanaman-tanaman tersebut dapat dikelompokkan? 3. Apa manfaat berbagai rhizoma tersebut bagi kesehatan? Guru meminta siswa melakukan penyelidikan dengan mengamati Menyelidiki perbedaan dan persamaan antar tanaman, dan antar sesama tanaman rhizoma, mengeksplorasi kegunaan rhizoma tanaman herbal Zingiberaceae untuk kesehatan Guru meminta siswa memecahkan pertanyaan diskusi untuk menjawab Menalar no 1 sd 3 Guru meminta siswa membuat simpulan Guru meminta siswa mempresentasikan Mengkomunika Guru meminta siswa membuat refleksi tentang apa yang diri siswa sikan lakukan setelah pembelajaran IPA tentang rhizoma beserta khasiatnya tersebut. Tabel 5.Contoh Langkah Pembelajaran IPA Struktur Fungsi Tumbuhan Langkah Pembelajaran
Kegiatan belajar siswa Guru membawakan berbagai macam tanaman tanaman herbal dari Mengamati Zingiberaceae lengkap beserta rhizomanya Guru meminta siswa bertanya tentang berbagai macam rhizoma yang Menanya dibawa. Pertanyaan yang diharapkan muncul: 1. Apa perbedaan antar Rhizoma? 2. Modifikasi apakah rhizoma itu? 3. Apa manfaat berbagai rhizoma tersebut bagi kesehatan? Guru meminta siswa melakukan penyelidikan dengan mengamati Menyelidi perbedaan dan persamaan antara rhizoma dan organ tanaman (akar, ki batang, daun) ditinjau dari penampakan luar (warna, keberadaan sisa sisik daun atau daun, tunas), dan penampakan secara anatominya dengan membuat slide preparat penampang melintang dari akar, batang daun dan rhizoma tanaman Zingiberaceae dan meminta siswa mengamatinya di bawah mikroskop. Guru meminta siswa memecahkan pertanyaan diskusi untuk menjawab Menalar pertanyaan no 2 Guru meminta siswa membuat simpulan Guru meminta siswa mempresentasikan. Mengkom Guru meminta siswa membuat refleksi tentang apa yang diri siswa unikasikan lakukan setelah pembelajaran IPA tentang rhizoma beserta khasiatnya tersebut. Selain rhizoma, jika objek yang dibawa Perubahan Wujud dan Pemisahan guru berupa jamu cair dan bubuk maka Campuran (Filtrasi dan Rekristalisasi). topik yang dibelajarkan dalam Adapun contoh pembelajaran IPA-nya pembelajaran IPA berupa konsep sebagaimana Tabel 6.
8 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
Tabel 6. Pembelajaran Perubahan Wujud dan Pemisahan Campuran dengan Pesona Herbal Langkah Pembelajaran Kegiatan belajar siswa Guru membawakan macam bentuk jamu cair dan bubuk Mengamati Guru meminta siswa bertanya tentang berbagai hal berkaitan Menanya dengan jamu yang dibawa. Pertanyaan yang diharapkan muncul: 1. Bagaimana membuat jamu cair? 2. Bagaimana mengubah jamu air menjadi bubuk jamu? 3. Apa manfaat berbagai jamu tersebut bagi kesehatan? Guru meminta siswa melakukan kegiatan ekstraksi dari rhizoma Menyelidiki kunir dan filtrasi serta rekristalisasi dari ekstrak jamu dengan berbagai konsentrasi. Guru meminta siswa mengamati gejala-gejala yang muncul selama proses ekstraksi, filtrasi dan rekristalisasi. Guru meminta siswa memecahkan pertanyaan diskusi tentang Menalar percobaan yang dilakukan, termasuk mengeksplorasi dari referensi tentang kandungan masing-masing rhizoma dan khasiatnya untuk kesehatan Guru meminta siswa membuat simpulan Guru meminta siswa mempresentasikan hasil. Mengkomunikasi Guru meminta siswa membuat refleksi tentang apa yang diri siswa kan lakukan setelah pembelajaran IPA tentang jamu tersebut. Tumbuhan, ataupun Pemisahan Campuran. C. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan 3. Kesadaran lingkungan siswa tentang dapat disimpulkan bahwa herbal penting untuk ditanamkan 1. Herbal sebagai salah satu kekayaan agar pesona herbal tidak hilang dan alam dan budaya Indonesia patut meminimalkan terjadinya krisis dijaga kelestariannya. lingkungan dengan cara linking 2. Herbal memiliki potensi untuk knowledge to action” dengan dikembangkan sebagai objek dan membelajarkan IPA menggunakan persoalan pembelajaran IPA yang objek berupa tanaman herbal, jamu, bertujuan untuk menanamkan dan potensi lingkungan lainnya serta kesadaran lingkungan kepada siswa. meminta siswa merefleksikan hasil Contohnya pembelajaran IPA tentang pembelajarannya. herbal pada materi Klasifikasi Tumbuhan, Struktur Fungsi Kalimantan Tengah. Buletin Plasma Nutfah Vol.12 No.1. Arie Hariana. (2009). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 1 – 3. Penebar Swadaya, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Feasey, R. (2004). Thinking and working Amik Krismawati & M. Sabran. (2004). scientifically. In K. Skamp (Ed.), Pengelolaan Sumber Daya Teaching Primary Science Genetik Tanaman Obat Spesifik Constructively (2nd ed., pp. 44Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
9
86). South Melbourne: Thomson Learning. Fien, J. (2004). Education for sustainability. In Studying society and environment: A guide for teachers (184-200). Thomson Learning. http://www.suaramerdeka.com/v1/index.p hp/read/cetak/2013/04/11/221415/ Penggunaaan-Obat-Herbal-Baru10. IGP Suryadarma, Asri Widowati, Mustofa. (2012). Pesona Herbal sebagai Upaya Mengembangkan Eco-Education dan Kewirausahaan Produk Olahan Herbal. Laporan PPM. Yogyakarta: FMIPA, UNY. Jickling, B., & Spork, H. (1998). Education for the environment: A critic [Versi elektronik]. Environmental Education Research, 4(3), 309-328. Marsh, C. (2005). Concept building. Teaching Studies of Society and Environment (84-98). Prentice Hall. Muharso. (2000). Kebijakan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Indonesia. Makalah Seminar Tumbuhan Obat di Indonesia, Kerjasama Inonesian Research Center for Indegeneous Knowledge (INRIK), Universitas Pajajaran dan Yayasan Ciungwanaradengan Yayasan KEHATI 26-27 April 2000. Radji, Maksum. (2005). Peranan Bioteknologi dan Mikroba Endofit dalam Pengembangan Obat Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.3: Departemen Farmasi, FMIPAUI. Trubus. (2010). Herbal Indonesia Berkhasiat Bukti Ilmiah & Cara Racik.PT Trubus Swadaya, Jakarta.
10 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
PENGARUH PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MEMBINA MELEK POLITIK SISWA SMA NEGERI 2 PURWOKERTO THE EFFECTS OF CIVIC EDUCATION LEARNING ON STUDENTS’ POLITICAL LITERACY IN SMA NEGERI 2 PURWOKERTO Elly Hasan Sadeli Universitas Muhammadiyah Purwokerto
[email protected] ABSTRAK Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh pembelajaran PKn dalam membina melek politik siswa. Secara khusus penelitian ini bertujuan menguji dan menemukan pengaruh penerapan komponen PKn yang meliputi pembelajaran PKn dan kompetensi Kewarganegaraan terhadap tingkat melek politik siswa. Proses penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif. Secara umum dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa: Pertama, pembelajaran PKn yang menggunakan berbagai variasi metode pembelajaran yang demokratis semakin memperkuat pengaruh PKn dalam membina melek politik siswa. Kedua, semakin baik kualitas kompetensi kewarganegaraan yang dimiliki oleh seorang siswa, maka semakin tinggi pula tingkat melek politik mereka. Ketiga, pembelajaran PKn yang efektif dan bermakna serta didukung oleh kualitas kompetensi kewarganegaraan yang baik, secara langsung dapat meningkatkan tingkat melek poltik siswa.
ABSTRACT This research generally aims to describe the effects of civic learning in nurturing students’ political literacy, and specifically aims to examine and discover the effects of civic components application that consist of civic learning and competences on the level of students’ political literacy. This research used quantitative approach and descriptive method of survey technique. From the research results, it could be generally concluded that: (1) civic learning through various democratic learning methods strengthened the effects of civic education in nurturing students’ political literacy, (2) the better quality of students’ civic competences the higher their level of political literacy, and (3) an effective and meaningful civic competences could directly improve students’ political literacy. Keywords: civic education, political literacy, civic competence
A. PENDAHULUAN Ketika menghadapi Pemilu, atmosfer dunia pendidikan agaknya tak kalah seru. Jenjang pendidikan di sekolah khususnya SMA menjadi target untuk mendulang suara dari pemilih pemula. Naluri politik para politikus negeri ini agaknya telah mencium kalau dunia pendidikan bisa menjadi basis
yang strategis untuk menaikkan pamor politik. Tak heran jika para caleg berupaya meraih simpati dari kalangan guru dan siswa. Meski sudah ada larangan berkampanye di lembaga pendidikan sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008, mereka tetap melakukannya meski dengan cara sembunyi-sembunyi.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
11
Apa pun wujudnya, baik secara terang-terangan maupun sembunyisembunyi, kampanye politik merupakan bentuk propaganda yang telah mengarah pada politik praktis. Trauma politik selama rezim Orde Baru memang dinilai telah menciptakan luka politik bagi generasi masa depan negeri ini. Mereka sengaja dibutakan dari berbagai persoalan sosial-politik kebangsaan. Anak-anak masa depan negeri ini hanya diarahkan untuk menjadi robotrobot zaman yang harus menghamba pada sang pengendali kekuasaan. Meski demikian, sejarah politik yang kelam semacam itu tidak harus dijadikan sebagai alasan pembenar terhadap politisasi pendidikan. Anak-anak negeri ini memang perlu melek politik. Mereka perlu belajar dan sekaligus memahami berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa dan negerinya. Akan tetapi, pendidikan politik yang perlu diaplikasikan ke dalam lembaga pendidikan bukanlah dalam bentuk propaganda politik praktis yang akan mengarah pada proses pembusukan intelektual, melainkan pendidikan politik yang sehat dan mencerahkan. Para siswa perlu diajak untuk memahami persoalan-persoalan kebangsaan melalui proses pembelajaran yang dialogis dan interaktif. Pendidikan politik juga tidak perlu dijadikan sebagai materi pelajaran tersendiri. Berhasil menanamkan nilai-nilai kearifan politik ke dalam ranah pemikiran siswa sudah merupakan sukses tersendiri bagi sebuah lembaga pendidikan. Melalui penanaman nilai kearifan politik semacam itu diharapkan kelak mereka mampu menjadi pemain-pemain politik yang cerdas dan elegan sehingga tidak mudah melakukan tindakan-tindakan konyol yang bisa merugikan bangsa dan negara. Dalam konteks demikian, dibutuhkan penanaman nilai-nilai kearifan
dan fatsun politik secara benar melalui dunia pendidikan. Selama menuntut ilmu di bangku pendidikan, para siswa didik (nyaris) tak pernah mendapatkan pendidikan politik secara benar. Mereka belajar politik secara langsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sudah sarat dengan pembusukan dan anomali politik. Imbasnya sudah bisa ditebak. Ketika terjun ke dalam ranah politik praktis, mereka menjadi abai terhadap nilai-nilai kejujuran, kearifan, dan kesantunan. Sudah saatnya dunia pendidikan kita mengakomodasi berbagai persoalan yang langsung bersentuhan dengan hajat hidup rakyat banyak. Jangan sampai, dunia pendidikan kita berdiri di puncak menara gading kehidupan yang akan mengasingkan anak-anak masa depan negeri ini dari berbagai persoalan riil yang dihadapi bangsa dan negaranya. Dengan kata lain, nilai-nilai kearifan dan kesantunan politik perlu segera disentuh dan diaplikasikan ke dalam dunia pendidikan yang disajikan secara integratif ke dalam berbagai mata pelajaran yang relevan. Untuk itu, diperlukan mata pelajaran yang mampu menjawab tantangan tersebut. Tidak heran jika di sekolah, mata pelajaran yang bisa membelajarkan siswa tentang politik adalah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang paling penting di sekolah, karena ditujukan untuk membentuk dan mempersiapkan generasi muda agar ikut berperan aktif di dalam kegiatan masyarakat, termasuk dalam kegiatan politik masa mendatang. Sebagaimana menurut pandangan Cogan (1999:4) yang mengartikan PKn atau civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare
12 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
young citizens for an active role in their communities in their adult lives", maksudnya adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Selain aktif dalam masyarakat, keberadaan generasi muda merupakan aset yang berharga dalam kancah perpolitikan, sebab mereka adalah tunas-tunas harapan bangsa yang akan melangsungkan kehidupan bangsa dan negara. Konsep-konsep politik yang terdapat dalam pendidikan kewarganegaraan memiliki misi untuk membina siswa agar melek politik, dalam artian siswa tahu dan paham, mengerti, menyadari, meyakini, dan menegakkan atau melaksanakan segala apa yang ia ketahui dari pembelajaran. Selain itu, melalui pemahaman konsep-konsep politik dalam pendidikan kewarganegaraan siswa dapat memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara serta sadar atas hak dan kewajibannya. Melek politik (politicial literacy) merupakan syarat mutlak untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sedang gencar dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu peran PKn sebagai pendidikan politik bagi warga negara perlu lebih ditingkatkan, baik dari aspek materi, metode, kurikulum, evaluasi, media dan sarana prasarana maupun gurunya. Peran PKn yang utama bagaimana memanusiakan (humanizing), membudayakan (civilizing) dan memberdayakan (empowering) warga negara, sehingga melek politik dalam arti memahami hak konstitusonalnya dan kewajibannya. Saat ini PKn belum berhasil secara optimal, terutama dalam meningkatkan melek politik.
Oleh karena itu, kemelekan atau kesadaran politik siswa dapat dibentuk salah satunya melalui pembelajaran PKn. Pendapat tersebut telah dipertegas melalui misi PKn yang dikemukakan oleh Sapriya dan Maftuh (2005) bahwa: PKn sebagai pendidikan politik, yang berarti program pendidikan ini memberikan pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada siswa agar mereka mampu hidup sebagai warga negara yang memiliki tingkat kemelekan politik (political literacy) dan kesadaran politik (political awareness), serta kemampuan berpartisipasi politik (political particapation) yang tinggi. Melihat kenyataan di atas, diperlukan suatu metode khusus untuk bisa menyadarkan mereka kembali. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah dengan menumbuhkan rasa kebangsaan tersebut melalui jalur pendidikan. Pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran wajib di jenjang sekolah memiliki fungsi sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilainilai luhur yang dimiliki bangsa. Dengan kata lain, pendidikan kewarganegaraan adalah salah satu saluran dalam menurunkan segenap nilai luhur budaya bangsa kepada generasi selanjutnya. Sejalan dengan meningkatnya perubahan yang bersifat multidimensional, baik politik, ekonomi maupun sosial budaya, tuntutan pembelajaran PKn sangat diperlukan dalam memecahkan berbagai masalah yang timbul. Sehingga, Wahab (Cholisin, 2007:11), memberikan batasan bahwa : Pendidikan Kewarganegaraan ialah media pengajaran yang akan mengIndonesiakan para siswa secara sadar, cerdas dan penuh tanggung jawab. Karena
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
13
itu program PKn memuat konsep-konsep umum ketatanegaraan, politik, hukum, negara, serta dari teori umum yang lain yang cocok dengan target tersebut. Dengan kecenderungan sifat teoretis disiplin politik tetap dominan baik dalam program maupun dalam pengajarannya. Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan sendiri merupakan laboratorium demokrasi awal bagi para siswa dalam memahami berbagai persoalan di masyarakat. Salah satu tugas pendidikan kewarganegaraan yang utama adalah membentuk karakter warga negara (nation character building) dan pembinaan warganegara yang baik dan demokratis (good and democratic citizenship). Tugas utama ini membutuhkan upaya profesional dalam pengorganisasian pendidikan kewarganegaraan untuk mampu menghubungkan dunia sekolah dengan dunia luar sekolah atau dunia idealis dengan dunia realitas. Pendidikan kewarganegaraan memiliki tujuan utama untuk membentuk siswa yang memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, berpikir kreatif, mampu bertindak demokratis dalam setiap aspek kegiatannya, memiliki rasa tanggung jawab baik sebagai warga negara lokal, regional, nasional, maupun internasional, dan juga dapat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, maka dalam proses pembelajaran PKn harus mengandung upaya pengembangan kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam rangka mengembangkan kemampuan tersebut, perlu adanya pendekatan-pendekatan yang strategis dengan metode yang tepat dalam arti yang potensial untuk mengajak siswa
untuk kritis dalam berpartisipasi yang positif.
B. TINJAUAN PUSTAKA 1.Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia yang dalam konteks internasional (Kerr, 1999) dikategorikan ke dalam kelompok citizenship education Asia-Afrika yang masih berada pada titik Minimal yakni education about citizenship sudah seharusnya menggunakan strategi progresif menuju titik Maksimal, yakni education for citizenship melalui titik median education through citizenship. Untuk itu pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu academic endeavor (CICED, 1999) atau sebagai bidang kajian dan pengembangan pendidikan disiplin ilmu seyogyanya memusatkan perhatian pada kajian ilmiah tentang civic virtue dan civic culture (Quigley, 1991) atau keberadaban dan budaya Kewarganegaraan dalam konteks pengembangan civic intelligence dan civic participation (Quigley, 1991; Cogan, 1999). Pola prosedurnya pun, menurut Djahiri benar-benar terkontrol terkendali menjurus pada proses “penjinakan“ (domesticating) potensi dan kehidupan siswa/ masyarakat, jadi bukan kearah memberi kemudahan, kelancaran, berhasilan (fasiliting) proses internalisasi, personalisasi substansi serta pembinaan dan pengembangan potensi diri atau kemampuan belajar (condituining learning skills). CICED (1999: 56). Oleh karena itu, diperlukan pergeseran paradigma dari guru-guru dalam menyikapi hal tersebut, seperti guru lebih bersifat terbuka, merubah pandangan terhadap strategi pembelajaran bahwa peserta didik bukan hanya belajar tentang
14 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
konsep pendidikan Kewarganegaraan melainkan juga belajar ber-PKn atau praktik seperti yang telah dikemukakan di atas. Guru hendaknya memusatkan kegiatan belajar pada peserta didik (student center), untuk itu guru berperan sebagai fasilitator, yaitu pemberian kemudahan bukan sebagai sosok yang tahu segalanya (manusia serba bisa/tahu). Pembelajaran bukan hanya berdasarkan pada buku teks dan terkekang dalam kelas saja, namun memanfaatkan berbagai sumber belajar seperti yang telah dipaparkan di bagian depan. Selain itu, yang tak kalah pentingnya guru hendaknya kembali memahami/mengkaji ulang tentang makna dan hakekat mata pelajaran pendidikan Kewarganegaraan. Djahiri (CICED, 1999:6) mengemukakan strategi pembelajaran yang hendak dilakukan guru adalah sebagai berikut. a. Membina dan menciptakan keteladanan, baik fisik dan material (tata dan aksesoris kelas/sekolah), kondisional (suasana proses KBM) maupun personal (guru, pimpinan sekolah dan tokoh unggulan) b. Membiasakan/membakukan atau mempraktekkan apa yang diajarkan mulai di kelas-sekolah-rumah- dan lingkungan belajar. c. Memotivasi minat, gairah untuk melibatkan dalam proses belajar, untuk kaji lanjutannya dan mencobakan serta membiasakannya. Strategi seperti itu dioperasionalkan melalui berbagai metode seperti ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemecahan masalah (problem solving), bermain peran, simulasi, inkuiri, VCT, portofolio, dan sebagainya. 2.Kompetensi Kewarganegaraan
Branson (1999:8-9) menegaskan tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal dan nasional. Partisipasi semacam itu memerlukan kompetensi kewarganegaraan sebagai berikut: (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakter atau sikap mental tertentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi konstitusional. The National Standards for Civics and Government (Center for Civic Education, 1994) merumuskan komponen-komponen utama civic competences yang merupakan tujuan civic education meliputi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan watak kewarganegaraan (civic disposition). Pengetahuan Kewarganegaraan (civic knowledge) merupakan materi substansi yang harus diketahui oleh warga negara. Pada prinsipnya pengetahuan yang harus diketahui oleh warga negara berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Pengetahuan ini bersifat mendasar tentang struktur dan sistem politik, pemerintah dan sistem sosial yang ideal sebagaimana terdokumentasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta nilai-nilai universal dalam masyarakat demokratis serta cara-cara kerjasama untuk mewujudkan kemajuan bersama dan hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat global. Pengetahuan kewarganegaraan secara langsung berpengaruh pada aspek pengetahuan dan pemahaman konstitusional warga negara. Hal ini dikarenakan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
15
komponen pengetahuan kewarganegaraan pada hakekatnya berintikan pada konstitusi negara. Komponen pengetahuan kewarganegaraan ini diwujudkan dalam bentuk lima pertanyaan penting yang secara terus menerus harus diajukan sebagai sumber belajar Pendidikan Kewarganegaraan. Lima pertanyaan dimaksud adalah: (1) Apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan?; (2) Apa dasar-dasar sistem politik Indonesia?; (3) Bagaimana pemerintahan yang dibentuk oleh konstitusi mengejawantahkan tujuan-tujuan, nilainilai, dan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia?; (4) Bagaimana hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia?; dan (5) Apa peran warga negara dalam demokrasi Indonesia? (Branson, 1999:9; Budimansyah dan Suryadi, 2008:55). Aspek pengetahuan kewarganegaraan berbasis pada ilmu politik, hukum, dan kewarganegaraan. Dengan demikian Pendidikan Kewarganegaraan menyajikan fakta, konsep, generalisasi, dan teori-teori yang dikembangkan dari ilmu politik, hukum, dan kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan hendaknya memperhatikan konsep-konsep kunci yang dikembangkan lebih lanjut dalam generalisasi dan teori. Konsep-konsep kunci yang menjadi elemen inti dari Pendidikan Kewarganegaraan atau “Essensial Elements of Citizenship Education” (Qualifications and Curriculum Authority-QCA, 1998:44) sebagai berikut: 1) Democracy and Authocracy; 2) Cooperation and Conflict; 3) Equality and Diversity; 4) Fairness Justice, the rule of law, rules, laws and human right; 5) Freedom and order; 6) Individual and community; 7) Power and authority ; 8)
Rights and responsibility. Sementara itu, dalam Kurikulum 2006 konsep-konsep kunci yang harus dikembangkan melalui Pendidikan Kewarganegaraan meliputi persatuan dan kesatuan, norma, hukum dan peraturan, hak asasi manusia, kebutuhan warga negara, konstitusi negara, kekuasan dan politik, demokrasi dan sistem politik, Pancasila, dan globalisasi. Keterampilan Kewarganegaraan (civic skills) merupakan keterampilan yang dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan, agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna, karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, warga negara dalam mempraktekkan hakhaknya dan menunanaikan kewajibankewajibannya sebagai warga negara sebagaimana digariskan dalam konstitusi negara, mereka tidak hanya perlua menguasai pengetahuan dasar yang mencakup lima pertanyaan sebagaimana diurutkan di muka, namun mereka perlu memiliki keterampilan-keterampilan tertentu yang pada akhirnya akan melahirkan warga negara yang berperilaku konstitusional (Budimansyah dan Suryadi, 2008:58). Civic Skills mencakup intelectual skills (keterampilan intelektual) dan participation skills (keterampilan partisipasi). Keterampilan intelektual yang terpenting bagi terbentuknya warga negara yang berwawasan luas, efektif, dan bertanggung jawab antara lain adalah keterampilan berpikir kritis. The National Standards for Civics and Government dan The Civics Framework for 1988 National Assessment of Educational Progress (NAEP) menegaskan bahwa keterampilan berpikir kritis meliputi keterampilan
16 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
mengidentifikasi, menggambarkan/mendeskripsikan, menjelaskan, menganalisis, mengevaluasi, menentukan dan mempertahankan pendapat yang berkenaan dengan masalah-masalah publik. Sedangkan keterampilan partisipasi meliputi keterampilan berinteraksi, memantau, dan mempengaruhi. Dimensi civic skills ini dikembangkan dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berperan serta secara efektif dalam masyarakat, pengalaman berperan serta yang dirancang untuk memperkuat kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan mengembangkan pengertian tentang pentingnya peran serta aktif warga negara. Untuk dapat berperan secara aktif tersebut diperlukan pengetahuan tentang konsep fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan dengan substansi dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu secara kontekstual, dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan watak dari warga negara (Quigley, Buchanan dan Bahmueller : 1991: 39). Watak kewarganegaraan (civic disposition) adalah sikap dan kebiasaan berpikir warga negara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi (Quigley, Buchanan dan Bahmueller 1991:11). Secara konseptual civic disposition meliputi sejumlah karakteristik kepribadian, yakni: “Civility (respect and civil discourse), individual responsibility, self-discipline, civicmindedness, open-mindedness (openness, scepticism, recognition of ambiguity), compromise (conflict of principles, compassion, generosity, and loyalty to the
nation and its principles” (Quigley, Buchanan dan Bahmueller., 1991: 13-14). Artinya kesopanan yang mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggung jawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsip-prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi pada keragaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya. Branson (1999:23) menegaskan bahwa civic disposition mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Dengan kata lain, civic disposition menjadi faktor determinan dalam pembentukan warga negara yang memiliki sikap konstitusional yang baik. Watak-watak kewarganegaraan sebagaimana kecakapan kewarganegaraan, berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi civil society. Karakter privat seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat diperlukan agar demokrasi berjalan dengan sukses (Budimansyah dan Suryadi, 2008:61). Kesadaran politik dapat juga diartikan sebagai melek politik, untuk
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
17
pembahasan melek politik, kita lihat dulu apa yang dimaksud dengan kesadaran dan apa yang dimaksud dengan politik. Melek politik adalah suatu kondisi psikologis siswa yang ditandai oleh adanya pengertian, pemahaman, penghayatan dan pengamalan pola-pola hidup bangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pola hidup yang mencerminkan melek politik dapat dilihat dari ciri-ciri, watak dan kepribadian. Inilah yang dugunakan untuk mengukur suatu kesadaran seorang warga negara yang melek politik. Menurut Gabriel A. Almond dan Sydney Verba (1990 : 65-71) dalam penelitiannya tentang melek politik dilima negara menggunakan dua kriteria untuk mengukur dimensi melek politik. Kedua kriteria yang dimaksud adalah : Mengikuti segala kegiatan pemerintah dan mengikuti laporan mengenai aktivitas pemerintah melalui berbagai media Seseorang yang memiliki kesadaran politik adalah ia yang senantiasa mengikuti segala kegiatan pemerintah dan mengikuti segala kegiatan laporan mengenai aktivitas pemerintah melalui berbagai media. Sukadi dan Eni Hernawati dalam penelitiannya tentang melek politik, masing-masing menggunakan ciri-ciri, watak dan kepribadian dari generasi muda Indonesia yang terdapat dalam Inpres No. 12/ tahun 1982 tentang pendidikan politik bagi generasi muda sebagai tolak ukur melek politik. Ciri-ciri, watak dan kepribadian dari generasi muda yang melek politik adalah : a. Sadar akan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya terhadap kepentingan bangsa dan negara. b. Sadar dan taat pada hukum dan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku c. Memiliki disiplin pribadi, sosial dan nasional
d. Memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan yang disesuaikan dengan kemampuan obyektif bangsa saat ini. e. Mendukung sistem kehidupan nasional yang demokratis sesuai dengan pancasila dan UUD’45 f. Berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam usaha pembangunan nasional g. Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan keanekaragaman suku bangsa ; h. Sadar akan perlunya pemeliharaan lingkungan hidup dan alam sekitar secara selaras, serasi dan seimbang; i. Mampu melakukan penilaian terhadap gagasan nilai serta ancaman yang bersumber dari ideologi lain di luar Pancasila dan UUD’45 atas dasar pada pikiran atau penalaran logis mengenai Pancasila dan UUD 1945 Ciri-ciri tersebut akan nampak dalam perilaku warga negara yang melek politik. Melek politik merupakan sikap dan prilaku yang perlu ditanamkan kepada generasi muda Indonesia, kesadaran ini merupakan manifestasi dari rasa tanggung jawab yang tinggi atas kelangsungan hidup bangsa di dalam negara Republik Indonesia. Melek politik yang semakin dewasa memang sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melek politik bukan hanya harus dimiliki oleh politikus, oleh pemimpin dan anggota partai politik saja, melainkan harus mendarah daging bagi seluruh rakyat. Hal ini sangat penting sebab tegak atau runtuhnya suatu negara, kuat atau lemahnya suatu bangsa pada akhirnya terletak pada kesadaran bangsa itu sendiri. Melek politik yang tinggi sangat penting artinya bagi yang memelihara stabilitas nasional yang dinamis
18 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
dan untuk menjamin kelestarian dan citacita bangsa. Selain itu melek politik juga diperlukan untuk memantapkan sendi-sendi dasar kehidupan kenegaraan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk meningkatkan melek politik generasi muda khususnya siswa diperlukan pendidikan politik. Pendidikan politik merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan mantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945. Selain pendidikan politik upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan melek politik siswa adalah dengan cara indoktrinasi politik yaitu dengan cara paksaan. Baik pendidikan politik maupun indoktrinasi politik kedua-duanya merupakan proses sosialisasi politik. Sosialisasi politik memang harus dilakukan sedini mungkin karena hal itu merupakan salah satu langkah yang amat penting dalam meningkatkan kualitas demokrasi di masa depan adalah pembinaan watak demokrasi dikalangan generasi muda. Melek politik sebagai unsur penting dalam melaksanakan sistem politik mengandung; persepsi, pengenalan, pengetahuan, ingatan, dan pengertian tentang politik, termasuk konsekuensikonsekuensinya;. harapan, kepercayaan bahwa politik dapat memberikan suatu kegunaan serta memberikan perlindungan dan jaminannya dengan kepastian dan rasa keadilan; perasaan perlu dan butuh akan jasa jasa politik, dan karena itu bersedia menghormatinya. Perasaan khawatir dan takut melanggar hukum, karena jika melanggar maka sanksi-sanksinya dapat dipaksakan; dan orientasi, perhatian, kesanggupan, kemauan baik, sikap, dan kesediaan serta keberanian mentaati konstitusi dalam hak maupun kewajibannya,
karena kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum itu adalah kepentingan umum. Melek politik berkaitan erat dengan kepatuhan atau ketaatan hukum terhadap sistem politik yang berlaku sebagaimana diatur dalam kontitusi/UUD, yang dikonkretkan dalam sikap atau perilaku manusia. Melek politik berpangkal pada adanya suatu pengetahuan tentang politik dan nilai-nilai konstitusi yang mengatur kehidupan politik. Dari pengetahuan inilah akan lahir suatu pengakuan dan penghargaan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, sehingga timbul sikap penghayatan terhadap sistem politik tersebut. Bila telah terdapat suatu penghayatan terhadap konstitusi, maka dengan sendirinya ketaatan dan kepatuhan terhadap sistem politik terwujud. Jika kondisi yang demikian sudah tercipta berarti melek politik telah terbina di dalam suatu masyarakat. C.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang datanya berupa angka-angka. Ada beberapa istilah tentang pendekatan kuantitatif, Borg and Gall (Sugiyono, 2006: 7-8) menyatakan sebagai berikut: Many labels have been used to distinguish between traditional research methods and these new methods: positivistic versus postpositivistic research; scientivic versus artistic research; confirmatiry versus discovery-oriented research; quantitative versus interpretive research; quantitative versus qualitative research. The quantitative-qualitative distinction seem most widely used. Both quantitative researchers and qualitative researcher go about inquiry in different ways. ”
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
19
Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa pendekatan kuantitatif sering dinamakan pendekatan transisi antara pendekatan tradisional dan baru(modern), positivistik, scientifik dan metode discovery. Pendekatan kuantitatif dinamakan metode transisi, karena pendekatan ini merupakan transisi atau peralihan dari metode tradisional menuju metode baru/modern. Pendekatan ini disebut metode positivistik karena berlandaskan pada filsafat positivisme. Pendekatan ini sebagai metode ilmiah/scientific karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional dan sistematis. Pendekatan ini juga disebut metode discovery, karena dengan metode ini dapat ditemukan dan dikembangkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Pendekatan ini disebut kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik. Ciri pendekatan kuantitatif lainnya yang mendukung penelitian ini memiliki asumsi bahwa dunia sebagai kenyataan tunggal yang diukur dengan sebuah instrumen. Tujuan penelitiannya mengembangkan hubungan antara variabel terukur, dan proses penelitiannya berurut dikembangkan sebelum studi dimulai (Schumacher dan Millan, 2001:22). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian survey dengan teknik deskriptif analisis, yaitu metode penelitian yang dilakukan di lapangan untuk meneliti hal-hal yang terjadi pada masa sekarang dan memerlukan pemecahan masalah. Metode ini dilakukan dengan dokumentasi, survey dan penyebaran angket. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala
menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Arikunto, 2005 : 234). Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. Peneliti dalam pengumpulkan data menggunakan instrumen, kuosioner, tes, dan pedoman wawancara. Hasil yang diperoleh dari instrumen itu berupa angka-angka kemudian diolah secara statistik. Populasi penelitian ini adalah seluruh karakteristik melek politik siswa kelas XI SMA Negeri 2 Purwokerto. Populasi dipilih karena karena memiliki karakteristik yang terkait dengan tujuan penelitian, yaitu siswa SMA kelas XI telah mendapatkan kompetensi dasar yang berkaitan dengan politik, sehingga indikator melek politik sebagaimana dirumuskan dalam penelitian ini diharapkan sudah dimiliki siswa. Sampel penelitian ini adalah jumlah keseluruhan siswa SMA Kelas XI dari SMA Negeri 2 Purwokerto. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah proportional ramdom sampling. Hasil pengumpulan data dengan instrumen yang sudah memenuhi syarat validitas reliabilitas, daya beda, dan tingkat kesukaran yang ideal ini kemudian diolah dan dianalisis. Untuk pertama-tama, analisis dilakukan untuk melihat apakah data memenuhi persyaratan untuk diuji dengan analisis parametrik atau non parametrik, dilanjutkan dengan uji persyaratan regresi linier, dan baru kemudian pengujian hipotesis. D.
PEMBAHASAN 1. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Berpengaruh dalam Membina Melek Politik Siswa
20 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
Dengan mengkaji kenyataan yang ditemukan di lapangan, nampak pelaksanaan proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada SMA Negeri 2 Purwokerto kelas 11 sebagian besar termasuk pada kategori sedang yaitu 92%, kategori tinggi 1,33%, dan rendah 6,67%. Kemudian, hasil uji korelasional menunjukkan bahwa secara zero order pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki koefisien korelasi cukup kuat sebesar 0,543 (α = 0,05) dengan kontribusi sebesar 29,5% terhadap tingkat melek politik siswa seperti yang terlihat pada diagram di bawah ini:
Diagram 1. Peranan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Tingkat Melek politik Siswa Berdasarkan tabel di atas, secara zero order dapat dikatakan terdapat korelasi yang cukup pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dengan tingkat melek politik siswa.Akan tetapi secara parsial, nilai koefisien korelasi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menjadi 0,289 (α = 0,05) dengan kontribusi sebesar 8,4% dan termasuk kategori rendah. Walaupun demikian, baik secara zero order maupun parsial, pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berperan secara positif dan signifikan terhadap tingkat melek politik siswa.
Hal ini menarik untuk dikaji. Sekaitan dengan hal tersebut, Djahiri (2006:9) mengemukakan bahwa: Pendidikan Kewarganegaraan merupakan program pendidikan/ pembelajaran yang secara programatik-prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan (civilizing) serta memberdayakan peserta didik/siswa (diri dan kehidupannya) supaya menjadi warga negara yang baik sebagaimana tuntutan keharussan/yuridis konstitusional bangsa/negara yang bersangkutan. Pendapat tersebut memposisikan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana pokok dalam membentuk warga negara Indonesia yang baik dan cerdas. Hal tersebut dapat terwujud apabila dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan siswa dibekali pengetahuan untuk menjadi warga negara yang melek politik dan hukum serta dilatih untuk menciptakan suasana kehidupan yang demokratis serta mencerminkan kehidupan warga negara Indonesia yang melek politik dan hukum (Djahiri, 2006:10). Berdasarkan hasil wawancara, pada umumnya guru Pendidikan Kewarganegaraan menyadari bahwa di era globalisasi ini, proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus ditujukan untuk pengembangan sejumlah kemampuan atau kompetensi yang harus dikuasai siswa. Dengan dimilikinya kemampuan-kemampuan atau kompetensi tertentu, diyakini siswa akan mampu menjalankan perannya sebagai warga negara yang mampu berkompetisi dengan warga dunia lainnya, serta mampu berpartisipasi secara bermutu dalam kehidupan politik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Oleh karena itu, menurut guru dalam pembelajaran Pendidikan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
21
Kewarganegaraan, materi pembelajaran harus senantiasa dikaitkan atau dikontekstualkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan di atas dalam pandangan penulis semakin menegaskan bahwa pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada saat ini harus dikontekstualkan dengan realitas kehidupan siswa. Dengan kata lain, dalam konteks globalisasi, perlu dikembangkan program Pendidikan Kewarganegaraan yang memfokuskan pada tema-tema yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal tersebut dilandaskan pada hasil studi “The Impact of Civic Education Program on Political Participation and Democratic Attitudes” (Sabatini, Bevis, dan Finkel, 1998:3-4) yang merekomendasikan bahwa ” Civic Education program should focus on themes that are immediately relevant to people daily lives”. Program Pendidikan Kewarganegaraan tersebut perlu diwujudkan dalam bentuk “ ... a curriculum geared to development of “world citizens” who are capable of dealing with the crises” (Cogan dan Derricot, R.: 1999:37), yakni seperangkat kurikulum yang diarahkan pada pengembangan warga dunia yang mampu mengelola krisis. Sekaitan dengan hal tersebut, Cogan (1998:115) merekomendasikan delapan karakteristik warga negara multidimensional, yaitu: a. the ability to look at and approach problems as a member of a global society (kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global) b. the ability to work with others in a cooperative way and to take responsibility for one’s roles/duties within society (kemampuan bekerjasama
dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat) c. the ability to understand, accept, appreciate and tolerate cultural differences (kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya) d. the capacity to think in a critical and systemic way (kemampuan berpikir kritis dan sistematis) e. the willingness to resolve conflict and in a non-violent manner (kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan) f. the willingness to change one’s lifestyle and consumption habits to protect the environment (kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan) g. the ability to be sensitive towards and to defend human rights (eg, rights of women, ethnic minorities, etc), and (memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia (seperti hak kaum wanita, minoritas etnis, dsb) h. the willingness and ability to participate in politics at local, national and international levels (kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintahan lokal, nasional, dan internasional). Tuntutan pengembangan karakteristik warga negara di atas menurut Cogan (1998:117) harus dikonstruksi dalam kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan yang multidimensional (multidimensional citizenship), yang ia gambarkan dalam empat dimensi yang saling berinterrelasi, yaitu the personal, social, spatial and temporal dimension. Keempat dimensi ini
22 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
akan melahirkan atribut kewarganegaraan yang mungkin akan berbeda di tiap negara sesuai dengan sistem politik negara masingmasing, yakni: (1) a sense of identity; (2) the enjoyment of certain rights; (3) the fulfilment of corresponding obligations; (4) a degree of interest and involvement in public affairs; and (5) an acceptance of basic societal values. Dengan kata lain secara konseptual Pendidikan Kewarganegaraan hendaknya mengembangkan warga negara yang memiliki lima ciri utama, yaitu jati diri, kebebasan untuk menikmati hak tertentu, pemenuhan kewajiban-kewajiban terkait, tingkat minat dan keterlibatan dalam urusan publik, dan pemilikan nilai-nilai dasar kemasyarakatan (Winataputra dan Budimansyah, 2007:2). Sejalan dengan meningkatnya perubahan yang bersifat multidimensional, baik politik, ekonomi maupun sosial budaya, tuntutan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sangat diperlukan dalam memecahkan berbagai masalah yang timbul. Sehingga, Wahab (Cholisin, 2007:11), memberikan batasan bahwa : Pendidikan Kewarganegaraan ialah media pengajaran yang akan mengIndonesiakan para siswa secara sadar, cerdas dan penuh tanggung jawab. Karena itu program Pendidikan Kewarganegaraan memuat konsep-konsep umum ketatanegaraan, politik, hukum, negara, serta dari teori umum yang lain yang cocok dengan target tersebut. Dengan kecenderungan sifat teoretis disiplin politik tetap dominan baik dalam program maupun dalam pengajarannya. Dalam menghadapi kecenderungan globalisasi tersebut, pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami
dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945 (Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah). Dalam proses pembelajaran, Pendidikan Kewarganegaraan hendaknya menjadi “subjek pembelajaran yang kuat” (powerful learning area) yang ditandai oleh pengalaman belajar kontekstual dengan ciriciri: bermakna (meaningful), terintegrasi (integrated), berbasis nilai (value-based), menantang (challenging), dan mengaktifkan (activating) (Budimansyah, 2008b:182). Dengan kata lain, pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menjadi faktor penting dalam meningkatkan melek politik siswa. Akan tetapi pada kenyataannya pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan masih dihadapkan pada beberapa kondisi empirik yang sifat kontraproduktif dengan kedudukan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana peningkatan melek politik siswa, diantaranya: 1) Proses pembelajaran dan penilaian dalam Pendidikan Kewarganegaraan lebih menekankan pada dampak instruksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja. Pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effects) sebagai hidden curriculum belum mendapat perhatian yang sebagaimana mestinya. 2) Pengelolaan belum mampu menciptakan suasana kondusif dan produktif untuk memberikan pengalaman belajar kepada
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
23
siswa melalui keterlibatnnya secara proaktif dan interaktif baik dikelas maupun di luar kelas, sehingga berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna untuk mengembangkan kehidupan dan perilaku siswa. 3) Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler sebagai wahana sosiopedagogis untuk mendapatkan hand-on experience juga belum memberikan kontribusi yang signifikan untuk menyeimbangkan antara penguaasan teori dan praktek pembiasaan perilaku dan keterampilan dalam kehidupan yang demokratis dan sadar hukum (termaasuk di dalamnya sadar konstitusional) (Budimansyah, 2009:18). Kondisi-kondisi di atas merupakan akibat dari implementasi program Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan masih dihadapkan pada berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan itu adalah: (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar; dan (2) masukan lingkungan (enviromental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik yang kurang demokratis (Budimansyah, 2009:18). Kondisi tersebut relevan dengan yang terjadi dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan SMA Negeri 2 Purwokerto. Berdasarkan hasil wawancara, pada umumnya guru menyatakan bahwa pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan masih dihadapkan pada kendala: 1) Ketertarikan siswa untuk mengakses terhadap sumber informasi (surat kabar, media elektronik) masih rendah, sehingga sumber belajar selalu disediakan oleh guru;
2) Budaya belajar mandiri dan gemar membaca masih rendah; 3) Keterbatasan waktu dan biaya, sehingga model pembelajaran Portofolio sangat sulit untuk diimplemntasikan; 4) Dukungan moril dan materil manajemen sekolah, orang tua, masyarakat, dan instansi terkait masih kurang; 5) Penilaian pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan rumit, terutama berkaitan dengan disposisi dan keterampilan kewarganegaraan; 6) Pendidikan dan Pelatihan kemampuan metodologi pembelajaran bagi guru masih kurang dan tidak merata. Kenyataan tersebut dapat dikaji bahwa pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan kata lain, melalui pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, diharapkan siswa sebagai warga negara muda memiliki pengetahuan, pemahaman, sikap dan perilaku yang mencerminkan kepatuhan terhadap nilai-nilai, norma dan moral yang terkandung dalam konstitusi negara. Sekaitan dengan hal tersebut, tentunya perlu dikembangkan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang efektif, yaitu pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang dapat meningkatkan melek politik siswa secara optimal. Hal tersebut sangat berkaitan dengan model pembelajaran yang diterapkan oleh guru. a. Kompetensi Kewarganegaraan berpengaruh dalam Membina Tingkat Melek Politik Siswa
24 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
Kompetensi kewarganegaraan memiliki korelasi yang positif dengan tingkat melek politik siswa SMA Negeri 2 Purwokerto. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil pengujian hipotesis baik secara zero order maupun parsial. Secara zero order, kompetensi kewarganegaraan memiliki koefisien korelasi yang kuat sebasar 0,608 (α = 0,05) dengan kontribusi sebesar 37%, sedangkan secara parsial kompetensi kewarganegaraan mempunyai nilai koefisien korelasi yang cukup kuat yaitu sebesar 0,426 (α = 0,05) dengan kontribusi sebesar 18,1%. Hal tersebut dapat dilihat dari diagram berikut ini:
Diagram 2. Pengaruh Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Tingkat Melek politik siswa Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Pendidikan Kewarganegaraan, pada umumnya mereka beranggapan bahwa kompetensi kewarganegaraan berbanding lurus dengan tingkat melek politik siswa. Artinya seorang siswa yang memiliki kompetensi kewarganegaraan yang baik, maka kecenderungannya tingkat melek politiknya pun akan tinggi, begitupula sebaliknya siswa yang kompetensi kewarganegaraannya jelek, maka tingkat melek politiknya pun akan rendah. Hal ini dikarenakan komponen-komponen kompetensi kewarganegaraan mengandung muatan-muatan konstitusi. Hal di atas dapat dikaji dengan mengupas hakekat kompetensi kewarganegaraan. Kompetensi
kewarganegaraan adalah pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan siswa yang mendukungnya menjadi warga negara yang partisipatif dan bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, kompetensi kewarganegaraan mendorong terciptanya warga negara yang memiliki melek politik. Branson (1999:8-9) menegaskan tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal dan nasional. Partisipasi semacam itu memerlukan kompetensi kewarganegaraan sebagai berikut: (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakter atau sikap mental tertentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi konstitusional. The National Standards for Civics and Government (Center for Civic Education, 1994) merumuskan komponen-komponen utama civic competences yang merupakan tujuan civic education meliputi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan watak kewarganegaraan (civic disposition). Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi kewarganegaraan yang dimiliki oleh seorang siswa sangat mempengaruhi tingkat melek politik mereka yang tercermin dari pengetahuan, pemahaman, sikap dan perilaku mereka sebagai hasil internalisasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusionalisme Indonesia. b. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kompetensi
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
25
Kewarganegaraan secara bersama berpengaruh terhadap Tingkat Melek politik siswa Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kompetensi kewarganegaraan secara bersama-sama memiliki korelasi positif yang kuat dengan tingkat melek politik siswa SMA Negeri 2 Purwokerto kelas 11, yaitu sebesar 0,650 (α = 0,05). Dengan kata lain, kedua unsur Pendidikan Kewarganegaraan tersebut berpengaruh sebesar 42,2% terhadap tingkat melek politik siswa, selebihnya yaitu 57,8% dipengaruhi faktor lain yang tidak diteliti. Berikut ini gambaran besaran kontribusi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kompetensi Kewarganegaraan terhadap tingkat melek politik siswa.
