MEMBANGUN CORPORATE ETHICS DALAM UPAYA MENGATASI LIBERALISASI DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN TINGGI
Hessy Erlisa Frasti Department of Accouting Economics and Business Faculty Sebelas Maret University
Abstract Privatization and liberalization of education may cause a risk in the presence of higher education commercialization, moreover with a weak government control. Commercialization is the impact of the perception that education is a commodity, students are consumers, and the college is a service provider that serves for pleasing consumers. This paradigm needs to be changed. Corporate ethics development is one way to overcome the higher education liberalization and commercialization. It can begin by promoting profession ethics. With the profession ethics, it is expected that all professions related to education, especially higher education in this case, is able to uphold the educational ethics. Then values inculcation must be conducted as a follow up, these values will revive the true nature of education, with no thought that education is just a mere a commodity. After all, the development of corporate ethics is expected to increase Indonesian education quality. Keywords: education liberalization, education commercialization, corporate ethics.
PENDAHULUAN Salah satu tujuan pembentukan Pemerintahan Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan salah satu wujud upaya pemerintah dalam mencerdaskan bangsa. Pendidikan diamanatkan oleh UUD 1945 agar diselenggarakan dalam suatu sistem pendidikan nasional (SPN) yang diatur di dalam Undang-Undang, salah satu subsistem dari SPN adalah pendidikan tinggi. UndangUndang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi) yang mengamanatkan bahwa pendidikan tinggi disusun berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika dan diselenggarakan dengan berbagai prinsip, antara lain yaitu: berkeadilan, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (Simamora, et al., 2014). Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar, terencana, terpola, dan dapat dievaluasi yang dilakukan oleh pendidik untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi yang ada dalam peserta didik. Arah pendidikan bangsa dalam tataran kebijakan diselenggarakan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang dilandasi keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia (Supardi, 2012). Perguruan tinggi merupakan salah satu elemen yang berperan penting dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Dewasa ini, perguruan tinggi banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari perubahan kebijakan pemerintah. Perubahan otonomi pendidikan yang kemudian melahirkan makna privatisasi perguruan tinggi merupakan sebuah upaya peningkatan kinerja lembaga sesuai kompetensi dan berbasis lokal, sekalipun privatisasi bisa juga dimaknai sebagai bentuk komersialisasi pendidikan tinggi (Sutapa, 2008). Dalam beberapa tahun terakhir, kekuatan pasar yang terus berkembang dan adanya peraturan internasional tentang perdagangan jasa cenderung mengabaikan pandangan masyarakat bahwa pendidikan merupakan “public good”, kemudian melegitimasi jual beli pendidikan seolah pendidikan merupakan komoditas dalam perdagangan (Tilak, 2008). Liberalisasi dan privatisasi pendidikan ditunjukkan dengan semakin banyaknya perguruan tinggi yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Badan Hukum Pendidikan (BHP), Badan Layanan Umum (BLU). Hal itu bisa menjadi peluang ataupun ancaman, tergantung dari bagaimana pengelolaannya. Liberalisasi pendidikan tinggi bisa menjadi peluang agar perguruan tinggi mampu bekerja secara mandiri dan tidak terlalu bergantung pada pemerintah, asalkan pengelolaannya tepat dan pemerintah dapat mengontrol perkembangan perguruan tinggi tersebut dengan baik.
Selain menjadi peluang, liberalisasi pendidikan tinggi juga bisa menjadi ancaman berupa komersialisasi apabila pengelolaannya tidak terkontrol, apalagi ketika dunia bisnis mulai merambah pendidikan sebagai salah satu komoditasnya. Hal itu menyebabkan lunturnya esensi pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Membangun corporate ethics dalam budaya pendidikan tinggi sangat diperlukan agar pendidikan tetaplah menjadi “public good”, bukan sebagai komoditas dalam bisnis perdagangan jasa semata.
KAJIAN TEORI Liberalisasi Pendidikan Korporatisasi dan marketisasi perguruan tinggi memiliki asal-usul dalam politik neoliberal yang didasarkan pada asumsi bahwa pasar dapat mengganti negara demokrasi sebagai prosedur logika budaya dan nilai yang utama (Lynch, 2006). Pengaruh globalisasi pada pendidikan tinggi dapat dilihat melalui ideologi neoliberal, meliputi ideologi pasar, ekonomi kelembagaan baru berdasarkan biaya pemulihan, dan wirausaha, akuntabilitas, serta manajerialisme baru (Ball, 1998 dalam Kandiko, 2010). Manajerialisme neoliberal dalam pendidikan tinggi adalah sebuah konsep yang berhubungan dengan pemotongan biaya dan komersialisasi universitas (Bauman, 1997; Deem, 1998; Miller, 1995 dalam Kandiko, 2010). Secara global, penurunan pendanaan publik pendidikan tinggi mempengaruhi lembaga dan sistem (Prichard dan Wilmott, 1997 dalam Kandiko, 2010). Neoliberalisme mengasumsikan bahwa pasar lebih efisien daripada negara, sehingga barang dan jasa pernah dianggap publik harus menjadi diprivatisasi, yang juga membebaskan modal untuk pasar. Tampaknya bahwa kebijakan privatisasi ilmu umum dan lembaga-lembaga yang telah berjalan secara ideologis ketimbang dengan perhitungan rasional.
