ISBN: 978-603-6589-26-2
MENDIDIK GENERASI JAWA MILENIAL
Kumpulan Tulisan Seminar Hari Pendidikan Nasional Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
Mendidik Generasi Jawa Milenial Kumpulan Tulisan Seminar Hari Pendidikan Nasional Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Unnes
Diterbitkan dalam seminar memperingati Hari Pendidikan Nasional di Unnes, 2 Mei 2017
Penerbit Griya Jawi Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang Kampus Sekaran, Gunungpati, Kota Semarang 50229 Telepon: (024) 86458383 Website: jawa.unnes.ac.id; e-mail:
[email protected]
Bekerja sama dengan Cipta Prima Nusantara Perum Green Village 115, Kelurahan Ngijo, Gunungpati, Kota Semarang 50228 e-mail:
[email protected] ISBN: 978-603-6589-26-2
Kata Pengantar Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahaesa berkat limpahan rahmat dan hidayahNya kumpulan artikel ilmiah Seminar Hari Pendidikan Nasional “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Teknologi Informasi” ini bisa terwujud. Seminar yang diselenggarakan oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang ini dilaksanakan 2 Mei 2017 di Gedung B6 kampus Sekaran, Gunungpati, Kota Semarang. Pembaca yang budiman, tantangan bagi pedidik di era kemajuan teknologi informasi sangatlah beragam. Para peserta didik kini tidak bisa dipisahkan dari berbagai perangkat genggam. Akses terhadap dunia maya boleh jadi saat ini menjadi kebutuhan utama mereka. Salah satu akibat dari realitas faktual ini, kemampuan peserta didik untuk menyimak pelajaran menjadi semakin berkurang. Sejumlah penelitian psikologi pendidikan menyebut jika konsentrasi peserta didik nyaris hanya pada 15 menit pertama. Maka dalam konteks inilah tenaga pengajar mesti berbenah. Inovasi pembelajaran beraras implementatif mesti segera mewujud sebagai respons riil. Pembelajaran yang menyenangkan, yang tidak hanya terpusat pada guru, senantiasa dinantikan untuk menyiapkan generasi yang cemerlang. Lebih dari itu, basis kebudayaan sebagai modal pendidikan karakter yang digadang-gadang menjadi kompetensi peserta didik, terus relevan karena menjadi jiwa bangsa. Namun demikian, pelbagai tulisan yang ada di dalam proceedings ini tidak melulu soal itu. Panitia menawarkan sejumlah tema yang bisa dimasukkan dalam buku ini, yaitu terkait permasalahan bahasa, sastra, budaya, maupun pendidikan. Secara keseluruhan, panitia menerima sebanyak 33 artikel. Seminar memperingati Hari Pendidikan 2017 dan juga pelbagai artikel yang berhasil dihimpun ini mencoba untuk merespons keadaan paling mutakhir dalam jagat bahasa, sastra, budaya, dan pendidikan. Ini menjadi upaya merespons realitas faktual atas zaman yang terus bergerak. Redaksi
DAFTAR ISI NO JUDUL 1
TRADISI ZIARAH MAKAM BATHARA KATONG DALAM
HAL 1
MEMBANGUN KARAKTER AmirulNur Wahid, Sumarlam, dan SlametSubiyantoro
2
PENGGUNAAN BAHAN AJAR BERBASIS BUDAYA LOKAL DENGAN
12
PENDEKATAN SCIENTIFIK-TEMATIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JAWA UNTUK MAHASISWA ASING Kundharu Saddhono dan Muhammad Rohmadi
3
PENGIMPLEMENTASIAN MEDIA PADA PELAJARAN BAHASA JAWA
23
Fatia Azzahrah, Budhi Setiawan, Supana
4
ASPEK INTERTEKSTUAL DALAMSERAT NITIK SULTAN AGUNGDAN
33
BABAD SULTAN AGUNG Yoland Prahastya Fionerita, Kundharu Saddhono, Djoko Sulaksono
5
NILAI RELIGIUS DALAM UPACARA TRADISIONAL SUSUK WANGAN DI DESA SETREN KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI Dwi Rahayu Retno Wulan, Suyitno, Mohammad Rohmadi
43
6
RELEVANSI KEENAM CERKAK DALAM ANTOLOGI CERKAK ‘PREMAN’
51
KARYA TIWIEK SA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JAWADI SEKOLAH MENENGAH ATAS Galih Dwi Purboasri, Kundharu Saddhono, Suyitno
7
KELUARGA
SEJAHTERA
DALAM
BRENANG
KEPANG
BEGALAN
59
BANYUMASAN Alva Kurniawan, Sahid Teguh Widodo, Kundharu Saddhono
8
PERWUJUDAN NILAI TOLERANSI LAGU DOLANAN JAMURAN
70
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL Dewi Pramestuti, Sumarwati, Kundharu Saddhono
9
BAHASA JAWA DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA
80
Djoko Sulaksono, Rahmat, Budi Waluyo
10
PEMBELAJARAN BAHASA JAWA FENOMENAL GENERASI MILENIAL, AKSARA TIDAK AKAN DITINGGAL (WONG JAWA AJA NGANTI ILANG JAWANE) Ikke Kusumawati, Sumarwati & Sarwiji Suwandi
88
11
PEMANFAATAN
KALENG
BEKAS
SUSU
(KB
SUSU)
DALAM
96
PEMBELAJARAN MENULIS CAKEPAN TEMBANG MACAPAT DI KELAS XI IPA 1 SEMESTER 1 TAHUN PELAJARAN 2016/2017 Pujianto, S.Pd. M.Pd.
12
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS DONGENG MELALUI MODEL
107
PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE PADA SISWA KELAS VII A SMP NEGERI 3 TUNJANGAN Retnowati, S.Pd. M.Pd.
13
NILAI KELUHURAN DALAM SERAT WULANGPUTRA
121
KARYA PAKUBUWANA IX SEBAGAI SUMBER PENDIDIKAN KARAKTER (SEBUAH KAJIAN STILISTIKA) Yohanes Pien Yunior Erwien
14
PENINGKATAN HASIL BELAJAR MENULIS TEKS SESORAH/PIDHATO
138
BERBAHASA JAWA RAGAM KRAMA MENGGUNAKAN KASIS Yulia Herti Widyawati
15
MODEL BAHAN AJAR BAHASA JAWA DENGAN PENDEKATAN EKOLINGUISTIK SEBAGAI PENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL UNTUK PELESTARIAN BAHASA DAN BUDAYA JAWA
149
Endang Kurniati
16
PERENCANAAN PEMBELAJARAN BAHASA JAWA BERBASIS PENDIDIKAN
162
KARAKTER DALAM KURIKULUM 2013 Prima Veronika, Budhi Setiawan, Nugraheni Eko Wardani
17
PENGARUH PEMBELAJARAN MENULIS CERITA RAKYAT
176
PADA SISWA SMA DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL Muh Nurul Huda, Sumarlam, Kundharu Saddhono
18
PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA WACANA AKSARA JAWA
184
MENGGUNAKAN MEDIA E = M∙C2 TOURNAMENT BOARD SISWA KELAS X IPA 3 DI SMA NEGERI 1 SAPURAN Triana Khantiwati, M.Pd
19
NILAI KETUHANAN DALAM MAKNA FILOSOFIS AKSARA JAWA SEBAGAI
197
UPAYA PENGUATAN KARAKTER SISWA Fitriana Kartika Sari, Supana, Sarwiji Suwandi 20
MOTIF PEMBUNUHAN DALAM NOVEL PELANGI DI SINGAARI DAN NOVEL GROMBOLAN GAGAK SETA Widodo, Drajat Sugiri
205
21
PENERAPAN TEKNIK PARAFRASA BERBASIS CERKAK SEBAGAI UPAYA
222
PENINGKATAN KUALITAS PROSES PEMBELAJARANMENULIS CAKEPAN TEMBANG MACAPAT Nurlaili Miftakhuzzilvana, Muhammad Rohmadi, Sumarwati
22
METODE
MENDONGENG
UNTUK
MENINGKATKAN
DENGAN
MEDIA
KEMAMPUAN
SHADOW
PUPPET
BAHASA
JAWA
233
DENGAN BAIK DAN BENAR BERBASIS UNGGUH-UNGGUH Kenfitria Diah Wijayanti, Djoko Sulaksono, Dewi Pangestu Said, Favorita Kurwidaria
23
PENINGKATAN KETRAMPILAN BERPIDATO KRAMA ALUS DENGAN
248
MENGGUNAKAN METODE QUANTUM LEARNING PADA SISWA KELAS IXA SMP NEGERI 1 BLORA Khaerudi Yuniar, S.Pd, Pembimbing : Dra. Ani Rakhmawati, MA., PhD., Dr. Budhi Setiawan, M.Pd
24
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM NOVEL SREPEG TLUTUR KARYA TIWIEK SA
259
Gayuh Risdian Saputro, Suyitno, Muhammad Rohmadi
25
PEMBELAJARAN ETNOLINGUISTIK DI JURUSAN BAHASA DAN SASTRA
271
JAWA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG SEBAGAI BENTUK PELESTARIAN BAHASA DAN BUDAYA DAERAH PADA GENERASI MILENIAL Ermi Dyah Kurnia
26
SASTRA MASA LALU UNTUK PEMBELAJARAN MASA DEPAN
284
GENERASI MUDA MILENNIAL YANG BERBUDI PEKERTI LUHUR Winda Dwi Lestari, Muhammad Rohmadi, Sarwiji Suwandi
27
PERANAN METODE GROUP INVESTIGATION DAN MEDIA GAMBAR
294
ILUSTRASI DALAM PEMBELAJARAN MENULIS BERBAHASA JAWA
28
PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS INTERNET DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JAWA Alfiah, Bambang Sulanjari
305
29
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL JIGSAW PADA
313
MATERI NOVEL BERBAHASA JAWA Eko Gunawan
30
UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PENGGUNAAN RAGAM KRAMA DI
323
KELAS XII TAHUN PELAJARAN 2016-2017 TAHUN PELAJARAN 2016-2017 SMKN 1 SAWOO PONOROGO Arfa Dhani Nugraha, Pembimbing: Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum.
31
PEMBELAJARAN NILAI – NILAI MORAL JAWA DALAM TEMBANG
337
MACAPAT DAN CERITA CEKAK Ady Cahyono, Sahid Teguh Widodo, Kundharu Saddhono.
32
RELIGIUSITAS DALAM ANTOLOGI GEGURITAN GARISING PEPESTHEN
344
KARYA BAMBANG NURSINGGIH DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN BAHASA JAWA DI SMA Riky Zakub, Sahid Teguh Widodo, Budhi Setiawan 33
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS KARANGAN DESKRIPSI BERBAHASA JAWA MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR BERSERI PADA SISWA KELAS IX- A SMP NEGERI 1 BATANGAN Suharningsih, S.Pd.
356
TRADISI ZIARAH MAKAM BATHARA KATONG DALAM MEMBANGUN KARAKTER Amirul Nur Wahid, Sumarlam, dan Slamet Subiyantoro Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
[email protected]
ABSTRAK Kebudayaan Jawa sangat beragam. Salah satunya adalah tradisi ziarah makam. Ziarah makam erat kaitannya dengan penghormatan kepada pahlawan, pendiri peradaban, wali, dan sebagainya. Bathara Katong adalah tokoh pendiri peradaban agama Islam di Ponorogo. Sehingga sudah sepantasnya beliau dihormati. Hal ini terbukti dari banyaknya peziarah yang datang untuk berkunjung. Tradisi ziarah makam tersebut selalu berhubungan dengan nilai religius. Selain nilai religius juga terdapat nilai lain yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap hal tersebut dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode etnografi. Metode etnografi dipilih sebagai alat analisis. Hasilnya ditemukan bahwa proses ziarah makam Bathara Katong mempunyai keunikan tersendiri. Misalnya, peziarah yang ingin tercapai harapannya, terlebih dahulu harus berjalan melewati tujuh gerbang. Hal ini tentunya mengandung nilai pendidikan karakter. Kata kunci: tradisi ziarah makam, makam bathara katong, pendidikan karakter
LATAR BELAKANG Manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari kebudayaan. Kebudayaan sendiri menurut pendapat Koentjaraningrat (1986: 180-187), berarti keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Kebudayaan dapat digolongkan menjadi tiga wujud, yaitu: (1) ide-ide, gagasan, nilai-nilai, normanorma, peraturan dan sebagainya (sistem budaya), (2) aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dan masyarakat atau (sistem sosial), (3) benda-benda dari hasil karya (kebudayaan fisik). Kebudayan erat kaitannya dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Hal ini dibuktikan melalui banyaknya tradisi budaya yang berkembang di masyarakat Jawa. Misalnya saja tradisi ziarah makam. Dilihat dari wujudnya tradisi ziarah makam termasuk ke dalam sistem sosial, karena berupa tindakan berpola dari masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (2010), menunjukkan bahwa masyarakat Jawa mayoritas beragama Islam. Walaupun begitu, mereka belum bisa meninggalkan kebudayaan dalam kesehariannya. Agama Islam disebarkan oleh Wali Sanga kepada masyarakat Jawa secara luwes dan halus. Agama Islam tidak disebarkan dengan mengikutsertakan rasa Arab, akan tetapi dengan mengemasnya secara Jawa. Sehingga, hal tersebut menimbulkan akulturasi kebudayaan. Adanya akulturasi antara Islam dan kebudayaan Jawa menciptakan sebuah tradisi, misalnya tradisi ziarah makam. Ziarah adalah sebuah tradisi yang tertanam secara alamiah baik itu melalui tradisi setiap keluarga maupun tradisi masyarakat secara umum (Syamhari, 2014: 46). Ada pencampuran antara agama dengan kebudayaan setempat dalam tradisi ziarah makam. Ziarah makam dalam masyarakat Jawa bukan hanya semata mendoakan leluhur, tetapi lebih jauh untuk mengenang kebaikan leluhur. Hal tersebut kemudian tidak hanya berhenti disitu saja. Peziarah juga diharapkan bisa mencontoh hal-hal baik yang telah dilakukan oleh leluhur semasa hidupnya.
Ziarah makam erat kaitannya dengan penghormatan kepada pahlawan, pendiri peradaban, wali, dan sebagainya. Bathara Katong adalah tokoh pendiri peradaban agama Islam di Ponorogo. Bathara Katong merupakan anak dari Prabu Brawijaya (raja Majapahit) dan adik dari Raden Patah (raja Demak). Bathara Katong merupakan penguasa politik baru di Ponorogo (Pramono, 2004). Menurut wawancara dengan juru kunci makam (Mukim), Bathara Katong menjadi bupati pertama Ponorogo setelah berhasil mengalahkan Ki Ageng Kutu yang beragama lama. Hal ini pulalah yang menandakan berdirinya peradaban Islam di Ponorogo. Melihat dari sejarah tersebut, sudah sepantasnya Bathara Katong dihormati. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya peziarah makam Bathara Katong yang datang. Proses ziarah makam Bathara Katong berhubungan dengan nilai religius. Selain nilai religius, mungkin ada nilai pendidikan karakter yang lain yang bisa ditemukan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu hal tersebut.
RUMUSAN MASALAH Melihat dari latar belakang di atas, dapat ditemukan rumusan masalah berikut ini: 1. Bagaimana proses tradisi ziarah makam Bathara Katong? 2. Apa saja pendidikan karakter yang terdapat dalam ziarah makam Bathara Katong?
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok (Sukmadinata, 2005: 60). Karakteristik jenis penelitian kualitatif menurut Nasution (2013: 10) adalah mementingkan perspektif emic, artinya lebih mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi pendiriannya. Peneliti tidak memaksa pandangannya sendiri. Peneliti memasuki lapangan tanpa generalisasi, seakan-akan tidak mengetahui sedikitpun, sehingga mendapat perhatian penuh terhadap konsep-konsep yang dianut partisipan.
Mengingat bahwa kajian ini mengenai tradisi ziarah makam, peneliti menggunakan metode etnografi. Metode ini digunakan untuk mengulas secara akurat dan menguraikan data penelitian dengan objek kebudayaan dan masyarakat yang menjalankannya. Karakteristik utama dari metode ini adalah sifat analisisnya yang mendalam, kualitatif, dan holistik-integratif. Metode etnografi dipilih sebagai alat analisis untuk melakukan penjabaran mengenai fenomena manusia yang dilihat sebagai unsur perilaku dan pola hidup masyarakat yang mencirikan sebuah kebudayaan. Tujuan etnografi menurut Malinowsky (Spradley, 1997: 3), adalah untuk memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan tentang dunianya. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi.
PEMBAHASAN Keragaman Peziarah Makam Bathara Katong Peziarah yang mengunjungi makam Bathara Katong tidak melulu berjenis kelamin laki-laki, tetapi ada juga yang perempuan. Kalau dilihat dari segi usia, tidak hanya orang dewasa saja peziarah yang berziarah. Saat peneliti pertama kali berkunjung, banyak anak-anak Madrasah Ibtidaiyah (MI), setingkat Sekolah Dasar yang datang untuk berziarah. Kunjungan ini dalam rangka mengenalkan kepada siswa mengenai leluhur pendiri peradaban Islam di Ponorogo, yaitu Bathara Katong. Hal ini sesuai dengan pernyataan juru kunci makam, Mukim. Pengunjung makam ini beragam, dari laki-laki dan perempuan. Perempuan yang sedang halangan diperbolehkan masuk sampai depan gerbang kelima. Anak-anak diperbolehkan masuk untuk pembelajaran mengenai leluhur. Peziarah melakukan kunjungan dengan mempunyai niat-niat tertentu. Pada umumnya niat yang dimiliki adalah memberikan doa-doa keselamatan kepada para leluhur. Peziarah pada makam Bathara Katong ada yang datang berombongan, sekeluarga, sekelompok kecil, dan sendiri. Rombongan besar misalnya rombongan para santri, rombongaan pelajar, kumpulan pengajian, dan lain-lain. Untuk peziarah yang sekeluarga biasanya membawa anak atau anggota keluarganya yang lain. Secara langsung dan tidak langsung hal ini membuat anak yang dibawa tadi terpengaruh untuk mengerti
pentingnya ziarah makam. Bahkan tidak jarang saat anak tersebut sudah berkeluarga akan membawa anggota keluarganya yang baru untuk datang berziarah makam. Sehingga dapat dikatakan bahwa tradisi ziarah makam tersebut merupakan warisan budaya yang telah tertanam dalam diri masyarakat secara alamiah. Hal ini senada dengan pendapat Ardika (2007: 19), yang menyatakan bahwa warisan budaya adalah warisan peninggalan masa lalu yang diwariskan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain, yang tetap dilestarikan, dilindungi, dihargai dan dijaga kepemilikannya. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa tradisi ziarah makam ditularkan kepada generasi penerus oleh orang sebelumnya. Misalnya saja selain orangtua kepada anak, juga dapat terjadi pada rombongan pelajar. Pelestarian kebudayaan dilakukan oleh guru kepada siswanya dengan cara membuat program ziarah makam. Peziarah yang datang tidak terbatas pada masyarakat Ponorogo. Peziarah ada yang datang dari luar kota. Saat melakukan penelitian, peneliti menjumpai juru kunci bersama dengan rombongan peziarah dari kabupaten Jombang. Peziarah datang dari berbagai daerah. Banyak peziarah yang datang dari luar kota. Selain warga di sekitaran Ponorogo sini, ada yang datang dari luar karesidenan Madiun. Bahkan kemarin ada yang dari jauh yaitu Solo dan Jogja. Melihat data di atas, dapat disimpulkan bahwa peziarah ada yang datang dari daerah yang dekat dan jauh. Peziarah telah merelakan usaha, waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk mengunjungi makam Bathara Katong. Pengorbanan ini dilakukan karena ada keinginan-keinginan tertentu yang dimaknai dan diinginkan oleh para peziarah yang datang.
Pemaknaan Ziarah Makam Bathara Katong dalam Pandangan Peziarah Para peziarah makam Bathara Katong mempunyai maksud-maksud tertentu dalam memaknai tradisi ziarah tersebut. Pandangan pertama menganggap bahwa dengan melakukan ziarah, peziarah dapat mengenang jasa-jasa yang telah dilakukan oleh Bathara Katong. Mengapa Bathara Katong sangat dihormati? Hal ini tidak lepas bahwa Bathara Katong adalah salah satu penyebar agama Islam di Jawa, khususnya di daerah Ponorogo dan sekitarnya. Hal ini berdasarkan pada pendapat juru kunci makam tersebut.
Eyang Bathara Katong adalah anak dari Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit. Beliau merupakan salah satu adik dari Raden Patah (raja Demak). Bupati pertama Ponorogo ya Eyang Bathara Katong. Beliau yang membawa agama Islam kesini dengan dibantu oleh Ki Ageng Mirah dan Selo Aji. Melihat dari data di atas, dapat diketahui bahwa Bathara Katong adalah Bupati pertama dan berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Ponorogo. Sudah selayaknya bila para peziarah yang datang menghormati hal tersebut. Jasa-jasa beliau sangat besar dalam menyebarkan agama Islam. Peziarah yang lain berpandangan bila kedatangannya untuk berziarah mempunyai maksud untuk melestarikan kebudayaan. Pandangan seperti ini datang dari masyarakat yang sudah paham mengenai pentingnya melestarikan budaya. Kebanyakan pandangan ini berasal dari kelompok akademis. Misalnya saja guru, pelajar, dan dari kalangan seni budaya. Mereka berpendapat bahwa dengan melakukan ziarah makam Bathara Katong, akan menambah kecintaan mereka kepada budaya bangsa. Hal ini dibuktikan dari wawancara kepada salah seorang guru yang membawa rombongan anak didiknya untuk ziarah makam. Kami datang kesini dengan maksud untuk mengenalkan anak-anak mengenai pentingnya ziarah makam. Dengan melakukan ziarah makam diharapkan anak-anak akan mengerti warisan budaya di sini. Kemudian akan tergugah hatinya untuk menghargai dan melestarikan kebudayaannya. Agar dimasa mendatang kebudayaanya tidak diambil oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab. Pandangan ketiga peziarah dalam memaknai ziarah makam Bathara Katong adalah mendekatkan diri kepada Allah dan mempersiapkan kematian. Pandangan ini berasal dari kalangan santri. Rombongan santri menekankan bahwa makna ziarah makam Bathara Katong adalah mendekatkan diri kepada sang Khalik. Dengan melakukan ziarah makam Bathara Katong diharapkan peziarah akan mengingat bahwa setiap yang hidup di dunia ini hanyalah milik Allah dan kepada-Nya manusia akan kembali. Sehebat-hebatnya manusia di dunia ini pasti akan menemui kematian. Sehingga diharapkan, manusia akan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya sebaik-baiknya. Terakhir adalah peziarah yang memandang ziarah makam Bathara Katong sebagai jalan untuk mendapatkan berkah. Dalam pandangan ini, peziarah bertujuan untuk
memberikan doa keselamatan kepada para leluhur yang dimakamkan. Ada pula yang mengharapkan berkah yang berupa perpanjangan doa yang ditujukan kepada Allah. Pencarian Berkah Makam Bathara Katong merupakan tempat bersemayamnya pendiri kabupaten Ponorogo. Tempat ini sangat disakralkan keberadaanya. Bahkan menurut masyarakat sekitar, makam ini dulunya hanya dibuka untuk orang-orang tertentu saja yang mempunyai kesaktian tinggi. Tempat ini menjadi tempat inspirasi tersendiri bagi para pengunjungnya. Dengan berziarah ke makam Bathara Katong, diharapkan akan mendapatkan berkah. Peziarah ramai berkunjung ke makam Bathara Katong terutama pada waktu menjelang pilkada. Sebelum mencalonkan diri sebagai pejabat, biasanya mereka datang ke sini dengan maksud untuk meminta izin terlebih dahulu kepada Bathara Katong. Selain meminta izin, mereka juga meminta restu dari beliau. Karena beliau merupakan orang yang telah babad alas daerah ini. Bagi masyarakat, ziarah makam Bathara Katong merupakan tradisi yang harus dilakukan apabila ingin memperoleh berkah saat mengarungi panggung politik. Ada juga peziarah yang mengharapkan berkah yang lain. Misalnya saja seperti mengharapkan pekerjaan, pangkat, derajat, dan sebagainya. Kami datang kesini dalam rangka berusaha. Hal tersebut dikarenakan anak kami belum mendapatkan pekerjaan. Padahal anak kami adalah lulusan perguruan tinggi. Dengan melakukan ziarah ini, kami mengharap berkah dari Eyang Bathara Katong agar anak kami dapat memperoleh pekerjaan. Dari beberapa temuan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tradisi ziarah makam Bathara Katong dilakukan untuk memperoleh berkah dari Bathara Katong. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa Bathara Katong adalah seorang tokoh sakti. Beliau adalah orang yang telah berjasa besar dalam mengalahkan Ki Ageng Kutu dan mendirikan Ponorogo. Jasa-jasanya tidak hanya berhenti disitu saja, beliau bersama Ki Ageng Mirah adalah pendiri dan penyebar agama Islam di daerah Ponorogo. Secara perlahan namun pasti, Bathara Katong dan teman-temannya melakukan proses Islamisasi. Dapat dikatakan bahwa Bathara Katong merupakan suatu simbol kekuatan kota Ponorogo itu
sendiri. Sehingga keberadaannya dihormati, dijunjung tinggi, dan diharap-harapkan berkahnya. Proses dan Makna Ziarah Makam Bathara Katong Ada yang unik dari proses ziarah makam Bathara Katong. Peziarah yang ingin tercapai harapannya harus berjalan melewati gerbang. Proses ini bermaksud untuk menguji kesungguhan dari peziarah. Dahulu kala untuk menghormati para leluhur, peziarah makam Bathara Katong diharuskan melakukan perjalanan dari gerbang pertama dengan cara laku dhodhok. Tetapi sejak tahun 90an, hal tersebut sudah tidak dilakukan lagi oleh para peziarah. Gerbang yang harus dilewati berwarna putih menandakan kesucian makam Bathara Katong dan kesucian maksud peziarah. Jumlah dari gerbang yang dilewati tidak hanya satu. Ada tujuh buah di dalam situs makam ini. Selain gerbang utama menuju makam Bathara Katong, ada pula gerbang yang menuju ke pemakaman umum. Peziarah tidak boleh sampai salah jalan. Gerbang pertama terletak di depan jalan raya (Jalan Ki Ageng Mirah). Setelah itu pengunjung harus melewati gerbang kedua, yang letaknya lurus di bagian utara gerbang pertama. Gerbang kedua berada di tengah-tengah pemukiman warga. Lurus terus ke bagian utara akan menemui gerbang ketiga. Di samping kiri kanan gerbang ketiga, terdapat ruangan serupa serambi yang terbuka. Tempat ini dipercaya sebagai tempat prajurit penjaga makam. Lurus memasuki gerbang keempat. Selanjutnya peziarah akan menemukan bangunan masjid dan sekolah keagamaan di dalamnya. Peziarah yang lupa belum bersuci, dapat bersuci di tempat wudhu. Peziarah perempuan yang sedang berhalangan, dipersilahkan untuk beristirahat di sini. Memasuki gerbang kelima, peziarah disarankan untuk lebih menjaga sikapnya. Hal ini dikarenakan pada gerbang ini peziarah sudah memasuki area pemakaman para sesepuh Ponorogo. Peziarah boleh membawa bunga untuk melakukan proses nyekar. Bunga yang disarankan oleh juru kunci makam adalah bunga mawar, melati, kantil, dan kenanga. Bila tidak bisa membawa bunga-bunga itu. Peziarah boleh membawa bunga melati saja. Bunga melati diharapkan dapat mencerminkan maksud suci dari peziarah. Apabila peziarah membawa seluruh bunga, dipercaya harapannya bisa cepat terkabul. Bunga-bunga tersebut merupakan bunga yang paling baik untuk diserahkan kepada arwah Eyang Bathara Katong. Selanjutnya ada keunikan disini dibandingkan dengan
ziarah makam yang lain. Peziarah tidak diperbolehkan mencampurkan daun pandan wangi. Daun ini dipercaya tidak disukai oleh Bathara Katong. Pandan wangi merupakan senjata musuh beliau (Bathara Katong) yaitu Ki Ageng Kutu. Membawa daun pandan wangi dalam ziarah makam Bathara Katong, bisa menghilangkan harapan yang diinginkan oleh peziarah. Setelah semuanya siap, peziarah bisa memasuki gerbang kelima tersebut. Di depan dan belakang pintu gerbang kelima ada ukiran pada prasasti yang menandakan tahun. Dibalik gerbang ini terdapat makam para sentono dalem kabupaten Ponorogo. Memasuki gerbang ke enam dan ketujuh akan peziarah akan melihat makam para leluhur Ponorogo pada masa lampau. Di balik gerbang ketujuh terdapat makam Bathara Katong, Ki Ageng Mirah, dan Selo Aji. Beliau bertiga merupakan orang yang telah berjasa besar membangun peradaban Islam pada jaman dahulu. Saat memasuki bangunan makam Bathara Katong (berbentuk seperti rumah beratap rendah), peziarah diharapkan agar merunduk. Bangunan ini sudah direhab. Dulu sebelum direhab, bangunannya sangat rendah. Hal ini mempunyai maksud agar peziarah yang datang lebih menghormati leluhurnya. Bangunan utama makam berisi makam Bathara Katong dan para anak istrinya. Pernyataan juru kunci di atas menjelaskan bahwa, para peziarah diwajibkan untuk menjaga sikapnya. Salah satunya adalah dengan merunduk dan berjalan perlahan untuk menghormati para leluhur yang dikebumikan di makam itu.
Pendidikan Karakter dalam Tradisi Ziarah Makam Bathara Katong Sebelum memahami mengenai pendidikan karakter yang terdapat dalam tradisi ziarah makam Bathara Katong, kita harus memahami dulu mengenai pengertian pendidikan karakter. Pendidikan karakter menurut Rachmah (2013: 13) adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Sikap yang dilakukan harus berdasar pada nilai-nilai pendidikan karakter. Menurut Depdiknas (2010), nilai pendidikan karakter ada 18, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat
kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab. Ziarah makam Bathara Katong mengandung beberapa nilai-nilai pendidikan karakter dalam prosesnya, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) disiplin, (4) kerja keras, (5) cinta tanah air, (6) bersahabat/komunikatif, (7) peduli lingkungan, (8) peduli sosial. Nilai religius tergambar pada prosesi ziarah makam yang terakhir yaitu berdoa untuk keselamatan leluhur kepada Tuhan. Memanjatkan doa bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini mencerminkan pendidikan karakter religius. Pendidikan karakter yang kedua adalah bersikap jujur. Hal ini dilakukan dengan cara tidak mencampurkan irisan daun pandan wangi ke dalam bunga sesaji yang dibawa. Apabila mencampurkan hal tersebut, keinginan peziarah tidak akan terpenuhi. Pendidikan karakter yang ketiga adalah disiplin. Peziarah diwajibkan untuk disiplin dalam melewati gerbang-gerbang makam. Gerbang yang dilewati harus urut dari gerbang pertama hingga gerbang ketujuh. Melewati gerbang-gerbang tersebut harus dilakukan dengan cara berjalan. Hal ini harus dilakukan apabila ingin tujuannya tercapai. Berjalan melewati ketujuh gerbang (jarak terjauh antar gerbang sekitar 200 meter) membuat peziarah mau tidak mau harus berjuang keras. Melakukan tradisi ziarah secara tidak langsung turut menjaga dan melestarikan budaya lokal (cinta tanah air). Apabila tidak ingin tersesat dalam menyusuri gerbang dan memaknai situs, peziarah harus komunikatif dengan juru kunci. Pada proses ziarah makam Bathara Katong, peziarah biasanya memunguti ranting-ranting yang jatuh. Hal ini mencerminkan karakter peduli lingkungan. Terakhir, sesaat sesudah selesainya proses ziarah makam, peziarah akan menemukan kotak amal besar. Diharapkan dengan adanya kotak amal tersebut dapat membantu pemeliharaan situs makam dan menolong masyarakat sekitar yang membutuhkan (peduli sosial).
SIMPULAN Proses ziarah makam Bathara Katong mempunyai keunikan tersendiri. Peziarah yang ingin tercapai harapannya harus berjalan melewati tujuh gerbang. Peziarah boleh membawa bunga untuk melakukan proses nyekar. Peziarah tidak diperbolehkan mencampurkan daun pandan wangi. Di depan dan belakang pintu gerbang kelima ada
ukiran pada prasasti yang menandakan tahun. Memasuki gerbang ke enam dan ketujuh akan ditemukan makam para leluhur Ponorogo pada masa lampau. Di balik gerbang ketujuh terdapat makam Bathara Katong, Ki Ageng Mirah, dan Selo Aji. Tradisi ziarah makam Bathara Katong mengandung beberapa nilai-nilai pendidikan karakter dalam prosesnya, diantaranya adalah: (1) religius, (2) jujur, (3) disiplin, (4) kerja keras, (5) cinta tanah air, (6) bersahabat/komunikatif, (7) peduli lingkungan, (8) peduli sosial. Melihat dari banyaknya pendidikan karakter yang terdapat di dalamnya, sepertinya perlu dilakukan pengintegrasian antara tradisi ziarah makam dengan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Denpasar : Pustaka Larasan. Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Statistik Indonesia Tahun 2010. Jakarta : Badan Pusat Statistik. Depdiknas. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta. Nasution. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito. Pramono, Fajar. 2004. Budaya Reyog dan Komunikasi Politik dan Kulturisasi Seni Budaya Reyog Dalam Praktek Politik di Ponorogo. Jurnal Fenomena Vol. 1 No. 2. Rachmah, Huriah. 2013. Nilai-Nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jurnal Widya Non Eksakta. Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. Syamhari. 2014. Interpretasi Ziarah pada Makam Mbah Priuk. Jurnal Rihlah Vol. II No. 1. Wawancara dengan juru kunci makam Bathara Katong: Bapak Mukim.
Penggunaan Bahan Ajar Berbasis Budaya Lokal dengan Pendekatan Scientific-Tematik dalam Pembelajaran Bahasa Jawa untuk Mahasiswa Asing
Kundharu Saddhono dan Muhammad Rohmadi
Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Email:
[email protected]
ABSTRACT Javanese language includes the language with the biggest native speakers in the world, so that there are many foreigners are interested in learning Javanese language. Furthermore, supported Javanese language also supported by Javanese culture which is very rich and diverse. The research related to the development of media in learning Javanese language for foreign speakers by the use of local culture-based media learning through Scientific-Thematic approach. This research aimed to improve the competitiveness of Javanese language and culture in the world culture. Generally, foreigners learn Javanese language as interested in Javanese culture so by using Javanese culture as a medium of learning will help them get to know the language and culture of Java as well. This research was conducted at the college who has Java language as the language in daily life, which is in the province of Central Java, East Java, and Yogyakarta. Data in the form of qualitative data and data sources used in this study were documents and informants. The sampling technique used was purposive sampling. Purposive sampling was capable for acquiring complete data in diversity. The Javanese as Foreign Language Program which was used in this study were in the Malang State University (East Java), Surabaya State University (East Java), Sebelas Maret University (Central Java), Semarang State University (Central Java), Gadjah Mada University (Yogyakarta) and Yogyakarta State University (Yogyakarta). The technique of collecting the data was done by examining the documents or records by using the technique of content analysis. This technique was used to determine the forms of instructional media in Javanese as Foreign Language Program in Indonesia. Another technique used was interview with some students and lecturers to obtain data on the factors that influence the teaching materials in language learning Javanese for foreign speakers. In addition, interviews were also conducted with lecturers to know the development of Javanese learning media for foreign speakers. This study used theory triangulation, method triangulation, and informant review. The results showed that the use of local culturebased learning media through scientific-thematic approach can be used to help foreign students understanding Javanese language and culture comprehensively. Keywords: Javanese as a foreign language, learning media, local culture, scientific-thematic approach, foreign student
PENDAHULUAN Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang mempunyai jumlah penutur banyak, lebih tepatnya 75,5 juta penutur. Hal ini yang menjadikan bahasa Jawa menempati urutan ke-11 dunia dalam jumlah penutur terbanyak, (Wedhawati dalam Sulaksono, 2016). Bahasa Jawa sebagai bahasa lokal daerah digunakan dalam komunikasi
sehari-hari, khususnya orang yang bermukim di wilayah Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta). Bahasa Jawa juga mempunyai berbagai keistimewaan jika dibandingkan dengan bahasa yang lainnya (Wessing, 2015). Hal ini menjadi daya tarik dan tantangan bagi mahasiswa asing yang ada di wilayah Jawa tersebut, termasuk mahasiswa asing di Universitas Sebelas Maret. Mahasiswa asing di UNS tahun 2015 berjumlah 191 dan bertambah lagi 44 di tahun 2016, yang terdiri dari 18 negara, yaitu Belanda, Polandia, Philipina, Meksiko, Timor Leste, Thailand, Nigeria, Madagaskar, Vanuatu, Ethiopia, Ghana, Laos, Tanzania, Korea Selatan, Vietnam, Tiongkok, Turkmenistan, dan Malaysia (www.uns.ac.id, 2016) Sebelum mahasiswa asing belajar secara intensif di kampus, maka mahasiswa asing tersebut perlu untuk diberian latihan mengenai bahasa daerah setempat untuk memudahkan komunikasi (Zhao, et. al, 2013: Kobayashi, 2013). Lembaga yang menaungi mahasiswa belajar bahasa Jawa sebagai bahasa kedua di berbagai Universitas terintegrasi dalam lembaga BIPA. Bahan ajar yang digunakan di berbagai lembaga pengajaran bahasa Jawa sebagai bahasa kedua kebanyakan menggunakan bahan ajar yang berbeda-beda. (Saddhono, 2013). Tidak jarang mereka membuat bahan ajar atau modul buatan tersendiri, seperti lembaga BIPA yang terdapat di Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Neger Malang, dan lain-lain. Pada saat ini belum ada kurikulum baku mengenai tata cara mengajarkan bahasa Jawa sebagai bahasa kedua kepada mahasiswa asing. Selain itu, masih banyak ditemukan bahan ajar yang tidak terintegrasi dengan pembejaran mengenai budaya. Hal itu jelas bertolak belakang dengan pendapat Xing (2006) bahwa pembelajaran bahasa kedua seharusnya juga diberikan pembelajaran mengenai budaya daerah setempat. Hal ini juga dipertegas dalam penelitiannya tentang bahasa Jawa di lingkungan pendidikan (Saddhono and Rohmadi, 2014; Suryadi, et. al, 2014) Faktor tersebut membuat pengajar belajar ekstra untuk dapat mengenalkan budaya kepada mahasiswa asing. Kendala lain ditemukan ketika melakukan praktik langsung di lapangan, di tempat wisata atau tempat sejarah misalnya, mahasiswa asing cenderung pasif ketika mendapat pengarahan dan penjelasan dari pemandu wisata. Keterbatasan pemahaman kosakata, rumutnya tata bahasa Jawa, dan pengetahuan budaya lokal yang sedikit yang menjadikan mereka sulit berinteraksi dan berkomunikasi ketika terjun langsung ke lapangan.
Beberapa faktor di atas, maka diperlukan untuk mengembangkan bahan ajar berbasis budaya lokal atau Jawa untuk menjembatani kebutuhan pengenalan budaya dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi pada mahasiswa pebelajar Bahasa Jawa bagi penutur Asing. Pembelajaran bahasa Jawa yang sistematis dan terencana membuat mahasiswa asing lebih siap dan mampu menerima materi pembelajaran dengan baik (Erler & Macaro, 2011; Wang 2003; dan Siegal & Okamoto; 2003). Bahan ajar yang dikembangkan disertai dengan rekaman beberapa peristiwa budaya Jawa untuk memberikan pengetahuan awal kepada para pebelajar bahasa Jawa sebagai bahasa kedua. Selain itu, dalam proses pembelajaran juga dilengkapi dengan buku pegangan untuk mahasiswa dan buku pegangan untuk digunakan oleh pengajar. Budaya Jawa dipilih untuk dijadikan salah satu materi pengajaran BIPA karena sarat akan nilai-nilai lokal yang unik dan berbeda-beda antara daerah satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur seperti kesenian, sistem kepercayaan, upacara adat, bahasa, dan sastra di setiap daerah memiliki perbedaan (Koentjoroningrat, 2004; Sutardjo, 2010). Kajian ini mengangkat tema budaya Jawa karena dianggap budaya Jawa memiliki kekhasan untuk dikaji, diteliti, dan dikembangkan menjadi suatu bahan ajar yang terintegrasi dalam pembelajaran bahasa Jawa bagi mahasiswa asing. Hal ini juga membantuk peroses adaptasi mahasiswa asing selama tinggal di Jawa. Mengingat bahasa dan budaya Jawa bersifat dinamis dan selalu mengikuti perkembangan zaman (Smith & Hefner, 2009). Hal yang baru dalam kajian ini adalah pengintegrasian budaya Jawa dalam materi ajar bahasa jawa bagi penutur asing dengan menggunakan pendekatan scientific-tematik. Pemilihan pendekatan scientific-tematik dalam pembelajaran ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan lebih kepada mahasiswa asing mengenai bahasa, budaya, dan pengetahuan yang diperlukan untuk praktik komunikasi di lapangan, (Saddhono, 2016). Selanjutnya, penelitian mengenai pengintegrasian budaya Jawa sebagai media pengajaran secara tidak langsung dapat meningkatkan proses dan hasil pembelajaran. Materi ajar yang dijadikan objek kajian ini juga difokuskan untuk mahasiswa asing tingkat menengah. Jadi, dalam pembelajaran bahasa jawa sebagai bahasa kedua untuk para mahasiswa asing diperlukan klasifikasi khusus mengenai tingkatan mahasiswa atau pebelajaran bahasa asing (Kramsch, 2000).
Selanjutnya, pemilihan budaya Jawa sebagai materi ajar dalam pembelajaran bahasa Jawa sebagai bahasa kedua bagi mahasiswa asing dikarenakan tujuan mempelajari budaya adalah salah satu faktor wisatawan atau mahasiswa asing belajar di Indonesia. Budaya Indonesia sangatlah beragam dan setiap daerah berbeda-beda. Di Jawa sendiri terdapat banyak budaya yang terbentang mulai dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Keragaman budaya tersebut menjadikan para mahasiswa asing tertarik belajar di Indonesia. Alasan ini yang dirasa tepat untuk menggunakan budaya Indonesia sebagai bahan ajar dalam pembelajaran bahasa jawa bagi penutur asing.
METODE PENELITIAN Penelitian ini berbentuk penelitian pengembangan, yaitu mengembangkan suatu rumusan bahan ajar menggunakan media yang berbasis pada budaya lokal atau Jawa. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan diambil dari berbagai dokumen dan informan (Miles & Huberman, 2009). Adapun setting dalam penelitian ini berada di tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu mengarahkan pengambilan sampel yang dipandang penting dan terkait dengan pokok bahasan penelitian, (Sutopo, 2002). Teknik purposive sampling ini dianggap paling tepat digunakan dalam penelitian yang memiliki keragaman data. Data-data dikumpulkan dengan meninjau dari beberapa Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pembelajaran bahasa Jawa sebagai bahasa kedua untuk mahasiswa asing diantaranya Universitas Negeri Malang (Jawa Timur), Universitas Negeri Surabaya (Jawa Timur), Universitas Sebelas Maret (Jawa Tengah), Universitas Negeri Semarang (Jawa Tengah), Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), dan Universitas Negeri Yogyakarta (Yogyakarta). Data berupa dokumen atau rekaman yang diperoleh dari beberapa sampel kemudian dianalisis menggunakan teknik content analisis. Teknik ini digunakan untuk mendefinisikan bentuk dari media pembelajaran dalam program mengenai bahasa Jawa sebagai bahasa kedua di Indonesia. Selanjutnya, dalam penelitian ini juga digunakan teknik tirangulasi, yaitu menggunakan triangulasi sumber data, triangulasi metode, dan menggunakan review dari informan. Hal ini digunakan untuk menjaga keabsahan data supaya data penelitian dapat dipertanggungjawabkan.
PEMBAHASAN Pembelajaran bahasa Jawa bagi penutur asing memiliki bentuk yang berbeda dari pembelajaran bahasa Jawa pada umumnya yang dikhususkan kepada penutur bahasa Jawa. Latar belakang pebelajar yang berbeda dari penutur asli mengharuskan para pengajar menggunakan teknik dan strategi khusus untuk mendesain proses pembelajaran. Tidak hanya itu, materi pembelajaran, metode, dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran juga harus dibedakan (Akbulut, 2007; Matsumoto & Okamoto, 2003). Hal ini digunakan supaya hasil atau output proses pembelajaran dapat lebih optimal. Keanekaragaman latar belakang pebelajar bahasa Jawa sebagai bahasa kedua juga perlu diperhatikan (Cohn and Ravindranath, 2014; Zentz, 2014). Walaupun pada esensinya pembelajaran bahasa Jawa bagi penutur asing mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mengembangkan kemampuan bahasa pebelajar secara komunikatif dan pragmatis. Untuk itu pemilihan materi harus lebih spesifik dan detail yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran (Kobayashi, 2013; Saddhono, 2016). Salah satu alternatifnya adalah mendesain pembelajaran dengan menggunakan pendekatan scientific-tematik, yaitu dengan cara mengintegrasikan secara scientific materi budaya Jawa dengan tematema tertentu dalam bahan ajar pembelajaran bahasa Jawa untuk penutur asing. Pengembangan media pembelajaran berbasis budaya Jawa harus mengarah pada keterkaitan media dan materi pembelajaran dengan kehidupan keseharian yang berorientasi pada khasanah budaya Jawa. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa dalam kehidupan kesehariannya tidak terlepas dari budaya Jawa, termasuk di dalamnya penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah baku bahasa Jawa (Adelaar, 2011; Jan, 2011). Pembelajaran multikultural dan interkultural didesain untuk memberikan materi kepada pebelajar, sehingga mereka mendapatkan informasi baik dari segi linguistik maupun kultural. Tahap pembelajaran yang integratif dengan pendekatan scientific-tematik, yaitu (1) Tahap pertama adalah mengidentifikasi tema budaya. Tema-tema budaya Jawaakan menjadi bagian penting yang perlu diidentifikasi dalam pembelajaran.Sebagai contohnya adalah memberikan teks-teks yang berkaitan dengan budaya Jawa; (2) Tahap kedua yaitu penyajian fenomena budaya terkait dengan tema yang sudah diidentifikasi dihadirkan
dalam berbagai bentuk gambar, slide, film, video, audio, dan teks-teks tertulis; (3) Tahap ketiga adalah dialog budaya target yang lebih mendalam terkait dengan tema dan fenomena dapat dikembangkan dengan fokus tertentu. Pada tahap ini mahasiswa ditugasi untuk membuat laporan kegiatan dengan fenomena budaya Jawa yang telah ditampilkan sebelumnya; (4) Tahap keempat yaitu transisi pada pembelajaran bahasa. Pada tahap ini mahasiswa harus bisa memaparkan kosa kata yang berkiatan dengan fenomena budaya yang ditampilkan, misalnya saat mengenalkan gamelan maka harus diberikan kosa kata yang berkaitan dengan gamelan, misalnya gong, slendro, pelog, gendhang, dan lain-lain; (5) Tahap kelima yaitu pembelajaran bahasa dengan berbagai aspek dan komponennya sesuai dengan teori bahasa dan pembelajaran bahasa beserta penerapnnya dalam komunikasi praktis yang terwujud dalam pembelajaran membaca, menyimak, berbicara, dan menulis; (6) Tahapkeenam adalah verifikasi pada persepsi budaya. Pada tahap ini, pembelajar menilai dan menguji berbagai sumber menggunakan kompetensi berbahasa yang telah dikuasi untuk membangun dan memodifikasi persepsi awal baik secara linguistis maupun kultural; (7) Tahap ketujuh adalah terbangunnya kesadaran berbudaya setelah melewati aktivitas dan diharapkan memiliki persepsi budaya yang baru sesuai konteks budaya yang dimasuki selama proses belajar dan nantinya dapat mempraktikkan keterampilan berbahasa dan berbudaya (8) Tahap kedelapan berupa evaluasi pada kecakapan bahasa dan kecakapan budaya. Pada tahap kedelapan ini, kompetensi dan performansi bahasa dan budaya pembelajar dievaluasi (Saddhono, 2015).Adapun proses pembelajaran bahasa Jawa untuk penutur asing tersebut dapat digambarkan dalam bagan bagan berikut ini Apabila dijabarkan pembelajaran bahasa Jawa dimulai dari mengamati, yaitu mahasiswa disajikan mengenai film atau video peristiwa budaya yang ada di Jawa. Kemudian mahasiswa disuruh mengajukan pertanyaan mengenai video tersebut. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berkaitan dengan materi budaya Jawa. Mahasiswa yang aktif bertanya secara tidak langsung dapat mengasah kemampuan berbahasa mereka, yaitu keterampilan berbicara dan untuk mengasah kemampuan menalar. Selanjutnya, mahasiswa dibimbing untuk mencoba atau praktik secara langsung. Praktik disini berkaitan dengan empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis bahasa Jawa. Akan tetapi, pembelajaran lebih difokuskan pada keterampilan
berbicara untuk kepentingan komunikasi. Walaupun pada akhirnya semua keterampilan berbahasa diajarkan kepada mahasiswa asing. Pada pembelajaran berbicara, mahasiswa dituntun untuk dapat mendeskripsikan dan memberikan penjelasan tentang budaya Jawa. Fenomena itu juga yang terjadi pada penggunaan bahasa Jawa dalam masyarakat yang sangat variatif (Ewing, 2014; Yustanto and Mohamad, 2016; Vander and Matthewson, 2015). Pada pembelajaran bahasa Jawa bagi penutur asing, pertama kali mahasiswa diberikan gambar dan video mengenai salah satu peristiwa budaya Jawa, setelah itu mahasiswa diberikan pertanyaan yang berkaitan dengan video tersebut. Di akhir sesi, mahasiswa diharapkan menceritakan ulang mengenai video atau gambar yang disajikan oleh dosen dengan menggunakan bahasa sendiri. Setelah selesai presentasi dosen memberikan tanggapan dan evaluasi mengenai keterampilan berbicara mahasiswa. Hal tersebut juga dilakukan pada keterampilan yang lain, yaitu menyimak, membaca, dan menulis.
SIMPULAN Dalam membelajarkan bahasa Jawa bagi mahasiswa asing maka pembelajaran harus didesain sedemikian rupa yang ditentukan dengan tujuan pembelajaran tersebut yang berfokus pada scientific-tematik. Fokus tujuan dari pembelajaran bahasa Jawa bagi penutur asing adalah mahasiswa dapat memiliki kompetensi kebahasaan, keterampilan bahasa yang bagus (dalam hal ini untuk tujuan komunikatif dan pragmatis), serta memiliki pengetahuan budaya yang baik. Untuk itu, perlu disusun suatu pendekatan yang inovatif dan kurikulum atau pedoman pembelajaran bahasa Jawa bagi penutur asing. Materi pembelajaran dan media yang digunakan juga harus berbasis pada budaya lokal untuk dapat memberikan informasi lebih kepada mahasiswa, baik mengenai informasi bahasa, budaya, dan konten-konten lain yang diperlukan dalam praktik komunikasi. Materi ajar bahasa Jawa bagi penutur asing seharusnya tidak hanya membahas mengenai unsur kebahasaan dan keterampilan berbahasa, tetapi juga mengintegrasikan dimensi budaya dan contoh-contoh konkret peristiwa budaya di Jawa. Beberapa materi di atas dapat memberikan pengetahuan yang komprehensif bagi mahasiswa asing penutur bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan aktivitas belajar dan praktik berbudaya merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan dalam proses mereka belajar mengenai bahasa dan budaya Jawa.
DAFTAR REFERENSI Adelaar, A. (2011). Javanese –ake and –akan: A Short History. Journal of Oceanic Linguistics. 50(2), 338-350. Akbulut, Y. (2007). Effects of multimedia annotation on incidental vocabulary learning and reading comprehension of advanced learners of English as a foreign language. Journal of Intructional Science, 35(6), 499-517. Cohn, A. C., & Ravindranath, M. (2014). Local Languages in Indonesia: Language Maintenance or Language Shift?. Linguistik Indonesia, 32(2), 131-148. Erler, L. & Macaro, E. (2011). Decoding Ability in French as a Foreign and Langugage Learning Motivation.The Modern Language Journal, 95(4), 496-518. Ewing, M. C. (2014). Motivations for first and second person subject expression and ellipsis in Javanese conversation. Journal of Pragmatics, 63, 48-62. Hokanson, S. (2000). Individual Cognitive Styles of University Students and Acquisition of Spanish as a Foreign Language. Hispania Journal, 83 (3), 511-520. Jan, J. M. (2011). Malay Javanese Migrant in Malaysia: Contesting or Creating Identity. Amsterdam University Press, 163-172. Kobayashi, Y. (2013). Europe versus Asia: foreign language education other than English in Japan’s hogher education. Journal of Higher Education, 66(3), 269-281. Koentjoroningrat. (2004). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Kramsch, C. (2000). Second Language Acquistion, Applied Linguistics, and the Teaching of Foreign Language. The Modern Language Journal, 84(3), 311-364. Matsumoto, Y. & Okamoto, S. (2003). The Contruction of Japanese Language and Culture in Teaching Japanese as a Foreign Language. Japanese Language and Literature Journal, 37 (1), 27-48. Miles, M. B. & Huberman, A. M. (2009). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode_Metode Baru. (Terj. Tjetjep Rohandi Rohidi). Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Saddhono, K., & Rohmadi, M. (2014). A sociolinguistics study on the use of the Javanese language in the learning process in primary schools in Surakarta, Central Java, Indonesia. International Education Studies, 7(6), 25. Saddhono, K. (2015). Integrating Culture in Indonesian Language Learning for Foreign Speakers at Indonesian Universities. Journal of Language and Literature,6(2). 273-276. Siegal, M. & Okamoto, S. (2003). Toward Reconceptualizing the Teaching and Learning of Gendered Speech Styles in Japanese as a Foreign Language. Japanese Language and Literature Journal, 37(1), 49-66. Smith, N. J. & Hefner. (2009). Language Shift, Gender, and Ideologies of Modernity in Central Java, Indonesia. Journal of Linguistic Anthropology, 19(1),57-77. Sook Wang, H. (2003). A Review of Research as Korean as a Foreign Language. The Korean Language in America Journal, 8, 7-35. Sulaksono, D. (2016). Serbaneka Bahasa Jawa. Surakarta: CakraBooks. Suryadi, M., Subroto, H. E., & Marmanto, S. (2014). The Use of Krama Inggil (Javanese Language) in Family Domain at Semarang and Pekalongan Cities. International Journal of Linguistics, 6(3), 243-256. Sutardjo, I. (2010) Kajian Budaya Jawa. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah, FSSR UNS. Sutopo. (2002). Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Vander Klok, J., & Matthewson, L. (2015). Distinguishing already from perfect aspect: a case study of Javanese wis. Oceanic Linguistics, 54(1), 172-205 Wessing, R. (2015). The Javanese Suffix–(n) e: Some social aspects. Indonesia and the Malay World, 43(127), 431-440. Xing, J. Z. (2006) Culture in Teaching and Learning Chinese as a Foreign Language. Journal of Teaching and Learning Chinese as a Foreign Language, 237-264. Yustanto, H., & Mohamad, B. (2016). Javanese Language Prosody of Yogyakarta. Advanced Science Letters, 22(12), 4054-4058.
Zentz, L. (2014). “Love” the Local,“Use” the National,“Study” the Foreign: Shifting Javanese Language Ecologies in (Post‐) Modernity, Postcoloniality, and Globalization. Journal of Linguistic Anthropology, 24(3), 339-359. Zhao, A., et. al. (2013). Foreign Language Reading Anxiety: Chinese as a Foreign Language in the United States. The Modern Language Journal. 97(3), 764-778.
PENGIMPLEMENTASIAN MEDIA PADA PELAJARAN BAHASA JAWA
1. Fatia Azzahrah 2. Budhi Setiawan 3. Supana
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected]
Abstract Learning media is a part of the learning that has a very important role in the achievement of learning objectives. Learning media development nowadays is not only as a tool but has developed into a tool and tutor. This research is a case study, the research aims to find out how the implementation of media on learning the Java language. Data collection on this research was conducted through interviews and observations as well as documentation. This research was conducted at MTsN Ngemplak, with research results that the implementation of the Java language learning media recently reached the stage of use media as a tool, not yet at the stage of tool and tutors, and there are four things that become the reason for that is: (1) because of the limitations of the media in school, (2) the difficulty of getting the media learning, (3) using the media it's a hassle, and (4) students become less conditioned in learning.
Keywords: Learning, Media, Learning The Java Language Abstrak Media pebelajaran merupakan suatu bagian dari pembelajaran yang memiliki peran sangat penting dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Perkembangan media pembelajaran sekarang ini sudah tidak hanya sebagai tool tetapi sudah berkembang menjadi tool and tutor. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus, yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengimplementasian media pada pembelajaran bahasa Jawa. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui wawancara dan observasi serta dokumentasi. Penelitian ini dilakukan di MTsN Ngemplak, dengan hasil penelitian bahwa pengimplementasian media pembelajaran bahasa Jawa baru mencapai tahap penggunaan media sebagai tool, belum pada tahap tool and tutor, serta terdapat empat hal yang menjadi alasan yaitu: (1) karena keterbatasan media di sekolah, (2) sulitnya mendapatkan media pembelajaran, (3) menggunakan media itu repot, dan (4) siswa menjadi kurang terkondisikan dalam pembelajaran. Kata Kunci: Media Pembelajaran, Pembelajaran Bahasa Jawa
Latar Belakang Masalah Di tahun 2017 sekarang ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) semakin meningkat. Dampak dari perkembangan IPTEK terhadap pembelajaran sangatlah banyak salah satunya diperkaya adanya sumber belajar dan media pembelajaran yang semakin berkembang. Teknologi yang berkembang saat ini sangat mendukung pembelajaran, salah satunya pembelajaran berbantu dengan komputer. Pembelajaran berbantu dengan komputer misalnya dapat digunakan untuk keperluan dalam mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Penggunaaan media pembelajaran dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas, keterampilan berbahasa, kemampuan membaca, menulis, dan banyak lagi yang lainnya. Peraturan perundang-undangan Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 45, ayat 1 menyatakan bahwa satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan pesertadidik, (Depdiknas, 2003: 32-33). Berdasarkan undang-
ndang tersebut jelas bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara guru, siswa, kurikulum serta sarana dan prasarana. Pada suatu pembelajaran di kelas guru memiliki peran penting baik dalam menentukan metode pembelajaran dan media pembelajaran yang digunakan sesuai dengan materi yang diajarkan. Hal tersebut dikarenakan supaya tujuan dari pembelajaran yang telah dirancang dapat tercapai dengan baik. Pencapaian tujuan pembelajaran tidak hanya membutuhan kompetensi guru yang memadai, akan tetapi harus didukung dengan media pembelajaran yang lengkap, tepat, dan relevan dengan kondisi lingkungan peserta didik. Media pembelajaran dalam hal ini juga memiliki peranan penting dalam menentukan keberhasilan proses belajar mengajar, sebab media merupakan salah satu bagian yang penting dalam proses pembelajaran. Penggunaan media pada proses pembelajaran, akan memberikan hal positif terhadap peserta didik dan pada proses pembelajaran itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Padmanthara (2007: 131) dalam penelitiannya bahwa pembelajaran berbantu komputer bisa memberikan nilai-nilai positif seperti: (1) melibatkan siswa aktif dalam pembelajaran, keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses ini memperlancar pembelajaran, (2) siswa dapat meneruskan pembelajaran sesuai dengan tingkat kecepatan dan kemampuan belajarnya, yang berarti memberikan peluang untuk maju, dan (3) memberikan kemudahan dalam memberikan gambaran mengenai materi pembelajaran. Perkembangan media pembelajaran sekarang sudah tidak hanya menjadi tool atau alat dalam pembelajaran, akan tetapi media sekarang sudah berkembang menjadi tutor dalam sebuah pembelajaran. Akan tetapi, beberapa hal positif yang diberikan oleh media pembelajaran nampaknya belum dimanfaatkan sepenuhnya dengan baik oleh guru dalam pembelajarannya. Banyak hal yang menjadi alasan mengapa guru belum menggunakan media pembelajaran inovatif dalam pembelajarannya. Berdasarkan beberapa ulasan tersebut pada makalah ini akan membahas mengenai bagaimana guru mengimplementasikan media pembelajaran khususnya pada mata pelajaran bahasa Jawa di sekolah. Dalam penelitian ini peneliti akan fokus pada pengimplementasian media pembelajaran pada proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru bahasa Jawa di MTsN Ngemplak.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah maka rumusan masalah yang dapat diberikan diantaranya: 1. Bagaimanakah pembelajaran guru bahasa Jawa di MTsN Ngemplak? 2. Bagaimanakah pengimplementasian media pembelajaran bahasa Jawa di MTsN Ngemplak?
Metode Penelitian Makalah ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Peneliti berusaha memahami fenomena yang terjadi pada keseharian guru pada proses pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan di MTsN Ngemplak. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu secara interaktif yaitu melalui wawancara dan observasi, dan noninteraktif melalui dokumentasi. Instrumen penelitian ini adalah peneliti dengan dibantu alat perekam, pedoman wawancara. Pengambilan data dilaksanakan dengan mengikuti iklim sekolah supaya dalam pengambilan data baik dokumen dan informan lewat wawancara diusahakan berjalan secara baik dengan suasana yang bersahabat. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengungkap tentang pengimplementasian media pembelajaran di sekolah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam dunia pendidikan.
Pembahasan 1. Pembelajaran Guru Bahasa Jawa di MTsN Ngemplak Suatu pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dan siswa merupakan suatu bentuk komunikasi, dimana guru dan siswa saling bertukar pikiran, informasi, untuk mengembangkan ide serta pengertian. Ketika pembelajaran guru megkomunikasikan kepada peserta didik tidak semua pembelajaran dapat digambarkan secara verbal melalui kata-kata yang dijelaskan oleh guru. Guru dalam pembelajarannya membutuhkan suatu sarana dan prasarana guna membantu mempermudah pelaksanaan transfer informasi baik dari guru terhadap siswa maupun dari siswa kepada guru. Sarana dan prasaranya yang dimaksud adalah berupa media pembelajaran. Media memiliki fungsi dalam proses belajar mengajar sebagai penyaji stimulus berupa
informasi, sikap, dan lain-lain, serta meningkatkan keserasian dalam penerimaan informasi. Secara praktis fungsi dari media pembelajaran yaitu: (1) dapat mengatasi keterbatasan pengalaman peserta didik. Pengalaman setiap siswa itu berbeda-beda, melalui media guru dapat memberikan pengalaman yang siswa belum miliki, (2) media dapat mengatasi batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak dapat dialami secara langsung di dalam kelas oleh siswa. Akan tetapi, kesulitan itu dapat diatasi dengan adanya media pembelajaran, seperti ketika akan menampilkan objek yang tidak memungkinkan dibawa ke dalam kelas seperti gunung, danau, hutan, kota atau suatu situasi maupun aktivitas nyata yang ingin diperlihatkan di hadapan siswa, (3) memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dengan lingkungannya, (4) dapat menghasilkan keseragaman pengamatan, yang dianggap penting sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, (5) dapat menanamkan konsep dasar yang benar konkrit dan realitas (seperti penggunaan gambar, film, model, dll) yang dapat memberikan konsep dasar yang benar, (6) dapat membangkitkan motivasi dan merangsang siswa untuk belajar, (7) Memberikan pengalaman yang integral dari yang konkrit hingga yang abstrak, (Permasih, 2002: 39). Dalam suatu
pembelajaran seorang guru
dapat
memberikan
ataupun
menyampaikan pembelajaran dengan berbagai cara untuk menjelaskan tentang suatu hal. Pertama, guru dapat menjelaskan suatu hal dengan hanya menceritakan berdasarkan pengalaman yang ia miliki, berdasarkan gambar yang pernah dilihat, ataupun berdasarkan cerita yang dibaca, atau pun berdasarkan pengalaman yang ia miliki. Seorang guru yang pandai bercerita pastinya akan menarik bagi siswa dalam penyampaian informasi tersebut. Akan tetapi, tidak semua guru memiliki kemampuan bercerita dengan sangat baik. Penjelasan secara verbal tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan salah persepsi pada siswa. Kedua, dalam suatu pembelajaran dapat melibatkan siswa secara langsung dengan cara outing class melihat suatu objek ataupun situasi, atau hal lain yang sedang dipelajarai. Cara ini lebih efektif dibandingkan dengan cara yang pertama, namun cara kedua tidak efisien baik dalam hal waktu, tenaga, maupun biaya. Ketiga, guru dapat memberikan siswa berupa gambar, foto, film, vidio tentang objek yang sedang dipelajari. Cara ini akan sangat membantu guru dalam memberikan
penjelasan. Hal ini juga lebih menghemat waktu. Siswa juga lebih mudah mengerti dan memahami konsep materi pelajaran, pembelajaran menjadi menarik, membangkitkan motivasi belajar, penyampaian materi lebih konsisten. Berikut merupakan bagan dari gambaran pembelajaran di atas: Pembelajaran 3
1
Guru
2
Guru + Objek/ situasi Nyata
Guru + Media Pembelajaran
Peserta didik
Cara penyampaian guru dalam pembelajaran tentunya berbeda-beda antara guru satu dengan yang lain. Koesnandar (2003: 77), ia mengklasifikasikan 3 cara dalam penyampaian pembelajaran, beliau menyebutnya pembelajaran dengan cara verbal, penglaman nyata, dan yang ketiga yaitu melalui media. Berdasarkan pengamatan, guru MTsN Ngemplak dalam pembelajarannya menggunakan pembelajaran pada nomor tiga, akan tetapi media yang digunakan hanya sebatas visual atau berupa gambar, buku, belum menggunakan media yang lebih modern seperti menggunakan vidio, film, macromedia flash, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam pembelajarannya guru lebih sering mengandalkan LKS sebagai sarana untuk pembelajarannya. Bagi guru, untuk mata pelajaran bahasa Jawa itu akan lebih mudah bagi siswa untuk memahami materi yang banyak dengan alokasi waktu pembelajaran yang sedikit. Sebenarnya, dalam hal ini guru dapat mengemas pembelajarannya dengan mudah dan ringan bagi siswanya, dengan menggunakan media pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Sehingga guru tidak hanya monoton dalam pembelajaranya dengan belajar melalui LKS, dengan begitu akan menciptakan suasana pembelajaran yang baru bagi siswanya.
Dari informan siswa, diketahui bahwa dalam pembelajaran siswa lebih senang bila guru menggunakan media pembelajaran seperti film, vidio, atau sesuatu yang dapat dilihat dan didengar siswa, dan siswa dapat merasakan secara nyata hal tersebut. Akan tetapi, siswa mengaku belum pernah mendapatkan pembelajaran dengan media pembelajaran seperti itu.
2. Pengimplementasian Media Pembelajaran pada Mata Pelajaran Bahasa Jawa Media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang dapat menyampaikan atau menyalurkan pesan dari suatu sumber secara terencana, sehingga terjadi lingkungan belajar yang kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif, (Asyhar, 2012: 8). Media juga diartikan secara lebih utuh bahwa media merupakan alat bantu berupa fisik maupun non fisik yang sengaja digunakan sebagai perantara antara guru dan siswa dalam memahami materi pebelajaran agar lebih efektif dan efisien, (Musfiqon, 2012:28). `
Suatu media pembelajaran dapat membangkitkan rangsangan pada indra
penglihatan, pendengaran, perabaan, dan penciuan siswa. Ruang lingkup media pembelajaran meliputi segala alat, bahan, peraga, serta sarana dan prasarana di sekolah yang digunakan dalam proses pembelajaran. Suatu media pembelajaran yang tidak berorientasi pada pencapaian tujuan pembelajaran bukan termasuk dalam ruang lingkup media pembelajaran. Macam media pembelajaran yang dapat dimanfaatkan oleh guru bahasa Jawa dalam pembelajarannya yaitu: (1) media visual, yang termasuk di dalamnya seperti buku, modul, jurnal, gambar, poster, dll; (2) media audio, yang termasuk di dalamnya tape recorder, radio, CD player; (3) media audio visual, yang termasuk media ini adalah film, video, program TV, dll; (4) multimedia, yang termasuk dalam media ini adalah macromediaflash. Selain itu, yang termasuk multimedia adalah semua media yang berbasis komputer yang terdiri dari beberapa jenis media yang terintegrasi dalam satu kegiatan, (Asyhar, 2012: 45). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di MTsN Ngemplak, guru
dalam
melaksanakan pembelajarannya dilaksanakan seperti guru pada umumnya, diawali dengan kegiatan awal, kemudian kegiatan inti dan penutup. Kegiatan inti pada
pembelajaran, guru menggunakan media sederhana berupa media visual dan audio. Guru belum menerapkan media pembelajaran dengan audio visual maupun multimedia. Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa dan guru bahasa Jawa diperoleh beberapa poin informasi mengenai pengimplementasian media pembelajaran di MTsN Ngemplak. Berdasarkan informan guru, bahwa guru belum menggunakan media pembelajaran audio visual atau pun multimedia karena: a.
Keterbatasan media pembelajaran di sekolah Tidak tersedianya media di sekolah yang memadai, ini merupakan alasan yang
logis. Akan tetapi seorang guru tidak boleh menyerah begitu saja. Guru merupakan seorang yang profesional sehingga harus kreatif serta memiliki inisiatif. Media tidak selalu harus yang mahal. Guru dapat mengembangkan media pembelajarannya sendiri dengan begitu media yang akan digunakan dalam pembelajaran akan lebih sesuai bila diterapkan. Namun dalam hal ini, sekolah juga harus tanggap untuk tetap berusaha untuk menyediakan media pembelajaran. b.
Sulitnya mendapatkan media pembelajaran. Sulitnya menemukan media sebenarnya tidak sesuai bila dijadikan alasan.
Perkembangan teknologi sudah sangat canggih. Guru dapat dengan mudah mencari media pembelajaran tanpa harus membayar. Banyak media pembelajaran yang tersedia di layanan internet, baik dari hasil penelitian atau pun sengaja dibuat untuk mengembangkan media pembelajaran. Guru dapat menyortir beberapa media yang sesuai dan cocok bila diimplementasikan dalam pembelajarannya. Jika guru mau sedikit lebih repot, guru juga dapat membuat secara mandiri media pembelajaran dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan. Misalnya dengan membuat monopoli aksara Jawa, membuat kartu kalimat, membuat vidio inovatif untuk pembelajaran menyimak,
kartu aksara, dan membuat macromediaflash yang dapat
digunakan sebagai tool and tutor dalam pembelajaran dan masih banyak lagi yang lainnya. c.
Siswa kurang terkondisikan Tidak terkondisikannya siswa ketika pembelajaran menggunakan media menjadi
alasan guru. Kondisi seperti itu memang bisa saja terjadi, terlebih untuk penerapan media pembelajaran yang melibatkan keaktifan siswa secara fisik. Misalnya seperti mencari
pasangan kartu. Siswa memang dituntut untuk aktif mencari pasangan kartu yang dibawanya. Namun dalam pembelajaran guru yang menjadi moderator, pengatur, dan pengendali proses pembelajaran, guru dapat memilah dan memilih media apa yang sesuai diterapkan dalam pembelajarannya. d.
Menggunakan media itu repot Dalam hal ini guru menyatakan bahwa, ketika akan menggunakan media harus ke
lab bahasa, sedangkan lab bahasa terkadang digunakan untuk guru yang lain. Karena di MTsN di setiap kelas belum terdapat LCD. Alasan itu juga bisa menjadi kendala bagi guru dalam mengaplikasikan media pembelajaran. Hal semacam ini dapat disiasati dengan mengatur jadwal pembelajaran dengan guru yang akan menggunakan lab bahasa atau dengan mensiasati menggunakan media lain namun dari segi fungsi dan materi tidak berbeda. Misalnya pada materi menyimak, bila tidak ada LCD di kelas dan lab bahasa pun juga dipakai guru dapat menggunakan speaker walaupun hanya dari segi audio yang dapat digunakan, namun kebergunaannya masih tidak jauh berbeda dengan audio visual.
Simpulan Dari kegiatan penelitian yang dilakukan peneliti, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bahasa Jawa di MTsN Ngemplak telah menggunakan media pembelajaran yang sederhana, namun belum pada penggunaan media yang modern yang dapat berperan sebagai tool and tutor. Pengimplementasian media pembelajaran di MTsN belum maksimal karena terdapat empat hal yaitu: karena keterbatasan media di sekolah, sulitnya mendapatkan media pembelajaran, menggunakan media itu repot, siswa menjadi kurang terkondisikan dalam pembelajaran. Untuk mengatasi alasan tersebut dibutuhkan perubahan sikap dari guru untuk lebih kreatif dan inisiatif dalam mengemas pembelajaran serta menerapkan media pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang lebih baik, serta untuk lebih memanfaatkan teknologi khususnya dalam bidang pembelajaran.
Daftar Pustaka
. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat jendral Departemen Pendidikan nasional. Asyhar, Rayandra. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Anggota IKAPI. Koesnandar, Ade. 2003. Guru dan media Pembelajaran. Jurnal teknodik, Vol VII, No. 13. Musfiqon. 2012. Pengembangan Media & Sumber Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka. Padmanthara, Syaad. 2007. Pembelajaran Berbantu Komputer dan Manfaat Sebagai Media Pembelajaran. Jurnal Teknodik. Vol XI, No. 22. Permasih. 2002. Media Komunikasi Pembelajaran. Jurnal Teknodik Pendidikan. Vol 1, No. 1.
ASPEK INTERTEKSTUAL DALAM SERAT NITIK SULTAN AGUNGDAN BABAD SULTAN AGUNG Yoland Prahastya Fionerita, Kundharu Saddhono, Djoko Sulaksono Pascasarjana Universitas Sebelas Maret email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk membedah Aspek Intertekstual dalam Serat Nitik Sultan Agungan (SNSA) dan Babad Sultan Agung (BSA). SNSA menceritakan tentang sejarah Mataram ketika diperintah oleh Sultan Agung. Isi dalam cerita SeratNitik Sultan Agungan harus selaras dengan babad-babad yang sudah ada sebelumnya, maka dalam penelitian ini akan menggunakan metode hermeneutik dan kajian intertekstual. Serat yang digunakan untuk membandingkan isi dari SNSA yakni BSA. Hasil penelitian ini adalah bahwa cerita yang dalam Serat Nitik Sultan Agung ada sejarah dan dibumbui oleh aspek mitos yang bertujuan untuk memberi legimitasi Sultan Agung sebagai penguasa yang berhasil membawa Mataram pada masa kejayaan.
Kata Kunci: Intertekstual, Serat, Serat Nitik Sultan Agungan
LATAR BELAKANG Serat Nitik Sultan Agungan merupakan salah satu jenis serat babad yang menceritakan kerajaan Mataram ketika diperintah oleh Sultan Agung. Babad merupakan sejarah lokal (Abdullah, 1990: 3), yang di dalamnya mengandung cerita jaman yang berasal dari masyarakat yang ada di salah satu daerah lokal. Makna babad (Alwi dkk, 2000: 82) yaitu 1) cerita yang menggunakan bahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan Madura yang isinya mengenai peristiwa sejarah; cerita sejarah, 2) riwayat, sejarah, tambo, hikayat
Dari cerita babad yang ada, banyak mengedepankan unsur mitos. Mitos kesaktian sangat dominan dalam cerita babad (Supriyanto, 2013: 43). Sehingga diperlukan suatu pendekatan tertentu dalam meneliti babad. Sastra sejarah terbentuk dari dua kata yakni kata sastra dan kata sejarah. Perpaduan dua kata itu memiliki makna ganda dengan pengertian sesuai unsur masing-masing. Produk karya sastra yang disebut sastra karena adanya unsur keindahan dan unsur rekaan. Hasil karya yang disebut sejarah karena terdapat unsur perilaku dan peristiwa yang terjadi dengan data objektif dan dapar dipertanggungjawabkan kebenarannya (Suaka, 2014: 51). Unsur keindahan dan rekaan pada sastra sejarah merupakan tuntutan yang harus dipenuhi dalam karya sastra. Unsur pelaku dan peristiwa pada sastra sejarah merupakan ciri pembeda khusus dari jenis karya-karya sastra yang lain. Dengan demikian, karya sastra sejarah adalah lukisan unsur pelaku sejarah dalam rangkaian cerita yang mengandung unsurunsur peristiwa yang telah atau dianggap terjadi dengan ramuan sastra yang mengandung unsur keindahan dan rekaan (Kamijan, 2007: 89). Dalam kajian tentang sastra sejarah, unsur sejarah itu tampak dalam struktur isi, baik pelaku, yang dirangkai dengan jalinan silsilah maupun kejadian yang diceritakan. Di dalamnya juga dikaitkan dengan gambaran alam pikiran kehidupan kebudayaan, susunan tata pemerintahan, adat istiadat, serta keadaan masyarakatnya. (Kamijan, 2007: 14). Serat Nitik Sultan Agungan (selanjutnya SNSA) merupakan salah satu objek penelitian sastra sejarah. Salah satu koleksi Perpustakaan Museum Radya Pustaka Solo dengan judul Serat Nitik Sultan Agung dengan nomor 923.1 Ser S4. Berdasar katalog Manuscripts of The Radya Pustaka Museum And The Hardjonagara Library, serat ini termasuk dalam jenis babad. SNSA merupakan karya yang ditransliterasi dalam wujud prosa. Serat ini merupakan salah satu karya sastra anonim. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 44
Dalam naskah SNSA tertulis Sultan Agung sebagai tokoh utama dari awal hingga akhir cerita dan tamat ditulis pada tahun 1971. Sedangkan dalam BSA cerita menceritakan tokoh Sultan Agung dengan tokoh-tokoh dan cerita yang lebih kompleks. Penulisan BSA selesai pada tahun 1952. Dari tafsiran tersebut, peneliti berkeyakinan kuat bahwa BSA merupakan hipogram dari SNSA. Maka dalam penelitian ini akan menggunakan teori intertekstual sebagai pisau bedahnya. Perbedaan antara SNSA dengan BSA terutama penambahan unsur mitos yang tidak ada dalam BSA. Namun demikian, penambahan unsur mitos tersebut diduga untuk mendukung tokoh Sultan Agung sebagai tokoh yang benar dan layak sebagai penguasa Kerajaan Mataram. Penelitian sebelumnya, membahas mengenai Rekonstruksi Kerajaan Galuh Abad VIII-XV. Kemudian dalam penelitian ini akan membahas mengenai sejarah dengan mengedepankan pada hubungan intertekstual SNSA dengan BSA (Lubis, 2016).
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini difokuskan pada: 1) Bagaimana wujud hubungan intertekstual Serat Nitik Sultan Agungan dengan Babad Sultan Agung? 2) Apa makna dan fungsi hubungan intertekstual Serat Nitik Sultan Agungan dengan Babad Sultan Agung?
METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan ini dilakukan dengan masuk dalam dunia data yang diteliti, memahami dan terus-menerus mengolah data yang diteliti (Subandiyah, 2010:47). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ialah Serat Nitik Sultan Agungan. Untuk membedah SNSA serta hubungannya dengan BSA, pertama-tama dipergunakan pendekatan deksriptif kualitatif, yaitu pendekatan dengan masuk dalam dunia data yang akan diteliti, mengerti dan terus-menerus mengolah data yang diteliti. Wujud data yang akan diteliti adalah intertekstual, makna dan fungsi hubungan intertekstual SNSA dengan BSA. Kajian isi akan dianalisis dengan menggunakan metode hermeneutik. Hermeneutik ialah proses mencari dan mengumpulkan data, kemudian seluruh data yang terkumpul Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
45
diinterpretasikan sehingga menghasilkan rangkaian fakta yang logis (Lubis, 2016: 2). Penelitian ini juga menggunakan kajian historiografi tradisional. Historiografi tradisional bertujuan mempertinggi kesaktian raja di mata rakyatnya sehingga isi historiografi tradisional meliputi sebagian sejarah dan sebagian lain tidak lebih hanyalah merupakan mitos (Sugihastuti, 2011: 161-162). Bertujuan untuk memberikan legitimasi kepada raja serta bertujuan lain untuk mengurangi kepahitan bagi orang Jawa sebagai bangsa terjajah.
PEMBAHASAN Hubungan Intertekstualitas SNSA dengan BSA Teks merupakan sebuah penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lain. Interteks sendiri tidak dpaat diredusi ke dalam istilah pengaruh dalam dunia sastra/ teks. Dalam tiap-tiap mozaik dalam teks tersebut memiliki fungsi dalam perang yang saling kaitmengait (Susanto, 2012: 233). Dalam seni sastra dimanfaatkan ketegangan antara realitas sejarah dengan rekaan. Fungsinya adalah mempertegas kebenaran dan ketepatan isi cerita seluruhnya dalam rangka membawa message teksnya. Dengan demikian, sastra tidak dapat sepenuhnya dipakai sebagai dokumen sejarah, tetapi hanya sebagai pelengkap, hanya sebagai data tambahan (Sugihastuti, 2011: 168). Kajian intertekstual (Nurgiyantoro, 2013: 76) dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Kajian intertekstual berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yan telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuannya untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Membandingkan naskah dengan cara intertekstual di penelitian ini menggunakan katakata, frase, kalimat, cuplikan, dan buku-buku lainnya yang mengandung nilai sejarah Mataram. Adanya kesamaan tema, gaya, maupun bentuk pada dua karya sastra bisa jadi akibat pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya yang lain, tetapi tidak harus mutlak demikian (Uniati, 2014: 3). Hubungan intertekstual dapat dilihat melalui tokoh, peristiwa, dan latar kejadian (Supriyanto, 2013: 43). Menurut Ratna (dalam Sehandi, 2014: 164) aktivitas intertekstual terjadi melalui dua cara, (1) Membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, dan (2) Hanya membaca sebuah teks, tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
46
dibaca sebelumnya. Hypogram merupakan landasan untuk mencipta karya-karya sastra yang baru, baik dengan cara menerima maupun menolaknya. Teks-teks kesastraan yang dijadikan dasar penulisan bagi teks yang kemudian disebut dengan hipogram. Wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, suatu yang telah bereksistensi, penyimpangan, dan pemberontakan konvensi, suatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks(-teks) sebelumnya (Teeuw dalam Nurgiyantoro, 2013: 78) Penelitian ini dipusatkan kepada sejarah Mataram ketika jaman pemerintahan Sultan Agung, maka dari itu di SNSA diteliti dengan menggunakan kajian intertekstual dengan BSA. Wujud hubungan intertekstual SNSA dengan BSA sebagai berikut: No.
Keterangan
SeratNitik Sultan Agung
BabadSultan Agung
1.
Cerita awal
Silsilah Kerajaan Mataram
Kisah Sultan Agung
dan Kerajaan Pajang
sebagai khilafah Pengeran
2.
Tokoh Juru
Tidak dijelaskan dengan
Juru Taman sebagai
Taman
jelas asal muasalnya
warisan dari nenek moyang Sultan Agung
3.
Senapati
Hanya terdapat Senapati
Banyak senapati yang
Panembahan Purubaya
diceritakan seperti Senapati Wiraguna
4.
Pusaka Palembang Disebut Pusaka Sela
Disebut Kajar Aswat
Purusa Aji 5.
Keterangan tahun
Tidak dijelaskan
Di dalamnya dijelaskan
keterangan tahunnya,
tahun-tahun dengan
hanya disebutkan di akhir
Tahun Dal, dan selesai
teks jika selesai ditulis
ditulis tahun 1952 M
tahun 1971 M Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
47
6.
Tokoh
7.
Buta Kalabethati
Tokoh yang diceritakan
Tokoh yang diceritakan
tidak begitu banyak, hanya
sangat banyak dan
ada sebelas tokoh
dijelaskan dengan jelas
Diceritakan sedang
Tidak dijelaskan di
mengganggu Juru Taman
cerita
ketika akan mengantarkan Sultan Agung ke Kerajaan Banten 8.
Tema
Tema perjalanan
Tema kepemimpinan
9.
Daerah kekuasaan
Berhasil menaklukan
Berhasil menaklukan
Kerajaan Banten dan
kerajaan-kerajaan yang
Kerajaan Palembang
ada di Nusantara
Menjelaskan Sultan Agung
Menjelaskan sampai
yang berhasil membunuh
Sultan Agung menikah
tiga orang misterius dan
dengan Kanjeng Ratu
membuat Kerajaan
Kidul dan bisa
Mataram tentram damai
mengalahkan Kompeni
10.
Akhir cerita
di Betawi
Silsilah Sultan Agung dan hubungan erat dengan keraton Mataram dan kesultanan Pajang terlihat pada awal cerita SNSA. Senada dengan BSA yang menceritakan Sultan Agung ketika menjadi pemimpin di kerajaan Mataram. Ia diceritakan sebagai khilafah pangeran. Kedua serat sama-sama menggambarkan Sultan Agung sebagai tokoh utama. Tokoh Jurutaman merupakan abdi Sultan Agung yang paling setia. Ketika dia berangkat ketika membawa dhampar yang diduduki oleh Sultan Agung, ia bisa melesat seperti angin. Sedangkan dalam BSA Jurutaman merupakan abdi yang diturunkan dari nenek moyang Sultan Agung. Jurutaman dapat menggunakan kesaktiannya untuk memerangi kejahatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa SNSA memiliki hubungan intertekstual dengan BSA. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
48
SNSA menceritakan panembahan Purubaya sebagai senopati tunggal di kerajaan mataram. Sebagai senopati, ia memiliki watak yang baik serta wibawanya yang setia. Selaras dengan naskah sebelumnya, dalam BSA juga menceritakan senopati-senopatinya. Terdapat Patih Singaranu yang membantu kejayaan Mataram. Pusaka yang dianggap keramat yakni Pusaka Sela Purusa Aji. Pusaka tersebut merupakan pusaka keturunan Sultan Palembang ketika Prabu Brawijaya di Majapahit dan diberikan kepada anaknya yang bernama Prabu Dewakaton di Ponorogo, yang selanjutnya diberikan kepada Sultan Palembang. SNSA dan BSA keduanya sama-sama menceritakan pusaka yang dimiliki oleh Sultan Agung. Bedanya terletak pada nama pusaka dalam dua naskah tersebut. Naskah BSA menyebut Pusaka Sela Purusa Adi, sedangkan dalam naskah BSA disebutkan Pusaka Kajar Aswad. Hubungan intertekstual atau hubungan antarteks karya sastra penting untuk diteliti dalam studi sastra, baik dalam bidang kritik maupun sejarah sastra. Hal ini bertujuan untuk memperjelas maknanya sebagai karya sastra untuk memudahkan pemahamannya, baik pemahaman makna teks maupun makna dan posisi kesejarahannya. Makna karya sastra tidak semata-mata ditentukan oleh struktur instrinsiknya saja, melainkan juga ditentukan oleh latar sosial budaya dan kesejarahannya (Pradopo, 1995: 178). Keterangan tahun dalam BSA menggunakan Tahun Dal yakni Tahun Dal 1541, dan jika dihitung sama dengan tahun 1952 Masehi. Sedangkan tahun dalam SNSA tertulis tamat pada tahun 1941 Masehi. Hal tersebut menunjukkan BSA lebih tua daripada SNSA. SNSA menceritakan tokoh Sultan Agung, Sunan Kalijaga, Sunan Tembayat, Imam Syafingi, Panembahan Purboyo, Jurutaman, Buta Kalebethati, Sultan Banten dan Sultan Palembang. Sedangkan dalam BSA mencakup seluruh tokoh dalam SNSA dan tokoh-tokoh lainnya yang lebih banyak. Kerajaan Banten sudah semestinya takluk pada kerajaan Mataram. Keadaan tersebut dapat dilihat dari besarnya daerah kekuasaan daerah Banten yang lebih kecil dari pada kerajaan Mataram. Selain berhasil menaklukkan kerajaan Banten, Sultan Agung juga berhasil menaklukkan kerajaan Palembang dengan bantuan Panembahan Purubaya. BSA juga menceritakan luas kekuasaan Mataram hingga bisa menguasai nusantara. Aspek tradisi yang ada dalam SNSA juga menonjolkan adanya gotong royong antar warga masyarakat Mataram. Masyarakat membiasakan diri untuk melaksanakan gugur Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
49
gunung, kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama. Hal tersebut juga terlihat pada cara yang khas yang dilakukan masyarakat Mataram yakni makan dengan cara muluk. Menyantap makanan tanpa menggunakan sendok (muluk: Jawa) semua orang merasakan menu masakan yang sama sambil bercengkerama secara lepas. Tradisi ini jelas menggambarkan adanya kerukunan dan harmoni diatara warga (Suprapto, 2013: 34).
Makna dan Fungsi Hubungan Intertekstual Karya sastra ditulis mencontoh karya yang sudah ada sebelumnya. Karya sastra adalah karya kreatif, maka karya sastra ditulis tidak semata-mata hanya mencontoh saja, bahkan menyimpangi ciri-ciri dan konvensi-konvensi yang ada dalam batas-batas tertentu. Dalam sejarah sastra selalu ada ketegangan antara konvensi dengan pembaharuan (Teeuw dalam Pradopo, 1995: 178). Penulisan karya SNSA tidak dipungkuri memang mengandung banyak kesamaan dari beberapa aspek yang ada. Dalam hubungannya dengan konvensi, intertekstual menghadirkan tiga kemungkinan fungsi ialah afirmasi, negasi, atau inovasi (Abdullah, 1991: 105). Kemudian Imron (2005: 80) juga menjelaskan bahwa berdasarkan realitas sifat hipogram dapat digolongkan menjadi tiga macam, yakni (1) Negasi, artinya karya sastra yang tercipta kemudian melawan hipogram; (2) Afirmasi, yakni sekedar mengukuhkan, hampir sama dengan hipogram; dan (3) Inovasi, artinya karya sastra yang kemudian memperbarui apa yang ada dalam hipogram. Berdasarkan fungsi hipogram itu sendiri, Babad Sultan Agung merupakan hipogram dari Serat Nitik Sultan Agungan dengan fungsi afirmasi. Hal tersebut nampak dari segi cerita kedua teks. Hubungan interteks kedua teks mirip dengan motif. Sehingga dapat disimpulkan jika kedua teks sama-sama memunculkan tokoh utama Sultan Agung sebagai penguasa tunggal Kerajaan Mataram. Selain itu juga tidak terlihat adanya pertentangan dalam kedua serat, selain pembambahan beberapa unsur mitos yang dalam SNSA.