Diagram 3. Pengaruh Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kompetensi Kewarganegaraan terhadap Tingkat Melek politik siswa Gambaran di atas juga menunjukkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan berpengaruh secara positif terhadap tingkat melek politik siswa SMA Negeri 2 Purwokerto. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis lebih menonjolkan analisis pada pengaruh Pendidikan Kewarganegaraan, karena pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kompetensi kewarganegaraan merupakan unsur atau komponen dari Pendidikan Kewarganegaraan. Kuatnya hubungan Pendidikan Kewarganegaraan dengan tingkat melek
politik dapat dianalisis dari beberapa hal. Pertama, Pendidikan Kewarganegaraan difokuskan untuk membentuk warga negara yang mampu memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945. Dengan kata lain, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan wahana pembentukan warga negara yang memiliki tingkat melek politik yang tinggi. Hal tersebut berimplikasi pada proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang harus dilaksanakan secara demokratis dan mendorong siswa untuk mematuhi berbagai peraturan yang berlaku dalam setiap dimensi kehidupan mereka termasuk ketentuan yang terdapat konstitusi negara. Sekaitan dengan hal tersebut, Somantri (2001:299) menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan diselenggarakan guna melatih siswa/peserta didik untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Oleh karena itu melek politik paling tidak dipengaruhi oleh; derajat pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep politik; sikap instrumental timbul karena adanya pengetahuan tentang isi peraturan dan menonjolkan kepentingan pribadi, sedangkan sikap fundamental ditentukan dengan adanya pemahaman dan pengertian tentang isi peraturan tersebut. Pendidikan Kewarganegaraan pada saat ini diarahkan pada pembentukan warga negara multidimensional yang memiliki kebebasan untuk menikmati hak-hak konstitusional dan memenuhi kewajibankewajiban konstitusionalnya sebagai warga negara. Hal tersebut sesuai dengan hasil
26 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
penelitian yang dilakukan oleh Civic Education Policy Study (CEPS) dengan menggunakan metode “Ethnographic Delphi Future Research (EDFR)” tentang perubahan karakter kewarganegaraan 25 tahun mendatang beserta implikasinya terhadap perubahan kebijakan pendidikan perlu pula diperhatikan Pendidikan Kewarganegaraan. Penelitian ini merekomendasikan perlunya pengembangan sebuah model Pendidikan Kewarganegaraan yang mampu mengembangkan “multidimensional citizenship”. Warga negara multidimensional ini memiliki lima atribut pokok yakni: “ ...a sense of identity; the enjoyment of certains rights; the fufilment of corresponding obligations; a degree of interest and involvement in public affairs; and an acceptance of basic societal values “ (Cogan, 1998:2-3). Dengan kata lain secara konseptual Pendidikan Kewarganegaraan hendaknya mengembangkan warga negara yang memiliki lima ciri utama, yaitu jati diri, kebebasan untuk menikmati hak tertentu, pemenuhan kewajiban-kewajiban terkait, tingkat minat dan keterlibatan dalam urusan publik, dan pemilikan nilai-nilai dasar kemasyarakatan. Kesemua atribut tersebut dapat dikatakan sebagai karakter warga negara yang memiliki melek politik. Sekaitan dengan hal di atas, hasil penelitian Sapriya (2006) menunjukan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan disiplin ilmu dengan identitas bidang kajian eklektik yang dinamakan “an integrated system of knowledge”, “synthetic discipline”, “multidimensional”, dan “kajian konseptual sistemik” memiliki ontologi yang terdiri atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai landasan pokok, Pancasila sebagai landasan filosofis, UUD NRI 1945
sebagai landasan normatif, dan perilaku warga negara sebagai landasan psikologis sedangkan landasan material meliputi nusantara, manusia sebagai pribadi, kekayaan alam dan budaya, kesadaran sebagai manusia, dan jatidiri sebagai bangsa. Kedua, esensi Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan nilai dan moral, sehingga proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan akan mendorong tumbuhnya kepatuhan terhadap konstitusi dari setiap siswa. Dengan kedudukannya seperti itu, Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai peran yang sangat strategis dalam menanamkan/menginternalisasikan nilainilai politik kepada setiap peserta didik yang pada dasarnya berkedudukan sebagai warga negara muda. Dengan proses internalisasi tersebut, dapat diyakini bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dapat meningkatkan melek politik siswa yang dicerminkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang menunjukkan Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai korelasi yang cukup kuat dengan aspek perilaku politik jika dibandingkan dengan indikator melek politik lainnya dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,541 dan nilai determinasi (konstribusi) sebesar 29,3%. Kondisi di atas semakin memperkuat kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai dan moral. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Budimansyah (2009:17) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor value-based education. Sekaitan dengan hal tersebut, maka konfigurasi atau kerangka
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
27
sistemik Pendidikan Kewarganegaraan dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut:
bernegara amat relevan untuk memperkaya materi Pendidikan Kewarganegaraan.
a. Secara kurikuler bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang memiliki melek politik, yaitu warga negara yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab. b. Secara teoretik memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik (Civic Knowledge, Civic Disposition, dan Civic Skill) yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila serta UUD NRI 1945. c. Secara programatik menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan berwarga negara, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila serta UUD NRI 1945. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai peranan yang strategis dalam mengimplementasikan pendidikan politik. Hal ini dikarenakan salah satu misi Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai pendidikan politik, yakni membina siswa untuk memahami hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan warga negara, termasuk di dalamnya memahami politik (melek politik). Selain itu, materi muatan politik seperti budaya politik di Indonesia, budaya demokrasi, hubungan internasional dan keterbukaan dan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan
E.
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat dirumuskan oleh penulis berdasarkan sejumlah temuan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1) Pembelajaran PKn yang digunakan guru baik berupa materi, metode, media, sumber dan evaluasi pembelajaran merangsang siswa untuk terlibat dalam proses penyelesaian masalah, dan didukung oleh ketersedian fasilitas belajar yang memadai secara langsung akan berpengaruh secara positif terhadap tingkat melek politik siswa yang ditandai dengan semakin meningkatnya pengetahuan, pemahaman sikap dan perilaku politik siswa. 2) Kompetensi kewarganegaraan yang dimiliki oleh siswa sangat berperan dalam meningkatkan melek politik mereka yang tercermin dari pengetahuan, pemahaman, sikap dan perilaku mereka sebagai hasil internalisasi nilai-nilai dan prinsipprinsip konstitusionalisme Indonesia. 3) Pembelajaran PKn dan kompetensi kewarganegaraan secara bersama-sama memberikan pengaruh terhadap tingkat melek politik siswa, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain seperti lingkungan, orang tua dan lain-lain, hal ini menunjukan bahwa pembelajaran PKn, kompetensi kewarganegaraan dan hubungan keduanya dapat meningkatkan tingkat kemelek politikan atau political literacy warga Negara. DAFTAR PUSTAKA
28 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
Almond, Gabriel dan Sydney Verba. (1990). Budaya Politik. Terjemahan Shat Sirnamora. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. (2005). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Branson, S Margaret. (1999). Belajar Civic Education dari Amerika. Yogyakarta: LkiS. Budimansyah, D. dan Suryadi, Karim. (2008). PKn dan Masyarakat Multikultural. Bandung: Program Studi PKn SPs UPI. Budimansyah, D. (2008). “Revitalisasi Pembelajaran PKn melalui Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen”, Acta civicus, Vol 1 No. 2, April 2008, 179-198. Budimansyah D dan Suryadi A. (2009). Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional: Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Widya Aksara. Center for Civic Education. (1994). Civitas: National Standards for Civics and Government, Calabas: CCE Center for Civic Education. (1999). Democratic Citizen in a Civic Society: Report of the Conference on Civic Education for Civic Society. Bandung: CICED Cholisin, dkk. (2007). Ilmu Kewarganegaraan. Jakarta: Universitas Terbuka. Cogan, J John and Raymond Derricott. (1998). Citizenship Education in 21st Century. London: Kogan Page. C.1.1 Cogan, J.J. (1999). Developing the Civic Society: The Role of Civic Education. Bandung: CICED Djahiri, A Kosasih. (2006). Menelusuri Dunia Afektif – Nilai Moral dan Pendidikan Nilai Moral Norma. Bandung: Lab. PPKN FPIPS IKIP Bandung. Kerr, David. (1999). Citizenship Educaton: An International Comparison. London: NFER.
McMillan, J.H and Schumacher, S. (2001). Research in Education; A Conceptual Introduction, New York: Longman Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah Quigley, C.N., Buchanan, Jr. J. H., Bahmueller, C.F. (1991). Civitas: A Frame Work for Civic Education. Calabasas: Center for Civic Education. Sabatini, C.A, Bevis G.G dan Finkel, S.E. 1998. The Impact of Civic Education Programs on Political Partisipation and Democratic Attitudes. Sapriya dan Maftuh B. (2005). Jurnal Civicus: Pembelajaran PKn melalui Pemetaan Konsep. Bandung: Jurusan PKn FPIPS UPI. Sapriya. (2006). Perspektif Pemikiran Pakar Tentang Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembangunan Karakter Bangsa (Sebuah Kajian KonseptualFilosofis PKn dalam Konteks Pendidikan IPS). Disertasi SPs UPI: tidak diterbitkan. Somantri, Nu’man. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Sugiyono. (2006). Statistika untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD. Wahab, Abdul Azis. (2001). Implementasi dan Arah Perkembangan Pendidikaan Kewarganegaraan (Civic Education) di Indonesia. Bandung: Civicus Jurnal Ilmu Politik, Hukum dan PKn Edisi 1. _______________. (2006). ”Pengembangan Konsep dan Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Baru Indonesia bagi Terbinanya Warga Negara Multidimensional Indonesia”. Dalam Budimansyah, Dasim dan Syaifullah
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
29
Syam (Ed). Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan: Menyambut 70 Tahun Prof. Drs. H. A. Kosasih Djahiri, Bandung: Lab. PKn FPIPS UPI Winataputra, Udin S. dan Budimansyah, Dasim. (2007). Civic Education. Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi Pendidikan
30 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
TRANSFORMATIVE EDUCATION PERSPECTIVE IN HISTORY PENDIDIKAN TRANSFORMATIF DALAM PERSPEKTIF SEJARAH Muhammad Syaifulloh Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Pontianak Jl. Ampera no. 88 kota Baru Pontianak e-mail:
[email protected] ABSTRACT Education is a transformative educational change. Changes toward a better understanding of the processes are required to undergo a change. Education is an alternative history in the development of changes in the realm of time. Time dimension that includes past a provision lesson "real" to determine the present and future. Theory of history can be used in describing and realizing the transformative education of a linear path toward civilization. History education is one of the driving transformative education. Keyword: Transformative Education and History Education ABSTRAK Pendidikan transformatif adalah pendidikan perubahan. Perubahan menuju arah yang lebih baik dituntut agar menjalani proses pemahaman perubahan. Pendidikan sejarah merupakan salah satu alternatif dalam pengembangan perubahan dalam ranah waktu. Dimensi waktu yang meliputi masa lampau menjadi bekal pelajaran yang “nyata” untuk menentukan masa kini dan masa yang akan datang. Teori sejarah dapat digunakan dalam menjelaskan dan mewujudkan pendidikan transformatif merupakan jalan linear menuju peradaban. Pendidikan sejarah merupakan salah satu penggerak pendidikan transformatif tersebut. Kata Kunci: Pendidikan Transformatif, dan Pendidikan Sejarah
A.
PENDAHULUAN
Pendidikan ibarat kompas dalam menentukan arah perjalanan. Melaluinya,manusia memperoleh petunjuk ke arah mana ia akan berjalan. Pendidikan disadari secara nyata sebagai sebuah pegangan untuk melalui sebuah proses kehidupan yang kompleks. Secara sederhana, pendidikan merupakan sebuah praktik manusia dalam mempelajari dan
mengetahui apa yang menjadi ketidaktahuan dan kemudian menjadikannya sebagai pengetahuan serta pengalaman bagi dirinya. Di dalam pendidikan, manusia menjadi subjek utama yang menjadi sasaran sekaligus pelaksana pendidikan itu sendiri. Tentu saja ini dikarenakan manusia sebagai satusatunya mahluk yang dikarunia akal dan pikiran. Oleh karena itu, sebagai mahluk yang berakal sudah barang tentu manusia
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
31
harus bisa membina dan mengkayakan dirinya dengan pendidikan. Pendidikan merupakan pembentuk manusia yang hakiki. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang dinamis dan bukanlah mahluk yang bisa hidup dalam sesuatu yang sifatnya stagnan. Manusia berkembang dari waktu ke waktu, ia belajar dari setiap proses kehidupan dan memaknainya sebagai sebuah catatan hidup. Dalam setiap goresan catatan kehidupan manusia itulah yang akhirnya diwariskan kepada generasi selanjutnya dengan harapan bahwa kehidupan generasi penerusnya akan lebih baik, seperti yang diungkapkan oleh Sukmadinata dalam melihata nilai-nilai terdahulu (Sukmadinata, 2009: 7). Pendidikan sejatinya adalah pendidikan memanusiakan manusia. Manusia sempurna dan utuh adalah manusia yang diidam-idamkan oleh semua. Semua sumber dan potensi yang dimiliki manusia seyogyanya dapat berkembang dan mencapai batas kemanusianya sendiri. Hal inilah yang mendorong manusia agar selalu berusaha menjadi pribadi manusia yang komplit. Bagian dari manusia yang bersifat inteligen hanyalah segelintir kemampuan yang dimiliki manusia, selebihnya seperti kemampuan komunikasi, kemampuan emosi, kemampuan religius dan keunikankeunikan yang lainnya diharapkan dapat tercapai tentunya untuk kemaslahatan diri sendiri maupun bersama. Pendidikan selama ini seolah-olah telah berada di luar dari hakikat pendidikan itu sendiri. Proses dehumanisasi telah merajalela dan hampir menyebar sampai ke akar-akarnya. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai pendidikan kemanusiaan melainkan pendidikan robot dan bersifat mechanic 32
education. Manusia telah dijadikan alat konsumsi bagi yang berpengaruh besar dan menjadi segerombolan orang yang dijadikan aset dan sumber daya untuk kepentingan sendiri dengan kedok Sumber Daya Manusia (SDM). Istilah sumber daya memang telah ditanam dan berakar lama yang ditanam pada generasi penerus. Akibatnya manusia sepersti mesin produksi yang dapat menghasilkan sesuatu. Pendidikan bukan proses yang mekanistik. Manusia bukanlah sumber daya yang dapat dijadikan layaknya barang yang tidak bergerak atau statis. Tetapi manusia adalah makhluk yang multidimensi bahkan sesempurnanya makhluk (Abdul Choliq, 2012). Segala potensi yang dimiliki manusia sejatinya adalah untuk bekal keberlangsungan hidup menuju keharmonisan dan keselarasan di dunia. Sehingga benar yang dikatakan oleh Confusius bahwa hidup ini akan indah jika selaras dengan alam yang dihuninya. Demikianlah sedikit perkataan secara tidak langsung yang terukir dibenak seorang filsuf dan seorang guru dari Cina tersebut (Kristan, 2010). Pendidikan adalah proses sosialisasi. Pendidikan secara khusus dapat dipandang sebagai alat penanaman nilainilai. Penanaman tersebut ternyata belum nampak jelas tercapai seperti yang diharapkan. Mata pelajaran seperti Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila sampai kepada Pendidikan Kewarganegaraan yang memiliki potensi menanamkan nilai-nilai luhur belumlah secara optimal mampu mengembangkan peserta didik yang berbudi pekerti yang ideal dan unggul. Pendidikan nilai yang telah dikembangkan ternyata hanya mengikuti arus global dan mengesampingkan filosofi dari pendidikan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
tersebut. Pendidikan seakan-akan terlepas dari roh sejatinya pendidikan yang hakiki. Hal ini nampak pada pendidikan yang lebih berorientasi kepada ketrampilan fisik dan ketrampilan intelektual dan menghiraukan pendidikan hati/moral atau karakter yang sarat akan nilai. Program-program yang ditawarkan baik dari pendidikan formal, informal maupun nonformal selalu mengarah kepada kemampuan fisik dan intelektual. Pendidikan nilai atau hati menjadi beku dan tidak mempunyai kepekaan sedikitpun. Akibatnya berbagai masalah pendidikan yang berimplikasi kepada kehidupan menjadi semakin runyam. Kasus-kasus seperti korupsi, perkosaan, penganiayaan sampai pembunuhan seakan-akan menjadi hiasan di setiap stasiusn TV dan media elektronik. Program kursus yang menjadi embrio simbiosis mutualisme menjadi marak dan melemahkan jati diri seorang manusia yang berbudi dan bernilai utama. Pendidikan kurang memperhatikan perspektif sejarah. Padahal, dengan perspektif sejarah agar membentuk manusia yang kritis dan menghargai proses sejarah bangsanya. Pendidikan sejarah tidak hanya dilihat dalam dimensi waktu, tetapi dipahami sebagai proses perjalanan bangsa yang pada masanya memiliki makna. Selama ini pendidikan sejarah belum dilakukan secara komprehensif. Sejarah yang berorientasi kepada sikap kritis dan transformatif akan pemaknaan waktu dipahami secara sempit. Pendidikan sejarah yang berfikir luas dan berfikir historis kritis akan mendukung pendidikan transformatif yang diinginkan. Pendidikan sejarah adalah pendidikan yang menceritakan peristiwaperistiwa masa lalu yang sarat akan pelajaran berharga. Menurut Widja (1989:
23) menyatakan bahwa pembelajaran sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. Masa lalu menjadi masa emas jika digunakan sebagai alat pendidikan yang berorientasi kepada transformasi nilai. Perubahan yang menonjolkan pada sifat kritis sekaligus pendidikan yang mampu menjembatani ruang dan waktu yang akan datang. Masa depan akan terasa lebih kenal dan akrab akibat mempelajari masa lalu yang telah menjadi ukuran dan batu loncatan dari setiap pelajaran hidup manusia. Pendidikan sejarah menjadi salah satu alternatif dalam mengembangkan pendidikan transformatif yang mengutamakan kejelian dan berfikir kritis terhadap langkah-langkah yang telah diputuskan oleh setiap manusia. Pendidikan sejarah menjadi kerangka yang pas jika diletakkan dalam posisi yang benar yaitu pendidikan sejarah sebagai alat pendidikan yang berfilosofi dan pendidikan yang berorientasi kepada nilainilai. Oleh karena itu setiap gerakan dan perbuatan manusia secara komprehensif dapat terlacak lebih detail jika mempelajari sejarah dengan benar. Berdasarkan uraian di atas, dalam penulisan selanjutnya akan dikemukakan secara mendalam mengenai; (1) Bagaimanakah hakikat pendidikan transformatif itu, (2) bagaimanakah sudut pandang pendidikan tranformatif dalam perspektif pendidikan sejarah dengan belajar dari sejarah, dan (3) bagaimanakah mendidik sejarah sebagai solusi alternatif dalam pendidikan transformatif.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
33
B. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Belajar Sejarah Belajar sejarah itu sangat penting. Secara etimologi, sejarah berasal dari bahasa Arab, syajaratun, yang berarti pohon. Kemudian berkembang secara luas yang berarti sebagai peristiwa di masa lalu yang berdampak besar terhadap perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik masyarakat. Dari definisi ini saja, kita sudah seharusnya dituntut untuk mendalami ilmu sejarah. Karena sejarah mengajarkan pengalaman dan kebajikan terhadap umat manusia. Kita dapat mengetahui kesalahan-kesalahan manusia di masa lalu atau mengetahui kunci keberhasilan pendahulu kita. Mengetahui kelemahan dan kekurangan di masa silam berguna agar kita tidak lagi mengulanginya di masa sekarang. Tujuan mempelajari sejarah setidaknya memiliki beberapa manfaat yaitu sebagai edukatif/pelajaran, sebagai inspiratif, dan sebagai rekreatif. Sejarah sebagai edukatif atau pelajaran. banyak manusia yang belajar dari sejarah. belajar dari pengalaman yang pernah dilakukan. Pengalaman tidak hanya terbatas pada pengalaman yangdialaminya sendiri,melainkan juga dari generasi sebelumnya. Manusia melalui belajar dari sejarah dapat mengembangkan potensinya. Kesalahan pada masa lampau, baik kesalahan sendiri maupun kesalahan orang lain coba dihindari. smentara itu, pengalaman yangbaik justru harus ditiru dan dikembangkan. dengan demikian, manusia dalam menjalani kehidupannya tidak berdasarkan cobacoba saja (trial and error), seperti yang dilakukan oleh binatang. manusia harus berusaha menghindari kesalahan yang sama untuk kedua kalinya (Widja, 1989).
34
Sejarah juga terdapat berbagai kisah sejarah dapat memberikan inspirasi pada pembaca dan pendengarnya. belajar dari kebangkitan nasional yang dipeloporii oleh bedirinya organisasi perjuangan yang modern di awal abad ke-20, masyarakat Indonesia sekarang berusaha mengembangkan kebangkitan nasional yang kedua. Pada kebangkitan nasional yang pertama, bangsa indonesia berusaha merebut kemerdekaan yang sekarang ini sudah dirasakan hasilnya. untuk mengembangkan dan mempertahankan kemerdekaan , bangsa indonesia ingin melakukan kebangkitan nasional yang ke-2 , dengan bercita-cita mengeajar ketertionggalan dari bangsa asing. bangsa indonesia tidak hanya ingin merdeka, tetapi juga ingin menjadi bangsa yang maju, bangsa yang mampu menyejahterakan rakyatnya. untuk itu, bangsa indonesia harus giat menguasai IPTEK karena melalui IPTEK yang dikuasai, bangsa indonesia berpeluang menjadi bangsa yang maju dan disegani, serta dapat ikut serta menjaga ketertiban dunia. Kegunaan sejarah sebagai kisah dapat memberi suatu hiburan yang segar. melalui penulisan kisah sejarah yang menarik pembaca dapat terhibur. gaya penulisan yanghidup dan komunikatif dari beberapa sejarawan terasa mampu “menghipnotis” pembaca. pembaca akan merasa nyaman membaca tulisan dari seajarawan. konsekuensi rasa senang dan daya taraik penulisan kisah sejarah tersebut membuat pembaca menjadi senang. membaaca menjadi media hiburan dan rekreatif. membaca telah menjadi ibagian dari kesenangan. membaca tealah dirasakan sebagai suatu kebutuhan, yaitu kebutuhan yang untuk rekreatif. Dalam mempelajari hasil
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
penulisan sejarah tidak hanya merasa senang layaknya membaca novel, tetapi juga dapat berimajiasi ke masa lampau. disini peran sejarawan dapat menjadi pemandu (guide). orang yang ingin melihat situasi suatu daerah di masa lampau dapat membacanya dari hasil tulisan para sejarawan. Sejarah baik atau buruk yang dinarasi ulang dengan sistematis dan ilmiah akan menghasilkan pencerahan bagi generasi muda. Bung Karno malah mengatakan, jangan sekali-kali kita melupakan sejarah (”jas merah”). Dari dua saran tersebut— satu enggan, yang lain antusias—kita dapat mengambil jalan tengah. Kita dapat membangun peradaban bangsa menjadi besar melalui pendidikan anak usia dini, keterlibatan orangtua, dan ”membaca” sejarah dengan ilmiah dan obyektif. Lebih menarik lagi, kita sudah mencanangkan revolusi mental sebagai napas utama pembangunan nasional (Soefiyanto, 2015). 2. Problem Pendidikan Sejarah Pendidikan sejarah adalah alat mengedepankan relevansi dimensi waktu. Waktu lampau menjadi bekal dan titik tolak dalm rangkan mengantisipasi dan merencanakan kehidupan yang lebih baik di masa sekaang dan yang akan datang. Melihat nilai strategis ini, pendidikan sejarah menjadi salah satu kunci dalam pendidikan modern dan bernuansa maju. Pentingnya belajar sejarah akan mewujudkan suatu kondisi kemampuan mempelajari berbagai hal yang telah terjadi dan dapaf direfleksikan untuk di kemudian hari. Pendidikan sejarah yang telah menjadi pelajaran penting ternyata mempunyai beberapa problem yang seharusnya selalu dievaluasi. Menurut pakar sejarah problemnya sellau dalam hal “how to learn history?”. Masalah model
pembelajaran, kurikulum, materi, buku teks dan lain sebagainya. Pembelajaran sejarah saat ini menghadapi banyak persoalan. Persoalan itu mencakup lemahnya penggunaan teori, miskinnya imajinasi, acuan buku teks dan kurikulum yang state oriented, serta kecenderungan untuk tidak memperhatikan fenomena globalisasi berikut latar belakang historisnya. Dalam proses pembelajaran sejarah, masih banyak guru menggunakan pardigma konvensional, yaiu paradigma ‘guru menjelaskan – murid mendengarkan’. Metode pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan pelajaran sejarah membosankan. Ia kemudian tidak memberikan sentuhan emosional karena siswa merasa tidak terlibat aktif di dalam proses pembelajarannya. Sementara paradigma ‘siswa aktif mengkonstruksi makna - guru membantu’ merupakan dua paradigma dalam proses belajar-mengajar sejarah yang sangat berbeda satu sama lain. Paradigma ini dianggap sulit diterapkan dan membingungkan guru serta siswa. Permasalahan dalam materi pendidikan sejarah menyangkut isu tentang ruang lingkup materi dan isi materi. Permasalahan materi ini sering dibahas dan muncul di permukaan dibandingkan permasalahan dalam tujuan. Pertentangan yang terjadi antar sejarawan dan antara sejarawan dan pemerintah berkenaan dengan masalah materi. Permasalahan berkenaan dengan materi pendidikan sejarah bahkan melebar antar negara ketika peristiwa sejarah negara tersebut berkaitan dengan sejarah negara lain. Pada dasarnya permasalahan dalam ruang lingkup berkenaan dengan tema sejarah yang diajarkan di sekolah. Secara tradisional materi pendidikan sejarah yang
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
35
diajarkan di sekolah adalah materi sejarah politik: jatuh bangunnya kekuasaan, pertentangan antar golongan dalam memperebutkan kekuasaan, peperangan antara dua kekuasaan politik dalam memperebutkan hegemoni terhadap suatu wilayah tertentu atau bahkan terhadap wilayah Negara yang jadi lawannya. Kurikulum pendidikan sejarah di Indonesia sangat jelas menggambarkan orientasi tersebut; pokok-pokok bahasan yang ada dalam kurikulum sejarah adalah judul-judl perang, perebutan kekuasaan, konflik politik, dan hal-hal semacam itu. Pokok-pokok bahasan yang berkaitan dengan zaman Hindu-Budha, zaman Islam, zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Inggeris, masa pendudukan Jepang bahkan ketika Indonesia sudah merdeka maka konflik-konflik politik antar pemerintah pusat dengan daerah, pertentangan antara satu golongan politik dengan golongan politik lainnya. 3. Pendidikan Transformatif Pendidikan Transformatif menurut Freire dalam Sunardi (2001) adalah pendidikan yang didasari atas nilai kritis dalam memandang sebuah realita sosial, pandangan ini dapat terwujud ketika seseorang telah memiliki kesadaran kritis untuk tidak begitu saja meng-iya-kan ketimpangan sosial yangmelanda. Tapi dengan nalar kritisnya mampu melihat dengan objektif penyebab ketimpangan itu dan bagaimana bergerak untuk menghadapinya dengan sebuah aksi nyata. Mezirow dalam Sunardi (2001) mengatakan "Pembelajaran yg diorientasikan pd perubahan (transformasi) frame of preference sebagai struktur asumsi yg digunakan sesorang untuk memandang ,memahami, dan memaknai hidup". Patria Cranton juga berpendapat “Pembelajaran untuk proses penyadaran 36
orang terhadap kesalahan atau kelemahan perspektif beserta asumsi dasar yg dimiliki kemudian beralih ke perspektif baru yg dinilai tepat". Perubahan yang mengarah kepada hal baru memungkinkan lebih banyak peluang untuk maju secara progresif. Boyd (1989) mengatakan "Proses perubahan kepribadian secara fundamental sebagai bentuk integrasi antara/ resolusi atas dilema pribadi yg dialami dan semakin berkembang luasnya kesadaraan seseorang". Sullivan (2003) "Pembelajaran yang berorientasikan pd perubahan secara mendasar dan bersifat struktural pd diri seseorang yg berkaitan dengan asumsiasumsi yang mendasari pemikiran ,perasaan, dan perbuatan seseorang (sunardi, 2001). Transformasi pada dasarnya adalah sebuah proses perubahan yang mendasar pada diri manusia. Pembelajaran atau pendidikan yang transformatif adalah pembelajaran atau pendidikan yang menghasilkan perubahan mendasar pada diri peserta didik. Jadi pembelajaran yang tidak memberikan dampak perubahan mendasar pada diri peserta didik bukanlah sebuah pembelajaran transformatif.Dari sini dapat ditarik pengertian bahwa transformasi berarti (a) merubah bentuk, penampilan atau struktur; (b) mengubah kondisi, hakikat atau karakteristik; bahkan (c) mengganti substansi. Dengan demikian semua transformasi adalah perubahan, tetapi tidak semua perubahan adalah transformasi. Perubahan lebih bersifat superfisial, sedangkan transformasi lebih bersifat substansial (Sunardi, 2001). Pendidikan transfomatif merupakan pendidikan yang melakukan proses perubahan ke arah yang lebih baik. Proses perubahan bagi dirinya maupun perubahan bagi lingkungannya. Pendidikan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
transformatif menawarkan cita-cita ideal bagi dunia pendidikan, sehingga orientasi pendidikan akan selalu mengarah pada idealisme pendidik, peserta didik, dan donatur pendidikan.Dunia merupakan tempat berpijak orang banyak dengan berbagai macam karakter individunya. Pendidikan adalah sebuah proses di mana semua orang berusaha untuk menjadi lebih baik bahkan terbaik dalam menjalani hidup mereka di dunia ini. Dunia Pendidikan adalah arah dari visi kita tentang perubahan ke arah yang lebih baik untuk menggapai segala impian yang ingin kita capai di alam ini. Oleh karena itu Ideal mencari pendidikan bukan untuk work oriented atau belajar untuk mencari kerja, melainkan self transformation yaitu perubahan diri kita ke arah yang lebih baik dan maju dalam mengimbangi perubahan berbagai sektor kehidupan baik secara individu, ekonomi, politik, sosial, maupun moral dan mental. Dengan bekal self tranformation maka perubahan tidak hanya terbatas dan khusus untuk diri kita saja, tetapi perubahan bagi orang lain dan sekitar kita. Sangat perlu sekali bagi mereka yang mempunyai potensi pengetahuan, pengalaman, termasuk finansial, untuk bekerja sama menghasilkan sebuah dunia pendidikan yang inovatif agar lebih menarik, juga progressif agar hasil pendidikan dapat memberikan perannya dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan zamannya. Arah perkembangan pendidikan pada era modern ini tidak lagi mempertimbangkan faktor manusiawi atau sisi humanisme dalam pendidikan, yakni pendidikan sebagai kebutuhan dasar semua manusia untuk melakukan proses transformasi (perubahan) bagi diri dan kehidupan ini atau kita sebut dengan memanusiakan manusia “bila manusia itu tiada berilmu
maka sama halnya dengan binatang yang hanya akan mengandalkan instingnya saja”. Pada tataran riilnya pendidikan modern lebih berporos pada roda ekonomi, sehingga yang terjadi adalah hubungan ekonomi dan pendidikan yang lebih banyak menguntungkan sisi ekonomi daripada pendidikan yang jauh dari ideal, monoton atau tidak progressif dan usang atau tidak inovatif. Sebaliknya pola pendidikan saat ini lebih mengandalkan ekonomi pasar untuk membuat kemajuan dalam dunia pendidikan, karena lebih memprioritaskan bagi mereka yang berduit yang akan mendapatkan jatah layak untuk menikmati pendidikan ideal, progressif dan inovatif. Oleh karena itu perhatian terhadap peserta didik, pendidik, ilmu (bahan atau materi pendidikan), sarana dan fasilitas pendidikan merupakan pertimbangan nomer dua setelah pertimbangan ekonomi. Rangkaian persoalan pelik pendidikan telah menggiring dunia pendidikan kita menuju kerusakan sistemik. Namun bukan berarti menjadi sah bagi kita untuk bersikap apatis. Dan, lagi-lagi kita harus kembali belajar bersama Freire perihal pendidikan yang membebaskan, kritis dan transformatif. Mengurai benang merah yang terlanjur jalin berkelindan tak tentu ujung-pangkalnya, Freire menekankan pentimgmya pengharapan (hope) dan impian (dream), karena mimpi dan harapan memberi kita energi untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. Tak ada perubahan tanpa impian, begitu pula tak ada impian tanpa harapan. Hanya saja harapan dan impian harus ditindak lanjuti dengan aktualisasi Ke depan, terbentang pekerjaan rumah yang luar biasa berat. Perubahan baik mengenai kurikulum, perangkat aturan legal, maupun pergeseran paradigma yang sepertinya tidak bisa
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
37
ditolak jika menginginkan perubahan yang substantif, tidak sekadar ‘kosmetik’ ingin diwujudkan.Pendidikan tidak dapat lepas dari aspek sosial dan pendidikan suatu bangsa adalah cerminan kebudayaannya yang merefleksikan ideology dan filsafat pendidikanya. Oleh karena itu diperlukan paradigmatis pendidikan transformatif, suatu pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan objektif, visioner, dan didasarkan pada falsafah Negara. Dalam hal ini pendidikan dipandang menyatu dengan persoalan sosial yang tengah dihadapi rakyat dan memberi perspektif terhadap problematika masa depan. Dengan demikian pendidikan transformasi adalah pendidikan yang mampu menggerakan transformasi sosial.Azyumardi Azra (2002) mengatakan bahwa pendidikan modern kini yang sudah menjadi konvensional gagal memberikan pandangan dunia yang kosmologis dalam dunia pendidikan. Karena itulah pendidikan modern lebih pada pengembangang kognisi dari pada ranah yang lain. 4. Mendidik Sejarah Sebagai Penggerak Pendidikan Transformatif Pendidikan transformatif mengarah kepada perubahan waktu, sejarah identik dengan permasalahan waktu. Mempelajari pendidikan masa lalu berarti sedang melakukan transformasi. Transformasi pendidikan menjadikan titik balik dalam pergerakan menuju Indonesia yang berkepribadian unggul. Tentunya pendidikan menjadi faktor utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian transformasi pendidikan berupaya melacak sendi-sendi pendidikan masa lalu dengan mentransformasi pendidikan sejarah. 38
Transformasi pendidikan merupakan jalan linear menuju peradaban. Dalam setiap kelompok masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal melalui sebuah lembaga pendidikan formal, maupun secara informal melalui beragam bentuk komunikasi sosial, begitulah kata almarhum Kuntowijoyo (1987). Belajar sejarah berarti peserta didik mampu berpikir kritis dan mampu mengkaji setiap perubahan di lingkungannya, serta memiliki kesadaran akan perubahan dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah. Pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan kemampuan siswa melakukan konstruksi kondisi masa sekarang dengan mengkaitkan atau melihat masa masa lalu yang menjadi basis topik pembelajaran sejarah. Kemampuan melakukan konstruksi ini harus dikemukakan secara kuat agar pembelajaran tidak terjerumus dalam pembelajaran yang bersifat konservatif. Kontekstualitas sejarah harus kuat mengemuka dan berbasis pada pengalaman pribadi para siswa. Apalagi sejarah tidak akan terlepas dari konsep waktu, kontinyuitas dan perubahan. Keterampilan berpikir kesejarahan, yaitu suatu kemampuan yang harus dikembangkan agar siswa dapat membedakan waktu lampau, masa kini, dan masa yang akan datang; melihat dan mengevaluasi evidensi; membandingkan dan menganalisis antara cerita sejarah, ilustrasi, dan catatan dari masa lalu; menginterpretasikan catatan sejarah; dan membangun suatu cerita sejarah berdasarkan pemahaman yang sesuai dengan tingkat perkembangan berpikirnya (Widja, 2002).
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
Pembelajaran sejarah dapat membuka kesempatan untuk melakukan analisis terhadap aktivitas manusia dan hubungannya dengan sesama. Agar dapat tercipta atmosfir yang demikian, maka seseorang harus mengkondisikan untuk aktif bertanya dan belajar (active learning), tidak hanya secara pasif menyerap informasi berupa fakta, nama, dan angka tahun sebagai suatu kebenaran, sesuai dengan pandangan konstruktivisme (Supriatna, 2012). Dalam proses belajar harus ada perubahan, terutama perubahan konsep yang disebut dengan asimilasi untuk perubahan tahap pertama dan perubahan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan asimilasi, siswa menggunakan konsepkonsep yang telah mereka miliki untuk berhadapan dengan fenomena baru. Sementara dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang sudah tidak cocok dengan fenomena baru yang muncul (Suparno, 1997: 50). Dengan demikian diharapkan bahwa proses pembelajaran bukan hanya sekedar transfer knowledge, tetapi sudah membangun konsep pemahaman dalam diri siswa. Dalam pembelajaran, dapat dikembangkan pembelajaran sejarahyang menekankan melalui penemuan (inkuiri), pengalaman nyata dan memanipulasi langsung alat, bahan atau media belajar yang lain (eksperimen). Guru mempersiapkan lingkungan yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang luas. Menurut Piaget dalam (Suparno, 1997), perkembangan kognitif bukan merupakan akumulasi dari kepingan informasi yang terpisah, namun lebih merupakan pengkonstruksian suatu kerangka mental oleh siswa untuk memahami lingkungan
mereka, sehingga siswa bebas membangun pemahaman mereka sendiri. D. KESIMPULAN Pendidikan transformatif adalah pendidikan yang menitikberatkan pada perubahan. Perubahan dengan semangat kemajuan dan sebagai sikap reflektif menuju kehidupan yang lebih baik di masa akan datang, dapat dikembangkan melalui pendidikan sejarah. Perspektif sejarah yang melihat sudut pandang historis sangat menentukan dalam menempuh kebijakankebijakan dalam ranah pendidikan. Segala problem pendidikan sejarah dapat direfleksikan menjadi butir-butir arah pengembangan perubahan. Bekal belajar sejarah dan mendidik sejarah sebagai wujud pendidikan transformatif saat ini menjadi kunci dalam perubahan pendidikan yang lebih baik. Sehingga benar yang diungkapkan Kuntowijoyo bahwa transformasi pendidikan merupakan jalan linear menuju peradaban. Pendidikan sejarah merupakan salah satu penggerak transformatif tersebut. DAFTAR PUSTAKA Azyumaryadi, Azra. 2001 Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Choliq, Abdul. 2012. Pendidikan islam Perspektif Imam Alghazali dan Ibnu Khaldun.Depok: Literatur Nusantara (Linus) Kristan. 2010. Bangga menjadi Konghucu (Proud to be confucion). Jakarta: Gemaku Kuntowijoyo,1987. Budaya dan masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
39
Sukmadinata, Nana syaodih. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. St. Sunardi. 2001. “Paulo Freire: dari Pedagogy of the Oppresed menuju Pedagogy of the Heart” (Pengantar dalam bukuConcientizacao: Tujuan Pendidikan PauloFreire), Yogyakarta: Pustaka Pelajar Soefijanto ,T, Amin. 2015. “Membangun Bangsa Berperadaban”. Jakarta: Kompas Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:Penerbit Kanisius. Widja,I
40
Gde. 1989. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
PENERAPAN TEORI-TEORI PENDIDIKAN UNTUK ANAK USIA DINI TERKAIT DALAM PENGEMBANGKAN KETERAMPILAN MOTORIK ANAK THEORIES OF APPLICATION FOR EDUCATION EARLY CHILDHOOD LINKED SKILLS DEVELOPMENTMOTOR CHILDREN Yudha Febrianta Universitas Muhammadiyah Purwokerto
[email protected] ABSTRAK Awalnya pendidikan untuk anak usia dini diselenggarakan tanpa terprogram, terutama dalam keluarga, dan tanpa didasari sekarang semakin dibutuhkan pengetahuan yang memadai tentang bagaimana anak bertumbuh, berkembang, dan belajar. Keadaan itu masih saja terjadi terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini di negara kita, meskipun hasil penelitian telah menunjukan betapa pentingnya pemberian stimulasi semenjak anak usia dini untuk mengoptimalkan perkembangannya setelah dewasa. Teori pendidikan pada Anak Usia Dini akan memberikan kontribusi seorang guru dalam menyikapi tumbuh kembang anak. Selain itu guru akan mengerti dan memahami bagaimana cara memberikan perlakukan pada Anaka Usia Dini. Kemudian dengan memahami itu semua maka khususnya di lapangan bagaimana guru akan memberikan aktivitas di lanpangan tentunya akan melihan bagaimana teori pendidikan mengajarkan semua itu. Aktivitas di lapangan merupakan rangkaian kegiatan pengembangan aktivitas jasmani anak khususnya keterampilan motorik. Kata Kunci: teori pendidikan, anak usia dini, pengembangan motorik ABSTRACT Originally early childhood education to be held without programmed, especially in the family, and not based now increasingly required adequate knowledge about how children grow, develop and learn. The situation was still happening on the implementation of early childhood education in our country, even though research has shown how important provision since early childhood stimulation to optimize its development as an adult. Theories on Early Childhood Education will contribute a teacher in addressing the development of the child. In addition, teachers will know and understand how to give treatment at an Early Age Anaka. Then, with the understanding that all of it, especially in the field of how the teacher will provide activities in lanpangan melihan how the course will teach all the educational theory. Activities in the field is a series of activities to develop children's physical activity, especially motor skills. Keywords : theory of education , early childhood motor development
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
41
A. PENDAHULUAN Tujuan pendidikan nasional Indonesia di dalam ketetapan MPR No. IV hasil sidang umum tahun 1999-2004 pada poin satu adalah untuk mengembangkan sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai denagn hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya. Pada poin dua, arah kebijakan pendidikan nasional adalah meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta dapat meningkatkan kesejahteraan tenaga kependidikan mampu berfungsi secara optimal terutama dalam meningkatkan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat menumbuhkan wibawa lembaga tenaga kependidikan. Pendidikan jasmani sebagai salah satu komponen pendidikan yang wajib diajarkan di sekolah memiliki peran yang sangat strategis untuk mewujudkan tujuan pendidikan di atas. Pendidikan jasmani tidak hanya berdampak positif pada pertumbuhan fisik anak, melainkan juga perkembangan mental, intelektual, emosional, dan sosialnya. Pengajaran yang baik di lakukan dalam pendidikan jasmani lebih dari sekedar mengembangkan keterampilan berolahraga, pengajaran yang baik tersebut melibatkan aspek-aspek yang berhubungan dengan apa yang sebenarnya dipelajari oleh siswa melalui partisipasinya, apakah neuromuskuler, intelektual, emosional. Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan dimana terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya yang dikelola melalui aktivitas jasmani secara 42
sistematik menuju pembentukan manusia seutuhnya (Mutohir, 2007: 7). Pembelajaran merupakan suatu proses yang sangat kompleks, peran guru tidak hanya sebagai penyampai informasi kepada siswa tetapi bagaimana guru memberi rangsangan, bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar. Tujuan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah mempunyai tingkatan, mulai dari tujuan ideal sampai tujuan khusus yamg kongkret dan dapat diukur, tujuan yang terukur ini harus dapat dicapai pada tinghkat kelas. Bloom yang terkenal dengan tujuan pembelajarannya membagi tujuan pembelajaran ke dalam tiga domain yakni, kognitif, afektif, dan psikomotorik (Winkel, 1989: 1490). Awalnya pendidikan untuk anak usia dini diselenggarakan tanpa terprogram, terutama dalam keluarga, dan tanpa didasari sekarang semakin dibutuhkan pengetahuan yang memadai tentang bagaimana anak bertumbuh, berkembang, dan belajar. Keadaan itu masih saja terjadi terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini di negara kita, meskipun hasil penelitian telah menunjukan betapa pentingnya pemberian stimulasi semenjak anak usia dini untuk mengoptimalkan perkembangannya setelah dewasa. Sekarang kesadaran tentang pentingnya pendidikan anak usia dini telah muncul, pendidikan anak usia dini lebih dipandang sebagai sesuatu yang esensial untuk mengoptimalkan perkembangan anak. Dengan kesadaran terhadap pentingnya perkembangan anak dan pentingnya pelayanan perkembangan anak, muncul pulalah minat untuk pempelajari tentang perkembangan dan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
pandangan-pandangan pada ahli tentang perkembangan anak. Mempelajari bagaimana anak berkembang, anak belajar, dan membicarakan konsepkonsep bagaimana memperlakukan dan bagaimana membelajarkan anak merupakan persoalan filsafat pendidikan anak. Pemikiran-pemikiran para ahli yang membicarakan atau membahas bagaimana anak berkembang, anak belajar dan pelayanan yang harus diterima agar anak usia dini memperoleh pelayanan yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhannya. Pembahasan pemikiran-pemikiran para ahli tentang pendidikan anak merupakan filsafat tentang pendidikan anak usia dini. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran filsafat para ahli akan melahirkan konsep-konsep penting tentang pendidikan anak usia dini. Beberapa teori yang mendasari pelaksanaan pendidikan anak usia dini antara lain: 1. Howard Gardner (1943) Teori Howard Gardner muncul dalam jaman kita hidup sekarang ini. Ia mengatakan bahwa pada hakekatnya setiap anak adalah anak yang cerdas. Kecerdasan bukan hanya dipandang dari factor IQ saja, tetapi juga ada kecerdasankecerdasan lain yang akan mengantarkan anak pada kesuksesan. Macam-macam kecerdasan menurut Gardner adalah : a. mengelola kata-kata. b. Kecerdasan logika : kecerdasan dalam bidang angka dan alasan logis. c. Kecerdasan musik : kecerdasan dalam bidang musik. d. Kecerdasan gerak (kinestetik) : kecerdasan dalam mengolah anggota tubuh.
e.
f.
g.
h. i.
j.
Kecerdasan gambar (spasial): kecerdasan anak dalam permainan garis, warna, dan ruang. Kecerdasan diri (intrapersonal): kecerdasan dalam bidang pengenalan terhadap diri sendiri. Kecerdasan bergaul (interpersonal): kecerdasan dalam membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan bahasa : kecerdasan anak dalam Kecerdasan alami (naturalist): kecerdasan yang berhubungan dengan alam. Kecerdasan rohani (spiritual): kecerdasan mengolah rohani. Jadi, Gardner memandang bahwa setiap anak memiliki peluang untuk belajar dengan gaya masing-msing anak.
2. John Bowlby (1907 – 1990). John Bowlby terkenal sebagai salah seorang pelopor teori Ethologi. Dia lahir di London. Dia merupakan seorang guru di Proggessive Schools for Children, yang memberi perawatan medis dan latihan psiko-analitik. Teori Bowlby yang tekenal adalah tentang teori attachment. Dia mengemukakan perkembangan attachment bayi. Attachment yang dimaksud adalah keteraturan, kesenangan, keinginan untuk melekat terhadap orang-orang yang diakrabi. Salah satu attachment bayi adalah menangis ketika ditinggalkan pengasuhnya dan tersenyum ketika pengasuhnya datang atau memberi makan. Menurut Bowlby meskipun respon sosial bayi pada awalnya tanpa diskrimisasi. Anak yang kehilangan kesempatan untuk memperoleh hubungan sosial dengan orang lain akan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
43
mempengaruhi perkembangan sosial anak. Bila anak kehilangan kesempatan untuk megembangkan hubungan anak dengan lingkugan sosial selama periode bayi, maka mungkin hubungan sosial anak akan menjadi menyimpang seletah dewasa. Bayi yang kehilangan kontak yang memuaskan dengan manusia lain mereka akan kesulitan untuk mengembangkan tingah laku sosial yang sesuai. Ada dua ketekunan pada usia dini yaitu „separate enciety” dan stager anciety”. anak-anak yang sering ditinggal, petama anak akan menangis dan menolak semua bentuk pengasuhan, berkembang melalui periode despair; menjadi quiet, menarik diri dan pasif.. Pengasuh hendaknya memiliki pola yang tidak berbeda dengan orangtuanya. Orangtua harus memberikan perhatian, kasih sayang dan perasaan aman pada bayi agar anak berkembang dengan baik. 3. Jean Piaget (1907 – 1980) Piaget merumuskan tahap perkembangan intelektual anak dalam 3 tahap yaitu ; (a) tahap sensori motorik (usia 0 – 2 tahun). Pada tahap ini anak berpikir adalah memahami diri dan lingkungannya melalui kesan-kesan sensori dan gerakangerakan motoriknya. Pikiran anak berkembang dengan pesat, berpikir anak belum sistematis, sering meloncat-loncat dari satu ide ke ide lain, dan belum logis, salah satu simbul yang digunakan adalah bahasa, sehingga bahasa anak berkemang dengan pesat, Mereka mulai mengunakan simbol ketika mereka menggunakan objek atau tindakan untuk menggambarkan sesuatu benda yang hilang (Ginsburg dan Opper, dalam Crain, 1992).
