Jurnal Psikologi Indonesia 2008, No. 1, 22-30, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
MEMBANGUN BUDAYA DAMAI BERKESINAMBUNGAN:
PENDEKATAN TEORI IDENTITAS SOSIAL, ETNOSENTRISME DAN PSIKOLOGI KOMUNITAS DI POSO, SULAWESI TENGAH (BUILDING A CONTINUOUS PEACE CULTURE: SOCIAL IDENTITY THEORY, ETHNOCENTRISM AND COMMUNITY PSYCHOLOGY APPROACHES IN POSO, CENTRAL SULAWESI) Setiawati Intan Savitri Mahasiswa Magister Sains Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
Konflik di kabupaten Poso telah berlangsung berkepanjangan. Berdasarkan realitas tersebut, terciptanya budaya damai yang berkesinambungan adalah hal yang sangat didambakan terjadi di daerah konflik. Teori identitas sosial dan etnosentrisme memiliki pandangan yang unik terhadap relasi antar kelompok. Etnosentrisme melihat bahwa relasi antar kelompok umumnya terjadi karena kecenderungan kelompok memandang dirinya sebagai pusat dari segalanya sehingga terjadi in-group favouritism, dan menjadikan hal tersebut untuk mengukur hal-hal diluar kelompoknya, sehingga terjadi out-group derogation. Teori identitas sosial melihat bahwa individu cenderung mendefinisikan diri untuk memperluas dan mengembangkan diri dalam kelompok sosial dan cenderung untuk mencari identitas sosial yang positif. Kedua teori ini merupakan salah satu cara untuk menjelaskan relasi kelompok yang memungkinkan terjadinya konflik dan dari teori tersebut pula dapat dikembangkan upaya intervensi untuk meredakan konflik. Intervensi tersebut dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, membangun kontak yang kooperatif antar kelompok, kedua, melakukan perubahan struktur dari kategori sosial yang ada. Psikologi komunitas sebagai salah satu pendekatan dalam psikologi menjadi salah satu cara untuk menciptakan budaya damai, sebab dengan memperhatikan aspek-aspek yang dimiliki komunitas setempat, upaya perdamaian akan lebih dapat diterima oleh semua pihak yang sedang berkonflik. Elemen-elemen penentu dalam penyelesaian konflik, yakni pemerintah, militer, dan masyarakat setempat, memiliki peran penting dalam pengembangan budaya damai dengan berdasarkan prinsip-prinsip intervensi psikologi sosial dan psikologi komunitas. Pemerintah berperan secara struktural untuk memahami masyarakatnya dan mengembangkan masyarakat, militer berperan sebagai pihak yang netral dan melindungi semua pihak, dan masyarakat diharapkan bersedia untuk menerima dan berpartisipasi dalam upaya-upaya perubahan menuju perdamaian. Kata kunci: budaya damai, identitas sosial, etnosentrisme, konflik, komunitas.
psikologi
Conflicts in the Kabupaten Poso had lasted for a long time. The building of a continuous peace culture is very desirable in a conflict-laden area. The social identity and ethnocentrism theories propose a unique view of inter group relations. The ethnocentrism theory contends that inter group relations result from the tendency of groups to view itself as the center of everything that results in in-group favoritism as well as to make itself the criteria to measure anything outside of it that results in outgroup derogation. The social identity theory contends that the individual tends to define itself to broaden and develop itself in a social group, as well as to acquire for a positive social identity. Both theories explain the kind of social relations that may breed conflicts, and hence an intervention to resolve conflicts may be developed based on them. The intervention consists of two alternative ways: firstly, by developing cooperative contacts among the groups, and secondly, by transforming the existing social structure and categorization. Community psychology as a psychological approach offers a way to build a peace culture, for by paying attention to those aspects of the local community a peace initiative would be more acceptable to all the conflicting parties. The determining
SETIAWATI INTAN SAVITRI
23
elements in the conflict resolution including the government, the military, and the local community have a decisive role in building a peace culture that is based on the principles of social psychological as well as community psychological interventions. The government’s roles are to structurally understand as well as to develop the community; the military’s roles are to stand impartial and to protect all of the parties; whereas the communities are expected to be willing to accept and participate in making the necessary changes to achieve peace. Keywords: peace culture, social identity, ethnocentrism, conflict, community psychology.