SIMPULAN Hubungan intertekstual diantaranya SNSA dengan BSA dapat dilihat dari beberapa bagian, yakni peristiwa awal, tokoh Juru Taman, Senapati, Pusaka Palembang, keterangan tahun, tokoh, Buta Kalabethati, tema, daerah kekuasaan, dan akhir cerita. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita BSA merupakan hipogram dari SNSA. Teks Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
50
tersebut memiliki hubungan intertekstualitas dengan fungsi afirmasi. Cerita SNSA memiliki unsur-unsur cerita babad yang menceritakan perjalanan kerajaan Mataram. SNSA dikemas dengan pencampurkan unsur sejarah dan unsur mitos, sehingga dapat dikatakan jika SNSA termasuk dalam salah satu karya sastra sejarah. Bertujuan untuk memberikan legitimasi kepada Sultan Agung sebagai penguasa Mataram serta bertujuan lain untuk mengurangi kepahitan bagi orang Jawa sebagai bangsa terjajah.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Imran T. 1991. “Aspek Intertekstualitas Dalam Cerita Rakyat. Data: Cerita Si Miskin Dengan Raja Bayan”. Humaniora. No. 3/ 1991. Hlm 105. Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Alwi, Hasan dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka Imron, Ali. 2005. “Intertekstual Puisi”. Kajian Linguistik dan Sastra. Vol 17, No. 32/ 2005. Hlm 80. Kamidjan. 2007. Historiografi Pengantar Ilmu Sastra Sejarah. Surabaya: FBS Unesa Langensuka, R. Sungkana. 1980. Babad Sultan Agung (Diindonesiakan oleh Soenarko H. Poespito). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra., Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sehandi, Yohanes. 2014. Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Suaka, I Nyoman. 2014. Analisis Sastra. Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Sugihastuti, 2011. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suprapto. 2013. “Revitalitas Nilai-Nilai Kearifan Lokal Bagi Upaya Resolusi Konflik”. Walisongo. Volume 21, No. 1/ 2013. Hlm 34. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
51
Supriyanto, Teguh. 2013. “Cerita Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja: Upaya Legimitasi Kekuasaan Mataram. Lingua. Volume IX, No. 1/ 2013. Hlm 43. Susanto, 2012. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Buku Seru. Uniawati. 2014. “Pengaruh Cerita Laskar Pelangi Terhadap Negeri Lima Menara: Kajian Intertekstual”. Volume 7, No. 2/ 2014. Hlm 3.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
52
NILAI RELIGIUS DALAM UPACARA TRADISIONAL SUSUK WANGAN DI DESA SETREN KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI Dwi Rahayu Retno Wulan, Suyitno, Mohammad Rohmadi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Pascasarjana UNS
[email protected]
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan latar belakang dan prosesi upacara tradisional Susuk Wangan di desa Setren kecamatan Slogohimo kabupaten Wonogiri dan (2) nilai religius yang terkandung dalam upacara tradisional Susuk Wangan di desa Setren kecamatan Slogohimo kabupaten Wonogiri. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini berupa informan, tempat, peristiwa, aktivitas, dan dokumen. Validitas data dalam penelitian ini berupa triangulasi sumber dan triangulasi metode. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi, dan analisis dokumen. Sedangkan teknik analisis data menggunakan analisis data interaktif. Adapun hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, latar belakang upacara tradisional Susuk Wangan merupakan wujud ungkapan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan prosesi upacara tradisional Susuk Wangan terbagi menjadi dua hari. Kedua, nilai religius yang terkandung dalam upacara tradisional Susuk Wangan adalah adanya hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan alam. Kata kunci: upacara tradisional, susuk wangan, nilai religius.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
53
LATAR BELAKANG Di era globalisasi ini, manusia lebih menyaran pada kenikmatan duniawi dan pemenuhan kebutuhan raga. Hal inilah yang terkadang menyebabkan manusia mengabaikan nilai-nilai religius. Maka dari itu di dalam kurikulum 2013, selain menekankan pada ranah kognitif dan psikomotorik menekankan pula pada ranah afektif, yaitu aspek penilaian sikap, salah satunya adalah sikap spiritual atau religius. Adanya sikap religius tersebut untuk menumbuhkan kembali keimanan dan ketaqwaan siswa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mereka harus ingat bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik-Nya. Oleh sebab itu, penanaman nilai religius penting dilakukan pada semua orang, khususnya siswa sejak sedini mungkin. Penanaman nilai religius dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan mempelajari upacara tradisional. Upacara tradisional merupakan salah satu bentuk realisasi wujud kebudayaan yang berupa suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat atau sering disebut sistem sosial (Koentjaraningrat, 2002: 138). Upacara tradisional, khususnya bagi masyarakat Jawa, merupakan suatu fenomena sosial dalam masyarakat dan berfungsi sebagai pengendali sosial yang dapat dijadikan landasan dalam mengadakan hubungan sosial kemasyarakatan bahkan hubungan dengan lingkungan alam. Upacara tradisional masyarakat Jawa mengandung ajaran normatif yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan lingkungannya untuk mencapai keseimbangan hidup secara kosmologis. Keseimbangan hidup secara kosmologis dapat diartikan dengan terjaganya hubungan yang harmonis antara mikrokosmos dan makrokosmos, yaitu antara manusia dengan Tuhan (Sutiyono, 2013: 41). Masyarakat desa Setren kecamatan Slogohimo kabupaten Wonogiri melaksanakan upacara tradisional Susuk Wangan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena masyarakat desa Setren mendapatkan air yang melimpah sehingga dapat dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari maupun pertanian. Selain itu, upacara tradisional ini juga dijadikan sebagai media penghormatan pada leluhur. Upacara tradisional ini dilaksanakan setiap hari Sabtu Kliwon pada setiap bulan Besar di Objek Wisata Air Terjun Girimanik. Oleh sebab itu, di bawah ini akan dibahas mengenai latar belakang dan prosesi upacara tradisional Susuk Wangan serta nilai religius yang terkandung dalam upacara tradisional tersebut. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
54
RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana latar belakang dan prosesi upacara tradisional Susuk Wangan di desa Setren kecamatan Slogohimo kabupaten Wonogiri? 2. Apa sajakah nilai religius yang terkandung dalam upacara tradisional Susuk Wangan di desa Setren kecamatan Slogohimo kabupaten Wonogiri?
METODE PENELITIAN Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian berada di desa Setren, kecamatan Slogohimo, kabupaten Wonogiri. Sumber data dalam penelitian ini berupa informan, tempat, peristiwa, aktivitas, dan dokumen yang dapat mendukung data penelitian ini. Penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi, dan analisis dokumen. Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi metode. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis interaktif, yaitu (1) data collection, (2) data reduction, (3) data display, dan(4) conclution drawing (Miles & Huberman,1994: 429).
PEMBAHASAN Latar Belakang dan Prosesi Upacara Tradisional Susuk Wangan Menurut Pono Marto Wiyono (23/04/2017) latar belakang adanya upacara tradisional Susuk Wangan berawal dari mimpi atau wangsit yang diperoleh seorang tokoh masyarakat desa Setren. Dalam mimpi tersebut, ia ditemui oleh seorang pria berbaju putih yang konon sampai saat ini diyakini sebagai KGPAA Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said. Raden Mas Said memberitahukan bahwa di dalam hutan Girimanik terdapat sumber mata air. Selain itu, Raden Mas Said juga berpesan agar sumber mata air tersebut dijaga kelestariannya dan jangan sampai rusak. Dari mimpi yang diperoleh itu, tokoh masyarakat yang sering disapa dengan sebutan Mbah Pono mencari kebenaran mimpinya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Mbah Pono akhirnya
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
55
menemukan umbul atau sumber mata air di hutan Girimanik. Umbul atau sumber mata air itu terletak di kawasan Silamuk yang sekarang terkenal dengan nama Umbul Silamuk. Adapun wujud rasa syukur karena telah ditemukan sumber mata air di daerahnya, maka masyarakat desa Setren mengadakan slametan setiap Sabtu Kliwon pada bulan Besar. Penentuan hari tersebut terkait dengan air yang mengalir pertama kali tepat pada hari Sabtu Kliwon pada bulan Besar. Dengan adanya sumber mata air itu, masyarakat desa Setren tidak kekurangan air dalam kehidupan sehari-harinya. Selain itu, pertanian di desa Setren menjadi lebih baik. Hal itulah yang melatarbelakangi adanya upacara tradisional Susuk Wangan. Di dalam masyarakat Jawa, salah satu cara untuk mencapai situasi selaras dan tentram adalah melalui slametan atau sering pula disebut dengan upacara tradisional (Sujarno, 2012: 570). Slametan merupakan suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari semua ritus dan upacara tradisional dalam sistem religi orang Jawa (Koentjaraningrat, 1994: 344). Pada hakikatnya, slametan merupakan upacara keagamaan yang paling umum dilakukan oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa mengenal berbagai bentuk upacara keagamaan, baik yang bersifat individu maupun kemasyarakatan. Upacara tradisional Susuk Wangan merupakan contoh upacara keagamaan yang bersifat kemasyarakatan. Susuk Wangan berasal dari dua kata, yaitu susuk dan wangan. Susuk berarti membersihkan sedangkan wangan berarti aliran air. Secara keseluruhan, susuk wangan dapat diartikan dengan membersihkan saluran air. Masyarakat desa Setren mengadakan upacara Susuk Wangan setahun sekali, yaitu pada bulan Besar, tepatnya hari Sabtu Kliwon di kawasan air terjun Girimanik. Upacara ini merupakan wujud syukur pada Tuhan karena mendapatkan air yang melimpah yang dapat bermanfaat bagi kebutuhan sehari-hari dan pertanian. Selain sebagai upacara slametan, di dalam upacara tradisional tersebut juga terkandung adanya nilai religius yang dapat dipelajari dan dipahami masyarakat, khususnya siswa. Adapun prosesi yang dilakukan dalam upacara tradisional Susuk Wangan dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada Jumat sore dan Sabtu pagi. Pada Jumat sore, masyarakat bersama-sama membersihkan saluran air di desa Setren, membersihkan jalan, dan membersihkan gerbang hutan. Adapun prosesi pada hari Sabtu akan dikemukakan seperti di bawah ini. Arak-arakan ubarampe. Prosesi arak-arakan ubarampe atau peralatan upacara yang dimaksud adalah membawa sesaji berupa jodhang, gunungan, tumpeng, dan panggang ayam Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
56
ingkung menuju tempat diselenggarakannya upacara, yaitu di Pos II Objek Wisata Air Terjun Girimanik. Ubarampe diarak sepanjang jalan menuju tempat diselenggarakannya upacara. Pembukaan. Semua undangan dan masyarakat yang telah hadir berkumpul di tempat upacara tradisional yang ditentukan. Pembawa acara kemudian membuka acara dan membacakan susunan acara yang akan berlangsung pada hari tersebut. Serah terima peralatan upacara ubarampe. Prosesi ini dilakukan oleh Kepala Desa Setren yang menyerahkan arak-arakan ubarampe yang berupa sesaji pada sesepuh atau tokoh masyarakat desa Setren. Setelah itu, sesaji diletakkan di meja besar dan akan didoakan bersama yang dipimpin oleh modin. Sambutan. Acara ini berisi sambutan-sambutan yang dilakukan dalam upacara tradisional Susuk Wangan. Sambutan dilakukan oleh Kepala Desa Setren, Camat Slogohimo, Disbudparpora Kabupaten Wonogiri, dan Bupati Wonogiri. Doa bersama. Prosesi ini dipimpin oleh modin. Di dalam doa tersebut, modin membacakan doa-doa Islam beserta beberapa surat pendek. Penutup. Prosesi ini dimulai dengan pembagian panggang dan tumpeng pada masyarakat yang hadir. Selain dibagikan pada tamu undangan yang hadir, sesaji yang sudah didoakan juga diletakkan di sembilan lokasi yang ada di kawasan hutan Girimanik. Pertunjukan kesenian. Prosesi upacara diakhiri dengan berbagai pertunjukan kesenian. Pertunjukan kesenian yang disajikan yaitu pertunjukan gamelan lesung, campursari, dan kesenian kethek ogleng.
Nilai Religius dalam Upacara Tradisional Susuk Wangan Upacara tradisional Susuk Wangan merupakan tradisi yang erat hubungannya dengan kepercayaan atau agama. Oleh karena itu, tradisi tersebut memiliki nilai-nilai yang erat kaitannya dengan agama atau disebut dengan nilai religius. Religi merupakan kepercayaan atau keyakinan manusia tentang adanya hal gaib (supernatural) yang berada di luar keuasaan manusia yang menguasai seluruh kehidupan manusia (Krisna dan Desti, 2015: 59). Namun selain kepercayaan manusia tentang adanya hal gaib yang menguasai kehidupan manusia, religi juga mengatur adanya hubungan antara manusia dengan sesama serta
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
57
manusia dengan alam. Di bawah ini akan dijelaskan nilai religius yang terkandung dalam upacara tradisional Susuk Wangan. Pertama, nilai religius terlihat dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan dalam upacara tradisional Susuk Wangan. Sebab, latar belakang diadakannya upacara tradisional Susuk Wangan merupakan wujud ungkapan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa. Dahulu di desa Setren wilayahnya sangat tandus, kering kerontang. Namun, atas pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa melalui perantara wangsit yang diterima oleh sesepuh desa, maka sampai saat ini wilayah desa Setren memiliki air yang melimpah dan dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari. Bahkan, pertanian di desa Setren sangat maju dan hasil pertaniannya melimpah. Oleh karena itu, ungkapan Jawa yang menyatakan aja lali karo mula bukane diterapkan dan dijalankan sampai saat ini oleh masyarakat desa Setren. Untuk menunjukkan ungkapan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa sampai saat ini setiap setahun sekali diadakan upacara tradisional Susuk Wangan. Nilai religius yang kedua nampak dalam hubungan antara manusia dengan sesamanya dalam upacara tradisional Susuk Wangan. Hubungan itu melahirkan solidaritas, kerukunan, dan kekompakan dalam menjalankan prosesi upacara tradisional Susuk Wangan. Wujud nyata dari adanya hal tersebut adalah ketika masyarakat saling bahu-membahu demi lancar dan suksesnya upacara tersebut. Apabila dalam pelaksanaan upacara tradisional Susuk Wangan tidak mengindahkan hubungan
antara manusia dengan sesamanya, mustahil
upacara ini dapat berjalan dengan sukses. Sebab solidaritas, kerukunan, maupun kekompakan dalam suatu masyarakat merupakan aspek penting dalam suatu kehidupan. Nilai religius yang ketiga nampak dalam hubungan antara manusia dengan alam. Dalam upacara tradisional Susuk Wangan, sangat jelas bahwa masyarakat desa Setren memiliki kepedulian terhadap alam. Alam merupakan lingkungan hidup manusia yang merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dapat dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga dan memelihara alam supaya tidak rusak. Sehingga, alam akan terus-menerus memberikan apa yang dibutuhkan oleh manusia. Wujud nyata bahwa manusia sangat peduli terhadap alam dalam upacara tradisional Susuk Wangan
adalah saat masyarakat
membersihkan saluran air yang mengaliri desa Setren, membersihkan jalan, dan membersihkan gerbang hutan. Hutan bagi masyarakat Jawa merupakan simbol Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
58
keberlangsungan kehidupan (Effendi, 2011: 165). Salah satu sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat desa Setren dalam menjaga kelestarian alamnya, mereka tidak berani untuk menebang kayu yang ada di hutan Girimanik. Masyarakat desa Setren hanya memanfaatkan hasil hutan seperti encek, daun, brongkol, gelam, tunggak, maupun arang. Dari berbagai nilai religius dalam upacara tradisional Susuk Wangan yang telah dikemukakan di atas, dapat dilihat bahwa nilai-nilai tersebut dapat diajarkan dan dapat ditiru oleh masyarakat, khususnya siswa. Guru dapat memberikan materi mengenai upacara tradisional Susuk Wangan pada para siswa dan menjelaskan nilai religius yang terkandung di dalamnya. Hal ini merupakan salah satu upaya menumbuhkan sikap religius dalam diri siswa seiring dengan kemajuan dan pesatnya teknologi informasi dan komunikasi. Jika di era yang serba canggih ini para siswa memiliki sikap religius berupa keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, solidaritas, kerukunan, kekompakan, serta mencintai dan memelihara alam maka akan membentuk watak dan pribadi yang baik di zaman yang serba modern ini.
SIMPULAN Latar belakang adanya upacara tradisional Susuk Wangan di desa Setren kecamatan Slogohimo kabupaten Wonogiri adalah adanya wujud rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa karena munculnya sumber mata air di desa Setren. Sedangkan prosesi upacara tradisional tersebut terbagi menjadi dua hari, yaitu pada hari Jumat dan Sabtu. Prosesi yang dilakukan pada hari Jumat adalah membersihkan saluran air di desa Setren, membersihkan jalan, dan membersihkan gerbang hutan. Sedangkan prosesi yang dilakukan pada hari Sabtu adalah arak-arakan ubarampe, pembukaan, serah terima peralatan upacara ubarampe, sambutan, doa bersama, penutup, dan pertunjukan kesenian. Adapun nilai religius yang terkandung dalam upacara tradisional Susuk Wangan adalah adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan antara manusia dengan sesamanya, dan hubungan antara manusia dengan alam.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
59
DAFTAR PUSTAKA Effendi, Agus. (2011). Implementasi Kearifan Lingkungan dalam Budaya Masyarakat Adat Kampung Kuta sebagai Sumber Pembelajaran IPS. Edisi Khusus No. 2. ISSN 1412565X. Krisna, Eva & Desti, Fefa Srila. (2015). Religiusitas dan Konsep Pernikahan Suku Bangsa Mandailing pada Upacara Hata Pangupa. Widyaparwa, 43(1), 55-64. Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. _____. (2002). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Miles, Matthew B. & Huberman, A. Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Sujarno. (2012). Tradisi Sedekah Bumi di Punthuk Setumbu Desa Karangrejo Kecamatan Borobudur (Kajian Kearifan Lokal di Kabupaten Magelang). Patrawidya, 13(4), 565582. Sutiyono. (2013). Poros Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
60
RELEVANSI KEENAM CERKAK DALAM ANTOLOGI CERKAK ‘PREMAN’ KARYA TIWIEK SA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JAWA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS Galih Dwi Purboasri, Kundharu Saddhono, Suyitno
[email protected]@
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan relevansi keenam cerita dalam antologi cerkak Preman karya Tiwiek Sadalam pembelajaran bahasa Jawa di Sekolah Menengah Atas. Keenam cerkak ini bisa menjadi materi ajar bagi siswa kelas XII pada materi cerkak. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah kenam cerkak dalam antologi cerkak Preman karya Tiwiek SA. Teknik pengumpulan data dengan teknik kepustakaan dan wawancara. Keenam cerkak dalam antologi cerkak Preman karya Tiwiek SA ini menurut guru dan siswa sangat sesuai jika dijadikan sebagai materi ajar dalam materi cerkak pada kelas XII semester gasal. Hal tersebut dikarenakan dari segi cerita kenam cerkak ini mengandung nilai pendidikan moral, serta unsur-unsur pembangun. Dengan demikian keenam cerkak dalam antologi cerkak Preman ini layak untuk dijadikan materi ajar karena sesuai dengan kompetensi Dasar yang ingin dicapai. Kata Kunci : antologi cerkak Preman, nilai pendidikan moral, pembelajaran bahasa Jawa
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
61
LATAR BELAKANG Karya sastra merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa seorang manusia. Sebuah karya sastra didalamnya selalu memberikan cerminan kehidupan ataupun gambaran kehidupan dari suatu masyarakat. Sehingga karya sastra banyak mengandung nilai-nilai yang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat. Karya sastra terutama karya sastra Jawa merupakan salah satu karya sastra nusantara. Di dalam karya sastra Jawa menekankan pada bagaimana kehidupan manusia Jawa dan dinamika-dinamika yang sering ada didalamnya. Pengarang dalam menciptakan karya sastra tidak bisa terlepas dari masyarakat di sekitarnya. Sehingga dalam suatu karya sastra sering sekali kita lihat jika ceritanya sama dengan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut tidak terlepas dari pengarang yang merefleksikan kehidupan sehari-harinya sehingga bisa dijadikan dalam menjadi suatu cerita. Selain refleksi kehidupan pengarang juga sering menyajikan suatu permasalahan, nilai pendidikan moral serta pembelajaran dalam karyanya, agar para pembaca dapat mengambil suatu pembelajaran ketika membaca karyanya. Proses kreatifitas dan imajinasi pengarang dalam menyajikan karya sastranya tidak serta merta melupakan nilai-nilai serta pesan yang ingin diungkapkan pengarang kepada pembaca. Cerita cekak atau yang lebih sering disebut dengan cerkak merupakan salah satu jenis karya sastra Jawa yang masih sangat memiliki banyak penikmat. Hal tersebut dikarenakan untuk membaca cerkak hanya dibutuhkan waktu yang sebentar dikarenakan halaman dalam cerkak lebih sedikit dibandingkan dalam novel. Cerita dala m cerkak bisa diselesaikan hanya dengan sekali kita membacanya, akan tetapi pesan yang ingin disampaikan pengarang akan tetap tersampaikan. Cerkak sebagai salah satu bentuk karya sastra fiksi Jawa bisa menjadi sarana pembelajaran dalam pendidikan dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Karya sastra khususnya cerkak bisa menjadi penyampai pesan atau nilai-nilai edukatif untuk peserta didik, selain itu dengan suguhan cerita didalamnya membuat peserta didik tidak akan bosan dan akan lebih menarik perhatian untuk dibaca. Hal tersebut juga sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang diajarkan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XII semester I (ganjil) Kompetemsi Dasar (KD) 3.2 Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
62
mengidentifikasi, memahami dan menganalisis karya fiksi dan nonfiksi secara lisan dan tulis. Dalam kompetensi tersebut peserta didik kelas XII diharapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran untuk dapat mengidentifikasi cerkak, memahami, dan menganalisis karya sastra fiksi dan non fiksi secara lisan dan tulis. Indikator pembelajaran yang akan dicapai yaitu: 3.2.1 Mengidentifikasi struktur teks cerita pendek (cerkak); 3.2.2 Menganalisis struktur teks cerita pendek (cerkak); 3.2.3 Menganalisis unsur kebahasaan teks cerita pendek (cerkak); 3.2.4 Membandingkan karakteristik bahasa teks cerita pendek (cerkak) dengan teks sastra lainnya; 3.2.5 Menjelaskan pesan moral teks cerita pendek (cerkak); 3.2.6 Menerjemahkan teks cerita pendek (cerkak) dengan ragam bahasa yang berbeda. Materi pokok yang digunakan dalam pembelajaran mengenai cerkak adalah teks cerita pendek (cerkak), struktur teks cerita pendek (cerkak), karakteristik umum bahasa dalam teks fiksi, perbandingan karakteristik teks cerita pendek (cerkak) dengan teks sastra lainnya, pesan moral teks cerita pendek (cerkak) dan teknik penerjemahan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Menengah Atas dimana pembelajaran bahasa Jawa dengan menggunakan materi ajar keenam cerkak dalam antologi cerkak Preman karya Tiwiek SA. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Data penelitian berupa teks cerkak yang di dalamnya mengandung nilai-nilai pendidikan moral dan hasil wawancara. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas penelitian ini ditujukkan untuk mengidentifikasi serta menjelaskan relevansi keenam cerkak dalam antologi cerkak Preman karya Tiwiek SA dalam pembelajaran bahasa Jawa di Sekoah Menengah Atas. PEMBAHASAN Cerkak merupakan singkatan dari cerita cekak. Cerkak adalah sebutan untuk cerita pendek atau cerpen dalam bahasa Indonesia. Cerita pendek atau cerpen adalah salah satu bentuk karya sastra, lebih tepatnya adalah karya sastra yang berbentuk narasi. Cerpen atau cerita pendek adalah sebuah karya sastra berbentuk naratif yang memiliki tema sederhana Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
63
dan jumlah tokoh yang terbatas. Cerpen memiliki struktur yang padat daripada novel sehingga dengan membaca cerpen saja pembaca akan mudah untuk memahami dan mengerti pesan atau nilai-nilai kehidupan dan jalan cerita yang ada dalam cerpen. Pernyataan tersebut sejalan dengan Kosasih (2012 : 34) yang menyatakan bahwa cerita pendek merupakan cerita yang menurut wujud fiksinya berbentuk pendek. Oleh karena itu cerita pendek sering disebut dengan cerita yang dapat diselesaikan dalam sekali duduk dan sekali baca. Pendapat yang lain juga diungkapkan oleh Nurgiyantoro (2015:12) mengungkapkan sesuai dengan namanya cerpen adalah cerita yang pendek akan tetapi beberapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan diantara para pengarang dan para ahli. Keenam cerkak dalam antologi cerkak Preman karya Tiwiek SA mengandung nilainilai pendidikan moral yang sarat akan makna dan dapat memberikan pandangan tentang baik buruknya suatu perbuatan dalam msayarakat. Berbagai masalah yang terdapat dan solusi yang dipaparkan dalam keenam cerkak ini dapat menjadi sarana pembelajaran bagi seseorang dalam menghadapi permasalahan dalam kehidupan, terutama yang berkaitan dengan sistem stratifikasi sosial yang berlaku dalam masyarakat. Jika hal tersebut dikaitkan dengan mata pelajaran Bahasa Jawa berdasarkan kurikulum 2013, pembelajaran berupa cerkak termasuk dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang diajarkan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XII semester I (ganjil) Kompetemsi Dasar (KD) 3.2 mengidentifikasi, memahami dan menganalisis karya fiksi dan nonfiksi secara lisan dan tulis. Dalam kompetensi tersebut peserta didik kelas XII diharapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran untuk dapat mengidentifikasi cerkak, memahami, dan menganalisis karya sastra fiksi dan non fiksi secara lisan dan tulis. Indikator pembelajaran yang akan dicapai yaitu: 3.2.1 Mengidentifikasi struktur teks cerita pendek (cerkak); 3.2.2 Menganalisis struktur teks cerita pendek (cerkak); 3.2.3 Menganalisis unsur kebahasaan teks cerita pendek (cerkak); 3.2.4 Membandingkan karakteristik bahasa teks cerita pendek (cerkak) dengan teks sastra lainnya; 3.2.5 Menjelaskan pesan moral teks cerita pendek (cerkak); 3.2.6 Menerjemahkan teks cerita pendek (cerkak) dengan ragam bahasa yang berbeda. Materi pokok yang digunakan dalam pembelajaran mengenai cerkak adalah teks cerita pendek (cerkak), struktur teks cerita pendek (cerkak), karakteristik umum bahasa Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
64
dalam teks fiksi, perbandingan karakteristik teks cerita pendek (cerkak) dengan teks sastra lainnya, pesan moral teks cerita pendek (cerkak) dan teknik penerjemahan. Berkaitan dengan kesesuaian keenam cerkak dalam antologi cerkak Preman karya Tiwiek SA terhadap pembelajaran sastra di SMA, peneliti telah mewawancarai narasumber/informan yang memang berkecimpung dalam dunia pendidikan, terutama bahasa dan sastra. Apabila dilihat dari relevansinya sebagai materi pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di SMA. Pembelajaran
sastra
pada
tingkat
SMA
telah
mencapai
pada
tahapan
mengidentifikasi struktur teks cerita pendek (cerkak). Mengidentifikasi unsur dalam hal ini peserta didik diharapkan untuk mampu mengidentifikasi cerkak yang telah disediakan sebagai materi ajar di SMA. Setelah mengidentifikasi teks cerkak, siswa diharapkan mampu menganalisis unsur-unsur yang terdapat dalam cerkak tersebut, tahap selanjutnya siswa diharapkan mampu mengidentifikasi unsur kebahasaan teks cerkak. Tahap selanjutnya peserta didik diharapkan bisa membandingkan bahasa dalam cerkak dan teks cerkak yang lainnya, setelah itu peserta didik diharapkan mampu untuk menjelaskan pesan-pesan moral yang terdapat dalam cerkak tersebut. Dan tahap terakir peserta didik diharapkan mampu menerjemahkan teks cerkak dengan ragam bahasa yang berbeda atau dengan bahasa mereka sendiri. Keenam cerkak dalam antologi cerkak Preman yang berjudul Buwuh, Esuk Tanpa Ocehing Manuk, Gerdhu, Ledhek, Pak Dhe Setu, Tragedhi Gang Pangilun menggambarkan tentang suatu hubungan antara masyarakat yang hidup di suatu lingkungan. Dimana dalam keenam cerkak tersebut digambarkan bagaimana hubungan antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain dan tidak terlepas dengan problem-problem sosial yang terdapat pada kehidupan bermasyarakat. Problem-problem sosial yang terdapat dalam masyarakat tersebut juga tergambarkan oleh bagaimana tokoh-tokoh yang ada dalam setiap cerita mampu melewati serta bagaimana cara mereka dalam menyelesaikannya. Selain menyajikan problem-problem sosial di dalam keenam cerkak ini juga menyajikan nilai pendidikan moral dimana banyak sekali nilai-nilai pendidikan moral yang bisa diambil dan di contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
65
Dalam kaitannya dengan pembelajaran keenam cerkak tersebut bisa menjadi materi ajar dalam pembelajaran cerkak di SMA pada kelas XII hal tersebut dikarenakan di dalam cerkak ini bisa membuat peserta didik mengidentifikasi karya sastra yang sedang dibacanya merupakan karya sastra fiksi atau non fiksi. Setelah memahami karya sastra yang dibacanya peserta didik diminta untuk memahami bagaimana cerita dalam karya sastra tersebut, setelah memahami karya sastra tersebut di analasis atau mencari unsur intrinsik dalam karya sastra tersebut. Dari ketiga kompetensi dasar tersebut cerkak ini sangat bisa dijadikan materi ajar untuk pembelajaran cerkak di SMA untuk kelas XII dikarenakan didalam karya sastra ini peserta didik setelah membaca dan memahami ceritanya bisa menganalisis cerita yang terdapat dalam cerita atau mencari unsur intrinsiknya. Dari keenam cerkak dalam antologi cerkak Preman karya Tiwiek SA ini kaitannya sebagai materi ajar dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di SMA dari hasil wawancara didapatkan, jika keenam cerkak tersebut sesuai untuk materi ajar dalam pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di SMA. Seperti yang dikatakan oleh para irforman dari hasil wawancara bahwa di dalam keenam cerkak ini dapat menjadi materi ajar di SMA karena ceritanya mudah dipahami dan terdapat kata-kata sulit yang akan membuat mereka bertanya dan mencari di kamus sehingga bisa menambah perbendaharaan kata. Sedangkan menurut informan 2 cerita dalam keenam cerkak tersebut bisa dijadikan bahan ajar dikarenakan keenam cerita dalam antologi cerkak Preman ini mampu menjadi alat pengendali kebudayaan pada anak SMA yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa.Menurut informan 3 keenam cerkak tersebut sesuai jika dijadikan materi ajar untuk pembelajaran di SMA dilihat dari segi bahasa dan pesan moral yang ada di dalam cerita. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa keenam cerkak dalam antologi Preman Tiwiek SA dapat dijadikan sebagai materi pelajaran untuk siswa kelas XII di SMA. Hal tersebut dikarenakan keenam cerkak dalam antologi cerkak Preman karya Tiwiek SA mengandung unsur pembangun di dalamnya sehingga sesuai dengan indiator pembelajaran yang akan dicapai yaitu indikator pembelajaran 3.2.2 menganalisis struktur cerita pendek (cerkak). Setelah mampu menganalisis struktur cerkak tersebut siswa bisa menganalisis unsur kebahasaan yang terdapat dalam cerkak dan juga bisa membandingkan karakteristik bahasa dalam cerkak dengan karya sastra yang lain. Seperti halnya jika banyak kata sulit Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
66
siswa bisa mencatat, menanyakan ataupun mencari di kamus sehingga dengan begitu bisa menambah kosakata mereka. Setelah itu siswa bisa membandingkan bahasa yang ada dalam cerkak dan dibandingkan dengan karya sastra lain beda ataukah sama. Hal tersebut sesuai dengan indikator pembelajaran yang akan dicapai yaitu indikator pembelajaran 3.2.3 menganalisis unsur kebahasaan teks cerita pendek (cerkak) dan 3.2.4 membandingkan karakteristik bahasa teks cerita pendek (cerkak) dengan teks sastra lainya. Setelah menganalisis unsur kebahasaan dalam cerkak dan membandingkan bahasa dalam karya sastra yang berbeda siswa mampu menemukan pesan moral yang terdapat dalam cerkak. Hal tersebut sesuai dengan indikator pembelajaran 3.2.5 menjelaskan pesan moral teks cerita pendek (cerkak). Setelah mampu menjelaskan pesan moral yang terdapat dalam cerkak siswa mampu menceritakan cerkak dengan bahasa mereka sendiri sesuai dengan indikator pembelajaran 3.2.6 Menerjemahkan teks cerita pendek (cerkak) dengan ragam bahasa yang berbeda. Dengan demikian Sesuai dengan indikator pembelajaran yang dicapai sehingga bisa membuat guru untuk menggunakan materi ajar cerkak ini dalam pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan jia pembelajaran bahasa Jawa pada tingkat SMA yang telah sampai pada tahap analisis suatu karya sastra sesuai dengan silabus pada KD mengidentifikasi cerkak, memahami, dan menganalisis karya sastra fiksi dan non fiksi secara lisan dan tulis. Dalam cerkak ini siswa bisa melakukan analisis struktural untuk memenuhi indikator pembelajaran tersebut. Dari keenam cerkak tersebut siswa mampu untuk menganalisis unsur-unsur yang terdapat di dalam karya sastra tersebut. Selain itu keenam cerkak ini sangat cocok jika dijadikan materi ajar untuk siswa kelas XII SMA. Selain sebagai materi ajar yang baru yang belum pernah digunakan oleh guru, bisa membuat siswa tahu jika sastra Jawa khususnya Cerkak ini masih sangat banyak dan bisa ditemui dimanapun mereka berada. Eksistensi cerkak berbahasa Jawa masih bisa diperhitungkan dengan masih banyaknya cerkak-cerkak berbahasa Jawa yang ada. Selain itu dengan adanya keenam cerkak ini siswa bisa menambah perbendaharaan kata-kata bahasa Jawanya dengan adanya kata-kata baru yang masih jarang dimengerti artinya, sehingga dengan adanya kata-kata baru tersebut membuat rasa keingin tahuan siswa bertambah untuk Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
67
mencari artinya di dalam kamus sehingga dapat menambah pegetahuannya tentang kata-kata tersebut. dengan adanya keenam cerkak dalam antologi cerkak Preman karya Tiwiek SA ini juga bisa menjadi contoh untuk siswa dalam membuat suatu karya sastra Jawa yaitu cerkak. DAFTAR PUSTAKA Hadikusumo, kunaryo dkk. 1999. Pengantar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press Hamalik, Oemar. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Nurgiyantoro, Burhanudin. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Universitas Gajahmada Panuti Sudjiman. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Universitas Indonesia Tiwiek SA. 2016. Antologi Cerkak Preman. Tulungagung: Paramarta
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
68
KELUARGA SEJAHTERA DALAM BRENANG KEPANG BEGALAN BANYUMASAN Alva Kurniawan, Sahid Teguh Widodo, Kundharu Saddhono Universitas Sebelas Maret E-mail:
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) bentuk upacara tradisional Begalan, (2) makna yang terkandung dalam Brenang Kepang, (3) keluarga sejahtera dalam Brenang Kepang. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik observasi, wawancara (interview), dan mengkaji dokumen dan arsip. Objek penelitian ini adalah upacara tradisional Begalan Banyumasan. Teknik analisis data padapenelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dan interaktif. Upacara tradisional Begalan Banyumasan sebagai salah satu bentuk upacara ritual untuk membuang hal-hal negatif. Dari urutan pelaksanaan, ujaran, dan alat yang dibawa dalam Begalan memiliki makna atau nilai-nilai yang sangat dalam. Oleh karena itu, upacara tradisional begalan banyumas dapat dimasukan dalam 8 fungsi keluarga. Khususnya dalam alat perlengkapan brenang kepang mengandung banyak nilai yang relevan dengan 8 fungsi keluarga sehingga dapat terwujud konsep keluarga sejahtera..
Kata kunci: Keluarga Sejahtera; 8 Fungsi Keluarga; Begalan;
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi”
69
1. LATAR BELAKANG
Banyumas merupakan salah satu wilayah di Jawa Tengah yang memiliki kekhasan bahasa dan budayanya. Kebudayaan tersebut sampai saat ini tumbuh dan berkembang. Beberapa kebudayaan tersebut diantaranya lengger, Aksimudha, Angguk,
Aplang,
Baritan, Bongkel, Buncis, Calung, Ebeg, Begalan, dan kenthongan. Pada awalnya budaya tersebut memiliki fungsi sebagai upacara keagamaan, upacara selamatan, maupun upacara ruwat atau upacara tolak bala. Namun saat ini kebudayaan tersebut berkembang seiring dengan perkembangan zaman (Setiawan, 2015: 9-10). Begalan adalah tradisi yang dilakukan dalam rangkaian upacara perkawinan, di wilayah eks Karesidenan Banyumas tradisi ini dimulai saat calon penganti pria beserta rombongannya memasuki pelataran rumah pengantin wanita. Tradisi ini dilakukan apabila mempelai laki-laki merupakan putra sulung dari sebuah keluarga (Herusatoto, 2008:235). Acara begalan adalah perpaduan antara tari dengan “orasi lisan” sebagai bagian dari upacara perikahan. Yakni saat rombongan pengantin pria masuk ke area pelataran pengantin perempuan (Suwito, 2008:5). Alat-alat yang digunakan adalah peralatan dapur sebagai barang bawaan. Masing-masing barang bawaan terutama alat dapur ini memiliki makna simbolis sesuai dengan falsafat Jawa, khususnya Banyumasan.Peralatan yang menjadi bawaan misalnya: ilir (kipas), ian, cething (bakul), kukusan, saringan ampas, tampah, sorokan, centhong, siwur, irus, kendhi karo wangkring, dan lain-lain. Begalan berisi nasehat-nasehat untuk kedua mempelai pengantin dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Begalan ini sering dibumbui dengan lawakan-lawakan segar yang berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam falsafah masyarakat Banyumas yang dibegal bukan hartanya tetapi bajang sawane (doa restu) orang tua pengantin. Ada dua penari (laki-laki dan saudara laki-laki pancer dari pengantin laki-laki), yang satu bertugas membawa alat-alat dapur yang lain bertugas sebagai pembegal (perampok). Pembegal biasanya membawa pedang kayu. Pakaian pemain cukup sederhana, umumnya mereka mengenakan busana Jawa. Dialog yang disampaikan kedua pemain Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 70
berupa bahasa lambang yang diterjemahkan dari nama-nama jenis barang yang dibawa. Biasanya, setelah pertunjukan, peralatan dapur yang dibawa tersebut diberikan kepada penonton sebagai rebutan (Suwito, 2008:6). Pemain begalan Banyumas ini terdiri dari dua orang. Versi pertama menjelaskan pemain Begalan Banyumasan bernama Ki Surantani dan Ki Suraguna. Ki Suraguna perwakilan mempelai perempuan dan Ki Suratani perwakilan mempelai laki-laki. Versi kedua yaitu bahwa pemain Begalan Banyumasan bernama Ki Sabdaguna dan Ki Reksaguna. Ki Sabdaguna perwakilan dari penganti perempuan dan Ki Reksaguna perwakilan dari mempelai laki-laki (Lestari, 2013: 161). Upacara tradisi Begalan dapat dikatakan sebagai tradisi yang unik dalam pernikahan. Begalan yang artinya merampok bisa terdapat dalam pernikahan. Tradisi unik yang hampir mirip adalah I Serahen Ku Guru dalam upacara perkawinan Ngerje (Selian, 2007), tradisi ini merupakan tradisi pemberian nasehat yang dilakukan oleh tengku guru atau petua. Isi wajangan biasanya berisi pokok-pokok keimanan dan tanggung jawab suami istri. Selain itu juga berisi wejangan keluarga dalam bermasyarakat disertai contoh-contoh dan pepatah Gayo. Perbedaan dengan Begalan adalah pada waktu pelaksanaan dan cara penyampaian wejangan, Begalan memberikan wejangan dengan menjelaskan simbol perabot rumah tangga. Adapula Seni Pertunjukan tari Silat Pangean dalam upacara pernikahan adat melayu. Tari Silat Pangean dilakukan pada saat mempelai laki-laki memasuki halaman rumah mempelai perempuan. Tari ini dilakukakan oleh laki-laki dengan bentuk sendiri dan berpasangan. Gerakan tari ini hampir mirip dengan gerakan pencak silat. Salah satu tujuan dalam kesenian ini adalah penghormatan terhadap mempelai dan tamu undangan (Mariza, 2014). Dari ketiga penjelasan tentu memiliki perbedaan dengan upacara tradisi Begalan. Dari segi bentuk pertunjukan, peralatan yang digunakan, dan waktu pelaksanaan. Tradisi begalan mempunyai kelengkapan dalam peralatan yang digunakan dan sangat detail dalam proses pelaksanaannya. Bahkan dalam peyampaian pesan kepada mempelai maupun masyarakat yang menonton menggunakan simbol piranti peralatan dapur. Dalam
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 71
bentuknya pun sangat unik dengan konsep Begal (Perampokan) dengan memperagakan seperti adegan perampokan. Dalam tradisi Begalan Banyumas setidaknya ada tiga makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna tekstual, makna kontekstual, dan makna simbolik. Makna tekstual dalam ritual begalan berupa bekal kepada pengantin tentang dunia rumah tangga. Sedangkan makna
kontekstual begalan adalah permohonan keselamatan di dunia
terhadap kehidupan pengantin berdua dalam mengarungi kehidupan. Permohonan keselamatan ini seperti diwujudkan dalam bubak kawah atau brenong kepang. Adapun makna simbolik yang terkandung di dalam begalan berkaitan dengan makna filosofi yang tertera di dalam properti sajian berupa brenong kepang (Yusmanto, 2015) Selayaknya tanda-tanda di dalam upacara Begalan Banyumasan, alat perlengkapan brenang kepang juga mengandung nilai pendidikan karakter. Tujuan pendidikankarakter menurut Suhartono(2008: 103)adalah meningkatkan mutupenyelenggaraandanhasil pendidikandisekolahyang
mengarahkepadapencapaian,
pembentukan
karaktersertaakhlakmuliapesertadidiksecara utuh,terpadu, danseimbang sesuai standar kompetensi lulusan. Konsepnilai-nilaipembentukankarakter sangatberagam.Nilai pembentuk karakter yang cukup lengkap dikemukakan oleh Pusat KurikulummengenaiPengembangan danPendidikan
BudayadanKarakter
PilarnilaikaraktermenurutPusatKurikulum,Balitbang sebanyakdelapan
belas
item
nilai
yang
Bangsa. Diknas,
dirumuskan
harusdikembangkanuntukmembentuk
karakteranakdidikdi Indonesia (Wibowo, 2013: 15-16). Dalam era global saat ini kualitas keluarga saat ini sudah terabaikan dan sudah tidak dipedulikan akan eksistensinya sebagai lingkungan awal proses peanusiaan. Padahal keluarga yang merupakan unit terkecil dari masyarakat merupakan tempat pembetukan watak dan pendidikan karakter anggota keluarganya khususnya anak sebagai penerus generasi bangsa. Ada tiga lingkungan yang membentuk karakter manusia; keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya saling mempengaruhi, akan tetapi pendidikan keluarga dominan dalam pengaruhnya.(Atabik, 2014:312) Keluarga juga tempat berlabuhnya semua persoalan sosial di masyarakat. Teradapat 8 fungsi keluarga, apabila kedelapan fungsi ini terpenuhi akan terciptanya keluarga sejahtera sesuai dengan UU No. 52 Tahun 2009. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 72
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Jenis penelitiannya yaitu kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik observasi, wawancara (interview), dan mengkaji dokumen dan arsip (content analysis).Teknik analisis data padapenelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dan interaktif, yaitu analisisdatayangmemfokuskan padapenunjukkan makna, deskripsi, dan penempatan data pada konteksnya masing-masing(Sutopo, 2006: 107).
3. PEMBAHASAN Keluarga Sejahtera Menurut UU No. 52 Tahun 2009 keluarga sejahtera adalah keluarga yag dibentuk berdasaarkan atas perkawinan yang sah, mampu mempenuhi kebutuhan hidup spiritual, dan materiil yang layak, bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Secara operasional, keluarga sejahtera adalah keluarga yang dapat melaksanakan 8 fungsi keluarga (Kulonprogokab.go.id). Fungsi keluarga menurut Undang- PP No. 21 Tahun 1994 ada delapan yaitu fungsi keagamaan, fungsi budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi ekonomi, dan fungsi pelestarian lingkungan. Jika fungsi-fungsi tersebut salah satu atau sebagian tidak terlaksana maka akan menyebabkan tidak utuhnya keluarga. apabila terdapat kekurangan dalam penerapan fungsi lingkungan dan pendidikan seks dan pemahamannya berakibat penyalahgunaan narkoba, hingga HIV dan AIDS (Rahmawati, 2014:56-57). Brenang kepang yang berkembang di masyarakat terbagi menjadi 2 jenis. Jenis brenang kepangtersebut yaitu brenang kepang kuno dan brenang kepang modern. Brenang kepang kuno merupakan brenang kepang yang berisi alat-alat dapur umumnya berjumlah 12 alat dapur atau lebih dan semuanya terbuat dari bahan-bahan alami. Peralatan yang ada di dalam brenang kepang kuno, antara lain ian, ilir, embatan, kukusan, ciri muthu, cething, centhong, tampah, siwur, irus, kendhil pratala, kekeb, sorok, sapu lidi, dan padi.Bentuk brenang kepang yang berkembang di masyarakat Banyumas sebagian besar menggunakan brenang kepang kuno. Brenang kepang modern/kontemporer yaitu bentuk brenang kepang yang terdiri dari alat-alat dapur,
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 73
namun beberapa alatnya sudah tidak alami dan terdapat penggantian beberapa alat serta tidak mengurangi fungsinya. Upacara tradisional Begalan Banyumasan sebagai salah satu bentuk upacara ritual untuk membuang sukerta (hal-hal negatif) untuk pengantin. Hal ini dilakukan melalui pemaparan makna-makna yang disampaikan melalui penyimbolan alat perlengkapan brenang kepang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sunarto (2013: 70-78) yang berjudul Leather Puppet in Javanese Ritual Ceremony. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pementasan wayang kulit dapat dijadikan sebagai sarana ritual untuk membuang hal-hal negatif (larung sukerta) bagi seseorang.
Makna Brenang kepang dalam Upacara Tradisional Begalan Banyumasan Berbagai alat perlengkapan yang terdapat di brenang kepang mengandung makna, pitutur, dan pitudhuh kepada calon pengantin yang akan membangun rumah tangga, dan kepada para penonton yang menyaksikan upacara tersebut. Ian merupakan alat dapur berbentuk persegi dan digunakan sebagai alas untuk mendinginkan nasi (angi). Ian terbuat dari anyaman bambu dan dijepit pada keempat sisinya, bentuknya lebih besar daripada ilir. Makna secara umum yaitu sebagai manusia hidup, khususnya kepada pengantin untuk hidup guyub rukun dalam kehidupan berumah tangga (mikro kosmos),selain itu harus bekerja mencukupi segala kebutuhan supaya bisa tentram namun tanpa meninggalkan hubungannya dengan Tuhan (eling). Ilir merupakan alat dapur berupa kipas untuk mendinginkan nasi (angi). Ilir terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk bujur sangkar dan ukurannya lebih kecil daripada iyan. Makna yang digambarkan ilir adalah sebagai manusia hidup di dalam kehidupan berumah tangga,tidak boleh seenaknya sendiri dan mementingkan sifat egois, sebab bisa menambah masalah lebih besar dalam kehidupan berkeluarga. Pikulan/wangkringterbuat dari jenis bambu tali dan digunakan untuk membawa sesuatu yang berat dengan cara dipikul. Nilai yang dapat diambil dari alat dapur embatan yaitu gotong royong dan musyawarah dalam menghadapi suatu permasalahan dalam keluarga.Tidak membedakan antar umat beragama dan saling menghormati. Kukusan memiliki makna bahwa manusia hidup berumah tangga harus mengubah pola pikir yang dahulunya mentah menjadi matang. Hal ini sesuai dengan fungsi kukusan yaitu mengubah beras (mentah) menjadi nasi (matang). Dasar tersebut yang dijadikan
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 74
pedoman, bahwa setiap manusia yang menikah harus berpikir lebih dewasa karena ia sudah memasuki tahapan yang lebih tinggi yaitu hidup berumah tangga. Ciri dan muthu merupakan alat dapur yang digunakan sebagai alat menghaluskan bumbu-bumbu dapur. Alat ini juga sebagai penyimbolan lingga dan yoni, keduanya tidak dapat dipisahkan dan selalu menyatu untuk mendapatkan bumbu masakan dan citarasa yang nikmat (Chusmeru, 2011: 6). Makna yang digambarkan saling mengsisi dan saling tolong menolong. Cething merupakan alat dapur yang digunakan sebagai tempat nasi (bakul nasi).Maksudnya seorang suami ataupun istri harus bekerja untuk mengisi wadah tersebut, kemudian memasukkan sebanyak-banyaknya dan menggunakan dengan baik. selain itu, memiliki makna bahwa manusia yang hidup dalam wadah yang di dalamnya terdapat aturan-aturan tertentu. oleh karenanya manusia tidak boleh asal bertindak karena akan dimintai pertanggungjawabannya. Tampah merupakan alat yang digunakan untuk memilih beras yang bagus dan buruk. Maknanya yaitu sebagai manusia hal yang baik dijadikan sebagai patokan kemudian menghindari hal-hal yang buruk. Tampah dari kerata basa yaitu ditata men ra wutah, pelajaran ini bagi seorang suami harus bisa menata dan mengatur keluarganya. Hal ini disebabkan seorang suami sebagai pemimpin yang bertanggung jawab mengatur kehidupan keluarganya. Siwur merupakan alat dapur digunakan untuk mengambil air yang terbuat dari tempurung kelapa serta diberi tangkai sebagai pegangannya. Terdapat beberapa nama lain dari siwur, yaitu cidhuk/gayung. Siwur memiliki arti nek wis isi aja diawurawur.Begitupun seorang hidup dalam rumah tangga harus menggunakan segala sesuatu sesuai dengan takaran dan tidak boleh di awur-awur (hambur-hamburkan). Secara implisit makna yang disampaikan melalui bentuk siwur yaitu hemat. Maksud dari kendhil pratala dan isinya yaitu sebagai seorang yang sudah berumah tangga harus berupaya dan bekerja untuk memperoleh rejeki dan makanan yang dilambangkan uang logam dan beras. Manusia dituntut bekerja dan mencari rejeki sebanyak-banyaknya,nanti dikumpulkan/ditabung serta tidak menghamburkannya. Selain itu, kendhil terbuat dari tanah merupakan simbol kelak manusia besok akan menjadi tanah (dimakamkan). Hal tersebut merupakan pertanda agar kita senantiasa selalu menjalan kan syariat sang pencipta.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 75
Sorok merupakan alat dapur yang digunakan untuk mengambil sesuatu yang telah digoreng supaya dingin. Sorok bisa ditafsirkan aja seneng carak-corok. Maksudnya sebagai manusia tidak boleh menaruh iri dan mencela kepada orang lain. Sapu lidi memiliki makna guyub rukun dalam suatu hubungan berumah tangga. Sapu lidi menyimbolkan bahwa hidup berumah tangga harus bersatu dan tidak boleh berdiri sendiri-sendiri. Nilai yang disampaikan melalui sapu lidi adalah kebersamaan, persatuan dan kesatuan (guyub rukun) dalam membina kehidupan rumah tangga. Pari/padi merupakan bagian dari tanaman palawija yang biasa disimbolkan sebagai Dewi Sri, Dewi Kesuburan, dan Dewi Kemakmuran. Filosofi padi dapat disimpulkan bahwa seorang manusia harus berusaha, bekerja dan menuntut ilmu ketika muda dan tetap rendah hati serta tidak sombong ketika sudah tua.
Konsep Keluarga Sejahtera Dalam Brenang Kepang Pertama, fungsi keagamaan. Brenang Kepang atau alat-alat yang termasuk dalam fungsi ini adalah (1) ian, yang memiliki arti selalu ingat kepada Tuhan YME, sifat luas hati (berbuat baik terhadap sesama). (2) Kendhil berarti dari tanah dan kembali tanah, mengingatkan tentang kematian. (3) Siwur berarti menerima ketetapan Tuhan dengan ikhlas. Kedua, fungsi sosial budaya. Alat-alat yang mejadi simbol fungsi ini yaitu (1) Tampah, memiliki arti menata keluarga dengan memilih hal-hal baik dengan memberi contoh. (2) Sapu lidi, satu keluarga memiliki sifat gotong royong, saling membantu antar anggota keluarga. Ketiga, fungsi cinta kasih. Berikut ini alat-alat yang memiliki fungsi cinta kasih yaitu (1) Ilir, memiliki arti tidak egois, saling memberi. (2) kukusan, saling memberi masukan agar menjadi lebih baik. (3) pikulan, saling menghormati antar anggota keluarga. Keempat, fungsi perlindungan. Alat-alat yang termasuk dalam fungsi ini adalah (1) ciri-munthu, memilikikemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan baik. (2) Sapulidi, keluarga menjadi satu agar menjadi kuat dan tidak mudah terpengaruh hal negatif dari luar. (3) pikulan, satu keluarga saling merasakan satu sama lain, jika salah satu sakit, yang lain ikut merakasan agar masalah yang dipikul menjadi lebih ringan.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 76
Kelima, fungsi reproduksi. Alat-alat yang termasuk dalam fungsi reproduksi adalah (1) ciri-muthu, alat ini merupakan simbol laki-laki dan perempuan, saling mengasihi dan tidak dapat dipisahkan. (2) Pari, merupakan simbol kesuburan, seling menjaga kesehatan. Apabila belum dikaruniani anak untuk tidak berputus asa. Keenam, fungsi sosialisasi dan pendidikan. Alat-alat dalam fungsi ini yaitu (1) Tampah, keluarga dapat memilih hal yang baik dan menjauhi hal buruk, memiliih pendidikan yang baik untuk anak-anak. (2) kukusan, berarti dahulu sebelum menikah masih memiliki sifat kekanak-kanakan, akan tetapi setelah menikah menjadi dewasa. (3) Pari, orangtua dan anak-anak selalu menuntut ilmu hingga akhir hayat, saling berbagi, dan jika sudah pintar tidak sombong. Ketujuh, fungsi ekonomi. Alat-alat begalan yang sesuai dengan fungsi ekonomi yaitu (1) Siwur, memiliki arti istri dalam mengelola ekonomi keluarga harus berhemat, tidak boleh asal-asalan dalam berbelanja, harus penuh perhitungan. Suami sebagai pencari nafkah tidak boleh pelit terhadap istri, harus terbuka mengenai penghasilan yang didapat. (2) Pari, memiliki arti suami dalam mencari nafkah harus bersemangat, apabila istri ingin membantu ekonomi keluarga agar tidak melupakan tugas rumah tangga. Kedelapan, fungsi pelestarian lingkungan. Peralatan yang sesuai dengan fungsi ini adalah (1) Sapu lidi, memiliki arti sesama manusia harus saling bantu membantu, apabila ada tetangga yang kesusahan kita bantu sekuat tenaga. (2) Pikulan, tidak boleh memilih-milih tetangga untuk menjadi teman, kita harus rukun antar tetangga, tidak boleh bersikap seenaknya. Pelaksanaan tradisi Begalan secara keseluruhan merupakan aktifitas yang menjurus ke dalam penjelasan mengenai nilai-nilai. Berdasarkan deskripsi alat-alat dapur dan maknamakna yang terkandung yang telah disebutkan di atas, tentunya dapat diaplikasikan kedalam
kehidupan sehari-hari. Brenang kepangmengandung makna,
pitutur, dan pitudhuh kepada calon pengantin yang akan membangun rumah tangga sehigga tercipta keluarga sejahtera.
4. SIMPULAN Tradisi Begalan Banyumasan memiliki peran yang cukup penting.Dari urutan pelaksanaan, ujaran, dan alat yang dibawa dalam Begalan memiliki nilai-nilai yang sangat bagus. Khususnya dalam alat perlengkapan brenang kepang mengandung banyak
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 77
nilai yang mendukung 8 fungsi Keluarga. Hal tersebut tentu sangat baik untuk mewujudkan keluarga sejahtera. Melalui kegiatan ini, tentu membantu program pemerintah dalam penuntasan masalah sosial karena fungsi keluarga tidak berjalan dengan baik. Semoga dengan usaha yang terus menerus, melalui pengenalan 8 fungsi keluarga, keluarga sejahtera dapat terwujud bagi keluarga-keluarga Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Atabik, Ahmad dan Mudhiiah, Khoridatul. 2014. Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam. Jurnal Pemikiran Hukum & hukum Islam, Vol. 5, No. 2, Desember 2014 hal. 286-316 Herusatoto, B. 2008. Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara. Mariza, Dina. 2014. Keberadaan Tari Silat Pangean Dalam Upacara Pernikahan Adat Melayu di Desa Pangkalan Panduk Kecamatan Kerumutan Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau. Yogyakarta: UNY. Kulonprogokab.go.id/v21/files/artikel-menghidupkan-8-fungsi-keluarga-menujukeluarga-sejahtera. Diakses 28 April 2017 Lestari, P. 2013. Makna Simbolik Seni Begalan bagi Pendidikan Etika Masyarakat. Harmonia. Vol. 13. No. 2 pp 157-167. Rahmawati, Indra, Purnomo, dan Nur Latif. Strategi Penguatan 8 fungsi Keluarga dalam Pencegahan TRIAD KRR (seksualitas, Npaza, HIV & AIDS) di Kota Pekalongan. Jurnal Pena mdika, ISSN : 2086-843X Vol. 6. No. 1, Juni 2016: 46-57 Selian, Rida s, 2007. Analisis Semiotik: Upacara Perkawinan “Ngerje” Kajian Estetika Tradisional Suku Gayo di Dataran Tinggi Gayo Kabupaten Aceh Tengah. Semarang: UNNES. Setiawan, Andi Tri Fitroh. 2015.Alih Fungsi Tradisi Begalan dalam Adat Perkawinan Banyumas (Studi Tentang Eksistensi Tradisi Begalan dalam Masyarakat Banyumas). Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo. Vol. / 06 / No. 04 / April 2015 Hal 9-17
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 78
Sunarto. 2013. Leather Puppet inJavaneseRitual Ceremony. Journal of Arts, Sciences & Commerce. Vol IV. Pp 70-78. Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Suwito NS. 2008. Islam dalam Tradisi Begalan. Purwokerto: Stain Press. Wibowo, A. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yusmanto, 2015. Begalan, Tutur Sepuh yang Nyaris Terlupakan. Makalah disampaikan pada acara Sosialisasi dan Penayangan Film Dokumenter di Kabupaten Banyumas, Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta, Purwokerto, pada tanggal 9 Juni 2015.
UU No. 52 Tahun 2009 PP No. 21 Tahun 1994
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 79
PERWUJUDAN NILAI TOLERANSI LAGU DOLANAN JAMURAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL Dewi Pramestuti, Sumarwati, Kundharu Saddhono Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Email:
[email protected] Abstrak Nilai toleransi sebagai perwujudan nilai-nilai tradisional dalam budaya Jawa terwujud melalui produk budaya Jawa, lagu dolanan Jamuran. Pada masyarakat multikultural, ajaran tentang nilai-nilai tradisional, utamanya nilai toleransi sangat penting dimiliki sebagai pedoman untuk bersikap dan berperilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ajaran adiluhung sebagai warisan budaya ini sangat relevan dengan kondisi zaman teknologi informasi seperti sekarang. Hal itu disebabkan keberagaman budaya dapat menjadi potensi kekayaan, sekaligus rentan menjadi pemecah persatuan bangsa. Oleh karena itu, penting sekali menanamkan dan mengembangkan budaya toleransi di antara sesama sebagai manusia Indonesia yang tinggal di negara multikultural sejak usia dini melalui pengajaran budaya. Kata Kunci : Nilai toleransi, lagu dolanan Jamuran, Masyarakat multikultural
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 80
Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi dan arus globalisasi, nilai-nilai budaya lokal bangsa mulai ikut tergerus keberadaannya. Pertemuan nilai-nilai budaya baru dengan budaya lama saling mendominasi dan berpengaruh pada pandangan hidup, filsafat, dan keyakinan budaya lokal (Suwardani, 2015: 248). Negara Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang mengandung kearifan lokal dan berpotensi sebagai negara dengan kekayaan tradisional. Menurut Wicaksono (2016:39-40), Indonesia memiliki keragaman agama, kepercayaan, suku, jumlah dan persebaran pulau, bahasa dan sejumlah keragaman lain. Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya mengajari masyarakat Indonesia yang multikultural untuk hidup rukun satu dengan lainnya dengan memegang nilai-nilai toleransi. Era globalisasi membuat kehidupan bermasyarakat mengalami perubahan. Masuknya nilai-nilai budaya dari luar sudah menjadi ancaman bagi nilai-nilai lokal yang mengajari masyarakat multikultural hidup bertoleransi. Masalah besar yang terjadi di Indonesia adalah mulai hilangnya budaya konvensional yang bertentangan dengan nilainilai Pancasila, ajaran agama yang dianut, serta nilai-nilai adat (Siva, 2013: 8). Lebih lanjut dinyatakan bahwa nilai tradisional tidak mampu bersaing dengan budaya modern, utamanya bentuk pergaulan masyarakat (Siva, 2013:9). Nilai-nilai dalam budaya konvesional seperti keramahtamahan, toleransi, sopan santun, dan sikap individualistik semakin terkikis sebagai dampak perkembangan teknologi. Berkaitan dengan bangsa yang multikultural, keanekaragaman budaya tidak hanya menjadi keunikan tersendiri, akan tetapi dapat memicu berbagai persoalan dan berpotensi konflik yang berujung pada perpecahan (Lestari, 2015: 31). Oleh karena itu, keberagaman harus disikapi dengan bijaksana. Pentingnya menanamkan nilai-nilai tradisional yang mengandung ajaran adiluhung harus dilakukan sejak usia dini. Salah satunya melalui pengajaran budaya yaitu lagu-lagu dolanan Jawa. Lagu dolanan Jawa dapat disebut sebagai lagu rakyat yang berasal dari masyarakat Jawa, dan dinyanyikan oleh masyarakat Jawa sejak zaman dahulu dengan bahasa Jawa. Lagu-lagu rakyat ialah segala jenis lagu, baik vokal maupun instrumental yang diciptakan, dimainkan, dinyanyikan serta dipelihara oleh rakyat sebagai pernyataan rasa suka, duka, haru, sanjungan, pujian yang bersumber pada hidup Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 81
suatu kehidupan rakyat sehari-hari (Supanto, dkk. 1981-1982:27). Di dalam lagu dolanan tersebut terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang dipercaya sebagai warisan ajaran lelahur. Lagu dolanan Jamuran merupakan salah satu laguyang dinyanyikan dengan bentuk permainan yaitu dolanan Jamuran. Menurut Supanto, dkk. (1981-1982: 68) permainan rakyat atau dolanan anak ialah suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh manusia untuk kepentingan pembinaan jasmani dan sikap mental.. Kegiatan dolanan anak dapat dilaksanakan secara bersama dengan teman lain. Wang (2015: 5) menyatakan bahwa permainan lagu tradisional merupakan bagian penting bagi anak untuk mengekplorasi dan membina kebersamaan yang bernilai dengan teman lain. Dolanan anakJamuran diiringi dengan lagu dolanan Jamuran membina ketrampilan dan sikap dalam pergaulan sosial yang lebih luas pada masyarakat multikultultural. Mengamati
keterkaitan
nilai
toleransi
dengan
kehidupan
masyarakat
multikultural sudah seharusnya sebagai masyarakat Jawa khususnya, melandaskan pandangan dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan ajaran nilai-nilai tradisional utamanya nilai toleransi untuk menuju pembangunan nasional sebangai bangsa yang berbhineka pada era teknologi informatika. Penanaman dan pembinaan sikap toleransi harus diajarkan sejak usia dini yaitu usia sekolah. Melalui bidang pendidikan inilah, maka proses penanaman nilai-nilai tradisional yang terkandung di dalam lagu dolanan Jamuran kepada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa dapat dilakukan sebagai proses belajar sepanjang hayat dan berkesinambungan di negara multikultural. Rumusan Masalah Berdasar uraian di atas, penulis mengkaji satu tema dengan rumusan masalah Bagaimana perwujudan nilai toleransi Lagu Dolanan Jamuran dalam kehidupan masyarakat multikultural? Metode Penelitian Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode deskriptif analitik untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta, kemudian dilanjutkan menganalisis fakta-fakta yang ditemukan (Ratna, 2004: 53). Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 82
yaitu menggunakan teknik pustaka dan teknik catat. Instrumen penelitian ini adalahpeneliti sendiri (human instrument) dan nota pencatat data. Data dianalisis dengan analisis wacana kritis dan pendekatan hermeneutika. Pendekatan hermeneutik dipilih untuk memahami karya sastra dalam bentuk lagu dolanan ini karena lagu dolanan tidak hanya dimaknai sebagai simbol, akan tetapi memandangnya sebagai teks yang memerlukan penafsiran. Sebagai pendekatan penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran yaitu teks, konteks, dan melakukan upaya kontekstualitas (Rahmat, 2017: 77). Sumber data ada tiga yaitu: primer, skunder, dan penunjang. Adapun data primer penelitian ini berupa data kepustakaan yang membahas Lagu Dolanan Jamuran, antara lain: Tembang Jawi (2003) dan Folkflore Daerah Istimewa Yogyakarta dan Prov. Jawa Tengah (1981-1982), Lelagon Dolanan Anak (1995). Adapun dokumen sekunder dan penunjang berupa dokumen-dokumen kepustaakaan atau hasil unduh dari internet yang mendukung kajian nilai toleransi dalam Lagu Dolanan Jamuran.
Pembahasan Lagu dolanan disebut juga lelagon. Lagu dolanan disusun secara bebas yang berarti tidak terikat oleh aturan-aturan (guru gatra, guru wilangan, guru lagu). (Darsono dan Wiyati, 2003: 11). Masyarakat Jawa memiliki banyak lagu dolanan yang dinyanyikan oleh anak-anak sambil bermain-main dengan kawan-kawannya. Bermain dengan teman sebaya tentu membuat anak belajar membangun hubungan sosial dengan anak lain (Herawati, 2015: 14). Hubungan sosial antaranak harus selalu dibina supaya anak terbiasa bersikap toleransi. Sebagai penerus bangsa yang multikultural, maka anak Indonesia harus memiliki bekal untuk membangun bangsa yang plural dan heterogen. Manusia diciptakan Tuhan dalam keanekaragaman kebudayaan secara alami (Adib, 2015: 126). Oleh
karena
itu,
pembangunan
manusia
Indonesia
harus
didasarkan
atas
multikulturalisme yang ada yaitu dengan menggali kearifan lokal budaya yang dimiliki. Kearifan lokal yang berwujud lagu dolanan Jamuran tepat diajarkan kepada anak-anak sejak usia sekolah. Piaget mengatakan bahwa pada usia anak sekolah yaitu 714 tahun, anak sudah mulai menghubungkan seluruh pengetahuan dan nilai-nilai yang ia peroleh dari rumah dengan realita di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itulah, belajar
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 83
ketrampilan pada masa ini sangat menentukan pengetahuan yang akan diserap peserta didik sepanjang hayat (Bangsawan, 2006: 62). Di dalam lagu dolanan Jamuran diajarkan dengan sebuah permainan anak yang juga bernama Jamuran. Kegiatan belajar menyanyikan lagu dolanan Jamuran disertai dengan bentuk permainan tentu menjadi sarana yang menyenangkan bagi anak (Hidayat, 2014: 1060). Perjalanan lagu dolanan Jamuran amat panjang yaitu sejak zaman dahulu sehingga penciptanya dianggap anonim. Kelestarian lagu dolanan Jamuran masih tetap terjaga oleh masyarakat Jawa yaitu dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi. Lagu dolanan Jamuran disajikan dalam berbagai syair dengan bentuk permainan yang sama namun dikemas secara berbeda. Syair-syair di dalam lagu dolanan ini disesuaikan dengan alam pikiran dan imajinasi anak-anak (Supanto, dkk., 1981-1982: 27). Oleh karena itulah, lagu dolanan Jamuran ini tepat diajarkan kepada anak-anak. Jamuran merujuk pada tanamanjamur berbentuk lingkaran. Berawal dari hal itu, permainan Jamuran ini dimainkan dengan membentuk lingkaran antaranak saling berpegangan tangan dengan satu anak di tengah sebagai jaga/ dadi. Adapun jumlah permainan Jamuran ini tidak dibatasi jumlahnya, bisa dimainkan oleh anak-anak perempuan dan laki-laki. Adapun semakin banyak pemain, semakin meriah permainannya. Permainan ini diawali dengan seorang anak sebagai dadi berada di tengah, sedangkan anak-anak lainnya mengitarinya sambil menyanyikan lagu dolanan Jamuran. Pada saat selesai menyanyikan lagu Jamuran , maka anak sebagai dadi akan menjawab nama jamur. Anak-anak yang mengitari dadi harus cekatan melakukan sebuah gerakan sesuai dengan nama jamur yang disebut. Ada beberapa nama jamur yang bisa disebut antara lain: jamur let wong, maka anak-anak saling mencari teman untuk dirangkul, apabila anak sebagai dadi bisa melepas anak yang berangkulan, maka anak tersebut gantian sebagai dadi; jamur let kayu, maka anak-anak harus segera mencari pohon untuk dipeluk. Anak yang belum mendapatkan pohon dan terkejar maka akan mengganti posisi sebagai dadi; jamur parut, maka anak-anak siap untuk digelitik kakinya oleh dadi. Anak yang tidak bisa menahan tawa akan mengganti posisi dadi; jamur kendhil, maka anakanak harus mencari tempat untuk jongkok dan harus jongkok kurang dari satu depa dari anak lainnya. Anak yang belum mendapat tempat akan dikejar. Anak yang terkejar akan menggantikan posisi dadi; jamur kethek menek, maka anak-anak harus segera mencari
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 84
pohon untuk dipanjat. Jika anak tidak menemukan pohon dan terkejar akan menggantikan posisi dadi. Berikut ini lirik lagu dolanan Jamuran yang diakhiri dengan sebuah pertanyaan. Jamuran …
Jamuran …
ge ge thok jamur apa
Jamur apa yang dibuat pura-pura
ge ge thok jamur gajeh
Jamur gajih mengotori seluruh lapangan
mbegigeh sak ara-ara
Melesat cepat jamur apa?
semprat-semprit jamur apa?
Adapun makna baris pertama lagu dolanan Jamuran yaitu kata “jamuran” terbentuk dari kata “jamur” dengan sufiks –an merujuk pada sebuah benda yang digambarkan seperti jamur. Jamur berbentuk lingkaran menggambarkan gerakan bergandengan dan melingkar oleh pemain. Pada baris kedua, “ge ge thok jamur apa” menyaut dari baris pertama, ada keterkaitan yang berupa pertanyaan dan jawaban. Pada baris kedua ini, menanggapi dengan pertanyaan yang bermakna pura-pura jamur apa? Disambung baris ketiga dengan jawaban pura-pura jamur gajih, yaitu jamur bernama “jamur gajih”. Baris kedua, ketiga menggambarkan bahwa permainan dilakukan berpurapura menjadi sesuatu. Baris keempat berbentuk tanggapan menimpali bahwa jamur gajih akan mengotori seluruh lapangan. Baris tersebut bisa diartikan bahwa dalam permainan ini dilakukan oleh banyaknya pemain yang akan memenuhi tempat. Baris kelima yaitu “semprat-semprit jamur apa?” berbentuk sebuah pertanyaan yang ditanyakan kepada anak sebagai dadi. Baris ini menggambarkan bahwa permainan ini dilakukan dengan berlari kesana-kemari. Pada baris akhir inilah, permainan Jamuran akan segera diakhiri. Berdasar ulasan tersebut dapat dikatakan bahwa lagu dolanan Jamuran mendeskripsikan dolanan Jamuran. Hal itu berarti untuk mendapat penafsiran isi lagu dan bentuk permainannya memiliki keterkaitan erat. Perwujudan nilai toleransi yang terkandung di dalam lagu dolanan Jamuran, maka akan terlihat lebih jelas apabila ditafsirkan secara bersamaan dengan bentuk Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 85
permainannya yaitu Jamuran. Nilai toleransi yang diwujudkan dalam permainan Jamuran tampak dari keseluruhan komponen permainan Jamuran yang meliputi cara pelaksanaan permainan, jumlah pemain, dan peserta permainan. Cara pelaksanaan permainan yang digambarkan dengan anak-anak yang saling berpegangan tangan antara satu dengan lainnya menunjukkan kebersamaan tanpa memandang agama, suku, dan latar budaya lainnya antaranak. Jumlah pemain yang tidak dibatasi,artinya keberagaman itu terlihat dengan jelas, serta dan peserta permainan yang beragam tidak dibatasi aturan tertentu. Walaupun lagu dolanan Jamuran ini berasal dan berkembang dari masyarakat Jawa namun lagu dolanan Jamuran ini bersifat universal, artinya bisa diajarkan dan boleh dimainkan oleh siapa saja. Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa memiliki ajaran adiluhung yang diwariskan oleh leluhur sejak zaman dahulu kala. Bahkan dapat dikatakan ajaran adiluhung sebagai warisan budaya untuk generasi muda masa kini sangat relevan dengan perkembangan teknologi dan informasi. Ajaran nilai toleransi melalui lagu dolanan Jamuran diajarkan oleh leluhur bangsa Indonesia memberikan pendidikan karakter bagi generasi masa kini dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan multikultural. Oleh karena itu penting sekali menjaga dan melestarikan warisan budaya Jawa dalam bentuk lagu dolanan Jamuran ini. Hal tersebut sependapat dengan pernyataan Mokeyeva (2015: 216) menyatakan providing nonviolent interaction of all teaching and educational procces subjects is for support of new generation entering into globalized world by the development of communicative skills among young people, ability of cross-cultural mutual understanding. Penanaman nilai toleransi pada diri manusia yang mulai diajarkan sejak dini, berkelanjutan, dan sepanjang hayat sehingga dapat meminimalkan konflik yang berkaitan dengan budaya multikultural baik pada masa sekarang maupun akan datang. Berkaitan dengan uraian di atas, pengkajian lagu dolanan Jamuran ini selaras dengan tujuan pengajaran lagu dolanan Jamuran di sekolah dasar. Kajian nilai toleransi dalam lagu dolanan Jamuran menggali nilai-nilai tradisional budaya lokal yaitu budaya Jawa untuk dapat dilestarikan dan dikembangkan ajaran yang terkandung di dalamnya sebagai dasar dan bekal bersikap dan bertingkahlaku manusia Indonesia dalam kehidupan masyarakat multikultural.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 86
Simpulan Berdasarkan kajian nilai toleransi sebagai perwujudan nilai-nilai tradisional adiluhung terdapat tiga temuan dari kajian mendalam pada lagu dolanan Jamuran sebagai berikut. Pertama, lagu dolanan Jamuran merupakan bentuk deskripsi dolanan Jamuran yang dilakukan. Berkaitan dengan nilai toleransi, di dalam gambaran permainan ini dilaksanakan oleh jumlah dan peserta permainan yang bersifat universal. Artinya, permainan ini tidak dibatasi oleh kalangan tertentu saat memainkannya sehingga nilai toleransi merupakan nilai universal bagi semua orang di Indonesia sebagai negara multikulural. Kedua, berkaitan dengan ajaran kearifan lokal budaya, lagu dolanan Jamuran merupakan warisan budaya leluhur yang relevan dengan perkembangan teknologi informasi masa sekarang. Hal ini berkaitan dengan pedoman hidup manusia Indonesia, khususnya manusia Jawa dalam menyikapi gempuran budaya luar yang bertentangan dengan Pancasila, khususnya berkaitan dengan kehidupan masyarakat multikultural. Ketiga, perwujudan nilai toleransi yang ada di dalam lagu dolanan Jamuran sebagai wujud nilai-nilai tradisonal Jawa mengajari manusia untuk melestarikan budaya yang dimiliki dengan cara menyenangkan dan bermakna. Oleh karena itu, pengajaran lagu dolanan Jamuran tepat diajarkan kepada manusia Indonesia sejak usia dini. Daftar Pustaka Adib, Ahmad Sauqil. (2015). "Perpustakaan Dan Pendidikan Multikulturalisme." Jurnal Studi Islam: Pancawahana 10, no. 1: 125-141. Bangsawan, LT. (2006).” Perkembangan Peserta Didik”. Bandung: CV Citra Praya. Darsono dan Wiyati, Sri. (2003). “Tembang Jawi”. Solo: CV Dita Nugraha. Herawati, Enis Niken. (2013) “NILAI-NILAI KARAKTERYANG TERKANDUNG DALAM DOLANAN ANAK PADA FESTIVAL DOLANAN ANAK SE-DIY”. Jurnal Imaji, Vol. 13, No. 1, Februari 2015 : 13 – 27.
Hidayat, Dasrun. (2014). "Permainan Tradisional Dan Kearifan Lokal Kampung Dukuh Garut Selatan Jawa Barat." Academica 5, no. 2. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 87
Lestari,
Gina.
(2016).
"BHINNEKHA
TUNGGAL
IKA:
KHASANAH
MULTIKULTURAL INDONESIA DI TENGAH KEHIDUPAN SARA." Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 28, 1. Marwanto dan Mawardi, Muh.1995. “Lelagon Dolanan Anak”. Surakarta: PT Tiga Serangkai. Mokeyeva, E. V., Zakirova, V. G., & Masalimova, A. R. (2015). “Tolerant pedagogic space as a condition of non-violence position education among elementary school pupils”. Review of European Studies, 7(4), 216. Rahmat, R., (2017). “HERMENEUTIKA DAN PENERAPANNYA DALAM SASTRA JAWA”. Haluan Sastra Budaya, 34(1). Ratna, Nyoman Kutha. 2004. “Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Siva, Putu Sadhvi. 2013. “Pengaruh Kebudayaan Asing Terhadap Kebudayaan Indonesia di Kalangan Remaja”. Institute Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya: PTIK Kelas 18. Supanto, B. Sularto, Ny Ang Lan Twa, Sri Sumarsih, BA. (1981-1982). “Folkflore Daerah Istimewa Yogyakarta dan Prov. Jawa Tengah”. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Balai Penelitian Sejarah dan Budaya. Suwardani, N. P. (2015). “Pewarisan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Memproteksi Masyarakat Bali dari Dampak Negatif Globalisasi”. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies), 5(2). Wang, J. C. (2015). “Games Unplugged! Dolanan Anak, Traditional Javanese Children’s Singing Games in the 21st-Century General Music Classroom”. General Music Today, 28(2), 5-12.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 88
Wicaksono, Juniaris Agung. (2016). "KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM KEBIJAKAN PUBLIK." AN-NUHA: Jurnal Kajian Islam, Pendidikan, Budaya dan Sosial 3, no. 1: 39-60.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 89
BAHASA JAWA DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA Djoko Sulaksono, Rahmat, Budi Waluyo Pendidikan Bahasa Jawa, FKIP UNS
[email protected] Abstrak Bahasa Jawa bagi masyarakat Jawa merupakan bahasa ibu atau bahasa daerah. Dalam perkembangannya, unggah-ungguh bahasa Jawa mempunyai banyak ragam, akan tetapi berdasarkan hasil diskusi dan pertemuan ilmiah disederhanakan menjadi empat, yaitu (a) ngoko lugu, (b) ngoko alus, (c) krama lugu, dan (d) krama alus. Selanjutnya, berkaitan dengan kata-kata atau leksikon bahasa ngoko, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu (1) kata-kata ngoko yang kata-kata krama dan krama inggilnya sama, (2) kata-kata ngoko yang mempunyai kata-kata krama/krama inggil (krama dan krama inggil dianggap sama), dan (3) kata-kata ngoko yang mempunyai kata-kata krama dan krama inggil. Selanjutnya, berkaitan dengan strategi pengembangan, terdapat berbagai faktor yang menjadi kendala pengembangan bahasa dan budaya daerah/Jawa. Adapun faktor-faktor tersebut memang berupa fakta atau hanya suatu anggapan yang belum tentu jelas kebenarannya.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 90
A. Pendahuluan Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang mempunyai jumlah penutur terbanyak dan nomor sebelas di dunia. Dalam perkembangannya, bahasa jawa mengalami perubahan atau perkembanganperkembangan yang dimulai dari bahasa jawa kuna sampai bahasa jawa modern. Selanjutnya, sebagai bahasa sebagai salah satu bahasa ibu dan juga bahasa daerah, bahasa jawa mempunyai ragam/jenis yang jumlah cukup banyak. Bahasa ibu dan bahasa daerah tidaklah sama. Kridalaksana, (2008: 26) menyatakan bahwa bahasa ibu (native language, mother language) adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, terutama dengan keluarga dekatnya. Sementara itu, Subroto (2013: 8) menegaskan bahwa bahasa daerah (bd) sering bertumpang tindih dengan bahasa ibu (mother tongue, mother language, native language). Bahasa ibu adalah bahasa yang dikuasai oleh seseorang atau sekelompok orang sejak ia mulai belajar berbahasa untuk berkomunikasi dengan lingkungan terdekatnya (ayah, ibu, kakak, nenek, kakek, teman bermain, tetangga, dan sebangsanya). Pada umumnya, bahasa ibu seseorang atau kelompok orang juga merupakan bahasa daerah orang tersebut. Namun, keadaan ini juga tidak selalu demikian. Seorang anak Jawa barangkali memiliki bahasa ibu bahasa Inggris kalau ia dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan masyarakat berbahasa Inggris. Senada dengan Kridalaksana dan Subroto, Sulaksono (2016) menyatakan bahwa bahasa ibu tidaklah sama dengan bahasa daerah walaupun secara umum bahasa ibu merupakan bahasa daerah. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang diperoleh seseorang/kelompok semenjak dilahirkan yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang terdekat. Sebagai contoh, anak dari suku Jawa karena orang tuanya lama hidup di Jakarta maka bahasa ibunya bisa saja bahasa Indonesia. Hal ini bisa disebabkan kedua orang tuanya, dalam kesehariannya selalu menggunakan bahasa Indonesia padahal suku Jawa mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Jawa. Dalam tulisan ini pembahasan akan dibatasi pada masalah bahasa Jawa ngoko dan krama.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 91
B. PEMBAHASAN 1. Ragam Bahasa Jawa Bahasa jawa yang digunakan dalam proses komunikasi sehari-hari dan digunakan dalam masyarakat umum yaitu bahasa ngoko, madya dan krama. Selanjutnya, berdasarkan hasil diskusi disarankan bahwa tingkat tutur atau unggah-ungguh atau undha-usuk bahasa jawa disederhanakan menjadi (a) ngoko lugu, (b) ngoko alus, (c) krama lugu, dan (d) krama alus.
a. Ngoko Lugu Ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosa katanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa terselipkan krama, krama inggil, atau krama andhap, baik untuk O1, O2, maupun O3 (Sasangka, 2009: 102). Ngoko lugu yaiku basa sing kabeh tembung-tembunge ngoko, klebu ater-ater lan panambange. Contoh: “Yen kowe duwe pari, bok aku disilihi.” b. Ngoko Alus Ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, dan krama. Namun leksikon krama inggil, krama andhap, atau leksikon krama yang muncul dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara (O2 atau O3). Leksikon krama inggil yang muncul di dalam ragam ini biasanya hanya terbatas pada kata benda (nomina), kata kerja (verba), atau kata ganti orang (pronomina). Jika leksikon krama andhap muncul dalam ragam ini, biasanya leksikon itu berupa kata kerja, dan jika leksikon krama muncul dalam ragam ini, leksikon itu bisanya berupa kata kerja atau kata benda (Sasangka, 2009: 106). Ngoko alus yaiku basa sing tembung-tembunge krama inggil, krama andhap, lan ngoko. Ater-ater lan panambange panggah ngoko. Contoh: “Yen panjenengan kagungan pari, bok aku diparingi ngampil.” c. Krama Lugu Tembung-tembunge kabeh krama, ater-ater lan panambange uga krama. Krama lugu uga diarani kramantara, iku gunemane wong lumrah padha wong lumrah, utawa wong Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 92
tuwa marang wong nom sing tanpa pangkat (dudu sadulure dhewe) (Padmosoekotjo, 1960: 14).Krama lugu yaiku basa kang sing tembung-tembunge kabeh krama, klebu aterater lan panambange. Contoh: “Menawi sampeyan gadhah pantun, bok kula dipunsambuti. d. Krama Alus Krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskipun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak pernah muncul di dalam tingkat tutur ini. Selain itu, leksikon krama inggil atau krama andhap secara konsisten selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara. Secara semantis, ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya tinggi (Sasangka, 2009: 119). Krama alus yaiku basa sing tembungtembunge krama andhap, krama, lan krama inggil. Ater-ater lan panambange krama. Contoh: “Menawi panjenengan kagungan pantun, bok kula dipunparingi ngampil.” 1. Leksikon Bahasa Jawa
Perlu diketahui bahwa dalam bahwa dalam bahasa Jawa ngoko terdapat (1) katakata ngoko yang sama dengan krama dan krama inggilnya, (2) kata-kata ngoko yang mempunyai krama/krama inggil (krama dan krama inggil dianggap sama), dan (3) katakata ngoko yang mempunyai krama dan krama inggil. Supaya lebih jelas perhatikan tabeltabel berikut ini. Tabel 1. Contoh kata-kata ngoko yang kata-kata krama dan krama inggilnya sama
No 1.
Ngoko Alus
Krama Alus
Krama Inggil Alus
Arti Halus
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 93
2.
Bajing
Bajing
Bajing
Tupai
3.
Cecak
Cecak
Cecak
Cicak
4.
Duren
Duren
Duren
Durian
5.
Kasur
Kasur
Kasur
Kasur
Tabel 2. Contoh kata-kata ngoko yang mempunyai kata-kata krama/krama inggil (krama dan krama inggil dianggap sama)
No
Ngoko
Krama
Krama Inggil
Arti
1.
Abang
Abrit
Abrit
Merah
2.
Banget
Sanget
Sanget
Sangat
3.
Cendhak
Celak
Celak
Dekat
4.
Dawa
Panjang
Panjang
Panjang
5.
Endhog
Tigan
Tigan
Telur
Tabel 3. Contoh kata-kata ngoko yang mempunyai kata-kata krama dan krama inggil
No
Ngoko
Krama
Krama Inggil
Arti
1.
Akon
aken
Dhawuh/utus
Perintah
2.
Cekel
cepeng
asta
Pegang
3.
Endhas
sirah
mustaka
Kepala
4.
