PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
MENGAIS KETELADANAN GURU BANGSA (PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF KI HADJAR DEWANTARA) Mohammad Ali Musafak Sekolah Tinggi Agama Islam Grobogan
[email protected] Abstrak Keteladanan menjadi penting dalam dunia pendidikan, tidak hanya terucap dalam kata-kata namun terlaksana dalam perilaku atau perbuatan, demikian kiranya guru seyogyanya berperan. Sesuatau bisa dikatakan keteladanan jika terdapatnya keserasian pikiran, perkataan dan perbuatan. Untuk menjadikan keteladanan sebagai alat pendidikan yang pokok, Ki Hadjar Dewantara merumuskan secara konseptual tentang peran guru dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengajar dan pendidik yakni 1) Ing Ngarsa Sung Thullada (di depan memberi teladan) dalam istilah Islam disebut dengan Uswatun Hasanah 2) Ing Madya Magun Karsa (di tengah aktif sebagai penggerak) dalam Islam istilah ini disebut dengan Fitrah “pengembangan kreatifitas secara positif” 3) Tut Wuri Handayani (di belakang sebagai pendorong dan mengambil peran), di dalam Islam konsep ini dikenal dengan hasib ( pendorong dan pengoreksi). Kata Kunci: keteladanan, pendidikan Islam, Ki Hadjar Dewantara
A. Pendahuluan Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mengajar, membimbing, memimpin, menuntun, mengarahkan, melatih menilai dan mengevaluasi peserta didik merupakan profesi pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.1 Segogyanya, guru selain menjadi pendidik juga butuh menampakan pribadinya sebagai peneladan. Keteladanan guru adalah sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh tentang perkataan, perbuatan, sifat, dan lain sebaginya. Segala sesuatu dipandang patut untuk ditiru atau baik untuk dicontoh kalau sesuatu itu dipandang baik menurut ukuran norma agama yang bersumber dari kitab suci (al-Qur’an) dan Hadist, norma susila, norma kesopanan, dan norma budaya atau adat istiadat yang berlaku pada suatu masyarakat. Sedangkan jika dilihat dari aktifitasnya maka aktifitas utama dari seorang guru adalah mengajar. Mengajar merupakan kegiatan pendidikan yang 1
Nur Aisah, Proseding Seminar Nasional “ Pendidikan Islam dan Hak Asasi Manusia”,( Surakarta: Fataba Press,2012) hlm. 77.
membutuhkan keterampilan dan keahlian serta dalam misinya membawa tujuan tertentu. Setiap guru bertanggung jawab untuk membawa anak didiknya pada suatu taraf kematangan dan kedewasaan. Melalui kegiatan mengajar, guru memberikan pelajaran kepada murid, memberikan pengetahuan, membimbing, mengarahkan, mendorong dan menemani mereka untuk dapat belajar dengan baik. Dengan demikian peran guru menjadi penting dalam proses pembelajaran. Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak, maka ‘perilaku’ seorang guru akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan pengaruhnya sangat besar –yakni sekitar (90%)- pada peserta didik. Perilaku inilah yang akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan sosial peserta didik. Secara psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas dalam ‘bersikap’, ‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun orang lain. Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki Hajar Dewantara maka seorang guru yang ingin diteladani haruslah melepaskan ‘terompah’ dari jiwa, sikap, dan perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari ‘kepahlawanan’ untuk
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
kemudian ‘mendidik’ tetapi dari mendidiklah kemudian dia layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati setiap manusia lain. Secara tradisional, -terutama di pedesaan- masyarakat memandang guru sebagai profesi yang terhormat, meskipun “bergaji kecil”. Guru merupakan sosok yang sangat dihormati dan diteladani dalam lingkungannya. Bahkan dalam bahasa Jawa, guru mempunyai kepanjangan sebagai orang yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani) sikap hidup dan perilakunya. Begitu besar rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap guru, maka guru-guru ini sangat berhatihati dalam berbicara, bergaul, atau bertindak. Sedikit saja guru melakukan kesalahan, maka kehormatan diri sebagai taruhannya. Rasa hormat masyarakat kepadanya pun akan pudar. Bila ini terjadi, maka kepercayaan dan penghormatan masyarakat kepada mereka akan berkurang, atau bahkan hilang. Bagaimana agar keteladanan seorang guru berbuah hal yang baik pada jiwa, sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa yang akan datang, maka seorang guru haruslah ‘profesional’ dalam pengajaran dan hubungan sosial. Bukan professional ‘to have’ tetapi professional ‘to be’. Bukan professional disebabkan kebendaan (materi) tetapi professional bersumber dari ‘penguasaan diri’, ‘pengabdian’ dan ‘kehormatan’ diri dan bangsanya. Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ akan menjadi cara hidup seorang guru untuk mencapai kemanfaatan sebanyakbanyaknya melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati, kepala dan pancaindera peserta didiknya. Dalam tulisan ini akan dipaparkan bagaimana pandangan KI Hadjar Dewantara mengenai keteladanan seorang pendidik (guru) terhadap muridnya dan bagaimana Islam melihat pentingnya keteladanan dalam proses pendidikan serta relevansinya di dalam al-Qur’an dan Hadist.
B. Biografi Ki Hadjar Dewantara Nama lengkapnya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, dilahirkan pada hari Kamis Legi, Puasa 1818 atau tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Nama ayahnya adalah Kanjeng Pangeran Haryo Soejaningrat yang bergelar Sri Paku Alam III (1858-1864). Ibunya bernama R.A. Sandiah Binti K.R.T Notoprojo II, dari arah ibu ia adalah keturunan waliyuallah, Raden Rahmat, yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga. Dari jalur ayah Soewardi merupakan keterunan bangsawan kerajaan, keturunan Raja Ngayogyakarto Hadiningrat Sri Paduka Sultan Hamengku Buwana I.2 Pangeran Soerjaningrat dan pangeran Sasraningrat adalah dua bersaudara kandung putra dari Adipati Paku Alam III, dari permaisuri yang berasal dari pugeran, keluarga Sultan Hamengku Buwana. Oleh karena sang permaisuri tersebut diserahkan kembali kepada orang tuanya –dalam hal ini adalah perceraian, maka Pangeran Soerjaningrat dan pangeran Sasraningrat menjadi terlantar. Sehingga perawatan keduanya diserahkan kepada emban, yakni pegawai atau pembantu dari kerajaan. Dengan perceraian tersebut maka, manta permaisuri (R.A. Sandiah) tidak lagi mendapat hak asuh dari kedua putranya. Sehingga dalam batinnya, kedua pangeran tersebut menjadi terlunta-lunta dan terasing dari ibu kandungnya sendiri, lantaran ibu kandungya tidak lagi mendapat hak mengasuh kedua pangeran tersebut. Kehidupan kedua pangeran tersebut semakin sulit setelah kakek Soewardi, Sri Paku Alam wafat. Kedunya hidup sederhanya dengan keadaan apa adanya, hal ini dikarenakan pihak pemerintah kerajaan Paku Alam IV, V, VI tidak memberikan tunjangan hidup yang layak kepada keduanya. Keadaan ini sangat Nampak jelas semenjak pemerintahan Paku Alam IV 2
Darsiti Soeratman, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Pendidikan dan Kebudayaan, Derektorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1981), hlm.8.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
(1864-1878) penyandang gelar Paku Alam yang diposisikan pada keturunan Paku Alam dari garis keturunan permaisuri. Padahal Pangeran Soerjoningrat –ayah P. Soewardi Soejoningrat adalah putra mahkota yang seharusnya menduduki singgasana kerajaan meski keadaan fisiknya tidak cukup sempurnya ( ia tunanetra). Ketika cacat fisik menjadi kendala maka masih ada alternatif yakni pangeran Sasraningrat- adik adik pangeran Soerjoningrat yang paling mungkin menduduki tahta kerajaan Paku Alam. Di tengah-tengah polemik tersebut, Soewardi merelakan tahta pemerintahan tersebut kepada pamannya sendiri yakni Pangeran Sasraningrat. Dengan harapan, jika pangeran Sasraningrat menjadi Paku Alam atau setidaknya menjadi wakilnya, soewardi hanya menginginkan kekuasaan Paku Alam dikembalikan seperti seharusnya dan masyarakat diperkenankan membuat garam di pantai selatan. Dengan demikian persoalan yang melanda keluarga silsilah Soewardi Soerjoningrat cukup memberikan latar dan pengaruh dalam perjalanan hidup Raden Mas Soewardi Soerjoningrat yang kemudian, setelah umur 40 tahun, bernama Ki Hadjar Dewantara. Dari segi pendidikan, keluarga Paku Alam termasuk keluarga yang maju pendidikannya. Paku Alam I gemar menekuni kasusastraan Jawa, mempelajari ilmu politik, keadministrasian atau ilmu pemerintahan. Kegigihan dan ketekunan beliau dalam penguasaan ilmu sastra dan seni, mengalir dan diwarisi kepada putra-putranya. Paku Alam III, kakek Soewardi Soerjoningrat dikenal sebagai ahli puisi, peyair dan sastrawan Jawa. Sedangkan ayahnya, K.P.H Soerjoningrat dikenal sebagai pujangga, sastrawan Jawa yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam dalam bidang, musik, soal-soal keagamaan, filosofis. Soewardi dibesarkan- diasuhdalam lingkungan keluarga yang kuat agamanya. Ayahnya adalah pemeluk Islam taat. Bahkan bisa dikatakan pengetahuan agamanya luas. Setiap hari
