198
Mekanisme Interaksi Fe………….(Leny Yuanita)
Mekanisme Interaksi Fe dengan Komponen Serat Pangan pada Kondisi Sistim Gastrointestinal in vitro Interaction Mechanism of Fe with Dietary Fiber Component at in vitro Gastrointestinal System Condition Leny Yuanita Staf Pengajar Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya ABSTRACT The aim of the research was to describe the interaction mechanism of Fe with yard long bean dietary fiber macromolecules at gastrointestinal system in-vitro, through the combination of acidity and boiling time. The research based on the factorial experimental design, with two independent variables, i.e. acidity medium (pH 3, 4, 5, 6, 7)and boiling time (0/raw, 5, 20, 35 minutes). Dependent variables were iron binding percentage, effective stability constants (Keff), and adsorption constants (Kads). Scatchard and Langmuir graph methods through Keff and Kads were then applied to determine the mechanism of iron interaction. The results of the research showed that the highest binding Fe by dietary fiber at pH 7- raw, and lowest at pH 3- boiling time 35 minutes. The iron binding pattern by dietary fiber at gastrointestinal system is through formation of complex compound that more prominent than physically adsorption, and involved two types of specific binding sites, one of which showed a higher affinity than the other. Keywords: Fe (iron), dietary fiber, gastrointestinal system, Keff (effective stability constant),, Kads (adsorption constant) PENDAHULUAN Makromolekul serat pangan (SP) mempunyai kapasitas dan spesifitas untuk berasosiasi dengan ion logam. Pengikatan mineral Fe oleh SP merupakan penyebab utama penurunan absorpsi dan ketersediaan hayati Fe; sedangkan di antara komponen utama SP yang mempunyai afinitas membentuk ikatan kuat dengan Fe adalah hemiselulosa dan lignin (Dreher 1987). Menurut Torre et al. (1995), sedikitnya ada tiga mekanisme interaksi yang mungkin terjadi antara komponen SP sebagai makromolekul dan ion logam sebagai ligan yaitu melalui adsorpsi permukaan, pertukaran ion dan pembentukan senyawa kompleks. SP sayuran merupakan penukar kation yang lemah dan monofungsional; di samping itu sayuran sebagai bahan alam mengandung berbagai asam organik, oleh karenanya di antara ketiga mekanisme interaksi, yang dapat memberi pendekatan secara sederhana adalah pembentukan senyawa kompleks dan adsorpsi. Pengikatan ion logam oleh makromolekul membentuk kompleks mengikuti hukum kesetimbangan ganda dengan pembentukan ikatan stoikiometri sedangkan adsorpsi permukaan mengikuti hukum adsorpsi isoterm, melalui pendekatan bahwa sejumlah sisi ikatan
pada makromolekul adalah ekwivalen atau identik dan tidak berinteraksi, serta pengikatan suatu ligan ke satu sisi tidak mempengaruhi pengikatan ke sisi lain pada makromolekul yang sama. Mekanisme interaksi ditentukan antara lain oleh jenis dan posisi gugus fungsional. Gugus fungsional utama komponen SP adalah hidroksil (termasuk fenolik), karboksil, oksigen karbonil, eter dan β glikosidik; maka interaksi Fe dan komponene SP adalah melalui gugus bermuatan negatif atau netral. Menurut Kaim dan Schwederski (1994), polisakarida yang mempunyai gugus fungsional mengandung oksigen yang bermuatan negatif berpotensi mengikat kation secara elektrostatik dan membentuk kelat melalui gugus polihidroksi. Hasil penelitian menujukkan bahwa Fe terikat oleh polisakarida melalui kompleks kelat dalam struktur tetrahedron dengan membentuk poli inti dalam suatu bentuk molekul seperti halnya molekul feritin (Bertini et al. 1994, Coe et al. 1995). Pengikatan mineral oleh SP dipengaruhi oleh pH medium sistim gastrointestinal, proses pengolahan, sumber, tipe serat, konsentrasi serat dan mineral, dan adanya zat yang menghambat atau meningkatkan pengikatan mineral. Pengaruh tersebut berhubungan dengan kestabilan ikatan antar monomer dan