Gawa
bekta
asta
Bawa
5.
turu
Tilem
sare
Tidur
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 94
2. STRATEGI PENGEMBANGAN Berbagai
pertemuan
baik
lokal/daerah
maupun
nasional
dilakukan
untuk
mengembangkan bahasa Jawa supaya tidak mengalami kepunahan. Sumarlam (2009: 8486) menyatakan beberapa pendapat/anggapan sebagian anggota masyarakat berkaitan dengan
kendala-kendala
dan
hambatan-hambatan
dalam
memelihara
dan
mengembangkan budaya daerah antara lain (a) Ada sementara anggapan bahwa mempelajari bahasa dan budaya daerah adalah kuno dan tidak banyak memberikan manfaat, karena peluang kerja dalam bidang itu sangat terbatas, lebih-lebih pada zaman modern seperti sekarang ini, (b) sempitnya wadah yang dapat menampung lulusan sarjana-sarjana bahasa dan budaya daerah sehingga menimbulkna rasa pesimis bagi orang yang akan terjun di dalamnya, (c) belum begitu seriusnya media massa, baik TV, radio, surat kabar, dan majalah yang memberikan adanya hiburan dan wisata intelektual dengan berbasis pada bahasa dan budaya daerah, (d) belum tersedianya subsidi dari pemerintah daerah bagi para budayawan yang menekuni dan mengembangkan kebudaaan daerahnya, (e) dalam kaitannya dengan bidang pendidikan, alokasi jam pelajaran yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pengembangan bahasa dan budaya daerah sebagai muatan lokal hanya mendapat alokasi waktu yang sangat minim, yaitu 2 jam pelajaran setiap minggunya, (f) belum adanya jaringan bersama semacam komunikasi formal yang tetap diberbagai daerah yang dapat dijadikan sebuah forum untuk membahas dan merekomendasikan upaya pemeliharaan dan pengembangan bahasa dan budaya daerah (g) kuatnya pengaruh bahasa dan budaya asing (bahasa dan budaya barat) terhadap kehidupan bahasa dan budaya daerah sehingga mengakibatkan semakin terdesaknya eksistensi bahasa dan budaya daerah tersebut, dan (h) kendala-kendala dan hambatanhambatan lainnya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa dan budaya daerah yang ada di nusantara Selanjutnya, berkaitan dengan beberapa masalah tersebut di atas, strategi-strategi pengembangan yang dapat dilakukan antara lain (a) perlu disadari bersama bahwa substansi Indonesia adalah pluralitas, (b) perlu membentuk wadah-wadah baru yang dapat menampung para pekerja budaya daerah sehingga menumbuhkan rasa optimis bagi orang yang akan terjun di dalamnya, (c) perlu disediakan hiburan dan wisata intelektual bahasa Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 95
dan budaya daerah dengan cara menerbitkan buku-buku cerita, novel, majalah, Koran bermedia bahasa daerah; serta pengemasan acara TV dan radio yang berbasis pada bahasa dan budaya daerah yang dapat menimbulkan rasa bangga memiliki bahasa dan budaya daerah bagi komunitas pendukungnya, (d) diperlukan subsidi dari pemerintah daerah/kota kepada para sarjana yang sungguh-sungguh berminat mengkaji, mendalami, dan mengembangkan kebahasaan dan kebudayaan daerah, (e) menambah alokasi waktu pelajaran muatn lokal dari 2 jam pelajaran menjadi minimal 4 jam pelajaran dalam setiap minggunya, (f) perlu dirintis dan dibentuk jaringan bersama atau lembaga formal di berbagai daerah yang mempunyai wewenang untuk memelihara dan mengembangkan bahasa-bahasa dan budaya-budaya daerah yang terdapat di Indonesia, (g) perlu adanya “politik budaya nasional” yang merencanakan dan mengatur pembinaan dan pengembangan budaya daerah, budaya nasional, dan budaya asing sedemikian rupa sehingga ketiga budaya tersebut dapat hidup dan berkembang di Indonesia seseuai dengan fungsi dan kedudukannnya masing-masing, dan (h) resolusi pemikiran dan strategi lainnya yang memungkinkan berkembangnya bahasa-bahasa dan budaya-budaya daerah di Indonesia perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh (Sumarlam, 2009: 8688). Berdasarkan beberapa data di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai faktor yang menjadi kendala pengembangan bahasa dan budaya daerah/Jawa. Adapun faktor-faktor tersebut memang berupa fakta atau hanya suatu anggapan yang belum tentu jelas kebenarannya. Sebagai contoh pada pernyataan “(a) ada sementara anggapan bahwa mempelajari bahasa dan budaya daerah adalah kuno dan tidak banyak memberikan manfaat, karena peluang kerja dalam bidang itu sangat terbatas, lebih-lebih pada zaman modern seperti sekarang ini, (b) sempitnya wadah yang dapat menampung lulusan sarjana-sarjana bahasa dan budaya daerah sehingga menimbulkna rasa pesimis bagi orang yang akan terjun di dalamnya”. Apabila kita baca sekilas kedua pernyataan di atas, mungkin memang benar tetapi apabila kita renungkan dalam-dalam mungkin akan berbeda. Banyak peluang terbuka apabila kita mau bersungguh-sungguh mempelajari bahasa, budaya dan sastra daerah, salah satunya menjadi pambiwara atau MC. Profesi menjadi pambiwara merupakan profesi yang masih jarang digeluti padahal dengan
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 96
semakin meningkatnya jumlah manusia tentu saja akan semakin banyak upacara-upacara yang membutuhkan pambiwara. Selanjutnya pada pernyataan (b) mengenai “sempitnya wadah yang dapat menampung lulusan sarjana-sarjana bahasa dan budaya daerah sehingga menimbulkna rasa pesimis bagi orang yang akan terjun di dalamnya”. Sebenarnya banyak tempat yang membutuhkan sarjana-sarjana dari lulusan sarjana-sarjana bahasa dan budaya daerah, misalnya pengajar/guru, pambiwara, wartawan, penerbit, balai bahasa, konsultan pendidikan, dan lain sebagainya. Pada saat perkuliahan, mungkin mahasiswa sudah memilih salah satu mata kuliah pilihan dari beberapa yang ditawarkan, misal penyiaran, jurnalistik dan penyuntingan. Mata kuliah tersebut untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan-keterampilan khusus seperti penyiar, wartawan, dan editor. DAFTAR PUSTAKA Sumarlam . 2009. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Budaya. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah, FSSR UNS. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Subroto, Edi .2013: 8. “Upaya Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Jawa dalam Konteks Pembelajaran di Sekolah”. Makalah dibentangkan pada Seminar Nasional Bahasa Ibu “Bahasa Daerah Sebagai Sumber Kearifan Bangsa” yang diselenggarakan oleh Panitia Dies Natalis FKIP UNS pada tanggal 20 April 2013. Sulaksono, Djoko. 2016. “Bahasa Ibu, Kepunahan dan Pelestarian” Makalah Diseminarkan Pada Konferensi ke-BIPA-an “Eksplorasi Bahasa dan Budaya Indonesia-Daerah untuk Pengajaran BIPA. Surakarta, 14 Mei 2016. Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2009. Unggah-ungguh Bahasa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua. Padmosoekotjo. S. 1960. Ngengrengan Kasusastran Djawa (I). Jogjakarta: Hien Hoo Sing. Sumarlam . 2009. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Budaya. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah, FSSR UNS. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 97
PEMBELAJARAN BAHASA JAWA FENOMENAL GENERASI MILENIAL, AKSARA JAWA TIDAK AKAN DITINGGAL (WONG JAWA, AJA NGANTI ILANG JAWANE) Ikke Kusumawati1 , Sumarwati & Sarwiji Suwandi Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak:
Aksara merupakan wujud kekayaan budaya suatu suku bangsa. Tidak banyak suku yang memiliki aksara sendiri. Aksara Jawa merupakan salah satu kekayaan budaya Jawa yang merupakan bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Aksara Jawa termasuk aksara yang semakin tersingkir baik di lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Dari tahun ke tahun pemerintah juga pemerhati bahasa, aksara dan budaya Jawa mengusahakan untuk pelestarian aksara Jawa melalui berbagai kebijakan dan berbagai usaha. Salah satu yang bisa dilakukan adalah lewat pembelajaran aksara Jawa pada pelajaran Bahasa Jawa. Pada pembelajaran Bahasa Jawa yang terjadi saat ini adalah pembelajaran bahasa Jawa tetapi aksara yang digunakan dalam pembelajaran adalah aksara Latin. Suku Jawa memiliki bahasa sendiri dan memiliki aksara sendiri sehingga sangat tepat sekali apabila ketika belajar bahasa Jawa, aksara yang digunakan adalah aksara Jawa. Penggunaan Aksara Jawa ketika belajar bahasa Jawa akan menjadikan aksara Jawa banyak digunakan orang dan pada akhirnya aksara Jawa dapat dikenal banyak orang sehingga memiliki nilai tawar yang tinggi di dunia Internasional. Aksara Jawa tidak akan menjadi aksara yang dianggap kuno atau ketinggalan jaman, tetapi akan menjadi aksara yang tidak akan pernah ditinggalkan oleh generasi milenial karena aksar Jawa akan dikenal secara Internasional. Kata Kunci: Aksara Jawa, Bahasa Jawa, Pembelajaran Bahasa Jawa
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 98
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Aksara Jawa merupakan salah satu kekayaan budaya Jawa yang merupakan bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Tidak banyak di bumi ini bangsa yang memiliki aksara sendiri. Ada aksara Latin, Hieroglyph, Arab, Cina, Jepang, India dan lain-lain, termasuk aksara Jawa di dalamnya, tetapi jumlahnya tidak seperti banyaknya bahasa dan bangsa (Padmosoekotjo, 1992). Aksara ada yang tetap lestari penggunaannya seperti aksara Arab, Cina, Jepang, Korea, apalagi aksara Latin yang penggunaanya praktis, tetapi ada aksara yang sudah jarang digunakan malah ada yang hampir punah. Aksara Jawa termasuk aksara semakin tersingkir baik di lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Tentu saja hal ini menimbulkan keprihatinan bagi kalangan yang ingin mengusahakan kelestarian dan mengembangkan bahasa serta budaya Jawa. Bagi guru yang bergerak dalam bidang pendidikan tentu saja juga harus terus berusaha untuk melestarikan aksara Jawa dalam bidang pendidikan khususnya pada pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Rumusan Masalah Bagaimanakah pembelajaran bahasa Jawa fenomenal bagi generasi milenial?
PEMBAHASAN Usaha Pelestarian Aksara Jawa Setiap bangsa tentu saja mengusahakan untuk kelestarian kebudayaan aslinya sendiri-sendiri, termasuk bahasa dan aksaranya. Dari tahun ke tahun pemerintah juga pemerhati bahasa, aksara dan budaya Jawa tidak hanya berdiam diri. Sesuai dengan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV pasal 36, Pemerintah memiliki kewajiban untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa serta kebudayaan daerah yang masih nyata keberadaannya di Indonesia ini. Usaha yang dilakukan untuk melestarikan aksara Jawa antara lain membuat pedoman penulisan bahasa Jawa dengan aksara Jawa. Pedoman penulisan bahasa Jawa dengan aksara Jawa pertama kali diterbitkan secara khusus berjudul Wewaton Panjeratipun Temboeng Djawi mawi aksara Jawi dalasan Angka ‘Pedoman Penulisan Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 99
Kata Jawa dengan Aksara Jawa dan Angka’. Pedoman itu ditetapkan dalam Poetoesan Parepatan Koemisi Kasoesastran ‘Keputusan Sarasehan Komisi Kesusastran’ di Sriwedari, Surakarta dan diterbitkan pada tahun 1926. Kementrian Pengajaran, Pendidikan dan Keboedajaan pernah menerbitkan buku tata bahasa Jawa dengan judul Karti Basa, pada tahun 1946. Dalam buku itu pada halaman 245-258, dimuatkan Patokan Panoelise Temboeng Djawa nganggo Aksara Jawa sarta
Angka
‘Pedoman
penulisan
Kata
Jawa
dengan
Aksara
Jawa
serta
Angka’.(Darusuprapta, 1996) Usaha yang dilakukan oleh kepala daerah tingkat I juga sudah ada. Pada tahun 1996, terdapat kesepakatan bersama tiga gubernur tentang pembinaan, pengembangan dan pelestarian bahasa dan aksara Jawa. Tiga gubernur tersebut adalah gubernur kepala daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur dengan Nomor: 214/119/5280/1996
: DIY
430/76/1996
: Jawa Tengah
430/5052/031/1996
: Jawa Timur.
Kesepakatan yang didapatkan antara lain adalah memakai buku pedoman penulisan aksara Jawa untuk dijadikan pedoman ejaan yang berlaku dalam masyarakat. Buku pedoman ini diterbitkan merupakan upaya membina dan mengembangkan bahasa Jawa, juga untuk menindaklanjuti keputusan Kongres Bahasa jawa 1991, yang diselenggarakan di Semarang pada tanggal 15-20 Juli 1991. Masalah yang dihadapi antara lain adalah penyesuaian penulisan bahasa Jawa dengan aksara Jawa dan aksara Latin, penulisan kata-kata serapan dari bahasa serumpun dan bahasa asing dengan aksara Jawa, penulisan bunyi f dan v, penulisan bunyi yang ucapannya bervariasi, dan penulisan singkatan kata. Berdasarkan ketentuan Pasal 42 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina dan melindungi bahasa dan sastra daerah untuk memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman, dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 100
Upaya yang dilakukan tidak hanya terbatas itu saja, pada tahun 2012, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengeluarkan Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor. 4 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Perda Nomor. 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa. Pada Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor. 4 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di dalamnya antara lain berisi bahwa pembelajaran bahasa Jawa harus diajarkan di tingkat SD, SMP, dan SMA minimal 2 jam pelajaran setiap minggunya agar siswa merasa memiliki bahasa dan budaya Jawa. Diharapkan pada akhirnya siswa dapat mengembangkan bahasa dan budaya Jawa sebagai sarana untuk membangun “Kebudayan Nasional Indonesia”. Pada Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor. 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa Pasal 6 tertulis: Dalam kegiatan perlindungan, pembinaan, dan pengembangan bahasa, sastra, dan aksara Jawa perlu ditetapkan pedoman penulisan Aksara Jawa dengan Wewaton Sriwedari sebagai panduan, serta dilakukan pembelajarn kembali carakan Jawa dimulai dari Aksara Jawa Dentawyanjana, sandangan, pasangan, dan angka.
Pembelajaran Bahasa Jawa Pembelajaran pada saat ini, aksara Jawa hanya dijadikan sebagai bagian dalam pembelajaran. Aksara Jawa tidak menjadi media yang digunakan untuk membaca dan menulis pada pembelajaran bahasa Jawa, padahal apabila kita amati dan perhatikan pada pembelajaran bahasa-bahasa yang memiliki aksara sendiri menggunakan aksara masingmasing tidak menggunakan aksara Latin. Contohnya adalah pada saat belajar bahasa Sansekerta menggunakan media aksara Devanagari, belajar bahasa Arab menggunakan media bahasa Arab, belajar bahasa Jepang menggunakan media aksara Jepang, belajar bahasa Korea menggunakan media aksara Korea dan masing banyak contoh yang lain. Bahkan pada beberapa sekolah dasar di Indonesia khususnya di Jawa mulai dari kelas satu sekolah dasar mendapatkan pelajaran bahasa Mandarin dengan media langsung menggunakan aksara Mandarin, sedangkan pada pembelajaran bahasa Jawa
tetap
menggunakan aksara Latin karena aksara Jawa baru diajarkan ketika siswa sudah kelas tiga atau empat SD. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 101
Sangat ironis sekali sebagai orang yang tinggal di Jawa dan banyak orang yang tidak dapat dipungkiri dan tidak dapat digantikan tetap memiliki darah keturunan Jawa sudah tidak dapat mengenali aksara sendiri yang merupakan peninggalan nenek moyang dan merupakan bukti peradaban suku Jawa yang tinggi. Sampai ada ungkapan “Wong Jawa Ilang Jawane”. Pembelajaran Bahasa Jawa membelajarkan empat keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa itu meliputi keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan yang harus dikuasai antara lain adalah membaca dan menulis menggunakan aksara Jawa. Keterampilan membaca dan menulis aksara Jawa menjadi salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa dari jenjang SD/MI sampai tingkat SMA/SMK/MA. Apabila kita perhatikan hal ini dapat kita ketahui bahwa pembelajaran bahasa Jawa menggunakan sarana aksara Latin, walaupun untuk Jawa memiliki aksara sendiri yaitu aksara Jawa. Aksara Jawa merupakan bagian kecil dari pembelajaran menjadikan aksara Jawa dianggap tidak penting dan banyak yang tidak bisa membaca dan menulis aksara Jawa karena tidak terbiasa. Alangkah pentingnya ketika pembelajaran bahasa Jawa langsung menggunakan aksara Jawa, tidak menggunakan aksara Latin yang menjadikan penulisan bahasa-bahasa Jawa terbalik. Penulisan seharusnya dari aksara Jawa yang ditransliterasi menjadi aksara Latin tetapi yang terjadi sebaliknya dari aksara Latin ditransliterasi menjadi aksara Jawa. Hal ini membuat beberapa kata menjadi salah penulisannya. Beberapa yang sering ditemukan dalam penulisan adalah: 1. Menulis seharusnya menggunakan a menjadi menggunakan o. Contohnya adalah menulis kata lara ‘sakit’ banyak yang menuliskan menjadi loro ‘dua’. Dari penulisan yang salah pada aksara Latin ini kemudian ditranslitersi menggunakan aksara Jawa menjadi [lo[ro padahal kata lara (lr) sangat berbeda artinya dengan kata loro ([lo[ro). Kata lara (lr) berarti sakit dan kata loro ([lo[ro) berarti dua. Jadi apabila menulis menggunakan aksara Jawa sangat jelas perbedaanya. Kata lara (lr) hanya aksara legena dan kata loro ([lo[ro) menggunakan sandhangan berupa taling tarung. Contoh yang lain adalah kata cara (cr) yang artinya ‘cara’ ditulis menjadi coro ([co[ro) yang artinya ‘kecoak’; kata mata
(mt) yang artinya ‘mata’ ditulis menjadi moto
([mo[to) yang artinya
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 102
‘penyedap masakan’; demikian juga kata sata (st) yang artinya ‘tembakau’ ditulis soto ([so[to) yang artinya ‘soto/ jenis masakan’. 2. Menulis seharusnya menggunakan i menjadi menggunakan e. Contohnya adalah menulis kata wis (wis\ ) menjadi wes; kata pitik (pitik\) menjadi petek, menulis sing (si= ) menjadi seng. 3. Menulis seharusnya menggunakan th menjadi menggunakan t atau sebaliknya menulis menggunakan t seharusnya menggunakan th. Contohnya adalah menulis kata thuthuk (ququk\ ) dan tutuk (tutuk\ ), sotho ([so[qo) dan soto([so[to). 4. Menulis seharusnya menggunakan dh menjadi menggunakan d atau sebaliknya Contohnya adalah menulis kata wedhi (wedi) dan wedi (wefi), menulis kata dhuwung(duwu= ) dan duwung (fuwu= ) 5. Menulis seharusnya u menjadi menggunakan o. Contohnya kata atur (atu/)menjadi ator (a[t/o), ngawur (zwu/) menjadi ngawor(z[w/o). Penulisan bahasa Jawa menggunakan aksaranya sendiri yaitu aksara Jawa sangat tepat dan sangat memudahkan dalam membaca. Contohnya dengan adanya sandhangan taling atau pepet akan memudahkan dalam membedakan antara è, é, atau ê. Menulis menggunakan sandhangan taling pasti bacanya akan è atau é dan tidak akan dibaca ê. Pada tulisan ge[nD=
tidak akan dibaca genD_. Bandingkan apabila ditulis
menggunakan aksara Latin tanpa tanda diakritik sulit untuk membedakan antara gendheng ‘atap’ dan gendheng ‘gila’. Dari beberapa hal yang disampaikan di atas sangat memperkuat pentingnya pembelajaran bahasa Jawa menggunakan aksara Jawa. Ada ungkapan dalam bahasa Jawa “Bisa amarga kulina” , ‘bisa karena terbiasa’ dari ungkapan ini sangat tepat bagi pentingnya menggunakan aksara Jawa agar tetap bisa lestari, khususnya bagi orang Jawa dan orang yang tinggal di Jawa bisa membaca dan menulis menggunakan aksara Jawa. Kalau bukan kita, siapa lagi yang peduli. Kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi mengeksekusi.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 103
SINAU BASA JAWA YA NGANGGO AKSARA JAWA, ORA AKSARA LIYA. ?sinaubsjwyaz=[goakSrjw,[aorakSrliy.
SIMPULAN Berdasarakan pendahuluan dan pembahasan yang disampaikan dapat diambil kesimpulan bahwa harus sesegera mungkin dibiasakan membaca dan menulis menggunakan aksara Jawa khususnya pada pembelajaran bahasa Jawa yang akan menjadi kebiasaan di wilayah Jawa. Penggunaan aksara Jawa pada pembelajaran bahasa Jawa ini dapat menjadikan semakin banyak orang yang bisa membaca dan menulis aksara Jawa. Aksara Jawa menjadi banyak digunakan orang dan pada akhirnya aksara Jawa dapat dikenal banyak orang sehingga memiliki nilai tawar yang tinggi di dunia Internasional. Aksara Jawa tidak akan menjadi aksara yang dianggap kuno atau ketinggalan jaman, tetapi akan menjadi aksara yang tidak akan pernah ditinggalkan oleh generasi Jawa milenial karena aksara Jawa terkenal.
DAFTAR PUSTAKA Darmabrata, Sulardi, Sumardi. 1948. Ha Na Ca Ra Ka. Groninggen-Batavia: J.B Wolters. Darsuprapta dkk. 1996. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Darusuprapta. 1994. Pengkajian Ha Na Ca Ra Ka dari Segi Sastra. Yogyakarta: Balai Kajian Jarahnitra dan lembaga Javanologi Panunggalan. Dinas Pendidikan Jawa Tengah. 2013. Kurikulum Pelajaran Muatan Lokal (Bahasa Jawa) untuk Jenjang Pendidikan SMA/MA/SMALB/SMK/MAK Propinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinas Pendidikan Jawa Tengah. Hadiwirodarsono. 2010. Belajar Membaca dan Menulis Aksara Jawa. Solo: Kharisma. Padmosoekotjo. 1992. Wewaton Panulise Basa Jawa Nganggo Aksara Jawa. Surabaya: PT. Citra Jaya Murti. Pemprov Jawa Tengah. 2012. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No.4 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah No.9 Tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 104
Rochkyatmo, Amir. 1996. Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. Soerasa dan Soetardjo. 1981. Pathokan Panulise Tembung Jawa Nganggo Aksara Jawa lan Latin. Solo: Tiga Serangkai.
Pemanfaatan Kaleng Bekas Susu (KB SUSU) dalam Pembelajaran Menulis Cakepan Tembang Macapat di kelas XI IPA 1 Semester 1 tahun Pelajaran 2016/2017
Pujianto, S.Pd. M.Pd.
[email protected]
ABSTRAK Pembelajaran Bahasa Jawa merupakan salah satu pembelajaran yang masih dianggap sebelah mata. Oleh karena itu sangatlah perlu untuk mengoptimalkan pembelajaran bahasa dan sastra jawa. Salah satu cara untuk mengoptimalkan pembelajaran bahasa jawa adalah dengan metode pengajaran yang menarik dan menyenangkan serta penggunaan media yang unik. Pembelajaran ini merupakan pengalaman yang menerapkan media pengajaran yang menarik dan menyenangkan; yaitu dengan menggunakan media yang unik, yaitu media KB Susu (kaleng bekas susu). Pembelajaran ini dilaksanakan di kelas XI MIPA 1 SMAN 2 Blora pada semester 1 tahun pelajaran 2016/2017. Pembelajaran ini merupakan pengalaman memanfaatkan barang yang sudah tidak terpakai untuk media penulisan tembang macapat. Barang yang tidak terpakai tersebut adalah kaleng bekas susu (KB SUSU). Dengan media yang unik dan aneh ini ternyata bisa membuat siswa menjadi antusias dalam mengikuti pembelajaran tembang macapat. Mereka sangat termotivasi dalam mengikuti pembelajaran, dan akhirnya dapat meningkatkan keterampilan menulis cakepan tembang macapat.
Kata Kunci: cakepan tembang macapat, kaleng bekas susu
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 105
A. Latar Belakang Masalah Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Jawa di tingkat SMA, MA dan SMK di wilayah Propinsi Jawa Tengah pada Kurikulum 2013 saat ini digunakan dalam proses belajar mengajar di seluruh SMA di wilayah Kabupaten Blora. Kurikulum tersebut menyebutkan bahwa keterampilan menulis syair atau cakepan tembang macapat selalu diajarkan pada setiap semester di semua jenjang kelas, mulai dari jenjang kelas X sampai jenjang kelas XII. Pembelajaran embelajaran menulis cakepan tembang macapat yang terdapat dalam KurikulumMataPelajaranMuatanLokalBahasaJawa semester
1.
Pembelajaran
tersebut
tertuang
dilaksanakan pada kelas XI dalam
KD
4.1
yang
berbunyi;MenanggapiisiseratWedhatamapupuhPucungdanmenulisserta menyajikansyairtembangPucung. Kompetensi dasar ini mencakup beberapa materi, yaitu; 1). guru gatra,gurulagu, danguru wilangan, 2).unsurpembangun teks, 3). nilainilaidalam wedhatama,
4).relevansipitutur luhur dengankondisi masyarakat saatini,
5)tanggapan isiteks, 6). teknikpenulisan tembang Pucung, 7).teknik Penyuntingan tembang Pucung, serta 8).teknikpenyajian tembang Pucungsecara lisanatautulisan. Fenomena yang ada pada saat ini, dari 22 SMA yang ada di Kabupaten Blora, sebagian besar guru bahasa jawa belum memiliki kompetensi yang memadahi dalam bidang bahasa dan sastra jawa. Hal ini tentu saja menyebabkan kurang optimalnya pembelajaran Bahasa dan sastra jawa, terutama sastra jawa yaitu tembang macapat, dan lebih khusus lagi pada materi teknik penulisan tembang pucung (dalam hal ini adalah penulisan cakepan tembang macapat pucung). Hal ini juga diperparah dengan kompetensi guru yang lulusan pendidikan bahasa jawa juga tidak semua menguasai Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 106
tembang macapat, baik dalam hal membaca, menembangkan maupun dalam hal menulis cakepannya.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, maka permasalahan yang timbul dan perlu mendapat jawaban dan pemecahan adalah; Media apakah yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan menulis cakepan tembang macapat?
C. Tujuan Tujuan penulisan pembelajaran ini adalah untuk mencari solusi agar pembelajaran menulis, utamanya menulis cakepan tembang macapat dapat berjalan dengan menyenangkan. Selain itu, semoga dengan pembelajaran ini dapat memberi informasi tentang media yang dapat digunakan dalam pembelajaran menulis.
KAJIAN TEORI 1. Hakikat Keterampilan Menulis Setiap keterampilan berbahasa erat hubunganya dengan
proses-proses yang
mendasari bahasa. Bahasa seseorang mencerminkan pikiran orang tersebut. Semakin terampil orang berbahasa, semakin cerah dan jelas pula jalan pikiran orang tersebut. Keterampilan hanya dapat dikuasai dan diperoleh dengan cara banyak berlatih dan praktik. Salah satu keterampilan bahasa tersebut adalah keterampilan menulis. Tulisan yang baik, setiap penulis harus memiliki tiga keterampilan dasar dalam menulis, yaitu keterampilan berbahasa, keterampilan penyajian, dan keterampilan perwajahan. Keterampialn berbahasa mencakup keterampilan pengguanaan ejaan, tanda baca, pembentukan kata, dan penggunaan kalimat efektif. Keterampilan penyajian meliputi keterampilan membentuk paragraf, merinci pokok bahasan dan subpokok bahasan ke dalam susunan yang sistematis. Keterampilan wajah mencakup pengaturan topografi dan pemanfaatan sarana efektif dan efisien (Semi, 1990: 2). Menulis merupakan suatu bentuk manifestasi berbahasa paling akhir dikuasai pembelajaran bahasa setelah kompetensi mendengarkan, berbicara, dan membaca. Dibanding tiga kompetensi berbahasa yang lain, kompetensi menulis secara umum boleh Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 107
dikatakan lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan sekalipunHal ini disebabkan kompetensi menulis menghendaki penguasan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi karangan. Menulis adalah aktivitas mengemukakan gagasan melalui media bahasa (Nurgiyantoro:2014:422425). Andayani mengemukakan menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan.. Menulis juga merupakan proses menggambarkan suatu bahasa sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca. Menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambng-lambng grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lsin dapat membaca langsung lambang-lambang grafik tersebut kalau meraka mamahami bahasa dan gambaran grafik itu(Andayani,2015:191). Menulis adalah suatu proses yang bersifat kompleks karena kemampuan menulis merupakan integrasi dari berbagai kemampuan, seperti persepsi visual-motor dan kemampuan konseptual yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan kognitif (Jamaris, 2014; 155). Hal itu terjadi pada proses menulis secara umum, apalagi menulis cakepan tembang macapat. Wardoyo(2013:2). Berpendapat bahwa menulis adalah keterampilan bahasa yang dilakukan dengan cara meletakkan atau mengatur simbol-simbol grafis menjadi rangkaian bahasa yang bermakna dan berisi suatu pesan yang ingin disampaikan penulis. Menulis
dalah
menurunkan
atau
melukiskan
lambang-lambang
grafik
yang
menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut. Menulis merupakan aktivitas produktif yang membutuhkan prasyarat-prasyarat tertentu. yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi penulis. Prasyarat tersbut akan mempengaruhi seseorang dalam berkarya. Prasyarat tersebut meliputi: (1) motivasi diri menjadi penulis, (2) menumbuhkan kebiasaan membaca, (3) menumbuhkan rasa cinta pada menulis, (4) berlatih menulis dengan melakukan tahapan-tahapan menulis secara konsisten. Menulis merupakan sebuah seni yaitu dalam menuangkan ide seseorang pengarang ke dalam suatu tulisan itu bebas, sesuai dengan kreativitas seseorang. Kata Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 108
seni mengandung arti keahlian membuat karya yang bermutu atau kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tingi dan luar biasa. Menulis berarti menuangkan isi hati si penulis ke dalam bentuk tulisan, sehingga maksud hati penulis bisa diketahui banyak orang melalui tulisan yang dituliskan. Kemampuan seseorang dalam menuangkan isi hatinya ke dalam sebuah tulisan sangatlah dipengaruhi oleh latar belakang penulis. Kegiatan
menulis
merupakan
suatu
keterampilan
produktif
dalam
pembelajaran bahasa, karena kegiatan tersebut lebih banyak menekankan pada penuangan ide dan gagasan dalam bentuk kata-kata, susunan kalimat , dan menjadi suatu gagsan alenia. Bertolak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian keterampilan menulis yaitu kemampuan untuk menyusun atau merangkai ide atau gagasan serta mengkomunikasikan ide tersebut kepada pembaca sehinga terjalin komunikasi antara penulis dan pembaca demi tercapainya suatu tujuan.
2. Hakikat Tembang Macapat Pengertian tembang yang diungkap oleh Padmosoekatjo (1960; 25) yaitu; Tembang adalah Reriptan utawa dhapukane basa mawa paugeran tertamtu (gumathok) kang pamacane (olehe ngutjapake) kudu dilagokake nganggo kagunan swara (Tembang adalah karangan atau pembentukan bahasa dengan menggunakan aturan tertentu (yang sudah paten) yang cara membacanya (cara mengucapkan) harus dilagukan dengan seni suara). Pangrawit (1975: 3), menyatakan bahwa tembang adalah vokal yang berhubungan dengan karawitan (musik jawa) seperti sindhenan, bawa, gerong, sulukan, sekar ageng, sekar tengahan, dan sekar macapat. Sutardjo (2011; 8) menyatakan bahwa kata tembang merupakan bahasa jawa ngoko, dan bahasa kramanya adalah sekar. Tembang atau sekar itu hasil atau manfaat dari bahasa yang edi baik dan indah berupa gabungan kata-kata yang terikat oleh aturan-aturan tertentu yaitu lagu.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 109
Tembang macapat terdiri dari sebelas macam, yaitu; 1). Dhandhanggula, 2). Sinom, 3). Asmaradana, 4). Kinanthi, 5). Megatruh, 6). Pangkur, 7). Mijil, 8). Durma, 9). Kinanthi, 10). Maskumambang, 11). Pocung. Dalam tembang macapat terdapat dua bagian, yaitu syair dan lirik. Syair atau notasi disebut dengan titi laras, sedangkan lirik dalam tembang macapat disebut dengan cakepan. Titi laras tembang macapat dari turun-temurun tidak pernah berubah, dan terdapat berbagai macam titi laras dalam satu tembang macapat. Sedangkan untuk cakepan tembang macapat bisa berubah sesuai dengan sang pengarang. Setiap orang boleh dan bisa membauat cakepan tembang macapat. Cakepan tembang macapat sebenarnya mempunyai karakteristik yang sama dengan puisi. Membuat sebuah cakepan tembang macapat pun pada prinsipnya sama dengan membuat puisi.
3. Aturan Penulisan Cakepan Tembang Macapat Tembang macapat termasuk dalam kategori karya sastra lama. Sama halnya puisi lama yang terikat oleh konvensi (misalnya: pantun dan gurindam), macapat pun mempunyai konvensi atau aturan dalam pembuatannya, dalam bahasa jawa disebut dengan paugeran. Aturan atau paugeran dalam pembuatan cakepan tembang macapat yaitu; a. Guru gatra, yaitu jumlah baris dalam setiap bait (pada) cakepan tembang macapat. b. Guru Wilangan, yaitu; jumlah suku kata dalam setiap baris cakepan tembang macapat. c. Guru lagu, yaitu; dhong-dhinge swara saben gatra atau suara vokal terakhir dalam setiap baris tembang macapat. Perlu diketahui juga bahwa dari kesebelas tembang macapat yang telah disebutkan, mempunyai paugeran masing-masing. Hal ini berarti bahwa setiap tembang macapat mempunyai guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu yang berbeda antara jenis tembang satu dengan tembang yang lainnya.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 110
D. Media Pembelajaran Kaleng Bekas Susu / KB Susu sebagai Salah Satu Solusi Mengatasi Permasalahan Menulis Cakepan Tembang Macapat.
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah beranrti perantara atau pengantar (Sadiman: 6; 2012). Sedangkan media pendidikan dapat diartikan sebagai alat bantu alat bantu guru dalam proses pembelajaran. Media pendidikan atau alat bantu dalam proses pembelajaran yang baik menurut penulis adalah media yang mudah didapat dan murah. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis mencoba memanfaatkan barang bekas berupa kaleng susu untuk digunakan sebagai media dalam penulisan cakepan tembang macapat. Pemilihan kaleng susu bekas ini dilakukan karena memang barang ini seringkali hanya dibuang begitu saja, baik di rumah, maupun di kantin sekolah. Kaleng susu bekas ini dibuang karena dianggap sudah tidak berharga lagi. Sedangkan sebenarnya kalau kita kreatif, kita akan dapat menggunakan kaleng bekas susu tersebut dalam berbagai hal. Hali ini juga akan mengurangi polusi tanah. Karena dengan memaksimalkan penggunaan barang bekas, maka sampah akan semakin berkurang. Apalagi bahan barang bekas kaleng susu ini termasuk bahan yang sulit diurai didalam tanah.
Gambar
1. Kaleng susu yang tidak terpakai
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 111
Selain itu, SMAN 2 Blora merupakan sekolah Adiwiyata tingkat nasional. Dengan status ini, diharapkan SMAN 2 Blora menjadi sekolah yang peduli terhadap lingkungan. Salah satunya adalah dapat memanfaatkan barang bekas menjadi barang yang berguna dalam proses pembelajaran. Penggunaan barang yang sudah tidak terpakai merupakan bentuk dukungan terhadap pelaksanaan gerakan peduli lingkungan yang ada di SMAN 2 Blora. Tentu saja hal ini juga akan berdampak positif bagi siswa-siwi yang ada di sekolah.
E. Pemanfaatan Kaleng Bekas Susu (KB SUSU) dalam Pembelajaran Menulis Cakepan Tembang Macapat di kelas XI IPA 1 SMAN 2 Blora. Pemanfaatan Kaleng Bekas Susu (KB SUSU) dalam Pembelajaran Menulis Cakepan Tembang Macapat yang dilakukan di kelas XI IPA 1 SMAN 2 Blora, semester 1 tahun ajaran 2016/ 2017, tepatnya pada tanggal 3 dan 10 September 2016. Sedangkan langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1. Persiapan Tahap persiapan ini merupakan tahap yang menentukan dalam proses pembelajaran apapun itu, tidak terkecuali pada Pembelajaran yang memanfaatan Kaleng Bekas Susu (KB SUSU) dalam Pembelajaran Menulis Cakepan Tembang Macapat. Persiapan ini dimulai pada pertemuan seminggu sebelum memanfaatkan kaleng bekas susu tersebut. Pada pertemuan sebelumnya guru memberikan tugas kepada siswa untuk: a. Mencari satu buah kaleng bekas susu b. Menyiapkan kertas yang agak tebal. c. Menyiapkan gunting. d. Menyiapkan alat tulis (ballpoint/ spidol) e. Menyiapkan lem f. Membawa bambu/ kawat/ bekas ruji (jari-jari) sepeda, atau sejenisnya yang dapat digunakan untuk membuat kerangka tempat bekas kaleng susu
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 112
2. Pelaksanaan Pembelajaran Pertemuan 1 Pembelajaran pada pertemuan pertama ini merupakan pembelajaran yang inti dalam memanfaatan Kaleng Bekas Susu (KB SUSU) dalam Pembelajaran Menulis Cakepan Tembang Macapat . Kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran pertemuan tersebut adalah sebagai berikut; a. Siswadibentukbeberapakelompokyang setiap kelompokterdiri dari 4-6 siswa. b. kemudian disuruh mengeluarkan kertas yang telah dan dipotong disesuaikan dengan lebar dan panjang keliling kaleng susu bekas. (lihat di gambar 2.) c. Siswa diminta menentukan tema bebas yang akan dikembangkanmenjadipuisi (cakepan tembang macapat). d. Siswa menempelkan kertas pada kaleng yang disiapkan. (lihat Gambar 3). e. Siswa mulai menuliskan cakepan tembang macapat; Penulisan dilakukan di kertas yang telah dipotong sesuai ukuran. f. Siswa yang lain membuat kerangka untuk menyusun kaleng bekas yang sudah tertulisi cakepan tembang macapat. g. Setelah kerangka tempat kaleng bekas siap, maka kaleng-kaleng tersebut disusun di rangka tersebut. (lihat gambar 4) h. Setelah selesai di pasang, maka hasil karya bisa dikumpulkan. Kegiatan ini memerlukan waktu satu kali pertemuan atau 2 X 45 menit. Ini sesuai dengan waktu yang direncanakan. Akhir pertemuan ini guru menutup pertemuan dengan memberi penegasan bahwa pertemuan selanjutnya adalah diskusi hasil kerja dan praktik membaca cakepan tembang macapat yang telah dibuat. Perubahan yang ada adalah motivasi siswa semakin meningkat dalam mengikuti pembelajaran Bahasa Jawa, terutama dalam pelajaran menulis cakepan tembang macapat. Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku para siswa yang semakin gembira dan tidak ada yang mengeluh ataupun bersedih dalam proses pembelajaran menulis cakepan tembang macapat.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 113
3.
Pelaksanaan Pembelajaran Pertemuan kedua. Sebagai tindak lanjut kegiatan agar menjadi proses pembelajaran yang sempurna, maka pembelejaran dilanjutkan dengan pertemuan yang kedua. Pertemuan ini pun memerlukan waktu 2 X 45 menit (2 jam pelajaran). Langkah-langkah dalampertemuan yang kedua adalah sebagai berikut; a. Pada pertemuan tahap dua ini diawali dengan evaluasi proses pembelajaran pada pertemuan sebelumnya. Baik evaluasi hasil karaya cakepan tembang macapat maupun kerapian dan keindahan KB susu yang digunakan sebagai media pembelajaran menulis cakepan tembang macapat. b. Proses berikutnya adalah memperbaiki hasil pekerjaan membuat cakepan tembang macapat (bagi yang hasilnya tidak sesuai dengan paugeran penulisan tembang macapat (lihat gambar 5). c. Siswa membuat catatan tentang hasil diskusinya di buku masing-masing (lihat gambar 6) d. Langkah terakhir adalah; siswa membaca tembang macapat yang telah dibuat dengan cara memutar kaleng yang sudah trepasang di kerangkanya (Lihat gambar 6) Sekali lagi, ternyata penggunaan media dari bahan bekas, yaitu dari bekas kaleng susu memang efektif untuk menarik perhatian siswa. siswa semakin termotivasi dalam mengikuti pembelajaran menulis cakepan tembang macapat. Siswa merasa gembira karena dapat bereksplorasi dalam kegiatan pembelajaran.
F. Simpulan. Banyak yang berasumsi bahwa pembelajaran Bahasa Jawa merupakan salah satu pembelajaran yang masih dianggap sebelah mata. Oleh karena itu sangatlah perlu untuk mengoptimalkan pembelajaran bahasa dan sastra jawa. Salah satu cara untuk mengoptimalkan pembelajaran bahasa jawa adalah dengan metode pengajaran yang menarik dan menyenangkan serta penggunaan media yang unik. Pembelajaran ini merupakan pengalaman yang menerapkan media pengajaran yang menarik dan
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 114
menyenangkan; yaitu dengan menggunakan media yang unik, yaitu media KB Susu (kaleng bekas susu). Pembelajaran ini dilaksanakan di kelas XI MIPA 1 SMAN 2 Blora pada semester 1 tahun pelajaran 2016/2017. Pembelajaraan ini merupakan pengalaman memanfaatkan barang yang sudah tidak terpakai untuk media penulisan cakepan tembang macapat. Barang yang tidak terpakai tersebut adalah kaleng bekas susu (KB SUSU). Tentu saja memanfaatkan barang yang tidak berguna untuk dijadikan media pembelajaran merupakan tindakan yang perlu dibudayakan. Dengan media yang unik, murah dan aneh ini ternyata bisa membuat siswa menjadi antusias dalam mengikuti pembelajaran tembang macapat. Mereka sangat termotivasi dalam mengikuti pemblajaran, dan akhirnya dapat meningkatkan keterampilan menulis cakepan tembang macapat.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani. 2015. Problema dan Aksioma. Dalam Metodologi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Deepublish. Jamaris,
Martini.
2014.
Kesulitan
Belajar.
Prespektif,
Asesmen,
dan
Penanggulangannya. Bogor: Ghalia Indonesia. Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Penilaian Pembelajaran Bahasa. Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: BPFE. Padmosoekotjo. 1960.Ngéngréngan kasusastran Djawa : kanggo para siswa sekolah guru lan sekolah landjutan lijané. Jogjakarta : Hien Hoo Sing Pangrawit, Marto. 1975. Pengetahuan Karawitan. Jilid I dan II. Surakarta: ASKI Surakarta. Sadiman, arief dkk .2012. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembanganm dan pemanfaatannya. Depok:Rajawali Pers Semi, Attar. 1990. Metode Penilaian Sastra. Jakarta: Angkasa Sutardjo, Imam. 2014. Tembang Jawa. Solo: bukutujju. Wardoyo, Sigit Mangun. 2013. Teknik Menulis Puisi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 115
Peningkatan Kemampuan Menulis Dongeng Melalui Model Pembelajaran Picture and Picture pada Siswa Kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan
Retowati, S.Pd. M.Pd.
[email protected]
ABSTRAK Kemampuan menulis dongeng merupakan kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa kelas VII. Kemampuan menulis dongeng siswa SMP Negeri 3 Tunjungan rendah sehingga perlu diteliti. Penelitian ini berjudul “ Peningkatan Kemampuan Menulis Dongeng Melalui Model Pembelajaran Picture and Picture pada Siswa Kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan”. Tujuan penelitian ini adalah dengan penerapan model pembelajaran picture and picture dapat meningkatkan motivasi belajar dan meningkatkan kemampuan menulis dongeng yang pernah dibaca atau didengar dengan bahasanya sendiri pada siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan sebanyak dua siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan dan guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Sumber data ini adalah proses pembelajaran menulis dongeng, informan, dan dokumen. Teknik validitas menggunakan trianggulasi metode dan pengumpulan data. Teknik pengumpulan data menggunakan tes dan nontes. Adapun teknik analisis data menggunakan teknik deskriptif komparatif dan teknik analisis kritis Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan motivasi belajar pada siklus I, 72,8%, dan Siklus II, 83,6%. Selain itu juga adanya peningkatan kinerja guru yaitu pada siklus I mencapai 79%, dan siklus II 90%. Peningkatan kemampuan menulis dongeng ditandai dengan meningkatnya rata-rata dan ketuntasan belajar. Adapun nilai rata-rata siswa pada siklus I, 72,73, dan siklus II 76,73. Peningkatan ketuntasan belajar pada siklus I adalah 65,38%, dan siklus II mencapai 84,61%. Kata kunci: kemampuan menulis dongeng, model pembelajaran picture and picture.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 116
Kemampuan menulis dongeng siswa kelas VII A SMP N 3 Tunjugan masih rendah. Kemampuan menulis dongeng siswa kelas tersebut kurang memenuhi standar ketuntasan minimum yang dipatok oleh sekolah tersebut yakni sebesar 75 baik dari segi ketuntasan individu maupun ketuntasan klasikal. Hal tersebut disebabkan oleh faktor. Faktor pertama adalah kreativitas bahasa untuk mengembangkan sebuah cerita dan ketekunan siswa dalam menulis dongeng masih kurang. Siswa kesulitan ketika akan memulai menulis sebuah dongeng. Mereka tidak tahu cara mengungkapkan gagasannya ke dalamtulisan berbentuk cerita atau dongeng. Kebanyakan dari mereka masih mengulang-ulang kalimat yang sudah ditulis. Selain itu untuk melanjutkan ke kalimat berikutnya banyak dijumpai konjungsi kemudian, lalu, setelah itu dan lainlain. Faktor kedua adalah kreativitas guru dalam pembelajaran masih belum menggunakan pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Hal ini dapat dilihat dari dari metode dan media pembelajaran. Metode yang digunakan guru kurang diminati oleh siswa. Guru kurang mampu memunculkan pembelajaran yang inovatif sehingga ketertarikan siswa dalam pembelajaran menulis kurang dan akhirnya kemampuan menulisnya rendah. Selain metode yang kurang inovatif, guru cenderung kurang atau bahkan tidak menggunakan media. Guru cenderung menerangkan dengan cara ceramah sehingga siswa merasa bosan dan berdampak tidak memperhatikan pelajaran. Faktor ketiga adalah guru hanya memberikan teori-teori tentang menulis, kemudian memberikan tugas baik dikerjakan di sekolah ataupun tugas yang dikerjakan di rumah. Kemudian dalam membahas tugas, guru hanya menunjuk beberapa siswa sehingga siswa malas untuk mengerjakan tugasnya. Apalagi tugas diberikan secara individu. Dengan demikian wajar jika siswa memiliki kemampuan menulis yang rendah. Ketiga faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan menulis siswa tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja. Hal ini akan berdampak terhadap motivasi pembelajaran dan hasil belajar selanjutnya, khususnya dalam pembelajaran menulis. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 117
Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang sangat penting untuk dikuasai siswa. Dengan memiliki kemampuan menulis, siswa akan mampu mengungkapkan gagasannya dan ide-ide secara terstruktur dengan baik. Berdasarkan observasi tersebut perlu dilakukan penelitian di kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan, karena pembelajaran menulis dongeng masih rendah. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan guru bahasa Indonesia kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan bahwa upaya khusus untuk meningkatkan keterampilan menulis dongeng belum banyak dilakukan. Dengan demikian, penelitian tersebut sangat penting dan menarik untuk dilakukan. Pernyataan di atas, juga mengisya-ratkan bahwa dewasa ini dibutuhkan pembenahan yang serius dalam pengajaran menulis. Kemampuan menulis sangat penting dan perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan kemampuan menulis, guru berperan penting karena keberhasilan siswa juga dilihat dari guru dalam melaksanakan pembelajaran kepada siswa di kelas. Guru harus merancang dan memilih pembe-lajaran yang aktif, kreatif, dan inovatif di dalam kelas. Penggunaan model pembe-lajaran yang aktif, kreatif, dan inovatif mampu membawa perubahan. Perubahan itu adalah meningkatnya kemampuan menulis dan motivasi siswa dalam menulis dongeng. Peran guru ini dapat dilihat dari cara memberi motivasi atau dorongan dan kesempatan kepada siswa untuk mening-katkan keterampilan menulis dongeng. Dengan demikian, siswa benar-benar mampu menghasilkan dongeng yang merupakan hasil sebuah perenungan pribadi mereka, sedangkan untuk menumbuhkan, meningkatkan, dan mengembang-kan motivasi siswa untuk belajar menulis dongeng
dapat diperoleh melalui peran guru dalam menentukan model
pembelajaran. Model pembelajaran yang cocok dan sesuai dengan keterampilan menulis dongeng adalah model pembelajaran picture and picture. Menulis adalah menurunkan lambang-lambang grafik yang menggam-barkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca langsung lambang-lambang grafik tersebut, Kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafikitu. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 118
secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan.Menulis juga merupakan proses menggam-barkan suatu bahasa sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pem-baca (Andayani, 2015: 191). Kemampuan menulis adalah kemam-puan seseorang dalam menyusun suatu tulisan atau karangan berdasarkan fakta (umum) yang dapat dipertanggungjawab-kan kepada pembaca melalui medium bahasa tulis dan bertaat asas pada kaidah bahasa Indonesia. Komponen-komponen yang mengacu pada kemampuan menulis tersebut meliputi: (1) isi, yang meliputi relevansi, tesis yang dikembangkan; (2) organisasi isi, yang meliputi keutuhan, perpautan, pengembangan gagasan, dan organisasi keseluruhan karangan; (3)gramatika atau tata bahasa, yang meliputi ketepatan bentukan, kata dan keefektifan kalimat; (4) diksi, yang meliputi ketepatan penggunaan kata berkenaan dengan gagasan yang digunakan; (5) ejaan, yang meliputi penulisan huruf, kata, dan tanda baca. Kemampuan menulis adalah untuk mengungkapkan fakta-fakta, gagasan, sikap, pikiran, argumen, perasaan dengan jelas dan efektif kepada pembaca (Saddono, 2014: 178). Putera (2014: 35) berpedapat bahwa dongeng adalah suatu cerita yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata. Cerita ini kemudian menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia khayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Krismarsanti (2009: 37) mengung-kapkan bahwa menulis dongeng adalah menulis dengan daya imajinasi yang tinggi, berlatih kreatifitas daya imajinasi, dan kemampuan mendramatisasi suatu adegan. Kalimat-kalimat yang digunakan dalam menulis dongeng adalah kalimat tunggal atau dengan prinsip satu paragraf satu ide. Menulis dongeng juga disebut karangan fiksi. Karangan fiksi merupakan karangan yang berisi kisahan atau cerita yang dibuat berdasarkan khayalan atau imajinasi pengarang. Model pembelajaran Picture and picture merupakan strategi pembelajaran yang menggunakan gambar sebagai media pembelajaran. Strategi ini mirip dengan Example Non Example, dimana gambar yang diberikan pada siswa harus Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 119
dipasangkan atau diurutkan secara logis. Gambar-gambar ini menjadi perangkat utama dalam proses pembelajaran.Untuk itulah, sebelum proses berlangsung, guru sudah menyiapkan gambar yang akan ditampilkan baik dalam bentuk kartu atau dalam bentuk carta berukuran besar. Gambar-gambar tersebut juga bisa ditampilkan melalui bantuan Power Point atau sofware-sofware lain (Suprijono, 2014: 125). Uno (2006: 23) mengungkapkan bahwa motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung. Hal itu mempunyai peranan yang besar dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. . Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan guru bahasa Indonesia kelas VII A (Tutwuti Handayani) kesulitan menulis juga dialami oleh siswa terutama siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan Kabupaten Blora. Kesulitan tersebut adalah kemampuan dalam menulis dongeng.
METODE PENELITIAN Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan. SMP Negeri 3 Tunjungan merupakan salah satu SMP yang berada di kabupaten Blora tepatnya di desa Gempolrejo, kecamatan Tunjungan, Jawa Tengah. SMP ini dapat dikatakan sebagai SMP pinggiran. Pemilihan lokasi dalam penelitian ini dengan beberapa pertim-bangan. Pertimbangan pertama ialah kemampuan siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan dalam menulis dongeng masih kurang. Kedua, tempat tersebut belum pernah digunakan untuk penelitian sejenis. Hal ini dimungkinkan tidak adanya kemungkinan kesamaan penelitian tindakan. Subjek dalam penelitian ini ialah seluruh siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan tahun pelajaran 2016/2017. Siswa kelas VII A sebanyak 26 anak, yang terdiri atas `12 siswa laki-laki dan 14 siswa perempuan. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data pengamatan di atas meliputi pengamatan, wawancara atau diskusi, kajian dokumen, dan tes. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 120
Validitas data dilakukan untuk dapat mempertanggungjawabkan penelitian seca-ra ilmiah. Validitas data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua teknik. Dua teknik tersebut adalah triangulasi dan review informan. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan validitas data dengan memanfaatkan sarana diluar data untuk keperluan pengecekan atau pembandingan data itu, Lexy J. Moleong (dalam Suwandi, 2011: 65). Teknik triangulasi yang diguna-kan antara lain berupa triangulasi sumber data dan triangulasi metode pengumpulan data. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam kegiatan menulis dongeng dan factorfaktor penyebabnya. Review informan kunci adalah mengkonfirmasikan data atau interpretasi temuan kepada informan kunci. Dengan demikian diperoleh kesepakatan antara peneliti dan informan tentang data atau interpretasi temuan tersebut. Hal ini dilakukan melalui kegiatan diskusi antartim peneliti setelah kegiatan pengamatan maupun kajian dokumen. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Peningkatan Motivasi SiswadalamPembelajaranMenulis Dongeng Penerapan model pembelajaran picture and picture dalam pembelajaran menulis dongeng pada siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan dapat membuat siswa lebih tertarik dan termotivasi untuk aktif. Siswa lebih bersemangat dalam mengamati gambar, mendengarkan penje-lasan guru, mengurutkan gambar, berdiskusi dan bersemangat menulis dongeng hingga membacakannya atau mempresentasikan hasilnya. Model pembelajaran baru yang digunakan oleh guru, membuat siswa lebih aktif atau siswa lebih termotivasi dalam mengamati, menentukan urutan, hingga menyelesaikannya menjadi tulisan. Adanya timbal balik yang baik antarsiswa akan membuat siswa lebih aktif atau lebih termotivasi dalam pembelajaran. Namun, pada awal penelitian, timbal balik antarsiswa belum maksimal. Timbal balik yang maksimal terlihat di siklus II.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 121
Di siklus I, ada lima siswa yang kurang aktif dalam kerja kelompok. Empat anak cenderung ramai dan mengganggu teman yang lain. Selain itu ada salah satu siswa yang posisi duduknya tidak menghadap teman-temannya dalam kelompoknya. Namun siklus II menunjukkan peningkatan kegiatan berkelompok. Semua anggota kelompok mampu berperan aktif dalam mendiskusikan, mengamati, mengurutkan gambar, dan menulis dongeng yang pernah di baca atau didengar sesuai dengan urutan gambar. Siswa di siklus I cenderung diam dan tidak bertanya. Siswa siklus II lebih aktif dalam bertanya jika belum mengerti. Kegiatan menulis dongeng siswa siklus I kurang begitu lancar, hal ini ditunjukkan dengan adanya dua kelompok yang masih kebingungan untuk mengurutkan gambar. Ada peningkatan dalam pembe-lajaran di siklus II. Semua siswa sudah mampu mengurutkan gambar menjadi sebuah dongeng yang utuh tanpa diawali dengan kebingungan seperti siklus I. Peningkatan tidak hanya terjadi pada siswa, tetapi juga terjadi pada guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Pada pratin- dakan, guru mengalami kesalahan dalam menyampaikan materi menulis dongeng. Guru tidak memberikan pelajaran menulis, melainkan memberikan pelajaran menyi- mak dan menulis dongeng yang dibacakan. Kesalahan tersebut mengakibatkan siswa tidak mendapatkan kemampuan menulis yang diharapkan. Metode yang digunakan guru pada pratindakan adalah metode konvensional. Hanya ceramah, mendengarkan dongeng yang dibacakan, menulis kembali dongeng yang pernah dibaca atau didengar dengan bahasanya sendiri. Pemilihan model pembelajaran yang kurang tepat, dinilai kurang sesuai dengan kompetensi dasar menulis dongeng yang pernah di baca atau di dengar. Media yang digunakan adalah teks dongeng, itu saja hanya dipegang oleh guru. Sementara siswa tidak mendapatkan teks dongeng tersebut. Hal tersebut berdampak, siswa menyepelekan tugas yang diberikan guru dan tidak mengasah kemampuannya untuk menulis dongeng. Penelitian tindakan kelas ini, membantu guru untuk meluruskan kesalahan rancangan dalam pembelajaran menulis dongeng, memilih model pembe-lajaran yang tepat, dan menggunakan media yang sesuai dalam pembelajaran menulis Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 122
dongeng. Model yang digunakan ialah model pembelajaran picture and picture. Di siklus I, guru kurang mampu menerapkan model pembelajaran picture and picture dalam pembelajaran menulis dongeng. Namun guru sudah mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dalam pembelajaran meskipun kurang dapat dimanfaatkan oleh siswa. Media gambar yang disediakan oleh guru juga sudah dapat dinilai bagus. Media gambar yang digunakan mampu membuat siswa lebih tertarik dengan pembelajaran menulis dongeng. Kemampuan guru menerapkan model pembelajaran picture and picture dalam pembelajaran menulis dongeng mengalami peningkatan di siklus II. Guru telah mampu menerapkan model pembelajaran dengan baik, serta menggunakan gambar sebagai media dengan optimal. Guru mampu membimbing siswa dalam menulis dongeng yang pernah dibaca atau didengar sesuai dengan urutan gambar. Berdasarkan uraian di atas, kinerja guru pada pratindakan sampai pelaksanaan siklus II mengalami peningkatan. Kinerja guru selama pembelajaran menulis dongeng dari pratindakan hingga siklus II mengalami peningkatan. Kinerja guru tergolong cukup pada tahap pratindakan dengan nilai 69. Kinerja guru pada siklus I mengalami peningkatan menjadi 79 dengan kategori baik. Selanjutnya kinerja guru pada siklus II mengalami peningkatan menjadi 90 dengan kategori sangat baik. 2. PeningkatanKemampuanMenulis Dongeng Sebelum dilaksanakan tindakan, siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan memiliki kemampuan menulis dongeng yang masih rendah. Hasil akhir siswa kurang mencapai KKM yang telah ditentukan,yakni 75dan tuntas klasikal minimal yakni 75%. Hal ini dapat diketahui dari hasil pratindakan. Nilai rata-rata kelas adalah 64,62 jauh dari KKM yang telah ditentukan. Hanya 8 siswa yang telah mencapai ketuntasan. Untuk meningkatkan nilai siswa, baik nilai individu maupun nilai klasikal, diterap-kannya model pembelajaran picture and picture. Pada siklus I, jumlah siswa kelas VIIA SMP Negeri 3 Tunjungan yang mencapai KKM masih belum mencapai 75%. Hanya 19 siswa atau 73% yang tuntas. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 123
Nilai rata-rata kelas juga masih 72,73. Hal ini dapat dimaklumi dikarenakan siswa dan guru kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan belum terbiasa dengan model pembelajaran picture and picture. Namun hal tersebut sudah mengalami peningkatan dibandingkan hasil pratindakan. Karena hasil siklus I yang belum sesuai dengan tujuan akhir pembelajaran menulis dongeng yang pernah dibaca atau didengar dengan bahasanya sendiri, maka tindakan dilanjutkan ke siklus II. Siklus II dilaksanakan dengan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi di siklus I. Hasil siklus II memuaskan. Rata-rata kelas mengalami peningkatan 4,% yaitu menjadi 76,73. Hal ini berarti rata-rata siklus II telah memenuhi KKM yang telah ditentukan. Peningkatan yang signifikan terlihat pada hasil ketuntasan klasikal. Siswa yang tuntas mencapai 84,61% (22 siswa) atau 19,23% pening-katan dari hasil siklus I. Di siklus II, guru dan siswa telah terbiasa dengan model pembelajaran picture and picture, sehingga hasil akhir pembelajaran telah mencapai KKM yang ditentukan. Namun ada empat siswa yang masing berada di bawah nilai KKM. Di akhir siklus II, empat siswa mendapat nilai di bawah 75 yakni seorang mendapat nilai 50, satu siswa, mendapat nilai 60, dan satu siswa lagi memperoleh nilai 65, serta nilai 70 juga diperoleh seorang siswa. Hal ini perlu diperhatikan oleh guru. Kelemahan dari tiga siswa ini adalah kurangnya kemampuan untuk memilih kata dalam menulis sebuah dongeng yang dibaca atau didengar dengan bahasanya sendiri. Ketiga siswa perlu diadakan tindak lanjut, yakni dengan remedial. Kekurangan yang terjadi di akhir siklus II tersebut tidak mengurangi keberhasilan penelitian yang dilaksanakan. Keberhasilan penelitian diperoleh dengan pencapaian tujuan yang telah ditentukan yakni, rata-rata nilai mencapai 75% atau lebih, sesuai dengan KKM yang telah ditentukan. Nilai rata-rata siklus II mencapai 84,61%. Hal ini membuktikan bahwa model pembelajaran picture and picture mampu meningkatkan kemampuan menulis dongeng siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Gutierrez tahun 2015 yang berjudul Using Picture Series Tehnique to Enhance Narrative Writing Among Ninth Grade Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 124
Students at Intitucion Educativa Simon Araujo, penelitian ini merupakan penelitian tindakan dengan penggunaan gambar berseri untuk meningkatkan EFL narasi. Hasil yang diperoleh melalui statistik deskriptif (mean) menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara pendekatan kelompok yang diajarkan melalui teknik gambar seri dan proses berbasis lebih dari satu hanya menerima intruksi berbasis proses. Penelitian ini sama-sama menggunakan gambar sebagai media pembelajaran. Hasil pembelajaran
dalam penelitian ini dengan penelitian terdahulu mengalami
peningkatan yang signifikan yaitu peningkatan dalam kemampuan menulis cerita. Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Phil pada tahun 2013 berjudul Teaching Writing Using Pictures Stories As Tools At The High School Level The Movement From Other Regulation To Self Regulation. Tujuan penelitian ini adalah untuk membantu peserta didik ESL di tingkat SMA atau disekolah menengah daerah Andhra Pradesh untuk meningkatkan kemampuan menulis dalam bahasa Inggris melalui penggunaan strategis cerita gambar. Pembelajaran ini merupakan pembelajaran inovatif yang diharapkan untuk mengetahui peningkatan keteram-pilan menulis. Keputusan untuk menggu-nakan gambar dalam menulis cerita sebagai alat adalah pilihan yang disengaja karena sudah ada argumen yang cukup, bahwa guru ESL dapat menemukan sumber daya berharga dalam gambar untuk mening-katkan kemampuan menulis peserta didik. Penelitian Oematshu ini berjudul The Use of Pictures and Illustrations in teaching English. Penelitian ini mempertimbangkan kembali fungsi gambar dan ilustrasi dan meneliti kegunaannya dalam belajar bahasa. Dengan menggunakan gambar, peserta didik dapat memprediksi apa yang mereka akan membaca. Prediksi ini dapat dilakukan secara individual dan diam-diam, atau dapat dilakukan dalam bentuk diskusi berpasangan dan kelompok-kelompok kecil. Dalam diskusi penggunaan gambar menjadikan peserta didik lebih kreatif dan imajinatif. Dengan demikian membaca dapat menjadi aktivitas yang lebih holistik bila digunakan dalam kombinasi dengan komunikatif atau aspek pembelajaran bahasa seperti berbicara dan mendengarkan dan menulis. Persamaan penelitian yang dilakukan Phil dengan penelitian ini adalah penggunaan gambar sebagai media pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan menulis cerita. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 125
Penelitian lain yang dilakukan Sa’diyah pada tahun 2009 berjudul Improving Student’ Ability in Writing Descriptif Teks Throug A Picture Seriesaided Learning Strategi atau Peningkatan Kemampuan Menulis Teks Diskriptif melalui Strategi Pembelajaran Gambar Berseri pada Siswa Kelas 10 SMA Negeri Kembangbahu Lamongan. Pengum-pulan data menggunakan angket, penga-matan dan rubrik penilaian. Data dari angket menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki sikap positif terhadap penggunaan gambar berseri dalam menulis deskriptif. Selain itu dari data pengamatan didapat bahwa siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Penelitian ini juga menunjukkan adanya peningkatan menulis diskriptif siswa, dengan nilai rata-rata 56,86 menjadi 77,87. Penggunaan media gambar dapat meningkatkan
keterampilan berbahasa khususnya keterampilan
menulis. Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah untuk meningkatkan keterampilan menulis. Penelitian yang lain dilakukan oleh Jalongo. Penelitian ini berjudul “Using Wordlees Picture books to Support emergent literacy” Penelitian ini menggu-nakan buku gambar atau buku tanpa kata-kata. Buku tersebut yang sepenuhnya mengandalkan ilustrasi atau gambar cerita. Gambar cerita merupakan sumber yang bagus untuk pendidik anak-anak. Artikel ini memberikan pemikiran berbasis penelitian untuk menggunakan buku tanpa kata-kata, menawarkan urutan untuk memperkenalkan
anak-anak
dalam
menulis
cerita.
Penggunaan
gambar
menunjukkan strategi umum dan beragam kegiatan keaksaraan awal berdasarkan buku tanpa teks, merekomendasikan cara-cara berkomunikasi dengan orang tua / keluarga tentang nilai buku tanpa kata-kata. Buku tanpa kata-kata yang luar biasa juga termasuk contoh buku yang bergenre sastra. Dengan buku bergambar ini dapat meningkatkan kemampuan anak dalam menulis dalam menulis cerita, dan dapat ditanggapi anak dengan baik. Ada persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini. Persamaannya adalah untuk meningkatkan kemampuan menulis cerita.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil dua simpulan besar sebagai berikut; Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 126
1) Penerapan model pembelajaran picture and picture dapat meningkatkan motivasi belajar siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan dalam pembelajaran menulis dongeng yang pernah dibaca atau didengar dengan bahasanya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari (a) siswa semakin aktif dalam mendengarkan penjelasan guru; (b) siswa mampu menunjukkan tanggung jawab saat mengerjakan tugas; (c) siswamampu menyelesaikan tugas di kelas dengan tepat waktu dalam menulis dongeng; (d) siswa aktif bertanya kepada guru atau teman mengenai materi menulis dongeng yang belum diketahui; (e) siswa menunjukkan pemahamannya dalam mengerjakan tugas dan menjawab perta-nyaan; dan (f) siswa mampu menulis dongeng dengan baik. Dari uraian tersebut, disimpulkan bahwa ada peningkatan motivasi belajar kemampuan menulis dongeng dan peningkatan kinerja guru. Rata-rata motivasi siswa meningkat pada siklus I sebesar 72,8% dan siklus II mencapai 83,6%. Kinerja guru pada siklus I nilai 79% dengan kategori baik. Selanjutnya pada siklus II mencapai nilai 90% dengan kategori sangat baik. 2) Penerapan model pembelajaranpicture and picturedapatmeningkatkankemampuanmenulisdongengsiswakelas VII A SMP Negeri 3 Tunjungan. Peningkatan menulis dongeng ditandai dengan meningkatnya rata-rata dan ketuntasan belajar. Padasiklus I berjumlah 17 (65,38%), dan siklus II berjumlah 22 (84,61%). Nilai ratarata kelas dalam pembelajaran menulis dongeng mengalami peningkatan. Nilai ratarata pada siklus I adalah 72,73, dan siklus II adalah 76,73.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 127
DAFTAR REFERENSI Andayani. 2015. Problema dan Aksioma. Surakarta: deepublish. Hamdayana, Jumanta. 2014. Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan Berkarakter. Jakarta: Graha Ilmu. Jalongo, M.R. Conrad N,K. Zhang, Ann. & Dragich Denise, Using Wordless Picture Books Support Emergent Literacy, Eary Childhood education journal, ollege Lodge Road, Indiana: Human Sciences Press Inc, vol 29. No 3, PP. 167-177. Gutierrez, Katia Gregoria Contreras. 2015 . Using Picture Series Tehnique to Enhance Narrative Writing Among Ninth Grade Students at Intitucion Educativa Simon Araujo. English Language Teaching,Vol 8, No 5, PP 45-70. Krismarsanti, Ermiana. 2009. Karangan Fiksi dan Nonfiksi. Surabaya: PT temprina Media Utama. Phil, Y Nirmala. 2013. Teaching Writing Using Picture Stories As Tools At The High Scool Level The Movement From Other Regulation To Self Regulation. Language in India. Vol 13: 2. ISSN 1930-2940. Putera, Prakoso Bhairawa. 2014. Mengenal dan Memahami Ragam Karya Prosa Lama. Jakarta: Graha Ilmu. Sa’diyah, Halimatus. 2009 Improving Student Ability and Writing Descriptive Texts Trough a Picture Series Aided Learning.The English Teacher Vol. XL, PP 164182. Saddhono, Kundaru. 2014. Pembelajaran Keterampilan Bahasa Indonesia Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Suprijono, Agus. 2014.Cooperative Learning Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suwandi, Sarwiji. 2011.Penelitian Tindakan Kelas. Surakarta: Yuma Pustaka.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 128
Uematshu, Hajime. 2012. The Use of Pictures and Illustrations in Teaching English, Centuty education Forum Vol.7, PP 45-49. Uno, Hamzah B. 2014 . Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 129
NILAI KELUHURAN DALAM SERAT WULANGPUTRA KARYA PAKUBUWANA IX SEBAGAI SUMBER PENDIDIKAN KARAKTER (SEBUAH KAJIAN STILISTIKA) Yohanes Pien Yunior Erwien erwien
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Serat Wulangputra karya Pakubuwana IXdan menemukan nilai-nilai keluhuran yang dapat menjadi sumber pendidikan karakter di sekolah. Penelitian ini menggunakan teori stilistika. Teori tersebut digunakan karena dalam penelitian ini akan dianalisis gaya bahasa SeratWulangputrakarya Pakubuwana IX. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan stilistika dan menggunakan metode deskriptif analisis. Hasil penelitian ini menemukan bahwa aspek-aspek stilistika yang mencakup aspek bunyi, aspek leksikal, bahasa figuratif dan sarana retorika, serta aspek citraan menjadi unsur pembangun keindahan puisi yang berbentuk tembang macapat. Aspek bunyi meliputi purwakanthi, aspek leksikal meliputi penggunaan tembung rangkep, tembung andhahan, dasanama, kosok balen, tembung garba, tembung wancah, tembung plutan, wangsalan, kata serapan, dan baliswara. Pemajasan meliputi majas simile, metafora dengan sasmita tembang dan sengkalan, metonimi, personifikasi, hiperbola, dan sarkasme. Aspek citraan meliputi citraan penglihatan, pendengaran, gerak, dan penciuman. Ditemukan pula ajaran ‘piwulang’ sebagai nilai keluhuran yang dapat menjadi sumber pendidikan karakter. Nilai-nilai keluhuran yang terdapat dalam serat Wulangputra memiliki relevansi dengan kurikulum muatan lokal bahasa Jawa.
Kata kunci: stilistika, nilai keluhuran, pendidikan karakter, serat Wulangputra.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 130
A. Pendahuluan Pendidikan tidak hanya bertujuan membentuk peserta didik untuk pandai, pintar, berpengetahuan, dan cerdas tetapi juga berorientasi untuk membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, berpribadi dan bersusila (Dewantara (1962:14). Pendidikan juga harus memperhatikan kebudayaan sebagai hasil budi daya, cipta, rasa, dan karsa manusia karena kebudayaan merangkum berbagai hasil karya luhur manusia. Penanaman kembali nilai-nilai luhur sebagai pembentukan generasi berkarakter sangat ditekankan dalam dunia pendidikan. Usaha tersebut sangat didasari oleh keprihatinan mendalam akan adanya degradasi moral generasi muda. Banyak tawuran tanpa sebab yang jelas, mudahnya masyarakat tersulut amarah karena masalah sederhana, hilangnya semangat kekeluargaan, memudarnya sikap santun, bahkan menipisnya rasa kebangsaan di antara warga bangsa. Lebih dari tindakan tersebut, Ratna (2014:62) menulis bahwa manusia seolah-olah sudah tidak memiliki rasa perikemanusiaan, masyarakat bertindak terlalu bebas. Arus deras globalisasi, dengan semakin sempitnya sekat yang membatasi ruang dan waktu, membuat terjadinya banjir informasi. Guru
sebagai
penjaga
terdepan
benteng
moral
bangsa
mendapat
tanggungjawab utama dan mulia untuk memperbaiki karakter generasi muda. Pembelajaran Bahasa Daerah sebagai bagian dari kurikulum muatan lokal wajib untuk semua jenjang sekolah, sangat berkaitan dengan upaya penanaman nilai luhur sebagai bagian dari pembentukan karakter bangsa. Pada khasanah sastra dan budaya daerah, dalam hal ini budaya Jawa, banyak ditemukan karya sastra yang dapat dijadikan sumber dalam penanaman nilai-nilai karakter. Secara khusus adalah penanaman nilai-nilai karakter yang sesuai dan bersumber pada tradisi bangsa. Banyak literatur dan rujukan tentang nilai karakter dari luar yang dijadikan acuan, padahal bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa memiliki warisan budaya yang didalamnya sarat dengan pembinaan nilai-nilai karakter. Pertanyaan yang muncul adalah dimana pendidik maupun peserta didik dapat menemukan nilai-nilai karakter yang bersumber pada budaya sendiri. Jawaban dari Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 131
pertanyaan tersebut, salah satunya adalah dengan mencari literatur atau karya sastra tradisional tulisan para pujangga masa lalu. Ratna (2014:88) menyatakan bahwa hampir keseluruhan genre sastra lama pada dasarnya adalah pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan karakter terkandung baik dalam sastra lisan maupun tulisan. Karya sastra tradisional sebagian berupa serat pitutur yang khusus ditujukan sebagai wejangan kepada generasi muda. Di antaranya adalah Serat Sanasunu, Serat Bratasunu, Serat Wulangsunu, Serat Wulangputri, Serat Wulangputra, dan beberapa judul lain yang bertema pitutur. Subjek penelitian ini adalah Serat Wulangputra. Merujuk pada kalimat pembuka pada Serat Wulangputra, dinyatakan bahwa karya ini ditulis oleh Susuhunan Pakubuwana IX, raja Kasunanan Surakarta yang bertahta pada tahun 1861 – 1893 Masehi. Serat Wulangputra selesai ditulis pada hari Selasa Kliwon, 3 Sapar 1805 Jawa atau 29 Pebruari 1876 Masehi. Serat berarti tulisan atau karya yang berbentuk tulisan, wulang berarti ajaran, sedangkan putra berarti anak atau ananda. Dengan demikian Serat Wulangputra berarti tulisan yang berarti ajaran untuk para putra. Serat Wulangputra adalah salah satu karya sastra tradisional Jawa yang mengandung nasihat, ajaran, pitutur bagaimana sikap yang baik yang harus dimiliki oleh seorang putra atau anak. Serat Wulangputra seperti kebanyakan sastra tradisional Jawa lain, ditulis dalam bentuk tembang macapat yang masuk genre puisi lama. Teks serat Wulangputra dapat ditemukan di beberapa tempat, diantaranya merupakan koleksi Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta, koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta, koleksi Perpustakaan Sonobudoyo Yogyakarta, dan koleksi Yayasan Sastra Lestari Surakarta. Pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, serat Wulangputra disimpan dalam katalog no PW177, NR88, rol 233og, berjudul Piwulang Dalem Pakubuwana IX. Pada katalog milik FSUI, sebenarnya masih ada satu nomor lagi, yaitu PW 55 NR 86 dengan judul Serat Wira Iswara, yang didalamnya mencakup pula serat Wulangputra, tetapi koleksi tersebut dinyatakan hilang. Pada katalog Museum Radya Pustaka, serat Wulangputra juga disimpan menjadi satu bendel dalam kumpulan naskah dengan judul Serat Wulang Dalem Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 132
Pakubuwana IX: Serat Wira Iswara, dengan kode RP 108, 306 (370.114 Reel 16 – 28/16). Pada Perpustakaan Sonobudoyo Yogyakarta, serat Wulangputra disimpan dalam kumpulan serat dengan judul Kempalan Serat Warni-warni, P28, SK20, 397, Rol 111, No.2, berisi kumpulan 17 serat karangan Mangkunegara IV, Pakubuwana IX, Yasadipura I.Naskah serat Wulangputra berikutnya merupakan koleksi Yayasan Sastra Lestari Surakarta, dengan kode katalog Wulang Putra, Padmasusastra, 1898, #1344. Berupa teks aksara Jawa cetak, merupakan kumpulan naskah karya Pakubuwana IX, dengan judul Serat Wira Iswara, diterbitkan oleh Albert Rusche di Surakarta pada tahun 1898 Masehi. Serat Wulangputra dapat menjadi salah satu acuan bagi pendidik yang akan memberikan pembelajaran tentang karakter, khususnya karakter yang berbasis budaya Jawa. Penelitian ini mengkaji serat Wulangputra karya Susuhunan Pakubuwana IX dengan pendekatan stilistika. Stilistika digunakan untuk membedah gaya bahasa sastra sebagai media untuk menemukan nilai estetisnya.Selain itu, penelitian ini juga mengkaji nilai-nilai keluhuransebagai sumber bagi pendidikan karakter. Penelitian ini akan mengungkap bentuk gaya bahasa atau style dalam Serat Wulangputra karya Susuhunan Pakubuwana IX ditinjau dari aspek bunyi, aspek leksikal, bahasa figuratif dan sarana retorika, serta citraan. Hal berikutnya yang akan diungkap adalah ajaran tentang pendidikan karakter dalam Serat Wulangputra, serta relevansi nilai pendidikan karakter dalam serat Wulangputra dengan pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah. Teori yang akan digunakan pada penelitian ini adalah teori stilistika. Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan style secara umum adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Stilistika secara definitif adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa, tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Dapat dinyatakan bahwa stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi, keunikan, dan kekhasan bahasa serta gaya bahasa dari bunyi bahasa, pilihan kata, kalimat, wacana, citraan, hingga bahasa figuratif. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 133
Fungsi keindahan sebuah teks didukung oleh keseluruhan aspek secara bersama, meskipun sering ditemukan ada salah satu aspek yang terasa lebih dominan dari aspek yang lain. Nurgiyantoro (2014:103) menyatakan bahwa rasa keindahan sebenarnya terjadi dalam jiwa, di hati dan pikiran. Aspek keindahan dalam karya sastra ditemukan jika ada keseimbangan antara aspek bahasa sebagai bentuk dan muatan makna sebagai isi. Komponen style sebuah teks sastra mencakup aspek bunyi, aspek leksikal, struktur morfologis dan sintaksis, bahasa figuratif, sarana retorika, citraan, koherensi dan kohesi, grafologi, dan format penulisan (Nurgiyantoro, 2014:149). Dalam suatu penelitian, tidak semua aspek tersebut dianalisis, tergantung dari tujuan yang hendak dicapai. Penekanan tentang sangat diperlukannya pendidikan karakter bagi siswa memerlukan referensi atau rujukan yang sesuai dengan karakteristik bangsa. Serat Wulangputra diduga dapat menjadi sumber rujukan bagi pendidikan karakter yang berbasis pada kearifan lokal. Penelitian ini menggunakan teori Stilistika. Teori ini merupakan salah satu cara untuk membongkar karya sastra melalui analisis gaya bahasa.
B. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif kualitatif dengan tujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang cermat, detail, utuh. Sutopo (2006: 40) menyatakan bahwa kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang tidak semata-mata berdasar pada kekuatan angka, namun lebih mengarah pada informasi yang kaya akan makna.Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif. Hasil analisis serat Wulangputra, diharapkan dapat menjadi rujukan bagi para pendidik untuk memberikan pembelajaran mengenai pendidikan karakter, sekaligus materi teks serat Wulangputra dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Relevansi dan aktualisasi dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah diketahui berdasar wawancara dengan guru bahasa Jawa. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 134
C. HASIL PENELITIAN Berikut ini diuraikan hal-hal yang terungkap dari pengkajian terhadat serat Wulangputra: 1. Gaya Bahasa dalam serat Wulangputra a. Aspek Bunyi Ditemukan dua struktur bunyi. Pertama struktur bunyi yang sudah menjadi pedoman umum penulisan tembang macapat, yaitu guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Penulisan larik-larik puisi dalam serat Wulangputra mengikuti secara total peraturan penulisan tembang macapat sesuai metrum masing-masing. Kedua, aspek bunyi yang berkaitan dengan kreatifitas pengarang, yaitu purwakanthi swara, purwakanthi sastra, dan purwakanthi basa. (1) Purwakanthi swara atau perulangan bunyi vokal, dalam serat Wulangputra terdiri dari bunyi /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/. Purwakanthi swara /a/ merupakan perulangan terbanyak yang ditemukan. Berikut ini contoh beberapa purwakanthi swara: (a) lumaksana tan rekasa(I.8:3) ‘berjalan tidak mengalami kesulitan’ (b) keras budi kurang titi(V. 1:2) ‘berhati keras dan kurang teliti’ (c) tumutur utamanipun (I.7:1) ‘nasehat yang utama’
Purwakanthi sastra atau perulangan konsonan terdiri dari bunyi /ng/, /t/, /l/, /k/, /w/, /r/, dan /m/. Contoh purwakanthi swara terlihat pada larik berikut: (a) wasising gendhing kondhang(I.1:5) ‘terkenal karena keterampilan dalam seni karawitan’ (b) tinali tinuladheng tyas (I.3:5) ‘diikat sebagai teladan hati’ Ditemukan pula purwakanthi basa dengan perulangan suku kata dan perulangan kata. Perulangan tersebut terjadi pada satu larik, pada larik berikutnya, maupun berulang-ulang pada beberapa larik di bawahnya. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 135
b. Aspek Leksikal Pada analisis aspek leksikal mengenai pilihan kata atau diksi, ditemukan penggunaan kata yang menjadi ciri kas puisi berbentuk tembang macapat. Diantaranya adalah sinonim atau dasanama, antonim atau kosok balen,kata arkhais yang terdiri dari reduplikasi dan kata berimbuhan, tembung garba, tembung wancah, tembung plutan, tembung saroja,kata-kata dari bahasa Arab dan Melayu, dan baliswara. Dasanama atau sinonim banyak ditemukan dalam serat Wulangputra. Penggunaan kata-kata bersinonim tersebut menunjukkan daya kreatifitas pengarang untuk mencari alternatif kata lain yang bentuknya berbeda, tetapi memiliki makna yang sama. Meskipun memiliki makna yang kurang lebih sama, masing-masing kata bersinonim tersebut memiliki daya ekspresi yang berbeda. Misalnya kata maluweng ‘masuk ke kubur’ bersinonim dengan tinggal, dan bersinonim pula dengan frasa mulih mring rahmatulloh. Ketiga istilah tersebut mengacu pada kata wafat, tetapi masing-masing memiliki daya ekspresi yang berbeda. Tembung kosok balen atau antonim ditemukan pada larik yang sama dan larik yang berbeda. Berdasar klasifikasi antonim menurut Sasangka (2011: 206), jenis antonim yang ditemukan termasuk antonim mutlak dan antonim tingkatan. Antonim mutlak misalnya kata jalu dan wanita, sedangkan antonim tingkatan misalnya kata siang dan dalu. Penggunaan tembung kosok balen merupakan kreatifitas pengarang untuk menunjukkan dua hal yang berbeda atau berlawanan. Tembung garba, tembung wancah, tembung plutan, dan tembung saroja merupakan ciri khas dan sebagian kekayaan bahasa Jawa. Beberapa jenis kata atautembung tersebut digunakan sebagai sarana membangun keindahan puisi, sekaligus sebagai sarana memenuhi peraturan ketat dalam penulisan tembang macapat. Kata pinurweng sebagai tembung garba, merupakan penggabungan dari kata purwa yang mendapat sisipan –in-dan kata depan ing. Penggabungan tersebut selain memenuhi unsur guru wilangan, sekaligus juga untuk mempercantik wajah puisi yang ditulis. Demikian pula analisis mengenai tembung wancah, penghilangan salah satu huruf pada suatu kata tidak mengubah arti, justru memperindah puisi Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 136
tersebut. Kata sining praja di, yang seharusnya isining praja adi tetap dapat diterima maksudnya dan mempercantik larik puisi tersebut. Kata-kata asing yang ditemukan merupakan kata-kata dari bahasa Arab dan Melayu. Kata-kata atau istilah dari bahasa Arab berkolokasi dengan ajaran agama Islam digunakan untuk menekankan aspek religiusitas, karena Pakubuwana IX beragama Islam. Misalnya kata atau frasa wawaton ruwiya nabi kita Kangjeng Rasullulah insaalah mitulungi ‘berdasar petunjuk nabi kita Kanjeng Rasullulah yang insyaallah menolong’. Kata serapan dari bahasa Melayu, meskipun tidak banyak, juga dijumpai dalam serat Wulangputra. Kata awal akir, mentak ampun, merupakan serapan dari bahasa Melayu awal dan akhir, serta minta ampun. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa Melayu sudah berkembang dan dimengerti oleh masyarakat Surakarta pada waktu itu. Baliswara atau kata yang dibalik penulisannya, juga merupakan ciri khas kekayaan bahasa dan sastra Jawa. Frasa Sasraningrat dipati merupakan contoh baliswara. Sama dengan fungsi utama semua aspek bunyi yang diuraikan sebelumnya, baliswara digunakan untuk menambah estetika puisi dan memenuhi unsur guru lagu tembang macapat. Berdasar hasil analisis, wangsalan menjadi bagian yang berulang-ulang dimunculkan dalam pupuh VII. Beberapa istilah dalam wangsalan yang ditemukan, pada saat ini sudah jarang digunakan. Larik kreteg bata ala nganggur becik subuh, frasa kreteg bata berarti buh sudah tidak banyak dikenal pada saat sekarang.
c. Bahasa Figuratif dan Sarana retorika Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan beberapa majas yang digunakan dalam serat Wulangputra. Diantaranya adalah majas simile, metafora, personifikasi, metonimi, hiperbola, sarkasme. Penggunaan majas merupakan gaya budaya Jawa yang banyak menggunakan simbolisasi dan perbandingan untuk mengungkapkan suatu maksud. Sasmita tembang dan sengkalan termasuk dalam majas metafora. Hal tersebut mengacu pada pemahaman mengenai majas metafora sebagai majas perbandingan Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 137
yang membandingkan dua hal tanpa kata pembanding. Sasmita tembang dan sengkalan juga merupakan gaya bahasa yang menjadi kekayaan bahasa dan sastra Jawa. Bahasa dan sastra Jawa sangat kaya dengan gaya bahasa atau lelewaning basa, sehingga banyak pilihan yang dapat digunakan pengarang sastra Jawa untuk mempercantik hasil karyanya.
d. Aspek Citraan Beberapa citraan yang ditimbulkan, yaitu penglihatan, pendengaran, gerak, dan penciuman. Hal tersebut mendukung teori pengelompokan citraan menurut Nurgiyantoro (2014). Beberapa jenis citraan yang ditimbulkan tersebut merupakan ekspresi pengarang dalam membangun estetika puisinya. Diharapkan pembaca seakan-akan secara imajinatif mampu melihat, mendengar, melakukan, atau mencium suasana yang dimaksud.
2. Nilai-nilai Keluhuran sebagai Sumber Pendidikan Karakter Ajaran atau pitutur Pakubuwana IX dalam serat Wulangputra dapat menjadi sumber nilai pendidikan karakter bagi pembinaan generasi muda saat ini. Hasil analisis mengenai pitutur dalam serat Wulangputra dikelompokkan dalam lima karakter utama, yaitu (1) nilai pendidikan karakter dalam hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa; (2) nilai pendidikan karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri; (3) nilai pendidikan karakter dalam hubungannya dengan sesama manusia; serta (4) nilai kebangsaan yang meliputi semangat nasionalisme dan penghargaan akan keberagaman.
a. Nilai yang berhubungan dengan Ketuhanan Nilai religiusitas mewarnai keseluruhan ajaran Pakubuwana IX dalam serat Wulangputra. Ditekankan tentang sangat perlunya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut: mring umat kang sedya anut/ agama ingkang utami/ mumudhar ruweting driya// Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 138
‘kepada umat yang ingin mengikuti agama yang utama mampu melepas kerumitan hati’ (I,17:1-3) Anjuran untuk memeluk agama, mendasarkan hidupnya kepada perintah Tuhan, dan memanfaatkan waktu untuk beribadah adalah wejangan yang berhubungan dengan religiusitas.
b. Nilai yang berhubungan dengan diri sendiri Nilai-nilai yang berhubungan diri sendiri atau nilai moral, diantaranya adalah kejujuran, kedisiplinan, kreatifitas, kesantunan, ketekunan dalam belajar, kesabaran, bermatiraga, mawas diri, dan kesederhanaan. Keseluruhan nilai moral di atas disampaikan dengan proporsi yang seimbang dalam serat Wulangputra. Tidak ada yang mendominasi, sehingga dapat ditegaskan bahwa nilai-nilai moral tersebut sangat penting untuk dijiwai dan menjadi karakter utama manusia Jawa. Sedikit lebih banyak disampaikan adalah kedisiplinan, diantaranya disiplin dalam bekerja, disiplin memanfaatkan waktu. Bermatiraga merupakan keutamaan hidup pribadi manusia Jawa. Budaya Jawa mengenal banyak macam laku ‘perjalanan’ dengan tujuan bermatiraga, prihatin, sehingga mendapat pencerahan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
c. Nilai yang berhubungan dengan sesama Nilai yang berhubungan dengan sesama atau nilai sosial adalah toleransi, kerukunan dan kepatuhan. Kerukunan menjadi nilai yang ditandaskan dalam serat Wulangputra. Berulang kali ditegaskan tentang sangat perlunya menjalin kerukunan dengan sesama, bahkan dengan bangsa lain, sehingga tercipta kedamaian. Menyenangkan sesama ‘karya nak tyasing sasama’ menjadi ciri utama karakter Jawa.
d. Nilai kebangsaan Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 139
Digolongkan dalam nilai kebangsaan adalah kesetiaan, bahasa, dan kebudayaan. Kesetiaan kepada raja dengan jiwa raga sebagai taruhannya, dalam alam demokrasi saat ini, harus diartikan sebagai kesetiaan kepada bangsa dan negara. Nilai kebudayaan diwujudkan dalam sikap atau karakter yang harus ditampilkan oleh generasi muda. Para putra diharapkan mempelajari bahasa dan budaya sendiri, bahkan menjiwainya dalam sikap dan perbuatan. Mempelajari budaya asing juga dianjurkan sepanjang dimaknai sebagai pengetahuan dan pergaulan. Belajar bahasa asing ditekankan sebagai sarana menjalin relasi antar bangsa. Pemaparan Pakubuana IX didukung dengan contoh-contoh keteladanan para tokoh dari wilayah agama, sejarah, wayang, maupun para abdi dalem ‘pejabat istana’ di Kasunanan Surakarta. Tokoh-tokoh yang diceritakan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Tokoh keagamaan Tokoh keagamaan yang dicontohkan adalah keteladanan Ibrahim dan Ismail. Pengambilan tokoh tersebut dirasa sangat tepat mengingat keduanya dikenal dan disebutkan dalam kitab suci agama Islam, Kristen, maupun Yahudi, meskipun dengan versi masing-masing. Pada intinya kisah Nabi Ibrahim yang diuraikan relatif dapat diterima oleh sebagian besar kalangan. Hal tersebut menambah daya tarik bagi serat Wulangputra untuk diterima dalam komunitas lintas keyakinan. b. Tokoh sejarah Beberapa tokoh sejarah yang diceritakan adalah hubungan Raden Patah, Bondhan Kejawan, dan Prabu Brawijaya; Panembahan Senopati, Sultan Agung, Sunan Kalijaga, Pakubuwana IV, Pakubuwana VIII. Paparan menganai hubungan Raden Patah dan Prabu Brawijaya menjadi cerita yang sensitif karena pada umumnya menyinggung mengenai perebutan kekuaaan yang dilandasai oleh perbedayaan keyakinan. Pakubuwana IX tidak memaparkan hal sensitif tersebut, karena yang ditekankan adalah perbedaan sikap dua anak tersebut kepada bapak yang sama. Cerita mengenai Panembahan Senopati dan Sultan Agung merupakan bentuk penghormatan Pakubuwana IX kepada para leluhurnya. Panembahan Senopati Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 140
adalah pendiri dinasti Mataram, sedangkan Sultan Agung dianggap sebagai raja terbesar dari dinasti Mataram. Pakubuwana IX menegaskan sikap santun dan penghormatannya kepada para pendahulunya. Hal tersebut dilihat dari ceritanya tentang ketokohan Susuhunan Pakubuwana IV dan Pakubuwana VIII. Hal yang perlu digarisbawahi bahwa Pakubuwana VIII bukan ayah dari Pakubuwana IX, meskipun demikian keutamaan hidup Pakubuwana VIII diuraikan dengan jelas oleh Pakubuwana IX. c. Tokoh wayang Tokoh dalam dunia pewayangan yang diceritakan adalah Bratasena. Pilihan tokoh Bratasena juga sangat tepat, mengingat kepatuhan dan totalitas kepercayaannya kepada Guru Druna. d. Abdi dalem di Surakarta Pakubuwana IX menceritakan abdi dalem yang baik dan yang tidak baik. Abdi dalem kategori baik dan dapat diteladani adalah Singaprana, Sasrawijaya, Ki Sara, Jayakartika, dan Sutajaya. Abdi dalem dalam kategori tidak baik dan tidak patut dicontoh adalah Tumenggung Mangunoneng. e. Tokoh lokal di Surakarta Beberapa tokoh lokal yang merupakan sosok guru diceritakan oleh Pakubuwana IX. Sosok guru yang baik ditunjukkan oleh Bagus Satriyem, Abdulkahar Ngruweng. Tokoh lokal sebagai guru yang kurang baik adalah Bagus Gimbal.