Jumat Soejaningrat menunaikan shalat Jumat di masjid yang relatif dekat dengan istana sehingga mempermudah Soerjoningrat berbaur dengan para ulama’ dan para pemuka agama. Dialog dengan para ulama’ dalam masalahmasalah keagamaan merupakan kebiasaan Soerjoningrat, sehingga menjadikan-nya orang yang luas pemahaman keagamaannya. Menurut pandangan Soerjoningrat, Syariat agama dan hakikat agama harus berpadu, keduanya ibarat raga dan nyawa, dan inilah inti ajaran Islam yang sebenarnya. Selain mendapatkan pengetahuan agama dari ayahnya sendiri, Soewardi juga mendapatkan pelajaran ilmu hikmah dan ajaran lama yang dipengaruhi oleh filsafat Hindu yang terserat dalam cerita wayang. 3 Wayang sebagai kesenian rakyat dalam misinya selalu membawa pesan-pesan edukatif yang amat mendalam baik yang berhubungan moral, nilai, hikmat, sosial kemasyarakat maupun keagamaan. Maka sudah selayaknya wayang dipelajari dalam rangka menggali nilai seni tersebut. Tokoh-tokoh wayang yang ia kagumi adalah tokoh-tokoh dalam pewayangan Mahabarata. Terutama Yudistira sebagai lambang perdamaian dan cinta kasih. 4 Nuansa pendidikan keluarga yang kental dengan nilai-nilai kebudayaan luhur nenek moyang, cinta kasih orang tua, ajaran agama dan kesusastraan Jawa telah mendasari kepribadian Soewardi Soerjoningrat. Dalam rengkuhan orang tuanya, Soewardi termasuk salah satu putra Soerjaningrat yang tekun, rajin dan juga lincah meskipun perawakanya kecil jika dibandingkan dengan saudarasaudaranya yang lain. Soewardi termasuk putra kesayangan dan bahkan yang lebih banyak mendapatkan
3 4
Ibid.., hlm.15.
Abdurrachman Suromihardjo, Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hlm.52.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
bimbingan atau perhatian dari ayahnya, terutama berkaitan dengan pengasuhan dan pendidikan. Semenjak masa kanak-kanak, Soewardi tergolong anak yang lincah, tangkas dan berani, mudah bergaul sehingga akrab dengan teman-teman barunya atau seusianya. Ia adalah pemberani, tidak malu berkenalan dengan siapapun bahkan anak-anak Indo-Belanda. Soewardi justru merasa senang bermain bersama mereka karena mendapat pengalaman dan memperbanyak kawan. Oleh ayahnya pun Soewardi mendapat keleluasaan untuk bergaul dengan siapa pun, baik dari lingkungan keraton, atau diluar istana yang penting jangan memusuhi dan tidak mengganggu ia pun berteman main baik dengan mereka. Bagi ayahnya, memberi kesempatan anak untuk bermain dan berteman adalah penting dalam upaya menumbuhkan perkembangan jiwa dan perilaku anak kelak dikemudian hari. 5 Setelah dianggap usia, Soewardi oleh ayahnya didaftarkan masuk pada Sekolah Dasar Belanda III, sekolah yang cukup baik dan juga menjadi rebutan orang tua murid, baik dari kaum bangsawan kerajaan maupun dari keturunan Belanda sendiri. Selain menjadi pilihan yang cocok karena dianggap Sekolah Dasar yang berkualitas, kebetulan lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah Soewardi yaitu di desa Bintaran kota Yogyakarta. Disekolah inilah Soewardi memperdalam kemampuannya berbahasa Belanda sehingga bisa dikatakan kemampuan Soewardi dalam berbahasa Belanda cukup baik. Selain bahasa Belanda penguasaan ilmu-ilmu dasar lainnya juga cukup baik . Pada tahun 1904 ia berhasil menyelesaikan studinya dengan predikat baik. Dengan hasil tersebut, keinginan Soewardi belajar dan bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi mulai terbangun. Sikap dan respon
5
Darsati, Dewantara,…..hlm.17.
Ki
Hadjar
orang tuanya mendukung cita-cita Soewardi sangatlah tinggi. Hal ini ditunjukan dengan menyekolahnya di Sekolah Guru Yogyakarta (Kweek School), walaupun kemampuan ekonomi keluarga terbatas adanya. Kegemaran mempelajari ilmu-ilmu pendidikan dan keguruan mulai terbentuk pada pribadi Soewardi. Namun sayang ia hanya mampu bertahan kurang lebih setahun masa belajar. Karena alasan keterbatasan ekonomi, pada awal tahun pelajaran kedua ia tidak mampu melanjutkan studinya hingga lulus. Tidak lama kemudian Soewardi mendapatkan informasi adanya beasiswa studi di Jakarta. Setelah menyertakan persyaratan-persyaratan ia mencoba mendaftarkan diri pada lowongan tersebut. Dan selanjutnya pada tahun 1905 Soewardi melanjutkan studinya di sekolah dokter STOVIA (Scholl tot Opleiding van Indhiche Artsen) Jakarta. Sekitar enam tahun lamanya, Soewardi menempuh pendidikan di STOVIA ini. Di kota Jakarta selama menempuh pendidikan , Soewardi mulai dapat melihat kehidupan diluar tradisi keraton yang kemudian turut membangun pribadinya. Tidak hanya itu saja, selama ia belajar di STOVIA, perubahan dan perkembangan idealismenya mulai tumbuh. Disini pulalah ia mulai diperkenalkan dengan tujuan cita-cita yang sesungguhnya. Banyak situasi yang menjadikan Soewardi malas mengikuti perkuliahan. Salahsatu nya aturan kampus yang tidak berpihak dengan kepentingan mahasiswa, bahkan ada maksud membuat diskriminasi terhadap mahasiswa tertentu. Kebebasan kreativitas mulai terusik dan dikungkung oleh aturan-aturan asrama dan kampus yang tidak adil. Larangan berpakain Eropa bagi mahasiwa pribumi, distoleransi dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha serta arogansi aturan-aturan yang aras (agama, ras, dan suku kebangsaan). Dalam kondisi demikian, Soewardi jarang mengikuti perkuliahan, hanya perkuliahanperkuliahan tertentu yang menurutnya menarik untuk diikuti. Waktunya lebih
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
banyak digunakan untuk kegiatan di luar kampus. Ia merupakan salahsatu anggota dan pengurus organisasi Budi Oetomo, sebuah organisasi politik yang cukup dikhawatirkan oleh pemerintah Belanda. Kesibukan aktifitas diluar kampus menjadikan kendala bagi perkuliahan Soewardi, tugas-tugas akademiknya tersendat-sendat sehingga mempersulit kelancaran studinya. Hingga pada tahun 1909 Soewardi keluar dari STOVIA. Beasiswa yang diharapkan tetap menyokong biaya kuliah samapai selesai ternyata diberhentikan, disisi lain ekonomi keluarga yang pas-pasan tidak mungkin mampu membiayai kuliahnya di STOVIA. Dengan keadaan yang seperti ini, tidak membuat Soewardi putus harapan. Ia terus beraktivitas dan bekerja bersungguh-sungguh dalam mengubah nasibnya. Tak lama menjalani pekerjaan sebagai karyawan di laboratorium toko obat Rathkam Yogyakarta, karena merasa tidak cocok dengan pekerjaan itu maka ia memutuskan untuk keluar, dan akhirnya mecoba untuk bergabung dengan perusahaan berita harian. Selain Soewardi mempunyai pikiran yang cemerlang, ia juga mempunyai kemampuan tulis-menulis yang mumpuni, yang kemudian ia ditarik untuk bekerja disalahsatu perusahaan pers berbahasa Jawa, Sedyo Utomo Yogyakarta. Karena dianggap tulisnya bagus dan ia merupakan salahsatu penulis yang produktif maka banyak permintaan tulisan dari berbagai media massa. Salahsatu tulisan fenomenal dari seorang Soewardi adalah tulisan berbahasa belanda yang berjudul “Als ik een Nederlander was” (seandainya aku seorang Belanda. Yang isinya mengkritik pihak Belanda. Dengan tulisan-tulisan yang berbobot inilah menjadikan Soewardi sosok yang popular diseluruh tanah air. Penyadaran rakyat yang dibangun melalui tulisantulisannya tersebut membuat pihak Belanda geram dan menjatuhkan hukuman penjara kepadanya. Ia