Jurnal ILMU DASAR, Vol. 9 No. 2, Juli 2008 : 198-203
polimer komponen SP maupun konstituen lain, serta ionisasi spesifik gugus fungsional pada kondisi prosesing. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mekanisme interaksi mineral Fe oleh makromolekul SP pada sistim gastrointestinal secara in-vitro melalui kombinasi pH dan lama perebusan kacang panjang. METODE Rancangan penelitian Rancangan penelitian eksperimen faktorial dua faktor (4 × 5). Variabel bebas: derajat keasaman medium (pH 3, 4, 5, 6, 7) dan lama perebusan (0/mentah, 5, 20, 35 menit); variabel terikat: persentase Fe terikat, pola interaksi Fe-SP. Bahan dan alat penelitian Bahan: kacang panjang (Vigna sesquipedalis (L) Fruhw) varietas hijau super dan berkualitas baik pada usia panen, buffer sitrat pH 4 bebas Fe, pepsin (Sigma P7000), Pankreatin (Sigma P1750), Ekstrak bile (Sigma B8631), NaHCO3, TCA, HCl pekat, larutan standar Fe, Natrium asetat, KOH, hidroksil amonium klorida, natrium disulfonat batofenantrolin (Sigma B1375), Fe(II)(NH4)SO4, H2SO4 pekat, ortofenantrolin, natrium asetat, NH4OH, HCl, resorsinol, standar glukosa, KBr. Alat: spektrofotometer sinar tampak (vis 6000 Kruss), pH meter, membran dialisis Spektra/Por (6-8000 MWCO, Fisher), sentrifus 3400 rpm, ultrasentrifus dan shaker water bath (SWB 20, Haake). Prosedur Penelitian Sampel kacang panjang dipotong @ 4 cm, diberi perlakuan P1, ..., P20. Setelah dikering-bekukan, digiling hingga lolos ayakan 100 mesh. Analisis pengikatan Fe dilakukan pada kondisi sistim gastrointestinal secara in-vitro (Miller et al. 1981), identifikasi kadar Fe supernatan dan dialisat melalui spektrofotometer UV-Vis. Berdasarkan Fe tersedia, terikat, dan terlarut dilakukan analisis interaksi ion Fe dengan makromolekul SP melalui metode grafik Scatchard dan Irwing Langmuir untuk pembentukan kompleks dan adsorpsi permukaan. Tehnik analisis data Hasil uji pengaruh pH dan lama perebusan terhadap persentase Fe terikat, digunakan analisis Anava dua arah (α = 0,05); sedangkan terhadap konstanta stabilitas efektif dan adsorpsi digunakan analisis deskriptif kuantitatif. Untuk memperoleh pola interaksi Fe-SP digunakan metode grafik Langmuir dan Scatchard. Berdasarkan data Fe terlarut (EC), terikat (BC) dan tersedia (IC), dibuat grafik Scatchard (BC/EC vs BC) untuk memperoleh konstanta stabilitas efektif (Keff) dan grafik
199
Langmuir (IC/BC vs IC) untuk memperoleh konstanta adsorpsi (Kads).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pH dan lama perebusan terhadap persentase Fe terikat Hasil analisis Tabel 1 menunjukkan bahwa pH maupun lama perebusan berpengaruh pada persentase Fe terikat. Persentase Fe terikat yang tertinggi pada perlakuan pH 7-tanpa perebusan diikuti pH 6-tanpa perebusan, sedangkan yang terendah pada pH 3-lama perebusan 35 menit diikuti pH 4-lama perebusan 35 menit; berarti penurunan pH maupun peningkatan lama perebusan menyebabkan penurunan persentase Fe terikat. Sesuai dengan Reinhold (1982), pengikatan Fe oleh SP terjadi secara berarti pada pH > 5; juga dikemukakan dalam laporan British Nutrition Foundation (Anonim 1990) bahwa pada pH netral terjadi pengikatan mineral Fe oleh SP secara cepat, pengikatan ini dihambat kondisi asam serta asam-asam organik sayuran. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa lama perebusan berpengaruh pada persentase Fe terikat. Proses perebusan menurunkan persentase Fe terikat pada semua kondisi pH. Pemanasan mengakibatkan kerusakan pada dinding sel, mengurangi adhesi antar selular dan meningkatkan reaksi kimia antar molekul; maka penurunan Fe terikat pada perebusan disebabkan meningkatnya hidrolisis ikatan glikosidik pektat pada kondisi asam (pH 3, 4, dan 5) dan eliminasi-β pada kondisi netral (pH 6-7), hidrolisis asam terhadap hemiselulosa, kelabilan ikatan antar rantai selulosa, serta perubahan faktor sterik struktur lignin. Perubahan ikatan antar monomer dan polimer tersebut mengakibatkan perubahan jarak letak gugus-gugus fungsional yang mampu berikatan dengan Fe. Kacang panjang mengandung SP yang tinggi, tetapi di samping itu dalam sayuran terdapat pula senyawa-senyawa yang menurunkan kelarutan Fe yaitu fitat dan tanin. Secara umum tanin tidak banyak terdapat dalam sayur-sayuran (Muchtadi, 1992). Pada sayur mentah, fitat berbentuk inositolheksafosfat. Menurut Yadav & Schgal (2002), pada perebusan sayur berbentuk daun akan terjadi penurunan bahan anti gizi asam fitat dan tanin akibat perlakuan panas. Di samping itu Valencia et al. (1999) menyatakan bahwa perebusan akan mengurangi 4 sampai 8% kandungan fitat.
200
Mekanisme Interaksi Fe………….(Leny Yuanita)
Tabel 1. Rerata Persentase Fe Terikat (Pengaruh pH dan Lama Perebusan). PH 3 4 5 6 7 Rerata F P
0 33.910 68.399 51.660 75.830 78.916 61.743
5 33.110 56.423 41.590 62.457 66.360 51.988 7.835 0.000
Lama perebusan 20 36.743 42.200 42.562 67.467 65.580 50.910
Hal ini disebabkan pada perebusan terjadi perubahan inositolpentafosfat dan inositolheksafosfat membentuk inositolfosfat yang lebih rendah derajat fosforilasinya. Inositoltetrafosfat dan trifosfat membentuk kompleks yang larut dengan Fe(III). Hal ini berarti penurunan Fe terikat pada perebusan juga disebabkan penurunan kadar asam fitat dan tanin. Fe tanaman terikat dengan protein sistem redoks kloroplas, yang akan terdenaturasi pada perebusan (terutama pada pH 4). Menurut Kapanidis (1995) denaturasi protein ini akan meningkatkan Fe terdialisis. Denaturasi protein pada perebusan mengakibatkan protein lebih mudah dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi asam amino atau peptida dengan Mr yang lebih rendah. Hasil hidrolisis ini berikatan dengan Fe(III) membentuk kelat larut dan Mr rendah, sehingga dapat terdialisis; dengan demikian peningkatan lama perebusan akan meningkatkan Fe terlarut atau menurunkan Fe terikat. Pada proses perebusan kondisi pH asam, terjadi pula reaksi antara fruktosa dan glukosa membentuk diasetilformosin dan berbagai senyawa hasil antara yang disebut senyawa redukton. Senyawa ini mereduksi Fe(III) menjadi Fe(II); maka berarti hasil perlakuan perebusan pada pH asam akan menghasilkan kelarutan Fe yang lebih besar. Data pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa persentase Fe terikat pada pH 5 lama perebusan 0 dan 5 menit lebih rendah daripada pH 4. Hal ini dimungkinkan akibat kombinasi sifat kelarutan ferifitat pada pH diatas 4 dan degradasi serat pangan. Feri fitat tak larut pada pH 2-4 dan meningkat kelarutannya pada pH > 4. Komponen serat pangan pektat bersifat stabil pada pH 3-4, hemiselulosa terhidrolisis pada pH > 5 dan suhu 60o0C, sedangkan pada