3. Relevansi dengan Pembelajaran Bahasa Jawa Pembelajaran Bahasa Jawa dilaksanakan dengan mengacu pada kurikulum, sehingga mencari relevansi dengan pembelajaran Bahasa Jawa dapat dilakukan dengan mencermati kurikulum. Memperhatikan tabel mengenai kompetensi inti yang harus dikuasai siswa SMP, ditemukan nilai-nilai karakter yang akan ditanamkan kepada siswa. Nilai-nilai karakter yang tertera dalam tabel Kompetensi Inti adalah religiusitas, jujur, disiplin, tanggungjawab, toleransi, gotong royong, kerukunan, santun, percaya diri, mawas diri, belajar giat, apresiasi budaya, ulet/sabar, dan kreatif. Materi nilai karakter dalam kompetensi inti tersebut memiliki keterkaitan dengan ajaran-ajaran luhur yang tertera dalam serat Wulangputra. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 141
Relevansi nilai karakter dalam kurikulum dengan ajaran dalam serat Wulangputra yang pertama adalah nilai religiusitas. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya, sejalan dengan napas ajaran dalam serat Wulangputra yang menekankan tentang aspek ketuhanan dalam menjalani kehidupan. Nilai-nilai moral yang tertera dalam kompetensi inti adalah jujur, disiplin, tanggungjawab, rukun, santun, belajar dengan giat. Nilai kejujuran relevan dengan ajaran Pakubuwana IX dalam serat Wulangputra, gung-gungane wong urib punikiaywa karem goroh‘keutamaan orang hidup itu jangan senang berkata dusta’. Seorang anak sejak usia dini harus ditanamkan betapa pentingnya nilai kejujuran menjadi karakter yang terpancar dalam perilaku sehari-hari. Kejujuran harus dimulai pada lingkungan keluarga, dibina di lingkungan sekolah, dan dikembangkan di tengah masyarakat. Nilai toleransi, menghargai keberagaman merupakan nilai yang sangat tepat untuk diterapkan di Indonesia. Keanekaragaman suku, agama, ras, golongan, adat istiadat, dan lain-lain menjadi kekayaan bangsa, sehingga toleransi antar warga bangsa mutlak diperlukan. Toleransi dalam skala kecil harus ditekankan mencakup penghargaan pribadi kepada pribadi yang lain atas semua perbedaan yang ada. Perbedaan status sosial antar teman, perbedaan kemampuan berpikir dan prestasi juga dapat menjadi sarana penanaman sikap toleran antar teman. Nilai toleransi relevan dengan ajaran mengenai kerukunan yang tertera dalam serat Wulangputra. Rumaketa pawong mitra, mimitran samaning janmi, sih sinihaning sawegung‘akrab antar sahabat, menjalin relasi dengan sesama, saling mengasihi dengan semua yang ada’.
PEMBAHASAN Nilai universal yang menjiwai serat Wulangputra adalah nilai religiusitas dan kerukunan. Nilai religiusitas menyangkut hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masih sangat relevan hingga saat ini. Religiusitas yang dilaksanakan dalam bingkai kerukunan menjadikan semangat ketuhanan seiring sejalan sebagai semangat toleransi beragama. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 142
Muatan nilai keluhuran yang tercermin dalam serat Wulangputra sebagai bagian dari karya sastra menunjukkan bahwa serat Wulangputra dapat menjadi rujukan pembelajaran karakter generasi muda. Karya sastra penting untuk mendidik karakter seseorang, melalui karya sastra diharapkan moral anak dapat menjadi baik. Hal tersebut relevan dengan artikel pada jurnal internasional oleh Hatit Karatay dengan judul Karakter Egitiiminde Edebi Eserlerin Kullanimi (Using Literary Works in Character Education). Di muat dalam jurnal International Periodical for the Language, Literature, and History of Turkish or Turkic, Vol. 6/1, Winter 2011, pp.1398-1412. Perlu dinyatakan bahwa pada dasarnya kebudayaan masyarakat akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat berlangsung dengan cepat seiring dengan semakin derasnya pengaruh globalisasi dunia. Generasi muda semakin terbuka dengan nilai-nilai baru dari luar yang mengalir deras memasuki alam bawah sadar masing-masing. Nilai-nilai yang dipandang baru mendistorsi nilai-nilai keluhuran yang sudah ada. Ketidaksigapan dan ketidaksiapan generasi muda Jawa ditandai dengan semakin memudarnya nilai-nilai budaya Jawa dalam sikap, perilaku, dan kebiasaan sehari-hari. Resistensi generasi muda terhadap nilai-nilai yang dipandang konservatif harus disikapi dengan bijaksana. Pada prinsipnya, nilai-nilai keluhuran dalam serat Wulangputra harus menjadi filter bagi masuknya paham-paham asing yang dirasa merusak karakter generasi muda. Guru sebagai penjaga terdepan moralitas bangsa memiliki tugas berat dan mulia untuk bahu membahu ndandani ‘memperbaiki’ perilaku yang dirasa tidak sesuai dengan budaya Jawa. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Sajekti Mahanani, guru bahasa Jawa SMP Negeri 2 Blitar, disimpulkan adanya relevansi antara serat Wulangputra dengan pembelajaran Bahasa Jawa, seperti yang tercermin dalam kurikulum. Serat Wulangputra sebagai produk budaya, yang di dalamnya tercermin nilai-nilai keluhuran sangat layak dijadikan acuan sekaligus sumber penerapan pendidikan budi pekerti kepada siswa. Penelitian ini membuktikan bahwa karya sastra tradisional Jawa sarat dengan muatan nilai-nilai keluhuran yang dapat menjadi sumber rujukan pendidikan karakter Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 143
bangsa. Hal tersebut relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Titi Mumfangati dengan judul Pendidikan Budi Pekerti dalam Budaya Jawa Kajian terhadap Serat Nitipraja (Jantra Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. VI, No.12, Desember 2011, hal 198-207). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian tentang Sastra Suluk oleh Subalidinata dkk yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990:1-4). Persamaan ketiga penelitian tersebut adalah pembuktian bahwa serat Nitipraja, sastra suluk, dan serat Wulangputra menjadi sebagian dari banyak karya sastra tradisional yang berguna dan bermanfaat bagi pembinaan karakter bangsa, yang difokuskan pada pendidikan karakter siswa di sekolah. Hubungan sosial dengan moralitas yang baik, dijiwai religiusitas, dibingkai dalam budaya, menjadi rangkaian yang menunjukkan keutamaan karakter budaya ketimuran. Kreatifitas guru dalam mengembangkan kurikulum dapat memasukkan nilai-nilai luhur yang belum secara implisit tertulis dalam kurikulum. Penambahan nilai karakter tersebut sangat dimungkinkan mengingat pembelajaran bahasa Jawa sekaligus sebagai pembelajaran budaya dan budi pekerti, yang diharapkan menghasilkan siswa yang unggul dalam prestasi dan pekerti. Peranan guru menjadi teladan pendidikan karakter sejalan dengan penelitian yang ditulis oleh Darcia Narvaez dan Daniel K (University of Notre Dame Journal, 2014). Judul penelitian adalah Teaching Moral Character: Two Strategies for Teacher: Two Strategies for Teacher Education.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki beberapa implikasi penting terhadap pendidikan karakter serta pengajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah. Serat Wulangputra memiliki implikasi terhadap pendidikan karakter di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ajaran mengenai keutamaan hidup bagi seorang putra dapat dijadikan acuan bagi penerapan pendidikan karakter generasi muda. Ajaran-ajaran luhur dalam serat Wulangputra merupakan ajaran yang bersumber pada budaya Jawa, sehingga berimplikasi pada penerapan nilai karakter pada generasi muda. Pendidikan karakter dalam bingkai budaya Jawa memiliki penekanan yang berbeda dengan pendidikan karakter dalam bingkai budaya lain. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 144
Ki Hajar Dewantara mengutarakan gagasan bahwa dalam pelaksanaan pendidikan formal dan informal memerlukan sistem among. Sistem among tersebut merupakan warisan luhur yang menekankan perlunya keteladanan baik langsung maupun tidak langsung. Keteladanan yang dimaksud berasal dari orang tua, guru, dan masyarakat di lingkungan siswa tersebut. Keteladanan yang dimaksud Ki Hajar Dewantara sejalan dengan kandungan isi serat Wulangputra, yang menguraikan banyak sekali contoh keteladanan dari para tokoh. Sebagian generasi muda sangat mengenal cerita dan tokoh-tokoh dari luar negeri, tidak mengenal tokoh-tokoh lokal, sehingga faktor keteladanan menjadi faktor penting untuk mengubah sikap generasi muda. Pengkajian stilistika terhadap serat Wulangputra merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap karya sastra daerah.Kajian stilistika yang mencakup aspek-aspek style, menjadi materi dalam pembelajaran bahasa Jawa di semua jenjang sekolah.Teks serat Wulangputra ditulis dalam aksara Jawa. Hal tersebut dapat digunakan sebagai media pembinaan dalam pembelajaran aksara Jawa dan tembang macapat di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA Dewantara, Ki H. 1962. Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa. Hardjana H.P. 1979. Serat Wira Iswara Sunan Pakubuwana IX. Jakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan. Moleong J. Lexy.2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mumfangati, T. 2011. “Pendidikan Budi Pekerti dalam Budaya Jawa Kajian terhadap Serat Nitipraja”. Jantra Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol VI (12): 198-207. Nurgiyantoro, B. 2014. Stilistika.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 145
Padmosoekotjo. 1060. Ngengrengan Kasusastran Djawa I, II. Jogjakarta: Hien Hoo Sing.
Ratna, N.K. 2013. Stilistika, Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subalidinata. 1990. Ajaran Moral dalam Susatra Suluk. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sutopo, HB. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teoretis dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press.
Waluyo, Herman J. 2005. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Widodo, S.T. 2011. Metafora Cerpen-cerpen Asia Tenggara Pasca Revolusi. Solo: Cakra Books.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 146
Peningkatan Hasil Belajar Menulis Teks Sesorah/ Pidhato Berbahasa Jawa Ragam Krama Menggunakan Kasis
Yulia Herti Widyawati
[email protected]
ABSTRAK Penulisan Sesorah membutuhkan perbendaharaan kata pada Bahasa Jawa ragam Krama. Kebutuhan akan pengetahuan kata dan makna kata dalam Bahasa Jawa Ngoko ke Bahasa Jawa Krama/ KramaAlus dapat dipenuhi dengan daftar kata-kata yang ditulis di dalam kartu-kartu khusus. Kartu-kartu berisikan kata-kata dengan ejaan yang benar dari Bahasa Ngoko ke dalam Bahasa Krama/ KramaAlus inilah yang disebut dengan Kasis/ Kartu Wasis (Kartu Pintar) Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Blora pada peminatan IPS, yaitu pada kelas XI IPS 3 Semester Ganjil Tahun 2016/ 2017. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah siswa dan guru SMA Negeri 1 Blora. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri atas dua siklus. Setiap siklus terdiri atas empat langkah, yaitu; 1) perencanaan, 2) pelaksanaan, 3) observasi dan 4) refleksi. Data penelitian ini dikumpulkan dari tiga sumber yaitu; informan, peristiwa, dan dokumen. Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah teknik tes dan teknik nontes. Triangulasi sumber dan review informan kunci digunakan untuk memvalidasi data penelitian, sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskrirtif komparatif dan analisis kritis. Setelah dilakukan dua siklus tindakan pada Penelitian Tindakan Kelas ini, dapat dibuktikan bahwa penggunaan media pembelajaran Kasis dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan Menulis Teks Sesorah Berbahasa Jawa Siswa Kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Blora pada materi Menulis Teks Sesorah/ Pidhato Berbahasa Jawa Ragam Krama. Hasil belajar (pengetahuan) peserta didik pada pra siklus dari 53,13% setelah tindakan siklus I mengalami peningkatan menjadi 71,88%. Pada siklus II hasil belajar peserta didik mengalami peningkatan menjadi 90,62 %. Nilai rata-rata yang dicapai siswa dalam pratindakan yaitu 72,1 atau 75%. Pada siklus I 81,5% siswa mampu mencapai KKM, dengan rerata 84,38. Pada siklus II, 100% siswa mampu mencapai nilai ketuntasan dengan rerata 89,34.
Kata Kunci : peningkatan hasil belajar, keterampilan menulis Sesorah, Kasis.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 147
LATAR BELAKANG Kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan saintifik ini, pada kelas XI SMA/ SMALB/ MA dan SMK di semester gasal mengangkat materi Sesorah (pidhato). Materi Sesorah tertera pada Kompetensi Inti/ KI-3 (ranah pengetahuan), Kompetensi Dasar/ KD 3.3 Menelaah teks Sesorah, dan Kompetensi Inti/ KI-4 (ranah keterampilan) KD 4.3 Menanggapi, menulis, menyajikan teks Sesorah. Para peserta didik sering kali mengalami kesulitan pada materi menulis Sesorah. Beberapa kendala yang dihadapi peserta didik pada penulisan Sesorah antara lain, 1) peserta didik sering kali menulis draf teks Sesorah dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu sehingga sangat menyulitkan tahap mengalih bahasa 2) teks Sesorah karya peserta didik banyak menggunakan diksi dan Undha-Usuk (tingkat kesantunan dalam Bahasa Jawa) yang kurang tepat oleh karena minimnya perbendaharaan kata 3) pada teks Sesorah hasil karya peserta didik pada penulisannya banyak ditemukan menggunakan ejaan yg kurang tepat 4) peserta didik kurang mampu menguraikan ide/ gagasan pada penulisan teks Sesorah.
Hakikat pembelajaran bahasa
Kemampuan belajar bahasa melibatkan dua hal, yaitu (1) kemampuan untuk menyampaikan pesan, baik secara lisan (melalui kegiatan berbicara) maupun secara tertulis (melalui menulis), serta (2) kemampuan memahami, menafsirkan dan menerima pesan, baik yang disampaikan secara lisan (melalui kegiatan menyimak) maupun tertulis (melalui kegiatan membaca). Kemampuan berbahasa lazimnya diklasifikasikan menjadi empat macam : (1) kemampuan menyimak atau mendengarkan, (2) kemampuan mamahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan secara lisan oleh orang lain, (3) kemampuan berbicara, kemampuan untuk menyampaikan pesan secara lisan kepada orang lain, (4) kemampuan membaca, kemampuan menafsirkan pesan yang disampaikan secara tertulis oleh orang lain, (5) kemampuan menulis, kemampuan menyampaikan pesan kepada pihak lain secara tertulis (http://bukupinta.blogspot.co.id/2012/05)
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 148
Penulisan teks Sesorah berbahasa Jawa dalam ragam Krama termasuk di dalam kemampuan menyampaikan pesan kepada pihak lain secara tertulis. Hasil belajar adalah prestasi belajar yang dicapai peserta didik dalam proses kegiatan belajar mengajar dengan membawa suatu perubahan dan pembentukan tingkah laku seseorang (Djamarah, Syaiful Bahri : 2002) Hasil belajar pada Kegiatan Belajar Mengajar di sekolah umumnya berupa nilai tes atau bisa pula berupa keterampilan mengenai ilmu tertentu. Misalnya dalam ilmu bahasa, setelah mempelajari ilmu tentang cara menulis yang baik dan benar, maka akan menghasilkan keterampilan menulis. Demikian pula untuk jenis keterampilan berbahasa yang lainnya. Salah satu jenis keterampilan berbahasa yaitu menulis. Keterampilan menulis merupakan jenis keterampilan berbahasa paling akhir yang dipelajari pada pembelajaran bahasa. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat kesulitan/ kompleksitas pengetahuan yang dibutuhkan pada keterampilan menulis. Beberapa pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan menulis antara lain : (1) pengetahuan/ wawasan mengenai informasi yang akan disampaikan (2) pengetahuan tentang diksi/ pilihan kata; (3) pengetahuan tentang paramasastra/ tata bahasa; dan (4) pengetahuan tentang ejaan/ penulisan kata. Sesorah atau pidato adalah berbicara di depan para hadirin atau di depan para tamu undangan. Uraian di dalam Sesorah/ pidato pada umumnya berupa ucapan terima kasih dan menyapa para tamu dan seluruh pihak yang terkait dan siapa pun yang telah ikut berperan serta mendukung terselenggaranya kegiatan. Sesorah iku mujudake sawijining kegiyatan kanggo medharake gagasan utawa informasi kang ditujokake marang wong akeh (Heri Setiawan, 2014). Pada intinya Sesorah itu menyampaikan uraian kepada para hadirin/ tamu undangan dengan tujuan memberikan informasi tentang sesuatu hal. Media pembelajaran mencakup media visual, auditif, benda tiruan atau nyata, hardware/ software bahan dan alat pelajaran. (Sugandi, Achmad dkk, 2004) Salah satu media pembelajaran bahasa sederhana dan murah yang dapat digunakan untuk mempermudah pembelajaran yaitu media pembelajaran berupa kartu. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 149
Pendidikan dikatakan berkualitas apabila terjadi penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dan efisien dengan melibatkan semua komponen-komponen pendidikan seperti mencakup tujuan pembelajaran, guru, peserta didik, bahan pembelajaran, metode pembelajaran, alat dan sumber pembelajaran (http://yesiii.blogspot.com/04/10/ 2015) Media pembelajaran diperlukan dalam proses pembelajaran karena mempunyai kemampuan atau kompetensi yang dapat dimanfaatkan. Dengan media pembelajaran yang tepat diharapkan dapat memfasilitasi serta mempermudah peserta didik dalam proses pembelajaran (http://yesiiii.blogspot.co.id) Media yang digunakan berupa kartu pembelajaran. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kartu yaitu kertas tebal berbentuk persegi panjang untuk berbagai kepeerluan. Kartu adalah media grafis bidang datar yang memuat tulisan, gambar, dan simbol tertentu. Kartu termasuk media yang berfungsi untuk mempermudah siswa dalam memahami suatu konsep, sehingga hasil prestasi bisa lebih baik, dan pembelajaran
lebih
menyenangkan
dan
lebih
efektif
(Mugianto
dalam
http://jurnaljpi.wordpress.com/2007/11/14) Penulisan Sesorah membutuhkan pengetahuan tentang perbendaharaan kata pada Bahasa Jawa ragam Krama. Kebutuhan akan pengetahuan kata dan makna kata dalam Bahasa Jawa Ngoko ke Bahasa Jawa Krama/ KramaAlus dapat dipenuhi dengan daftar kata-kata yang ditulis di dalam kartu-kartu khusus yang disebut dengan Kasis/ Kartu Wasis (Kartu Pintar) Pada Kasis, terdapat daftar kata-kata dalam Bahasa Jawa Ngoko serta padanan kata dalam Bahasa Jawa Ragam Krama/ Krama Alus dengan menggunakan ejaan yang benar. Kasis akan sangat membantu peserta didik dalam hal menentukan pilihan kata/ diksi, beserta dengan ejaan yang benar. Penggunakan Kasis memudahkan para peserta didik pada proses penulisan teks Sesorah sehingga dapat meningkatkan hasil belajar dan berarti pula terjadi peningkatan kemampuan siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Blora dalam menulis teks khususnya Sesorah/ pidhato berbahasa Jawa ragam Krama.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 150
RUMUSAN MASALAH Permasalahan yang ditemukan pada penelitian ini antara lain, 1. apakah penggunaan media pembelajaran Kasis meningkatkan hasil Belajar Siswa Kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Blora pada materi Menulis Teks Sesorah/ Pidhato Berbahasa Jawa Ragam Krama? 2. apakah penggunaan media pembelajaran Kasis meningkatkan hasil belajar Menulis Teks Sesorah/ Pidhato Berbahasa Jawa Ragam Krama pada Siswa Kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Blora?
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Blora pada peminatan IPS, yaitu pada kelas XI IPS 3. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Blora yang berjumlah 32 orang, dengan rincian 24 peserta didik putri, dan 8 peserta didik putra. Sumber data dari subjek penelitian ini menggunakan sumber data dari subjek penelitian berupa nilai pengetahuan dan keterampilan menulis teks sesorah berbahasa Jawa ragam Krama. Sumber data selain dari subjek penelitian menggunakan sumber data dari subjek penelitian, peneliti juga bekerja sama dengan guru serumpun yaitu guru bahasa Jawa di SMA Negeri 1 Blora sebagai observer. Guru bahasa Jawa yang dimaksud bernama Ibu Imas Anggita Nugraheni, S.Pd. Pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan melalui tes tertulis pada kegiatan menulis teks sesorah berbahasa Jawa ragam Krama. Selain dikumpulkan melalui tes tertulis, data juga diambil dengan melakukan pengamatan selama proses penulisan sesorah berbahasa Jawa ragam Krama berlangsung. Alat pengumpulan data melalui tes tertulis berupa butir-butir soal tes yang dikerjakan oleh para peserta didik. Selain itu pengumpulan data melalui teknik non tes berupa lembar observasi.
Validasi data penelitian dilakukan melalui beberapa cara sesuai dengan jenis data yang diperoleh. Data berupa angka/ nilai-nilai para peserta didik pada penulisan teks Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 151
sesorah berbahasa Jawa ragam Krama melalui soal tes dengan kisi-kisi soal yang sesuai dengan standar kelulusan yang telah ditentukan dalam kurikulum yang berlaku yaitu kurikulum 2013 Data yang diperoleh dari wawancara dan observasi divalidasi melalui triangulasi. Triangulasi sumber. Metode pengumpulan data melalui observasi pada subjek penelitian. Analisis datakuantitatif
yang diperoleh dalam penelitian dianalisis
secara
deskriptif komparatif yaitu membandingkan antara nilai tes kondisi awal/ nilai pra siklus (sebelum dilakukan siklus 1 dan siklus 2), dengan nilai tes setelah siklus 1 serta dibandingkan dengan nilai tes setelah siklus 2, kemudian hasil perbandingan antara ketiga hasil tes tersebut direfleksi. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil pengamatan maupun wawancara dianalisis secara deskriptif kualitatif berdasarkan hasil observasi dan refleksi dari tiap-tiap siklus.Membandingkan hasil pembelajaran yang dirasakan oleh peserta didik antara sebelum Pra Siklus, dengan hasil pembelajaran pada Siklus I, serta hasil pembelajaran pada Siklus II.
PEMBAHASAN Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus dilaksanakan dalam empat tahapan,yaitu: (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan interpretasi, dan (4) analisis dan refleksi tindakan. Deskripsi hasil penelitian dari siklus I sampai siklus II dapat dijelaskan sebagai berikut: Hasil belajar peserta didik masih sangat rendah. Pada nilai keterampilan peserta didik yang mendapatkan nilai 56-60 berjumlah 1 orang, 61-65 berjumlah 1 orang, nilai 66-70 berjumlah 1 orang, nilai 71-75 berjumlah 6 orang, 76-80 berjumlah 11 orang, 8185 berjumlah 2 orang, 86-90 berjumlah 1 orang, 91-95 berjumlah 7 orang, dan 96-100 hanya 2 orang. Berdasarkan hasil refleksi kondisi awal ini, pada tindakan siklus I penulis menambahkan media pembelajaran power point, serta melakukan inovasi membuat Kartu Wasis/ Kasis sebagai penunjang sumber belajar peserta didik untuk menambah perbendaharaan kata khususnya dalam bahasa Jawa Krama dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 152
Hasil ulangan materi Sesorah pada kondisi awal/ Pra Siklus hanya menghasilkan nilai ratarata 72,1 dengan prosentase ketuntasan sebesar 53,13% mengalami peningkatan setelah melalui tindakan Siklus I. Nilai rata-rata ulangan Siklus I meningkat menjadi 84,38 dengan prosentase ketuntasan meningkat menjadi 71,88 %.
Peningkatan Hasil Ulangan (Pengetahuan) Pra Siklus dan Siklus I tampak pada grafik berikut : 85 80 75
Nilai Ulangan (Pengetahuan)
70 65 Pra Siklus
Siklus I
Gambar 1. Grafik Peningkatan Hasil Ulangan (Pengetahuan) Pra Siklus dan Siklus I
Proses pembelajaran yang semula kurang menarik dan kurang inovatif, pada Siklus I mengalami penambahan media pembelajaran dan sumber belajar yang menunjang mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Hasil belajar berupa nilai keterampilan setelah dilakukan tindakan pada siklus I mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan. Nilai rata-rata pada Pra Siklus yang semula 76,01 meningkat menjadi 84,31. Prosentase ketuntasan belajar semula 75% meningkat menjadi 81,5%. Peningkatan Nilai Keterampilan Menulis Sesorah pada Pra Siklus dan Siklus I tampak pada grafik berikut : 86 84 82 80 78 76 74 72 70
Nilai Keterampilan
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 Pra Siklus Siklus I “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 153
Gambar 1. Grafik Peningkatan Nilai Keterampilan Pra Siklus dan Siklus I
Hasil observasi serta perbandingan antara hasil belajar pada Pra Siklus dan hasil tindakan Siklus I diperoleh simpulan sementara bahwa penggunaan media Kasis/ Kartu Wasis meningkatkan hasil belajar dan keterampilan Menulis Teks Sesorah Bahasa Jawa Ragam Krama. Perlu menjadi pertimbangan khusus bagi penulis untuk melanjutkan tindakan berikutnya pada Siklus II supaya peningkatan hasil belajar setelah melalui tindakan Siklus I semakin baik. Faktor penyebab hasil belajar yang kurang maksimal yaitu pada Siklus I setiap kelompok yang berjumlah 4-5 orang hanya mendapatkan 1 set Kasis. Hal ini mengakibatkan para peserta didik kesulitan dalam menyusun kalimat karena mereka harus rela menggunakan Kasis secara bergantian sehingga hasil belajar menjadi kurang optimal. Hasil refleksi Siklus I digunakan untuk merencanakan tindakan Siklus II berikutnya. Pembelajaran pada tindakan Siklus I prosesnya telah menggunakan media pembelajaran Kasis (Kartu Wasis) yang menunjang perbendaharaan kata dalam berbagai ragam tingkat kesantunan Bahasa Jawa, serta petunjuk penulisan yang tepat dan sesuai aturan. Pada akhir kegiatan, telah terjadi peningkatan hasil belajar yang baik. Namun, masih ada kendala yang dirasakan para peserta didik dalam penggunaan Kasis/ KartuWasis tersebut. Kendala yang dimaksud yaitu para peserta merasa kurang leluasa dalam memanfaatkan Kasis. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya Kasis yang pada Siklus I para peserta didik hanya mendapatkan 1 set fasilitas Kartu dalam 1 kelompok yang berjumlah 4-5 orang. Kondisi yang sedemikian kurang nyaman karena para peserta didik harus bergantian pada saat mencari diksi/ pilihan kata yang sesuai dengan kebutuhan untuk penulisan teks Sesorah. Sementara waktu yang tersedia sangatlah terbatas. Demi peningkatan hasil belajar yang semakin baik dan kenyamanan para peserta didik pada Kegiatan Belajar Mengajar, maka pada tindakan Siklus II ini strategi yang digunakan adalah dengan cara membagi lagi menjadi kelompok yang lebih kecil dengan jumlah anggota kelompok 2-3 orang, serta memberikan fasilitas Kasis untuk setiap kelompok kecil tersebut. Diharapkan para peserta didik tidak harus menunggu teman untuk menggunakan Kasis ketika harus mencari diksi yang tepat. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada Siklus II tetap menggunakan pendekatan saintifik yang disusun berdasarkan tahap-tahap pembelajaran 5 M, yaitu Mengamati, Menanya, Mengeksplorasi, Mengasosiasi, Serta Mengkomunikasikan. Siklus II pertemuan pertama Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 154
pembelajaran difokuskan pada pemahaman isi teks Sesorah. Pertemuan kedua baru fokus pada struktur teks Sesorah dan penulisan teks Sesorah. Pada proses penulisan teks Sesorah, dilakukan pengamatan/ observasi. Setelah penugasan menulis teks Sesorah, dilakukan evaluasi berupa tes pengetahuan secara tertulis dan individu tentang Penulisan Teks Sesorah berbahasa Jawa Ragam Krama.
Berikut ini disajikan grafik peningkatan hasil belajar siswa antarsiklus : 100 80 60 40 20 0 Pra Siklus
Siklus I
Siklus II
Gambar 3. Grafik Peningkatan Hasil Belajar (Ulangan Pengetahuan) Pra Siklus, Siklus I dan Siklus 2
Hasil ulangan materi Sesorah pada Siklus I menghasilkan nilai rata-rata 84, 38 dengan prosentase ketuntasan sebesar 71,88% mengalami peningkatan setelah melalui tindakan Siklus II. Nilai rata-rata ulangan Siklus II meningkat menjadi 89,34 dengan prosentase ketuntasan meningkat menjadi 90,62 %. Peningkatan hasil belajar juga dialami pada nilai keterampilan menulis Sesorah yang disajikan pada grafik berikut : 90 85 80 75 70 65 Pra Siklus
Siklus I
Siklus II
Gambar 4. Grafik Peningkatan Hasil Belajar (Keterampilan Menulis Sesorah) Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 155
Proses pembelajaran yang semula kurang menarik dan kurang inovatif, pada Siklus II mengalami penambahan media pembelajaran dan sumber belajar yang menunjang mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Hasil belajar berupa nilai keterampilan setelah dilakukan tindakan pada Siklus II mengalami peningkatan yang signifikan. Nilai rata-rata pada Siklus I yang semula 84,31 meningkat menjadi 91,56. Prosentase ketuntasan belajar semula 81,5% meningkat menjadi 100%. Hasil observasi serta perbandingan antara hasil belajar pada tindakan Siklus I dan hasil tindakan Siklus II diperoleh simpulan bahwa penggunaan media Kasis/ Kartu Wasis meningkatkan hasil belajar (pengetahuan) dan keterampilan Menulis Teks Sesorah Bahasa Jawa Ragam Krama.
SIMPULAN Setelah dilakukan dua siklus tindakan pada Penelitian Tindakan Kelas dalampembelajaran menulis Sesorah Bahasa Jawa di kelas XI IPS 4 SMA Negeri 1 Blora, dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan media pembelajaran Kasis pada materi Menulis Teks Sesorah/ Pidhato Berbahasa Jawa Ragam Krama dapat meningkatkan hasil Belajar Siswa Kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Blora. Tujuan akhir peningkatan hasil belajar Menulis Teks Sesorah/ Pidhato Berbahasa Jawa Ragam Krama pada Siswa Kelas XI IPS 3 SMA Negeri 1 Blora menggunakan media pembelajaran Kasis telah tercapai. Penggunaan Kasis dapat meningkatkan hasil belajar, keterampilan serta rata-rata kelas pada kompetensi Menulis Teks Sesorah para peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Pustaka.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Rahmad (2012, 05 Mei). Hakikat Bahasa dan Pembelajaran Bahasa. Diperoleh 04 Oktober 2016
dari
http://bukupinta.blogspot.co.id/2012/05/hakikat-bahasa-dan-pembelajaran-
bahasa.html.
Setiawan, Heri. 2014. Mumpuni Basa Jawa 2 SMA/ MA/ SMALB/ SMK/ MAK. Solo : PT Tiga Serangkai Mandiri. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 156
Sugandi, Achmad, dkk. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang:UPT MKK UNNES.
Yesi Karsila (2012, 6 Desember). Media Pembelajaran Menggunakan Kartu. Diperoleh 04 Oktober 2016. dari http://yesiiiiii.blogspot.co.id/2012/12/media-pembelajaran-menggunakankartu.html.I.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 157
MODEL BAHAN AJAR BAHASA JAWA DENGAN PENDEKATAN EKOLINGUISTIK SEBAGAI PENGUNGKAP KEARIFAN LOKALUNTUK PELESTARIAN BAHASA DAN BUDAYA JAWA
Endang Kurniati
[email protected]
Abstrak
Tujuan pembelajaran bahasa Jawa selain siswa dapat berkomunikasi dengan bahasa Jawa yang santun, juga untuk pelestarian bahasa dan budaya Jawa. Namun kenyataannya para siswa kesulitan menerapkan unggahungguh bahasa Jawa, bahkan banyak yang tidak mengetahui kosakata yang ada di lingkungannya. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Jawa sebaiknya melatih siswa berbicara dan menulis dengan unggah-ungguh yang tepat. Agar siswa dapat berbicara, mereka diberi contoh dialog menggunakan media rekaman, agar siswa dapat menulis, mereka diberi contoh bacaan berbahasa Jawa yang ada di lingkungan siswa. Oleh karena itu, Bahan ajar bahasa Jawa menggunakan pendekatan ekolinguistik dengan memperhatikan lingkungan sosial, budaya, dan alam. Bahan ajarnya berupa wacana yang menggunakan bahasa Jawa dialek dengan kosakata, dongeng, dan budaya Jawa yang ada di lingkungan siswa. Berdasarkan Kurikulum 2013, pembelajaran bahasa Jawa berbasis teks. Dengan demikian, dalam pembelajarannya cenderung ke arah latihan berbahasa dengan bahan ajar yang berupa teks, baik teks lisan maupun tulis yang memanfaatkan kearifan lokal untuk mendukung pembelajaran kompetensi sikap spiritual dan sosial, pengetahuan, serta keterampilan berbahasa Jawa.
Kata Kunci: bahan hajar, ekolinguistik, kearifan local
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 158
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Di era global pemakaian bahasa cenderung multilingual. Pola berbahasa yang demikian lambat laun akan berpengaruh terhadap ketahanan hidup bahasa Jawa. Bahasa Jawa akan tergeser oleh bahasa Indonesia dan bahasa asing. Hal tersebut juga dikemukakan olehSinar (2010: 70) bahwa banyak bahasa daerah di Indonesia berada diambang kritis, semakin sulit untuk bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah. Melihat kondisi seperti ini, diperlukan usaha pelestarian bahasa daerah. Namun, usaha yang pernah dilakukan belum menampakkan hasilnya secara maksimal. UNESCO pun menegaskan bahwa pewarisan bahasa daerah sampai pada kondisi memprihatinkan (Lauder dalam Sailan 2014: 192). Generasi muda di Jawa Tengah ketika berkomunikasi cenderung menggunakan bahasa Indonesia, bahkan mereka banyak yang tidak mengetahui kosa kata bahasa Jawa yang ada di lingkungannya, mereka tidak mengetahui bahasa Jawanya kamar mandi (kolah), mereka tidak mengenal kata kuthuk, mereka lebih memilih kata bahasa Indonesia anak ayam, mereka tidak mengetahui bahasa Jawanya dapur (pawon), mereka tidak mengetahui nama bagian-bagian pohon kelapa seperti blarak ‘daun kelapa kering’, glugu ‘pohon kelapa’, sada ‘lidi’, manggar ‘bunga kelapa’, bahkan nama bagian tubuhnya saja banyak siswa yang tidak mengetahui, seperti kata bam ‘geraham’, driji ‘jari, dan miri ‘mata kaki’. Di samping itu, mereka tidak paham kaidah berbahasa Jawa (Kurniati dan Mardikantoro 2010:273-284). Siswa dalam berbahasa Jawa sering keliru dalam penerapan kaidah krama, misalnya penjenengan kula paringijeruk‘kamu saya beri jeruk’, kula badhe dhahar riyin ‘saya akan makan dulu’. Kalimat tersebut mestinya diucapkan penjenengan kula caosijeram‘kamu saya beri jeruk’, kula badhe nedha rumiyin ‘saya akan makan dulu’. Kondisi seperti ini jika dibiarkan berakibat punahnya bahasa Jawa. Oleh karena itu, perlu dicari model pelestarian bahasa Jawa yang tepat. Salah satu usaha dalam melestarikan bahasa Jawa melalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal. Melalui pendidikan formal, mata pelajaran Bahasa Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib diajarkan mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah. Namun, hasilnya belum memuaskan, karena siswa kurang diberi kesempatan untuk berlatih berbahasa Jawa. Dalam pembelajaran bahasa Jawa Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 159
cenderung mengerjakan LKS, lebih banyak bersifat hafalan, dan kurang memperhatikan penggunaan bahasa di lingkungan siswa terutama bahasa lisan. Berdasarkan Kurikulum 2013, Pembelajaran bahasa Jawa SD berbasis teks, baik teks lisan maupun tulis. Namun kenyataannya, pembelajaran teks lisan kebanyakan tidak dilakukan karena guru kesulitan memperoleh materi teks lisan, baik melalui rekaman audio, maupun audio visual. Demikian pula dalam pembelajaran bahasa Jawa KTSP, keterampilan mendengarkan dan berbicara sering tidak diajarkan. Yang dilakukan dalam pembelajaran teks lisan(mendengarkan dan berbicara) dengan membacakan wacana yang bersumber dari LKS dan buku paket. Pembacaan dilakukan guru atau salah satu siswa, sedangkan siswa lain mendengarkan. Penggunaan materi seperti itu tentu tidak benar, karena bahan membaca digunakan untuk mendengarkan. Bahasa tulis dan bahasa lisan tentu mempunyai gaya penyajian yang berbeda. Dalam pembelajaran teks tertulis pada umumnya guru tidak mengalami kesulitan mencari materi ajar. Mereka menggunakan teks wacana yang bersumber dari LKS maupun buku paket berbahasa Jawa dialek []כ, seperti RemenBasa Jawi, Kawruh Basa Jawa, Tutur Basa, Wibawa, dan Pinter Basa Jawa. Buku tersebuthanya cocok digunakan di Yogyakarta, Surakarta, Semarang, dan sekitarnya. Materi ajar dalam buku tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan komunikasi di wilayah dialek [a] seperti di Banyumas, Tegal, Brebes, dan sekitarnya. Hal ini tentu tidak sesuai teori pembelajaran bahasa, bahwa materi ajar keterampilan berbahasa mestinya menggunakan bahasa yang nyata hidup di masyarakat lingkungan siswa. Perlu disadari, bahwa saat ini fungsi utama bahasa Jawa adalah sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Oleh karena itu, bahasa Jawa yang tepat untuk diajarkan adalah bahasa Jawa yang digunakan masyarakatnya. Dengan demikian, materi ajar pembelajaran bahasa Jawa di wilayah Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang berbeda dengan di Banyumas, Tegal, dan Brebes. Berbeda dengan Bahasa Indonesia, leksikon bahasa Indonesia dari Sabang sampai Merauke sama, sedangkan leksikon bahasa Jawa di Semarang berbeda dengan di Banyumas, sebagai contoh kata bahasa Indonesia papaya, dari Sabang sampai Merauke sama, tetapi kata papaya bahasa Jawanya di Semarang kates, sedangkan di Banyumas gandhul, kata bahasa Indonesia lapar, bahasa Jawa di Banyumas kencot, sedangkan di Semarang luwe. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 160
Oleh karena materi ajar yang dipakaitidak sesuai dengan bahasa yang digunakan siswa di lingkungannya, maka sebagian besar (40%) siswa mengalami kesulitan dalam pembelajaran bahasa Jawa. Di samping itu, siswa cepat bosan dan tidak aktif dalam pembelajaran karena pembelajarannya monoton mengerjakan LKS dan tidak menggunakan media pembelajaran yang menarik (Kurniati dkk, 2016). Dampaknya, siswa tidak bisa berbahasa Jawa dengan benar. Kondisi seperti ini jika dibiarkan berakibat punahnya bahasa Jawa. Oleh karena itu, perlu dicari model pelestarian bahasa Jawa yang tepat. Salah satu usaha dalam melestarikan bahasa Jawa melalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal. Melalui pendidikan formal, mata pelajaran bahasa Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib diajarkan mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah. Namun, hasilnya belum memuaskan, kar ena siswa kurang diberi kesempatan untuk berlatih berbahasa Jawa. Dalam pembelajaran bahasa Jawa cenderung mengerjakan LKS, lebih banyak bersifat hafalan, dan kurang memperhatikan penggunaan bahasa di lingkungan siswa terutama bahasa lisan. Pembelajaran bahasa Jawa berdasarkan Kurikulum 2013 cenderung ke arah latihan berbahasa, baik bahasa lisan untuk mendengarkan dan berbicara, maupun berbahasa tulis dalam kegiatan membaca dan menulis. Bahan ajar yang digunakan berupa teks, baik teks lisan maupun tulis yang memanfaatkan kearifan lokal untuk mendukung pembelajaran kompetensi sikap spiritual dan sosial, pengetahuan, serta keterampilan berbahasa Jawa. Tujuan pembelajaran bahasa Jawa Kurikulum 2013 merupakan usaha nyata untuk melestarikan bahasa dan budaya Jawa. Namun, pihak sekolah banyak yang belum siap untuk melaksanakannya karena materi bahan belum ada. Oleh karena itu, perlu dirancang bahan ajar bahasa Jawa yang memanfaatkan kearifan lokal untuk pelestarian bahasa. Kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dipercaya dan diakui mampu mempertebal hubungan sosial antarwarga masyarakat (Haba 2007:11). Dengan demikian, kearifan lokal merupakan suatu identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Berdasarkan perspektif kultural, kearifan lokal merupakan berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidupnya, termasuk berbagai cara untuk bersikap, bertingkah laku dan bertindak yang dituangkan sebagai suatu tatanan sosial (Ardhana dalam Apriyanto, 2008:4). Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 161
Dengan demikian, kearifan lokal berupa suatu pengetahuan, keyakinan, pemahaman, kebiasaan, dan etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis(Keraf 2010: 369). Bahana jar tersebut dalam bentuk wacana yang disusun dengan menggunakan pendekatan ekolinguistik. Ekolinguistik (ekologi bahasa) merupakan kajian tentang interaksi bahasa dan lingkungannya, baik lingkungan sosial ataupun lingkungan alam (Haugen, 2001:57). Pembelajaran bahasa Jawa yang menggunakan materi ajar ini diharapkan dapat memperkaya kosa kata siswa yang ada di lingkungannya yang sekarang mulai ditinggalkan penuturnya, dan akhirnya siswa dapat berinteraksi menggunakan bahasa Jawa dengan santun, serta mengetahui budaya yang ada di lingkungannya. Berdasarkan masalah tersebut, rumusan masalahnya adalah seperti bagaimanakah model bahan ajar bahasa Jawa dengan pendekatan ekolinguistik sebagai pengungkap kearifan lokal untuk pelestarian bahasa dan budaya Jawa? 2. Metode Penelitian Desain penelitian ini dirancang dengan menggunakan Research and Development.Penelitian ini merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan dan menvalidasi produk-produk pendidikan (Borg dan Gall 1989: 782). Subjek penelitian ini adalah guru dan siswa SD di tiga wilayah kebahasaan yang berbeda, yaitu di wilayah Banyumasmewakili penggunaan bahasa Jawa dialek [a] ataungapak, diwilayah Semarang untuk mewakili bahasa Jawa dialek []כ, dan di wilayah Pati mewakili penggunaan bahasa Jawa dialek [Əm].Tiap-tiap wilayah diambil 5 orang guru dan 10 orang siswa. Pengambilan subjek percontoh (sampel) dilakukan secara acak. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik observasi, angket, dan wawancara mendalam. Observasi dilakukan untuk mengetahui kurikulum dan perangkat pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bahasa Jawa SD. Angket dan wawancara yang ditujukan kepada siswa dan guru SDuntuk menjaring data kebutuhan dalam pengembangan materi ajar bahasa Jawadengan
pendekatan
ekolinguistikpengungkap
kearifan
lokaluntukpelestarianbahasadan
lingkungannya. Pengumpulan data validasi produk materi ajar dilakukan dengan teknik delphi dan mengisi lembar penilaian. Model analisis yang dilakukan pada tahap ini adalah analisis interaktif, yakni analisis data melalui empat komponen analisis: reduksi data, sajian data, penarikan simpulan, dan verifikasi Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 162
dilakukan secara simultan (Miles dan Huberman, 1992). Proses analisis ini difokuskan pada data potensi dan kebutuhan materi ajar bahasa Jawa. Data tersebut untuk penyusunan materi ajar bahasa Jawa SD dengan pendekatan ekolinguistikpengungkap kearifan lokaluntukpelestarianbahasadan lingkungannya.
3. Pembahasan Pengembangan bahan ajar Bahasa Jawa yang dihasilkan disusun berdasarkan kebutuhan pembelajaran, kurikulum, dan teori yang relevan. Guru dan siswa membutuhkan materi ajar yang kontekstual dengan menggunakan kosakata, cerita, dan budaya yang ada di lingkungan siswa. Bahan ajar berupa buku bergambar dan media CD film animasi, film pendek, dan vedio scribe. Dipilihnya cerita bergambar, video scribe, dan film karena disesuaikan dengan kesenangan anak-anak. Di samping itu, melalui film terlihat ucapan, intonasi, diksi, dan ekspresi dalam berbicara yang benar. Ketepatan berbicara tidak hanya dari segi ucapan, intonasi, diksi, tetapi juga ekspresi atau gerak geriknya, sebagai contoh jika anak mengatakan ndherek langkung ‘permisi mau lewat’ diikuti membungkukkan badan. Hal ini akan terlihat jika materi ajar disertai dengan visual. Kurikulum yang digunakan sebagai dasar pengembangan bahan ajar ini adalah Kurikulum 2013, sedangkan teori yang digunakan adalah teori ekolinguistik. Berdasarkan kebutuhan guru dan siswa, bahan ajar yang disusun berupa wacana cerita yang merupakan cerita rakyat, wayang, dan cerita rekaan yang berupa kegiatan sehari-hari, kejadian alam, dan kegiatan budaya.
3.1 Bahan Ajar dengan Pendekatan Ekolinguistik sebagai Pengungkap Kearifan Lokal Ekolingustik adalah kajian tentang interaksi bahasa dan lingkungannya. oleh karenanya bahasa hanya berfungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antarpenutur, dan menghubungkan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial ataupun lingkungan alam. Kerangka teoretis ini mengacu pada tiga dimensi, yakni dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis. Dimensi ideologis merupakan sistem psikis, kognitif dan sistem mental individu dan kolektif. Dimensi ideologis ini merupakan kearifan lokal. Keraf (2010: 369) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah suatu pengetahuan, keyakinan, pemahaman, Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 163
kebiasaan, dan etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan lokal suatu masyarakat selalu dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia dalan kehidupan sehari-hari sehari-hari, baik terhadap Tuhan, sesama manusia, maupun terhadap alam. Dimensi sosiologis berkenaan dengan bagaimana kita mengatur hubungan dengan sesama, misalnya dalam keluarga, antar teman, tetangga, atau dalam lingkungan sosial. Dimensi ini mencerminkan penggunaan bahasa yang sesuai dengan konteksnya, siapa yang berbicara, berbicara dengan siapa, dan membicarakan siapa. Para siswa bila berbicara dengan temannya menggunakan bahasa Jawa ngoko lugu, jika membicarakan orang tuanya menggunakan bahasa Jawa ngoko alus. Jika berbicara dengan orang tuanya, anak tersebut menggunakan bahasa Jawa krama alus. Dimensi biologis berkaitan dengan keberadaan kita secara biologis bersanding dengan spesies lain seperti tanaman, hewan, bumi, laut dan lain sebagainya (Bundsgaard dan Steffensen, 2000:7).. Dengan demikian materi ajar bahasa Jawa dengan pendekatan ekolinguistik disusun dalam bentuk wacana yang menggunakan bahasa Jawa dialek dimana siswa berada yang sesuai konteksnya dengan memanfaatkan kosakata nama orang, tumbuh-tumbuhan, hewan, benda, alat, dongeng, budaya, dan ungkapan tradisional yang merupakan kearifan lokal. Tema materi ajar yang diperlukan merupakan kegiatan sehari-hari dalam hubungannya dengan masyarakat, alam sekitar, dan Tuhan, yang dapat memperkaya sikap sosial, spiritual, dan peka lingkungan.
3.2 Bahan Ajar Berbentuk Teks Bahan ajar yang dikembangkan berbasis teks yang berupa cerita. Melalui cerita selain meningkatkan keterampilan berbahasa, siswa juga memperoleh pendidikan karakter dan hiburan seperti yang diungkapkan Sukadaryanto (2013:202), bahwabahan ajar yang berbentuk cerita tidak hanya untuk menghibur tetapi dapat mentransfer nilai-nilai moralitas yang terkandung di dalamnya. Cerita berpotensi dapat mengembangkan kognisi dan daya apresiasi anak. Apresiasi cerita memiliki sumbangan bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju ke kedewasaan sebagai manusia yang menjati diri (Suryanto, 2013: 236). Hal itu juga diungkapkan oleh O’Sullivan bahwa cerita menyediakan kekayaan Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 164
keteladanan dan dapat menciptakan emosi kasih sayang yang mengarah pada kebaikan, hasrat untuk melakukan perbuatan yang benar (Felicia, 2005:6-7).
Hal senada juga
diungkapkan oleh Rakimahwati (2012) bahwa cerita dapat dijadikan sarana penanaman aklak. Pengembangan bahan ajar ini disusun sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif anak, menggunakan kalimat yang sederhana yang mudah dipahami anak. Oleh karena itu, materi ajar ini berupa cerita anak. Cerita anak merupakan cerita yang dibuat oleh orang dewasa dan diperuntukkan bagi kalangan pembaca anak-anak. Cerita anak menceritakan perbuatan, pengalaman, atau penderitaan orang; kejadian dan sebagainya, yang merupakan rekaan belaka, bersifat imajinatif dan fiktif. Hal itu dikarenakan adanya pandangan bahwa anak-anak juga perlu diberikan bacaan yang sesuai dengan dunia mereka (Trimansyah, 1999:22). Oleh karena itu, walaupun cerita anak diciptakan oleh orang dewasa, seolah-olah cerita tersebut merupakan ekspresi diri anak-anak lewat idiom-idiom bahasa anak-anak (Sugihastuti, 1996;70). Kekhasan pengertian cerita anak memunculkan sifat tersendiri dalam cerita anak tersebut. Sifat itu muncul karena uniknya dunia anak yang harus ditampilkan dalam cerita anak. Dunia anak adalah dunia yang penuh imajinasi, tetapi terbatas dalam hal kedalaman intelektualnya. Sarumpaet (1976:27) menegaskan bahwa anak memiliki dunia tersendiri dari dunia dan alam kehidupan orang dewasa. Alam kehidupan anak-anak menuntut adanya nilai dan imbauan tertentu bagi perkembangannnya. Pengembang bahan ajar ini berdasarkan ciri-ciri cerita anak yang dikemukakan Sarumpaet (1976:23), yaitu sebagai berikut. (1) Cerita anak adalah cerita yang tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu kala dalam bentuk mitologi, cerita-cerita binatang, dongeng, legenda, dan kisah-kisah kepahlawanan yang romantis. (1) Cerita anak bersifat patut dan universal. Artinya, bacaan didasarkan pada bahan-bahan terbaik yang diambil dari zaman yang telah lalu dan karya-karya penulis terbaik masa kini. (3) Cerita anak adalah cerita yang bersifat menghibur, sesuatu yang menyenangkan anak-anak. (4) Ceita anak adalah cerita yang dikonsumsi anak-anak dengan bimbingan dan pengarahan anggotaanggota keluarga dewasa, sedang penulisannya juga dilakukan oleh orang-orang dewasa.
3.2.1 Bahan Ajar Cerita Rakyat Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 165
Bahan ajar cerita rakyat dalam pembelajaran Bahasa Jawa meliputi fabel, sage, dan legenda. Fabel atau dogeng yang tokohnya binatang merupakan bahan ajar Bahasa Jawa SD di Jawa Tengah kelas rendah. Fabel merupakan dongeng yang bersifat umum, yang terdapat di semua wilayah kebahasaan, misalnya di wilayah bahasa Jawa ngapak (Baanyumas, Brebes, dan Tegal) mengenal dongeng Kancil. Demikian pula di Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta juga ada dongeng Kancil. Namun, pengembangan materi ajarnya menggunakan dialek bahasa Jawa dimana siswa berada. Di Banyumas, cerita Kancil menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumasan, di Semarang menggunakan bahasa Jawa dialek Semarangan. Sage dan legenda merupakan bahan ajar Bahasa Jawa SD dan SMP. Sage merupakan bahan ajar Bahasa Jawa bisa bersifat umum, tetapi legenda bersifat khusus. Setiap wilayah memiliki legenda yang berbeda, misalnya di Cilacap ada legenda Ketapang Dengklok yang tidak dijumpai di Semarang. Di Semarang ada legenda Dumadine Kuta Semarang dan di Kabupatn Semarang ada legenda Rawa Pening yang tidak dijumpai di wilayah Banyumas. Dengan demikian, legenda Ketapang Dengklok sebagai materi ajar Bahasa Jawa di Cilacap, sedangkan legenda Rawa pening sebagai materi ajar di Kabupaten Semarang. Sama halnya dengan fabel, pengembangan bahan ajar sage dan legenda juga menggunakan bahasa Jawa dialek sesuai wilayahnya.
3.2.2 Bahan Ajar Cerita Wayang Cerita wayang dalam pembelajaran Bahasa Jawa di Jawa Tengah dibatasi cerita yang bersumber dari teks Mahabarata dan Ramayana. Cerita wayang merupakan cerita yang sudah pakem, tetapi dalam perkembangannya ada cerita wayang yang sudah disesuaikan dengan lingkungannya, sehingga masyarakat umum dapat memahami ceritanya. Sebagai bahan ajar, cerita wayang disusun dengan menggunakan bahasa Jawa yang mudah dimengerti siswa. Jika ada kata-kata arkais, perlu dijelaskan maknanya. Agar lebih bebas dalam penggunaan bahasa, cerita wayang dikembangkan dengan cerita nonton wayang, sehingga nonton wayang di Banyumas menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumasan, di Pati menggunakan bahasa Jawa dialek Pati.
3.2.3. Bahan Ajar Cerita Rekaan atau Pengalaman/Kegiatan Sehari-hari Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 166
Cerita yang dikembangkan merupakan penuturan tentang suatu kejadian/periswiwa atau pengalaman kehidupan sehari-hari, baik pengalaman pribadi maupun orang lain. Bahan ajar ini berupa cerita monolog dan dialog yang dapat melatih siswa berbicara sesuai konteksnya. Dengan demikian, ceritanya menggunakan bahasa Jawa dialek dimana siswa berada, dengan kosakata berupa nama bagian anggota badan, nama barang atau alat, nama tumbuh-tumbuhan, dan kegiatan yang ada di lingkungan siswa. Pengembangan cerita ini dimulai dari yang paling dekat dengan siswa, sebagai contoh mengenalkan kata nama anggota badan dan barang atau benda di dalam rumah. Dalam hal ini dapat dikembangkan cerita dengan judul Resikan ‘menjaga kebersihan’. Cerita ini dikembangkan dengan memperhatikan hubungan manusian dengan manusia, Tuhan, dan lingkungannya yang berisi nasehat orang tua kepada anaknya agar anaknya bisa menjaga kebersihan, baik kebersihan diri, makanan, dan lingkungannya agar menjadi anak yang sehat. Orang yang menjaga diri dan lingkungannya merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi kenikmatan. Pengembangan cerita ini sesuai bahan ajar Bahasa Jawa kelas satu SD, yaitu mengenalkan nama-nama anggota tubuh dan benda di sekitar siswa. Teks cerita ini memperkenalkan nama anggota tubuh, seterti sirah ‘kepala’, kuping ‘telinga’, tangan ‘tangan’, awak ‘badan’, driji ’jari’ , sikil ‘kaki’, untu ‘gigi’, bam ‘geraham’, rambut ‘rambut dan nama benda di sekitar siswa, seperti kata landha ‘pembersih rambut dari sekam’, merang ‘sekam’, paturon ‘tempat tidur’, jogan ‘lantai, lawang ‘pintu’serta memperkenalkan kegiatan sehari-hari yang jarang digunakan siswa seperti kata ditebahi ‘dibersihkan dengan sapu lidi’ dan wijik ‘cuci tangan’. Setelah memperkenalkan anggota badan dan benda di dalam rumah, untuk kelas dua ke atas sudah menceritakan kegiatan masyarakat di luar rumah, sebagai contoh cerita dengan judul Resik-Resik, Ingon-Ingon, Wit Kambil, Nenandur merupakan kegiatan nyata atau rekaan yang ada di luar yang dekat dengan rumahnya. Bahan ajar SD kelas tinggi sampai SMA berupa cerita kegiatan atau pengalaman di luar yang agak jauh dari rumahnya, seperti cerita Blanja menyang Pasar, Sowan Simbah, Mancing, Nemu Dompet.
3.2.4 Bahan Ajar Kegiatan Budaya
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 167
Bahan ajar Bahasa Jawa yang berupa cerita bisa menceriterakan kegiatan budaya, seperti Merti Desa atau Bersih Desa. Cerita ini merupakan pelestarian budaya merti desa yang diadakan setiap tahun sebagai rasa sukur telah diberi rejeki oleh Tuhan. Di samping itu, cerita ini juga sebagai pelestarian bahasa dengan menggunakan kata-kata nama makanan, alat keberihan dan benda yang dibersihkan, seperti sapu sada ‘sapu lidi’ tomblok ‘sejenis keranjang yang dibuat dari bambu’, cikrak ‘alat untuk membuang sampah’, kijing ‘nisan’, larahan ‘sampah daun kering’. Materi ajar ini memuat pendidikan sikap sosial gotong royong membersihkan desa dan sikap spiritual berdoa dan mengucapkan rasa bersyukur.
4. Penutup 4.1 Simpulan Bahan ajar pembelajaran Bahasa Jawa dengan pendekatan ekolinguistik sebagai pengungkap kearifan lokal Jawa bertujuan untuk melestarikan bahasa dan budaya Jawa . Di samping itu, bahan ajar ini sebagai bahan pendidikan sikap spiritual dan soaial. Dengan penggunaan bahasa Jawa yang ada di lingkungan siswa diharapkan dapat mempertahankan bahasa Jawa. Bahasa Jawa tetap hidup dan digunakan masyarakatnya dalam pergaulan di lingkungannya. Bahan ajar dikemas menggunakan bahasa tulis dan lisan dalam bentuk teks. Bahan ajar ini dapat menfasilitasi siswa belajar berbahasa sesuai konteksnya.
4.2 Rekomendasi Bahan ajar Bahasa Jawa dengan pendekatan ekolinguistik yang berupa buku bergambar dapat digunakan sebagai bahan ajar bahasa tulis, sedangkan film animasi, film pendek, dan video scribe dapat digunakan sebagai Bahan ajar pembelajaran Bahasa Jawa untuk meningkatkan kompetensi bahasa lisan siswa.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 168
Daftar Rujukan Apriyanto. 2008. “Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan”. Makalah pada PKM IPB, Bogor. Ayatrohaedi.1986. Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius.Jakarta: Pustaka Jaya. Borg, W.R & Gall, M.D. 1989. Educational Research : an Introduction (Fifth Edition). New York : Longman. Bundsgaard, Jeppe dan Sune Steffensen. 2000. ”The Dialectics of Ecological Morphology - or the Morphology of Dialectics”. Dalam Anna Vibeka Lindo dan Jeppe Bundsgaard (eds.) Dialectal Ecolinguistics: Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz. University of Odens Felicia, Cynthia A. 2005. Developing Character Through Reading Incorporating Character Education into Curriculum. Mimeograf , EDU. 572 Haba, Jonh. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Jakarta: ICIP dan Eropean Commision Haugen E. 2001. “The Ecology of Language” Dalam. Fill A, dan Mühlhäusler P (Eds). The Ecolinguistics Reader: Language, Ecology and Environment. London: Continuum Keraf, ASonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kurniati, Endang dan Hari Bakti Mardikantoro. 2010. “Pola Variasi Bahasa jawa (Kajian Sosiodialektologi pada Masyarakat Tutur di Jawa Tengah). Dalam Jurnal Humaniora Volume 22, Nomor 3 Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Kurnati, Endang, Hardyanto, dan Sri Prastiti. 2016. Pengembangan Materi Ajar Bahasa Jawa SD dengan Pendekatan Ekolinguistik Sebagai Pengungkap Kearifan Lokal untuk Pelestarian Bahasa dan Lingkungannya. Laporan Hasil Penelitian. Semarang: LP2M Unnes.
Rakimahwati. 2012. Strategi Penanaman Akhlak Melalui Cerita Bergambar pada Siswa Kelas Awal Sekolah Dasar. Jurnal Sekolah Dasar, (Online),Volume 21, No. 1, (http://www.journal.um.ac.id, diakses 10 Agustus 2014.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 169
Sailan, Zalili. 2014. “Pemertahanan Bahasa Muna di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara” dalam Jurnal Litera Volume 13, Nomor 1. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Sarumpaet, Riris K, Toha. 1975. Bacaan Anak-anak: Suatu Penyelidikan Pndahuluan ke dalam Hakikat, Sifat, dan Corak Bacaan Anak-anak serta Minat Anak pada Bacaannya. Jakarta: Pustaka Jaya Sinar, Tengku Silvana, 2010. ”Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan.” Disampaikan dalam Seminar Internasional Seminar Language, Literature, And Culture in Southheast Asia. Diselenggarakan oleh Prodi Linguistik USU dan Phuket Rajabhat University Thailand, Thailand 3-5 Juni 2010. Sugihastuti. 1996. Serba-serbi Cerita Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sukadaryanto. 2013. Moralitas dalam Serat Cemporet sebagai Bahan Ajar Membaca Sastra di SMA. Proceedings The 3rd International Conference of Regional Culture (KIBD-III): 202-209. Sukoyo, Joko. 2015. Pembentukan Karakter Anak Bangsa Melalui Tembang Dolanan Jawa. Prosiding seminar Nasional Kearifan local Indonesia untuk Pembangunan Karakter Universal. Bali: Denpasar: 232-238
Suryanto, Edy., Raheni Suhita, dan Yant Mujiyanto. 2013. Model Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Cerita Anak. Litera, Volume 12, No. 2: 235-245. Trimansyah, Bambang. 1999. Fenomena Instrinsik Cerita Anak Indonesia Kontemporer, Dunia Sastra yang Terpinggirkan. Bandung: Penerbit Nuansa.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 170
PERENCANAAN PEMBELAJARAN BAHASA JAWA BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KURIKULUM 2013 Prima Veronika, Budhi Setiawan, Nugraheni Eko Wardani Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perencanaan pembelajaran bahasa Jawa berbasis pendidikan karakter dalam kurikulum 2013. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus tunggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan pembelajaran bahasa Jawa berbasis pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 dapat diimplementasikan melalui penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang baik dan benar sesuai komponen-komponen yang meliputi: 1) Identitas sekolah; 2) Identitas mata pelajaran atau tema/subtema; 3) Kelas/semester; 4) Materi pokok; 5) Alokasi waktu; 6) Tujuan pembelajaran; 7) Kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi; 8) Materi pembelajaran; 9) Metode pembelajaran; 10) Media pembelajaran; 11) Sumber belajar; 12) Langkah-langkah pembelajaran.
Kata Kunci: Perencanaan , Bahasa Jawa, Pendidikan Karakter, Kurikulum 2013
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 171
Latar Belakang Masalah Dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013 dijelaskan bahwa kegiatan pembelajaran merupakan proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan
semua
potensi
peserta
didik
menjadi
kompetensi
yang
diharapkan.Implementasi pembelajaran bahasa Jawa telah tertuang dalam Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2013 yang menyatakan bahwa Pembinaan Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa dilaksanakan di satuan pendidikan formal pada Sekolah Dasar (SD)/ Madrasah Ibtidaiyah (MI)/ Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)/ Paket A, Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsanawiyah (M.Ts)/ Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB)/ Paket B, Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)/ Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/ Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK)/ Paket C dan sederajat. Penanaman
pendidikan
karakter
bertujuan
untuk
meningkatkan
mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari (Muslich, 2011: 81).Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam pendidikan karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya akan dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Unsur-unsur pendidikan karakter yang akan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan tersebut antara lain: a) nilai-nilai karakter kompetensi lulusan, b) muatan kurikulum nilai-nilai karakter, c) nilai-nilai karakter dalam pembelajaran, d) nilai-nilai karakter pendidik dan tenaga kependidikan, e) nilai-nilai karakter pembinaan kepesertadidikan (Wiyani, 2013: 87). Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para guru dalam melaksanakan pembelajaran kurikulum 2013, antara lain: 1) berpusat pada peserta didik, 2) Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 172
mengembangkan kreativitas peserta didik, 3) menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, 4) bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, 5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam melalui penerapan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna (Fadlillah, 2014: 180).Pembelajaran dalam menyukseskan implementasi kurikulum 2013 merupakan keseluruhan proses belajar, pembentukan kompetensi, dan karakter peserta didik yang direncanakan. Untuk kepentingan tersebut, kompetensi inti, kompetensi dasar, materi standar, indikator hasil belajar, dan waktu yang diperlukan harus ditetapkan sesuai dengan kepentingan pembelajaran sehingga peserta didik diharapkan memperoleh kesempatan dan pengalaman belajar yang optimal (Mulyasa, 2013: 125). Pembelajaran sebagai suatu proses penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik, memiliki komponen-komponen yang harus dipersiapkan oleh pendidik. Mulai dari komponen perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah pedoman bagi pendidik dalam melaksanakan pembelajaran yang merupakan pengembangan dari silabus. Dengan demikian penyusunan RPP merupakan bagian dari tahap perencanaan pembelajaran yang wajib diketahui, dipahami, dan disusun oleh pendidik dengan langkah-langkah yang baik dan benar. Adapun pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa berbasis pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 seringkali memunculkan berbagai kendala yang diantaranya dapat diketahui melalui penelitian yang dilakukan oleh Vikiyono (2015) dengan judul “Implementasi Pendidikan Karakter di SDIT Qurrota A’yun Ponorogo”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan yang dialami dalam proses penanaman karakter berasal dari dalam dan dari luar. Hambatan dari dalam meliputi pendidik yang kurang bisa memahami karakteristik masing-masing siswa. Kurangnya sarana penunjang dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu sistem full day yang ternyata memiliki beberapa kelemahan. Hambatan dari luar adalah kurangnya pasrtisipasi aktif orang tua dalam proses penanaman karakter.Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Agustinova (2012) dengan judul “Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Islam Terpadu (Studi Kasus SDIT Al Hasna, Klaten)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penghambat pelaksanaan pendidikan karakter adalah adanya beberapa wali murid yang kurang memiliki kesadaran untuk ikut mendidik anak dan karakter awal siswa yang berbeda-beda. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 173
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Vikiyono, Agustinova,dan penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa masih terdapat kendala-kendala implementasi pembelajaran bahasa Jawa berbasis pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 mulai dari perencanaan, pelaksanaan, maupun penilaian. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti fokus untuk melakukan penelitian dengan judul “Perencanaan Pembelajaran Bahasa Jawa Berbasis Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013”. Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian dari perencanaan pembelajaran? 2. Bagaimana Rencana Pelaksanaan Pembelajaran bahasa Jawa? 3. Bagaimana pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Jawa?
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus tunggal. Penelitiankualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk katakata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2010: 6).Studikasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial (Mulyana, 2007: 201). Penelitian ini menggunakan kasus tunggal karena penelitiannya hanya dilakukan pada satu sasaran (satu lokasi atau satu objek), sehingga strategi penelitian yang relevan adalah studi kasus (Case Study).
Pembahasan 1. Pengertian Perencanaan Pembelajaran Perencanaan adalah suatu proses atau cara berpikir yang dapat membantu memperoleh hasil yang diharapkan. Dari perencanaan tersebut dapat dipilih salah satu alternatif yang ada (Idi, 2007: 237). Perencanaan pembelajaran adalah proses penerjemahan kurikulum yang berlaku menjadi program-program pembelajaran yang Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 174
selanjutnya dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran (Sanjaya, 2013: 47). Perencanaan pembelajaran adalah kegiatan merencanakan semua komponen pembelajaran, terutama yang terencana (tujuan, materi, strategi/ metode, langkah-langkah, sumber bahan, dan penilaian) sehingga proses pembelajaran berjalan secara baik dan mencapai hasil yang optimal (Martiyono, 2011: 22-23). Perencanaan pengajaran yang dipersiapkan oleh guru pada dasarnya berfungsi antara lain untuk: 1) menentukan arah kegiatan pengajaran/ pembelajaran; 2) memberi isi dan makna tujuan; 3) menentukan cara bagaimana mencapai tujuan yang ditetapkan, dan 4) mengukur seberapa jauh tujuan itu telah tercapai dan tindakan apa yang harus dilakukan apabila tujuan belum tercapai. Dengan perkataan lain, perencanaan pengajaran (satuan pembelajaran) pada hakikatnya proyeksi atau prakiraan mengenai apa yang akan dilakukan guru pada waktu mengajar (Nurdin, 2007: 86).Selanjutnya Idi (2007: 235) berpendapat dalam perencanaan kegiatan belajar mengajar, pendidik perlu menentukan
tujuan
yang
jelas
mengenai
apa
yang
hendak
dicapai
dan
mempertimbangkan alasan mengajarkan hal itu, yakni alasan menyampaikan suatu pokok bahasan, sehingga arah pekerjaan pendidik terarah dan efektif. Karenanya pelajaran yang disajikan harus mempunyai perencanaan, pengoreksian, atau sesuai tidak dengan rencana pelajaran. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disintesiskan bahwa perencanaan pembelajaran adalah kegiatan merencanakan semua komponen pembelajaran seperti tujuan, materi, metode, langkah-langkah, sumber bahan, dan penilaian sehingga proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik dan mencapai hasil yang optimal.
2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Jawa Menurut Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD) (bab III, Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 175
hlm: 5-6).Selanjutnya dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum disebutkan bahwa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah rencana pembelajaran yang dikembangkan secara rinci dari suatu materi pokok atau tema tertentu yang mengacu pada silabus. RPP mencakup: (1) data sekolah, mata pelajaran, dan kelas/semester; (2) materi pokok; (3) alokasi waktu; (4) tujuan pembelajaran, KD dan indikator pencapaian kompetensi; (5) materi pembelajaran; metode pembelajaran; (6) media, alat dan sumber belajar; (6) langkah-langkah kegiatan pembelajaran; dan (7) penilaian (lamp. IV hlm: 8). Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan telah dijabarkan dalam silabus. Lingkup Rencana Pelaksanaan Pembelajaran paling luas mencakup satu kompetensi dasar yang terdiri atas satu atau beberapa indikator untuk satu kali pertemuan atau lebih (Munthe, 2009: 200). Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah detail rencana aktivitas pembelajaran untuk mencapai satu KD tertentu, atau gabungan KD apabila dalam pembelajaran terpadu. Waktunya lebih singkat dibanding silabus, satu sampai tiga pertemuan. Dalam RPP menguraikan tentang kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan, sehingga akan menjadi pedoman praktis dalam pelaksanaan pembelajaran (Kurniawan, 2014: 122123).Istilah Standar Kompetensi tidak lagi dikenal pada kurikulum 2013, namun muncul istilah baru yaitu Kompetensi Inti (Daryanto, 2014: 84). RPP memiliki dua fungsi, yaitu pertama fungsi perencanaan yaitu mendorong guru lebih siap melakukan kegiatan pembelajaran; kedua fungsi pelaksanaan yaitu dalam pelaksanaannya harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan lingkungan, sekolah, dan daerah (Trianto, 2014: 108). Dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah memaparkan bahwa: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD). Setiap pendidik pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 176
inspiratif, menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. RPP disusun berdasarkan KD atau subtema yang dilaksanakan kali pertemuan atau lebih. Komponen RPP terdiri atas: 1) Identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan; 2) Identitas mata pelajaran atau tema/subtema; 3) Kelas/semester; 4) Materi pokok; 5) Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai; 6) Tujuan
pembelajaran
yang
dirumuskan
berdasarkan
KD,
dengan
menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan; 7) Kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi; 8) Materi pembelajaran, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator ketercapaian kompetensi; 9) Metode pembelajaran, digunakan oleh pendidik untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai KD yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan KD yang akan dicapai; 10) Media pembelajaran, berupa alat bantu proses pembelajaran untuk menyampaikan materi pelajaran; 11) Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar, atau sumber belajar lain yang relevan; 12) Langkah-langkah pembelajaran dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup; dan 13) Penilaian hasil pembelajaran.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 177
Menurut Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum (Lampiran IV: 38) RPP paling sedikit memuat: (i) tujuan pembelajaran, (ii) materi pembelajaran, (iii) metode pembelajaran, (iv) sumber belajar, dan (v) penilaian. Komponen-komponen tersebut secara operasional diwujudkan dalam bentuk format berikut ini.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Satuan Pendidikan
:
Kelas/ Semester
:
Tema/ Subtema/ PB
:
Alokasi Waktu
:
A. Kompetensi Inti (KI) B. Kompetensi Dasar dan Indikator 1.
........................................... (KD pada KI-1)
2.
........................................... (KD pada KI-2)
3.
........................................... (KD pada KI-3) Indikator: ...................................................
4.
........................................... (KD pada KI-4) Indikator: ...................................................
KD-1 dan KD-2 dari KI-1 dan KI-2 tidak harus dikembangkan dalam indikator karena keduanya dicapai melalui proses pembelajaran yang tidak langsung. Indikator dikembangkan hanya untuk KD-3 dan KD-4 yang dicapai melalui proses pembelajaran langsung.
C. Tujuan Pembelajaran D. Materi Pembelajaran (Rincian dari materi pembelajaran) E. Metode Pembelajaran (Rincian dari kegiatan pembelajaran) F.
Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran 1.
Media
2.
Alat/ Bahan
3.
Sumber Belajar
G. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran 1.
Pertemuan Kesatu: a.
Pendahuluan (..... menit)
b.
Inti (..... menit)
c.
Penutup (.... menit)
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 178
2.
Pertemuan Kedua: a.
Pendahuluan (..... menit)
b.
Inti (..... menit)
c.
Penutup (.... menit)
H. Penilaian 1.
Jenis/ Teknik Penilaian
2.
Bentuk Instrumen dan Instrumen
3.
Pedoman Penskoran
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disintesiskan bahwa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) bahasa Jawa adalahrencana pembelajaran bahasa Jawa yang dikembangkan dari suatu materi pokok atau tema tertentu yang mengacu pada silabus yang selanjutnya dibuat materi pembelajaran disertai metode, media, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
3. Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa Jawa Pendidikan karakter dapat dilakukan melalui berbagai mata pelajaran di sekolah. Untuk itu para pendidik perlu menyusun RPP yang berorientasi pada pendidikan karakter dan mengimplementasi pada praktik pembelajaran sehari-hari di kelas. Dalam implementasi pendidikan karakter, maka unsur karakter mencakup ngerti, ngroso, dan nglakoni
hendaknya
dikembangkan
secara
menyeluruh
(Akbar,
2013:
127).Mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan karakter yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran wajib di SD yang relevan, terutama mata pelajaran agama, kewarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah) juga mata pelajaran muatan lokal. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh SD dan pihak SD dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester atau dua mata pelajaran muatan lokal dalam satu tahun (Wiyani, 2013: 186). Terdapat 18 nilai karakter yang perlu ditanamkan dalam diri peserta didik. Nilai karakter tersebut adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 179
bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung
jawab
(Kementerian
Pendidikan
Nasional,
2011:
9-10).Prinsip
pengembangan karakter pada peserta didik adalah mengenalkan peserta didik pada 18 nilai karakter bangsa, lalu membuat mereka menerima nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu yang baik dan tertanam dalam pikiran mereka. Pengembangan karakter yang baik akan menjadikan peserta didik mampu membuat keputusan yang tepat dalam bertindak melalui proses berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan nilai yang ditanamkan. Dengan demikian peserta didik akan mampu bertanggungjawab pada setiap tindakan atau keputusan yang mereka ambil (Isdisusilo, 2012: 122-123). Adapun Standar Isi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa SD/SDLB/MI Provinsi Jawa Tengah adalah sebagai berikut. Kelas I Semester I Kompetensi Inti 1.
Kompetensi Dasar
Menerima dan menjalankan ajaran agama 1.1 Menerima dan bangga akan anugerah Tuhan yang dianutnya
Yang Maha Esa berupa Bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu
2.
Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung
2.1 Menunjukkan perilaku bertanggung jawab,
jawab, santun, peduli, dan percaya diri
santun
dan
percaya
diri
dalam
dalam berinteraksi dengan keluarga, teman,
mengungkapkan keinginan dan pendapat
dan guru
menggunakan bahasa Jawa 2.2 Menunjukkan perilaku berbahasa yang santun yang ditunjukkan dengan ketepatan penggunaan ragam bahasa (unggah-ungguh basa) 2.3 Menunjukkan
perilaku,
tindakan,
dan
perbuatan yang mencerminkan kepribadian Jawa 3.
Memahami pengetahuan faktual dengan 3.1 Mengenal bunyi bahasa melalui nama-nama cara
mengamati (mendengar,
melihat,
benda sekitar
membaca) dan menanya berdasarkan rasa 3.2 Memahami ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan
tembang
dolanan
bertema
nasihat
Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda 3.3 Memahami dongeng yang mengandung yang dijumpainya di rumah dan di sekolah
ajaran budi pekerti
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 180
4.
Menyajikan pengetahuan faktual dalam 4.1 Mengeja dan menulis huruf, suku kata, dan bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang
estetis,
dalam
gerakan
kata melalui nama-nama benda sekitar
yang 4.2 Menirukan
mencerminkan anak sehat, dan dalam
pengucapan
teks
tembang
dolanan bertema nasihat
tindakan yang mencerminkan perilaku anak 4.3 Mendongeng dan memperagakan dongeng beriman dan berakhlak mulia
(fabel) bertema kejujuran
Kelas I Semester II Kompetensi Inti 1.
Kompetensi Dasar
Menerima dan menjalankan ajaran agama 1.1 Menerima dan bangga akan anugerah Tuhan yang dianutnya
Yang Maha Esa berupa Bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu
2.
Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung 2.1 Menunjukkan perilaku bertanggung jawab, jawab, santun, peduli, dan percaya diri
santun
dan
dalam berinteraksi dengan keluarga, teman,
mengungkapkan keinginan dan pendapat
dan guru
menggunakan bahasa Jawa 2.2 Menunjukkan
percaya
perilaku
diri
dalam
berbahasa
yang
santun yang ditunjukkan dengan ketepatan penggunaan ragam bahasa (unggah-ungguh basa) 2.3 Menunjukkan
perilaku,
tindakan,
dan
perbuatan yang mencerminkan kepribadian Jawa 3.
Memahami pengetahuan faktual dengan 3.1 Memahami tembang dolanan cara
mengamati (mendengar,
melihat, 3.2 Memahami dongeng bertema setia kawan
membaca) dan menanya berdasarkan rasa 3.3 Mengenal nama anggota tubuh dalam ragam ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan
ngoko dan krama
Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah 4.
Menyajikan pengetahuan faktual dalam
4.1 Menirukan
bahasa yang jelas dan logis, dalam karya
dolanan
yang
estetis,
dalam
gerakan
yang
mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia
pengucapan
teks
tembang
4.2 Mendongeng dan memperagakan dongeng (fabel) bertema setia kawan
4.3 Menulis nama-nama anggota tubuh dalam ragam ngoko dan krama
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 181
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disintesiskan bahwa pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa Jawa telah dirumuskan ke dalam silabus dan dikembangkan melalui penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran kemudian diimplementasikan dalam proses pembelajaran.
Simpulan Perencanaan pembelajaran bahasa Jawa berbasis pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 dapat diimplementasikan melalui penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan baik dan benar yang meliputi: 1) Identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan; 2) Identitas mata pelajaran atau tema/subtema; 3) Kelas/semester; 4) Materi pokok; 5) Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai; 6) Tujuan pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD, dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan; 7) Kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi; 8) Materi pembelajaran, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator ketercapaian kompetensi; 9) Metode pembelajaran, digunakan oleh pendidik untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai KD yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan KD yang akan dicapai; 10) Media pembelajaran, berupa alat bantu proses pembelajaran untuk menyampaikan materi pelajaran; 11) Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar, atau sumber belajar lain yang relevan; 12) Langkah-langkah pembelajaran dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup; danPenilaian hasil pembelajaran.
Daftar Pustaka Agustinova, Danu Eko. 2012. Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Islam Terpadu (Studi Kasus SDIT Al Hasna, Klaten). Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Akbar, Sa’dun. 2013. Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 182
Daryanto. 2014. Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013. Yogyakarta: Gava Media. Fadlillah. 2014. Implementasi Kurikulum 2013 Dalam Pembelajaran SD/MI, SMP/MTS & SMA/MA. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Isdisusilo. 2012. Panduan Lengkap Membuat Silabus dan RPP. Jakarta: Kata Pena. Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Kurniawan, Deni. 2014. Pembelajaran Terpadu Tematik (Teori, Praktik, dan Penilaian). Bandung: Alfabeta. Martiyono. 2011. Perencanaan Pembelajaran: Suatu Pendekatan Berdasarkan KTSP Termasuk Model Tematik. Yogyakarta: Aswaja Pressindo. Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Munthe, Bermawy. 2009. Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Muslich,
Masnur.
2011.
Pendidikan
Karakter:
Menjawab
Tantangan
Krisis
Multidimensional. Jakarta: PT Bumi Aksara. Nurdin, Syafruddin. 2007. Guru Profesional & Implementasi Kurikulum. Jakarta: Quantum Teaching. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2013 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 183
Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum. Sanjaya, Wina. 2013. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Trianto. 2014. Model Pembelajaran Terpadu; Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: PT Bumi Aksara. Vikiyono, Derit. 2015. Implementasi Pendidikan Karakter di SDIT Qurrota A’yun Ponorogo. Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Wiyani, Novan Ardy. 2013. Konsep, Praktik, dan Strategi Membumikan Pendidikan Karakter di SD. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 184
PENGARUH PEMBELAJARAN MENULIS CERITA RAKYAT PADA SISWA SMA DENGAN MEDIA AUDIOVISUAL
Muh Nurul Huda, Sumarlam, Kundharu Saddhono Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email:
[email protected]
Abstract Learning is combination of the compose, which includes elements of the elements of human, material, facilities, the equipment and the procedure a mutually affect to reach the learning objectives. This study was intended to know how the influence on the students high school againest the media audiovisual. On learning wrote folklore. This study using the descriptive kualitatif, namely the research empalized records that described a situation actually in order to support the presentation of the date with all the character of the like as my with the original form like at the time note. This study describe about learning wrote folklore with the hope through the media audiovisual learning can bedone more effective, efficient, and readily accepted by the student.
Keywords: Combination, folklore, and audiovisual
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 185
A. Pendahuluan Zaman sekarang banyak tantangan yang dihadapi oleh pendidik, utamanya dalam hal pembelajaran. Pendidik harus memberikan inovasi ketika mengajar supaya peserta didiknya tidak merasa bosan. Tidak hanya siswa saja yang merasakan, tetapi sebagian gurupun merasa bosan dengan berbagai “mode” pendidikan yang selalu berubah-ubah, karena perubahan yang terus-menerus hanya akan menguras waktu dan energi dalam mempelajari dan mempraktikannya. Berbicara tentang proses pendidikan sudah tentu tidak dapat dipisahkan dengan semua upaya yang harus dilakukan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas, sedangkan manusia yang berkualitas itu dilihat dari segi pendidikan telah terkandung secara jelas dalam tujuan pendidikan nasional (Hamalik, 2014 : 3). Pendidikan adalah sebuah kegiatan yang amat strategis bagi masa depan bangsa. Oleh karena itu hal yang harus dikembangkan saat ini yakni pendidikan. Negara Indonesia, mutu pendidikannya masih rendah dibandingkan dengan negara lain, sehingga diperlukan perbaikan secara terprogram karena banyak permasalahan dari aspek pendidikan. Permasalahan yang ada diantaranya adalah: aspek ekonomi, kurikulum dan aspek sumber daya manusia di sektor pendidikan. Pemerintah tidak henti-hentinya untuk melakukan peningkatan kualitas pendidikan yang ada, baik melalui peningkatan mutu tenaga pendidik, berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan dan lain sebagainya. Faktor guru sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan proses pembelajaran untuk memajukan pendidikan. Guru merupakan profesi yang mempunyai peranan penting di tengah-tengah peradaban dunia. Guru bertanggung jawab mengajari, melatih, membimbing, mendidik, dan menasehati para siswanya agar menjadi manusia yang bisa menjadi khalifah fil ardhi (penguasa/penjaga dunia) (Sufanti, 2010:1). Guru bisa menjadi penentu kondisi bangsa di masa yang akan datang, karena proses dan hasil pembelajaran akan berdampak pada berbagai sektor kehidupan. Terdapat empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007, yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Keempat kompetensi tersebut akan menentukan kinerja seorang guru. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 186
Peranan guru dalam proses belajar mengajar juga sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran tersebut, karena guru adalah orang yang mampu mengelola komponen-komponen pembelajaran yang lain. Seorang guru mempunyai kewajiban untuk
merencanakan
kegiatan
pembelajaran,
melaksanakan
pembelajaran,
mengevaluasi, dan melakukan bimbingan serta pelatihan. Kualitas seorang guru akan menentukan kualitas mutu proses pembelajaran. Pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan. Pembelajaran bahasa, masing-masing memiliki empat aspek dasar keterampilan kebahasaan yang harus dimiliki oleh siswa. Keempat aspek tersebut meliputi: mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan ini harus dikuasai oleh siswa karena merupakan keterampilan dasar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu aspek yang paling sulit dalam hal berbahasa adalah menulis, karena dengan menulis siswa juga dituntut untuk membaca. Menulis sebagai sebuah keterampilan berbahasa adalah kemampuan seseorang dalam mengemukakan gagasan, perasaan, dan pikiran-pikirannya kepada orang atau pihak lain dengan media tulisan, Nurjamal (2011: 69). Hal senada juga diungkapkan oleh Keraf (dalam Pujiono, 2012: 53) yang berpendapat bahwa kegiatan menulis adalah untuk mengungkapkan faktafakta, gagasan, sikap, pikiran, argumen, perasaan dengan jelas dan efektif kepada pembaca. Salah satu karya sastra lama asli Indonesia adalah cerita rakyat. Menurut Gusal (2015: 1) cerita rakyat merupakan cermin kehidupan masyarakat lama, baik yang berbentuk dongeng, mite, sage, maupun legenda. Melalui cerita rakyat dapat diketahui kekayaan sendiri dan kebesaran masa lampau untuk kepentingan pembentukan nilai dan budaya sekarang dan masa yang akan datang. Cerita rakyat beragam dalam penyampainnya, tetapi secara umum cerita rakyat diwariskan dengan cara lisan. Dalam proses belajar mengajar diperlukannya sarana sebagai media pembelajaran yang kondusif dan komunikatif antara pendidik dengan peserta didik. Keberhasilan ini bisa dilakukan dengan media yang mendukungnya. Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 187
berarti perantara atau pengantar teradinya komunikasi dari pengirim menuju kepenerima (Heinich et.al., 2002; Ibrahim, 1997; Ibrahim et.al., 2001) dalam Daryanto (2010: 4). Dengan demikian media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan. Media audiovisual adalah media kombinasi antara audio dan visual yang diciptakan sendiri seperti slide yang dikombinasikan dengan kaset audio (Wingkel, 2009: 321). Sedangkan menurut Sanjaya (2010:172) media audio- visual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar yang bisa dilihat, misalnya rekaman video, slide, suara, dan sebagainya. Adapun jenis alat-alat yang termasuk dalam kategori media audiovisual adalah: televisi, video-VCD, sound slide dan film. Dalam penelitian ini media audiovisual yang digunakan oleh peneliti ialah video (film). Video merupakan salah satu media audiovisual yang sudah banyak dikembangkan untuk keperluan pengajaran. Sebagai media audiovisual, video dapat menampilkan suara, gambar dan gerak sekaligus. Sehingga media ini efektif untuk menyampaikan berbagai topik materi cerita rakyat.
B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang terdapat pada penelitian ini yaitu bagaimana pengaruh pembelajaran menulis cerita rakyat pada siswa SMA dengan media audiovisual?
C. Metode Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif karena penelitian ini berdasarkan data-data yang diperoleh berupa konsep-konsep catatan lapangan dan selanjutnya data-data tersebut dianalisis. Pernyataan tersebut sesuai apa yang disampaiakan Sutopo (2002 : 35), mengatakan bahwa, penelitian kualitatif menekankan catatan yang menggambarkan situasi sebenarnya guna mendukung penyajian data dan berusaha menganalisis data dengan semua kekayaan wataknya yang penuh nuansa, seperti dengan bentuk aslinya seperti pada waktu dicatat. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Selebihnya yaitu data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata dan tindakan Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 188
orang-orang yang diamanati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Selanjutnya sumber data utama tersebut dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video / audio tape, ataupun dengan cara pengambilan foto, Lofland dan Hoflan (dalam Moloeng, 2008:157).