dikurung di penjara Istana Prodeo yang terletak di Sumatra Selatan tepatnya di Bangka Belitung. Hidup di penjara tidak lantas membuat hati dan pikiran Soewardi ikut terpenjara, apalagi memenjarakan cita-cita dan tekadnya dalam perjuangan. Beberapa waktu kemudian Soewardi dibuang ke Nederland, namun ia masih sangat bersykur karena kedua temannya –Dounes dan Tjipto ikut diasingkan bersama dirinya. Sehingga dengan kebersamaan tersebut membuat tali perbahabatan diantara mereka lebih erat dan lebih solid dalam menata rencana perjuangan melawan penjajah. Selain tetap produktif dalam menulis di berbagai suratkabar di Nederland ia juga mengambil kesempatan untuk meneruskan pendidikannya. Dan hasilnya pada tahun 1915 ia mendapat Akta Mengajar dengan predikat sangat memuaskan. Dengan berbekal kemampuan berbahasa Jawa dan Belanda yang sangat baik, serta didukung dengan ilmu sastra yang mumpuni, Soewardi diterima pada sebuah perusahaan berita harian Sedyo Utomo di Yogyakarta dan Midden Java di Semarang. Dengan berbekal bakat menulis membuka cakrawala baru dalam perjuangan melawan penjajah. Pada tahun 1912 ia memutuskan pindah ke Bandung dan bekerja di sebuah perusahaan berita yang bernama De Ekspress yang dipimpin oleh E.F.E Dounles Dekker . ia juga aktif dan juga menjadi anggota redaksi harian Koem Moeda. Selain itu ia juga aktif di berbagai organisai, sebut saja Boedi Oetomo, Indische Partji dan Serikat Islam. Dalam perjalanannya (19081912) Soewardi banyak berkecimpung di berbagai organisasi nasional, sehingga membuatnya menjadi akrab dengan tokoh-tokoh penggerak pergerakan nasional, sebutsaja tokoh perintis Boedi oetomo; dr Soetomo, Goenawa, tokoh penggerak Syarekat Isla; Abdoel Moeis, Tirto adisoerejo, Haji Soemanhadi. Pada tanggal 6 September 1912 Soewardi juga memutuskan ikut bergabung dengan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
pergerakan Indische Partij (IP), yakni organisasi politik pertama di Indonesia. Adapun misi dari Indische Partij (IP) ialah memperjuangkan kemerdekaan nasional Indonesia (Indische Nasionalism). Melihat misi yang terdapat Indische Partij (IP), memicu kekhawatiran dari pihak Belanda akan adanya pemberontakan dari masyarakat Indonesia sehingga surat pengajuan Badan Hukum Indische Partij (IP) di tolak oleh Gubernur Jendral. Reaksi atas sikap dan keputusan Gubernur Jendral muncul diberbagai kalangan. Sebut saja reaksi yang dilakukan oleh Douwes Dekker dengan mengeluarkan pendapat bahwa pemerintah yang berkuasa di suatu tanah jajahan, bukanlah pemimpin namanya, melainkan penindas dan penindasan itu adalah musuh bagi kesejahteraan rakyat. Keadaan bertambah sulit bagi pejuang kemerdekaan dan masyarakat Indonesia karena pemerintah mengelaurkan kebijakan penarikan upeti (pajak) bagi masyarakat Indonesia. Melihat kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda yang semakin semena-mena akhirnya Soewardi juga melakukan perlawanan, yakni dengan mengeluarkan tulisan yang berjudul “Andai Aku Seorang Belanda” yang dimuat di De Express. Dalam tulisanya, Soewardi mengkritik tajam atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda atas kesewenangwenangan menjajah rakyat jelata. Keberanian Soewardi dalam mengkritik pemerintah Belanda, sehingga membuat pemerintah belanda menjadi geram dan membuatnya beserta istri di asingkan di Nederland. Ketika di sana, yakni tepatnya pada tahun 1918, Soewardi mendirikan kantor berita Indinesische Persbureau, yang sekaligus menjadi tempat berkumpulnya pemuda Indonesia yang sedang menuntut ilmu di sana. Selain itu kantor tersebut juga sebagai pusat propaganda dan dakwah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Selama di Nederland Soewardi bersama istri dikaruniai dua anak, yakni Asti Wandansari dan Soebroti Ario
Mataram. Pada tahun 1919 Soewardi bersama istri memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Dua tahun berselang Soewardi dikarunia seorang putri yang diberi nama Ratih Tarbiyah. Dari nama anak ketiga ini menandai awal babak baru perjuangan dan pengabdian Soewardi yang awalnya menempuh jalur politik berpindah pada jalur pendidikan. Ia pun berpendapat bahwa kemerdekaan nusa dan bangsa untuk mengejar keselamatan dan kebahagiaan rakyat tidak hanya dicapai dari jalan politik.6 Pada tahap ini Soewardi mulai yakin bahwa pendidikan adalah satu-satunya cara meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia. Pada tahun 1921 soewardi menjadi guru di sekolah Adhi Dharmo yang dipimpin oleh kakaknya sendiri, yakni Raden Mas Soerjopranoto. Sekolah ini didirikan pada tahun 1915 dan merupakan sekolah partikuler pertama yang didirikan oleh orang pribumi. Dari sekoalah ini Soewardi mendapatkan banyak pengelaman,khususnya dalam hal ihwal pendidikan dan pengajaran. Pengalaman lapangan menjadi seorang guru dan keterlibatannya dalam berbagai kegiatan kemasyarakan membuat Soewardi berkeinginan menyusun model pendidikan yang cocok dengan karakter bangsa, kepribadian dan budaya rakyat Indonesia. Didorong keinginan untuk mewujudkan kebangkitan rakyat dari kebodohan dan penindasan bangsa penjajah dan keinginan mengaktualisasikan gagasan dan citacita pendidikan, pada tanggal 3 Juli 1922 Soewardi mendirikan sebuah perguruan rakyat yang diberi nama National Onderwijs Instituut Taman Siswa di Yogyakarta. Dikalangan masyarakat sekolah ini kemudian dikenal dengan sebutan Perguruan Tamansiswa Yogyakarta. Dukungan dan respon dari masyarakt yang cukup baik membuat sekolah ini berkembang 6
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1991), hlm. 330.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
dengan pesat. Bahkan ada beberapa sekolah partikelir yang berdiri cukup lama selanjutnya pengelolaannya demerger pada pendidikan Tamansiswa, tak sampai disitu, kakaknya yang juga sekaligus pendiri Adhi Dharma juga memberikan sebagian muridnya untuk dididik di Tamansiswa. Jumlah murid pada masa awal perintisan Tamansiswa diperkirakan 12.870 orang dengan diasuh 180 guru. Pada tahun 1935 siswa di Tamansiwa mencapai 17.000 orang dengan diasuh sekitar 700 guru. Melihat perkembangan Tamansiswa di Yogyakarta yang begitu pesat sehingga membuat Soewardi membuka sekolah cabang Tamansiswa di berbagai daerah, sebut saja Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan juga Ambon. Dikalangan murid-muridnya, Soewardi dikenal sebagai guru yang mengagumkan. Cara member pelajaran menyenangkan dan tidak membosankan. Cara menerangkannya sangat jelas karena contoh-contoh yang dipakai diambilkan dari dari kehidupan seharihari yang telah dikenal oleh murid. Dengan demikian, isi pelajaran yang diberikan itu menjadi gambling, jelas dan mudah difahami sehingga dapat meresap pada ingatan anak didik. Hubungan murid dan guru tidak terbatas di dalam dan diluar sekolah. Di luar forum kelas Soewardi senantiasa akrab kepada para murid. Bahkan, karena sabar, ramah, tidak merendahkan siapapun, dan penuh perhatian menyebabkan setiap orang sangat senang kepadanya dan apabila bertemu dan diajak bicara oleh Soewardi yang sangat mereka cintai dan sangat dihormati mereka sangat senang. Soewardi memberikan gambaran bahwa hubungan guru dan murid layaknya hubungan antara anak dan orangtunya. Hal ini bermakna bahwa seorang guru harus selalu memberikan bimbingan pada saat jam pembelajaran maupun diluar jam pembelajaran. Sehinggan diharapakan ikatan batin antara guru murid menjadi kuat. Soewardi yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Ki Hadjar
Dewantara, -nama Hajar Dewantara memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan. Pengaruh pemikiran dan pengabdian dari Ki Hadjar Dewantara menyebar luas di Nusantara bahkan sampai di luar negeri. Dari Tamansiswa Ki Hadjar Dewantara meletakan dasar pertama pendidikan yang kemudian menjadi benih sistem pendidikan nasional Republik Indonesia. Peletak dasar-dasar pendidikan telah dimulai semenjak pendidikan penjajahan sehingga proses mencapai dan memperoleh kemerdekaan menjadi kemenangan. Setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengjaran pada kabinet pertama Indonesia. Kemudian, pada tahun 1946 ia mengetuai Panitia Penyelidikan Pengajaran, yang dibentuk oleh pemerintah untuk menentukan garisgaris baru di bidang pendidikan dan pengajaran sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Atas jasa besar dalam bidang pendidikan dan kebudayaan pada tahun 1956, beliau mendapatkan anugrah kehormatan Dr. H.C (doctor honoris causa) oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada acara Dies Natalis UGM yang ke-7. Sebagai tanda penghormatan atas jasa dan pengabdiannya dalam pendidikan bangsa dan Negara, Pemerintah R.I. menetapkan tanggal 2 Mei (awal mula 2 Mei 1956), yang merupakan hari kelahiran KI Hadjar Dewantara, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Serta pada tanggal 17 Agustus
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
1959 diangkat Nasional.