44
Anak berpikir melalui kesankesan yang diterima sensorinya, seperti melalui melihat, mendengar, meraba, mencium, mengecap, membau dan melalui gerakan-gerakan yang dilakukan. Untuk mengembangkan berpikir anak dalam periode berpikir sensori motorik adalah memberikan stimulasi melalui sensori-sensori anak. Misalnya untuk mengembangkan berpikir anak melalui indera penglihatan adalah memperlihatkan kepada bayi berbagai warna, berbagai bentuk, berbagai pola/ukuran, benda yang bergerak dan memberikan kebebasan untuk bergerak, menjangkau, memanipulasi benda, dll.; (b) Tahap preoperational konkret (usia 2 – 6 tahun). Pada usia ini anak menurut Piaget sudah mulai berpikir secara mental meskipun belum sempurna. Pada usia ini hayalan masih mendominasi pikiran anak, anak sering menghayalkan sesuatu sebagaimana kenyataan. Ciri utama berfikir anak usia dini adalah berpikir egosentris, kemampuan merekam tinggi, rasa ingin tahu tinggi, sering melakukan dusta hayal, animistik, anak sudah dapat menggunakan simbol-simbol sedehana untuk menyatakan perasaan dan pikirannya. Ide-ide Piaget ini memiliki implikasi dalam pendidikan anak usia dini, khususnya dalam pengembangan berpikir anak usia dini. Pertama, menekankan bahwa anak adalah individu yang mampu membangun pengalamannya sendiri, oleh karena itu proses pendampingan harus berorientasi pada anak, melalui proses eksplorasi, intervensi dan membangun pengalaman anak sendiri melalui aktivitas bebas. Pendidikan anak usia dini diharapkan tidak memperbaiki pengalaman anak, tetapi menyediakan lingkungan,
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
pengalaman dan material belajar yang diminati dan menantang anak untuk melakukan eksplorasi pengalaman anak dan menyelesaikan masalah secara mandiri. Pentingnya penekanan pemberian kesempatan pengajaran yang mempertimbangkan tingkat perkembangan anak. Menurut Piaget belajar untuk anak harus melalui proses aktif menemukan dan harus sesuai dengan tahap perkembangan anak. Pendidikan dimulai melalui anak belajar melalui pengetahuan langsung dan interkasi social. 4. Lev Vigotsky (1896 – 1934) Vigotsky adalah seorang ahli perkembangan berkebangsaan Rusia. Teorinya disebut dengan teori belajar sosial. Vigotsky mengemukakan bahwa perkembangan manusia melalui interaksi sosial yang memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif anak. Menurtut Vigotsky anak belajar melalui dua tahapan yaitu interkasi dengan orang lain, orang tua, saudara, teman sebaya, guru dan belajar secara individual melalui mengintegrasikan segala sesuatu yang dipelajari dari orang lain dalam struktur kognitifnya. Vigotsky mengemukakan tiga perlengkapan manusia yaitu tools of the minds, zone of proximal development dan scoffolding.Tools adalah alat untuk membantu mempermudah kerja, seperti pahat, mesin potong, gergaji, pisau, mesin pangkas, adalah alat yang memudahkan kerja fisik manusia. Menurut Vigotsky kerja mental juga akan lebih mudah jika ada alat pendukungnya yang ia sebut sebagai tools of the minds yang berfungsi untuk mempermudah anak memahami suatu fenomena, memecahkan masalah, mengingat, dan untuk berfikir. Misalnya, kelereng, buah-buahan, lidi, biji-bijian
adalah sejenis alat yang dapat membantu anak memahami konsep bilangan. Melalui alat ini akan dapat menghubungkan benda dengan bahasa simbolik, seperti konsep bilangan satu, dua, tiga, empat, lima, dan enam. Konsep zone of proximal development adalah suatu konsep tetang hubungan antara belajar dengan perkembangan anak. Istilah zone menggambarkan bahwa perkembangan merupakan suatu daerah atau medan. Perluasan suatu medan perkembangan ditentukan oleh bantuan orang yang lebih ahli yang disebut scaffolding. Scaffolling adalah bantuan yang diperoleh anak dari seseorang yang lebih mampu, lebih mengetahui, dan lebih terampil dalam ZPD untuk membantu anak agar memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi (Brunner dan Ross, 1976). Bentuk bantuan misalnya menyediakan objek, menunjukan bagian objek, mnggunakan gambar, menunjukan cara menggunakan sesuatu atau memberikan alat bantu pengukuran. Teori belajar Vigotsky memiliki empat prinsip umum yaitu: (a) anak mengkonstruksi pengetahuan akan lebih mudah bila tersedia tools of minds yang lebih kaya dan bervariasi, (b) belajar terjadi dalam kontek sosial. Oleh karena itu, untuk membantu mengoptimalkan perkembangan anak, dia harus dilibatkan sebanyak mungkin dalam interaksi sosial dengan sebaya, guru, orang tua dan orang dewasa lainnya, (c) belajar mempengaruhi perkembangan mental, dan (d) bahasa memegang peranan penting dalam membantu perkembangan mental anak. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan perkembangan berpikir anak, pengembangan bahasa atau literasi anak harus pula dioptimalkan melalui
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
45
melibatkan anak dalam aktivitas literasi di rumah, di lembaga PAUD dan di masyarakat. Vigotsky menyakini bahwa anak memiliki kemampuan secara aktif membagun pengetahuan melalui interaksi sosial di lingkungannya. Kontek sosial mempengaruhi perkembangan berpikir, sikap dan tingkah laku anak. Kontek sosial adalah meliputi seluruh lingkungan dimana anak tinggal yang secara langsung atau pun tidak langsung dipengaruhi oleh sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat dimana anak hidup. Vogotsky mengemukakan tiga konteks sosial yaitu (a) interaktif, orang lain atau teman sebaya yang sedang melakukan interaksi dengan anak, (b) tingkat struktural yaitu konteks sosial yang memiliki struktur seperti anggota keluarga, lembaga PAUD, dan masyarakat sekitar, dan (c) tingkat struktur sosial yang meliputi keseluruhan berbagai hasil kreasi anggota masyarakat. B. PEMBAHASAN 1. Filosofi Pendidikan Anak Usia Dini a. Dasar Pemikiran Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya, paling unik, penuh dinamika dalam perkembangannnya dan memiliki potensi untuk mengembangkan dirinya yang dianugerahkan kepadanya bila mendapatkan layanan yang sesuai. Sebagai manusia, semenjak berusia dini mereka telah dibekali dengan berbagai potensi-potensi yang perlu dikembangkan agar kelak dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai manusia secara efektif dan produktif dalam menjalami kehidupan sehari-hari. Begitu pentingnya peran anak, para ahli pendidikan anak
46
telah berusaha mencari jawaban yang akurat tentang anak. Pertanyaan yang mendasar untuk menemukan jawaban yang akurat tentang anak adalah pertanyaan yang mencari kebenaran hakiki tentang anak. Pertanyaan yang mendasar terhadap hakikat anak dan pendidikan anak pada dasarnya merupakan upaya menemukan jawaban yang kebenaran tentang anak. Usaha untuk menemukan kebenaran tentang anak meruapakan usaha menemukan filsafat yang benar tantang anak. Sebelum membahas filsafat pendidikan anak usia dini, akan dibahas tentang pengertian filsafat pendidikan. Bernadib (1987) mengemukan bahwa filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Bersifat filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan pada hakikatnya adalah penerapan suatu analisis filosofis terhadap lapangan pendidikan. Yahya Qohar (1983) mengatakan filsafat pendidikan adalah filsafat yang bergerak dalam lapangan pendidikan. Menurut Ozmon & Craver (1995) filsafat pendidikan dipandang sebagai aplikasi ide-ide filsafat terhadap masalah-masalah pendidikan. AlSyaibany (1979) mengemukakan bahwa filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah-kaidah filsafat dalam bidang pendidikan. Berdasarkan pengertian filsafat pendidikan di atas, maka filsafat pendidikan anak usia dini pada hakikatnya adalah penerapan pandanganpandangan filsafat dalam pendidikan anak usia dini. Dalam arti lain, filsafat pendidikan anak usia dini adalah pengaplikasian analisis-analisis atau kajian-kajian filsafat dalam
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini baik menyangkut kurikulum, aspek pendidikan, tujuan pendidikan, objek pendidikan, pendekatan, model pembelajaran, proses asemen dalam pendidikan anak usia dini. b. Tujuan Pemikiran Filosofis Filsafat pedidikan anak usia dini bertujuan untuk membantu merumuskan peran proses penyelenggaraan pendidikan untuk anak usia dini di dalam masyarakat, menafsirkan peran peran pendidikan, dan pengarahkan peran tersebut untuk merealiasikan tujuan dalam mengabdi kepada masyarakat baik untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Filsafat pendidikan anak usia dini dibutuhkan untuk mengungkap dan mengkaji realitas yang sedang terjadi di tengah-tengah proses pendidikan anak usia dini. Sebaiknya praktik pendidikan yang tidak berlandaskan filasafat pendidikan yang benar akan menjadikan pendidikan tanpa arah yang jelas, tujuan pendidikan yang tidak relevan dengan sifat, kebutuhan dan perkembangan anak, malah dapat memberikan perlakukan yang salah terhadap anak. c. Filosofi Yang Berpegaruh Pada Pendidikan Anak Usia Dini Pandangan orang tentang anak berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan proses budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Padangan seseorang tentang anak mempengaruhi perlakukan pendidikan terhadap anak itu sendiri. Para ahli telah memberikan perhatian yang serius terhadap anak usia dini dan pendidikannya. Mereka berasal dari berbagai budaya dan suku bangsa dan latar belakang disiplin ilmu. Sebagai akibat perbedaan latar belakang, mereka pun mengkaji dan melihat secara berbeda
pula tentang anak usia dini dan pendidikan yang sesuai. Ada pandangan para ahli yang mengakui bahwa anak lahir sudah dibekali dengan potensipotensi positif, anak memiliki kekuatankekutan positif untuk mengembangkan dirinya. Pandangan ini lebih melihat pendidikan terhadap anak sebagai upaya untuk mengembangkan potensi bawaannya. Padangan ahli yang menganggap anak adalah lahir tergantung dan tanpa potensi dan membutuhkan orang lain untuk menentukan arah perkembangannya. Anak perlu diajar dan dilatih suapaya dapat hidup dan menghidupi dirinya. Para ahli lain melihat anak berkembang dipegnauhi oleh potensi bawaannya dan membutuhkan interaksi dinamis dengan orang dewasa untuk mengoptimalkan potensi bawaannya. Padangan yang mengakui bahwa anak makhluk yang dibekali potensi untuk mengembangkan diri merupakan pandangan humanistik, yaitu padangan yang mengakui anak sebagai makhluk yang dibekali potensi untuk berbuat baik, mempertahankan dan mengembangkan dirinya. Padangan yang melihat anak sebagai individu yang tergantung dan tidak membawa apa-apa merupakan padangan behavioristik, yaitu anak adalah hasil pengaruh lingkungan dan berkembang tergantung pada lingkungannya. Bila lingkungan yang memelihara anak dengan baik, maka baiklah perkembangannya. Sebaliknya, bila anak berada pada lingkungan belajar yang jelek, maka akan kurang optimallah perkembangkannya. Padangan lain mengemukakan bahwa anak memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dan akan lebih baik perkembangannya melalui proses interakasi dengan lingkugnan sosialnya. Padangan ini
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
47
disebut padangan konstruktif terhadap anak. C. IMPLIKASINYA DALAM PELAKSANAAN PAUD 1. Berkaitan dengan anak Anak akan belajar dengan baik ketika mereka menggunakan sensorinya. Anak yang senang mengerjakan dan mengeksplorasi alat-alat main yang diberikan kepadanya akan cenderung mendapat hasil pembelajaran yang lebih banyak dibandingkan anak yang diam dan selalu menerima segala sesuatunya. Semua hal yang dipelajari melalui alat sensorinya akan tersimpan baik dalam ingatan jangka pendek maupun ingatan jangka panjang. Semua anak dapat dididik. Semua anak terlahir dengan potensi bawaan masing-masing, karenanya semua anak juga dapat dididik sesuai potensi tersebut tanpa pengecualian. Setiap anak memiliki kesempatan untuk belajar dari lingkungannya dan dari orang dewasa yang ada di sekelilingnya. a. Setiap anak harus dioptimalkan potensinya. Potensi yang dimiliki anak berbeda satu sama lain, sehingga membutuhkan pembelajaran yang berbeda pula. Pembelajaran yang diberikan harus mampu mengoptimalkan potensi yang ada agar dapat dimanfaatkan sebagai keterampilan hidupnya. b. Pendidikan harus dimulai sejak dini. Usia dini merupakan usia emas dimana anak dengan mudah menyerap segala informasi yang diterima melalui semua 48
inderanya. Dengan pemikiran tersebut, maka pendidikan harus dimulai sedini mungkin bahkan ketika anak masih dalam kandungan, karena otak anak telah berkembang sejak usia kandungan empat bulan. c. Anak tidak dapat dipaksa belajar jika belum siap belajar. Pembelajaran akan mudah dilaksanakan jika anak telah berada pada tahap kematangan dan siap belajar. Anak yang belum siap belajar tidak akan mampu menyerap konsep yang diajarkan dengan baik. Kesiapan belajar ini berbeda antara satu anak dengan anak lainnya, walaupun dalam rentang usia yang sama. d. Mempersiapkan anak bagi perkembangan selanjutnya dalam belajar. Pembelajaran anak usia dini dapat dijadikan sebagai wahana mempersiapkan anak untuk menjalani tahap perkembangan selanjutnya. Apa yang dipelajari anak di usia dini diharapkan dapat dmanfaatkan bagi pembelajaran di tahap lanjut. e. Kegiatan pembelajaran harus menarik dan bermakna Ciri khas yang menonjol dalam pembelajaran anak usia dini adalah pembelajaran yang menarik dan bermakna. Anak akan berminat menjalani pembelajaran jika kegiatan dibuat semenarik mungkin sehingga anak senang belajar. Ketika itu, secara otomatis pembelajaran yang dilakukan menjadi bermakna. f. Interaksi sosial dengan guru dan kelompok usia penting bagi perkembangannya Anak tidak akan mampu melakukan aktivitas sosial jika tidak pernah ada kesempatan untuk
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
berkomunikasi dengan orang lain ataupun anak sesusianya. Bermain dapat dijadikan sarana untuk belajar interaksi dengan orang lain. 1. Berkaitan dengan guru a. Guru harus menyayangi dan menghargai semua anak. Kompetensi dasar yang harus dimiliki seorang guru adalah rasa sayang dan menghargai anak. Membimbing dengan sayang akan membuat anak nyaman ketika belajar. Anak butuh dihargai seperti orang dewasa, karenanya jika guru mampu menghargai setiap anak, maka anak akan senang melakukan aktivitas yang diharapkan muncul. b. Guru harus memiliki dedikasi untuk mengajar secara profesional Guru harus dijadikan sebagai profesi dan memiliki dedikasi tinggi untuk mengabdi bagi pendidikan anak usia dini. Sikap profesionalisme ini akan sangat bermanfaat bagi kemajuan PAUD karena guru memiliki kreativitas bagi pengembangan program. c. Pengajaran yang baik harus berdasarkan teori, filosofi, tujuan dan sasaran Guru tidak dapat mengembangkan program pembelajaran anak usia dini tanpa dasar yang melandasi. Program yang disusun sebaiknya berdasarkan teori, filosofi, tujuan dan sasaran. Rumusan rencana kegiatan ini dapat dijadikan acuan ketika proses pembelajaran berlangsung. d. Mengajar anak menggunakan materi sebenarnya Anak usia dini secara garis besarnya berada pada tahap
pembelajaran konkret. Guru mengajar sebaiknya menggunakan materi yang sebenarnya sehingga pembelajaran yang terjadi tidak bersifat abstrak. e. Pengajaran dimulai dari yang konkret sampai abstrak Penggunaan materi konkret akan sangat membantu anak memahami materi pembelajaran. Pembelajaran anak usia dini akan lebih bermakna jika dimulai dari pembelajaran konkret ke pembelajaran yang abstrak. f. Observasi penting guna mengetahui proses belajar anak Guru harus selalu melakukan observasi individual anak agar mengetahui perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Hasilnya dapat digunakan untuk menentukan langkah tindak lanjut pembelajaran, apakah harus di ulang atau berlanjut ke materi selanjutnya. g. Pengajaran harus berpusat pada anak bukan berpusat pada guru Pembelajaran yang dibuat harus memperhatikan minat, bakat dan kebutuhan anak. Semua perencanaan dibuat dengan berpusat pada anak sebagai acuannya, bukan pada harapan guru. 2. Berkaitan dengan orangtua a. Keluarga merupakan lembaga yang paling penting dalam pendidikan dan pengembangan anak Pendidikan anak dimulai dari lingkungan terdekat dalam hal ini adalah keluarga. Keluarga
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
49
mempunyai peran yang sangat besar bagi pengembangan anak baik perilaku maupun keterampilan hidup. Keluarga merupakan lembaga terpenting, karena anak lahir dalam lingkungan tersebut dan sebagian besar waktunya dihabiskan bersama keluarga. b. Orang tua adalah pendidik utama bagi anak Model pertama kali yang dilihat oleh anak adalah orang tuanya, karenanya orang tua merupakan pendidik utama. Apa yang dilakukan anak sebagian besar merupakan perilaku imitasi orang tuanya. 2. PERKEMBANGAN JASMANI ANAK PAUD Anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3 – 6 tahun (Soemiarti patmonodewo, 1995 : 16). Sedangkan Kurikulum dan Hasil Belajar Anak Usia Dini (KHB PAUD, 2002) mengelompokkan anak prasekolah adalah anak yang berusia 4 – 6 tahun. Di Indonesia, pada umumnya anak prasekolah mengikuti program tempat penitipan anak (3 bulan - 5 tahun) dan kelompok bermain (usia 3 tahun), sedangkan ada usia 4 – 6 tahun biasanya mengikuti program taman kanak-kanak (Soemiarti Patmonodewo, 1995 : 16). Piaget seorang ahli perkembangan kognitif mengungkapkan bahwa anak prasekolah berada pada tahap praoperasional (Soemiarti Patmonodewo, 995 : 17). Anak prasekolah (3 – 6 tahun) mempunyai proporsi tubuh, berat, panjang badan dan keterampilan yang mereka miliki berbeda dengan anak usia bayi. Pada anak prasekolah telah nampak otot-otot tubuh yang berkembang dan memungkinkan bagi mereka melakukan 50
berbagai keterampilan (Soemiarti Patmonodewo, 1995 : 22). Melalui pengamatan perkembangan jasmani, pertumbuhan bersifat cephalo-caudal (mulai dari kepala menuju bagian ekor) dan proximo-distal (mulai dari bagian tengah ke arah tepi tubuh). Gerakan anak prasekolah lebih terkendali dan terorganisasi dalam pola-pola. Seperti menegakkan tubuh dalam posisi berdiri, tangan dapat terjuntai secara santai, dan mampu melangkahkan kaki dengan menggerakkan tungkai dan kaki. Gerakan otot kasar lebih dahulu berkembang sebelum gerakan otot halus. Pengendalian otot kepala dan lengan lebih dahulu berkembang dari pengendalian otot kaki, dan mampu mengendalikan otot lengan terlebih dahulu baru kemudian otot tangan. Anak prasekolah mempunyai keterampilan motorik kasar dan halus yang pesat kemajuannya. Keterampilan motorik kasar adalah koordinasi sebagian otot tubuh misalnya melompat, main jungkatjungkit, dan berlari. Sedangkan keterampilan motorik halus misalnya, kegiatan membalik halaman buku, menggunakan gunting dan menggabungkan kepingan apabila bermain puzzle (Soemiarti Patmonodewo, 1995 : 23). Sehingga anak prasekolah telah memiliki keterampilan yang lebih baik, mereka mampu melambungkan bola, melompat dengan satu kaki, telah mampu menaiki tangga dengan kaki berganti-ganti, mampu melompat dengan mengangkat dua kaki sekaligus dan belajar melompat tali.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
3. Pelaksanaan Pendidikan Jasmani Prasekolah Proses pembelajaran pada pendidikan prasekolah mempunyai karateristik tertentu. Pendekatan pembelajaran pada pendidikan prasekolah seperti tercantum dalam Kurikulum dan Hasil Belajar Pendidikan Anak Usia Dini (KHB PAUD, 2002) bahwa pembelajaran pendidikan prasekolah harus berorientasi pada kebutuhan anak, belajar sambil bermain, kreatif dan inovatif, lingkungan yang kondusif, tema, mengembangkan keterampilan hidup (life skill), menggunakan pembelajaran terpadu, dan yang terpenting adalah pembelajaran harus berorientasi pada prinsip-prinsip perkembangan anak. Penilaian yang dilakukan pada pendidikan prasekolah dengan cara pengamatan, pencatatan anekdot, dan portofolio. Pada pendidikan prasekolah pembelajaran dilakukan dengan pendekatan terpadu (Tematik). Konsekuensi yang ada adalah semua kompetensi harus mengacu pada tema pembelajaran pada saat berlangsung. Tema yang diangkat sebaiknya dapat mengakomodasi semua kompetensi yang ada, dan berprinsip harus sesuai dengan minat dan kebutuhan anak. Pembelajaran tematik memang mempunyai kelebihan tersendiri karena dalam suatu pembelajaran semua aspek yang ada dalam diri anak terlibat. Contohnya bila anak belajar di luar ruangan mereka belajar segalanya. Bila anak pergi ke suatu kolam ikan, sekaligus anak akan belajar bahasa dengan bertambahnya perbendaharan kata, keterampilan jasmaninya
bertambah karena anak mendapat kesempatan berjalan di pematang sawah dalam perjalanan ke kolam ikan, anak juga belajar membedakan dan mengelompokkan jenis ikan. Pendekatan pembelajaran ini memudahkan anak untuk menyadari lingkungannya, karena anak akan mengembangkan suatu konsep melalui asosiasi yang diperoleh dari pengalaman. Pendidikan prasekolah menganut dua waktu proses pembelajaran, yaitu: setengah hari (half day) dan sehari penuh (full day). Aktivitas jasmani yang akan dilakukan anak dapat direncanakan sesuai dengan pendidikan prasekolah itu menjalani kegiatan belajarnya. Pada prinsipnya seluruh kegiatan pembelajaran pada pendidikan prasekolah merupakan aktivitas jasmani. Aktivitas jasmani yang dipilih dan sesuai dengan kebutuhan anak yang merupakan pendidikan jasmani prasekolah. Sehingga pendidikan jasmani perlu diatur dan direncanakan dalam jadwal kegiatan. Proses pembelajaran yang berlangsung tidak akan terpisah dengan metode pembelajaran itu sendiri. Metode itu sendiri menurut Moeslichatoen (1999 : 7) merupakan bagian dari strategi kegiatan. Metode dipilih berdasarkan strategi kegiatan yang sudah dipilih dan diterapkan. Metode merupakan cara, yang dalam bekerjanya merupakan alat untuk mencapai tujuan kegiatan. Kegiatan disini adalah kegiatan pembelajaran, sehingga metode itu diperlukan agar tujuan pembelajaran yang gariskan dapat tercapai. Dalam proses
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
51
pembelajaran di pendidikan prasekolah, seperti: taman kanakkanak, ada berbagai metode pembelajaran yang dapat mencapai tujuan pembelajaran di pendidikan prasekolah. Guru dalam hal ini harus mempunyai alas an yang kuat kenapa suatu metode digunakan pada pendidikan prasekolah. Setidaknya ada enam faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan metode yaitu karakteristik tujuan kegiatan, karakteristik anak yang diajar, kegiatan di dalam atau di luar ruangan, keterampilan yang hendak dikembangkan melalui berbagai kegiatan, tema yang dipilih dalam kegiatan tersebut, dan pola kegiatan itu sendiri Moeslichatoen (1999 : 12). Pengembangan jasmani anak melalui pendidikan jasmani prasekolah perlu mempergunakan metode yang menjamin anak dapat bergerak aktif tanpa mengalami cedera. Oleh karena itu guru harus menciptakan proses pembelajaran yang aman dan menantang anak. Pengembangan jasmani dalam keterampilan motorik anak memerlukan latihan-latihan dan anak harus memiliki keterampilan dasar terlebih dahulu sebelum mampu memadukannya dengan kegiatan motorik yang lebih kompleks. Sehingga metode yang digunakan adalah metode kegiatan yang dapat memacu semua kegiatan motorik yang perlu dikembangkan anak. Metode-metode pembelajaran yang sering digunakan pada pendidikan prasekolah sesuai dengan karakteristik anak usia prasekolah adalah bermain, karyawisata, 52
bercakap-cakap, bercerita, demonstrasi, proyek, dan pemberian tugas. Metode-metode tersebut dapat digunakan pada proses pembelajaran pendidikan jasmani dengan tujuan untuk mengembangkan jasmani dan keterampilan motorik anak. Metode bermain merupakan metode yang tidak asing lagi bagi pendidikan jasmani terutama untuk proses pembelajaran di sekolah dasar. Metode bermain juga bisa sangat cocok untuk digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani prasekolah. Bermain merupakan pekerjaan masa anak-anak dan cermin pertumbuhan anak (Moeslichatoen, 1999 : 24). Kegiatan bermain dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani prasekolah merupakan syarat mutlak, karena bagi anak prasekolah belajar adalah bermain dan bermain adalah belajar. Guru secara kreatif harus merancang kegiatan bermain untuk pengembangan jasmani dan keterampilan motorik anak baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Hal ini dikarenakan agar anak tidak bosan, tidak nyaman dan tertekan (Mayke S. Tedjasaputra, 2003 : 39). Lebih lanjut Mayke S. Tedjasaputra (2003 : 55-62) menyebutkan bahwa macam-macam kegiatan bermain aktif adalah bermain bebas dan spontan, bermain kontruktif, bermain khayal/bermain peran, bermain mengumpulkan benda-benda (collecting), bermain melakukan penjelajahan (eksplorasi), dan permainan (games) dan olahraga (sport). Hubungannya dengan pembelajaran pendidikan jasmani kita bisa menggunakan semua bentuk bermain tersebut, tetapi permainan dan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2443-180X
olahraga akan lebih banyak bermanfaat bagi pengembangan jasmani anak dan meningkatkan keterampilan motorik. DAFTAR PUSTAKA Berk, E. Laura. (1994). Child Development. New York: Allyn and Bacon Bredekamp, Sue. (1987). Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Program Serving Children from Birth Through Age 8. Washington: Naeyc. Cole, Michael and Sheila. R. Cole. (1993). The Development of Children. New York: W.H. Freeman and Company.
Crain, William. (1992). Theories of Development. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliff. Maxim, G.W. (1993). Very Young. New York: MacMillan. Mayesky, Mary. (1990). Activities Creatives. New York: Delmar Publishers, Inc. Seefeldt, Harbour. (1994). Early Childhood Education. New York: MacMillan. Shaffer, R. Devid. (1994). Social & Personality Development. California: Brooks/Cole Publishing Company.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
53
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTERPADA BUKU AJAR BAHASA JAWA TINGKAT SD KURIKULUM DIY Biya Ebi Praheto1, Octavian Muning Sayekti2, Anang Sudigdo3 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa 1
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam buku ajar bahasa Jawa tingkat sekolah dasar kurikulum DIY. Diharapkan penelitian ini mampu menghasilkan temuan-temuan mengenai pendidikan karakter apa saja yang ada sesuai dengan pedoman pendidikan karakter dan budaya dari Kementrian Pendidikan Nasional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif agar dapat mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam buku ajar bahasa Jawa tingkat SD kurikulum DIY terbitan Erlangga, Tiga Serangkai, dan Yudistira. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dihasilkan temuan bahwa tidak semua nilai-nilai pendidikan karakter menurut pedoman pendidikan karakter dan budaya dari Kemendiknas yang berjumlah delapan belas nilai pendidikan karakter, terdapat dalam buku ajar bahasa Jawa terbitan Yudistira, Erlangga, dan Tiga Serangkai. Oleh sebab itu, peneliti memberikan saran kepada penulis buku bahan ajar, agar lebih memperhatikan konten isi dari buku yang ditulisnya. Terutama dari segi pengintegrasian nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Kemudian untuk guru, agar lebih selektif dalam memilih buku yang akan digunakan untuk mengajar. Di sisi lain, guru harus mengetahui dan memahami nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada buku yang digunakannya. Kata Kunci: karakter, buku ajar, bahasa Jawa
ABSTRACT This study to analyze and describe the educational values of characters contained in java textbooks of elementary school of curriculum DIY. This research expected to produce the findings on any character education in accodance with the guide lines of character education and culture of the ministry of National Education and Culture. The method used in this research is descriptive qualitative approach in order to describe the educational values of characters cntained in Java textbooks of Elementary School of Curriculum DIY the published by Erlangga, Tiga Serangkai, and Yudistira. Based on research that has been done is produced findings that not all the values of character education according to the guidelines of character education and culture of the Ministry of National Education and Culture totaling eighteen value of character education, contained in the Java language textbook published by Yudistira, Erlangga, and the Tiga Serangkai. Therefore, researchers gave suggestions to the author of textbooks, in order to pay more attention to the contents of the content of a book he wrote. Especially in terms of integrating the values of education. then for teachers, to be more selective in choosing books that will be used to teach. On the other hand, teachers should know and understand the values of character education contained in the book uses
Keywords: character, textbooks, javanesse language.
54
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
A. PENDAHULUAN Kebobrokan moral dan nilai-nilai norma dikalangan pelajar perlu diperhatikan oleh semua lapisan masyarakat maupun pemerintah. Beberapa kasus yang terjadi di besar dari kasus-kasus yang dilakukan oleh para pelajar adalah dimanakah peran dan eksistensi pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat? Terutama di lembaga pendidikan seperti sekolah yang mana dipandang sebagai tempat yang strategis untuk membentuk karakter (Hidayatullah 2010:3). Peran pendidikan sebenarnya sangatlah besar dalam perkembangan peserta didik baik di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan di sekolah diharapkan tidak hanya mampu mengembangkan kemampuan akademik, tetapi juga harus mampu membentuk karakter atau pribadi peserta didik. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Undangundang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah diperlukan pendidikan berbasis karakter guna mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut. Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
Sekolah Dasar antara lain kecurangan saat ujian, mem-bullyteman di lingkungan sekolah, bahkan tindakan asusila yang dilakukan siswa Sekolah Dasar. Pertanyaan kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Pendidikan karakter juga merupakan pendidikan yang mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, pendidikan karakter juga mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami (Khan 2010:1-2). Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah karena semuanya saling berkaitan membentuk sistem dalam pendidikan. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan ke dalam berbagai segi pendidikan di sekolah seperti manajemen atau pengelolaan sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, serta pembelajaran. Sebagaimana
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
kegiatan McDaniel 55
(2004) dalam kajiannya yang berjudul Character Education: Developing Effective Programs mendapatkan hasil bahwa adanya pendidikan gerakan karakter yang besar dalam tiga dekade pertama abad ini yang dimanfaatkan ke dalam semua aspek kehidupan sekolah. Perkuliahan dan moral oleh guru juga dimasukkan ke dalam gerakan pendidikan karakter. Sejak tahun 1924-1929, Institut Penelitian Sosial dan Keagamaan telah menyelidiki sifat karakter dan peran sekolah dalam perkembangannya. Pendekatan preskriptif digunakan oleh gerakan pendidikan karakter yang ditemukan tidak efektif. Penelitian ini juga telah menunjukkan bahwa ada hubungan langsung antara nilainilai dan perilaku. Oleh karena itu, bukanlah sebuah asumsi yang keliru bahwa mengajarkan nilai-nilai moral dapat menurunkan perilaku yang bertanggung jawab secara signifikan. Pendidikan karakter terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah yang dimaksud adalahbagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan yang direncanakan serta dilaksanakan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah. Di sisi lain kegiatan ekstrakulikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan
56
karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik. Nilai-nilai pendidikan karakter dapat pula dimasukkan dalam silabus pelajaran yang kemudian akan diturunkan menjadi RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang di dalamnya terdapat langkah-langkah pembelajaran. Selain itu, Pendidikan karakterdapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Salah satu media yang mendukung dalam pembelajaran adalah buku pelajaran. Buku pelajaran dapat dimasuki nilai-nilai pendidikan karakter dalam materi yang disajikan. Selain itu buku pelajaran sangat berperan penting sebagaimana UU Nomor 2 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa buku sangat berperan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
penting dan strategis dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Peran penting buku pelajaran juga tertuang dalam pengertian buku pelajaran pada UU Nomor 2 tahun 2008 pasal 1. Pasal tersebut menyebutkan bahwa buku pelajaran adalah buku acuan wajib untuk digunakan di satuan pendidikan dasar dan menengah atau perguruan tinggi yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, dan kepribadian, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kepekaan dan kemampuan estetis, peningkatan kemampuan kinestetis dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Selain itu, menurut Pusat Perbukuan (2005:1), buku pelajaran merupakan salah satu perangkat pelajaran yang sangat penting dan sangat bermakna dalam memacu, memajukan, mencerdaskan, dan menyejahterakan bangsa. Kepentingan buku sebagai sarana belajar tercermin melalui semboyansemboyan tentang buku. Semboyan tersebut antara lain: Buku adalah guru yang baik tanpa pernah bertatap muka; Buku adalah guru yang tak pernah jemu; Buku adalah jendela dunia; dan Buku menjadi sarana pokok untuk menyimpan dan menyebarluaskan khasanah ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, dan seni. Bahkan UNESCO mencanangkan semboyan Books for all ‘Buku untuk semua’. Menurut Bacon dalam Tarigan (1986:11) mengemukakan bahwa buku teks adalah buku yang dirancang untuk penggunaan di kelas dengan cermat disusun dan disiapkan oleh para pakar atau para ahli dalam bidang itu dan dilengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi. Sedangkan menurut Akhlan dalam Budiarti (2009:10) menyatakan bahwa buku
teks adalah buku pelajaran dalam bidang tertentu yang merupakan buku standar yang disusun oleh para pakar dalam bidang itu untuk maksud-maksud dan tujuan instruksional, yang diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sehingga dapat menunjang suatu program pengajaran. Sedangkan menurut Akhlan dalam Budiarti (2009:10) menyatakan bahwa buku teks adalah buku pelajaran dalam bidang tertentu yang merupakan buku standar yang disusun oleh para pakar dalam bidang itu untuk maksud-maksud dan tujuan instruksional, yang diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolahsekolah dan perguruan tinggi sehingga dapat menunjang suatu program pengajaran. Dalam pembelajaran bahasa Jawa buku pelajaran sangat membantu guru dan murid dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini dikarenakan dalam buku pelajaran sudah ada uraian materi juga ada soal-soal untuk mengukur kemampuan dalam proses pembelajaran dengan adanya evaluasi tersebut, siswa dapat menemukan sendiri jawaban dari pertanyaan ataupun permasalahan (Yulianti 2010: 2). Peneliti mencoba akan menelaah nilai-nilai pendidikan karakter dalam buku ajar bahasa Jawa tingkat SD Kurikulum Muatan Lokal DIY. Diharapkan dalam penelitian ini mampu menganalisis dan mendeskripsikan pendidikan karakter yang terkandung di dalamnya. Tujuannya adalah untuk menganalisis dan mendeskripsikan nilainilai pendidikan karakter yang terkandung
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
57
di dalam buku ajar bahasa Jawa tingkat sekolah dasar kurikulum DIY. Diharapkan penelitian ini mampu menghasilkan temuan-temuan mengenai pendidikan karakter apa saja yang ada sesuai dengan pedoman pendidikan karakter budaya dari Kementrian Pendidikan Nasional B. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik analisis data dengan teknik analisis isi. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan Juni sampai dengan bulan November 2015. Adapun sumber data dalam penelitian
ini adalah buku ajar bahasa Jawa Kurikulum DIY yang diterbitkan oleh penerbit Erlangga, Tiga Serangkai, dan Yudistira. Buku tersebut dipilih karena buku tersebut yang paling banyak beredar dan digunakan di DIY. Terkait dengan tingkatan kelas kami mengambil sampel kelas tinggi buku kelas 5 dan kelas rendah buku kelas 2. Sumber data maupun data dianalisis berdasarkan nilai-nilai pendidikan karakter yang dirumuskan oleh Kementrian Pendidikan Nasional. Nilai-nilai tersebut terbagi menjadi 18 nilai pendidikan karakter sebagai berikut :
Tabel 1. Nilai-nilai Pendidikan Karakter Menurut Kementrian Pendidikan Nasional NILAI 1. Religius
DESKRIPSI Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
3. Toleransi 4. Disiplin 5. Kerja Keras
6. Kreatif 7. Mandiri 8. Demokratis 9. Rasa Ingin Tahu
58
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12. Menghargai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan Prestasi sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/ Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan Komuniktif bekerja sama dengan orang lain. 14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman ataskehadiran dirinya. 15. Gemar Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan Membaca yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada Lingkungan lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung-jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. semangat kebangsaan, 11) cinta tanah air, D. HASIL DAN PEMBAHASAN Buku ajar yang diteliti adalah buku 12) menghargai prestasi, 13) bersahabat bahasa Jawa yang diterbitkan oleh atau komunikatif, 14) gemar membaca, penerbit Erlangga, Tiga Serangkai, dan 15) cinta damai, 16) peduli sosial, 17) Yudistira. Berdasarkan sampel kelas yang peduli lingkungan dan 18) tanggung diambil yaitu buku kelas 2 dan kelas 5 jawab. Kedua, nilai-nilai pendidikan menunjukkan bahwa tidak semua nilaikarakter buku bahasa Jawa yang nilai pendidikan karakter yang diterbitkan Erlangga meliputi: 1) religius, dirumuskan oleh kemendiknas ditemukan 2) jujur, 3) disiplin, 4) kerja keras, 5) di dalam buku tersebut. Berdasarkan kreatif, 6) mandiri, 7) rasa ingin tahu, 8) analisis yang dilakukan untuk nilai-nilai semangat kebangsaan, 9) cinta tanah air, yang terkandung secara terperinci sebagai 10) bersahabat atau komunikatif, 11) berikut. gemar membaca, 12) peduli sosial, dan Pertama, nilai-nilai pendidikan 13) peduli lingkungan. Ketiga, nilai-nilai karakter buku bahasa Jawa yang pendidikan karakter buku bahasa Jawa diterbitkan Yudistira meliputi: 1) religius, 2) jujur, 3) toleransi, 4) disiplin, 5) kerja yang diterbitkan Tiga Serangkai keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) meliputi: 1) religius, 2) jujur, 3) disiplin, demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) 4) kerja keras, 5) kreatif, 6) mandiri, 7) Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
59
demokratis, 8) rasa ingin tahu, 9) semangat kebangsaan, 10) cinta tanah air, 12) menghargai prestasi, 13) bersahabat atau komunikatif, 14) gemar membaca, 15) peduli sosial, 16) peduli lingkungan dan 17) tanggung jawab. Kutipan-kutipan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam buku bahasa Jawa yang diterbitkan oleh Yudistira, Erlangga, dan Tiga serangkai sebagai berikut. 1. Nilai Religius Nilai religius dapat diartikan sebagai sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Salah satu indikator nilai religius adalah mengagumi kebesaran Tuhan karena adanya agama yang menjadi sumber keteraturan hidup masyarakat. Contoh data yang mangandung nilai-nilai religius tampak sebagai berikut (1) . . . Sapi nyenyuwun marang Sing Mahakuwasa. “Duh Allah, paringana keslametan saking bebaya.” Sapi banjur diparingi kekuwatan ngalahake Si Baya. (Trampil Basa Jawa kelas II hal. 4) ... Sapi meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, “Duh Allah, berikanlah keselamatan dari bahaya.” Sapi kemudian diberi
kekuatan untuk mengallahkan buaya. Data (1) merupakan penggalan kalimat yang mengandung nilai religius. 60
Pada data (1) di atas merupakan penggalan kalimat yang terdapat dalam bacaan berjudul “Ora Ngerti Kabecikan”. Bacaan tersebut menggambarkan cerita buaya yang tidak tahu berbalas budi yang pada akhirnya akan memakan sapi yang telah menolongnya. Dalam keadaan tersebut menunjukkan nilai religious yang tergambar pada penggalan kalimat “Sapi nyenyuwun marang Sing Mahakuwasa. “Duh Allah, paringana keslametan saking bebaya.” Sapi banjur diparingi kekuwatan ngalahake Si Baya.” Penggalan kalimat tersebut menunjukkan kepasrahan Sapi dan memohon bantuan Tuhan untuk menghadapi Buaya kemudian Sapi diberi kekuatan untuk mengalahkan Buaya 2. Nilai Jujur Nilai Jujur dapat diartikan sebagai perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Berikut akan dipaparkan nilai jujur dalam bukuRemen Basa Jawi terbitan Erlangga. (2) “Boten saget dhateng nderek latihan Pramuka amargi kula kedah momong adhi kula. Salajengipun kula nyuwun ijin awit karepotan kula menika. Makaten atur lan panyuwun kula, mugi kakak Pembina paring ijin dhumateng kula. Semanten, nuwun.” (Remen Basa JawiSD/MI Kelas V: 25). “Tidak bisa datang ikut latihan Pramuka karena saya harus mengasuh adik saya. Selanjutnya saya meminta izin sejak kesibukan saya itu.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
Demikian surat dan permohonan saya, semoga kakak Pembina memberikan izin kepada saya. Sekian dan terima kasih.” Nilai pendidikan karakter jujur yang terdapat pada kutipan tersebut (data 2) yaitu adanya rasa jujur bahwa tidak bisa ikut latihan Pramuka karena sedang mengasuh adiknya dan membuat surat izin untuk ditujukan kepada kakak Pembina agar diberikan izin. 3. Nilai Toleransi Toleransi dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Salah satu indikator dari nilai toleransi yaitu menghormati orang lain yang berbeda adat istiadat. Berikut akan dipaparkan nilai toleransi yang ada pada buku terbitan Yudhistira. (3) ‘Sinambi mlaku bapakne Bima paring pitutur, “Wong mlaku kuwi kudu nggateake marang keslametane dhewe lan keslametane wong liyo”. Mula sanadyan mlaku uga nganggo unggah-ungguh lan tata krama’. (Sinau Basa Jawa Kelas V: 16). “Sambil berjalan ayah Bima memberikan nasihat, “Ketika berjalan itu harus memperhatikan keselamatannya sendiri dan orang lain. Jadi walaupun berjalan harus memperhatikan aturan dan tata kramanya”. Data (3) memberikan pelajaran bahwa ketika berjalan tidak hanya memperhatikan keselamatan dirinya sendiri, tetapi juga harus memperhatikan keselamatan orang lain. Di sini anak diajak untuk bertoleransi terhadap orang
lain sehingga ketika mereka berjalan tidak semau mereka sendiri. Misalnya berjalan sambil bergurau atau berjalan berjajar leih dari tiga orang. Walaupun mereka berjalan, namun orang tersebut juga harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memakai jalan itu (toleransi berlalu lintas di jalan). 4. Nilai Disiplin Disiplin dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Data yang mengandung nilai disiplin tampak pada kalimatkalimat berikut. (4) “Jam setengah pitu luwih sithik, murid-murid wis padha tekan sekolahan. Bu Dewi nembe rawuh. Ing regol sekolahan murid-murid padha uluk salam. Kepriye carane uluk salam?” (Sinau Basa Jawa Kelas 2: 15). “Jam setengah tujuh. Muridmurid sudah sampai di sekolah. Bu Dewi baru saja sampai. Di depan gerbang sekolah, muridmurid memberikan salam kepada guru mereka. Bagaimana caramu memberikan salam?” Data (4) di atas merupakan salah satu kalimat yang mengandung nilai disiplin. Siswa sudah datang di sekolah sebelum bel masuk yaitu pukul 07.00. salah satu perilaku disiplin adalah datang di sekolah tepat waktu atau bisa juga sebelum bel masuk berbunyi. 5. Nilai Kerja Kelas Nilai kerja keras merupakan perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas, dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
61
baiknya. Salah satu indikator nilai kerja keras yaitu tidak putus asa dalam menghadapi kesulitan. Contoh data kalimat yang mangandung nilai-nilai kerja keras sebagai berikut. (5) . . . Panase srengenge ora dakgape Nganti sirah rasane meh pecah Rina wengi adus kringet ngulir budi lurus rezeki Amrih gegayuhan ben bisa dadi kanyatan Pitung ketiga daklakoni kanthi narima Urip kang sarwa prasaja (Trampil Basa Jawa kelas V hal. 28) Data (5) merupakan penggalan puisi yang berjudul “Gubug Sajroni Angen”. Penggalan puisi tersebut berisi usaha kerja keras untuk menggapai cita-cita dan harapan. Walaupun harus berpanaspanasan, berpusing-pusing, serta bermandikan keringat semua dilakukan demi menggapai keinginan, cita-cita, dan harapan. Secara jelas diksi kata yang digunakan sudah mampu menunjukkan sikap kerja keras. 6. Nilai Kreatif Nilai kreatif dapat mengandung makna berpikir dan melakukan sesuatu yang menghasilkan cara atau hasil baru dari yang telah dimilikinya. Salah satu indikator dari nilai kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu yang menghasilkan cara. Berikut akan dipaparkan beberapa nilai kreatif yang terdapat dalam buku Yudhistira. (6) “Siwi, Tini, Lia, lan Tari dolanan ing tritikan omah. Bocah papat padha mangan sawo. Kecike pada dilumpukke. Disimpen 62
kanggo dolanan dakon. Nanging saiki arep dienggo dolanan cublak-cublak suweng dhisik. Siwi lan Tini pingsut. Lia kalah”. (Sinau Basa Jawa Kelas II: 33) “Siwi, Tini, Lia, dan Tari bermain di samping rumah. Keempat anak itu sedang makan sawo. Bijinya dikumpulkan. Disimpan untuk bermain dakon. Namun sekarang mau digunakan untuk bermain cublak-cublak suweng terlebih dahulu. Siwi dan Tini suit, Siwi yang kalah”. Data (6) tersebut mengandung nilai karakter kreatif. Dikatakan demikian karena sebelum digunakan untuk bermain dakon, sebelumnya biji sawo tersebut digunakan untuk bermain cublak-cublak suweng. Perbuatan ini kreatif karena pemanfaatan biji sawo untuk dua permainan sekaligus. 7. Nilai Mandiri Deskripsi dari nilai mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaiakan tugas-tugas. Salah satu indikator dari nilai mandiri yaitu tidak mudah tergantung pada orang lain. Berikut akan dipaparkan nilai mandiri yang ada pada buku Yudhistira. (7) “Dina Minggu Bima prei sekolah. Bima karo Siwi menyang Pasar. Bima arep tuku winih tomat. Siwi arep tuku winih lombok”. (Sinau Basa Jawa Kelas II: 53) “Hari Minggu saat libur sekolah. Bima dan Siwi pergi ke pasar. Bima mau beli bibit tomat. Siwi
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
akan membeli bibit lombok.” Kalimat pada data (7) di atas menunjukkan ada nilai mandiri pada kalimat Bima dan Siwi pergi ke pasar. Dikatakan mandiri karena Bima dan Siwi pergi sendiri tanpa diantar atau disuruh oleh kedua orang tuanya. Jika anak yang tidak mandiri akan meminta orang tua atau kakak mereka untuk menemani ke pasar. Kalimat pada data (7) tersebut secara implisit akan mengajarkan kepada anak didik agar mereka berperilaku mandiri selama pekerjaan tersebut mampu dilakukan sendiri. 8. Nilai Demokratis Nilai demokratis dapat dideskripsikan sebagai cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dengan orang lain. Salah satu indikator nilai demokratis adalah tidak membedakan hak dan kewajiban orang lain. Contoh data kalimat yang mangandung nilai-nilai demokratis sebagai berikut. (8) . . . Umpamane ana bocah cacah papat sing ameh dolanan, sawise nglumpuk kabeh, banjur nemtokake sapa sing dadi si embok utawa sing mimpin dolanan. Sawuse disarujuki, kabeh banjur hompipah kanggo nemtokake sing bakal laku lan sing dadi. (Trampil Basa Jawa kelas V hal. 53) ... Seandainya ada anak berjumlah empat yang akan bermain, setelah berkumpul semua, kemudian menentukan siapa yang akan menjadi Si Embok atau yang memimpin
permainan. Setelah disepakati, kemudian semua hompipah untuk menentukan siapa yang akan laku dan yang dadi. Data (8) mengandung nilai demokratis dan terletak pada bacaan berjudul “Cublak-Cublak Sueng Pancen Gayeng”. Pada data tersebut menunjukkan sikap demokratis dalam permainan cublak-cublak suweng. Sebelum memulai permainan saling bersepakat memilih siapa yang akan menjadi pemimpin permainan. Selain itu untuk menentukan hak dan kewajiban memulai permainan dan posisi pemain dalam permainan dilakukan hompipah. Aktifitas dalam permainan tersebut menunjukkan sikap demostrasi yang saling menghargai satu sama lain baik itu menghargai hak maupun kewajiban masing-masing dalam permainan Cublakcublak Suweng. 9. Nilai Rasa Ingin Tahu Rasa ingin tahu dapat dideskripsikan sebagai sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar. Salah satu indikator dari nilai rasa ingin tahu yaitu bertanya kepada guru atau orang lain tentang suatu gejala alam yang baru terjadi. Berikut akan dipaparkan beberapa kutipan yang menunjukkan nilai rasa ingin tahu. (9) “Pak Umar: “Menawi kita nderek transmigrasi lajeng dhateng pundi, Pak?” Pak Madi: “Pamerentah punika sampun netepaken dhaerah tujuan transmigrasi. Saget dhatengSumatra, Kalimantan, Sulawesi, punapa dhateng Papua.”