D. Pembahasan Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun, meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari: siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material meliputi: bukubuku, papan tulis dan kapur, fotografi, slide dan film, audio dan video tape. Fasilitas perlengkapan terdiri dari: ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan sebagainya. Proses pembelajaran diperlukannya bantuan guru untuk penyediaan kondisi ini, atau bisa juga ditemukan sendiri oleh individu atau belajar secara otodidak. Adapun gambaran proses pembelajaran bisa seperti gambar dibawah ini. Guru
Proses Pembelajaran
Siswa
Media,Sumber belajar
Gambar di atas menunjukan bahwa proses pembelajaran itu saling berkaitan antara guru, siswa dan media/sumber belajar sehingga terjadi proses pembelajaran yang optimal. Pembelajaran menulis cerita rakyat bisa maksimal jika ada media yang mendukung. Sedangkan menulis itu sendiri adalah menyampaiakan gagasan lewat tulisan. Pada Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 189
umumnya orang menulis karena ada sesuatu yang ingin dikomunikasikan. Bahasa hanya merupakan sarana saja, karena pada hakikatnya ide yang ingin dikomunikasikan itulah yang utama. Antara aspek bahasa dan gagasan yang dikomunikasikan merupakan hubungan antara bentuk dan isi yang saling mempengaruhi. Bentuk berkaitan dengan bagaimana cara mengungkapkan dan cara memilih bahasa yang tepat, sedangkan isi, berkaitan dengan apa yang akan diungkapkan. Permasalahan tersebut harus mempunyai dampak langsung dengan menulis yang dilakukan peserta didik. Menulis bukan sematamata untuk menghasilkan bahasa saja, melainkan bagaimana cara mengungkapkan gagasan dengan mempergunakan sarana bahasa. Dengan menulis, peserta didik dituntut untuk berpikir memilih dan mempergunakan bahasa secara tepat dan juga memikirkan gagasan yang akan disampaikan. Apalagi menulis tentang cerita rakyat, siswa dituntut untuk menguasai cerita tersebut sebelum ditulis. Cerita rakyat merupakan cerita lisan yang lama hidup dan berkembang dikalangan masyarakat dan merupakan karya sastra yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan ceritanya diturunkan secara lisan dari satu generasi kepada generasi.Bisa juga dikatakan bahwa cerita rakyat adalah bagian dari kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki setiap bangsa. Cerita rakyat dianggap sebagai hasil dari sastra rakyat atau masyarakat setempat, karena lahir dikalangan rakyat, menjadi warisan suatu masyarakat, merujuk masa lampau, dan merupakan sebagian dari kehidupan budaya masyarakat. Pada awalnya tuturan cerita rakyat sering disampaikan oleh masyarakat baik pada tataran anak maupun orang dewasa. Cerita ini pula terkadang menjadi dongeng sebelum tidur dan menjadi salah satu prantara orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Kebiasaan para orang tua menceritakan cerita pada anak-anak mereka memberikan kesan yang sangat positif pada zamannya. Mereka selalu mengetahui tentang bagaimana menjalin hubungan sosial di tengah masayarakat pada zaman itu. Proses pembelajran diperlukannya sarana sebagai media pembelajaran yang kondusif dan komunikatif antara pendidik dengan peserta didik. Keberhasilan ini bisa dilakukan dengan media yang mendukungnya. Media adalah alat yang digunakan sebagai perangsang siswa untuk penyalur informasi sehingga tercipta proses pembelajaran yang baik. Sedangkan media pembelajaran adalah sarana komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau bahan pembelajaran. Dalam menggunakan media Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 190
pembelajaran dianjurkan untuk merencakan secara sistematik agar pembelajaran berjalan efektif dan penggunaan media pembelajaranpun berjalan secara efektif pula. Pembelajaran efektif dengan menggunakan media perlu direncanakan dengan baik supaya menumbuhkan minat siswa, menyampaikan materi baru, melibatkan siswa secara aktif, mengevaluasi tingkat pemahaman siswa, mengevaluasi tingkat pemahaman siswa, dan enetapkan tindak lanjut. Pada hakikatnya kegiatan belajar adalah kegiatan yang bertujuan mengubah tingkah laku yang bersifat kognitif, afektif, dan psikomotorik. Belajar secara konvensional menekankan peran aktif guru sebagai salah satu sumber belajar. Seiring dengan perkembangan zaman, guru tidak lagi menjadi unsur utama dalam pembelajaran. Perolehan informasi siswa dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari internet (jurnal, dll), berita, Koran, dan lain sebagainya. Pembelajaran dengan menggunakan media akan mengajak siswa mempelajari materi secara lengkap dan bertahan lama dalam ingatannya. Proses penyerapan informasi belajar dapat diterima dengan mudah melalui pemanfaatan media pembelajaran. Penyerapan materi pelajaran dalam ingatan siswa tersebut tidak lepas dari modus belajar yang dilakukan oleh siswa. Media memiliki fungsi untuk mengatasi hambatan dalam komunikasi. Hambatan dalam komunikasi meliputi keterbatasan fisik, sikap pasif dan sarana belajar. Hambatan dalam komunikasi yang sering muncul diantaranya bersifat verbalisme, salah penafsiran, perhatian bercabang dan tidak ada tanggapan. Dengan demikian, media audiovisual sangat berpengaruh berpengaruh terhadap pembelajaran menulis cerita rakyat.
E. Simpulan Pembelajaran menulis cerita rakyat dengan media audiovisual sangat berpengaruh kepada guru saat mengajar, diantaranya: mengajarnya lebih mudah, efisien, lebih menarik, peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dan produktif. Sedangkan siswa ketika mengikuti proses belajar tidak merasa bosan dibandingkan dengan pembelajaran sistem ceramah. Disamping itu, proses belajar siswa lebih meningkat karena mudahnya dalam memahami materi tersebut. Media yang dipergunakan dalam pembelajaran menghasilkan interaksi langsung antara siswa dengan materi pelajaran, Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 191
karena melalui media siswa akan memperoleh pengalaman lebih luas dan lebih lengkap. Keluasan materi yang didapat oleh siswa ini akan menimbulkan minat belajar yang baru.
DAFTAR REFERENSI Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Bandung: PT Sarana Tutorial Nurani Sejahtera Fang, L. Y. (2011). Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: YayasanObor Indonesia. Gusal, L.O. 2015. “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Karya La Ode Sidu”. Jurnal Humanika No. 15, Vol. 3, Desember 2015 / ISSN 1979-8296. Hamalik, Oemar. 2014. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Sufanti, Main. 2010. Strategi Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Surakarta: Yuma Pustaka. Moloeng, Lexy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Nurjamal, dkk. 2011. Terampil Berbahasa. Bandung: Alfabeta. Pujiono, Setyawan. 2012. Terampil Menulis. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Wina, Sanjaya. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
Wingkel. 2009. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abad.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 192
PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA WACANA AKSARA JAWA MENGGUNAKAN MEDIA E = M ∙ C2 TOURNAMENT BOARD SISWA KELAS X IPA 3 DI SMA NEGERI 1 SAPURAN
Triana Kanthiwati, M.Pd SMA Negeri 1 Sapuran, Kab. Wonosobo
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 SAPURAN
Jalan Sarwo Edhi Wibowo Kilometer 20 Sapuran Wonosobo 56373 Telepon 0286- 611173 Surat Elektronik:
[email protected]
ABSTRAK Kanthiwati, Triana. 2017. Peningkatan Keterampilan Membaca Wacana Aksara Jawa Menggunakan Media E=M ∙ C2 Tournament Board Siswa Kelas X IPA 3 SMA Negeri 1 Sapuran. Penelitian Tindakan Kelas. Mata Pelajaran Bahasa Jawa. SMA Negeri 1 Sapuran, Kabupaten Wonosobo. Menguasai keterampilan membaca wacana aksara Jawa bagi siswa sangat besar manfaatnya, seperti yang diamanatkan dalam struktur kurikulum 2013 muatan lokal bahasa Jawa, yaitu agar dapat menjadi identitas dan jati diri budaya daerah. Permasalahan yang menjadi dasar penyusunan penelitian tindakan kelas ini adalah dari 31 siswa kelas X IPA 3 SMA Negeri 1 Sapuran semester II tahun pelajaran 2016/2017 pada pembelajaran kompetensi Membaca Wacana Aksara Jawa, prestasi hasil belajar siswa masih belum memenuhi harapan, karena hanya 64,9% siswa saja yang nilainya memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) 70. Karenanya perlu diadakan upaya perbaikan pembelajaran secara klasikal menggunakan Media
E=M ∙ C2 Tournament Board untuk
meningkatkan keterampilan membaca wacana aksara jawa siswa kelas X IPA 3. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah penerapan media pembelajaran E=M ∙ C2 Tournament Board dapat meningkatkan keterampilan membaca wacana aksara Jawa siswa kelas X IPA 3?. Pelaksanaan penelitian tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 sampai dengan 17 April 2017.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 193
Di Kelas X IPA 3 SMA Negeri 1 Sapuran Kabupaten Wonosobo Semester II Tahun Pelajaran 2016/2017 dengan subyek penelitian sejumlah 31 Siswa. Hasil penelitian menunjukan terjadi peningkatan keterampilan membaca wacana aksara Jawa siswa X IPA 3 hingga 34,7%, yaitu dari kondisi pra-tindakan yang hanya 64,9% meningkat menjadi 77,5% pada siklus I, atau mengalami peningkatan sebesar 19,4%. Pada siklus II terjadi peningkatan prestasi belajar mencapai 87,4 %, atau mengalami peningkatan sebesar 12,8%. Jadi dapat disimpukan Media E=M ∙ C2 Tournament Boarddapat meningkatkan keterampilan membaca wacana aksara Jawa kelas X IPA 3 SMA Negeri 1 Sapuran semester II tahun pelajaran 2016/2017. Kata kunci: Keterampilan Membaca, Wacana Akasara Jawa, Media E=M ∙ C2 Tournament Board
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 194
1 A. Latar Belakang
Kendala dalam proses pembelajaran di kelas adalah hal lumrah, yang biasa dialami kita sebagai pendidik. Romantika semacam ini kerap kali muncul dan sudah seyogyanya kita sikapi sebagai suatu dinamika dalam menjalani tugas. Disinilah peran kita diuji untuk memecahkan masalah. Siswa kita adalah aneka pribadi yang sedang tumbuh, dalam situasi ini mereka memiliki beragam karakter dan variasi ego untuk mengembangkan potensi diri, adalah hak mereka untuk mendapatkan bimbingan sekaligus arahan dari kita untuk menimbang pilihan agar mereka tetap, sedang dan selalu untuk menjadi para pembelajar yang berpihak pada nilai luhur kemanusiaan. Proses pembelajaran Kurikulum 2013 Muatan Lokal Bahasa Jawa dikembangkan dengan penyempurnaan pola pikir, yang mengarah pada hal-hal berikut: (1) pembelajaran berpusat pada peserta didik; (2) pembelajaran interaktif; (3) pola pembelajaran jejaring; (4) pola pembelajaran aktif dengan pendekatan sains; (5) pola belajar berbasis tim; (6) pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat multimedia; (7) pola pembelajaran berbasis kebutuhan peserta didik; (8) pola pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines); dan (9) pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran kritis (Kerangka Dasar dan Struktur Program Kurikulum 2013 Muatan Lokal Bahasa Jawa, 2014: iv). Berdasar
cakupan
regulasi
diatas,
idealnya
guru
harus
mulai
mengaplikasikan prosedur pembelajaran kurikulum 2013 tersebut. Namun kenyataannya, guru seringkali masih menerapkan model pembelajaran yang bersifat verbalis, sedikit praktik dengan pola pembelajaran teacher center, guru lebih dominan menggunakan metode ceramah, sehingga berujung pada perolehan nilai yang rendah. Hal ini terjadi pada siswa kelas X IPA 3 di SMA Negeri 1 Sapuran, Kabupaten Wonosobo, setelah mengikuti pembelajaran Membaca Wacana AksaraJawa dengan metode belajar konvensional, perolehan nilai hasil belajar siswa
X IPA 3, hanya 8 siswa yang memperoleh nilai diatas KKM 70 atau
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 195
sejumlah 25,8%, sedangkan 23 siswa atau sebesar 74,2% masih mendapatkan nilai 2
dibawah KKM. Berdasarkan kenyataan ini, diperlukan upaya untuk meningkatkan keterampilan membaca Wacana aksara Jawa siswa kelas X IPA 3, yaitu dengan menggunakan media E=M ∙ C2 Tournament Board. B. Rumusan Masalah Berdasarkanlatar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dimunculkan adalah sebagai berikut : Apakah penerapan media pembelajaran E=M ∙ C2 Tournament Board dapat meningkatkan keterampilan membaca wacana aksara Jawa siswa kelas X IPA 3 ?
C. Metode Penelitian Penelitian
ini
adalah
penelitian
tindakan
kelas
(classroom
actionresearch). Penelitian tindakan kelas suatu bentuk kajian yang sistematis reflektif oleh pelaku tindakan (guru) yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi pembelajaran (Subyantoro, 2009:8). Lebih
lanjut Suhardjono (2010:86)
menyatakan bahwa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru dengan tujuan memperbaiki mutu praktek pembelajaran dikelasnya. PTK berfokus pada proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas, dilakukan pada situasi yang alami. Desain penelitian tindakan tersebut dapat digambarkan dalam gambar berikut ini.
PERENCANAAN
REFLEKS I
PERENCANAAN
TINDAKAN
OBSERVASI
REFLEKS I
TINDAKAN
OBSERVASI
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 196
3 Gambar 1. Desain Penelitian Tindakan Kelas 1. Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 sampai dengan 17 April 2017 semester 2 tahun pelajaran 2016/2017. Tempat Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sapuran Kabupaten Wonosobo, yang beralamat di jalan Sarwo Edhi Wibowo Kilometer 20 Sapuran Wonosobo 56373 Telepon 0286- 611173. 2. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah siswa kelas X IPA 3 yang berjumlah 31 orang. 3. Rencana Tindakan Tindakan yang akan diberikan kepada siswa X IPA 3 dalam proses pembelajaran dengan media E=M ∙ C2 Tournament Board sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran scientifik sesuai Kurikulum 2013. Adalah sebagai berikut: a. Fase 1 (Mengamati) Guru melakukan apersepsi, menjelaskan tujuan pembelajaran dan menerangkan pembelajaran media E=M ∙ C2 Tournament Board. b. Fase 2 (Menanya) Guru membagi siswa kelas X IPA 3 yang berjumlah 31 orang ke dalam 5 kelompok diskusi, masing-masing kelompok diberi papan permainan media E=M ∙ C2 Board, berupa papan permainan yang berisi 6 digit angka (1,2,3,4,5,6) sesuai dengan jumlah titik pada dadu. Dari angka yang muncul dari dadu yang dimainkan, akan terhubung pada kartu yang berisi lembar pertanyaan (ditempel di papan tulis) dan jawaban yang dipegang kelompok siswa. Semua kartu pertanyaan dan jawaban dibuat dalam ukuran besar dan bertuliskan teks wacana aksara jawa. c. Fase 3 (Menalar) Dari setiap kocokan dadu yang dimainkan kelompok siswa, akan menghasilkan nomor tertentu yang tersambung dengan kartu jawaban, yang harus siswa tempelkan di papan tulis dengan tepat, di bawah kartu soal. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 197
Kegiatan ini menuntut kecepatan dan ketepatan dari masing-masing kelompok dalam menalar, untuk menentukan pada sisi mana kartu jawaban 4 ditempelkan di papan tulis. d. Fase 4 (Mencoba) Semua kelompok dengan cepat mempraktekan pembelajaran dengan media E=M ∙ C2 Tournament Board secara kompetitif yang berakhir pada penempelan 6 kartu jawaban. Setiap anggota kelompok yang terdiri atas 6 siswa secara bergiliran harus menempelkan kartu jawaban di papan tulis dibawah kartu pertanyaan. Kelompok yang selesai terlebih dahulu akan menerima applause (tepuk tangan) dari teman-teman satu kelasnya. e. Fase 5 (Mengkomunikasikan) Setelah semua kelompok selesai menempelkan/menyinkronkan kartu soal dengan kartu jawaban di papan tulis, secara bergiliran masing-masing kelompok secara bergiliran mempresentasikan hasil kerjanya. Siswa yang lain akan mengevaluasi hasil/ketepatan jawaban dari kelompok yang presentasi. Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan evaluasi final yang dilakukan oleh guru terhadap semua hasil kerja kelompok siswa. Pembelajaran diakhiri dengan tepuk tangan yang meriah dari semua warga kelas, sebagai bentuk perayaan atas kesuksesan pembelajaran hari itu.
4. Teknik Pengumpul Data Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan: a. Test Untuk mengetahui keterampilan membaca wacana aksara jawa siswa kelas X IPA 3, dilakukan test formatif pada akhir siklus. b. Non Test Teknik non test dilakukan untuk memperoleh data dan informasi melalui pengamatan langsung saat pembelajaran dengan media E=M ∙ C2 Tournament Board berlangsung oleh peneliti/guru dibantu rekan sejawat . Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 198
5. Alat Pengumpul Data a. Butir soal, untuk mengetahui kemampuan siswa membawa wacana aksara jawa b. Instrumen observasi, yaitu berupa skala penilaian yang akan diisi oleh pengamat pada saat proses pembelajaran yang berhubungan perilaku pengajar dan aktifitas belajar siswa. 6. Analisis Data Anaslis data yang digunakan adalah : a. Analisis diskriftif Teknik analisis data dilakukan selama dan setelah proses pembelajaran dilaksanakan guru dengan siswa. Adapun data dan informasi yang dianalisis adalah dalam bentuk hasil tes (hasil turnamen) dan non-test (selama proses pembelajaran). Selanjutnya data hasil tes tersebut dituangkan dalam bentuk tabel untuk mengetahui perkembangan dan perbandingan hasil perolehan tes siswa setiap siklusnya. b. Analisis interaktif Data dan informasi yang diperoleh melalui non tes dilakukan dengan cara kualitatif. 7. Indikator Kinerja Indikator keberhasilan penelitian tindakan ini adalah jika jumlah siswa kelas XI IPA 3 ketrampilan membaca wacana akasara jawa-nya meningkat secara signifikan, yaitu sekurang-kurangnya 75 % siswa mendapat nilai 70 (tujuh puluh).
D. PEMBAHASAN Hasil penelitian tindakan kelas ini diperoleh dari hasil prasiklus, siklus I, dan siklus II adalah sebagai berikut: 1. Prasiklus Hasil tes awal keterampilan membaca wacana aksara jawa siswa kelas XI IPA 3 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 199
5
Tabel 1. Hasil Tes Membaca Wacana Aksara Jawa pada Prasiklus No.
Kategori
Rentang Frekuensi Bobot Persen Nilai
1.
Sangat
90-100
0
Nilai
%
0
0
Nilai Rata-rata = Σ Bobot Nilai Σ Frekuensi
baik 2.
Baik
80-89
0
0
0
3.
Cukup
70-79
8
597
25,8
4.
Kurang
<70
23
1415
74,2
31
2012
100
Jumlah
= 2012 = 64,9 31 (kategori kurang) 6
Berdasarkan tabel tersebut diketahui nilai rata-rata siswa kelas XI IPA 3 adalah 64,9 atau berkategori kurang. Nilai rata-rata tersebut belum dapat dikatakan memuaskan karena masih berada dibawah nilai ketuntasan minimal, yaitu 70. Tabel tersebut menunjukkan bahwa tidak ada satu siswa yang dapat mencapai kategori sangat baik dengan rentang nilai 90-100, begitu juga dengan kategori baik dengan rentang 80-89. Kategori cukup dengan rentang nilai 70-79 dapat dicapai oleh 8 siswa atau 25,8%. Sedangkan sebanyak 23 siswa atau 74,2% memperoleh nilai dalam kategori kurang yaitu <70.
2. Hasil Siklus I Setelah pembelajaran kompetensi membaca wacana aksara jawa di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 1 Sapuran menggunakan media E=M ∙ C2 Tournament Board maka terdapat peningkatan keterampilan membaca wacana aksara jawa, dengan hasil belajar sebagai berikut : Tabel 2. Hasil Tes Membaca Wacana Aksara Jawa pada Siklus I No.
Kategori
Rentang Frekuensi Bobot Persen Nilai
1.
Sangat baik
90-100
6
Nilai
%
557
19,3
Nilai Rata-rata = Σ Bobot Nilai Σ Frekuensi
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 200
2.
Baik
80-89
11
920
35,4
3.
Cukup
70-79
8
602
26,0
4.
Kurang
<70
6
324
19,3
31
2403
100
Jumlah
= 2403 = 77,5 31 (kategori cukup)
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa secara umum, nilai ratarata membaca dan menulis huruf Jawa pada siklus I mencapai 77,5 atau berkategori cukup. Hasil penelitian pada siklus I mengalami peningkatan cukup signifikan dari hasil prasiklus. Nilai rata-rata klasikal pada siklus I sudah mencapai target penelitian yaitu 70, namun masih ada 6 atau 19,3% siswa yang belum mencapai ketuntasan. Ada 8 siswa atau 26,0% yang mencapai kategori cukup dari rentang 7079, terdapat 11 siswa atau sebesar 35,4% yang memperoleh kategori baik dengan rentang nilai yaitu 80-89. Siswa yang memperoleh nilai dalam kategori sangat baik yaitu dengan rentang nilai 90-100 masih sejumlah 6 siswa atau 19,3%. Kendati nilai 7 rata-rata klasikal siswa dalam pembelajaran membaca wacana aksara jawa telah mencapai rata-rata klasikal cukup, namun masih perlu ditingkatkan, hingga diperoleh hasil nilai rata-rata kelas berkategori baik, atau bahkan kalau bisa menjadi sangat baik, pada penelitian siklus berikutnya.
3. Hasil Siklus II Hasil akhir tes peningkatan keterampilan membaca wacana akasara jawa dengan menggunakan menggunakan media E=M ∙ C2 Tournament Board pada siklus II secara keseluruhan adalah sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Tes Membaca Wacana Aksara Jawapada Siklus II No.
Kategori
Rentang Frekuensi Nilai
Bobot
Persen
Nilai
%
1.
Sangat baik
90-100
18
1682
58,1
2.
Baik
80-89
9
735
29,0
3.
Cukup
70-79
4
293
12,9
4.
Kurang
<70
0
0
0
Nilai Rata-rata
= Σ Bobot Nilai Σ Frekuensi = 2710 = 87,4 31
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 201
Jumlah
31
2710
100
(kategori baik)
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kelas X IPA 3 pada siklus II yaitu 87,4 atau berkategori baik. Nilai tersebut sudah mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu 70. Secara klasikal, nilai rata-rata menulis kalimat sederhana berhuruf Jawa pada siklus II sudah mencapai kategori baik yaitu 87,4. Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa terdapat 18 siswa atau 58,1% telah berhasil meraih kategori sangat baik dengan rentang nilai 90-100. Sebanyak 9 siswa atau 29% memperoleh nilai dengan kategori baik yaitu 80-89 dan sisanya yaitu 4 siswa atau 12,9% memperoleh nilai dengan kategori cukup yaitu antara 7079. Dalam kategori kurang yaitu <70, tidak ada siswa yang memperolehnya atau 0% sehingga hasil tes siklus II dapat dikatakan berhasil.
4. Perbandingan Peningkatan Nilai Rata-rata Membaca Wacana Aksara Jawa dari Prasiklus, Siklus I, dan Siklus II Berdasarkan pemaparan data hasil perolehan nilai siswa kelas X IPA 3 SMA Negeri Sapuran, kabupaten Wonosobo di atas, maka kita dapat melihat 8 peningkatan keterampilan siswa dalam membaca wacana aksara jawa berdasarkan tabel perbandingan sebagai berikut :
Tabel 4. Peningkatan Nilai Rata-rata Membaca Wacana Aksara Jawa dari Prasiklus, Siklus I, dan Siklus II Nilai Rata-rata Prasiklus Siklus I 64,9
77,5
Peningkatan
Siklus II
PS-SI
%
SI-SII
%
PS-SII
%
87,4
12,6
19,4
9,9
12,8
22,5
34,7
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa kondisi awal (prasiklus) nilai rata-rata siswa mencapai 64,9. Setelah dilakukan tindakan dengan menerapkan media E=M ∙ C2 Tournament Board, maka pada siklus I hasil tes membaca wacana aksara jawa pada siklus I yaitu 77,5. Nilai rata-rata klasikal meningkat sebesar Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 202
19,4% dari prasiklus 64,9 menjadi 77,5 pada siklus I. Nilai rata-rata membaca wacana aksara jawa kembali meningkat dari siklus I ke siklus II sebesar 12,8% sehingga nilai rata-rata menjadi 87,4. Secara keseluruhan, peningkatan nilai ratarata membaca dan menulis kalimat sederhana berhuruf Jawa dari prasiklus sampai siklus II sebesar 34,7%. Peningkatan nilai rata-rata membaca wacana aksara jawa dengan menggunakan media media E=M ∙ C2 Tournament Board pada siswa kelas X IPA 3 SMA Negeri 1 Sapuran Kabupaten Wonosobo dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik 1. Peningkatan Nilai Rata-rata Membaca Wacana Aksara Jawa dengan Menggunakan Media E=M ∙ C2 Tournament Board Grafik tersebut menunjukkan peningkatan nilai rata-rata dari kondisi awal yang semula (prasiklus) nilai rata-ratanya 64,9 dengan kategori kurang, pada siklus I nilai rata-rata siswa meningkat menjadi 77,5 dengan kategori cukup, namun masih terdapat enam siswa yang mendapatkan nilai kategori kurang dan belum mencapai nilai KKM yaitu 70. Oleh karena itu diadakan perbaikan pada siklus II, sehingga didapatkan hasil bahwa nilai rata-rata siswa pada siklus II meningkat menjadi 87,4 dengan kategori baik. Peningkatan nilai dari siklus I ke siklus II sebesar 12,8 % yaitu dari 77,5 pada siklus I menjadi 87,4 pada siklus II. Untuk lebih jelasnya, nilai rata-rata pada prasiklus, siklus I, dan siklus II juga dapat dilihat pada diagram batang dibawah ini.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 203
9
Diagram 1. Perbandingan Nilai Rata-rata Klasikal Membaca Wacana Aksara Jawa dengan Menggunakan Media E=M ∙ C2 Tournament Board pada Prasiklus, Siklus I, dan Siklus II
Berdasarkan diagram tersebut, terlihat bahwa terjadi peningkatan hasil tes siswa pada siklus I adalah 77,5. Nilai rata-rata klasikal ini mengalami peningkatan, dibandingkan dengan hasil tes siswa pada saat prasiklus yaitu 64,9. Hasil nilai ratarata klasikal yang dicapai siswa pada siklus II yaitu 87,4 dan termasuk dalam kategori baik. Nilai rata-rata tersebut telah mencapai kriteria ketuntasan minimal yang telah ditentukan yaitu 70. Bahkan sudah melebihi batas minimal yang telah ditetapkan. Hal ini menjadi bukti, bahwa penggunaan media E=M ∙ C2 Tournament Board dapat meningkatkan keterampilan membaca wacana aksara jawa
E. SIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan, setelah melaksanakan pembelajaran membaca wacana aksara jawa dengan menggunakan media E=M ∙ C2 Tournament Boardpada siswa kelas X IPA 3 SMA Negeri 1 Sapuran Kabupaten Wonosobo, dapat disimpulkan bahwa keterampilan membaca wacana aksara jawa dengan menggunakan media kartu berhuruf jawa pada siswa kelas X IPA 3 mengalami peningkatan. Hasil tes pada prasiklus menunjukkan hasil rata-rata sebesar 64,9 dengan kategori kurang dan belum mencapai target penelitian yaitu 70. Setelah Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 204
dilakukan tindakan pada siklus I, nilai rata-rata siswa mengalami peningkatan menjadi 77,5 atau sebesar 19,4% 5 dengan kategori cukup, Hasil tes pada siklus II menunjukkan nilai rata-rata meningkat menjadi 87,4 atau meningkat sebesar 12,8 % dari siklus I dengan kategori baik. Secara keseluruhan peningkatan keterampilan membaca dan menulis huruf Jawa dengan menggunakan media E=M ∙ C2 Tournament Boardpada siswa kelas X IPA 3 SMA Negeri 1 Sapuran Kabupaten Wonosobo sebesar 34,7% dari prasiklus sampai siklus II. Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan tersebut, dapat dikemukakan saran, bahwa guru mata pelajaran bahasa Jawa dapat menggunakan media E=M ∙ C2 Tournament Boardsebagai salah satu media alternatif dalam pembelajaran membaca wacana aksara jawa, karena media tersebut mampu meningkatkan keterampilan dan hasil belajar siswa.
F. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Aqib, Zainal. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung :Yrama Widya. Arsyad, Azhar. 2009. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Darusuprapta, dkk. 2002. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Kustandi, Cecep dan Bambang Sutjipto. 2011. Media Pembelajaran Manual dan Digital. Bogor: Ghalia Indonesia. Subyantoro. 2009. Penelitian Tindakan Kelas (edisi revisi). Semarang: Undip Press Suharjono. 2010. Pertanyaan dan Jawaban di sekitar Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Tindakan Sekolah. Malang: Cakrawala Indonesia. Tim Penyusun Kurikulum. 2013. Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa SMA/SMK/MA. Semarang: Dinas P dan K Provinsi JATENG.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 205
Nilai Ketuhanan dalam Makna Filosofis Aksara Jawa sebagai Upaya Penguatan Karakter Siswa di Era Teknologi Informasi Fitriana Kartika Sari Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
[email protected] Supana Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
[email protected] Sarwiji Suwandi Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
[email protected] Abstrak Dampak buruk kemajuan teknologi dan komunikasi dapat diperangi melalui sektor pendidikan, yakni dengan mengarahkan kurikulum pembelajaran ke arah pembentukan karakter. Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal dapat menjadi dasar pendidikan karakter karena tidak lekang oleh jaman serta memiliki kedekatan sosial budaya dengan siswa. Aksara Jawa merupakan salah satu perwujudan kearifan lokal Jawa yang sarat makna. Nilai ketuhanan yang terkandung dalam makna filosofis aksara Jawa dapat dimanfaatkan sebagai penguat karakter siswa di sekolah. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan wujud nilai ketuhanan yang terkandung dalam makna filosofis aksara Jawa beserta pemanfaatannya sebagai upaya penguatan karakter siswa. Dengan menggunakan pendekatan semiotik dan metode studi pustaka, diperoleh temuan sebagai berikut: Wujud nilai ketuhanan yang terkandung dalam makna filosofis aksara Jawa antara lain: (1) Tuhan selalu ada; (2) hanya berharap kepada Tuhan; (3) Tuhan Maha Kuasa; (4) selalu mengingat Tuhan. Nilai-nilai tersebut sejalan dengan nilai religius dalam 18 nilai pendidikan karakter Kemdiknas. Dengan mengamalkan nilai-nilai tersebut, siswa memiliki karakter yang kuat, tidak mudah terbawa oleh pengaruh-pengaruh buruk yang banyak bermunculan di era kemajuan teknologi dan informasi. Dampak positif yang lebih jauh adalah siswa mampu toleran terhadap agama lain, dan pada akhirnya siswa akan mampu mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Kata Kunci: aksara Jawa, nilai ketuhanan, penguatan karakter siswa.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 206
PENDAHULUAN Kemajuan teknologi dan komunikasi membawa berbagai dampak terhadap kondisi fisik dan psikis para siswa. Kemajuan teknologi dan komunikasi membawa berbagai kemudahan, namun di sisi lain kemajuan teknologi dan komunikasi membawa dampak buruk bagi karakter siswa. Fakta tersebut dibuktikan dengan maraknya berita mengenai kenakalan remaja di tengah upaya pemerintah memerangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi informasi melalui sektor pendidikan, yakni dengan mengarahkan kurikulum pembelajaran pada pembentukan karakter. Jauh sebelum budaya manca masuk ke nusantara, suku Jawa telah memiliki kearifan lokal untuk menata kehidupan jasmani maupun rohaninya. Sartini (2009: 30) mengemukakan bahwa kearifan lokal Jawa mengandung pedoman etika, pandangan hidup, tradisi, dan falsafah dijadikan sebagai salah satu keseimbangan hidup dalam negara yang heterogen. Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal suatu wilayah dapat menjadi dasar pendidikan karakter yang mumpuni karena tidak lekang oleh jaman serta memiliki kedekatan sosial budaya dengan siswa. Sejalan dengan pendapat Ratna (2014: 286) bahwa kearifan lokal adalah berbagai bentuk kebijaksanaan yang ada di wilayah tertentu, digunakan secara turun-temurun sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan stabilitas sosial. Aksara Jawa merupakan salah satu perwujudan kearifan lokal Jawa yang sarat makna. Sebagaimana dikemukakan oleh Sulaksono (2014: 7) bahwa banyak nilai filsafat yang terkandung dalam aksara Jawa, salah satunya adalah aksara Jawa selalu dituliskan di bawah garis untuk menggambarkan bahwa orang Jawa berkeyakinan hidup mereka berada di bawah garis-garis kekuasaan Tuhan. Fakta tersebut sesuai dengan sikap hidup orang Jawa yang sering mengungkapkan sesuatu secara tersamar sehingga memerlukan pendalaman khusus agar dapat mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Salah satu upaya menghidupkan dan mengembangkan kembali aksara Jawa agar tetap lestari dan dikenal oleh generasi muda adalah dengan memberlakukan Muatan Lokal wajib Bahasa Jawa di jenjang pendidikan formal sebagaimana diatur oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah dalam Surat Rekomendasi No. 424/13242 atas nama Gubernur Jawa Tengah yang diperkuat dengan Pergub No. 57 Bab III tentang pelaksanaan pembinaan bahasa dan aksara Jawa. Pelajaran bahasa Jawa sebagai muatan lokal diharapkan mampu menjadi sarana pengenalan bahasa, sastra dan budaya daerah yang sarat nilai luhur guna pembentukan karakter siswa. Namun, penyampaian materi aksara Jawa dalam pembelajaran Bahasa Jawa di Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 207
sekolah baru sebatas penyampaian fungsinya sebagai bahasa tulis tanpa menyisipkan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam aksaranya. Berdasarkan paparan di atas, penelitian mengenai makna filosofis aksara Jawa, khususnya yang berkaitan dengan nilai ketuhanan menjadi menarik untuk dilakukan. Dengan mengetahui makna filosofis yang terkandung dalam aksara Jawa, maka paradigma materi ajar aksara Jawa bukan lagi sekedar penyampaian materi membaca dan menulis, namun juga menyampaikan sebuah warisan literasi leluhur yang mengandung makna, pesan, dan nilai pendidikan karakter sehingga pembelajaran aksara Jawa di sekolah akan turut berkontribusi nyata terhadap penguatan karakter para siswa. RUMUSAN MASALAH Bagaimanakah wujud nilai ketuhanan yang terkandung dalam makna filosofis aksara Jawa? METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan semiotika dan metode studi pustaka. Semiotika berkaitan dengan pemaknaan tanda-tanda yang terdapat dalam dua puluh aksara Jawa. Seperti pernyataan Eco yang dikutip oleh Berger (2015: 4 – 5) bahwa semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai tanda-tanda. Suatu tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati atau dimaknai sebagai penggantian yang signifikan untuk sesuatu lainnya. Segala sesuatu tidak terlalu mengharuskan aktualisasi perihal dimana dan kapan suatu tanda memaknainya. Selanjutnya, peneliti menggunakan metode studi pustaka guna menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang sedang diteliti. Informasi tersebut dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, artikel-artikel ilmiah, peraturanperaturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik cetak maupun untuk menemukan teori-teori yang mendasari masalah yang diteliti serta menghimpun data dan fakta yang diperlukan untuk memperkuat argumen peneliti mengenai nilai ketuhanan yang terkandung dalam makna filosofis aksara Jawa. PEMBAHASAN Aksara Jawa Suku Jawa merupakan salah satu suku yang telah memiliki bahasa tulis sejak jaman nenek moyang dahulu. Bahasa tulis tersebut diwujudkan dalam dua puluh aksara Jawa yang disebut pula dengan istilah hanacaraka, carakan, dentawyanjana, atau adi anta wyanjana. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 208
Seperti dikemukakan oleh Bratasiswara (2000: 153) bahwa carakan merupakan sistem tata aksara Jawa yang juga disebut dengan istilah dentawyanjana atau adi anta wyanjana yang mengandung makna susunan huruf mati dari adi ‘awal’ sampai dengan anta ‘akhir’. Dalam perkembangannya kini, aksara Jawa digunakan di Pulau Jawa termasuk Sunda, Madura, dan Bali. Wujud aksara carakan atau dentawyanjana atau adi anta wyanjana dinamakan aksara nglegena atau aksara wuda karena belum memiliki sandhangan atau ‘pakaian’ yang bisa membuatnya dilafalkan dengan diiringi huruf vokal selain [A] dan [O] sebagaimana dikemukakan oleh Indria (2012: 3) bahwa dua puluh aksara Jawa disebut nglegena ‘telanjang’ karena aksara tersebut tidak memiliki sandhangan atau pakaian yang mampu mengubah mereka menjadi huruf vokal lain. Seiring perkembangannya, aksara Jawa dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, seperti yang dikemukakan Sofwan (2011: 1) yaitu: 1) Aksara
legena
lan
pasangan
yang
masing-masing
berjumlah
20
aksara:
2) Aksara murda atau huruf kapital yang berjumlah 8 aksara:
3) Aksara swara atau huruf vokal yang berjumlah 5 aksara:
4) Aksara rekan atau huruf rekaan yang berjumlah 5 aksara:
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 209
Nilai Ketuhanan dalam Makna Filosofis Aksara Jawa Nilai ketuhanan berkaitan erat dengan hubungan manusia dengan Tuhan dalam tujuan mencapai kesempurnaan hidup. Makna filosofis aksara Jawa sebagaimana dikemukakan dalam ngelmu ugerane gesang ‘imu kehidupan’ yang disampaikan oleh Sunan Bonang kepada Bajakngilo, pimpinan para berandal (dalam Endraswara, 2008: 32) yang berbunyi sebagai berikut: “HA, tegesehong wilaheng hananingsun. ‘Hong wilaheng adanya Aku’. NA, tegese nata dadi carakaningsun. ‘Menata diri menjadi utusan-Ku’. CA, tegese carane lambang rasa. ‘Lambang sebuah rasa’. RA, tegese rasa lan karep kudu saeka. ‘Rasa dan maksud harus sejalan’. KA, tegese karep kang nedya utama. ‘Maksud yang memiliki niat baik’. DA, tegese dadia tataran. ‘Jadilah pancatan’. TA, tegese tataran murih sawiji. ‘Pancatan agar menyatu’. SA, tegese sawiji kuwayanganingsun. ‘Menyatu dalam bayangbayangKu’. WA, tegese wayangan Ingsun katon malela. ‘Bayang-bayangKu terlihat nyata’. LA, tegese langgeng murih sapadha-padha. ‘Abadi untuk sesama’. PA, tegese padhane rasa kadhadha. ‘Samanya rasa yang terasa di dada’ DHA, tegese dhedhasar karya prasaja. ‘Berdasarkan karya sederhana’. JA, tegese jaya sajagad raya. ‘Jaya sejagad raya’. YA, tegese yasa karya murih wilujeng ing alam donya. ‘Membuat karya agar selamat di alam dunia’. NYA, tegese nyata eling lan saksama-sama. ‘Nyata ingat dan saksama’ MA, tegese maratah sakjagat raya utawa sajagad pribadi. ‘Merata Sejagad raya atau sejagad pribadi’ GA, tegese gagaran mung Hyang Murba. ‘Hanya berpegang pada Yang Maha Menguasai’ BA, tegese bathara kang wajib amisesa. ‘Tuhan yang wajib menguasai’ Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 210
HA, tegese tharithisan lali lamun ing ngarsa (Aja lali marang Pangeranmu). ‘Jangan lupakan Tuhanmu’ NGA, tegese ngawuningani samobah-mosike, sabudi pakartine jalma manungsa” ‘Mengetahui tingkah laku manusia’ Uraian makna filosofis aksara Jawa di atas mengandung nilai-nilai ketuhanan, diantaranya: 1) Tuhan selalu ada. Wujud nilai ketuhanan tersebut ditunjukkan oleh kalimat SA, tegese sawiji kuwayanganingsun. ‘SA, artinya menyatu dalam bayang-bayangKu’ yang dilanjutkan oleh kalimat wayangan Ingsun katon malela. ‘Bayang-bayang-Ku terlihat jelas’. Kalimat tersebut mengandung makna bahwa Tuhan selalu mengiringi kehidupan hambaNya sehingga bayang-bayangnya seolah-olah terlihat jelas. 2) Hanya berharap kepada Tuhan. Wujud nilai ketuhanan tersebut ditunjukkan oleh kalimat GA, tegese gagaran mung Hyang Murba. ‘GA, artinya hanya berpegang pada Yang Maha Menguasai’. Kalimat tersebut mengandung makna bahwa satu-satunya Dzat yang pantas kita jadikan sandaran adalah Tuhan. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk menggantungkan harapan tertinggi hanya kepada Tuhan. 3) Tuhan Maha Kuasa. Wujud nilai ketuhanan tersebut ditunjukkan oleh kalimat BA, tegese Bathara kang wajib amisesa. ‘BA, artinya Tuhan Yang wajib menguasai’. Kalimat tersebut mengandung makna bahwa hanya Tuhan lah yang memiliki kewenangan untuk menguasai segala sesuatu yang ada di dunia ini. 4) Selalu mengingat Tuhan. Wujud nilai ketuhanan tersebut ditunjukkan oleh kalimat THA, tegese tharithisan lali lamun ing ngarsa(Aja lali marang Pangeranmu). ‘THA, artinya serampangan lupa ketika di depan-Nya (Jangan lupakan Tuhanmu’. Kalimat tersebut telah menyebutkan dengan jelas bahwa kita harus selalu mengingat Tuhan dimanapun kita berada. Nilai ketuhanan yang terkandung dalam makna filosofis aksara Jawa di atas relevan dengan salah satu nilai diantara 18 nilai pendidikan karakter yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, yaitu nilai religius. Seperti yang dikemukakan Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 9) bahwa
nilai
pendidikan
sikapdanperilakuyangpatuhdalammelaksanakan
karakter
religius
adalah
ajaranagamayangdianutnya,toleranterhadap
pelaksanaanibadahagamalain,danhiduprukundengan pemelukagamalain. Apabila nilai-nilai Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 211
ketuhanan yang terkandung dalam makna filosofis aksara Jawa di atas diamalkan, maka akan terbentuk sikapdanperilakuyangpatuhdalammelaksanakan ajaranagamayangdianut. Ketika siswa telah patuh kepada ajaran agama yang dianutnya, maka dia memiliki karakter yang kuat. Siswa dengan karakter yang kuat tidak akan mudah terbawa oleh pengaruhpengaruh buruk, terutama pengaruh yang banyak bermunculan di era kemajuan teknologi dan informasi, seperti tren berpakaian kebarat-baratan yang cenderung tidak sopan dan melanggar norma berpakaian adat ketimuran; menjamurnya penggunaan vapor atau rokok elektrik; pergaulan bebas; tawuran; konsumsi narkoba; game online; prostitusi online; konten-konten porno yang terdapat dalam situs-situs di internet maupun yang menyebar melalui berbagai sosial media yang ada. Dampak positif yang lebih besar adalah siswa tersebut akan menjadi seseorang yang toleranterhadap pelaksanaanibadahagamalain,dan pada akhirnya siswa akan mampu mewujudkan kerukunan antarumat beragama. Dengan mengetahui makna filosofis yang terkandung dalam aksara Jawa, maka paradigma materi ajar aksara Jawa bukan lagi sekedar penyampaian materi membaca dan menulis. Ketika guru mengajarkan materi baca-tulis aksara Jawa, guru sekaligus akan menyampaikan sebuah warisan literasi leluhur yang mengandung makna, pesan, dan nilai pendidikan karakter sehingga pembelajaran aksara Jawa di sekolah akan turut berkontribusi nyata memberikan penguatan karakter kepada para siswa. Sisipan materi berupa makna filosofis tersebut diharapkan mampu memotivasi siswa untuk semakin memperkuat karakternya serta mencintai warisan budaya yang dimilikinya. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa wujud nilai ketuhanan yang terkandung dalam makna filosofis aksara Jawa antara lain: (1) Tuhan selalu ada; (2) hanya berharap kepada Tuhan; (3) Tuhan Maha Kuasa; (4) selalu mengingat Tuhan. Nilai-nilai tersebut sejalan dengan nilai religius yang tercantum dalam 18 nilai pendidikan karakter yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). Dengan mengamalkan nilai-nilai ketuhanan tersebut, siswa mampu memiliki karakter yang kuat, sehingga tidak mudah terbawa oleh pengaruh-pengaruh buruk yang banyak bermunculan di era kemajuan teknologi dan informasi. Dampak positif yang lebih jauh adalah siswa mampu toleran terhadap agama lain, dan pada akhirnya siswa akan mampu mewujudkan kerukunan antarumat beragama.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 212
DAFTAR REFERENSI Berger, A. A. (2015). Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana. Bratasiswara, H. (2000) Bauwarna. Jakarta: Yayasan Suryasumirat. Endraswara, S. (2006). Filsafat Kejawen dalam Aksara Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang. Indria, V. (2012). Javanese Letters: Symbols Of Javanese Civilization: (Introduction, History, Philosophical Values, Learning Methods, Utilizations, to Uch Of Technology In Javanese Letters). 1st Mae Fah Luang University International Conference, hlm 1 – 10. Thailand: Mae Fah Luang University. Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilainilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa: Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta:: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional Ratna, N. K. (2014). Peranan Karya Sastra, Seni, dan Budaya dalam Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sartini, N. W. (2009). Menggali Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan Paribasa). Logat, Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, V (1), 28 – 37. Sulaksono, Djoko. (2014). Filsafat Jawa. Surakarta: Cakrawala Media. Sofwan. (2011). Kawruh Aruming Basa. Surakarta: Widya Duta Grafika.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 213
Motif Pembunuhan dalam Novel Pelangi Di Singaari danNovel Gerombolan Gagak Seta Widodo, Drajat Sugiri. Sastra Jawa, Universitas Negeri Semarang
[email protected]@gmail.com
[email protected]
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah menguraikan peritiwa-peristiwa yang mendasari terbentuknya cerita detektif. Pembunuhan dalam novel Gerombolan Gagak Seta karya Any Asmoro dan Pelangi Di Singasari karya S.H. Mintardja sebagai pembanding. Dengan penelitian ini di temukan kekhasan tindakan pembunuhan yang berkutat pada permasalahan. pembunuhan dengan cara yang berbeda tergantung pada latar yang di gunakan. S.H. Mintardja dalam novel pelangi di singasari nampak jelas pembunuhan yang dilakukan atas suatu tokoh di dasari oleh kejantanan dan motif yang jelas yaitu membunuh untuk mendapat kan wanita idaman Ken Dedes. Sedangkan dalam Gerombolan gagak seta, motif pembunuhan untuk mendapatkan Rara Asmarawati tidak serta merta dilakukan secara terang-terangan. Nabok nyilih tangan. Skenario dan intrik pembunuhan dilakukan secara sempurna untuk menghilangkan jejak pembunuh yang sesungguhnya.
Pendahuluan Karya sastra dalam perkembanganya di kategorikan dalam 3 bentuk yaitu Puisi, Prosa, dan DramaNurgiyantoro(1995:2). Novel sebagai karya yang bersifat imajinasi mampu menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, antara hidup dan kehidupan. Todorov memaparkan bahwa karya sastra dalam dua konvensi yaitu sastra popular dan sastra tunggal. Sastra popular lebih bertumpu pada ketaatan sedangkan sastra tunggal lebih mengarah pada penyimpangan konvensi(Todorov, 1997:10). Sedangkan cerita detektif merupakan penyelidikan megenai suatu tindak kejahatan yang beruang lingkup mengenai saksi, kriminalitas, detektif, saksi saksi dan sebagai penutup adalah terbongkarnya sebuah kejahatan(Boileau-Narcejac,1964:7-8). Melalui penelitian di harapakan dapat menganilisis suatu tindakan kejahatan. Penelitian ini akan menguraikan kasus pembunuhan yang berkaitan dengan wanita yang Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 214
berada di dalam novel Gerombolan Gagak Seta(GGS) yang menggunakan bahasa Jawa dan Pelangi Di Singasari(PDS) yang berbahasa Indonesia. Hal yang menarik dan menjadi fokus kajian adalah kasus pembunuhan yang berpangkal dari seorang wanita. GGS menggunakan latar belakang era kermerdekaan yang menjadikannya novel tersebut murni novel detektif karena di dalamnya terdapat kekhasan dari ceita detektif yaitu kriminalitas, pembunuhan, spionase, kejutan dan hero, namun novel PDS menggunakan latar kerajaan Singasari yang di padukan dengan cerita sosial masyarakat pada zaman itu dengan tokoh tokoh tambahan. Pelangi Di Singasari bisa di kategorikan dalam cerita detektif the whodunit karena di dalamnya hanya ada tindakan penyidikan dan kejahatan. Pernyataan tersebut sesuai dengan Todorov dalam buku “The Poetics of Prose” yang menjelaskan bahwa cerita detektif terbagi menjadi tiga yaitu the whodunit, the thriller dan the suspense. Kajian ini mengambil dua cerita detektif untuk diperbandingkan. Damono (2005:10) menulis dalam bukunya Pegangan Penelitian Sastra Bandingan: dalam studi pengaruh ada dua metode yang bisa dipergunakan, yakni peneliti menekankan masalahnya dari sudut pandang sastrawan yang dipengaruhi atau dari sudut pandang sastrawan yang mempengaruhi. Dari segi apa pun memandang masalahnya, ia masih bisa menciutkan kajiannya pada salah satu aspek saja seperti hubungan-hubungan dalam tema, gaya, genre atau gagasan. Ia pun bisa saja lebih fokuskan kajiannya, yakni meneliti kemiripan dalam bahasa atau struktur. Jost (1974:35) mengingatkan bahwa telaah mengenai sumber tidak akan banyak manfaatnya jika tidak diikuti dengan kesimpulan mengenai kualitas intelektual, kandungan emosi, dan hakikat estetik suatu karya. Jika hanya berkisar pada rangsangan luar, suatu penelitian tidak akan bisa secara otomatis meningkatkan pemahaman kita atas suatu mahakarya atau apresiasi kita atas keunggulan artistiknya. Mengenai sastra bandingan damono (1999:9) menyatakan Sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain, bagaimana terjalin proses saling memengaruhi antara satu dengan yang lainnya, apa yang telah diambil suatu sastra, dan apa pula yang telah disumbangkannya. Penggunaan Sosiologi sastra di maksudkan untuk mengkaji keberadaan kasus pembunuhan yang terjadi dalam kedua novel tersebut. Hal ini di perkuat dengan pendapat Damono, sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (2009:1). Selain itu, pemerolehn data di lakukan dengan cara membaca. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 215
Penelitian sebelumnya yang pernah di lakukan berkaitan dengan cerita detektif, yaitu Elva Botutihe dalam Perbandingan Plot Novel Pasangan Detektif Karya Agatha Christie dan Novel Detektif Sekolah Karya Dimas Abi, Jenis cerita Suspense dalam novel Penasehat Negara karya Boris Akunin: Kajian Strukturalisme (Nia Rachmani, 2013), Wiradi Putra dalam skripsinya yang berjudul Unsur Unsur Detektif dalam Novel Rahasia Meed.e Karya dalam Novel E,S Ito (2009). Perbandingan Plot Novel Pasangan Detektif Karya Agatha Christie dan Novel Detektif Sekolah Karya Dimas Abi menjelaskan membandingkan alur plot yang berada dalam novel pasangan detektif dan detektif sekolah, keduanya menggunakan sastra bandingan. Jenis cerita Suspense dalam novel Penasehat Negara karya Boris Akunin: Kajian Strukturalisme memaparkan bahwa di dalam novel Penasihat Negara di dalamnya terdapat misteri, alur ganda, masalah percintaan, dan tokoh detektif yang tidak memiliki imunitas. Penelitian unsur-unsur detektif dalam Novel Rahasia Meede Karya dalam Novel E,S Ito menjelaskan pendeskripsian unsur kejahatan, misteri dan tindak penyelesaian masalah yang mengejutkan dari novel Rahasia Meede.Tujuan penelitian ini membandingkan tindak pembunuhan yang berada I dalam kedua novel. Metode penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pembandingan dengan fokus sosiologi sastra. Objek yang dikaji memiliiki perbedaan dalam penggunaan bahasa, Grombolan Gagak Seta menggunakan bahasa Jawa sedangkan Pelangi Di Singasari menggunakan bahasa Indonesia. Adapaun kajian Sosiologi sastra karena untuk melihat sudut pandang kasus pembunuhan beserta keterkaitanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data alamiah yang digunakan dalan penelitian ini adalah novel PDS dan GGS. Metode ini dipakai untuk mempertahankan isi teks. sumber datanya adalah novel sedangkan data penelitiannya teks. Penelitian ini bermuara pada analisis teks yang memfokuskan pada kasus pembunuhan. Pembahasan Kasus pembunuhan untuk memperoleh seorang gadis yang terdapat dalam novel Grombolan Ggagak Seta karya Any Asmara dan Pelangi di Singasari karya SH Mintardja. Kasus pembunuhan dalam kedua novel tersebut yang menarik adalah pembunuhan yang di lakukan untuk mendapatkan bunga yang mekar dengan kata lain seorang gadis. Hal yang Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 216
paling mencolok adalah kasus pembunuhan yang di lakukan, pada novel Pelangi di Singasari. Tindak pembunuhan di lakukan secara terang terangan bahkan di depan gadis yang akan di ambil. Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam “Mereka telah melakukan pembunuhan dan perampasan. “Ki Buyut,” bertanya Mahisa Agni tidak sabar, “siapakah yang terbaring di halaman itu? Kenapa ia tidak dibawa naik?” “Tidak perlu, Ngger Mahisa Agni. Biarlah ia terbaring di halaman. Ia akan segera aku bawa kembali.” “Siapa? Siapa?” “Wiraprana.”
Pembunuhan dilakukan kepada Wiraprana yang di anggap sebagai penghalang Kuda Sempana untuk memperoleh Ken Dedes. Dalam konteks ini pembunuh secara jantan mengakui apa yang dilakukan dan dengan terus terang mengakui apa yang diingini atas apa yang dilakukan. Hal tersebut berbeda dengan kasus pembunuhan yang di lakukan Sarpan dalam novel Grombolan Gagak Seta di lakukan dengan cara yang cerdik berkedok pada perampokan dan membunuh Raden Abimanyu yang merupakan ayah dari Rara Asmarawati.
Raden Wiryo nyagahi.. Saestu, dalemipun Raden Abimanyu lajeng kedhatengan garong, bandhanipun telas, Raden Abimanyu piyambak dipunpejahi dening Sarpan .
Hal yang menarik dari kedua novel ini adalah cara membunuhnya, pada novel Pelangi di Singasari lebih menekankan pada harga diri seorang laki laki yang bertarung secara jantan dalam mendapatkan sesuatu. Uaian kejantanan seorang tokoh dalam membunuh Nampak jelas dalam kutipan teks berikut. Sebuah pukulan yang dahsyat telah tepat mengenai dagu Wiraprana, sehingga wajah itu terangkat, namun Kuda Sempana telah menyusulnya dengan sebuah pukulan di perutnya. Wiraprana itu pun menjadi terhuyung-huyung. Tetapi Kuda Sempana tidak puas. Sekali lagi ia menghantam pipi Wiraprana. Ketika Wiraprana terdorong ke samping, maka sampailah Kuda Sempana pada puncak permainannya. Ia tidak mau diganggu oleh anak mula itu lagi. Sehingga dengan demikian ia benar-benar berhasrat untuk meniadakan anak muda itu. Demikianlah dengan garangnya Kuda Sempana meloncat dan memukul tengkuk Wiraprana dengan sisi telapak tangannya.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 217
Sebaliknya yang di lakukan dalam novel Grombolan Gagak Seta dengan cara motif perampokan yang tujuan sebenarnya adalah membunuh Raden Abimanyu, itupun dengan beberapa syarat yang diajukan oleh sarpan.
Raden Margono dipuntampik manahipun mangkel sanget, wusana lajeng nindakaken rekadaya awon, inggih punika lajeng gandheng renteng kaliyan sedherek Sarpan, puruna nyiirnakaken Raden Abimanyu. Sarpan mboten kawratan minangkani, nanging kanthi perjanjian: 1. Sarpan nyuwun dipunaken anak putra kepenakan, 2. Bandhanipun Raden Abimanyu, Sarpan ingkang gadhah, 3. Saben sasinipun Raden Wiryo kedah maringi arta Rp. 1000, dhateng Sarpan, 4. Menawi sampun gangsal taun, Rara Asmarawati kedah dipunpasrahaken dhateng Sarpan.
Sehingga dapat di analisis bahwa dengan semakin maju perkembangan zaman, maka pembenuhan yang di lakukan dengan berbagai macam cara untuk mencapai tujuan. Pembunuhan yang terjadi dalam Grombolan ini dapat di katakan nabok nyilih tangan yang akibatnya berkepanjangan. Sesuai perjanjian, bunga yang telah di petik secara kotor tadi di perebutkan oleh Sarpan dan Wiryo yang berujung pada terbunuhnya Wiryo. Bu Wirya wiwit crita: “Ing wekdal kala wau, kula saweg eca eca tilem, lajeng kaget amargi mireng suwanten rame rame, kados suwanteniun tiyang gelut, saya dangu saya rame,. Kula bingung lan ajrih, awit ing salebetipun kamar peteng. Nanging saweg kemawon kula menyat, kula lajeng dipun cepeng tiyang kalih, cangkem kula dipunbungkem mawi kacu, supados kula mboten saged mbengok. Kula nembe mangertos, menawi griya kula saweg kalebetan kecu utawi garong, saking rumaos ajrih sanget kula lajeng mboten enget. Sareng kula enget, ing pundi pundi sampun ketingal sepen. Kula lajeng nekad tangi, lampu kula urubaken, wusana kula sumereping pundi pundi sampun morat marit. Kula lajeng bengok bengok nedha tulung, nanging mboten wonten tiyang ingkang dhateng. Manah kula saya ajrih lan ngadhap, wusana kula lajeng murugi kamaripun semah kula. Sareng dumugi ing lawang, kula kaget, malah meh mawon kula dhawah, awit kula kesandhung badanipun semah kula piyambak, ingkang sampun pejah kanthi adus rah.
Pembunuhan yang di lakukan dengan cara yang sama yaitu di buat seperti motif perampokan dengan tujuan membunuh Wiryo dengan tujuan yang sama yaitu mendapatkan Rara Asmarawati. Grombolan Gagak Seta adalah murni novel detektif, karena selain adanya kasus pembunuhan, melibatkan juga bukti bukti yang menguatkan untu menguak suatu peristiwa pembunuhan yang di lakukan secara terselubung, sedikit demi sedikit dengan adanya bukti berupa benda ataupun surat yang di tinggalkan maka kasus pembunuhan tersebut terungkap. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 218
Raden Wiryo. Wis ping pindho anggonku nyabarake, nanging Raden Wiryo tansah nyulayani rembug bae. Awas, yen sepisan ji iki kembang mlathi ora kokulungake, aja takon dosa maneh. Kembang kuwi mesthi dakrebut, awit aku ngerti menyang asal usule anggonmu njupuk kembang kuwi (Gagak Seta)
Surat yang di berikan kepada Raden Wiryo dari Gagak Seta menggambarkan bahwa yang di mintanya adalah kembang, namun bukan dalam konteks yang sesungguhnya, melainkan kembang yang di maksud dalam konteks surat tersebut adalah perempuan, istri dari Raden Wiryo yang masa mudanya bernama Rara Asmarawati. Penggambaran juga di gambarkan melalui novel Pelangi Di Singasari yang menggambarkan sosok Ken Dedes. “Jika aku gagal mendapatkan bunga Gunung Kawi Itu, sekalian aku runtuhkan Mahkotanya” Kuda Sempana berkata dalam batinya.
Dari kedua novel tersebut menggambarkan pemerolehan sebuah kembang dengan cara yang sama yaitu pembunuhan, atau lebih tepatnya membunuh penghalang yang mengganggu untuk mendapatkan masing masing perempuan yang diinginkan. Perbedaanya terletak dalam pengambilanya. Any Asmara menggunakan tipu daya dan uang yang memang sangat berpengaruh yang di gunakan untuk mendapatkan Rara Asmarawati dalam karanganya, sedangkan SH Mintardja mengambarkan kekuatan Akuwu yang hanya dengan perintah saja mendapatkan apa yang di inginkan walaupun melalui pemaksaan dan kekerasan. Dalam novel detektif peran perempuan sangat dominan dan dapat memberikan gambaran tersendiri akan makna kehidupan. Di kedua novel ini, pengarang menggambarkan bagaimana perempuan di jadikan sarana atau sebab tidak langsung pembunuhan. Keinginan Kuda Sempana memperistri Ken Dedes dan Raden Wiryo ingin beristrikan Rara Asmarawati. Dari kedua novel dapat di taris garis persamaan bahwa pembunuhan dalam cerita detektif atau pembunuhan yang di lakukan pada era sekarang ini jauh berbeda dengan yang di lakukan pada zaman kerajaan berdasar novel yang sejenis dengan Pelangi Di Singasari, pemebunuhan di lakukan dengan perang tanding ataupun perang brubuh. Bahkan dalam perang brubuh antara dua kerajaan, kerajaan yang mengalami kekalahan harus menyerahkan sekar kedhaton sebagai puteri boyongan. Penggunaan uang dan tipu daya yang di lakukan Raden Wiryo untuk mendapatkan Rara Asmarawati merupakan penggambaran yang riil dengan keadaan sekarang ini, Any Asmara menggambarkan bahwa dengaan uang segala keinginan akan lancar dan memang di era Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 219
sekarang ini, orang tua akan memasrahkan anak perempuanya kepada pria yang tentunya memilki kekuasaan dan meteri yang berlimpah, dengan kata lain Any Asmara dalam penggambaranya menggunakan realita yang berada di dalam masyarakat. Berbeda dengan SH Mintardja yang menggunakan kekerasan dan pertarungan dalam pengambilan Ken Dedes, padahal bukan suatu hal yang harus di pungkiri bahwa kekuasaan kekayaan dan kekuatan dapat di gunakan dalam memperoleh seorang perempuan, hal itu turun temurun dari zaman kerajaan sampai sekarang ini. SH Mintardja menggambarkan sesuai sejarah yang pernah terpapar, bukan dari sudut pandang kekinian yang dapat di ubah dalam kisah yang lebih masuk akal. Kesimpulan. Novel detektif memiliki kekhasan pada beberapa tindakan salah satunya tindak pembunuhan. Pembunuhan yang di lakukan pada novel Grombolan Gagak Seta dan Pelangi Di Singasari memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaanya terletak pada alasan pada tindak pembunuhan yaitu untuk mendapatkan seorang perempuan, sedangkan perbedaanya terdapat dalam cara pembunuhan dengan catatan latar pada konteks kedua novel ini berbeda. Grombolan Gagak Seta memiliki unsur yang merupakan kesatuan runtut untuk sebuah cerita detektif yaitu penggunaan bukti untuk menelesuri kasus pembunuhan secara langsung, namun dalam Pelangi Di Singasari tidak memerlukan itu melainkan saksi mata dalam pembunuhan tersebut karena memang tindak pembunuhan di lakukan perang tanding endi jaja endi jangga. Setiap novel detektif memiliki kekhasan dalam penyampaianya. Daftar pustaka Boileau-Narcejac. 1964.Le Roman Policier.Paris: Payot Damono, Supardi Djoko.25. Pegangan Penelitian Sasatra Bandingan. Jakarta: Depdiknas. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Nyoman, Kutha Ratna. 2008.Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Todorov, tzvetan. 1977. The Poetics of Prose. New York: Cornell University Pres.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 220
PENERAPAN TEKNIK PARAFRASA BERBASIS CERKAK SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PROSES PEMBELAJARAN MENULIS CAKEPAN TEMBANG MACAPAT
Nurlaili Miftakhuzzilvana1, Muhammad Rohmadi2, Sumarwati3 Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran menulis cakepan tembang melalui penerapan teknik paraphrase berbasis cerkak pada siswa SMA. Penelitian ini menggunakan desain Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subjek dari penelitian ini adalah guru bahasa Jawa dan siswa kelas XI IPA 4 SMA N 1 Tunjungan, Blora. Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik observasi, wawancara, kajian dokumen, dan tes keterampilan menulis cakepan tembang macapat, sedangkan analisis data menggunakan deskriptif komparatif. Hasil penelitian ini adalah adanya peningkatan kualitas proses pembelajaran menulis cakepan tembang melalui teknik parafrasa berbasis cerkak. Kata kunci : teknik parafrasa, pembelajaran bahasa Jawa, cakepan tembang macapat.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 221
1. Latar Belakang Dewasa ini pembelajaran bahasa Jawa sebagai muatan local wajib telah digalakkan kembali. Hal tersebut diakibatkan karena menurunnya kualitas norma susila pada siswa. Sebagai contoh banyak siswa yang kurang menghargai orang lain, bahkan orang tuanya sendiri. Keadaan semacam itu memunculkan regulasi-regulasi baru mengenai pendidikan karakter dan tidak terkecuali bahasa Jawa sebagai pembelajaran yang menjunjung tinggi nilai susila (unggah-ungguh). Salah satu regulasi yang mengatur hal tersebut adalah Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2012. Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai bahasa, sastra, dan aksara Jawa. Regulasi tersebut diperjelas kembali dalam bab IV (pasal 8) mengenai fungsi bahasa, sastra, dan aksara yang meliputi: a) sarana untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat memahami nilai-nilai seni dan budaya di daerah, b) sumber kearifan budaya lokal untuk didayagunakan dalam pembangunan watak dan karakter bangsa, c) sumber tata nilai budaya di daerah sebagai masukan muatan local dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah, d) sumber tata nilai social dan kearifan budaya local di daerah untuk didayagunakan dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Berdasar fungsi bahasa, sastra, dan aksara Jawa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa Jawa dapat didayagunakan sebagai wahana untuk menggali kearifan budaya lokal, sarana ekspresi seni, serta pembangun watak dan budi pekerti.
Pembelajaran bahasa Jawa memiliki empat aspek yakni nyemak (menyimak), micara (berbicara), maca (membaca) dan nulis (menulis). Menulis merupakan keterampilan yang harus dipraktikkan karena melalui tulisan, seseorang akan lebih berani untuk menuangkan ide. Selain itu, melalui media tulisan dapat meningkatkan kecerdasan, mengembangkan kreatifitas, serta penumbuh keberanian. Jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten Blora telah menerapkan kurikulum 2013 (kurikulum berbasis karakter), tidak terkecuali SMA N 1 Tunjungan, Blora. Dalam kurikulum tersebut salah satu kompetensi pembelajaran bahasa Jawa yang harus dikuasai siswa kelas XI adalah mampu menanggapi isi serat Wedhatama pupuh Gambuh dan menulis serta menyajikan tembang Gambuh dengan bahasa sendiri. Pembelajaran tembang dijadikan sebagai materi ajar karena sesuai dengan tujuan kurikulum 2013 yaitu pembentukan karakter siswa. Hal tersebut senada dengan pernyataan Sutardjo (2013: 137)
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 222
yang menjelaskan bahwa dalam mendidik anak bangsa salah satunya dapat ditempuh melalui materi “teks tembang Jawa” dalam dunia pendidikan atau pembelajaran, Namun, berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti pada Februari 2016 siswa kelas XI IPA 4 SMA N 1 Tunjungan, Blora memiliki minat dan kemampuan yang masih rendah dalam menulis ckepan tembang macapat. Hal tersebut dibuktikan dengan pencapaian nilai siswa di bawah kriteria ketuntasan minimal. Faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya minat siswa karena menulis cakepan tembang dirasa sulit, pengetahuan guru mata pelajaran dalam bidang sastra yang masih kurang optimal, dan guru masih menggunakan metode konvensional. Subjek penelitian yang dipilih adalah siswa kelas XI IPA 4 SMA N 1 Tunjungan, Blora dengan jumlah 28 siswa terdiri atas 10 siswa laki-laki dan 18 siswa perempuan. Hal tersebut dikarenakan SMA tersebut merupakan sekolah yang potensi siswanya bagus, namun masih kurang dikembangkan. Berdasarkan hasil wawancara, siswa merasa kesulitan menentukan diksi, menyesuaikan dengan paugeran tembang (guru lagu, guru gatra, guru wilangan), memilih dasanama, purwakanthi, dan tembung garba. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan dengan harapan siswa lebih tertarik dalam pembelajaran bahasa Jawa dan dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran menulis cakepan tembang macapat. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang dalam pembahasan sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah penerapan teknik parafrasa berbasis cerkak dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran menulis cakepan tembang macapat? Pemaparan mengenai rumusan masalah tersebut akan diperjelas pada pembahasan berikutnya. 3. Metode Penelitian Komponen yang dibahas dalam bagian ini adalah tempat penelitian, subjek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan indikator keberhasilan (Suwandi, 2010: 54). Penelitian mengenai penerapan teknik parafrasa berbasis cerkak dalam pembelajaran menulis cakepan tembang macapat ini dilaksanakan di SMA N 1 Tunjungan, Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 223
kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah. Sekolah tersebut beralamat di Jalan Gatot Subroto km 4 No 553, kode pos 58252, telepon (0296) 531564, email:
[email protected]. Penelitian dengan desain PTK tentang menulis cakepan tembang macapat telah terlaksana pada Februari 2016. Adapun kegiatan yang dilaksanakan meliputi pengenalan lapangan, penyusunan usulan, penelitian, dan penyusunan laporan kegiatanSubjek penelitian adalah guru mata pelajaran bahasa Jawa XI IPA 4 SMA N 1 Tunjungan, Blora bernama Nenik Sisila Sandi, S.Pd yang telah mengajar selama tiga tahun. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa informasi mengenai proses pembelajaran menulis cakepan tembang macapat, kemampuan siswa dalam menulis cakepan tembangmacapat serta kemampuan guru dalam menyusun rencana pembelajaran dan pelaksanaannya. Narasumber yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah guru mata pelajaran bahasa Jawa dan siswa kelas XI IPA 4 SMA N 1 Tunjungan, Blora. Data yang ingin diperoleh aadalah data proses dan hasil pembelajaran bahasa Jawa di kelas XI IPA 4 SMA N 1 Tunjungan, Blora khususnya pembelajaran menulis cakepan tembang macapat pada semester genap. Data tersebut dikumpulkan menggunakan teknik pengamatan proses dan wawancara (Suwandi, 2010:57). Selain itu teknik nontes juga diterapkan dalam penelitian ini meliputi observasi dan wawancara. Observasi diarahkan untuk memperlihatkan kegiatan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antaraspek fenomena tersebut (Hopkins, 2011: 190). Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif komparatif. Teknik terebut digunakan untuk membandingkan peningkatan proses antarsiklus sebagaimana telah ditetapkan dalam indikator kinerja. Indikator kinerja didasarkan dari segi proses, pembentukan kompetensi yang berhasil dan berkualitas setidaktidaknya 75% siswa aktif dalam pembelajaran. Siswa terlibat aktif dalam proses kompetensi, semangat belajar yang besar, dan percaya pada diri sendiri (Mulyasa, 2009: 256). Adapun pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku positif pada seluruh atau sebagian siswa setidak-tidaknya 80% (Mulyasa, 2012:215).
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 224
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitin ini adalah perencanaan, pelaksanaan, serta pengamatan. Pada tahap perencanaan, peneliti dan guru menyusun perangkat pembelajaran, kompetensi yang akan dicapai siswa, dan tema cakepan tembang macapat. Selanjutnya adalah tahap pelaksanaan yakni melaksanakan skenario pembelajaran dengan alokasi waktu 2x45 menit. Pengamatan dilaksanakan dalam pembelajaran yakni peneliti mengamati proses pembelajaran, menemukan kendala, serta mencari solusinya sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran menulis cakepan tembang macapat pada siswa kelas XI IPA 4 SMA N 1 Tunjungan, Blora. 4. Pembahasan Dalam bagian pembahasan akan dijabarkan mengenai tembang macapat, teknik parafrasa, dan hasil pengamatan mengenai peningkatan kualitas pembelajaran menulis cakepan tembang macapat menggunakan teknik parafrasa berbasis cerkak. 4.1 Tembang Macapat Pengertian tembang macapat banyak diungkap oleh para ahli, diantarnya sebagaimana diungkapkan Sutardjo (2014; 8). Beliau menjelaskan bahwa kata tembang merupakan Bahasa Jawa ngoko, dan bahasa kramanya adalah sekar. Tembang atau sekar merupakan hasil atau manfaat dari bahasa yang edi baik dan indah berupa gabungan katakata yang terikat oleh aturan-aturan tertentu. Tembang merupakan bentuk karangan yang didasari dengan lagu atau metrum. Tembang atau kagunan seni “karya seni: ternyata banyak jenisnya, dan tembang macapat termasuk salah satu dari bagiannya, yaitu: tembang gedhe, tembang tengahan, dan tembang alit. Berdasarkan buku mardawalagu, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, diterangkan bahwa dinamakan tembang macapat dikarenakan: bacaan pertama memuat sekar ageng atau tembanggedhe, bacaan kedua juga memuat sekar ageng, bacaan ketiga memuat tembang tengahan, dan bacaan keempat memuat tembang alit. Macapat terbentuk dari prefik ma- dan kata dasar capat. Kata capat ada hubungannya dengan kata capet atau capet-capet ‘lupa-lupa ingat’ (Poerwadarminta, 1959: 626). Maksudnya tembang yang dinyanyikan dengan hapalan atau ingat-ingatan saja, karena tembang macapat biasanya untuk ura-ura, untuk nyanyian yang kata-katanya hanya merupakan hapalan belaka. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 225
Macapat berasal dari kata ma+capat, dan kata capat berhubungan dengan kata cepet yang berarti ‘cepat, segera’ (Poerwadarminta, 1959: 655). Jadi tembang macapat dapat berarti tembang yang dinyanyikan dengan irama cepat; karena pada jaman kerajaan dahulu tembang macapat digunakan untuk membuat naskah, serat ‘buku’ yang biasanya amat tebal. Berdasarkan hasil pengamatan secara umum, orang berpendapat bahwa tembang macapat terdiri dari sebelas macam, yaitu; 1). Dhandhanggula, 2). Sinom, 3). Asmaradana, 4). Kinanthi, 5). Megatruh, 6). Pangkur, 7). Mijil, 8). Durma, 9). Kinanthi, 10). Maskumambang, 11). Pucung. Tembangmacapat mempunyai dua unsur, yaitu syair dan lirik. Syair atau notasi disebut dengan titi laras, sedangkan lirik dalam tembang macapat disebut dengan cakepan. Titi laras tembang macapat dari turun-temurun tidak pernah berubah, dan terdapat berbagai macam titi laras dalam satu tembang macapat. Sedangkan untuk cakepan tembang macapat bisa berubah sesuai dengan ide dan pikiran sang pengarang. Setiap orang diperbolehkan mengubah cakepan tembang macapat. Tembang macapat termasuk dalam kategori karya sastra lama. Sama halnya puisi lama yang terikat oleh konvensi (misalnya: pantun dan gurindam), macapat pun mempunyai konvensi atau aturan dalam pembuatannya, dalam Bahasa Jawa disebut dengan paugeran. Sutardjo (2014: 25) menyatakan bahwa aturan atau paugeran dalam pembuatan cakepan tembang macapat yaitu; 1). Guru gatra, yaitu jumlah baris dalam setiap bait (pada) cakepan tembang macapat. 2). Guru wilangan, yaitu jumlah suku kata dalam setiap baris cakepan tembang macapat. 3). Guru lagu, yaitu dhong-dhinge swara saben gatra atau suara vokal terakhir dalam setiap baris tembang macapat. Kesulitan yang dialami siswa adalah ketika menulis cakepan tembang mereka merasa bingung diksi yang harus dipilih karena harus disesuaikan dengan tema. Apalagi jika ditambah dengan kaidah estetika tembang seperti dasanama, purwakanthi, tembung garba, dan sebagainya.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 226
4.2 Teknik Parafrasa berbasis Cerkak Berdasar kesulitan yang dialami siswa, peneliti menyajikan teknik baru yakni teknik parafrasa berbasis cerkak. Melalui teknik ini, siswa diberikan teks cerkak yang disesuaikan dengan tema tembang macapat. Melalui teks tersebut, siswa dapat mendapat gambaran diksi yang dapat dikembangkan menjadi tembang macapat. Teknik tersebut senada dengan teknik parafrasa yang dikemukakan oleh Veerhar (dalam Kesuma, 1998). Verhaar beranggapan bahwa makna berbeda dengan informasi. Makna adalah sesuatu yang ada dalam ujaran itu sendiri, sedangkan informasi adalah seuatu yang ada di luar ujaran. Pendapat tersebut senada dengan pendapat Aminuddin (2014:41) yang memberi batasan bahwa parafrasa adalah suatu cara untuk memahami makna dalam suatu ciptaan sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata yang digunakan pengarangnya. Pelaksanaan teknik parafrasa berbasis cerkak tidak berhenti sampai tahap itu saja. Dalam pembelajaran, siswa diberikan kesempatan untuk berdiskusi mengenai diksi yang akan digunakan dalam pembuatan tembang macapat. Guru juga berperan aktif membantu apabila siswa tidak mengetahui arti setiap kata. Selain itu, guru juga menyiapkan kamus sebagai media pembantu apabila siswa menemukan kosakata baru yang sebelumnya belum pernah diketahui. Melalui teknik pembelajaran menulis cakepan tembang menggunakan teknik parafrase berbasis cerkak, pembelajaran dirasa lebih menarik dan siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Hasilnya pun memuaskan, dari kondisi awal yang kurang kondusif berubah menjadi pembelajaran yang menyenangkan. 4.3 Hasil Pengamatan Proses Pembelajaran Menulis Cakepan Tembang Macapat Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilaksanakan dalam proses pembelajaran menulis cakepan tembang macapat berbasis cerkak dapat diperoleh gambaran bahwa proses pembelajaran pada siklus I mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan presentase tiap indikator yang diamati pada pratindakan dan siklus I sebagai Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 227
berikut: (1) pada pratindakan siswa yang mempersiapkan pembelajaran dengan baik sejumlah 11 anak 32,29% dan pada siklus I meningkat menjadi 24 siswa 85,71% (2) pada pratindakan siswa yang aktif dalam kegiatan apersepsi sejumlah 6 siswa 21,43% dan pada siklus I meningkat menjadi 18 siswa 64,29% (3) pada pratindakan siswa yang menjawab pertanyaan guru sejumlah 4 siswa 14,29% dan pada siklus I meningkat menjadi 12 siswa 42,86% (4) pada pratindakan siswa yang bertanya kepada guru sebanyak 1 siswa 3,57% meningkat pada siklus I yakni 9 siswa 32,14% (5) pada pratindakan siswa yang menulis cakepan tembang dengan semangat 7 siswa 25% pada siklus I meningkat menjadi 23 siswa 82,14% (6) pada pratindakan siswa yang menciptakan cakepan tembang macapat dengan menarik sebanyak 5 siswa 17,86% dan meningkat pada siklus I menjadi 22 siswa 78,57% (7) pada pratindakan siswa yang berperan aktif dalam pembelajaran sejumlah 5 siswa 17,86% dan meningkat pada siklus I menjadi 19 siswa 67,86% (8) pada pratindakan siswa yang ikut merefleksi dan menyimpulkan kegiatan pembelajaran sejumlah 5 siswa 17,86% dan pada siklus I meningkat menjadi 21 siswa 75%. Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa melalui teknik parafrase berbasis cerkak siswa lebih tertarik dan semangat dalam melaksanakan pembelajaran sehingga berimbas pada peningkatan proses pembelajarannya. 5. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pelaksanaan pembelajaran menulis cakepan tembang dengan teknik parafrase berbasis cerkak dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut penerapan teknik parafrase berbasis cerkak dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran menulis cakepan tembang macapat di kelas XI IPA 4 SMA N 1 Tunjungan, Blora. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil pengamatan dari pratindakan sampai dengan siklus I sebagai berikut : 1) mempersiapkan pembelajaran dengan baik pada pratindakan 32,29% siklus I 85,71% 2) aktif dalam kegiatan apersepsi pada pratindakan 21,43% dan pada siklus I 64,29% 3) menjawab pertanyaan guru pada pratindakan 14,29% dan pada siklus I 42,86% 4) bertanya kepada guru pada pratindakan 3,57% siklus I 32,14% 5) menulis cakepan tembang dengan semangat pada pratindakan 25% pada siklus I 82,14% 6) menciptakan cakepan tembang macapat dengan menarik pada pratindakan 17,86% dan siklus I 78,57% 7) berperan aktif dalam pembelajaran pada pratindakan 17,86% dan siklus I Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 228
67,86% 8) ikut merefleksi dan menyimpulkan kegiatan pembelajaran pada pratindakan 17,86% dan pada siklus I 75%.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 229
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, Suhardjono dan Supardi. 2012. Penelitan Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Hopkins, David. 2011. A Teacher’s Guide to Classroom Research. Panduan Guru Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kesuma, Tri Mastoyo jati. 1998. Ikhwal (Teknik) Parafrasa. No 9 Humaniora. Mulyana, Sendang. 2009. Seni Baca Geguritan. Semarang: Bandungan Institute. Peraturan Daerah Provinsi Jawa tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Rohati. 2011. “Strategi Pembelajaran Bahasa Terpadu dengan Teknik Parafrasa untuk Meningkatkan Kemampuan Apresiasi dan Menuis Puisi”. Jurnal Penelitian Pendidikan. 2, pp 48-59. Sardiman, A.M. 1989. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Grafindo Pustaka. Sutardjo, Imam. 2013. Tembang Jawa. Solo: bukutujju. ___________ 2014. Tembang Jawa. Solo: bukutujju Suwandi, Sarwiji. 2010. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah. Surakarta: Yuma Pustaka. ________2011. Model-Model Asesmen dalam Pembelajaran. Surakarta: Yuma Pustaka Suyadi. 2014. Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Diva Press. Tarigan Henry Guntur. 2008. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 230
METODE MENDONGENG DENGAN MEDIA SHADOW PUPPET UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BAHASA JAWA DENGAN BAIK DAN BENAR BERBASIS UNGGUH-UNGGUH
Kenfitria Diah Wijayanti, Djoko Sulaksono, Dewi Pangestu Said, Favorita Kurwidaria
Prodi Pendidikan Bahasa Jawa: Universitas Sebelas Maret
Email:
[email protected]
ABSTRAK
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi arbitrer yang berfungsi untuk menyampaikan pesan dari penutur kepada mitra tutur. Penggunaan bahasa yang baik dan benar akan mempermudah penerimaan informasi oleh mitra tutur. Hal ini yang menjadi dasar pentingnya pembelajaran berbahasa di sekolah. Pembelajaran berbahasa perlu mendapatkan perhatian dari para praktisi pendidikan. Penerapan metode dan penggunaan media yang tepat dalam pembelajaran dapat mempermudah penerimaan materi yang diajarkan. Metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut salah satunya adalah metode mendongeng dengan media shadow puppet/wayang. Metode dan media tersebut dapat digunakan dalam pembelajaran berbahasa terutama untuk meningkatkan kemampuan berbicara, membaca, dan menulis dengan baik dan benar berbasis unggah-ungguh. Pembelajaran dengan metode mendongeng dan media shadow puppet dapat meningkatkan perhatian siswa terhadap materi yang diajarkan sehingga materi yang diajarkan dapat diterima dengan baik.
Kata kunci: mendongeng, shadow puppet, bahasa yang baik dan benar, unggah-ungguh.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 231
A. Latar Belakang Bahasa merupaka alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat komunikasi, menyampaikan informasi, bertukar pendapat, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer disusun dalam kata-kata yang bermakna. Informasi dapat diterima dengan baik bila disampaikan dengan bahasa yang baik pula. Informasi yang disampaikan penutur acapkali mengandung ilmu yang dapat menambah khazanah pengetahuan mitra tutur. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar. Bahasa sendiri dapat digolongkan sebagai ilmu yang dapat dipelajari. Pembelajaran bahasa di sekolah mengajarkan sastra dan empat ketrampilan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, serta menulis kepada siswa. Masing-masing keterampilan tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain. Keterampilan menyimak merupakan bagian dari keterampilan berbahasa yang pertama kali dikuasai individu. Tahap selanjutnya, manusia belajar untuk berbicara, membaca, dan menulis. Bila diperhatikan perkembangan keterampilan berbahasa setiap individu diawali dengan adanya proses menerima informasi baru kemudian menyampaikan informasi. Sebelum individu dapat berbicara, individu tersebut pasti pernah menangkap informasi dengan mendengarkan. Sementara itu, sebelum individu dapat menulis, ia harus bisa membaca terlebih dahulu. Proses berbahasa bukan merupakan proses yang sederhana. Keberhasilan penyampaian informasi menggunakan media bahasa dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor tersebut dapat berasal dari penutur, mitra tutur, media yang digunakan, konteks pembicaraan, maupun faktor lain yang menyertainya. Kemampuan penutur dalam berbicara dan mitra tutur dalam mendengarkan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penyampaian pesan. Kemampuan penutur berbicara dapat dilihat dari kejelasan tuturan maupun ketepatan gestur. Sementara itu, kemampuan mitra tutur dalam menangkap informasi dapat dipengaruhi dari kondisi pendengaran dan kejelian dalam Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 232
menangkap isi pembicaran. Kegiatan pembelajaran di sekolah tentu erat kaitannya dengan proses berbahasa. Informasi berupa materi pelajaran disampaikan oleh guru sebagai penutur kemudian diterima oleh siswa sebagai mitra tutur. Guru dalam menyampaikan materi harus jelas dan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh siswa. Penerimaan siswa terhadap materi yang diajarkan acapkali tidaklah sama. Beberapa siswa dapat dengan mudah menerima materi pelajaran dengan metode ceramah singkat, namun sebagian lainnya mengalami kesulitan menerima pelajaran dengan metode tersebut. Guru hendaknya kreatif dalam menyampaikan pembelajaran. Salah satu metode pengajaran yang dapat diterapkan adalah metode mendongeng. “Mendongeng adalah seni berkomunikasi yang membutuhkan interaksi antar pendongeng dan penonton” (Suwardi, 2009: 54). Materi pembelajaran yang disampaikan dengan metode mendongeng lebih mudah diterima oleh siswa. Hal ini disebabkan karena dalam kegiatan mendongeng perlu adanya pembentukan suasana oleh pendongeng. Ekspresi dan gerakan yang ditonjolkan dalam kegiatan mendongeng dapat menarik perhatian siswa dan mempermudah siswa dalam menerima informasi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Bashir (2011: 36) yang menyatakan bahwa “students may duplicate gestures and movements to show comprehension”. Pengamatan siswa terhadap ekspresi dan gerakan yang ditampilkan akan mempermudah siswa dalam belajar. Penyampaian materi pembelajaran dengan menggunakan metode yang inovatif mampu membentuk suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan. Keaktifan siswa dalam belajar juga dapat ditumbuhkan dengan penggunaan metode yang inovatif. Suasana pembelajaran yang menyenangkan dan keaktifan siswa dalam belajar mendukung kemudahan penerimaan materi yang diajarkan. Siswa yang aktif bertanya maupun menjawab pertanyaan mengindikasikan perhatian siswa yang baik terhadap proses pembelajaran. Sementara itu, pemilihan media dalam proses belajar juga dapat mempengaruhi kelancaran arus informasi yang disampaikan. Pemilihan media yang tepat mempermudah siswa dalam menangkap materi pelajaran. Hal ini sesuai Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 233
dengan pernyataan Sanaky (2011:4) bahwa “media pembelajaran adalah sarana pendidikan yang dapat digunakan sebagai perantara dalam proses pembelajaran untuk mempertinggi efektifitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pengajaran”. Pendapat tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Soeharto (2003:99) bahwa “penggunaan media secara kreatif akan memperbesar kemungkinan siswa untuk belajar lebih banyak, mencamkan apa yang dipelajarinya lebih baik, dan meningkatkan penampilan mereka dalam melakukan keterampilanketerampilan tertentu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.” Media pembelajaran membantu siswa lebih aktif dalam belajar. Hal ini disebabkan karena media yang digunakan memungkinkan siswa merespon pelajaran tidak hanya menggunakan satu indra saja. Hal ini sesuai dengan pendapat Saberan (2012: 1) bahwa “sarana belajar sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar karena dapat memberikan, rangsangan dan pengalaman belajar secara menyeluruh bagi siswa melalui semua indera, terutama indera pandang dengar”. Penggunaan media audio visual tentu lebih menarik dan mudah diterima dibandingkan dengan pengajaran dengan metode yang hanya mengandalkan tuturan saja. Salah satu alternatif media pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar adalah media shadow puppet. Media ini merupakan sebuah media grafis yang menggambarkan karakter berwujud wayang. Metode mendongeng dan media shadow puppet merupakan perpaduan yang tepat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara, membaca, dan mendengarkan siswa. Penggunaan metode dan media tersebut dapat mendorong suasana pembelajaran yang menyenangkan. Visualisasi dari shadow puppet yang menarik dapat mendorong siswa untuk aktif memperhatikan dengan indra penglihatannya, sementara itu penyampaian materi dengan cara mendongeng dapat mendorong siswa lebih aktif dalam mendengarkan dengan indranya. Keaktifan siswa dalam belajar membawa dampak positif terhadap keberhasilan proses belajar. Kegiatan mendengarkan dongeng yang dilakukan Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 234
memungkinkan siswa memperoleh banyak informasi. Banyaknya informasi yang diterima oleh siswa berbanding lurus dengan penguasaan kemampuan berbahasa siswa. Proses belajar setiap individu diawali dengan proses mendengarkan – mengumpulkan informasi – yang kemudian diolah dan disampaikan kembali. Shiny (2016: 129) menuturkan bahwa “speaking is closely related or interwoven with listening, which is the basic mechanism through which the rules of language are internalized”. Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa proses mendengarkan dongeng dengan media shadow puppet dapat membantu meningkatkan kemampuan berbicara, membaca, dan menulis siswa sesuai dengan unggah-ungguh bahasa Jawa.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan metode mendongeng dan media shadow puppet untuk meningkatkan kemampuan berbahasa dengan baik dan benar berbasis unggahungguh? 2. Bagaimana hasil pembelajaran bahasa dengan menggunakan metode mendongeng dan media puppet shadow?
C. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (1) metode ekspositori (penjelasan), (2) metode diskusi kelompok, (3) metode penugasan, dan (4) metode observasi. Metode ekspositori dalam penelitian ini dilaksanakan dengan menerapkan model pembelajaran inovatif yaitu penerapan metode mendongeng dan penggunaan media shadow puppet dalam pembelajaran. Penyampaian materi juga dilakukan dengan metode diskusi. Pokok bahasan dalam diskusi tersebut adalah (1) penggunaan bahasa Jawa yang baik dan benar, (2) penggunaan bahasa Jawa sesuai dengan konteks situasi, dan (3) penggunaan bahasa Jawa sesuai dengan unggahungguh. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 235
Metode penugasan dalam penelitian ini dilaksanakan tujuan meningkatkan kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan unggah-ungguh. Penugasan yang dilakukan terdiri dari praktek menulis, membaca, dan berbicara di depan kelas. Sementara itu, metode observasi diterapkan dalam kegiatan penilaian produk dan performa siswa. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengusaan bahasa Jawa siswa.
D. Pembahasan Pembelajaran bahasa di sekolah perlu mendapat perhatian dari para praktisi pendidikan. Hal ini karena keberadaan bahasa sebagai alat komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dalam masyarakat. Penggunaan bahasa Jawa yang baik dan benar sesuai dengan unggah-ungguh dapat membantu individu dalam berkomunikasi. Penyampaian informasi dengan bahasa yang santun akan menghindarkan individu dari kesalahpahaman sehingga informasi diterima dengan lebih baik oleh mitra tutur. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Jawa yang baik dan benar berbasis unggah-ungguh adalah menggunakan metode mendongeng dengan bantuan media shadow puppet. Metode mendongeng dalam pembelajaran akan menarik perhatian siswa dalam belajar. Hal ini disebabkan karena pengaplikasian metode tersebut memperhatikan ekspresi pendongeng yang harus disesuaikan dengan konteks situasi dalam cerita. Penggunaan shadow puppet sebagai media pembelajaran akan lebih menarik bagi siswa. Media shadow puppet merupakan media yang cukup populer di kalangan masyarakat Jawa. Visualisasi dari media ini dapat dijadikan sebagai representasi manusia Jawa pada umunya. Bentuk dan warna shadow puppet yang estetis dapat menarik minat siswa untuk belajar bahasa yang baik dan benar berbasis uggah-ungguh. Cerita yang disajikan dengan media ini cukup beragam. Sementara itu, banyak tokoh pewayangan yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa dengan media ini lebih mengutamakan penggunaan lakon wayang purwa dengan sedikit penyesuain. Penyesuaian tersebut dilakukan agar hasil belajar yang dilakukan sesuai dengan tujuan pembelajaran yaitu Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 236
meningkatnya kemampuan siswa dalam berbicara, membaca, dan menulis bahasa Jawa dengan baik dan benar berbasis unggah-ungguh. Pembelajaran bahasa Jawa menggunakan metode mendongeng dan media shadow puppet secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Penerapan Metode Mendongeng dan Media Shadow Puppet Model pembelajaran dengan metode mendongeng dilaksanakan dalam empat tahap yaitu (1) penjelasan, (2) diskusi, (3) penugasan, (4) observasi. Tahap paling awal pada kegiatan pembelajaran dilakukan dengan cara memberikan penjelasan. Guru menjelaskan tentang penggunaan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan unggah-ungguh. Unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa sangat penting untuk dipelajari. Wibawa (149: 2005) mengungkapkan bahwa “orang akan dinilai baik bahasanya, jika dapat menerapkan unggah-ungguhbasa dengan benar. Kesalahan penerapn unggah-ungguh basa akan dicerca sebagai anak yang tidak tahu unggah-ungguh (sopan santun).” Materi pembelajaran unggah-ungguh yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengenai tingkat tutur dalam bahasa Jawa serta penggunaannya dalam beragam konteks situasi. Tingkat tutur dalam bahasa Jawa memiliki banyak variasi, namun materi tingkat tutur yang diberikan pada penelitian ini adalah tingkat tutur yang paling sering digunakan dalam masyarakat yaitu ngoko, madya/krama madya, dan krama/krama inggil. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudikan (2017: 169) yang menyatakan bahwa “many speech levels can be classified into 3 levels of speech, namely: ngoko, madya, and krama that are commonly used to communicate.” Secara lebih jelas variasi tingkat tutur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. a. Ngoko Basa ngoko adalah variasi tingkat tutur dalam bahasa Jawa yang paling rendah kedudukannya. Bahasa Jawa ragam ngoko memiliki nilai kesantunan yang paling rendah dibandingkan ragam bahasa lain. Hal ini berdampak pada aturan penggunaan bahasa Jawa ragam ngoko dalam masyarakat Jawa. Ragam bahasa ini hanya boleh digunakan oleh masyakat Jawa untuk berkomunikasi dengan orang Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 237
yang lebih muda, lebih rendah kedudukanya, atau dengan teman yang sudah akrab. Contoh penggunaan bahasa Jawa ragam ngoko adalah sebagai berikut. 1) Gawean iku kudu rampung dina iki! ‘Pekerjaan ini harus selesai hari ini!’ 2) Aku arep metu, kowe ning omah wae ya. ‘Saya hendak keluar, kamu di rumah saja ya.’ b. Madya/Krama Madya Basa madya/krama madya adalah variasi tingkat tutur dalam bahasa Jawa yang memiliki nilai kehalusan dan kesantunan, namun dalam kadar yang masih rendah. Bahasa Jawa ragam ini dapat digunakan untuk menghormati orang lain yang lebih muda, bawahan, orang yang baru ditemui, dan teman yang sudah akrab. Meskipun demikian, bahasa Jawa ragam ini merupakan ragam bahasa yang paling tinggi untuk menghormati diri sendiri. Contoh penggunaan bahasa Jawa ragam madya/krama madya adalah sebagai berikut. 1) Dik Ari griyane pundi? ‘Dik Ari rumahnya dimana?’ 2) Garapane Sampeyan dugi pundi, Mas? ‘Pekerjaanmu sampai mana, Mas?’ c. Krama/Krama Inggil Basa Krama/Krama Inggil adalah variasi tingkat tutur dalam bahasa Jawa yang memiliki nilai kehalusan dan kesantunan paling tinggi. Bahasa Jawa ragam ini biasa digunakan untuk menghormati orang yang lebih tua, atasan, orang yang baru ditemui, dan teman yang sudah akrab. Bahasa Jawa ragam ini tidak boleh digunakan untuk diri sendiri. Contoh pemakaian bahasa Jawa ragam krama/krama inggil adalah sebagai berikut. 1) Kula sampun dugi saderengipun Ibu Tutik rawuh. ‘Saya sudah datang sebelum Ibu Tutik datang.’ 2) Pak Karta samenika nembe dhahar. ‘Pak Karta sekarang sedang makan.’ Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 238
Setelah penjelasan mengenai materi unggah-ungguh dilakukan, kegiatan selanjutnya adalah memberikan contoh penggunaan bahasa Jawa yang baik dan benar berbasis unggah-ungguh dengan cara mendongeng menggunakan media shadow puppet. Cerita yang digunakan dalam kegiatan mendongeng mengambil lakon wayang purwa. Lakon yang diambil untuk materi dalam mendongeng disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran yaitu lakon yang bisa menampakkan unggah-ungguh berbahasa dalam percakapannya. Setelah kegiatan mendongeng berakhir, siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi dalam kelompok mengenai penggunaan bahasa dalam lakon yang telah diceritakan. Siswa diajak untuk aktif menganalisa bahasa yang digunakan oleh para tokoh wayang. Tahap selanjutnya dalam kegiatan pembelajaran adalah diadakannya penugasan untuk mengetaui tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang telah disajikan. Tugas yang diberikan adalah membuat naskah pacelathon/percakapan berbasis unggah-ungguh. Percakapan yang telah dibuat kemudian di praktekkan di depan kelas. Berdasar kegiatan penugasan tersebut dapat dilakukan observasi terhadap kemampuan berbicara, membaca, dan menulis siswa. Kegiatan membuat percakapan dalam bentuk tulisan dapat menunjukkan kecakapan siswa dalam menulis baik dari segi diksi, penulisan ejaan, penggunaan bahasa, dan lain sebagainya. Sementara itu, kegiatan praktek berbicara yang dilakukan oleh siswa dapat digunakan untuk menilai kemampuan membaca dan berbicara siswa baik dari segi kejelasan, kesesuaian tingkat tutur, pelafalan ejaan, dan lain sebagainya.
2. Hasil Pembelajaran Bahasa Menggunakan Metode Mendongeng dan Media Puppet Shadow Pembelajaran bahasa Jawa yang baik dan benar berbasis unggah-ungguh yang dilaksanakan dengan menggunakan metode mendongeng dan media shadow puppet menunjukkan hasil yang positif. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi yang telah dilakukan. Kemampuan berbicara, membaca, dan menulis bahasa Jawa siswa dapat dikatakan baik dan benar sesuai dengan unggah-ungguh meskipun Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 239
beberapa kata memerlukan perbaikan. Siswa terlihat aktif dan antusias dalam belajar, terutama pada kegaiatan mendongeng menggunakan shadow puppet. Antusiasme siswa juga terlihat pada kegiatan penugasan. Sebagian besar siswa dengan suka rela maju ke depan kelas untuk memberi contoh percakapan dalam kehidupan sehari-hari dengan tema yang telah ditentukan. Kemampuan siswa dalam berbicara, membaca, dan menulis dapat dilihat dari hasil penugasan menulis pacelathon/percakapan dan praktek sandiwara berdasarkan percakapan tersebut. Kegiatan menulis yang dilakukan oleh siswa dapat memperlihatkan benar atau tidaknya penulisan dan pemilihan kata tiap tokoh. Sementara itu, kemampuan membaca dan berbicara dapat dinilai dari praktek sandiwara yang dilakukan oleh siswa. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa kemampuan berbicara, membaca, dan menulis siswa telah baik dan benar sesuai dengan unggah-ungguh setelah diajar menggunakan metode medongeng dan media shadow puppet. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan metode dan media tersebut dalam pembelajaran bahasa yang baik dan benar berbasis unggah-ungguh dapat dikatakan berhasil.
E. Simpulan Penerapan metode mendongeng dan media shadow puppet
dapat
meningkatkan kemampuan berbicara, membaca, dan menulis siswa. Metode ini dilaksanakan dalam empat tahap yaitu (1) penjelasan, (2) diskusi, (3) penugasan, (4) observasi. Pembelajaran dilaksanakan dengan cara mendongeng menggunakan media shadow puppet. Pembelajaran juga dilaksanakan dengan cara diskusi mengenai penggunaan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan unggah-ungguh dan konteks situasi, serta hubungannya dengan pembentukan nilai budi pekerti. Penugasan dalam pembelajaran dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kecakapan siswa dalam menggunakan bahasa Jawa. Sementara itu, kegiatan observasi dilaksakan untuk menilai sejauh mana penguasaan siswa dalam menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan ungguah-ungguh. Penerapan metode mendongeng dan media shadow puppet dalam pembelajaran memberikan hasil Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 240
yang positif terhadap penguasaan penggunaan bahasa Jawa yang baik dan benar berbasis unggah-ungguh. Siswa merasa nyaman dan senang dalam belajar. Hal ini dapat dilihat dari keaktifan siswa dalam belajar dan hasil observasi yang telah dilakukan.
F. Daftar Pustaka Bashir, Marriam, Muhammad Azeem, dan Ashiq Hussain Dogar. 2011. “Factor Effecting Students’ English Speaking Skills”. British Journal of Arts and Social Sciences. vol. 2 (1). hlm. 36. P., Shiny K. 2016. “Factors Affecting Learners’ Oral Communication and Coping Strategies”. International Journal of Academic Research. vol. 3 (2). hlm. 129. Saberan, Riduan. 2012. “Penggunaan Media Audio Visual dalam Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa”. LENTERA: Jurnal Ilmiah Kependidikan. vol. 7 (2). hal. 1. Sanaky, Hujair AH. 2011. Media Pembelajaran: Buku Pegangan Wajib Guru dan Dosen. Yogyakarta: Kaukaba. Soeharto, Karti, dkk. 2003. Teknologi Pembelajaran: Pendekatan Sistem, Konsepsi dan Model, SAP, Evaluasi, Sumber Belajar dan Media. Surabaya: Surabaya Intellectual Club. Sudikan, Setya Yuwana. 2017. Learning Model of Unggah-Ungguh Basa Oriented to Noble Behavior in SMP (Junior High School) Jawa Timur (East Java) Indonesia. Journal of Education and Practice. vol. 8 (9). hal. 169. Wibawa, Sutrisna. 2005. Identifikasi Ketidaktepatan Penggunaan Unggah-Ungguh Bahasa Jawa Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa. Litera. vol. 4 (2). hal. 149.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 241
PENINGKATAN KETRAMPILAN BERPIDATO KRAMA ALUS DENGAN MENGGUNAKAN METODE QUANTUM LEARNING PADA SISWA KELAS IXA SMP NEGERI 1 BLORA Oleh :
Khaerudi Yuniar, S.Pd,
[email protected]. Pembimbing :
Dra. Ani Rakhmawati, MA., PhD., Dr. Budhi Setiawan, M.Pd ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan metode Quantum Learning bagi siswa kelas IX A SMP Negeri 1 Blora. Adapun yang digunakan sebagai subyek penelitian adalah siswa kelas IX A 28 siswa, terdiri dari 12 siswa putra dan 16 siswa putri. Pelaksanaan
penelitian
menggunakan
prosedur
Penelitian
Tindakan
Kelas,yang
dilaksanakanmelalui 2 siklus. Sedangkan teknik yang digunakan untuk pengumpulan data adalah teknik tes dan teknik non tes. Alat pengumpul dengan teknik tes berupa tes praktik yang dilakukan setelah pelaksanaan kegiatan pembelajaran.Sedangkan teknik
non tes menggunakan lembar
pengamatan, angket dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode Quantum Learning dapat meningkatkan proses pembelajaran ketrampilan berpidato Krama Alus siswa kelas IXA SMP Negeri 1 Blora. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan dalam penelitian, pada kondisi pra siklus (pembelajaran konvensional) rata-rata siswa yang mempunyai motivasi tinggi terdapat 1,8%, kemudian dilakukan pembelajaran dengan metode Quantum Learning pada siklus I menjadi 42%, dan pada siklus II meningkat menjadi 78,6%. Penerapan metode Quantum Lerning dapat meningkatkan ketrampilan berpidato Krama Alus siswa kelas IXA SMP Negeri 1 Blora. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian dalam penelitian, pada kondisi pra siklus (pembelajaran konvensional) nilai rata-rata siswa mencapai 64,5, kemudian dilakukan pembelajaran dengan metode Quantum Learning pada siklus I menjadi 73,8, dan pada siklus II meningkat menjadi 79,8. Kata Kunci
: Ketrampilan Berpidato, Krama Alus, Metode Quantum Learning.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 242
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan berbicara merupakan salah satu komponen berbahasa yang penting. Keterampilan berbicara membantu manusia saling berkomunikasi secara langsung untuk menyampaikan gagasan atau pendapat. Keterampilan ini juga merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai siswa dalam proses pembelajaran. Komunikasi mutlak diperlukan dan dilakukan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Setiap manusia menjalani kehidupannya dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan selalu menjalin hubungan dengan orang lain. Alat penyambung antar manusia tersebut adalah bahasa, karena di dalam komunikasi, manusia mengungkapkan ide, gagasan, isi pikiran, maksud dan sebagainya menggunakan sarana utama yaitu bahasa. Bahasa, adalah alat komunikasi dari kelompok komunikasi verbal dengan wujud berupa simbol simbol kebahasaan (huruf, kata, kalimat) beserta kaidah-kaidahnya, sedangkan satu kelompok sarana komunikasi yang lain adalah komunikasi nonverbal yang dilakukan dengansarana gerak tubuh dan ekspresi wajah. Berdasar UUD 1945 Bab XV pasal 36 ayat 2, Indonesia, negara yang berbahasa nasional Bahasa Indonesia tidak mematikan bahasa-bahasa daerah yang ada, tetapi justru memberi perlindungan dan menjamin kelangsungannya sebagai warisan budaya leluhur.Termasuk Bahasa Jawa menjadi bukti luhurnya budaya masa lampau yang masih terpelihara sampai sekarang. Mengingat hal tersebut di atas maka Bahasa Jawa menjadi sangat perlu dibina dan dikembangkan agar tetap terpelihara. Salah satu upaya pemeliharaan dan pengembangan Bahasa Jawa adalah dengan dimasukkannya Pelajaran Bahasa Jawa pada Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah sebagai unsur Muatan Lokal yang diberlakukan untuk wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Mata pelajaran bahasa, termasuk Bahasa Jawa mencakup komponen kemampuan berbahasa dan bersastra yang meliputi aspek menyimak, berbicara, membaca dan menulis.Menurut sifatnya, empat ketrampilan berbahasa dibagi menjadi dua kelompok yaitu ketrampilan berbahasa yang bersifat menerima (reseptif) dan ketrampilan berbahasa yang bersifat mengungkapkan (produktif).Ketrampilan berbahassa bersifat reseptif Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 243
meliputi ketrampilan menyimak daan ketrampilan membaca. Ketrampilan produktif meliputi ketrampilan berbicara dan ketrampilan menulis. Ketrampilan berbicara dianggap sebagai salah satu ketrampilann berbahasa yang menjadi tolok ukur dalam menentukan kualitas kemampuan berpikir seseorang.Berbicara merupakan ekspresi gagasaan-gagasan seseorang yang menekankaan komunikasi dua arah, yaitu memberi (pembicara) dan menerima (pendengar). Pengajaran Bahasa Jawa masih menjadi bahan pembicaraan dan pembahasan yang menarik oleh guru bahasa, akademisi, maupun pakar bahasa dalam forum pertemuan ilmiah. Banyak yang melontarkan komentar, mengungkapkan kondisi penuturan Bahasa Jawa di masyarakat, mereka menyebut bahwa generasi jaman sekarang banyak yang tidak mampu bertutur bahasa Jawa dengan baik sesuai kaidah, padahal mereka warga dan ras keturunan Orang Jawa. Mereka juga menerima pengajaran bahasa Jawa di sekolah sejak dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan. Pada bahasan ketrampilan berbahasa lisan, kemampuan siswa untuk bertutur Bahasa Jawa secara benar sesuai kaidah dan produktif, dapat dikatakan kondisi siswa-siswa sekolah dasar dan lanjutan saat ini masih jauh di bawah harapan.Terungkap dari banyaknya pernyataan guru bahasa jawa yang menyatakan bahwa pencapaian Kompetensi Dasar Berbicara siswa-siswa mereka masih sangat kurang atau bahkan dapat dikatakan belum mencapai KKM (Kriteria Kelulusan Minimal). Sedangkan dalam Silabus Pengajaran Bahasa Jawa di Sekolah Dasar dan Menengah, jelas tertera bahwa Mata Pelajaran Bahasa Jawa meliputi aspek Berbicara dengan Kompetensi Dasar yang jelas dan harus dicapai oleh siswa. Salah satu kompetensi yang disyaratkan dicapai adalah Kompetensi Berpidato sebagai salah satu perwujudan ketrampilan berbicara. Dari hasil pembelajaran bahasa khususnya ketrampilan berpidato bagi siswa SMP, terjadi pula pada siswa-siswa SMP Negeri 1 Blora, terbukti dari daftar nilai yang menjadi laporan hasil atas proses pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah. Pada praktik-praktik berbahasa lisan atau berpidato, siswa belum mampu menyampaikan gagasan dengan jalan pikiran yang logis dan sistimatis sesuai dengan unggah-ungguh bahasa Jawa yang benar. Kesulitan yang dialami saat berpidato diantaranya adalah kesulitan pada penerapan kaidah tata bahasa Jawa secara benar dan tepat, kesulitan pada pemilihan kata dan penyusunan kalimat efektif sesuai dengan unggah-ungguh bahasa Jawa, juga pembentukan sikap dan Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 244
emosi siswa saat berpidato belum dapat diwujudkan secara baik oleh siswa. Siswa masih banyak yang tidak berani dan tidak percaya diri untuk berbicara. Rendahnya perolehan hasil belajar tersebut, bukan berarti kesalahan siswa semata. Untuk mengetahui hasil belajar siswa tidak seperti yang diharapkan, tentu guru perlu merefleksi diri untuk dapat mengetahui faktor-faktor penyebab ketidakberhasilan siswa tersebut. Kondisi yang kurang diminati siswa banyak berakibat pada kurang optimalnya hasil belajar siswa. Peranan guru tidak semata-mata hanya memberikan ceramah yang sifatnya teksbook kepada siswa, melainkan guru harus mampu merangsang/memotivasi siswa agar mampu membangun pengetahuan dalam pikirannya. Cara yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan membangun komunikasi dan interaksi belajar yang bermakna melalui pemberian informasi yang sangat bermakna dan relevan dengan kebutuhan siswa. Upaya guru tersebut dilakukan dengan cara memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran, sehingga siswa mampu menggali dan memperoleh pengetahuan dari hasil aktivitas yang dilakukan oleh siswa sendiri. Guru berperan sebagai pengelola proses pembelajaran, bertindak sebagai fasilitor yang berusaha mencipatakan kondisi pembelajaran yang efektif, sehingga memungkinkan proses mengembangkan bahan pelajaran dengan baik, dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menguasai tujuan-tujuan pembelajaran yang harus mereka capai. Berdasar uraian di atas, mendorong perlunya dilakukan penelitian yang lebih terpusat pada pencapaian hasil belajar siswa, khususnya ketrampilan berpidato Krama Alus. Maka penelitian yang tepat diakukan adalah Penelitian Tindakan Kelas dalam upaya meningkatkan ketrampilan berpidato krama alus siswa. Dalam menyikapi hal tersebut, dalam penelitian ini akan akan dicobakan melakukan kegiatan pembelajaran menggunakan metode Quantum Learning. Metode pembelajaran ini merupakan model pembelajaran yang memasukkan unsur-unsur keterlibatan siswa secara langsung. Mulyasa (2016:78), menjelaskan bahwa Quantum learning merupakan pendekatan atau strategi belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang ditawarkan dalam Quantum learning merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun demikian, Bobbi de Porter dan Mike Hernacki mengembangkan teknik-teknik tersebut dengan sasaran akhir ditujukan untuk membantu peserta didik responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 245
Dalam penelitian ini Ketrampilan berpidato krama alus menjadi variable Y, sedang Metode Quantum Learning digunakan sebagai variable X. Hasil penelitian tindakan kelas tersebut diharapkan dapat menjadi sumbangan dan bahan rujukan dalam pengembangan pembelajaran ketrampilan berbahasa Jawa terutama pada aspek ketrampilan berpidato Krama Alus. Dengan menggunakan metode Quantum learning diduga dapat meningkatkan ketrampilan berpidato Krama Alus pada siswa. Rumusan Masalah Berdasar pada latar belakang masalah di atas, permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Apakah penggunaan metode Quantum Learning dapat meningkatkan proses pembelajaran ketrampilan berpidato Krama Alus siswa kelas IXA SMP Negeri 1 Blora?
2.
Apakah penggunaan metode Quantum Lerning dapat meningkatkan ketrampilan berpidato Krama Alus siswa kelas IXA SMP Negeri 1 Blora?
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 246
PEMBAHASAN A. Hakekat Keterampilan Berpidato Krama Alus 1.
Pengertian Berpidato Terdapat dua jenis berbicara berdasar situasinya yaitu berbicara situasi formal,
yang meliputi ceramah, perencanaan dan penilaian, interview, prosedur parlementer, dan cerita. Jenis yang kedua adalah berbicara situasi informal , meliputi tukar pengalaman , percakapan, penyampaian berita, penyampaian pengumuman, bertelepon dan member petunjuk. Berpidato, berdasarkan situasinya termasuk ke dalam berbicara situasi formal, karena pidato identik dengan ceramah. Berdasar tujuan, berbicara tergolongkan dalam lima kelompok , yaitu berbicara dengan tujuan menghibur, menyampaikan informasi, menstimulasi, meyakinkan dan berbicara untuk menggerakkan. Berpidato, dapat merupakan berbicara yang bertujuan menginformasikan, menstimulasi dan meyakinkan maupun menggerakkan, karena semua tujuan tersebut biasa dilakukan dengan berpidato. Berdasarkan metode penyampaian jenis berbicara diklasifikasikan dalam empat golongan, yaitu berbicara mendadak, berbicara berdasar catatan kecil, berbicara berdasar hafalan, dan berbicara berdasar naskah. Berpidato dapat dilakukan dengan ke empat cara tersebut, tetapi lebih sering dilakukan dengan berdasar naskah yang telah dipersiapkan, juga tidak menutup kemungkinan dialkukan dengan catatan kecil bahkan hafalan. Agak jarang dilakukan pidato secara mendadak, karena pidato biasa dilakukan dengan tujuan- tujuan tertentu. Saat seseorang berbicara, selalu ada penyimak, kedua hal ini menjadi unsur yang tampak dan bisa diamati dengan mudah pada suatu aktifitas bahasa lisan. Berdasar jumlah penyimaknya berbicara dapat golongkan menjadi tiga golongan yaitu, berbicara antar pribadi, berbicara dalam kelompok kecil dan berbicara dalam kelompok besar.Berbicara dalam kelompok besar inilah sering dilakukan pidato. Pada suatu peristiwa khusus yang di dalamnya terjadi atau dilakukan suatu aktifitas berbicara, terbentuk satu jenis berbicara, sehingga dengan beragamnya peristiwa khusus tersebut, dapat disebutkan beberapa jenis berbicara berdasar peristiwanya, Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 247
diantaranya adalah, presentasi, penyambutan, perpisahan, jamuan, perkenalan, atau nominasi. Pada jenis – jenis kegiatan berbicara tersebut, sering dikhususkan penyebutannya dengan berpidato. Jadi berdasar peristiwanya terdapat istilah pidato presentasi, pidato perkenalan, pidato sambutan, pidato perpisahan, pidato jamuan, pidato nominasi dan pidato-pidato yang lain. Beberapa diantaranya sebagai pidato resmi dan formal, dan beberapa yang lain adalah pidato dalam situasi yang informal. Berpidato berdasar peristiwa khusus inilah yang dijadikan variabel penelitian ini, terutama adalah pidato dalam situasi resmi atau formal, sehingga dalam pengambilan data akan dilakukan praktek berpidato dari jenis ini. Berdasar uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa berpidato pada intinya adalah menyampaikan pesan, pikiran, gagasan, atau pendapat dengan memanfaatkan semaksimal mungkin fungsi-fungsi artikulasi dalam situasi formal maupun informal dengan diikuti oleh penyimak. 2.
Pengertian Berpidato Krama Alus Berpidato Krama Alus adalah kegiatan berbicara atau berpidato dengan
menggunakan ragam bahasa tingkat Krama Alus, yaitu ragam basa Jawa yang memberikan penghormatan tertinggi pada lawan bicara dan memuat kadar kesopanan yang paling besar dibanding dengan ragam basa Jawa yang lain. Dengan berbicara menggunakan basa Krama Alus , pembicara menunjukkan bahwa penyimak adalah orang – orang yang terhormat dan dihormati, terutama oleh pembicara atau penyampai pidato.Contoh berpidato Krama alus diantaranya adalah pidato sambutan siswa kelas 9 pada acara pelepasan siswa atau kelulusan, atau pidato penyuluhan pertanian oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) kepada para petani.Di wilayah Jawa Tengah dan D.I.Y. serta Jawa Timur mayoritas para petani tinggal di wilayah pedesaan dan menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi utama. Penggunaan bahasa Jawa harus memperhatikan unggah-ungguh basa atau tingkat tutur bahasa Jawa. a.
Tingkat Tutur Bahasa Jawa 1)
Leksikon dalam Bahasa Jawa
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 248
Leksikon bahasa merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam suatu bahasa. Dengan demikian leksikon menjadi kekayaan suatu bahasa berwujud kata. Leksikon bahasa Jawa, berdasar bentuknya dapat dibagi menjadi enam bentuk, yaitu leksikon 1) ngoko, 2) madya, 3) karma, 4) karma andhap, 5) karma inggil, 6) netral. 2)
Pembagian Tingkat Tutur Bahasa Jawa Tingkat tutur bahasa Jawa dikenal dengan istilah undha- usuk Basa Jawa atau unggah-ungguh basa Jawa, yaitu tingkat penghormatan atau kesopanan yang dibedakan dalam bentuk pembedaan kata dalam tuturan.
Ada dua golongan undha-usuk basa Jawa yaitu, undha – usuk basa Jawa jaman kejawen dan undha-usuk basa jaman modern.Kedua golongan tersebut memilah milah bentuk basa menjadi tingkatan – tingkatan yang berbeda. Undha-usuk basa jaman Kejawen menyebutkan adanya enam tingkat basa berdasar kesopanannya yaitu, 1) basa ngoko terdiri dari ngoko lugu dan ngoko andhap, ngoko andhap juga terbagi menjadi dua, antya basa dan basa antya, 2) Basa Madya, terdiri dari madya ngoko, madyantara daan madya krama, 3) Basa Krama desa, 4) Basa Krama, terdiri dari mudha krama, kramantara, dan wredha krama, 5) Basa Krama Inggil, 6) Basa Kedhaton. Sedangkan undha – usuk basa jaman modern membagi tingkatan basa menjadi dua tingkat, yaitu 1) Basa Ngoko, terdiri dari Ngoko Lugu dan Ngoko Alus, 2) Basa Krama, terdiri dari Krama Lugu dan Krama Alus. Metode Quantum Learning 1.
Pengertian Quantum Learning Quantum learning merupakan pendekatan atau strategi belajar yang dapat
mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang ditawarkan dalam quantum learning merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun demikian, Bobbi de Porter dan Mike Hernacki mengembangkan teknikSeminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 249
teknik tersebut dengan sasaran akhir ditujukan untuk membantu peserta didik responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas. (Mulyasa, 2016:78). Proses pembelajaran dalam quantum learning tidak bisa dianggap mudah dan sederhana dengan hanya mempertimbangkan aspek peserta didik secara fisik, materi ajar dan ruang kelas, tetapi menuntut persiapan yang matang, dan mengkaji berbagai hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Berbagi hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran tersebut seperti keberadaan dan ketenlibatan otak kanan, otak kin, otak tengah, otak atas, dan otak bawah secara optimal, serta gaya belajar peserta didik; yang kesemuanya itu belum ditemukan secara utuh kontribusinya terhadap proses dan hasil belajar. Jadi quantum learning dapat dimaknai sebagai belajar dengan memperhatikan beragam cara atau belajar dengan cara yang bervariasi (Andayani, 2014: 216).
2.
Langkah-langkah Quantum Learning Langkah-langkah praktis pembelajaran melalui konsep quantum learning
menurut De Porter, Bobbi, dan Mike Hernachi (2009) dalam Agus N. Cahyo (2013:276279), adalah sebagai berikut: a.
Kekuatan Ambak
Ambak adalah motivasi yang didapat dan pemilihan secara mental antara manfaat dan akibat-akibat suatu keputusan. Motivasi sangat diperlukan dalam belajar karena dengan adanya motivasi maka keinginan untuk belajar akan selalu ada. Pada langkah ini, siswa akan diberi motivasi oleh guru agar siswa dapat mengidentifikasi dan mengetahui manfaat atau makna dan setiap pengalaman atau peristiwa yang dilaluinya dalam hal mi adalah proses belajar. b.
Penataan Lingkungan Belajar Dalam proses belajar dan mengajar, diperlukan penataan lingkungan yang
dapat membuat siswa merasa aman dan nyaman. Perasaan aman dan nyaman mi akan
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 250
menumbuhkan konsentrasi belajar siswa yang baik. Dengan penataan lingkungan belajar yang tepat juga dapat mencegah kebosanan dalam din siswa. c.
Memupuk Sikap Juara Memupuk sikap juara perlu dilakukan untuk lebih memacu daam belajar
siswa, seorang guru hendaknya jangan segan-segan untuk memberikan pujian atau hadiah pada siswa yang telah berhasil dalam belajarnya, tetapi jangan pula mencemooh siswa yang belum mampu menguasal materi. Dengan memupuk sikap juara ml siswa akan merasa lebih dihargai. d. Bebaskan Gaya Belajarnya Ada berbagal macam gaya belajar yang dipunyai oleh siswa, gaya belajar tersebut yaitu: visual, auditorial, dan kinestetik. Dalam quantum learning, guru hendaknya memberikan kebebasan dalam belajar pada siswanya dan janganlah terpaku pada satu gaya belajar saja. e.
Membiasakan Mencatat Belajar akan benar-benar dipahami sebagai aktivitas kreasi ketika siswa
tidak hanya bisa menerima, melainkan bisa mengungkapkan kembali apa yang didapatkan menggunakan bahasa hidup dengan cara dan ungkapan sesuai gaya belajar siswa itu sendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan simbol-simbol atau gambar yang mudah dimengerti oleh siswa itu sendiri, simbol-simbol tersebut dapat berupa tulisan atau yang lainnya. f.
Membiasakan Membaca Salah satu aktivitas yang cukup penting adalah membaca. Karena dengan
membaca akan menambah perbendaharaan kata, pemahaman, menambah wawasan dan daya ingat. Seorang guru hendaknya membiasakan siswa untuk membaca, baik buku pelajaran maupun buku-buku yang lain. g.
Jadikan Anak Lebih Kreatif
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 251
Siswa yang kreatif adalah siswa yang ingin tahu, suka mencoba, dan senang bermain. Dengan adanya sikap kreatif yang balk, siswa akan mampu menghasilkan ide-ide yang segar dalam belajarnya. h.
Melatih Kekuatan Memori Kekuatan memori sangat diperlukan dalam belajar anak, sehingga siswa perlu dilatih untuk mendapatkan kekuatan memori yang baik.
4.
Prinsip Quantum Learning M. Hosnan (2014:358-359), menjelaskan prinsip pembelajaran quantum sebagai berikut : a. Prinsip utama pembelajaran kuantum: “Bawalah dunia mereka (pembelajar) dalam dunia kita (pengajar), dan antarkan dunia kita (pengajar) ke dalam dunia mereka (pembelajar)”. Setiap bentuk interaksi dengan pembelajai setiap rancangan kurikulum, dan setiap metode pembelajaran hams dibangun di atas prinsip utama tersebut. Prinsip tersebut menuntut pengajar untuk memasuki dunia pembelajar sebagai langkah pertama pembelajaran, selain juga mengharuskan pengajar untuk membangunjembatan autentik memasuki kehidupan pembelajar. Untuk itu, pengajar dapat memanfaatkan pengalaman-pengalaman yang dimiliki pembelajar sebagai tolaknya. Dengan jalan ini, pengajar akan mudah membelajarkan pembelajar, baik dalam bentuk memimpin, mendampingi, dan memudahkn pembelajar menuju kesadaran dan ilmu yang lebih luas. Jika hal tersebut dapdlaksanakan, maka pembelajar maupun pembelajar akan memperoleh pemahaman baru. Di samping berarti dunia pembelajar diperluas, hal ini juga berarti dunia pengajar diperluas. Disinilah dunia kita menjadi dunia bersama pengajar dan pembelajar. Inilah dinamika pembelajaran manusia selaku pembelajar. b. Dalam pembelajaran kuantum juga berlaku prinsip bahwa proses pembelajaran merupakan permainan orkestra simfoni. Selain memiliki lagu atau partitur, pemainan simfoni ini memiliki struktur dasar chord. Struktur dasar chord ini dapat disebut prinsipprinsip dasar pembelajaran kuantum. c. Dalam pembelajaran kuantum juga berlaku prinsip bahwa pembelajaran harus berdampak bagi terbentuknya keunggulan. Dengan kata lain, pembelajaran perlu
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 252
diartikan sebagai pembentukan keunggulan. Oleh karena itu, keunggulan mi bahkan telah dipandang sebagai jantung fondasi pembelajaran kuantum. Ada tujuh prinsip keunggulan yang juga disebut tujuh kunci keunggulan yang. diyakini dalam pembelajaran kuantum. Tujuh kunci keunggulan itu adalah sebagai berikut. 1) Terapkanlah Hidup dalam Integritas Dalam pembelajaran, bersikaplah apa adanya, tulus, dan menyeluruh yang lahir ketika nilai-nilai dan perilaku kita menyatu. Hal mi dapat meningkatkan motivasi belajar yang pada gilirannya mencapai tujuan belajar. Dengan kata lain, integritas dapat membuka pintujalan menuju prestasi puncak. 2)Akuilah Kegagalan Dapat Meinbawa Kesuksesan Dalam pembelajaran, kita harus mengerti dan mengakui bahwa kesalahan atau kegagalan dapat memberikan informasi kepada kita yang diperlukan untuk belajar lebih lanjut sehingga kita dapat berhasil. Kegagalanjanganlah membuat cemas terusmenerus dan diberi hukuman karena kegagalan merupakan tanda bahwa seseorang telah belajar. 3) Berbicaralah dengan .Niat Baik Dalam pembelajaran, perlu dikembangkan keterampilan berbicara dalam arti positif dan bertanggungjawab atas komunikasi yang jujur dan langsung Niat baik berbicara dapat meningkatkan rasa percaya din dan motivasi belajar pembelajar. 4) Tegaskanlah Komitmen Dalam pembelajaran, baik pengajar maupun pembelajar harus mengikuti visi misi tanpa ragu-ragu, tetap pada rel yang telah ditetapkan. Untuk itu, mereka perlu melakukan apa saja untuk menyelesaikan pekerjaan. Di sinilah perlu dikembangkan slogan, “Saya harus menyelesaikan pekerjaan yang memang hams saya selesaikan, bukan yang hanya saya senangi”. 5) Jadilah Pemilik
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 253
Dalam pembelajaran harus ada tanggungjawab. Tanpa tanggungjawab tidak mungkin terjadi pembelajaran yang bermakna dan bermutu. Karena itu, pengajar dan pembelajar harus bertanggungjawab atas apa yang menjadi tugas mereka. Mereka hendaklah
menjadi
manusia
yang
dapat
diandalkan,
seseorang
yang
bertanggungjawab. 6) Tetaplah Lentur Dalam pembelajaran, pertahankan kemampuan untuk mengubah yang sedang dilakukan untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Pembelajar, lebih-lebih pengajar, harus pandai-pandai membaca lingkungan dan suasana, dan hams pandai-pandai mengubah lingkungan dan suasana bilamana diperlukan. Misalnya, di kelas, guru dapat saja mengubah rencana pembelajaran bilamana diperlukan demi keberhasilan siswa-siswanya;jangan mati-matian mempertahankan rencana pembelajaran yang telah dibuat. 7) Pertahankanlah Keseimbangan Dalam pembelajaran, pertahankanjiwa, tubuh, emosi, dan semangat dalam satu kesatuan dan kesejajaran agar proses dan hasil pembelajaran efektif dan optimal. Tetap dalam keseimbangan merupakan proses berjalan yang membutuhkan penyesuaian terus-menerus sehingga diperlukan sikap dan tindakan cermat dan pembelajar dan pengajar.
PENUTUP A. Kesimpulan 1.
Penerapan metode Quantum Learning dapat meningkatkan proses pembelajaran
ketrampilan berpidato Krama Alus siswa kelas IXA SMP Negeri 1 Blora. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan dalam penelitian, pada kondisi pra siklus (pembelajaran konvensional) rata-rata siswa yang mempunyai motivasi tinggi terdapat 1,8%, kemudian dilakukan pembelajaran dengan metode Quantum Learning pada siklus I menjadi 42%, dan pada siklus II meningkat menjadi 78,6%. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 254
2.
Penerapan metode Quantum Lerning dapat meningkatkan ketrampilan berpidato
Krama Alus siswa kelas IXA SMP Negeri 1 Blora. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian dalam penelitian, pada kondisi pra siklus (pembelajaran konvensional) nilai rata-rata siswa mencapai 64,5, kemudian dilakukan pembelajaran dengan metode Quantum Learning pada siklus I menjadi 73,8, dan pada siklus II meningkat menjadi 79,8. B. Saran Berbagai aspek ketrampilan siswa perlu diasah, guna mempersiapkan masa depan yang lebih optimal. Demikian halnya dalam pembelajaran bahasa Jawa yang sekaligus melestarikan budaya, sangat perlu dipupuk agar tidak tergerus oleh perkembangan budaya di jaman yang semakin modern. Keberhasilan dalam pembelajaran, khususnya berpidato Krama Alus, tidak bisa diajarkan kepada siswa dengan cara yang konvensional, karena hal ini akan berdampak tidak optimalnya hasil belajar siswa. Pembelajaran harus diberikan melalui berbagai cara yang mampu melibatkan siswa secara aktif. Salah satu cara yang bisa diterapkan adalah melalui penggunaan metode Quantum Learning.
DAFTAR PUSTAKA Cahyo, Agus N. 2013. Panduan Aplikasi Teori-teori Belajar Mengajar Teraktual dan Terpopuler. Jogjakarta : Diva Press. Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21.Bogor: Ghalia Indonesia. Khodijah, Nyayu. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mulyasa. 2016. Implementasi Kurikulum 2013. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset. Cet. 3 Ngalimun dan Noor Alfulaila. 2014. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Indonesia. Yogyakarta : Aswaja Pressindo Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Penilaian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta : BPFEYogyakarta. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 255
Tarigan, Henry Guntur. 2015. Berbicara sebagai suatau keterampilan berbahasa. Bandung : CV Angkasa
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 256
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM NOVEL SREPEG TLUTUR KARYA TIWIEK SA Gayuh Risdian Saputro, Suyitno, Muhammad Rohmadi email :
[email protected]
Abstrak : Kekerasan terhadap perempuan mengacu pada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan dalam karya sastra. Kekerasan terjadi karena adanya ketidakadilan gender. Ketidakadilan terhadap kaum perempuan melahirkan gerakan feminisme, yaitu gerakan kaum wanita dalam memperjuangkan kesetaraan atau persamaan derajat dengan kaum laki-laki, dan bukan ditujukan untuk melakukan perlawanan terhadap laki-laki. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tindakan kekerasan yang terdapat pada novel Srepeg Tlutur karya Tiwiek SA serta faktor yang menyebabkan adanya tindak kekerasan. Analisis
ini
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan feminisme. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya tindak kekerasan dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya kekerasan. Kata kunci : feminisme, ideology patriarki, perempuan
1. Pendahuluan Kekerasan bisa terjadi dimana saja dan terhadap siapa saja. Dewasa ini kekerasan sering terjadi terhadap perempuan. Hal ini tidak bisa lepas dari sistem keluarga patriarki yang dimana kekerasan lebih banyak dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Patriarki akan menimbulkan diskriminasi dan dominasi lakilaki terhadap perempuan. Herkiswono (2000:76) menyatakan hal yang sama bahwa patriarki merupakan sebuah struktur yang menghimpit perempuan. Adanya sistem patriarki tersebut akan memberikan kekuasaan kepada laki-laki dan menyebabkan perempuan dalam posisi yang lemah dan menjadi sasaran tindak kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik maupun psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi (Mufidah, 2004:146; Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 257
Subhan, 2004:7). Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan menurut Humn (dalam Darni, 2012:9) antara lain berupa pemerkosaan, pemukulan, incest (hubungan dengan anak kandung), pelecehan seksual dan pornografi. Irianto (dalam Darni, 2012:9-10) menambahkan bahwa kekerasan dapat terjadi di dalam rumah tangga, kerusuhan massal, konflik bersenjata, incest, pacar yang ingkar janji, dan perampokan. Selain itu kekerasan juga tidak hanya melukai fisik, namun juga melukai kondisi psikologis perempuan. Dalam masyarakat Jawa, sebagian besar perempuan hanya dipandang sebelah mata oleh kaum laki-laki. Perspektif ini menempatkan perempuan Jawa sebagai perempuan yang berkedudukan lebih rendah daripada laki-laki, seperti dalam hal perkawinan, pekerjaan, dan pergaulan. Perempuan sama sekali tidak diberi kesempatan dalam berinisiatif. Setinggi apapun pendidikan yang dimiliki, perempuan tetap berada di belakang, mengerjakan pekerjaan dapur dan rumah tangga. Pada dasarnya, perempuan dan laki-laki memang berbeda secara fisik dan kodrat. Secara fisik laki-laki memang memiliki keunggulan bentuk tubuh dan tenaga yang kuat dari pada perempuan, sehingga laki-laki dipandang sebagai lebih dominan dari pada perempuan. Perbedaan tersebut mengakibatkan perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki, sehingga seringkali perempuan mengalami tindak kekerasan oleh kaum laki-laki. Persoalan perempuan dengan segala keberadaan dan problematikanya menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan dalam karya sastra, terutama sastra Jawa. Berbagai persoalan terhadap perempuan dalam realitas sosial ikut membentuk terciptanya karya sastra. Dalam sastra Jawa sendiri telah banyak menghasilkan karya sastra yang mengangkat segala permasalahan perempuan, seperti Astirin Mbalela (Suparto Brata), Nona Sekretaris (Suparto Brata), Jemini (Suparto Brata), Sawise Langite Katon Biru (Yunani), Kinanthi (Margareth Widhi Pratiwi), Carang-carang Garing (Tiwiek SA), Piwelinge Puranti (Tiwiek SA), dan Alun Samudra Rasa (Ardini Pangastuti Bn). Tidak sedikit karya sastra
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 258
tersebut membahas mengenai bias gender, eksistensi, penindasan, dan perjuangan perempuan. Berbagai persoalan mengenai penindasan yang mengarah ke fisik maupun psikis sering bermunculan dalam karya sastra. Segala bentuk persoalan selalu mengungkap penggambaran atau kritik sosial perempuan yang tertindas oleh budaya patriarki. Dalam kondisi tersebut perempuan tersubordinasi sehingga memiliki fungsi, peran, dan kedudukan yang secara stereotip relatif rendah. Hal tersebut tidak lepas dari realita yang ada dalam kehidupan. Melalui karya sastra inilah, pengarang berusaha mengungkapkan segala bentuk pemikirannya terkait persoalan yang terjadi dalam kehidupan. Perbedaan gender antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki melahirkan ketidakadilan bagi kaum perempuan (Fakih, 1996). Segala bentuk ketidakadilan terhadap perempuan melahirkan gerakan feminisme, yaitu suatu gerakan kaum perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan atau persamaan derajad dengan kaum laki-laki, dan bukan ditujukan untuk melakukan perlawanan terhadap laki-laki. Dalam kajian sastra, feminisme berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada perempuan. Pembahasan citra perempuan dalam analisis kritik sastra feminis sesuai dengan konsep yang diungkapkan Ruthven mengenai images of women. Konsep tersebut menjelaskan bahwa teks sastra dapat digunakan sebagai bukti dalam melihat jenis dan bentuk peran yang disediakan untuk perempuan. Dengan demikian, images of women merupakan usaha transdisipliner yang menempatkan perempuan sebagai jenis interteks yang ditulis dalam hubungan berbagai hal (Sugihasrtuti dan Purwanti, 2010:59). Pembicaraan terhadap kritik sastra feminis tentu tidak bisa dilepaskan dari gerakan feminisme sebagai tumpuannya. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajad perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajad laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara, salah satunya adalah memperoleh Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 259
hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-laki (SoenarjatiDjajanegara, 2000:4). Showalter (dalam Endraswara, 2011:149) menegaskan bahwa analisis feminisme sastra perlu menelusuri lebih jauh tentang : (1) perbedaan hakiki antara bahasa penulis pria dan wanita, perbedaan tersebut akan dipengaruhi oleh konteks budaya yang ditakdirkan berbeda, (2) seberapa jauh pengaruh budaya yang melakati pada wanita dan laki-laki dalam sebuah sastra. 2. Permasalahan Berdasarkan telaah latar belakang seperti yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut : 1. Tindak kekerasan apa yang terjadi dalam novel Srepeg Tlutur karya Tiwiek SA? 2. Apa yang menyebabkan adanya tindak kekerasan dalam novel Srepeg Tlutur karya Tiwiek SA?
3. Metode Penelitian Penelitian karya sastra merupakan penelitian yang berupa kata-kata, bukan merupakan penelitian yang berupa angka-angka. Untuk itu, pendekatan yang sesuai dengan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari manusia yang bisa diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2005:4). Penelitian ini menggunakan pendekatan feminisme. Pendekatan feminisme merupakan pendekatan yang menekankan pada penelitian tentang perempuan yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat. Feminisme dalam penelitian sastra dianggap sebagai gerakan kesadaran terhadap pengabaian dan eksploitasi perempuan dalam masyarakat seperti tercermin dalam karya sastra (Sugihastuti, 2009:89). Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 260
Data yang dijadikan objek penelitian adalah bagian-bagian teks novel Srepeg Tlutur karya Tiwiek SA yang memperlihatkan peristiwa-peristiwa bentuk pengaruh kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, faktor yang memengaruhi serta sikap tokoh perempuan dalam menghadapi kekuasaan laki-laki.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Salah satu penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah bagaimana cara pandang laki-laki terhadap perempuan, peran yang dibawa perempuan dalam masyarakat, dan pendidikan serta kemisknan pada perempuan tersebut. Pandangan rendah dari kaum laki-laki terhadap perempuan menganggap perempuan hanya sebagai pelengkap dan berkedudukan lebih rendah dari pada lakilaki tersebut. Pandangan laki-laki terhadap perempuan tersebut tidak selalu diungkapkan dengan kata-kata. Sebagian besar pandangan tersebut tercermin akan suatu tindakan atau perlaku dalam interaksinya terhadap perempuan. Salah satu contoh adalah pandangan laki-laki terhadap perempuan sebagai objek seks. Hal tersebut tampak pada kutipan di bawah ini : “Bapak badhe menapa? Kula aturi jengkar kemawon Pak.” pangrimuke kanthi swara geter. “Sih, je..nengmu…Mun..Munarsih ya..? swara lanang iki ora kurang kedhere. Kedher semu gemeter! Banjur,” Sih.. kowe ngerti. Tetaunan iki saploke ibumu wis luwas sari lan banjur lara-laranen..aku..aku sasat ora net kumpul karo wanita. Ibumu wis dadi gunung es, Sih. Njur aku, aku dhewe ya meh ketularan dadi gunung es pisan…” “Pak, kula suwun Bapak kersa jengkar. Kula ngangge rasukan rumiyin, mangke Bapak saged ngendikan menapa kemawon.” panundhunge Munarsih kanthi ucap ngemu tangis. Nanging priyayi kakung ing mburine sajak ora ngrewes (SA: 2017:20-21).
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 261
“Bapak mau apa? Saya anjurkan pergi saja, Pak.” pintanya dengan suara gemetar. “Sih, namamu..Mun..Munarsih ya? suara lelaki itu tidak kalah gemetarnya. Lalu, “ Sih, kamu tahu. Bertahun-tahun setelah ibumu sudah tidak datangbulan dan selalu sakit-sakitan, aku..aku sudah tidak lagi kumpul dengan perempuan. Ibumu sudah menjadi gunung es, Sih. Dan aku, aku sendiri juga hampir ikut tertular seperti gunung es.” “Pak, saya minta Bapak mau keluar. Saya pakai baju dulu, nanti bapak bisa berbicara apa saja.” usir Munarsih dengan suara tangisnya (SA, 2017:20-21).
Pak Silungga terbawa nafsu saat memandang Munarsih, anak pembantunya yang pada wkatu itu ikut menyusul ibunya karena baru saja lulus dari SPG. Munarsih yang hanya wanita desa dan anak seorang pembantu telah direndahkian harga dirinya oleh pak Silungga. Ketiak keadaan rumah sepi dan hanya ada Munarsih, pak Silungga memanfaatkan kesempatan itu dengan melakukan tindak kekerasan. Si kakung sing ora liya pak Silungga bose PT Indah Karya kang nduwe kantor ing lurung Raden Saleh iku ngrasa marem ngepol. Lagi iki ngrasa pulih kekuwatane kadidene priyayi kakung sawise tetaunan kober dadi gunung es. Sauntara Mnarsih sing rumangsa rusak angga lan jiwane mung bisa nangis keranta-ranta nggetuni lelakone (SA, 2017:22).
Si pria yang tidak lain adalah pak Silungga bos PT Indah Karya yang memiliki kantor di jalan Raden Saleh itu merasa puas. Baru kali ini pulih kekuatannya sebagai lelaki yang bertahun-tahun mejadi gunung es. Sementara Munarsih yang merasa rusak jiwa raganya hanya bisa menangis menyesali perbuatannya (SA, 2017:22).
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 262
Kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pak Silungga terbukti melakukan tindak kekerasan terhadap Munarsih. Bentuk kekerasan tersebut dilakukan dengan memperkosa Munarsih yang dianggap rendah dimatanya. Minarsih hanyalah gadis desa lulusan SPG yang waktu itu mengunjunjgi ibunya yang bekerja sebagai pembantu di Surabaya. Ternyata di kota Pahlawan itu dia menemui kehidupan kelam akibat diperkosa pak Silungga, majikan ibunya. Akibat dari perbuatan majikannya ibunya itu, Munarsih positif hamil. Melihat kondisinya yang hamil tersebut, Munarsih menceritakan tragedi yang dia alami ke Priyadi, calon suami Munarsih yang lebih dulu lulus dan menjadi guru. Mendengar cerita Munarsih membuat Priyadi semakin nekat. Dia mengajak Munarsih menemui pak Silungga untuk minta pertanggungjawaban atas perbuatannya dengan cara menikahi Munarsih. Priyadi juga mengancam pak Silungga jika tidak mau bertanggung jawab akan menyebarkan perbuatannya ke media. Dengan terpaksa dan demi menyelamatkan kariernya, pak Silungga bersedia menikahi Muanrsih. Munarsih kaca-kaca mripate. Ngondhok-ondhok rasane. Batine nguwuh, - Mas Pri, pandongamu kasil. Lelabuhanmu ora muspra. Pak Silu pranyata netepi janjine. Nanging…apa bisa mulya uripku ing sisihe priya sing ora daktresnani?“Ngapa kowe nangis Sih? Apa kowe ora seneng krungu kabar apik iki? Kudune kowe bungah. Arang lo anak babu dirabi anak bendara.” panyendhuke simboke. Munarsih ora nanggapi. Mung tumungkul, ngumbar eluhe ketes nelesi pangkon (SA, 2017:78).
Mata Munarsih berkaca-kaca. Sedih rasanya. Hatinya kacau, - Mas Pri, doamu terkabulkan. Usahamu tidak sia-sia. Pak Silu ternyata menepati janjinya. Tetapi, apa bisa hidup bahagia di samping orang yang tidak saya cintai?“Kenapa kamu menangis, Sih? Apa kamu tidak suka mendengar kabar bagus ini? Seharusnya kamu senang. Jarang lo anak pembantu dinikahi
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 263
anak juragan.” kata ibunya. Munarsih tidak berkomentar. Hanya terpukul, membiarkan air matanya jatuh di apngkuannya (SA, 2017:78).
Munarsih hanya bisa pasrah ketika dia dilamar oleh orang yang tidak dia cintai selama hidupnya. Pak Silungga memanfaatkan anaknya, Diyantoro untuk menikahi Munarsih. Hal ini dilakukan untuk menutupi aib yang dilakukan pak Silungga. Selain itu juga untuk menyelamatkan karier pak Silungga sebagai orang terhormat. Diyantoro yang semula tidak mau menikahi Munarsih akhirnya dengan terpaksa dia bersedia. Diyantoro tidak ingin melihat ayahnya bunuh diri karena perbuatannya itu. Faktor kekuasaan laki-laki terhadap perempuan adalah bentuk patriarki yang tertanam dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari segi status sosial Munarsih yang hanyalah anak pembantu dengan anak pak Silungga yang merupakan majikan dari ibunya Munarsih. Adanya pandangan rendah terhadap perempuan membuat beban psikologis Munarsih semakin tertekan. Munarsih nyoba dadi ibu rumah tangga sing becik. Lan uga nresnani bojone. Senajan sing niyat ditresnani ora pati aweh kawigaten, mung yen kapinujon ana tamu, utawa pas neng sangarepe para karyawankaryawane, tangkebe Diyantoro marang Munarsih sajak kumraket lan gemati. Bubar kuwi dadi sepa maneh (SA, 2017:99).
Munarsih mencoba menajadi ibu rumah tangga yang baik. Dan juga mencintai suamuinya. Meskipun yang dicintai tidak memberikan perhatian, hanya kalau kebetulan ada tamu atau di depan karyawankaryawannya, sikap Diyantoro terhadap Munarsih terlihat akrab dan perhatian. Setelah itu kembali dingin lagi (SA, 2017:99).
Meskipun hidup dalam kemewahan dan serba kecukupan, hal tidak membuat Munarsih merasa bahagia, namun malah sebaliknya. Munarsih mengalami guncangan jiwa yang begitu hebat. Kesehatannya mulai terabaikan. Tubuhnya Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 264
semakin kurus, padahal dia dalam keadaan hamil. Sikap suaminya yang dingin dan tidak menunjukkan kasih sayang itu membuat hatinya semakin pedih. Pernah pada suatu malam Munarsih menunggu kedatangan suaminya. Begitu datang, Diyantoro dalam keadaan mabuk. Bukan kebahagiaan yang diterima melainkan adalah cacian dan kata-kata kotor. Hal tersebut dapatdilihat pada kutipan di bawah ini : “Ora sah guneman neka-neka. Kowe ora wenang ngarubiru apa bae sing daktindakake. Arep nagihi kek, arep mabuk kek, iku urusanku. Kowe ora sah melu-melu. Lan kowe kudu ngrumangsani olehmu manggon neng kene ora saka karepku. Aja mesakake Bapak, suthik aku ngawini kowe!” ucape Diyantoro sereng lan nyerikake (SA, 2017:101). “Tidak usah banyak bicara. Kamu tidak berhak mengatur apa saja yang aku lakukan. Mamu mebuat ketagihan, mau memabukkan, itu urusanku. Kamu tidak perlu ikut-ikut. Dan kamu harus menyadari bahwa kamu berada disini bukan kemauanku. Kalau tidak kasihan kepada Bapak, aku tidak sudi mengawinimu!” ucap Diyantoro penuh kebencian (SA, 2017:101).
Sebagai seorang istri dari direktur, Munarsih hanya berada di dalam rumah. Dia tidak ikut berperan dalam mencari nafkah. Munarsih menunjukkan sesosok perempuan yang mandiri dan tegar. Meskipun dia menyadari bahwa perkawinannya tersebut merupakan sandiwara untuk menutupi aib pak Silungga, namun Munarsih tidak pernah menuntut apa-apa terhadap suaminya. Munarsih selalu menunjukkan sikap tegar meskipun kondisi tubuhnya sangat memprihatinkan. Hingga suatu saat dia akan melahirkan, Diyantoro tidak berada di rumah. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini : Sauntara kuwi, ing omah kahanane Munarsih tansaya memelas. Awake kuru, praupane pucet lan cowong. Igane gegambangan. Wetengte tansaya gedhe. Manut katrangane bidhan sing mriksa, mbokmenawa sawetara dina maneh babaran (SA, 2017:108). Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 265
Sementara itu, di rumah keadaan Munarsih tambah memprihatinkan. Badannya kurus, wajahnya pucat. Perutnya semakin membesar. Menurut keterangan bidan yang memerikanya, mungkin beberapa hari lagi akan melahirkan (SA, 2017:108).
Nasib Munarsih semakin memprihatinkan. Disaat dia butuh suami untuk menunggu prosesi kelahiran, Munarsih malah ditelantarkan suaminya yang selalu menghamburkan uang demi mencari kepuasan diri. Pada akhirnya Munarsih berhasil melahirkan, namun hanya beberapa saat nyawa anaknya tidak bisa diselamatkan.
5. Kesimpulan Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian tentang kekerasan terhadap perempuan dalam novel Srepeg Tlutur karya Tiwiek SA dengan menggunakan kajian feminsime, dapat dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Pertama adanya tindak kekerasan yang terjadi terhadap perempuan, yaitu tindakan kekerasan secara fisik, yaitu Munarsih telah dihamili oleh majikan ibunya dan kekerasan secara psikologis, yaitu Munarsih harus dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintai dan setelah menikah tidak pernah merasakan kebahagiaan karena tekanan psikologis. Adapun faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan pada penelitian ini adalah adanya pandangan rendah laki-laki terhadap perempuan, peran perempuan dalam masyarakat, serta kemiskinan yang dialami perempuan. Ketiga hal tersebut memicu adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Daftar Pustaka Darni. 2012. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Fiksi Jawa Modern. Surabaya : Putra Media Nusantara Endraswara, Suwardi. 2012. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : CAPS Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 266
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Herkiswono, Harkistuti. 2000. “Perempuan dan Hak Azasi Manusia dalam Perspektif Yurds. Dalam : Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan. Yakarta : Yayasan Yurnal Perempuan Mufidah, 2004. Paradigma Gender. Malang : Bayumedia SA, Tiwiek. 2017. Srepeg Tlutur. Yogyakarta : Azza Grafika Soenarjati-Djajanegara. 2000. Kritik Sastra Feminis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Subhan, Zaitunah. 2014. Kekerasan terhadap Perempuan. Yogyakarta : Pustaka Pesantren. Sugihastuti. 2009. Rona Bahasa dan Sastra Indonesa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sugihasrtuti dan Purwanti. 2010. Membongkar Androsentrisme dalam Prosa Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta : Lembah Manah.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 267
Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw pada Materi Novel Berbahasa Jawa Eko Gunawan
[email protected]
ABSTRAK Novel sebagai satu bentuk karya sastra menjadi salah satu materi pada pembelajaran Bahasa Jawa di tataran SMA. Terdapat banyak nilai kehidupan yang terkandung dalam novel yang akan diketahui hanya dengan membaca dan menelaahnya. Perlu diterapkan strategi yang tepat untuk mencapai kompetensi pada materi novel berbahasa Jawa. Kompetensi tersebut adalah menelaah dan menceritakan petikan teks novel. Di antara pilihan strategi yang bisa diterapkan adalah pembelajaran kooperatif model jigsaw. Melalui pembelajaran kooperatif model jigsaw, selain menguasai materi novel berbahasa Jawa, peserta didik juga dilatih untuk memiliki rasa tanggung jawab, percaya diri, jujur, dan mampu bekerja sama dalam kelompok. Pada pembelajaran ini guru berperan sebagai fasilitator, memberi arahan, serta tempat peserta didik bertanya dan menyampaikan kesulitan saat melakukan kegiatan pembelajaran berlangsung. Kata Kunci: Pembelajaran kooperatif, model jigsaw, novel jawa
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 268
PENDAHULUAN Implementasi Kurikulum 2013 membuat banyak penyesuaian dalam berbagai hal, termasuk pada mata pelajaran Mulok Bahasa Jawa. Implementasi Kurikulum 2013 Mulok Bahasa Jawa bertujuan agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai berikut: (1) menjaga dan memelihara kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa sehingga menjadi faktor penting untuk peneguhan jati diri daerah; (2) menyelaraskan fungsi bahasa, sastra, dan aksara Jawa dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan arah pembinaan bahasa Indonesia; (3) mengenali nilainilai estetika, etika, moral dan spiritual yang terkandung dalam budaya Jawa untuk didayagunakan sebagai upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional; dan (4) mendayagunakan bahasa, sastra, dan aksara Jawa sebagai wahana untuk pembangunan karakter dan budi pekerti. Selaras dengan tujuan implementasi kurikulum muatan lokal tersebut, isi materi pelajaran Bahasa Jawa mencakup materi antara lain bahasa Jawa, sastra Jawa, aksara Jawa, dan budaya Jawa. Salah satu materi yang dipelajari adalah novel berbahasa Jawa yang merupakan bagian dari sastra Jawa. Kata novel berasal dari bahasa Latin novellas yang terbentuk dari kata novus yang berarti baru. Mengapa disebut baru? Karena novel merupakan karya sastra yang muncul setelah adanya karya sastra lainnya seperti puisi dan drama. Juga ada yang menyebutkan, novel berasal dari bahasa Itali novella, artinya baru, seperti kata novus dari bahasa Latin. Novel juga diartikan sebagai karangan yang lebih pendek daripada roman, akan tetapi lebih panjang daripada cerpen. Novel merupakan cerita rekaan yang menyajikan kehidupan manusia secara mendalam yang selalu berubah dan mewujudkan kesatuan dinamis yang mengandung makna (Santosa dan Wahyuningtyas, 2010). Memperhatikan definisi tersebut, melalui novel peserta didik dapat mempelajari banyak hal. Nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya tidak akan bisa diketahui tanpa membaca dan mengkajinya. Melalui kegiatan membaca peserta didik diarahkan untuk menelaah teks bacaan pada novel, sedangkan kegiatan mengkaji dilakukan dengan menelaah isi dan struktur pembangun novel. Novel pada Kurikulum 2013 Muatan Lokal Bahasa Jawa Provinsi Jawa Tengah termasuk materi tataran SMA, tidak pada tataran SMP apalagi SD. Ini Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 269
mengingat bahwa dibandingkan dengan karya berupa prosa lain seperti cerkak, cerbung, atau cerita rakyat, novel memiliki tingkat kesulitan dan tantangan yang lebih tinggi, terlebih novel berbahasa Jawa. Untuk bisa mengkaji satu novel secara menyeluruh, peserta didik membutuhkan usaha dan kerja keras yang lebih dibandingkan mengkaji cerpen ataupun cerita rakyat. Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran materi novel pada pembelajaran Bahasa Jawa bagi peserta didik SMA/ SMK/ MA. Terdapat beberapa inovasi pembelajaran yang sudah diterapkan pada pembelajaran novel. Sebagian di antaranya dengan menerapkan model mind mapping seperti yang dilaksanakan di SMAN 1 Rembang (Prasetyorini dalam Supriadi (ed.), 2016) dan menggunakan media komik berbasis Android (Lestari dan Sutrisno dalam Supriadi (ed.), 2016). Menambah inovasi yang sudah ada, paparan ini menyajikan pembelajaran kooperatif model jigsaw materi novel bahasa Jawa yang diterapkan di SMA Negeri 1 Wonosobo tahun pelajaran 2016/ 2017.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 270
PEMBAHASAN Materi Novel Berbahasa Jawa dan Tantangan Pembelajarannya Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra merupakan satu dari sejumlah materi ajar pada materi mata pelajaran Bahasa Jawa di SMA khususnya pada kelas XI. Materi novel dipelajari pada kelas XI semester gasal. Kompetensi dasar pada KI 3 materi ini adalah “Memahami isi petikan teks novel berbahasa Jawa,” sedangkan pada KI 4 adalah “Menceritakan isi petikan teks novel berbahasa Jawa.’ Kompetensi Dasar tersebut mengarahkan peserta didik untuk memiliki pengalaman belajar berupa menelaah isi petikan novel dan menceritakannya. Pengalaman belajar ini tidak akan peserta didik raih apabila guru kurang mampu memilih strategi pembelajaran yang tepat. Peserta didik sudah mengenal novel berbahasa Indonesia, tetapi belum tentu mereka mengenal novel berbahasa Jawa. Ini bisa dimaklumi. Novel berbahasa Jawa belum banyak beredar di toko-toko buku, perpustakaan umum, dan perpustakaan sekolah. Hal ini menjadikan novel bahasa Jawa kurang dikenal oleh sebagian peserta didik. Apabila membaca pun, peserta didik belum tentu langsung bisa memahami jalan cerita seutuhnya karena adanya kata-kata “asing” dalam novel. Belum tentu kata berbahasa Jawa dalam cerita merupakan kata-kata yang peserta didik digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dilihat dari sisi ketersediaan dan bahasa yang digunakan, ini sudah menjadi tantangan berat bagi peserta didik dalam mempelajari novel berbahasa Jawa. Apabila tidak diimbangi strategi pembelajaran yang tepat dari guru, akan mempersulit tercapainya kompetensi peserta didik. Apalagi jika guru masih menerapkan pembelajaran konvensional yang cenderung menggunakan metode ceramah seutuhnya tanpa ada interaksi dengan peserta didik. Guru membagikan petikan teks novel yang sama kepada seluruh peserta didik, atau menggunakan petikan novel yang ada pada buku/ LKS. Peserta didik dipandu untuk membaca, kemudian menjawab pertanyaan berdasar teks. Kemudian pembelajaran dicukupkan setelah kegiatan tersebut selesai. Apabila pelaksanaan hanya seperti ini sudah tentu tidak akan memberi pengalaman belajar kepada peserta didik. Perlu diterapkan pembelajaran inovatif, salah satunya menggunakan pembelajaran kooperatif model jigsaw. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 271
Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Slavin (dalam Isjoni, 2011: 15) mengemukakan “In cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially presented by in teacher. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran di mana sistem belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah 4—6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Uraian tersebut memberi deskripsi bahwa dalam pembelajaran kooperatif peserta didik tidak bekerja secara individu atau perseorangan, melainkan bekerja dan belajar dalam kelompok. Rusman (2013: 203) menyebutkan pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakan dengan pembelajaran kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prinsip dasar pokok sistem pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas lebih efektif. Dalam pembelajaran kooperatif proses pembelajaran tidak harus belajar dari guru kepada peserta didik. Peserta didik dapat saling membelajarkan sesama peserta didik lainnya. Pembelajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) lebih efektif daripada pembelajaran oleh guru. Terdapat beberapa hal penting dalam strategi pembelajaran kooperatif, yakni: (1) adanya peserta didik dalam kelompok, (2) adanya aturan main (role) dalam kelompok, (3) adanya upaya belajar dalam kelompok, (4) adanya kompetensi yang harus dicapai oleh kelompok. Paparan Rusman mengisyaratkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif tidak sekadar belajar bersama dalam kelompok, melainkan ada suatu target yang ingin dicapai oleh kelompok yang mengharuskan adanya peran dan andil anggota dalam kelompok tersebut. Terdapat beberapa model pembelajaran kooperatif, salah satunya adalah model jigsaw. Jigsaw adalah satu pendekatan dalam pembelajaran kooperatif di mana dalam penerapannya peserta didik dibentuk dalam kelompok-kelompok, tiap kelompok terdiri atas tim ahli sesuai dengan pertanyaan yang disiapkan oleh guru Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 272
maksimal lima pertanyaan sesuai dengan jumlah tim ahli. Model ini dikembangkan oleh Elliot Aronson. Model ini digunakan bila materi dikaji dalam bentuk narasi tertulis, misalnya pelajaran kajian sosial, sastra, dan beberapa bagian sains yang bertujuan untuk memperoleh konsep dan bukan keterampilan (Uno dan Mohamad, 2012: 110). Teks novel merupakan materi berbentuk narasi tertulis berupa teks sastra, sehingga tepat kiranya menerapkan model jigsaw. Berikut langkah-langkah pembelajaran kooperatif model jigsaw: (1) peserta didik dikelompokkan dengan anggota 4—6 orang, (2) tiap orang dalam tim diberi materi dan tugas yang berbeda, (3) anggota dari tim yang berbeda dengan penugasan yang sama membentuk kelompok baru (kelompok ahli). (4) setelah kelompok ahli berdiskusi, tiap anggota kembali ke kelompok asal dan menjelaskan kepada anggota kelompok tentang subbab yang mereka kuasai, (5) tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi, (6) pembahasan, dan (7) penutup. Pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw Materi Novel Berbahasa Jawa Pra-Pembelajaran Novel berbahasa Jawa bagi sebagian peserta didik merupakan suatu yang lebih sulit didapat daripada novel berbahasa Indonesia. Apabila peserta didik diperintahkan untuk mencari, mengkopi sebagian isi, atau membeli pun belum tentu bisa diraih dengan mudah. Akan lebih baik apabila guru sudah menyiapkan beberapa buah novel, yang nantinya salah satu akan dipilih untuk selanjutnya menjadi bahan kajian di kelas. Berbeda dengan novel berbahasa Indonesia yang tebalnya bisa mencapai 200, 300-an halaman, atau bisa lebih daripada itu, novel berbahasa Jawa tidak setebal itu. Novel yang tidak begitu tebal tidak akan memberatkan apabila diperbanyak untuk selanjutnya dikaji. Guna mengoptimalkan pencapaian kompetensi, adanya lembar kerja akan mempermudah guru mengondisikan peserta didik saat pembelajaran berlangsung. Pada pembelajaran novel melalui penerapan model jigsaw ini diperlukan lembar kerja, yang berisi rambu-rambu dalam menelaah isi novel. Terdapat dua lembar kerja yang hampir sama, yang digunakan peserta didik sebagai acuan. Lembar kerja pertama dikerjakan kelompok ahli, berisi analisis singkat bagian novel yang Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 273
ditelaah. Lembar kerja kedua dikerjakan saat anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal, berisi analisis novel secara menyeluruh. Berikut contoh format lembar kerja analisis petikan teks novel dan teks novel secara menyeluruh. ANALISIS PETHIKAN NOVEL “...” A. B. C. D. E.
Prakara Jroning Pethikan Novel Lakune Crita Prastawa Pokok Paraga lan Watake Latar 1. Wektu 2. Panggonan 3. Swasana
ANALISIS NOVEL “...” A. B. C. D. E. F.
Novel kang Dianalisis Tema Lakune Crita Prastawa Pokok Paraga lan Watake Latar Wektu, Panggonan, Swasana G. Piwulang kang Kinandhut H. Sinopsis
Bagan 1 Contoh Format Lembar Kerja Peserta Didik Selain menyiapkan lembar kerja, guru bisa menyiapkan contoh lembar hasil kerja berupa analisis novel yang sudah jadi. Lembar hasil kerja bisa merupakan sampel pekerjaan peserta didik periode sebelumnya atau guru sendiri yang menyiapkan. Berikut contoh lembar hasil kerja siswa untuk semakin memudahkan dalam mengarahkan peserta didik pada pembelajaran teks novel.
Bagan 2 Contoh Lembar Hasil Kerja Peserta Didik Pertemuan Pertama Pada awal pembelajaran, guru menyampaikan arah pembelajaran materi novel, kompetensi yang akan dicapai, indikator pembelajaran, serta kegiatan pembelajaran yang berlangsung selama dua pertemuan. Pada Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 274
pertemuan pertama guru juga menunjukkan beberapa novel berbahasa Jawa untuk menambah motivasi dan semangat peserta didik untuk mempelajarinya. Peserta didik dibagi menjadi kelompok masing-masing beranggotakan 5— 6 orang. Kelompok ini disebut sebagai kelompok asal. Pada kelompok asal guru membagi materi untuk masing-masing anggota. Setiap anggota kelompok mendapat tugas berbeda untuk membaca petikan teks novel. Satu novel dengan tebal 80—90an halaman dibagi menjadi lima atau enam bagian untuk setiap peserta didik. Banyaknya bagian yang dipelajari satu peserta didik bisa disesuaikan dengan ketebalan atau banyaknya halaman novel dan mempertimbangkan kemampuan kognisi siswa. Melalui pembagian tugas pada kelompok asal ini, masing-masing anggota kelompok memiliki tanggung jawab atas petikan teks novel bagiannya. Anggota kelompok asal dengan tanggung jawab petikan teks novel yang sama berkumpul membentuk kelompok baru. Kelompok baru ini disebut kelompok ahli. Selama alokasi waktu tertentu, misal selama 60—70 menit atau menyesuaikan, anggota kelompok ahli mendiskusikan isi petikan novel yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk mempermudah anggota kelompok ahli ini bekerja kelompok, guru memberikan lembar kerja analisis petikan teks novel. Masing-masing kelompok ahli menganalisis petikan teks berbeda dari novel yang dikaji. Pada kegiatan diskusi kelompok ahli, setiap anggota kelompok bekerja sama membahas dan menelaah isi petikan teks novel. Setiap anggota kelompok ahli dikondisikan untuk berusaha sebaik mungkin bisa memahami dan menguasai petikan teks novel tanggung jawabnya. Nantinya setelah kegiatan diskusi kelompok ahli selesai, anggota kelompok akan kembali ke kelompok asal. Proses diskusi pada kelompok asal ini merupakan kegiatan mengarah pencapaian KD pada KI 3, yaitu memahami isi petikan teks novel berbahasa Jawa. Kegiatan pertemuan pertama diakhiri dengan pengumpulan hasil kerja kelompok ahli.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 275
(1)
(2) (3) Gambar Aktivitas Siswa: (1) belajar secara berkelompok (2) memperhatikan contoh hasil analisis (3) diskusi dan mengisi lembar kerja Pertemuan Kedua Kegiatan pembelajaran pertemuan kedua diawali dengan me-review atau mengulas kembali kegiatan yang sudah dilaksanakan pada pertemuan pertama. Sebelumnya, peserta didik sudah melakukan diskusi antaranggota kelompok ahli untuk menentukan pokok-pokok isi serta unsur pembangun petikan teks novel. Pada pertemuan kedua ini anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal. Tugas anggota kelompok ahli adalah menyampaikan hasil diskusi pertemuan pertama kepada anggota kelompok asal. Pengalaman belajar yang akan dituju pada pertemuan kedua adalah tercapainya kompetensi dasar pada KI 4, yaitu melalui kegiatan menceritakan isi petikan teks novel berbahasa Jawa. Secara individu anggota kelompok asal memiliki tanggung jawab untuk memaparkan kepada teman-teman dalam kelompok asal mengenai pokok-pokok cerita dan peristiwa pada petikan teks yang mereka kuasai. Setiap individu menguasai petikan teks yang berbeda dan saling melengkapi menjadi satu kesatuan utuh satu novel. Selesai menceritakan petikan teks novel yang setiap anggota kuasai, kegiatan dilanjutkan dengan mendiskusikan isi novel secara menyeluruh. Akan ada komunikasi kembali antaranggota kelompok untuk menentukan permasalahan utama pada novel; tokoh-tokoh serta perwatakannya; latar tempat, waktu, dan suasana; nilai-nilai yang terkandung; dan ringkasan/ sinopsis novel. Lembar kerja kedua digunakan pada pertemuan kedua ini. Antara kelompok asal satu dengan kelompok asal yang lain dalam satu kelas bisa saja berbeda dalam hal hasil kerja. Ini tergantung kemampuan setiap individu anggota kelompok asal dalam memaparkan hasil diskusinya saat berkumpul dengan kelompok ahli.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 276
Alokasi waktu yang digunakan untuk peserta didik menceritakan secara bergantian dalam kelompok asal adalah 20 menit atau menyesuaikan. Selebihnya waktu digunakan untuk berdiskusi dan mengisi lembar kerja analisis novel secara utuh. Sebelum penutup, dialokasikan waktu untuk membahas novel yang dikaji secara klasikal (bukan dalam kelompok). Bisa dengan per kelompok memaparkan satu unsur, sedangkan unsur lain dipaparkan oleh kelompok lainnya, sehingga dalam pembelajaran tidak berpusat pada guru saja. Apabila waktu pada pertemuan kedua memungkinkan, bisa dilaksanakan evaluasi individu berkaitan dengan novel yang sudah ditelaah bersama dalam satu kelas. Jika tidak, evaluasi individu bisa dilaksanakan pada pertemuan berikutnya. Keunggulan dan Tantangan Melalui pembelajaran model jigsaw pada materi novel berbahasa Jawa selain kompetensi tercapai, peserta didik diarahkan untuk belajar banyak hal. Peserta didik dilatih untuk memiliki rasa tanggung jawab, percaya diri, jujur, dan mampu bekerja sama dalam kelompok. Adanya kelompok ahli melatih peserta didik secara individu untuk bisa bertanggung jawab kepada kelompok asal ketika membahas isi novel secara menyeluruh. Rasa percaya diri peserta didik dilatih ketika menyampaikan hasil diskusi kelompok ahli di kelompok asal. Suasana berbeda akan tampak ketika peserta didik bercakap biasa dengan suasana saat menceritakan isi novel berbahasa Jawa. Kejujuran peserta didik dilatih ketika mereka mengerjakan laporan berupa lembar kerja analisis novel. Novel yang dikaji setiap kelas tidak sama, hasil kerja antarkelompok juga akan berbeda, dan peserta didik tidak bisa melakukan analisis kecuali peserta didik membaca sendiri petikan novel yang menjadi tanggung jawabnya. Berbeda dengan pembelajaran konvensional, pembelajaran kooperatif model jigsaw menuntut peserta didik untuk bisa bekerja dalam kelompok guna menyelesaikan target menelaah satu novel secara menyeluruh. Pengalaman belajar peserta didik tentu bertambah, khususnya menelaah satu novel berbahasa Jawa, kegiatan yang belum tentu terlaksana apabila dilaksanakan secara individu. Beberapa tantangan yang dihadapi guru pada pembelajaran ini di antaranya adalah peserta didik banyak menemui kata-kata “asing”, yaitu kosakata yang belum Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 277
dan jarang dijumpai pada kehidupan sehari-hari. Untuk mengatasinya guru bisa menyediakan beberapa kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa) untuk bisa digunakan peserta didik. Guru juga sebaiknya selalu mendampingi peserta didik saat beraktivitas dalam kelompok dan memastikan kegiatan dalam kelompok berjalan sesuai arahan. Setiap model pembelajaran dengan model apapun memiliki keunggulan dan tantangan tersendiri, baik bagi guru ataupun peserta didik. Diterapkannya inovasi seperti penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini diharapkan mampu memotivasi peserta didik dan menambah pengalaman belajarnya.
SIMPULAN Pembelajaran kooperatif model jigsaw mengarah pada belajar secara kelompok di mana anggotanya memiliki tanggung jawab secara individu untuk mewujudkan target yang akan dicapai. Kerja sama antaranggota dalam kelompok sangat menentukan capaian hasil belajar. Melalui model ini peserta didik yang mulanya mengkaji petikan teks novel akan bisa mengerti isi sebuah novel secara menyeluruh. Peran guru pada pembelajaran kooperatif ini sebagai fasilitator, memberi arahan, serta tempat peserta didik bertanya dan menyampaikan kesulitan yang dihadapi saat melakukan kegiatan pembelajaran berlangsung. Pembelajaran kooperatif model jigsaw bisa menjadi pilihan strategi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah dengan meningkatkan partisipasi serta keaktifan peserta didik dan mengubah peran guru dari pusat pembelajaran menjadi fasilitator.
DAFTAR PUSTAKA Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. 2014. Kurikulum 2013 Muatan Lokal Bahasa Jawa SMA/ SMLB/ SMK/ MA/ MAK Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. Isjoni. 2011. Cooperative Learning Mengembangkan Kemampuan Belajar Berkelompok. Bandung: Alfabeta. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 278
Rusman. 2013. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Santosa, Wijaya Heru dan Sri Wahyuningtyas. 2010. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma Pustaka. Supriadi, Didik (ed.). 2016. Prosiding Seminar Nasional 2016 “Supaya Basa Jawa Tetep Urip Ngrembaka: Rekadaya Lumantar Pawiyatan”. Semarang: Griya Jawi bekerja sama dengan Cipta Prima Nusantara.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 279
Pembelajaran Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang sebagai Bentuk Pelestarian Bahasa dan Budaya Daerah pada Generasi Milenial
Ermi Dyah Kurnia Universitas Negeri Semarang e-mail:
[email protected] Abstrak Bahasa dan budaya dapat diteliti secara bersama-sama karena keduanya ibarat mata uang yang tidak dapat dipisahkan kedua sisinya. Kajiannya termasuk ke dalam bidang Etnolinguistik. Sebagai salah satu bentuk pelestarian bahasa dan budaya daerah, peranan kajian Etnolinguistik sangatlah penting. Oleh karena itu, Etnolinguistik perlu diberikan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi untuk membekali mahasiswa agar mampu mengkaji bidang-bidang garapan Etnolinguistik. Pembelajaran Etnolinguistik hendaknya selalu ditingkatkan mengikuti perkembangan zaman, karena perubahan itu merupakan keniscayaan, seperti halnya pembelajarnya. Pengembangan pembelajaran itu dapat meliputi model pembelajarannya yang dapat disesuaikan dengan karakteristik mahasiswa yang pada abad pengetahuan ini termasuk generasi milenial. Dengan harapan pembelajaran menjadi lebih bermakna dan sesuai tujuan.
Kata kunci: model pembelajaran, Etnolinguistik, generasi milenial
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 280
PENDAHULUAN Kepunahan bahasa bisa terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Padahal, dengan punahnya suatu bahasa berarti hilang pula salah satu alat pengembang serta pendukung utama kebudayaan tersebut. Lebih dari itu, berarti hilang pula salah satu warisan budaya dunia yang tak ternilai harganya dan berarti pula menghilangnya sejarah peradaban dan eksistensi masyarakat pemakainya. Hal tersebut dikarenakan bahasa merupakan refleksi dan identitas yang paling kokoh dari sebuah budaya, bahasa menjadi alat pengikat yang sangat kuat untuk mempertahankan eksistensi suatu budaya masyarakat yang menjadi tonggak kekokohan bhineka tunggal ika. Untuk itu perlu dilakukan upaya yang serius untuk menyelamatkan bahasa dan budaya daerah tersebut. Berbagai cara dapat dilakukan, salah satunya dengan terus-menerus melakukan penelitian mengenai bahasa dan budaya. Penelitian yang mengaitkan antara bahasa dan budaya ini dapat dipelajari dalam Etnolinguistik. Sejalan dengan pendapat Putra dalam makalah Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra pada tanggal 2627 Maret 1997 yang menyebutkan bahwa bidang studi Etnolinguistik itu merupakan bidang yang sangat menarik, karena di lahan inilah dapat ditemukan proses yang sangat penting yaitu proses terbentuknya kebudayaan dan keterkaitannya dengan bahasa serta perubahan terus-menerus dari kebudayaan yang terbentuk itu. Dalam konteks Indonesia, bidang kajian Etnolinguistik ini sangat penting untuk dikembangkan mengingat begitu beragamnya bahasa daerah di Indonesia. Dalam bahasa daerah inilah sebenarnya tersimpan khasanah budaya Indonesia yang luar biasa kompleknya, yang masih sedikit digali dan diketahui. Sayangnya, penelitian Etnolinguistik ini sedikit sekali dilakukan di Indonesia padahal Indonesia penuh dengan keanekaragaman bahasa dan budaya yang menunggu sentuhan tangan-tangan peneliti. Kalaupun ada, yang paling banyak hanya penelitian yang terpisah antara bahasa dan budaya. Padahal akan lebih baik, apabila bahasa dan budaya tersebut diteliti secara bersama-sama karena keduanya ibarat mata uang yang tidak dapat dipisahkan kedua sisinya (1997:1).
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 281
Di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, mata kuliah Etnolinguistik diajarkan sebagai mata kuliah wajib dengan beban 2 sks. Mata kuliah ini dirancang untuk pengembangan kompetensi keahlian berkarya dengan 1 SKS orientasi teoretik dan 1 SKS untuk orientasi studi lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa, mata kuliah ini menuntut penguasaan materi yang kuat sehingga para mahasiswa mampu memahami dan menganalisis berbagai fakta berbahasa yang ada di lapangan. Calon peneliti Etnolinguistik ini harus mencari hubungan bentuk bahasa dengan kebiasaan (perbuatan) budaya. Hal ini berdasarkan perspektif kajian Etnolinguistik terhadap bahasa dan budaya masyarakat yang pada muara akhirnya untuk menemukan sistem pengetahuan masyarakat yang mencerminkan pandangan terhadap dunianya, pandangan hidupnya, dan pola pikir masyarakat yang terdapat di balik kategori dan ekspresi bahasa yang dimiliki. Dengan melihat karakteristik Etnolinguistik tersebut, maka dapat dikatakan bahwa mata kuliah Etnolinguistik merupakan sebuah bentuk pelestarian bahasa dan budaya daerah melalui hasil-hasil kajiannya.
Dalam dunia pendidikan, perubahan adalah keniscayaan. Pendidikan adalah suatu upaya yang digunakan untuk mengubah suatu kondisi baik individu, komunal, bahkan suatu bangsa. Penyelenggaraan pendidikan untuk menjawab tantangan zaman yang terus berproses. Konteks ruang dan waktu yang melingkupi pendidikan itu terus mengalami perubahan, termasuk pula pembelajarnya. Terlebih sekarang ini, pendidikan terus dihadapkan pada kondisi pembelajar yang terus menerus mengalami perubahan sehingga sekarang muncul istilah generasi X, generasi Y, dan generasi Z. Generasi Z yang lebih dikenal sebagai generasi milenia, yaitu generasi yang lebih dekat dengan dunia teknologi. Secara sosial generasi ini sangat intens berhubungan dengan orang-orang melalui media sosial. Secara ekspresif merupakan generasi yang sangat toleran dengan perbedaan budaya dan sangat peduli dengan lingkungan. Generasi yang cepat berpindah dari satu pemikiran ke pemikiran yang lain. Kondisi yang semacam ini harus disadari oleh para pendidik, orang-orang yang bergelut dalam dunia pendidikan. Para pendidik harus lebih adaptif menghadapi perkembangan zaman ini. Adaptasi yang dilakukan tidak Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 282
hanya berupa metode belajar mengajar, media yang digunakan, atau perubahan kurikulum,
bahkan
pemahaman
terhadap
makna
belajar
juga
harus
berubah.Pendidikan hendaknya melihat manusia secara keseluruhan. Seorang spesialis, dia harus dilengkapi pengetahuan mengenai totalitas kehidupan agar pengetahuannya itu bermanfaat bagi kehidupannya sendiri maupun bagi kehidupan umat manusia lainnya. Sebaliknya, pendidikan manusia seutuhnya harus dilengkapi dengan spesialisasi sesuai dengan potensinya. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberikan kesempatan pada perkembangan manusia yang utuh, kemudian dilengkapai dengan pengembangan khususnya. Perubahan yang selalu bersifat masif ini juga perlu disikapi positif pada pengajaran
Etnolinguistik.