sebagai
Pahlawan
C. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan Melihat biografi dari Ki Hadjar Dewantara, bisa dikatakan bahwa Ki Hadjar Dewantara merupakan seorang pengembara dan juga pengabdi dalam pendidikan, seorang pemikir, pejuang dan sekaligus praktisi yang ulet, penuh dedikasi dan orang yang tulus dalam memajukan dan mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Karena jasa-jasanya dalam pendidikan Ki Hadjar Dewantara layak didudukan menjadi salahsatu pahlawan nasional, dan juga menjadi Bapak Pendidikan Nasional. Adapun pemikiran beliau dalam pendidikan diantaranya ialah: 1. Kemerdekaan Yang dimaksud dengan kemerdekaan dalam pendidikan ialah pemberian keleluasan dan kesempatan penuh terhadap anak didik untuk berproses dalam pengembangan potensinya mejadi syarat penting menuju pendidikan yang efektif. Kemerdekaan meletakan posisi pribadi anak didik dalam upaya menumbuhkan pribadi yang mandiri, bertindak atas dasar pertimbangan dan pilihan yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan sistem ini diharapkan tidak adalagi sistem pendidikan yang otoriter. Selanjutnya dalam penerapan proses kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara memunculkan tiga ayat. Pertama, segala kehendak dan perbuatanmu haruslah kamu pikirpikirkan dan rasa-rasakan dengan masak, karena fikiran dan rasa merupakan pemimpin yang sejati. Kedua, segala tenagamu haruslah sesuai dengan maksud dan tujuan adat-istiadat dari rakyatmu, karena adat-istiadat itulah petunjuk jalan yang sempurna. Ketiga, jikalau anda dalam kegelapan fikiran mintalah nasehat kepada saudaramu yang lebih tua dalam pengetahuan dan pengalaman. 2. Kodrat Alam
Dalam upaya menuju cita-cita pendidikan yang sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya, menurut pandangan Ki Hadjar Dewantara perlu menerapkan pendidikan yang berlandaskan kodrat alam. Hakekat manusia sebagai makluk hidup yang diciptakan Tuhan Allah s.w.t adalah satu dengan kodrat alam raya ini. Manusia tidak bisa lepas dari kehendakNya, tetapi akan mengalami bahagia jika bisa menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan ini. Karenanya, hendaklah tiap anak dapat berkembang sewajarnya. Lebih lanjut, asas kodrat alam mengiringi kemajuan akan pendidikan anak. Konsep kodrat alam Ki Hadjar Dewantara mengandung makna yang luas dan mendasar menyangkut potensi pribadi dan sifat dasar manusia. Setiap manusia mempunyai pertumbuhan kodrati sebagai anugrah Tuhan Allah s.w.t ialah pertumbuhan yang harus tunduk pada hukum alam yang telah mengaturnya dengan rapi. Dalam perspektif pendidikan, anak memiliki sifat-sifat sebagai anugrah Tuhan dan mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang. Secara kodrati, menjadi makluk individu dan makluk soSial yang memiliki sifat-sifat dasar jiwa dan raga. Dalam bahasa agama, kodrat alam disebut juga dengan istilah Sunnatullah, Hukum alam. 3. Kebudayaan Ki Hadjar Dewantara berpandangan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Ia juga menekankan kebudayaan sebagai landasan atau dasar pendidikan yaitu kebudayaan yang sifatnya terbuka dengan maksud usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, mempertinggi kebudayaan dan mempertinggi derajat kemanusiaan Indonesia. Menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan merupakan fator yang sangat penting untuk mendidik muridmurid menjadi patriot sejati yang berkepribadian Indonesia. Senada dengan Ki Hadjar Dewantara- Raja
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
Yogyakarta- Sri Sultan Hamengku Buwana X, berpendapat bahwa kebudayaan amat menentukan pembentukan jati diri bangsa. Dengan sifat yang dinamis, dimensi kebudayaan mampu mempertajam pemikiran, imajenasi dan perilaku, sehingga menjadi sumber dinamika perubahan, kreatifitas, pemerdekaan dan pembangkitan inovasi bidang pendidikan. Untuk dapat bertahan dengan kebudayaan bangsa sendiri, dari kikisan budaya bangsa luar, Ki Hadjar Dewantara menawarkan tiga konsep. Pertama, Kontinuiti, garis hidup kita di jaman sekarang harus merupakan kelanjutan, terusan, dari garis hidup di zaman silang. Kedua, Konvergensi, yaitu keharusan untuk menghindari hidup menyendiri dan untuk menuju kearah pertemuan dengan hidupnya bangsa-bangsa lain se dunia. Ketiga, Konsentrisitet, yaitu setelah bersamasama dengan bangsa lain se dunia jangan lupa kita dengan kepribadian kita sendiri. 4. Kebangsaan Kebangsaan dimaksudkan bahwa pendidikan menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan bangsa. Keragaman agama dan atau kepercayaan, budaya, warna kulit dan bahasa harus ditempatkan dalam wadah satu kebangsaan. Dalam pengetahuan tersebut, maka pendidikan dan pengajaran harus bersandar pada kebangsaanya. Pendidikan tidak mendualisasikan atau mengkontradiksikan atas keragaman suku, ras, apalagi agama, sehingga yang demikian menjadi kesatuan untuk memperkaya persatuan dan kesatuan bangsa. Inilah konsep cinta kebangsaan yang harus diajarkan dalam pendidikan dan pengajaran kepada siswa.