Konflik di Poso telah berlangsung berkepanjangan, berlarut-larut dan melelahkan, dan seperti tidak berujung pangkal. Konflik yang meletus pertamakali pada tanggal 28 Desember 1998 itu berlanjut pada tanggal 17 April 2000, sehingga pemerintah menggelar operasi pemulihan keamanan terpadu dengan menghasilkan perjanjian Malino I yang merupakan perjanjian damai antar dua pihak yang bertikai dengan dimediasi oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (saat itu) Jusuf Kalla. Pada tahun 2002 dilaksanakan program rekonsiliasi Poso sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Malino. Konflik horizontal memang tidak terjadi lagi hingga tahun 2004 tetapi peristiwa kekerasan seperti pembunuhan pada warga serta peledakan bom seperti pada tanggal 13 November 2004 yang meluluhlantakkan kawasan Pasar Sentral Poso masih terus terjadi. Konflik yang terus terjadi ini memiliki dampak yang multi dimensi, tidak hanya dampak yang tampak seperti kematian, kehilangan, tetapi juga dampak yang bersifat pervasif seperti ketegangan psikologis penduduk, trauma kejiwaan dan menurunnya perekonomian karena kondisi yang senantiasa tidak menentu. Beberapa data menunjukkan bahwa pasca konflik, kondisi perekonomian Poso makin terpuruk. Meskipun tingkat GRDP Kabupaten Poso lebih baik – jika dibandingkan dengan Maluku yang juga mengalami konflik- yakni lebih dari 4 milyar di tahun 2002, namun ratarata tingkat kemiskinan meningkat dari 29% menjadi 33% di tahun 2002 (BPS, 2002). Poso juga kehilangan sepertiga dari kegiatan industrinya antara tahun 1999 hingga 2002, dimana kebanyakan industri di Poso adalah industri yang berpusat di rumah atau industri rumah tangga skala kecil (Mawdsley, 2002). Pemerintah menyatakan telah melakukan
beberapa usaha untuk meredakan konflik di Poso, seperti melakukan mediasi sehingga tersusun Deklarasi Malino I dan II, membentuk Koopskam atau Komando Satuan Operasi Keamanan berdasarkan Inpres No. 14 tahun 2005 yang berupaya melakukan penanganan komphrehensif konflik di Poso, serta upaya membangun perdamaian melalui pembudayaan damai berdasarkan budaya setempat yakni prinsip sintuwu maroso atau bersatu kita kuat, secara terus-menerus (Laporan Kinerja 2 tahun Pemerintahan SBYJK, 2002). Namun demikian, apakah budaya damai di Poso benar-benar telah terwujud? Benarkah peran pemerintah telah efektif dalam menangani konflik? Sebelum mengambil kesimpulan, perlu kajian yang lebih teliti dan mendalam. Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisa akar permasalahan konflik Poso dan upaya-upaya meredakan konflik melalui intervensi psikologi sosial dan psikologi komunitas untuk mendukung upaya mewujudkan budaya damai yang integratif dan berkesinambungan. Etnosentrisme dan Teori Identitas Sosial Dalam kehidupan sehari-hari manusia saling berinteraksi satu dengan yang lain. Interaksi antar manusia cenderung menyesuaikan dengan persepsi, harapan, keinginan dan cara pandang masing-masing. Jika komponen-komponen tersebut tidak terpenuhi dalam relasi antar manusia, maka kemungkinan besar akan terjadi konflik. Konflik adalah kondisi ketidakseimbangan, ketidaksetaraan antara pihak-pihak yang terkait. Pihak-pihak terkait yang terlibat dalam konflik umumnya memperebutkan atau mempertentangkan sumber-sumber konflik seperti sumberdaya, informasi, atau peran,
24
SETIAWATI INTAN SAVITRI
sehingga hal ini menjadi penyebab konflik. Beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang proses psikologis dalam relasi kelompok secara mendasar diantaranya adalah etnosentrisme dan teori identitas sosial. Etnosentrisme melihat bahwa relasi antar kelompok umumnya terjadi karena kecenderungan kelompok memandang dirinya sebagai pusat dari segalanya sehingga terjadi in-group favouritism. Hal tersebut dijadikan dasar untuk mengukur hal-hal diluar kelompoknya, sehingga terjadi out-group derogation. Kecenderungan ini nampak dari preferensi kelompok dalam hal bahasa, kebiasaan, dialek dan semacamnya (Sumner, 1906). Menurut Sumner, bias ini secara umum merupakan hasil dari kompetisi