Mengingat
begitu
pentingnya
keberadaan
Etnolinguistik yang mengkaji bahasa dan budaya secara berdampingan ini, maka pembelajaran Etnolinguistik yang inovatif dan kreatif merupakan keharusan.Maka, dengan melihat kedekatan generasi milenial dengan kehidupan gawai dan sebagainya, maka tidak ada salahnya melibatkan gawai dan media sosial untuk mengoptimalkan pembelajaran Etnolinguistik.
METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian dan pengembangan (R&D). Penelitian pendidikan dan pengembangan adalah proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Langkah-langkah dari proses ini biasanya disebut sebagai siklus R&D, yang terdiri atas mempelajari temuan penelitian yang berkaitan dengan produk yang akan dikembangkan, mengembangkan produk berdasarkan temuan, bidang pengujian dan merevisinya untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan dalam tahap mengajukan pengujian (Gall, Gall & Borg 2003: 569). Tahap pendahuluan berbentuk studi eksploratif dengan menggunakan pendekatan kualitiatif deskriptif. Secara umum pelaksanaan penelitian ini dimaksud Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 283
untuk: (1) mendapatkan informasi mengenai model pembelajaran Etnolinguistik, teknik, media yang digunakan dalam pembelajaran, (2) lingkungan pembelajaran yang diciptakan dosen, dan (3) kendala yang dihadapi dalam pembelajaran Etnolinguistik. Sumber data antara lain: dosen pengampu Etnolinguistik dan mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Etnolinguistik. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Observasi dilakukan untuk memotret kegiatan proses belajar mengajar mata kuliah Etnolinguistik. Aspek-aspek yang diobservasi ditekankan pada bagaimana dosen dan mahasiswa terlibat aktif dalam pembelajaran. Wawancara digunakan untuk menggali data tentang pelaksanaan pembelajaran di kelas. Pedoman wawancara disusun secara terstruktur agar diperoleh data yang representatif. Teknik dokumentasi digunakan sebagai pelengkap teknik observasi dan wawancara. Dokumen yang diperlukan berupa data nilai kemampuan mahasiswa, persiapan dosen baik berupa RPS, silabus, media, dan evaluasi dalam melaksanakan pembelajaran. Dokumentasi dilakukan untuk memotret model pembelajaran Etnolinguistik yang telah dilaksanakan selama ini. Angket digunakan untuk menggali lebih jauh kebutuhan model pembelajaran. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan observasi dan penelitian awal, gambaran pembelajaran Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa adalah sebagai berikut. 1. Di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa digunakan istilah RPS (Rencana Perkuliahan Semester) untuk menggantikan istilah RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). RPS disusun oleh dosen pengampu setiap mata kuliah. Selanjutnya, RPS tersebut dibahas bersama-sama di tingkat jurusan untuk mengetahui kesesuaian RPS dengan kompetensi yang akan dicapai.Etnolinguistik termasuk mata kuliah wajib dengan beban 2 sks, diberi waktu 16 minggu efektif dan dalam seminggu terdapat satu kali pertemuan. Berikut ini pengelompokan materi Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 284
Sastra Jawa FBS Unnes: konsepdasar etnolinguistik, sejarah perkembangan etnolinguistik, teori kebudayaan, teori relativitas bahasa, bahasa dan budaya, bentuk kajian etnolinguistik, metodepenelitianetnolinguistik (etnografi komunikasi), serta praktik penyusunan
dan
pembahasan
proposal
penelitian
etnolinguistik.Proses
pembelajaran dilaksanakan berdasarkan pengelompokan materi tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut buku-buku yang dipakai dalam proses pembelajaran Etnolinguistik menggunakan beberapa buku sebagai sumber belajar buku-buku tersebut antara lain:Duranti, Alessandro. 1997.
Linguistic Antropology.
Cambridge: Cambridge University Press.; Fernandez, Inyo Yos. “Etnolinguistik dan Prospek Jaringan Penelitian Linguistik”
1997
Makalah, belum
diterbitkan.; Foley, William A. 1997. Antropological Linguistics: An Introduction. Blackwell Publisher.; Geertz, Cliford. 1992. Tafsir Kebudayaan (terjemahan Budi Santoso). Yogyakarta: Kanisius; Geertz, Hildred.
1981.
Aneka Budaya dan
Komunitas (terjemahan A Rahman Zainuddin). Jakarta Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan FIS UI.; Ibrahim, Abdul Syukur. 1994.
Panduan Penelitian Etnografi
Komunikasi. Surabaya. Usaha Nasional.; Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.; Putra, Ahimsa. 1984. Etnosains dan dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan. Masyarakat Indonesia.; Putra, Ahimsa. 1996/1997. Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian. Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta.; Rahyono, FX. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.; Spradley, James. P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Selain beberapa buku di atas juga digunakan sumber materi ajar yang dibuat sendiri oleh dosen pengampu tetapi belum menjadi satu kesatuan, atau masih terpisah-pisah. Hasil penelitian yang berkaitan dengan Etnolinguistik dari berbagai jurnal juga digunakan sebagai sumber materi ajar. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa materi-materi tersebut tidak dapat diajarkan semuanya. Hal tersebut disebabkan kurangnya alokasi waktu yang diberikan untuk pembelajaran Etnolinguistik. Selain itu latar belakang mahasiswa yang tidak mempunyai bekal Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 285
dalam ilmu kebahasaan juga menjadi penyebab kurang mendalamnya pengajaran Etnolinguistik. 2. Metode yang Diterapkan Dosen dalam Pembelajaran Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Metode yang diterapkan dosen pengampu matakuliah Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa dalam pembelajaran adalahbrainstorm, ceramah, diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, dan penugasan. Metode yang paling sering digunakan adalah penugasan, dosen menyampaikan konsep, diberi data, kemudian mahasiswa
menganalisis.
Setiap
memberikan
tugas,
sebelumnya
dosen
menyampaikan konsep denganpowerpoint. Mengenai kesiapan mahasiswa, jika mahasiswa dinilai belum siap menerima materi misalnya belum membaca buku atau materi yang berkaitan dengan matakuliah Etnolinguistik maka diberi tugas untukbrowsing ke perpustakaan mencari pustaka atau internet. Cara demikian membuat mahasiswa menjadi lebih siap melakukan perkuliahan. Penerapan metode pemberian tugas adalah metode yang paling sering digunakan. Hal tersebut menjadikan setiap perkuliahan berlangsung mahasiswa selalu terlibat dengan aktif karena telah memahami materi perkuliahan dari hasil tugas-tugas yang diberikan. Pada situasi-situasi tertentu seperti pada saat dosen berhalangan hadir karena ada tugas lain, dosen juga selalu memberikan tugas karena tidak diberlakukan hari lain untuk mengganti perkuliahan. Tugas diberikan dosen dalam bentuk tulisan sehingga semua mahasiswa dapat memperoleh kopiannya. Di samping metode di atas, metode permainan juga digunakan. Metode permainan diterapkan agarmahasiswa melakukan pemanasan agar pikiran dan hati senang sehingga tertarik dengan materi. Selain itu, dosen pengampu selalu menghadirkan contoh konkrit dahulu baru dibangun menuju definisi. Hal tersebut diterapkan karena mahasiswa tidak mempunyai background mengenai ilmu bahasa, Keterlibatan mahasiswa di dalam proses perkuliahan kurang berperan aktif.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 286
3. Media yang Digunakan oleh Dosen dalam Pembelajaran Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Unnes Media pendidikan yang digunakan dalam pengajaran mempunyai fungsi, Sadiman (2002: 16) menyebutkan diantaranya sebagai berikut. a. Memperjelas panyajian pesan, agar tidak terlalu bersifat herbalistis (dalam bentuk kata
kata terulis atau lisan belaka)
b. Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan tervariasi menciptakan interaksi
yang lebih langsung antara siswa dengan lingkungan dan kenyataan
c. Menimbulkan semangat dan belajar siswa d. Memungkinkan siswa belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya Media pendidikan yang tersedia dan digunakan oleh dosen pengampu matakuliah Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa dapat dikatakan memenuhi kriteria fungsi media seperti di atas. Media pembelajaran yang digunakan oleh dosen pengampu matakuliah selain buku sumber selalu menggunakan powerpoint yang dibuat atau disediakan oleh dosen pengampu. Berkaitan dengan buku referensi mahasiswa mencari sendiri sesuai dengan yang tercantum pada silabus. Sebagai penunjang kinerja dosen dan perkembangan mutu pembelajaran setiap kelas sudah terpasang LCD dan proyektor. 4. Evaluasi yang Dilaksanakan oleh Dosen Mata Kuliah Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Ada beberapa macam evaluasi yang diterapkan pada matakuliah Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa.Cara evaluasi bahwa nilai akhir merupakan nilai kumulatif dari komponen-komponen berikut ini. a. Partisipasi (kehadiran dan keaktifan di kelas): 20% b. Tugas: 30% c. Ujian tengan semester : 200% d. Ujian akhir semester : 30% Kehadiran mahasiswa akan dicatat sebagai Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 287
salah satu bentuk keaktifan. Mahasiswa dianggap hadir apabila: a. Hadir secara fisik di dalam kelas,Kehadiran (%) Kategori Nilai Partisipasi 95– 100 Sangat aktif 100 90– 94,99 Sangat aktif 95 85– 89,99 Aktif 90 80– 84,99 Aktif 85 75– 79,99 Cukup aktif 80 70– 74,99 Cukup aktif 75 60– 69,99 Kurang aktif 70 50– 59,99 Tidak aktif 65 40– 49,99 Tidak aktif 60 30– 39.99 Sangat tdk. aktif 55 0– 29,99 Sangat tdk. aktif 50; b. Tidak hadir di kelas karena sakit, c. Tidak hadir di kelas karena izin, seperti mendapat tugas resmi dari jurusan atau Universitas, d. dan alasan lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Nilai standarnya adalah sebagai berikut. a. Nilai A (86-100) b. Nilai AB (antara 81 – 85) c. Nilai B (antara 71 – 80) d. Nilai BC (antara 66 – 70) e. Nilai C (antara 61-65) f. Nilai D (antara 55-60) dan g. Nilai E di bawah 54. Dalam satu semester terdapat dua kali evaluasi yaitu Ujian TengahSemester dan Ujian Akhir Semester (UAS). Komponen penilaian meliputi, kehadiran, tugas akhir dan tugas harian, UTS dan UAS. 5. Kendala Pembelajaran Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa berdasar dari beberapa hal di atas, setiap perkuliahan atau setiap pembelajaran pasti terdapat kendala yang dihadapi termasuk dalam perkuliahan matakuliah Etnolinguistik. Kendala bisa berkaitan dengan materi, mahasiswa, strategi perkuliahan, sarana dan prasarana, dan lain sebagainya. Kendala pada pekuliahan Etnolinguistik di jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Unnes antara lain berkenaan dengan hal-hal berikut ini. a. perubahan kurikulum, b. latar belakang mahasiswa yang tidak mempunyai bekal cukup dalam bidang Etnolinguistik, c. alokasi waktu yang hanya satu semester sehingga materi yang diajarkan kurang mendalam. Selain kendala di atas, keaktifan mahasiswa di kelas juga menjadi kendala. Setiap perkuliahan berlangsung mahasiswa kurang aktif. Sebagai solusi maka keaktifan mahasiswa dirangsang oleh dosen dengan cara bekerja atau dengan permainan dan dalam penyampaian materi dosen memulai dengan contoh-contoh kemudian konsep atau pengertian.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 288
6. Pengembangan Pembelajaran Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Unnes terkait perkembangan mahasiswa generasi milenial Ciri-ciri pembelajaran pada abad pengetahuan, yaitu: guru sebagai fasilitator, pembimbing dan konsultan, guru sebagai kawan belajar, belajar diarahkan oleh orang yang belajar, belajar secara terbuka, fleksibel sesuai keperluan, belajar terutama berdasarkan proyek dan masalah, berorientasi pada dunia empirik dengan tindakan nyata, metode penyelidikan dan perancangan, menemukan dan menciptakan, kolaboratif, berfokus pada masyarakat, hasilnya terbuka, keanekaragaman yang kreatif, komputer sebagai peralatan semua jenis belajar, interaksi multimedia yang dinamis, serta komunikasi yang tidak terbatas. Mahasiswa sekarang termasuk generasi milenial. Singkatnya, generasi milenial adalah generasi yang sangat dekat dan fasih dengan dunia teknologi. Artinya mahasiswa milenial ini sangat dengan dengan dunia gawai (gadget). Dengan melihat fenomena ini, maka kondisi semacam ini perlu dimanfaatkan dalam pembelajaran. Dulu, penggunaan gawai (gadget) dalam ruang kelas dinilai sebagai aktivitas yang mengganggu dan dilarang. Akan tetapi, untuk situasi sekarang ini, pemanfaatan gawai dalam pembelajaran justru bisa dimanfaatkan sebagai sarana belajar. Sebagai langkah awal dari pengembangan ini, maka yang bisa ditawarkan adalah pengembangan pada aktivitas pembelajaran. Pengembangannya yaitu dengan pengoptimalan blended learning dan menggunakan strategi flipped classroom. Secara ringkas, pengertian pembelajaran berbasis blended learning adalah pembelajaran yang mengkombinasi strategi penyampaikan pembelajaran menggunakan kegiatan tatap muka, pembelajaran berbasis komputer (offline), dan komputer secara online (internet dan mobile learning) (Dwiyogo, tt:3). Adapun flipped classroom menurut Johnson (2013) merupakan strategi yang dapat diberikan oleh pendidik dengan cara meminimalkan jumlah instruksi langsung dalam praktek mengajar mereka sambil memaksimalkan interaksi satu sama lain. Strategi ini memanfaatkan teknologi yang menyediakan tambahan yang mendukung materi pembelajaran bagi siswa yang dapat diakses secara online. Hal Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 289
ini membebaskan waktu kelas yang sebelumnya telah digunakan untuk pembelajaran. Dengan strategi flipped classroom siswa mendapat pembelajaran tidak hanya didalam kelas saja namun diluar kelas mahasiswa juga dapat mengakses atau melihat materi yang diberikan oleh dosen secara berulang-ulang dengan bantuan internet atau video pembelajaran yang diberikan oleh dosen. Tulisan ini merupakan langkah awal penelitian, sehingga diperlukan kajian lebih lanjut berkaitan dengan kedua metode itu, yaitu blended learning dan flipped classroom. Kajian yang lebih lanjut diperlukan untuk menemukan kebutuhan dosen dan mahasiswa terkait dua metode tersebut, yang penerapannya mungkin dapat dipadukan dan disesuaikan dengan karakteristik mata kuliah Etnolinguistik. SIMPULAN Pembelajaran Etnolinguistik di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa secara administratif sudah lengkap, mulai dari RPS, materi ajar, metode yang diterapkan dalam
pembelajaran,
media
pembelajaran,
dan
evaluasi.
Pembelajaran
Etnolinguistik di jurusan ini mengalami beberapa kendala. Kendala yang ada ini harus diupayakan penyelesaiannya agar tujuan pembelajaran Etnolinguistik dapat tercapai. Penyelesaian itu salah satunya dengan memperbaiki kualitas pembelajaran dalam hal ini adalah model pembelajaran. Perkembangan mahasiswa yang semakin canggih hendaknya menjadi dasar perbaikan itu. Artinya mahasiswa sebagai generasi milenial harus difasilitasi dengan memberikan pelayanan pembelajaran yang populer di kalangan mahasiswa, yaitu adanya kombinasi pertemuan offline dan online. Hal ini perlu dilakukan, karena jika belajar dengan senang, maka materi akan mudah dipelajari. Model yang dapat disarankan yaitu dengan pengoptimalan blended learning dan menggunakan strategi flipped classroom.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 290
DAFTAR PUSTAKA Arends . 1997. Design Instructional. New York :Macmilan College. Publishing Company. Arikunto,Suharsimi. 2006. Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bina Aksara. Degeng, I Nyoman Sudana. 1999. Mencari Paradigma Pemecahan Masalah Belajar dari Keteraturan Menuju Kesemrawutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang. Dwiyogo, Wasis D. Tt. “Pembelajaran Penjas Berbasis Blended Learning”. Malang.
Gall, Meredith D., Joyce Gall, dan Walter R Borg. 2003. Educational Research: An Introduction. Boston: Pearson: Education, Inc.
Johnson, Graham Brent. 2013. Student Perceptions Of The Flipped Classroom. Columbia: The University Of British Columbia.
Marlowe, Natalie A. 2012. The Effect Of The Flipped Classroom On Student Achievement And Stress. Montana: Montana State University.
Milman, Natalie B. 2012. The Flipped Classroom Strategy What is it and How Can it Best be Used?. Jurnal Internasional Volume 9, Issue 3 : The George Washington University. Putra, Shri Ahimsa. 1997. “Etnolinguistik Beberapa Kajian”. Makalah Disajikan dalam Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra tanggal 26 hingga 27 Maret.Yogyakarta.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 291
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Uno, Hamzah B. dan Nurdin Mohamad. 2012. Belajar dengan Pendekatan PAILKEM: Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, dan Menarik. Jakarta: Bumi Aksara.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 292
Sastra Masa Lalu untuk Pembelajaran Masa Depan Generasi Muda Milennial yang Berbudi Pekerti Luhur
Winda Dwi Lestari, Muhammad Rohmadi, Sarwiji Suwandi Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected]
Abstrak Sastra adalah gagasan atau ide pengarang yang disampaikan dalam ragam tulisan. Sastra selain sebagai bahan bacaan yang sifatnya menghibur juga dapat bermanfaat sebagai tuntunan yang berisinilai-nilai kehidupan dengan salah satunya berakar dari kearifan lokal kebudayaan. Hal ini dimaksudkan untuk menghadapai generasi milennial karena kemajuan teknologi yang pesat. Oleh karena itu, pembelajaran sastra untuk generasi muda dinilai penting diajarkan pada tingkat satuan pendidikan, dengan harapan tercipta generasi muda milennial yang berkarakter bersumber pada kearifan lokal. Penelitian ini menggunakan pendekatan poskolonial pada novel Jawa. Pendekatan poskolonial digunakan karena pendekatan ini adalah pendekatan yang melihat sebuah sastra sebagai suatu dokumentasi representasi masa lampau. Bertolak dari masa lalu dengan nilai-nilai kearifan lokal yang memuat pitutur luhur, diharapkan generasi muda yang milennial mampu menghadapi kemajuan teknologi dengan bijak, tidak meninggalkan budaya aslinya dan berkarakter. Kata kunci : Sastra, poskolonial, pembelajaran, generasi milennial,karakter.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 293
Latar belakang Generasi muda milennial adalah generasi yang kreatif dan inovatif dalam hal ide. Kreatitas dan inovasi generasi milennial berasal dari bebasnya informasi pada saat ini. Informasi sangat mudah diakses sehingga generasi muda mampu melihat dunia hanya dari gadget yang dimiliki. Namun, informasi yang didapat tidak sepenuhnya baik dan benar sehingga terkadang memunculkan ide yang tidak applicable untuk diterapkan di Indonesia. Padahal generasi milennial ini dinilai generasi yang mampu menguasai pasar tenaga kerja untuk satu dekade mendatang. Generasi milennial yang cenderung mengikuti keinginannya sendiri sebenarnya jika dikelola maka akan menghasilkan generasi yang berkualitas lengkap dengan ide gagasan yang kreatif dan inovatif. Salah satu kelemahan dari generasi milennial adalah tidak menyukai hal yang terorganisir karena generasi milennial telah terbiasa berpikir bebas. Kebiasaan berpikir bebas ini muncul karena dapmak dari media sosial. Media sosial berperan sebagai sarana pengungkapan ekspresi generasi muda dan ironisnya tidak filter atau pihak yang menyaring ungkapan ekspresi tersebut, sehingga seolah-olah apa yang diekspresikan adalah benar. Kelemahan ini dapat diatasi dengan kerjasama yang terpadu antara keluarga, lingkungan masyarakat dan lembaga pendidikan baik formal ataupun nonformal. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan formal di sekolah. Pendidikan formal yang dicanangkan pemerintah adalah wajib belajar duabelas tahun. Pengendalian sosial untuk generasi milennial dapat disisipkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Penyisipan materi pembelajaran yang sifatnya untuk membangun budi pekerti dapat dilakukan pada pembelajaran bahasa Jawa dengan materi apresiasi sastra. Apresiasi sastra Jawa berisi materi prosa, drama, dan puisi. Dalam penelitian ini akan dideskribsikan nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam novel berbahasa Jawa yang masih sangat relevan digunakan untuk saat ini. Dalam upaya menjaga dan mengendalikan budi pekerti generasi muda pembelajaran apresiasi satra Jawa khususnya novel dapat disisipkan nilai-nilai Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 294
pendidikan budi pekerti. Yang erbeda dalam penelitian ini menggunakan pendekatan poskolonial. Poskolonial menurut pendapat Ratna (2008: 81) bahwa secara definitif poskolonial menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial. Ratna menilai bahwa poskolonialisme sangat sesuai dengan permasalahan yang dihadapi Indonesia. Jadi, masih banyak maslah yang harus dipecahkan kaitannya dengan sejarah bangsa Indonesia. Poskolonialisme yang berkaitan erat dengan sejarah sehingga, tidak menutup kemungkinan bahwa analisis poskolonialisme tidak berbeda dengan sejarah sosial, sejarah pergerakan, dan berbagai isu yang berkaitan
dengan
nasionalisme.
Poskolonialisme
erat
kaitannya
dengan
nasionalisme, karena teori poskolonialisme dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar selalu mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi. Hasil kajian poskolonial tersebut yang nanti akan dijadikan titik tolak adanya nilai pendidikan budi pekerti yang dapatdijadikan contoh oleh generasi milennia, sehingga generasi milennial yang dinilai bebas tidak terarah dan memiliki tingkatnarsisme yang tinggi dapat terkendalikan. Karena dalam dirinya telah ditanamkan nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang kuat. Diharapkan dengan adannya penelitian ini akan memunculkan generasi milennial yang berkarakter kuat berakar dari kearifan lokal budaya Jawa. Rumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam novel Katresnan karya Soeratman Sastradihardja? 2. Bagaimanakah implementasi nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam novel Katresnan karya Soeratman Sastradihardja pada generasi milennial? Metode penelitian Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 295
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskribtif sesuai dengan masalah yang dirumuskan. Seperti yang dikemukakan oleh Strauss dan Corbin (2013: 4-5) penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuantemuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Lebih lanjut oleh Moleong (2013: 6) dijelaskan bahwa penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Pendekatan disamakan dengan istilah model analisis yang didefinisikan sebagai penggunaan salah satu sudut pandang yang dianggap paling relevan dengan tujuan penelitian dalam rangka untuk memperoleh makna secara maksimal (Ratna, 2010: 45). Dalam penelitian ini pendektan yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan poskolonial. Pendekatan poskolonial adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural yang meliputi sejarah, politik, ekonomi, sastra dan lain sebaginya yang terjadii di negara-negara bekas jajahan. Alasan peneliti memilih pendekatan poskolonial karena peneliti ingin mengkaji secara mendalam terkait dengan wacana-wacana poskolonial dalam novel Katresnan karya Soeratman Sastradihardja. Pembahasan 1. Nilai Pendidikan Budi Pekerti dalam Novel Katresnan Karya Soeratman Sastradihardja. Nilai budi pekerti adalah nilai-nilai luhur yang bersumber dari kearifan lokal atau tradisional. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Endraswara (2003: 24) bahwa kearifan lokal merupakan sebuah wawasan yang memuat kebijaksanaan orang Jawa dalam mengatasi persoalan hidup. Kristalisasi kebijaksanaan tersebutlah yang menjadi pedoman untuk melakukan sesuatu dan dari hal itulah budi pekerti muncul. Karena pada hakikatnya budi pekerti merupakan tingkah laku yang bersumber dari kearifan lokal. Dalam penelitian Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 296
ini nilai-nilai pendidikan Budi Pekerti di simpulkan dari kejadian atau peristiwa dimasa lampau untuk dapat direpresentasikan untuk masa depan berdasar pada lima wacana poskolonial yairu hegemoni, hibridasi, mimikri, dan resistensi. Hegemoni adalah adanya relasi kuasa yang terjadi Selama penjajahan belanda yang terjadi karena perubahan pandangan penjajah dengan terjajah dalam penetapan status sosial kaum terjajah. Eksistensi penentuan status sosial tersebut tercermin dari karya sastra Hindia Belanda (Suratno, 2013:2). Dalam novel Katresnan dapat dilihat dari kutipan berikut ini: (1) Bapakne mangsuli,”Sanajan atimu karep, nanging wong kowe wis gedhe, ora patut sinawang. Ora liwat ya kudu nariwa tamat saka HIS wae.” Terjemahan: Ayahnya menjawab,” walaupun kamu menginginkannya, tapi kamu sudah besar, tidak pantas dilihat orang. Tidak ada jalan lain, sudah terima saja lulus HIS. (2)“O Bapak, sampun nggalih bilih kanca kula ingkang sami nerusaken sinau langkung alit ketimbang kula.malah kathah ingkang nlangkungi kula menggah umur utawi agengipun.” Terjemahan: “oh Ayah, jangan dipikir temanku yang melanjutkan sekolah itulebihmuda dariku, namun banyak yang lebih tua dariku. Pada kutipan tersebut, tokoh utama Mursiati tidak diperbolehkan ayahnya untuk melanjutkan sekolah, dikarenakan dia adalah perempuan. Ayah Mursiati menganut budaya Jawa yang memang tidak memperbolehkan anak perempuan bersekolah tinggi karena belum lazim. Namun Mursiati telah menganut paham penjajah yang membawa teori persamaan gender. Nilai pendidikan budi pekerti yang dapat di simpulkan dari kutipan tersebut adalah nilai demokrasi, terlihat Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 297
bagaimana Mursiati bermusyawarah dengan Ayahnya untuk menentukan masa depannya, walaupun ditentang oleh Ayahnya Mursiati tetap menggunakan bahasa yang santun, untuk menunjukkan rasa hormat dan menghargai orang tuannya walaupun ia memiliki paham yang sama dengan penjajah. Hibridasi, adalah proses interaksi antara bentuk-bentuk budaya yang berbeda yang pada masanya akan menghasilkan budaya dan identitas yang berbeda (Barry: 2010: 34). Perubahan akibat kolonisasi tidak hanya terjadi pada sikap dan perilaku budaya, tetapi juga pada bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi dapat mengantarkan masyarakat dalam memasuki memahami dan akhirnya menguasai wilayah atau masyarakat lain. Bangsa penjajah dalam rangka mempertahankan eksistensinya juga harus mempelajari bahasa di wilayah jajahannya dan disisi lain kaum terjajah juga harus menguasai bahasa penjajahnya. Proses hibridasi yang terjadi dapat dilihat pada kutipan berikut ini: (3)... Bareng Mur ndeleng ing papan panulisan nuli mangerteni yen sepure bakal kasep 12 menit tekane, awit ing kono ana tulisane: Exprstrein: vermoedelijk 12 minuten te laat. Terjemahan: ... Setelah Mur melihat di papan pengumuman seanjutnya mengerti bahwa keretanya akan terlambat 12 menit, karena disana tertulis: Exprstrein: vermoedelijk 12 minuten te laat. Berdasar kutipan di atas Mursiati sebagai tokoh yang sadar pendidikan dan telah tamat dari HIS dan sedang melanjutkan belajarnya di MULO, paham mengenai bahasa Belanda, dan merupakan wujud hibridasi dalam bidang bahasa yang disebut dengan kreol. Nilai pendidikan budi pekerti yang dapat disimpulkan dari kutipan tersebut adalah gemar membaca. Gemar membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 298
bermanfaat bagi dirinya. Mursiati tidak akan dapat berbahasa belanda jika ia tidak gemar membaca dan belajar bahasa Belanda Mimikri, adalah peniruan atau upaya emansipasi yang dilakukan masyarakat terjajah untuk menyamai atau memperoleh derajat yang sama sejajar dengan penjajah (Suwondo, 2016: 32). Usaha peniruan yang dilakukan tidak serta merta meniru kebudayaan penjajah secara utuh. Karena dalam proses peniruan tersebut juga sebagai sarana merendahkan penjajah, karena ketidaksetiaan terjajah. Sehingga, tidak melakukan peniruan secara penuh dan tidak sedang berasimilasi dengan kebudayaan Belanda. Mimikri dalam novel Katresnan diantaranya dapat dilihat dari kutipan berikut: (4)“... yen mung arep murih beciking untu wae, anggere wis putih marga disikat resik saben isuk sore saben adus, utamane maneh yen panyikate gelem merlokake nganggo ‘tandpoerder utawa tandpasta’ sabangsane. Terjemahan: “... kalau hanya ingin bagus giginya, kalau sudah putih disikat setiap pagi dan sore sudah cukup, apalagi kalau mau menggunakan tandpoerder atau tandpasta’atau sejenisnya. Dari kutipan di atas Sutrisno menganjurkan Mursiati untuk membersihkan giginya dengan cara menyikat dan menggunakan pasta gigi. Jelas ini bukanlah budaya Jawa. Sutrisno melakukan hal ini dalam rangka mengikuti gaya hidup orang Belanda dengan tujuan agar memiliki martabat yang sama dengan penjajah. Namun dari kutipan diatas dapat disimpulkan nilai pendidikan budi pekerti yang tersurat adalah peduli sosial. Sikap peduli yang ditunjukkan oleh Sutrisno kepada Mursiati adalah untuk menjadikan Mursiati berpikiran maju sesuai dengan gaya hidup orang belanda. Karena gaya hidup itulah yang menjadikan masyarakat pribumi menjadi sepadan dengan penjajah.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 299
Resistensi adalah perlawanan terjajah terhadap penjajah. Pendapat tersebut belum sepenuhya benar karena resistensi ada yang bersifat positif ada pula yang bersifat negatif (Faruk, 2007: 5). Resistensi positif muncul karena adanya pemahaman bahwa bangsa penjajah tidak sepenuhnya berlaku semena-mena. Dengan pengetahuan serta gaya hidup yang ditawarkan oleh Belanda memberikan peluang masyarakat Jawa untuk berkembang baik dari segi ilmu pengetahuan ataupun gaya hidupnya. Sedangkan resistensi negatif menitik beratkan pada perlakuan Belanda yang mengeksploitasi sumber daya yang dimiliki masyarakat Jawa. Kemudian menimbulkan efek bahwa Belanda telah menguasai seluruh segi kehidupan masyarakat Jawa. Adanya resistensi dapat di lihat dari kutipan di bawah ini. (5)...Mursiati wis ketampan mlebu MULO lan oleh tulungan bayar saka negara f 20,-. Banjur mondhok ing daleme priyayi kang ora adoh saka sekolahan, dibagei kamar siji kanggo turu lan sinau” Terjemahan: ... Mursiati telah diterima di MULO dan dapat beasiswa dari negara f 20,-. Selanjutnya kos di rumah seorang priyayi yang tidak jauh dari sekolah, diberikan satu kamar untuknya belajar dan tidur. Data 5 menunjukan bahwa pemerintah belanda memberikan beasiswa bantuan pendidikan kepada masyarakat pribumi yang berkeinginan sekolah. Bersekolah juga adalah upaya masyarakat pribumi untuk mendapat kehidupan yang lebih baik dan diakui oleh penjajah. Namun Mursiati tidak serta merta meninggalkan budaya Jawa yang dikenal dengang istilah ngenger di rumah seorang priyayi karena letak sekolahnya yang jauh dari rumah. Nilai pendidikan budi pekerti yang dapat disimpulkan adalah menghargai prestasi. Pemerintah belanda sebagai penguasa pada saat itu tetap memberikan perhatian kepada jajahannya, walaupun perhatian tersebut pada akhirnya dijadikan awal perlawanan terjajah terhadap penjajah. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 300
2. Implementasi Nilai Pendidikan Budi pekerti dalam Novel Katresnan Karya Soeratman Sastradihardja untuk generasi milennial. Implementasi beberapa nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam novel Katresnan karya Soeratman Sastradihardja untuk generasi milennial adalah tantangan untuk pendidik. Pendidik saat ini yang diharapkan mampu berpikir inovatif dan kreatif dapat menyisipkan materi pendidikan budi pekerti dengan cara yang menyenangkan. Tujuannya dari penggunaan materi pembelajaran adalah membantu guru untuk menyajikan materi dengan mudah dan menarik sehingga dapat membuat peserta didik tertarik dan memahami dengan lebih baik. Selain itu juga bertujuan sebagai alternatif bahan pembelajaran yang terkadang sulit didapatkan. Sementara itu menurut Prastowo (2011: 17) bahan pembelajaran merupakan segala bahan yang disusun secara sistematis yang menampilkan segala kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Pencapaian tujuan pembelajaran tidak harus dilakukan di dalam kelas namun dapat dilakukan dengan metode lain seperti outing class. Metode ini dalam rangka merubah pola pikir belajar harus duduk di dalam kelas. Metode ini diharapkan mampu mengendalikan dan mewadahi ide atau gagasan generasi milennial yang sudah semakin kekinian. Simpulan Novel Katresnan karya Soeratman Sastradihardja dapat ditemukan nilai pendidikan budi pekerti diantaranya peduli sosial, gemar membaca, dan menghargai prestasi yang dianalisis berdasarkan wacana-wacana poskolonial. Dengan demikian diharapkan nilai pendidikan budi pekerti tersebut dapat diimplementasikan dalam pembelajaran di sekolah dengan menggunakan metode yang berbeda daripada metode konvensional. Sehingga pembelajaran sastra Jawa menjadi ebih menyenangkan dan tujuan pendidikan dapat tercapai. Pembelajaran sastra yang bertolak dari kejadian masa lalu dapat dijadikan refleksi oleh generasi Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 301
muda untuk menyikapi era yang semakin maju, sehingga akan tercipta generasi muda milennial yang berkarakter berakar dari kearifan lokal. Daftar Pustaka Endraswara. S. (2003). Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faruk. (2007). Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, L.J.. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Barry, P. (2010). Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra. Prastowo, A. (2011). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogjakarta: DIVA Press. Ratna, N.K. (2008). Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _____. (2010). Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Strauss, A. dan Corbin, J. (2013). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Tatalangkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data. Terj. Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suratno, P. (2013). Masyarakat Jawa & Budaya Barat: Kajian Sastra Jawa Masa Kolonial. Yogyakarta: Adi Wacana. Suwondo, T. (2016). Pragmatisme Pascakolonial. Trilogi Gadis Tangsi dalam Sistem Komunikasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 302
Peranan Metode Group Investigation dan Media Gambar Ilustrasi dalam Pembelajaran Menulis Berbahasa Jawa
Shinta Tyas Pratisthita, Retno Winarni, Sumarwati Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta E-mail:
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan peranan metode group investigation dan media gambar ilustrasi dalam pembelajaran menulis berbahasa Jawa. Sesuai dengan tujuan penelitian, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualittatif dengan teknik analisis pustaka. Metode analisis pustaka yaitu menggunakan buku-buku, literatur ataupun bahan pustaka, kemudian mencatat atau mengutip pendapat para ahli yang ada di dalam buku tersebut. Secara praktis, metode yang digunakan dalam kajian ini dijabarkan dalam tiga metode sesuai dengan tahapan pelaksanaannya, yaitu: (1) metode pengumpulan data; (2) metode analisis data; dan (3) metode penyajian hasil analisis. Hasil dari penelitian ini adalah adanya peranan dan pengaruh yang positif dari penggunaan metode group investigation dan media gambar ilustrasi sehingga metode ini adalah metode yang tepat apabila digunakan dalam pembelajaran menulis berbahasa Jawa agar nilai siswa dapat mencapai KKM. Kata kunci: Metode group investigation, media gambar ilustrasi, menulis berbahasa Jawa.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 303
Latar Belakang Salah satu mata pelajaran yang diberikan kepada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah bahasa Jawa. Bahasa merupakan suatu cabang ilmu dan juga bahasa bergunua sebagai wahana penyerapan ilmu ke dalam diri manusia (Sariyan, 2009: 5). Bahasa Jawa merupakan salah satu kearifan local yang memiliki peranan yang cukup besar untuk dapat mengendalikan sikap dan tingkah laku seseorang apabila digunakan dengan tepat. Pernyataan tersebut dengan pendapat Fajarini (2004: 124) yang mengungkapkan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang sangat majemuk dan mempunyai petatah-petitih Melayu, bahasa krama inggil Jawa, dan petuah yang diperoleh dari berbagai suku di Indonesia. Keadaan tersebut merupakan bagian dari keragaman ungkapan suku bangsa yang menjadi bagian dari kearifan lokal, yang menjadi kendali dalam menjalankan kehidupan. Pada kenyataannya, generasi muda yang tinggal di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Yogyakarta kini mulai enggan menggunakan bahasa Jawa dengan tepat, mereka hanya mampu menggunakan bahasa ngoko dan karena tidak terlalu paham dengan penggunaan ragam krama. Pernyataan tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Subroto, dkk (2008) yang menyatakan bahwa Generasi Muda Jawa tidak mampu menggunakan bahasa Jawa krama inggil dengan tepat yang dibuktikan melalui tes dan wawancara secara mandalam. Pada saat ini mata pelajaran bahasa Jawa kurang diminati siswa karena siswa menganggap bahwa mata pelajaran bahasa Jawa hanyalah mata pelajaran muatan lokal yang tidak termasuk dalam Ujian Nasional. Sikap siswa tersebut berdampak pada nilai siswa yang tidak mencapai Kriteria Kelulusan Minimal (KKM). Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan metode dan media yang tepat dalam proses pembelajaran. Metode yang dianggap tepat yaitu metode group investigation yang digabungkan dengan media gambar ilustrasi. Berdasarkan paparan tersebut maka penulis ingin memaparkan peranan metode group investigation dan media gambar ilustrasi dalam pembelajaran keterampilan menulis bahasa Jawa.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 304
Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan metode group investigation? 2. Apakah yang dimaksud dengan media gambar ilustrasi? 3. Bagaimana peranan metode group investigation dan media gambar ilustrasi dalam pembelajaran menulis bahasa Jawa?
Pembahasan Metode Group Investigation Dalam proses pembelajaran, seorang guru harus dapat memilih metodemetode belajar yang tepat agar proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lancar sesuai dengan harapan dan tujuan pembelajaran. Penggunaan metode yang kurang tepat dapat menghambat tercapainya tujuan pembelajaran. Pemilihan metode pembelajaran yang tepat, dapat mewujudkan tercapainya pembelajaran secara efektif. Metode yang digunakan harus disesuaikan dengan materi yang disampaikan (Roestiyah, 2008: 1). Metode digunakan oleh guru untuk mengkreasi lingkungan belajar dan mengkhususkan aktivitas agar guru dan siswa terlibat aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar (Majid, 2014: 21). Dengan memperhatikan hal tersebut, maka guru dapat menggunakan metode yang tepat agar tujuan dari pembelajaran dapat tercapai. Ada beberapa metode pembelajaran, salah satunya yaitu metode group investigation. Metode pembelajaran group investigation adalah salah satu metode pembelajaran koopetaif. Sesuai dengan pendapat Daryanto dan Mulyo (2012: 243), yang menyebutkan beberapa tipe metode kooperatif, di antaranya metode jigsaw, number head together, dan metode group investigation. Group investigation (GI) adalah metode pembelajaran yang melibatkan peranan siswa sejak perencanaan. Metode ini menuntut siswa agar mampu berkomunikasi dan keterampilan proses memiliki kelompok (Sugiyanto, 2009: 46). Selanjutnya Huda (2011: 124), menyatakan bahwa metode group investigation
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 305
yaitu metode yang menempatkan siswa ke dalam kelompok yang masing-masing diberi tugas atau proyek berbeda. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa metode group investigation adalah metode pembelajaran tipe kooperatif yang melibatkan siswa dalam setiap proses pembelajaran dan dalam metode ini siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang kemudian ditugaskan untuk memecahkan suatu masalah sesuai dengan proyek yang dihadapi. Menurut Tsoi, et all (2004), berikut langkah-langkah pembelajaran yang menerapkan metode group investigation: a) Siswa dihadapkan pada masalah yang problematis; b) Guru memfasilitasi siswa untuk melakukan kajian untuk merespon masalah tersebut; c) Siswa merumuskan tugas-tugas belajar dan mengorganisasikan kegiatan belajarnya; d) Siswa melakukan kegiatan belajar baik secara kelompok atau mandiri; e) Siswa menganalisis kemajuan dan proses yang dilakukan dalam belajar; f) Siswa mengecek ulang hasil belajarnya agar dapat menarik kesimpulan atau diperlukan kajian ulang. Keuntungan menggunakan metode group investigation dalam kegiatan pembelajaran yaitu: a) siswa dapat secara aktif mengikuti pembelajaran; b) siswa dapat belajar memecahkan suatu masalah; c) siswa menjadi bersemangat dan kreatif; d) meningkatkan kerja sama; e) belajar untuk menghargai pendapat orang lain; f) meningkatkan partisipasi dalam membuat suatu keputusan; g) siswa
terlatih
untuk
mempertanggung-jawabkan
pendapat
yang
disampaikannya (Tsoi, et all, 2004). Media Gambar Ilustrasi Menurut Anitah (2009: 124), media adalah sesuatu yang menguhubungkan dua pihak yaitu sumber pesan dengan penerima pesan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Djamarah dan Zain (2010: 121) mengungkapkan bahwa media merupakan alat yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 306
Media pembelajaran merupakan alat yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran (Hamdani, 2011: 90). Sejalan dengan pendapat tersbut, Sukiman (2012: 29) menungkapkan bahwa media pembelajaran merupakan alat yang digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima pesan sehingga alat tersebut dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, minat, dan memotivasi peserta didik sehingga menunjang proses pembelajaran dan tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif. Selanjutnya menurut Budiono dalam Rohjianti (2012: 17), media pembelajaran menyebabkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya, media memungkinkan adanya keseragaman dalam memandang suatu hal sehingga dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis, media juga dapat menanamkan motivasi peserta didik agar memiliki kemauan untuk belajar. Gambar adalah sesuatu yang diwujudkan secara visual dalam bentuk dua dimensi sebagai curahan perasaan atau pikiran. Dengan kata lain gambar merupakan
media
untuk
menyampaikan
pesan
kepada
orang
lain
(Hamalik,1982: 57). Gambar ilustrasi termasuk dalam media visual. Ilustrasi adalah pesan/informasi yang dikemas dalam bentuk gambar jauh lebih efisien daripada informasi dalam bentuk simbol verbal. Kata pepatah, satu gambar setara dengan seribu kata-kata (Prasetyo, 2006: 170). Ilustrasi adalah sebuah citra yang dibentuk untuk memperjelas sebuah informasi dengan memberi representasi secara visual. Esensi dari ilustrasi adalah pemikiran; ide dan konsep yang melandasi apa yang ingin dikomunikasikan gambar. Menghidupkan atau memberi bentuk visual dari sebuah tulisan adalah peran dari ilustrator. Mengombinasikan pemikiran analitik dan skill kemampuan praktis untuk membuat sebuah bentuk visual yang mempunyai pesan (Witabora, 2012: 660). Media gambar memiliki peranan penting dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini mengacu pada pernyataan Winataputra (2005:55) yang menyatakan bahwa penglihatan (visual) memiliki komposisi paling besar (75%) Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 307
dalam hal rata-rata jumlah informasi yang dapat diperoleh seseorang. Informasi yang diperoleh melalui penglihatan juga lebih mudah ditangkap dan diingat oleh memori seseorang. Media gambar apabila didukung oleh metode pembelajaran yang sesuai, juga dapat membawa siswa pada lingkungan belajar yang aktif dan menyenangkan. Gambar atau visual dapat merangsang pikiran seseorang untuk lebih tertarik dalam memperhatikan sesuatu dibandingkan dengan tulisan saja. Hal tersebbut juga berlaku pada proses pembelajaran. siswa akan lebih tertarik dengan materi pembelajaran apabila ada gambar yang dapat merangsang pikiran siswa untuk memperhatikan materi belajar. Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran gambar ilustrasi adalah alat yang digunakan guru untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa yang diwujudkan secara visual dua dimensi yang bertujuan untuk merangsang pikiran siswa agar lebih tertarik terhadap materi pembelajaran yang diberikan oleh guru sehingga tujuan dari kegiatan pembelajaran dapat tercapai.
Peranan Metode Group Investigation dan media Gambar Ilustrasi dalam Pembelajaran Menulis Bahasa Jawa.
Metode pembelajaran adalah adalah cara-cara yang dilakukan oleh guru untuk menyampaikan bahan ajar kepada siswa, atau metode pemblajaran juga di definisikan sebagai cara-cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai (Sukaedi, 2013: 29). Sedangkan media adalah alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi, yang terdiri antara lain buku, tape-recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer (Gagne dan Briggs dalam Arsyad, 2002:4). Ada banyak metode dan media pembelajaran yang dapat digunakan guru, namun Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 308
guru harus mampu memilih metode dan media yang sesuai dengan tujuan dari masing-masing Kompetensi Dasar (KD) dapat tercapai. Group investigation adalah metode pembelajaran tipe kooperatif yang melibatkan siswa secara aktif dalam suatu kelompok dalam menyelesaikan tugas sesuai dengan peranan dan kewajibannya (Slavin, 2005: 215). Gambar ilustrasi berpotensi untuk menjelaskan arti tentang sesuatu dengan lebih luas daripada katakata, terlebih apabila gambar tersbut dibuat guna mengemukakan sesuatu secara tertulis (Suryadi, dalam Hartanto, 2001: 41). Penelitian sebelumnya yang menggunakan metode group investigation adalah penelitian yang berjudul Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Geografi Tentang Sebaran Barang Tambang di Indonesia Melalui Gabungan Model Pembelajaran Picture and Picture dan Group Investigation Bagi Siswa Kelas X IPS 2 SMK Negeri 8 Surakarta Tahun 2015. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Rajasa (2015) ini yaitu keaktivan dan hasil belajar geografi tentang sebaran barang tambang di Indonesia pada siswa kelas X IPS 2 SMK Negeri 8 Surakarta meningkat dengan diterapkannya model pembelajaran picture and picture dan metode group investigation. penelitian lain yaitu penelitian yang dilakukan oleh arindriono yang berjudul Perancangan Media Pembelajaran Interaktif Matematika untuk Siswa Kelas 5 SD. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa media pembelajaran yang interaktif pada saat ini adalah media gambar ilustrasi karena dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan. Penelitian lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Istikomah, dkk yang berjudul
“Penggunaan
Model
Pembelajaran
Group
Investigation
untuk
Menumbuhkan Sikap Ilmiah Siswa”. Penelitian yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia Volume 6 nomor 1 Univesritas Negeri Semarang ini didapatkan hasil bahwa metode pembelajaran group investigation efektif dalam menumbuhkan sikap ilmiah siswa. Kemudian Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ulfah, dkk pada tahun 2014 dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Group Investigation Terhadap Keterampilan Proses Sains Pada Materi Koloid di SMA”. Penelitian ini dimuat Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 309
dalam jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Untan Volume 3 nomor 10 tahun 2014. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran group investigation sangat berpengaruh terhadap peningkatan keterampilan proses sains siswa dan peningkatan tersebut tergolong tinggi. Kemudian, penelitian yang berjudul “Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Geografi Tentang Sebaran Barang Tambang di Indonesia Melalui Gabungan Model Pembelajaran Picture and Picture dan Group Investigation Bagu Siswa Kelas XI IPS 2 SMA Negeri 8 Surakarta Tahun 2015”. Hasil dari penelitian ini yaitu keaktivan dan hasil belajar siswa meningkat setelah diterapkannya model pembelajaran picture and picture dan group investigation. Penelitian yang relevan lainnya yaitu penelitian yang Berjudul “Keefektivan Ilustrasi Terhadap Kemampuan Mengingat Isi Cerita pada Siswa Kelas 3 SDN 01 Sisisr.” Hasil dari penelitian ini yaitu gambar ilustrasi sangat efektif digunakan sebagai media pembelajaran karena dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengingat isi cerita. Metode
group
investigation
adalah
metode
yang
tepat
karena
menumbuhkan keaktifan siswa pada saat proses pembelajaran. Metode ini juga menuntut siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapi bersama kelompoknya. Dalam pembelajaran menulis, metode ini tepat digunakan karena siswa bersama kelompoknya mampu mengembangkan topik-topik yang telah ditentukan menjadi suatu karangan berbahasa Jawa yang tepat. Media gambar ilustrasi juga merupakan media yang tepat dalam pembelajaran menulis berbahasa Jawa karena melalui media ini siswa mampu berimajinasi sehingga dapat mengembangkan topik yang ada.
Simpulan Metode pembelajaran adalah adalah cara-cara yang dilakukan oleh guru untuk menyampaikan bahan ajar kepada siswa, atau metode pemblajaran juga di definisikan sebagai cara-cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 310
dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai (Sukaedi, 2013: 29). Sedangkan media adalah alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi, yang terdiri antara lain buku, tape-recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer (Gagne dan Briggs dalam Arsyad, 2002:4). Group investigation adalah metode pembelajaran tipe kooperatif yang melibatkan siswa secara aktif dalam suatu kelompok dalam menyelesaikan tugas sesuai dengan peranan dan kewajibannya (Slavin, 2005: 215). Gambar ilustrasi berpotensi untuk menjelaskan arti tentang sesuatu dengan lebih luas daripada katakata, terlebih apabila gambar tersbut dibuat guna mengemukakan sesuatu secara tertulis (Suryadi, dalam Hartanto, 2001: 41). Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode group investigation adalah metode yang tepat karena menumbuhkan keaktifan siswa pada saat proses pembelajaran. Metode ini juga menuntut siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapi bersama kelompoknya. Dalam pembelajaran menulis, metode ini tepat digunakan karena siswa bersama kelompoknya mampu mengembangkan topik-topik yang telah ditentukan menjadi suatu karangan berbahasa Jawa yang tepat. Media gambar ilustrasi juga merupakan media yang tepat dalam pembelajaran menulis berbahasa Jawa karena melalui media ini siswa mampu berimajinasi sehingga dapat mengembangkan topik yang ada.
Daftar Pustaka Sariyan. (2009). Peranan Bahasa Dalam Pembinaan Insan Dan Pembangunan Masyarakat Hadhari. Jurnal Hadhari Bil. 1 hal 1-29. Universiti Kebangsaan Malaysia. Fajarini, U. (2014). Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter. Jurnal Sosio
didaktika
UIN
Jakarta
Vol.
(2).
Diunduh
dari
http://www.journal.uinjkt.ac.id/index.php/SOSIO-FITK/article/view/1225 pada tanggal 18 Maret 2017.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 311
Subroto, Edi, dkk. (2008). Endangered Krama and Krama Inggil Varieties of the Javanese Languages. Jurnal Linguistik Indonesia Tahun ke-26 nomor 1. Roestiyah (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Majid, A. (2014). Strategi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Daryanto, dan Mulyo Rahardjo. (2012). Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: Gava Media. Huda, Miftahul. (2011). Cooperative Learning Metode. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Sugiyanto. 2009. Mode-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 UNS Surakarta. Tsoi, M.F., Goh, N. K. & Chia, L.S. 2004.Using group investigation for chemistry in teacher education: In: Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching.
5,
1
diunduh
dari
https://www.e-
teaching.org/materialien/literatur/tsoi_et_al_2004 pada tanggal 1 Maret 2017. Sukiman. 2012. Pengembangan Sistem Evaluasi. Yogyakarta: Insan Madani. Anitah W, Sri, dkk. (2009). Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Hamalik, Oemar. (1982). Media Pendidikan. Bandung: Alumni Prasetyo, Eko Budi. (2006). Peran Ilsutrasi Visual dalam Pembelajaran. Majalah Ilmiah
Pembelajaran
Vol
2(2):
167-174.
Diaskes
http://journal.uny.ac.id/index.php/mip/article/viewFile/7127/6150
dari pada
tanggal 1 Maret 2017. Witabora, Joneta. (2012). Peran dan Perkembangan Ilustrasi. Jurnal Humaniora Vol. 3(2). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Udin S. Winataputra, dkk.(2005). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Sukaedi, Ismail. (2013). Model-model Pembelajaran Modern. Jogjakarta: Tunas Gemilang Press. Hlm 29-30
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 312
Slavin, Robert E. (2005). Cooperative Learning: theory, research and practice (N. Yusron. Terjemahan). London: Allymand Bacon. Buku asli diterbitkan tahun 2005. Rajasa, Ari. (2015). Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Geografi Tentang Sebaran Barang Tambang di Indonesia Melalui Gabungan Model Pembelajaran Picture and Picture dan Group Investigation Bagi Siswa Kelas X IPS 2 SMK Negeri 8 Surakarta Tahun 2015. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta. Istikomah, dkk.(2012). Penggunaan Model Pembelajaran Group Investigation untuk Menumbuhkan Sikap Ilmiah Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia Volume 6 (1).Semarang: Universitas Negeri Semarang. Ulfah, Urina, dkk.(2014). Pengaruh Model Pembelajaran Group Investigation Terhadap Keterampilan Proses Sains Pada Materi Koloid di SMA. Diunduh pada http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/7535 pada tanggal 3 Maret 2017.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 313
PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBASIS INTERNET DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JAWA Alfiah, Bambang Sulanjari
[email protected],
[email protected]
Abstrak
Tujuan penulisan makalah ini untuk mendeskripsikan pentingnya pembelajaran kooperatif berbasis internet sebagai alternatif dalam pembelajaran bahasa Jawa. Mata pelajaran bahasa Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib di Jawa Tengah, kurang diminati oleh siswa. Selain karena bahasa Jawa yang sulit dipahami oleh siswa, model guru dalam mengajar kurang inovatif. Kondisi yang demikian menuntut guru untuk mampu menciptakan suasana pembelajaran di kelas yang menarik dan menyenangkan. Makalah ini disusun dengan metode studi pustaka dari berbagai sumber dalam bentuk buku, artikel, jurnal hasil penelitian yang terkait dengan pembelajaran kooperatif dan peran internet dalam pembelajaran. Pembelajaran kooperatif termasuk salah satu strategi pembelajaran inovatif yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif mengkrontruksi pemahaman secara berkelompok. Dengan dilengkapi fasilitas internet, siswa memperoleh keleluasaan dalam menghimpun sumber belajar dalam berbagai bentuk yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi. Dengan pembelajaran kooperatif berbasis internet, pembelajaran bahasa Jawa dapat berlangsung lebih menyenangkan dibanding ketika guru mengajar hanya mengandalkan metode ceramah. Oleh karena itu, pencapaian tujuan pembelajaran bahasa Jawa dapat dtingkatkan.
Kata kunci: pembelajaran kooperatif; internet; bahasa Jawa
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 314
A. LATAR BELAKANG
Mata pelajaran (mapel) bahasa Jawa sebagai mapel muatan lokal wajib di Jawa Tengah merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokan ke dalam mata pelajaran yang ada ( Wibawa, 2011). Dalam paparannya lebih lanjut dijelaskan bahwa secara substansi, bahasa Jawa memiliki nilai-nilai lokal yang mengandung tata nilai, norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi,dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa (Sayuti dalam Wibawa, 2011). Sejalan dengan konsep ini, dijelaskan pula bahwa bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang memiliki status dan kedudukan yang amat penting. Oleh karena itu, bahasa Jawa mempunyai hak sepenuhnya untuk dihormati dan dipelihara oleh Negara. Salah satu realisasi bentuk penghormatan dan pemeliharaannya adalah dengan memasukkan bahasa Jawa sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah (formal) yang wilayahnya termasuk penutur bahasa Jawa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib di Jawa Tengah perlu sekali diperhatikan terkait dengan pengelolaan pembelajarannya (Mulyana. 2006). Meskipun secara substandi dan kedudukan bahasa Jawa sangat penting sebagai upaya pelestarian nilai-nilai kearifan lokal seperti uraian di atas, permasalahan klasik tentang bahasa Jawa sebagai mata pelajaran yang sulit dan kurang diminati oleh siswa masih terus dikeluhkan oleh guru, orang tua, dan siswa itu sendiri. Jadi, di era sekarang ini, tidak aneh lagi jika menemukan orang Jawa, khususnya anak Jawa yang tidak mampu berbahasa Jawa. Dengan merujuk pada hasil penelitian yang dihasilkan oleh Hadiatmaja (1998) dalam Mulyana (2006), bahwa munculnya permasalahan tersebut disebabkan oleh: (1) Kurikulum Bahasa Jawa yang ada sekarang relatif belum memberikan gambaranyang jelas antara relevansi kurikulum itu dengan tujuan yang hendak dicapai; (2) GBPP mapel Bahasa Jawa masih cenderung mengacu pada GBPP mapel Bahasa Indonesia; (3) Gairah atau semanagat belajar bahasa Jawa siswa pada umumnya masih rendah, baik motivasi instrinsik maupun ekstrinsik (kelangkaan buku, status bahasa Jawa yag dianggap kurang penting, dan sebagainya); (4) Bahan pengajaran bahasa Jawa yang diajarkan kurang didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan siswa itu sendiri; (5) guru, sebagai sosok pengajar, sebagian besar kurang mampu membawa diri dan tampil sebagai pribadi yang disayangi siswa. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 315
Bertolak dari kondisi di atas, sejalan dengan rekomendasi Dialog Nasional Bahasa, Sastra dan Budaya Jawa yang diadakan di Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2002, bahwa pembelajaran bahasa Jawa di sekolah perlu direvitalisasi. Artinya pembelajaran bahasa Jawa perlu disegarkan kembali dengan semangat pengembangan dan pelestarian secara proporsional. Siswa diarahkan supaya mampu tampil menggunakan bahasa Jawa dengan baik dan benar (trep kaliyan kawontenan). Berdasarkan beberapa penyebab munculnya permasalahan dalam pembelajaran bahasa Jawa seperti di atas, salah satu upaya yang mendesak dan perlu dilakukan ialah meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran bahasa Jawa di kelas atau di luar kelas. Dengan upaya tersebut diharapkan mampu membangun image terhadap guru bahasa Jawa yang disegani oleh siswa karena mampu mengajar dengan inovatif dan menyenangkan. Dalam makalah ini, salah satu alternatif yang dirancang sebagai upaya meningkatkan kemampuan guru bahasa Jawa dalam melaksanakan proses pembelajaran ialah penerapan pembelajaran kooperatif berbais internet.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkann latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah dalam makalah antara lain: 1. Mengapa pembelajaran kooperatif berbasis internet perlu diterapkan dalam pembelajaran bahasa Jawa 2. Bagaimana konsep penerapan pembelajaran kooperatif berbasis internet dalam pembelajaran bahasa Jawa
C. PEMBAHASAN 1. Pentingnya Pembelajaran Kooperatif Berbasis Internet dalam Pembelajaran Bahasa Jawa
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan siswa belajar dalam kelompok yang beranggoatakan 4 – 6 siswa dengan tingkat kemampuan atau jenis kelamin atau latar belakang yang berbeda. Dengan pernyataan lain, dijelaskan pula bahwa pembelajaran kooperatif adalah mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim untuk mencapai tujuan bersama (Isjoni, 2009:62-63). Dalam penjelasannya lebih lanjut, ditegaskan bahwa Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 316
pembelajaran kooperatif perlu dilakukan karena dengan penanaman keterampilan kooperatif dapat melatih siswa dalam menghargai pendapat orang lain; mendorong partisipasi; berani bertanya; mendorong teman untuk bertanya; mengambil giliran dan berbagi tugas. Sejalan dengan konsep di atas, dijelaskan bahwa pembelajaran kooperatif menekankan pengetahuan siswa yang dibangun dan dikonstruksi secara mutual. Peserta didik berada dalam konteks sosiohistoris. Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi mereka untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman. Dengan cara tersebut, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik mengonstruksi pengetahuan dengan menstransformasikan, mengorganisasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dan informasi sebelumnya. Peserta didik mengonstruksi pengetahuan melalui inteaksi sosial dengan orang lain (Suprijono, 2009:54-55). Dalam rangka mendukung terlaksananya proses pembelajaran kooperatif seperti konsep di atas, internet menjadi salah satu sumber belajar yang mampu menginspirasi keaktifan siswa dalam belajar. Internet dapat diartikan sebagai jaringan komputer luas dan besar yang mendunia, yaitu menghubungkan pemakai computer dari suatu negara ke negara lain di seluruh dunia, di mana di dalamnya terdapat berbagai sumber daya informasi mulai dari yang statis hingga yang dinamis dan interaktif. Dengan demikian, secara nyata internet dapat mendukung kegiatan pendidikan karena memiliki karakteristik yang khas, yakni: 1) sebagai media interpersonal dan juga sebagai media massa yang memungkinkan terjadinya komunikasi one-to-one maupun one-to-many; 2) memiliki sifat interaktif; 3) memungkinkan terjadinya komunikasi secara sinkron maupun tertunda sehingga memungkinkan terselenggarakannya keyiga jenis dialog atau komunikasi yang merupakan salah satu syarat terselenggarakannya suatu proses belajar mengajar (Gerrits, dkk, 2015). Selain internet memiliki karakteristik seperti tersebut di atas, internet juga menawarkan beberapa kesempatan yang dapat diraih, antara lain: 1) Bagi peserta didik, internet menawarkan kesempatan untuk belajar sendiri secara cepat diantaranya meningkatkan pengetahuan, belajar berinteraksi, mengembangkan kemampuan di bidang penelitian, memperkaya diri seperti meningkatkan komunikasi dan kepekaan akan permasalahan yang ada di seluruh dunia; 2) Bagi para staf pengajar, internet menawarkan kesempatan untuk pengembangan profesional seperti meningkatkan pengetahuan, berbagi sumber di antara rekan sejawat, bekerja sama dengan staf-staf pengajar di luar negeri, Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 317
mengatur komunikasi secara teratur, dan sebagaia sumber bahan mengajar. Dalam hal ini, internet bukanlah sebagai pengganti sistem pendidikan. Kehadiran internet lebih bersifat suplementer dan pelengkap. Masih sejalan dengan peran internet dalam pembelajaran, berikut ini beberapa alasan mengapa perlu pembelajaran menggunakan internet, antara lain: 1) 98% remaja tahu internet dan 79,5% adalah pengguna internet; 2) di perkotaan, 87% menggunakan internet, sebaliknya di pedesaan 87% persen tidak memakai internet; 3) 52% menggunakan ponsel untuk mengakses internet, 21% menggunakan ponsel pinter dan 4% menggunakan tablet (Penggunaan Internet di kalangan anak-anak dan remaja di Indonesia, UNICEF, 2014). Berdasar pada dua konsep pemikiran di atas, yakni pembelajaran kooperatif dan media internet, dalam pembelajaran bahasa Jawa, dua hal tersebut sangat memungkinkan untuk dikolaborasikan. Pembelajaran bahasa Jawa dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif berbasis internet, diharapkan mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini mengingat bahwa sebagai mapel muatan lokal yang kurang diminati oleh siswa, bahasa Jawa harus diajarkan secara inovatif. Model pembelajaran yang hanya mengandalkan ceramah dengan media buku teks sudah tidak efektif lagi. Dengan model pembelajaran yang konvensional tersebut, siswa akan merasa bosan. Akibatnya tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. Dampak yang lebih memprihatinkan lagi adalah pesan yang memuat nilai-nilai kearifan lokal tidak akan diperoleh oleh siswa. Oleh karena itu, meskipun bahasa Jawa sebagai mapel muatan lokal, tetapi memiliki muatan untuk penanaman karakter terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal, maka dalam proses pembelajarannya tidak boleh diabaikan. Mapel bahasa Jawa tidak bisa dipandang sebelah mata. Jadi, guru harus mampu menciptakan pembelajaran inovatif agar siswa merasa tertarik untuk mengikuti pembelajarannya. Dengan pembelajaran kooperatif berbasis internet, siswa memperoleh kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam mengonstruksi pengetahuan dengan menstransformasikan, mengorganisasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dan informasi sebelumnya. Berbagai pengetahuan dan informasi yang diakses melalui internet. Selain itu, dengan memanfaatkan jasa internet, siswa memperoleh keleluasaan untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat komprehensif. Siswa tidak lagi terbatas hanya menerima materi yang disajikan oleh guru atau yang dibaca dari buku. Keterlibatan siswa dalam pembelajaran kooperatif berbasis Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 318
internet akan memberi peluang kepada siswa untuk mengembangkan pengetahuan yang dipelajari. Model pembelajaran yang melibatkan keaktifan siswa dalam membangun konsep pemahaman yang demikian tersebut, sejalan dengan upaya pencapaian tujuan penddikan yang dirancang melalui kurikulum 2013 yang termuat dalam Permedikbud Nomor 22 tahun 2016. Hal ini sejalan dengan teori yang dirancang oleh Edgar Dale, bahwa hasil belajar seseorang diperoleh melalui pengalaman langsung (konkrit), kenyataan yang ada di lingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui tiruan, sampai kepada lambang verbal (abstrak). Ketika dalam pembelajaran bahasa Jawa, siswa dapat terlibat secara aktif dengan memanfaatkan akses internet, siswa akan merasa senang. Kejenuhan-kejenuhan yang selama ini dihadapi dapat dihindari karena siswa aktif terlibat secara total dalam mengonstruksi pemahaman materi yang dipelajarinya. Siswa juga bisa dengan mudah mengakses berbagai informasi melalui internet dengan sarana yang dimilikinya yaitu laptop atau hp. Selain dapat terhindar dari rasa jenuh atau bosan, tujuan pembelajatran juga dapat tercapai dengan hasil yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan konsep yang disampaikan oleh Sudjana dan ahmad Rivai (2009:9) bahwa pengajaran akan lebih efektif apa bila objek dan kejadian yang menjadi bahan pengajaran dapat divisualisasikan secara realistic menyeruapai keadaan yang sebenarnya, namun tidaklah berarti bahwa media harus selalu menyerupai keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, mapel bahasa Jawa tidak lagi menjadi mapel yang dihindari atau momok bagi siswa.
2. Rancangan Pembelajaran dengan Model Kooperatif Berbasis Internet dalam Pembelajaran Bahasa Jawa
Dalam model pembelajaran kooperatif terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan. Metode-metode pembelajaran kooperatif yang dimaksud antara lain: Student Teams Achievement Division (STAD); Tim Ahli (Jigsaw); Investigasi Kelompok,; Think Pair Shae (TPS); Number Head Together (NHT) (Trianto, 2007). Dari berbagai metode pembelajaran kooperatif tersebut di atas, dalam makalah ini menampilkan contoh rancangan pembelajarannya, yakni dengan metode STAD. Adapun fase dalam pembelajaran STAD ialah 1) menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa; 2) menyajikan/menyampaikan informasi; 3) mengorganisasikan siswa dalam kelompokkelompok belajar; 4) membimbing kelompok bekerja dan belajar; 5) evaluasi; 6) memberikan penghargaan. Berikut ini rancangan pembelajaran dengan metode STAD. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 319
Kelas/Semester
: VII/Gasal
Kompetensi Dasar: Menanggapi geguritan tradisi gotong royong di lingkungan tempat tinggal Indikator
: a. Mengartikan kata-kata sulit dengan tepat b. Menyebutkan intisari geguritan dengan santun c. Menyebutkan nilai moral dalam geguritan dengan santun d. Memberikan pendapat tentang isi geguritan
Kegiatan Pembelajaran: 1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran Menanggapi Geguritan. 2. Guru memotivasi belajar siswa dengan cara mengondisikan kesiapan siswa dalam pembelajaran. 3. Guru menyajikan informasi terkait dengan materi geguritan dalam bentuk contohcontoh geguritan melalai layar LCD. Materi geguritan diakses melalui internet, Dalam tahapan ini, siswa melakukan kegiatan pengamatan/observasi untuk mengidentifikasi berbagai pengeratuan tentang geguritan. 4. Guru membimbing siswa dalam pembentukan kelompok. Kelompok dibentuk secara heterogen dari unsur peringkat prestasi akademik. 5. Guru menyiapkan soal-soal yang harus didiskusikan oleh masing-masing kelompok. 6. Dalam bekerja kelompok, siswa diberi kesempatan untuk menghimpun berbagai informasi dengan cara mengakses internet. Dalam tahapan ini, masing-masing kelompok dapat memeproleh pengetahuan tentang geguritan yang beragam. Antar kelompok bisa berbeda-beda. Setelah itu, masing-masing kelompok mendiskusikan soal-soal yang telah disiapkan guru dengan cara memadukan informasi yang diperoleh dari paparan guru dan hasil akses internet. Dalam tahapan ini pula, masing-masing kelompok berusaha menemukan konsep pemahaman tentang cara dan proses menanggapi isi geguritan gotong royong di lingkungan tempat tinggal. 7. Guru memberikan kesempatan kepada masing-masing kelompok, secara bergantian untuk mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas. 8. Guru memberikan penghargaan kepada kelompok atas hasil kerja kelompok dengan cara menempelkan bintang yang terbuat dari karton yang telah disiapkan sebelumnya. Pembelajaran bahasa Jawa dengan materi menanggapi geguritan, dengan rancangaan metode STAD di atas dapat memberikan kesempatan kepada siswa dalam Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 320
berdiskusi secara berkolaboratif dengan memanfaatkan berbagai informasi dan pengetahuan dari internet.
D. SIMPULAN Berdasarkan hasil paparan terkait dengan penerapan pembelajaran kooperatif berbasis internet dapat disimpulkan atara lain: 1. pembelajaran kooperatif dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif mengonstruksi pemahaman atas materi yang dipelajari. 2. Dengan mengakses di internet, siswa memiliki kesempatan yang luas untuk memperoleh pengetahuan dan informasi yang bersifat beragam. Siswa tidak terbatas memperoleh informasi yang disajikan oleh guru atau yang dibaca dari buku teks.
E. DAFTAR PUSTAKA
Isjoni. 2009. Pembelajaran Kooperatif, Mencerdaskan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudjana, Nana. 2009. Media Pembelajaran, Penggunaan dan Pembuatannya. Bandung:Sinar Baru Algensindo.
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktif. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Zaini, Hisyam, dkk. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Mandiri.
Daftar Laman:
https://bagusdwiradyan.wordpress.com http://ejournal.unpak.ac.id http://staffnew.uny.ac.id https://mgmpbasajawakabpkl.ac.id. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 321
Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw pada Materi Novel Berbahasa Jawa
Eko Gunawan
[email protected]
ABSTRAK Novel sebagai satu bentuk karya sastra menjadi salah satu materi pada pembelajaran Bahasa Jawa di tataran SMA. Terdapat banyak nilai kehidupan yang terkandung dalam novel yang akan diketahui hanya dengan membaca dan menelaahnya. Perlu diterapkan strategi yang tepat untuk mencapai kompetensi pada materi novel berbahasa Jawa. Kompetensi tersebut adalah menelaah dan menceritakan petikan teks novel. Di antara pilihan strategi yang bisa diterapkan adalah pembelajaran kooperatif model jigsaw. Melalui pembelajaran kooperatif model jigsaw, selain menguasai materi novel berbahasa Jawa, peserta didik juga dilatih untuk memiliki rasa tanggung jawab, percaya diri, jujur, dan mampu bekerja sama dalam kelompok. Pada pembelajaran ini guru berperan sebagai fasilitator, memberi arahan, serta tempat peserta didik bertanya dan menyampaikan kesulitan saat melakukan kegiatan pembelajaran berlangsung.
Kata Kunci: Pembelajaran kooperatif, model jigsaw, novel jawa
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 322
PENDAHULUAN Implementasi Kurikulum 2013 membuat banyak penyesuaian dalam berbagai hal, termasuk pada mata pelajaran Mulok Bahasa Jawa. Implementasi Kurikulum 2013 Mulok Bahasa Jawa bertujuan agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai berikut: (1) menjaga dan memelihara kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa sehingga menjadi faktor penting untuk peneguhan jati diri daerah; (2) menyelaraskan fungsi bahasa, sastra, dan aksara Jawa dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan arah pembinaan bahasa Indonesia; (3) mengenali nilai-nilai estetika, etika, moral dan spiritual yang terkandung dalam budaya Jawa untuk didayagunakan sebagai upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional; dan (4) mendayagunakan bahasa, sastra, dan aksara Jawa sebagai wahana untuk pembangunan karakter dan budi pekerti. Selaras dengan tujuan implementasi kurikulum muatan lokal tersebut, isi materi pelajaran Bahasa Jawa mencakup materi antara lain bahasa Jawa, sastra Jawa, aksara Jawa, dan budaya Jawa. Salah satu materi yang dipelajari adalah novel berbahasa Jawa yang merupakan bagian dari sastra Jawa. Kata novel berasal dari bahasa Latin novellas yang terbentuk dari kata novus yang berarti baru. Mengapa disebut baru? Karena novel merupakan karya sastra yang muncul setelah adanya karya sastra lainnya seperti puisi dan drama. Juga ada yang menyebutkan, novel berasal dari bahasa Itali novella, artinya baru, seperti kata novus dari bahasa Latin. Novel juga diartikan sebagai karangan yang lebih pendek daripada roman, akan tetapi lebih panjang daripada cerpen. Novel merupakan cerita rekaan yang menyajikan kehidupan manusia secara mendalam yang selalu berubah dan mewujudkan kesatuan dinamis yang mengandung makna (Santosa dan Wahyuningtyas, 2010). Memperhatikan definisi tersebut, melalui novel peserta didik dapat mempelajari banyak hal. Nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya tidak akan bisa diketahui tanpa membaca dan mengkajinya. Melalui kegiatan membaca peserta didik diarahkan untuk menelaah teks bacaan pada novel, sedangkan kegiatan mengkaji dilakukan dengan menelaah isi dan struktur pembangun novel. Novel pada Kurikulum 2013 Muatan Lokal Bahasa Jawa Provinsi Jawa Tengah termasuk materi tataran SMA, tidak pada tataran SMP apalagi SD. Ini mengingat bahwa dibandingkan dengan karya berupa prosa lain seperti cerkak, cerbung, atau cerita rakyat, novel memiliki tingkat kesulitan dan tantangan yang lebih tinggi, terlebih novel berbahasa Jawa. Untuk bisa mengkaji satu novel secara menyeluruh, peserta didik membutuhkan usaha dan Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 323
kerja keras yang lebih dibandingkan mengkaji cerpen ataupun cerita rakyat. Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran materi novel pada pembelajaran Bahasa Jawa bagi peserta didik SMA/ SMK/ MA. Terdapat beberapa inovasi pembelajaran yang sudah diterapkan pada pembelajaran novel. Sebagian di antaranya dengan menerapkan model mind mapping seperti yang dilaksanakan di SMAN 1 Rembang (Prasetyorini dalam Supriadi (ed.), 2016) dan menggunakan media komik berbasis Android (Lestari dan Sutrisno dalam Supriadi (ed.), 2016). Menambah inovasi yang sudah ada, paparan ini menyajikan pembelajaran kooperatif model jigsaw materi novel bahasa Jawa yang diterapkan di SMA Negeri 1 Wonosobo tahun pelajaran 2016/ 2017.
PEMBAHASAN Materi Novel Berbahasa Jawa dan Tantangan Pembelajarannya Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra merupakan satu dari sejumlah materi ajar pada materi mata pelajaran Bahasa Jawa di SMA khususnya pada kelas XI. Materi novel dipelajari pada kelas XI semester gasal. Kompetensi dasar pada KI 3 materi ini adalah “Memahami isi petikan teks novel berbahasa Jawa,” sedangkan pada KI 4 adalah “Menceritakan isi petikan teks novel berbahasa Jawa.’ Kompetensi Dasar tersebut mengarahkan peserta didik untuk memiliki pengalaman belajar berupa menelaah isi petikan novel dan menceritakannya. Pengalaman belajar ini tidak akan peserta didik raih apabila guru kurang mampu memilih strategi pembelajaran yang tepat. Peserta didik sudah mengenal novel berbahasa Indonesia, tetapi belum tentu mereka mengenal novel berbahasa Jawa. Ini bisa dimaklumi. Novel berbahasa Jawa belum banyak beredar di toko-toko buku, perpustakaan umum, dan perpustakaan sekolah. Hal ini menjadikan novel bahasa Jawa kurang dikenal oleh sebagian peserta didik. Apabila membaca pun, peserta didik belum tentu langsung bisa memahami jalan cerita seutuhnya karena adanya kata-kata “asing” dalam novel. Belum tentu kata berbahasa Jawa dalam cerita merupakan kata-kata yang peserta didik digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dilihat dari sisi ketersediaan dan bahasa yang digunakan, ini sudah menjadi tantangan berat bagi peserta didik dalam mempelajari novel berbahasa Jawa. Apabila tidak diimbangi strategi pembelajaran yang tepat dari guru, akan mempersulit tercapainya kompetensi peserta didik. Apalagi jika guru masih menerapkan pembelajaran konvensional yang cenderung menggunakan metode ceramah seutuhnya tanpa ada interaksi dengan peserta didik. Guru Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 324
membagikan petikan teks novel yang sama kepada seluruh peserta didik, atau menggunakan petikan novel yang ada pada buku/ LKS. Peserta didik dipandu untuk membaca, kemudian menjawab pertanyaan berdasar teks. Kemudian pembelajaran dicukupkan setelah kegiatan tersebut selesai. Apabila pelaksanaan hanya seperti ini sudah tentu tidak akan memberi pengalaman belajar kepada peserta didik. Perlu diterapkan pembelajaran inovatif, salah satunya menggunakan pembelajaran kooperatif model jigsaw.
Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Slavin (dalam Isjoni, 2011: 15) mengemukakan “In cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially presented by in teacher. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran di mana sistem belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah 4—6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Uraian tersebut memberi deskripsi bahwa dalam pembelajaran kooperatif peserta didik tidak bekerja secara individu atau perseorangan, melainkan bekerja dan belajar dalam kelompok. Rusman (2013: 203) menyebutkan pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakan dengan pembelajaran kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prinsip dasar pokok sistem pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas lebih efektif. Dalam pembelajaran kooperatif proses pembelajaran tidak harus belajar dari guru kepada peserta didik. Peserta didik dapat saling membelajarkan sesama peserta didik lainnya. Pembelajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) lebih efektif daripada pembelajaran oleh guru. Terdapat beberapa hal penting dalam strategi pembelajaran kooperatif, yakni: (1) adanya peserta didik dalam kelompok, (2) adanya aturan main (role) dalam kelompok, (3) adanya upaya belajar dalam kelompok, (4) adanya kompetensi yang harus dicapai oleh kelompok. Paparan Rusman mengisyaratkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif tidak sekadar belajar bersama dalam kelompok, melainkan ada suatu target yang ingin dicapai oleh kelompok yang mengharuskan adanya peran dan andil anggota dalam kelompok tersebut. Terdapat beberapa model pembelajaran kooperatif, salah satunya adalah model jigsaw. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 325
Jigsaw adalah satu pendekatan dalam pembelajaran kooperatif di mana dalam penerapannya peserta didik dibentuk dalam kelompok-kelompok, tiap kelompok terdiri atas tim ahli sesuai dengan pertanyaan yang disiapkan oleh guru maksimal lima pertanyaan sesuai dengan jumlah tim ahli. Model ini dikembangkan oleh Elliot Aronson. Model ini digunakan bila materi dikaji dalam bentuk narasi tertulis, misalnya pelajaran kajian sosial, sastra, dan beberapa bagian sains yang bertujuan untuk memperoleh konsep dan bukan keterampilan (Uno dan Mohamad, 2012: 110). Teks novel merupakan materi berbentuk narasi tertulis berupa teks sastra, sehingga tepat kiranya menerapkan model jigsaw. Berikut langkah-langkah pembelajaran kooperatif model jigsaw: (1) peserta didik dikelompokkan dengan anggota 4—6 orang, (2) tiap orang dalam tim diberi materi dan tugas yang berbeda, (3) anggota dari tim yang berbeda dengan penugasan yang sama membentuk kelompok baru (kelompok ahli). (4) setelah kelompok ahli berdiskusi, tiap anggota kembali ke kelompok asal dan menjelaskan kepada anggota kelompok tentang subbab yang mereka kuasai, (5) tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi, (6) pembahasan, dan (7) penutup.
Pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw Materi Novel Berbahasa Jawa Pra-Pembelajaran Novel berbahasa Jawa bagi sebagian peserta didik merupakan suatu yang lebih sulit didapat daripada novel berbahasa Indonesia. Apabila peserta didik diperintahkan untuk mencari, mengkopi sebagian isi, atau membeli pun belum tentu bisa diraih dengan mudah. Akan lebih baik apabila guru sudah menyiapkan beberapa buah novel, yang nantinya salah satu akan dipilih untuk selanjutnya menjadi bahan kajian di kelas. Berbeda dengan novel berbahasa Indonesia yang tebalnya bisa mencapai 200, 300-an halaman, atau bisa lebih daripada itu, novel berbahasa Jawa tidak setebal itu. Novel yang tidak begitu tebal tidak akan memberatkan apabila diperbanyak untuk selanjutnya dikaji. Guna mengoptimalkan pencapaian kompetensi, adanya lembar kerja akan mempermudah guru mengondisikan peserta didik saat pembelajaran berlangsung. Pada pembelajaran novel melalui penerapan model jigsaw ini diperlukan lembar kerja, yang berisi rambu-rambu dalam menelaah isi novel. Terdapat dua lembar kerja yang hampir sama, yang digunakan peserta didik sebagai acuan. Lembar kerja pertama dikerjakan kelompok ahli, berisi analisis singkat bagian novel yang ditelaah. Lembar kerja kedua dikerjakan saat anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal, berisi analisis novel secara menyeluruh. Berikut contoh format lembar kerja analisis petikan teks novel dan teks novel secara menyeluruh. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 326
ANALISIS PETHIKAN NOVEL “...”
ANALISIS NOVEL “...”
F. Prakara Jroning Pethikan Novel
I.
G. Lakune Crita
J. Tema
H. Prastawa Pokok
K. Lakune Crita
I.
L. Prastawa Pokok
Paraga lan Watake
J. Latar
Novel kang Dianalisis
M. Paraga lan Watake
1. Wektu
N. Latar Wektu, Panggonan, Swasana
2. Panggonan
O. Piwulang kang Kinandhut
3. Swasana
P. Sinopsis Bagan 1 Contoh Format Lembar Kerja Peserta Didik
Selain menyiapkan lembar kerja, guru bisa menyiapkan contoh lembar hasil kerja berupa analisis novel yang sudah jadi. Lembar hasil kerja bisa merupakan sampel pekerjaan peserta didik periode sebelumnya atau guru sendiri yang menyiapkan. Berikut contoh lembar hasil kerja siswa untuk semakin memudahkan dalam mengarahkan peserta didik pada pembelajaran teks novel.
Bagan 2 Contoh Lembar Hasil Kerja Peserta Didik
Pertemuan Pertama Pada awal pembelajaran, guru menyampaikan arah pembelajaran materi novel, kompetensi yang akan dicapai, indikator pembelajaran, serta kegiatan pembelajaran yang berlangsung selama dua pertemuan. Pada pertemuan pertama guru juga menunjukkan beberapa novel berbahasa Jawa untuk menambah motivasi dan semangat peserta didik untuk mempelajarinya.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 327
Peserta didik dibagi menjadi kelompok masing-masing beranggotakan 5—6 orang. Kelompok ini disebut sebagai kelompok asal. Pada kelompok asal guru membagi materi untuk masing-masing anggota. Setiap anggota kelompok mendapat tugas berbeda untuk membaca petikan teks novel. Satu novel dengan tebal 80—90an halaman dibagi menjadi lima atau enam bagian untuk setiap peserta didik. Banyaknya bagian yang dipelajari satu peserta didik bisa disesuaikan dengan ketebalan atau banyaknya halaman novel dan mempertimbangkan kemampuan kognisi siswa. Melalui pembagian tugas pada kelompok asal ini, masing-masing anggota kelompok memiliki tanggung jawab atas petikan teks novel bagiannya. Anggota kelompok asal dengan tanggung jawab petikan teks novel yang sama berkumpul membentuk kelompok baru. Kelompok baru ini disebut kelompok ahli. Selama alokasi waktu tertentu, misal selama 60—70 menit atau menyesuaikan, anggota kelompok ahli mendiskusikan isi petikan novel yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk mempermudah anggota kelompok ahli ini bekerja kelompok, guru memberikan lembar kerja analisis petikan teks novel. Masing-masing kelompok ahli menganalisis petikan teks berbeda dari novel yang dikaji. Pada kegiatan diskusi kelompok ahli, setiap anggota kelompok bekerja sama membahas dan menelaah isi petikan teks novel. Setiap anggota kelompok ahli dikondisikan untuk berusaha sebaik mungkin bisa memahami dan menguasai petikan teks novel tanggung jawabnya. Nantinya setelah kegiatan diskusi kelompok ahli selesai, anggota kelompok akan kembali ke kelompok asal. Proses diskusi pada kelompok asal ini merupakan kegiatan mengarah pencapaian KD pada KI 3, yaitu memahami isi petikan teks novel berbahasa Jawa. Kegiatan pertemuan pertama diakhiri dengan pengumpulan hasil kerja kelompok ahli.
(1)
(2)
(3)
Gambar Aktivitas Siswa: (1) belajar secara berkelompok (2) memperhatikan contoh hasil analisis (3) diskusi dan mengisi lembar kerja Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 328
Pertemuan Kedua Kegiatan pembelajaran pertemuan kedua diawali dengan me-review atau mengulas kembali kegiatan yang sudah dilaksanakan pada pertemuan pertama. Sebelumnya, peserta didik sudah melakukan diskusi antaranggota kelompok ahli untuk menentukan pokokpokok isi serta unsur pembangun petikan teks novel. Pada pertemuan kedua ini anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal. Tugas anggota kelompok ahli adalah menyampaikan hasil diskusi pertemuan pertama kepada anggota kelompok asal. Pengalaman belajar yang akan dituju pada pertemuan kedua adalah tercapainya kompetensi dasar pada KI 4, yaitu melalui kegiatan menceritakan isi petikan teks novel berbahasa Jawa. Secara individu anggota kelompok asal memiliki tanggung jawab untuk memaparkan kepada teman-teman dalam kelompok asal mengenai pokok-pokok cerita dan peristiwa pada petikan teks yang mereka kuasai. Setiap individu menguasai petikan teks yang berbeda dan saling melengkapi menjadi satu kesatuan utuh satu novel. Selesai menceritakan petikan teks novel yang setiap anggota kuasai, kegiatan dilanjutkan dengan mendiskusikan isi novel secara menyeluruh. Akan ada komunikasi kembali antaranggota kelompok untuk menentukan permasalahan utama pada novel; tokoh-tokoh serta perwatakannya; latar tempat, waktu, dan suasana; nilai-nilai yang terkandung; dan ringkasan/ sinopsis novel. Lembar kerja kedua digunakan pada pertemuan kedua ini. Antara kelompok asal satu dengan kelompok asal yang lain dalam satu kelas bisa saja berbeda dalam hal hasil kerja. Ini tergantung kemampuan setiap individu anggota kelompok asal dalam memaparkan hasil diskusinya saat berkumpul dengan kelompok ahli. Alokasi waktu yang digunakan untuk peserta didik menceritakan secara bergantian dalam kelompok asal adalah 20 menit atau menyesuaikan. Selebihnya waktu digunakan untuk berdiskusi dan mengisi lembar kerja analisis novel secara utuh. Sebelum penutup, dialokasikan waktu untuk membahas novel yang dikaji secara klasikal (bukan dalam kelompok). Bisa dengan per kelompok memaparkan satu unsur, sedangkan unsur lain dipaparkan oleh kelompok lainnya, sehingga dalam pembelajaran tidak berpusat pada guru saja. Apabila waktu pada pertemuan kedua memungkinkan, bisa dilaksanakan evaluasi individu berkaitan dengan novel yang sudah ditelaah bersama dalam satu kelas. Jika tidak, evaluasi individu bisa dilaksanakan pada pertemuan berikutnya.
Keunggulan dan Tantangan Melalui pembelajaran model jigsaw pada materi novel berbahasa Jawa selain kompetensi tercapai, peserta didik diarahkan untuk belajar banyak hal. Peserta didik dilatih untuk memiliki Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 329
rasa tanggung jawab, percaya diri, jujur, dan mampu bekerja sama dalam kelompok. Adanya kelompok ahli melatih peserta didik secara individu untuk bisa bertanggung jawab kepada kelompok asal ketika membahas isi novel secara menyeluruh. Rasa percaya diri peserta didik dilatih ketika menyampaikan hasil diskusi kelompok ahli di kelompok asal. Suasana berbeda akan tampak ketika peserta didik bercakap biasa dengan suasana saat menceritakan isi novel berbahasa Jawa. Kejujuran peserta didik dilatih ketika mereka mengerjakan laporan berupa lembar kerja analisis novel. Novel yang dikaji setiap kelas tidak sama, hasil kerja antarkelompok juga akan berbeda, dan peserta didik tidak bisa melakukan analisis kecuali peserta didik membaca sendiri petikan novel yang menjadi tanggung jawabnya. Berbeda dengan pembelajaran konvensional, pembelajaran kooperatif model jigsaw menuntut peserta didik untuk bisa bekerja dalam kelompok guna menyelesaikan target menelaah satu novel secara menyeluruh. Pengalaman belajar peserta didik tentu bertambah, khususnya menelaah satu novel berbahasa Jawa, kegiatan yang belum tentu terlaksana apabila dilaksanakan secara individu. Beberapa tantangan yang dihadapi guru pada pembelajaran ini di antaranya adalah peserta didik banyak menemui kata-kata “asing”, yaitu kosakata yang belum dan jarang dijumpai pada kehidupan sehari-hari. Untuk mengatasinya guru bisa menyediakan beberapa kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa) untuk bisa digunakan peserta didik. Guru juga sebaiknya selalu mendampingi peserta didik saat beraktivitas dalam kelompok dan memastikan kegiatan dalam kelompok berjalan sesuai arahan. Setiap model pembelajaran dengan model apapun memiliki keunggulan dan tantangan tersendiri, baik bagi guru ataupun peserta didik. Diterapkannya inovasi seperti penerapan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini diharapkan mampu memotivasi peserta didik dan menambah pengalaman belajarnya.