Nilai 35 31.155 32.500 39.157 46.757 60.410 41.996
Rerata 33.730 49.881 43.742 63.128 67.817
F
p
19.328
0.000
F= 1.020 P= 0.434
selulosa dan lignin hanya terjadi kelabilan ikatan atau perubahan faktor sterik. Hal ini berarti pada pH 6 dan 7 dengan perebusan 0 dan 5 menit, ferifitat larut dan tidak terjadi degradasi SP yang berarti, sehingga persentase Fe terikat tinggi. Pada pH 5 ferifitat larut dan terjadi degradasi SP, sehingga jumlah persentase Fe terikat turun. Pada kondisi pH 3 dan 4 dengan perebusan 0 dan 5 menit ferifitat tak larut sedangkan senyawa pektat dan hemiselulosa bersifat stabil pada pH < 5 sehingga persentase Fe terikat lebih tinggi daripada kondisi pH 5. Pengaruh pH dan lama perebusan terhadap konstanta stabilitas efektif dan konstanta adsorpsi Konstanta adsorpsi (Kads) adalah konstanta kesetimbangan distribusi adsorbat pada proses adsorpsi, menggambarkan afinitas tertahannya kation Fe pada permukaan sisi aktif SP oleh adsorpsi. Kads diperoleh dari intersep ordinat grafik Langmuir (Fe ditambahkan/Fe terikat (ordinat) vs. Fe ditambahkan (absis)). Konstanta stabilitas efektif (Keff) yaitu konstanta yang menggambarkan afinitas interaksi kation logam Fe dengan SP pada pembentukan senyawa kompleks, yang melibatkan sejumlah persaingan ion H+ terhadap ion logam, dan ion OH- terhadap makromolekul. Keff diperoleh dari kemiringan grafik Scatchard (Fe terikat/Fe bebas (ordinat) vs. Fe terikat (absis)) (Torre at al., 1995). Kemiringan = - Keff (Rosenthal, 1967). Jika Kads > Keff maka pola interaksi utama pengikatan mineral Fe oleh SP adalah adsorpsi fisik; sedangkan jika Keff > Kads maka pola interaksi utama adalah melalui pembentukan kompleks. Berdasarkan kemiringan dan intersep grafik, dapat diperoleh harga konstanta stabilitas efektif ( b1) dan konstanta adsorpsi (b1/b0) seperti terdapat pada Tabel 2.
Jurnal ILMU DASAR, Vol. 9 No. 2, Juli 2008 : 198-203
201
Tabel 2. Konstanta Stabilitas Efektif dan Konstanta Adsorpsi untuk pengikatan Fe oleh Serat Pangan Kacang Panjang Perlakuan PH- Lama Perebusan 7 0 7 5 7 20 7 35 6 0 6 5 6 20 6 35 5 0 5 5 5 20 5 35 4 0 4 5 4 20 4 35 3 0 3 5 3 20 3 35
K stabilitas efektif K eff 1 2.9874 2.8586 2.3513 1.9729 2.9370 1.6892 1.2459 0.9696 1.1057 0.8464 0.6549 0.6168 0.9120 0.9087 0.9031 0.8316 0.7767 0.6794 0.6659 0.6125
Pada masing-masing grafik Scatchard didapatkan dua garis lurus dengan kemiringan yang berbeda; sehingga diperoleh dua harga konstanta stabilitas efektif, Keff1 dan Keff2. Hal ini menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan, makromolekul SP kacang panjang mempunyai dua tipe sisi ikatan spesifik untuk pengikatan Fe,melalui pembentukan senyawa kompleks. Terdapatnya dua tipe sisi ikatan spesifik ini merupakan interaksi hasil ikatan masingmasing komponen serat pangan terhadap Fe. Menurut Fernandez (1982) dan Platt (1987), lignin, HMP/High Methoxyl Pectins dan hemiselulosa mempunyai 2 tipe sisi ikatan spesifik, sedangkan selulosa, LMP/ Low Methoxyl Pectins mempunyai 1 tipe sisi ikatan spesifik terhadap Fe. Terbentuknya garis lurus dengan kemiringan positif pada grafik Langmuir menunjukkan bahwa pengikatan Fe oleh SP kacang panjang melibatkan proses adsorpsi yang mengikuti hukum adsorpsi isoterm Langmuir. Konstanta stabilitas efektif yang diperoleh dari analisis grafik Scatchard menunjukkan harga tertinggi pada perlakuan kombinasi pH 7- tanpa perebusan. Keff mengalami penurunan dengan terjadinya peningkatan lama perebusan; demikian pula pada berbagai pH.