Lembaga pendidikan tinggi harus menyesuaikan dan mencari lintas batas untuk contoh adaptif dan kewirausahaan organisasi (Clark, 1998; Sporn, 1999 dalam Kandiko, 2010). Slaughter dan Leslie (1997) dalam Kandiko (2010) menciptakan istilah kapitalisme akademik untuk menjelaskan kelembagaan dan pasar profesor dalam upaya mengamankan pendanaan eksternal atas perubahan politik dan ekonomi global.
Komersialisasi Pendidikan Komersialisasi adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk kecenderungan dan praktik yang menciptakan peningkatan hubungan antara perguruan tinggi dan sektor ekonomi. Hal ini juga mengacu pada proses “mengemudi” lembaga pendidikan publik untuk beroperasi seolah-olah merupakan sektor privat (Chorney, 2010). Komersialisasi adalah proses di mana ide-ide, temuan, atau produk universitas yang dikonversi menjadi produk, layanan, dan proses mampu menjadi disajikan ke pasar. Dari perspektif pendanaan, mengacu pada modus archetypical yang dimanfaatkan sebagai “pembangkit pendapatan” bagi banyak Perguruan Tinggi Negeri (Wangenge, 2008 dalam Gholipour dan Badri, 2009). Komersialisasi diyakini merupakan upaya untuk menjual karya-karya perguruan dengan tujuan memperoleh keuntungan (Glazer, 2004 dalam Gholipour dan Badri, 2009). Produksi dan pemasaran produk universitas adalah domain baru di mana prinsip dan inti pendidikan dibayangi oleh prinsip-prinsip dan nilai nilai perdagangan (Gieger, 2004 dalam dalam Gholipour dan Badri, 2009). Pendidikan tinggi tunduk pada tekanan dari pasar domestik dan internasional. Kesenjangan antara kebijakan publik dan kegiatan komersial yang dipertaruhkan. Di tengah-tengah perdebatan saat ini benturan mendasar nilai-nilai antara tradisional vs modern, negara dibandingkan pasar, nasional vs global, dan pendidikan dibandingkan komersial (Tilak, 2009).
Di Indonesia, adanya ketentuan General Agreement on Trade in Services (GATS) bahwa regulasi domestik harus didasarkan kompetensi, kemampuan menawarkan dan jaminan atas kualitas jasa, maka persyaratan dalam hal prosedur perizinan bukan untuk tujuan pelarangan perdagangan jasa tersebut, pada sisi lain, jika ketentuan-ketentuan tersebut diharmonisasi dengan ketentuan GATS akan mengakibatkan komersialisasi SPN dan hal tersebut bertentangan dengan hakikat pendidikan tinggi Indonesia sebagai mission of state atau layanan publik (Simamora et al., 2014). Penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia menjadi perguruan tinggi nonprofit dan perguruan tinggi for profit. Hal ini dapat dilakukan karena mempunyai landasan hukum yaitu Pasal 65 Ayat (4) UU SPN yang memberi peluang adanya pendidikan tinggi diluar SPN. Dengan adanya pengelompokan (grouping) ini, maka struktur hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dalam kaitannya dengan liberalisasi pendidikan dalam kerangka GATS menjadi jelas dan memberi kepastian hukum bagi investor asing dan domestik yang tertarik pada industri jasa pendidikan tinggi (Simamora et al., 2014).
Corporate Ethics Dalam konteks otonomi (privatisasi) perguruan tinggi, corporate ethics dimaknai sebagai etika lembaga, baik etika akademik maupun nonakademik, dan etika internal maupun eksternal. Perguruan tinggi ibarat dua sisi mata uang, satu sisi bisa dimaknai sebagai corporate karena menghasilkan produk berupa barang dan jasa pendidikan yang berkaitan dengan laba. Di sisi lain, perguruan tinggi merupakan institusi pendidikan yang mengedepankan nirlaba karena pendidikan merupakan barang dan jasa publik yang merupakan hak asasi dan hak hajat hidup masyarakat (Sutapa, 2008). Corporate ethics dalam perguruan tinggi berkaitan dengan pranata sosial, moralitas, sistem nilai yang berkembang spesifik dan melembaga menjadi sebuah budaya. Setiap
perguruan tinggi mempunyai budaya (culture) tidak tertulis berupa standar-standar perilaku yang dapat diterima secara baik, yang tersirat dalam budaya dominan lembaga. Dalam konteks corporate ethics, penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi harus mengedepankan kebebasan akademik dan tradisi akademik sebagai etika dalam budaya masyarakat ilmiah (Sutapa, 2008).
PEMBAHASAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan Pendidikan Tinggi. Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat PTN adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah. Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat PTS adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat. Perguruan tinggi sebagai salah satu elemen penyusun pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan kompetensi sumber daya manusia. Berdasarkan data Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti), jumlah perguruan tinggi di Indonesia tahun 2014 mencapai 3.151 perguruan tinggi. Perguruan tinggi tersebut terdiri atas Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sebanyak 3.068 atau sekitar 97% dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang hanya berjumlah 83 atau hanya sekitar 3% dari jumlah keseluruhan perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Jumlah perguruan tinggi memang tidak mencerminkan kualitas pendidikan tinggi di suatu negara, termasuk di Indonesia. Dengan perguruan tinggi yang mencapai 3.151, kualitas
pendidikan tinggi di Indonesia memang belum bisa dikatakan baik. Masih ada perguruan tinggi yang memanfaatkan pendidikan sebagai suatu komoditas, mahasiswa sebagai consumers, dan pihak perguruan tinggi sebagai penyedia jasa. Ketika pendidikan hanya dianggap sebagai komoditas, maka yang terjadi adalah pendidikan akan dibisniskan, maka tidak dipungkiri bahwa tren komersialisasi pendidikan di perguruan tinggi semakin meningkat. Privatisasi dan liberalisasi perguruan tinggi pun semakin mempermudah adanya komerisialisasi pendidikan tinggi karena perguruan tinggi tersebut berhak mengatur keuangannya sendiri, apalagi ditambah dengan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap otonomi perguruan tinggi. Untuk mengatasi liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi, diperlukan sistem yang bisa mengendalikan liberalisasi dan komersialisasi tersebut. Sistem nilai yang dapat mengendalikan keduanya yaitu etika. Seorang yang terpelajar tentulah harus beretika, apalagi di dunia pendidikan seperti pendidikan tinggi. Adanya corporate ethics (etika lembaga) dapat dimanfaatkan dalam upaya mengatasi liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi ini. Meskipun membudayakan etika lembaga tidaklah mudah, namun memulai satu langkah lebih baik daripada hanya diam di tempat. Mengedepankan etika profesi merupakan salah satu bentuk dari corporate ethics. Setiap profesi memiliki etika tersendiri dan apapun profesi seseorang, ia harus tunduk pada etika yang ada. Lingkungan pendidikan juga memiliki etika yang harus dipatuhi, etika yang ada di lingkungan pendidikan tentulah tidak menjadikan pendidikan sebagai suatu komoditas bisnis belaka. Pendidikan bukan merupakan barang murah yang dapat diperjual-belikan, karena baik buruknya suatu bangsa akan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusaia dan kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh kualitas pendidikan di negara tersebut. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peranan penting dalam kemajuan suatu negara.
Apabila pendidikan hanya dijadikan suatu komoditas dalam suatu bisnis, maka yang terjadi adalah mahasiswa hanya sebagai konsumen dan pihak perguruan tinggi hanya sebagai penyedia jasa. Tak terbayang bagaimana kualitas sumber daya manusia di Indonesia ke depan apabila hal it uterus berlanjut. Pihak penyedia jasa tentulah hanya akan membuat konsumennya merasa senang, tanpa peduli dengan kualitas dari “konsumen”nya tersebut. Etika profesi berperan penting dalam mencegah ataupun mengatasi komersialisasi pendidikan apabila telah terjadi. Perilaku etis perguruan tinggi adalah menjunjung tinggi etika akademik dan tradisi akademik, esprit de corps, merasa malu bila tidak menghasilkan produk pendidikan berkualitas, membangun kepercayaan dan dipercaya, berkoorperasi, tidak oportunis, dan menjaga citra atau nama baik (Sutapa, 2008). Dengan adanya etika profesi, diharapkan semua bidang profesi yang terkait dengan pendidikan, terutama dalam hal ini pendidikan tinggi, mampu menjunjung etika kependidikannya. Pihak-pihak terkait harus menyadari bahwa pendidikan memiliki andil yang besar dalam memajukan bangsa ini. Poin kedua dalam corporate ethics yaitu penanaman nilai (value) dalam semua lini di pendidikan tinggi. Penanaman nilai ini sangat penting, bukan hanya bagi pihak perguruan tinggi selaku penyedia jasa, namun juga bagi mahasiswa. Penanaman nilai ini tidak kalah penting dengan berbagai mata kuliah yang diajarkan di kelas, bahkan lebih penting. Penanaman nilai ini akan membuat mahasiswa itu “bernilai” setelah lulus dari perguruan tinggi tersebut. Bagi pihak-pihak yang terkait dengan perguruan tinggi, penanaman nilai ini akan kembali menyadarkan hakikat pendidikan yang sesungguhnya, dengan tidak beranggapan bahwa pendidikan hanyalah suatu komoditas belaka. Penanaman nilai akan membuat penyedia jasa pendidikan tinggi ataupun pihak-pihak yang terkait akan melayani mahasiswa dengan sepenuh hati, tidak hanya sebatas pada kesenangan “konsumen” semata.