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
63
“. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..” Pak Kades: “Lajeng kados pundi caranipun ndherek transmigrasi punika, Pak?”.” (Remen Basa Jawi SD/MI Kelas V: 7). “Pak Umar: “Barang kali kita ikut transmigrasi harus datang kemana, Pak?” Pak Madi: “Pemerintah sudah menetapkan daerah tujuan transmigrasi. Bisa datang ke Sumatra, Kalimantan, atau ke Papua.” “........................ .” Pak Kades: “Kemudian bagaimana caranya ikut transmigrasi itu, Pak?” Kutipan tersebut (data 9) menjelaskan informasi tentang transmigrasi, sehingga siswa mengetahui tentang trasmigrasi. Percakapan tersebut mejelaskan bahwa Pak Umar menanyakan kalau ingin ikut transmigrasi harus datang kemana?. Kemudian dijelaskan oleh Pak Madi bahwa pemerintah sudah menetapkan daerah tujuan transmigrasi yaitu bisa datang ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi atau ke Papua. Sementara Pak Kades menanyakan tentang caranya untuk ikut trasmigrasi. Dengan adanya informasi tentang transmigrasi melalui cerita tokoh tersebut maka siswa menjadi tahu tentang trasmigrasi. 10. Nilai Semangat Kebangsaan Semangat kebangsaan dapat diartikan sebagai cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri sendiri dan 64
kelompoknya. Salah satu indikator dari nilai semangat kebangsaan yaitu membela negara dari berbagai ancaman yang muncul. Nilai semangat kebangsaan yang ada pada buku terbitan Erlangga adalah sebagai berikut. (10) “Wasana mugi keparenga ndumugekaken lelenggahan kanthi mardikaning penggalih. Mardika Indonesia! Sukses pentas seni SD Maju Makmur!”. (Remen Basa Jawi SD/MI Kelas V: 34). “Akhirnya semoga berkenan duduk dengan nyaman sampai selesainya acara. Indonesia merdeka! Sukses pentas seni SD Maju Makmur!”. Kutipan (data 10) tersebut menunjukkan adanya semangat kemerdekaan. Yaitu mardika Indonesia. Dan sukses pentas seni SD Maju Makmur. Kutipan tersebut menunjukkan bawah sambutan ketua panitia pentas seni bersemangat dan berjiwa semangat kebangsaan. 11. Nilai Cinta Tanah Air Cinta tanah air dapat dideskripsikan sebagai cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Salah satu indikator dari nilai cinta tanah air adalah menyenangi keberagaman budaya dan seni di Indonesia. Berikut akan dipaparkan yang menunjukkan nilai cinta tanah air yang terdapat pada buku Sinau Basa Jawa terbitan Yudhistira. (11) “Gunggunge paguyuban karawitan bocah sing digelar ana 5 paguyuban saka mancanegara lan 5 paguyuban
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
saka Indonesia. Mungguh wigatine pagelaran karawitan bocah, amarga bocah-bocah kuwi sing bakal nggenteni seniman-seniman karawitan tuwa mengkonone. Mula kudu digulawetah lan diwenehi kalodhangan kiprah wiwit cilik”. (Sinau Basa Jawa Kelas V : 11) “Layaknya perkumpulan karawitan anak yang digelar ada 5 perkumpulan dari mancanegara dan 5 perkumpulan dari Indonesia. Tujuan diadakan pagelaran karawitan anak ini karena nantinya anak-anak tersebutlah yang akan menggantikan seniman-seniman dewasa. Oleh karena itu perlu diregenerasi”. Kalimat (11) merupakan salah satu contoh kalimat yang mencerminkan nilai cinta tanah air. Hal itu sesuai dengan indikator cinta tanah air yaitu menyenangi budaya dan seni bangsa. Kalimat (11) memberikan pengertia bahwa anak-anak diperkenalkan dan diajak untuk menyukai karawitan. Sejak kecil mereka dikenalkan dan diajak untuk mencintainya karena merekalah yang nantinya menggantikan para seniman tua. Agar seni karawitan tidak punah. 12. Nilai Menghargai Prestasi Nilai menghargai prestasi dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain. Salah satu indikator dari nilai menghargai prestasi yaitu menghargai hasil kerja atau prestasi orang lain. Berikut akan dipaparkan beberapa data yang ada pada buku Sinau Basa Jawa
Erlangga yang mengandung nilai menghargai prestasi. (12) “Dina Senen, tanggal 24 Agustus 2009, SD Gunungsari ngadakake lomba pidhato. Lomba iku dilaksanakake kanggo mengeti Dina Kamardhikan Indonesia. Lomba iku kanggo kelas 4, 5, lan 6. Saben kelas ngirimke utusan 10 siswa. Jumlahe peserta kabeh ana 30. Temane lomba pidhato iku “Ngormati perjuangan pahlawan bangsa kanthi sinau mempeng.” (Remen Basa Jawi SD/MI Kelas V: 72) “Hari Senin, tanggal 24 Agustus 2009, SD Gunungsari mengadakan lomba pidato. Lomba tersebut dilaksanakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Lomba ini untuk kelas 4, 5, dan 6. Setiap kelas mengirimkan wakil 10 siswa. Jumlah peserta semuanya ada 30. Tema lomba pidato “Menghormati perjungan pahlawan bangsa dengan belajar sungguh-sungguh.” Kutipan pada (data 12) tersebut menunjukkan tentang adanya nilai menghargai prestasi yaitu dengan diadakanya lomba pidato. Pada hari Senin tanggal 24 Agustus 2009, SD Gunungsari mengadakan lomba pidato. Lomba tersebut diadakan untuk memperingati hari kemerdikaan Indonesia. Lomba pidato juga sebagai menggali kemampuan siswa. Lomba tersebut ditujukan untuk kelas 4, 5, dan 6. Setiap kelas mengirimkan perwakilan 10 siswa. Total
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
65
jumlah peserta ada 30. Tema lomba pidato yang digunakan yaitu “Menghormati perjuangan pahlawan bangsa melalui dengan yang sungguhsungguh” 13. Nilai Bersahabat atau Komunikatif Bersahabat atau komunikatif dapat diartikan sebagai tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain. Salah satu indikator dari nilai bersahabat atau komunikatif yaitu bekerja sama dan hidup rukun dengan orang lain. Contoh data kalimat yang mangandung nilai-nilai bersahabat atau komunikatif sebagai berikut. (13) “Yo pra kanca dolanan ing njaba. Padhang mbulan padhange kaya rina. Rembulane angawe-awe.
Ngelingake aja padha turu sore”. (Sinau Basa Jawa Kelas II: 80) Ayo kawan-kawan kita bermain di luar. Bulan purnama bersinar seperti lampu. Bulan yang seakan melambailambai. Mengingatkan kita agar tidak tidur sore hari. Kalimat (13) mengandung nilai bersahabat. Data (13) menceritakan ajakan kepada teman-teman si tokoh untuk bermain di luar. Salah satu indikator bersahabat adalah sikap atau rasa senang bergaul dan bekerja sama dengan orang lain. Hal tersebut secara eksplisit ditunjukkan oleh kalimat (13). 66
14. Nilai Gemar Membaca Gemar membaca dapat diartikan sebagai kebisaaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai macam bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Salah satu indikator dari nilai gemar membaca yaitu membaca buku atau tulisan keilmuan, sastra, seni, budaya, teknologi, dan humaniora. Contoh data kalimat yang mangandung nilai-nilai gemar membaca sebagai berikut. (14) Maca wacan bakal nambahi wawasan lan maneka warna pangarten. Apa maneh Manawa wacan iku ngrembug kegiyatan sing ana gegayutane karo pendhidhikan. Jaman saya maju, teknologi ngrembaka sing ndadekake pagawean sarwa gampang lan cepet. Supaya ora ketinggalan, becik awake dhewe ndadekake kegiyatan maca minangka sawijine kabutuhan urip. (Trampil Basa Jawa kelas V hal. 63) Membaca bacaan akan menambah wawasan dan banyak pengetahuan. Apa lagi ketika bacaan itu membahas kegiatan yang ada hubungannya dengan pendidikan. Jaman semakin maju, teknologi membuat pekerjaan semakin mudah dan cepat. Agar tidak ketinggalan, baiknya kita menjadikan kegiatan membaca menjadi salah satu kebutuhan hidup. Data (14) merupakan materi membaca yang memberikan gambaran bahwa membaca dapat menambah
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
wawasan dan pengetahuan. Selain itu menyebutkan bahwa untuk jaman sekarang kegiatan membaca merupakan kegiatan yang penting untuk dilakukan. 15. Nilai Cinta Damai Nilai cinta damai dapat dideskripsikan sebagai sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Salah satu indikator dari nilai cinta damai adalah tidak mendukung dan ikt serta dengan adanya pertengkaran di sekolah. Berikut ini akan dibahas nilai cinta damai yang ada dalam buku Sinau Basa Jawa terbitan Yudhistira. (15) “Kucing putih kalah. Balunge digawa mlayu kucing ireng. Kucing putih mlayu golek pangan liya. Kucing ireng mlayu tekan pinggir kali”. (Sinau Basa Jawa Kelas II: 5) “Kucing putih kalah Tulang tersebut dibawa lari oleh kucing hitam. Kucing putih pergi mencari makanan yang lain. Kucing hitam lari sampai pinggir sungai”. Kalimat (15) mengandung nilai cinta damai. Dikatakan demikian karena kucing putih tidak mau mencari keributan dengan kucing hitam. Walaupun dalam cerita tersebut dikisahkan kucing hitamlah yang salah. Namun, jika kucing putih melawan kucing hitam maka akan terjadi pertengkaran di antara keduanya. Cerita tersebut secara implisit memberikan pendidikan kepada anak agar mereka mau mengalah dan tidak berebut makanan atau barang dengan teman agar tidak terjadi keributan.
16. Nilai Peduli Sosial Nilai peduli sosial dapat dideskripsikan sebagai sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Salah satu indikator nilai peduli sosial yaitu memberi bantuan bagi orang lain yang membutuhkan. Berikut akan ditampilkan kutipan yang menunjukkan nilai peduli sosial yaitu terdapat pada cerita “Rawa Pening”: (16) “Si Bajang tekan omahe Mbok Randha. Mbok Randha iku uripe rekasa. Sanajan uripe rekasa, Mbok Randha iku luhur budine. Dheweke seneng tetulung marang sapa wae. Mula tekane si Bajang ditampa kanthi becik. Bocah Bajang diwenehi sega (17) lan daging iwak ula. Sawise mangan, Bocah Bajang mau pamitan marang Mbok Randha.” (Remen Basa Jawi SD/MI Kelas V: 68) “Si Bajang tiba di rumahnya Mbok Randha. Mboh Randha hidupnya susah.walaupun hidupnya susah, Mbok Randha berbudi luhur. Mboh Randha suka menolong kepada siapa saja. Maka kedatangan Si Bajang diterima secara baik. Bocah Bajang diberi makan nasi dengan lauk daging ular. Setelah selesai makan, Bocah Bajang ingin pamitan kepada Mbok Randha.” Kutipan pada (data 16) menjelaskan adanya nilai peduli sosial yaitu antara Mbok Randha dengan Bajang. Saat Si Bajang tiba di rumahnya Mbok Randha. Mbok Randha hidupnya susah.walaupun
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
67
hidupnya susah, Mbok Randha berbudi luhur. Mbok Randha suka menolong kepada siapa saja. Maka kedatangan Si Bajang diterima secara baik. Bocah Bajang diberi makan nasi dengan lauk daging ular. Setelah selesai makan, Bocah Bajang ingin pamitan kepada Mbok Randha. Melalui tokoh Si Bajang dan Mbok Randha, penulis menyampaikan kepada siswa agar mempunyai rasa kepedulian sosial dalam keadaan apa pun baik dalam susah maupun senang, dalam susah maupun berlebih. 17. Nilai Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Contoh data kalimat yang mangandung nilai-nilai peduli lingkungan sebagai berikut. (18) . . . Lingkungan sekolahan ditata lan ditanduri wit-witan supaya hawane tetap seger kanggo ambegan. ... (Trampil Basa Jawa kelas II hal. 114) ... Lingkungan sekolah ditata dan ditanami pepohonan agar udaranya tetap segar untuk bernafas. ... Data (17) “Lingkungan sekolahan ditata lan ditanduri wit-witan supaya hawane tetap seger kanggo ambegan.” Menunjukkan kepedulian warga sekolah akan lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah ditata dan ditanami pepohonan sehingga memberikan dampak udara 68
segar dan membuat lingkungan menjadi sehat. 18. Nilai Tanggung Jawab Tanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Berikut akan dipaparkan nilai tanggung jawab pada buku terbitan Yudhistira. (19) “Putrane Pak Budiman loro, Bima lan Siwi. Anggone nggegulang putrane ora mung ing sekolahan wae, nanging saben bubar sekolah diajak menyang sawah. Tujuane supaya padha ngerti olah tetanen, ora boros, lan duwe tanggung jawab marang wong tuwa”. (Sinau Basa Jawa Kelas V: 62) Pak Budiman memiliki dua putra, Bima dan Siwi. Mereka dididik tidak hanya di sekolah, namun di rumah juga demikian. Sepulang sekolah, mereka diajak pergi ke sawah. Tujuannya agar mereka tahu cara bercocok tanam, bisa hidup hemat, dan bertanggung jawab terhadap orang tua. Kalimat (18) mengandung nilai tanggung jawab. Konteks kalimat tersebut menjelaskan bahwa Pak Budiman selalu mendidik putra-putrinya ketika di rumah. Mereka diajarkan bertanggung jawab dengan cara diajak bercocok tanam E. PENUTUP
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa tidak semua nilai-nilai pendidikan karakter menurut Kemendiknas terdapat dalam buku ajar bahasa Jawa. Terdapat perbedaan pula nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam buku ajar bahasa Jawa terbitan Yudistira, Erlangga, dan Tiga Serangkai DAFTAR PUSTAKA Budiarti, Ronita Setya. 2009. Analisis Kualitas Materi Membaca Buku Teks Bahasa Jawa Terbitan Aneka Ilmu. Skripsi. Unnes Haryono. 2011. Sinau Basa Jawa 2 Gagrag Anyar. Yogyakarta: Yudistira Haryono. 2011. Sinau Basa Jawa 5 Gagrag Anyar. Yogyakarta: Yudistira Hidayatullah, Furqon. 2010. Pendidikan Karakter Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: UNS Press Khan, D. Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Barbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi Publishing. Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Mcdaniel, Annete Kusgen. Character Education: Developing Effective Programs. Online.
[email protected] (diunduh 20 Maret 2015).
Muharto, Sam dan Nataatmaja. 2011. Trampil Basa Jawa 2. Solo: Tiga Serangkai Muharto, Sam dan Nataatmaja. 2011. Trampil Basa Jawa 5. Solo: Tiga Serangkai Pusbuk. 2005. Pedoman Penilaian Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas. Tarigan, Henry Guntur, dan Djago Tarigan. 2009. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa. Tim Pena Guru. 2010. Remen Basa Jawi SD/MI Kelas V. Jakarta: Erlangga. Yulianti, Ari. 2010. Kesalahan Ejaan dalam Buku Teks Bahasa Jawa Damar (Dlancang Gladhen lan Materri Ringkes) SMA Semester Genap Kelas XI Terrbitan Pinus Tahun 2010
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
69
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN TEKNIK EFFECTIVE QUESTIONING PADA MATA KULIAH IPA 1 UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI MAHASISWA THE EFFECTIVENESS OF EFFECTIVE QUESTIONING TECHNIQUE IN IPA 1 SUBJECT TO IMPROVE STUDENT HIGH ORDER THINKING SKILLS Ayu Rahayu, Retno Utaminingsih Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT This research aims to determine the effectiveness of effective questioning technique in IPA 1 subject in improving high order thinking skills of students. Besides that, the research aims to determine the improvement of high order thinking skills of students that follow the instruction based on effective questioning technique in IPA 1 subject. The research method used isquasi experimental research with control-group pre-test post-test design. The population of this research is students of Elementary School Teacher Education Department that attends IPA 1 subject in the academic year 2014/2015. Research sample determines by simple random sampling techniques with 50 students in experiment class and 47 students in control class. Technique of data analysis which is used in this research is test of high order thinking skills. Hypothesis testing method used is Mann Whitney test. The result showed that the effective questioning techniqueis effective to improve higher-order thinking skills of students. The improvement of high order thinking skills of students who follow the instruction based on effective questioning technique in IPA 1 subject is 88,03% with the effect size of the use of effective questioning technique in experiment class is 54,47%
Keywords: effective questioning technique, high order thinking skills, IPA 1 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas teknik effective questioning pada mata kuliah IPA 1 dalam meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa. Selain itu penelitian juga bertujuan mengetahui peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa yang mengikuti pembelajaran berbasis teknik effective questioning pada mata kuliah IPA 1. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu dengan rancangan control-group pre-test post-test. Populasi penelitian yaitu mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang mengikuti mata kuliah IPA 1 pada tahun ajaran 2014/2015. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik simple random sampling dengan 50 mahasiswa pada kelas eksperimen dan 47 mahasiswa pada kelas kontrol. Teknik pengumpulan data menggunakan tes keterampilan berpikir tingkat tinggi. Metode pengujian hipotesis yang digunakan adalah uji Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik effective questioning efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa. Peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan teknik effective questioning pada mata kuliah IPA 1 sebesar 88,03% dengan sumbangan efektif penggunaan teknik effective questioning pada kelas eksperimen sebesar 54,47%. 70
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
Kata kunci : teknik effective questioning, keterampilan berpikir tingkat tinggi, IPA 1
A. PENDAHULUAN Proses pembelajaran IPA di perguruan tinggi sebaiknya memiliki karakteristik yang mencerminkan sifat interaktif, holistik, integratif, kontekstual, tematik, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa. Berbagai model pembelajaran dapat di perguruan tinggi misalnya collaborative learning, student group discussion, dan lain sebagainya (Tim Kurikulum dan Pembelajaran, 2014: 53). Pembelajaran di perguruan tinggi seharusnya mampu melibatkan mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan dalam kegiatan berfikir tingkat tinggi (Tim Kurikulum dan Pembelajaran, 2014: 59). Pendidik dapat memfasilitasi pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa melalui penggunaan metode dan teknik pembelajaran yang sesuai. Teknik pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan berfikir mahasiswa salah satunya adalah teknikquestioning. Teknik questioning merupakan pengembangan dari tekniktanya jawab. Proses tanya jawab merupakan bagian pembelajaran yang penting yang memungkinkan pendidik untuk memantau sejauh mana pemahaman dan kompetensi yang dimiliki mahasiswa. Pertanyaan-pertanyaan melibatkan mahasiswa aktif pada pembelajaran dengan cara berpikir dan merespon. Respon mahasiswa terhadap pertanyaan ini akan mengembangkan keterampilan berpikirnya (Chiapetta & Kobala, 2004: 72). Permasalahan yang terjadi adalah teknik tanya jawab yang potensial masih
jarang ditemui dan pendidik lebih banyak menggunakan pertanyaan tertutup yang hanya menstimulasi keterampilan berpikir tingkat rendah (Cooper, 2010: 192). Sangat penting untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan berpikirnya dibandingkan pertanyaan-pertanyaan tertutup yang jawabannya hanya “ya” dan tidak”. Critelli dan Tritapoe (2010: 7) menyatakan bahwa pendidik belum mengimplementasikan teknik questioning. Pendidik masih mengandalkan pertanyaan retorika dan pertanyaan konvergen yang tidak berpengaruh pada partisipasi dan respon peserta didik.Pertanyaan atau tugas yang memicu mahasiswa untuk berpikir analitis, evaluatif, dan kreatif dapat melatih mahasiswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan kreatif.Pendidik dapat melengkapi pembelajarannya dengan teknikbertanya tingkat tinggi (menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi).Berdasarkan hal tersebut diperlukan penelitian tentang teknikquestioning yang efektif untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa khusunya pada mata kuliah IPA. B. KAJIAN TEORI IPA pada hakikatnya merupakan pengumpulan pengetahuan (a body of knowledge), cara atau jalan berpikir (a way of thinking), dan cara untuk penyelidikan (a way of investigating) (Chiapetta & Kobala, 2004: 100).Terdapat tiga komponen dalam batasan tentang IPA, yaitu (1) kumpulan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
71
konsep, prinsip, hukum, dan teori, (2) proses ilmiah dalam mencermati fenomena alam, (3) sikap keteguhan hati, keingintahuan dan ketekunan dalam menyingkap rahasia alam (I Made Alit Mariana, 2009: 19).Tipler (2004: 1-2) menyatakan bahwa “Science is a process of searching for fumdamental and universal principles that govern causes and effects in the universe”. Pembelajaran di perguruan tinggi saat ini diarahkan pada pola pembelajaran berpusat pada mahasiswa (student centered learning). Tiga prinsip yang harus ada dalam pembelajaran berpusat pada mahasiswa yaitu: (1) pengetahuan sebagai satu hal yang belum lengkap, (2) proses belajar sebagai proses untuk merekonstruksi dan mencari pengetahuan yang akan dipelajari, dan (3) proses pembelajaran bukan sebagai proses mengajar yang dapat dilakukan secara klasikal, dan bukan merupakan suatu proses untuk menjalankan instruksi baku yang telah dirancang. Pada pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, dosen bertugas merancang teknik pembelajaran yang mampu memfasilitasi mahasiswa untuk belajar secara aktif (dengan cara mendengar, membaca, menulis, diskusi, dan terlibat dalam pemecahan masalah). Hal yang lebih penting bagi mahasiswa dalam pembelajaran adalah terlibat dalam kegiatan berfikir tingkat tinggi seperti analisis, sintesis, dan evaluasi baik secara individu atau pun kelompok. Kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah proses berpikir yang melibatkan aktivitas mental yang meliputi tingkat berpikir analitis, evaluatif, dan kreatif.
Secara umum, terdapat beberapa aspek yang menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang yaitu kemampuan berpikir kritis, berpikir kreatif, serta memecahkan masalah. Johnson (2007: 185) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah sebuah proses terorganisasi yang memungkinkan siswa mengevaluasi bukti, asumsi, logika, dan bahasa yang mendasari pemikiran orang lain. Kemampuan berpikir kreatif meliputi mengkreasikan, menemukan, berimajinasi, menduga, mendesain, mengajukan alternatif, menciptakan dan menghasilkan sesuatu. Pemecahan masalah yaitu menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang sudah ada untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab atau situasi yang sulit (Omrod, 2009: 393). Keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah kegiatan berpikir yang melibatkan level kognitif tingkatan tinggi dari taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom pada ranah kognitif terdiri dari enam level, yaitu mengerti, memahami, mengaplikasikan, mensintesis, dan mengevaluasi.Anderson (2001) merevisi tingkatan taksonomi ini menjadi mengingat, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.Tipe-tipe pertanyaan sesuai dengan taksonomi Bloom yang direvisi ditampilkan pada tabel 1(Martin et al, 2005: 238).
72 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
Tabel 1 Kategori Pertanyaan Berdasarkan Tingkatan Taksonomi Bloom yang Direvisi Tingkatan Kategori Contoh Taksonomi Keterangan Pertanyaan Pertanyaan Bloom Mencipta Mencipta Buatlah… Membuat hal/produk baru Mengevaluas Mengevaluasi Manakah yang Penalaran i anda pilih.. ? Memberi alasan (justifying) Apa alasan anda Memilih, menyeleksi, mengevaluasi, menilai, mengkaji, untuk …? mempertahankan, membenarkan Membentuk kesimpulan dan generalisasi Divergen Mensintesis Pertanyaan terbuka Apa yang Anda Menginferensi, pikirkan.. ? Mengkomunikasikan ide Apa yang dapat Hipotesis dan percobaan anda lakukan …? Konvergen
Menerapkan dan Menganalisis
Pertanyaan tertutup Menggunakan logika, membandingkan menyatakan hubungan Menerapkan solusi, menghitung
Memori kognitif
Jika “A”, apa yang terjadi dengan “B”..? Apa hubungan antara “X” dan “Y” ? Apakah defiinisi dari…? Apa saja langkahlangkah…? Siapa yang menemukan …?
Mengerti dan Pertanyaan Manajerial dan memahami Retoris Memfokuskan perhatian sederhana merespon “ya” “tidak” Informasi Mengulangi, memberi nama, mengamati, membandingkan Teknik questioning berkaitan adalah aktivitas tanya jawab guna dengan pertanyaan yang diberikan mengembangkan kapasitas kognitif pendidik kepada mahasiswa. Pertanyaan mahasiswa lebih khusus aspek pendidik akan mempengaruhi mahasiswa keterampilan berpikir tingkat tinggi. dalam tiga hal yaitu sikap, pemikiran, dan Penggunaan teknikquestioning prestasi. Questioning dalam konteks selain memperhatikan tipe pertanyaan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang akan disampaikan juga harus Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
73
memperhatikan penggunaan “waktu tunggu”. Gambar 1 menunjukkan alur penggunaan teknik questioning. Dalam teknik effectivequestioning, pendidik memberikan pertanyaan-pertanyaan efektif agar mahasiswa terlibat aktif memperoleh keterampilannya. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam teknikeffective questioning yaitu sebagai berikut (Martinet al, 2005: 244): (1) merencanakan pertanyaan yang spesifik, (2) memberikan pertanyaan yang sederhana, singkat, dan langsung jika memungkinkan, (3) memberikan pertanyaan sebelum memilih siapa yang akan menjawab, (4) mempraktekkan menggunakan”waktu tunggu”, (5) mendengarkan baik-baik respon mahasiswa, (6) menggunakan pertanyaan yang dapat memfasilitasi perubahan konsep kearah lebih baik, (7) bicara sedikit dan banyak bertanya, namun pertanyaan yang disampaikan harus bermakna, (8) menggunakan pertanyaan yang lengkap dan kompleks, (9) mencoba semua jenis pertanyaan yang mendukung semua mahasiswa, (10) memastikan bahwa mahasiswa memberikan jawaban sesuai dengan tingkat pertanyaan.
Pendidik memberikan pertanyaan
Peserta didik menerima pertanyaan
Peserta didik memberikan kode yang artinya: “apa yang saya ketahui?” atau “bagaimana saya mengatakannya?” Pesrta didikmemberikan tanggapan
Peserta didik tahu
Peserta didik tidak “Waktu tunggutahutahu 1”
“Waktu tunggu 1”
Jawaban tepat
Jawaban kurang tepat
Jawaban salah
“Waktu tunggu 2”
Pendidik merespon Menerima, memberikan saran, memberikan pujian, tidak ada respon
Gambar 1.Alur questioning.
penggunaan
teknik
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitif dengan metode quasi eksperimen desain Control-Group Pretest Post-Test Design.Penelitian ini dilakukan di prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) pada bulan April sampai dengan November 2015. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa PGSD FKIP UST semester dua yang terdiri dari sebelas kelas. Sampel dalam penelitian ini adalah dua kelas dari sebelas kelas pada kelas populasi yang diambil secara acak. Teknik dan instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian iniadalah tes keterampilan berpikir tingkat tinggi dan instrumen tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar soal dengan bentuk tes essay. Teknik analisis data terhadap data hasil tes keterampilan berpikir tingkat tinggimahasiswa terdiri dari tiga tahapan
74 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
yaitu tahap deskripsi data, tahap uji Uji yang digunakan adalah uji t pihak persyaratan analisis, dan tahap pengujian kanan. Analisis data mahasiswa mengenai hipotesis. peningkatan keterampilan berpikir tingkat Tahap deskripsi data dilakukan tinggimahasiswa juga dilakukan dengan dengan membuat tabulasi data untuk tiap gain score.Selain itu, untuk menilai variabel yang ada, kemudian seberapa besar perbedaan peningkatan mengurutkan data secara interval serta skor pretest ke skor posttest pada kelas mencari mean dan standar deviasi. Uji eksperimen dan kelas kontrol dilakukan persyaratan analisis yang akan dilakukan dengan menggunakan perhitungan effect adalah uji normalitas dan uji size (ES) homogenitas. Untuk penelitian ini uji Rangkuman deskripsi data normalitas yang digunakan adalah uji mengenai ketercapaian keterampilan Kolmogorov-Smirnov. Uji homogenitas berpikir tingkat tinggi mahasiswa pada varians menggunakan uji Levene. Untuk nilai pretest, posttest dan gain scoredapat lebih memudahkan perhitungan, analisis dilihat pada Tabel 2. uji normalitas dan uji homogenitas akan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16.0 For Windows. Tabel2. Perbandingan Hasil Pretest, Posttest, dan Gain Score Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Aspek Penilaian
Nilai Rata-rata (mean) Nilai Minimum Nilai Maksimum Median Standar deviasi
Pre test 2,59 0,33 4,00 2,67 0,93
Post test 4,87 2,33 7,33 4,67 1,15
Uji normalitas yang digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov.Uji homogenitas varians menggunakan uji Levene. Penelitian ini menggunakan nilai α = 0,05.Rangkuman uji normalitas ditunjukkan pada Tabel 3. Rangkuman uji homogenitas ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel3. Rangkuman uji normalitas gain Kelas
Signifikans Kondisi i
Eksperime n
0,042
Sig < TidakNorm 0,05 al
Kontrol
0,200
Sig > Normal 0,05
Keterangan
Kelas Kontrol
Gain Score 2,28 -0,33 4,67 2,33 1,32
Pre test 3,03 0,33 4,67 3,00 0,93
Post test 4,67 2,67 6,67 4,67 0,89
Gain Score 1,61 -0,67 5,00 1,33 1,23
Tabel4. Rangkuman uji homogenitas gain Variabel
Signifikans Kondis Keteranga i i n
Keterampila n berpikir 0,410 tingkat tinggi
Sig > Normal 0,05
Karena uji prasyarat analisis tidak terpenuhi maka uji beda menggunakan analisis nonparamterik yang setara dengan uji t yaitu uji Mann Whitney. Hasil perhitungan ujiMann Whitneyuntuk
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
75
kedua kelompok ditinjau dari ketercapaian keterampilan proses dapat diringkas dalam Tabel 5. Tabel 5. Rangkuman uji Man Whitney untuk kedua kelompok ditinjau dari ketercapaian keterampilan berpikir tingkat tinggi Variabel
Signifikansi (Asymp. Keteranga Kondisi Sig. (2n tailed))
Keterampilan berpikir 0,009 tingkat tinggi
Sig < signifikan 0,05
Hasil uji beda memperlihatkan bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi signfikansinya 0,009. Karena harga signifikansinya lebih kecil daripada 0,05, maka H0 ditolak. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada ketercapaian keterampilan berpikir tingkat tinggimahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan teknik pembelajaran kovensional dan teknik effective questioning. Untuk nilai gain score dari hasil perhitungan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol di dapatkan persentase nilai seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase Gain Score Kelompok Eksperimen
Kontrol
Aspek Rata-rata pretest Rata-rata posttest Gain score % Gain score Rata-rata pretest Rata-rata posttest Gain score % Gain score
Nilai 2,59 4,87 2,28 88,03% 3,03 4,67 1,61 53,14%
Pada perhitungan dengan menggunakan gain score didapatkan
persentase gainscore pada kelas eksperimen sebesar 88,03% dan untuk kelas kontrol sebesar 53,14%. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pencapaian peningkatan keterampilanberpikir tingkat tinggi mahasiswa kelas eksperimen lebih besar dibandingkan pencapaian peningkatan keterampilan tinggi mahasiswa kelas kontrol. Untuk nilai effect size dari hasil perhitungan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol diyunjukkan pada Tabel 7. Nilai Effect Size Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Aspek Gain score kelas eksperimen Gain scorekelas kontrol Standar deviasi kelas kontrol Effect Size
Nilai 2,28 1,61 1,23 0,54
Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai effect sizeyaitu 0,5447. Hal tersebut berarti bahwa sumbangan efektif penggunaan teknik effective questioning pada kelas eksperimen sebesar 54,47%. Karena nilai effect sizelebih dari 0,5 maka dapat disimpulkan bahwa teknik effective questioning efektif dalam meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa. Teknik effective questioning lebih efektif digunakan pada mata kuliah IPA1 untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa daripada menggunakan teknik konvensional karena dalam teknik effective questioning mahasiswa terlibat aktif memperoleh keterampilannya dalam proses tanya jawab dan diskusi yang dilaksanakan oleh dosen dalam proses pembelajaran. Dengan teknik effective questioning mahasiswa mendapatkan pertanyaan-
76 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
pertanyaan atau tugas tentang menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi suatu materi pembelajaran yang memicu mahasiswa untuk berpikir analitis, evaluatif, dan kreatif yang dapat melatih mahasiswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan kreatif yang pada akhirnya menjadikan mahasiswa terlibat aktif pada proses pembelajaran dengan cara berpikir dan merespon. Respon mahasiswa terhadap pertanyaan inilah yang akan mengembangkan keterampilan berpikir. C. KESIMPULAN Kesimpulan penelitian sampai dengan tahap analisis data uji prasyarat yaitu sebagai berikut. a. Teknik effective questioning efektif digunakan pada mata kuliah IPA1untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa. b. Peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan teknikeffective questioning pada mata kuliah IPA1 sebesar 88,03% dengan sumbangan efektif penggunaan teknik effective questioning sebesar 54,47%. Dalam rangka turut menyumbangkan pemikiran yang berkenaan dengan peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa disarankan hal-hal sebagai berikut. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikembangkan bahan ajardan media pembelajaran mata kuliah IPA berbasis tekdik effective questioning.
Perlunya pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi mahasiswa melalui teknik pembelajaran yang lain DAFTAR PUSTAKA Anderson, L. W. & Krathwohl, D.R.. 2001. A taxonomy for learning, teaching, and assessing. New York: Longman. Chiappetta, E.,L. & Koballa Jr, T.R,. 2010. Science Instruction in The Middle and Secondary Schools Developing Fundamental Knowledge and Skills. Boston: Allyn & Bacon. Cooper, R,. 2010. Those Who Can Teach (12th ed). Massachusetts: Wadsworth Cengage Learning. Critelli, Alyssa dan Tritapoe, Brittany. 2010. Effective Questioning Techniques to Increase Class Participation. Department of Teacher Education Shippensburg University. eJournal of Student Research Volume 2 Number 1 I Made Alit Mariana. 2009. Hakikat IPA dan Pendidikan IPA. Jakarta: PPPPTK Untuk Program BERMUTU. Johnson, E.B,. 2007. Contextual Teaching and Learning, Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna (diterjemahkan oleh Ibnu Setiawan). Bandung: Penerbit MLC. Martin, R.. 2005. Science for All. New York: Alyn and Bacon. Ormrod, J.E,. 2009. Education Psychology: Developing Learners. Ohio: Carlisle
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
77
Communication, Ltd. Tim Kurikulum dan Pembelajaran. 2014. Buku Kurikulum Pendidikan Tinggi. Jakarta: Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti Kemdikbud Tipler, P,. 2004. Physics for Scientist and Engineer (5thed). New York:
WH Freeman and Company.
78 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
ANALISIS PREFERENSI MAHASISWA UST TINGKAT AKHIR TERHADAP PEKERJAAN DENGAN PENERAPAN CONJOINT ANALYSIS ANALYSIS PREFERENCES UST STUDENTS TO WORK WITH END OF APPLICATION ANALYSIS CONJOINT Ag. Eko Susetyo Fakultas Teknik Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
[email protected] Abstract Conjoint analysis is a technique that is specifically used to understand what are costumers’ wants and preferences for certain products or services by measuring their level of usage and relative importance value. The objective of this research is to study the conjoint analysis and apply it in the full profile method in order to identify the preferences of the last semester students of Sarjanawiyata Tamansiswa University (UST) in determining their jobs. From the usage level value and relative importance value of an attribute and the gained level, it can be seen what attribute that strongly influences the students in determining their jobs. The full profile method shows that the most influential attribute in determining students’ preferences for their jobs is the first salary. The second attribute is the relevance between students’ educational background and their jobs. Meanwhile, the last choice of the students in determining their jobs is the attribute related to the field of job and the image of the work place. Keywords: preference, conjoint analysis, full profile method, kinds of job Analisis konjoin adalah suatu teknik yang secara spesifik digunakan untuk memahami bagaimana keinginan atau preferensi konsumen terhadap suatu produk atau jasa dengan mengukur tingkat kegunaan dan nilai kepentingan relatif berbagai atribut suatu produk atau jasa. Penelitian ini bertujuan mengkaji analisis konjoin dan menerapkannya pada metode full profile dalam mengetahui preferensi mahasiswa tingkat akhir UST dalam memilih pekerjaan. Nilai Kegunaan Taraf (NKT) dan Nilai Relatif penting (NRP) dari atribut dan taraf yang diperoleh, dapat diketahui atribut mana saja yang paling mempengaruhi mahasiswa dalam memilih pekerjaan. metode full profile memberikan hasil bahwa atribut yang paling berpengaruh dalam menentukan preferensi mahasiswa terhadap pekerjaan adalah gaji pertama. Atribut kedua adalah kesesuaian latar belakang pendidikan mereka terhadap pekerjaan. Atribut pilihan terakhir mahasiswa dalam memilih pekerjaan adalah atribut bidang kerja dan image tempat kerja. Kata Kunci : Preferensi, Analisis Konjoin full profile, jenis pekerjaan
A. PENDAHULUAN Peranan pekerjaan sangat besar dalam memenuhi kebutuhan hidup seharihari, terutama kebutuhan ekonomi, sosial, dan psikologis. Secara ekonomi, orang
yang bekerja akan memperoleh penghasilan yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Secara sosial orang yang memiliki pekerjaan akan lebih dihargai oleh masyarakat dari pada orang yang
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
79
menganggur. Lebih jauh lagi, orang yang memiliki pekerjaan secara psikologis akan meningkatkan harga diri dan kompetensi diri. Pemilihan dan persiapan diri untuk menjalankan suatu pekerjaan atau karir merupakan salah satu tugas penting dalam tahap perkembangannya, sebab karir atau pekerjaan seseorang menentukan berbagai hal dalam kehidupan. Bahwa untuk dapat memilih dan merencanakan karir yang tepat, dibutuhkan kematangan karir yaitu pengetahuan akan diri, pengetahuan tentang pekerjaan, kemampuan memilih pekerjaan, dan kemampuan merencanakan langkah-langkah menuju karir yang diharapkan Mahasiswa berkisar antara usia 1821 tahun.Masa ini dapat digolongkan sebagai masa transisi. Oleh karena itu, mahasiswa harus memilih bidang pekerjaan yang akan ditekuni. Jenis pekerjaan yang akan ditekuni menyebabkan mahasiswa harus menyelesaikan pendidikannya sampai taraf yang dibutuhkan oleh bidang pekerjaan yang diinginkan. Mahasiswa tingkat akhir merupakan calon sarjana yang diharapkan telah memilki arah tujuannya dalam menjalankan tugas perkembangan berikutnya dalam hidup yaitu dapat bekerja pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya Saat ini belum ada perhatian secara maksimal dari Perguruan Tinggi terkait karir mahasiswanya ketika sudah lulus. Hal ini terlihat dari beberapa mahasiswa yng masih mampu secara pasti menetukan arah karirnya setelah lulus dari perguruan tinggi. Untuk mengetahui perkembangan mahasiswa terkait minat
atau pilihan setelah lulus dari kuliah maka diperlukan preferensi mahasiswa terhadap pekerjaan yang diinginkan setelah selesai studinya. Analisis konjoin adalah suatu teknik yang secara spesifik digunakan untuk memahami bagaimana keinginan atau preferensi konsumen. Analisis ini banyak digunakan oleh perusahaan riset, namun seiring perkembangan zaman, analisis konjoin dapat pula diterapkan pada bidang-bidang lainnya. Metode rancangan full profile merupakan salah satu dari beberapa metode dalam analisis konjoin yang dapat digunakan untuk melihat preferensi mahasiswa terhadap pekerjaan. Penerapan metode inifull profile dilakukan untuk melihat atribut mana saja yang dinilai paling mempengaruhi mahasiswa dalam memilih pekerjaan. Atas dasar pertimbangan diatas maka perlunya adanya penelitian terkait preferensi mahasiswa khussnya tingkat ahkir terhadap pekerjaan yang dipilih nantinya setelah lulus... 1. PERUMUSAN MASALAH a. Bagaimana penerapan analisis konjoin pada metode full profile ? b. Berapa nilai kegunaan taraf-taraf atribut dan mengidentifikasi urutan kepentingan atribut atribut yangmempengaruhi mahasiswa dalam memilih pekerjaan ? 2. TUJUAN PENELITIAN a. Menerapkan analisis konjoin pada metode full profile b. Menentukan nilai kegunaan taraf-taraf atribut dan mengidentifikasi urutan kepentingan atribut-atribut yang mempengaruhi mahasiswa dalam
80 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
memilih pekerjaan 3. BATASAN MASALAH a. Mahasiswa yang menjadi responden adalah mahasiswa tingkat ahkir UST dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang telah mengikuti KKN pada semester genap TA 2012/2013 dan semester gasal 2013/2014 b. Dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui preferensi atau ketertarikan mahasiswa terhadap 4 atribut pekerjaan yaitu: bidang kerja, Kesesuaian latar belakang pendidikan terhadap bidang kerja, image tempat kerja, dan gaji pertama B. LANDASAN TEORI 1. Pengertian Pekerjaan, Profesi dan Karir Pekerjaan ialah sekumpulan kedudukan (posisi) yang memiliki persamaan kewajiban atau tugas-tugas pokoknya. Dalam kegiatan analisis jabatan, satu pekeIjaan dapat diduduki oleh satu orang, atau beberapa orang yang tersebar di berbagai tempat. Profesi adalah pekerjaan atau bidang pekerjaan yang menuntut pendidikan keahlihan intelektual tingkat tinggi dan tanggung jawab etis yang mandiri prakteknya. Pengertian Profesi Good’s Dictionary of Education mendefinisikan profesi sebagai “suatu pekerjaan yang meminta persiapan spesialisasi yang relatif lama di Perguruan Tinggi dan dikuasai oleh suatu kode etik yang khusus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (seperti ketrampilan,
kejuruan dan sebagainya) tertentu. Dalam pengertian ini, dapat dipertegas bahwa profesi merupakan pekerjaan yang harus dikerjakan dengan bermodal keahlian, ketrampilan dan spesialisasi tertentu. Jika selama ini profesi hanya dimaknai sekedar “pekerjaan”, sementara substansi dibalik makna itu tidak terpaut dengan persyaratan, maka profesi tidak bisa dipakai di dalam semua pekerjaan Karir adalah rangkaian sikap dan perilaku yang berkaitan dengan pengalaman dan aktivitas kerja selama rentang waktu kehidupan seseorang dan rangkaian aktivitas kerja yang terus berkelanjutan 2. Pengertian Preferensi Preferensi berasal dari Bahasa Inggris, prefer yang berarti suka atau melebihkan. Sedangkan preferensi bisa diartikan pilihan. Preferensi diartikan sebagai hak untuk didahulukan dan diutamakan daripada yang lain, prioritas. Atau diartikan sebagai pilihan; kecenderungan; kesukaan (Kuhfeld, F.W. 1997) Teori preferensi konsumen dalam hal ini mahasiswa dianggap sebagai konsumen) menjelaskan bahwa, seorang konsumen diasumsikan mampu semua jenis komoditi yang ia hadapi, komoditi mana yang ia pilih, komoditi mana yang lebih baik dipilih, komoditi mana yang sama saja bila dipilih dengan komoditi lainnya. Atau dengan kata lain dalam teori preferensi konsumen diasumsikan setiap konsumen mampu membuat daftar urutan atau rank preferensi atas semua komoditi yang dihadapinya. Perlu diperhatikan preferensi seorang konsumen akan berbeda dengan preferensi konsumen lainnya. Atau dengan kata lain, preferensi konsumen bersifat subyektif.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
81
3. Analisis Konjoin Analisis konjoin adalah suatu teknik yang secara spesifik digunakan untuk memahami bagaimana keinginan atau preferensi konsumen terhadap suatu produk atau jasa dengan mengukur tingkat kegunaan dan nilai kepentingan relatif berbagai atribut suatu produk (Hair dkk,2006). Analisis ini sangat berguna untuk membantu merancang karakteristik produk baru, membuat konsep produk baru, membantu menentukan tingkat harga serta memprediksi tingkat penjualan. (Kuhfeld, F.W. 1997). Analisis konjoin adalah teknik multivariat yang dikembangkan secara khusus untuk mengetahui bagaimana perkembangan preferensi konsumen terhadap beberapa macam barang seperti produk, jasa atau ide (Hair dkk, 2006). Analisis ini tergolong metode tidak langsung (indirect method), kesimpulan diambil berdasarkan respons subjek terhadap perubahan sejumlah atribut (Simamora, 2005). Analisis konjoin merupakan analisis yang unik diantara metode-metode dalam analisis multivariat, karena peneliti membangun stimuli (kombinasi level atribut) yang kemudian diperkenalkan kepada responden dengan memberikan evaluasi keseluruhan mereka dengan me-ranking atau me-rating. Analisis konjoin mempercayakan pada evaluasi subjektif responden dan stimulusnya merupakan kombinasi level atribut yang ditentukan oleh peneliti. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam analisis konjoin yaitu merumuskan masalah, perancangan analisis konjoin, asumsi analisis konjoin, mengestimasi dan mengevaluasi model, interpretasi hasil, dan validasi hasil.