K eff 2 4.0241 3.0141 2.9879 2.8219 4.0130 4.0015 3.7088 2.8060 4.0007 3.9835 2.4326 2.4199 3.9862 3.8809 3.0373 1.7412 1.3695 1.2927 1.1895 1.1705
K adsorpsi K ads 3,22405 0,36226 0,73619 0,44214 2,55032 1,38432 0,69144 0,52389 0,37920 0,43192 0,26519 0,49353 0,44045 0,49818 0,41457 0,30425 0,66845 0,45948 0,47338 0,20302
Kecenderungan yang sama diperoleh pada konstanta adsorpsi dari analisis grafik Langmuir. Hal ini berarti: 1) Penurunan pH dan peningkatan lama perebusan menurunkan konstanta stabilitas efektif, dan 2) Penurunan pH dan peningkatan lama perebusan menurunkan konstanta adsorpsi. Hasil pengaruh pH dan lama perebusan terhadap K eff dan Kads sesuai dengan pengaruhnya terhadap persentase Fe terikat (Tabel 1), persentase Fe terikat yang tertinggi pada perlakuan pH 7-tanpa perebusan diikuti pH 6tanpa perebusan, sedangkan yang terendah pada pH 3-lama perebusan 35 menit diikuti pH 4-lama perebusan 35 menit. Pada penelitian ini penurunan pH dan peningkatan lama perebusan mengakibatkan penurunan harga konstanta stabilitas efektif. Hal ini disebabkan bahwa pada penurunan pH terjadi peningkatan H+ dalam persaingan dengan ion logam terhadap sisi koordinasi, sehingga H+ mampu bersaing dan menempati tempat koordinasi secara efektif. Sesuai dengan Cowan (1993), pada pH netral logam-logam transisi akan mempunyai konstanta pembentukan senyawa koordinasi yang lebih besar daripada Ka asam; dengan demikian pada medium asam dihasilkan konstanta stabilitas
202
Mekanisme Interaksi Fe………….(Leny Yuanita)
efektif pengikatan Fe yang lebih rendah daripada pH netral. Penurunan konstanta stabilitas efektif pada peningkatan lama perebusan diakibatkan faktor sterik yang kurang menguntungkan untuk pembentukan kelat. Ikatan kelat Fe(III) dengan SP dibentuk melalui gugus donor yang berasal lebih dari satu molekul komponen SP. Letak gugus donor yang berdekatan lebih memungkinkan untuk pembentukan kelat daripada jika letak gugus donor tersebut berjauhan (Beck & Nagypal 1990). Akibat panas pada perebusan dan kondisi asam akan melabilkan atau memutuskan ikatan hidrogen di dalam dan atau antar rantai polimer, serta pemutusan ikatan glikosidik pada beberapa komponen serat pangan; berarti terjadi pemisahan antar molekul monomer atau polimer; dengan demikian letak gugus-gugus yang mampu membentuk kelat pada kondisi sebelum atau tanpa perebusan lebih menguntungkan untuk pembentukan kelat daripada setelah perebusan. Pembentukan kelat menambah kestabilan kompleks. Hal ini berarti bahwa pada peningkatan lama perebusan akan diperoleh konstanta stabilitas efektif yang lebih rendah daripada tanpa perebusan. Pada hasil penelitian dan analisis grafik terlihat pula bahwa penurunan pH dan peningkatan lama perebusan mengakibatkan penurunan konstanta adsorpsi. Hal ini disebabkan pemanasan mengakibatkan berkurangnya porositas permukaan makromolekul serat pangan sehingga terjadi penurunan kekuatan adsorpsi. Makromolekul