antar kelompok serta berfungsi untuk membangun solidaritas dalam kelompok dan menjustifikasi eksploitasi di luar kelompok. Penelitian psikologi sosial telah mengkaji dalam kondisi seperti apa, etnosentrisme dapat ditingkatkan atau diturunkan. Teori identitas sosial (Tajfel &Turner, 1979) melihat bahwa individu cenderung mendefinisikan diri untuk memperluas dan mengembangkan diri dalam kelompok sosial dan cenderung untuk mencari identitas sosial yang positif. Identitas sosial ini terdiri dari seluruh aspek dari citra diri individu yang berasal dari kategori sosial dimana individu tersebut dikategorikan (e.g. Muslim, Kristen, Jawa, Amerika) dan juga nilai dan emosi yang menggambarkan keanggotaan individu tersebut dalam kelompok. Jadi identitas sosial adalah definisi personal (diri) dalam terma kelompok. Identitas sosial yang positif cenderung ditingkatkan dengan cara membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain untuk membangun nilai positif yang membedakan dengan kelompok lain. Teori identitas sosial menekankan bahwa perbandingan yang positif (perbedaan antar kelompok terlihat lebih memihak kepada kelompok sendiri, atau kelompok sendiri terlihat lebih baik ketika dibandingkan dengan yang lain) akan menghasilkan identitas sosial yang memuaskan, namun ketika perbandingannya negatif (kelompok lain terlihat lebih baik dari kelompok sendiri) hal ini akan menghasilkan identitas yang tidak memuaskan. Apakah yang sebenarnya mendorong diskriminasi antar kelompok?
Pertama, adanya favoritisme kelompok – terjadi lebih sering daripada menjelekjelekkan kelompok lain- (Brewer, 1979), dan kedua, adanya kategori sosial (Tajfel, 1971). Di luar laboratorium, teori identitas sosial harus berhadapan dengan fakta bahwa kelompok dalam konflik seringkali berbeda dalam status, dan bahwa perubahan dalam status relasi dan bagaimana legitimasi dilihat adalah hal yang krusial untuk menentukan karakteristik relasi antar kelompok. Jadi, ketika kelompok yang memiliki status rendah atau kelompok minoritas melihat bahwa posisi kelompok yang dominan adalah tidak legitimate dan tidak stabil, maka akan dilakukan beberapa variasi strategi untuk mendapatkan identitas sosial yang positif, yaitu: (1) mendefinisikan kembali identitas kelompok mereka yang semula terlihat negatif, (2) menemukan dimensi baru untuk melakukan perbandingan antar kelompok, atau (3) menemukan kelompok lain (yang baru) untuk bahan perbandingan (Hewstone & Greenland, 2000). Baru setelah ketiga hal tersebut dilalui, maka baru ada kemungkinan kelompok luar tersebut dikonfrontasi secara langsung. Hal ini terjadi ketika perbandingan berkaitan dengan status dan kekuasaan (power) dan kelompok yang lebih rendah (minoritas) membutuhkan kesetaraan (equality). Maka secara khusus teori identitas sosial membantu untuk memahami perilaku kelompok yang merasa bahwa identitasnya terancam, dan mungkin perilakunya terlihat tidak rasional atau tidak memiliki nilai lebih (pointless) (Hewstone&Greenland, 2000). Tajfel (1978) menjelaskan bahwa relasi antar kelompok dan relasi antar personal berada dalam sebuah kontinum hipotetis, dimana relasi antar personal (interpersonal) berada di satu ujung dan relasi antar kelompok (intergroup) di ujung yang lain. Perilaku antar individu (interpersonal) ditentukan oleh karakteristik personal yang terlibat, sedangkan perilaku antar kelompok (intergroup) didefinisikan secara total dengan keanggotaan kelompok sosialnya. Masih menurut Tajfel (1978) perilaku antar kelompok dibedakan menjadi tiga karakteristik: pertama, dua identitas sosial yang jelas-jelas berbeda nampak pada situasi tertentu (contoh, MuslimKristen, Jawa-Batak, lelaki-perempuan); kedua, variabilitas perilaku atau sikap
SETIAWATI INTAN SAVITRI