SIMPULAN Pembelajaran kooperatif model jigsaw mengarah pada belajar secara kelompok di mana anggotanya memiliki tanggung jawab secara individu untuk mewujudkan target yang akan dicapai. Kerja sama antaranggota dalam kelompok sangat menentukan capaian hasil belajar. Melalui model ini peserta didik yang mulanya mengkaji petikan teks novel akan bisa mengerti isi sebuah novel secara menyeluruh. Peran guru pada pembelajaran kooperatif ini sebagai fasilitator, memberi arahan, serta tempat peserta didik bertanya dan menyampaikan kesulitan yang dihadapi saat melakukan kegiatan pembelajaran berlangsung. Pembelajaran kooperatif Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 330
model jigsaw bisa menjadi pilihan strategi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah dengan meningkatkan partisipasi serta keaktifan peserta didik dan mengubah peran guru dari pusat pembelajaran menjadi fasilitator.
DAFTAR PUSTAKA Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. 2014. Kurikulum 2013 Muatan Lokal Bahasa Jawa SMA/ SMLB/ SMK/ MA/ MAK Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah.
Isjoni. 2011. Cooperative Learning Mengembangkan Kemampuan Belajar Berkelompok. Bandung: Alfabeta.
Rusman. 2013. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Santosa, Wijaya Heru dan Sri Wahyuningtyas. 2010. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma Pustaka. Supriadi, Didik (ed.). 2016. Prosiding Seminar Nasional 2016 “Supaya Basa Jawa Tetep Urip Ngrembaka: Rekadaya Lumantar Pawiyatan”. Semarang: Griya Jawi bekerja sama dengan Cipta Prima Nusantara.
Uno, Hamzah B. dan Nurdin Mohamad. 2012. Belajar dengan Pendekatan PAILKEM: Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, dan Menarik. Jakarta: Bumi Aksara.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 331
UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PENGGUNAAN RAGAM KRAMA DI KELAS XII TAHUN PELAJARAN 2016-2017 TAHUN PELAJARAN 2016-2017 SMKN 1 SAWOO PONOROGO Oleh: Arfa Dhani Nugraha, Pembimbing 1: Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum. Pembimbing 2: Dra. Ani Rakhmawati, M.A., PhD.
Alamat: RT/RW II/II, Dkh. Tengger, Ds. Bancangan, Kec. Sambit, Kab. Ponorogo, Jawa Timur HP. 082302148308
ABSTRAK Ragam krama merupakan bagian dari undha-usuk basa Jawa yang paling tinggi tingkat kehalusannya. Ragam krama digunakan kepada orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Dengan menggunakan ragam krama dengan benar, obrolan antara orang satu dengan yang lain lebih bertata krama. Permasalahannya, banyak siswa yang belum bisa menggunakan ragam krama dengan benar. Dari hasil ulangan harian di kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo, Ponorogo, banyak siswa yang remidi. Dari hal terebut dapat diketahui bahwa banyak siswa yang belum menerapkan ragam krama dengan benar. Menyikapi masalah tersebut, dijelaskan gagasan dengan harapan bisa membantu meningkatkan kualitas penggunaan ragam krama di kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo, Ponorogo. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode wawancara pada tes ulangan harian dengan KD ragam krama. Kemudian, siswa menjawab dengan ragam krama madya. Contoh, Guru bertanya kepada siswa: “Panjenengan sampun dhahar menapa dereng?”, siswa akan menjawab: “Kula sampun nedha”, atau “Kula dereng nedha.” Penekanan di sini yaitu kata ‘nedha’. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui penggunaan ragam krama siswa kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo pada kehidupan sehari-hari, (2) menegetahui jenis-jenis tes ragam krama yang lebih mudah dipahami siswa kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo, dan (3) perubahan siswa setelah dilakukan tes wawancara di kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo, Ponorogo. Dengan penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas penggunaan ragam krama di kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo, Ponorogo.
Kata kunci: ragam krama, bahasa Jawa
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 332
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Ragam krama merupakan bagian dari undha-usuk atau tingkatan bahasa Jawa yang tinggi tingkat kehalusannya. Sedangkan penggunaan ragam krama digunakan kepada orang yang lebih tua atau dihormati (Poerwadaminta: 1939:248). Misalkan anak kepada orang tua, murid kepada guru, warga kepada Kepala Desa, dsb. Ragam krama mengandhung tata krama yang luhur. Dengan menggunakan ragam krama yang benar, obrolan antara orang satu dengan yang lain bisa lebih bertata krama. Seperti yang dijelaskan oleh Samani (2012:67) bahwa manusia Jawa harus andhap asor, ora gumedhe (rendah hati, tidak sombong). Rendah hati adalah sifat yan tidak sok atau sombong, tidak menunjukkan kebisaan dan kecerdasannya. Orang yang rendah hati tidak pernah marah ketika dihina dan bisa menegerti apa saja kekurangannya. Di jaman globalisasi ini semua informasi mudah diakses di internet, televisi, surat kabar, lsp. Muatan-muatan yang dituangkan di media tersebut menggunakan berbagai bahasa, walaupun ada sebagian kecil media yang menggunakan bahasa Jawa. Bahasa-bahasa lain tersebut bisa saja menimbulkan degradasi terhadap bahasa Jawa, khususnya krama. Orangorang akan menganggap bahasa lain adalah bahasa yang lebih keren dari pada bahasa Jawa, khususnya ragam krama. Orang tua yang menggunakan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga juga sudah banyak. Padahal pada PP no. 57 tahun 2014 pasal 6 ayat 2 menjelaskan bahwa bahasa Daerah, yang selanjutnya disebut bahasa Jawa digunakan sebagai: (a) sarana komunikasi dalam keluarga dan masyarakat daerah, (b) bahasa Media Massa Lokal, (c) sarana pendukung Bahasa Indonesia, dan (d) sumber pengembangan Bahasa Indonesia. Dari PP tersebut jelas bahwa bahasa daerah digunakan dalam keluarga dan masyarakat. Sedangkan guna bahasa daerah juga diatur di PP no. 57 yahun 2014 pasal 6 ayat 1 yaitu: (a) pembentukan kepribadian bangsa, (b) peneguh jati diri kedaerahan, dan (c) sarana pengungkapan serta pengmbangan sastra dan budaya daerah dalam bingkai keindonesiaan. Jadi dengan menggunakan bahasa daerah, yang pada konteks ini bahasa Jawa khususnya ragam krama, dapat menguatkan jati diri bangsa dan daerah itu sendiri. Pada silabus kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 mata pelajaran bahasa Jawa Propinsi Jawa Timur mengandung KD unggah-ungguh basa atau tata krama bahasa (Jawa). Adapun guna KD tersebut salah satunya untuk melestarikan unggah-ungguh basa yang didujung oleh PP no. 57 tahun 2014 dan Peraturan Gubernur Jawa Timur mengenai mata pelajaran bahasa Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 333
Jawa. Dengan begitu dengan adanya mata pelajaran bahasa Jawa lebih kuwat untuk mendukung pelestarian bahasa Jawa khususnya ragam krama yang adiluhung. Sebagai dukungan program pemerintah dan untuk membantu peningkatan kualitas berbahasa Jawa khususnya ragam krama dengan baik, dalam makalah ini dijelaskan hasil menelitian mengenai hal tersebut. Penulis ingin tahu bahasa apa yang sering digunakan komunikasi siswa kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo Ponorogo di lingkungan sosial, dan beberapa jawaban angket sebagai jawaban metode apa yang paling dapat dimengerti dalam ulangan harian. Bab ini dijelaskan pada pembahasan. Makalah ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan cerita dalam penjelasan yang pas dengan keinginan peneliti dan tidak mengutamakan angka-angka untuk menelitia, walaupun ada sebagian angka untuk penelitian. Selain itu supaya lebih mudah meneliti ketika ada pilihan double. Metode ini dipilih karena ada hubungan dengan unggah-ungguh basa yang perlu penafsiran untuk menerjemahkan. Selain itu data yang dikumpulkan berupa tulisan dalam bentuk angket dan statistik sehingga lebih mudah mengaitkan antar objek kajian. Pada makalah ini metode deskriptif kualitatif deskriptif memudahkan penelitian penenggunaan bahasa sehari-hari siswa kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo Ponorogo dan dipilih 30 anak secara acak. Makalah ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas penggunaan ragam krama di kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo Ponorogo serta sebagai salah satu sumber referensi bagi pembaca. Selain itu dengan makalah ini juga diharapkan dapat menambah minat dan semangat berbahasa Jawa khususnya ragam krama dengan baik. Dengan berbahasa Jawa khususnya ragam krama dengan baik, kita telah membantu memperkuat jati diri bangsa dan daerah masing-masing.
2. Rumusan Masalah a. Bagaimana penggunaan ragam krama siswa kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo pada kehidupan sehari-hari? b. Apa saja jenis-jenis tes ragam krama yang lebih mudah dipahami siswa kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 tahun pelajaran 2016-2017 SMKN Sawoo c. Bagaimana perubahan siswa setelah dilakukan tes wawancara di kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo, Ponorogo. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 334
3. Metode Penelitian a. Kajian Teori 1) Ragam Krama Ragam krama yaitu bentuk unggah-ungguh basa atau tata krama berbahasa yang intinya leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti dalam ragam krama yaitu leksikon krama, bukan leksikon yang lain (Sasangka, 2009:112). Ragam krama mempunyai dua bentuk, yaitu krama lugu dan krama alus. Krama lugu bisa diartikan dengan bahasa yang ‘tidak begitu halus’. Krama lugu di masyarakat disebut krama madya. ‘Madya’ disebut hanya untuk menyebut kosakata (leksikon) dan tidak digunakan untuk menyebut ragam. Misalnya: “Ngga Kang, niku nyamikane mang tedha. Ampun diendelke mawon.” Kalimat tersebut menunjukkan ragam krama lugu dari kata ‘mang/sampeyan’ dan ‘tedha’ merupakan leksikon madya. Sedangkan krama alus yaitu bentuk tata krama bahasa Jawa yang semua kosakata terbagi dari leksikon krama dan bisa ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap (Sasangka, 2009:119). Walau demikian, yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanya leksikon yang berbentuk krama. Krama alus disebut juga ragam bahasa Jawa yang kedudukannya palih tinggi yang digunakan untuk mengjormati mitra tutur. Contoh: “Mangga punika nyamikanipun dipundhahar. Sampun dipunendelaken kemawon.”
2) Pemilihan Unggah-Ungguh dan Leksikon Bahasa Jawa Dalam pemilihan unggah-ungguh dan leksikon bahasa Jawa, dikenal ada hubungan antara orang satu dengan yang lain: simetris-asimetris, dan akrab-tidak akrab. Disebut simetris jika antara penutur dan mitra tutur sama status sosialnya. Sedangkan asimetris yaitu beda status sosialnya. Sasangka (2009:146) merumuskan bagan untuk menentukan antara penutur dengan mitra tutur menggunakan ragam bahasa apa.
Simetris
akrab
Penutur
Mitra tutur
ngoko lugu
ngoko lugu
Ngoko alus
ngoko alus
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 335
tidak akrab
akrab
Asimetris
tidak akrab
krama alus
krama alus
Ngoko alus
krama alus
ngoko lugu
ngoko alus
Krama lugu
krama lugu
Ngoko lugu
krama lugu
krama alus
krama alus
3) Tes Ragam Krama Kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 tahun pelajaran 20162017 SMKN 1 Sawoo, Ponorogo Tes merupakan cara untuk mengadakan penelitian yang berbentuk tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa (Suwandi, 2011:46). Menurut Suwandi (2011:46) menurut jenis tes dibedakan menjadi dua, yaitu tes individu dan tes menurut jawaban. Tes individu dibedakan lagi menjadi tes individual dan tes kelompok. Sedangkan menurut penyusunnya, tes dibedakan menjadi dua, yaitu tes buatan guru, dan tes standar. Dalam tes ragam krama kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo, Ponorogo ini menggunakan jenis tes individu dan buatan guru, yang bertujuan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa yang diadakan oleh guru bidang studi bahasa Jawa. Berikut dijelaskan langkah-langkah penelitian kepada siswa kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo, Ponorogo. Pertama, penulis mengadakan ulangan harian atau tes menggunakan teknik wawancara dengan menggunakan ragam krama alus. Konteks cecaturan antara penutur dan mitra tutur yaitu simetris tidak akrab dan asimetris tidak akram yang sama-sama menggunakan krama alus. Siswa maju satu per satu menghadap guru untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru. Pertanyaan tersebut yaitu sebagai berikut: a.
“Kalawau enjing nitih napa dhateng sekolahan?”
b.
“Panjenengan kalawau rawuh sekolahan jam pinten?”
c.
“Agemanipun Panjenengan reginipun pinten?”
d.
“Panjenengan putranipun sinten?”
e.
“Panjenengan kalawau dalu mirsani TV menapa boten?” Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 336
f.
“Kalawau sampun dhahar menapa dereng?”
g.
“Kalawau dalu sare jam pinten?”
h.
“Dalemipun panjenengan pundi?”
i.
“Kalawau enjing panjenengan wungu jam pinten?”
j.
“Kala wingi sonten panjenengan tindak pundi?” Leksikon krama alus di atas jika ditanyakan kepada mitra tutur tidak bisa mengunakan leksikon krama alus juga, melainkan menggunakan leksikon madya. Dengan pertanyaan di atas, siswa menjawab sebagai berikut:
a. “Kalawau enjing kula numpak sepedhah montor dhateng sekolahan.” b. “Kula kalawau dugi sekolahan jam 6.45.” c. “Rasukan kula reginipun seket ewu.” d. “Kula yoganipun Pak Supri.” e. “Kula kalawau dalu ningali TV.” f. “Kula dereng nedha.” g. “Kalawau dalu kula tilem jam sedasa.” h. “Griya kula Ponorogo.” i. “Kula kalawau enjing tangi jam sekawan.” j. “Kala wingi sonten kula kesah dhateng peken.” Dengan jawaban krama madya tersebut diharapkan siswa dapat lebih mengerti menggunakan ragam krama yang pas dengan tata krama berbahasa Jawa. Siswa mengerti jika mitra tutur bertanya mengenai dirinya menggunakan leksikon krama inggil, jawabannya dengan menggunakan leksikon krama madya. Begitu juga sebaliknya, jika penutur bertanya mengenai mitra tutur menggunakan ragam krama inggil, jawaban dari mitra tutur menggunakan krama madya.
B. PEMBAHASAN 1. Penggunaan Ragam Krama Siswa Kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 Tahun Pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo, Ponorogo Pada Kehidupan Sehari-Hari a. Di Lingkungan Keluarga
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 337
semua salah;semua 0; 0% benar; 3; 10% kadang benar; 16; 53%
Sering benar; 11; 37%
Dalam angket yang disebar kepada tiga puluh siswa kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo, Ponorogo, banyak suswa yang masih salah menggunakan ragam krama di keluarga. Sekitar 53,3% siswa yang menggunakan ragam krama kadang benar atau masih sering salah, 36,7% sering benar, 10% sudah benar, dan 0% tidak pernah benar. Hanya sedikit siswa yang sudah benar menggunakan ragam krama di keluarga, yaitu hanya sepuluh persen atau hanya tiga anak dari tiga puluh anak yang disurvey acak. Kebanyakan siswa memberi alasan tidak dibiasakan menggunakan ragam krama oleh orang tuanya sehingga sering salah menggunakan ragam krama. Sedangkan siswa yang sudah benar menggunakan ragam krama sejak kecil sudah dibiasakan menggunakan ragam krama kepada orang tuanya. b. Di Media Sosial Pertanyaan nomor dua dalam angket yaitu mengenai bahasa pengantar apa yang dipakai ketika berjelajah di media sosial. Adanya pertanyaan ini memudahkan mencari bukti otentik tulisan yang dimuar di media sosial seperti facebook, bbm, whatsapp, instagram, twitter, dll. Selain itu media sosial telah merasuk ke dalam pundi-pundi sosial masyarakat. Hasilnya sebanyak 70% siswa menggunakan bahasa campuran, baik alih kode maupun campur kode antara bahasa Jawa, Indonesia, dan Inggris. Kebanyakan alasan menggunakan bahasa campuran karena temantemannya juga menggunakan bahasa campuran. Terkadang meraka juga berkomunikasi dengan orang dari manca negara sehingga harus menggunakan bahasa Inggris. Siswa yang terbiasa hanya menggunakan bahasa Jawa saja di media sosial hanya 10% atau tiga anak. Alasan menggunakan bahasa Jawa karena sudah terlanjur terbiasa menggunakan bahasa Jawa di media sosial. Sisanya, empat siswa atau 13,3% menggunakan bahasa Indonesia, dan dua anak atau 6,7% yang terbiasa menggunakan bahasa Inggris di media sosial.
2. Jenis-jenis Tes Ragam Krama Yang Lebih Mudah Dipahami Siswa Kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 Tahun Pelajaran 2016-2017 SMKN Sawoo Ponorogo
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 338
Tes Tulis; 6; 20%
Tes Wawancara; 24; 80%
Berdasarkan judul makalah,, bab ini yang paling penting. Pertanyaan nomer empat dalam angket sebagai sumber pertanyaan yang dijelaskan pada makalah ini. Pertanyaannya mengenai jenis tes ragam krama yang lebih mudah dipahami siswa. Pilihannya ada dua, yaitu tes tulis dan tes wawancara. Sebanyak 80% atau 24 siswa yang milih tes wawancara. Kebanyakan alasan tes wawancara lebih mudah dipahami karena dapat langsung praktik dialog menggunakan ragam krama, dan langsung diberitahu mana yang salah dan mana yang benar. Sedangkan 20% atau enam siswa yang memilih lebih paham menggunakan tes tulis dengan alasan tidak gogi dan lebih konsentrasi berfikir.
3. Perubahan Siswa Setelah Dilakukan Tes Wawancara Di Kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 Tahun Pelajaran 2016-2017 SMKN 1 Sawoo, Ponorogo banyak perubahan; 10; 33%
tidak ada perubahan; 3; 10%
sedikit perubahan; 17; 57%
Pertanyaan angket yang terakhir yaitu ada-tidaknya perubahan setelah tes wawancara menggunakan ragam krama. Adanya pertanyaan ini agar dapat diketahui seberapa besar pengaruh tes wawancara dengan menggunakan ragam krama terhadap siswa. Pilihannya ada tiga, yaitu (a) tidak ada perubahan, (b) sedikit perubahan, dan (c) banyak perubahan. Prosentase paling banyak yang dipilih siswa adalah sedikit perubahan 56,7% atau tujuh belas anak. Kebanyakan alasannya adalah masih belajar dan proses menuju bisa. Sedangkan yang menjawab banyak perubhan sebanyak 33% atau sepuluh anak. Sedangkan 10% atau tiga anak yang lain merasakan tidak ada perubahan. Total ada 90% siswa merasakan perubahan pada dirinya setelah menjalani tes wawancara dengan menggunakan ragam krama, walau sebagian besar siswa merasa hanya sedikit perubahan.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 339
C. PENUTUP 1. Kesimpulan Dari uraian di atas, kesimpulan yag dapat di ambil adalah siswa lebih mudah menggunakan metode wawancara dalam proses belajar ragam krama. Walaupun sebagian besar siswa sedikit mengalami perubahan, namun siswa dirasa lebih mengerti mengenai aturan-aturan penggunaan ragam krama dan tentunya meningkatkan kualitas penggunaan ragam krama di kelas XII tahun pelajaran 2016-2017 tahun pelajaran 2016-2017 SMKN 1 SawooPonorogo. 2. Saran Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menumbuhkan ide-ide lain dan juga minat pembaca untuk menulis makalah lain bab ragam krama. Makalah ini diharapkan dapat menambah pustaka ilmiah bahasa Jawa yang berguna. Kritik dan saran yang bersifat membangun juga diharapkan untuk kebaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Poerwadarmina, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij N.V. Samani, Muclas dkk. 2012. Konsep dan Modal Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2009. Unggah-Ungguh Basa Jawa. Jakarta: Gama Media. Suwandi, Sarwiji. 2011. Model-Model Asesmen dalam Pembelajaran. Surakarta: Yuma Pustaka. Tim. 2015. Dinamika Guru. Ponorogo: PGRI Kabupaten Ponorogo.
BIODATA PENULIS Nama
: Arfa Dhani Nugraha, S.Pd.
Tempat lahir
: Ponorogo
Tanggal lahir
: 3 Agustus 1991
Alamat
: Ds. Bancangan, Kec. Sambit, Kab. Ponorogo, Jawa Timur.
Profesi
: Guru honorer SMKN 1 Sawoo Ponorogo, mahasiswa pascasarjana UNS Surakarta, fotografer, anggota sanggar sastra Triwida.
Karya
: Cerita cekak, cerita misteri, geguritan, crita lucu di kalawarti bahasa Jawa dan antologi.
HP
: 082302148308
Email
:
[email protected] Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 340
TABEL HASIL ANGKET TES WAWANCARA RAGAM KRAMA KELAS XII TAHUN PELAJARAN 2016-2017 SMKN 1 SAWOO TAHUN PELAJARAN 20162017 No.
Nama
Kelas
Jawaban Nomor 1
2
3
4
5
1
Sendy Boy
TKR C
B
D
B
B
B
2
Saleh
TKY B
B
B
B
B
B
3
Mega Buana
JB A
B
D
B
B
B
4
Mugson
TKR C
C
B
A
A
B
5
Nuzulu
TKJ
C
A
B
B
B
6
Dani Arianto
TKR C
C
D
B
B
B
7
Roy Dika
TKJ
B
C
A
B
C
8
Mia Widiartini
JB B
C
D
B
B
C
9
Yunita
JB B
C
D
A
B
B
10
Siti Zulaikah
TKJ
A
D
B
B
C
11
Yuliana
TKJ
C
D
B
B
B
12
Suparmi
JB B
B
D
A
A
B
13
Yakin
TKR C
C
B
A
A
A
14
Thoriqul Huda
TKJ
C
A
B
B
A
15
Dika
JB A
B
D
A
A
B
16
Vicky
TKY B
B
D
B
B
C
17
Devit
JB A
B
D
B
B
C
18
Dwi Ambarsari
JB A
C
D
B
B
A
19
Intan
JB A
C
D
B
B
B
20
Didik
TKR A
B
D
B
B
C
21
Devi
JB A
A
C
A
B
C
22
Hennix
JB A
C
D
B
B
B
23
Elga
TKR B
C
D
B
B
B
24
Sari Utami
TKJ
C
D
A
A
B
25
Dedi
TKY A
B
B
B
B
C
26
Jamilah
JB A
C
D
A
B
C
27
Rendani
JB B
C
D
A
A
B
28
Sintia
JB B
C
D
A
B
B
29
Faridatul
JB A
B
A
B
B
C
30
Rendra Bayu
TKR C
A
D
B
B
B
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 341
ANGKET TES WAWANCARA BASA KRAMA KELAS XII TAHUN PELAJARAN 2016-2017 SMKN 1 SAWOO TAHUN PELAJARAN 2016/2017
Jeneng
:..............................................
No. Absen
:..............................................
Kelas
:..............................................
Wangsulana pitakonan-pitakonan ing ngisor iki sing satemene. 1. Marang wong tuwa, apa awakmu wis nganggo basa krama kang bener? a. Wis bener kabeh b. Sering bener c. Kadhang-kadhang bener d. Ora tau bener Alasan :..........................................................................................................................................
2. Ing media sosial, awakmu nganggo basa apa? a. Basa Jawa b. Basa Indonesia c. Basa Inggris d. Campuran Alasan :..........................................................................................................................................
3. Coba pilih, ulangan basa Jawa ragam krama nganggo tes apa sing koksenengi! a. Tes tulis b. Tes wawancara Alasan :..........................................................................................................................................
4. Coba pilih, luwih mudheng nganggo tes apa? a. Tes tulis b. Tes wawancara Alasan :..........................................................................................................................................
5. Sawise ulangan wawancara, apa ana owah-owahan tumrap kabisan basa kramamu? a. Ora ana owah-owahan b. Sethithik owah-owahan Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 342
c. Akeh owah-owahan Alasan :.......................................................................................................................................... Yen ana owah-owahan (pilihan b lan c), sebutna owah-owahan apa sing kokrasakake! ....................................................................................................................................................... .......................................................................................................................................................
Ponorogo, ............................... 2016
(........................................................)
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 343
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 344
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 345
Pembelajaran Nilai – Nilai Moral Jawa dalam Tembang Macapat dan Cerita Cekak Ady Cahyono, Sahid Teguh Widodo, Kundharu Saddhono. Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected]
Abstrak : Tujuan diadakannya penulisan artikel ini adalah penjabaran bagaimana media tembang dan cerita cekak dapat memberikan pembelajaran karakter ataupun moral pada siapapun yang mempelajarinya. Akan tetapi hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi para pendidik untuk bisa menyampaikan kepada peserta didik yang notabene telah mengikuti arus globalisasi perkembangan budaya yang signfikan. Dikatakan pendidik bukan hanya mencakup pada sosok guru. Pendidik ialah siapa saja yang berada di sekitar subyek didik, mengapa dikatakan demikian tidak luput bahwa pembelajaran dapat diperoleh di manapun subyek didik berada. Yaitu bisa saja orangtua, teman, tetangga, ataupun orang lain di sekitar subyek didik.
Kata kunci : Intertekstual, pembelajaran, moral,
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 346
Latar Belakang Pada setiap karya sastra, oleh penciptanya selalu secara segaja maupun tidak sengaja memuat konten-konten dimana konten tersebut tersampaikan kepada para konsumen karya sastra tersebut. Konten tersebut bisa berupa suatu ajakan, himbauan, pemberitahuan, isi pikiran, suatu pembelajaran larangan yang menjadi tolok ukur atau nilai yang dijadikan landasan untuk membuat karya sastra tersebut. Sebagaimana yang dijabarkan oleh The Liang Gie (1972:159) bahwanilaimerupakansesuatu yang menimbulkan minat (interest) sesuatu yang lebih disukai (preference) kepuasan (satisfaction) keinginan (desaire) kenikmatan (enjoyment). Sementara (Padmo Puspito (1990:4) menjelaskan bawa hal tersebut bisa disebut nilai yang merupakan ajaran, pesan dan nilai nilai kehidupan yang dapat digunakan sebagai bahan piwulang atau ajaran. Burhan Nurgiyantoro (2012:336) menjelaskan bahwanilai dalam karya sastra biasanya memiliki sifat tersembunyi, perlu pemahaman lebih untuk bisa mencari bahkan membuat hal tersebut “Penyampaian pesan tidak langsung, pesan hanya tersirat dalam cerita berpadu secara koherensif dengan unsur unsur cerita yang lain. Jika ingin memahami da menafsirkan pesan itu haruslah ia melakukannya berdasarkan cerita, sikap dan tingkah laku para tokoh tersebut.”
Pada suatu karya sastra Jawa, umum jika kita bisa menemukan berbagai hal yang tersembunyi serta mempunyai makna yang sangat dalam. Menurut Padmo Puspito (1990:4) nilai dalam naskah yaituberupa ajaran, pesan dan nilainilai kehidupan yang dapat digunakan sebagai bahan piwulang atau ajaran.Dapat dimengerti bahwa pembelajaran mengenai kehidupan diturunkan salah satunya melalui karya sastra. Pembelajaran tersebut bisa berupa pembelajaran nilai mengenai agama, nilai mengenai sosial, nilai mengenai moral. Dalam penelitian singkat ini, hal yang dibahas adalah keterkaitan tembang macapat Asmaradana dengan teks cerita tikus cilik dalam Serat Tjampoer Bawoer karya Darmawiyata. Di sini yang menjadi hipogram adalah tembang asmaradana. Intertekstualitas ialah salah satu teori yang digunakan untuk memperoleh makna dalam memahami suatu karya sastra. Pada dasarnya karya sastra pasti mengandung suatu nilai atau makna. Kajian intertekstualitas dimasudkan sebagai kajian terhadap teks karya sastra yang diduga memiliki kesamaan konsep, bentuk, bakan mungkin berhubungan satu sama lain dalam ide, gagasan peristiwa dll. Namun, dalam pengertian khusus intertekstualitas adalah cara untuk Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 347
menguak aspek tersembunyi dari suatu karya sastra terdahulu yang kemudian muncul di karya sastra baru. Endraswara (2011:87) menyebutkan bahwa intertekstual merupakan istilah yang sering tidak terlepas dari pluralitas disebabkan oleh kemampuan mendukung ilmu umum tertentu. Beliau menjabarkan dalam halaman 88 bahwa intertekstual menganalisis karya dari sumber pengaruh untuk mengatur makna terakhir. Sekilas mengenai serat Tjampoer Bawoer. Serat Tjampoer Bawoer adalah kumpulan cerita pendek yang digabungkan menjadi sebuah buku. Sejatinya kumpulan cerita ini bukan dari Jawa, melainkan cerita dari tanah melayu yang berlatar belakang budaya timur tengah. Yang kemudian dialih bahasakan oleh Darmawiata di daerah Semarang Jawa Tengah. Serat ini berisikan cerita yang memotivasi untuk kalangan anak-anak. Karena berbagai nilai moral terkandung di dalam serat ini.
Rumusan masalah Terdapat beberapa hal yang dapat ditarik dari latar belakang masalah sehingga dapat dijadikan rumusan masalah, yaitu : a. Bagaimana penjabaran pembelajaran nilai moral dalam tembang dan cerita cekak? b. Pembelajaran apa yang terdapat pada tembang dan cerita tersebut?
Tujuan Suatu tujuan yang diharapkan dalam penulisan artikel ini yaitu untuk menjabarkan bagaimana tembang dan cerita cekak dapat menjadi suatu media pembelajaran moral yang baik. Selain itu untuk bisa dijadikan media pembelajaran sebagaimana menjadi tantangan bagi pendidik untuk menyampaikannya ke peserta didik.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 348
Pembahasan. ASMARADANA
Poma-poma wekas mami Anak putu aja lena Aja katungkul uripe Lan aja duwe kareman Marang pepaes donya Siyang dalu dipunemut Yen urip manggih hantaka
Poma-poma
: wanti-wanti
Lena
: ora ngati-ati
Wekas
: weling
Hantaka
: mati
Tikus Cilik Ana tikus wirog kang wus ngarepake mati, acalathu marang anakke, tembunge: eh, anakku, saiki aku arep tinekakake ing janji, rungokna pituturku : akeh sasimpenannku : beras, gandum lan liya liyane, kaya- kaya nganti tatahunan kowe bakal ora kakurangan pangan, wruhanamu ana uga panganan enakke angungkuli kang dak kumpulake iki. Nanging sok agawe sangsara tumrape marang bangsaku. Yaiku manawa kowe mlaku-mlaku amrangguli panganan kang ambunegurih sarta rasane enak. Poma aja kopenginni. Amarga kowe ya wus sumurup. Bangsaku iku salawase sasatron karo manusa. Mula manusa ora sah angupaya reka daya kanggo anumpes marang tikus. Yaiku masang paekan, nganggo didokoki arupa pangannan kang rasane enak, tikus wirog pamekasse durung tutug nuli mati. Wiwitane tikus cilik mituhu ing pituturing wong tuwane, sadina-dinane kang dipangan mung beras lan gandum, antara lawas metu saka ing ngeronge kapengin arep saba menyang liyan panggonan, nalika limaku andeleng iwak gorengan sairis kang ambune gurih. Tikus uga kelingan wawekasing wong tuwane, dadi ora gelem nyedhakki, nanging suwe-suwe ora kuwagang anyabilli hawa napsune,metu kakendelanne, iwak banjur cinolong digawa lumayu, Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 349
satutuging ngerong dipangan, rasane luwih nikmat, calathune tikus cilik: wong tuwaku iku satemene bodho banget, sajegge urip kang dipangan mung beras lan gandum, durung tau angrasakake panganan kang nikmat mengkene. Wiwit samana saben dina tikus metu saka ngeronge angupaya panganan kang enak-enak.
Kacarita wong kang duwe iwak kerep cinolong banget muring-muringe, wekasan amasang kala. Sajroning kala didokoki iwak sairis kang lagi mentas ginoreng, ambune gurih. Tikus mambu nuli mlayu anggoleki, amarga durung tau sumurup, tanpa weweka malebu marang kala, iwak pinangan, durung tutug pamanganne, lawanging kala minep, tikus ora bisa metu. Esukke kang duwe kala weruh tikus wus kena ing kala, banjur dipateni.
Sing sapa ora mituhu marang pituturring wong tuwa utawa guru kang murih ing karahhayon. Amesthi tumiba ing tiwas.
Dari cuplikan tembang Asmaradana dan cerita Tikus Cilik dari serat Tjampoer Bawoer di atas maka dapat di jabarkan sebagai berikut: Poma-poma wekas mami
Ingat- ingatlah nasihatku ini
Anak putu aja lena
Anak cucu berhati-hatilah kalian
Aja katungkul uripe
Jangan hidup terlalu santai/ menyepelekan hal yang penting
Lan aja duwe kareman
Dan jangan mudah tergiur/terlena/penginan
Marang pepaes donya
Terhadap keindahan (hiasan) dunia
Siyang dalu dipunemut
Selalu ingatlah disiang maupun malam
Yen urip manggih hantaka
Bahwa hidup pasti akan mati
Dari kalimat Poma-poma wekas mami atau ingat-ingatlah nasihatku ini, dapat di cocokkan dalam cerita tikus cilik terdapat dalam paragraf “Ana tikus wirog kang wus ngarepake mati, acalathu marang anakke, tembunge: eh, anakku, saiki aku arep tinekakake ing janji, rungokna pituturku : akeh sasimpenannku : beras, gandum lan liya liyane, kaya- kaya nganti tatahunan kowe bakal ora kakurangan pangan, wruhanamu ana uga panganan enakke angungkuli kang dak kumpulake iki. Nanging sok agawe sangsara tumrape marang bangsaku. Yaiku manawa kowe mlaku-mlaku amrangguli panganan kang ambunegurih sarta rasane enak. Poma aja kopenginni. Amarga kowe ya wus sumurup. Bangsaku iku Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 350
salawase sasatron karo manusa. Mula manusa ora sah angupaya reka daya kanggo anumpes marang tikus. Yaiku masang paekan, nganggo didokoki arupa pangannan kang rasane enak, tikus wirog pamekasse durung tutug nuli mati.” Dalam satu paragraf tersebut telah menjabarkan apa saja nasihat yang harus diperhatikan. Ketika sang tikus wirog memberi larangan kepada anaknya sebelum tikus wirog mati. rungokna pituturku dalam cerita tikus cilik serupa dengan wekas mami dalam tembang asmaradana. Di baris ke dua tembang asmaradana terdapat kalimat Anak putu aja lena atau Anak cucu berhati-hatilah kalian. Di dalam cerita tikus cilik terdapat kemiripan yang terdapat di kalimat “ wruhanamu ana uga panganan enakke angungkuli kang dak kumpulake iki. Nanging sok agawe sangsara tumrape marang bangsaku. Yaiku manawa kowe mlaku-mlaku amrangguli panganan kang ambunegurih sarta rasane enak. Poma aja kopenginni. Amarga kowe ya wus sumurup. Bangsaku iku salawase sasatron karo manusa. Mula manusa ora sah angupaya reka daya kanggo anumpes marang tikus. Yaiku masang paekan, nganggo didokoki arupa pangannan kang rasane enak, Aja katungkul uripe dalam tembang asmaradana adalah hipograf dari kalimat nanging suwe-suwe ora kuwagang anyabilli hawa napsune,metu kakendelanne, iwak banjur cinolong digawa lumayu, satutuging ngerong dipangan, rasane luwih nikmat, calathune tikus cilik: wong tuwaku iku satemene bodho banget, sajegge urip kang dipangan mung beras lan gandum, durung tau angrasakake panganan kang nikmat mengkene. Wiwit samana saben dina tikus metu saka ngeronge angupaya panganan kang enak-enak. Diceritakan bahwa tikus cilik menyepelekan hal penting dalam nasihat tikus wirog. Tindakan menyepelekan nasihat agar tidak tergoda pada makanan yang memiliki aroma gurih. Setelah itu tikus cilik nyaman dengan tindakannya tersebut. Lan aja duwe kareman adalah nasihat agar Dan jangan mudah tergiur/ terlena/ penginan. Hal tersebut adalah pesan yang tergambar dalam cerita dimana tikus wirog berpesan kepada tikus cilik bahwa “wruhanamu ana uga panganan enakke angungkuli kang dak kumpulake iki. Nanging sok agawe sangsara tumrape marang bangsaku. Yaiku manawa kowe mlaku-mlaku amrangguli panganan kang ambunegurih sarta rasane enak. Poma aja kopenginni”. Marang pepaes donya dapat diartikan terhadap gemerlap dunia. Maksud yang terkandung dalam kalimat tersebut kiranya berarti keindahan, hal-hal yang serba enak, indah. Dalam cerita tikus cilik, hal tersebut digambarkan dalam keadaan dimana tikus cilik ingin lagi Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 351
dan lagi untuk makan makanan yang enak. “ Wiwit samana saben dina tikus metu saka ngeronge angupaya panganan kang enak-enak.” Siyang dalu dipunemut, dalam tembang asmaradana sebenarnya berubah alur pada cerita tikus cilik, karena hal ini tergambarkan di awal cerita yang terletak pada “Wiwitane tikus cilik mituhu ing pituturing wong tuwane, sadina-dinane kang dipangan mung beras lan gandum, antara lawas metu saka ing ngeronge kapengin arep saba menyang liyan panggonan, nalika limaku andeleng iwak gorengan sairis kang ambune gurih. Tikus uga kelingan wawekasing wong tuwane, dadi ora gelem nyedhakki,” Selanjudnya Yen urip manggih hantaka, setiap hal yang hidup pasti akan mati. Hal ini tergambarkan pada paragraf pertama cerita tikus cilik “Ana tikus wirog kang wus ngarepake mati, acalathu marang anakke, tembunge: eh, anakku, saiki aku arep tinekakake ing janji, rungokna pituturku........................tikus wirog pamekasse durung tutug nuli mati.”. Yang kedua yaitu penggambaran ketika tikus cilik mati di dalam jebakan yang dipasang oleh orang yang selalu kehilangan ikan goreng. Hal ini tergambarkan ada akhir cerita dimana terdapat pitutur dari pengarang yaitu “Sing sapa ora mituhu marang pituturring wong tuwa utawa guru kang murih ing karahhayon. Amesthi tumiba ing tiwas”.
Simpulan Dalam suatu karya sastra tembang maupun cerita cekak terdapat pembelajaran yang bisa saling berkaitan. Pembelajaran mengenai kehidupan yang dikemas secara ringkas dalam karya sastra sangatlah menarik untuk dipelajari bahkan untuk semua usia dan semua elemen masyarakat. Hal selanjudnya yang perlu kita sadari bersama, bahwa sesungguhnya karya sastra tersebut ialah sarana pembelajaran Jawa yang sangat efisien pada jamannya. Namun pada saai ini hal tersebut sangat kurang diminati, sehingga perlu pengembangan media pembelajaran Jawa yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu teknologi.
Daftar Pustaka Darmawiyata. 1911. Tjampoer Bawoer. Semarang: Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Padmopuspito, Asia. 1990. Citra Wanita dalam Sastra. Cakrawala Pendidikan. Edisi Mei. Yogyakarta: Lembaga Pengabdian Masarakat IKIP Yogyakarta. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 352
Religiusitas dalam Antologi Geguritan Garising Pepesthen Karya Bambang Nursinggih dan Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Jawa Di SMA Riky Zakub, Sahid Teguh Widodo, Budhi Setiawan.
[email protected]
Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi dan mendeskripsikan aspekaspek religiusitas yang terkandung di dalam geguritan Garising Pepesthen; (2) mengidentifikasi dan mendeskripsikan bentuk-bentuk religiusitas di dalam antologi geguritan Garising Pepesthen dan (3) mendeskripsikan dan menjelaskan relevansi religiusitas dalam geguritan Garising Pepesthen dengan pembelajaran bahasa Jawa di SMA. Bentuk penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan analisis dokumen. Analisis ini dilakukan dengan menemukan penafsiran yang sesuai dengan tujuan. Data penelitian ini adalah sebuah geguritan yang terhimpun dalam antologi geguritan Garising Pepesthen karya Bambang Nursinggih. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan religiusitas dalam geguritan Garising Pepesthen, diperoleh simpulan bahwa geguritan-geguritan di dalama antologi geguritan tersebut mengandung religiusitas yang layak digunakan dan diikutsertakan dalam pembelajaran sebagai penunjang terwujudnya tujuan pembelajaran bahasa Jawa di tingkat SMA. Kata kunci: religiusitas, geguritan Garising Pepesthen, pembelajaran bahasa Jawa di SMA.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 353
Pendahuluan Pembelajaran sastra di dalam kurikulum 2013 sangat ditekankan. Salah satu pembelajaran sastra termuat dalam silabus Kurikulum 2013 adalah pembelajaran sastra guritan. Pembelajaran sastra guritan di tingkat SMA masuk dalam Kompetensi Dasar pada kelas XII semester gasal. Hal tersebut didorong oleh sisdiknas dan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti. Sehubungan dengan peraturan di atas, pembelajaran sastra bersifat sangat penting. Di dalam karya sastra mengandung berbagai ajaran/piwulang yang patut untuk diajarkan kepada peserta didik serta dapat berkontribusi dalam menanamkan budi pekerti. Dalam rangka pembentukan karakter bangsa, pembelajaran sastra sangatlah tepat sebagai sarana dan media untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk pembelajaran sastra guritan yang termuat dalam silabus Kurikulum 2013. Karya sastra geguritan merupakan karya sastra Jawa modern yang syarat dengan berbagai ajaran, mulai dari ajaran agama, sosial, budaya, dan politik. Sebagai sarana untuk membentuk karakter, dan memperbaiki tata kehidupan sehari-hari, hal utama yang perlu ditanamkan adalah sikap religius. Sikap religius harus dan semestinya dimiliki oleh setiap individu yang beragama. Sikap religius dapat menunjukkan karakter seseorang. Sikap religius juga dapat menunjukkan perilaku moral manusia. Baik buruknya sikap manusia atau perilaku moral memiliki hubungan yang erat dengan religiusitas seseorang. Ditegaskan dengan penelitian yang dilakukan oleh Reza pada tahun 2016 bahwa ada hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan moralitas remaja. Dikuatkan oleh James (2015: 48) bahwa agama mendukung tata krama, bukannya kebrutalan. Beberapa hasil studi terdahulu menyimpulkan bahwa, individu memerlukan suatu pengontrol diri dalam berpikir, bersikap, bertindak yaitu agama atau religiusitas (Reza, 2016: 46). Sehingga pemahaman lanjutannya adalah bagaimana mewujudkan manusia religius, karena hal tersebut akan membawa pengontrolan diri yang baik. Manusia religius dapat disimpulkan dengan pengertian yang sederhana sebagai manusia yang berhati nurani serius, taat, saleh dan teliti dalam pertimbangan batin (Yetti, 2010: 56). Jadi semakin religius seseorang, hidup seseorang tersebut akan semakin nyata dan semakin sadar terhadap kehidupan sehari-hari yang dijalaninya. Manusia yang memiliki religiusitas yang tinggi, akan memiliki moral yang baik dan moral baik akan membentuk karakter yang baik pula. Pada dasarnya karya sastra dapat dikatakan sebagai karya yang bernilai religius, karena setiap karya sastra yang diciptakan berlandaskan atas ajaran-ajaran yang berjiwa religius. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 354
Sastra merupakan ekspresi pengalaman mistis dan estetis manusia, jelaslah pada awal mula kehadiran sastra tidak bisa dibedakan dengan pengalaman religius manusia berhadapan dengan alam dan Sang Penciptanya (Suhendi, 2014: 7). Pernyataan tersebut menegaskan bahwa di dalam karya sastra yang baik selalu terkandung nilai, norma, dan ajaran agama. Hal itu muncul karena sastrawan termasuk mahluk religius, dan tentunya sastrawan menjalani pengalaman religiusnya di kehidupan sehari-hari. Pengalaman religius tersebut sedikit banyaknya tentun akan mempengaruhi karya sastra yang dihasilkannya. Dengan kata lain karya sastra yang adiluhung adalah karya sastra yang mampu menawarkan kearifan-kearifan hidup dan religiusitas (Hawasi, 2007: 34). Lebih lanjut, dengan memahami religiusitas dalam sebuah karya sastra dinilai penting, untuk dasar penanaman sifat dan sikap baik kepada peserta didik serta dapat digunakan sebagai pemberi arah dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Peneliti memilih judul tersebut, atas dasar dan pertimbangan bahwa guritan merupakan karya sastra Jawa Modern yang eksis dan popular di semua kalangan, termasuk peserta didik. Guritan merupakan karya sastra Jawa yang dalam penciptaannya dapat dibilang mudah, tanpa aturan-aturan tertentu, tidak memakan waktu yang lama dalam menciptakan ataupun pembaca dalam memahaminya. Guritan juga sebagai karya sastra Jawa yang dapat diajarkan dalam setiap jenjang atau tingkatan pendidikan. Di dalam guritan juga mengandung ajaran dan nilainilai kebaikan, baik secara tersurat maupun tersirat yang dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran dan penunjang terwujudnya pembelajaran. Dasar lainnya adalah adanya keprihatinan terhadap karakter generasi penerus bangsa yang semakin melemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-fenomena yang ada di masyarakat, yang dari hari ke hari nampak sekali terjadi degradasi moral. Anak-anak muda, khususnya peserta didik juga telah mengesampingkan nilai-nilai religius yang sepatutnya ditanamkan dan dikembangkan dalam kepribadiannya. Bahkan generasi muda akhir-akhir ini rasanya semakin jauh dengan ajaran-ajaran yang sesuai dengan perintah agama. Terbukti banyaknya kasuskasus kenakalan remaja yang dapat kita saksikan bersama. Beberapa kasus-kasus amoral tersebut seperti pengroyokan siswa yang terjadi di Bantul Yogyakarta (Harian Solopos, Januari, 2017), remaja yang mengedarkan narkoba di kota Solo (Harian Solopos, Februari, 2017), aksi mesum pelajar-pelajar di kota Surabaya (Liputan 6, Maret, 2017), tawuran di kalangan pelajar di kota Jakarta (Sindonews, Maret, 2017) dan berbagai kasus lainnya. Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme baru-baru ini yang menjadi topik nasional menunjukkan rusaknya karakter generasi bangsa Indonesia. Selain berbagai permasalahan moral di atas, juga nampak lemahnya pemahaman peserta didik mengenai khazanah budaya Jawa Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 355
Mengkaji religiusitas dalam geguritan, akan membawa banyak manfaat, selain memberi kontribusi dalam perbaikan moral dan membentuk karakter bangsa, serta dapat menyinergikan antara agama dan budaya. Religiusitas merupakan sesuatu yang dapat digunakan sebagai sarana pembinaan mental manusia yang saat ini mengalami reduksi akibat merebaknya paham rasionalisme (Budiasa, 2011, 119). Penelitian dari Abdullah, Mujib dan Ahnaf pada tahun 2008 bahwa studi mengenai agama dan kearifan lokal sama artinya menunjukkan bagaimana nilai-nilai dan kearifan lokal telah berfungsi sebagai pendekatan baru dalam studi agama. Dengan demikian, pengkajian tersebut dapat memberikan dampak baik sehingga mampu menurunkan berbagai potensi-potensi konflik dan berbagai tindakan amoral masyarakat (khususnya generasi muda) terhadap gesekan-gesekan antara agama dan budaya. Penelitian ini dikuatkan oleh oleh beberapa penelitian sebelumnya mengenai beberapa fenomena yang ada. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh King & Ames bahwa hubungan religiusitas dan perilaku moral mempunyai hasil yang positif, sehingga dapat mendasari proses dan pengaruh agama apabila disesuaikan dengan proses sosial pada ukuran perilaku moral dan sikap (Azizah, 2006: 5). Mata rantai antara perilaku moral dan religiusitas yang dibentuk dalam tradisi akan menjadi sangat kuat karena masih banyak yang peduli dengan perilaku moral dan religiusitas yang merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan (Azizah, 2006: 5). Dikuatkan lagi oleh penelitian korelasi antara religiusitas dan kontrol diri dengan kenakalan remaja oleh Aviyah dan Farid, dimana hasil uji regresi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara religiusitas dan kontrol diri dengan kenakalan remaja (2014: 128). Penelitian Andisti & Ritandiyono dengan kesimpulan semakin tinggi religiusitas, maka semakin rendah perilaku seks bebasnya (2008: 175). Beberapa penelitian di atas tentunya memberikan penguatan, bahwa menemukan dan memahami religiusitas dalam geguritan ini sangat baik, tepat dan efektif untuk upaya pembentukan karakter bangsa dan menunjang terwujudnya tujuan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Geguritan yang diteliti adalah buah karya sastrawan Bambang Nursinggih yaitu geguritan Garising Pepesthen. Guritan-guritan karya Bambang Nursinggih adalah geguritan yang bernilai dan berkualitas, baik dari sisi ke-estetikannya maupun piwulang yang ada di dalamnya. Sehingga sangat cocok untuk diteliti dan menunjang dalam pembelajaran bahasa Jawa.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 356
Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah yang sudah diuraikan di atas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut: 1) bagaimanakah aspek-aspek religiusitas dalam geguritan Garising Pepesthen?, 2) bagaimanakah bentuk religiusitas dalam geguritan Garising Pepesthen?, 3) bagaimanakah relevansi religiusitas dalam dalam geguritan Garising Pepesthen dengan pembelajaran bahasa Jawa di Sekolah.
Metode Penelitian Bentuk penelitian ini adalah deskripsi kualitatif. Dalam penelitian ini berusaha mengidentifikasi aspek-aspek religiusitas dengan teori Glock dan Stark (aspek ideologi, ritualistik, ekspesiensial, intelektual, dan konsekuensial), bentuk religiusitas mangacu konsep sikap keagamaan dari Ramayulis, mendeskripsikan dan menjelaskan relevansinya religuisitas dalam antologi geguritan Garising Pepesthen dengan pembelajaran bahasa Jawa di SMA. Sumber data adalah geguritan Garising Pepesthen karya Bambang Nursinggih. Data penelitian adalah segmen-segmen geguritan karya Bambang Nursinggih yang mengandung lebih banyak religiusitasnya. Teknik pengambilan data adalah dokumentasi dan observasi langsung pada sumber data. Analisis data didasarkan pada tiga proses, yakni proses reduksi, penyajian, dan verifikasi yang berfokus pada penelitian religiusitas.
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian ini adalah berupa segmen-segmen geguritan yang mengandung religiusitas dengan paparan meliputi aspek-aspek religiusitas sesuai konsep dari Glock dan Stark (aspek ideologi, ritualistik, ekspesiensial, intelektual, dan konsekuensial), bentuk religiusitas dengan konsep Ramayulis (sikap keagamaan) dan relevansinya dengan tujuan pembelajaran bahasa Jawa di SMA.
Aspek-aspek religiusitas dalam geguritan Garising Pepesthen Aspek-aspek religiusitas menurut Glock dan Stark yang dirangkum oleh Azizah (2006: 4) ada lima aspek religiusitas yaitu: (1) aspek ideologi (the ideological dimension) berkaitan dengan tingkatan seseorang dalam menyakini kebenaran ajaran agamanya (religious belief). Tiap‐tiap agama memiliki seperangkat keyakinan yang harus dipatuhi oleh penganutnya, misalnya kepercayaan adanya Tuhan, (2) aspek ritualistik (the ritulistic dimension) yaitu tingkat Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 357
kepatuhan seseorang mengerjakan kewajiban ritual sebagaimana yang diperintahkan dalam agamanya (religious practice), misalnya kewajiban bagi orang Islam seperti; sholat, zakat, puasa, pergi haji bila mampu, (3) aspek eksperiensial (the experiential dimension) yaitu tingkatan seseorang dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan atau pengalaman‐ pengalaman keagaman (religious feeling). Semua agama memiliki harapan bagi individu penghayatannya akan mencapai suatu pengetahuan yang langsung mengenai realitas yang paling sejati atau mengalami emosi‐emosi religius misalnya; merasa doanya dikabulkan, merasa diselamatkan Tuhan, (4) Aspek inteklektual (the intelectual dimension) berkaitan dengan tingkatan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran agama yang dianutnya (religious knowledge), dan (5) aspek konsekuensial (the consequential dimension) yaitu aspek yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, yakni bagaimana individu berhubungan dengan dunia terutama dengan sesama manusia (religious effect). Aspek ideologi yaitu mencangkup tingkatan kepercayaan kepada kebenaran ajaran agama. Aspek ideologi (the religious dimension) adalah religious belief, yaitu kepercayaan atas doktrin teologis, seperti percaya terhadap adanya Tuhan, malaikat, hari akhir, surga, neraka, takdir, dan lain-lain. Aja kuwatir, asih-E ora bakal muntir Aja kuwatir, aksama-Ne ora bakal mlintir Aja kuwatir, rahmat-E ora bakal wurung tumelung Aja kuwatir, Gusti Allah ora bakal pilih asih lamun tetulung (GP, Baris 13-16) Pada data di atas menunjukkan aspek ideologi atas kepercayaannya pada Tuhan dan keputusanNYA (takdir). Aja kuwatir (jangan khawatir) adalah hasil dari tingkatan iman yang tinggi kepada Tuhan. Aja kuwatir adalah wujud dari keyakinan seseorang atas segala sesuatu yang memang benar-benar dapat diandalkan, dalam konteks ini yang dapat diandalkan adalah Tuhan. Selain aja kuwatir sebagai wujud dari keyakinan kepada hal yang dapat diandalkan, tetapi dalam konteks ini adalah juga sebagai bentuk keyakinan atas kebenaran dan ketepatan Tuhan dalam menentukan dan menetapkan keputusannya, berupa nasib/takdir (kasih, ampunan, rahmat, pertolonganNYA). Hal tersebut sangat nyata terlihat dalam setiap baris, asihE
(kasihNYA),
aksama-Ne
(ampunanNYA),
rahmat-E
(rahmatNYA),
tetulung
(petolonganNYA). Data dari geguritan di atas, juga menunjukkan tingkat kepercayaan seseorang akan sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 358
Aspek ideologi religusitas selanjutnya dapat dilihat pada baris selanjutnya berkenaan dengan keyakinan seorang hamba atas takdir Tuhan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan geguritan di bawah ini:
Pasrah sumarah mring Garising Pepesthen kang mulung Lan nglenggana lamun titah mung saderma nglakoni tulis (GP, Baris 18-19) Maksud dari dua baris geguritan di atas adalah pasrah atas garis takdir yang sudah ditentukan, berlapang dada dan menerima dengan sadar atas suratan Tuhan. Kepasrahan hamba atas takdir yaitu didapat dari tingkat seseorang hamba percaya kepada TuhanNYA. Begitupun dalam berlapang dada dan menerima suratan ilahi. Hal itu dapat tercapai bagi orang-orang yang memiliki kepercayaan atas ajaran agama. Aspek religiusitas yang teridentifikasi adalah aspek ritualistik. Ritualistic dimension adalah kepatuhan terhadap perintah agama atau bisa disebut sebagai dimensi praktik agama (berkaitan dengan seperangkat perilaku pemujaan, pelaksanaan tindakan formal keagamaan, ketaatan dan hal-hal yang dapat menunjukkan seberapa besar komitmen seseorang terhadap agama yang diyakininya). Data yang berkaitan dengan aspek ritualistic dapat dilihat pada kutipan geguritan di bawah ini. Mula, rikala meleng, mastuti mring Dat Kang Maha Agung (GP, Baris 17) Pada data di atas, menitikberatkan pada mastuti (menyembah) kepada Tuhan Dzat Yang Maha Agung. Kata menyembah dalam baris tersebut tentunya berarti luas, dapat berupa berbagai ritual penyembahan. Maksudnya adalah dalam keadaan bagaimanapun, kita diingatan untuk mengingat Tuhan dengan jalan menyembah dan beribadah sekalipun dalam keadaan yang “buruk”. Aspek ketiga yang terindentifikasi adalah aspek eksperiensial. Aspek ini dapat dilihat dari emosi‐emosi religius misalnya; merasa doanya dikabulkan, merasa diselamatkan Tuhan. Berpangku pada keterangan di atas, maka dapat ditemukan aspek eksperiensial seperti kutipan di bawah ini. Agahan nugraha ndlidir mili Ngentheng-ngenthengi sangganing ngaurip Allah uga tansah ngijabahi punagi-punagi kang kaesthi Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 359
(GP, B9-11) Data di atas menerangkan sikap emosi religius. Seorang hamba dimudahkan oleh Tuhan dengan berbagai anugerah dan dapat meringankan beban hidup. Hal tersebut diakibatkan dari berbagai usaha dan doa yang terkabulkan. Aspek eksperiensial lainnya dapat dilihat dari kutipan berikut. Duhkita kang tansah ngendhih sigra luwar Nisip sumingkir ing panguripan, rahayu kang tansah pinanggih (GP, 22-23) Kesedihan akan sigra luwar (segera pergi) dari kehidupan dan keselamatan akan segera datang. Kutipan geguritan ini, merupakan sebuah ekspresi atas angan-angan dan harapan dari sebuah usaha dan doa. Aspek keempat adalah aspek intelektual. Aspek Intelektual atau religious knowledge mencangkup informasi yang dimiliki seseorang mengenai keyakinan agama yang dianutnya mulai dari tata cara, kitab suci, atau tradisi-tradisinya. Aspek intelektual pada geguritan Garising Pepesthen dapat dilihat pada kuipan di bawah ini. Saputen sedhihing galih aja nganti perih Mawa arum sarining singir-singir suci Sapihen kingkin kanthi weninging pikir Murih iman ora ringkih gingsir sumingkir Biraten dhuhkita kang lagi semampir Mawa santi puji kang eklas (GP, Baris 2-7) Pada data yang ditampakkan di atas, berisi berbagai tata cara dan solusi dalam menghadapi beberapa keadaan. Berbagai tata cara tersebut tentu sesuai dengan ajaran di dalam agama. Seperti dapat dilihat pada baris ke 1 dan 2, diajarkan bahwa untuk menghapus kesedihan dengan mendalami dan memaknai singir (syair tradisional Jawa berisi ajaran agama). Pada baris ke 3 dan 4 diajarkan untuk menyapih kingkin (sedih) dengan menenangkan pikiran dan didasari dengan iman. Pada baris 5 dan 6 juga diajarkan untuk meghilangkan/ mbirat kesedihan, kedukaan dapat juga dengan jalan banyak melafalkan pepujian dengan penuh keikhlasan. Berbagai permasalahan dan solusi yang ditampilkan pada bait geguritan di atas, tentu melewati pemahaman yang mendalam atas ajaran agama yang dianutnya. Melalui berbagai tahapan pendalaman dengan penglihatan, pendengaran, perasaan atas apa yang telah diajarkan dan dituntun oleh agama. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 360
Bentuk religiusitas dalam Geguritan Garising Pepesthen Konsep religiusitas pada penelitian ini berpangku pada konsep Ramayulis. Dalam menerangkan religiusitas, beliau lebih menyandingkannya dengan sikap keagamaan. Sikap keagamaan adalah sikap seseorang yang ada kaitannya dengan keagamaan. Semacam kecenderungan, kesediaan, kesiapan untuk berbuat, atau proses perbuatan itu sendiri (Ramayulis, 2011: 113). Kemudian beliau menerangkan hubungannya dengan tingkah laku keagamaan. Tingkah laku keagamaan adalah segala aktivitas manusia dalam kehidupan yang didasarkan kepada nilai-nilai agama yang diyakininya. Tingkah laku keagamaan ini dapat dilihat bentuknya dari sifat, sikap dan tingkah laku manusia sehari-hari. Sebagai contoh tingkah laku keagamaan adalah tidak takabur, rendah hati, ikhlas, amanah, sidiq (dapat dipercaya), sabar dan lain sebagainya. Sebaliknya, yang mencerminkan tidak memiliki tingkah laku keagamaan adalah manusia yang memelihara sifat kikir, buruk sangka, memfitnah, adu domba dan perbuatan buruk lainnya (Ramayulis (2011: 117). Pada geguritan Garising Pepesthen dapat diidentifikasi dengan beberapa bentuk religiusitas. Diantaranya bentuk religiusitas kepasrahan, pengharapan, keikhlasan, ketidakraguan terhadap Tuhan dan ajaran agama. Bentuk religiusitas kepasrahan dapat dilihat pada kutipan di bawah ini. Pasrah sumarah mring Garising Pepesthen kang mulung Lan nglenggana lamun titah mung saderma nglakoni tulis Ora kurang ora luwih (GP, Baris 18-20) Kepasrahan pada data diatas, merupakan kepasarahan yang positif. Pasrah bukan yang berarti keputus asaan, tetapi pasrah yang sesuai dengan anjuran agama. Data selanjutnya adalah yang menunjukkan pengharapan, dapat dilihat pada data berikut. Nisip sumingkir ing panguripan, rahayu kang tansah pinanggih (GP, Baris 23) Pengharapan adalah suatu bentuk sikap positif yang harus dipelihara oleh seorang hamba. Dengan memelihara pengharapan maka menciptakan peluang dalam mencapai hal yang lebih baik dan keselamatan. Mengharap sama saja memelihara keinginan dan cita-cita. Dengan demikian semakin mendekatkan pada Tuhan dengan berbagai cara, salah satunya adalah doa. Data selanjutnya yaitu ketidakraguan, dapat dilihat pada data di bawah ini. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 361
Aja kuwatir, asih-E ora bakal muntir Aja kuwatir, aksama-Ne ora bakal mlintir Aja kuwatir, rahmat-E ora bakal wurung tumelung Aja kuwatir, Gusti Allah ora bakal pilih asih lamun tetulung (GP, Baris 13-16) Pada data yang sudah ditampilkan di atas, adalah wujud ketidakraguan manusia kepada Tuhan. Ketidakraguan adalah berasal dari tingkat keimanan manusia. Semakin iman manusia, maka semakin ia tidak ragu atas sesuatu. Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Jawa Di Tingkat SMA Mulok Bahasa Jawa dalam Kurikulum 2013 berbasis pada Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) dengan penekanan pada penyederhanaan materi. Artinya, materi yang diajarkan tidak sebanyak dengan kurikulum sebelumnya, namun lebih mendalam. Pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa diatur oleh Pergub Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2013 tentang petunjuk pelaksanaan peraturan daerah provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang bahasa, sastra dan aksara Jawa. Dimana pada pasal 5 disimpukan bahwa bahasa Jawa diajarkan pada sekolah formal jenjang SD sampai SMA, bahasa Jawa berdiri sendiri sebagai mata pelajaran, alokasi mata pelajaran bahasa Jawa sekurang-kurangnya 2 jam pada tingkatan kelas. Kemudian diikuti Pergub Jawa Timur Nomor 19 Tahun 2014, dimana isinya senada, yakni berkenaan dengan peraturan mata pelajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal wajib di sekolah/madrasah. Pada pasal 3 dinyatakan bahwa pembelajaran bahasa Jawa sebagai wahana untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan etika, estetika, moral, spiritual dan karakter. Pada pasal 4 dinyatakan pembelajaraan bahasa Jawa bertujuan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengkreasikan bahasa dan sastra daerah. Melihat berbagai keterangan dari peraturan yang ada, dan ditambah panduan silabus kurikulum 2013 pada kelas XII semester gasal mengenai pengkajian geguritan, maka menanamkan nilai etika, moral, spiritual dan karakter adalah sifanya penting. Diketahui selanjutnya bahwa dengan mengkaji religiusitas dalam karya sastra geguritan Garising Pepesthen sangat baik menunjang pembelajaran bahasa Jawa, terutama tujuannya. Berbagai bentuk religiusitas yang teridentifikasi dalam geguritan Garising Pepesthen tersebut sangat selaras untuk digunakan dalam rangka menanamkan nilai-nilai sesuai dengan tujuan pemeblajaran yang berlandaskan pada peraturan yang ada. Bentuk-bentuk religiusitas kepasrahan, pengharapan, keikhlasan, ketidakraguan yang terkandung dalam geguritan Garising Pepesthen dapat didalami dan diresapi, sehingga pemahanan mengenai religiusitas berkontribusi dalam menumbuhkan nilai-nilai kebaikan. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 362
Simpulan Geguritan Garising Pepesthen mengandung empat aspek religiusitas, diantaranya aspek ideologi, aspek ritualistic, aspek eksperiensial, dan aspek intelektual. Bentuk religiusitas yang terkandung di dalam geguritan Garising Pepesthen diantaranya, kepasrahan, pengharapan, keikhlasan dan ketidakraguan kepada Tuhan dan ajaran agama. Berbagai bentuk religiusitas tersebut salaras dengan penanaman nilai sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Jawa. Bentuk religiusitas tersebut dapat digunakan dalam rangka menanamkan nilai-nilai sesuai dengan tujuan pemeblajaran yang berlandaskan pada peraturan yang ada.
Daftar Pustaka
Abdullah, I., Mujib, I., & Ahnaf, M.I. (Eds). (2008). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM. Andisti, M. A., Ritandiyono. (2008). Religiusitas dan Perilaku Seks Pada Dewasa Awal. Jurnal Psikologi Volume 1, No. 2. Aviyah, E. & Farid, M. (2014). Religius, Kontrol Diri dan Kenakalan Remaja. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Vol, 3. No 02, hal 126-129 Azizah, N. (2006). Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa Berlatar Belakang Pendidikan Umum dan Agama. Jurnal Psikologi. Volume 33, No. 2, 1-16. Azizah, N. (2006). Perilaku Moral dan Religiusitas Siswa Berlatar Belakang Pendidikan Umum dan Agama. Jurnal Psikologi. Volume 33, No. 2, 1-16. Budiasa, I. M. (2011). Religiusitas Puisi Bali Modern Ning-Ning Brahman Karya Nyoman Thusti Eddy. Aksara, Jurnal Bahasa dan Sastra. Nomor 37, Tahun XXIII, Juni 2011. Hawasi. (2007). Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Mistik Jawa. Procceding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek dan Sipil). Auditorium Kampus Gunadarma, 2122 Agustus 2007 James. W. (2015). The Varieties Of Religious Exsperience: Pengalaman-pengalaman Religius. Terj. Lutfi Anshari. Yogyakarta: IRCiSod. Ramayulis. (2011). Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia. Reza. I. F. (2013). Hubungan Antara Religiusitas dengan Moralitas Pada Remaja Di Madrasah Aliyah. Humanitas, Vol. X, No. 2. SINDONEWS. (2017, 21 Maret). Polisi Bekuk Joki Tawuran Antar Pelajar dan Kampung di Persembunyiannya. Diperoleh Pada Pukul 21.21 WIB Tanggal 3 April 2017 Di www.metro.sindonews.com SOLOPOS. (2017, 14 Januari). Aksi Pengroyokan Siswa: 10 Terdakwa Divonis, Ibunda Korban Kecewa, hlm 3. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 363
SOLOPOS. (2017, 24 Februari). Kecanduan Game Online, Nekat Jadi Kurir Narkoba, hlm, II. Suhendi, Y. (2014). Mengenal 25 Teori Sastra. Yogyakarta: Ombak Yetti, E. (2010). Religiulitas dalam Novel Sastra Indonesia: Studi Kasus Khotbah Di Atas Bukit Karya Kuntowijoyo. Sawomanila, Volume 1, No. 4.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 364
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS KARANGAN DESKRIPSI BERBAHASA JAWA MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR BERSERI PADA SISWA KELAS IX- A SMP NEGERI 1 BATANGAN
Suharningsih, S.Pd.
[email protected]
ABSTRAK Mengajar merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk menciptakan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar peserta didik. Dalam mengajar, guru tidak hanya sekedar menerangkan dan menyampaikan sejumlah materi kepada peserta didik, namun hendaknya guru perlu menguasai berbagai metode mengajar dan dapat mengelola kelas secara baik. Selain mengunakan berbagai metode yang menarik, pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar merupakan suatu hal yang penting dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Penelitian ini bertujuan: 1) Untuk mendeskripsikan peningkatan aktivitas belajar peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016 setelah mengikuti pembelajaran menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa dengan media gambar berseri. 2) Untuk peningkatan keterampilan menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa siswa kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016. Setelah diadakan tindakan pembelajaran menulis karangan deskripsi dengan media gambar berseri, aktivitas belajar peserta didik mengalami peningkatan bahwa rata-rata aktivitas belajar peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan pada kondisi awal sebesar 65,23, siklus I sebesar 80,08, dan siklus II sebesar 88,09. Sementara untuk keterampilan menulis deskripsinya juga mengalami peningkatan yaitu rata-rata keterampilan menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016 pada kondisi awal sebesar 70,78, siklus I sebesar 76,56, dan siklus II sebesar 79,84. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Penggunaan media gambar berseri, dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016 sesuai dengan hasil penelitian. 2) Penggunaan media gambar berseri dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016 sesuai dengan hasil penelitian.
Kata Kunci : Keterampilan Menulis Karangan Deskripsi, Media Gambar Berseri
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 365
A. PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Masalah Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2013
tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang pembelajaran bahasa, sastra dan aksara Jawa dalam Kurikulum 2013 pada jenjang pendidikan sekolah dasar dan menengah, sesuai pasal-pasal yang ada di dalamnya. Mulok Bahasa Jawa pada Kurikulum 2013 bertujuan agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai berikut: (1) menjaga dan memelihara kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa sehingga menjadi faktor penting untuk peneguhan jati diri daerah; (2) menyelaraskan fungsi bahasa, sastra, dan aksara Jawa dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan arah pembinaan bahasa Indonesia; (3) mengenali nilai-nilai estetika, etika, moral dan spiritual yang terkandung dalam budaya Jawa untuk didayagunakan sebagai upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional; dan (4) mendayagunakan bahasa, sastra, dan aksara Jawa sebagai wahana untuk pembangunan karakter dan budi pekerti. Mengajar merupakan kegiatan yang dilakukan guru untuk menciptakan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar peserta didik. Dalam mengajar, guru tidak hanya sekedar menerangkan dan menyampaikan sejumlah materi kepada peserta didik, namun hendaknya guru perlu menguasai berbagai metode mengajar dan dapat mengelola kelas secara baik. Selain mengunakan berbagai metode yang menarik, pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar merupakan suatu hal yang penting dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Salah satu media yang dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai penunjang hasil pembelajaran agar maksimal adalah media gambar seri dalam materi menulis karangan deskripsi pada mata pelajaran bahasa Jawa. Ada empat komponen dalam keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Komponen-komponen tersebut harus mendapatkan perhatian yang sama dalam pembelajaran bahasa karena keempat aspek tersebut saling terkait dan saling berpengaruh (Tarigan 2008:1). Keterampilan menulis tidak secara otomatis dikuasai oleh siswa, tetapi melalui latihan dan praktek yang teratur sehingga menghasilkan tulisan yang tersusun dengan baik. Berdasarkan hasil observasi dan refleksi yang dilaksanakan pada pembelajaran menulis karangan deskripsi yang dilakukan oleh guru dan kolaborator, didapatkan data bahwa guru mengajar menggunakan ceramah. Sata mengajar guru belum menggunakan media pembelajaran. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 366
Ditinjau dari segi peserta didik didapat data bahwa pada saat mengikuti pembelajaran, peserta didik didik kurang bersemangat belajar. Saat guru menjelaskan pelajaran, ada beberapa peserta didik yang berbicara dengan temannya, sementara pembicaraan tidak berhubungan dengan materi pembelajaran. Saat diberi tugas menulis karangan deskripsi, banyak peserta didik yang mengalami kesulitan karena kosa kata bahasa Jawa sebagai media mengekspresikan pikiran terbatas. Hal tersebut berdampak pada kondisi awal peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016 ketika dinilai untuk menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa hasilnya rendah. Data tersebut dibuktikan dengan nilai rata-rata kelas kurang dalam kemampuan menulis karangan deskripsi. Hal tersebut dibuktikan dari data siswa kelas IX-A yang berjumlah 32 siswa terdiri atas laki-laki = 8 orang dan perempuan = 24 orang, yang memperoleh nilai atas KKM sebanyak 11 orang (34,375), dan yang di bawah KKM ada 21 orang (65,625). Adapun rata-rata keterampilan menulis karangan deskripsi secara klasikal sebesar 70, 78. Kekurangtuasan tersebut ditinjau dari aspek yang dinilai antara lain: (1) kesesuaian judul dengan isi karangan, (2) pilihan kata atau diksi, (3) ejaan dan tanda baca, (4) koherensi kalimat, dan (5) kelengkapan isi karangan. Melihat kondisi tersebut, guru berupaya untuk mengubah kondisi siswa dengan menggunakan media. Media yang diduga dapat membantu siswa untuk terampil dalam menulis karangan deskripsi adalah dengan media gambar berseri. Dengan media tersebut diharapkan dapat mengubah kondisi siswa yang kesulitan dalam praktik menulis. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Zahara (2011) berjudul “Peningkatan Kemampuan Menulis Narasi Berbahasa Jawa Melalui Gambar berseri Siswa Kelas V SDN Pacewetan II Kabupaten Nganjuk”. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan media kartun berseri dapat meningkatkan kemampuan menulis narasi berbahasa Jawa. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti mengkaji lebih lanjut melalui penelitian tindakan kelas dengan judul “Peningkatan Aktivitas dan Keterampilan Menulis Karangan Deskripsi Berbahasa Jawa Melalui Metode Gambar Berseri pada Siswa Kelas IXA SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016.” 2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan pembatasan masalah tersebut, rumusan
masalah yang diajukan adalah sebagai berikut: 1) Apakah penggunaan media bambar berseri, dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016? Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 367
2) Apakah penggunaan media gambar berseri dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016? 3.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini ada dua cacam. 1)
Untuk mendeskripsikan peningkatan aktivitas belajar peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016 setelah mengikuti pembelajaran menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa dengan media gambar berseri.
2)
Untuk mendeskripsikan peningkatan keterampilan menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa siswa kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016.
4.
Kajian Pustaka a. Hakikat Keterampilan Menulis Menulis adalah proses kreatif memindahkan gagasan ke dalam lambang tulisan untuk
menyampaikan pesan. Pendapat peneliti tersebut didukung oleh Suparno dan Yunus (2009: 1.3) yang menyatakan bahwa menulis adalah suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Menurut Semi (2007: 40) menulis merupakan suatu proses kreatif memindahkan gagasan dalam lambang-lambang tulisan. Sedangkan menurut Doyin dan Wagiran (2009: 12) menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang dipergunakan dalam komunikasi secara tidak langsung. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, kosakata, struktur kalimat, pengembangan paragraf, dan logika berbahasa. Keterampilan menulis adalah kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, atau perasaan kepada pihak lain dengan melalui bahasa tulis. Ketepatan pengunggkapan gagasan harus didukung oleh ketepatan bahasa yang digunakan, selain komponen kosa kata dan gramatikal, ketepatan kebahasaan juga sebaiknya didukung oleh konteks dan penggunaan ejaan. b. Aktivitas Belajar Pengertian aktivitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 17) adalah keaktifan; kegiatan; kesibukan. Aktivitas belajar merupakan seluruh aktivitas siswa dalam proses belajar. Menurut Sardiman dalam Saminanto (2010: 97), aktivitas belajar adalah Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 368
keaktifan yang bersifat fisik atau mental. Slameto (2010: 36) berpendapat bahwa guru perlu menimbulkan aktivitas siswa dalam berpikir maupun berbuat dalam proses belajar mengajar. Aktivitas yang dilakukan siswa dalam proses pembelajaran tersebut akan menimbulkan kesan. c. Pengertian Karangan Deskripsi Kata deskripsi berasal dari bahasa Latin descibere yang berarti menggambarkan atau memerikan suatu hal. Dari segi istilah, deskripsi adalah suatu bentuk karangan yang melukiskan sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya, sehingga pembaca dapat mencitrai (melihat, mendengar, mencium dan merasakan) apa yang dilukiskan itu sesuai dengan citra penulisnya. Karangan jenis ini bermaksud menyampaikan kesan-kesan tentang sesuatu, dengan sifat dan gerak-geriknya, atau sesuatu yang lain kepada pembaca. Deskripsi atau pemerian merupakan sebuah bentuk tulisan yang bertalian dengan usaha para penulis untuk memberikan perincian-perincian dari objek yang sedang dibicarakan (Keraf, 1982:93). Menulis deskripsi berarti memindahkan kesan-kesannya, hasil pengamatan dan perasaannya kepada pembaca dalam bentuk tulisan. Sasarannya adalah menciptakan daya khayal pada pembaca, seolah-olah mereka melihat sendiri objek yang dideskripsikan. d. Media Gambar Berseri Menurut Arsyad (2002:119) gambar seri merupakan rangkaian kegiatan atau cerita yang disajikan secara berurutan. Dengan gambar seri, siswa dilatih mengungkapkan adegan dan kegiatan yang ada dalam gambar. Gambar bersambung atau gambar seri (vitatoon) yaitu media grafis yang digunakan untuk menerangkan suatu rangkaian perkembangan. Sebab setiap seri media gambar bersambung dan selalu terdiri dari sebuah gambar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia gambar seri adalah gambar cerita yang berturut-turut. 5. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir tersebut, hipotesis tindakan yang diajukan sebagai berikut. 1) Melalui penggunaan media gambar berseri diduga dapat meningkatkan aktivitas belajar menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa pada peserta didik Kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan, Kabupaten Pati Semester Gasal Tahun Pelajaran 2015/2016. 2) Melalui penggunaan media gambar berseri diduga dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa pada peserta didik Kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan, Kabupaten Pati Semester Gasal Tahun Pelajaran 2015/2016. Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 369
6. Prosedur Penelitian Secara garis besar terdapat empat tahapan yang lazim dilalui untuk melakuan penelitian tindakan kelas. Menurut Wiriaatmadja (2008), keempat hal tersebut adalah: perencanaan, aksi/tindakan, observasi dan refleksi. Model penelitian yang digunakan adalah model spiral Kemmis dan Taggart yang telah dimodifikasi sebagai berikut. Perencanaa n Refleksi
SIKLUS I
Pelaksanaan
Observasi Perencanaa n Refleksi
SIKLUS II
Pelaksanaan
Observasi
?
7.
Setting Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Batangan yang beralamat di Jalan Raya
Batangan – Jaken Km. 1,5 Batangan Kabupaten Pati, telepon (0295). Pada tahun pelajaran 2015/2016, sekolah ini memiliki tiga tingkat kelas, yakni kelas VII s.d. kelas IX. Masingmasing tingkat kelas terdiri atas enam kelas pararel. Peneliti memilih kelas IX-A karena peneliti adalah guru bahasa Jawa kelas tersebut. Dengan demikian peneliti memiliki cukup waktu untuk melakukan penelitian. Secara rinci waktu penelitian sebagai berikut.
Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian No 1 2
Kegiatan Persiapan Pelaksanaan Siklus 1
1 x
September 2 3 4 x X
1
x
x
2
Oktober 3 4 5
1
November 2 3 4
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 370
3
Pelaksanaan Siklus 2 Penyusunan Laporan
x
x x
x
x
x
x
x
B. Metode Penelitian 1.
Subjek Penelitian Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah seluruh peserta didik kelas IX-A semester
SMP Negeri 1 Batangan tahun pelajaran 2015/2016. Peserta didik berjumlah 32 orang, terdiri atas 8 orang laki-laki dan 24 orang perempuan. Guru yang menjadi peneliti adalah guru bahasa Jawa, yakni Ibu Suharningsih, S. Pd. Selama melakukan penelitian, dibantu oleh mitra peneliti atau observer yakni Bapak Bambang Sukamto, M. Pd.. 2. Sumber Data Sumber data penelitian ini ada dua yakni dari guru dan siswa. 1. Guru Guru berperan sebagai guru mata pelajaran bahasa Jawa sekaligus sebagai peneliti. Dari guru diperoleh data tentang kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan selama penelitian tentang menulis karangan deskripsi berbantuan media gambar berseri. 2. Peserta Didik Sumber data peserta didik diperoleh dari hasil observasi berdasarkan lembar observasi aktivitas peserta didik dan keterampilan menulis karangan deskripsi yang dilakukan selama pelaksanaan siklus I dan siklus II. Data dari peserta didik dikumpulkan melalui pengamatan aktivitas belajar dan nilai tes menulis karangan deskripsi. 3. Teknik dan Alat Pengumpul Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan teknik tes dan teknik non tes, berikut ini akan dipaparkan teknik pengumpulan data pada penelitian ini. a.
Teknik Tes Tes merupakan suatu bentuk tugas yang terdiri dari sejumlah pertanyaan atau
perintah-perintah. Teknik tes ini digunakan untuk mengumpulkan data nilai hasil belajar siswa pada setiap siklus. Dalam hal ini peneliti melakukan sebanyak dua kali yaitu tes akhir siklus I dan tes akhir siklus II. Tes setiap siklus menggunakan soal yang dibuat oleh peneliti dengan panduan kisi-kisi. b. Teknik Non tes
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 371
Selain teknik tes, dalam pengumpulan data pada penelitian ini juga dilakukan melalui teknik non tes, yaitu teknik observasi dan dokumentasi. Teknik observasi digunakan untuk memperoleh data aktivitas belajar peserta didik selama proses pembelajaran. Dalam hal ini yang diamati dari diri siswa yaitu aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran menulis karangan deskripsi yang dilakukan oleh peneliti dan guru mitra sesuai instrumen yang sudah disediakan. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data meliputi analisis data hasil menulis karangan deskripsi dan analisis data observasi yang meliputi hasil aktivitas belajar peserta didik. Teknik analisis data yang digunakan peneliti sebagai berikut. 1.
Analisis Data Keterampilan Menulis Karangan Analisis data menulis karangan deskripsi dilakukan setelah dilakukan peserta didik
menempuh tes mengarang pada akhir sikus I dan siklus II. Cara yang ditempuh yakni menentukan nilai akhir mengarang secara individual, menentukan rata-rata nilai, dan menentukan persentase tuntas belajar siswa. a. Menentukan nilai akhir belajar individual siswa Menurut BSNP (2007: 25), untuk menentukan nilai akhir siswa digunakan rumus: Skor perolehan NA =
X 100% Skor maksimum
Keterangan: NA = Nilai Akhir b. Menentukan rata-rata nilai Poerwanti, dkk (2008: 6.25), menyatakan bahwa untuk menentukan rata-rata belajar siswa, digunakan rumus:
X=
xi x 100% n
Keterangan : X = rata-rata Σxi = jumlah nilai peserta tes n = jumlah peserta tes
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 372
Untuk mengetahaui kategori nilai rata-rata, dikelompokkan ke dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 4 Pedoman Kualifikasi Hasil Tes No.
Persentase
Kualifikasi
1
81 ≤ x ≤ 100
Tinggi Sekali
2
61 ≤ x ≤ 80
Tinggi
3
41 ≤ x ≤ 60
Cukup
4
21 ≤ x ≤ 40
Rendah
5
0 ≤ x ≤ 20
Rendah Sekali
c. Menentukan persentasi TK (Tuntas Klasikal) Menurut Aqib, dkk (2010: 41), untuk menentukan persentasi tuntas klasikal digunakan rumus sebagai berikut: ∑ peserta didik yang tuntas belajar P=
X 100% ∑peserta didik
2. Analisis Data Observasi Analisis data observasi meliputi menentukan aktivitas belajar siswa dan performansi guru. Berikut ini akan dipaparkan mengenai rumus yang digunakan. a. Menentukan aktivitas belajar siswa Menurut Yonny, dkk (2010: 176), untuk menentukan aktivitas belajar siswa digunakan rumus sebagai berikut: P=
s x 100% sn x sm
Keterangan : P
= Persentase
Σs
= jumlah skor
sn
= jumlah siswa Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 373
sm
= skor maksimal Untuk mengetahui kalifikasi aktivitas belajar peserta didik, digunakan tabel berikut. Tabel 5 Pedoman Kualifikasi Hasil Observasi
C.
No.
Persentase
Kualifikasi
1
81 ≤ p ≤ 100
Baik Sekali
2
61 ≤ p ≤ 80
Baik
3
41 ≤ p ≤ 60
Cukup
4
21 ≤ p ≤ 40
Kurang
5
0 ≤ p ≤ 20
Kurang Sekali
Hasil dan Pembahasan Sesuai dengan uraian pada deskripsi penelitian siklus I dan siklus II, berikut ini disajikan hasil penelitian. 1. Aktivitas Belajar Peserta Didik Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa data aktivitas belajar diketahui lewat hasil observasi. Aspek yang diobervasi ada delapan, dan masing-masing aspek terdiri atas empat indikator. Adapun kedelapan aspek tersebut adalah (1) Siap menerima pelajaran (aktivitas emosional), (2) Menyimak informasi dari guru (aktivitas mendengarkan), (3) Bergabung dengan kelompok untuk berdiskusi (aktivitas metrik), (4) Mengidentifikasi permasalahan diskusi (aktivitas mental), (5) Menilai hasil pemecahan masalah (aktivitas mental dan menulis), (6) Mempresentasikan hasil diskusi (aktivitas lisan, mendengarkan, visual, dan metrik), (7) Menghagai pendapat kelompok lain (aktivitas emosional), dan (8) Mengerjakan soal tes (Aktivitas menulis, dan mendengarkan). Selanjutnya hasil penelitian tentang aktivitas belajar disajikan pada tabel berikut.
Tabel 4.9 Ringkasan Hasil Observasi Aktivitas Belajar No
Aspek yang Diobservasi
A. B.
Siap menerima pelajaran (aktivitas emosional) Menyimak informasi dari guru (aktivitas mendengarkan)
Kondisi Awal 71,88 67,97
Siklus 1 89,06 80,47
Siklus 2 96,09 89,06
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 374
C. D. E. F. G. H.
Bergabung dengan kelompok untuk berdiskusi (aktivitas metrik) Mengidentifikasi permasalahan diskusi (aktivitas mental) Menilai hasil pemecahan masalah (aktivitas mental dan menulis) Mempresentasikan hasil diskusi (aktivitas lisan, mendengarkan, visual, dan metrik) Menghagai pendapat kelompok lain (aktivitas emosional) Mengerjakan soal tes (Aktivitas menulis, dan mendengarkan) Jumlah Rata-rata
67,97
83,59
83,59
61,72
83,59
89,06
64,84
72,66
85,16
54,69
78,91
89,06
67,19
80,47
81,25
65,63
71,88
91,41
521,88 65,23
640,63 80,08
704,69 88,09
Sesuai dengan tabel tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata aktivitas belajar peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan pada kondisi awal sebesar 65,23, siklus I sebesar 80,08, dan siklus II sebesar 88,09. 2. Keterampilan Menulis Karangan Deskripsi Berbahasa Jawa Data keterampilan menulis deskripsi berbahasa Jawa, diringkas pada tabel berikut. Tabel 4.10 Data Menulis Karangan Deskripsi Berbahasa Jawa No 1 2 3 4
Aspek yang diobservasi Nilai rata-rata Jumlah siswa yang tuntas Persentase siswa yang tuntas Jumlah siswa yang belum tuntas Persentase siswa yang belum tuntas
5
Kondisi Awal 70,78 11 34,38 21
Siklus 1 76,56 22 68,75 10
Siklus 2 79,84 28 87,50 4
65,63
31,25
12,50
Sesuai dengan tabel tersebut diketahui bahwa rata-rata keterampilan menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016 pada kondisi awal sebesar 70,78, siklus I sebesar 76,56, dan siklus II sebesar 79,84. Kenaikan rata-rata keterampilan menulis tersebut digambarkan pada grafik berikut.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 375
82 79,84
80 78
76,56
76 74 72
70,78
70 68 66 Kondisi Awal
Siklus 1
Siklus 2
Gambar 4.4 Grafik Kenaikan Keterampilan Menulis Karangan Deskripsi D. Penutup 1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas naka dapat disimpulkan bahwa: 1) Penggunaan media gambar berseri, dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016 sesuai dengan hasil penelitian bahwa rata-rata aktivitas belajar peserta didik pada kondisi awal sebesar 65,23, siklus I sebesar 80,08, dan siklus II sebesar 88,09. 2) Penggunaan media gambar berseri dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa peserta didik kelas IX-A SMP Negeri 1 Batangan Tahun Pelajaran 2015/2016 sesuai dengan hasil penelitian bahwa rata-rata keterampilan menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa pada kondisi awal sebesar 70,78, siklus I sebesar 76,56, dan siklus II sebesar 79,84. 2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan tersebut, peneliti memberikan saran
untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keterampilan berbahasa, khususnya pembelajaran menulis karangan deskripsi sebagai berikut. 1) Untuk peneliti dan pembaca, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi yang inovatif dan bervariasi serta berperan aktif dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan membelajarkan menulis karangan deskripsi berbahasa Jawa.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 376
2) Bagi guru bidang studi bahasa Jawa, hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi dalam suatu pembelajaran dengan menyesuaikan rencana pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran secara terstruktur dan berlangsung secara baik. 3) Pihak sekolah hendaknya mendorong para guru untuk mengadakan penelitian tindakan kelas karena selain dapat memperbaiki proses dan hasil pembelajaran juga dapat digunakan sebagai salah satu syarat untuk mengajukan kenaikan pangkat
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Arsyad, Azhar. 2011. Media pengajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Depdiknas. 2013. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Doyin, Mukh dan Wagiran.2009. Bahasa Indonesia Pengantar Penulisan Ilmiah. Semarang:Universitas Negeri Semarang Press.
Karya
Keraf, Gorys. 2010. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
_________ . 2000. Komposisi dan Diskripsi. Jakarta: Gramedia Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis Berbahasa.Bandung: Percetakan Angkasa.
Sebagai
Suatu
_________. 2005. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Angkasa.
Keterampilan
Bandung:
Tim Penyusun.2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Seminar Hari Pendidikan Nasional 2017 “Mendidik Generasi Jawa Milenial: Tantangan bagi Pendidik di Era Tekmologi informasi” 377