SP terdiri dari komponen SP yang memiliki gugus fungsi yang bermuatan; maka pada proses adsorpsi ion Fe juga terjadi adsorpsi elektrostatik. Pada pH asam komponen SP bersifat sebagai polisakarida netral, sehingga gugus fungsi (hidroksil dan karboksil) sedikit atau tidak terionisasi. Hal ini berarti bahwa pada pH asam terjadi penurunan kekuatan adsorpsi. Hasil penelitian dan analisis grafik menunjukkan bahwa konstanta stabilitas efektif lebih besar daripada konstanta adsorpsi. Menurut Torre (1995), jika pada suatu sistem pengikatan ligan oleh makromolekul diperoleh konstanta stabilitas efektif lebih besar daripada konstanta adsorpsi, maka mekanisme pembentukan kompleks lebih dominan daripada melalui adsorpsi, demikian pula
sebaliknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada pengikatan Fe (eksogen dan endogen) oleh makromolekul SP kacang panjang, mekanisme pembentukan kompleks lebih dominan daripada adsorpsi, ini berlaku untuk setiap kelompok perlakuan pH dan lama perebusan. Pengikatan Fe pada suatu sistem dengan satu komponen tak dapat diekstrapolasikan pada bahan pangan, sebab bahan pangan terdiri lebih dari satu komponen. Sistem bahan pangan melibatkan efek interaktif dari pengikatan komponen-komponen yang menentukan kelarutan dan ketersediaan hayati Fe. Walaupun demikian, seperti dikemukakan oleh Torre (1995) bahwa model ikatan tergantung pada jenis dan kadar serat. Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa pada semua perlakuan pH dan lama perebusan diperoleh konstanta stabilitas efektif pertama lebih besar daripada konstanta stabilitas efektif kedua. Hal ini berarti pengikatan pada tipe sisi ikatan pertama mempunyai stabilitas lebih besar atau gugus-gugus fungsinya mempunyai afinitas yang lebih besar daripada tipe sisi ikatan kedua. Menurut Sipos et al.(1995), jika kelat Fe(III) polisakarida mempunyai kestabilan tinggi, maka pembentukan kelat tersebut melibatkan deprotonisasi gugus hidroksil atau melalui ikatan dengan oksigen βglikosidik. Berarti bahwa tipe sisi ikatan pertama melibatkan keberadaan gugus OH yang mengalami deprotonisasi dan/atau ikatan melalui oksigen β-glikosidik, sehingga dihasilkan ikatan yang stabil; sebaliknya tipe sisi ikatan kedua adalah tipe sisi ikatan yang melibatkan gugus COOH dan/atau ikatan melalui oksigen karbonil atau eter. KESIMPULAN Pengikatan tertinggi Fe oleh SP pada perlakuan pH 7 dan lama perebusan 0 menit/mentah, terendah pada pH 3 dan lama perebusan 35 menit. Pola pengikatan Fe (eksogen dan endogen) oleh SP kacang panjang pada sistim gastrointestinal secara in-vitro, melalui adsorpsi fisik dan pembentukan kompleks; melalui pembentukan kompleks lebih dominan daripada adsorpsi fisik. Pengikatan Fe (eksogen dan endogen) oleh makromolekul SP kacang panjang melalui pembentukan kompleks, melibatkan dua tipe
Jurnal ILMU DASAR, Vol. 9 No. 2, Juli 2008 : 198-203