dalam masing-masing kelompok rendah, sehingga perilaku kelompok cenderung memiliki kesamaan; dan ketiga, salah satu dari anggota kelompok menunjukkan sedikit variasi saja dalam memperlakukan anggotaanggota dari kelompok lain (contoh: ”mereka semua sama saja”). Sebagai contoh, ketika keanggotaan kelompok begitu menonjol (misalnya ketika terjadi konflik), maka individu cenderung mengalami depersonalisasi dalam kelompok, yakni terjadi perpindahan dari identitas personal menjadi identitas sosial (contoh: dalam konflik Dayak-Madura, satu orang Madura yang sebenarnya memiliki karakteristik personal yang berbeda dengan sesama orang Madura, dianggap sama bagi orang Dayak, dalam arti layak untuk diperangi, demikian sebaliknya). Perhatian dalam kelompok mengambil alih perhatian terhadap diri (self), sehingga self-favouritism berubah menjadi in-group favouritism dan kelompok dipandang sebagai sesuatu yang koheren dan homogen (Turner, Hogg, Oakes, Reicher & Wetherel, 1987). Ada bukti lain yang ekstensif bahwa kelompok lebih kompetitif dan agresif daripada individu (e.g. Schopler & Insko, 1992). Prinsip kompetisi sosial juga terkait dengan fakta bahwa perbandingan sosial antar kelompok secara tipikal lebih dipandang sebagai kompetisi daripada kerjasama dengan kelompok lain (outgroup). Jika dikaitkan dengan munculnya konflik di antara dua kelompok dibedakan menjadi beberapa tipe konflik (Tajfel & Turner, 1979). Pertama, konflik obyektif vs subyektif. Konflik obyektif adalah konflik yang terkait dengan kekuasaan (power), misalnya kekayaan atau wilayah. Konflik seperti ini memiliki ketentuan sendiri di luar realitas psikologis dan membutuhkan analisis yang terkait dengan sosial, ekonomi, politik dan struktur sejarah. Contoh konflik subyektif adalah keinginan untuk menegakkan nilai perbedaan secara positif. Pembedaan yang lain adalah antara konflik eksplisit dan implisit. Konflik eksplisit dilegitimasi dan diinstitusionalisasi oleh aturan atau norma (misalnya, kompetisi antara kelompok olahraga), sementara konflik implisit adalah konflik yang tidak terinstitusionalisasi atau tidak terlembagakan. Tajfel & Turner (1979) mencontohkan kasuskasus yang terjadi dalam kehidupan nyata,
25
yaitu ketika individu cenderung melakukan pembedaan antar kelompok berdasarkan keanggotaan mereka, meskipun sebenarnya pembedaan tersebut bukan sesuatu yang sebenarnya ada dan perlu untuk dibedakan. Psikologi Komunitas Problematika masyarakat semakin hari semakin beragam, namun sayangnya penyelesaiannya masih cenderung menggunakan pendekatan tunggal. Maka, menurut Duffy dan Wong (1996) perlu digagas pendekatan yang lebih bersifat holistik dan multi fokus, yakni dengan psikologi komunitas. Psikologi komunitas yang dikutip oleh Duffi dan Wong (1996) diantaranya adalah: studi yang melibatkan efek-efek faktor sosial dan lingkungan pada perilaku yang terjadi pada level individu, kelompok, organisasi maupun masyarakat (Heller, dkk., 1984) serta upaya untuk memberikan dukungan terhadap hak setiap orang untuk berbeda tanpa harus menanggung resiko material maupun sanksi psikologis (Rapaport, 1977). Menurut Orford (1992), beberapa prinsip yang menarik dalam psikologi komunitas dalam menyelesaikan problematika komunitas yang beragam diantaranya adalah bahwa psikologi komunitas merupakan upaya untuk memahami dan menolong individu dalam setting natural dan sistem sosialnya, atau person in context. Dua topik utama yang dikemukakannya adalah setting dan system. Menyangkut setting, pada dasarnya setiap individu selalu dihadapkan pada transaksi berbagai setting dimana ia berada. Transaksi yang dimaksud ditandai oleh adanya pengaruh yang timbal-balik. Beberapa teori setting meliputi teori setting perilaku (Baker,1978), psikologi lingkungan, dan sistem interpersonal. Teori setting perilaku (Baker, 1978) menyatakan bahwa perilaku dan lingkungan (milieu) bersifat sinkron di dalam atau synomorphic satu dengan yang lain. Perilaku dan lingkungan adalah sesuatu yang berada dalam satu kesatuan namun dapat dipisahpisahkan dalam unit tertentu yang disebut synomorphy: (a) hambatan perilaku dalam setting yang dibentuk dalam struktur, (b) tekanan sosial untuk melakukan konformitas,
SETIAWATI INTAN SAVITRI
26
Tabel 1. Kronologi Kerusuhan-Konflik dan Jumlah Korban Poso* No
Waktu
Peristiwa
Jumlah Korban
Keterangan
1.