5. Kemanusiaan Kemanusiaan sebagai dasar pendidikan. Manusia satu dengan yang lainnya adalah saling mendidik. Manusia merupakan makluk edukatif yang mengandung makna bahwa
manusia merupakan mahluk yang membutuhkan dan atau dapat dididik dalam mencapai proses manusiawi. Dasar kemanusiaan tersebut menunjukan bahwa darma tiap manusia itu adalah mewujudkan misi kemanusiaan. Dasar kemanusiaan ini dimaksudkan bahwa pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bertujuan memberikan tuntunan, bimbingan dan pembinaan dalam perkembangan hidup jiwa raga anak. Diharapkan agar anak kelak dalam garis kodrat kepribadiannaya dan dengan pengaruh segala keadaan yang mengelilingi dirinya, dapat tumbuh berkembang dalam hidupnya lahir dan batin menuju kearah adab kemanusiaan.7 Kesuskesan dari pendidikan yang berdasarkan kemanusiaan adalah adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan terhadap mahluk Allah s.w.t. 6. Kekeluargaan Kekeluargaan menjadi dasar pendidikan yang penting. Dalam sistem kekeluargaan dimaksudkan agar proses pendidikan dapat menumbuhkembangkan sifat-sifat berikut; a. Cinta-mencintai sesama anggota keluarga. b. Tidak ada nafsu menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain. c. Terjalinya kerjasama dalam kesejahteraan bersama d. Terjalinya sikap toleransi antar sesama anggota keluarga. Jika konsep ini dapat dijalankan maka akan terjalin hubungan gurumurid, penyelenggara dan pelaksanaan pendidikan akan dapat terbangun sebuah komunitas pendidikan yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya, sehingga diibaratkan satu keluarga. 7. Keseimbangan Pendidikan adalah usaha pengembangan intelektualitas dan personalitas. Kedua aspek tersebut harus dikembangkan secara seimbang, bilamana pendidikan hanya 7
Ag, Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan I ( Bandung: CV Ilmu, 1992), hlm. 84.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
mementingkan intelektualitas sebagaimana yang dianut oleh sistem pendidikan Barat, maka akan timbul akibat buruk pada hasil pendidikan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, jika pelaksanaan pendidikan mengedepankan intelektualitas, akan muncul intelektualisme yang diiringi oleh egoisme, matrialisme dan individualisme. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak berat sebelah, artinya dengan pengembangan yang seimbang antara intelektualitas dan personalitas secara memadai maka akan tercipta insan-insan kamil dalam pendidikan. Sehingga akan tercipta pribadi yang cerdas dalam intelektual maupun emosional. 8. Budi Pekerti Pendidikan Budi Pekerti menjadi ciri khas dalam pengembangan sistem pendidikan. Lulusan lembaga pendidikan ditingkat apapun dan di manapun hendaknya memiliki budi pekerti yang luhur, disamping juga memiliki kemampuan intelektual yang memadai menurut tingkatan pendidikannya. Budi pekerti ini merupakan modal utama untuk mengembangkan diri ditengah-tengah masyarakat, tanpa modal budi pekerti yang luhur maka kehadiran seseorang di tengah-tengah masyarakat tidak sepenuhnya memberikan manfaat, karena ujung dari ilmu apapun adalah budi pekerti (ahlak). Menurut Hasan Langgulung, ahlak harus menjadi prioritas utama dalam setiap materi pendidikan. Baik menurut ahlak tentu saja baik menurut agama, sebaliknya buruk menurut ahlak tentu juga buruk menurut agama. Pendidikan ahlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Hal ini sesuai dengan tujuan tertinggi dari pendidikan Islam yaitu mendidik jiwa dan ahlak. Sangat tepat sekali pesan yang disampaikan Luqman al-Hakim kepada anaknya yaitu perintah untuk bertauhid dan larangan syirik terhadap Allah s.w.t karena hanya keimanan yang benarlah yang sanggup membuahkan ahlak mulia pada diri seseorang, sehingga anak tumbuh dan berkembang di atas dasar fondasi
keimanan yang ditanamkan orang tua dan para pendidiknya akan memiliki kemampuan untuk menerima setiap keutamaan yang datang kepadanya dan menolak setiap tindak tercela yang mengandung nilai pelanggaran terhadap syariat agama.8 D. KETELADANAN DALAM PERSPEKTIF KI HADJAR DEWANTARA Keteladanan berasal dari kata teladan atau thuladha (Jawa) yang berarti sesuatu yang dapat ditiru atau baik untuk dicontoh atau diikuti. Sebagaimana dalam perlambangan konsep Ki Hadjar Dewantara; Ing Ngarsa sung thulada-Ing Madya magun karsa – tutwuri handayani. Rangkain kata tulada atau keteladanan tersebut menandakan sesuatu tentang perbuatan, sifat, dan lain sebagainya yang keseluruhannya menunjukan pada sesuatu itu baik dan menjadi contoh atau patut diteladani. Dalam perbincangan keteladanan selalu mengacu pada sesuatu yang konkrit, jelas dan nyata. Adapun bentuk atau sifat dari keteladanan tersebut sudah menyatu pada sifat dan perilaku dalam kepribadian seseorang. Keteladanan dalam konteks pendidikan yang dimaksud di sini adalah keteladanan guru dalam proses pendidikan yang berorintasi pada pada pendidikan populis yang kritis yakni, pemerataan, penyadaran hak dan kebutuhan bahwa setiap orang berhak mendapat pendidikan yang layak dan manusiawi yang selalu membutuhkan perjuangan dan usaha terus menerus sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman. Maka dalam pendidikan model populis kritis urgensi keteladanan dalam konteks pendidikan kini menjadi relevan untuk dihadirkan pada setiap guru. Yakni setiap guru 8
Rini Dwi Susanti dan Ahmad Falah, Esai-Esai Pendidikan Islam “Pengembangan Interaksi Anak dengan Lingkungan dan Potensi Anak” (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2012), hlm.9.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
harus bisa menjadi teladan bagi setiap muridnya. Menyinggung keteladanan diceritakan dalam sebuah riwayat, dari Jabir Ibn Abdullah, ia berkata, beberapa orang Arab pedalaman datang kepada Rasullah s.a.w. dengan mengenakan pakaian dari bulu kambing (pakaian jelek), Rasullah melihat keadaan mereka yang menyedihkan dan mereka memerlukan bantuan, lalu Rasullah menganjurkan kaum muslimin untuk bersedekah. Tetapi kaum muslimin lambat merespon anjuran tersebut, sehingga kekecewaan tampak pada wajah Rasullah, kemudian laki-laki Ansar datang dengan memberikan sejumlah uang kepada tesebut, kemudian disusul banyak yang menyusul untuk memberikan sedekah, sehingga keriangan tampak pada wajah Rasullah. Setelah itu Rasullah bersabda “ barang siapa memberikan teladan yang baik di dalam Islam lalu diikuti orang lain sesudahnya maka, dicatat untuknya pahala sebanyak orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang mereka peroleh. Dan barang siapa memberikan teladan jelek di dalam Islam lalu diikuti orang sesudahnya, maka dicatat untuknya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka peroleh sedikitpun.9 Dari hadist di atas dapat disimpulkan bahwa betapa besar pahalanya bagi orang yang memberikan contoh kebaikan dan kebaikan itu diikuti oleh orang lain, namun sebaliknya ketika seseorang memberikan contoh ketidak baikan dan itu diikuti oleh orang lain maka, betapa besar dosa yang ia peroleh karena telah memberikan contoh yang kurang baik. Sebaik-baik contoh keteladanan bagi umat Islam adalah keteladanan dari Rasullah. Banyak keteladanan yang bisa diambil dari Rasullahn s.a.w contoh misalnya, adalah kepribadian Nabi Muhammad s.a.w 9
M Mahiruddin al-Bani, Ringkasan Shahih Muslim. (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm.941.