a. Merumuskan masalah Pada tahap ini ditentukan atribut yang akan digunakan dalam merancang stimuli, atribut yang dipilih harus memiliki peran dalam mempengaruhi preferensi konsumen (Hair dkk, 2006). Cara untuk mendapatkan atribut yang berperan adalah melalui pembahasan dengan manajemen dan pakar industri, analisis data sekunder, riset kualitatif dan survei pendahuluan (Malhotra, 2006). b. Perancangan Analisis Konjoin Menurut Hair dkk (2006), tahap ini merupakan tahapan terpenting, karena jika terjadi kesalahan pada perancangan stimuli akan memberikan hasil yang tidak maksimal dari proses konjoin, pada tahapan ini terdapat beberapa langkah, yaitu 1. Memilih Metodologi Konjoin Terdapat tiga macam metode dalam analisis konjoin didasarkan pada tiga karakteristik, yaitu jumlah atribut yang ditangani, tingkat faktor analisis, dan bentuk model, yang dijelaskan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Perbandingan Metodologi Konjoin Karakteristik Maksimum Jumlah Atribut Tingkat Faktor Analisis Bentuk Model
82 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
Traditional Conjoint
Adaptive Conjoint
ChoiceBased Conjoint
9
30
6
Tunggal
Tunggal
Kumpulan
Aditif
Aditif
Aditif-efek interaksi
ISSN. 2460-6286
2. Memilih dan Menentukan Atribut dan Level Jika atribut-atribut penting telah ditentukan, level yang sesuai dari atribut-atribut tersebut harus dipilih. Jumlah level atribut menentukan parameter yang akan diestimasi dan juga mempengaruhi banyaknya stimuli yang akan dievaluasi oleh responden. Atribut-atribut dan level-level yang digunakan dalam penelitian harus communicable (dapat disampaikan) dan actionable (dapat ditindaklanjuti). 3. Menentukan bentuk model dasar Terdapat dua bentuk model dalam analisis konjoin yaitu model aditif dan model aditif yang menambahkan efek interaksi. Model aditif merupakan model dasar yang mendasari metode analisis konjoin tradisional maupun adaptif. Total utilitas setiap stimulus dihitung dari jumlah part-worth. Sedangkan model aditif yang menambahkan efek interaksi memungkinkan gabungan nilai untuk kombinasi level tertentu yang terdapat dalam atribut tersebut (lebih besar ataupun lebih kecil dari penjumlahan model aditif biasa). 4. Mengumpukan data Pada tahapan ini, peneliti diharuskan melakukan beberapa langkah. Langkah pertama adalah memilih metode presentasi, terdapat tiga metode presentasi yang dapat digunakan, yaitu metode trade-off, fullprofile, dan pairwise
comparison. Metode trade-off membandingkan dua buah atribut dengan me-ranking semua kombinasi stimuli setiap level yang mungkin menggunakan matriks trade-off. Pada metode full-profile, penyusunan profil produk melibatkan seluruh atribut yang dipresentasikan secara terpisah. Penilaian dapat dilakukan dengan me-ranking ataupun rating. Kemampuan metode ini adalah mampu mengurangi jumlah stimuli menggunakan fractional factorial design, yaitu rancangan yang hanya melakukan sebagian dari kombinasi perlakuan lengkap tetapi tidak menghilangkan informasi penting dalam percobaan. Pada metode pairwise comparison, dibandingkan dua profil yang terdiri dari beberapa atribut, metode ini paling sering menggunakan skala rating untuk menunjukkan kekuatan preferensi dari satu profil di atas profil lainnya. Langkah kedua adalah merancang stimuli, stimuli atau profil produk adalah kombinasi dari level atribut yang satu dengan level atribut lainnya. Pada metode trade-off, bila ada sejumlah p atribut berarti jumlah pasangan yang dievaluasi ada p(p-1)/2 pasangan. Apabila digunakan metode full-profile ataupun pairwise comparison, jumlah minimal stimuli sama dengan jumlah parameter yang diperkirakan, yaitu : Jumlah
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
83
estimasi parameter = jumlah total level - jumlah total atribut +1 Langkah ketiga adalah memilih ukuran preferensi yang digunakan, yaitu dapat menggunakan peringkat (ranking) maupun skor (rating). Bila keduanya dibandingkan, responden lebih menyukai rating dibandingkan dengan ranking karena rating tidak membutuhkan pertimbangan yang rumit. c. Asumsi, Estimasi, dan Evaluasi Model Analisis Konjoin Analisis konjoin mempunyai paling sedikit asumsi tentang estimasi model. Desain yang optimal yaitu desain yang orthogonal (tidak ada korelasi antar level atribut) dan balance (setiap level muncul dalam jumlah yang sama. (Hair dkk, 2006) Model dasar analisis konjoin adalah sebagai berikut :
Keterangan : = Seluruh utility dari suatu alternatif Aij = Sumbangan the part-worth atau utility taraf ke-j atribut ke-i Ki = Banyaknya level atribut ke-i M = Banyaknya atribut Xij = Peubah boneka atribut ke-i level ke-j (bernilai 1 bila level yang Berkaitanterjadi dan 0 bila tidak)
Utilities level adalah nilai pentingnya suatu level terhadap level lainnya pada suatu atribut. Pentingnya suatu atribut (Ii) dinyatakan dalam kisaran partworth, yaitu selisih antara nilai part-worth terbesar dan terkecil. Sedangkan factor importance (Wi) adalah nilai yang menunjukkan tingkat kepentingan relatif suatu atribut dibandingkan dengan atribut lainnya (Supranto.J,2004), diformulasikan :
Keterangan : Wi = Pentingnya atribut importance) ke-i Ii = [max (aij) – min (aij)] m = Banyaknya atribut
(factor
Dalam evaluasi model, hasil analisis konjoin dinilai untuk akurasi baik individu maupun agregat. Tujuan keduanya adalah memastikan seberapa konsisten model memprediksi preferensi yang diberikan responden. Untuk memeriksa kecocokan model keseluruhan dapat digunakan nilai korelasinya. Semakin tinggi korelasinya semakin cocok atau semakin baik modelnya. Untuk data ranking dilihat korelasi antara ranking aktual dan prediksi dengan Tau Kendall, sedangkan data rating digunakan korelasi Pearson. d. Interpretasi hasil Metode interpretasi hasil yang paling umum adalah melakukan
84 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
estimasi part-worth untuk setiap atribut. Semakin besar partworth (baik positif ataupun negatif), maka semakin besar pula utilitas keseluruhan. Kontribusi terbesar pada keseluruhan utility yang meliputi faktor tingkat kepentingan adalah dengan jarak terbesar (rendah ke tinggi) part-worth. (Hair dkk, 2006) Tahap terakhir adalah hasil konjoin dapat divalidasi secara internal dan eksternal. Validasi internal merupakan konfirmasi bahwa alat penelitian sudah tepat. Validasi eksternal melibatkan secara umum kemampuan konjoin untuk memprediksi pilihan sebenarnya, sedangkan untuk mengetahui apakah hasil konjoin secara agregat valid dalam memprediksi preferensi semua responden, dapat digunakan nilai korelasi. 4. Penelitian Terdahulu Rasmini (2007), yang meneliti tentang faktor – faktor yang berpengaruh pada keputusan pemilihan profesi akuntan publik dan non akuntan publik pada mahasiswa akuntansi di Bali. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode discriminant analysis dengan menggunakan standardized canocnical discriminant function coefficient dengan tujuan untuk mengetahui mana variabel yang paling signifikan mampu membedakan pemilihan profesi akuntan publik dan non akuntan publik. Hasil dari penelitian ini
menjelaskan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi pemilihan profesi akuntan publik dan non akuntan public pada mahasiswa adalah persepsi bahwa berkarier di akuntan public memiliki keamanan kerja yang lebih terjamin. Sebaliknya, pada mahasiswi adalah persepsi bahwa berkarier di akuntan publik keamanan kerjanya lebih terjamin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan faktor–faktor yang mempengaruhi keputusan pemilihan profesi akuntan publik dan non akuntan publik antara mahasiswa dengan mahasiswi, tetapi faktor yang paling dominan mempengaruhi pemilihan profesi akuntan publik dan non akuntan publik pada mahasiswa sama dengan faktor yang paling dominan mahasiswi. Lestari ( 2011 ) yang meneliti tentang hubungan antara efikasi diri dengan kematangan karir pada mahasiswa tingkat akhir. Penelitian ini melibatkan 135 mahasiswa yang tengah duduk di semester akhir pada Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala. Aitem-aitem skala berupa pernyataan favourable dan unfavourable. Ada dua jenis skala yang digunakan sebagai instrumen pengumpulan data yaitu skala efikasi diri dan skala kematangan karir. Metode analisis yang digunakan teknik korelasi
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
85
product moment Pearson. Keseluruhan data diolah dengan SPSS 17.0 for Windows. Hasil dari analisis data menunjukkan bahwa skala efikasi diri memiliki reabilitas sebesar 0,938 dan skala kematangan karir memiliki reliabilitas sebesar 0,917. Berdasarkan dari hasil uji korelasional adalah 0,346 pada taraf signifikansi 0,01. Koefisien determinasi yang dihasilkan adalah sebesar 0,11972 (11,972%). Hasil tersebut menunjukkan sumbangan variabel efikasi diri terhadap kematangan karir adalah sebesar 11,97%. Hasil dari pengujian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara efikasi diri dengan kematangan karir pada mahasiswa tingkat akhir C. METODOLOGI PENELITIAN 1. Lokasi dan Obyek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta, Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai denganDesember 2013. 2. Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah preferensi mahasiswa yang diperoleh dari responden yang merupakan mahasiswa tingkat ahkir UST. Data sekunder yaitu atribut dan taraf atribut yang diperoleh dari bukubuku, artikel, internet dan literaturliteratur yang dikeluarkan oleh lembagalembaga terkait serta bahan pustaka yang
diambil dari hasil penelitian sebelumnya. Pengumpulan data sekunder ini bertujuan untuk lebih memahami permasalahan yang teliti lebih mendalam. Tabel 2 Atribut yang akan dievaluasi No Atribut Pekerjaan 1 Bidang Kerja Kesesuaian latar belakang 2 pendidikan terhadap bidang kerja) 3 Image Tempat Kerja 4 Gaji Pertama (ribu rupiah 3. Teknik Pengambilan Sampel a. Populasi Target dan Sampling Frame Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi target adalah mahasiswa tingkat ahkir UST yang dipilih dari 4 fakultas,yaitu Fakultas Psikologi, Fakultas Ekonomi, Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik UST. Sampling frame merupakan daftar anggota populasi yang digunakan untuk memperoleh sampel yang digunakan untuk memperoleh sampel. Dengan begitu sampling frame pada penelitian ini adalah mahasiswa tingkat akhir UST yitu mahasiswa yang telah melaksanakan KKN dengan asumsi bahwa mahasiswa yang telah mengikuti KKN merupakan mahasiswa yang termasuk tingkat ahkir dari 4 fakultas di UST. Pemilihan fakultas dilakukan secara purposive, dengan asumsi Fakultas yang dipilih adalah fakultas yang dinilai fleksibel terhadap semua bidang pekerjaan. b. Metode Penarikan Sampel
86 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
Metode penarikan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode probability sampling, karena semua orang yang termasuk ke dalam data base memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel dari penelitian ini. Dan metode yang digunakan adalah simple random sampling (SRS), yang mana semua responden diketahui sebagai mahasiswa tingkat ahkir UST dan mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan responden yang kemudian dipilih secara acak. c. Ukuran Sampel Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi namun tetap mampu mewakili populasi tersebut. Karakteristik sampel dalam penelitian ini yaitu mahasiswa tingkat akhir UST. Adapun jumlah sampel yang diambil yaitu sebanyak 100 responden, yang menjadi landasan atau dasar dari jumlah pengambilan sampel adalah pendapat Roscoe dalam Indriantoro dan (Supomo, 2006) menyatakan bahwa: “Pada setiap penelitian, ukuran sampel harus berkisar antara 30 sampai 500”. Fraenkel dan Wallen dalam (Widayat, 2004) mengatakan bahwa: “Besarnya sampel minimum untuk penelitian yang bersifat deskriptif yaitu sebanyak 100 sampel. 4. Metode Analisis Data Data pengenai preferensi mahasiswa terhadap pilihan pekerjaan diolah dengan analisis deskriptif dan analisis konjoin. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui proses pemilihan pekerjaan secara umum,.
Analisis konjoin digunakan untuk mengetahui preferensi mahasiswa terhadap atribut pekerjaan. Program yang digunakan untuk analisis konjoin adalah SPSS 15 for windows. a. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan alat untuk mendapatkan gambaran tentang identitas konsumen yang diperoleh melalui kuisioner seperti jenis kelamin, Fakultas sebagai latar belakang mahasiswa b. Analisis Konjoin Analisis konjoin digunakan untuk mengukur nilai kegunaan dan nilai penting relatif dari tiap atribut. Nilai kegunaan ini menunjukkan preferensi mahasiswa terhadap taraf suatu atribut dimana nilai kegunaan yang tertinggi dari suatu taraf tersebut yang cenderung disukai oleh mahasiswa. Sedangkan nilai penting relatif menunjukkan indikasi urutan atribut yang dapat mempengaruhi mahasiswa dalam memilih pekerjaan F. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Data Data preferensi mahasiswa tingkat akhir dalam memilih suatu pekerjaan, data tersebut dijadikan ilustrasi pada penerapan metode full profile ukuran yang diambil sejumlah 100 responden untuk metode full profile Fakultas yang dipilih adalah fakultas yang fleksibel terhadap berbagai bidang pekerjaan yaitu Fakultas Psikologi, Fakultas Ekonomi, Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik,UST
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
87
Pada penelitian ini, karakteristik jumlah responden dilihat berdasarkan jenis kelamin
2. Analisis Hasil Atribut yang mempengaruhi mahasiswa dalam memilih pekerjaan yang akan dievaluasi Tabel 3. Atribut dan Taraf yang akan dievaluasi No
Gambar 1 karakteristik jumlah responden dilihat berdasarkan jenis kelamin Pada penelitian ini, karakteristik jumlah responden dilihat berdasarkan Fakultas
Gambar 2. Karakteristik jumlah responden dilihat berdasarkan Fakultas
88 Jurnal
Atribut
1
Bidang Kerja ( X11,X12,X13, X14 )
2
Kesesuaian latar belakang pendidikan terhadap bidang kerja( X21,X22,X23)
3
Image Tempat Kerja( X31,X32 )
4
Gaji Pertama (ribu rupiah)(X41,X42,X43,X44 )
Taraf Atribut Pemerintah Swasta Profesional Wiraswasta Sesuai Kurang Sesuai Tidak Sesuai Terkenal Tidak Terkenal >2500 1751 – 2500 1001 – 1751 500 - 1000
Stimuli dirancang dengan menggunakan software SPSS 15.00, kemudian dengan menggunakan frational fractorial design diperoleh 16 stimuli dengan menggunakan frational fractorial design. Kartu-kartu stimuli disusun dari stimuli yang terbentuk, dimana setiap kartu terdiri dari kombinasi beserta taraf taraf atribut yang berbeda dengan kartu lainnya. Sehingga terbentuk 16 buah stimuli.
Card 1 Swasta 500-1000 kurang sesuai terkenal
Card 2wiraswasta 500-1000 sesuai Tidak terkenal
Card 3profesional 500-1000 Tidak sesuai Tidak terkenal
Card 4pemerintahan175 1-2500 sesuai terkenal
Card 5wiraswasta 1001-1750 kurang sesuai terkenal
Card 6 Swasta >2500 sesuai Tidak terkenal
Card 7profesional>2500 sesuai terkenal
Card 8profesional10011750 sesuai terkenal
Card 9 Swasta 1751-2500 tidak sesuai terkenal
Card 10 Swasta >2500tidak sesuai terkenal
Card 11wiraswasta 1751-2500 sesuai tidak terkenal
Card 12pemerintahan 500-1000 sesuai terkenal
Card 14pemerintahan>2 500 Volume 2 kurang No 1 sesuaitidak terkenal
Card 15 Swasta 1001-1751 Januari 2016 sesuai tidak terkenal
Card 13profesional17512500 kurang Sosiohumaniora sesuaitidak terkenal
Card 16pemerintahan10 01-1751tidak sesuaitidak terkenal
ISSN. 2460-6286
Gambar 4 Contoh kartu-kartu kombinasi atribut (stimuli) rancangan full profile
Dilakukan pendugaan parameter untuk mengetahui nilai kegunaan dari masing-masing atribut yang dievaluasi. Pendugaan ini dilakukan dengan regresi
monotonik dimana peubah bebasnya adalah matriks X yang merupakan matriks peubah boneka untuk stimuli-stimuli yang terbentuk
Tabel 4 Nilai Peubah Boneka Untuk Stimuli NO
Stimuli
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Stimuli 1 Stimuli 2 Stimuli 3 Stimuli 4 Stimuli 5 Stimuli 6 Stimuli 7 Stimuli 8 Stimuli 9 Stimuli 10 Stimuli 11 Stimuli 12 Stimuli 13 Stimuli 14 Stimuli 15 Stimuli 16
X1
X12
X13
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1
0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0
0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0
Peubah tak bebasnya adalah data peringkat untuk seluruh responden yang ditransformasi secara monoton. Dengan regresi ini akan diperoleh nilai kegunaan (NKT) dari taraf -taraf tiap atribut untuk menentukan nilai pentingnya suatu taraf terhadap taraf lain pada suatu atribut. Selanjutnya dapat dihitung Nilai Relatif Penting (NRP) atribut untuk mengetahui tingkat kepentingan relatif suatu atribut terhadap atribut yang lain Analisis full profile bagi responden mahasiswa Fakultas Psikologi menghasilkan model utilitas total sebagai berikut U(x) = 8.3944+0.80X11-0.0810X12 0.527X13-0.2417X14+ 0.4020X21 –0.2025X22–0.1621X23+ 0.0901X31–0.170X32+3.2118X41
X21
Peubah Boneka X22 X31
0 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0
1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0
X41
1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0
X42
0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0
X43
0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1
+2.1298X42+1.7373X43– 801X44 Dari model tersebut dapat ditentukan NKT tiap taraf atribut dan NRP bagi masing-masing atribut dengan menggunakan Persamaan (2) dan (3). Sebagai contoh, untuk menentukan NKT bagi taraf bidang pemerintahan (X 11) maka dengan menggunakan Persamaan (2) yaitu dengan menjumlahkan nilai intersep pada dugaan parameter bagi peubah X11 dapat diperoleh Nilai total bagi taraf bidang pemerintahan yaitu sebesar 9.1553. Begitu pula untuk bidang kerja dan taraf atribut lainnya. Selanjutnya setelah diketahui nilai utilitas total tiap taraf, dengan menggunakan Persamaan (3) dapat ditentukan Nilai Relatif Penting (NRP) dari tiap atribut.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
89
Hasil analisis full profile bagi responden mahasiswa Fakultas Psikologi, secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 5 Atribut gaji pertama memiliki nilai relatif penting (NRP) yang paling besar diantara atribut lainnya, yaitu sebesar 84%, atribut bidang kerja sebesar 10%, kesesuaian latar belakang pendidikan terhadap bidang kerja dan image perusahaan masing-masing memiliki NRP berturut-turut sebesar 5% dan 1%. Nilai signifikan antara atribut gaji pertama dengan atribut lainnya memberikan gambaran bahwa mahasiswa Fakultas Psikologi mengutamakan gaji pertama dibanding atribut lainnya. Atribut bidang kerja menjadi pilihan kedua bagi mereka dalam memilih pekerjaan, walaupun memiliki nilai NRP yang kecil, sama seperti kedua atribut lainnya yaitu kesesuaian latar belakang pendidikan terhadap pekerjaan dan image tempat kerja. Tabel 4.3 Nilai Kegunaan Taraf (NKT) dan Nilai Relatif Penting (NRP) atribut Mahasiswa Fakultas Psikologi. NRP Atribut Taraf NKT (%) Pemerintahan 0.80 Bidang Swasta -0.527 Pekerjaan Profesional -0.081 10 Wiraswasta -0.242 Sesuai 0.4020 Kesesuaian latar belakang Kurang -0.203 Pndidikan Sesuai 5 terhadap bidang kerja Tidak -0.162 Sesuai Terkenal 0.0901 Image 1 Tempat kerja Tidak -0.170 Terkenal 500 -1000 -7.801 Gaji Pertama 1001-1750 1.7373 84 (ribu Rp) 1751-2500 2.1298 >2500 3.2118
Dalam menentukan taraf-taraf atribut yang paling disukai mahasiswa Fakultas Psikologi, dapat dilihat dari NKT tiap atribut. Terlihat pada Tabel 5 untuk atribut bidang pekerjaan, pemerintahan memiliki NKT yang paling besar yaitu 0.80, yang berarti mereka cenderung menyukai bidang pemerintahan dibandingkan dengan bidang lain karena bidang ini dianggap lebih memiliki prospek masa depan lebih baik. Dengan nilai 3.2118, mereka lebih memilih atribut gaji pertama, dengan taraf jumlah gaji diatas Rp. 2.500.000,- dibandingkan jumlah gaji pertama lainnya. Mahasiswa Fakultas Psikologi, lebih memilih agar latar belakang pendidikan mereka sesuai dengan bidang pekerjaannya, dengan NKT sebesar 0.4020 dan dengan NKT sebesar 0.0901, mereka lebih mengutamakan bekerja ditempat kerja yang terkenal Analisis full profile bagi responden mahasiswa Fakultas Ekonomi menghasilkan model utilitas total sebagai berikut U(x) = 8.1540 + 0.4056X11 + 0.5011X12 -0.810X13+0.0020X14+1.3012X21 0.616X22–0.810X23+0.3064X31 – 0.356X32+3.6024X41+1.4210X42+ 0.2355X43 – 4.930X44 Dengan melakukan tahap yang sama, diperoleh NKT dan NRP bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi yang ditunjukan pada Tabel 6. Tabel 4.4 Nilai Kegunaan Taraf (NKT) dan Nilai Relatif Penting (NRP) Atribut Mahasiswa Fakultas Ekonomi Atribut Bidang Pekerjaan Kesesuaian
90 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
Taraf
NKT
Pemerintahan Swasta Profesional Wiraswasta Sesuai
0.4056 -0.810 0.5011 0.0020 1.3012
NRP (%) 11 16
ISSN. 2460-6286
latar belakang Pndidikan terhadap bidang kerja
Image Tempat kerja
Gaji Pertama (ribu Rp)
Kurang Sesuai
-0.616
Tidak Sesuai Terkenal
-0.810
Tidak Terkenal 500 -1000 1001-1750 1751-2500 >2500
-0.070X32+2.8544X41 +1.2344X42–0.386X43–2.702X44 Tabel 4.5 Nilai Kegunaan Taraf (NKT) dan Nilai Relatif Penting (NRP) Atribut Mahasiswa Fakultas Pertanian
0.3064 4 -0.356
Atribut
-4.930 0.2355 1.4210 3.6024
Bidang Pekerjaan
69
Gaji pertama tetap merupakan pilihan atribut yang dinilai paling penting daripada atribut lainnya dengan nilai NRP sebesar 69%. Mahasiswa Fakultas Ekonomi memposisikan kesesuaian latar belakang pendidikan mereka terhadap pekerjaan berada dibawah atribut gaji pertama sebesar 16%. Atribut bidang kerja dan image perusahaan memiliki NRP masing masing sebesar 11% dan 4%, nilai yang relatif hampir sama dengan atribut sesuai tidaknya latar belakang pendidikan terhadap bidang kerja. Dengan NKT dari masing-masing atribut sebesar 0.5011 untuk bidang pekerjaan, 3.6024 untuk gaji pertama, 1.3012 untuk kesesuaian latar belakang pendidikan terhadap bidang kerja, dan 0.3064 untuk image tempat kerja, mahasiswa Fakultas Ekonomi lebih memilih bidang profesional dengan gaji pertama diatas Rp. 2.500.000, - ,bidang pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan image tempat kerja yang terkenal Analisis full profile bagi responden mahasiswa Fakultas Pertanian menghasilkan model utilitas total sebagai berikut U(x)= 7.9243–0.538X11+0.9857X12– 0.2207X13-0.768X14+3.0225X21 -0.563X22–1.648X23+0.4873X31
Kesesuaian latar belakang Pndidikan terhadap bidang kerja
Image Tempat kerja
Gaji Pertama (ribu Rp)
Taraf
NKT
NRP (%)
Pemerintahan Swasta Profesional Wiraswasta Sesuai
-0.538 0.2207 0.9857 -0.768
15
Kurang Sesuai Tidak Sesuai Terkenal Tidak Terkenal 500 -1000 1001-1750 1751-2500 >2500
3.0225 -0.563
33
-1.648 0.4873 8 -0.070 -2.702 -0.386 1.2344 2.8544
44
Tabel 7 menunjukkan bahwa Mahasiswa Fakultas Pertanian menilai gaji pertama sebagai atribut yang paling penting dengan nilai relatif penting (NRP) sebesar 44%, walaupun nilai ini tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan nilai relatif penting (NRP) atribut kesesuaian latar belakang pendidikan terhadap bidang kerja sebesar 33%. Artinya kedua atribut ini memiliki pengaruh yang relatif hampir sama dalam memilih pekerjaan.Atribut bidang kerja dan image perusahaan sebesar 15% dan 8%, dianggap kurang penting bagi mereka dalam memilih pekerjaan. Nilai kegunaan dari taraf-taraf untuk masing-masing atribut, dengan nilai kegunaan taraf (NKT) yang terbesar diantara taraf-tarafnya dimiliki oleh bidang pekerjaan profesional, memiliki gaji pertama lebih dari Rp.2.500.000,- yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya dan memiliki image tempat kerja terkenal dengan nilai
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
91
kegunaan taraf (NKT) berturut-turut sebesar 0.9857 untuk bidang pekerjaan, 2.8544 untuk gaji pertama, 3.0225 untuk kesesuaian latar belakang pendidikan terhadap bidang kerja dan 0.4873 untuk taraf atribut image tempat kerja. Analisis full profile bagi responden mahasiswa Fakultas Teknik menghasilkan model utilitas total sebagai berikut U(x)=8.3232+0.0671X1+0.5066X12 – 068X13-0.585X11+0.7204X21 0.451X22–0.357X23+0.3078X31 -0.307X32+ 4.454X41 + 2.7702X42 –0.405X43 – 6.828X44 Tabel 4.6 Nilai Kegunaan Taraf (NKT) dan Nilai Relatif Penting (NRP) atribut Mahasiswa Fakultas Teknik Atribut Bidang Pekerjaan Kesesuaian latar belakang Pndidikan terhadap bidang kerja Image Tempat kerja
Gaji Pertama (ribu Rp)
Taraf
NKT
Pemerintahan Swasta Profesional Wiraswasta Sesuai
0.0671 -0.068 0.5066 -0.505 0.7204
Kurang Sesuai Tidak Sesuai Terkenal
-0.451
Tidak Terkenal 500 -1000 1001-1750 1751-2500 >2500
NRP (%) 7
7 -0.357 0.3078 4 -0.307 -6.828 -0.405 2.7702 4.4541
82
Gaji pertama tetap menjadi pilihan utama responden dalam memilih pekerjaan dengan nilai relatif penting (NRP) sebesar 82%. Sedangkan ketiga atribut lainnya yaitu bidang kerja, kesesuaian latar belakang pendidikan terhadap bidang kerja dan image perusahaan, masing-masing memiliki nilai relatif penting berturut–turut 7%, 7%, dan 4%. Nilai ketiga atribut ini
sangat signifikan bila dibandingkan dengan atribut gaji pertama. Ini berarti mereka jauh lebih memilih pekerjaan jika dilihat dari gaji pertama dibandingkan dengan atribut lainnya. Dilihat dari nilai kegunaan dari tiap taraf atribut (NKT) yang memiliki nilai terbesar, mereka cenderung lebih memilih bidang pekerjaan profesional dengan NKT sebesar 0.5066, memiliki gaji pertama lebih dari Rp. 2.500. 000 ,- NKT sebesar 4.4541. Mahasiswa Fakultas Teknik memilih pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya dengan NKT sebesar 0.7204, dan mereka memilih bekerja ditempat kerja yang terkenal dengan nilai kegunaan taraf (NKT) sebesar 0.3078. Perbedaan preferensi terjadi diantara mahasiswa tiap Fakultas dalam memilih pekerjaan. Sebagai contoh pada atribut bidang pekerjaan, mahasiswa Fakultas Psikologi lebih memilih bidang pemerintahan dibandingkan dengan mahasiswa Fakultas lainnya yang lebih memilih menjadi seorang profesional ataupun pada perbedaan proporsi jumlah persentase NRP pada tiap atribut masingmasing pada tiap fakultas, misalnya pada mahasiswa Psikologi dan Teknik memiliki NRP paling besar pada atribut gaji pertama yaitu sekitar 80% dibandingkan dengan mahasiswa fakultas lainnya yang memiliki NRP sekitar 40% sampai dengan 60%. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan versi yang digunakan pada tiap Fakultas. Namun hal ini bukan menjadi satu-satunya alasan, karena perbedaan ini dapat pula disebabkan oleh mahasiswa pada tiap fakultas itu sendiri yang memiliki perbedaan cara pandang dalam memilih pekerjaan, misalnya saja dikarenakan oleh latarbelakang pendidikan dan keahlian
92 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
yang dimiliki. Secara keseluruhan, mahasiswa lebih mengutamakan gaji pertama sebagai atribut yang paling mereka sukai dalam memilih pekerjaan. Atribut kesesuaian latar belakang pendidikan terhadap bidang kerja dan bidang kerja memiliki kecenderungan yang hampir sama terhadap responden dalam memilih pekerjaan. Sedangkan atribut image tempat kerja dinilai responden tidak terlalu penting dalam memilih pekerjaan. jumlah proporsi terbesar yaitu sebesar 43%. Sebanyak 42% mahasiswa menginginkan agar latar belakang pendidikan mereka sesuai dengan bidang kerja mereka, serta memilih untuk bekerja ditempat kerja yang terkenal sebesar 55%. Bidang kerja yang paling banyak diminati adalah bidang kerja profesional yang memiliki jumlah proporsi sebesar 28%. G. KESIMPULAN Metode full profile lebih mudah dalam menyusun stimuli, dengan memilih konsep kerja yang diinginkan dan metode full profile dapat mengukur utility taraf tiap individu 2. Full profile memberikan hasil bahwa atribut yang paling berpengaruh dalam menentukan preferensi mahasiswa terhadap pekerjaan adalah gaji pertama, atribut kesesuaian latar belakang pendidikan terhadap pekerjaan menjadi atribut urutan kedua yang menjadi pertimbangan mahasiswa dalam memilih pekerjaannya, atribut bidang kerja dan image tempat kerja menjadi atribut pilihan terakhir mahasiswa dalam memilih pekerjaan 1.
DAFTAR PUSTAKA Agresti, A. 1990 . Categorical Data Analysis. John Wiley and Sons. New York. Ansari, Yulia. 2002. Model Logit Dalam Choice Based Conjoint. Skripsi. Jurusan Statistika, IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan). Edition. Prentice-Hall International : Englewood Clirfs. New Jersey. Hair, J.F.,R. E. Anderson, R.L. Tatham. 1995. Multivariate With Reading. Fourth Hosmer, D & Lemeshow. 1989. Applied Categorical Data Analysis. John Wiley and Sons. New York. Hari, 2003, Pengantar Teknik Industri, Edisi Pertama, Cetakan Pertama,PenerbitGrahaIlmu,Yogya karta. Hair, J.F., William C.B., Barry J.B., Rolph E.A., and Ronald L.T. 2006. Multivariate Data Analysis Sixth Edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall. Kuhfeld, F.W. 1997. Conjoint Analysis. SAS Institute, Inc. Malhotra, N.K. 2006. Riset Pemasaran (edisi keempat jilid 2) Pendekatan Terapan. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia Putro,Purnomo,Edi,2004,AnalisaKepuasa nPelanggan denganPenerapanServiceQualityda nIndekPGVC,UniversitasMuhamma diyahSurakarta. Sugiarto,Endar,1999,Psikologipelayanand alamindustrijasa,PT.GramediaPusta kaUtama,Jakarta Soetjipto, Budi W, 2000, Service Quality Pendekatan dari berbagai persoalan,ManajemenUsahawanInd onesia. Singaribun.M,danSofianEffendi,2000,Met odePenelitianSurvai,P3ES,Yogyaka rta.. Santoso, Singgih. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariate. PT Elex Media Komputindo.Jakarta
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
93
SuharsimiArikunto,2002,ProsedurPeneliti anSuatuPendekatanPraktek,EdisiRev isiV,RinekaCipta,jakarta Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat: Arti dan Interpretasi. Jakarta: PT Rineka Cipta Simamora, B. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Sukandarrumidi. 2006. Metodologi Penelitian : Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula. Yogyakarta : GADJAH MADA University Press Sugiyono,2007,MetodePenelitianBisnis,Pe nerbitCV.Alfabeta,Bandung.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BERBASIS SENI BUDAYA DI SD TAMAN MUDA IBU PAWIYATAN YOGYAKARTA MULTICULTURAL EDUCATION BASED CULTURE ARTS YOUNG MOM IN PARK SD PAWIYATAN YOGYAKARTA Dwi Wijayanti, Poppy Indriyanti Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
[email protected],
[email protected] ABSTRACT This research aims to : (1) describe the education multicultural through the education based on culture and art at SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta, (2) identify obstacle in applying the education multicultural through the education based on culture and art at SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta, and (3) find solutions to overcome the obstacles in education multicultural through the education based on culture and art at SD Tama Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta. This was a qualitative research. In order to gain data, the researcher used interview, direct observation and documentation. The data analysis techniques used steps of Miles and Huberman’ model such as data collection, data reduction, data presentation and verification, while the data validation included internal validation, external validation, reliability and objectivity. The result of the research showed that (1) education multicultural based on culture and art at SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta was not taught in a special lesson but integrated into lessons (intracurricular) such as Ketamansiswaan, Pkn, SBK, SeniTari, Batik, Bahasa Indonesia, Karawitan, Tembang and BahasaJawa. Discoveringthe multicultural values and culture and art through self-developed activity was done by creating a condusive school culture and extracurricular activities which include dolanan anak, senilukis, bahasa jawa, pencaksilat, pramuka, drumband and pianika. (2) The obstacles experienced were low teacher competence, difficulties in learning bahasa jawa, the minimum of learning media and facilities, the influence of students’ association outside school and technology, and special need students. The strategies to overcome the obstacle are increasing the professionalism quality of the teacher. It can be done by making meeting once in three months and giving 94 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
professional training at local and national levels, using two language system (Java language and Indonesia language) in learning bahasaj awa, making a meeting between teachers and parents once in six months, making rules to limit the using of handphone at school, working together with parents to supply teacher for the special need students. Keywords: Education multicultural, culture and art, multicultural values.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui pendidikan multikultural melalui pendidikan berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta, (2) Mengetahui hambatan-hambatan dalam penerapan pendidikan multikultural melalui pendidikan berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta, dan (3) Menemukan solusi-solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pendidikan multikultural melalui pendidikan berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Unttuk mengumpulkan data peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam, obsevasi langsung dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan Miles dan Huberman, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Sedangkan uji keabsahan data meliputi uji validitas internal, validitas eksternal, reliabilitas dan objektivitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pendidikan multikultural berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta tidak dilakukan dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran (intrakurikuler) Ketamansiswaan, PKn, SBK, Seni Tari, Batik, Bahasa Indonesia, Karawitan, Tembang, dan Bahasa Jawa. Penanaman nilai-nilai multikultural dan seni budaya melalui kegiatan pengembangan diri dilakukan dengan cara penciptaan kultur sekolah yang kondusif dan kegiatan ekstrakurikuler yang meliputi dolanan anak, seni lukis, bahasa jawa, pencak silat, pramuka, drumband dan pianika. (2) Hambatan yang dialami yaitu rendahnya kompetensi guru, kesulitan dalam pembelajaran bahasa jawa, kurangnya media atau sarana dan prasarana dalam pembelajaran, pengaruh pergaulan peserta didik di luar sekolah, pengaruh lingkungan dan kemajuan teknologi, serta adanya peserta didik yang berkebutuhan khusus. (3) Strategi yang digunakan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut antara lain meningkatkan kualitas profesionalisme para pamong/guru, dengan cara membuat pertemuan internal setiap 3 bulan sekali dan mengikutsertakan guru dalam berbagai pelatihan atau seminar baik tingkat lokal maupun nasional, menggunakan sistem dua bahasa (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia) untuk pembelajaran Bahasa Jawa, adanya pertemuan rutin setiap 6 bulan sekali antara orang tua/wali peserta didik dengan guru, membuat peraturan yang membatasi penggunaan HP di sekolah, menjalin kerja sama dengan orang tua/wali murid untuk menyediakan guru pendamping bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.
A. PENDAHULUAN Kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan potensi yang
“hebat” untuk kemajuan bangsa. Sebaliknya, kemajemukan bangsa Indonesia bisa menjadi potensi yang "jahat" bila tidak bisa dikelola secara
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
95
benar. Perlu adanya kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya rasa saling menghormati dan bertoleransi terhadap perbedaan. Kesadaran akan nilai keberagaman tersebut tidak dapat muncul dengan sendirinya pada diri setiap individu, melainkan perlu untuk dipelajari baik secara formal maupn non formal. Dalam hal ini pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai mulrikulturalisme pada masyarakat Indonesia. Pendidikan multikultural sejak dini dapat dilakukan mulai dari sekolah dasar. Pada jenjang ini, siswa mulai belajar untuk bersosialisasi dengan siswa lain yang memiliki latar belakang berbeda. Kemampuan besosialisasi setiap siswa tentu berbeda satu sama lain. Masalah mungkin saja muncul ketika siswa tidak dapat berinteraksi dengan baik terhadap sesama temannya. Perbedaan suku, agama, ras, maupun status ekonomi tidak serta merta dapat dipahami oleh siswa dengan baik. Ketidakpahaman siswa terhadap perbedaan yang ada akan berpegaruh terhadap perilaku siswa. Siswa kurang bisa menghargai siswa lain yang berasal dari suku, agama, ras, budaya maupun sosial ekonomi yang berebda. Siswa merasa superior dan memilih-milih dalam berteman. Sikap yang seperti inilah yang dapat memicu timbulnya pertikaian antar siswa, perselisihan bahkan perlakuan diskriminatif baik perlakuan guru terhadap siswa maupun perlakuan antar siswa. Menurut Zamroni (2011), pendidikan multikultural seharusnya menekankan pada kesetaraan dan keadilan. Semua siswa diperlakukan secara adil. Dalam kondisi di mana siswa
memiliki latar belakang yang beraneka warna, baik etnis, suku, sosial, ekonomi, dan budaya, maka keadialan saja tidak cukup untuk memberikan jaminan semua siswa akan berhasil mengembangkan potensinya secara optimal. Namun pada kenyataannya, terkadang guru tidak senantiasa berada pada posisi yang objektif. Terkadang guru cenderung berperilaku subjektif terhadap siswa yang pandai, dianggap baik, dan berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi mapan, begitu pun sebaliknya. Perlakuan guru yang demikian dapat mengarah kepada diskriminasi dan hal ini tidak baik bagi proses belajar mengajar. Di samping keadilan, diperlukan pula kesetaraan. Artinya proses pembejalaran seharusnya dijauhkan dari sifat bias dan stereotip. Bias dan stereotip khususnya pada jenjang pendidikan dasar akan membawa dampak yang buruk bagi masa depan siswa, karena hal ini memicu timbulnya rasa curiga dan rasa saling ketidakpercayaan antar siswa maupun siswa dengan guru. Terlebih lagi apabila hal itu terjadi pada siswa dan guru yang memiliki perbedaan etnis, suku, sosial ekonomi dan kultur. Oleh karena itu guru harus senantiasa memahami kondisi dan kebutuhan siswa sebagai individu, lalu melaksanakan tugas pembelajaran berdasarkan pemahaman tersebut (Zamroni, 2011). Tujuan pendidikan multikultural berbasis seni budaya secara umum adalah mengantar perkembangan kehidupan anak didik menuju proses pendewasaan berbasis budaya melalui kegiatan berekspresi, berkreasi dan berapresiasi (Diah Uswatun, 2013:2). Pendidikan berbasis seni budaya di sekolah dasar selain sebagai wahana
96 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
pembelajaran budaya bangsa, juga untuk membina sikap siswa untuk bertoleransi terhadap perbedaan dan cinta tanah air. Terlebih lagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatifdengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Berdasarkan kompleksnya masalahmasalah yang teridentifikasi di atas dan adanya berbagai keterbatasan, maka penelitian ini hanya difokuskan pada masalah penanaman nilai-nilai multikultural berbasis seni budaya belum terlihat jelas sehingga membutuhkan pengamatan dan penelitian lebih mendalam. Dengan memperhatikan batasan masalah tersebut, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana penerapan pendidikan multikultural melalui pendidikan berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta?, (2) Apa hambatan-hambatan dalam penerapan pendidikan multikultural melalui pendidikan berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta? (3) Bagaimana solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam penerapan pendidikan multikultural melalui pendidikan berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta?. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Penerapan pendidikan multikultural melalui pendidikan berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta, (2) Hambatan-hambatan dalam penerapan pendidikan multikultural melalui
pendidikan berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta, dan (3) Solusi-solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pendidikan multikultural melalui pendidikan berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta. Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa Yogyakarta dipilih karena berdasarkan tahap observasi awal (pra survey) dan wawancara informal yang dilakukan peneliti pada hari Kamis, 12 Maret 2015 di sekolah tersebut, diperoleh informasi sebagai berikut: 1. Sekolah memiliki visi "Menjadi sekolah bermutu, berbasis seni budaya dan pendidikan budi pekerti luhur". Dan guna mencapai visi terebut maka salah satu misinya adalah menyelengarakan pendidikan kesenian dan penanaman nilai-nilai budaya untuk mewujudkan pendidikan berbasis seni budaya. Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa sekolah tersebut fokus terhadap penanaman nilai-nilai kultural kepada siswa melalui seni budaya. Oleh karena itu, sekolah ini perlu diteliti lebih mendalam agar dapat dijadikan sebagai sekolah percontohan dalam penerapan pendidikan multikultural. 2. Sekolah meraih prestasi dalam berbagai perlombaan di bidang seni budaya seperti karawitan, tembang, macapat, olahraga tradisional, tari dan dolanan anak, ensambel musik, serta vokal. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah tersebut memiliki metode atau cara tersendiri dalam menumbuhkan kesadaran budaya dalam diri siswa. Hal ini perlu untuk diamati dan diteliti lebih mendalam agar dapat menjadi percontohan bagi
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
97
sekolah lain dalam penanaman nilainilai multikultural. 3. Dalam pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat, bertanya, berdiskusi, tanpa rasa takut (berani, percaya diri) ataupun paksaan dari guru. Guru juga membentuk kelompokkelompok belajar agar siswa mampu berinteraksi, berkomunikasi, dan bekerjasama secara baik dengan sesamanya. Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa guru telah bersikap adil terhadap semua siswa tanpa memandang tingkat intelegensi, suku, agama, ras, status sosial ekonomi, serta menjunjung tinggi kesetaraan ditengah-tengah perbedaan yang ada. Hal inilah yang penting untuk diteliti lebih lanjut agar dapat dijadikan contoh bagi guru-guru di sekolah dasar lain. 4. SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta dipilih juga karena alasan bahwa sekolah ini merupakan bagian dari Tamansiswa yang semestinya dapat dimanfaatkan dalam bidang penelitian dan pendidikan. Strategi pendidikan multikultural yang tepat dapat mengembangkan kompetensi kultural siswa. Salah satu caranya adalah dengan pendidikan berbasis seni budaya. Pendidikan multikultural berbasis seni budaya dapat menanamkan benih atau bekal nudi pekerti (watak atau tabiat) yang akan merapatkan jiwa anak dengan kebangsaannya. Pendidikan multikultural berbasis seni budaya dapat dilakukan baik dalam kegiatan intrakulikuler maupun ekstrakulikuler. Dalam kegiatan
Intrakurikuler dapat dilakukan dengan mengintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran yang ada, sedangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan seni budaya seperti menari, menyanyi/vocal, karawian, membatik dll. Lebih lanjut dapat dilihat pada gambar berikut ini: Gambar 1. Kerangka Pikir Pendidikan Multikultural Seni Budaya
Intrakurik uler
Generasi Budaya
Ekstrakuri kuler
Sadar
KAJIAN LITERATUR 1. Pendidikan Multikultural Multikulturalisme secara sederhana dapat dikatakan pengakuan atas pluralisme budaya. Multikultur (Barnsford, 2000)merupakan suatu tantangan yang mengedepankan majemuknya nilai-nilai, mekanisme dan struktur sosial dalam bingkai human being. James Banks yang dikenal sebagai tokoh perintis pendidikan multikultural berpendapat, bahwa Pendidikan multikultural sebagai konsep atau ide merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set belief) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi dan kesempatankesempatan pendidikan dari individu,
98 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
kelompok, maupun negara (Banks, 2007). Pendidikan pada masyarakat pluralistis senantiasa bertumpu pada tiga pilar: sekolah (profesional), orang tua (keluarga) dan masyarakat (pemerintah). Hal ini sesuai dengan ajaran Tamansiswa tentang Tri Pusat Pendidikan (Tim Dosen Ketamansiswaan, 2014) yaitu: a. Lingkungan Keluarga: terutama mengenai pendidikan budi pekerti, keagamaan dan kemasyarakatan secara informal. b. Lingkungan sekolah: terutama mengenai ilmu pengetahuan, kecerdasan, pengembangan budi pekerti secara formal. c. Lingkungan masyarakat terutama mengenai pengembangan keterampilan latihan kecakapan, pengembangan bakat secara non formal. Ketiganya berjalan secara bersama tidak terpisahkan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Prinsip masyarakat pluralistis adalah bahwa keberadaan berbagai kepentingan diikat oleh nilai-nilai yang dipegang bersama (Zamroni,2011).Dewasa ini, tanggung jawab bersama dihadapkan pada berbagai problem, antara lain: a. Perubahan struktur dan kegiatan keluarga, seperti karier wanita, sehingga mengurangi perhatian dan kemampuan untuk mengarahkan anak-anaknya. b. Di lingkungan masyarakat dan pemerintah muncul kolusi, korupsi dan mismenejemen dalam berbagai bentuk, sehingga remaja tidak memiliki panutan. c. Tenaga profesional tidak bisa menggantungkan hidupnya dari
profesinya, sehingga harus menambah kegiatan lain yang tak pelak lagi mengurangi kemampuan melakanakan tugas pokoknya. Oleh sebab itu, keharmonisan ketiga pusat tersebut harus diperkuat. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memperkuat kultur masyarakat, antara lain dengan menekankan pada pelaksanaan sistem persekolahan dengan dikaitkan apa yang terjadi di lingkungan masyarakat. Untuk itu, perlu ditanamkan di kalangan siswa sifat kejujuran, menghargai orang lain, adil, dan kemampuan mengendalikan diri. 2. Pendidikan Berbasis Seni dan Budaya Kesenian adalah suatu perwujudan lahir dari jiwa manusia, yang timbul dari kemauan jiwa manusia sendiri dan halus kasarnya terbatas oleh rasa keindahan manusia (perasaan estetis) (Saefudin &Solahudin, 2009). Beberapa pakar seni mengatakan bahwa seni merupakan sesuatu yang indah, namun ada juga yang mengatakan bahwa seni merupakan sebuah ungkapan atau simbol dari sebuah isi hati sang senimannya. Meskipun setiap pakar mengatakan seni dengan berbagai definisi yang berbeda tapi dapat disimpulkan bahwa Seni adalah Ide, Gagasan, Perasaan, Suara Hati, Gejolak Jiwa, yang diwujudkan atau diekspresikan, melalui unsur-unsur tertentu, yang bersifat indah untuk memenuhi kebutuhan manusia walaupun banyak juga karya seni yang digunakan untuk binatang (Dharmawati, 2012).
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
99
Kesenian nasional menurut Tamansiswa dimaksudkan untuk menanamkan benih atau bekal nudi pekerti (watak atau tabiat) yang akan merapatkan jiwa anak dengan kebangsaannya. Adapun pelajaran kesenian dapat menjadikan cultiveren yakni memasak jiwa dan raga anakanak, sehingga kelak akan mencapai derajat manusia yang utama serta dapat menyusun perikehidupan yang pantas dalam masyarakat. Tak boleh dilupakan pula bahwa pelajaran kesenian itu amat besar manfaatnya untuk menolak pengaruh “intelektualisme” yang merajalela hingga mengalahkan moral atau rasa kesucian (Saefudin &Solahudin, 2009). Pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan sistem among. Sistem among Ki Hadjar Dewantara merupakan metode yang sesuai untuk pendidikan karena merupakan metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong,yang artinya mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Tujuan dari sistem among adalah membangun anak didik untuk menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani dan rokhani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan
tanah air serta manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan sistem among, setelah anak didik menguasai ilmu, mereka didorong untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong oleh cipta, rasa, dan karsa, sehingga harapannya dapat terbentuk generasi-generasi muda yang “sadar budaya”. 3. Bhinneka Tunggal Ika Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keberagaman suku, agama, ras, budaya, status sosial ekonomi dan lain-lain. Keberagaman tersebut perlu untuk dipersatukan dalam agar tercipta Indonesia Satu. Alat permersatu yang dimiliki oleh Indonesia adalah “Bhineka Tunggal Ika”. Dengan semboyan ini, diharapkan kita mampu saling menghargai dan menghormati segala perbedaan yang ada. Kaya miskin, tua muda, kulit hitam maupun putih, semuanya adalah satu dalam negara Indonesia. Persatuan dalam keragaman memiliki arti yang sangat penting. Karena jika tidak ada persatuan maka akan menimbukan konflik antar suku, agama, ras dan lain-lain yang berujung pada perpecahan. Persatuan dalam keragaman harus dipahami oleh setiap warga negara agar dapat mewujudkan kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang. Adapun sikap yang perlu dikembangkan untuk mewujudkan persatuan dalam keragaman antara lain: a) Tidak memandang rendah suku atau budaya yang lain.