Membangun corporate ethics ini memang tidak mudah, bahkan di lingkungan pendidikan seperti perguruan tinggi. Namun dengan memulainya dan membangunnya secara terus-menerus, maka corporate ethics ini akan menjadi suatu kebiasaan atau budaya. Dengan membangun corporate ethics diharapkan dapat turut membangun kualitas pendidikan di Indonesia pula, artinya juga membangun kualitas sumber daya manusia. Outcome yang didapatkan yaitu kemajuan bangsa Indonesia.
PENUTUP Upaya membangun corporate ethics (etika lembaga) terdiri atas pengedepanan etika profesi dan penanaman nilai (value). Hal itu dapat dimanfaatkan sebagai upaya mengatasi liberalisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi. Dengan membangun corporate ethics, diharapkan dapat turut membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, yang artinya juga membangun kualitas sumber daya manusianya. Outcome yang diharapkan dapat dicapai yaitu kemajuan bangsa Indonesia di semua lini.
DAFTAR PUSTAKA Chorney, T.T. 2010. The Commercialization of Higher Education as a Threat to the Values of Ethical Citizenship. UCFV Review: 2(1): 8-27. [online] http://journals.ufv.ca/rr/RR21/article-PDFs/chorney.pdf (diakses 12 Juni 2014). Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. [online] http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/17624/UU0122012_Full.pdf (diakses 13 Juni 2014) Gholipour, A. dan Badri A. 2009. University Management Challenges: Unanticipated Consequences of Commercialization in Iranian Higher Education. Problems and Perspectives in Management Journal: 7(2): 13-25. [online] http://businessperspectives.org/journals_free/ppm/2009/PPM_EN_2009_02_Gholipour. pdf (diakes 12 Juni 2014). Kandiko, C.B. 2010. Neoliberalism in Higher Education: A Comparative Approach. International Journal of Arts and Sciences: 3(14): 153 – 175. [online] http://openaccesslibrary.org/images/BGS220_Camille_B._Kandiko.pdf (diakses 12 Juni 2014). Lynch, K. 2006. Neo-liberalism and Marketisation: The Implications for Higher Education. European Educational Research Journal: 5(1): 1-17. [online] http://irgoa.usc.es/drupal/files/lynch.pdf (diakses 12 Juni 2014).
Simamora, A.P., Bismar N., Suraidi, dan Mahmul S. 2014. Liberalisasi Pendidikan dalam Kerangka GATS: Kajian Hukum terhadap Pendirian Perguruan Tinggi Asing di Indonesia. USU Law Journal: 2(1): 67-89. [online] http://jurnal.usu.ac.id/index.php/law/article/download/6374/2672 (diakses 12 Juni 2014). Supardi U.S. 2012. Arah Pendidikan di Indonesia dalam Tataran Kebijakan dan Implementasi. Jurnal Formatif: 2(2): 111-121. [online] http://portal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/739/1/Supardi%20US_Arah_Pendidik an_111-121.pdf (diakses 12 Juni 2014). Sutapa, M. 2008. Membangun Corporate Ethics dalam Budaya Perguruan Tinggi. Jurnal Dinamika Pendidikan: 1(16). [online] http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132206558/Artikel%20Jurnal%20Dinamika%20 Pendidikan_Mei%202008.pdf (diakses 12 Juni 2014). Tilak, J.B.G. 2008. Higher Education: A Public Good or a Commodity for Trade?. Prospects Journal: 38: 449-466. [online] http://www.kritischestudenten.nl/wpcontent/uploads/2011/09/higher-education-a-public-good-or-a-commodity1.pdf (diakses 12 Juni 2014).