yaitu jujur (siddiq),dapat dipercaya (amanah),pembenar atau penyampai kebenaran(Tabligh) cerdas (Fathonah). Sifat atau perilaku tersebut menunjukan perilaku yang konkrit dan mewarnai pribadi nabi, yang kemudian sifat atau perilaku pribadi tersebut mencerminkan sebuah keteladanan. Dengan keteladanan nabi tersebut umat pengikutnya dapat meniru sikap dan perilaku beliau. Hal ini senada dengan apa yang terdapat di dalam al-Qur’an (Q.S al-Ahzab ayat 21) ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﭽﯯ ﯰ ﰀ ﭼ ﯽ ﯾ ﯿ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ١٢ :األحزاب Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah. (Q.S al-Ahzab [33:21] ). Demikian sederhana tentang makna keteladanan dapat difahami, dimengerti dan mudah diterima oleh akal sehat bahwa keteladanan memberikan pengaruh kuat terhadap pribadi seseorang. Menurut Bobby De Porter, tidak ada yang dapat berbicara yang lebih keras daripada tindakan, maka praktekan apa yang engkau khutbahkan. Keduanya adalah mengacu pada sebuah keteladanan atau modeling. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Ki Hadjar Dewantara, bahwa pemberian contoh dan pembiasaan merupakan syarat dan alat pendidikan yang penting dalam berlakunya proses pendidikan. 10 Sehingga dengan fungsi keteladanan tersebut hendaknya seorang pendidik, terutama seorang guru menjadi keharusan penuntun, pembimbing dan peneladan bagi para muridnya. Secara moral, seorang guru dipersyaratkan tidak hanya berperan sebagai seorang yang terpelajar, namun juga sebagai orang yang berkepribadian utama, yakni seorang yang perilakunya 10
Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, (Djogjakarta: Madjlis Luhur Persatuan Taman Siswa ,1962), hlm .182.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
dapat menjadi teladan bagi para muridnya. Keteladanan merupakan bagian yang amat penting dari sifat guru sebagai seorang pengajar dan pendidik yang berkepribadian mulia. Adapun konsep keteladanan dari Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai berikut; a. Ing Ngarsa Sung Thuladha ( أسوة ) حسنة Ing Ngrsa Sung dalam konsep Islam dikenal dengan sebuatan أسوة ( حسنةmemberi contoh yang baik ) sedangkan yang dimaksud di sini yakni Thuladha merupakan konsep yang menjelaskan tentang pentingnya guru menempatkan posisinya sebagai orang yang dapat diteladani para muridnya. Ing Ngarsa berarti menempatkan posisi di depan, sung tuladho, berarti memberi teladan atau contoh yang baik atau pantas diikuti atau ditiru. Keteladanan hendaknya tidak hanya diucapkan saja oleh seorang guru melainkan yang lebih penting adalah memberikan contoh sikap. Hal ini dikarenakan ucapan tanpa perbuatan maka ia akan sia-sia saja, bahkan amat besar kebencian Allah pada orang yang memerintah kebaikan namun tidak melakukannya sendiri. Di dalam al-Qur’an disebutkan; ﭽﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ٣ -١ :ﮪ ﮫ ﮪ ﮭ ﭼالصف Artinya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat (Q.S. as-Shaf [61:2-3]). Guru dalam pandangan ing ngarsa sung tuladha ini mengharuskan adanya keterkaitan dan keserasian antara tugas mengajar dan mendidik. Dalam hal inilah Ki Hadjar Dewantara memadukan dua kepentingan menuju pada satu kesatuan yang utuh: Sebagai seorang “pamong” kita berkewajiban mengadjar dan mendidik….. ,. Mengadjar berarti member ilmu pengetahuan, menuntun gerak pikiran serta melatih ketjakapan atau kepandaian anak-anak kita, agar mereka kelak mendjadi orang pintar dan
pandai, berpengetahuan dan tjerdas.” Mendidik berarti menuntun tumbuhnja budi-pekerti dalam hidup anak-anak kita. Supaya mereka kelak mendjadi manusia berpribadi jang beradab dan bersusila 11 Dari pernyataan Ki Hadjar Dewantara di atas dapat diambil sebuah pemahaman bahwa pengajaran merupakan salah satu jalan pendidikan, yaitu yang mempergunakan cara memberi ilmu pengetahuan serta kepandaian dengan latihan-latihan yang perlu dengan maksud memajukan kecerdasan fisik. Meskipun demikian beliau mengingatkan agar pengetahuan, kepandaian dan atau kecerdasan fikiran, jangan sampai dijadikan maksud atau tujuan-tujuan dari arah suatu pengajaran, tetapi cukuplah menjadi sarana, alat, atau perkakas, tidak lebih dari pada itu. Yang terpenting dari pengajaran adalah bunganya yang kelak akan menjadi buahnya, itulah yang harus diutamakan. Yang dimaksud dengan bunga yaitu matangnya jiwa, yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertip dan suci dan manfaat bagi orang lain, hal ini senada dengan sabda Nabi Muhammad s.a.w. أن رجال جاء إلى رسول، عن ابن عمر ﯾا رسول: فقال، اللﮫ صلى اللﮫ علﯿﮫ وسلم اللﮫ أي الناس أحب إلى اللﮫ ؟ وأي األعمال أحب إلى اللﮫ عز وجل ؟ فقال رسول اللﮫ « أحب الناس إلى: صلى اللﮫ علﯿﮫ وسلم وأحب األعمال إلى اللﮫ، اللﮫ أنفعﮭم للناس أو تكشف عنﮫ، سرور تدخلﮫ على مسلم أو تطرد عنﮫ، أو تقضي عنﮫ دﯾنا، كربة وألن أمشي مع أخ لي في حاجة، جوعا ، أحب إلي من أن أعتكف في ﮪذا المسجد ومن كف، شﮭرا، ﯾعني مسجد المدﯾنة ومن كظم غﯿظﮫ، غضبﮫ ستر اللﮫ عورتﮫ مأل اللﮫ عز، ولو شاء أن ﯾمضﯿﮫ أمضاه، ومن مشى مع، وجل قلبﮫ أمنا ﯾوم القﯿامة أخﯿﮫ في حاجة حتى أثبتﮭا لﮫ أثبت اللﮫ عز وجل قدمﮫ على الصراط ﯾوم تزل فﯿﮫ )األقدام » رواه الطبراني Artinya: Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah ? dan amal apakah yang paling dicintai Allah 11
Ibid,…..hlm.482.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
swt?” Rasulullah saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini— yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani) Senada dengan maksud dan inti dari pengajaran tersebut di atas, guru sebagai pendidik hendaknya dapat memberikan tuntunan kepada para muridnya agar kelak menjadi manusia yang berpribadi yang beradap dan bersusila. Manusia yang beradab berarti manusia yang mempunyai keluhuran budi, dalam ajaran Islam ukurannya paling tidak adalah: manusia yang berakhlak mulia atau akhlak yang terpuji. Misalnya jujur, pekerja keras , iklahs, hormat-menghormati, disiplin, sabar, pemaaf, murah hati dll. Sementara itu, manusia yang bersusila adalah menusi yang mempunyai kehalusan budi atau kelembutan dan keramhan. Lebih lanjut, pengertian pribadi yang berbudi dan bersusila dan dapat ditelusuri melalui pemaparan penjelasan sebagaimana berikut; Adab atau keluhuran budi manusia itu menunjukan sifat hidup bathinja manusia (misalnya, tjinta-kasih, kesetiaan, kesenian ketertiban, kedamian dll, sedangkan kesusilaan atau kehalusan
itu menundjukan sifat hidup lahirnja manusia, jang serba halusdan indah (kebudayaan), pengadjaran adab dan kesusilaan itu mempersoalkan dan mengajarkan segala sifat dan bentuk kebaikan dalam hidup manusia, tidak sadja untuk diketahui dan dimengerti akan tetapi pula untuk diinsjafi, diingini dan dikehendaki sampai untuk dilakukan oleh manusia. Pengadjaran adab dan kesusilaan mengadjarkan djuga segala hak dan kewajiban manusia, baik sebagai diri pribadi maupun sebagai angguta daripada masjarakatnya. Nabi Muhammad s.a.w sebagai pendidik dan pengajar agung telah diberi anugrah predikat oleh Allah sebagai Uswatu Hasanah. Jika ittiba’ kepada Rasullah maka setiap pendidik maupun guru harusnya berusaha agar menjadi teladan yang baik bagi para muridmuridnya. Uyainah Ibn Abi Sufyan mengingatkan kepada para guru bahwasanya” Hendaknya yang pertamatama kamu lakukan di dalam memperbaiki anak didikmu (murid) adalah perbaiki dirimu sendiri karena sesungguhnya mata anak-anak itu hanya tertuju padamu. Maka apa yang baik menurut mereka adalah apa yang kamu perbuat dan apa yang jelek menurut mereka adalah apa yang kamu tinggalkan” Dari penjelasan di atas bahwa bunga dari dari pengajaran yakni kepandaian, kecakapan dan ilmu penegtahuan merupak sarana, bukan tujuan utama pengajaran, atau dapat dikatakan, pintar bukan menjadi ukuran mutlak berhasilnya sebuah pengajaran akan tetapi orientasi yang sebenarnya adalah kematangan jiwa. Bagi guru, proses pengajaran dan pendidikan dalam upaya mematangkan jiwa tidak sematamata karena pemberian pengetahuan atau melatih kecakapan-fikiran semata, akan tetapi di sinilah posisi penentu guru dalam membimbing muridnya secara terus menerus. Pengetahuan yang telah diberikan guru tidak hanya dapat merubah kepandaian murid, namun juga dapat merubah sikap dan perilakunya. Maka dari itu hendaknya guru selalu
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