100 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
b) Tidak menganggap suku dan budaya sendiri paling tinggi dan paling baik. c) Menerima keragaman suku bangsa dan budaya sebagai kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya. d) Lebih mengutamakan negara daripada kepentingan daerah atau suku masing-masing. Sebagai seorang peserta didik yang aktif dan kreatif tentunya tidak ingin kebudayaan kita menjadi pudar bahkan lenyap karena pengaruh dari budayabudaya luar. Peserta didik memiliki kedudukan dan peranan penting dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa peserta didik merupakan anak bangsa yang menjadi penerus kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Unttuk mengumpulkan data peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam, obsevasi langsung dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan Miles dan Huberman, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Sedangkan uji keabsahan data meliputi validitas internal, validitas eksternal, reliabilitas dan objektivitas C. HASIL DAN PEMBAHASAN D. HASIL PENELITIAN Penelitian ini menekankan pada proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Pada bagian ini peneliti menyajikan hasil penelitian yang diperoleh melalui observasi langsung dan
wawancara mendalam sebagai metode utama untuk mendapatkan data, sehingga dapat mendeskripsikan dan menganalisa data dengan lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui bahwa pendidikan multikultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogayakarta dilakukan melalui kegiatan intrakurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler. Data yang diperoleh tersebut kemudian dianalisis dan dideskripsikan sebagai berikut: 1. Penerapan Pendidikan Multikultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa a. Kegiatan Intrakurikuler Dalam pelaksanaannya, pendidikan multikultural berbasis seni budaya tidak dijadikan satu mata pelajaran tersendiri, melainkan diselipkan ke dalam mata pelajaran yang ada, dengan mencari persamaan nilai yang ada.Pengembangan nilai-nilai multikultural berbasis seni budaya diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Pengembangannilai multikultural berbasis seni budayamelalui berbagai mata pelajaran yang telah ditetapkan sebagai berikut ini: Gambar 2.Pendidikan Multikultural berbasis Seni BudayamelaluiMata Pelajaran Ketaman siswaan
PKN
Bahasa Jawa
Temb ang Karaw itan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
Pendid ikan Multikultur al berbasis seni budaya
Bahasa Indonesia
SBK
Seni Tari Batik
101
Penanaman nilai-nilai kutural di dalam proses pembelajaran di sekolah dilaksanakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung misal melalui mata pelajaran PPKn, IPA, IPS, MTK, dan Agama. Sedangkan secara langsung dilakukan melalui mata pelajaran yang berhubungan langsung dengan seni budaya seperti Ketamansiswaan, SBK, tembang, karawitan, seni tari, dan bahasa jawa. Dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi pembelajaran pada mata pelajaran tersebut. b. Kegiatan PengembanganDiri Pengembangan multikultural selain melalui kegiatan belajar dapat juga dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu: 1) Kegiatan rutin Kegiatan rutin yaitu kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket kelas. dll. 2) Kegiatan spontan Kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana. 3) Kegiatan ekstrakurikuler Kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pendidikan multikultural berbasis seni dan budaya antara lain seperti gambar berikut ini:
Gambar 3. Pendidikan Multikultural berbasis Seni BudayaEkstrakurikuler Dolanan Anak
Pramuka
Drumband dan Pianika
Seni Lukis Pendidikan Multikultu ral berbasis seni budaya
Bahasa Jawa
Pencak Silat
a) Dolanan Anak Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Rabu pukul 11.35- 12.35 untuk peserta didik kelas 1 dan 2. b) Seni Lukis Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Selasa pukul 12.35- 13.35 di kelas rendah.. c) Bahasa Jawa Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Senin pukul 11.35-12.35 untuk peserta didik kelas 1, 2, dan 3. Hari Kamis pukul 12.1013.10 untuk kelas 4 dan 5, serta hari Selasa pukul 12.10-13.10 untuk kelas 6. d) Pencak silat Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Rabu pukul 13.10- 14.10 untuk peserta didik kelas 4 dan 5. e) Drumband dan Pianika Kegiatan ini dilakukan setiap hari Kamis pukul 13.10-14.10 di kelas tinggi. f) Pramuka
102 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
Kegiatan ini wajib dilaksanakan pada hari Sabtu pukul 12.1013.00 di kelas 3, 4,5 dan 6. 4) Kegiatan Studi Tour (Kunjungan Belajar) Kegiatan inidilaksanakan sekali dalam satu semester. Biasanya peserta didik diajak untuk mengunjungi kebun binatang, taman pintar, keraton Yogyakarta, museum-museum, berkunjung ke panti asuhan dll. Kegiatan ini dimaksudkan agar peserta didik mempunyai pengalaman hidup bersama orang lain langsung dalam situasi yang sangat berbeda dari kehidupan sehari-harinya. Dengan pengalaman langsung, peserta didik dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam cara pikir, tantangan, permasalahan, termasuk tentang nilai-nilai hidup. c. School Culture (Budaya Sekolah) yang Mendukung Pendidikan Multikultural berbasis Seni Budaya Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan multikultural melalui budaya sekolah mencakup semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi dan peserta didik. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah dimana anggota masyarakat sekolah saling berinteraksi. Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka mencapai visi sekolah yaitu melaksanakan pendidikan berbasis seni budaya dan berbudi pekerti luhur. Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian, dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin
dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan. Guru peran profesinya sebagai pendidik, yang bertugas tidak hanya sebagai penyampai materi, namun juga sebagai pembimbing, motivator, fasilitator, evaluator dll bagi peserta didiknya. Guru tidak hanya mengajarkan materi tetapi juga mengajarkan nilai-nilai di setiap kegiatan belajar mengajar agar terbentuk kompetensikultural peserta didik yang berbudi pekerti baik.Tenaga kependidikan (staff sekolah) juga memiliki peran. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keteladanan melalui pelayanan yang baik kepada peserta didik. Misalnya dalam hal pemberian informasi, ketika ada peserta didik yang menanyakan tentang sesuatu informasi maka staff dapat memberikan informasi yang dibutuhkan peserta didik dengan terbuka, jujur dan ramah. Selain itu para staff juga bisa bertindak sebagai model utnuk memberikan keteladanan yang baik kepada peserta didik. Peran peserta didik dalam pendidikan multikultural adalah sebagai pelaksana/ eksekutor nilainilai multikultural yang telah diajarkan. Peserta didik dapat turut serta menciptakan budaya sekolah yang kondusif melalui kepatuhan terhadap peraturan yang ada di sekolah. Dengan mempraktekkan nilai-nilai kultural dalam kegiatan nyata maka pendidikan multikultural akan jauh lebih bermakna. 2. Hambatan-hambatan Pendidikan Multikultural berbasis Seni Budaya
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
103
di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta Upaya sekolah untuk mencapai visi menjadi sekolah bermutu, berbasis seni budaya dan pendidikan budi pekerti luhur tidaklah mudah. Ada beberapa hambatan yang dialami sekolah. Berdasarkan hasil observasi dan penelitian yang dilakukan mulai tanggal 12 Maret- 7 september 2015 terdapat beberapa hambatan dalam pendidikan multikultural berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta, yaitu Pendidikan multikultural tidak diajarkan langsung melalui sebuah mata pelajaran tersendiri, sehingga tidak ada SOP baku yang bisa dijadikan pedoman oleh guru untuk menanamkan nilai-nilai multikultural. Selain itu narasumber LR mengungkapkan bahwa hambatan lain dalam pendidikan multikultural adalah “kesulitan bahasa, karena di Tamansiswa fokusnya adalah pengembangan budaya Jawa, maka ada mata pelajaran bahasa Jawa. Sedangkan di SD ini siswa berasal dari berbagai daerah. Ada yang berasal dari Kalimantan, Sumatera bahkan Papua, sehingga proses mengenalkan mereka terhadap bahasa Jawa apalagi aksara Jawa akan sangat sulit dilakukan” (18 Agustus 2015). Narasumber lain DIP dan ESR juga mengungkapkan hal yang sama yaitu kesulitan terdapat dalam hal penggunaan bahasa. Untuk peserta didik yang berasal dari suku Jawa akan lebih mudah memahami materi yang diberikan sedangkan siswa yang berasal dari luar pulau Jawa akan
mengalami kesulitan. Selain itu terbatasnya sarana juga menjadi hambatan pendidikan multicultural di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta. Sebagaimana diungkapkan oleh narasumber YAN “sarana untuk pembelajaran masih terdapat beberapa kekurangan, antara lain belum adanya LCD di kelas, padahal melalui LCD tersebut guru bisa lebih mudah mengajar, misalnya mengajar seni tari. Anakanak bisa melihat geraan-gerakan tari melalui video yang diputar, hal itu akan mempermudah anak untuk belajar tentang tari-tarian tradisional” (8 Mei 2015). Hambatan lain adalah pergaulan peserta didik di luar sekolah. Terdapat beberapa kebiasaan tidak baik ketika peserta didik berinteraksi di luar sekolah. Narasumber DFP mengungkapkan bahwa “dijaman teknologi seperti saat ini, anak-anak mulai terlena dengan dengan kecanggihannya sehingga lebih suka bermain HP dari pada bermain dengan teman-temannya. mereka lebih tertarik dengan permainanpermainan atau game yang ada di HP. Sedangkan pemainan-permainan tradisional dianggap jadul dan tidak menarik. Hal inilah yang kemudian membuat upaya menanamkan nilainilai kultural terutama sulit diterapkan, mereka hanya belajar dolanan anak di sekolah sebentar, tetapi di rumah tidak lagi dipraktekkan” (21 Agustus 2015). Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, selain faktor bahasa, pengaruh lingkungan dan kemajuan teknologi, hambatan lain adalah
104 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
rendahnya kualitas guru dalam penanaman nilai-nilai kultural di sekolah. Hal ini dikarenakan di sekolah tersebut terdapat guru-guru baru sehingga masih minim akan pegalaman mengajar. Padahal guru merupakan pusat dari pendidikan di sekolah. Guru harus berkualtas dan senantiasa mengembangkan kompetensinya yaitu kompetensi personal, sosial, pedagogic dan professional. Tidak hanya itu, berdasarkan hasil observasi, peneliti menemukan bebrapa kultur negatif yang yang ada di sekolah tersebut antara lain: a. Ketidaksopanan peserta didik: hal ini telihat pada saat pembelajaran di kelas. Peserta didik kurang sopan dalam hal bertanya maupun mengutarakan pendapatnya, selain itu ada beberapa peserta didik yang terlambat datang ke kelas. b. Suasana kelas yang kurang kondusif: ada siswa yang berjalan-jalan, atau asyik sendiri ketika guru sedang mengajar di kelas. c. Terdapat siswa berkebutuhan khusus yang tentunya akan mengalami kesulitan untuk mengikuti materi pelajaran yang diajarkan oleh guru. Terkadang siswa yang berkebutuhan khusus tersebut sering mendapat bulyying dari teman sekelasnya. 3. Solusi untuk Mengatasi Hambatan dalam Pendidikan Multikultural berbasis Seni Budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta Menyadari adanya berbagai hambatan dalam pendidikan multikultural berbasis seni budaya,
maka pihak sekolah berusaha untuk mencari solusi guna mengatasi hambatan-hambatan tersbut yaitu: a. Narasumber LR dan AS mengatakan bahwa “untuk hambatan di bidang bahasa Jawa, maka para guru mensiasatinya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Guru akan menerjemahkan bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia agar siswa bisa paham. Selain itu guru juga melakukan sistem penilaian yang berbeda terhadap siswa dari luar pulau Jawa. Terhadap siswa yang mengalami kendala berbahasa, guru akan lebih inten dalam mengajari. Selain itu juga ada ekstrakurikuler bahasa Jawa, sehingga jam belajar untuk bahasa jawa bisa lebih lama” (18 Agustus 2015). b. Penanaman nilai-nilai kultural terutama yang berbasis seni budaya tidak hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah tetapi juga lingkungan keluarga dan masyrakat. Narasumber AR mengatakan bahwa “agar terjadi keseimbangan dan keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan pendidikan anak di luar sekolah, maka pihak sekolah menggandeng orang tua untuk turut serta mengawasi pergaluan anakanaknya. Setiap 6 bulan sekali diadakan pertemuan rutin antara piak sekolah dengan orang tua/ wali murid. Dalam pertemuan tersebut tidak hanya membahas mengenai perkembangan anak dari segi
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
105
kognitif, tetapi juga dari segi mental dan perilaku anak sehari-hari di sekolah” (1 September 2015). Melalui kerjasama yang baik antara pihak sekolah dengan orang tua/wali peserta didik diharapakan penanaman nilainilai kultural dapat berjalan lebih efektif. c. Untuk mengatasi hambatan tentang rendahnya kompetensi guru, maka kepala sekolah membuat pertemuan rutin untuk internal guru dan staff yang diadakan setiap 3 bulan sekali, sebagaimana diungkapkan oleh AR “kami rutin mengadakan pertemuan internal setiap 3 bulan sekali. Pertuamn ini membahas mengenai kinerja guru dan perkembangan sisiwa. Setiap guru diberikan kesempatan untuk menilai kelebihan dan kekurangan guru lain. Namun tidak boleh ada unsur dendam atau apa. Karena penilaian ini juga penting agar setiap guru bisa menginstropeksi dirinya. Lalu dari kelemahan atau kekurangan tersebut, guru dibantu untuk memperbaikinya.” (1 September 2015) d. Untuk mengatasi hambatan mengenai ketidaktertiban peserta didik, sekolah menerapkan beberapa peraturan misalnya larangan penggunaan HP selama jam belajar berlangsung.
e. Untuk mengatasi hambatan mengenai siswa berkebutuhan khusus, maka pihak sekolah berkoordinasi dengan orang tua/ wali untuk menyediakan fasilitas guru pendamping. E. PEMBAHASAN 1. Pentingnya Pendidikan Multikultural berbasis Seni Budaya di Sekolah Dasar Hal yang paling penting dalam pendidikan di Indonesia adalah pemahaman akan keberagaman budaya (multikultural) di Indonesia. Keanekaragaman budaya Indonesia harus dipahami sebagai suatu yang “given” yang sudah menjadi fitrah bahwa Indonesia memang multi etnik dan budaya. Lemahnya pemahaman mengenai multikulturalisme telah melahirkan konflik horizontal yang memakan banyak korban sia-sia di Indonesia. Multikulturalisme secara sederhana dapat dikatakan pengakuan atas pluralisme budaya. Multikultur merupakan suatu tantangan yang mengedepankan majemuknya nilai-nilai, mekanisme dan struktur sosial dalam bingkai human being. Dalam kesadaran pluralisme, manusia dihadapkan pada proses pembelajaran yang terusmenerus bergulir sepanjang hidupnya terhadap suatu diluar pribadi dan identitas monokulturnya (Barnsford, 2000: 25). Pemahaman tentang multikultural dan nilai-nilai budaya tidak dapat diperoleh oleh manusia dengan sendirinya, oleh karena itu perlu adanya proses pendidikan. Pendidikan pada masyarakat pluralistis senantiasa bertumpu pada
106 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
tiga pilar: sekolah (profesional), orang tua (keluarga) dan masyarakat (pemerintah). Hal ini sesuai dengan ajaran Tamansiswa tentang Tri Pusat Pendidikan (Tim Dosen Ketamansiswaan, 2014) yaitu: a. Lingkungan Keluarga: terutama mengenai pendidikan budi pekerti, keagamaan dan kemasyarakatan secara informal. b. Lingkungan sekolah: terutama mengenai ilmu pengetahuan, kecerdasan, pengembangan budi pekerti secara formal. c. Lingkungan masyarakat terutama mengenai pengembangan keterampilan latihan kecakapan, pengembangan bakat secara non formal. Ketiga lingkungan tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam penanaman nilai-nilai multikultural kepada peserta didik. Terutama lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah memiliki peran yang sangat penting karena melalui kegiatan pembelajaran di sekolah, peserta didik tidak hanya diajarkan pengetahuan saja tetapi juga diajarkan nilai-nilai kultural seperti rasa saling hormat terhadap perbedaan, mampu bekerjasama dengan baik, bertanggung jawab dan mencintai budaya Indonesia. Dalam hal ini perlu dibina sikap yang mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika. Adapun sikap yang perlu dikembangkan antara lain: 1) Tidak memandang rendah suku atau budaya yang lain. 2) Tidak menganggap suku dan budaya sendiri paling tinggi dan paling baik. 3) Menerima keragaman suku bangsa dan budaya sebagai
kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya. 4) Mampu menjalin interaksi dan kerjasama yang baik dalam perbedaan. 5) Lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang berfungsi menanamkan kesadaran di kalangan generasi muda akan identitas dirinya, identitas kolektifnya, serta menumbuhkan calon warga negara yang baik dalam masyarakat yang majemuk (peserta didik memiliki kesadaran multikutural). Dalam hal ini, sekolah memiliki peranan yang sangat penting. Peranan tersebut diwujudkan dalam berbagai cara antara lain: a. Membangun paradigma keberagaman 1) Peran guru: guru mampu bersikap demokratis, dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kejadiankejadian tertentu yang berhubungan dengan agama. Guru bersikap adil dengan semua peserta didiknya dan mengajarkan tentang ibadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. 2) Peran Kepala Sekolah: membangun wacana keberagaman antara guru-guru dengan peserta didik. Pihak sekolah menyediakan fasilitas peribadahan seperti masjid/ mushola untuk agama Islam, tempat doa untuk beragama katholik, protestan, budha, hindu dan khong hucu. b. Menghargai keberagaman bahasa
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
107
Guru memiliki sikap menghargai keberagaman bahasa dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut di sekolah sehingga membangun sikap perserta didik agar mereka selalu mengahrgai orang lain yang memiliki bahasa, aksen dan dialek yang berbeda. Guru menggunakan bahasa Indonesia disetiap proses pembejalaran jika terdapat siswanya yang berasal dari daerah berbeda, agar siswa tersebut dapat mengikuti pembelajaran dengan baik tanpa ada hambatan bahasa dan dialek. c. Membangun sensitivitas gender 1) Peran Guru: membangun kesadaran peserta didik terhadap nilai-nilai kesadaran gender dan sikap anti diskriminasi. Guru mengajarkan dan memberi contoh yang biak kepada para peserta didik dan harus membiasakan bersikap adil dan netral, jangan sampai ada kasus bullying. 2) Peran Kepala Sekolah: memiliki sekaligus menerapkan sikap anti diskriminasi gender, berperan aktif untuk memberikan pelatihan gender terhadap seluruh staf termasuk guru dan peserta didik, memupuk dan menggugah kesadaran peserta didik tentang kesadaran gender dan sikap anti diskriminasi melalui kegiatan-kegiatan sekolah.
d. Membangun sikap kepedulian sosial Guru dan sekolah memiliki peran terhadap pengembangan sikap perserta didik untuk peduli dan kritis, sikap memanusiakan manusia artinya menanamkan sikap simpati dan empati terhadap sesama dan lingkungan sekitar tanpa ada rasa perbedaan, dan kritis terhadap pengetahuan yang baru peserta didik peroleh. e. Membangun sikap anti diskriminasi etnis 1) Peran guru: seorang guru dituntut untuk memiliki pemahaman yang cukup tentang sikap anti diskriminasi etnis, dan memberikan perlakuan adil terhadap seluruh peserta didik. Dalam hal ini guru bertindak sebagai pribadi yang netral agar tercipta suasana pembelajaran yang nyaman. 2) Peran kepala sekolah: sebagai stakeholder di sekolah dapat membuat sebuah kebijakan yang dapat menciptakan hubungan harmonis warga sekolah, seperti membuat forum atau pusat kajian budaya nasional dll. f. Membangun sikap anti diskriminasi terhadap perbedaan kemampuan 1) Peran guru: memberikan contoh langsung kepada peserta didik untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap mereka yang memiliki perbedaan
108 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
kemampuan. Misal dalam pemilihan ketua kelas. Guru tidak hanya memberikan kesempatan kepada peserta didik laki-laki yang bisa menjadi ketua kelas, tetapi peserta didik perempuan juga bisa dipilih menjadi ketua kelas. 2) Peran kepala sekolah: membuat dan menerapkan peraturan yang menekankan bahwa sekolah menerima para peserta didik yang “normal” dan berkebutuhan khusus, menyediakan pelayanan khusus, memberikan pelatihan bagi guru-guru dan staf tentang cara bersikap dan menghargai peserta didik yang memiliki kebutuhan yang berbeda. g. Membangun sikap anti diskriminasi umur 1) Peran guru: memberikan perhatian yang sama kepada peserta didik tanpa membanding-bandingkan mana yang lebih tua dan mana yang muda. Karena jika terjadi hal demikian, maka akan mengakibatkan peserta didik minder, malu dan malas ke sekolah. 2) Peran kepala sekolah: menerapkan peraturan bahwa segala bentuk diskriminnasi umur dilarang keras di sekolah dan mewajibkan kepada peserta didik untuk selalu memahami dan menghargai perbedaan umur yang ada di sekitar mereka. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari adanya
bullying dari speserta didik senior kepada juniornya. 2. Pendidikan Multikultural berbasis Seni budaya melalui Intrakurikuler Upaya penanaman nilai-nilai kultural dan budaya dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas yaitu diintegrasikan ke dalam sembilan mata pelajaran antara lain: a. Ketamansiswaan Ilmu ketamansiswaan membahas mengenai hal ikhwal mengenai Tamansiswa yang meliputi sejarah berdirinya, pendidikan dan organisasi Tamansiswa. Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak, agar dalam garis kodrat peribadinya serta pengaruh lingkungannya, mereka memperoleh kemajuan lahir dan batin menuju ke arah adab kemanusiaan. Adapun maksud dari jiwa dalam budaya bangsa meliputi cipta, karsa dan rasa, yang oleh istilah psikologi disebut aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. b. Pendidikan Kewarganegaraan Merupakan mata pelajaran yang mengajarkan tentang ideologi negara Republik Indonesia yaitu Pancasila. Di dalam Pancasila terdapat semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Melalui semboyan tersebut peserta didik diharapakan menjadi warga negara yang demokratis, yaitu warga negara yang mau menerima perbedaan yang ada, saling menghormati
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
109
dan menghargai, mencintai kebudayaan nasional, mampu berinteraksi dalam segala perbedaan yang ada dan bekerjasama, sehingga keterampilan kultural peserta didik dapat berkembang dengan baik. c. Seni Budaya dan Keterampilan Pendidikan seni budaya dan ketrampilan memiliki sifat multilingual, multidimensional dan multikultural. Multilingual berarti pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai cara dan media seperti bahasa, rupa, bunyi, gerak, peran dan lain-lain. Multidimensional berarti pengembangan beragam kompetensi meliputi konsepsi, apresiasi dan kreasi dengan cara memadukan unsur estetika, logika, kinestetika dan etika secara seimbang. sifat multikultural mengandung arti bahwa pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya nusantara. Hal ini merupakan wujud pembentukan sikap demokratis yang memungkinkan seseorang hidup secara beradab serta toleran dalam masyarkat dan budaya yang majemuk. d. Seni Tari Seni tari bukan dijadikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler, melainkan masuk dalam kegiatan intrakurikuler. Tujuan dari mata pelajaran ini aldah memberikan
wadah bagi peserta didik untuk mengembangkan minat dan bakatnya dalam bidang tari. Selain itu juga dalam rangka mengembangkan dan melestarikan salahh satu budaya Jawa yang adhiluhung. e. Batik Merupakan seni melukis di atas kain dengan menggunakan malam (lilin) sebagai pelindungnya untuk mendapatkan ragam hias di atas kain tersebut. melalui mata pelajaran ini, peserta didik mengetahui cara membatik sehingga harapannya dapat ikut melestarikan budaya asli Indonesia. Membatik juga melatih peserta didik untuk bersabar, teliti, kreatif dan cinta tanah air. f. Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang menekankan pada keterampilan berbahasa peserta didik, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Melalui mata pelajaran ini peserta didik dapat diajarkan untuk menjalin komunikasi dengan baik dengan yang lain meskipun berbeda latar belakang suku dan daerah. g. Bahasa Jawa Bahasa Jawa bertujuan untuk mengenalkan budaya Jawa kepada peserta didik. Tamansiswa memiliki fokus utama untuk pengembangan budaya, khususnya budaya Jawa. Melalui mata pelajaran ini peserta didik secara tidak langsung diperkenalkan budaya
110 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
daerah dan sekaligus sebagai upaya pelestarian budaya nasional. h. Karawitan Karawitan adalah sebuah seni dari jawa tengah yaitu memainkan lagu Jawa dengan diiringi alat musik yang disebut dengan gamelan. Melalui mata pelajaran ini peserta didik diajarkan tentang nilai-nilai kultural yang meliputi kebersamaan, disiplin, toleransi, kepekaan dan kerjasama dalam perbedaan. Tujuan dari mata pelajaran ini alah pembinaan rasa cinta budaya dan sebagai bentuk pelaksanaan kearifan lokal. i. Tembang Merupakan seni suara vokal yang berirama bebas terikat oleh pola pupuh atau syair. Tembang bukan dijadikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler tapi justru masuk ke dalam instrakurikuler. Hal ini dimaksudkan agar semua peserta didik dapat mempelajari tembang. Melalui mata pelajaran tembang, peserta didik diajarkan tentang budaya daerah yaitu budaya Jawa, serta memupuk motivasi mereka untuk melestarikan budaya sendiri. 3. Pendidikan Multikultural berbasis Seni budaya melalui Intrakurikuler Upaya penanaman nilai-nilai kultural dan budaya dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler yaitu sebagai berikut: a. Dolanan Anak Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Rabu pukul 11.35- 12.35 untuk peserta didik kelas 1 dan 2. Ekstrakurikuler ini bertujuan
untuk mengenalkan peserta didik terhadap jenis-jenis permainan tradisional yang mulai hilang oleh modernitas. Peserta didik diajarkan untuk lebih mengenal dan mencintai permainan tradisional dan bangga terhadap permainan warisan budaya Indonesia. Permainan dolanan anak meliputi cublak cublak suweng, dakon, jamuran, gobak sodor, dll. b. Seni Lukis Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Selasa pukul 12.35- 13.35 di kelas rendah. Tujuan diajarkannya seni lukis adalah memberikan wadah bagi peserta didik yang memiliki bakat dan minat dibidang seni lukis. Nilainilai kultural yang ditanamkan melalui kegiatan ini adalah cinta keindahan (estetika), kerjasama, percaya diri dan mampu menghargai perbedaan. c. Bahasa Jawa Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Senin pukul 11.35-12.35 untuk peserta didik kelas 1, 2, dan 3. Hari Kamis pukul 12.1013.10 untuk kelas 4 dan 5, serta hari Selasa pukul 12.10-13.10 untuk kelas 6. Ektrakurikuler bahasa Jawa bertujuan untuk mengenalkan budaya Jawa melalui bahasa daerah. Peserta didik yang mengikuti ektrakurikuler ini tidak hanya peserta didik yang berasal dari suku Jawa malainkan juga terdapat peserta didik yang berasal dari luar suku Jawa. d. Pencak silat Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari Rabu pukul 13.10- 14.10
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
111
untuk peserta didik kelas 4 dan 5. Pencak silat adalah hasil-hasil budaya manusia Indonesia untuk membela, mempertahankan eksistensi dan integritas terhadap lingkungan hidup, alam sekitarnya untuk mencapai keselarasan hidup guna peningkatan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. e. Drumband dan Pianika Kegiatan ini dilakukan setiap hari Kamis pukul 13.10-14.10 di kelas tinggi. Tujuan diadakannya kegiatan ini adalah penyaluran bakat dalam kepekaan terhadap musik. Nilai-nilai multikultural yang ditanamkan dalam kegiatan ini adalah kedisiplinan, peserta didik mampu menghargai dan saling bekerjasama dalam perbedaan. f. Pramuka Kegiatan ini wajib dilaksanakan pada hari Sabtu pukul 12.1013.00 di kelas 3, 4,5 dan 6. Tujuan diadakannya pramuka adalah agar peserta didik dapat memgembangkan diri, belajar berbsosialisasi, mengasah keterampilan, mencintai alam. Nilai-nilai multikultural yang ingin ditanamkan melalui kegiatan ini adalah peserta didik menjadi disiplin, mampu bekerjasama, kepedulian, tenggang rasa daan lain sebagainya. 4. Pendidikan Multikultural berbasis Seni budaya melalui Kegiatan
Pengembangan Diri dan School Culture Pendidikan multikultural berbasis seni budaya melalui kegiatan pengembangan diri diantaranya dilakukan melalui pola interaksi, keteladanan dan berbagai kegiatan ektrakurikuler seperti dolanan anak, seni lukis, pramuka, drumband dan pianika, bahasa Jawa, pencak silat, dan study tour. Kesenian nasional menurut Tamansiswa dimaksudkan untuk menanamkan benih atau bekal nudi pekerti (watak atau tabiat) yang akan merapatkan jiwa anak dengan kebangsaannya. Adapun pelajaran kesenian dapat menjadikan cultiveren yakni memasak jiwa dan raga anakanak, sehingga kelak akan mencapai derajat manusia yang utama serta dapat menyusun perikehidupan yang pantas dalam masyarakat. Tak boleh dilupakan pula bahwa pelajaran kesenian itu amat besar manfaatnya untuk menolak pengaruh “intelektualisme” yang merajalela hingga mengalahkan moral atau rasa kesucian (Saefudin &Solahudin, 2009) Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan multikultural melalui budaya sekolah meliputi: 1) Interaksi Antara peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan peserta didik, konselor dengan peserta didik dan sesamanya, pegawai administrasi dengan dengan peserta didik, guru dan sesamanya. Interaksi tersebut terikat oleh berbagai aturan,
112 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Misalnya ada budaya senyum, sapa dan salam dalam interaksi tersebut. 2) Keteladanan Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya sebuah tujuan pendidikan . Tumpuan pendidikanada pada guru. Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan multikultural tidak sekedar melalui sesuatu yang dikatakan dalam pembelajaran, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri guru. Guru dapat menjadi idola dan panutan bagia peserta didik. Keselarasan antara kata dan tindakan dari guru akan amat berarti bagi seorang peserta didik, demikian pula apabila terjadi ketidakcocokan antara kata dan tindakan guru maka perilaku peserta didik juga akan tidak benar. Misalnya guru mengajarkan rasa saling mengormati dan tidak pilih kasih dalam berinteraksi dengan teman, maka terlebih dahulu harus mampu bersikap menghormati perbedaan yang ada dan tidak pilih kasih terhadap peserta didik dan warga sekolah yang lain. Apabila guru berperilaku pilih kasih terhadap peserta didik tertentu dan kurang peduli terhadap peserta didik yang lain maka guru tersebut belum mampu memberikan teladan yang baik bagi peserta didiknya. 5. Pengkondisian/ Penciptaan School Culture yang Positif
Pengkondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan multikultural, misalnya kebersihan badan dan pakaian, toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster katakata bijak di sekolah dan di dalam kelas dll.Proses pendidikan multikultural melibatkan peserta didik secara aktif dalam semua kegiatan keseharian di sekolah. Dalam kaitan ini, kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lain diharapkan mampu menerapkan prinsip ”Tut Wuri Handayani” dalam setia yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menyenangkan dan tidak indoktrinatif. Misalnya guru menggunakan metode games dalam kegiatan pembelajaran. Dengan menggunakan metode games, peserta didik dapat secara aktif berpartisipasi dalam pembelajaran sehingga suasana belajar menjadi lebih menyenangkan. Selian itu SD Taman Muda Ibu Pawiyatan dengan sistem among. Sistem among Ki Hadjar Dewantara merupakan metode yang sesuai untuk pendidikan karena merupakan metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Para guru bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Tujuan dari sistem among adalah membangun peserta didik untuk menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani dan rokhani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
113
bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya. Dalam pelaksanaan sistem among, setelah peserta didik menguasai ilmu, mereka didorong untuk mampu memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong oleh cipta, rasa, dan karsa, sehingga harapannya dapat terbentuk generasigenerasi muda yang “sadar budaya”. Keterlibatan semua warga sekolah, terutama peserta didik dalam perawatan, pemanfaatan, pemeliharaan sarana dan prasarana serta lingkungan sekolah sangat diperlukan dalam rangka membangun atau membentuk multikultural peserta didik. Kondisi lingkungan sekolah yang bersih, indah, dan nyaman dengan melibatkan peserta didik secara aktif akan menumbuhkan rasa memiliki, tanggung jawab dan komitmen dalam dirinya untuk memelihara semua itu. 6. Hambatan-hambatan Pendidikan Multikultural berbasis Seni Budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta Dalam rangka pendidikan multikultural berbasis seni budaya yang dapat mendorong terjadinya proses imajinatif, berpikir kreatif dan sadar budaya, pendidikan multikultural tidak terlepas dari berbagai problem yang menjadi penghambatnya. Permasalahan itu terkait dengan proses pembelajarannya di sekolah. Beberapa permasalahan awal pendidikan multikultural berbasis budaya, antara lain:
a. Pendidikan multikultural tidak diajarkan dalam bentuk mata pelajaran, sehingga tidak ada SOP yang baku yang dapat dijadikan pedoman oleh guru. b. SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta memiliki fokus utama untuk pengembangan budaya Jawa, sehingga Bahasa Jawa menjadi salah satu mata pelajaran yang wajib ditempuh oleh seluruh peserta didik. Di sisi lain, peserta didik berasal dari berbagai daerah, mereka yang berasal dari luar pulau Jawa akan mengalami kesulitan menempuh mata pelajaran Bahasa Jawa. c. Terbatasnya sarana sekolah yang dapat mendukung pembelajaran multikultural berbasis seni budaya. d. Dampak perkembangan teknologi seperti HP membuat pendidikan multikultural sulit dilakukan, karena peserta didik lebih tertarik bermain HP daripada bermain bersama teman-teman. Padahal pendidikan multikultural sendiri merupakan salah satu pendidikan yang menanamkan rasa saling menghormati dan menghargai dalam berinteraksi di tengahtengah perbedaan yang ada. Permainan-permainan tradisional lebih kalah menarik dengan permainan games yang ada di HP. e. Hambatan lain adalah rendahnya kualitas guru dalam penanaman nilai-nilai multikultural di sekolah. Guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik. Guru kurang menguasai garis
114 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkan. Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing dan konteks budaya masingmasing serta dalam dimensi pengalaman belajar yang diperoleh. f. Terdapat siswa berkebutuhan khusus yang tentunya akan mengalami kesulitan untuk mengikuti materi pelajaran yang diajarkan oleh guru. Terkadang siswa yang berkebutuhan khusus tersebut sering mendapat bullying dari teman sekelasnya. Bahkan terkadang bullying justru dilakukan oleh guru pendamping terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Bullying di sekolah akan berdampak negatif pada perkembangan psikologis peserta didik. 7. Solusi untuk mengatasihambatan Pendidikan Multikultural berbasis Seni Budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta Strategi untuk megatasi berbagai kendala pelaksanaan pendidikan multikultural berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta dilakukan dengan cara: a. Menggunakan sistem dua bahasa (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia) untuk pembelajaran bahasa Jawa. Hal ini dilakukan agar kesulitan yang dialami oleh
peserta didik yang berasal dari luar pulau jawa dapat teratasi. Selain itu guru juga memberikan jam tambahan belajar (les) bahasa Jawa secara gratis kepada peserta didik yang mengalami kesulitan bahasa Jawa. b. Meningkatkan kualitas profesionalisme para pamong/guru, dengan cara membuat pertemuan internal setiap 3 bulan. Pertemuan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kinerja guru. Hasil evaluasi dapat dijadikan guru untuk upaya perbaikan. Selain itu, pihak sekola juga mengikutsertakan guru dalam berbagai pelatihan atau seminar baik tingkat lokal maupun nasional. c. Upaya lain yang dilakukan sekolah adalah meningkatkan sinergitas antara sekolah, keluarga, dan masyarakat, di mana setiap 6 bulan sekali diadakan pertemuan rutin. Dalam pertemuan tersebut dibahas mengenai perkembangan peserta didik mulai dari kognitif, afektif hingga psikomotor. Melalui kerjasama antara sekolah, orang tua/wali, dan masyarakat diharapkan pendidikan multikultural dapat berjalan efektif. d. Larangan penggunaan HP di sekolah bertujuan agar peserta didik tidak terlena dengan berbagai aplikasi permainan (game) yang ada di dalamnya. Hal ini juga bertujuan agar peserta didik mampu bersosialisasi dengan temantemannya, memiliki minat
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
115
terhadap permainan tradisional melalui dolanan anak, sehingga penanaman nilai-nilai kultural akan lebih mudah dilakukan. Untuk mengatasi hambatan mengenai siswa berkebutuhan khusus, maka pihak sekolah berkoordinasi dengan orang tua/ wali untuk menyediakan fasilitas guru pendamping. Guru pendamping wajib mengikuti serangkaian tes agar guru tersebut mampu menjalankan tugasnya untuk mendampingi peserta didik berkebutuhan khusus dengan menerapkan sistem among. F. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikltural berbasis seni budaya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta tidak dilakukan dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran mata pelajaran, proses pembelajaran dan kegiatan pengembangan diri. Mata pelajaran yang dapat digunakan untuk pengintergasian nilai-nilai multikultural dan seni budaya antara lain Ketamansiswaan, PKn, SBK, Seni Tari, Batik, Bahasa Indonesia, Karawitan , Tembang, dan Bahasa Jawa. Penanaman nilai-nilai multikultural dan seni budaya juga dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung, yaitu melalui kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup dalam pembelajaran di kelas. Penanaman nilai-nilai multikultural dan seni budaya melalui kegiatan pengembangan diri dilakukan dengan cara penciptaan kultur sekolah yang kondusif dan kegiatan ekstrakurikuler yang meliputi dolanan anak, seni lukis,
bahasa jawa, pencak silat, pramuka, drumband dan pianika. Penanaman nilai-nilai multikultural berbasis seni budaya mengalami beberapa hambatan antara rendahnya kualitas guru, kesulitan dalam pembelajaran bahasa jawa, kurangnya media atau sarana dan prasarana dalam pembelajaran, pengaruh pergaulan peserta didik di luar sekolah yang tidak bisa dipantau langsung oleh para guru, pengaruh lingkungan dan kemajuan teknologi, serta adanya peserta didik yang berkebutuhan khusus. Solusi yang digunakan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut antara lain meningkatkan kualitas profesionalisme para pamong/guru, dengan cara membuat pertemuan internal setiap 3 bulan, menggunakan sistem dua bahasa (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia) untuk pembelajaran bahasa Jawa, adanya pertemuan rutin setiap 6 bulan sekali antara orang tua/wali peserta didik dengan guru. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan peserta didik baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Terkait kemajuan teknologi berupa penggunaa HP, sekolah membuat peraturan yang membatasi penggunaan HP di sekolah sehingga peserta didik dapat belajar dengan baik dan berinteraksi dengan teman-temannya. Sekolah juga bekerja sama dengan orang tua/wali murid untuk menyediakan guru pendamping bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus. Implementasi pendidikan multikultural berbasis seni dan budaya dapat meningkatkan kualitas pendidikan moral bangsa. Peserta didik dapat memiliki kompentesi kultural seperti toleransi, menghargai perbedaan, mampu berinteraksi sosial dan menjalain
116 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
kerjasama dengan baik, serta lebih mencintai budaya-budaya asli yang berkembang di Indonesia, sehingga harapannya peserta didik mampu menjadi generasi pelestari budaya bangsa Indonesia. Selain itu melalui pendidikan multikultural berbasis seni dan budaya, peserta didik tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga secara emosional dan spiritual. DAFTAR PUSTAKA Banks, JamesA.2007.An Introduction To Multikultural Education. Boston: Allyn & Bacon. Bardnsford, John D.2001.How People Learn: Brain, Main, Experience and School.Washington DC: National Academy Press. Basrowi & Suwandi.2008. Memahami Penelitian Kualitataif. Jakarta : Sinar Grafika. Dharmawati.2012. Materi Kuliah Kesenian dan Kerajinan. Yogyakarta: PGSD UST. Faisal, Sanapiah.2007. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT Radja Grafindo Persada Nurhayati, D. Uswatun.2013. Pendidikan Seni Budaya Kurikulum 2013:
Suatu Alternatif Transformasi Nilai-Nilai Luhur Budaya Bangsa. Yogyakarta: Widyaiswara PPP4TK. Miles, Matthew & Huberman, A. Michael.2007. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). Saefudin, A. Azis & M. Solahudin.2009. Menuju Manusia Merdeka Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Leutika. Sugiyono.2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Tim Dosen Ketamansiswaan.2014. Materi Kuliah Ketamansiswaan. Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Undang-undang Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Zamroni.2011. Pendidikan demokrasi pada masyarakat multikultural. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
117
PENGARUH METODE PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP PRESTASI BELAJAR DITINJAU DARI GAYA BELAJAR DAN KEMANDIRIAN Sigit Sujatmika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
[email protected]
ABSTRACT The aims of this research are to find out: (1) the influence of Problem-Based Learning Method on student’s learning achievement, (2) the influence of learning style on students’ learning achievement, (3) the influence of students’ independence on their learning achievement, (4) the relationship between students’ learning style and independence on their learning achievement.This research used experimental method. The population was the fourth semester students of Elementary School Teacher Education Study Program in academic year 2011/2012 which involved eight classes. Two classes were taken as the samples by applying cluster random sampling technique. The data of students’ learning achievement were collected by using test method, while the data of students’ learning style and independence were collected through questionnaire. In analyzing the data, the researcher used a three-way analysis of variance with unequal cells (ANOVA).The research results showed that: (1) there was no influence of Problem-Based Learning method on students’ learning achievement (p=0.620), (2) there was no influence of students’ visual, auditory, and kinesthetic learning styleson their learning achievement (p=0.455), (3) there was no influence of the levels of students’ independence on their learning achievement (p=0.703), and(4) there was no relationship between students’ learning style and independence on their learning achievement (p=0.708). Keywords : Problem-Based Learning Method, learning style, independence
A. PENDAHULUAN Proses belajar mengajar yang menyenangkan dan menarik akan menimbulkan motivasi yang kuat bagi peserta didik untuk mengikuti pelajaran secara aktif. Semakin aktif peserta didik dalam mengikuti pelajaran berarti semakin banyak indera yang digunakan untuk menyerap pelajaran yang sedang dipelajarinya, sehingga cenderung prestasi belajarnya semakin baik. Sebaliknya proses belajar mengajar yang monoton seperti hanya menggunakan metode caramah yang terusmenerus menyebabkan peserta didik kurang tertarik untuk mengikuti pelajaran secara aktif. Akibatnya penyerapan terhadap materi
pelajaran kurang maksimal dan akhirnya prestasi belajar menjadi rendah. Dalam kegiatan belajar mengajar yang lebih berpusat pada peserta didik, akan didapat makna pelajaran yang lebih dalam. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan kegiatan belajar yang berpusat pada guru atau dosen (teacher center).Peserta didik mengikuti pelajaran dengan mendengarkan penjelasan yang diberikan oleh pendidik. Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student center) dapat dilakukan dengan berbagai metode. Sebagai contoh adalah model pembelajaran kooperatif dan jugaProblem Based Learning (PBL) atau bisa disebut juga Problem Based Instruction (PBI).
118 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
“Problem Based Learning mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa (perilaku mereka), tetapi pada apa yang siswa pikirkan (kognisi mereka) selama mereka mengerjakannya. Meskipun peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah kadang-kadang juga melibatkan mempresentasikan dan menjelaskan berbagai hal kepada siswa, tetapi guru lebih harus sering memfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk berpikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri” (Sugiyarto, 2009: 152) Berdasarkan pendapat dari Sugiarto di atas, metode ProblemBased Learning merupakan salah satu cara untuk lebih mengaktifkan peserta didik selama proses pembelajaran. Selain itu model ini mendesain suasana belajar untuk memecahkan masalah baik secara individu maupun kelompok.Dengan melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah yang telah dikondisikan sedemikian rupa, maka peserta didik akan berpikir secara maksimal dan megaktifkan potensi dirinya sehingga proses belajar lebih hidup. Sedangkan pendidik baik guru maupun dosen berperan sebagai pembimbing dan fasilitator selama kegiatan belajar berlangsung. Menurut A. Rusmiyati (2009) Problem Based Instruction merupakan suatu model pembelajaran yang menyajikan suatu masalah kepada siswa sebelum mereka membangun pengetahuannya. Menurut peneliti, model pembelajaran ini akan melatih kemampuan berpikir siswa dan membantu menemukan pengetahuan. Lebih lanjut menurut A. Rusmiyati (2009) Melalui PBI siswa dilatih menyusun sendiri pengetahuannya, mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, mandiri serta meningkatkan kepercayaan diri.
Selain model atau metode pembelajaran, untuk meningkatkan prestasi belajar juga perlu memperhatikan faktor dari dalam peserta didik (faktor intrinsik). Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik seperti motivasi, bakat, minat, penguasaan konsep dasar ,gaya belajar, dan kemandirian. Sebagai gambaran adalah, apabila peserta didik tidak memiliki motivasi terhadap suatu pelajaran maka kemungkinan besar hasil belajarnya pun rendah. Gaya belajar peserta didik yang beraneka ragam juga perlu mendapat perhatian. Peserta didik yang condong pada gaya belajar auditorial, maka ia akan lebih memperhatikan pada aspek suara selama proses belajar. Atau peserta didik yang memiliki gaya belajar visual, maka ia akan lebih senang dengan slide, gambar, charta atau tayangan visual lainnya. Melvin L dalam (Ariesta, 2014) menyatakan bahwa setiap 30 siswa, 22 diantaranya rata-rata dapat belajar dengan efektif selama gurunya menghadirkan kegiatan belajar yang berkombinasi antara visual, auditorial, dan kinestetik. Oleh sebab itu, peneliti beranggapan bahwa gaya belajar merupakan salah satu modal penting dalam keberhasislan siswa untuk belajar. Kemandirian juga berperan dalam pencapaian prestasi belajar. Peserta didik yang memiliki kemandirian yang tinggi cenderung memiliki inisiatif, tanggung jawab, dan bersungguh-sungguh dalam belajar.Oleh sebab itu, peneliti ingin mengambil benang merah antara penggunaan metode pembelajaran Problem Based Learning terhadap prestasi belajar mahasiswa dengan meninjau gaya belajar dan kemandirian peserta didik. Tujuan penelitian ini ada empat yaitu 1) Mengetahui ada tidaknya pengaruh metode pembelajaran Problem Based Learning terhadap prestasi belajar mahasiswa. 2) Mengetahui ada tidaknya
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
119
pengaruh gaya belajar terhadap prestasi belajar mahasiswa. 3) Mengetahui ada tidaknyapengaruh kemandirian terhadap prestasi belajar mahasiswa. 4) Mengetahui ada tidaknya interaksi antara gaya belajar dan kemandirian terhadap prestasi belajar mahasiswa. B. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dilakukan di Program Studi PGSD FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) yang terletak di kampus Tuntungan jalan Batikan Umbul Harjo Yogyakarta. Sebagai kelas penelitian adalah mahasiswa semester empat dengan jumlah 64 orang. Waktu penelitian yang diambil yaitu pada semester genap. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen membutuhkan kelas untuk treatmen dan kelas untuk kontrol. Desain penelitian ini tampak seperti pada tabeldi bawah ini. Tabel 1. Desain Penelitian Kemandirian
Gaya Belajar
Visual Auditoria l Kinesteti k
Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah
Metode Problem Based Learning A B C D E F
Keterangan : A : Prestasi belajar mahasiswa dengan gaya belajar visual kemandirian tinggi. B : Prestasi belajar mahasiswa dengan gaya belajar visual kemandirian rendah. C : Prestasi belajar mahasiswa dengan gaya belajar auditorial kemandirian tinggi. D : Prestasi belajar mahasiswa dengan gaya belajar auditorial kemandirian rendah. E : Prestasi belajar mahasiswa dengan gaya belajar kinestetik kemandirian tinggi. F : Prestasi belajar mahasiswa dengan gaya belajar kinestetik kemandirian rendah.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerapan metode Problem Based Learning.Variabel moderator dalam penelitian ini adalah gaya belajar dan kemandirian.Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah kelas dengan metode pembelajaran konvensional (ceramah dan tanya jawab).Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu prestasi belajar mahasiswa yang ditunjukkan dengan skor (nilai) hasil tes.Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa jurusan PGSD semester 4 FKIP UST.Sampel penelitian adalah mahasiswa PGSD kelas A dan B semester empat. C. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
DAN
Penelitian ini merupakan jenis eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh suatu perlakuan atau treatmen berupa penerapan metode pembelajaran Problem Based Learning terhadap prestasi belajar mahasiswa, ditinjau dari variabel moderator berupa gaya belajar dan kemandirian. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh metode pembelajaran Problem Based Learning terhadap prestasi belajar mahasiswa, maka perlu adanya kelas pembanding atau disebut dengan kelas kontrol. Kelas ini sebagai variabel pengendali berupa kelas dengan metode ceramah dan tanya jawab. Suatu metode pembelajaran yang biasa digunakan di perguruan tinggi. Kedua kelas ini diberi tes dengan soal yang sama, dan hasilnya diolah statistik untuk dapat dianalisis. Antara kelas eksperimen dan kelas kontrol perlu diperhatikan kesetaraannya. Adapun kesetaraan yang dimaksud di sini adalah perbandingan kemampuan mahasiswa dalam bidang akademik antara kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda atau sama. Untuk mengetahui kesetaraan
120 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol perlu diadakan tes dengan soal yang sama. Bentuk yang dapat diambil bisa berupa pretes, postes, nilai IQ atau perbandingan data akademik. Peneliti mengambil nilai tes dengan soal yang sama pada kedua kelas dan dibandingkan. Dalam hal ini sebagai sarat uji parametrik berupa uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh berdistribusi normal atau tidak, sedangkan uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh homogen atau merata antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Untuk kelas eksperimen yang terdiri dari 32 mahasiswa, data statistiknya adalah sebagai berikut. Tabel 2. Data Statistik Kelas Eksperimen Jumlah Mahasis wa
Ratarata
32
70,75
Stand ar Devia si 9,158
Nilai Minimu m
Nilai Maksi mum
50
83
Data kelas kontrol atau kelas pengendali yang terdiri dari 32 mahasiswa adalah sebagai berikut. Tabel 3. Data Statistik Kelas Kontrol Jumlah Mahasis wa 32
Ratarata
Standar Deviasi
69,43 8
11,728
Nilai Minimu m 47
Nilai Maksim um 93
Hasil dari uji prasyarat menunjukkan bahwa sampel berdistribusi normal dan homogen. Oleh sebab itu data dapat dianalisis secara parametrik. Uji statistik berikutnya adalah uji hipotesis menggunakan ANOVA. Hipotesis yang diajukan peneliti ada empat butir. Hipotesis pertama adalah Problem Based Learning berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa. Hipotesis kedua gaya belajar berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa.