27-28 Desember 1998
Perselisihan kecil antar pemuda yang meningkat menjadi kerusuhan kecil.
-
Masalah yang menjadi akar perselisihan tidak ditangani.
2.
17 April 2000
Kerusuhan kedua.
6 orang meninggal
-3 orang muslim dan 3 orang non muslim -Pelaku penembakan Brimob.
3.
28 Mei 2000
Kerusuhan terbesar: Di Pesantren Walisongo.
246 orang meninggal
-246 seluruhnya muslim.
4.
2001
Pemerintah menggelar Koopskam.
-
5.
April 2001
Fabianus Tibo* dkk. dieksekusi mati atas tuduhan memimpin kerusuhan pada tanggal 28 Mei 2000.
-
*Tibo-kah pemimpin kerusuhan yang sebenarnya? Atau? *Tibo menyebut 16 nama diantaranya adalah P.Tungkanan (purn.TNI)
6.
20 Desember 2001
Deklarasi Malino I disepakati.
-
Dihadiri Menkokesra saat itu (Jusuf Kalla), elit politik dan pemuka agama, pemimpin komunitas.
7.
12 Februari 2002
Deklarasi Malino II.
-
Dihadiri Wapres Jusuf Kalla, elit politik dan pemuka agama, pemimpin komunitas.
8.
Sepanjang 2003-2004
Tidak ada lagi kerusuhan namun masih terjadi pembunuhan.
-
-
9.
November 2004 28 Mei 2005
Bom di pasar Poso.
1 orang meninggal 22 orang meninggal, 53 luka-luka
Sampai saat ini kasus belum terpecahkan. Dua teori yang dikembangkan: * Dilakukan milisi putih. * Menutupi kasus korupsi sekaligus memfitnah salah satu kelompok yang bertikai.
10.
Bom meledak di Tentena.
*Dari berbagai sumber. (c) seleksi individu oleh setting, dan (d) seleksi pribadi (self). Baker (1978) juga menyatakan kemungkinan hilangnya individualitas dalam banyak setting perilaku. Psikologi lingkungan juga berperan besar dalam meningkatkan interaksi sosial. Sommer & Ross (1958) melalui eksperimen menemukan bahwa
pengaturan kursi sosiofugal (kursi diatur berkeliling) meningkatkan interaksi sosial. Hal ini menunjukkan eratnya hubungan antara perilaku dengan lingkungannya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa (a) manipulasi lingkungan dapat menyebabkan perubahan perilaku, dan (b) ada hubungan yang kompleks dan
SETIAWATI INTAN SAVITRI
tidak menentu antara setting lingkungan fisik, perilaku manusia dan pengalamannya. Sistem interpersonal menyatakan bahwa individu dan lingkungan budaya mempunyai interaksi yang saling menguntungkan dimana mereka dapat saling mempengaruhi. Adanya interaksi saling menguntungkan ini menciptakan berbagai bentuk perilaku. Perbedaan budaya atau perbedaan individu dapat menciptakan perbedaan perilaku. Hasil Penelitian dan Pembahasan Konflik yang terjadi di Poso merupakan konflik yang bersifat horizontal, yakni antar kelompok masyarakat, sebagaimana juga terjadi di Sampit, Sambas, dan Maluku. Mengapa dapat terjadi konflik horizontal? Untuk menguraikan dan menganalisis hal ini dapat dilihat dari struktur masyarakat dan kondisi geografis di Poso terlebih dahulu, baru kemudian melihat aspek-aspek psikologis dari kelompok-kelompok yang terlibat konflik. Kabupaten Poso terletak di Sulawesi Tengah. Penduduknya terdiri dari dua kelompok agama besar, yakni Islam dan Kristen. Struktur masyarakat yang terdiri dari dua kelompok berdasarkan agama ini semakin terpolarisasi dengan letak geografis hunian masing-masing kelompok yang terpisah satu sama lain, yakni Muslim di daerah tepi pantai sungai sedangkan kelompok Kristiani bertempat tinggal di daerah pegunungan (Muradi, 2004). Letak hunian yang tersegmentasi berdasarkan agama ini menyebabkan kedua kelompok tidak melakukan interaksi secara intens dan tidak mendapatkan kesempatan untuk saling bekerjasama satu dengan yang lain. Kelompok yang memiliki identitas sosial yang berbeda satu dengan yang lain (beda ras, suku dan agama) memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan etnosentrisme. Etnosentrisme melihat bahwa relasi antar kelompok umumnya terjadi karena kecenderungan kelompok memandang dirinya sebagai pusat dari segalanya sehingga terjadi in-group favouritism, dan menjadikan hal tersebut dasar untuk mengukur halhal diluar kelompoknya, sehingga terjadi out-group derogation. Kecenderungan ini nampak dari preferensi kelompok dalam hal