bersikap positif dan karena para murid akan selalu meniru gurunya. b. Ing Madya Mangun Karso Ing Madya Magun Karso adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang pentingnya guru menumbuhkembangkan kemauan dan kemampuan para muridnya atau dengan kata lain guru dituntut untuk mengembangkan potensi dan kreativitas anak didiknya. Ing madyo berarti menempati posisi tengah, mangun berarti membangun, dan karso berarti ingin atau keinginan dan atau kemauan. Mangun atau membangun berarti menguatkan unsur-unsur, menyatukan dan kemudian akan membentuk sesuatu dalam artian guru hendaknya membangun atau menguatkan kemauan murid, keinginan-keinginannya dalam arah mencapai cita-cita hidupnya. Ing madyo mengajarkan guru agar lebih dekat dengan anak didiknya, sementara anak didik memiliki ruang dan kesempatan yang luas dalam kebersamaannya dengan gurunya. Ibarat anggota keluarga antara orang tua bersama-sama dengan seluruh putraputrinya. Kedekatan guru kepada muridmuridnya terjalin kuat dengan rasa cinta dan kasih sayang, bak ibarat cinta kasih yang tulus orang tua terhadap anakanaknya. Jika demikian adanya, marah seorang guru bukan marahnya seorang yang keras kepala atau bukan orang yang karena emosinya, perintah guru bukanlah wujud dari pemaksaan seorang yang berkuasa, permintaan guru bukanlah permintaan dari seorang pemeras lagi kasar. Akan tetapi marah, perintah, dan permintaan guru lahir karena wujud kasih sayang, harapan dan maksud baik adanya kepentingan diri anak. Ing madya mangun karso, mengajarkan guru untuk lebih cermat mengenal para muridnya. Di saat muridnya menghadapi kesulitan atau masalah-masalah yang mengganggu belajar, guru dapat memberikan jalan kemudahan. Di saat murid dirundung kesedihan dan keputusasaan guru dapat memberikan pengarahan dan membesarkan hati mereka. Disaat murid
berada dalam kelesunan dan patah semangat guru dapat memberikan dorongan dan motivasi kepadanya. Itulah buah dari kedekatan, guru tidak hanya memandu tetapi juga mau menyatu dalam kebersamaan di tengahtengah para muridnya. Guru tidak hanya cakap dalam memahami ilmu tentang pendidikan secara teoritis, tetapi juga mempunyai kecakapan mendidik secara praktis. Disamping itu guru diharuskan mengembangkan kreavitas dan potensi anak. Disadari atau tidak bahwa potensi melakukan kebaikan sudah ada sejak manusia dalam kandungan. Ketika lahir ke bumi maka terjadi pertarungan yang sangat dasyat antara kebaikan dan keburukan. Ketika ingin mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik maka kerjasama antara masyarakat, keluarga dan guru di sekolah. Mengembangkan potensi kebaikan pada anak berarti menciptakan tanggungjawab yang mulia untuk masa depanya. Menggali potensi dan menggembangkan kreativitas anak didik merupakan persoalan penting yang selama ini cenderung diabaikan. Hal ini akan berdampak pada lahirnya out put pendidikan yang tidak kopetitif. Kemampuan untuk berfikir dan berbuat kreatif yang telah dimiliki oleh anak didik pada tahab selanjutnya akan sangat tergantung pada bagaimana pendidikan berupaya untuk menumbuhkembangkan potensi dan krativitas yang ada pada diri anak didik secara optimal. Pentingnya pembinaan potensi dan kreativitas bagi anak didik untuk masa depannya merupakan bekal yang sangat baik untuk menempuh kehidupan yang penuh tantangan. Jika anak didik dapat menemukan potensi dan kreativitasnya maka diharapkan ia menjadi insan yang mumpuni dalam kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Dalam konsep Ing madya mangun karso, Ki Hadjar Dewantara mengenalkan konsep momong atau among atau ngemong. Yakni merupakan dimensi integral bagi guru dalam
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
mengasuh, membimbing di tengahtengah kelangsungan proses pendidikan pada muridnya. Murid tidak dibiarkan dan lepas dari pengawasan dan bimbingan guru. Akan tetapi guru senantiasa menjadi media gerak perkembangan dan kemajuan belajar murid, yang tetap siap memberikan pengarahan dikala murid berada dalam kesalahan. Dan berkesempatan baik memberikan ganjaran atau penghargaan disaat murid dapat meraih prestasi. Dorongan atau tindakan pemberian motivasi guru bukan saja tertuju pada hasil akan tetapi pula prosesnya, itulah keberadaan guru yang terkandung dalam pandangan Ing madya mangun karso. Pembelajaran yang penting dari konsep di atas adalah kepentingan guru menjadi pengasuh, mediator, dan pembimbing bagi muridnya. Menjadi rekanan yang akrab sehingga tercipta jalinan tertib dan damai untuk belajar, kapan dan dimana saja berada. Murid tidak sungkan atau ewuh, untuk bertanya atau sekedar berbeda pendapat dengan guru. Guru terus mendampingi selayaknya menjadi teman baik muridnya. Islam memandang bahwasanya kreativitas bagi anak didik adalah sebuah keniscayaan. Hal ini dikarenakan sejak lahir manusia diberikan akal pikiran oleh Allah untuk menunjang kreatifitas tersebut. Senada dengan pembinaan potensi dan kreativitas Umar Ibn Khattab mengatakan “ didiklah anak-anakmu karena mereka menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu”.12 Dari perkataan Umar Ibn Khattabb tersebut sudah jelas bahwasanya orang tua (guru) harus membekali anak didiknya keahlian (memupuk kreatifitas mereka) guna menghadapi masa depannya. Menyinggung potensi dan kreatifitas dari anak didik Rasullah bersabda; Setiap bayi dilahirkan dalam 12
Rini Dwi Susanti, Esai-esai Pendidikan Islam “Pengembangan Interaksi Anak dengan Lingkungan dan Potensi Anak”, (Yogyakarta: Idea Press, 2012), hlm. 48.
keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari, Muslim, atTirmidzi, Ahmad, Malik). Makna fitrah menurut Ibn Abd al-Bar dan Ibn ‘Athiyah, yaitu karakter ciptaan dan kesiapan yang ada pada diri anak ketika dilahirkan, yang menyediakan atau menyiapkannya untuk mengidentifikasi ciptaan-ciptaan Allah dan menjadikannya dalil pengakuan terhadap Rabb-nya, mengetahui syariatnya, dan mengimani-Nya. Ibn alAtsir mengomentari hadits di atas: Fitrah adalah ciptaan atau kreasi. Fitrah di antaranya adalah kondisi seperti berdiri atau duduk. Hadits tersebut bermakna bahwa setiap insan dilahirkan di atas suatu jenis dari jibillah (ciptaan) dan tabiat yang siapkan untuk bertahan hidup. Sehingga bisa dikatakan makna fitrah adalah karakteristik ciptaan, yaitu karakteristik bawaan yang melekat dalam diri setiap manusia sejak dilahirkan. Menurut hemat penulis hadis di atas menggambarkan bahwasanya setiap anak oleh Allah dibekali potensi dan kreatifitas yang positif (keadaan fitrah) sehingga ketika ia memanfaatkan potensi tersebut secara baik maka ia akan mampu bersaing dikemudian hari sehingga ia selamat (Islam) namun sebaliknya jika orang tua baik kandung maupun orang tua sebagai pendidikdalam hal ini gurutidak mampu mengenali potensi dan kreatifitasnya sehingga tidak mampu mengembangkannya maka di masa depannya ia tidak akan mampu bersaing sehingga ia menjadi tersesat dalam kegelapan masa depan (Yahudi, Nasrani maupun Majusi). c. Tut Wuri Handayani Tut Wuri Handayani adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang pentingnya guru mengiringi perkembangan murid yang selanjutnya guru senantiasa memberikan motivasi atau dorongan edukatif kepada mereka. Tut Wuri berarti mengikuti atau menyertai dari belakang dengan melihat berbagai hal yang ada pada murid. Guru memberikan kebebasan kepada murid
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu sesuai dengan norma-norma agama dan budaya yang berlaku di masyarakat serta tidak merugikan serta membahayakan bagi siapapun. Handayani berarti mendorong, membimbing, mendukung, memberikan semangat memacu dan sebagainya. Guru menciptakan ruang atau kondisi yang dapat memberikan kebebasan kepada murid terkadang dapat menyebabkan kebebasan yang mengarah pada penyimpangan-penyimpangan sehingga hal ini dapat merugikan pihak lain atau bahkan diri murid sendiri, maka dari itu guru harus bersikap handayani yakni meluruskan kembali, memberikan peringatan dorongan dengan cara yang baik, sehingga murid terbimbing dan merasa tidak dibatasi ruang kemerdekaan atau kebebasannya. Jadi, tut wuri handayani, memberikan pemahaman bahwa guru memberikan kebebasan kepada murid. Namun, jika muncul kemudian hal-hal yang merugikan atau akibat buruk, maka guru harus memberikan bimbingan, member nasehat, peringatan dan sebagainya. Berkaitan dengan hal tersebut Ki Hadjar Dewantara memberikan pandangan; Manusia merdeka jaitu manusia jang hidupnja lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Di dalam hidup merdeka maka seseorang harus senantiasa ingat bahwa ia hidup bersama-sama dengan orang lain, jang tergolong mendjadi suatu kebahagiaan dari persatuan manusia jang djuga berhak menuntut kemerdekaanja. Oleh karena pengadjaran itu makin tinggi makin lebih banjak pengaruhnja terhadap kemerkaan manusia. Lain daripada itu pendidikan harus mengutamakan kemerdekaan hidup batin, agar supaja orang insjaf akan wadjib dan haknja sebagai anggauta dari persatuan (rakyat)13 13