Hipotesis ketiga bahwa kemandirian belajar berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa. Hipotesis keempat yaitu adanya interaksi antara gaya belajar dan kemandirian terhadap prestasi belajar mahasiswa. Secara keseluruhan, hasil uji hipotesis adalah sebagai berikut. Tabel 4. Hasil Uji Hipotesis
Metode
D F 1
Gaya belajar
2
Kemandirian
1
Gaya belajar*Kema ndirian
2
Sumber
SS
MS
F
P
28
28
129, 22 16,7 9 61,5 4
71, 54 13, 11 30, 77
0. 25 0, 81 0, 15 0, 35
0.6 0 0,4 55 0,7 03 0,7 08
RSq 0.4 0 0,0 82 0,0 82 0,0 82
Berdasarkan hasil uji ANOVA dan uji General Linear Model (GLM) di atas, dapat digunakan untuk mengetahui apakah hipotesis yang diajukan peneliti ditolak atau diterima. Poin yang perlu diperhatikan adalah besaran nilai P yang ditunjukkan. Nilai P tersebut dibandingkan dengan derajat kealpaan sebesar 5% atau 0,05. Jika nilai P lebih besar dari alpha (α) maka peneliti tidak boleh menolak hipotesis nol atau Ho dan harus menolak Ha, sedangkan jika P lebih kecil dari alpha (α) maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa semua besaran P baik pada Anova maupun GLM adalah lebih besar dari 0,05 dengan demikian semua hipotesis yang wajib diterima adalah Hipotesis nol atau Ho. Dengan kata lain semua hipotesis yang diajukan peneliti gugur atau treatmen yang diberikan tidak berpengaruh terhadap hasil prestasi belajar mahasiswa. Apabila hasil yang diperoleh ini dirunut dari asalnya, ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Yang pertama, perlu diketahui bahwa topik yang dipelajari mahasiswa dalam penelitian ini adalah “saling ketergantungan dalam
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
121
ekosistem”. Topik ini membahas tentang ekosistem, komponen, dan interaksi antar komponen ekosistem. Jika dilihat dari substansinya, topik ini mengandung banyak konsep yang perlu diingat dan dipahami. Oleh sebab itu, bisa saja mahasiswa akan lebih banyak memperoleh konsep jika dosen secara langsung memberikan konsep-konsep tersebut dengan ceramah dan tanya jawab. Metode Problem Based Learning yang diberikan pada kelompok eksperimen menuntut mahasiswa agar menggali ilmunya sendiri atau konsep yang bersangkutan dari masalah yang harus dipecahkan. Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang heterogen, diberi lembar kegiatan dan melakukan analisis terhadap masalah yang diberikan. Semakin aktif mahasiswa tersebut dalam kelompok maka semakin banyak pula konsep yang akan ditemukan, sedangkan mahasiswa yang pasif bisa saja akan mendapatkan ilmu dalam jumlah yang sedikit. Prediksi yang kedua, antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol terdapat perbedaan grade dimana kelas kontrol merupakan kelas dengan mahasiswa pilihan dan memiliki input yang lebih unggul daripada kelas lainnya. Sedangkan nilai yang diolah statistik merupakan nilai tes setelah dilakukan treatmen. Setelah diuji normalitas dan homogenitas menunjukkan bahwa data sah untuk diuji statistik parametrik. Oleh sebab itu, kedua kelas ini menjadi homogen bisa saja disebabkan oleh treatmen yang diberikan kepada kelas eksperimen. Jadi kelas dengan input mahasiswa yang berbeda, satu unggulan dan satu tidak dapat memperoleh prestasi belajar yang sama. Meskipun dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa metode Problem Based Learning tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa, akan tetapi ada beberapa poin yang menunjukkan bahwa Problem Based Learning merupakan salah satu
metode yang bagus untuk dilakukan. Kelas eksperimen diwakili oleh mahasiswa semester 4 PGSD kelas B sedangkan kelas kontrol diwakili oleh mahasiswa semester 4 PGSD kelas A. Kelas eksperimen diberikan treatmen berupa pembelajaran dengan Problem Based Learning sedangkan kelas kontrol diberikan pembelajaran dengan ceramah dan tanya jawab. Dari kegiatan postes yang dilakukan ternyata kelas eksperimen memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi daripada kelas kontrol. Untuk kelas eksperimen nilai rata-rata sebesar 70,75 sedangkan kelas kontrol sebesar 69,44. Fenomena ini bagus mengingat kelas A merupakan kelas unggulan dibanding dengan kelas lain di PGSD untuk semester yang sama. Selain itu, selama proses perkuliahan dengan metode Problem Based Learning mahasiswa lebih aktif bekerja dalam kelompok. Mereka berdiskusi membahas permasalahan yang diberikan oleh dosen dan lebih kompak dalam menyusun laporan. Dosen disini berperan sebagai fasilitator dan pembimbing. Mahasiswa lebih aktif dalam pembelajaran atau bersifat student center. Hasil yang diperoleh juga lebih merata, hal ini nampak dari nilai rata-rata kelas yang lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Hal lain yang juga bersifat positif, dosen di sini cenderung bekerja tidak sebanyak saat berceramah dan tanya jawab. Dosen bisa lebih maksimal memberikan pelayanan karena energi tidak banyak terkuras seperti saat kuliah biasa. Selain itu, dengan metode Problem Based Learning ini dapat lebih mempertahankan konsep-konsep biologi khususnya pada topik saling ketergantungan dalam ekosistem pada diri mahasiswa karena mereka mencari sendiri dan menemukan konsep tersebut. Berbeda dengan metode ceramah dan tanya jawab yang cenderung lebih difasilitasi oleh dosen dengan pertanyaan yang menggiring ke arah konsep.
122 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
Dari segi gaya belajar, metode Problem Based Learning memang cenderung mengarahkan mahasiswa untuk memecahkan masalah baik secara individu ataupun diskusi kelompok. Hal ini berakibat pada kecenderungan mahasiswa untuk tidak menunjukkan gaya belajar yang paling dominan dari diri masing-masing. Diskusi kelompok cenderung akan memaksimalkan gaya belajar auditorial atau visual. Oleh sebab itu, gaya belajar bisa dikatakan mempengaruhi hasil belajar mahasiswa tetapi tidak signifikan. Gaya belajar mahasiswa akan lebih tampak saat pembelajaran dengan metode caramah atau tanya jawab. Ini dikarenakan mahasiswa lebih banyak diberi materi sehingga besar kecilnya materi yang diserap tergantung kenyamanan mahasiswa selama menerima. Jika ditinjau dari segi kemandirian belajar, salah satu bentuk kesulitan yang dialami peneliti adalah bagaimana peneliti dapat memperoleh data yang paling sesuai dengan kenyataan. Data yang diperoleh berasal dari angket yang diisi oleh mahasiswa kelas eksperimen. Oleh sebab itu peneliti hanya dapat menentukan tinggi rendahnya kemandirian mahasiswa dari angket tersebut. Peneliti seharusnya mengamati langsung sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih akurat. Interaksi antara gaya belajar dengan kemandirian terhadap hasil belajar mahasiswa belum tampak pada penelitian ini. Hal ini memang otomatis mengingat kedua variabel moderator tersebut memang tidak menunjukkan pengaruh terhadap hasil belajar mahasiswa. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya interaksi antara kedua variabel tersebut jika cara pengumpulan data lebih maksimal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, secara garis besar diketahui bahwa tidak ada pengaruh pembelajaran dengan metode Problem Based Learning
terhadap prestasi belajar mahasiswa. Jika ditinjau dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh metode terhadap nilai sebesar 40 persen (R-Sq = 0.40). Tidak ada pengaruh antara gaya belajar tipe visual, auditorial, dan kinestetik yang ada pada sampel, terhadap prestasi belajar atau nilai tes mahasiswa. Tidak ditemukan pengaruh kemandirian terhadap prestasi belajar mahasiswa. Tidak ada interaksi antara gaya belajar tipe visual, auditorial, dan kinestetik dengan kemandirian rendah dan tinggi terhadap prestasi belajar mahasiswa. D. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil analisis data maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut. 1. Metode Problem Based Learning tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa. 2. Gaya belajar mahasiswa tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa. 3. Kemandirian belajar tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa. 4. Tidak ada interaksi antara gaya belajar dengan kemandirian terhadap prestasi belajar mahasiswa. Kepada peneliti selanjutnya diharapkan untuk : 1. Melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap hasil belajar mahasiswa, baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik sehingga pembahasan akan lebih lengkap dan lebih baik. 2. Memilih topik pembelajaran yang lebih cocok dengan variabel penelitian yang diajukan. Hal ini agar memunculkan adanya interaksi antara variabel bebas dengan variabel moderator terhadap variabel terikat.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
123
3. Menentukan tingkat kemandirian mahasiswa dengan menggunakan angket dan pengamatan, sehingga data yang diperoleh lebih akurat. 4. Mencari pengaruh Problem Based Learning, gaya belajar, dan kemandirian terhadap prestasi belajar mahasiswa dengan penelitian yang lebih mendalam.
Duch, Barbara J & Grob, Susan E, & Allen, Deborah E. (2001)The Power Of Problem based Learning. Stylus Publishing.Virginia USA. Djohar (1987)Peningkatan Proses Belajar Mengajar Sains Melalui Pemanfaatan Sumber Belajar. Jurnal Kependidikan no.2 vol 17. Yogyakarta :IKIP Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA
Arend, I Richard (2007)Learning to Teach (Belajar Untuk Mengajar).Yogyakarta : Pustaka Pelajar A. Rusmiati dan A. Yuliyanto (2009) Penerapan Keterampilan Proses Sains Dengan Menerapkan Problem Based Instruction. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. (5) 75-78. Ariesta Kartika Sari (2014) Analisis Karakteristik Gaya Belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik) Mahasiswa Pendidikan Informatika Angkatan 2014. Jurnal Ilmiah Edutik. Vol. 1 No. 1
Duch, Barbara J & Grob, Susan E, & Allen, Deborah E (2001)The Power Of Problem based Learning. Stylus Publishing. Virginia USA. Neville, David O & David W Pritt (2007)A Problem-Based Learning Approach to Integrating Foreign Language Into Engineering. Foreign Language Annals. 40 (2) pg 226 Sugiyarto (2009)Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta : Panitia Sertifikasi Guru (PSG) Rayon 13 Surakarta
Borg. W.R & Gall, M.D. (1983) Education Research: An Introduction. Fourth Edition. New York &London : Longman Boud, D & Feletti, Grahamme I (1997) The Challenge of Problem Based Learning (2nd Edition).Designs and Potents Act. London, Great Britain
124 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
PENERAPAN COLLABORATIVE WRITING UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN KERJASAMA DAN MOTIVASI MAHASISWA PADA MATA KULIAH PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH Astuti Wijayanti Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Email :
[email protected] ABSTRACT This classroom action research deals with the implementation of collaborative writing in Scientific Writing subject. This research aims to describe how collaborative writing can be used to improve the collaborative skill and motivation among the students of Natural Science Education Department. It was conducted in the Natural Science Education Department of the Faculty of Teachers Training and Education of Sarjanawiyata Tamansiswa University for six months. The number of subject is 37 students. The researcher used observation sheets including lecture observation sheet, students’ activity observation sheet used to know the implementation of collaborative writing, cooperative observation sheet used to know the cooperation among students and questionaire used to know students’ motivation after the implementation of collaborative writing. The research reported that there was an improvement of students’ cooperation in every cycle. Besides, it was also shown that there was an improvement of students’ motivation in cycle I from 87.8% to 87% in cycle II. Meanwhile, the average score of students’ writing also increased from 80.5 in cycle I to 84.2 in cycle II. Keywords: collaborative writing, motivation, cooperation
A. PENDAHULUAN Berdasarkan Permennegpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 yang dimaksud dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) adalah pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalitasnya. Kegiatan PKB untuk memperoleh penetapan angka kredit guru disajikan dalam bentuk tertulis, yang berupa Karya Tulis Ilmiah (KTI). Untuk setiap macam laporan kegiatan PKB (baik kegiatan pengembangan diri, publikasi ilmiah, maupun karya inovatif) disajikan dalam bentuk karya tulis dengan kerangka isi dan
disertai bukti fisik yang berbeda antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya. Berdasarkan kebutuhan tersebut, prodi Pendidikan IPA memiliki mata kuliah Penulisan Karya Tulis Ilmiah pada kurikulum prodi. Besar harapan, prodi Pendidikan IPA dapat membekali mahasiswa calon guru untuk dapat menulis karya tulis ilmiah baik berupa skripsi maupun karya tulis ilmiah yang lainnya sehingga hasil pemikiran/ penelitiannya dapat bermanfaat dan menjadi bekal kelak ketika menjadi guru profesional. Tingkatan profesionalitas sebuah pekerjaan, hakikatnya diukur dari kompleksitas keilmuan dan teori yang mendasarinya. Seorang guru dituntut lebih
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
125
profesional tidak hanya mengajar tetapi terus menerus meningkatkan kompetensinya agar dapat mengikuti perkembangan teknologi dengan menerapkan pembelajaran yang aplikatif sesuai dengan perkembangan ipteks. Salah satu cara guru dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya yaitu dengan cara meningkatkan kemampuan menyusun karya tulis ilmiah. Karya tulis ilmiah menyajikan gagasan suatu pemecahan masalah secara sistematis yang disajikan secara objektif dan jujur menggunakan bahasa baku yang didukung oleh fakta, teori dan bukti empirik. Berbagai hasil temuan baru dalam ilmu pengetahuan dapat ditelusuri melalui karya tulis ilmiah. Karya tulis ilmiah dihasilkan dari pemecahan suatu masalah berdasarkan penyelidikan, pengamatan, pengumpulan data yang didapat dari suatu penelitian, baik penelitian lapangan, tes laboratorium, ataupun kajian pustaka yang didasarkan pada pemikiran (metode) ilmiah yang logis dan empiris. Menurut Dalman (2013: 9), metode ilmiah dan pengembangan adalah sebuah perencanaan yang sistematik dan objektif yang mengikuti tahap-tahap sebagai berikut: 1) melakukan observasi dan menetapkan masalah dan tujuan; 2) menyusun hipotesis; 3) menyusun rencana penelitian; 4) melaksanakan percobaan berdasarkan metode yang direncanakan; 5) melaksanakan pengamatan dan pengumpulan data; 6) menganalisis dan menginterpretasi data; dan 7) merumuskan simpulan dan/atau teori. Permasalahan yang timbul di Prodi Pendidikan IPA yaitu: 1) mahasiswa prodi Pendidikan IPA masih jarang menulis karya tulis ilmiah. Hal ini terbukti bahwa hanya 1 proposal PKM yang dihasilkan pada tahun 2014; 2) mahasiswa prodi Pendidikan IPA tidak ada yang menulis artikel dan
diseminarkan; 3) mahasiswa merasa menulis adalah pekerjaan yang sulit; 4) mahasiswa kesulitan dalam mencari ide tulisan; 5) mahasiswa masih terbiasa melakukan copi paste dalam penyusunan makalah dan jarang menggunakan referensi sebagai bahan rujukan penyusunan karya tulis mereka; dan 6) keterampilan kerjasama mahasiswa Pendidikan IPA masih perlu ditingkatkan, karena dalam berkelompok masih dijumpai dominasi salah satu anggota dalam berpendapat dan menanggapi. Berdasarkan hal tersebut mengindikasikan bahwa mahasiswa enggan menulis karya tulis ilmiah karena kurang pengetahuan dan kemampuan tentang pembuatan karya tulis ilmiah serta kurang termotivasi untuk menulis. Permasalahan tersebut perlu diatasi agar mahasiswa calon guru mampu menghasilkan karya tulis ilmiah secara baik dan benar. Menurut Mc. Donald (2009: 73) motivasi adalah perubahan kekuatan dalam diri individu yang ditandai dengan timbulnya perasaan “feeling” dan dimulai dengan reaksi terhadap adanya tujuan. Menurut Abdul Majid (2013: 307), motivasi merupakan kekuatan yang menjadi pendorong kegiatan individu untuk melakukan suatu kegiatan mencapai tujuan. Dimyati dan Mudjiono (2009: 80) menambahkan bahwa motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Muhibbin Syah (1995: 136) menyebutkan bahwa motivasi keadaan internal individu atau organisme yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu atau pemasok daya untuk bertingkah laku secara terarah. Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar adalah kemampuan atau kekuatan serta daya penggerak untuk melakukan proses belajar guna mencapai tujuan belajar.
126 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
Dosen perlu menerapkan suatu teknik pembelajaran yang berfokus pada menulis agar motivasi mahasiswa semakin meningkat dalam menulis yaitu dengan model pembelajaran collaborative writing. Mahasiswa membentuk pasangan atau kelompok beranggotakan tiga orang untuk bersama-sama membuat makalah formal. Setiap mahasiswa berkontribusi dalam setiap tahap penulisan, sumbang saran gagasan, mengumpulkan dan mengorganisir informasi dan merancang, merevisi, serta mengedit tulisan. Bekerja bersama-sama dapat membantu mahasiswa mempelajari dan melakukan tahap-tahap menulis secara lebih efektif. Teknik ini dapat membantu mempersiapkan mahasiswa untuk tugas-tugas yang akan mereka hadapi dalam karir mereka kelak. Menurut Barkley, Cross & Howell (2012: 380), prosedur teknik collaborative writing sebagai berikut: 1) Mahasiswa membentuk pasangan atau kelompok beranggotakan tiga orang berdasarkan pengarahan dari dosen atau dengan memilih pasangan sendiri kemudian mencari gagasan dengan melakukan sumbang saran bersama atau melakukan riset pendahuluan; 2) Bersama mahasiswa menyusun gagasangagasan mereka dan membuat sebuah kerangka tulisan; 3) Mahasiswa membagi kerangka tulisan tersebut, memilih atau membagi masing-masing bagian untuk setiap anggota agar mereka dapat membuat rancangan secara individual; 4)Kelompok kemudian membaca rancangan pertama dan mendiskusikan serta menyelesaikan perbedaanpemikiran, konten dan gaya yang signifikan; 5) Kelompok menggabungkan hasil kerja individual menjadi sebuah dokumen tunggal; 6) Kelompok merevisi dan mengedit hasil kerja mereka, memeriksa konten dan kejelasan termasuk tata bahasa, ejaan dan tanda baca; dan 7) Setelah
pengeditan akhir, kelompok mengumpulkan makalah mereka kepada dosen untuk mendapatkan penilaian dan evaluasi. Collaborative writing adalah kegiatan yang menantang. Menulis bukan tugas yang mudah apalagi menulis kolaboratif. Dorong mahasiswa membaca ulang secara teliti kata perkata dan meneliti kembali kalimat, paragraf dan seluruh bagian. Mereka harus memeriksa kejelasan teks, dukungan yang baik, transisi yang koheren, dan penyusunan tata bahasa, ejaan dan tanda baca. Membantu mahasiswa tetap fokus pada tujuan yakni berarti bekerja sama untuk menghasilkan karya tulis yang baik. Untuk mencapai hal ini, kelompok harus bersiap menyintesis dan mengedit semua kontribusi, membuat keputusan-keputusan sulit mengenai revisi. Tidak selalu mudah menerima kritik, tetapi individu harus siap menerima jika pekerjaan mereka diedit atau bahkan dihapus. Menulis secara kolaboratif dapat membantu mencegah ketidakjujuran akademis yang kadang diasosiasikan dengan tugas makalah konvensional. Teknik ini juga mencegah terjadinya plagiarism karena kelompok bukan individu yang harus membuat karya tulis. Selain itu, karena kelompok bekerja berdasar beberapa langkah prosedural dengan kerangka waktu tertentu, maka mahasiswa tidak dapat menyalin atau membeli sebuah makalah dari sumber lain. B. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Kegiatan penelitian tindakan kelas dimulai dengan tahap persiapan, setelah dilakukan identifikasi masalah di kelas Pendidikan IPA. Penelitian tindakan kelas ini berbentuk siklus. Satu siklus penelitian tindakan kelas terdiri dari (1) perencanaan, (2) implementasi/aksi, (3) observasi, dan (4)
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
127
refleksi. Tahap-tahap kegiatan ini terus berulang sampai sesuatu permasalahan dianggap teratasi atau indikator keberhasilan terpenuhi. Subjek penelitian ini yaitu mahasiswa Pendidikan IPA angkatan 2012 sejumlah 37 orang dan objek penelitian berupa keterampilan kerjasama dan motivasi mahasiswa. Penelitian ini dilaksanakan di Prodi Pendidikan IPA FKIP UST jalan Batikan UH III/1043 Tuntungan pada bulan Maret 2015 sampai Agustus 2015.Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan lembar observasi dosen, lembar observasi aktivitas mahasiswa untuk mengetahui keterlaksanaan penerapan collaborative writing, lembar observasi kerjasama untuk mengetahui kerjasama yang terjadidan menggunakan lembar angket untuk mengetahui motivasi mahasiswa setelah dilaksanakan penerapan collaborative writing. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian tindakan kelas ini dilakukan sebanyak 2 siklus. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus, setiap siklus terdiri dari 4 tahap yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Penjabaran dari tiap siklus adalah sebagai berikut. 1. Siklus 1 Siklus I dilaksanakan dalam 3 pertemuan. Pertemuan ke I materi yang diajarkan yaitu membuat outline latar belakang dan pertemuan ke II yaitu mengembangkan outline menjadi BAB I (latar belakang), pertemuan ke III yaitu koreksi bersama. Penjabaran tahapan siklus I sebagai berikut. a. Perencanaan (Planning)
Perencanaan pada siklus ini meliputi: 1) Melakukan analisis kompetensi dasar yang akan disampaikan kepada mahasiswa; 2) Menyusun satuan acara perkuliahan yang sesuai dengan model pembelajaran collaborative writing; 3)Menyusun instrumen lembar observasi kerjasama kelompok,lembar observasi dosen dan lembar observasi mahasiswa dalam melaksanakan pembelajaran dengan collaborative writing; 4)Menyusun angket motivasi mahasiswa setelah melaksanakan pembelajaran dengan collaborative writing. b. Pelaksanaan Tindakan (Acting) Secara umum pelaksanaan tindakan model pembelajaran collaborative writing siklus I dapat dideskripsikan sebagai berikut.Dosen membentuk dan mengarahkan mahasiswa untuk berpasangan atau kelompok. Dosen membentuk kelompok secara heterogen berdasarkan kemampuan akademik mahasiswa. Dosen membentuk mahasiswa menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 2-3 orang. Mahasiswa membentuk kelompok sesuai arahan dosen. Dosen memberikan arahan bagaimana membuat latar belakang yaitu dengan menjelaskan bagian latar belakang yang terdiri dari idealisme, permasalahan dan solusi. Dosen meminta setiap kelompok membuat outline latar belakang masalah. Dosen membersamai kelompok mencari gagasan dengan melakukan sumbang saran bersama atau melakukan riset pendahuluan. Dosen melakukan brainstorming dengan memberikan pertanyaan kepada setiap kelompok untuk mengidentifikasikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan terutama pembelajaran di sekolah. Mahasiswa diberikan waktu untuk memikirkan pertanyaan tersebut dan mencoba untuk mengidentifikasi
128 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
permasalahan di dunia pendidikan terutama di sekolah yang mereka ketahui. Dosen mengkonfirmasi gagasangagasan dan kerangka tulisan yang telah mereka susun. Dosen kemudian mengkonfirmasi jawaban yang ditemukan setiap kelompok. Setiap kelompok mendapat giliran untuk menyebutkan apa saja yang mereka temukan dalam diskusi kelompok. Beberapa kelompok belum mampu membuat outline secara spesifik dikarenakan mereka belum menemukan pola pikir atau gagasan yang akan dikembangkan. Mereka belum mampu memandang adanya permasalahan dari berbagai sisi seperti misalnya mereka hanya menyebutkan model pembelajaran yang dilakukan guru masih monoton, siswa kurang aktif dalam pembelajaran akan tetapi belum menyoroti media pembelajaran yang ada di sekolah tersebut, bagaimana penggunaannya, mengapa belum digunakan secara baik dan sebagainya. Dosen meminta mahasiswa membagi kerangka tulisan tersebut, memilih atau membagi masing-masing bagian untuk setiap anggota agar mereka dapat membuat rancangan secara individual. Dosen meminta setiap kelompok untuk memperbaiki outline yang telah dibuat berdasarkan hasil diskusi kelas dan memeriksa kembali outline latar belakang/kerangka karangan yang telah mereka susun. Selanjutnya, dosen meminta setiap kelompok dapat berbagi tugas dalam mengerjakannya. Beberapa kelompok belum mampu memperbaiki outline yang telah dibuatnya sesuai waktu yang telah ditentukan. Mereka sudah berbagi tugas akan tetapi dalam pengerjaannya masih bersamasama dengan alasan laptop yang tersedia hanya satu dan terdapat dua kelompok tidak dapat mengerjakan dikarenakan softfile dibawa rekan yang ijin pada hari itu. Dosen memberi kesempatan kepada kelompok untuk membaca rancangan
pertama dan mendiskusikan serta menyelesaikan perbedaan-perbedaan pemikiran, konten dan gaya yang signifikan. Mahasiswa membaca kembali hasil pekerjaan mereka masing-masing dan mendiskusikannya bersama teman satu kelompok. Ketika terdapat permasalahan dan perbedaan dalam pemikiran, mereka dapat menyelesaikannya dengan baik dan beberapa kelompok tak sungkan untuk meminta bantuan dosen untuk dapat memberikan bimbingan. Dosen meminta kelompok menggabungkan hasil kerja individual menjadi sebuah dokumen tunggal. Beberapa kelompok belum mampu menggabungkan hasil kerja individu menjadi sebuah dokumen tunggal karena mereka masih mengalami kesulitan atau masih bingung dalam menjadikannya satu tulisan utuh serta mereka belum mampu menyepakati koherensi tulisan. Mahasiswa masih saling mempertahankan hasil kerjanya. Dosen meminta kelompok merevisi dan mengedit hasil kerja mereka, memeriksa konten dan kejelasan termasuk tata bahasa, ejaan dan tanda baca. Mahasiswa belum menguasai secara baik kemampuan untuk mengkoherensikan antar alinea, ejaan yang baku (EYD), tata tulis yang digunakan dan pengetikan komputer. Dosen mengkonfirmasi kelompok dalam melakukan editing. Beberapa kelompok belum mampu melakukan editing. Setelah pengeditan akhir, dosen meminta setiap kelompok mengumpulkan makalah mereka untuk mendapatkan penilaian dan evaluasi. Beberapa kelompok belum dapat mengumpulkan tugas sesuai waktu yang disepakati bersama. Dosen memberikan penilaian dan evaluasi terhadap tulisan yang telah dibuat.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
129
c. Observasi (observation) Pengamatan dilaksanakan selama tindakan berlangsung.Berdasarkan observasi aktivitas dosendan mahasiswa oleh kolaborator, dosen dan mahasiswa sudahmelaksanakanmodelpembelajarancolla borative writing,namundalammelaksanakan pembelajarandengan modelinimasihterdapatbeberapakekurangany aitu1) Beberapa kelompok belum mampu membuat outline secara spesifik dikarenakan mereka belum menemukan pola pikir atau gagasan yang akan dikembangkan. Mereka belum mampu memandang adanya permasalahan dari berbagai sisi; 2) Beberapa kelompok belum mampu memperbaiki outline yang telah dibuatnya sesuai waktu yang telah ditentukan. Mereka sudah berbagi tugas akan tetapi dalam pengerjaannya masih bersama-sama dengan alasan laptop yang tersedia hanya satu; 3) Beberapa kelompok belum mampu menggabungkan hasil kerja individu menjadi sebuah dokumen tunggal karena mereka masih mengalami kesulitan atau masih bingung dalam menjadikannya satu tulisan utuh serta mereka belum mampu menyepakati koherensi tulisan. Mahasiswa masih saling mempertahankan hasil kerjanya; 4) Mahasiswa belum menguasai secara baik kemampuan untuk mengkoherensikan antar alinea, ejaan yang baku (EYD), tata tulis yang digunakan dan pengetikan komputer. Beberapa kelompok belum mampu melakukan editing; dan 5) Beberapa kelompok belum dapat mengumpulkan tugas sesuai waktu yang disepakati bersama. Berdasarkan observasi kerjasama mahasiswa, sudah tampak bahwa mahasiswa telah bekerjasama dengan baik dalam pelaksanaan model pembelajaran collaborative writing, namun dalam melaksanakan pembelajaran dengan model ini, kerjasama mahasiswa masih terdapat
beberapa kekurangan yaitu 1) anggota kelompok belum bisa berbagi tugas; 2) Beberapa anggota kelompok belum bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas sesuai kesepakatan waktu; 3) partisipasi sudah berjalan akan tetapi yang disampaikan kurang relevan.; 4) mahasiswa masih ragu meminta orang lain untuk membantu; dan 5) Beberapa kelompok belum tepat waktu. HasilmotivasipadasiklusIrata-rata motivasibelajarmahasiswa mencapai87,8%. Hasil karya tulis mahasiswa rata rata nilainya yaitu sebesar 80,4% dengan sebagian besar mahasiswa memperoleh nilai terendah. Mahasiswa yang memperoleh nilai terendah sejumlah 16 orang mahasiswa. d. Refleksi (reflection) Berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi, maka tindakan pada siklus II yang perlu dilakukan dosen sebagai berikut: 1) Mahasiswa diberikan arahan cara menyusun outline/kerangka paragraf; 2) Mahasiswadiberikan contoh bagaimana cara mengidentifikasi masalah tersebut; 3) Mahasiswa diberikan contoh membuat kalimat efektif, kalimat ber SPOK, membuat paragraf yang koheren satu dengan lainnya, membuat kalimat yang sesuai EYD; 4)Mahasiswa diberikan arahan tentang referensi yang mendukung dan digunakan dalam penyusunan karya tulis ilmiah; 5) Dosen memberikan arahan dan tips bagaimana cara mengerjakan sebuah tulisan tepat waktu; 6) Dosen mencontohkan cara pembagian tugas kepada setiap kelompok dan mengarahkan kembali kepada anggota kelompok untuk dapat bertanggung jawab terhadap tugasnya; 7) Dosen menegur dan memberi punishment kepada mahasiswa yang tidak membantu dalam melaksanakan tugas kelompok; 8) Dosen lebih kontinu dalam membimbing mahasiswa yang
130 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
mengalami kesulitan; 9) Dosen membuat contoh cara memvalidasi dari hasil kelompok dan meminta setiap hasil pekerjaan ditukarkan dengan kelompok lainnya untuk dikoreksi serta meminta perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasilnya di depan kelas; dan 10) Dosen selalu mengingatkan waktu yang tersisa di setiap pertemuan. 2. Siklus II Siklus II dilaksanakan dalam 3 pertemuan. Pertemuan ke I materi yang diajarkan yaitu membuat outline landasan teori dan pertemuan ke II yaitu mengembangkan outline menjadi BAB II (landasan teori dan pengembangan), pertemuan ke III yaitu koreksi bersama. Penjabaran tahapan siklus II sebagai berikut. a. Perencanaan (Planning) Perencanaan pada siklus II pada dasarnya sama dengan siklus I. Berdasarkan refleksi yang dilakukan terhadap siklus I, ada beberapa permasalahan yang harus diselesaikan sehingga pada siklus II dapat diperbaiki agar pembelajaran dapat berlangsung lebih optimal dan diharapkan akan terjadi peningkatan kembali sehingga indikator keberhasilan dapat dicapai dengan baik. b. Pelaksanaan Tindakan (Acting) Secara umum pelaksanaan tindakan model pembelajaran collaborative writing siklus II dapat dideskripsikan sebagai berikut. Dosen membentuk dan mengarahkan mahasiswa untuk berpasangan atau kelompok. Dosen membentuk kelompok secara heterogen berdasarkan kemampuan akademik mahasiswa. Dosen membentuk mahasiswa menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 2-3 orang. Mahasiswa membentuk kelompok sesuai arahan dosen. Kelompok yang dibentuk tetap sama dengan kelompok pada siklus I.
Dosen memberikan arahan dan contoh bagaimana membuat landasan teori yaitu dengan menjelaskan bagaimana membuat serta mengembangkan outline. Dosen meminta setiap kelompok membuat outline landasan teori sebuah karya tulis ilmiah. Dosen membersamai kelompok mencari gagasan dengan melakukan sumbang saran bersama atau melakukan riset pendahuluan.Dosen melakukan brainstorming dengan memberikan pertanyaan kepada setiap kelompok untuk mengidentifikasikan apa saja yang perlu diketahui pembaca terhadap setiap point yang akan dibahas. Mahasiswa diberikan waktu untuk memikirkan pertanyaan tersebut dan mencoba untuk mengidentifikasi pembahasan tiap point yang mereka ketahui. Dosen juga memberikan saran atau merekomendasikan referensi yang dapat digunakan dalam menulis landasan teori tersebut. Dosen juga memberikan arahan dan contoh bagaimana mengutip sebuah referensi, membuat kalimat efektif sesuai EYD, tata tulis dan sebagainya. Mahasiswa telah mampu memahami pola pikir penyusunan landasan teori sehingga mereka lebih percaya diri dalam memberikan ide dan gagasannya dalam kelompok serta menuliskannya dalam sebuah tulisan. Dosen mengkonfirmasi gagasangagasan dan kerangka tulisan yang telah mereka susun. Dosen kemudian meminta setiap kelompok membaca dan mengkritisi kerangka tulisan yang disusun kelompok yang lainnya. Dosen juga mengkonfirmasi jawaban yang ditemukan setiap kelompok. Setiap kelompok mendapat giliran untuk mempresentasikan yang mereka temukan dalam diskusi kelompok dan menanggapi karya kelompok yang lainnya. Beberapa kelompok sudah mampu membuat outline secara spesifik. Dosen meminta mahasiswa membagi kerangka tulisan tersebut, memilih atau
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
131
membagi masing-masing bagian untuk setiap anggota agar mereka dapat membuat rancangan secara individual. Dosen meminta setiap kelompok untuk memperbaiki outline yang telah dibuat berdasarkan hasil diskusi dan memeriksa kembali outline kerangka karangan yang telah mereka susun. Selanjutnya, dosen meminta setiap kelompok dapat berbagi tugas dalam mengerjakannya. Dosen mengingatkan agar softfile dimiliki oleh semua anggota kelompok. Mahasiswa sudah mampu berbagi tugas dan melaporkan progress pekerjaannya setiap pertemuan kepada dosen dan rekan yang lainnya. Dosen memberi kesempatan kepada kelompok untuk membaca rancangan pertama dan mendiskusikan serta menyelesaikan perbedaan-perbedaan pemikiran, konten dan gaya yang signifikan. Mahasiswa membaca kembali hasil pekerjaan mereka dan menukarkan dengan anggota kelompoknya serta mendiskusikannya bersama teman satu kelompok. Ketika terdapat permasalahan dan perbedaan dalam pemikiran, mereka telah dapat menyelesaikannya dengan baik. Mereka mengajak atau bertanya kepada kelompok yang lain dan dosen ketika masih ragu dengan hasil kesepakatan kelompoknya. Dosen meminta kelompok menggabungkan hasil kerja individual menjadi sebuah dokumen tunggal. Dosen memberikan arahan bagaimana mengkoherensikan sebuah paragraf. Kelompok sudah mampu menggabungkan hasil kerja individu menjadi sebuah dokumen tunggal karena mereka sudah memahami bagaimana menuliskan paragraf atau tiap bagian pembahasan secara koherensi. Dosen meminta kelompok merevisi dan mengedit hasil kerja mereka, memeriksa konten dan kejelasan termasuk tata bahasa, ejaan dan tanda baca. Mahasiswa sudah
menguasai secara baik kemampuan untuk mengkoherensikan antar alinea, ejaan yang baku (EYD), tata tulis yang digunakan dan pengetikan komputer. Dosen mengkonfirmasi kelompok dalam melakukan editing. Beberapa kelompok sudah mampu melakukan editing dan mampu mengkritisi pekerjaan kelompok.Setelah pengeditan akhir, dosen meminta setiap kelompok mengumpulkan makalah mereka untuk mendapatkan penilaian dan evaluasi. Beberapa kelompok sudah dapat mengumpulkan tugas sesuai waktu yang disepakati bersama. Dosen memberikan penilaian dan evaluasi terhadap tulisan yang telah dibuat. Berdasarkan observasi peneliti dan kolaborator, dosendan mahasiswa sudahmelaksanakansemualangkah pembelajaran dengan modelpembelajarancollaborative writing.Pada setiap langkah model pembelajaran collaborative writing, mahasiswa mampu bekerja sama dengan baik sehingga pelaksanaan pembelajaran menjadi lebih kondusif dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hasil motivasi pada siklus II rata-rata motivasi belajar mahasiswa mencapai 89,0%.Hasil karya tulis mahasiswa sebagian besar sudah mengalami peningkatan. Mahasiswa yang memperoleh nilai terendah menurun menjadi sejumlah 4 orang mahasiswa. Menulis merupakan kegiatan yang dianggap sulit oleh sebagian orang karena memerlukan ketekunan dan semangat/motivasi untuk dapat menyelesaikannya. Motivasi tersebut dapat diperoleh dari diri seseorang atau mahasiswa itu sendiri maupun dari orang lain. Motivasi tersebut akan muncul ketika mahasiswa dapat tekun dalam menghadapi kesulitan tugas, dapat bekerja secara terus
132 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
menerus/berkelanjutan dalam waktu yang lama, ulet menghadapi kesulitan atau perbedaan dalam melaksanakan tugas, tertantang untuk mencari solusi dari permasalahan atau kesulitan yang dihadapi. Motivasi juga akan muncul ketika mahasiswa bersama sama dan bekerjasama dengan orang lain secara baik sehingga dapat mencapai tujuan atau menyelesaikan tugas tepat waktu. Oleh karena itu, dosen perlu mengkondisikan pembelajaran penulisan karya tulis ilmiah dengan kreatif sehingga mahasiswa dapat meningkat motivasi dan kerjasamanya. Salah satunya yaitu dengan menggunakan model pembelajaran collaborative writing. Dosen berfungsi sebagai fasilitator dan motivator dalam pelaksanaan model pembelajaran collaborative writing. Mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengkontruksi pengetahuan mereka bersama dengan rekan/teman satu kelompoknya dengan menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki untuk menyelesaikan masalah/tugas yang dihadapi. Berdasarkan hasil observasi dalam pembelajaran collaborative writing, pelaksanaan pembelajaran dengan model tersebut berjalan dengan lancar sesuai dengan perencanaan. Mahasiswa lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran. Mereka dapat mengembangkan keterampilan berpikir atau rasa ingin tahunya dengan mengeksplore berbagai referensi dan informasi. Mereka juga tampak tidak putus asa dalam menghadapi kesulitan saat mengerjakan tugas, mereka tak segan untuk meminta bantuan atau koreksi dari rekan yang lain, kelompok lain maupun dari dosen. Mereka telah mampu meneruskan tugas yang menjadi tanggung jawabnya dan telah mampu berkontribusi dalam diskusi kelompok. Peningkatan kerja sama dapat teramati oleh peneliti dan kolaborator di setiap siklus. Hal tersebut menunjukkan motivasi belajar
mahasiswa semakin meningkat sehingga pada akhirnya setiap kelompok telah dapat menyelesaikan tugasnya tepat pada waktunya secara baik. Penerapan model pembelajaran collaborative writing ternyata dapat meningkatkan kerjasama dan motivasi mahasiswa pada mata kuliah penulisan karya tulis ilmiah. Peningkatan tersebut dapat dibuktikan dari adanya peningkatan di setiap siklus. Hasil motivasi dan hasil pekerjaan mahasiswa tiap siklus dengan menggunakan model pembelajaran collaborative writing dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Gambar 1. Persentase Tiap Indikator Motivasi Mahasiswa Pada Siklus I dan Siklus II Berdasarkan grafik di atas menunjukkan bahwa model pembelajaran collaborative writing pada siklus II mengalami peningkatan. Berdasarkan temuan kolaborator, motivasi mahasiswa dapat meningkat dikarenakan mahasiswa telah dapat berinteraksi secara langsung baik dengan sumber belajar, mahasiswa lain maupun dosen serta mahasiswa tampak terlibat aktif dalam pembelajaran. Mereka telah mampu berbagi tugas dan menyelesaikakn tanggung jawab mereka masing-masing. Mereka telah mampu mencari sendiri solusi dari permasalahan yang dihadapi.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
133
Hasil karya tulis mahasiswa pada setiap siklus dapat ditampilkan sebagai berikut.
Gambar 2. Hasil Karya Tulis Mahasiswa Pada Siklus I dan Siklus II
Grafik tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hasil karya tulis ilmiah pada siklus II. Mahasiswa yang memperoleh nilai terendah sebanyak 16 orang berkurang menjadi 4 orang. Kerjasama yang muncul pada penelitian ini antara lain yaitu 1) Kelompok membuat kesepakatan/ menyamakan pendapat; 2) Menghargai kontribusi anggota lainnya; 3) Setiap anggota kelompok bersedia mengambil giliran dan berbagi tugas; 4) Setiap anggota tetap berada di dalam kelompok kerja selama kegiatan tersebut berlangsung; 5) Setiap anggota meneruskan tugas yang menjadi tanggung jawabnya agar dapat selesai sesuai waktu yang dibutuhkan; 6) Semua anggota kelompok saling mendorong partisipasi dan memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok; 7) Kelompok mengundang atau meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi dalam tugas; 8) Setiap kelompok menyelesaikan tugas dalam waktunya; 9) Setiap anggota kelompok saling menghormati perbedaan individu (budaya, suku, ras atau pengalaman dari semua siswa).
Pada pelaksanaan siklus I, dari data hasil observasi kolaborator dan peneliti ditemukan bahwa mahasiswa masih kesulitan dalam menyelesaikan tugas dikarenakan kurangnya penguasaan mahasiswa dalam penulisan karya tulis ilmiah seperti membuat kalimat efektif dan berSPOK sesuai EYD, membuat paragraf yang koheren, membuat outline dan pengembangannya, penggunaan referensi dan cara pengutipannya. Fungsi editing juga belum terjadi dikarenakan hal tersebut. Mereka juga belum dapat melaksanakan kerjasama dengan baik dikarenakan masing-masing anggota belum bertanggungjawab terhadap tugas masingmasing.Hal tersebut mengakibatkan beberapa kelompok belum dapat menyelesaikan tugas tepat pada waktunya. Pada siklus II, dosen memberikan perbaikan sesuai masukan dan kekurangan pada siklus I dengan memberikan arahan dan bantuan kepada setiap kelompok. Dosen juga mulai meminimalisir bantuan yang diberikan agar kemandirian dalam kelompok/kerjasama dalam kelompok berjalan dengan maksimal. Mahasiswa terlibat langsung secara aktif dalam pembelajaran collaborative writing. Mahasiswa sudah mulai terbiasa bekerja sama dalam suatu kelompok dan mampu membantu kesulitan yang dihadapi anggota kelompoknya. Partisipasi setiap anggota dalam kelompok semakin nampak sehingga tugas yang diberikan dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Belajar dengan cara kelompok menyediakan umpan balik pada kerjasama kelompok sehingga memberi kesempatan kepada anggotanya untuk mengembangkan kerjasama, keterampilan berpikir dan meningkatkan motivasi mahasiswa.
134 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
4. SIMPULAN Penerapan model pembelajaran collaborative writing ternyata dapat meningkatkan kerjasama dan motivasi mahasiswa pada mata kuliah penulisan karya tulis ilmiah.Mahasiswayang dibiasakanuntukberinkuiri dan berdiskusikelompoksertaterlibat secara aktif dalampembelajaran,makakemampuan berpikir dan bekerjasama dapat berkembang sehingga motivasi mahasiswa dapat meningkat.Motivasi belajar mahasiswa mengalami peningkatan dari siklus I sebesar 87,8 %menjadi siklus II sebesar 89%.Hasil karya mahasiswa mengalami peningkatan rata-rata nilainya yaitu sebesar 80,5 pada siklus I menjadi 84,2 pada siklus II. REFERENSI Abdul Majid. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Dalman. 2013. Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Dimyati, Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Elizabert E. Barkley, K. Patricia Cross & Claire Howell Major. 2012. Collaborative Learning Techniques. diterjemahkan oleh Narulita Yusron (Bandung-Penerbit Nusa Media). Mc.
Donald. 2009. Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Muhibbin Syah. 1995. Psikologi Pendidikan sebagai Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Permennegpan dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
135
PERISTIWA CAMPUR KODEDALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIASISWA KELAS X SMK N 1 KASIHAN BANTUL TAHUN AJARAN 2014-2015 Desy Rufaidah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
ABSTRACT This study aims to describe and explain the form and factor that cause code-mixing in the speaking skill of Indonesian in class X of SMK N 1 Kasihan, Bantul. This research used spoken data taken from students’ utterances involving code-mixing in Indonesian class. The data was gained through non responsive and interview techniques. The data validation was done by using review technique to the key informant and data base construction. Meanwhile, this research applied an interactive analysis model in which the data was analyzed through substitution technique. Based on the analysis results, it is reported that the forms of code-mixing in the speaking skill of Indonesian in class X SMK N 1 Kasihan, Bantul are in forms of words, phrases, word repetition, and clauses. Meanwhile, the factors causing the code-mixing are role identification and variety identification. Keywords: code-mixing, role identification, variety identification
A. PENDAHULUAN Untuk berkomunikasi manusia membutuhkan bahasa. Melalui bahasa, manusia dapat berinteraksi, dan berkomunikasi sehingga dapat saling tukar pengalaman, dan pengetahuan. Dalam berkomunikasi menggunakan bahasa, seseorang terkadang menggunakan bahasa lebih dari satu. Hal tersebut dikarenakan adakalanya seseorang menguasai bahasa lebih dari satu. Penguasaan bahasa lebih dari satu mengakibatkan pemasukkan unsur bahasa
lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan. Misalnya, bahasa daerah masuk ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan jika bahasa daerahnya bahasa Jawa atau bahasa Sunda (Chaer, 2010:114-115). Kondisi itu terjadi pada siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul. Siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul memasukkan bahasa daerah sebagai bahasa pertama ke dalam tuturan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Hal tersebut terjadi saat siswa
136 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
mengikuti pembelajaran bahasa Indonesia pada Standar Kompetensi (SK) berkomunikasi dengan bahasa Indonesia setara tingkat semenjana, Kompetensi Dasar (KD) menggunakan kalimat yang baik, tepat, dan santun. Pada pembelajaran tersebut, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbicara. Tarigan (2013:16) mengatakan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Guru pun hendaknya membedakan antara berbicara dengan membaca nyaring. Abidin (2012:125) mengatakan jika membaca nyaring seorang pembaca hanya melisankan ide atau gagasan yang telah ada atau dibuat orang lain. Dalam kegiatan berbicara ide tersebut merupakan hasil pemikiran si pembicara tersebut. Namun, tidak semua siswa dapat menyampaikan pikiran, dan perasaan secara lisan dengan baik. Oleh karena itu, guru hendaknya membantu dan memberi kesempatan siswa tersebut untuk berbicara, diberi penguatan, dan terus dipantau perkembangannya. Dalam berbicara, adakalanya siswa memasukkan unsur bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yang sedang digunakkan sehingga terjadi peristiwa campur kode. Dalam penelitian ini, peristiwa tersebut diteliti dengan teori sosiolinguistik. Nababan (1991:2) menyatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial). Campur kode merupakan salah satu variasi bahasa. Campur kode terjadi saat mencampurkan unsur suatu bahasa ke dalam
bahasa yang sedang digunakan. Di dalam campur kode, ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode (Chaer, 2010:114). Saddhono (2013:76) mengemukakan bahwa latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe, yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap (attitudival type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (linguistic type). Lebih lanjut Suwito menjelaskan bahwa penyebab terjadinya campur kode, yaitu (1) identifikasi peranan, sebagai ukurannya adalah sosial, registral, dan edukasional, (2) identifikasi ragam, sebagai ukurannya ditentukan oleh bahasa di mana seseorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dirinya di dalam hierarki status sosial, dan (3) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. B. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan, dan menjelaskan bentuk, dan faktor penyebab peristiwa campur kode pada siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul. Data penelitian ini berupa data lisan. Sumber data berasal dari bahasa lisan siswa kelas X SMK N1 Kasihan Bantul yang mengandung campur kode dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Data diperoleh dengan teknik simak bebas libat cakap, dan wawancara. Data yang telah diperoleh divalidasi dengan teknik reviu informan kunci dan penyusunan data base. Data dianalisis dengan model analisis interaktif yang meliputi reduksi data, sajian data, dan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
137
penarikan simpulan atau verifikasi. Data dianalisis menggunakan teknik ganti. Sudaryanto (2015:59) mengatakan bahwa kegunaan teknik ganti adalah untuk mengetahui kadar kesamaan kelas atau kategori unsur terganti atau unsur ginanti dengan unsur pengganti. Lebih lanjut dijelaskan jika hasil penggunaan teknik ganti ada dua kemungkinan, yaitu berupa tuturan yang dapat diterima (yang gramatikal) dan yang tidak (tidak gramatikal). C. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis terhadap data yang dikumpulkan dapat diketahui bahwa bentuk campur kode pada keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul berupa kata, frasa, perulangan kata, dan bentuk baster. Peristiwa campur kode tersebut disebabkan faktor identifikasi peranan, dan identifikasi ragam. Berikut ini dideskripsikan berbagai bentuk dan faktor penyebab peristiwa campur kode pada keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul. Bentuk peristiwa campur kode pada keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul Bentuk campur kode berupa kata Bentuk campur kode yang ditemukan pada keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul. Penelitian Adnyani (2013) pun menemukan peristiwa campur kode terjadi pada siswa kelas VII SMP N 8 Denpasar berbentu campur kode berupa kata, frasa, dan idiom. Peristiwa campur kode dalam penelitian ini berupa kata mencakup kata benda, kata kerja, kata sifat, kata tugas, dan pronomina. Bentuk campur kode berupa kata benda (nomina) sebanyak 15 data, kata kerja (verba) sebanyak 18 data, kata sifat (adjektiva) sebanyak 9 data, kata tugas
sebanyak 10 data mencakup konjungtor, interjeksi, dan partikel penegas, dan pronomina sebanyak 3 data. Beberapa campur kode berupa kata benda, sebagai berikut. (1) Guide bilang dengan harga 50 ribu kita bisa liat keajaiban kalau kita beruntung. (2) Saya mengajak teman nonton ula, penjaganya mengguakan bahasa Bali aku ora dong. (3) Di Pantai Kute saya hanya membeli minum dan duduk-duduk setalah itu kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Tanjung Benoa, di sana banyak guguk. Kata guide pada tuturan (1) berkategori kata benda (nomina) dapat diganti kata ula, dan guguk, sebagai berikut. (1-a) Ula bilang dengan harga 50 ribu kita bisa liat keajaiban kalau kita beruntung. (1-b) Guguk bilang dengan harga 50 ribu kita bisa liat keajaiban kalau kita beruntung. Kata ula, dan guguk dapat menggantikan guide menjadi tuturan (1-a), dan (1-b) sehingga kata-kata tersebut masuk dalam kategori yang sama, yaitu kata benda (nomina). Namun, tuturan itu menjadi tidak dapat diterima (tidak gramatikal). Hal itu dikarenakan guide menyatakan pelaku atau orang yang melakukan perbuatan atau pekerjaan sedangkan ulo, dan guguk pelaku (binatang) yang tidak dapat berbicara seperti manusia. Kata guide berasal dari bahasa Ingris berarti ‘pemandu’ masuk dalam tuturan bahasa Indonesia sehingga tuturan di atas terjadi campur kode. Hal tersebut pun terjadi pada tuturan (2), dan (3) masuknya unsur ula berarti ‘ula’ dan guguk berarti ‘anjing’ dari bahasa Jawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia.