27
bahasa, kebiasaan, dialek dan semacamnya (Sumner, 1906). Menurut Sumner bias ini secara umum merupakan hasil dari kompetisi antar kelompok dan berfungsi untuk membangun solidaritas dalam kelompok dan menjustifikasi eksploitasi di luar kelompok. Bias etnosentrisme tersebut mengalami internalisasi sehingga dalam permainan kanak-kanak pun segmentasi kelompok dalam permainan perang-perangan, adalah Muslim-Kristen (Pela, 2002). Kondisi yang demikian sangat rawan dipicu konflik. Hal ini disebabkan karena kecenderungan untuk melihat kelompok sendiri dibandingkan kelompok lain sebagai berbeda ini telah terinternalisasi demikian kuat. Menurut Seul (1999), identitas sosial berdasarkan agama memenuhi kebutuhan psikologis yang lebih komprehensif dan potensial dibandingkan dengan identitas sosial yang lain. Agama lebih sering menyediakan kosmologi, kerangka moral, institusi, ritual, tradisi dan identitas lain yang mendukung kebutuhan stabilitas psikologis individu sehingga dunia mudah diprediksi serta menimbulkan rasa kepemilikan, harga diri (self-esteem) dan bahkan aktualisasi diri. Kemampuan agama untuk memenuhi hasrat identitas manusia inilah yang sebagian dapat menjelaskan mengapa sering terjadi konflik antar agama. Tetapi apakah konflik di Poso merupakan murni konflik antar agama? Pada mulanya, dari permukaan memang tampak demikian adanya. Namun, beberapa kasus kemudian menunjukkan bahwa tidak hanya isu agama yang terlibat tetapi menjadi isu balas dendam, isu ”kami” dan ”mereka” atau keluarga kami dan keluarga mereka, kelompok kami dan kelompok mereka. Empat postulat Galtung (1996) , yaitu religion, ideology, family, dan partner, banyak mendasari individu melakukan tindakan kekerasan. Artinya, konflik Poso yang masih menimbulkan kekerasan dan teror di masyarakat berupa penembakan, pembacokan, dan teror bom boleh jadi dikarenakan oleh motif pembalasan yang didasari nilai persahabatan dan keluarga. Dari faktor motif persahabatan, misalnya, jika ada yang tewas akan dilihat apakah itu pribumi atau pendatang untuk menentukan perlu-tidaknya melakukan aksi pembalasan. Faktor keluarga, misalnya, keluarga yang
28
SETIAWATI INTAN SAVITRI
menjadi korban akibat konflik terpanggil untuk melakukan pembalasan dengan alasan panggilan keluarga. Faktor balas dendam berdasarkan identitas sosial ini merupakan bentuk bias yang umum terjadi dalam konflik antar kelompok. Menurut Tajfel (1978), perilaku antar kelompok dibedakan menjadi tiga karakteristik. Pertama, dua identitas sosial yang jelasjelas berbeda nampak pada situasi tertentu (contoh, Muslim-Kristen, Jawa-Batak, lelakiperempuan). Kedua, variabilitas perilaku atau sikap dalam masing-masing kelompok rendah, sehingga perilaku kelompok cenderung memiliki kesamaan. Ketiga, salah satu dari anggota kelompok menunjukkan sedikit variasi saja dalam memperlakukan anggotaanggota dari kelompok lain (contoh: ”mereka semua sama saja”). Saat seorang individu anggota kelompok melakukan pembunuhan, teror atau pengeboman, maka keanggotaan tersebut digunakan untuk menggeneralisasi kelompok, sehingga bukan lagi seseorang atau individu yang melakukan pembunuhan, teror atau pengemboman, melainkan kelompoklah yang bertanggungjawab. Pola seperti ini berlangsung terus-menerus