sisi ikatan spesifik; dan salah satu tipe sisi ikatan mempunyai afinitas yang lebih besar dari yang lain. Saran Dilakukan penelitian lanjut untuk menentukan gugus fungsi yang berperan dalam interaksi FeSP melalui adsorpsi fisik dan pembentukan kompleks. DATAR PUSTAKA Anonim. 1995. Iron- Nutritional and Physiological Significance. The Report of the British Nutrition Foundation’s Task Force. London: Chapman& Hall. Beck MT, Nagypal I. 1990. Chemistry of Complex Equilibria. New york: John Wiley & Sons Bertini I, Gray HB, Lippard SJ, Valentine JS. 1994. Bioinorganic Chemistry. California : University Science Books. Coe EM, Bowen LH, Speer JA, Wang Z, Sayers DE, Bareman RD. 1995. The Recharacterization of a Polysaccharide Iron Complex (Niferex). J. of Inorganic Biochem. 58:269-278. Cowan JA. 1993. Inorganic Biochemistry An Introduction. London: VCH. Dreher ML. 1987. Handbook of Dietary Fiber. New York and Basel: Marcel Dekker Inc. Fernandez R. & Philips SF. 1982. Components of Fiber Bind Iron In Vitro. The Am. J. of Clin. Nut. 35 : 100 – 106. Kaim W, Schwederski B. 1994. Bioinorganic Chemistry: Inorganic Elements in the Chemistry of Life. Chichester : John Wiley & Sons. Kapanidis A.N, Chinglee T. 1995. Heating Cruciferous Vegetables Increases In-Vitro Dialyzability of Intrinsic and Extrinsic Iron. J.of Food Sci. 60(1):128-131. Miller DD, Schricker BR, Rasmussen RR, Van Campen D. 1981. An In Vitro Method for Estimation of Iron Availability From Meals. The Am. J. of Clin. Nut. 34:2248–2256.
203
Muchtadi D, Sri Palupi N, Astawan M. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan Bogor: Dep. P dan K. Dir. Jen. Dik.Ti. P.A.U. Pangan dan Gizi. Platt SR, Clydesdale FM. 1987. Mineral Binding Characteristics of Lignin, Guar Gum, Cellulose, Pektin and Netral Detergent Fiber Under Simulated Duodenal pH Conditions. J. of Food Sci. 52:1414–1419. Reinhold JG, Garcia PM, Amado LA, Garzon P. 1982. Dietary Fiber-Iron Interactions. In : Dietary Fiber in Health and Disease. Edited by Vahouny GV and Kritchevsky D :117 - 132. New York : Plenum Press. Rosenthal H. 1967. A Graphic Method for the Determination and Presentation of Binding Parameters in a Complex System. Anal. Biochem. 20:525–532. Sipos P, Pierre TG, Tombacz E, Webb J. 1995. Rod Like Iron (III) Oxyhydroxide Particles in Iron(III)- Polysaccharide Solutions. J.of Inorganic Biochem. 58:129-138. Torre M, Rodriguez AR, Calixto FS. 1995. Interactions of the Fe (II), Ca (II) and Fe (III) with High Dietary Fiber Materials : A Physicochemical Approach. Food Chem. 54:23– 31. Valencia S, Svanberg U, Sanberg AS, Ruales J. 1999. Processing of Quinoa (Chenopodium Quino, Wild): Effect on IN-Vitro Iron Availability and Phytate Hydrolysis. Intrn. J. Food Sci. Nutr. 50 (3) 203-211. Yadav SK, Schgal S. 2002. Effect of Domestic Processing and Cooking Methods on Total HCl Extractable Iron and In Vitro Availability of Iron in Spinach and Amaranth Leaves. Nutr. and Health. 16:113-120.