138 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
(4) Bis 2 diganti soalnya rusak sampai pelabuhan pagi terus nyebrang. (5) Sampai dermaga terus ke wisata Tanah Lot, di sana liat-liat pure dan di jalan ada upacara Ngaben, kita ndelok. (6) Selesai shalat kita ngelakjadi tuku wedang ronde sama Pak Abid ditinggal. (7) Kita nyusul tapi sama petugas loket sudah telat setengah jam jadi ngga boleh masuk. (8) Di daerah Ngawi bus dua mogok, bannya itu njeblug eh bannyakempes terus ganti bus. Kata nyebrang berupa kata kerja (verba) pada tuturan (4) dapat diganti ndelok, tuku, nyusul, dan njeblug, sebagai berikut. (4-a) Bis 2 harus diganti soalnya rusak sampai pelabuhan pagi terus ndelok. (4-b) Bis 2 harus diganti soalnya rusak sampai pelabuhan pagi terus tuku. (4-c) Bis 2 harus diganti soalnya rusak sampai pelabuhan pagi terus nyusul. (4-d) Bis 2 harus diganti soalnya rusak sampai pelabuhan pagi terus njeblug. Kata ndelok, tuku, nyusul, dan njeblug dapat menggantikan kata nyebrang menjadi tuturan (4-a), (4-b), (4-c), dan (4-d) sehingga termasuk dalam satu kategori yakni kata kerja (verba). Kata ndelok pada tuturan (4-a) masih dapat diterima (gramatikal) karena penumpang bis 2 dapat ndelok berarti ‘melihat, melihat’ situasi dan kondisi pelabuhan sesampainya di pelabuhan dan tuku pada tuturan (4-b) berarti ‘beli, membeli’ barang yang ada di pelabuhan seperti makanan atau kacamata. Namun kata nyusul, dan njeblug tidak dapat diterima (tidak gramatikal). Unsur ndelok, tuku, nyusul,nyebrang, dan njeblug berasal dari
bahasa Jawa masuk dalam tuturan bahasa Indonesia sehingga tuturan di atas mengalami campur kode. (9) Selesai shalat kita ngelak jadi tuku wedang ronde sama Pak Abid ditinggal. (10) Cewe di sana biasa aja g jegeg ya. (11) Meski sudah makan, kita masih lapar jadi beli pop mi dan teh tapi si Hana pekok ngga bawa duit jadi tak bayarin. (12) Di acara kemah bakti budaya kemarin kita ada acara unjuk prestasi kelas satu sebelum berangkat kemah kami sudah persiapan selama dua minggu fullpersiapan. (13) Ketika sampai di lokasi, kami kecewa karena lokasi sempit, panas, mbengi adem, panggung kecil, cendik, rasanya pengen marah. Kata pekok berkategori kata sifat (adjektival). Kata ngelak, jegeg, full, dan cendik menggantikan kata pekok pada tuturan (11) menjadi tuturan di bawah ini. (11-a) Meski sudah makan, kita masih lapar jadi beli pop mi dan teh tapi si Hana ngelak ngga bawa duit jadi tak bayarin. (11-b) Meski sudah makan, kita masih lapar jadi beli pop mi dan teh tapi si Hana jegeg ngga bawa duit jadi tak bayarin. (11-c) Meski sudah makan, kita masih lapar jadi beli pop mi dan teh tapi si Hana full ngga bawa duit jadi tak bayarin. (11-d) Meski sudah makan, kita masih lapar jadi beli pop mi dan teh tapi si Hana cendik ngga bawa duit jadi tak bayarin. Kata ngelak, jegeg, full, dan cendik menggantikan kata pekok menjadi tuturan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
139
(11-a), (11-b), (11-c), dan (11-d) sehingga termasuk dalam satu kategori yakni kata sifat (adjektiva). Kata ngelak, pekok,dan jegeg berkategori kata sifat (adjektiva) pemeri sifat. Kata full, dan cendik berupa kata sifat (adjektiva) ukuran. Namun, hanya kata jegeg, dan cendik yang dapat berterima (gramatikal) saat menggantikan kata pekok pada tuturan (11). Masuknya unsur ngelak, jegeg, full, pekok, dan cendik dari bahasa Jawa dan Inggris dalam tuturan bahasa Indonesia sehingga tuturan di atas terjadi campur kode. (14) Saya dengan teman-teman mengikuti upacara terus bar kuwipersiapan untuk pentas. (15) Tenda sudah mau berdiri tetapi tiba-tiba ambruk karena tali yang di dalam putus njukdisambung. Kata bar kuwi berkategori kata sambung (konjungtor) dapat menggantikan kata njuk pada tuturan (15), sebagai berikut. (15-a) Tenda sudah mau berdiri tetapi tiba-tiba ambruk karena tali yang di dalam putus bar kuwidisambung. Kata bar kuwi berarti ‘setelah itu’ dan njuk berarti ‘kemudian’ dapat saling menggantikan dan termasuk kategori kata sambung (konjungtor) subordinatif waktu. Kata sambung bar kuwi dapat menggantikan kata njuk pada tuturan (15) tetapi tidak berterima (tidak gramatikal). Tuturan di atas terdapat peristiwa campur kode disebabkan masuknya unsur bar kuwi, dan njuk dari bahasa Jawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. (16) Pagi-pagi saya berangkat dari rumah di jalan malah macet. (17) Malam itu hujan, tenda kita roboh, makanan basah OMG. (18) Saya makan dengan teman-teman pemandangannya amazing.
(19) Setelah itu kita melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Ketapang, Alhamdulillah kita langsung masuk tidak ngantri. (20) Kami pakai shuttle menuju Kute sampai Kute panasnya masyaAllah. Kata OMG, amazing, Alhamdulillah, dan masyaAllah dapat menggantikan kata malah yang berkategori kata seru (interjeksi) pada tuturan (16), sebagai berikut. (16-a) Pagi-pagi saya berangkat dari rumah di jalan OMG macet. (16-b) Pagi-pagi saya berangkat dari rumah di jalan amazing macet. (16-c) Pagi-pagi saya berangkat dari rumah di jalan Alhamdulillah macet. (16-d) Pagi-pagi saya berangkat dari rumah di jalan MasyaAllah macet. Kata OMG, amazing, Alhamdulillah, dan masyaAllah dapat menggantikan kata malah pada tuturan (16) sehingga termasuk dalam satu kategori, yaitu kata seru (interjeksi). Kata malah, dan OMG berkategori kata seru (interjeksi) kekesalan. Kata amazing berkategori kata seru (interjeksi) kekaguman. Kata Alhamdulillah berkategori kata seru (interjeksi) kesyukuran. Kata masyaAllah berkategori kata seru (interjeksi) kekagetan. Kata OMG, amazing, Alhamdulillah, dan masyaAllah dapat menggantikan kata malah pada tuturan (16) dan berterima (gramatikal). Tuturan di atas terdapat peristiwa campur kode disebabkan masuknya unsur malah, OMG, amazing, Alhamdulillah dan masyaAllah dari bahasa Jawa, dan bahasa Inggris ke dalam tuturan bahasa Indonesia. (21) Kalau di sana bangunan lebih banyak direnovasi sehingga lebih tua di sini jadi yo lebih klasik. (22) Di sana panas-panas to, ada yang main-main air, foto-foto.
140 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
Kata to dapat menggantikan kata yo yang berkategori partikel penegas pada tuturan (21), sebagai berikut. (21-a) Kalau di sana bangunan lebih banyak direnovasi sehingga lebih tua di sini jadi to lebih klasik. Kata to dapat menggantikan kata yo pada tuturan (21), hal itu berarti kata tersebut satu kategori tetapi tidak berterima (tidak gramatikal). Kata yo, dan to termasuk partikel penegas (dalam bahasa Jawa) berbentuk klitika dalam kalimat deklaratif. Masuknya unsur yo, dan to dari bahasa Jawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia mengakibatkan tuturan tersebut mengalami campur kode. (23) Opo meneh yo? Kita ke Sangiran, masuk di parkiran. (24) Pagi hari bersih-bersih setelah itu kami upacara penutupan dan Dewi Sinta juara dua, sanggar saya, skor piro? Kata opo dapat menggantikan kata piro yang berkategori pronomina pada tuturan (23), sebagai berikut. (23-a) Pagi hari bersih-bersih setelah itu kami upacara penutupan dan Dewi Sinta juara dua, sanggar saya, skor opo? Kata opo dapat menggantikan kata piro pada tuturan (23) menjadi (23-a) sehingga kata tersebut termasuk dalam satu kategori pronomina penanya karena menanyakan suatu hal kepada lawan tutur. Namun, tidak berterima (tidak gramatikal). Hal itu disebabkan partikel piro menanyakan jumlah sedangkan partikel opo menanyakan barang, peristiwa. Tuturan di atas terdapat peristiwa campur kode disebabkan masuknya unsur opo dan opo dari bahasa Jawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Bentuk campur kode berupa frasa
Bentuk campur kode berupa frasa dalam keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul berupa frasa nominal, verbal, dan adjektival. (25) Di Bedugul kita hanya berfoto dan naik perahu bebek, Bedugul itu tempat wisata macam danau seperti Kaliuranghot. (26) Saat pulang tidak seru jalannya jelek, lewat kali asat dan sampai sekolah jam setengah dua belas. (27) Saya membawa alat mandi biar enggak basah saya cantolin paku tetapi pakune copot jadi alat mandi dan celana saya basah. (28) Setelah itu melanjutkan ke air suci, di sana dikasih air suci saya lihat yang di tempat uang 50.000100.000 saya mau kesana waduh duite gede- gede. Kata Kaliurang hot, pakune copot, dan duite gede-gede dapat menggantikan kata kali asat pada tuturan (26), sebagai berikut. (26-a) Saat pulang tidak seru jalannya jelek, lewat Kaliurang hot dan sampai sekolah jam setengah dua belas. (26-b) Saat pulang tidak seru jalannya jelek, lewat pakune copot dan sampai sekolah jam setengah dua belas. (26-c) Saat pulang tidak seru jalannya jelek, lewat duite gede-gede dan sampai sekolah jam setengah dua belas. Kata kali asat yang menjadi inti yakni kali berupa nomina diikuti adjektiva. Oleh karena itu, Kali asat termasuk kategori frasa nominal. Kata Kaliurang hot yang menjadi inti adalah Kaliurang berupa nomina diikuti adjektiva sehingga berkategori frasa nominal. Kata pakune copot yang menjadi inti yakni pakune berupa nomina diikuti verba sehingga
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
141
berkategori frasa nominal. Kata duite yang menjadi inti yakni duite berupa nomina diikuti adjektiva sehingga berkategori frasa nominal. Oleh karena itu, kata Kaliurang hot, pakune copot, dan duite gede-gede termasuk dalam satu kategori dengan kali asat yakni kategori frasa nominal. Namun, hanya Kaliurang hot yang dapat berterima (gramatikal) menggantikan kata kali asat pada tuturan (26) sedangkan pakune copot, dan duite gede-gede tidak berterima. Tuturan di atas terdapat peristiwa campur kode disebabkan masuknya unsur Kaliurang hot, kali asat, pakune copot dan duite gede-gede dari bahasa Jawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. (29) Biaya Ngaben sangat mahal padahal cuma buat mbakar mayat. (30) Mboten runtut tidak apa-apa kan pak? (31) Di sana ada serba 50-rb seperti jam, tas kita cuma ngapalinrego. (32) Sampai di sana panas, kami mbanguntenda Kata mbakar mayat, mboten runtut, dan ngapalin rego, dapat menggantikan kata mbangun tenda pada tuturan (32), sebagai berikut. (32-a) Sampai di sana panas, kami mbakar mayat. (32-b) Sampai di sana panas, kami mboten runtut. (32-c) Sampai di sana panas, kami ngapalin rego. Kata mbangun tenda yang menjadi inti yakni mbangun berupa pemendekan dari membangun berupa verba diikuti nomina sehingga termasuk frasa verbal. Kata mbakar mayat yang menjadi inti yakni mbakar berupa pemendekan dari membakar berupa verba diikuti nomina sehingga termasuk frasa
verbal. Kata mboten runtut yang menjadi inti yakni runtut berupa verba diawali pewatas depan mboten ‘tidak’ sehingga termasuk frasa verbal. Oleh karena itu, kata mbakar mayat, mboten runtut, dan ngapalin rego termasuk satu kategori dengan mbangun tenda yakni kategori frasa verbal. Namun, tidak dapat berterima (tidak gramatikal). Tuturan di atas terdapat peristiwa campur kode disebabkan masuknya unsur mbakar mayat, mboten runtut, ngapalin rego, dan mbangun tenda dari bahasa Jawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. (33) Saya mengajak teman nonton ula, penjaganya mengguakan bahasa Bali aku ora dong. (34) Bus 2 itu rodorewel karena saat makan banyak yang sambat. (35) Di Bali kami dipandu Beli Bale, belinya rodo ganteng dan tidak bisa ngomong /r/. Kata ora dong, dan rodo rewel dapat menggantikan kata rodo ganteng pada tuturan (35), sebagai berikut. (35-a) Di Bali kami dipandu Beli Bale, belinya ora dong dan tidak bisa ngomong /r/. (35-b) Di Bali kami dipandu Beli Bale, belinya rodo rewel dan tidak bisa ngomong /r/. Kata rodo ganteng yang menjadi inti yakni ganteng berupa adjketival pemeri sifat yang diawali dengan pewatas rodo berarti ‘agak’ sehingga termasuk frasa adjektival. Kata ora dong yang menjadi inti yakni dong berarti ‘paham’ berupa adjektiva pemeri sifat diawali dengan pewatas ora berarti ‘tidak’ sehingga termasuk frasa adjektival. Kata rodo rewel yang menjadi inti yakni rewel berarti ‘sulit diatur’ berupa adjketival pemeri sifat diawali pewatas rodo berarti ‘agak’ sehingga termasuk frasa adjektival. Oleh karena itu, kata ora dong, dan rodo rewel
142 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
satu kategori dengan kata rodo ganteng yakni kategori frasa adjektival dan dapat diterima (gramatikal). Tuturan di atas terdapat peristiwa campur kode disebabkan masuknya unsur ora dong, rodo rewel dan rodo ganteng dari bahasa Jawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Bentuk campur kode berupa perulangan kata Bentuk campur kode berupa perulangan kata dalam keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul mencakup perulangan kata dasar, kata berimbuhan, dan berubah bunyi. (36) Di bis alhamdulillah yang mabuk cuma sediki, banyak anak yang main musik, ngga banyak istirahat, banyak gojekgojek, pak. (37) Ternyata sopirnya tidak tahu jalan sehingga keblasuk-blasuk. (38) Kami pikir out bondnya seru ada njebur-njebur, flyng fox ternyata cuma suruh jalan. (39) Kita banyak menghabiskan patok, tali dan tali itu disombang-sambung. (40) Di sana saya diajak jalan ke Ancol, salon pokoknya jalanjalan, shoping-shoping keliling Jakarta. Kata njebur-njebur, shoping-shoping dapat menggantikan kata gojek-gojek pada tuturan (36), sebagai berikut. (36-a) Di bis bis alhamdulillah yang mabuk cuma sediki, banyak anak yang main musik, ngga banyak istirahat, banyak njeburnjebur, pak. (36-b) Di bis bis alhamdulillah yang mabuk cuma sediki, banyak anak yang main musik, ngga
banyak istirahat, banyak shoping-shoping, pak. Kata gojek berarti ‘bercanda’ berupa verba yang diulang. Kata njebur berarti ‘mencebur’ berupa verba yang diulang. Kata Shoping berarti ‘berbelanja’ berupa verba yang diulang. Oleh karena itu, kata njeburnjebur, shoping-shoping satu kategori dengan kata gojek-gojek yakni kategori verba dasar yang diulang. Kata keblasuk-blasuk berasal dari kata dasar blasuk yang berarti ‘sesat’ berupa adjektiva mendapat imbuhan. Oleh karena itu, kata keblasuk-blasuk berasal dari kata dasar blasuk yang mendapat imbuhan dan pengulangan kata dasar. Kata disombangsambung berasal dari kata dasar sambung berupa verba yang diulang. Pengulanga dilakukan dengan mengulang kata dasar yang diubah vokal awal ditambah dengan imbuhan. Tuturan di atas terdapat peristiwa campur kode disebabkan masuknya unsur gojek-gojek, keblasuk-blasuk, njebur-njebur, disombang-sambung dan shoping-shoping dari bahasa Jawa, dan bahasa Inggris ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Bentuk campur kode berupa baster Bentuk baster yang terjadi pada keterampilan berbicara siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul pada proses pembelajaran berpola kata dasar (bahasa Jawa) + akhiran (-an), sebagai berikut. (41) Kita lanjutin perjalanan, sempat ganti sopir dan kalau ada jeblokan bablas aja jadi tidurnya ngga enak banget. (42) Malam hari saya dan Ismi nggodog wedang, setelah selesai anglo mau disuntak antisipasi biar tidak kobongan (kebakaran) ya kebakaranmalah arengnya jatuh.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
143
Kata jeblokan dapat menggantikan kata kobongan pada tuturan (42), sebagai berikut. (42-a) Malam hari saya dan Ismi nggodog wedang, setelah selesai anglo mau disuntak antisipasi biar tidak jeblokan(kebakaran) ya kebakaranmalah arengnya jatuh. Kata kobongan berarti ‘kebakaran’ berupa kata benda (nomina). Kata jeblokan berarti ‘lubang’ berupa kata benda (nomina). Oleh karena itu, kata jeblokan satu kategori dengan kata kobongan yakni kategori kata benda (nomina) tetapi tidak berterima (tidak gramatikal). Tuturan di atas terdapat peristiwa campur kode disebabkan masuknya unsur jeblokan dan kobongan dari bahasa Jawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Faktor penyebab peristiwa campur kode pada keterampilan berbicara bahasa Indonesia kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul Dari hasil wawancara ada dua faktor penyebab peristiwa campur kode pada keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul, yaitu identifikasi peranan, dan identifikasi ragam. Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan Ulfiyani (2014:98) bahwa faktor penyebab campur kode dalam tuturan masyarakat di Bumiayu terjadi karena beberapa alasan, yaitu (1) keterbatasan penggunaan kode, (2) penggunaan istilah yang lebih popular, (3) membangkitkan rasa humor, dan (4) penekanan maksud. Identifikasi peranan berkaitan dengan kedekatan penutur dengan lawan tutur. Semakin dekat hubungan penutur dengan lawan tutur, kemungkinan terjadi campur kode semakin besar. Hal tersebut dapat dilihat pada siswa SMK N 1 Kasihan Bantul
yang diminta bercerita terkait pengalaman saat mengkikuti studi banding di Bali atau Solo, dan kemah budaya. Ketika bercerita, siswa memasukkan unsur-unsur bahasa Jawa dalam tuturan bahasa Indonesia. Hal itu dikarenakan komunikasi antarsiswa menggunakan bahasa Jawa bahkan siswa yang berasal dari luar Jawa sudah berlatih berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Oleh karena itu, saat berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia memasukkan unsur bahasa Jawa yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Siswa bercerita di hadapan teman-teman dan guru yang sudah saling kenal. Saat penutur menggunakan kata peko berarti ‘bodoh’ dalam tuturan yang bertujuan mengejek tetapi lawan tutur tidak marah karena penutur dan lawan tutur memiliki hubungan keakraban. Jika kata tersebut digunakan penutur kepada lawan tutur yang tidak akrab, akan mengakibatkan konflik. Identifikasi ragam berkaitan dengan keinginan penutur untuk dianggap terpelajar, memiliki prestise. Oleh karena itu, penutur memasukkan unsur bahasa asing dalam tuturan bahasa Indonesia. Penutur memilih memasukkan unsur bahasa asing dalam tuturan bahasa Indonesia dikarenakan sebagian masyarakat masih beranggapan jika bahasa asing lebih bergengsi dan si penutur dianggap terpelajar. Kondisi tersebut terjadi pada tuturan siswa kelas X SMK N 1 Kasihan Bantul saat berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Para siswa memasukkan unsur bahasa asing karena ingin dianggap menguasai bahasa asing yang sedang dipelajari. Selain itu, digunakan akronim bahasa Inggris dalam tuturan bahasa Indoensia karena penutur ingin dianggap sebagai anak gaul. DAFTAR PUSTAKA
144 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
Abidin, Yunus. 2012. Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: PT Refika Aditama. Adnyani. 2013. Campur Kode dalam Bahasa Indonesia Lisan Siswa Kelas VII SMP N 8 Denpasar. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Vol. 2 Tahun 2013. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Saddhono, Kundharu. 2013. Pengantar Sosiolinguistik: Teori dan Konsep Dasar. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press. Tarigan. 2013. Berbicara: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: CV. Angkasa. Ulfiyani, Siti. 2014. Alih Kode dan Campur Kode dalam Tuturan Masyarakat Bumiayu. Culture Vol. 1 No. 1 Mei 2014. Pp. 92-100
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
145
PENGUKURAN KUALITAS PELAYANAN PENDIDIKAN DENGAN METODE STUDENT SATISFACTION INVENTORY DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA Istiqomah, Tri Astuti Arigiyati Prodi Pendidikan Matematika,FKIP, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
[email protected])
[email protected])
ABSTRACT The aim of this study was to measure the quality of service in Mathematics Education Study Program. This research is descriptive research, because this research will reflect the perceptions and expectations of students towards service quality in Mathematics Education Study Program. Sampling in this study conducted by random sampling technique.Instruments in this study was a questionnaire that serves to uncover and measure students' perceptions and expectations of service quality in Mathematics Education courses FKIP UST. The data analysis technique used is descriptive analysis techniques and calculation of the score gap. The results showed that the tendency of the rate of student satisfaction in the category are satisfied. While the tendency of the rate of satisfaction for each dimension is 9-dimensional in satisfied category and 2-dimensional in quite satisfied category. The tendency of the level of interest / expectations of students is very important category. Similarly, the tendency of the level of interest / expectations for each of these dimensions in the dimension 11 is very important category. The highest score gap lies in the dimensions of Campus Support Service which is equal to a score of 1.48 and the lowest gap lies in the dimensions of Academic Advising which is equal to 0.72. Variables are prioritized for repair are the variables that enter the first quadrant, in order to increase the level of student satisfaction. Keywords : Academic services, Quality, Student Satisfaction Inventory method
A. PENDAHULUAN Perguruan tinggi merupakan lembaga pemberi jasa di bidang pendidikan.Walaupun dalam operasionalnya tidak mengedepankan profit sebagai tujuan utama, namun memberikan pelayanan prima kepada mahasiswa merupakan keharusan seperti lembaga yang berorientasi profit. Perguruan
tinggi di dalam memberikan pelayanan memiliki ciri khusus yang tidak bisa disamakan dengan lembaga jasa lain di luar perguruan tinggi. Bentuk pelayanan yang diterima oleh pelanggan perguruan tinggi (mahasiswa) mencakup pelayanan dalam kegiatan akademik dan nonakademik. Pelayanan yang prima akan berdampak pada peningkatan citra perguruan tinggi dan
146 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
sebaliknya pelayanan yang buruk akan menurunkan citra perguruan tinggi itu sendiri. Seiring dengan semakin ketatnya tingkat persaingan antar perguruan tinggi, kualitas pelayanan pendidikan yang diberikan pihak kampus menjadi faktor yang sangat penting.Hal ini memerlukan perhatian yang lebih untuk tetap dijaga dan senantiasa ditingkatkan secara terus menerus.Demikian juga halnya bagi Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UST sebagai salah satu institusi pendidikan juga memerlukan usaha untuk meningkatan kualitas layanan pendidikan yang diberikan kepada mahasiswanya. Sesuai dengan strategi pencapaian yang dicanangkan oleh Prodi Pendidikan Matematika, bahwa pada tahun 2023 mendapatkan akreditasi A. Salah satu hal yang perlu disiapkan adalah adanya peningkatan kualitas pelayanan dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengukur serta menganalisa kualitas layanan pendidikan tinggi yang diberikan Prodi Pendidikan Matematika FKIP UST sehingga dapat diambil langkah yang tepat untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan yang diberikan. Salah satu metode pengukuran kepuasan pelanggan adalah dengan Metode Survey Satisfaction Inventory (SSI).Metode SSI mengukur kepuasan mahasiswa atas adanya perbandingan antara tingkat kepentingan (importance) dan tingkat kepuasan (satisfaction) dari masing – masing dimensi kualitas pelayanan tersebut. Adanya perbedaan tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan maka akan menghasilkan performance gap. Selanjutnya dilakukan analisis strategi untuk prioritas perbaikan variabel-variabel pada setiap dimensi kualitas pelayanan dengan menggunakan ImportanceSatisfaction Matrix.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan persepsi dan harapan mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika FKIP UST terhadap Kualitas Layanan , untuk mengetahui posisi kinerja Prodi Pendidikan Matematika FKIP UST untuk setiap dimensi layanan terhadap kepuasan mahasiswa, dan untuk menentukan prioritas perbaikan pada kualitas pelayanan Prodi Pendidikan Matematika FKIP UST untuk meningkatkan kepuasan mahasiswa. B. KAJIAN LITERATUR Kepuasan pelanggan menurut Guiltinan (1997:6) yaitu ” A buyer’s degree of satisfaction with product is the consequence of the comparison a buyer makes between the level of the benefits perceived to have been received after consuming or using a product and the level of the benefits expected prior purchase “ . Artinya bahwa kepuasan pelanggan merupakan konsekuensi dari perbandingan yang dilakukan oleh pelanggan yang membandingkan antara tingkatan dari manfaat yang dirasakan terhadap manfaat yang diharapkan oleh pelanggan.Sedangkan menurut Pasuraman, Zeithaml, dan Berry (1990:15), mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan adalah perasaan pelanggan terhadap satu jenis pelayanan yang didapatkannya.Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kepuasan pelanggan adalah kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang dirasakan. Salah satunya metode yang digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan adalah metode Student Satisfaction Inventory (SSI).Student Satisfaction Inventory (SSI) merupakan instrumen unik yang melakukan pengukuran tingkat kualitas pelayanan berdasarkan kepuasan (satisfaction) yang dirasakan
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
147
mahasiswa dan tingkat kepentingan (importance) dari masing-masing dimensi kualitas pelayanan tersebut. Tingkat kepentingan diperlukan sebagai bahan analisis dan pertimbangan dalam melakukan perencanaan seperti menentukan prioritas perbaikan, dan sebagainya. Ada 11 skala atau dimensi untuk mengukur kepuasan mahasiswa, antara lain : a. Academic Advising : menilai secara
umumnya sering bertemu dengan para siswa secara pribadi (bagian akademik, kemahasiswaan
fakultas,
penasehat,
pembimbing) tercakup dalam penilaian ini e. Instructional
Effectiveness
:
menilai
pengalaman akademik siswa, kurikulum, dan kesanggupan lembaga Pendidikan
komprehensif program bimbingan dan
Tinggi
konsultasi
Penasehat
akademik. Skala ini meliputi beberapa
berdasarkan
variasi dari program yang ditawarkan,
pengetahuan, kemampuan, dan perhatian
keefektifan fakultas atau program studi
mereka secara pribadi untuk kesuksesan
tidak hanya di dalam kelas tetapi juga
siswa, serta pendekatan mereka terhadapa
diluar kelas keluar, dan juga keefektifan
siswa.
pengajar.
akademik.
akademik
dievaluasi
b. Campus Climate : menilai sejauh mana
dalam
f. Recruitment
lembaga Pendidikan Tinggi mempunyai
mengukur
pengalaman
berhubungan
dalam
mempromosikan
kebanggaan dan peran serta kampus
mencapai
and
keunggulan
Financial
efektivitas
layanan
dengan
Aid
:
yang
perekrutan
mahasiswa baru dan beasiswa
mereka di masyarakat. Skala ini juga
g. Registration Effectiveness : menilai isu
menilai keefektifan komunikasi dua arah
yang berhubungan dengan registrasi dan
antara lembaga dan siswa.
SPP. Skala ini juga mengukur komitmen
c. Campus Support Services : menilai mutu program layanan akademik dan dukungan
lembaga Pendidikan Tinggi dalam proses ini lebih efektif dan mudah.
sehingga para siswa dapat menggunakan
h. Campus Safety and Security : menilai
pengalaman pendidikan mereka lebih
kemampuan lembaga dalam keamanan
produktif dan bermakna. Layanan ini
dan
meliputi
kampus. Skala ini mengukur keefektifan
perpustakaan,
laboratorium
komputer, tutorial, dan ruang belajar yang digunakan oleh siswa di luar kelas.
keselamatan
pribadi
siswa
di
fasilitas kampus dan personil keamanan. i. Service Excellence : menilai sikap staff
d. Concern for the Individual : menilai
akademik maupun bukan kepada para
komitmen dalam memperlakukan setiap
siswa, terutama bagi mereka yang sering
siswa secara individu. Bagian ini pada
melayani siswa. Skala ini dititik beratkan
148 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
pada penilaian terhadap mutu layanan dan perhatian secara pribadi kepada para siswa. j. Student Centeredness : menilai usahausaha penting yang dilakuan untuk para siswa. Skala ini mengukur sikap lembaga Pendidikan Tinggi dalam menghargai dan menyambut dengan baik para siswa. k. Campus Life : menilai kemampuan lembaga
dalam
mengisi
kehidupan
kampus, baik kegiatan mahasiswa yang bersifat
kurikuler
maupun
ekstra
kurikuler.
Importance and Satisfaction Matrix Importance and Satisfaction Matrix ini terdiri atas 4 kuadran, yaitu kuadran pertama terletak di kiri atas, kuadran kedua terletak di kanan atas, kuadran ketiga di kiri bawah, dan kuadran keempat di kanan bawah. Adapun matrik dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1. Importance and Satisfaction Matrix
Strategi yang dapat dilakukan berkenaan dengan posisi masing-masing variabel pada keempat kuadran dapat dijelaskan sebagai berikut. Kuadran I (Concentrate This) Kuadran ini memuat faktor-faktor yang dianggap penting oleh pelanggan tetapi pada kenyataannya faktor-faktor ini belum sesuai dengan yang diharapkan (tingkat kepuasan sangat rendah.Variabel – variabel yang masuk kuadran ini harus diperbaiki. Kuadran II (Keep Up The Good Work) Kuadran ini memuat faktor – faktor yang dianggap penting oleh pelanggan dan factorfaktor yang dianggap oleh pelanggan sudah sesuai dengan yang dirasakankannya (tingkat kepuasan relative tinggi). Kuadran III (Low Priority) Kuadran ini memuat faktor – faktor yang dianggap kurang penting oleh pelanggan dan pada kenyatannya kinerjanya juga tidak memuaskan. Kuadran IV (Possible Overkill) Kuadran ini memuat faktor – faktor yang dianggap kurang penting dan dirasa terlalu berlebihan oleh pelanggan. C. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dimana peneliti berusaha menggambarkan kegiatan penelitian yang dilakukan pada objek tertentu secara jelas dan sistematis. Dalam penelitian ini penelitiingin menggambarkan persepsi dan harapan mahasiswa terhadap layanan kualitas di Prodi Pendidikan Matematika dengan Metode Student Satisfaction Inventory. Penelitian ini dilakukan di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UST pada bulan Agustus – Oktober 2015.Teknik probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Dimana peneliti mengambil sampel secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi itu. Dengan ukuran sampel 85 mahasiswa.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
149
Tahapan dalam penelitian ini sebagai berikut :Studi Pendahuluan, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Penyusunan kuesoiner, Ujicoba Instrumen (Kuesioner),Penentuan jumlah sampel, Penyebaran kuesioner Penelitian, Perhitungan skor pada masing masing dimensi dan skor gap, Analisis, Simpulan dan saran. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari responden berupa jawaban angket/ kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bagian Tata Usaha Jurusan Pendidikan MIPA FKIP UST yakni data jumlah mahasiswa Prodi pendidikan Matematika yang pada semester gasal 2015/2016 berstatus aktif. Instrumen dalam penelitian ini adalah angket/kuesioner. Angket ini berfungsi untuk mengungkap dan mengukur persepsi dan harapan mahasiswa terhadap kualitas layanan di program studi Pendidikan Matematika FKIP UST. Tabel 1. Jumlah variabel/ pernyataan untuk masing-masing dimensi pengukuran
instrumen yang valid/ sahih dan reliable/ konsisten.Sehingga uji coba instrumen ini meliputi uji validitas dan uji reliabilitas. Untuk mengukur kevalidan tes pada penelitian ini menggunakan rumus korelasi product momentmemakai angka kasar. Validitas itu adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Suharsimi Arikunto 2006:168).Hasil uji coba instrument menunjukkan bahwa semua item valid dan reliabel. Analisis data digunakan analisi data deskriptif.Untuk mengetahui kecenderungan persepsi dan harapan mahasiswa terhadap kualitas layanan di program studi Pendidikan Matematika FKIP UST, mula-mula ditentukan nilai rata-rata kemudian dibandingkan dengan kurva normal ideal.Kemudian selanjutnya untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan adalah dengan melakukan perhitungan skor gap. Skor Gap Kualitas dihitung dengan rumus sebagai berikut : Skor gap kualitas = tingkat kepuasan – tingkat kepentingan
D. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa kecenderungan tingkat kepuasan mahasiswa terhadap layanan di Prodi Pendidikan Matematika FKIP UST secara keseluruhan dalam kategori puas dengan rata-rata 255,58. Sedangkan kecenderungan tingkat kepentingan/ harapan mahasiswa secara keseluruhan dalam kategori puas dengan rata-rata 322,29. Adapun rata rata skor kepuasan dan kepentingan masing masing dimensi disajikan dalam tabel berikut : Tabel 2. Rata rata skor kepuasan dan kepentingan masing masing dimensi
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik uji coba terpakai dimana peneliti melakukan uji coba sekaligus mengambil data.Uji coba instrumen bertujuan untuk mendapatkan instrument yang baik yakni 150 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
Mahasiswa puas terhadap kehidupan di kampus. Mahasiswa berpendapat bahwa Peraturan dan disiplin berlaku secara adil, pihak kampus mendukung kegiatan dan organisasi kemahasiswaan yang menampung minat dan bakat mahasiswa , dan mudahnya memperoleh informasi seputar kampus. d. Campus Support Services : Mahasiswa cukup puas dengan pelayanan pendukung di UST.Pelayanan pendukung ini misalnya perpustakaan, laboratorium, ruang kelas, kompleks pusat mahasisw, fasilitas olahraga, sarana ibadah, kantin, toilet, pusat karir.Mahasiswa cukup puas terhadap layanan pendukung di atas, artinya mahasiswa belum sepenuhnya puas dengan fasilitas yang ada di kampus. e. Concern for the Individual a. Academic Advising : Mahasiswa puas terhadappelayanan yang diberikan oleh dosen walinya.Mahasiswa merasakan bahwa dosen wali mempunyai kemampuan untuk membimbing/ memberikan nasihat terkait dengan masalah akademik, dosen wali mudah untuk ditemui, dosen wali ramah dan perhatian. b. Campus Climate : Mahasiswa puas terhadap iklim kampus yang sudah terbangun di prodi pendidikan matematika khususnya dan UST pada umumnya.Mahasiswa berpendapat bahwa budaya dan iklim belajar di kampus sudah baik, mahasiswa diberikan kebebasan untuk melakukan kegiatan dan aktivitas yang positif, tersedianya sarana yang menampung pendapat dan keluhan mahasiswa, perlindungan terhadap ras.Dampak baik dari adanya perlindungan ras adalah mahasiswa UST berasal dari Sabang sampai Merauke. c. Campus Life
Mahasiswa cukup puas dengan perhatian secara individu yang diberikan pihak kampus kepadanya.Mahasiswa cukup puas dengan perhatian personal dari dosen dan karyawan JPMIPA, cukup puas dengan kesediaan pihak kampus untuk mendengar dan menanggapi saran, pendapat, dan keluhan mahasiswa. f. Instructional Effectiveness : Mahasiswa puas dengan proses perkuliahan. Mahasiswa puas dengan kurikulum yang ada, jadwal yang disusun dengan baik, kemampuan dosen dalam mengajar, sistem evaluasi yang tepat dan transparan. g. Recruitment and Financial Aid : Mahasiswa puas dengan proses pendaftaran sebagai mahasiswa baru serta ketersediaan beasiswa. Mahasiswa puas dengan kelengkapan informasi dan kemudahan prosedur pendaftaran mahasiswa baru, besarnya biaya kuliah sesuai dengan apa yang didapat saat kuliah, dan kecukupan jumlah beasiswa h. Registration Effectiveness :
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
151
Mahasiswa puas dengan proses herregistrasi yang dilakukan setiap semester. Mahasiswa puas dengan informasi dan kemudahan proses herregistrasi, dan pelayanan petugas dalam melayani mahasiswa. i. Campus Safety and Security :
masing dimensi berikut.
disajikan
dalam
tabel
Tabel 3. Skor gap masing-masing dimensi
Mahasiswa puas dengan pengamanan kampus. Mahasiswa puas dengan jumlah dan kinerja petugas keamanan, mahasiswa puas dengan area parker dan kinerja petugas parkir j. Service Excellence : Mahasiswa puas pelayanan prima yang ditunjukkan oleh karyawan, mahasiswa puas dengan lingkungan dan suasana kampus yang bersih, fasilitas sarana dan prasarana yang terawat dengan baik.
k. Student Centeredness : Mahasiswa puas kebijakan yang dikeluarkan pihak kampus yang mempertimbangkan kepentingan mahasiswa, ketersediaan sarana dan forum komunikasi antara mahasiswa dan pihak universitas, adanya penghargaan bagi mahasiswa yang berprestasi. Sedangkan terkait dengan kepentingan, mahasiswa berpendapat bahwa semua dimensi yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan di prodi pendidikan matematika adalah sangat penting. Skor gap Perhitungan skor gap dilakukan terhadap seluruh dimensi pengukuran kualitas.Skor gap digunakan untuk melihat kesenjangan antara tingkat kepuasan dan tingkat kepentingan / harapan mahasiswa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan di prodi pendidikan matematika. Perhitungan skor gap masing -
Dari tabel 3 terlihat bahwa skor gap pada masing masing dimensi bertanda negatif.Ini artinya mahasiswa belum puas dengan pelayanan yang ada. Skor gap tertinggi terletak pada dimensi Campus Support Service (Pelayanan pendukung) yakni sebesar 1,48. Hal ini dapat diartikan bahwa pihak kampus masih perlu membenahi layanan pendukung seperti kelengkapan buku-buku dan literatur di perpustakaan, komputerisasi pada perpustakaan (perpustakaan digital), sikap dan kemampuan karyawan perpustakaan dalam bertugas, kelengkapan dan kemutakhiran peralatan laboratorium, kondisi peralatan dan perlengkapan laboratorium (komputer, software, dll) yang baik (tidak rusak), ruangan kelas yang bersih, rapi, dan nyaman, kondisi peralatan dan perlengkapan kelas (OHP, meja-kursi, papan tulis, dll) yang baik (tidak rusak), mudahnya akses internet, mushola, kantin, toilet.
152 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
Skor gap terrendah terletak pada dimensi Academic Advising (Penasihat Akademik) yakni sebesar 0,72. Ini artinya mahasiswa sudah cukup puas dengan dosen wali masing masing dalam memberikan bimbingan akademik. Dengan kata lain pihak kampus sudah berhasil mengontrol tugas dosen pembimbing akademik agar selalu melakukan kewajibannya dan menunaikan hak mahasiswa yang menjadi walinya. Importance Satisfaction Matrix Sesuai dengan perhitungan gap pada tabel 3 dapat dikategorikan dimensi apa saja yang masuk ke masing masing kuadran. a. Kuadran I Kuadran I (Concentrate This) berisi variabel yang dianggap sangat penting namun pelanggan tidak puas. Variabel yang termasuk dalam kuadran ini adalah variabel nomor 20,21,22,23,26,27,28,29,30 dimana rata rata skor dari masing masing variabel tersebut kurang dari 3. Variabel-variabel tersebut yakni Kelengkapan buku-buku dan literatur di perpustakaan (V20), Komputerisasi pada perpustakaan (perpustakaan digital) (V21), Sikap dan kemampuan karyawan perpustakaan dalam bertugas (V22), Kelengkapan dan kemutakhiran peralatan laboratorium (V23), Kondisi peralatan dan perlengkapan kelas (OHP, meja-kursi, papan tulis, dll) yang baik (tidak rusak) (V26), Kemudahan akses komputer untuk berbagai keperluan (tugas, internet, dll) (V27), Ketersediaan kompleks pusat mahasiswa (student centre) sebagai lokasi dari berbagai kegiatan mahasiswa (V28), Kelengkapan lapangan dan fasilitas olahraga (V29), Sarana ibadah (mushola, dll) yang memadai (V30). Sesuai dengan jargon pada kuadran I yakni Concentrate This, maka pihak kampus harus berkonsentrasi untuk memperbaiki variabel yang masuk pada kuadran ini. b. Kuadran II
Kuadran II (Keep Up The Good Work) berisi variabel yang dianggap sangat penting dan pelanggan sangat puas. Variabel yang termasuk dalam kuadran ini adalah variabel nomor 1 sampai dengan nomor 19, nomor 24, 25, serta nomor 31sampai dengan 75 dimana rata rata skor dari masing masing variabel lebih dari atau sama dengan 3. Sesuai dengan jargon pada kuadran II yakni Keep Up The Good Work, artinya pihak kampus harus mempertahankan variabel variabel yang termasuk dalam kuadran ini. c. Kuadran III Kuadran III (Low Priority) berisi variabel yang dianggap sangat tidak penting dan pelanggan sangat tidak puas.Dari 75 variabel tersebut tidak ada variabel yang masuk dalam kuadran ini. d. Kuadran IV Kuadran IV (Possible Overkill) berisi variabel yang dianggap sangat tidak penting tetapi pelanggan sangat puas.Dari 75 variabel tersebut tidak ada variabel yang masuk dalam kuadran ini. Dengan tidak adanya variabel yang masuk dalam kuadran III dan IV, menunjukkan bahwa mahasiswa beranggapan tidak ada variabel yang tidak penting apalagi sangat tidak penting.Menurut mahasiswa semua varibel yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan di prodi pendidikan matematika adalah penting dan sangat penting.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
153
Gambar 2.Importance Satisfaction Matrix E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Kecenderungan tingkat kepuasan mahasiswa terhadap kualitas layanan di prodi pendidikan matematika adalah dalam kategori puas. Sedangkan kecenderungan tingkat kepuasan untuk masing masing dimensi, 9 dimensi dalam kategori puas dan 2 dimensi dalam kateogori cukup puas. 2. Kecenderungan tingkat kepentingan/ harapan mahasiswa terhadap kualitas layanan di prodi pendidikan matematika adalah dalam kategori sangat penting. Demikian pula kecenderungan tingkat kepentingan/ harapan untuk masing masing dimensi 11 dimensi tersebut dalam kategori sangat penting. 3. Skor gap tertinggi terletak pada dimensi Campus Support Service(Pelayanan pendukung ) yakni sebesar 1,48 dan skor gap terrendah terletak pada dimensi Academic Advising (Penasihat Akademik) yakni sebesar 0,72. 4. Prioritas perbaikan pada kualitas pelayanan Prodi Pendidikan Matematika FKIP UST untuk meningkatkan kepuasan mahasiswa adalah variabel nomor 20,21,22,23,26,27,28,29,30. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diajukan saran sebagai berikut : 1. Prodi Pendidikan Matematika harus meningkatkan kualitas layanan terutama perbaikan pada variabel yang masuk kuadran I. 2. Faktor-faktor berdasarkan dimensi dimensi yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa terhadap kualitas layanan
dapat menjadi pedoman bagi UST untuk meningkatkan kredibilitasnya di mata masyarakat. 3. Peneliti perlu memberikan penjelasan yang lebih mendetail sebelum meminta mahasiswa mengisi angket 4. Karena jumlah pernyataan dalam angket cukup banyak, sehingga ada sebagian responden yang mengisi secara asalasalan. Sehingga dalam hal ini peneliti perlu mempertimbangkan kembali jumlah pernyataan dengan tetap memperhatikan dimensi- dimensi yang harus diukur. REFERENSI Adella Hotnida Siregar, Lilik Zulaihah. 2010. Pengukuran Kualitas Peayanan dengan Metode Student Satisfaction Inventory (SSI) di UPN Veteran Jakarta. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta : Rineka Cipta -------------.2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Elliot, K.m., and M.A. Healy., 2001, key factors influencing Student Satisfaction Related to Recruitment, Journal of Marketing for Higher Education, 10(4) Erman Suherman, dkk.2003.Strategi Pembelajaran MatematikaKontemporer.Bandung: JICA. Faisal, Ade. 2004. Analisis Kualitas Pelayanan Pendidikan Tinggi Menggunakan Metode Student Satisfaction Inventory, Tugas Akhir Departemen Teknik Industri ITB. Guilitnan,Joseph,P,Paul,Gordon W and Madden,Thomas J.1997.Marketing Management.6th edition.McGraw-Hill Companies. Kotler, Philip. 2003. Marketing Management, 11th Edition. Prentice Hall Int’l, New Jersey.
154 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
Moleong L.J. 2004 . Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya Neuneung R. Hayati, Tanti Irawati M., Mardi, Kepuasan Pelanggan (Mahasiswa) Dalam Pelayanan Pendidikan Sebagai Perbaikan Mutu Berkelanjutan Dalam Pendidikan Tinggi (Studi Kasus di Universitas Widyatama). Purwanto.2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R& D, Alfabeta Bandung Sumadi Suryabrata. 1983. Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Andi Sutoko Mame S., Petrina Faustine, Ade Faisal. 2005. Higher Education Service Quality Analysis Using Student Satisfaction Inventory Dimensions A Case Study of Widyatama University Studies, The 5th SEAAIR ANNUAL CONFERENCE. Ruslan, Rosady. 2003. Metode Penelitian PR dan Komunikasi. Jakarata : PT. Raja Grafindo Persada. Zeithaml dan Bitner, 2000. Service Marketing: Integrating Customer Focus Across. The Firm, me Graw Hill.
Zeithaml, Valerie A., A. Parasuraman, Leonard L. Bery., 1990, Delivering Quality Service: Balancing Coustumer Perceptions and Expectation. New York: The Free Press.
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
155
156 Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
ISSN. 2460-6286
Jurnal Sosiohumaniora Volume 2 No 1 Januari 2016
157