sehingga konflik tidak kunjung reda. Situasi dan pola yang masif dalam kerusuhan Poso juga memperlihatkan bahwa konflik terus-menerus dipicu oleh konteks situasi. Sebagaimana dikatakan Ross dan Nisbet (1991), inilah yang disebut ”power of situations.” Perspektif ini dikuatkan oleh Zimbardo (2004) yang menyatakan bahwa seorang yang semula berperilaku dan dikenal sebagai orang baik-baik dapat melakukan perilaku kejahatan yang bahkan tak pernah dibayangkan. Faktor eksternal lain yang menyebabkan konflik Poso tidak kunjung reda adalah kepentingan politis pihak-pihak yang diuntungkan dengan adanya konflik di Poso, pemerintah yang tidak tegas dalam menangani konflik, dan militer yang tidak netral dalam menangani konflik. Jika digambarkan dalam bagan maka beberapa penyebab konflik Poso adalah sebagai disajikan pada Gambar 1. Beberapa upaya penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut: 1. Melakukan penghentian konflik melalui Deklarasi Malino 1 dan 2. 2. Berdasarkan Inpres No. 14 tahun 2005
SETIAWATI INTAN SAVITRI
membentuk Komando Operasi Keamanan (Koopskam) Sulawesi Tengah. 3. Membudayakan sintuwu maroso, yaitu semboyan bahwa ”bersatu kita kuat” di kalangan masyarakat Poso. Kendati upaya penghentian konflik terusmenerus diupayakan, namun mengapa kekerasan terus terjadi di Poso? Meskipun tidak berupa benturan antar kelompok, ternyata pembunuhan, pemboman masih terus terjadi di Poso. Pemerintah dan militer terlihat tidak bersungguh-sungguh dalam menangani perencanaan penghentian konflik dan pembangunan budaya damai. Pelakupelaku kekerasan dan teror lebih banyak tidak terungkap. Pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas keamanan rakyatnya nampak belum memainkan perannya sebagai pemimpin yang transformatif dan tidak melakukan pendekatan-pendekatan yang berdasar pada psikologi komunitas. Menurut Turner (2005), pemimpin yang transformatif adalah pemimpin yang memiliki power untuk melakukan transformasi konteks, struktur, isu dan individu melalui formasi kelompok untuk menghasilkan kekuatan baru. Pendekatan psikologi komunitas yang semestinya diperankan oleh pemerintah adalah menghadirkan kesejahteraan individual, membudayakan rasa sosial/ komunitas, memberikan keadilan sosial, membangun partisipasi penduduk, membangun kekuatan kolaborasi dan komunitas, menghormati keanekaragaman manusia, dan mempunyai dasar ilmiah. Kesimpulan Konflik merupakan situasi yang tidak bisa dielakkan dalam kehidupan manusia, mengupayakan agar konflik menjadi produktif dan tidak merusak merupakan hal yang perlu. Manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan konflik karena pada dasarnya manusia memiliki banyak perbedaan satu sama lain, namun demikian manusia juga memiliki kemampuan untuk mengontrol potensi untuk melakukan konflik tersebut dengan melakukan berbagai intervensi berdasarkan pada psikologi. Konflik yang terjadi di Poso merupakan
29
konflik yang destruktif, karena telah melibatkan kekerasan dan kerusuhan yang merugikan banyak pihak. Kategorisasi berdasarkan agama yang menonjol di Poso, karakteristik masyarakatnya yang keras dan memiliki potensi konflik, kondisi geografis yang tersegmentasi dalam dua kelompok berdasarkan agama yang besar, dipicu oleh provokasi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab serta pemerintahan dan militer yang tidak konsisten dalam menangani konflik, menyebabkan keadaan semakin berlarut-larut. Oleh sebab itu perlu diupayakan beberapa intervensi berdasarkan psikologi sosial dan psikologi komunitas untuk menyelesaikan permasalahan di Poso. Intervensi berdasarkan psikologi sosial adalah intervensi yang dilakukan dengan dua cara: pertama, membangun kontak yang kooperatif antar kelompok; dan kedua, melakukan perubahan struktur dari kategori sosial yang ada. Membangun kontak sosial yang kooperatif berarti mengusahakan forum-forum dialog antar agama, lintas kelompok yang bertikai, serta kegiatan bersama yang tidak bersifat kompetitif