Koentjoro, Arti Penting Perubahan dan Paradigma Serta Pendekatan dalam Pembelajaran, (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Guru yang baik adalah guru yang optimis, percaya akan kemampuan diri. Yaitu guru yang senantiasa memandang murid-muridnya mempunyai kemampuan, dan kekuatan yang luar biasa, jika mereka mendapatkan bimbingan, pembinaan, atau pengarahan yang baik mereka akan dapat berdikari yang matang pribadinya. Kemampuan-kemampuan tersebut akan terwujud dengan baik apabila mereka dalam suasana bebas dan merdeka. Guru tidak akan memaksa dan memerintah karena sikap ini dapat menggangu diri murid. Seyogyanya guru dapat memerankan posisi dibelakang para muridnya. Membiarkan mereka damai dalam aktivitas edukasinya. Apapun karya dan prestasi mereka, guru senantiasa dapat memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya. Guru dalam situasi dimanapun atau kapanpun selalu melihat dan merasa melihat dan merasa dekat dengan para muridnya. Hubungan guru-murid tidak semata hubungan dalam interuksional, lebi daripada itu. Hubungan murid dan guru adalah hubungan ikatan emosional yang terjalin kuat yang mengalir dalam seluruh aspek kehidupan. Guru akan tersenyum di saat melihat muridmuridnya menjadi orang yang berhasil yang bahkan lebih daripada gurunya sendiri. Guru tidak perlu memrintah ataupun memaksa muridnya untuk berhasil, tapi cukuplah semangat dan dorongan moral dan spiritual guru dapat memberikan perhatian dan bimbingan yang terbaik bagi para muridnya. Dengan konsep tut wuri handayani diharapkan guru senantiasa menempatkan diri dengan cara membimbing murid baik melalui dorongan untuk memberikan semangat murid ataupun melalui pemberian kebebasan kepada mereka agar dapat mencari jalan pikiran sendiri, menumbuhkembangkan kekuatankekuatan kodratanya. Guru menghindari sikap menentukan atau Fakultas Psikologi UGM di Yogyakarta, 23 April 2005), hlm. 3-4.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
memaksa pada muridnya. Ibarat seorang pengembala, guru cukup mengawasi atau memfasilitasi sehingg tercipta ruang atau situasi yang aman dan damai bagi para muridnya, mendampingi dan terus melakukan dorongan-dorongan atau memacu semangat. Inilah kebebasan yang baik bagi tumbuh kembang bagi para murid. Dengan kata lain, konsep tut wuri handayani juga bisa disebut guru menjadi motivator bagi peserta didik. Beberapa hadits Rasullah s.a.w juga menganjurkan perlunya melaksanakan pengawasan di setiap pekerjaan. Ajaran islam sangat memperhatikan adanya bentuk pengawasan terhadap khussnya pada diri sendiri kemudian kepada orang lain(peserta didik). حاسبوا أنفسكم قبل أن ﯾحاسوا ونوا أعملكم قبل أن )توزن (رواه الترمذي Artinya: “periksalah dirimu sebelum memeriksa orang lain, lihatlah terlebih dahulu atas kerjamu sebelum melihagt kerja orang lain” (H.R Tirmidzi: 2383) Dalam pandangan Islam segala sesuatu harus dilakukan secara terencana, dan teratur. Tidak terkecuali dengan proses kegiatan belajar-mengajar yang merupakan hal yang harus diperhatikan, karena substansi dari pembelajaran adalah membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik dan maksimal. Manajemen dalam hal ini berarti mengatur atau mengelola sesuatu hal agar menjadi baik. Hal ini sesuai dengan sabda nabi. . إن اللﮫ كتب اإلحسان على كل شﯿئ Artinya: “ sesunggunya Allah mewajibkan kepada kita untuk berlaku ihsan dalam segala sesuatu (H.R alBukhari: 6010). Berdasarkan hadits di atas, pengawasan dalam Islam dilakukan untuk meluruskan yang bengkok, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak. Selain itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani bahwasanya Rasullah s.a.w bersabda “sesungguhnya Allah mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan dilakukan secara Itqan (tepat, terarah dan tuntasa) (H.R Thabrani). Jika melihat hadits di
atas maka tujuan melakukan pengawasan, pengendalian dan koreksi untuk mencegah peserta didik jatuh atau terjerumus kepada sesuatu yang salah. Tujuan lainnya adalah agar kualitas kehidupan terus meningkat, inilah yang dimaksud dengan tausiyah dan bukan untuk menjatuhkan. E. Kesimpulan Keteladanan menjadi penting dalam dunia pendidikan. Tidak hanya terucap dalam kata-kata namun terlaksana dalam perilaku atau perbuatan, demikian seyogyanya guru berperan. Dalam keteladanan terdapat tiga hal pokok yakni kesesuaina antara pikiran, ucapan dan perbuatan. Dengan demikian, keteladanan merupakan sesuatu yang bermuara pada sesuatu yang nyata. Intinya keteladanan selalu mengacu pada amal perbuatan. Dengan keteladanan dari seorang guru mediasi dan fasilitasi pendidikan dapat berlangsung secara life long education, pendidikan sepanjang hidup.Untuk menjadikan keteladanan sebagai alat pendidikan yang pokok, Ki Hadjar Dewantara merumuskan secara konseptual tentang peran guru dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebaggai pengajar dan pendidik. 1) Ing Ngarsa Sung Thullada (di depan memberi teladan) sebagaimana seorang imam, makmum atau pengikut akan mengikuti gerak sebagaimana imamnya dalam istilah Islam konsep ini dikenal dengan Uswatun Hasanah 2) Ing Madya Magun Karsa (di tengah aktif sebagai penggerak) hal memberikan penjelasan membaurnya guru ditenggahtengah muridnya berarti memberikan penguatan dan energi penggerak sehingga dengan keteladan tersebut peserta didik dapat mengembangkan kreatifitasnya, dalam Islam istilah ini disebut dengan Fitrah “pengembangan kreatifitas secara positif” 3) Tut Wuri Handayani (di belakang sebagai pendorong dan mengambil peran) berarti keteladanan guru akan tetap berperan walaupun guru berada dibelakang layar.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PPKn III | 2017
DAFTAR PUSTAKA Bambang, Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara Ayahku, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Omar,
Barnadib, Imam, Dasar-Dasar Kependidikan Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.
Samir al-Munir, Mahmud, Guru Teladan di Bawah Bimbingan Allah, Jakrta: Gema Insani, 2003.
Darajat, Zakiah, Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Saefullah, Ali, Filsafat dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional 1977. Soejono,
Dewantara, Ki Hadjar, Pendidikan, (Djogjakarta: Madlis Luhur Persatuan Taman Siswa ,1962) Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 4, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1991) Ki Soeratman, Tut Wuri Handayani, Yogyakarta: Majlis Luhur Taman Siswa1980. , Pendidikan Demokrasi dan Demokrasi Pendidikan,Yogyakarta: Majlis Luhur Taman Siswa1984. , Sistem Among, Yogyakarta: Majlis Luhur Taman Siswa1990. Koentjoro, Arti Penting Perubahan dan Paradigma Serta Pendekatan dalam Pembelajaran, (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM di Yogyakarta, 23 April 2005.
Mohammad al-Toumy alSyaibany, Falsafah Pendidikan Islam, trj. Hasan Langgulung, Jakrta: Bulan Bintang, 1979.
Ag, Aliran Baru dalam Pendidikan, Bandung: CV Ilmu, 1992.
Soeratman, Darsiti, Ki Hajar Dewantara, Jakarta: Pendidikan dan Kebudayaan, Derektorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1981. Suromihardjo, Abdurrachman, Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Sinar Harapan, 1986. Susanti, Rini Dwi dan Ahmad Falah, Esai-Esai Pendidikan Islam “Pengembangan Interaksi Anak dengan Lingkungan dan Potensi Anak” (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2012) Smith, Samuel, Gagasan-gasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan, trj. Team Bumi Aksara, Jakarta: Bumi Aksara. 1986.