tetapi lebih kooperatif. Perubahan struktur dari kategori sosial diwujudkan dengan cara melakukan transformasi konteks dan transformasi isu konflik, dari konteks dan isu agama menjadi konteks dan isu nasionalisme. Mempertahankan isu dan konflik berdasarkan segregasi agama justeru akan memperluas konflik, sebab agama merupakan identitas sosial yang komprehensif serta akan memperluas konflik ke luar daerah dengan alasan kebersamaan agama, suku, atau ras. Kedua hal tersebut mustahil dilakukan kecuali dengan pendekatan-pendekatan multikultural dan komunitas. Oleh sebab itu, pemerintah dan militer diharapkan mampu berperan lebih jauh untuk melakukan peran-peran strategis psikologi komunitas yang mengedepankan tujuh hal, yaitu: (1) menghadirkan kesejahteraan individual; (2) membudayakan rasa sosial komunitas; (3) memberikan keadilan sosial; (4) membangun partisipasi penduduk; (5) membangun kekuatan kolaborasi dan komunitas; (6) menghormati keanekaragaman manusia; dan (7) mempunyai dasar ilmiah. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan peru-
30
SETIAWATI INTAN SAVITRI
bahan budaya yang mempromosikan perdamaian dan harmoni dapat diwujudkan. Sebagaimana diungkapkan Staub (2003), kekerasan baru akan dapat dicegah dengan cara mempromosikan relasi yang positif di
antara dua kelompok yang bertikai. Hal ini harus diikuti dengan menegakkan keadilan sehingga proses rekonsiliasi atau pemaafan akan lebih mudah terwujud.
DAFTAR PUSTAKA Agenda menciptakan Indonesia yang damai (2002). Laporan Kinerja Dua tahun SBYJK.
Mengungkap fakta dan kebenaran hukum Kasus Poso III. Diunduh dari http://jakarta. indymedia.org/newswire.
Amir Syarif & Muannas (2001). Deklarasi Malino tolak darurat sipil di Poso. Jakarta: Tempo Interaktif, 21 Desember.
Miller, Arthur G., et al. (2004). The social psychology of good and evil. New York: Guilford Publication.
Brewer, B.Marilynn & Miller, Norman (1996). Intergroup relations. Buckingham: Open University.
Morris, W. Michael & Stephen, S.U.K.(1999). Social psychological obstacle in enviromental conflict resolution. American Behavioral Scientist, 42(8), 1322-1349.
Brown, Rupert & Gaertner, Samuel L. (2003). Intergroup processes. Blackwell Handbook of Social Psychology. United Kingdom: Blackwell Publisher. Crisis Group International (2005). Weakening Mujahidin. Asia Report No.13. Jakarta/ Brussel. Hewstone, Milles & Greenland, Kathy (2000). Intergroup conflict. International Journal of Psychology, 35(2), 136-144. Hewstone, Milles; Rubin, Mark & Willis, Hazel (2002). Intergroup bias. Annual Review of Psychology, 53, 575-604. Hogg, Michael (1992). The social psychology of group cohesiveness. New York: Harvester Wheatsheaf. Huddy, Leoni (2004). Contrasting theoretical approaches to integroup relations. International Societies of Political Pscychology: Blackwell Publishing. Mawdsley, Nick. dkk. (2005). Building sustainable peace: Local economic development, natural resources and livelihoods, North Maluku, Maluku and Central Sulawesi.
Reicher, Stephen (2004). The context of social identity: Domination, resistance and change. Political Psychology, 25(6). Seul, R. Jeffrey (1999). Ours is the Way of God: Religion, identity, and intergroup conflict. Journal of Peace Research, 36(5), 553-569. Subiyono, Aris & Muttaqin, Tatang (tanpa tahun). Studi pengembangan dan ikatan wujud kebangsaan. Bappenas. Staub, Ervin (2003). Notes of cultural and violence, cultures of caring and peace, and the fulfillment of basic needs. Political Psychology, 24(1). Turner, C. John (2005). Explaining the nature of power: A three process theory. European Journal of Social Psychology, 35, 1-22. Tri (2004). Kekhawatiran itu masih ada. Antara. Alamat e-mail:
[email protected]